universitas indonesia putusan hakim …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334083-t32533-hendro...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
PUTUSAN HAKIM DILUAR DAKWAAN DALAM PERKARA
TINDAK PIDANA NARKOTIKA
TESIS
HENDRO WICAKSONO
1106031116
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCA SARJANA
JAKARTA
JANUARI 2013
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
PUTUSAN HAKIM DILUAR DAKWAAN DALAM PERKARA
TINDAK PIDANA NARKOTIKA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Magister Hukum
HENDRO WICAKSONO
1106031116
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCA SARJANA
KEKHUSUSAN PRAKTEK PERADILAN
JAKARTA
JANUARI 2013
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar
Nama : HENDRO WICAKSONO
NPM : 1106031116
Tanda Tangan :
Tanggal : 21 Januari 2013
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh :
Nama : Hendro Wicaksono, SH.
NPM : 1106031116
Program Studi : Magister Ilmu Hukum
Judul Tesis : Putusan Hakim Diluar Dakwaan Dalam Perkara Tindak
Pidana Narkotika
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai
bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum
pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 21 Januari 2013
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilaalamiin, puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat
Allah SWT, hanya atas berkat dan rahmat-Nya lah Penulis dapat menyelesaikan
tesis dengan judul “Putusan Hakim Diluar Dakwaan Dalam Perkara Tindak
Pidana Narkotika”. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah
satu syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini tidak akan terwujud tanpa
bantuan dan bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu melalui kesempatan ini
Penulis menghaturkan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Rosa Agustina, SH., MH., selaku Ketua Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan segenap jajaran Pimpinan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
2. Bapak Dr. Surastini Fitriasih, SH., MH. , selaku pembimbing yang banyak
memberikan masukan berharga dalam penulisan ini.
3. Bapak Prof. Mardjono Reksodiputro, SH., MA., Bapak Prof. Erman
Rajagukguk, SH., L.LM, Ph.D, Ibu Prof. Harkristuti Harkrisnowo, SH., MA.,
Ph.D, Bapak Prof. Hikmahanto Juwana, SH., L.LM, Ph.D, Topo Santoso,
SH., MH., Ph.D, Ibu Dr. Eva Achjani Zulfa, SH., MH., , serta Bapak/Ibu
Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang telah
memberikan banyak wacana dan cakrawala berpikir serta memberikan
banyak pengetahuan bagi Penulis.
4. Bapak Dr. H.M. Hatta Ali, SH., MH., selaku Ketua Mahkamah Agung RI dan
seluruh jajaran Pimpinan Mahkamah Agung RI atas kesempatan yang
diberikan kepada Penulis untuk mengikuti program tugas belajar.
5. Chief of United States Agency for International Development (USAID)
Indonesia - Changes for Justice (C4J) Programme, Ibu Dian Cahayani, dan
seluruh pelaksana program C4J, atas segala bantuan yang diberikan selama
Penulis mengikuti program beasiswa.
6. Papa Teguh Santoso dan Mama Siti Herminingsih, kedua orang tua Penulis
yang senantiasa memberikan dukungan moril maupun materiil dengan penuh
kesabaran dan kasih sayang.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
v
7. Noni Agustiana, Amk. Istriku serta kedua jagoan kecilku M.Raditya Caesare
Adroni dan M Adilla Satria Mahendra tercinta yang selalu memberikan
dukungan dan menjadi motivasi bagi Penulis.
8. Teman-teman seperjuangan kelas khusus Mahkamah Agung RI pada program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang senantiasa menjadi
teman diskusi dan membantu dalam mengumpulkan data penulisan ini, serta
atas persahabatan dan kebersamaannya selama menjalani tugas belajar.
9. Rekan-rekan hakim dan seluruh karyawan/karyawati Pengadilan Negeri Koto
Baru Kab Solok yang selalu mendukung Penulis selama menjalankan tugas
belajar.
10. Tanpa mengurangi rasa hormat Penulis, terima kasih juga Penulis sampaikan
kepada seluruh pihak lain yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu,
yang telah memberikan bantuan selama Penulis menjalani studi pada
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Semoga amal baik dan bantuan yang diberikan oleh Ibu/Bapak, Saudari/Saudara
mendapatkan imbalan dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa karena segala keterbatasan kemampuan dan
pengetahuan yang dimiliki, penulisan tesis ini sangat jauh dari sempurna, karena
itu Penulis terbuka atas segala saran, masukan, dan kritik yang membangun atas
penulisan ini. Sedikit yang dapat Penulis lakukan, tetapi semua Penulis baktikan
untuk pengetahuan dan penegakan hukum di Indonesia. Semoga tesis ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca dan pihak yang berkepentingan.
Jakarta, 21 Januari 2013
Penulis
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, Saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama : Hendro Wicaksono, SH.
NPM : 1106031116
Program Studi : Magister Ilmu Hukum
Fakultas : Hukum
Jenis Karya : Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah Saya yang berjudul:
“Putusan Hakim Diluar Dakwaan Dalam Perkara Tindak Pidana
Narkotika’’, beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas
Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (data base),
merawat, dan mempublikasikan tugas akhir Saya selama tetap mencantumkan
nama Saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini Saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Januari 2013
Yang menyatakan
(HENDRO WICAKSONO, SH.)
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
vii
ABSTRAK
Nama : Hendro Wicaksono
Program Studi : Magister Ilmu Hukum
Judul :“Putusan Hakim Diluar Dakwaan Dalam Perkara Tindak
Pidana Narkotika’’
Permasalahan utama yang diangkat dari penelitian ini adalah tentang banyaknya
putusan diluar dakwaan dalam perkara narkotika khususnya yang diputus oleh
Pengadilan Negeri , secara normatif pasal 182 (4) KUHAP telah menentukan
bahwa musyawarah hakim untuk mengambil keputusan harus didasarkan atas
surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
Namun dalam prakteknya ditemukan banyak putusan perkara narkotika yang
diputus oleh hakim “diluar surat dakwaan” . Penelitian ini mengkaji landasan
pemikiran apa yang dipergunakan oleh hakim dalam memutuskan perkara pidana
narkotika dengan “putusan diluar dakwaan” .Metode penelitian ini adalah
pendekatan yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif ini dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka dan bahan primair berupa beberapa putusan Pengadilan
Negeri dan putusan Mahkamah Agung RI. Dari hasil penelitian diketahui bahwa
putusan diluar dakwaan yang diterapkan oleh hakim didasari atas moral justice
dan social justice .
Kata kunci:
Putusan, Hakim, diluar dakwaan.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
viii
ABSTRACT
Name : Hendro Wicaksono
Study Program : Master of Law
Title : The Judge decision beyond of the indictment especially for
narcotic cases
The main problems of this research is about decision or judgement beyond of the
indictment especially for narcotic cases. That has been decided by the District
Court ( Pengadilan Negeri ) which has implied at the article of 182,(4). Criminal
Prosedure Court (KUHAP), has been determined that “The judges of delebration
to take the decision should be based on the indictment and proved of investigation
“. However, at the real condition were found many decisions of narcotic case
taked beyond the indictment. This research revewing what rationale that is used
by the judges in deciding narcotic criminal case by rulingout the indictment.
This reseach method is called normatif yuridical approach. Normatif yuridical
approach are doing by research from primary library materials, Distric Courts
decision and also takes from Supreme Court decision.
