implementasi strategi kebijakan pemerintah daerah …repository.ub.ac.id/1072/1/hendro tri...
TRANSCRIPT
IMPLEMENTASI STRATEGI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH
DALAM MENYEDIAKAN RUANG
TERBUKA HIJAU DI KOTA KEDIRI (STUDY KASUS
EKSLOKALISASI SEMAMPIR KOTA KEDIRI)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Politik
Pada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Oleh :
Hendro Tri Wahyudi
NIM.105120507111002
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
IMPLEMENTASI STRATEGI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM
MENYEDIAKAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA KEDIRI (STUDY KASUS
EKSLOKALISASI SEMAMPIR KOTA KEDIRI)
SKRIPSI
Disusun oleh :
Hendro Tri Wahyudi
NIM.105120507111002
Telah disetujui oleh dosen pembimbing:
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Dr. Sholih Mu’adi, SH.,M.Si Taufiq Akbar , S,IP., M,IP
NIP.19520101 198203 1 006 NIDN. 0004118503
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI SKRIPSI
IMPLEMENTASI STRATEGI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM
MENYEDIAKAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA KEDIRI (STUDY KASUS
EKSLOKALISASI SEMAMPIR KOTA KEDIRI)
SKRIPSI
Disusun oleh :
Hendro Tri Wahyudi
NIM.105120507111002
Telah diuji dan dinyatakan lulus dalam ujian Sarjana tanggal: 11 Juli 2017
Tim penguji:
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
Dr. Sholih Mu’adi, SH.,M.Si Taufiq Akbar , S,IP., M,IP
NIP.19520101 198203 1 006 NIDN. 0004118503
Tanggal: 11 Juli 2017 Tanggal: 11 Juli 2017
Anggota Penguji 1 Anggota Penguji 2
A.Hasan Ubaid, S.IP., M.IP Faqih Alfian,S.IP.,M.IP
NIK.2016078204211001 NIK.20140586121611001
Tanggal: 11 Juli 2017 Tanggal: 11 Juli 2017
Malang, 11 Juli 2017
Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
Prof. Dr. Unti Ludigdo, SE, M.Si., Ak.
NIP. 196908141994021001
PERNYATAAN ORISINALITAS
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Hendro Tri Wahyudi
NIM : 115120507111002
Jurusan / Peminatan : Ilmu Politik / Governance and Transisi
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan judul “IMPLEMENTASI
STRATEGI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENYEDIAKAN
RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA KEDIRI (STUDY KASUS EKSLOKALISASI
SEMAMPIR KOTA KEDIRI)” Adalah benar merupakan karya sendiri. Hal-hal yang
bukan karya saya, diberi tanda dan citasi yang ditunjukan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan yang tidak benar dan ditemukan
pelanggaran atas skripsi, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan
skripsi dan gelar yang saya peroleh
Malang, Juli 2017
Hendro Tri Wahyudi
115120507111002
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Curriculum Vitae
I. Data Pribadi
1. Nama : HENDRO TRI WAHYUDI
2. Tempat dan Tanggal Lahir : KEDIRI, 23 JUNI 1991
3. Jenis Kelamin : LAKI LAKI
4. Agama : ISLAM
5. Status Pernikahan : BELUM MENIKAH
6. Warga Negara : INDONESIA
7. Alamat KTP : DSN.KRAJAN RT.01 R.02
DESA.BRANGGAHAN
KEC.NGADILUWIH
KAB.KEDIRI
PROV.JAWATIMUR
9. Nomor Telepon / HP : 085655697805
10. e-mail : [email protected]
11. Kode Pos : 64171
II. Pendidikan Formal :
Periode
(Tahun)
Sekolah / Institusi /
Universitas
Jurusan
SDN 1 BRANGGAHAN -
SMPN 2 NGADIUWIH -
2007 SMKN 1 KOTA KEDIRI TEKNIK AUDIO VIDEO
2010 UNIV.BRAWIJAYA ILMU POLITIK
ABSTRAK
Ruang terbuka hijau sebagai unsur utama tata ruang kota mempunyai fungsi yang
sangat berpengaruh besar yang berguna bagi kemaslahatan hidup warga. Sedangkan
permasalahan di Kota Kediri banyak penyediaan RTH yang menjadi tempat berdagang para
pedagang kaki lima selain itu banyak juga masyarakat yang kurang perduli dengan
keberadaan Ruang Terbuka Hijau. Maka masalah RTH yang ada di Kota Kediri yang
memerlukan penanganan secara struktural melalui berbagai kajian dan kebijakan mengingat
RTH merupakan pengendali ekosistem khususnya bagi daerah yang sedang berkembang.
Fokus penelitian ini adalah bagaimana implementasi strategi kebijakan Pemerintah
Daerah dalam menyediakan ruang terbuka Hijau di Kota Kediri?
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan menggunakan
rancangan penelitian deskriptif dalam usaha mengungkap implementasi strategi kebijakan
Pemerintah Daerah dalam menyediakan ruang terbuka Hijau di Kota Kediri. Sedangkan
model analisis menggunakan model analisis interaktif, yang mencakup reduksi data, display
data dan pengambilan kesimpulan.
Hasil penelitian ini diperoleh bahwa Implementasi strategi kebijakan Pemerintah
Daerah dalam menyediakan RTH di Kota Kediri yaitu dengan merefungsi lahan menjadi
RTH 13,235,667 m2 sedangkan di eks lokalisasi semampir itu 13,925m2(1,39h2). Selain itu
juga merefungsi ruang terbuka mulai dari membangun fasilitas fasilitas umum dan taman
taman hijau kota melalui program pengembangan kota hijau. Dalam hal ini dinas sosial
memiliki klasifikasi terhadap warga yang terkena dampak yaitu, warga miskin dan wanita
tuna susila serta anak jalanan. Upaya penanaman dan penghijauan telah dilakukan tanggal 19
mei 2017 bersama bapak walikota yang didukung oleh masyarakat sekitar karena rencanaya
akan di jadikan taman bermain layak anak dan wisata kuliner. Faktor pendukung penanganan
RTH di Kota Kediri adalah masyarakat yang antusias, karena mereka ingin cepat terealisasi
dan cepat mendapatkan uang dari program-program pembangunan RTH. Faktor pengahambat
penanganan ruang Terbuka HIjau di Kota Kediri adalah terbentur dana juga anggaran. Selain
faktor anggaran juga pada kinerja dinas-dinas terkait untuk memaksimalkan penanganan
program-program tersebut.
Keyword: Implementasi strategi kebijakan, Ruang Terbuka Hijau
ABSTRACT
Open green space as the main element of the space city has a very large effect
functions useful for the benefit of the life of the citizens. While the problems in the town of
Kediri much provision open green space the trade the street vendors in addition also many
communities that are less concerned with the existence of open green space. The existing
open green space by a problem in the city of Kediri that require handling of structurally
through the various studies and policies governing ecosystem is open green space considering
an environment particularly for regions that are developing, as open green space. The focus
of the research is how implementation of the strategy of local government policy in providing
open green space in the city of Kediri?
The approach used was qualitative research with the use of the draft a descriptive
research in an attempt to uncover the implementation strategy for the policy of local
government in providing open green space in the city of Kediri. While the model analysis
using interactive analysis models, which include the reduction of data, display data and
conclusions.
The results of this research were obtained that the Implementation strategy of the local
government policy in providing open green space in the town of Kediri by re function land
open green space,667 13,235 m2 while in localization ex Semampir was 13, 925m2 (1,
39h2). It also re function open spaces ranging from building facilities of public facilities
green spaces and parks of the city through the green city development program. In this case
the social agency has a classification of affected, namely, the citizens are poor and a woman
prostitute as well as street children. Planting and greening efforts have been conducted on
May 19, 2017 together Mr. Mayor supported by the local community because planing will be
in the playground the children and decent food. Factors supporting the handling of open
green space in the town of Kediri was an enthusiastic community, because they want to
quickly realized and quickly earn money from open green space development programs. A
barrier factors in the handling of open green space in the city of Kediri was stuck to the
budget funds. In addition to the factors on the performance of Agency budget-related service
to maximize the handling of those programs.
Keyword: Implementation strategy policy, open green space
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur yang sedalam-dalamnya dipanjatkan kehadirat Allah
SWT atas segala rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul: “Implementasi Strategi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam
Menyediakan Ruang Terbuka Hijau di Kota Kediri”.
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu
persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya. Sehubungan dengan selesainya penulisan tersebut maka perlu
disampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua Bapak samilan dan Ibu suwarti, Kakak saya, keluarga besar dan
yang menjadi penyemangat dan motivasi terbesar dalam keberhasilan studi
maupun penulisan skripsi ini
2. Dr.Sholih Mu’adi,SH.,M.Si selaku Dosen Pembimbing Utama yang selalu setia
dalam memberikan bimbingan kepada penulis
3. Taufik Akbar,S.IP.,M.IP selaku Dosen Pembimbing Pendamping yang juga setia
dalam memberikan bimbingan kepada penulis
4. Ahmad hasan Ubaid,S.IP.,M.IP dan Faqih Alfian,S.IP.,M.IP selaku penguji, juga
kami sampaikan terimakasi atas saran dan masukan yang diberikan dalam
perbaikan skripsi ini
5. Bapak/ Ibu dosen Program Studi Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Brawijaya yang telah memberikan ilmu selama ini.
6. Teman-teman seperjuangan di program studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya yang luar biasa dan saling memberikan
semangat.
7. Teman-teman LSO gendhis dan Unitantri Universitas Brawijaya yang
memberikan proses luar biasa.
8. Teman-teman Ikatan Pemuda desa Branggahan kalian terimakasih karena sudah
di izinkan memberikan sumbangsih jerih pemikiran selama ini.
9. Teman seperjuangan hidup di malang Satrio,Ari zaul, Ilham, Pugut,
Rosyid,vanani,dicky,yusyoga,johansonny,damai, dan yang tak bisa dilupakan
rindya ratna F. Terimaksih telah memberi makna teman selama di malang.
Dan akhir kata dengan menyadari akan kekurangan dalam penyusunan skripsi ini baik
materi maupun cara penulis menyajikannya tidak lain karena keterbatasan penulis, sehingga
demi penyempurnaannya penulis mohon adanya kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak.
Penulis
Hendro Tri Wahyudi
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan.. .......................................................................................... i
Lembar Pengesahan.. .......................................................................................... ii
Kata Pengantar……. .......................................................................................... iii
Daftar Isi………….. .......................................................................................... iv
Daftar Tabel dan Gambar ..................................................................................... v
Abstraksi…… ...................................................................................................... vi
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 8
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................... 8
1.4 Kegunaan Penelitian .................................................................. 8
BAB II. KAJIAN PUSTAKA ..................................................................... 10
2.1 Teori Implementasi Kebijakan ................................................... 10
2.1.1 Konsep Implementasi Kebijakan .............................................. 10
2.1.2 Pendekatan Implementasi Kebijakan ........................................ 11
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan .. 20
2.2 Konseptualiasi ............................................................................. 24
2.2.1 Ruang Terbuka Hijau ................................................................ 24
2.2.2 Peran RTH dalam penataan Ruang Perkotaan .......................... 28
2.2.3 Manfaat Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kawasan Perkotaan . 31
2.2.4 Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan ........ 35
2.3 Penelitian Terdahulu ................................................................... 38
2.4 Kerangka pemikiran ..................................................................... 42
BAB III. METODE PENELITIAN ........................................................... 44
3.1 Tipe Penelitian ............................................................................ 44
3.2 Fokus penelitian ......................................................................... 45
3.3 Teknik Pengambilan Data .......................................................... 45
3.4 Subyek Penelitian ....................................................................... 47
3.5 Obyek Penelitian ........................................................................ 47
3.6 Sumber Data ............................................................................... 47
3.7 Analisa Data ............................................................................... 48
3.8 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ........................................ 49
BAB IV. GAMBARAN UMUM PENELITIAN ........................................ 51
4.1 Gambaran Umum Ruang Terbuka Hijau Kota Kediri ................. 51
4.1.1 Kondisi Ruang Terbuka Hijau Kota Kediri .............................. 51
4.1.2 Program Pengembangan Kota Hijau ......................................... 53
4.1.3 Kualitas Ruang Terbuka Hijau Kota Kediri .............................. 55
4.2 Permasalahan Ruang Terbuka Hijau Kota Kediri ........................ 56
BAB V. IMPLEMENTASI STRATEGI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH
DALAM MENYEDIAKAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA KEDIRI
............................................................................................................ 58
5.1 Implementasi Kebijakan Ruang Terbuka Hijau di Kota Kediri .. 58
5.2 Faktor Pendukung dan Pengahambat Penanganan Ruang Terbuka Hijau
..................................................................................................... 73
5.2.1 Faktor Pendukung ..................................................................... 73
5.2.2 Faktor Pengahambat.................................................................. 75
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 80
6.1 Kesimpulan ................................................................................. 80
6.2 Saran ........................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkembangan masyarakat yang ada di dunia tumbuh dengan pesat dari
waktu ke waktu. Jumlah penduduk di suatu negara yang terus meningkat akan
menuntut pemerintah negaranya untuk selalu siap memenuhi segala sarana dan
pemenuhan hidup rakyatnya baik yang di pedesaan maupun perkotaan.
Pertumbuhan penduduk yang pesat memberikan implikasi pada tingginya tekanan
terhadap pemanfaatan ruang terkait semakin sempitnya ruang untuk bergerak.
Kota sebagai pusat pertumbuhan, perkembangan dan perubahan serta pusat
berbagai kegiatan ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum dan pertahanan
keamanan menempati kedudukan yang sangat strategik dalam tatanan nasional
kita.1 Sehingga penataan dan pemanfaatan ruang kawasan perkotaan perlu
mendapat perhatian yang khusus, terutama yang terkait dengan penyediaan
kawasan hunian, fasilitas umum dan sosial serta ruang-ruang terbuka publik (open
spaces) di perkotaan. Dalam hal ini perlu keselarasan pemanfaatan ruang dalam
bentuk kajian berupa aturanaturan yang bersifat mengikat dari pemerintah.
Permasalahan ini akan menjadi permasalahan yang mendasar mengingat
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yang menghendaki kita untuk menggunakan dan
memanfaatkan bumi, air dan kekayaan alam yang sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat tersebut harus dapat dinikmati, baik
1 Tim Evaluasi Hukum. 2007. Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pengelolaan Kawasan
Perkotaan dan Pedesaan. Jakarta. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia RI. Hal.1
2
oleh generasi sekarang maupun yang akan datang. Ini berarti, dalam
pembangunan diterapkan asas kelestarian bagi sumberdaya alam dan selanjutnya
memanfaatkan sumberdaya alam tersebut dengan tidak merusak tata lingkungan
hidup manusia.2
Kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam
kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya,serta pemanasan
global yang semakin meningkat yang mengakibatkan perubahan iklim dan hal ini
akan memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup. Untuk itu perlu
dilakukan dua hal yakni perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang
sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Tentang
lingkungan hidup, hak alam ciptaan dan hak lingkungan hidup telah dijadikan
tema dalam setiap pertimbangan dan kebijakan sosial, ekonomi dan politik dunia.3
Demikian pula perkembangan penataan ruang di berbagai wilayah di
Indonesia yang muncul terkait kebijakan otonomi daerah menurut UU No. 23
tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, memberikan wewenang kepada daerah
untuk penyelenggaraan penataan ruang mencakup kegiatan pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang, didasarkan pada
pendekatan wilayah administratif dan dengan tingkat pemanfaatan ruang yang
berbeda. Dengan kewenangan sebagai implementasi kebijakan otonomi daerah
tersebut, daerah juga memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya yang
tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan
2 Daud Silalahi. 2001. Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonsia.
Bandung. Alumni. Hal.18 3 Amatus Woi, , 2008. Menyapa Bumi menyembah Hyang Ilahi, dalam tulisan “Manusia dan
Lingkungan dalam persekutuan ciptaan. Yogyakarta. Kanisius. Hal. 21
3
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga jelas bahwa menjaga
keseimbangan kualitas lingkungan hidup juga memerlukan perhatian serius oleh
daerah.
Implikasinya diperlukan kebijakan pengendalian lingkungan hidup yang
mengupayakan adanya ruang terbuka hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) didalam
lingkungan pembangunan secara global saat ini diperlukan demi menjaga
keseimbangan kualitas lingkungan hidup suatu daerah khususnya di daerah
perkotaan yang memiliki berbagai permasalahan berkaitan dengan masalah ruang
yang sedemikian kompleks. RTH tersebut pada dasarnya merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari penataan ruang kota yang antara lain berfungsi sebagai
kawasan hijau pertamanan kota dan paru-paru kota.
Ruang terbuka hijau merupakan salah satu komponen penting lingkungan.
Ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan merupakan bagian dari penataan ruang
kota yang berfungsi sebagai kawasan hijau pertamanan kota, kawasan hijau hutan
kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olahraga kawasan hijau
dan kawasan hijau pekarangan. Ruang terbuka hijau sebagai unsur utama tata
ruang kota mempunyai fungsi yang sangat berpengaruh besar yang berguna bagi
kemaslahatan hidup warga. Pengurangan lahan untuk ruang terbuka hijau ternyata
terjadi secara sistematis yang melibatkan semua aktor pembangunan,yaitu
pemerintah,swasta, dan masyarakat yang tidak lagi mengindahkan kebijakan
pelestarian lingkungan perkotaan.
Salah satu masalah kependudukan yang di Jawa Timur adalah penggunaan
lahan untuk tempat tinggal secara ilegal, contohnya, seperti RTH di Kota Malang
4
mulai kritis karena luasannya diperkirakan hanya sekitar dua persen dari luas
wilayah kota itu. Luasan RTH suatu wilayah idealnya 20 persen dari luas wilayah
untuk RTH publik dan 10 pesren RTH pribadi. Namun kenyataannya di Kota
Malang malah hanya menyisakan sekitar dua persen saja. Banyak sekali area RTH
di wilayah itu yang beralih fungsi, baik menjadi pertokoan (pusat perdagangan)
maupun permukimam, bahkan Mal. Menurunnya luasan RTH sebagai akibat dari
pesatnya perkembangan dan pembangunan. Selain itu, banyaknya lahan milik
warga yang dijual kepada pengembang dan berubah fungsi menjadi perumahan
atau ruko dan aset tanah milik Pemkot Malang yang dipergunakan untuk
pembangunan perkantoran dan rusunawa serta gedung lainnya. Area terbuka di
kawasan kampus yang juga banyak dibangun gedung-gedung menjulang.4
Sedangkan di Probolinggo, keberadaan Hutan Kota yang di kembangkan
menjadi Taman Wisata Study Lingkungan (TWSL). Lokasi TWSL berada di
lahan eks Joboan Kelurahan Mangunharjo kecamatan Mayangan dengan luas
kurang lebih 1 ha . Terdapat kurang lebih dua puluh jenis tanaman tahunan di
TWSL antara lain: Sengon , mengkudu , Mahoni , Waru Rangkang, dan masih
banyak. Selain berbagai jenis tanaman, di Taman Wisata Study Lingkungan juga
terdapat taman satwa. Ini adalah Taman Wisata yang harus dikunjungi ketika
berada di Probolinggo, bisa dijadikan destinasi pendidikan di Indonesia.5
Permasalahan terbatasnya RTH ini juga terdapat di Madiun, dimana Kota
Madiun, saat ini tergolong minim Ruang Terbuka Hijau (RTH) akibat banyaknya
fasilitas umum yang digunakan kepentingan pribadi. Data Pemerintah Kota
4 http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/03/12/o3xjez382-ruang-terbuka-hijau-di-
malang-makin-kritis, diakses 25 Maret 2017 5 http://www.east-java.com/tourism/probolinggo/city-tour/ina/twsl.html, diakses 25 Maret 2017
5
(Pemkot) Madiun, mencatat, hingga saat ini RTH publik di Kota Madiun masih di
kisaran 13 persen dari total wilayah setempat. Padahal, idealnya harus ada 33
persen RTH di suatu wilayah. Kota Madiun saat ini masih jauh di bawahnya.
Untuk itu, pihak Pemkot Madiun saat ini mulai merencanakan penertiban
wilayahnya guna mendukung pencapaian target RTH sebesar 33 persen tersebut.6
Sedangkan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Blitar akan
mempersiapkan lahan terbuka hijau di wilayah pusat ibu kota Kabupaten Blitar di
Kecamatan Kanigoro. Langkah itu dilakukan untuk memulai pembangunan ruang
terbuka hijau di Kecamatan Kanigoro dengan luas lahan 2,5 hektare. RTH itu
nantinya juga berfungsi sebagai sarana rekreasi, tempat pertemuan dan media
olahraga. Bahkan saat ini BLH Kabupaten Blitar telah merintis pembangunan
RTH dengan menanam tanaman peneduh dan juga tanaman pagar dilokasi yang
telah ditetapkan di Kecamatan Kanigoro dengan luas area mencapai 2,5 hektar.7
Jika dibandingkan dengan Surabaya sekarang punya Ruang Terbuka Hijau
(RTH) seluas 26 persen. Hal itu merupakan komitmen Pemkot Surabaya
merealisasikan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang. UU tersebut
mensyaratkan RTH pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah
kota. RTH terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat.
Proporsi RTH publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari luas wilayah kota.
Selain pembuatan taman, RTH juga bisa berupa pembuatan waduk.8
6 http://www.antarajatim.com/lihat/berita/161347/kota-madiun-minim-ruang-terbuka-hijau,
diakses 25 Maret 2017 7 http://www.bangsaonline.com/berita/11159/pemkab-blitar-siapkan-lahan-hijau-25-hektar-untuk-
dibangun-rth, diakses 25 Maret 2017 8 http://www.enciety.co/surabaya-berbagi-resep-sukses-ruang-terbuka-hijau/, diakses 25 Maret
2017
6
Sedangkan permasalahan di Kota Kediri banyak penyediaan RTH yang
menjadi tempat berdagang para pedagang kaki lima selain itu banyak juga
masyarakat yang kurang perduli dengan keberadaan Ruang Terbuka Hijau.
Padahal ruang terbuka hijau sangatlah penting untuk kelangsungan hidup
manusia. Kota Kediri termasuk salah satu kota yang sedang giat untuk melakukan
pembangunan di segala bidang. Termasuk juga pembenahan tata kota, seperti
yang tercantum dalam perda Kota Kediri Nomor 1 tahun 2012. Pemerintah daerah
dalam peraturan daerah tersebut sendiri telah mencanangkan program tentang tata
ruang di wilayah strategis Kota Kediri. Walaupun demikian sampai saat ini
penyediaan ruang terbuka Hijau di Kota Kediri belum tercapai secara optimal.
Seperti halnya mengenai refungsi eks Lokalisasi Semampir, dimana lahan
tempat hunian ini bakal dialihkan untuk ruang terbuka hijau, taman bermain dan
wisata kuliner. Sementara terkait sumber hukum yang melandasi refungsi
eks lokalisasi Semampir di antaranya, lokalisasi Semampir telah ditutup sejak
1998. Malahan penutupan eks lokalisasi ditetapkan melalui peraturan daerah
(perda). Dasar Perda Kota Kediri tersebut No 26/1998 tentang perubahan kedua
Perda Kota Kediri No 2/1957 tentang pemberantasan pelacuran di Kota Kediri.
Selain itu juga Surat Gubernur Jatim perihal pencegahan dan
pemberantasan prostitusi atau human traficking. Karena di
eks lokalisasi ditengarai masih ada transaksi seks dan human traficking.
Adanya tawar menawar kebijakan RTH di atas lahan seluas 3,6ha tersebut
ini terjadi ketika perwakilan warga RW 05 eks-Lokasisasi Semampir sempat
memberikan masukan dan meminta Pemerintah Kota Kediri untuk meninjau
7
kembali kebijakan agar nantinya masyarakat tetap mendapatkan pendampingan
atas kebijakan itu. Warga sepakat bila protitusi diberantas namun warga
diharapkan mendapatkan pendampingan paska diminta pergi dari lokasi.
Berdasarkan data, sedikitnya 227 bangunan berdiri di atas lahan yang seharusnya
telah habis masa sewanya dan sejauh ini ada sekitar 70 persen yang berpindah
tangan. Pemerintah Kota telah melayangkan surat pemberitahuan kepada para
penghuni untuk segera memugar bangunannya dan mengamankan aset yang
berharga. Pihaknya resmi berikan surat pemberitahuan selama 3 kali kemudian
Pemerintah Kota mendirikan pos pemantau.
Uraian mengenai masalah RTH yang ada di Kota Kediri pada khususnya,
memerlukan penanganan secara struktural melalui berbagai kajian dan kebijakan
mengingat RTH merupakan pengendali ekosistem suatu lingkungan khususnya
bagi daerah yang sedang berkembang, karena RTH sebagai penyeimbang kualitas
lingkungan. Pokok persoalannya adalah apakah pemerintah Kota Kediri melalui
perangkat pemerintahannya telah merealisasikan penyediaan ruang terbuka hijau
sebesar 30% sesuai dengan yang diamanatkan dalam UUPR, menilik dari
perkembangan kota-kota di Indonesia yang notabene terbentuk secara alami,
bukan melalui suatu perencanaan yang matang dan menyeluruh. Kalaupun ada
beberapa kota dan desa yang direncanakan, semacam city planning dalam
perkembangannya tumbuh dan berkembang secara tak terkendali.9
9 Tim Evaluasi Hukum. 2007. Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pengelolaan Kawasan
Perkotaan dan Pedesaan. Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia RI. Hal.1
8
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, menjadi dasar penulis
tertarik untuk meneliti tentang implementasi strategi kebijakan Pemerintah Daerah
dalam menyediakan ruang terbuka Hijau di Kota Kediri.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan dengan uraian latar belakang diatas maka pokok permasalahan
yang dibahas dan dicari jawaban dalam penelitian ini adalah bagaimana
implementasi strategi kebijakan Pemerintah Daerah dalam menyediakan ruang
terbuka Hijau di Kota Kediri?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan implementasi strategi
kebijakan Pemerintah Daerah dalam menyediakan ruang terbuka Hijau di Kota
Kediri.
1.4. Kegunaan Penelitian
1. Bagi Penulis
Memberikan tambahan wawasan bagi penulis mengenai peran Pemerintah
Kota dalam menyediakan ruang terbuka Hijau.
2. Bagi Instansi
Penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi Pemerintah Kota
dalam menyediakan ruang terbuka Hijau, sekaligus sebagai bahan
pertimbangan untuk mengambil suatu keputusan dalam pemecahan masalah
yang sedang dihadapi dalam menyediakan ruang terbuka Hijau.
9
3. Bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Sebagai salah satu sumbangan pemikiran dan informasi dalam melengkapi
dan mengembangkan perbendaharaan ilmu sosial dan sebagai tambahan
wawasan bagi mahasiswa dan pihak-pihak yang membutuhkan.
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang
menjelaskan tentang implementasi strategi kebijakan Pemerintah Daerah dalam
menyediakan ruang terbuka Hijau.
2.1 Teori Implementasi Kebijakan
2.1.1 Konsep Implementasi Kebijakan
Menurut pendapat Webster,1 mengatakan bahwa implementasi kebijakan
merupakan suatu proses pelaksanaan keputusan kebijakan (biasanya dalam bentuk
Undang-Undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif,
atau dekrit presiden). Pada sisi lain, Van Mater dan Van Horn,2 mengatakan
bahwa “ policy implementation encompasses those action by public and private
individuals (and groups) that are directed at the achievement of goals and
objectives set forth in prior policy decisions” makna yang bisa ditangkap dari
pernyataan itu adalah bahwa implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan
yang dilaksanakan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok pemerintah
dan swasta, yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang menjadi
prioritas dalam keputusan kebijakan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan meliputi
semua tindakan yang berlangsung antara pernyataan atau perumusan kebijakan
1 Putra, Fadillah, 2001, Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar Offset,
Yogyakarta. Hal. 21 2 Van Meter, Donald S and Carl, E Van Horn, 1975, The Policy Implementation Proceess A
Conceptual Framework in Administration and Society, Volume, 6 No. 4, Sage, Baverly Hills
11
dan dampak aktualnya. Sedangkan menurut pendapat Bardac,3 mengatakan bahwa
implementasi kebijakan merupakan suatu sistem pengendalian untuk menjaga
agar tidak terjadi penyimpangan dari tujuan kebijakan.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi
kebijakan pada prinsipnya tidak hanya terbatas pada proses pelaksanaan suatu
kebijakan namun juga melingkupi tindakan-tindakan atau perilaku individu-
individu dan kelompok pemerintah dan swasta, serta badan-badan administratif
atau unit birokrasi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dalam
mencapai tujuan, akan tetapi juga mencermati berbagai kekuatan politik, sosial,
ekonomi yang mempunyai pengaruh terhadap sasaran yang ingin dicapai. Dengan
demikian, implementasi kebijakan dimaksudkan untuk memahami apa yang
terjadi setelah suatu program dirumuskan, serta apa dampak yang timbul dari
program kebijakan itu. Disamping itu, implementasi kebijakan tidak hanya terkait
dengan persoalan administratif, melainkan juga mengkaji faktor-faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan tersebut.
2.1.2 Pendekatan Implementasi Kebijakan
Berangkat dari beberapa konsep implementasi yang telah dijelaskan diatas,
maka kajian implementasi merupakan suatu proses mengubah gagasan atau
program menjadi tindakan dan bagaimana kemungkinan cara menjalankan
perubahan tersebut agar bisa mencapai sasaran. Untuk menganalisis bagaimana
proses implementasi kebijakan Pemerintah Daerah dalam menyediakan ruang
terbuka Hijau di Kota Kediri bisa berlangsung secara efektif, penulis
3 Bardac, Eugene, 1977, The Implementation Game : Massacchussetts, The Mit Press
12
menggunakan model implementasi top down dan bottom up Mazmanian dan
Sabatier, yang masing-masing model memiliki karakter kelebihan dan kelemahan.
a. Pendekatan top down
Menurut pendapat Sabatier, mengatakan bahwa kelebihan yang dimiliki
oleh model pendekatan top down ini adalah:4
1) Pemahaman akan dapat diperoleh, baik mengenai berapa besar
pengaruh dari cara kerjanya instrumen-instrumen legal seperti
undang-undang dan peraturan pemerintah yang legal lainnya. Pada
pendekatan ini memfokuskan perhatian kepada pendukung program
yang dianggap sebagai aktor kunci dalam implementasi kebijakan.
2) Dapat memberi bantuan dalam melakukan penilaian terhadap
efektivitas pelaksanaan kebijakan. Tujuan utama pendekatan ini
adalah untuk mengetahui pencapaian tujuan-tujuan kebijakan yang
telah ditentukan secara legal.
3) Dapat mengungkapkan kelemahan-kelemahan program yang
dilaksanakan sehingga aktor yang terlibat dapat menciptakan strategi
baru pada saat implementasi kebijakan masih berlangsung.
Sementara itu beberapa kelemahan yang juga dimiliki oleh model top
down ini sebagaimana menurut pendapat Sabatier adalah sebagai
berikut:5
4 Sabatier, Paul and Daniel, Mazmanian, 1986, Top Down and Bottom Up Approach to
Implementation Research, in Journal of Public Policy 5 Ibid
13
1) Metode yang menggiring para pengikutnya mengasumsikan para
decisionmaker adalah aktor utama, sedangkan lainnya dianggap
sebagai penghalang dalam implementasi kebijakan.
2) Penerapan pada lembaga pemerintah yang terlalu banyak akan
mengalami kesulitan, begitu juga terhadap aktor-aktor lain yang
terlibat dalam proses implementasi kebijakan.
3) Strategi yang digunakan oleh kelompok-kelompok bawah dan
kelompok sasaran kurang menjadi perhatian.
b. Pendekatan bottom up
Selain pendekatan model top down, dikembangkan pula pendekatan model
bottom up yang lebih lanjut menurut pendapat Sabatier mengatakan bahwa
analisis yang digunakan pada model bottom up dengan cara
mengidentifikasikan jaringan aktor-aktor yang terlibat dalam satu atau
lebih dari wilayah lokal dan mempertanyakan tujuan-tujuan dan hubungan
diantara mereka yang terlibat didalam perencanaan, pembiayaan dan
pelaksanaan program pemerintah disamping memfokuskan persoalan pada
interaksi yang terjadi diantara berbagai aktor dalam jaringan kebijakan.
Adapun kelebihan dari pendekatan model bottom up ini, sebagaimana
menurut pendapat Sabatier adalah sebagai berikut:6
1) Akan memperoleh pemahaman yang jelas tentang proses interaksi
antara aktor yang terlibat dalam tahap implementasi kebijakan.
6 Ibid
14
2) Mempermudah dalam meralivisir pentingnya program pemerintah
dalam memecah masalah.
3) Dapat memperlihatkan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan dari
program-program pemerintah.
Sementara itu beberapa kelemahan yang juga dimiliki oleh model bottom
up ini, sebagaimana menurut pendapat Sabatier adalah sebagai berikut :
1) Fokus perhatiannya pada tujuan-tujuan para aktor, sehingga mudah
terjebak untuk mengabaikan pengaruh pusat yang mempengaruhi
struktur kelembagaan dimana aktor tersebut beroperasi.
2) Melihat sumber daya para aktor sebagai suatu keputusan kebijakan
tanpa adanya upaya penyelidikan tersebut beroperasi.
3) Keterlibatan para aktor sebagai suatu keputusan kebijakan tanpa disertai
penjelasan mengenai upaya-upaya sebelumnya yang dilakukan.
4) Tidak mampu menciptakan bangunan teori secara eksplisit didalam
menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kepentingan subyektif
para aktor.
Berdasarkan gambaran beberapa faktor kelebihan dan kelemahan dari
model pendekatan top down dan bottom up tersebut, maka lebih lanjut menurut
pendapat Sabatier memberikan pertimbangan bahwa pendekatan bottom up tidak
perlu digunakan untuk mempertimbangkan keterlibatan banyak aktor dalam
implementasi kebijakan begitu juga terhadap analisis untuk mengetahui efektifitas
program, disamping model pendekatan bottom up juga diperuntukkan bagi
pemerintah yang memiliki dana dan waktu yang cukup banyak. Sementara model
15
pendekatan top down lebih tepat digunakan terhadap kasus dimana pemerintah
bertindak sebagai agen yang dominan dengan analisis kepentingan untuk
mengetahui efektiftas program, disamping dapat dipergunakan oleh pemerintah
yang memiliki dana dan waktu terbatas.
Berdasarkan beberapa konsep implementasi kebijakan di atas, maka
kebijakan Pemerintah Daerah dalam menyediakan ruang terbuka Hijau di Kota
Kediri perlu dilaksanakan dengan baik oleh pelaksana kebijakan agar dapat
mencapai tujuan kebijakan tersebut. Aspek pelaksanaan mulai tahap perencanaan,
implementasi sampai pada tahap evaluasi program, sangat penting untuk
diperhatikan. Bila terjadi belum optimalnya hasil yang diharapkan setelah
kebijakan dalam menyediakan ruang terbuka Hijau di Kota Kediri di
implementasikan. Ini berarti kebijakan dalam menyediakan ruang terbuka Hijau
belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik.
Selanjutnya rangkaian proses implementasi kebijakan menurut Sabatier dan
Mazmanian akan terlihat dalam skema berikut:7
Skema 1
Tahap-tahap dalam implementasi kebijakan.
Sumber: Solichin Abd W, 1990, Pengantar Analisis Kebijakan Negara, Rineka Cipta, Jakarta
7 Abdul Wahab, Solichin. 2001, Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi
Kebijakan Negara, PT. Bumi Aksara. Jakarta. Hal. 15
Dampak
output
kebijakan
sebagai
dipersepsi
Dampak
nyata
output
kebijakan
Perbaikan
mendasar
dalam
peraturan
Kesediaan
kelompok
sasaran
mematuhi
output
kebijakan.
Out put
kebijakan
Badan
pelaksana
16
Apabila skema di atas dikaitkan dengan kebijakan rencana pembangunan
tanggul, maka proses implementasi kebijakan di mulai dari output kebijakan
pemerintah berupa undang-undang tentang RTH, kemudian menuju kepada
ketersediaan lahan dan dukungan sosial untuk mematuhi ketentuan sesuai dengan
perundang-undangan tersebut. Setelah itu menghasilkan dampak nyata output
kebijakan berupa ketersediaan sarana prasarana bagi masyarakat. Hasil yang
sudah dicapai tersebut dibandingkan dengan hasil yang dipersepsikan, sehingga
dapat dilakukan penilaian terhadap keberhasilan tujuan kebijakan.
Sementara itu Menurut Grindle proses implementasi kebijaksanaan hanya
dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula bersifat
umum telah diperinci, program-program aksi telah dirancang dan sejumlah
dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan tugas-tugas dan sasaran
tersebut.8 Kebijakan publik dalam realisasinya perlu dianalisa secara cermat agar
diketahui sampai berapa jauh memberikan manfaat bagi publik.
Pengertian Analisis Publik menurut Willian Dunn adalah “Disiplin ilmu
sosial terapan yang menggunakan berbagai pengkajian multiple dalam konteks
argumentasi dan debat politik untuk menciptakan, secara kritis menilai dan
mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan”.9 Berhasil
tidaknya suatu kebijakan dapat diketahui melalui evaluasi kebijakan dengan yang
memiliki fungsi menurut William Dunn sebagai berikut:
8 Abd Wahab, Solichin, 1990, Pengantar Analisis Kebijakan Negara, Rineka Cipta, Jakarta. Hal.
16 9 Dunn, N. William, 2000, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, dalam Muhadjir Darwin
(Penyunting), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hal. 65
17
1. Memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja
kebijakan yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat
dicapai melalui tindakan publik.
2. Memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang
mendasari pemikiran tujuan dan target.
3. Memberi sumbangan pada aplikasi dan metode analisis kebijakan lainnya,
temasuk perumusan masalah dan rekomendasi.
Keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan untuk mencapai tujuan dan
sasaran yang telah ditetapkan, merupakan ukuran dalam penilaian kebijakan
tersebut. Namun kebijakan publik apapun sebenarnya mengandung resiko untuk
gagal. Hogwood dan Gunn telah membagi pengertian kegagalan kebijakan (policy
failure) ini dalam 2 kategori, yaitu non implementation (tidak terimplementasikan)
dan unsuccesfull implementation (implementasi yang tak berhasil).10
Kegagalan kebijakan publik menurut Andrew Dunsire, dinamakan sebagai
implementation gap, yaitu suatu istilah yang dimaksudkannya untuk menjelaskan
suatu keadaan dimana dalam proses kebijakan selalu terbuka kemungkinan
terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan dengan
apa yang senyatanya dicapai. Besar kecilnya perbedaan tersebut tergantung pada
apa yang disebut oleh Walter Williams sebagai implementation capacity dari aktor
untuk melaksanakan keputusan kebijakan sedemikian rupa sehingga ada jaminan
bahwa tujuan yang telah ditetapkan (dalam dokumen formal) dapat dicapai.11
10
Abdul Wahab, Solichin, 2001, Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi
Kebijakan Negara, PT. Bumi Aksara, Jakarta. Hal. 18 11
Ibid
18
Keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan untuk mencapai tujuan sasaran
merupakan ukuran dalam penilaian kebijakan. Pengukuran dimaksud sebagaimana
pendapat Van Meter dan Van Horn adalah bahwa: Suatu kebijakan tentulah
menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana
kebijakan, kegiatan kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat
ketercapaian standar dari sasaran tersebut.12
Menurut Martin dan Kettner, bahwa ukuran pelaksanaan kebijakan
mengkombinasikan tiga perspektif pertanggungjawaban yaitu:13
(1) perspektif
efisiensi (efficiency perspective), (2) Perspektif kualitas (quality perspective), (3)
Perspektif efektifitas (effectiveness perspective). Dari ketiga perspektif tersebut
menunjukkan perbedaan konsep program pertanggungjawaban pelaksanaan
kebijakan, serta penekanan pada perbedaan feedbacknya. Selanjutnya rangkaian
perspektif menurut Martin dan Kettner seperti skema berikut.
Skema 3
Measuring Performance of Human Service
Effectiveness Perspektif
Sumber: Martin dan Kettner (1996)
12
Van Meter, Donald S and Carl, E Van Horn, 1975, The Policy Implementation Proceess A
Conceptual Framework in Administration and Society, Volume, 6 No. 4, Sage, Baverly Hills 13
Martin, Lawrence L dan Kettner, M Peter, 1996, Measuring The Peformance of Human Service
Programs, International Educational and Professional Publisher Thousand Oaks, London New
Delhi, California
Human Service
Program Output
Quality Perpective
Quality
output
Outcomes Input
Efficiency perspectif
19
Dari gambar tersebut Martin dan Kettner menjelaskan bahwa palaksanaan
kebijakan tersebut adalah sebagai berikut:14
1. Output (hasil kerja kebijakan) untuk mengukur efisiensi kebijakan,
apakah hasil yang dicapai sesuai dengan biaya (cost) yang dikeluarkan.
2. Quality output (mengukur kualitas kebijakan) apakah kualitas yang
dilakukan dalam program ini memuaskan kelompok sasaran.
3. Outcomes (dampak kebijakan) yaitu dampak jangka panjang pelaksanaan
suatu kebijakan. Sedangkan efektifitas merupakan policy action yang
diambil atau ditempuh, mampu mencapai policy goal yang diinginkan
karena setiap kebijakan mempunyai tujuan.
Sebagai indikator dari ketiga palaksanaan kebijakan tersebut (output,
quality output dan outcomes) memiliki perbedaan antara satu sama lainnya. Lebih
lanjut Martin dan Kettner menyatakan bahwa pelaksanaan kebijakan terdiri atas
policy goal, policy outcomes dan policy performance (policy output + policy
goals). Apabila policy outcomes jauh dibawah policy goal, maka policy
performancenya rendah. Akan tetapi bila policy outcomes jauh lebih tinggi dari
policy goals, maka policy performance (pelaksanaan kebijakan) tinggi.
Secara lebih rinci dapat dikemukakan bahwa di dalam perpektif policy
outcomes itu sendiri terdiri atas : (1) economic benefit, (2) subject well being, (3)
equity, dan (4) integration social. Keempat perspektif indikator pengukuran
tersebut perlu diperhatikan di dalam kebijakan publik. Namun bukan berarti
14
Ibid
20
keempat perspektif tersebut diukur atau digunakan secara bersamaan, akan tetapi
dipilih sesuai dengan tingkat kebutuhan dalam penelitian.15
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
Dalam menganalisis implementasi strategi kebijakan Pemerintah Daerah
dalam menyediakan ruang terbuka Hijau di Kota Kediri, maka seperti diketahui,
keberhasilan program dapat dikaji dari dua perspektif yang berbeda, yaitu dari
sudut proses (implementasi) dan hasil (outcomes). Perspektif yang pertama
menekankan pada konsistensi antara pelaksanaan program dan kebijakan dengan
policy guidelines. Menurut perspektif ini, suatu program pemerintah dikatakan
berhasil kalau pelaksanaan program itu sesuai dengan policy guidelines yang telah
ditentukan. Dari tinjauan outcomes, suatu program dapat dinilai berhasil kalau
program itu menghasilkan dampak seperti yang diinginkan.16
Bila dihubungkan dengan penulisan skripsi ini, maka faktor-faktor
penyebab yang dapat di treatment melalui suatu kebijakan (actionable causes)
adalah merupakan variabel terpengaruh (dependent variable), dalam hal ini yang
di maksudkan adalah proses implementasi kebijakan Pemerintah Daerah dalam
menyediakan ruang terbuka Hijau, dimana terhadap faktor ini akan dilihat dalam
pelaksanaannya yang disesuaikan dengan perundang-undangan yang ditetapkan,
sehingga di dalam implementasinya akan terlihat tahapan proses yang
dilaksanakan menuju sasaran dan manfaaat program kebijakan yang dicapai.
15
Ibid 16
Dwiyanto, Agus, 1999, Evaluasi Program dan Kebijaksanaan Pemerintah, Pelatihan dan
Teknik Manajemen Kebijakan Publik, Angkatan II, UGM, Yogyakarta. Hal. 52
21
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan Pemerintah
Daerah dalam menyediakan ruang terbuka Hijau adalah faktor bebas
(independent variable) diperoleh dari model yang dikembangkan oleh Sabatier
dan Masmanian yang mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi
pencapaian tujuan-tujuan formal dari keseluruhan proses implementasi kebijakan
yaitu:17
(1) Karakteristik masalah seperti ketersediaan teknologi dan teori teknis,
keragaman perilaku kelompok sasaran, prosentase kelompok sasaran
dibanding jumlah penduduk, ruang perilaku yang diinginkan,
(2) Kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi, seperti
kejelasan dan konsistensi tujuan, teori kausal yang memadai, sumber
keuangan yang mencukupi, integrasi organisasi pelaksana, diskresi
pelaksana, rekruitmen pejabat pelaksana, akses formal pihak luar,
(3) Faktor-faktor yang diluar peraturan seperti kondisi sosial ekonomi,
dukungan publik, sikap dan sumber daya, dukungan kewenangan,
komitmen dan kemampuan pejabat pelaksana.
Dari berbagai indikator yang termasuk di dalam variabel tersebut, maka
berdasarkan pertimbangan kondisi di lapangan, dirangkaikan ke dalam beberapa
variabel yang dinilai paling mendekati untuk menjelaskan permasalahan proses
implementasi kebijakan. Dalam konstelasi faktor yang dominan mempengaruhi
proses implementasi kebijakan tersebut adalah faktor isi kebijakan dalam konteks
kebijakan seperti tersedianya sumber daya, karakteristik pelaksana kebijakan,
17
Abdul Wahab, Solichin, 2001, Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi
Kebijakan Negara, PT. Bumi Aksara, Jakarta. Hal. 20
22
karakteristik administrasi dan organisasi, serta aspek waktu seperti service
delivery dan complience, disamping peristiwa atau kejadian tertentu pada saat
implementasi kebijakan mempengaruhi asumsi kontinuitas, baik karakteristik
kegiatan kebijakan, administrasi dan pelaksana dalam menjalankan tujuan dari
kebijakan sebagai mandat yang harus dipertanggungjawabkan. Dalam kaitan itu
terhadap kelima variabel tersebut dapat diasumsikan sebagai faktor yang sangat
potensial berpengaruh dalam pencapaian keberhasilan implementasi kebijakan di
lapangan.
Setiap program pada hakekatnya membutuhkan pelaksana-pelaksana yang
memiliki hasrat kuat untuk mengembangkan aturan-aturan dan prosedur-prosedur
pelaksanaan pekerjaan yang baru serta mau bekerja keras untuk
memberlakukannya jika menghadapi penolakan dari kelompok-kelompok sasaran
dan pejabat-pejabat pemerintah yang enggan melaksanakan perubahan.18
Pada prinsipnya ada beberapa cara yang dapat ditempuh oleh pembuat
undang-undang/peraturan untuk menjamin bahwa para pejabat pelaksana
memiliki kesepakatan yang disyaratkan demi tercapainya tujuan. Pertama;
tanggung jawab untuk implementasi dapat ditugaskan pada badan-badan yang
orientasi kebijaksanaannya sejalan dengan undang-undang dan bersedia
menempatkan program baru itu pada prioritas utama. Prosedur seperti ini
kebanyakan dilaksanakan jika suatu badan baru dibentuk secara khusus untuk
melaksanakan undang-undang, dengan maksud agar program itu menjadi prioritas
utamanya dan penciptaan prioritas pos-pos baru itu akan membuka pintu bagi
18
Ibid
23
pendukung-pendukung undang-undang tersebut. Kedua; implementasi dapat pula
ditugaskan pada badan yang sudah ada yang memandang tugas baru itu sejalan
dengan orientasi yang selama ini dimilikinya dan kini sedang mencari program-
program baru.
Penerapan kebijakan akan dapat berhasil dengan baik apabila dilaksanakan
secara efektif, maka dari itu para pelaksana tidak saja terlebih dahulu harus
mengetahui kemampuan untuk menerapkannya, tetapi juga harus mempunyai
kombinasi yang kuat untuk menjalankan kebijakan tersebut dengan rasa penuh
tanggung jawab. Dalam kaitan itu hal-hal yang menyangkut dengan komitmen
akan semakin jelas bila melihat batasan yang dikemukan oleh Salusu yang
mengatakan bahwa komitmen itu antara lain berkaitan dengan penyusunan
struktur organisasi yang sesuai dengan sasaran yang dikehendaki, pendelegasian
wewenang, pengambilan keputusan dan perhatian kepada kultur organisasi.19
Sedangkan menurut Wernham mengatakan bahwa komitmen menyangkut
keyakinan dan antusiasme yang harus ditampakkan oleh para karyawan dengan
menggambarkan siapa melaksanakan apa, bagaimana dan kapan pekerjaan itu
diselesaikan.20
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komitmen dari para pelaksana
suatu kebijakan sangat menentukan berhasil tidaknya dalam
mengimplementasikan kebijakan tersebut. Oleh karena itu para pelaksana
kebijakan dituntut secara profesional untuk memiliki komitmen terhadap program
kebijakan yang dia terima sebagai mandat dari visi dan misi organisasi yang
19
Salusu J, 1998, Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi
Nonprofit, PT. Grasindo, Jakarta. Hal. 44 20
Ibid
24
bersangkutan. Lebih jauh Thompson dan Stricland, mengatakan bahwa kunci
sukses implementasi kebijakan adalah dapat menyatukan organisasi secara total
untuk mendukung dan melihat apakah setiap tugas administratif dan aktifitas
dilakukan menurut cara yang memadukan secara tepat semua persyaratan,
sehingga pelaksanaan dari implementasi kebijakan itu dapat dinikmati.21
Ini
mengandung tuntutan akan adanya komitmen, maka hanya dengan komitmen dari
semua jajaran pimpinan dan para pelaksana, keinginan itu dapat direalisasikan.
2.2 Konseptualiasi
2.2.1 Ruang Terbuka Hijau
Secara umum ruang terbuka public (open space) diperkotaan terdiri
dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau.22
Ruang terbuka
merupakan komponen berwawasan lingkungan, yang mempunyai arti sebagai
suatu lansekap, hardscape, taman atau ruang rekreasi dalam lingkup urban.
Peran dan fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) ditetapkan dalam Instruksi
Mendagri no. 4 tahun 1988, yang menyatakan "Ruang terbuka hijau yang
populasinya didominasi oleh penghijauan baik secara alamiah atau budidaya
tanaman, dalam pemanfataan danfungsinya adalah sebagai areal
berlangsungnya fungsi ekologis dan penyangga kehidupan perkotaan.23
Menurut SNI Badan Standardisasi Nasional tentang Tata Cara
Perencanaan Lingkungan Perumahan di perkotaan Ruang terbuka adalah
wadah yang dapat menampung kegiatan tertentu dari warga lingkungan baik
21
Thompson, Artur A Jr and Stricland III. AJ, 1992, Strategic Management Concept and Causes,
Boston : Irwin. Hal. 54 22
Direktorat Jendral Departemen PU Tahun 2006, Ruang Terbuka Hijau, Hal. 2 23
SNI 2004. Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan Di Perkotaan, , Hal. 35
25
secara individu atau kelompok. Menurut SNI Tata Cara Perencanaan
Lingkungan Perumahan Di Perkotaan, 2004 Ruang terbuka merupakan
komponen berwawasan lingkungan, yang mempunyai arti sebagai suatu
lansekap, hardscape, taman atau ruang rekreasi dalam lingkup urban.24
Peran dan fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) ditetapkan dalam
Instruksi Mendagri no. 4 tahun 1988, yang menyatakan "Ruang terbuka hijau
(RTH) adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik
dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur
dimana didalam penggunaannya lebih bersifat terbuka pada dasarnya tanpa
bangunan.25
Sedangkan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah total area
atau kawasan yang tertutupi hijau tanaman dalam satu satuan luas tertentu
baik yang tumbuh secara alami maupun yang dibudidayakan.26
Ruang Terbuka dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved)
maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau
maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai kawasan genangan (retention
basin). Ruang terbuka adalah ruang yang bisa diakses oleh masyarakat baik
secara langsung dalam kurun waktu terbatas maupun secara tidak langsung
dalam kurun waktu tidak tertentu. Ruang terbuka berfungsi sebagai ventilasi
kota, dapat berupa jalan, trotoar, ruang terbuka hijau, dan sebagainya. Ruang
terbuka juga dapat diartikan sebagai ruang interaksi seperti kebun binatang,
taman rekreasi. Dilihat dari sifatnya, ruang terbuka dapat dibedakan menjadi:
24
Ibid, Hal. 34 25
Instruksi Mendagri Nomor 4 Tahun 1988, Hal. 3 26
Ibid, Hal. 10
26
a. Ruang terbuka privat, memiliki batas waktu tertentu untuk mengaksesnya
dan kepemilikannya bersifat pribadi seperti, halaman rumah tinggal
b. Ruang terbuka semi privat, kepemilikannya pribadi tetapi dapat diakses
langsung oleh masyarakat
c. Ruang terbuka umum, kepemilikannya oleh pemerintah dan bias diakses
langsung oleh masyarakat tanpa batas seperi, alun-alun, trotoar.27
Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai infrastruktur hijau perkotaan
adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan
yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna
mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh
RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan
keindahan wilayah perkotaan tersebut. Sedangkan secara fisik RTH dapat
dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami, kawasan
lindung dan taman-taman nasional, maupun RTH non-alami atau binaan yang
seperti taman, lapangan olah raga dan kebun bunga.28
Berdasarkan peraturan menteri dalam negeri nomor 1 tahun 2007
pada bab 1 pasal 1 ayat 2 yang menyatakan bahwa Ruang Terbuka Hijau
Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP adalah bagian dari
ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman
guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika.
Kawasan Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
27
Bappeda Kota Kediri, Rencana Aksi Ruang Terbuka Hijau, Tahun 2009, Hal. 2 28
Direktorat Jendral Departemen PU, Tahun 2006. Hal. 2-3
27
perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan
sosial dan kegiatan ekonomi.29
Ruang Terbuka Hijau (RTH) dapat berfungsi secara ekologis,
social/budaya, arsitektural, dan ekonomi.
1. Ekologis
RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi
polusi udara, dan menurunkan temperature kota. Bentuk-bentuk RTH
perkotaan secara ekologis antara lain :
a. Sabuk hijau kota
b. Hutan kota
c. Taman botani
d. Sempadan sungai
2. Sosial/budaya
RTH sebagai ruang interaksi social, sarana rekreasi, dan sebagai tetenger
kota yang berbudaya. Bentuk RTH perkotaan secara sosial/budaya:
a. Taman-taman kota
b. Lapangan olah raga
c. Kebun raya
d. PU
3. Arsitektural
29
Peraturan Mendagri No 1 Tahun 2007. Hal. 9
28
RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui
keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga dan jalur-jalur hijau di
jalan-jalan kota.
4. Ekonomi
RTH dapat berfungsi secara langsung seperti penghusahaan lahan-lahan
kosong menjadi lahan pertanian/perkebunan dan pengembangan sarana
wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan.
2.2.2 Peran RTH dalam penataan Ruang Perkotaan
Secara umum penataan ruang ditujukan untuk menghasilkan suatu
perencanaan tata ruang yang kita inginkan dimasa yang akan datang. Rencana
tersebut lalu diwujudkan dalam bentuk pemanfaatan ruang yang sesuai dengan
rencana yang ditetapkan. Pada dasarnya perencanaan tata ruang perkotaan
seyogyanya dimulai dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan yang secara
alami harus diselamatkan (kawasan lindung) untuk menjamin kelestarian
fungsi lingkungan, dan kawasan-kawasan yang secara alami rentan terhadap
bencana (prone to natural hazards) seperti gempa, longsor, banjir maupun
bencana alam lainnya. Dengan demikian perencanaan tata ruang di perkotaan
seyogyanya harus dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan social
untuk mewadai aktifitas masyarakat, serta kepentingan-kepentingan
lingkungan untuk menjamin keberlanjutan.