From the result of the research we have known that decision beyond indictment is
defined by the judge based on moral justice and social justice
Key words :
Judge decisions beyond of indictment
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
ix
DAFTAR ISI
Halaman Judul........................................................................................... i
Lembar Pengesahan ............................................................................... ii
Halaman Pengesahan ................................................................................ iii
Kata Pengantar ............................................................................... iv
Halaman Pernyataan Persetujuan Publikasi Tugas Akhir Untuk
Kepentingan Akademis ............................................................................ v
Abstrak ........................................................................................... vi
Abstract ........................................................................................... vii
Daftar Isi ............................................................................................ viii
Daftar Tabel ............................................................................................ xii
Bab 1 Pendahuluan .............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang Permasalahan .............................................. 1
1.2. Pernyataan Permasalah.......................................................... 9
1.3. Pertanyaan Penelitian............................................................ 10
1.4. Tujuan Penelitian.................................................................. 10
1.5. Manfaat Penelitian................................................................ 10
1.6. Metode Penelitian................................................................. 11
1.7. Kerangka Teori...................................................................... 13
1.8. Kerangka Konsepsional........................................................ 18
1.9. Sistematika Penulisan.......................................................... 23
Bab 2 Tujuan Umum Mengenai Tindakan Pidana Narkotika, Jenis Surat
Dakwaan Dan Jenis Putusan Hakim .......................................... 25
2.1. Pengertian Narkotika ........................................................... 25
2.2.UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Pidana
Minimum Khusus..................................................................... 27
2.3. Pecandu dan Ketergantungan Narkotika… ......................... 29
2.4. Penggolongan Pelaku Tindak Pidana Narkotika ...................... 30
2.5.Penggolongan Jenis Narkotika dan Daftar Narkotika................ 32
2.6 Pengertian Umum Tentang Surat Dakwaan…………………. 40
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
x
2.7 Jenis-jenis Putusan Hakim………………………………… 43
2.7.1 Putusan Bebas…………………………………… 44
2.7.2 Putusan Pelepasan Dari Segala Tuntutan Hukum….. 46
2.7.3 Putusan Pemidanaan ………………………………. 48
Bab 3 Keadilan Substantif dan Batas Kewenangan Hakim Untuk
Menjatuhkan Putusan Berdasarkan Surat Dakwaan ..................... 50
3.1. Batasan Kewenangan Hakim Dalam Mengadili Perkara ........ 50
3.1.1. Independensi Kekuasaan Kehakiman ............................ 50
3.1.2. Wewenangan Hakim Dalam Mengadili Perkara Pidana… 56
3.1.3. Pembatasan Kewenangan Hakim.................................. 57
3.2. Kewenangan Hakim Untuk Menjatuhkan Putusan
Di Luar Pasal Dakwaan ........................................................... 60
3.2.1. Fungsi Surat Dakwaan Dalam Pemeriksaan
Persidangan ..…………….…….................................... 60
3.2.2. Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Timbulnya
Perbedaan Fakta Persidangan Dengan surat
Dakwaan………...………………………...................... 63
3.2.3. Fungsi Substantif Dalam Putusan Hakim di Luar
Surat Dakwaan ..…..….……….................................... 65
Bab 4 Analisa Putusan Pengadilan Negeri dan Makamah Agung
RI Terkait Putusan Di luar Dakwaan ......................................... 69
4.1 Hasil Penelitian.…………...………………………… 69
4.1.1. Beberapa “Putusan Diluar Dakwaan”
Dalam Perkara Narkotika Oleh Hakim
Pengadilan Negeri................................................. 69
4.1.2. Beberapa Putusan Makamah Agung RI
Terkait “Putusan Diluar Dakwaan”
Dalam Perkara Narkotika………............................ 90
4.1.3 Hasil Wawancara.…………………………… 101
4.2. Putusan Hakim Ketika Menemukan Fakta Persidangan
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
xi
Tidak Sesuai Dengan Dakwaan Dan Tuntutan Penuntun
Umum Dalam Perkara Narkotika.................................... 108
4.3. Dasar-dasar Pertimbangan Hakim Menjatuhkan
“Putsan Diluar Dakwaan” Dalam Perkara Narkotika............. 114
4.4 Pandangan Makamah Agung Terhadap
“Putusan Di luar Dakwaan” Yang Dijatuhkan Oleh
Pengadilan Tinggi Negeri Dan pengadilan Tinggi
Dalam Praktek Peradilan Pidana Di Indonesia………… 121
4.4.1. Pandangan Hakim Agung Yang Tidak
Membenarkan Putusan Di Luar Dakwaan
Untuk Kemudian Membebaskan Terdakwa.............. 121
4.4.2. Pandangan Hakim Agung Yang Membenarkan
Putusan Diluar Dakwaan…………............................ 123
Bab 5 Penutup ........................................................................................ 126
5.1. Kesimpulan........................................................................... 126
5.2. Saran .................................................................................... 127
Daftar Pustaka
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Pasal Dakwaan dan Putusan Diluar Dakwaan...................... 109
Tabel 2. Pertimbangan Hal-hal Yang Memberatkan dan
Meringankan............................................................................ 112
Tabel 3. Barang Bukti Yang Diajukan Kepersidangan.......................... 115
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
13
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Permasalahan
Narkotika pada dasarnya adalah obat atau bahan yang bermanfaat di
bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Hal ini dinyatakan pada bagian pertimbangan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.1 Jadi sebenarnya narkotika adalah
sesuatu yang memiliki banyak manfaat, sedangkan yang dilarang adalah
penyalahgunaannya. Sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan UU
tersebut dan di sisi lain narkotika dapat pula menimbulkan ketergantungan
yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa
pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.2
Di Indonesia, penyalahgunaan narkotika sudah sampai pada taraf
memprihatinkan, bukan hanya kuantitas penyalahgunaannya yang semakin
banyak dan meluas akan tetapi penggunanya juga telah menjalar hampir ke
semua lapisan masyarakat mulai dari pelajar dari segala tingkat, hingga
pejabat-pejabat negara pun terlibat dalam tindak pidana narkotika ini. Hal ini
dibenarkan oleh Ketua Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Gories
Mere yang menyatakan bahwa peredaran narkotika di Indonesia mempunyai
kecenderungan meningkat dan yang sangat disayangkan pengguna narkotika
saat ini sudah mulai dilakukan oleh aparat pemerintah dan penegak hukum.3
Sebagaimana pula dikemukakan oleh Direktur Penindakan dan Pengejaran
Narkoba Badan Narkotika Nasional (BNN), Irjen Benny Joshua Mamonto,
bahwa berdasarkan data penelitian BNN dengan Universitas Indonesia pada
1 Indonesia, Undang-Undang tentang Narkotika, UU No. 35 Tahun 2009, LN Tahun 2009 No.
143, TLN No. 5062. 2 Ibid. 3 http://nasional.kompas.com / read / 2012 / 10 / 31 / 14280327 / Pengguna. Narkoba. 5.8. Juta.
Tahun. 2012.
1
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
14
tahun 2011 diketahui bahwa jumlah pengguna narkoba di tanah air mencapai
3,8 juta orang.4
Koran Tempo bahkan memuat editorial dengan tajuk “Tahun
Darurat Narkotik”. Dengan mengutip data yang dikeluarkan oleh Badan
Narkotika Nasional, dikatakan bahwa merajalelanya narkotik itu tergambar
dari jumlah pecandu yang terus melonjak.5 Terkait dengan peredaran dan
penggunaan narkotika di masyarakat maka pemerintah telah melakukan
upaya untuk melakukan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana
narkotika dan sebenarnya telah banyak para pelaku mendapat putusan (vonis)
hakim, akan tetapi semakin hari pada kenyataannya justru sebaliknya
semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula
peredaran serta perdagangan gelap narkotika tersebut.6
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tentunya
hanya akan menjadi suatu Undang-undang yang diam ketika tidak ada aparat
pelaksana untuk menjalankannya dan dalam sistem hukum di Indonesia suatu
hukum yang baik akan dapat berjalan apabila ada suatu substansi yang dapat
bermanfaat sebagai sarana penegak keadilan dan didukung oleh aparat
penegak hukum yang konsisten mengikuti substansi tersebut maupun
konsisten menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kewenangan negara untuk
memberikan sanksi pidana kemudian didelegasikan kepada para penegak
hukum yang bekerja dalam suatu sistem yang dikenal dengan nama Sistem
Peradilan Pidana. Mardjono Reksodiputro berpendapat Sistem Peradilan
4 http://www.tempo.co / read / news / 2012 / 03 / 15 / 064390473 / BNN – 38 – Juta – Warga –
Indonesia – Gunakan – Narkoba. 5 Redaktur Koran Tempo, “Tahun Darurat Narkotik”, Koran Tempo, (22 September 2011),
hlm. A2. Dari sekitar 1,75 persen dari jumlah penduduk pada tahun 2005, pengguna narkotik
meningkat menjadi 1,99 persen pada tahun 2008, dan kini melonjak ke angka 2,2 persen dari
jumlah penduduk. Kerugian ekonomi akibat maraknya narkotik ditaksir lebih dari Rp. 50 Triliun
per tahun. 6 Berita-berita tentang tindak pidana narkotika ramai diberitakan di media masa mulai dari
berita ditangkapnya pengedar narkotika di kalangan pelajar, hingga berita ditangkapnya seorang
oknum hakim yang sedang pesta narkotika. Lihat: Fabian Januarius Kuwando, “Sambil Pesta
Sabu, Hakim Puji Bahas Kasus PTUN”, <http://megapolitan.kompas.com / read / 2012 / 10 / 23 /
11212281 / Sambil. Pesta. Sabu. Hakim. Puji. Bahas. Kasus. PTUN> , 23 Oktober 2012. Juga:
Chairul Akhmad, “Polisi Tangkap Pengedar Narkoba di Kalangan Pelajar”, <http: //www. republika. co. id / berita/nasional/hukum/11/10/14/lt24pj-polisi-tangkap-pengedar-narkoba-di-
kalangan-pelajar>, 14 Oktober 2011.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
15
Pidana (Criminal Justice System) adalah sistem dari masyarakat untuk
menanggulangi masalah kejahatan.7 Komponen-komponen yang bekerja
sama dalam sistem peradilan pidana adalah terutama instansi atau badan
yang kita kenal dengan nama: Kepolisian – Kejaksaan – Pengadilan dan
(lembaga) Pemasyarakatan.8
Struktur penegakan hukum di Indonesia mempunyai peranan
masing-masing dalam menjalankan fungsi hukum, seperti Polisi yang diberi
wewenang oleh Negara untuk memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada warga negaranya serta penegakan hukum yang tertuju
pada terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat, Jaksa yang diberi
wewenang oleh Negara untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang atau
badan hukum yang diduga melawan hukum, yang bertujuan agar terciptanya
suatu hukum formil, dan Hakim yang diberi wewenang oleh Negara untuk
mengadili suatu perkara yang melawan hukum dan memutus sesuai dengan
hak asasi manusia, dan mempunyai tujuan dari putusan tersebut. Ketiga
aparatur tersebut ditambah dengan Lembaga Pemasyarakatan dan Penasihat
Hukum (Advokat) melengkapi sub sistem peradilan pidana dalam 5 (lima)
lembaga atau disebut Panca Wangsa penegak hukum.9 Adapun mengenai
Tujuan dari Sistem Peradilan Pidana menurut Prof. Mardjono dirumuskan
sebagai berikut:
- Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
- Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
- Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
melakukan lagi kejahatannya.10
7 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan
Karangan Buku ketiga (Jakarta: Lembaga Kriminologi UI, 2007), hlm. 84. 8 Mardjono Reksodiputro, Op.cit., hlm. 85. 9 Lilik Mulyadi menyatakan bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia mengenal 5 (lima)
institusi sub sistem peradilan pidana sebagai Panca Wangsa penegak hukum, yaitu Lembaga
Kepolisian (UU No. 2 Tahun 2002), Kejaksaan (UU No. 16 Tahun 2004), Peradilan (UU No. 49
Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 ), Lembaga Pemasyarakatan
(UU No. 12 Tahun 1995) dan Advokat (UU No. 18 Tahun 2003). Lihat: Lilik Mulyadi, Bunga
Rampai Hukum Pidana; Perspektif, Teoretis dan Praktik, hlm. 7. 10 Mardjono Reksodiputro, Ibid., hlm. 85-86.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
16
Seperti kita ketahui proses peradilan pidana bertujuan untuk mencari
dan mendapatkan kebenaran materiil yaitu kebenaran yang selengkap-
lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum
acara secara jujur dan tepat atau due process of law, yaitu selain dari
penerapan hukum atau perundang-undangan secara formal, harus pula
memberikan jaminan perlindungan dan jaminan kepastian hukum terhadap
warganegara untuk memperoleh peradilan yang adil dan tidak memihak
berdasarkan hak asasi manusia.11
Menurut Mardjono Reksodiputro, due
process of law artinya adalah proses hukum yang adil merupakan lawan dari
arbitrary process atau proses yang sewenang-wenang (berdasarkan kuasa
aparat penegak hukum). Due process of law atau peradilan yang adil dalam
pengertian yang benar berintikan perlindungan terhadap kebebasan warga
negara sebagai tonggak utama sistem peradilan pidana dalam negara
hukum.12
Harry C. Bredemeire memandang bahwa tugas pengadilan adalah
untuk membuat suatu putusan yang akan mencegah konflik dan untuk
mewujudkan tugas tersebut, pengadilan membutuhkan tiga masukan (input)
yaitu:
1. Pengadilan membutuhkan analisis tentang hubungan sebab akibat,
antara hal-hal yang diputus dengan kemungkinan-kemungkinan yang
akan diderita dari akibat putusan tersebut.
2. Pengadilan membutuhkan evaluasi tuntutan-tuntutan yang saling
bertentangan dan mengantisipasi efek-efek dari suatu putusan.
3. Pengadilan membutuhkan suatu kemauan para pihak untuk
menggunakan pengadilan untuk menyelesaikan konflik.13
Dari segi hukum, putusan pengadilan merupakan tempat terakhir
bagi pencari kebenaran dan merupakan suatu landasan terakhir dalam suatu
penegakan hukum materiil. Maka dari itulah hakim merupakan penegak
hukum yang dapat mengadili suatu perkara sesuai dengan in book ataupun
sesuai hati nurani diluar dari undang-undang yang mengaturnya hingga
11 Ibid., hlm. 28. 12 Mardjono Reksodiputro, Op.Cit., hlm. 28 13
Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom Dan Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 140-141.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
17
mencapai tahap akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Badan
peradilan merupakan salah satu yang memegang peranan penting dalam
negara hukum yang menganut pembagian/ pemisahan kekuasaan. Kekuasaan
inilah yang pada akhirnya akan menentukan hukumnya.
Menurut Barda Nawawi Arief, kekuasaan kehakiman identik dengan
kekuasaan untuk menegakkan hukum atau kekuasaan penegakan hukum.14
Sedangkan Prof. Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa:
“Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara , bebas dari campur
tangan masyarakat, eksekutif, maupun legislatif. Dengan kebebasan
yang dimilikinya itu, diharapkan hakim dapat mengambil keputusan
berdasarkan hukum yang berlaku dan juga berdasarkan
keyakinannya yang seadil-adilnya serta memberikan manfaat bagi
masyarakat.”15
Seorang hakim juga diharuskan untuk tidak memihak (impartial
judge), yang didalamnya mengandung makna hakim diharuskan menjamin
pemenuhan perlakuan sesuai hak-hak asasi manusia khususnya bagi
tersangka atau terdakwa. Hal demikian telah menjadi kewajiban hakim untuk
mewujudkan persamaan persamaan kedudukan di depan hukum bagi setiap
warga negara (equality before the law).16
Hakim sebagai salah satu aparatur
penegak hukum, mempunyai peran penting dalam usaha menegakan hukum
dengan menjujung tinggi asas keadilan. Mengingat dalam suatu negara
hukum (rechtsstaat) seperti Negara Indonesia maka hakim dalam
menegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu sendi dasar yang
pokok dan utama.17
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa: ”Hakim dan Hakim Konstitusi
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
14 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung , PT Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 27.
15 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan
Nasional, Lembaga Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, (Bandung: Bina
Cipta, 1986), hlm. 319-320. 16 Andi Hamzah dan Bambang Waluyo, Delik-Delik Terhadap Penyelenggaraan Peradilan
(Conterm of Court), (Jakarta: Sinar Grafika, 1988), hlm. 11. 17 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana,( Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 33.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
18
keadilan yang hidup dalam masyarakat” dan juga pasal 10 ayat (1) UURI No
48 Tahun 2009 menentukan: “Pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan
dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.”18
Hakim didalam menjalankan tugas dan fungsinya wajib menjaga
kemandirian peradilan. Sebagaimana ditentukan dalam UU Kekuasaan
Kehakiman diatas, kebebasan pengadilan secara konstitusional dijamin dan
Peradilan bebas merupakan unsur yang essensial dan tidak dapat dihilangkan
dalam negara hukum di Indonesia, akan tetapi dalam kemandirian peradilan
tersebut hakim juga dibatasi dalam hal kewenangannya.19
Pembatasan
kewenangan hakim yang dimaksud disini adalah sebagaimana bunyi Pasal 1
ayat (8) Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) menyebutkan: “Hakim adalah pejabat negara yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.” Pengertian mengadili
diatur dalam Pasal 1 ayat (9) KUHAP yaitu serangkaian tindakan hakim
yang menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas
bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam UU ini.20
Namun, sering kali kemandirian dan kewenangan mengadili itu
menjadi dilema bagi hakim manakala terdapat benturan antara kepastian
hukum dengan rasa keadilan masyarakat. Sebagaimana yang terjadi dalam
penegakan kasus narkotika yang mengalami pergeseran makna bagi
pengguna yang tidak lagi menjadi pelaku kejahatan, melainkan sebagai
korban. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 memang sudah tepat
menempatkan pecandu narkotik bukan sebagai pelaku kejahatan, melainkan
sebagai korban. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011
tentang Wajib Lapor Pecandu Narkotik, pemerintah juga menanggung
18 Indonesia, Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LN No.
157 Tahun 2009 TLN No. 5076. 19 Ibid., Pasal 3 ayat (1). Lihat: Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas, (Jakarta: PT Erlangga,
1980), hlm. 294. 20 Lihat: Indonesia, Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 8 tahun 1981.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
19
seluruh biaya pengobatan pecandu hingga sembuh. Hal ini sejalan dengan
trend penegakan hukum di dunia Internasional terhadap pelaku yang terbukti
sebagai korban penyalahgunaan narkotika tidak dikenakan pidana penjara
akan tetapi masuk ke dalam panti rehabilitasi yang ditunjuk pemerintah hal
seperti ini telah dijalankan di negara Malaysia dan Portugal.21
Dalam beberapa kasus, penegakan hukum terhadap tindak narkotika
ini ternyata memiliki dilema tersendiri. Perbuatan yang termasuk tindak
pidana narkotika pada umumnya adalah merupakan serangkaian perbuatan
yang saling berhubungan. Untuk dapat mengedarkan, menjual, mengekspor
narkotika tentu harus ada perbuatan memiliki atau setidaknya menguasai
narkotika. Demikian pula untuk adanya tindak pidana secara tanpa hak dan
melawan hukum menggunakan narkotika, tentu didahului pula dengan
adanya perbuatan menguasai atau memiliki, karena seseorang tidak mungkin
menggunakan sesuatu yang tidak berada dalam penguasaan atau
kepemilikannya. Sementara kedua tindak pidana tersebut diancam dengan
pidana yang jauh berbeda. Bahkan jika dikategorikan sebagai pecandu, maka
seseorang pelaku tidak dikategorikan sebagai pelaku kejahatan, melainkan
sebagai korban, yang tentu memerlukan perlakuan yang berbeda termasuk
juga oleh sistem peradilan pidana.22
Secara sederhana pelaku dalam tindak pidana Narkotika bisa
dikategorikan Produsen, Pengedar, Pengedar sekaligus
Pecandu/penyalahguna dan pecandu/penyalahguna. Produsen ini adalah
pihak berkaitan dengan proses produksi Narkotika tersebut, sedangkan
pengedar ini adalah pihak yang terlibat dalam proses distribusi narkotika.
Pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika
21 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50d18088e9f22/kejaksaan-memandang-pasal-54-
uu-narkotika. “Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah wujud perubahan cara
pandang terhadap kejahatan yang harus diikuti aparat penegak hukum, termasuk jaksa. Apalagi
kemudian pemerintah menindaklanjutinya dengan PP No. 25 Tahun 2011. Jika hakim memutuskan terdakwa pecandu narkotika, maka jaksa punya diskresi untuk tidak mengajukan banding.”
22 Dalam pemeriksaan persidangan perkara narkotika, terkadang sulit untuk mengkategorikan
apakah seseorang terdakwa itu adalah sebagai pengguna, pemilik, pengedar, atau bahkan “bandar”
narkotika. Untuk itu tidak jarang pula rumusan surat dakwaan penuntut umum pada kenyataannya
berbeda dengan fakta persidangan, sehingga seseorang yang seharusnya lebih sesuai digolongkan sebagai pengguna, ia didakwa sebagai pemilik atau orang yang menguasai dikelompokkan dengan
orang yang menyediakan. Ibid.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
20
dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun
psikis sedangkan penyalahguna adalah orang yang memakai Narkotika yang
tidak ada alasan hak atau melawan hukum. Namun dalam penegakannya
sering terjadi penyalahgunaan kewenangan dari Aparat Penegak Hukum.