Agar keberadaan RTH di perkotaan dapat berfungsi secara efektif
baik secara ekologis maupun secara planologis, perkembangan RTH tersebut
sebaiknya dilakukan secara hierarki dan terpadu dengan system struktur ruang
29
yang ada di perkotaan. Dengan demikian keberadaan RTH bukan sekedar
menjadi elemen pelengkap dalam perencanaan suatu kota semata, melainkan
lebih merupakan sebagai pembentuk struktur ruang kota, sehingga kita dapat
mengidentifikasi hierarki struktur ruang kota melalui keberadaan komponen
pembentuk RTH yang ada.30
Menurut Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 2008 Tujuan dari
penyelenggaraan Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah :
a. Menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air
b. Menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara
lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk
kepentingan masyarakat.
c. Meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana
pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, indah, dan bersih.
Ada dua fungsi Ruang Terbuka Hijau pada kawasan perkotaan yaitu
antara lain :
1. Fungsi utama (intrinsik) yaitu sebagai :
- Memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi
udara (paru-paru kota).
- Pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami
dapat berlangsung lancer
- Sebagai peneduh
30
Direktorat Jendral Departemen PU Tahun 2006, Ruang Terbuka Hijau Sebagai Unsur Utama
Tata Ruang Kota. Hal. 6
30
- Produsen oksigen
- Penyerap air hujan
- Penyedia habitat satwa
- Penyerap polutan media udara, air dan tanah, serta
- Penahan angin.
2. Fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu:
a. Fungsi sosial dan budaya:
- Menggambarkan ekspresi budaya lokal
- Merupakan media komunikasi warga kota
- Tempat rekreasi
- Wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam
mempelajari alam.
b. Fungsi ekonomi:
- Sumber produk yang bisa dijual, seperti tanaman bunga, buah, daun,
sayur mayur;
- Bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan
lain-lain.
c. Fungsi estetika:
- Meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari
skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukimam, maupun makro:
lansekap kota secara keseluruhan;
- Menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota;
- Pembentuk faktor keindahan arsitektural;
31
- Menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan
tidak terbangun.
Dalam suatu wilayah perkotaan, empat fungsi utama ini dapat
dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan
kota seperti perlindungan tata air, keseimbangan ekologi dan konservasi
hayati.31
2.2.3 Manfaat Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kawasan Perkotaan
Ada dua manfaat Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada kawasan
perkotaan yaitu:
1. Manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible), yaitu
membentuk keindahan dan kenyamanan (teduh, segar, sejuk) dan
mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga, buah).
2. Manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible), yaitu
pembersih udara yang sangat efektif, pemeliharaan akan kelangsungan
persediaan air tanah, pelestarian fungsi lingkungan beserta segala isi flora
dan fauna yang ada (konservasi hayati atau keanekaragaman hayati).32
Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami berupa
habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional serta RTH non
alami atau binaan seperti taman, lapangan olahraga, pemakaman atau jalur-
jaur hijau jalan. Dilihat dari fungsi RTH dapat berfungsi ekologis, sosial
budaya, estetika, dan ekonomi. Secara struktur ruang, RTH dapat mengikuti
31
Peraturan Menteri No. 5 Tahun 2008. Hal. 5-6 32
Peraturan Menteri No. 5 Tahun 2008. Hal. 6
32
pola ekologis (mengelompok, memanjang, tersebar), maupun pola planologis
yang mengikuti hirarki dan struktur ruang perkotaan.33
Jenis-jenis Ruang Terbuka Hijau menurut Edi Purwanto Ruang
terbuka hijau berdasarkan tipenya dibedakan menjadi:
1. Ruang Terbuka Hijau Lindung (RTHL)
Ruang terbuka hijau lindung adalah ruang atau kawasan yang lebih luas,
baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana
penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, di dominasi oleh tanaman
yang tumbuh secara alami atau tanaman budi daya.Kawasan hijau lindung
terdiridari cagar alam di daratan dankepulauan, hutan lindung, hutanwisata,
daerah pertanian, persawahan,hutan bakau, dan sebagainya.
2. Ruang Terbuka Hijau Binaan (RTHB)
Ruang terbuka hijau binaan adalah ruang atau kawasan yang lebih luas,
baik dalam bentuk arealmemanjang/jalur atau mengelompok, dimana
penggunaannya lebih bersifat terbuka/umum, dengan permukaan tanah di
dominasi oleh perkerasan buatan dan sebagian kecil tanaman.Kawasan/
ruang hijau terbuka binaan sebagai upaya menciptakan keseimbangan
antara ruang terbangun dan ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai
paru-paru kota, peresapan air,pencegahan polusi udara dan perlindungan
terhadap flora seperti koridor jalan, koridor sungai, taman, fasilitas olah
raga, play ground.
33
Peraturan Menteri Tahun 2008. Hal. 17
33
3. Koridor Hijau Jalan
Koridor hijau jalan yang berada di kanan kiri jalan dengan pepohonan di
dalamnya akan memberikan kesan asri bagi jalan tersebut dan memberikan
kesan teduh.Koridor hijau jalan dengan pepohonanakan memberikan
kesejukan bagi pengguna jalan, dengan penggunaan pepohonan pada
koridor jalandiharapkan dapat mengurangi polusi udara, memberi kesan
asri, serta dapatmenyerap air hujan (resapan air).
4. Koridor Hijau Sungai
Koridor Hijau sungai yang berada di sepanjang bantaran sungai yang
berupa tanaman akan memberikan fungsi yang beraneka ragam, antara lain
pencegah erosidaerah sekitar, penyerapan ait hujan lebih banyak. Dengan
penanaman pohon-pohon yang mempunyai banyak akar diharapkan akar-
akar tersebut akan mengikat tanah-tanah di sekitar sungai tersebut, tanaman
yang dapat mecegah erosi dengan akarnya seperti bambu, tanaman yang
rapat, penanaman poho secara rapat. Koridor sungai juga berfungsi
menjaga kelestarian sumber air, sebagai batas antara sungai dengan daerah
sekelilingnya. Koridor sungai dapat memberikan keindahan visual dengan
penataan yang sesuai dan pemanfaatan tumbuh-tumbuhan yang ada serta
penambahan tumbuh-tumbuhan berwarna-warni.
5. Taman
Taman adalah wajah dan karakter lahan atau tapak dari bagian muka bumi
dengan segala kehidupan dan apa saja yang ada didalamnya, baik yang
bersifat alami maupun buatan manusia yang merupakan bagian atau total
34
lingkungan hidup manusia beserta mahluk hidup lainnya, sejauh mata
memandang sejauh segenap indra kita dapat menangkap dan sejauh
imajinasi kita dapatmembayangkan.34
Jenis-jenis ruang terbuka menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan
Perkotaan bab III pasal 6: 25 bersifat alami maupun buatan manusia yang
merupakanbagian atau total lingkungan hidup manusia beserta mahluk hidup
lainnya, sejauh mata memandang sejauh segenap indra kita dapat menangkap
dan sejauh imajinasi kita dapat membayangkan.
Jenis-jenis ruang terbuka menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan
Perkotaan bab III pasal 6 :
- Taman kota
- Taman wisata alam
- Taman rekreasi
- Taman lingkungan perumahan dan permukiman
- Taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial
- Taman hutan raya
- Hutan kota.
- Hutan lindung
- Bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah
- Cagar alam
- Kebun raya
- Kebun binatang
- Pemakaman umum
- Lapangan olah raga
- Lapangan upacara
- Parkir terbuka
- Lahan pertanian perkotaan
- Jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET)
34
Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman, Tahun 2007, Ruang Terbuka hijau di
Perumahan Graha Estetika Semarang. Hal.49
35
- Sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa
- Jalur pengguna
- Jalan, median jalan, rel kereta, pipa gas dan pedestrian
- Kawasan dan jalur hijau
- Daerah penyangga (buffer zone)
- Lapangan udara
- Taman atap (roof garden).35
2.2.4 Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kawasan Perkotaan
1. Penyediaan RTH Berdasarkan Luas Wilayah di perkotaan adalah sebagai
berikut:
a. Ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH privat
b. Proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang
terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang
terbuka hijau privat
c. Apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan
telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang
berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan.
Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin
keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan
keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat
meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta
sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Target luas sebesar 30%
dari luas wilayah kota dapat dicapai secara bertahap melalui pengalokasian
35
Peraturan Menteri No. 1 Tahun 2007, Penataan RTH Kawasan Perkotaan. Hal. 5
36
lahan perkotaan secara tipikal sebagaimana ditunjukkan pada bagan dibawah
ini.36
Menurut Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 2008 Ruang Terbuka
Hijau (RTH) Kawasan Perkotaan adalah sebagai berikut:
1. Ruang Kota terdiri dari ruang terbangun dan ruang terbuka. Ruang
terbangun terdiri dari hunian adalah 40% dengan KDB adalah 80% dan
non hunian adalah 20% dengan KDB 90%. Ruang Terbuka HIjau (RTH)
untuk hunian adalah 8% dan RTH non hunian 2% sehingga RTH privat
adalah 10%. Untuk ruang terbuka terdiri dari taman adalah 12,5% dengan
KDB 0%, jalan adalah 20% dan lainnya 7,5% dengan KDB adalah 80%.
Ruang terbuka hijau untuk taman 12,5%, untuk jalan adalah 6% dan ruang
terbuka hijau untuk lainnya 1,5% sehingga Ruang terbuka hijau public
adalah 20%.Maka standard Ruang Terbuka Hijau (RTH) kawasan
perkotaan adalah 30% .
2. Penyediaan RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu
Fungsi RTH pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau pengamanan,
sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam,
pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan
agar fungsi utamanya tidak teganggu.RTH kategori ini meliputi: jalur hijau
sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi, RTH
36
Peraturan Menteri No. 5 Tahun 2008. Hal. 9
37
kawasan perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH
sempadan pantai, dan RTH pengamanan sumber air baku/mata air.37
3. Penyediaan RTH Berdasarkan jumlah penduduk
Untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan
dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar
luas RTH per kapita sesuai peraturan yang berlaku
4. RTH Taman Kota
RTH Taman kota adalah taman yang ditujukan untuk melayani
penduduksatu kota atau bagian wilayah kota. Taman ini melayani minimal
480.000penduduk dengan standar minimal 0,3 m2. per penduduk kota,
dengan luastaman minimal 144.000 m2. Taman ini dapat berbentuk sebagai
RTH (lapangan hijau), yang dilengkapi dengan fasilitas rekreasi dan olah
raga, dan kompleks olah raga dengan minimal RTH 80% - 90%. Semua
fasilitastersebut terbuka untuk umum.
Jenis vegetasi yang dipilih berupa pohon tahunan, perdu, dan semak
ditanam secara berkelompok atau menyebar berfungsi sebagai pohon pencipta
iklim mikro atau sebagai pembatas antar kegiatan.38
37
Ibid. Hal. 10 38
Ibid, Hal. 14
38
2.3 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
N
o
Penulis Judul
Penulisan
Temuan Sumber Perbedaan
Penelitian
1 Taufiq
Ardiansyah
Implementasi
Kebijakan
Dalam
Penyediaan
Ruang
Terbuka
Hijau Publik
Melalui
Peraturan
Daerah
Nomor 7
Tahun 2010
tentang
Penataan
Ruang
Terbuka
Hijau di Kota
Semarang
Bahwa implementasi
kebijakan dalam
Peraturan Nomor 7 Tahun
2010 tentang Penataan
Ruang Terbuka Hijau di
Kota Semarang sudah
dilaksanakan kebijakan
yaitu adanya sosialisasi
unuk menciptakan sinergi
dari pihak instansi antara
pemerintah dengan
masyarakat,komunitas
Hijau,dan pihak
pengembang secara
maksimal. Pemerintah
juga telah mengupayakan
peningkatan Ruang
Terbuka Hijau Publik
dengan membangun
taman baru diwilayah
Kota Semarang antara
lain Taman Tirto Agung,
Taman Madukoro, Taman
Sampangan, Taman
Tlogosari dan didukung
pula pemeliharaan taman
berupa
penyiraman,pemupukan
tanaman. Selain itu telah
terjadi pelibatan
masyarakat berupa
partisipasi masyarakat
dilakukan oleh
masyarakat berkompeten
seperti Komunitas Hijau
yang peduli terhadap
lingkungan maupun
masyarakat umum yang
menjaga lingkungan
dengan cara bekerja bakti
dilingkungannya
Jurnal
Review
Politik
Penelitian
Taufiq
Ardiansyah
menekankan
pada
Peraturan
Daerah
Nomor 7
Tahun 2010
tentang
Penataan
Ruang
Terbuka
Hijau di
Kota
Semarang.
Sedangkan
penelitian ini
adalah fokus
pada
implementas
i strategi
kebijakan
Pemerintah
Daerah
dalam
menyediaka
n ruang
terbuka
Hijau di
Kota Kediri
2 Ferlina
Nurdiansya
h , Azis Nur
Strategi
peningkatan
dan
Bahwa alternatif strategi
yang menjadi prioritas
dalam peningkatan RTH
Jurnal
Review
Politik
Penelitian
tersebut
menekankan
39
Bambang ,
dan Hartuti
Purnaweni
penyediaan
RTH privat
rumah tinggal
di kawasan
perkotaan
(Studi kasus
di Kelurahan
Panjunan,
Kudus)
rumah tinggal di
Kabupaten Kudus adalah
dari aspek ekologi dengan
alternatif sosialisasi
bentuk dan fungsi
ekologis RTH privat
rumah tinggal
masyarakat. Hal ini
menunjukkan bahwa
peningkatan RTH privat
berkaitan erat dengan
keberlanjutan lingkungan
di kawasan perkotaan.
pada
peningkatan
dan
penyediaan
RTH privat
rumah
tinggal di
kawasan
perkotaan.
Sedangkan
penelitian ini
adalah fokus
pada
implementas
i strategi
kebijakan
Pemerintah
Daerah
dalam
menyediaka
n ruang
terbuka
Hijau
3 Chairin
Indah
Triani
Upaya
Pemerintah
Kota Dalam
Penyediaan
Ruang
Terbuka
Hijau (Studi
Pada
Pembangunan
Taman Sejati
Di
Kecamatan
Sungai
Kunjang Kota
Samarinda)
Bahwa upaya pemerintah
kota dalam penyediaan
ruang terbuka hijau (studi
pada pembangunan taman
sejati di kecamatan sungai
kunjang Kota Samarinda)
dikatakan kurang baik.
Hal ini dapat dilihat dari
pelaksanaan yang tidak
sesuai dengan rencana,
koordinasi yang kurang
antar dinas terkait dan
pemeliharaan tidak sesuai
dengan rencana. Faktor
pendukung adalah adanya
Perda RTRW No. 2
Tahun 2014-2043 yang
mempermudah SKPD
terkait untuk menjalankan
program mereka, serta
bantuan dari pihak ketiga
(CV/PT). Faktor
penghambat adalah
menentukan lokasi yang
tepat dan kurangnya
koordinasi antar SKPD
terkait
Jurnal
Review
Politik
Penelitian
tersebut
menekankan
pada upaya
pemerintah
kota dalam
penyediaan
ruang
terbuka
hijau.
Sedangkan
penelitian ini
adalah fokus
pada
implementas
i strategi
kebijakan
Pemerintah
Daerah
dalam
menyediaka
n ruang
terbuka
Hijau di
Kota Kediri
40
4 Nurul
Hidayati
Kebijakan
pemkot
Surabaya
dalam
memanfaatka
n ruang
terbuka hijau
kebun bibit
Bratang
Kebijakan pemerintah
kota dalam
memanfaatkan ruang
terbuka hijau di kota
Surabaya sudah diatur
dalam Peraturan Daerah
No 7 Tahun 2002 tentang
Pengelolaan Ruang
Terbuka Hijau yang
proporsinya haruslah
mencapai 30% dari luas
kota. Ruang Terbuka
Hijau tidak hanya berupa
hutan kota, melainkan
kawasan hijau yang
berfungsi sebagai
pertamanan, rekreasi,
pemakaman, pertanian,
jalur hijau, dan
pekarangan. Di dalam
ruang terbuka hijau
diwajibkan ada kegiatan
penghijauan. Salah satu
caranya adalah dengan
budidaya tanaman
sehingga terjadi
perlindungan terhadap
kondisi lahan. Akan
tetapi, di Kota Surabaya
proporsi ruang terbuka
hijau masih ±23% dari
luas kota, belum
mencapai target yang
sudah ditetapkan pada
peraturan daerah. Hal
tersebut disebabkan
sistem pemerintahan yang
kurang baik dan
transparan.
Jurnal
Review
Politik
Penelitian
tersebut
menekankan
pada
Kebijakan
pemerintah
kota dalam
memanfaatk
an ruang
terbuka
hijau.
Sedangkan
penelitian ini
adalah fokus
pada
implementas
i strategi
kebijakan
Pemerintah
Daerah
dalam
menyediaka
n ruang
terbuka
Hijau di
Kota Kediri
5 Mini Farida Perubahan
Pemanfaatan
Ruang
Terbuka
Hijau di Kota
Makassar
(Studi Kasus
Lapangan
Karebosi)
Penelitian ini bertujuan
mengetahui perubahan
pemanfaatan ruang
terbuka hijau (RTH) di
kota Makassar khususnya
di lapangan Karebosi.
Jurnal
Manaje
men
Perkotaa
n
Penelitian
Mini Farida
menekankan
pada
perubahan
pemanfaatan
ruang
terbuka hijau
(RTH).
Sedangkan
penelitian ini
41
adalah fokus
pada
implementas
i strategi
kebijakan
Pemerintah
Daerah
dalam
menyediaka
n ruang
terbuka
Hijau di
Kota Kediri
6 Nurul
Hidayati
Kebijakan
Pemerintah
Kota
Surabaya
Dalam
Memanfaatka
n Ruang
Terbuka
Hijau Kebun
Bibit Bratang.
Penelitian ini berusaha
mengkaji kebijakan
pemkot Surabaya dalam
memanfaatkan ruang
terbuka hijau kebun bibit
Bratang
Jurnal
Politik
Penelitian
Nurul
Hidayati
menekankan
pada
kebijakan
pemkot
Surabaya
dalam
memanfaatk
an ruang
terbuka
hijau.
Sdangkan
penelitian ini
fokus pada
strategi
kebijakan
Pemerintah
Daerah
dalam
menyediaka
n ruang
terbuka
Hijau di
Kota Kediri.
Berdasarkan penelitian terdahulu di atas, penelitian ini berbeda dengan
penelitian sebelumnya. Penelitian ini ditempatkan pada pembahasan mengenai
implementasi strategi kebijakan Pemerintah Daerah dalam menyediakan ruang
terbuka Hijau di Kota Kediri. Penulisan ini akan membahas lebih fokus pada
42
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi Pemerintah Daerah dalam menyediakan
ruang terbuka Hijau di Kota Kediri.