Salah satu bentuk penyalahgunaan wewenang tersebut yaitu dengan menjerat
pengguna narkoba dengan ketentuan yang jauh lebih berat, yaitu pasal 111
atau pasal 112 UU 35 Tahun 2009 (memiliki, menyimpan, menguasai,
menyediakan narkotika golongan I secara melawan hukum) yang diancam
dengan ancaman hukuman penjara minimal 4 tahun, maksimal 12 tahun, dan
denda minimal Rp 800 juta, maksimal Rp 8 milyar.23
Padahal seharusnya
untuk pengguna (penyalahguna) narkotika lebih tepat di ancam dengan pasal
127 UU No 35 tahun 2009 dimana golongan I ancaman maksimumnya hanya
4 tahun. Sedangkan untuk Narkotika Golongan II paling lama 2 (dua) tahun
dan Narkotika Golongan III dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun tanpa adanya ancaman pidana denda.
Dalam hal ini, beberapa putusan pengadilan di Indonesia mengambil
terobosan untuk mempertimbangkan pasal-pasal ini, meskipun tidak ada
dalam dakwaan Penuntut Umum.24
Menghadapi hal demikian, Penulis
tertarik untuk menelitinya lebih jauh karena bagi hakim tingkat pertama yang
menjadi avant guard (garis depan) dalam menghadapi perkara-perkara di
masyarakat kesamaan persepsi dan pandangan dari Mahkamah Agung terkait
dengan proses pemeriksaan di dalam prakteknya dilapangan jika ditemukan
fakta hukum yang berbeda dengan dakwaan jaksa penuntut umum khususnya
perkara narkotika dapat menjadi suatu rujukan atau acuan dalam memutus
suatu perkara yang diajukan kepadanya dikemudian hari meskipun disadari
23 http://waktuterindah.blogspot.com/2012/05/penyalahgunaan-atau-kepemilikan.html 24 Beberapa putusan Pengadilan Tingkat pertama yang berani memutus “diluar dakwaan”
terhadap perkara Narkotika, seperti: putusan No 230/Pid.B/2011/PN.Bkl atas nama terdakwa Ibnu
Hajar bin Haji, putusan No 10/Pid.B/2012/PN Msb Atas nama terdakwa Muhammad Saleh Alias
Saleh Bin Ogu, Putusan No 55/Pid.B/2012/PN.M atas nama terdakwa Ramli Bin Alm M Daali,
putusan no 142/Pid.B/2011/PN.Bkl atas nama terdakwa Akhmad Marzuki bin Zahroh, putusan No
1608/Pid.B/2012/PN.Sby atas nama terdakwa Idris Lukman bin Lokman Hendrik,putusan
No.151/Pid.B/PN KTP atas nama terdakwa Widya Wati alias Widya binti Jali, Putusan No 923/Pid.Sus/2011/PN.TNG atas nama terdakwa M Arifin Bin Sukari, putusan no
448/Pid.B/2011/PN.Sby atas nama terdakwa Muhammad Syaiful Mujahid bin Hisbullah Cs.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
21
semua perkara adalah kasuistis sifatnya dan tidak ada perkara yang sama
persis antara yang satu dengan yang lain.
1.2. Pernyataan Permasalahan
Rumusan pasal-pasal tindak pidana dalam Undang-Undang
Narkotika membeda-bedakan ancaman pidana berdasarkan tingkat
keseriusan dari tindak pidana yang dilakukan. Karena itu Undang-Undang
Narkotika membuat klasifikasi dari masing-masing perbuatan, yang memang
memiliki kesulitan tersendiri untuk dirumuskan karena seringkali suatu
tindak pidana narkotika merupakan rangkaian perbuatan yang saling
berhubungan. Dalam beberapa kasus, Penulis melihat adanya perbedaan
pandangan terhadap rangkaian perbuatan tersebut, sehingga ada
kemungkinan pasal yang didakwakan oleh penuntut umum dipandang tidak
sesuai dengan fakta persidangan, sehingga pengadilan dihadapkan pada
perbedaan tersebut.
Dari beberapa putusan yang Penulis teliti, Penulis menemukan sikap
yang berbeda-beda dari para hakim dalam menjatuhkan putusan perkara
narkotika mulai dari tingkat Pengadilan Negeri hingga putusan Mahkamah
Agung RI, ada sebagian hakim memutus dengan menerobos pidana minimal
dengan tetap menggunakan pasal yang didakwakan, ada juga sebagian hakim
yang memutus membebaskan terdakwa jika tidak terbukti antara perbuatan
dengan pasal yang didakwakan, dan terakhir ada beberapa hakim yang
membebaskan terdakwa dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan dilanjutkan
dengan memutus terbukti bersalah seorang terdakwa dengan pasal yang tidak
didakwakan atau lebih banyak dikenal dengan “putusan diluar dakwaan” .
Dari perbedaan putusan tersebut, Penulis melihat adanya kesulitan
dari hakim untuk melepaskan diri dari adanya perbenturan antara upaya
untuk mencapai keadilan substantif dengan masalah keadilan prosedural
dalam mencapai suatu nilai keadilan.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
22
1.3. Pertanyaan Penelitian
Rumusan masalah yang akan diajukan dalam penulisan tesis ini,
dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan pokok sebagai berikut :
a. Bagaimana putusan hakim ketika menemukan fakta persidangan tidak
sesuai dengan dakwaan dan tuntutan Jaksa /Penuntut Umum dalam
perkara narkotika?
b. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
“putusan diluar dakwaan “ dalam perkara narkotika?
c. Bagaimana pandangan Mahkamah Agung dalam putusannya terhadap
“putusan diluar dakwaan” yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi dalam praktek peradilan pidana di Indonesia?
1.4. Tujuan Penelitian
Dengan meneliti dan mencari jawaban atas permaslahan-
permasalahan tersebut maka kita dapat memperoleh gambaran dan pegangan
dalam menghadapi persoalan demikian. Sehingga tujuan yang hendak
dicapai adalah:
a. Untuk memahami sikap dan putusan yang dapat diambil oleh hakim ketika
menemukan fakta persidangan yang tidak sesuai dengan dakwaan dan
tuntutan Jaksa/Penuntut Umum
b. Untuk mengetahui batasan kewenangan hakim dalam menjatuhkan
putusan dan kewenangan hakim untuk menjatuhkan putusan di luar pasal
yang didakwakan oleh penuntut umum.
c. Untuk mengetahui pandangan Mahkamah Agung dalam putusannya
terhadap “putusan diluar dakwaan” yang dijatuhkan oleh Pengadilan
negeri dan Pengadilan Tinggi dalam praktek Peradilan pidana di
Indonesia.
1.5. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian adalah
sebagai berikut :
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
23
a. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan landasan
teoritis dan yuridis tentang batasan kewenangan hakim untuk menjatuhkan
putusan berdasarkan surat dakwaan, khususnya dalam perkara narkotika
yang menyangkut tindak pidana tanpa hak dan melawan hukum
menggunakan narkotika dengan tindak pidana tanpa hak dan melawan
hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika.
b.Secara praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat
berupa bahan masukkan dan pertimbangan bagi komponen penegak hukum
dalam sistem peradilan pidana dalam mengambil kebijakan untuk
memperhatikan apakah hakim berwenang menjatuhkan Putusan di luar
pasal yang dakwaan oleh penuntut umum.
c. Dari penelitian ini juga diharapkan dapat berkontribusi sebagai masukan
kepada pembuat undang-undang dalam merumuskan ketentuan tindak
pidana narkotika.
1.6. Metode Penelitian
Penyusunan tesis ini diawali dengan suatu penelitian yang
dimaksudkan untuk mendapatkan data yang digunakan sebagai bahan
pembahasan dan analisis sehingga dapat dipercaya dan dapat
dipertanggungjawabkan. Adapun metode pendekatan dan analisis yang
Penulis gunakan dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
a. Spesifikasi penelitian
Penelitian ini menggunakan yuridis normatif, yaitu metode yang
menggambarkan atau memaparkan suatu fakta secara sistematis kemudian
analisisnya dilakukan secara yuridis dengan mengaitkan antara data-data
dan fakta yang diperoleh dengan doktrin-doktrin hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif yang
menguji dan mengkaji data sekunder yang berkaitan dengan permasalahan
yang akan dibahas. Kemudan penulis akan mengkaji secara yuridis tentang
penggunaan yurisprudensi atas putusan Mahkamah Agung yang dapat
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
24
memutus diluar dakwaan sepanjang pasal yang didakwakan tersebut
adalah serumpun dan dikenakan ancaman dibawahnya dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia
c. Metode Pengumpulan data
Dalam penelitian hukum normatif ini selain data primer yang
diperoleh dari hasil wawancara penulis memperoleh data dari bahan-bahan
pustaka yang lazimnya disebut dengan data sekunder, yang mencakup
bahan hukum primer, sekunder, dan tertier. Selanjutnya akan penulis
pelajari serta mencantumkan teori-teori maupun konsep dari sejumlah
literatur baik buku-buku, jurnal, makalah, koran, dan karya tulis lainnya
yang berhubungan dengan materi dan masalah yang penulis teliti.
Penelusuran bahan-bahan kepustakaan ini akan meliputi:
1) Bahan-bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan
seperti Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No 35 Tahun
2009 tentang narkotika, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No 8 Tahun 1981
tentang KUHAP, putusan pengadilan, dan sebagainya.
2) Bahan-bahan hukum sekunder yang akan memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer antara lain rancangan undang-undang,
tulisan-tulisan ilmiah kalangan hukum, hasil penelitian dan
sebagainya.
3) Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder antara lain
berupa kamus, ensiklopedia dan lain sebagainya.
d. Metode analisis data
Setelah semua data terkumpul kemudian dilanjutkan dengan
menganalisis data tersebut hingga hasilnya akan disajikan secara deskriptif
analisis dengan diolah secara kualitatif. Teknik analisis kualitatif
dilakukan dengan cara menganalisa bahan-bahan hukum berdasarkan
konsep, teori, peraturan perundang-undangan, pandangan pakar sebagai
dasar interpretasi penulis untuk mengambil kesimpulan dari masalah
penelitian.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
25
1.7. Kerangka Teori
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas,
penelitian ini akan merujuk pada kerangka teori sebagaimana diuraikan di
bawah ini. Substansi teori ini berhubungan dengan pemikiran atas tugas
utama pengadilan pidana yakni satu lembaga hukum yang memutuskan
apakah keadilan itu dan bagaimanakah keadilan itu dapat dicapai dimana hal
tersebut berkaitan dengan teori tentang keadilan dan teori tentang tujuan
hukum.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto dikatakan teori adalah suatu
kontruksi di alam cita atau ide manusia, dibangun dengan maksud untuk
menggambarkan secara reflektif fenomena yang dijumpai di alam
pengalaman (ialah alam yang tersimak bersarankan indera manusia) sehingga
tak pelak lagi bahwa berbicara tentang teori seseorang akan dihadapkan
kepada kedua macam realitas, yang pertama adalah realitas in abstracto yang
ada di alam ide imajinatif, dan kedua adalah padanannya yang berupa realitas
in concreto yang berada dalam pengalaman indrawi.25
a. Teori Keadilan
Gustav Radbruch, sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali
menyimpulkan adanya 3 (tiga) tujuan ideal hukum, yaitu: keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum.26
Tetapi tidaklah mudah mewujudkan
ketiga tujuan ideal tersebut sekaligus dalam praktek. Kerapkali terjadi
kontradiktif satu sama lain. Kepastian hukum berbenturan dengan
kemanfaatan dan keadilan ataupun sebaliknya. Karena itu menurut
Radbruch diperlukan asas prioritas untuk mengeliminirnya, yang
kemudian oleh Achmad Ali, dilengkapi menjadi asas prioritas yang
kasuistis. Bahwa terhadap kasus A mungkin prioritasnya pada
kemanfaatan, kasus B kepastian hukum dan kasus C keadilan hukum.27
25 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode Dan Dinamika Masalahnya,
(Jakarta: ELSAM-HUMA, 2002), hlm. 184. 26Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta:
Chandra Pratama, 1996), hlm. 95-96. 27
Bismar Siregar mengatakan hakim tidak boleh kaku melaksanakan peraturan hukum ”demi kepastian hukum”, tetapi wajib arif dan bijaksana, wajib memperhatikan nilai-nilai keadilan yang
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
26
Berkaitan dengan prinsip keadilan, John Rawl dalam teorinya
yang disebut sebagai keadilan prosedural murni, menyebutkan:
The procedure for determining the just result must actually be carried
out: for in these cases there is no independent criterions by reference
to which a definite outcome can be know to be just. Clearly we cannot
say that a particular state of affairs is just because it could have been
reached by following a fair procedure. This would permit far too
much and would lead to absurdly consequences.28
Bahwa prosedur atau cara untuk menuju hasil yang adil haruslah
benar-benar dijalankan sebab tidak ada kriteria independen yang bisa
dijadikan acuan agar hasil nyata bisa adil. John Rawls juga menyatakan
bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa kondisi tertentu adalah adil
karena ia bisa dicapai dengan mengikuti prosedur yang fair. Hal ini akan
terlampau banyak membiarkan dan secara absurd akan mengarah pada
konsekuensi-konsekuensi yang tidak adil.
b. Teori asas Legalitas
Asas legalitas pertama kali diciptakan oleh Paul Johan Anslem
von Feuerbach (1775-1833) seorang peneliti Jerman dalam buku Lehrbuch
des penlichen Recht pada tahun 1801. Menurut Bambang Poernomo apa
yang dirumuskan oleh Feuerbach mengandung arti yang sangat mendalam
dalam bahasa latin berbunyi : nulla poena sine lege; nulla poena sine
crimine; nullum crimen sine poena legali. Ketiga frasa tersebut kemudian
dikembangkan oleh Feuerbach menjadi adagium nullum delictum, nulla
poena sine praevia legi poenali.29
Makna asas legalitas yang tercantum dalam pasal 1 ayat
(1)KUHP dirumuskan dalam bahasa latin “Nullum delictum nulla poena
sine praevia legi poenali”, yang dapat diartikan harfiah dalam bahasa
terdapat dalam masyarakat dan Bismar Siregar menghimbau para hakim untuk tidak menumpukan
kepada kepastian hukum. Tegas urutan menjalankan peradilan yaitu yang pertama keadilan,
kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum. Lihat: Bismar Siregar, Keadilan Hukum Dalam
Dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional (Jakarta: CV Rajawali, 1986), hlm. 158. 28 John Rawls, A Theory of Justice, (Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press,
1972), hlm. 86. 29
Eddy O. S Hiariej, Asas Legalitas&Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), hlm. 7.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
27
Indonesia dengan “tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan
pidana yang mendahuluinya. Sering juga dipakai istilah latin Nullum
crimen sine lege stricta yang dapat diartikan dengan “tidak ada delik tanpa
ketentuan yang tegas”. Hazewinkel-Suringa memakai kata-kata dalam
bahasa Belanda “Geen delict, geen straf zonder een voorafgaande
strafbepaling.”30
Moelyatno dalam bukunya tentang Asas-asas Hukum Pidana
menulis bahwa asas legalitas mengandung tiga pengertian:
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan
undang-undang.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogy (kiyas).
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.31
Sedangkan R. Soesilo berpendapat bahwa asas legalitas yang ada
dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)
Indonesia mengandung pengertian yaitu peristiwa pidana tidak akan ada,
jika ketentuan pidana dalam Undang-Undang tidak ada terlebih dahulu,
dengan adanya undang undang ini hakim terikat oleh Undang-Undang.32
Menurut asas legalitas untuk menjatuhkan pidana atau sanksi
kepada seseorang maka disyaratkan perbuatan atau peristiwa yang
diwujudkan tersebut haruslah lebih dahulu dilarang atau diperintahkan
oleh peraturan hukum pidana tertulis dengan kata lain harus ada peraturan
hukum pidana (strafrechtsnorm) dan peraturan pidana (strafnorm) lebih
dahulu daripada suatu perbuatan.33
Terkait asas legalitas ini penulis
melihat keberadaan pasal 182 ayat (4) membatasi hakim untuk
bermusyawarah dan memutuskan bersalah atau tidaknya seseorang hanya
didasarkan kepada surat dakwaan .
30 BPHN, Pengkajian Hukum tentang Asas-Asas Pidana Indonesia dalam perkembangan masyarakat kini dan mendatang, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Hukum dan Ham RI, 2003), hlm. 17. 31 Moelyatno, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: Bina Aksara,1987), hlm. 25. 32 R Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komnetar-komentarnya
lengkap pasal demi pasalnya, (Bogor: Politeia, 1996), hlm. 27. 33 Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cet. ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 42.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
28
c. Teori hukum responsif oleh Nonet-Selznick
Pandangan positivisme muncul akibat pengaruh perkembangan
masyarakat modern yang ditandai oleh majunya tingkat sosial ekonomi
sebagai akibat dari pesatnya industrialisasi. Cara berfikir masyarakat
zaman modern terutama selama masa pencerahan, pada umumnya bersifat
rasionalistis dan individualistis. Dalam rasionalisme itu orang berfikir
dengan bertolak dari ide-ide yang umum, yang berlaku bagi semua
manusia individual.34
Dikatakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa
masyarakat, terutama masyarakat modern, sangat membutuhkan adanya
kepastian dalam berinteraksi dan tugas itu diletakkan dipundak hukum.
Kepastian hukum menjadi semacam idiologi dalam kehidupan berhukum,
sehingga diperlukan suatu pemahaman yang kritis mengenai kata tersebut.
Dengan menjadi idiologi, terjadi kecenderungan untuk
mencampuradukkan antara pernyataan dan kebenarannya.35
Berkaitan dengan persoalan hukum di atas, Philippe Nonet dan
Philip Selznick (Nonet-Selznick) dalam teorinya yang dikenal dengan teori
hukum responsif, menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap
ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang
terbuka, maka hukum mengedepankan akomodasi untuk menerima
perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi
publik.36
Perkembangan hukum acara pidana sekarang ini telah timbul
permasalahan tentang seseorang yang didakwa dengan pasal yang tidak
sesuai dengan fakta persidangan yang terjadi. Praktek peradilan pidana para
34 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Cet. ke-3 (Yogjakarta: Kanisius, 1995). 35 Kepastian hukum (rechtssicherkeit/security/rechtszekerheid) adalah sesuatu yang baru, yaitu
sejak hukum itu dituliskan, dipositifkan, dan menjadi publik. Kepastian hukum menyangkut
masalah ”law being written down”, bukan tentang keadilan dan kemanfaatan. Kepastian hukum adalah sicherkeit des rechts selbst (kepastian tentang hukum itu sendiri), sehingga terlihat bahwa
hukum hadir bukan lagi untuk melayani masyarakat dan mendatangkan kesejahteraan bagi
manusia, melainkan hadir demi dirinya sendiri. Lihat: Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagat
Ketertiban, Bacaan Mahasiswa Program Doktor Ilmu hukum Universitas Diponegoro, (Jakarta:
UKI Press, 2006), hlm. 133-136. 36
Bernart L. Tanya, dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Surabaya: CV. Kita, tp.thn.), hlm. 239.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
29
hakim telah melangkah melebihi aturan hukum yang telah ada didalam
KUHAP dengan pertimbangan memberikan keadilan bagi pihak terdakwa
dalam suatu perkara. Praktik peradilan tersebut terlihat sebagai respons
terhadap perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.