2.4 Kerangka pemikiran
Kerangka konsep pemikiran yang dapat diambil dalam penulisan ini
adalah sebagai berikut:
Gambar 2.2
Kerangka Pemikiran
*) diolah oleh penulis
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
bahwa pemerintah Kota Kediri yang terdiri dari berbagai macam dinas, dalam hal
ini khususnya Dinas Tata Kota Dan Pariwisata Kota Kediri dalam menangani
Ruang Terbuka Hijau, maka dengan ini Dinas Tata Kota Dan Pariwisata Kota
Kediri melaksanakan peraturan daerah kota Malang Nomor 1 Tahun 2012 tentang
Rencana tata ruang di wilayah Kota Kediri. Hal ini dimaksudkan agar
mengarahkan pembangunan kota Kediri dengan memanfaatkan ruang wilayah
UUD 1945 pasal 33 ayat 3
Permendagri No. 1 tahun 2007
Perda Kota No. 1Kediri tahun 2012
Implementasi Kebijakan pemerintah Kota
Kediri dalam Penyediaan Ruang Terbuka
Hijau di Kota Kediri
Analisa di dasarkan atas teori implementasi
Kebijakan serta konsep tentang perda no.1
tahun 2012 tentang ruang terbuka hijau dan
menggunakan metode deskriptif kualitatif
Penarikan Kesimpulan
43
secara selaras, seimbang dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan juga mewujudkan kerterpaduan pembangunan
antar sektor,daerah maupun masyarakat. Pemerintah pusat bekerja sama dengan
pemerintah daerah telah lama mengeluarkan beberapa kebijakan yang dituangkan
dalam peraturan peraturan daerah khusus di Kota kediri diatur dalam perda Kota
Kediri Nomor 1 tahun 2012. Pemerintah daerah dalam peraturan daerah tersebut
sendiri telah mencanangkan beberapa program tentang tata ruang di wilayah
strategis Kota Kediri
44
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam melaksanakan suatu penelitian diperlukan data-data yang
lengkap untuk memberi jawaban semua masalah-masalah yang diteliti, oleh
karena itu digunakan metode sebagai berikut:
3.1 Tipe Penelitian
Penelitian merupakan kegiatan guna mendapatkan sesuatu yang
dilakukan secara sistematis, terencana dan mengikuti konsep ilmiah yang ada.
Penelitian pada dasarnya mempunyai tujuan-tujuan dengan cara-cara tertentu
untuk memahami suatu obyek (fenomena) yang ada. Uraian yang jelas dan
sistematis atas data yang dikumpulkan diharapkan memberi hasil yang
maksimal sehingga dapat dikategorikan sebagai tulisan yang mempunyai nilai
ilmiah.
Memperhatikan tujuan penelitian yang sedang diteliti, peneliti
menggunakan jenis penelitian kualitatif yang mendeskripsikan peristiwa atau
kejadian yang ada pada masa sekarang. Beberapa definisi mengenai penelitian
kualitatif, dinyatakan oleh Bogdan dan Taylor (1975) seperti dikutip Moleong,
yang mendefinisikan metodelogi kualitatif sebagai prosedur kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif
ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistic (utuh). Individu
yang sedang diamati haruslah dipandang sebagai bagian yang dari suatu
keutuhan, tidak boleh hanya mengisolasikan1.
1 Moleong. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya: Bandung. Hal. 4
45
3.2 Fokus penelitian
Dalam pelaksanaan suatu penulisan, penetapan fokus sangatlah penting.
Dengan adanya fokus penulisan akan mempermudah penulis untuk semakin
terpusat pada satu pokok permasalahan yang diteliti. Fokus penulisan adalah garis
besar dari penulisan, sehingga obeservasi dan analisa akan menjadi terarah. Fokus
penulisan ini
1. Mengenai Implementasi kebijakan Ruang Terbuka Hijau di Kota Kediri
2. Faktor pendukung dan pengahambat penanganan ruang Terbuka HIjau di Kota
Kediri
3.3 Teknik Pengambilan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara yang dipergunakan untuk
memperoleh atau mengumpulkan data sebaik-baiknya dan diolah serta
dianalisa sesuai dengan kerangka metode penelitian. Sehingga dalam
penelitian ini tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai
berikut:
a. Observasi
Secara luas, observasi atau pengamatan berarti setiap kegiatan untuk
melakukan pengukuran. Akan tetapi, observasi atau pengamatan disini
diartikan lebih sempit, yaitu pengamatan dengan menggunakan indera
penglihatan yang berarti tidak mengajukan pertanyaan-pertanyan.2 Dengan
melakukan observasi kita bisa mengamati secara langsung suatu benda,
2 Irawan. 2008. Metode Penelitian Sosial. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung. Hal. 69
46
keadaan, kondisi, situasi, kegiatan, proses atau penampilan tingkah laku
seseorang.
Dalam pengamatan ini peneliti menggunakan bentuk observasi non
partisipan dimana peneliti hanya mengamati kebijakan Pemerintah Daerah
dalam menyediakan ruang terbuka Hijau di Kota Kediri tanpa ikut aktif
dalam kegiatan subjek, karena peneliti hanya sebagai pengamat. Melalui
metode observasi, peneliti ingin mengetahui gambaran yang lebih jelas
mengenai kebijakan Pemerintah Daerah dalam menyediakan ruang terbuka
Hijau di Kota Kediri.
b. Wawancara Mendalam (Indepth Interview)
Wawancara (interview) adalah pengumpulan data dengan
mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara (pengumpul
data) kepada responden dan jawaban-jawaban responden di catat atau di
rekam dengan alat perekam.3 Penulis melakukan wawancara untuk
memperoleh informasi yang tidak bisa diperoleh hanya dengan melihat
objek yang diteliti. Tujuan dilakukan wawancara adalah untuk memperoleh
data kualitatif, serta untuk mengetahui beberapa permasalahan yang penulis
hadapi melalui pertanyaan-pertanyaan.
Pada penelitian ini, metode wawancara yang digunakan adalah
wawancara konversional informal, yaitu: proses wawancara didasarkan
sepenuhnya pada berkembangnya pertanyaanpertanyaan secara spontan
dalam interaksi alamiah.
3 Ibid Hal. 68
47
c. Dokumentasi
Studi dokumentasi merupakan tehnik pengumpulan data yang tidak
langsung ditujukan kepada subyek penelitian. Dokumen yang diteliti dapat
berupa berbagai macam, tidak hanya dokumentasi resmi.4 Dengan
dokumentasi penulis bisa menganalis data yang diperoleh dari
penelitiannya, misalnya dalam bentuk tabel, daftar, dan sebagainya.
3.4 Subyek Penelitian
Subjek penelitian berkaitan dengan sumber informasi berupa orang
yang bisa memberikan informasi secara lengkap terkait dengan penelitian.
Oleh karena itu, penelitian dilakukan di Pemerintah Daerah Kota Kediri,
maka subjek peneliti yang diambil adalah:
1. Kepala Bidang Humas dan Protokoler Kota Kediri.
2. Kepala Bidang Dinas Sosial Kota Kediri.
3. Kepala Bidang Dinas LHKP Kota Kediri.
3.5 Obyek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Dinas Dinas Lingkungan Hidup kebersihan dan
pertamanan Kota Kediri yang beralamat di Jl. Mayor Bismo no 4. Kota Kediri.
3.6 Sumber Data
a. Data Primer, merupakan Data, fakta dan / atau informasi yang diperoleh
langsung oleh peneliti dari lapangan (lokasi penelitian) termasuk juga dari
narasumber. Data primer dalam penelitian ini adalah segala unsur, baik itu
berupa data dan fakta di lapangan maupun informasi dari narasumber yang
4 Ibid Hal. 70
48
berkaitan dengan kebijakan Pemerintah Daerah dalam menyediakan ruang
terbuka Hijau di Kota Kediri.
b. Data Sekunder, data dalam penelitian ini diperoleh dari Dinas Tata Kota
Dan Pariwisata Kota Kediri yang berkaitan dengan pokok pembahasan
dalam penelitian, yang sifatnya melengkapi dan memperkuat hasil
penelitian, yaitu: berupa literatur ilmiah, laporan dan segala bentuk
dokumen yang berkaitan dengan kebijakan Pemerintah Daerah dalam
menyediakan ruang terbuka Hijau di Kota Kediri.
3.7 Analisa Data
Teknik analisis data yang dilakukan peneliti menggunakan analisis
kualitatif, teknik analisa yang digunakan peneliti berguna sebagai alat untuk
menafsirkan dan menginterpretasikan data yang didapat dari observasi,
dokumentasi, dan wawancara dengan responden dengan tujuan
mendeskripsikan bagaimana kebijakan Pemerintah Daerah dalam
menyediakan ruang terbuka Hijau. Adapun tahapan dalam menganalisa data:
a. Reduksi Data
Reduksi data adalah suatu bentuk analisis yang mempertegas,
memperpendek, membuat fokus, membuang hal yang tidak penting dan
mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan.
Reduksi data berlangsung secara terus-menerus selama penelitian
berlangsung.5
5 Ibid Hal: 72
49
b. Display Data
Display data adalah rakitan organisasi informal yang memungkinkan
kesimpulan dapat dilakukan yang meliputi gambar atau skema, jaringan
kerja berkaitan dengan kegiatan kedalam tabel. Dengan demikian maksud
peneliti melakukan display data beertujuan untuk menyajikan data yang
berkaitan kedalam tabel sesuai dengan data yang diperoleh.6
c. Pengambilan Keputusan.
Akhir dari seluruh kegiatan analisis data kualitatif terletak pada
pemahaman atau penuturan tentang apa yang berhasil kita mengerti
berkenaan dengan suatu masalah yang diteliti.7
3.8 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Dalam penelitian kualitatif pada dasarnya dibutuhkan teknik pemeriksaan
keabsahan data sebagai usaha untuk meningkatkan derajat kepercayaan data.
Apabila upaya melaksanakan pemeriksaan terhadap keabsahan data secara cermat
sesuai dengan teknik yang digunakan, maka hasil upaya penelitiannya benar-benar
dapat tercapai dengan baik. Setelah diperoleh data yang sudah disusun secara
sistematis dalam rangkuman yang jelas, maka langkah selanjutnya memeriksa
keabsahan data, hal ini dilakukan dengan kategorisasi data yang ada.
Dari hasil yang didapat kemudian penulis mengurutkan sesuai dengan
permasalahan yang diteliti. Setelah data yang diperoleh tersebut dikelompokkan,
maka penulis memeriksa dan mengoreksi kembali keabsahan data tersebut dengan
menggunakan teknik triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
6 Ibid Hal: 72
7 Ibid Hal: 72
50
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau
pembanding terhadap data itu.
Triangulasi data merupakan usaha untuk meningkatkan derajat
kepercayaan data. Apabila penelitian melaksanakan pemeriksaan terhadap
keabsahan data secara cermat sesuai dengan teknik yang digunakan, maka hasil
upaya penelitiannya benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Setelah diperoleh
data yang sudah disusun secara sistematis dalam rangkuman yang jelas, maka
langkah selanjutnya memeriksa keabsahan data yang ada. Hal ini dilakukan
dengan kategorisasi data yang ada.
Dari data yang sudah dikategorikan tersebut, kemudian dilakukan
pengelolaan data sedemikian rupa yaitu dengan memanipulasi data agar data yang
ada mempunyai makna sebagaimana yang tergambar dalam permasalahan, mulai
dari menelaah dan mengelompokkan data yang diperoleh baik primer maupun
sekunder serta menganalisanya dilihat dari permasalahan dari kebijakan
Pemerintah Daerah dalam menyediakan ruang terbuka Hijau di Kota Kediri. Dari
hasil yang didapat kemudian penulis mengurut-urutkan sesuai dengan
permasalahan yang diteliti. Setelah data yang diperoleh tersebut dikelompokkan,
maka penulis memeriksa dan mengoreksi kembali keabsahan data tersebut dengan
menggunakan dua dari empat kriteria teknik pemeriksaan yaitu kepercayaan dan
kepastian. Hal ini dilakukan sebelum sampai pada kesimpulan.
51
BAB IV
GAMBARAN UMUM PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Ruang Terbuka Hijau Kota Kediri
4.1.1 Kondisi Ruang Terbuka Hijau Kota Kediri
Polemik keharusan menyediaan RTH oleh pemerintah daerah pada
kawasan perkotaan sebenarnya telah lama ada. Undang-Undang Nomor 24 Tahun
1992 tentang Penataan Ruang dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14
Tahun 1998 tentang Penatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan
sebenarnya telah mengatur hal tersebut. Namun pelaksanaannya belum sesuai
dengan kondisi yang diinginkan.Pasal 1 Undand-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, RTH didefinisikan sebagai area memanjang/jalur
dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat
tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja
ditanam. Lebih lanjut pada pasal 29 disebutkan bahwa Ruang terbuka hijau terdiri
dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat, dimana proporsi
ruang terbuka hijau kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota, sedangkan
proporsi ruang terbuka hijau publik paling sedikit 20% dari luas wilayah kota.
Sedangkan permasalahan di Kota Kediri banyak penyediaan RTH yang
menjadi tempat berdagang para pedagang kaki lima selain itu banyak juga
masyarakat yang kurang perduli dengan keberadaan Ruang Terbuka Hijau.
Padahal ruang terbuka hijau sangatlah penting untuk kelangsungan hidup
manusia. Kota Kediri termasuk salah satu kota yang sedang giat untuk melakukan
52
pembangunan di segala bidang. Termasuk juga pembenahan tata kota, seperti
yang tercantum dalam perda Kota Kediri Nomor 1 tahun 2012. Pemerintah daerah
dalam peraturan daerah tersebut sendiri telah mencanangkan program tentang tata
ruang di wilayah strategis Kota Kediri. Walaupun demikian sampai saat ini
penyediaan ruang terbuka Hijau di Kota Kediri belum tercapai secara optimal.
Uraian mengenai masalah RTH yang ada di Kota Kediri pada khususnya,
memerlukan penanganan secara struktural melalui berbagai kajian dan kebijakan
mengingat RTH merupakan pengendali ekosistem suatu lingkungan khususnya
bagi daerah yang sedang berkembang, karena RTH sebagai penyeimbang kualitas
lingkungan. Pokok persoalannya adalah apakah pemerintah Kota Kediri melalui
perangkat pemerintahannya telah merealisasikan penyediaan ruang terbuka hijau
sebesar 30% sesuai dengan yang diamanatkan dalam UUPR, menilik dari
perkembangan kota-kota di Indonesia yang notabene terbentuk secara alami,
bukan melalui suatu perencanaan yang matang dan menyeluruh. Kalaupun ada
beberapa kota dan desa yang direncanakan, semacam city planning dalam
perkembangannya tumbuh dan berkembang secara tak terkendali.1
Seperti halnya kasus pengosongan eks-Lokalisasi Semampir yang nampak
telah menjadi ruang terbuka hijau. Hal ini dapat dilihat dari peran Walikota Kediri
bersama 200 orang yang berasal dari komunitas Earth Hours, komunitas FKH,
komunitas 3R, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kota Kediri dan warga RW 5
Kelurahan Semampir melakukan penghijauan di area eks-lokalisasi Semampir.
Penghijauan ini merupakan langkah awal pembangunan Ruang Terbuka Hijau
1 Tim Evaluasi Hukum. 2007. Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pengelolaan Kawasan
Perkotaan dan Pedesaan. Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia RI. Hal.1
53
(RTH) di kawasan ini. Telah dijadikannya taman di kawasan ini diharapkan dapat
membuang persepsi negatif terhadap kawasan ini. Juga nanti setiap orang yang
akan berkunjung ke lokasi ini akan berfikir positif tidak lagi berfikiran
negatif. Selain itu, kedepan kawasan ini akan dijadikan RTH yang representatif
dan sustainable yang akan terlihat indah dari atas jembatan.
Pemerintah Kota Kediri telah memiliki skema yang akan dikerjakan di tahun
2018-2019. Untuk 2017 masih berada pada pra desain yang masuk di PAK. Pra
desain yang akan dibuat adalah taman yang ramah anak. Nantinya akan menjadi
keramaian. Dari keramaian ini lah yang akan memberikan dampak positif bagi
warga sekitar. Perekonomian di kawasan ini pasti akan bergerak. Aksi
penghijauan yang diawali dengan apel bersama ini, menanam 670 batang pohon,
dengan tujuh jenis pohon yakni, ketapang kencana, tabe puya kuning, tabe puya
putih, sepatu dea, trembesi, kigelia dan pule.
4.1.2 Program Pengembangan Kota Hijau
Kota Kediri seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan
penduduknya tentu memiliki implikasi terhadap keberlangsungan adanya RTH di
Kota Kediri. Dalam meningkatkan kebutuhan akan RTH di Kota Kediri saat ini,
Pemerintah Kota Kediri telah melakukan berbagi usaha, salah satunya adalah
membangun taman taman tematik di berbagai wilayah di Kota Kediri melalui
P2KH atau Progam Pengembangan Kota Hijau.
Program Pengembangan Kota Hijau atau lebih disingkat dengan nama
P2KH merupakan salah satu program peningkatan penataan kawasan berupa RTH
melalui anggaran kewenangan Dirjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan
54
Umum RI. Program ini sebagai implemetasi pola penataan ruang sekaligus reward
bagi Kabupaten/Kota yang telah menyelesaikan RTRW Kabupaten/Kota sebagai
lokasi P2KH. Program ini dilaksanakan melalui mekanisme dekonsentrasi dan
tugas pembantuan. Misi kota hijau sebenarnya tidak hanya sekedar
“menghijaukan” kota. Lebih dari itu, kota hijau dengan visinya yang lebih luas
dan komprehensif, yaitu kota yang ramah lingkungan, memiliki misi antara lain
memanfaatkan secara efektif dan efesien sumberdaya air dan energi, mengurangi
limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin kesehatan lingkungan
Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam penataan RTH/Hutan Kota yaitu2:
a. Optimalisasi kawasan berfungsi lindung;
b. Meminimalkan dampak pemasan global;
c. Sebagai kawasan pelestarian lingkungan hidup sesuai penataan ruang;
d. Sebagai kawasan tempat berkembangnya keanekaragaman hayati;
e. Menjaga dan mengendalikan ekosistem kota yang serasi, selaras dan
seimbang dengan lingkungannya;
f. Penataan kawasan hijau agar memiliki nilai estetika yang tinggi (ekowisata
dan pendidikan lingkungannya);
g. Mempertahankan kawasan resapan air;
h. Sarana rekreasi;
i. Sebagai wahana pendidikan dan budaya;
j. Sebagai wahana usaha
2 http://www.kompasiana.com/rizkifitri/opini-rth-ruang-terbuka-hijau-kota-
kediri_57ad3dbe1197739e2b0d4942
55
Program pengembangan Kota Hijau (P2KH) yang telah dirintis ole
Kementerian Pekerjaan Umum dan Direktorat Jenderal Penataan Ruang,
merupakan salah satu langkah nyata Pemerintah Pusat bersama-sama dengan
pemerintah provinsi dan pemerintah kota/kabupaten dalam memenuhi ketetapan
UUPR, terutama terkait pemenuhan luasan RTH perkotaan, sekaligus menjawab
tantanngan perubahan iklim di Indonesia. P2KH merupakan inovasi program
perwujudan RTH perkotaan yang berbasis komunitas.