Hal ini seperti dalam teori hukum responsif yang dikemukakan
Nonet-Selznick, bahwa hukum dituntut menjadi sistim yang terbuka dalam
perkembangan yang ada dengan mengandalkan keutamaan tujuan (the
souvereignity of purpose), yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta
akibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu.37
Hukum seperti ini yang
dibutuhkan dalam masa transisi. Artinya, ketika suatu aturan hukum yang
telah ada tidak lagi bisa menjawab permasalahan yang timbul akibat
perkembangan yang tidak terjangkau oleh aturan hukum tersebut, maka
hukum harus peka mengakomodasi perkembangan yang ada itu demi
mencapai keadilan dalam masyarakat.38
Atas dasar itu maka dalam doktrinnya Nonet-Selznick39
mengemukakan, pertama, hukum itu harus fungsional, pragmatik, bertujuan
dan rasional. Kedua, kompetensi menjadi patokan evaluasi terhadap semua
pelaksanaan hukum Karena kompetensi sebagai tujuan berfungsi sebagai
norma kritik, maka tatanan hukum responsif menekankan:
1) keadilan substantif sebagai dasar legitimasi hukum.
2) peraturan merupakan sub-ordinasi dari prinsip dan kebijakan.
3) pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat
bagi kemaslahatan masyarakat.
4) penggunaan diskresi sangat dianjurkan dalam pengambilan
keputusan hukum dengan tetap berorientasi pada tujuan.
5) memupuk sistim kewajiban sebagai ganti sistim paksaan.
6) moralitas kerjasama sebagai prinsip moral dalam menjalankan
hukum.
7) kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum dalam
melayani masyarakat.
8) penolakan terhadap hukum harus dilihat sebagai gugatan terhadap
legitimasi hukum.
37 Ibid., hlm. 239. 38 Ibid. 39
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif terjemahan (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 84.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
30
9) akses partisipasi publik dibuka lebar dalam rangka integrasi
advokasi hukum dan sosial.40
Dengan menarik teori hukum responsif di atas, dalam hal suatu
keputusan hukum berorientasi pada maksud mencari keadilan ataupun
kemanfaatan bagi masyarakat, seperti dalam putusan diluar dakwaan yang
dilakukan oleh seorang hakim, meskipun dalam aturan hukum yang telah ada
(KUHAP) hakim diharuskan memutus sebagaimana dakwaan jaksa/Penuntut
Umum, maka menurut teori hukum responsif sudah selayaknya hukum dapat
merespons perkembangan yang sedang terjadi tersebut dengan memberi
pertimbangan hukum yang berorientasi pada tujuan kemanfaatan bagi
masyarakat dalam perkataan lain hukum yang baik seharusnya menawarkan
sesuatu yang lebih daripada sekedar keadilan prosedural. Hukum yang baik
harus berkompeten dan juga adil hukum yang seperti itu seharusnya mampu
mengenali keinginan publik dan punya komitmen bagi terciptanya keadilan
substantif.
1.8. Kerangka Konsepsional
Dalam penelitian ini ada beberapa hal yang perlu dijelaskan secara
singkat, sehingga dapat memberikan pemahaman terhadap masalah yang
akan diteliti, yaitu sebagai berikut:
a. Hakim
Hakim yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah hakim pada
Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, yaitu hakim pada
pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, yang bertugas memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara pidana.41
Lebih spesifik pengertian
hakim yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah hakim sebagaimana
disebutkan dalam KUHAP, yaitu pejabat peradilan negara yang diberi
40 Philippe Nonet dan Philip Selznick, Op.Cit., hlm. 84. 41 Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009 LN No.
157 Tahun 2009 TLN No. 5076 jo. Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 50 jo. Pasal 51 Undang-Undang tentang Peradilan Umum, UU No. 2 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
No. 8 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 49 Tahun 2009.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
31
wewenang oleh undang-undang untuk mengadili, dengan pengertian
mengadili adalah:
“Serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan
memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak
memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.”42
b. Penuntut Umum
Menurut Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia,
penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim, dengan
pengertian jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh UU
untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang
lain berdasarkan UU. Pengertian tersebut sejalan dengan pengertian yang
diberikan dalam KUHAP, bahwa penuntut umum adalah jaksa yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim, dengan pengertian jaksa adalah pejabat
yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai
penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.43
c. Surat Dakwaan
KUHAP sendiri tidak memberikan pengertian tentang surat
dakwaan, dalam KUHAP hanya dinyatakan bahwa penuntut umum
melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera
mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. Penuntut umum
42 Indonesia, Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 1 Tahun 1981, LN Tahun 1981 No. 76, TLN No. 3209.Pasal 1 angka 8 jo. Pasal 1 angka 9
43 Indonesia, Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia, UU No. 16 Tahun 2004, LN. Tahun 2004 No. 67, TLN No. 4401.Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 1 angka 6 a
dan b KUHAP.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
32
membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta
berisi:
a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka.
b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana
yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak
pidana itu dilakukan.44
Dalam doktrin banyak disampaikan rumusan pengertian tentang
surat dakwaan, dikaitkan dengan hal-hal tersebut yang diatur dalam
KUHAP, Peneliti sependapat dengan pengertian surat dakwaan menurut
Yahya Harahap, bahwa surat dakwaan sebagai suatu surat atau akte yang
memuat rumusan tindak pidana yang disimpulkan dan ditarik dari hasil
pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim
dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan.45
d. Putusan
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 11 KUHAP, pengertian
putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam
sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang (KUHAP). Adapun bentuk-bentuk putusan perkara
pidana, menurut Yahya Harahap adalah sebagai berikut: 1) Putusan bebas,
2) Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, 3) putusan pemidanaan,
4) penetapan tidak berwenang mengadili, 5) putusan yang menyatakan
dakwaan tidak dapat diterima, 6) putusan yang menyatakan dakwaan batal
demi hukum.46
Putusan pengadilan merupakan sumber hukum ketika sudah
menjadi Yurisprudensi, untuk dapat dikategorikan sebagai yurisprudensi
44 Pasal 143 Ayat (1) dan (2) KUHAP. 45 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan
Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 375. 46 M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
hlm. 347-358.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
33
maka suatu putusan pengadilan haruslah memenuhi beberapa persyaratan
sebagai berikut:
1. Harus sudah merupakan putusan yang berkekuatan hukum tetap.
2. Dinilai baik dalam arti menghasilkan keadilan bagi pihak-pihak
yang bersangkutan.
3. Putusan yang harus berulang beberapa kali atau dilakukan dengan
berpola yang sama dibeberapa tempat.
4. Norma yang terkandung di dalamnya memang tidak terdapat dalam
peraturan tertulis yang berlaku, atau kalaupun ada tidak begitu
jelas.
5. Dinilai telah memenuhi syarat sebagai yurisprudensi dan
direkomendasikan oleh tim eksaminasi atau tim penilai tersendiri
yang dibentuk oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi
untuk menjadi yurisprudensi yang bersifat tetap.47
e. Narkotika
Narkotika yang dimaksudkan dalam Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika berbeda dengan rumusan narkotika dalam
undang-undang sebelumnya. Undang-Undang Narkotika No. 22 Tahun
1997 yang memuat ketentuan terpisah dari Undang-Undang Psikotropika
No. 5 Tahun 1997. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 35 Tahun
2009, maka psikotropika golongan I dan golongan II sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Undang-Undang No. 5 Tahun 1997
dipindahkan menjadi narkotika golongan I menurut Undang-Undang No.
35 Tahun 2009.48
Adapun pengertian Narkotika dalam Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 adalah sebagai berikut:
“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang.”49
47 Jimly Asshiddiqie [ed.], Pengantar Ilmu Tata negara Jilid I, (Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan MKRI, 2006) hlm. 177. 48 Pasal 153 Undang-Undang tentang Narkotika, No. 35 Tahun 2009. Berdasarkan undang-
undang ini pula maka Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 49 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
34
Sedangkan yang dimaksud Prekursor narkotika adalah zat atau
bahan pemula zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel
sebagaimana terlampir dalam UU. Pecandu Narkotika adalah orang yang
menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan
ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan
untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang
meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya
dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik
dan psikis yang khas, Sedangkan Penyalah guna adalah orang yang
menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.50
Berdasarkan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang
narkotika, pelaku tindak pidana narkotika secara umum dapat digolongkan
atas:
a. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara,
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
atau Prekursor Narkotika, sebagaimana diatur dalam Pasal 111,
Pasal 112, Pasal 117 dan Pasal 122 serta Pasal 129;
b. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
mengimpor,mengekspor, atau menyalurkan Narkotika,
sebagaimana diatur dalam Pasal 113, Pasal 118 dan Pasal 123, serta
Pasal 129.
c. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk
dijual, menjual membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual
beli, menukar, atau menyerahkan atau menerima Narkotika,
sebagaimana diatur dalam Pasal 114, Pasal 119 an Pasal 124, serta
Pasal 129;
d. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,
mengangkut, atau mentransito Narkotika, sebagaimana diatur
dalam Pasal 115, Pasal 120 dan Pasal 125, serta Pasal 129.
e. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika
terhadap orang lain atau memberikan Narkotika untuk digunakan
orang lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 116, Pasal 121 dan
Pasal 126.
f. Perbuatan penyalahguna narkotika bagi diri sendiri, sebagaimana
diatur dalam Pasal 127, yaitu orang yang menggunakan Narkotika
tanpa hak atau melawan hukum (Pasal 1 angka (15)). Sedangkan
50 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
35
Pecandu Narkotika, sebagaimana diatur dalam Pasal 128 dan Pasal
134, yaitu orang yang menggunakan atau menyalahgunakan
Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik
secara fisik maupun psikis (Pasal 1 angka (13).
g. Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
Narkotika dan Prekursor Narkotika dalam Pasal 111, Pasal 112,
Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118,
Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124,
Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129, sebagaimana diatur dalam
Pasal 132.51
1.9. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan disajikan untuk mempermudah pembaca
dalam memahami materi yang selanjutnya akan dibahas dalam tesis ini.