4.1.3 Kualitas Ruang Terbuka Hijau Kota Kediri
Keberadaan RTH di Kota Kediri masih jauh dari kata layak baik dari segi
kualitas maupun kuantitas. Dari segi kualitas misalnya, beberapa RTH di Kota
Kediri masih kurang tertata dan terawat dengan baik misalnya taman sekartaji dan
sekitarnya, walaupun beberapa RTH seperti taman kota di Kota Kediri dapat
dikatakan layak seperti taman ngronggo yang memang baru keberadaanya, namun
masih ada beberapa RTH seperti kurang terpelihara keberadaanya. Namun
pastinya dinas-dinas terkait sudah melakukan tugas pokok dan fungsinya untuk
melakukan penataan dan pemeliharaan RTH tersebut dengan baik. Dari segi
kuantitas, RTH di Kota Kediri masih jauh dari kata ideal (IMHO), banyak factor
yang mempengaruhinya, dan alasan yang paling klasik adalah alasan anggaran.
Sebenanya banyak spot-spot yang dapat difungsikan sebagai RTH/ taman kota
yang tersebar di Kota Kediri.
Seharusnya Pemerintah daerah mampu memanfaatkan RTH dengan lebih
baik lagi sehingga mempu memberikan manfaat bagi masyarakat. Manfaat dari
adanya RTH tidak hanya dari segi lingkungan/ekologi, akan tetapi dapat juga
56
berdampak pada sosial dan ekonomi, dari segi sosial contohnya, masyarakat
memiliki ruang public yang dapat digunakan untuk berinteraksi dengan
lingkungan maupun antar masyarakat, dari segi ekonomi sebagai contohnya,
apabila pemerintah daerah mampu membangun RTH/Taman kota dengan konsep
yang baik, seperti kota besar lainya di Indonesia (Malang, Surabaya, Bandung)
maka akan menambah nilai jual bagi pemerintah daerah untuk menjadikanya
sebagai icon wisata baru dan kebanggaan bagi masyarakat maupun pemerintah
daerah setempat.
4.2 Permasalahan Ruang Terbuka Hijau Kota Kediri
Namun kembali lagi yang menjadi masalah utama adalah anggaran,
sebenarnya banyak daerah sudah menggunakan konsep CSR untuk membangun
RTH, Ruang public ataupun taman kota, Kota Kediri sebenarnya juga mampu
untuk menggunkan konsep ini dalam mengembangkan RTH, Ruang public
maupun taman kota, yang terpenting hanyalah kemauan dari kepala daerah dan
seluruh stakeholder untuk membangun network/jaringan dengan pihak swasta.
Dalam pengelolaan RTH pun dapat melibatkan masyarakat melalui event
dengan lebih aktif agar masyarakat memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk
menjaga RTH yang ada. Seiring dengan perkembangan informasi dan sosial
media yang begitu pesatnya pasti akan mampu menjangkau seluruh elemen
masyarakat terutama generasi muda untuk ikut aktif berperan serta dalam
mengembangkan RTH melalui komunitas maupun even-event.
Maka dalam mengembangkan RTH di Kota Kediri ini adalah selalu
memperhatikan lingkungan atau ekologi sekitar, penataan yang baik/ estetika,
57
keamanan bagi pengunjung, kebersihan. Dengan demikian jika ada kemauan dari
pemerintah daerah maka RTH di Kota Kediri dapat menjadi lebih baik dari segi
kualitas maupun kuantitas dan menjadi kebanggaan bagi masyarakat maupun
pemerintah daerah itu sendiri serta menjadi nilai tambah bagi ekologi, sosial
maupun ekonomi.
58
BAB V
IMPLEMENTASI STRATEGI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH
DALAM MENYEDIAKAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA KEDIRI
5.1 Implementasi Kebijakan Ruang Terbuka Hijau di Kota Kediri
Ruang terbuka hijau pada dasarnya adalah penyangga daerah dalam
membentuk keindahan serta meminimalisir terjadinya bencana alam
yang semakin rawan. Banjir yang terjadi, diakibatkan oleh minimnya resapan air
dan semakin sempitnya drainase yang terkikis oleh bangunan gedung yang
semakin menjamur. Adanya longsor karena alih fungsi RTH menjadi fasilitas
umum, sehingga mengakibatkan kekuatan tanah semakin tergerus oleh aliran air.
Implikasinya diperlukan kebijakan pengendalian lingkungan hidup yang
mengupayakan adanya ruang terbuka hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) didalam
lingkungan pembangunan saat ini diperlukan demi menjaga keseimbangan
kualitas lingkungan hidup suatu daerah khususnya di daerah perkotaan yang
memiliki berbagai permasalahan berkaitan dengan masalah ruang yang
sedemikian kompleks. Hal ini seperti yang disampaikan oleh subyek penelitian:
“Secara umum RTH di kota Kediri ini sudah bisa dibilang cukup mas,
karena percepatan pembangunan serta keingin pak walikota yang gencar
merefungsi lahan menjadi RTH, sejauh ini luas wilayah RTH dikota Kediri
yang sudah kami kelola adalah 13,235,667 m2 sedangkan luas lahan di eks
lokalisasi semampir itu 13,925m2(1,39h2) untuk semampir ini nanti nya
akan di pecah antara selatan jembatan dan utara jembatan karena
pembangunanya tidak sama, nah dari kuota yang dicanangkan
pembangunan RTH kami sudah mencapai 20,87% dari total luas RTH
dikota kediri yang dikelola belum termasuk makam, serta ruang lapang
seperti bukit selomangleng dan sekitarnya”.1
1 Hasil wawancara dengan Arif Priyantoro (Kasi Pertamanan dan Sumbermata Air/ menaungi
masalah pembangunan eks-semampir), tgl 5 juni 2017)
59
Hal ini dapat dijelaskan bahwa luasan RTH Kota Kediri dibutuhkan kejelian
dari pihak yang terkait dalam menganalisis terhadap kebutuhan RTH untuk
melakukan pengelompokkanya, sebab semakin tingginya kebutuhan masyarakat,
pihak swasta dan pemerintah akan keberadaan RTH di Kota Kediri, seiring
dengan semakin tingginya pemanasan global dan berbagai gejolak masalah sosial
yang salah satunya ditimbulkan oleh keberadaan RTH dilingkungan Kota Kediri.
Peran dan fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) ditetapkan dalam Instruksi
Mendagri no. 4 tahun 1988, yang menyatakan "Ruang terbuka hijau yang
populasinya didominasi oleh penghijauan baik secara alamiah atau budidaya
tanaman, dalam pemanfataan danfungsinya adalah sebagai areal berlangsungnya
fungsi ekologis dan penyangga kehidupan perkotaan.2
Maka menjadi hal penting merefungsi ruang terbuka. Hal ini seperti yang
disampaikan oleh subyek penelitian sebagai berikut:
“Menurut undang undang no. 26 tahun 2007 tentang ruang terbuka kami
selaku pemerintah Kota Kediri oleh karena ini instruksi langsung dari bapak
walikota untuk meningkatkan kualitas lingkungan, kami berupaya
merefungsi ruang terbuka di kota Kediri mulai dari membangun fasilitas
fasilitas umum dan taman taman hijau kota melalui program pengembangan
kota hijau”.3
Mengacu pada hasil wawancara di atas Pemerintah Kota Kediri perlu
melakukan pengawasan terhadap pengembangan pada pengelompokkan RTH,
perlu ketegasan terhadap kebijakan berkaitan dengan lingkungan yang semakin
tersudutkan.RTH sebagai fasilitas publik harus terbangun sesuai fungsinya.
Pembangunan pada lahan RTH harus dihentikan. Hal ini dibutuhkan sebuah
2 SNI 2004. Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan Di Perkotaan, , Hal. 35
3 Hasil wawancara dengan Apip Permana (Kabag Hubungan Masyarakat dan Protokoler), tgl 6
juni 2017.
60
perencanaan yang komprehensif di dalam menjaga dan mengelola RTH sebagai
pengendalian terhadap semakin rawanya masalah sosial yang dipengaruhi oleh
lingkungan yang tidak kondusif.
Peran dan fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) ditetapkan dalam Instruksi
Mendagri no. 4 tahun 1988, yang menyatakan "Ruang terbuka hijau (RTH) adalah
ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk
area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana didalam
penggunaannya lebih bersifat terbuka pada dasarnya tanpa bangunan.4 Seperti
halnya mengenai refungsi eks Lokalisasi Semampir, dimana lahan tempat hunian
ini bakal dialihkan untuk ruang terbuka hijau, taman bermain dan wisata kuliner.
Hal ini seperti yang disampaikan oleh subyek penelitian sebagai berikut:
“Kebijakan relokasi sendiri dimulai adanya perda pelarangan aktivitas
prostitusi tahun 2004, secara berkala sampai terakhir tahun 2016 kemarin
secara resmi harus dikosongkan. Kami dari Dinsos berupaya penuh agar
proses pembongkaran dan pengkosongan tidak menyalahi asas
kemanusiaan, karena sudah barang pasti itulah tugas kami di Dinas Sosial”.5
Sementara terkait sumber hukum yang melandasi refungsi
eks lokalisasi Semampir di antaranya, lokalisasi Semampir telah ditutup sejak
1998. Malahan penutupan eks lokalisasi ditetapkan melalui peraturan daerah
(perda). Dasar Perda Kota Kediri tersebut No 26/1998 tentang perubahan kedua
Perda Kota Kediri No 2/1957 tentang pemberantasan pelacuran di Kota Kediri.
Selain itu juga Surat Gubernur Jatim perihal pencegahan dan
pemberantasan prostitusi atau human traficking. Karena eks lokalisasi ditengarai
masih ada transaksi seks dan human traficking. Dengan demikian diperlukan
4 Instruksi Mendagri Nomor 4 Tahun 1988, Hal. 3
5 Hasil wawancara dengan Sulaiman Fadli (Kasubag Umum), tgl 6 juni 2017
61
perencanaan yang tepat sasaran terkait dengan perencanaan RTH di Kota Kediri,
seperti yang disampaikan subyek penelitian sebagai berikut:
“Kita susun untuk perencanaanya itu kita mulai dari Pradesain tahun ini
2017, kemudian ke desain atau DED ditahun 2018 dan pembangunan secara
fisik di tahun 2019”.6
Pada kebutuhan ruang terbuka hijau Kota Kediri memang harus memiliki
perancaan yang betul-betul berpihak pada masyarakt umum, karena selama ini
diakui bahwa banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh berbagai pihak,
sehingga kebutuhan RTH yang ada saat ini semakin terkikis oleh banyaknya
masalah sosial di Kota Kediri dengan berbagai kepentingan kelompok
atau individu. Konsekuensi ini dapat kita lihat di berbagai titik pusat kota yang
seharusnya menjadi RTH beralih fungsi menjadi fasilitas umum. Dengan
demikian perencanaan tata ruang di perkotaan seyogyanya harus dapat
mengakomodasi kepentingan-kepentingan social untuk mewadai aktifitas
masyarakat, serta kepentingan-kepentingan lingkungan untuk menjamin
keberlanjutan.
Secara hirarkis, ruang public di Kota Kediri hampir mengalami
pengurangan yang sangat besar serta mengalami pergeseran kebutuhan secara
nyata. Dengan demikian perlu ada pemetaan jumlah RTH di Kota Kediri secara
jelas, seperti yang disampaikan oleh subyek penelitian sebagai berikut:
“Kalau jumlahnya saya tidak tahu pasti, coba nanti tanyakan dinas yang
terkait sebagaimana dalam hal ini adalah dinas lingkungan hidup. Yang
pasti sudah ada banyak taman yang kami gubah seperti taman sekartaji,
taman ngronggo, taman makam pahlawan dan taman tempurejo”.7
6 Hasil wawancara dengan Arif Priyantoro (Kasi Pertamanan dan Sumbermata Air/ menaungi
masalah pembangunan eks-semampir), tgl 5 juni 2017) 7 Hasil wawancara dengan Apip Permana (Kabag Hubungan Masyarakat dan Protokoler), tgl 6
juni 2017
62
Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya kebutuhan RTH disetiap
wilayah adalah 30% dari luas wilayah. Permasalahnnya sekarang adalah kebijakan
RTH di atas lahan seluas 3,6ha tersebut ini terjadi ketika perwakilan warga RW
05 eks-Lokasisasi Semampir sempat memberikan masukan dan meminta
Pemerintah Kota Kediri untuk meninjau kembali kebijakan agar nantinya
masyarakat tetap mendapatkan pendampingan atas kebijakan itu. Hal ini seperti
yang disampaikan oleh subyek penelitian sebagai berikut:
“Jadi seperti ini, kami dari dinas sosial ini punya klasifikasi terhadap warga
yang berdampak yaitu : 1. Warga miskin 2. Wanita tuna susila 3. anak
jalanan ini yang menjadi domain dinsos dalam menanggulai dampak
pengosongan kemarin. Mereka sudah kami pantau dan kami beri arahan
terus sampai saat ini dan saat ini sudah baik baik saja”.8
Hal ini juga didukung dengan hasil observasi di lapangan, bahwa warga
sepakat bila masalah sosial tersebut diberantas namun warga diharapkan
mendapatkan pendampingan paska diminta pergi dari lokasi. Berdasarkan data,
sedikitnya 227 bangunan berdiri di atas lahan yang seharusnya telah habis masa
sewanya dan sejauh ini ada sekitar 70 persen yang berpindah tangan. Pemerintah
Kota telah melayangkan surat pemberitahuan kepada para penghuni untuk segera
memugar bangunannya dan mengamankan aset yang berharga. Pihaknya resmi
berikan surat pemberitahuan selama 3 kali kemudian Pemerintah Kota mendirikan
pos pemantau. Pelaksanaan sosialisasi ini juga telah dilaksanakan oleh pemerintah
kota setempat seperti yang disampaikan oleh subyek penelitian sebagai berikut:
“Sebelumnya gini mas, kita ini sudah memulai rangkain ini sangat panjang
mas, mulai saat penutupan resmi lokalisasi tahun 2004 saat walikota pak
maschut dulu bahkan detelah ditutupun masih ada kegiatan, sebenarya ada
8 Hasil wawancara dengan Sulaiman Fadli (Kasubag Umum), tgl 6 juni 2017
63
banyak permasalahan dan banyak penolakan dari warga yang tergusur
akhirnya mundur mundur sampai pembongkaran terakhir kemarin. Ada
banyak rahasia rahasia kemanusian yang kita tidak bisa lanjutkan dan balik
lagi balik lagi sampai sekarang. Kita sebenarya sudah memberikan banyak
opsi-opsi diantaranya pemberian modal tapi cuma nggak dianggap sama
mereka.karena tentu merekan anggap ini merugikan mereka”.9
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat dilihat bahwa perdebatan
terhadap kebutuhan RTH sering kali terjadi, namun pertahanan terhadap RTH
semakin sulit untuk disadarkan, hal itu sebagai dampak dari kepentingan-
kepentingan yang ada. Pola RTH kota merupakan struktur RTH yang ditentukan
oleh hubungan fungsional, antar komponen pembentukannya, terdiri dari RTH
struktural dan no struktural. Agar keberadaan RTH di perkotaan dapat berfungsi
secara efektif baik secara ekologis maupun secara planologis, perkembangan RTH
tersebut sebaiknya dilakukan secara hierarki dan terpadu dengan system struktur
ruang yang ada di perkotaan. Dengan demikian keberadaan RTH bukan sekedar
menjadi elemen pelengkap dalam perencanaan suatu kota semata, melainkan lebih
merupakan sebagai pembentuk struktur ruang kota, sehingga kita dapat
mengidentifikasi hierarki struktur ruang kota melalui keberadaan komponen
pembentuk RTH yang ada.10
Untuk satu wilayah perkotaan, maka dapat dibangun pola integrasi
berdasarkan bobot tertinggi pada kerawanan ekologis kota, sehingga dapat
dihasilkan pola RTH struktural. Seperti yang disampaikan oleh subyek penelitian
sebagai berikut:
9 Hasil wawancara dengan Arif Priyantoro (Kasi Pertamanan dan Sumbermata Air/ menaungi
masalah pembangunan eks-semampir), tgl 5 juni 2017) 10
Direktorat Jendral Departemen PU Tahun 2006, Ruang Terbuka Hijau Sebagai Unsur Utama
Tata Ruang Kota. Hal. 6
64
“Sejauh ini sudah cukup ya, dalam artian pembangunan yang kami lakukan
juga sudah rampung masyarakat juga sudah bisa menikmati fasilitas fasilitas
yang kami berikan”.11
Hal ini dapat dijelaskan bahwa RTH yang ada di Kota Kediri pada
khususnya, memerlukan penanganan secara struktural melalui berbagai kajian dan
kebijakan mengingat RTH merupakan pengendali ekosistem suatu lingkungan
khususnya bagi daerah yang sedang berkembang, karena RTH sebagai
penyeimbang kualitas lingkungan. Jadi dalam mempertahankan kebijakan RTH
memang banyak pihak yang berkepentingan yang terlibat yaitu pihak pemerintah,
swasta dan masyarakat, khususnya terkait penanggulangan ekslokalisasi
semampir diperlukan program sesuai dengan perundang-undan yang ada. Hal ini
seperti yang disampikan oleh subyek pnelitian sebagai berikut:
“Sebelumnya gini, kami mulai tahun 2014 sudah melakukan pendampingan
tidak serta merta langsung mengosongkan, kami melayangkan surat
pemberitahuan bagi penyewa lahan sebanyak 3 kali sebelum melakukan
pengosongan resmi tahun 2016, kami dan seluruh stake holder inspektorat
dinas gotong royong agar dampaknya tidak semakin meluap luap, dari 230
KK warga yang asli yang memliki KTP kota Kediri kami lakukan
pembekalan, pelatihan dan alih profesi”.12
Perencanaan terhadap RTH sendiri sesungguhnya harus diimplementasikan
ke dalam aspek kebijakan, pada indicator perencanaan RTH Kota Kediri,
realitasnya sudah sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada. Dengan demikian,
implementasi kebijakan dimaksudkan untuk memahami apa yang terjadi setelah
suatu program dirumuskan, serta apa dampak yang timbul dari program kebijakan
itu. Disamping itu, implementasi kebijakan tidak hanya terkait dengan persoalan
administratif, melainkan juga mengkaji faktor-faktor lingkungan yang
11
Hasil wawancara dengan Apip Permana (Kabag Hubungan Masyarakat dan Protokoler), tgl 6
juni 2017 12
Hasil wawancara dengan Sulaiman Fadli (Kasubag Umum), tgl 6 juni 2017
65
berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan tersebut. Sehingga
mengakibatkan timbulnya partisipasi masyarakat terhadap pembangunan RTH.