Dengan adanya sistematika diharapkan pembaca dapat mengetahui secara
garis besar isi tesis ini. Hasil penelitian ini secara keseluruhan akan
dituangkan dalam sistematika sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan
Pada bab 1 ini penulis mengemukakan tentang alasan pemilihan tema
yang diuraikan pada sub bab latar belakang permasalahan, dari latar
belakang permasalahan tersebut disimpulkan suatu pernyataan
permasalahan yang selanjutnya dirumuskan dalam pertanyaan
penelitian. Selain itu dalam bab 1 ini juga dibahas manfaat dan tujuan
penelitian, kerangka teori, kerangka konsepsional, metode penelitian,
serta sistematika penulisan .
Bab 2 Tinjauan Umum Mengenai tindak Pidana Narkotika, Jenis Surat
Dakwaan dan Jenis Putusan Hakim
Dalam bab 2 ini Penulis membahas masalah tinjauan umum tindak
pidana narkotika khususnya pasal-pasal yang mengkualifikasikan
tindak pidana tanpa hak dan melawan hukum menggunakan
Narkotika dengan tindak pidana tanpa hak atau melawan hukum
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika, jenis
dakwaan dan jenis putusan hakim
51 Ibid.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
36
Bab3 Keadilan Substantif dan Batas Kewenangan Hakim Untuk
Menjatuhkan Putusan Berdasarkan Surat Dakwaan
Pada bab 3 ini penulis menguraikan masalah keadilan substantif yang
merupakan tujuan dari penegakan hukum yang akan dibandingkan
dengan batasan kewenangan hakim secara prosedural yaitu untuk
menjatuhkan putusan berdasarkan surat dakwaan.
Bab4 Analisa putusan Mahkamah Agung dalam perkara narkotika
dalam kaitan adanya putusan diluar dakwaan
Pada bab 4 ini penulis akan menganalisa putusan-putusan dalam
perkara narkotika yang diputus oleh Pengadilan Negeri dan
Mahkamah Agung yang mempertimbangkan berwenang/tidaknya
hakim menjatuhkan putusan di luar pasal yang didakwakan.
Bab 5 Penutup
Terakhir pada bab 5 sebagai penutup Penulis akan rumuskan
kesimpulan yang dihasilkan dari keseluruhan penelitian berikut saran
yang dapat Penulis berikan terkait dengan hasil penelitian Penulis.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
37
BAB 2
TINJAUAN UMUM MENGENAI TINDAK PIDANA
NARKOTIKA, JENIS SURAT DAKWAAN
DAN JENIS PUTUSAN HAKIM
2.1. Pengertian Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan.52
Narkotika adalah zat yang
bermanfaat dan berkhasiat, yang dibutuhkan bagi kepentingan umat manusia
terutama sudut medis.53
Pengertian narkotika menurut Soedjono adalah zat yang biasa
menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakanya
dengan memasukannya ke dalam tubuh. Pengaruh tubuh tersebut berupa
pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau
khayalan-khayalan. Sifat tersebut diketahui dan di temui dalam dunia medis
bertujuan untuk dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia
seperti di bidang pembedahan untuk menghilangkan rasa sakit.54
Oleh karena
itu apabila penggunaan narkotika terjadi penyalahgunaan akan menimbulkan
dampak yang berbahaya bagi pemakai narkotika, dan menimbulkan
ketergantungan narkotika bagi si pemakai sehingga sipemakai menjadi
pecandu. Sedangkan secara terminologis dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia narkotika atau narkoba adalah obat yang dapat menenangkan
52 Indonesia, Undang-Undang tentang Narkotika, UU No. 35 Tahun 2009, LN Tahun 2009 No.
143, TLN No. 5062. 53 Soedjono, Narkotika dan Remaja, (Bandung: Alumni, 1989), hlm. 3. 54 Soedjono, Hukum Narkotika Indonesia, (Bandung: Alumni, 1987), hlm. 3.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
38
syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau
merangsang.55
Prof. Sudarto SH. dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana
mengatakan bahwa, “Perkataan narkotika berasal dari perkataan Yunani
“Narke”, yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa-apa.”56
Sedangkan
Smith Kline dan Frech Clinical Staff mengemukakan definisi tentang
narkotika adalah:
“Narkotic are drugs which product insensibillity or stuporduce to their
depresant offer on the central nervous system, inclided in this definition
are opium-opium derivativis (Morphine, codein, methadone).”
Terjemahan bebasnya ialah Narkotika adalah zat-zat atau obat yang dapat
mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat
tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi
narkotika ini sudah termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu
(morphine,codein, methadone).57
Definisi lain dari Biro Bea dan Cukai Amerika Serikat dalam buku
“Narcotic Identification Manual”, sebagaimana dikutip Djoko Prakoso,
Bambang Riyadi dan Mukhsin dikatakan.
Bahwa yang dimaksud dengan narkotika ialah candu, ganja, kokain, zat-
zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda tersebut yakni
morfine, heroin, codein, hasisch, cocain. Dan termasuk juga narkotika
sintetis yang menghasilkan zat-zat. Obat-obat yang tergolong dalam
Hallucinogen dan Stimulant.58
Dalam usaha untuk menanggulangi masalah penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkoba pemerintah sejak lama telah melakukan berbagai
upaya seperti:59
- Membentuk Badan Koordinasi Pelaksana (Bakorlak) Inpres No. 6
Tahun 1971 yaitu Badan Nasional yang khusus menangani masalah
penyalahgunaan zat dan obat terlarang;
55Anton M Moelyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. II (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 609.
56 Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lany dan Mukhsin, ”Kejahatan-kejahatan yang merugikan dan Membahayakan Negara”, (Penerbit Bina Aksara ), hlm. 480.
57 Ibid., hlm. 481. 58 Ibid. 59
AR Sujono SH.M.H dan Bony Daniel, KOMENTAR & PEMBAHASAN Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 45
41
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
39
- Mengeluarkan UU No 8 Tahun 1976 tentang pengesahan Konvensi
Tunggal Narkotika beserta protokol yang mengubahnya;
- Mengeluarkan UU No 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Dalam
Undang-undang ini kriminalisasi adalah terhadap perbuatan berupa:
a) Menanam, memiliki tanaman koka, ganja, papaver;
b) Memproduksi, mengolah, meracik koka, ganja, narkotika;
c) Memiliki dan menguasai koka, ganja dan narkotika;
d) Membawa,mengirim,mengangkut, menyelundupkan koka,
ganja, narkotika;
e) Mengimpor,mengekspor,menyalurkan, menjual,menjadi
perantara koka, ganja , narkotika;
f) Menggunakan terhadap atau memberikan kepada orang lain;
g) Menggunakan bagi diri sendiri;
- Mengeluarkan UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
- Mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang
Pengesahan Convention on Psychotropic substances 1971(Konvensi
Psikotropika 1971);
- Mengeluarkan UU No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
- Mengeluarkan UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
- Mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang
Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in
Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi
Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap
Narkotika dan Psikotropika,1988); dan terakhir
- Mengeluarkan UU No 35 Tahun 2009.
2. 2 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Pidana minimum
Khusus
Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai
undang undang terbaru dalam guna pemberantasan tindak pidana narkotika
terdapat ancaman minimum khusus yang terdapat dihampir semua pasal
yang ada dalam ketentuan pasalnya hal ini adalah dalam rangka
melindungi masyarakat dari bahaya narkotika dan untuk mencegah dan
memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat
merugikan masyarakat60
.
Adanya pidana “minimum khusus” dalam UU no 35 Tahun 2009
tentang narkotika menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang
memang menghendaki adanya aturan yang menyimpang dari aturan umum
60 Penjelasan umum undang-undang no 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
40
sebagaimana telah ditentukan KUHP, dan penyimpangan ini memang
dimungkinkan sebagaimana ketentuan pasal 103 KUHP yang berbunyi :61
Ketentuan-ketentuan yang tersebut di dalam delapan bab
pertama dari buku ini, juga berlaku terhadap perbuatan-
perbuatan yang menurut lain-lain peraturan perundangan
diancam dengan hukuman, kecuali jika ditentukan lain oleh
undang-undang oleh peraturan umum dari pemerintah atau oleh
sesuatu ordonansi
Terkait dengan minimum umum, maksimum umum dan
maksimum khusus pemidanaan dalam KUHP, dalam praktek tidaklah
menimbulkan kesulitan karena pedoman pemindanaan KUHP telah dibuat
secara lengkap. Menurut Barda Nawawi, “KUHP mengatur pidana
maksimum khusus beserta aturan/pedoman pemidanaannya dalam “satu
paket” sebagai “pasangan” yang tak terpisahkan. 62
Artidjo Alkostar (Tuada Pidana Mahkamah Agung RI)
menyampaikan berkaitan dengan pidana di bawah minimum khusus telah
pula menyampaikan”penentuan batasan minimal khusus berlatar belakang
kekurang percayaan terhadap hakim karena lazimnya yang ada adalah
ketentuan batas maksimum. Penjatuhan pidana minimum khusus ,
didasarkan kepada rasa keadilan dengan menggunakan hati nurani.