Ketepatan kebijakan dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan
hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan, seperti
yang disampikan oleh subyek pnelitian sebagai berikut:
“Alhamdulillah mas, waktu setelah pembongkaran dan terakhir ada
penanaman dan penghijauan tanggal 19 mei 2017 bersama bapak walikota
kemarin, yang nanti sebelum dilakukan pembangunan respon masyarakat
sangat antusias karena rencanaya akan di jadikan taman bermain layak anak
dan wisata kuliner yang meningkatkan ekonomi dan pariwisata di sekitar,
terlebih dikota Kediri jadi kalo mau rekreasi ya nggak usah jauh jauh ke
Malang ke Batu cukup di kotanya sendiri”.13
Menjadi tantangan bagi Kota Kediri dalam pengembangan dan pengelolaan
terhadap keberadaan RTH, cepatnya pembangunan kota, penyalahgunaan
terhadap fungsi RTH juga semakin menghawatirkan. Kota Kediri menjadi
tumpuan investor untuk mengembangkan usahanya dengan berbagai kesempatan
yang ada, namun kadang RTH memang selalu menjadi korban dari kepentingan
kelompok atau individu. Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 26 tahun
2007 tentang Penataan Ruang serta adanya kebijakan-kebijakan Pemerintah
Daerah Kota Kediri mengenai pengendalian lingkungan hidup maka kesadaran
hukum masyarakat mengenai masalah lingkungan diharapkan mulai tumbuh.
Maka kebijakan Pemerintah Daerah dalam menyediakan ruang terbuka
Hijau di Kota Kediri perlu dilaksanakan dengan baik oleh pelaksana kebijakan
agar dapat mencapai tujuan kebijakan tersebut. Aspek pelaksanaan mulai tahap
perencanaan, implementasi sampai pada tahap evaluasi program, sangat penting
13
Hasil wawancara dengan Arif Priyantoro (Kasi Pertamanan dan Sumbermata Air/ menaungi
masalah pembangunan eks-semampir), tgl 5 juni 2017)
66
untuk diperhatikan. Maka mengimplementasikan kebijakan pemerintah daerah
menjadi hal penting dalam menyediakan ruang terbuka Hijau di Kota Kediri,
seperti yang disampikan oleh subyek penelitian sebagai berikut:
“Sejauh ini program kami adalah karena instruksi khusus dari bapak
walikota, dimana beliau mencanangkan untuk melanjutkan banyak sekali
program program yang kebetulan mandek di periode kepemimpinan
walikota sebelumnya, seperti program prodamas, proyek jembatan baru dan
RSUD gambiran 2 jadi kami memprioritaskan apa yang menjadi grand
desain bapak walikota sekarang. Terkait urgensinya bapak walikota sendiri
yang bisa menentukan kapan dan anggaran nya”.14
Hasil wawancara tersebut dapat difahami bahwa kebijakan Pemerintah
Daerah dalam menyediakan ruang terbuka Hijau di Kota Kediri, pada dasarnya
memberikan kesadaran masyarakat mengenai arti penting kelestarian lingkungan
dan penataan ruang yang baik mampu mempengaruhi perilaku mereka menjadi
motivasi kuat yang dapat melahirkan tindakan yang nyata dalam usaha
pemanfaatan ruang yang baik dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
Menurut Grindle proses implementasi kebijaksanaan hanya dapat dimulai apabila
tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula bersifat umum telah diperinci,
program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan
untuk mewujudkan tugas-tugas dan sasaran tersebut.15
Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang serta adanya kebijakan-kebijakan Pemerintah Daerah Kota Kediri
mengenai pengendalian lingkungan hidup maka kesadaran masyarakat mengenai
masalah lingkungan diharapkan mulai tumbuh. Terlebih dikaitkan dengan upaya
14
Hasil wawancara dengan Apip Permana (Kabag Hubungan Masyarakat dan Protokoler), tgl 6
juni 2017 15
Abd Wahab, Solichin, 1990, Pengantar Analisis Kebijakan Negara, Rineka Cipta, Jakarta. Hal.
16
67
pemberdayaan selama ini bagi warga di ekslokalisasi, seperti yang disampikan
oleh subyek penelitian sebagai berikut:
“Sebenarnya upaya pemberdayaan selama ini bagi warga di ekslokalisasi
banyak sekali, kami dari dinsos mulai pelatihan bentuknya: bagi wanita tuna
susila kami berikan kursus menjahit, kursus memasak dan menjual
produknya sendiri. Kami juga memberikan bantuan alat yaitu mesin jahit
dan alat pertukangan. Bagi warga yang terkena dampak mulai tahun 2014
kami melakukan santunan dana sosial yang besaranya 500rb/KK sampai
tahun 2016, tidak hanya itu pasca pengosongan kami juga memberikan dana
kerohiman sebesar 2,5jt/KK untuk yang mempunyai KTP kota Kediri, dan
kami juga memberikan bantuan dana 5jt selama 2 tahun dan memfasilitasi
bagi mereka yang mau pindah tinggal di Rusunawa kota Kediri”.16
Dengan demikian, pengelolaan RTH kota akan lebih dimengerti
kepentingannya (apresiatif) sehingga tertib. RTH sekaligus merupakan fasilitas
rekreasi yang lokasinya merata di seluruh bagian kota, dan amat penting bagi
perkembangan kejiwaan penduduknya. Dalam hal ini Pemerintah Kota Kediri
tentunya telah menyusun berbagai kebijakan lain yang berhubungan dengan
pengelolaan lingkungan hidup khususnya penanganan penataan ruang yang
diakibatkan oleh kegiatan kegiatan pembangunan sektor perdagangan, jasa,
pemukiman dan lain-lain yang sedang digalakkan di Kota Kediri, dapat
berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan hidup.
Keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan untuk mencapai tujuan sasaran
merupakan ukuran dalam penilaian kebijakan. Pengukuran dimaksud sebagaimana
pendapat Van Meter dan Van Horn adalah bahwa: Suatu kebijakan tentulah
menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana
kebijakan, kegiatan kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat
16
Hasil wawancara dengan Sulaiman Fadli (Kasubag Umum), tgl 6 juni 2017
68
ketercapaian standar dari sasaran tersebut.17
Maka peran Pemerintah Daerah Kota
Kediri melalui LHKP telah memberikan kebijakan RTH, seperti yang disampikan
oleh subyek penelitian sebagai berikut:
“Sebenarnya gini mas ini bukan hanya tanggung jawab dinas LHKP saja
tapi seluruh dinas di kerahkan untuk mendukung. Cuma leader sektornya
dinas sosial, tapi karena mereka itu ndak punya alat berat dan kita punya
buldoser kita punya truk nah akhirnya kita sama sama memfasilitasi gitu
mas”.18
Untuk merealisasikan keberadaan RTH yang mumpuni di Kota Kediri
diperlukan komitmen kuat dari semua pihak baik pemerintah pemerintah daerah,
masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Setiap program pada hakekatnya
membutuhkan pelaksana-pelaksana yang memiliki hasrat kuat untuk
mengembangkan aturan-aturan dan prosedur-prosedur pelaksanaan pekerjaan
yang baru serta mau bekerja keras untuk memberlakukannya jika menghadapi
penolakan dari kelompok-kelompok sasaran dan pejabat-pejabat pemerintah yang
enggan melaksanakan perubahan.19
Upaya pemerintah pemerintah daerah antara lain mendorong permukiman
melalui bangunan vertikal. Dengan tinggal di permukiman yang vertikal, maka
akan menggunakan lahan yang lebih sedikit, sehingga lahan lainnya dapat
dimanfaatkan untuk RTH Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk
menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan system hidrologi dan
keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat
meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta
17
Van Meter, Donald S and Carl, E Van Horn, 1975, The Policy Implementation Proceess A
Conceptual Framework in Administration and Society, Volume, 6 No. 4, Sage, Baverly Hills 18
Hasil wawancara dengan Arif Priyantoro (Kasi Pertamanan dan Sumbermata Air/ menaungi
masalah pembangunan eks-semampir), tgl 5 juni 2017) 19
Ibid
69
sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Target luas sebesar 30% dari
luas wilayah kota dapat dicapai secara bertahap melalui pengalokasian lahan
perkotaan secara tipikal. Hal ini seperti juga disampaikan oleh subyek penelitian
sebagai berikut:
“Kegiatan kegiatan program penghijuan yang sebenarnya tidak hanya
sekedar membangun dan menghijaukan kota akan tetapi juga menghadirkan
kota yang layak, komprehensif dan kota yang ramah lingkungan
memanfaatkan sumberdaya air dan energy, mengurangi emisi dan limbah
serta serta menerapkan sistem transportasi yang terpadu seperti yang bapak
walikota sampaikan saat launching city branding kota Kediri yaitu “servis
city”.20
Melalui Pasal 29 UU No.26 Tahun 2007 tentang proporsi penyediaan
ruang terbuka hijau, Pemkot Kediri telah berusaha memenuhi kriteria program
tersebut. Berkaitan dengan penyediaan RTH melalui kewenangan yang
diberikan oleh Pemerintah Pusat untuk sikap dan tindakan serta disesuaikan
dalam UUPR maka dalam pelaksanaannya meliputi perencanaan, pengendalian
dan pemanfaatan ruang kota sebagai upaya untuk mendapatkan RTH minimal
30% dari luas Kota Kediri dengan standar minimal 20% untuk publik dan 10%
dipenuhi dari privat.
Begitu juga dengan partisipasi masyarakat dalam implementasi ketentuan
penyediaan RTH yang dilakukan Pemerintah Kota Kediri adalah sangat penting
karena hanya itulah satu-satunya cara untuk memastikan bahwa implementasi
berjalan dengan baik. Namun demikian, disadari bahwa partisipasi dalam
pelaksanaan harus tetap dikawal oleh Pemkot Kediri selaku pemerintah daerah
20
Hasil wawancara dengan Apip Permana (Kabag Hubungan Masyarakat dan Protokoler), tgl 6
juni 2017
70
yang berwenang. Hal ini seperti juga disampaikan oleh subyek penelitian sebagai
berikut:
“Jadi sebenarnya masyarakat sekitar tidak pernah menolak, karena warga
yang di sana itu banyak kerjanya tukang becak,warung, dan tukang ojek, ya
dulu saat evakuasi pengosongan kami mendapat penolakan kami membuat
tenda darurat lengkap dengan peralatan masaknya, namun setelah para
provokator bayaran, ya karena bnyak penyewa lahan dari luar kota dan
mendatangkan para wanita tuna susila ini ketempat mereka dengan bisnis
yang seperti itu, jadi yang menolak itu orang yang sebernarnya bisa
dikatakan mampu karena memiliki rumah di luar daerah itu sendiri, dan
Alhamdulillah tidak ada konflik lagi sampai hari ini”.21
Walaupun tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanan program RTH
ini cukup baik, namun dalam lingkup pemanfaatan ruang perkotaan, masyarakat
dapat berada pada posisi yang berbeda-beda, antara lain sebagai pelaku utama
pemanfaatan ruang, sebagai pihak yang terkena dampak kegiatan pemanfaatan
ruang, sebagai pihak yang mempengaruhi kebijakan pemanfaatan ruang
perkotaan, sebagai pihak yang mengawasi dan mengkontrol kebijakan
pemanfaatan ruang perkotaan.
Penerapan kebijakan akan dapat berhasil dengan baik apabila dilaksanakan
secara efektif, maka dari itu para pelaksana tidak saja terlebih dahulu harus
mengetahui kemampuan untuk menerapkannya, tetapi juga harus mempunyai
kombinasi yang kuat untuk menjalankan kebijakan tersebut dengan rasa penuh
tanggung jawab. Dalam kaitan itu hal-hal yang menyangkut dengan komitmen
akan semakin jelas bila melihat batasan yang dikemukan oleh Salusu yang
mengatakan bahwa komitmen itu antara lain berkaitan dengan penyusunan
21
Hasil wawancara dengan Sulaiman Fadli (Kasubag Umum), tgl 6 juni 2017
71
struktur organisasi yang sesuai dengan sasaran yang dikehendaki, pendelegasian
wewenang, pengambilan keputusan dan perhatian kepada kultur organisasi.22
Oleh sebab itu, masyarakat merupakan pelaku pembangunan yang memiliki
peran terbesar dalam pemanfaatan ruang perkotaan, terlebih lagi selain membuat
ruang kota nyaman juga mengatasi masalah sosial, seperti refungsi eks Lokalisasi
Semampir, dimana lahan tempat hunian ini bakal dialihkan untuk ruang terbuka
hijau, taman bermain dan wisata kuliner. Hal ini seperti juga disampaikan oleh
subyek penelitian sebagai berikut:
“Kalau kita awalnya ndak ada gambaran untuk membangun itu kita ndak
ada, yang jelas itu untuk karena aturan dari pemerintah lokalisasi harus
dihilangkan. Tapi untuk menepiskan kondisi agar tidak semua mengarah
kesitu akhirnya pak walikota mengambil inisiatif merencanakan pembangun
RTH saja, alif fungsi tapi akan meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar
lebih baik lagi”.23
Masyarakat dapat bertindak secara individu atau kelompok. Pada kondisi
yang lebih berkembang, masyarakat membentuk suatu forum yang menghimpun
anggota masyarakat yang memiliki kepentingan yang sama, dimana mereka dapat
mengambil keputusan, membahas permasalahan, dan berusaha mempengaruhi
kebijakan pemerintah. Dengan demikian, untuk mencapai pelaksanaan
pemanfaatan ruang perkotaan yang sesuai dengan RTRW, keterlibatan masyarakat
harus dihidupkan dan pemahaman masyarakat akan manfaat jangka pendek,
menengah dan panjang penataan ruang perkotan perlu ditingkatkan. Karena ini
akan menentukan sukses dan tidak program RTH yang akan diimplementasikan
22
Salusu J, 1998, Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi
Nonprofit, PT. Grasindo, Jakarta. Hal. 44 23
Hasil wawancara dengan Arif Priyantoro (Kasi Pertamanan dan Sumbermata Air/ menaungi
masalah pembangunan eks-semampir), tgl 5 juni 2017)
72
sebagai bentuk evaluasi, seperti juga disampaikan oleh subyek penelitian sebagai
berikut:
“Setiap program pasti ada evaluasinya, terkait implementasi untuk bisa
dikatakan layak atau sukses rasanya bisa dilihat sendiri bagaimana
masyarakat dan dinas-dinas terkait untuk melakukan penataan ruang sesuai
dengan konsep yang di peruntukan dan bermanfaat tidak hanya dari segi
ekologi akan tetapi juga berdampak pada sektor sosial dan ekonomi, apabila
dari evaluasi tersebut dirasa masih kurang akan di eavluasi dan dimasukan
RPJM daerah pada tahap selanjutnya”.24
Hasil dari implementasi ketentuan penyediaan ruang terbuka hijau
berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang di Kota Kediri yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Kota serta wujud dari
kerjasama baik dari masyarakat dan pemerintah. Dalam hal ini Pemkot Kediri
telah melakukan sosialisasi dan Pemerintah Kota memberikan ongkos pindah
sebagai bentuk motivasi partisipasi masyarakat dalam pembangunan RTH.
Beberapa partisipasi dan peran yang diharapkan dimiliki oleh masyarakat
antara lain:
a. Membuka diri terhadap pembelajaran dari pihak luar, terutama yang
terkait dengan RTRW, pemanfaatan ruang dan pengawasan pemanfaatan
ruang.
b. Mampu mengidentifikasi persoalan lingkungannya sendiri,
peluangpeluang, dan mengelola kawasan budidaya dan lindung di
lingkungan sekitarnya.
24
Hasil wawancara dengan Apip Permana (Kabag Hubungan Masyarakat dan Protokoler), tgl 6
juni 2017
73
c. Mampu mengorganisasi diri dan mendukung pengembangan wadah local
atau forum masyarakat sebagai tempat masyarakat mengambil sikap atau
keputusan.
d. Melaksanakan dan mengawasi pemanfaatan ruang sesuai ketentuan yang
berlaku.
e. Berperan aktif dalam kegiatan yang melibatkan masyarakat, baik berupa
pemberian masukan, pengajuan keberatan, penyelenggaraan konsultasi,
penyusunan program bersama pemerintah, atau berpartisipasi dalam
proses mediasi.
f. Membina kerjasama dan komunikasi dengan pemerintah agar
kebijakan publik yang disusun tidak merugikan kepentingan masyarakat
5.2 Faktor Pendukung dan Pengahambat Penanganan Ruang Terbuka Hijau
5.2.1 Faktor Pendukung
Ruang Terbuka Hijau (RTH) didalam lingkungan pembangunan secara
global saat ini diperlukan demi menjaga keseimbangan kualitas lingkungan hidup
suatu daerah khususnya di daerah perkotaan yang memiliki berbagai
permasalahan berkaitan dengan masalah ruang yang sedemikian kompleks. RTH
tersebut pada dasarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari penataan
ruang kota yang antara lain berfungsi sebagai kawasan hijau pertamanan kota dan
paru-paru kota. Seperti halnya mengenai refungsi eks Lokalisasi Semampir
sebagai RTH, dimana penutupan eks lokalisasi ditetapkan melalui peraturan
daerah (perda) yang mendapat dukungan dari masyarakat setempat sebagai bentuk
74
partisipasi dalam pembangunan RTH, seperti juga disampaikan oleh subyek
penelitian sebagai berikut:.
“Kalau sampai saat ini waktu saya mengerjakan ek-slokalisasi Semampir ini
justru pasca pembongkaran ini mereka antusias, karena mereka ingin cepat
terealisasi dan cepat mendapatkan uang dari program-program
pembangunan nya itu mulai dari pembangunan pertokoan, tenaga parkir dan
keamanan dan lain lain akhirnya mereka mendapatkan perputaran uang”.25
Hal ini dapat dijelaskan bahwa di Kota Kediri banyak penyediaan Ruang
Terbuka Hijau yang menjadi tempat berdagang para pedagang kaki lima selain itu
banyak juga masyarakat yang kurang perduli dengan keberadaan Ruang Terbuka
Hijau. Padahal ruang terbuka hijau sangatlah penting untuk kelangsungan hidup
manusia. Mengingat bahwa Ruang Terbuka Hijau adalah factor determinan dalam
menentukan kualitas lingkungan kota, maka ruang terbuka hijau itu sendiri harus
berada dalam keadaan terbaiknya. Unsur-unsur ruang terbuka hijau, seperti
pepohonan, badan-badan air, harus berada pada kondisi dan situasi yang sesuai
dengan persyaratan kehidupannya. Jadi keberadaan ruang terbuka hijau itu sendiri
bukanlah obyek, tetapi subyek peningkatan kualitas bagi wilayah perkotaan
tersebut. Dalam menciptakan ruang terbuka hijau kota untuk meningkatan kualitas
kehidupan kota, seperti juga disampaikan oleh subyek penelitian sebagai berikut:
“Diharapkan bahwa dengan apa yang dilakukan pemerintah kota dapat
menambah kemakmuran masyarakat di kota Kediri, selain menjadi tempat
bermanfaat dan menunjang dalam setiap kegiatan masyarakat, juga dalam
mengembangkan kota Kediri semakin maju dari semua elemen masyarakat,
ekologi dan sosial ekonomi menjadi lebih baik bukan hanya dari segi
kualitas tapi juga kuantitas dan menjadi kebanggaan masyarakat kota
Kediri”.26
25
Hasil wawancara dengan Arif Priyantoro (Kasi Pertamanan dan Sumbermata Air/ menaungi
masalah pembangunan eks-semampir), tgl 5 juni 2017) 26
Hasil wawancara dengan Apip Permana (Kabag Hubungan Masyarakat dan Protokoler), tgl 6
juni 2017
75
Dari seluruh rangkaian prioritas program Dinas Tata Ruang, umumnya
melibatkan peran serta secara aktif dari masyarakat dalam rangka mewujudkan
kotanya sebagai kota yang indah, bersih, nyaman, sehat, asri dan lestari. Dengan
keterlibatan masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan ruang terbuka hijau
ini, maka diharapkan mereka sadar bahwa untuk menciptakan suatu lingkungan
hidup yang baik bukan hanya merukapan tanggung jawab Pemerintah Kota
semata, namun juga menjadi tanggung jawab warga kota khususnya Kota
Kediri. Hal ini seperti juga disampaikan oleh subyek penelitian sebagai berikut:
“Harapanya ekslokalisasi semoga bisa dimanfaatkan lebih baik kedepanya
berguna bagi masyarakat, semoga sesuai dengan harapan pemkot dan
masyarakat dan tidak timbul masalah Penyakit masyarakat lagi. Di
ekslokalisasi sendiri tidak timbul masalah lagi, tidak timbul prostitusi di
temapt lain. Tidak ada prostitusi lagi yang samar samar entah itu di
kafe,warung,hotel atau tempat lainya. Agar menjadikan kota Kediri semakin
lebih baik lagi”.27
Hal ini dapat dijelaskan bahwa kegiatan pengelolaan ruang terbuka hijau
oleh masyarakat umumnya dapat dilihat di kawasan permukiman, warga
masyarakat mengelola dan memelihara secara gotong royong. Mengingat bahwa
Ruang Terbuka Hijau adalah factor determinan dalam menentukan kualitas
lingkungan kota, maka ruang terbuka hijau itu sendiri harus berada dalam keadaan
terbaiknya. Jadi keberadaan ruang terbuka hijau itu sendiri bukanlah obyek, tetapi
subyek peningkatan kualitas bagi wilayah perkotaan tersebut.
5.2.2 Faktor Pengahambat
Meskipun Pemerintah Daerah Kota Kediri telah mengeluarkan kebijakan
tentang Pengelolaan dan Pengendalian Lingkungan Hidup, akan tetapi
27
Hasil wawancara dengan Sulaiman Fadli (Kasubag Umum), tgl 6 juni 2017
76
berkurangnya fungsi ruang terbuka hijau yang terus berlangsung dapat
menurunkan kualitas lingkungan hidup. Adanya faktor-faktor dan kendala-
kendala yang mempengaruhi berkurangnya ruang terbuka walaupun sudah ada
kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota dari pemerintah daerah dalam hal
penanganan jumlah ruang terbuka yang sesuai. Termasuk juga pembenahan tata
kota, seperti yang tercantum dalam perda Kota Kediri Nomor 1 tahun 2012.
Pemerintah daerah dalam peraturan daerah tersebut sendiri telah mencanangkan
program tentang tata ruang di wilayah strategis Kota Kediri. Namun demikian
masih terkendalah dengan kurangnya anggaran dalam melaksanakan
pembangungan RTH, seperti juga disampaikan oleh subyek penelitian sebagai
berikut:
“Sebenarnya faktor penghambat pembangunan RTH eks-lokalisasi semampir
terbentur dana juga anggaran, karena program pak wali itu ada program harus
dipenuhi (besar), sedang dan ringan, nah pembangunan eks lokalisasi
semampir ini termasuk program yang sedang bukan yang harus cepat
dipenuhi (besar), hari ini tahun 2016-2017 kita sudah membangun taman
sekartaji, taman memorial park dan membangun taman ngronggo, itu sudah
hampir mencapai 15 milyar lebih dan tahu ini kita kan membangun taman di
daerah PDAM tanpa mengurangi satu tumbuhan pun itu akan menjadi taman
hutan kota, jadi kita lebih mendahulukan program program yang sudah
berjalan seperti RSUD dan jembatan baru yang mandek pemabanguan”.28
Posisi, potensi riil, dan kondisi Kediri dalam konteks interaksi dengan
kawasan hinterland-nya yang begitu terbuka dan mudah diakses, membawa
konsekuensi-konsekuensi yang mau tidak mau harus ditanggung dan diupayakan
solusinya. Berdasarkan pada situasi dan kondisi yang dihadapi saat ini terdapat
perbedaan nilai-nilai yang dianut tentang pemanfaatan ruang antara pemerintah
28
Hasil wawancara dengan Arif Priyantoro (Kasi Pertamanan dan Sumbermata Air/ menaungi
masalah pembangunan eks-semampir), tgl 5 juni 2017)
77
dan masyarakat. Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Kota Kediri menganut nilai
memanfaatkan tanah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tanah
dimanfaatkan tanpa merusak lingkungan sekitar dan harus memperhatikan
estetika, untuk kepentingan semua pihak.
“Kami berharap percepatan pembanguan RTH ini semakin baik dikota Kediri,
mekudian masyarakt kota Kediri ini bisa menikmati ndak perlu jauh jauh ke
luar kota, di dalam kota pun sudah cukup. Sumber mata air di kota Kediri ini
bisa di tambah lagi melalui upaya perencanaan yang lebih baik”.29
Berdasarkan wawancara penulis dengan subyek penelitian di atas bahwa
Pemerintah Kota dalam pelaksanaan penyediaan Ruang Terbuka Hijau
berdasarkan Pasal 29 UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang di Kota Kediri ada sedikit hambatan meskipun Pemkot Kediri telah
melakukan instruksi khusus dari bapak walikota, seperti juga disampaikan oleh
subyek penelitian sebagai berikut:
“Seperti yang kami sampaikan sebelumnya, bahwa instruksi khusus dari
bapak walikota, dimana beliau mencanangkan banyak sekali program
program jadi yang mana urgensinya perlu di utamakan dan didahulukan
selain faktor anggaran juga pada dinas-dinas terkait untuk penanganan
program-program tersebut”.30
Dalam pelaksanaannya untuk merelokasi penduduk yang bermasalah dengan
penataan ruang, Pemkot memiliki Tim yaitu ada Tim dari beberapa SKPD yaitu
Tim Teknis dan Nonteknis, untuk Nonteknis bertugas untuk pendekatan terhadap
masyarakat dan maupun swasta, yaitu ada Dinas Tata Ruang Kota sebagai
penanggung jawab, Kepala Satpol PP sebagai Ketua pelaksana, untuk
pelindungnya dapat dari Walikota sendiri ataupun Wakil Walikota, lalu untuk
29
Hasil wawancara dengan Apip Permana (Kabag Hubungan Masyarakat dan Protokoler), tgl 6
juni 2017 30
Hasil wawancara dengan Sulaiman Fadli (Kasubag Umum), tgl 6 juni 2017
78
Setda dan Asisten pemerintahan bertugas untuk mengkoordinasikan ke bawahnya
yaitu Camat, Lurah. Maka semua terlibat, sebagai pihak yang mengantisipasi
kemungkinan-kemungkinan apabila terjadi hambatan dalam pelaksanaan
penyediaan ruang hijau bagi publik di Wilayah Kediri.
Berdasarkan pantauan penulis di lapangan masih ada benturan-benturan
mengenai perbedaan kepentingan antar manusia, dari yang sekedar untuk
mendapatkan ruang hidup saja, dengan kepentingan yang hendak memperoleh hak
penguasaan atau pemilikan yang berlebih-lebihan, antara kepentingan
pembangunan dan kepentingan perorangan.
Salah satu bentuk sektor informal yang dikaji lebih lanjut adalah pedagang
Kaki Lima, karena Pedagang Kaki Lima dikategorikan sebagai jenis pekerjaan
yang penting dan relatif khas khususnya sebagai usaha kecil-kecilan
yang kurang teratur. Istilah Pedagang Kaki Lima sendiri mengarah pada konotasi
pedagang barang dagangan dengan menggelar tikar di pinggir jalan, atau di muka-
muka toko yang dianggap strategis. Terdapat pula sekelompok pedagang yang
berjualan dengan menggunakan kereta dorong dan kioskios kecil.
Pedagang Kaki Lima di Kota Kediri pun memanfaatkan tempat yang
semestinya menjadi Ruang Terbuka Hijau, misalnya saja taman kota yang
menjadi tempat para Pedagang Kaki Lima. Pemerintah Kota Kediri sudah
menyediakan tempat untuk para Pedagang Kaki Lima tersebut tidak jauh dari
taman kota. Tetapi dalam pelaksanaann masih ada beberapa Pedagang Kaki
Lima yang masih berdagang di taman kota, memang cukup sulit untuk
menanggulangi para pedagang tersebut jika pemerintah tidak tegas. Relokasi
79
pedagang tersebut itu untuk mengembalikan fungsi Taman Kota
yang sebenarnya sebagai Ruang Terbuka Hijau.
Berbagai kepentingan itu seringkali sulit untuk menentukan penyelesaian
yang memuaskan semua pihak yang terkena, oleh karenanya dapat menimbulkan
permasalahan yuridis. Misalnya, tawar menawar kebijakan RTH di atas lahan
seluas 3,6ha tersebut ini terjadi ketika perwakilan warga RW 05 eks-Lokasisasi
Semampir sempat memberikan masukan dan meminta Pemerintah Kota Kediri
untuk meninjau kembali kebijakan agar nantinya masyarakat tetap mendapatkan
pendampingan atas kebijakan itu.
Kendala lain adalah masih terbatasnya sarana dan prasarana yang ada di
daerah yang pertumbuhan pembangunannya terhambat dan masih memiliki
banyak ruang-ruang kosong ataupun lahan mangkrak. Sehingga sebagai salah satu
upaya mewujudkan pemenuhan sarana dan prasarana tersebut serta melaksanakan
pembangunan yang merata, Pemerintah Kota dalam Raperda RTRW-nya berusaha
untuk dapat menerapkan ketentuan penataan ruang sesuai dengan UU No.26
Tahun 2007 begitupula dalam penyediaan ruang terbuka hijau sebagai intensitas
pemanfaatan ruang sebagai penyeimbang ekosistem lingkungan.
Maka program partisipasi masyarakat bertujuan menyadarkan masyarakat
luas agar memahami pentingnya ruang terbuka hijau dalam meningkatkan kualitas
lingkungan, mengubah gaya hidup masyarakat menjadi sadar lingkungan, dan
mengarahkan masyarakat berwawasan lingkungan menuju masyarakat
berwawasan ekologis. Pada akhirnya, pencapaian kuantitas ruang terbuka hijau
kota minimal 30 % dapat terwujud karena dukungan dan partisipasi masyarakat.
80
BAB VI
PENUTUP
Di dalam bab ini akan disajikan kesimpulan dan saran-saran terhadap
masalah-masalah yang dibahas dalam bab-bab sebelumnya.
6.1 Kesimpulan
Dari perumusan masalah yang penulis kemukakan serta
pembahasannya baik yang berdasarkan atas teori maupun data-data yang
penulis dapatkan selama mengadakan penelitian, maka penulis mengambil
kesimpulan sebagai berikut:
Implementasi strategi kebijakan Pemerintah Daerah dalam menyediakan
ruang terbuka Hijau di Kota Kediri yaitu dengan merefungsi lahan menjadi RTH
13,235,667 m2 sedangkan di eks lokalisasi semampir itu 13,925m2(1,39h2) yang
nanti nya akan di pecah antara selatan jembatan dan utara jembatan Selain itu
juga merefungsi ruang terbuka di kota Kediri mulai dari membangun fasilitas
fasilitas umum dan taman taman hijau kota melalui program pengembangan kota
hijau. Kebijakan relokasi sendiri dimulai adanya perda pelarangan aktivitas
prostitusi tahun 2004, secara berkala sampai terakhir tahun 2016 secara resmi
harus dikosongkan. Perencanaan mulai dari Pradesain tahun kemudian ke desain
atau DED ditahun 2018 dan pembangunan secara fisik di tahun 2019. Dalam hal
ini dinas sosial memiliki klasifikasi terhadap warga yang terkena dampak yaitu,
warga miskin dan wanita tuna susila serta anak jalanan. Walaupun sebelumnya
banyak penolakan dari warga yang tergusur, namun dengan terus diberikan
81
sosialisasi dan pendampingan serta pembekalan, pelatihan dan alih profesi. Upaya
penanaman dan penghijauan telah dilakukan tanggal 19 mei 2017 bersama bapak
walikota yang didukung oleh masyarakat sekitar karena rencanaya akan di jadikan
taman bermain layak anak dan wisata kuliner.
Faktor pendukung penanganan ruang Terbuka HIjau di Kota Kediri adalah
masyarakat yang antusias, karena mereka ingin cepat terealisasi dan cepat
mendapatkan uang dari program-program pembangunan RTH. Selain itu
ekslokalisasi sendiri tidak timbul masalah sosial juga tidak timbul prostitusi lagi
yang samar samar seperti di kafe, warung, hotel atau tempat lainya. Faktor
pengahambat penanganan ruang Terbuka HIjau di Kota Kediri adalah terbentur
dana juga anggaran, karena program RTH ada program yang harus dipenuhi
(besar), sedang dan ringan. Untuk pembangunan eks lokalisasi semampir
termasuk program yang sedang bukan yang harus cepat dipenuhi (besar). Selain
faktor anggaran juga pada kinerja dinas-dinas terkait untuk memaksimalkan
penanganan program-program tersebut.
6.2 Saran
Setelah melakukan penelitian dan menganalisis data yang diperoleh,
beberapa hal yang dapat disarankan adalah:
1. Seiring dengan pembangunan yang terus menerus di Kota Kediri ini
maka perlu adanya perhatian khusus dari Pemerintah Kota sehingga
dalam perencanaan kota, pembangunan fisik kota kedepannya tidak
bersifat terpusat (tersentralisasi). Begitu pula dalam sebaran ruang
terbuka hijau.
82
2. Dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan perekonomian Kota
Kediri, seiring dengan makin sempitnya ruang khususnya semakin
menipisnya ruang terbuka hijau kota maka setidak-tidaknya pemerintah
kota dapat lebih memanfaatkan daerah–daerah yang kurang bisa
dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Daerah yang layak
dan memadai ini yang merupakan elemen ruang kota yang sangat vital
bagi kehidupan sebuah kota. Sehingga penambahan trotoar sebagai jalur
hijau (green belt) dan jalur pejalan kaki (pedestrian) di setiap jalur-jalur
baik yang dilalui oleh kendaraan-kendaraan umum hingga ke pelosok –
pelosok pemukiman penduduk, adalah langkah yang paling praktis dan
konservatif demi mendapatkan kualitas lingkungan hidup yang lebih
baik
DAFTAR PUSTAKA
Amatus Woi, , 2008. Menyapa Bumi menyembah Hyang Ilahi, dalam tulisan
“Manusia dan Lingkungan dalam persekutuan ciptaan” Yogyakarta:
Kanisius
Daud Silalahi. 2001. Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum
Lingkungan Indonsia. Bandung: Alumni
Dunn, 2000, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, dalam Muhadjir Darwin
(Penyunting), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Eugene, 1977, The Implementation Game : Massacchussetts, The Mit Press
Fadillah, 2001, Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta
Irawan. 2008. Metode Penelitian Sosial. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung
Jan Timbergea, 1987. Rencana Pembangunan, Jakarta
Martin, Lawrence L dan Kettner, M Peter, 1996, Measuring The Peformance of
Human Service Programs, International Educational and Professional
Publisher Thousand Oaks, London New Delhi, California
Moleong. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya: Bandung
Sabatier and Mazmanian, 1986, Top Down and Buttom Up Approach to
Implementation Research, in Journal of Public Policy
Saiman, M.Si, dkk. 2004 . Pengantar Pembangunan. UMM Press, Malang
Siagian, Sondang. 1988. Administrasi Pembangunan. Gunung Agung. Jakarta
Solichin, Abdul Wahab. 2001, Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke
Implementasi Kebijakan Negara, PT. Bumi Aksara, Jakarta
Soul M. Kattz, terjemahan Tjahya Supriatna, 2000. Organisasi dan Koordinasi
Pembangunan, Jakarta
Supanji, Babad. Dkk.2004. Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan
Daerah. Humaniora.
Tim Evaluasi Hukum. 2007. Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pengelolaan
Kawasan Perkotaan dan Pedesaan. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
Van Meter and Van Horn, 1975, The Policy Implementation Proceess A
Conceptual Framework in Administration and Society, Volume, 6 No. 4,
Sage, Baverly Hills
Instruksi Mendagri Nomor 4 Tahun 1988
Direktorat Jendral Departemen PU Tahun 2006, Ruang Terbuka Hijau
Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. 2004." Formulir Isian Untuk
Analisi SWOT untuk Sepuluh Fungsi Pemerintah Daerah'" Diakses pada
tanggal 21 Juni 2015 dari www.scbdp.com
Direktorat Jendral Departemen PU Tahun 2006, Ruang Terbuka Hijau Sebagai
Unsur Utama Tata Ruang Kota SNI 2004. Tata Cara Perencanaan
Lingkungan Perumahan Di Perkotaan
Wikipedia. 2008. "Pemerintah Daerah". Diakses pada Tanggal 20 Juni 2015 Dari
www.wikipedia.com
Peraturan Mendagri No 1 Tahun 2007 Penataan RTH Kawasan Perkotaan
Bappeda Kota Kediri, Rencana Aksi Ruang Terbuka Hijau, Tahun 2009
Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman, Tahun 2007, Ruang Terbuka
hijau di Perumahan Graha Estetika Semarang