Permasalahan penegakan hukum seharusnya dibenahi melalui perbaikan
sistem dan peningkatan profesionalisme personil, bukan dengan cara
memangkas kewenangan berdasarkan kekurangpercayaan.63
Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan
penyalahguna dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor Narkotika
diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan
Narkotika Nasional (BNN) yang merupakan lembaga non struktural yang
bertanggungjawab langsung kepada presiden. 64
.
61 AR Sudjono & Bony Daniel, Komentar &Pembahasan Undang-Undang No 35 tahun
2009 tentang Narkotika (Jakarta; Sinar Grafika,2011)hal 215
62 Ibid
63 Ibid
64 Ibid.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
41
Untuk lebih menguatkan kelembagaan, diatur pula mengenai
seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak
pidana narkotika dan prekursos Narkotika berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dirampas untuk negara dan
digunakan untuk kepentingan pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika dan
upaya rehabilitasi medis dan sosial.65
2.3 Pecandu dan Ketergantungan Narkotika
Pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan
narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara
fisik, maupun psikis66
. Pecandu narkotika adalah manusia yang memiliki
hak yang sama dengan manusia lainya. Pecandu juga memiliki hak asasi
yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi dalam keadaan apapun.
Sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia dalam pasal 1 (satu) yang menyebutkan: “Semua umat manusia
dilahirkan bebas dan sama dalam hak dan martabat. Mereka dikarunai akal
dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam
persaudaraan.”
Ketergantungan narkotika adalah gejala dorongan untuk
menggunakan narkotika secara terus menerus, dengan takaran yang
meningkat agar menghasilakan efek yang sama dan apabila
penggunaannya dikurangi dan/a tau dihentikan secara tiba-tiba,
menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas67
. Dengan diketahuinya
bahwa narkotika memiliki daya pencanduan, maka hal ini tentunya sangat
berbahaya bagi yang menggunakan narkotika di luar pengawasan seorang
dokter karena zat-zat yang terkandung dalam narkotika dapat
menimbulkan si pemakai bergantung hidupnya kepada obat-obat narkotika
65 Ibid.
66 Pasal 1 angka 13 Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 67 Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
42
atau yang biasa di sebut ketergantungan. Secara umum ketergantungan
narkotika dibagi dalam tiga golongan besar, yaitu:
1. Ketergantungan Primer
Ditandai dengan adanya kecemasan dan depresi yang pada
umumnya terdapar pada orang dengan kepribadian yang tidak kuat.
2. Ketergantungan Simtomatis
Yaitu penyalahgunaan zat sebagai salah satu gejala tipe
kepribadian yang mendasari, pada umumnya terjadi pada orang
dengan keperibadian psikopatik (antisocial) criminal, dan
pemakaian zat untuk kesenangan semata.
3. Ketergantungan Reaktif
Yaitu terutama terdapat pada remaja karena dorongan ingin tahu,
pengaruh lingkungan dan tekanan teman kelompok sebaya (peer
group preasure)
Sedangkan bagi Pemakai narkotika berdasarkan sudut pandang
permasalahannya dibedakan dalam tiga golongan, yaitu:
1. Dari segi hukum, ada yang berpendapat bahwa pemakai dapat dikenakan
sangsi karena telah melanggar peraturan/perundangundangan. Dalam hal
ini pemakai dapat dikategorikan sebagai “criminal”.
2. Dari segi psikososial, ada yang berpendapat bahwa pemakai adalah
“korban” dari mereka yang bertanggung jawab, yaitu pengedar dan
lingkungan pergaulan, sehingga kepada mereka (pemakai) perlu
dilakukan tindakan rehabilitasi bukanya hukuman.
3. Dari segi kesehatan,ada yang berpendapat bahwa pemakai adalah
“pasien” yang perlu memperoleh terapi bukannya hukuman.
2.4. Penggolongan Pelaku Tindak Pidana Narkotika
Pelaku tindak pidana narkotika memiliki peran, kedudukan, dan
sanksi yang berbeda, baik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya maupun berdasarkan peran dan dampak yang dapat
ditimbulkan dari perbuatannya. Penggolongan pelaku tindak pidana
narkotika dapat dilihat dari beberapa aspek sebagaimana telah diuraikan
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
43
dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 yang telah diundangkan pada
tanggal 12 Oktober 2009 serta ketentuan perundang-undangan lainnya yang
berkaitan dengan tindak pidana narkotika. Ketentuan pidana terhadap
pelaku tindak pidana narkotika dalam undang undang Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika diatur dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 147.
Berdasarkan ketentuan pidana tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009
tentang narkotika, pelaku tindak pidana narkotika secara umum dapat
digolongkan atas:
a. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara,
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika atau
Prekursor Narkotika, sebagaimana diatur dalam Pasal 111, Pasal 112,
Pasal 117 dan Pasal 122 serta Pasal 129;
b. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika, sebagaimana diatur dalam
Pasal 113, Pasal 118 dan Pasal 123, serta Pasal 129.
c. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan atau menerima Narkotika, sebagaimana
diatur dalam Pasal 114, Pasal 119 an Pasal 124, serta Pasal 129;
d. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,
mengangkut, atau mentransito Narkotika, sebagaimana diatur dalam
Pasal 115, Pasal 120 dan Pasal 125, serta Pasal 129.
e. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika
terhadap orang lain atau memberikan Narkotika untuk digunakan
orang lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 116, Pasal 121 dan Pasal
126.
f. Perbuatan penyalahguna narkotika bagi diri sendiri, sebagaimana
diatur dalam Pasal 127, yaitu orang yang menggunakan Narkotika
tanpa hak atau melawan hukum (Pasal 1 angka (15)). Sedangkan
Pecandu Narkotika, sebagaimana diatur dalam Pasal 128 dan Pasal
134, yaitu orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika
dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik
maupun psikis (Pasal 1 angka (13)).
g. Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
Narkotika dan Prekursor Narkotika dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal
113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119,
Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal
126, dan Pasal 129, sebagaimana diatur dalam Pasal 132.68
68 Undang Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
44
Penggolongan pelaku tindak pidana narkotika tersebut di atas
menunjukkan bahwa tiap perbuatan dan kedudukan pelaku tindak pidana
narkotika memiliki sanksi yang berbeda. Hal ini tidak terlepas dari dampak
yang dapat ditimbulkan dari perbuatan pelaku tindak pidana narkotika
tersebut.
2.5. Penggolongan Jenis narkotika dan Daftar Narkotika
Didalam Undang-Undang No 35 Tahun 2009 Narkotika
digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan yaitu :
1. Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan.
2. Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mengakibatkan potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
3. Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan.69
Yang termasuk dalam daftar Narkotika Golongan I70
:
1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya
termasuk
buah dan jeraminya, kecuali bijinya.
2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah
tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan
sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan
kadar morfinnya.
69 Lihat Penjelasan pasal 6 ayat (1) huruf a.UU No 35 Tahun 2009
70 Lampiran 1 UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
45
3. Opium masak terdiri dari :
a. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu
rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan
peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan
maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk
pemadatan.
b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan
apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.
c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga
Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya.
5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam
bentuk
serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga
Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau
melalui perubahan kimia.
6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang
dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.
7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.
8. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua
bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman
ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.
9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo
kimianya.
10. Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya.
11. Asetorfina : 3-0-acetiltetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-
6, 14-endoeteno-oripavina
12. Acetil – alfa – metilfentanil : N-[1-(α-metilfenetil)-4-piperidil]
asetanilida
13. Alfa-metilfentanil : N-[1 (α-metilfenetil)-4-piperidil] propionanilida
14. Alfa-metiltiofentanil : N-[1-] 1-metil-2-(2-tienil) etil]-4-iperidil]
priopionanilida
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
46
15. Beta-hidroksifentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-4-piperidil]
propionanilida
16. Beta-hidroksi-3-metilfentanil :
N-[1-(beta-hidroksifenetil)-3-metil-4 piperidil] propio-nanilida.
17. Desmorfina : Dihidrodeoksimorfina
18. Etorfina: tetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-
oripavina
19. Heroina : Diacetilmorfina
20. Ketobemidona : 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4 propionilpiperidina
21. 3-metilfentanil : N-(3-metil-1-fenetil-4-piperidil) propionanilida
22. 3-metiltiofentanil : N-[3-metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil]
propionanilida
23. MPPP : 1-metil-4-fenil-4-piperidinol propianat (ester)
24. Para-fluorofentanil : 4‘-fluoro-N-(1-fenetil-4-piperidil) propionanilida
25. PEPAP : 1-fenetil-4-fenil-4-piperidinolasetat (ester)
26. Tiofentanil : N-[1-[2-(2-tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida
27. BROLAMFETAMINA, nama lain DOB: (•})-4-bromo-2,5-dimetoksi-
α -metilfenetilamina
28. DET : 3-[2-( dietilamino )etil] indol
29. DMA : ( + )-2,5-dimetoksi- α -metilfenetilamina
30. DMHP : 3-(1 ,2-dimetilheptil)-7 ,8,9, 10-tetrahidro- 6,6,9-trimetil-6H-
dibenzo[b, d]piran-1-ol
31. DMT : 3-[2-( dimetilamino )etil] indol
32. DOET : (•})-4-etil-2,5-dimetoksi- α -metilfenetilamina
33. ETISIKLIDINA, nama lain PCE : N-etil-1-fenilsikloheksilamina
34. ETRIPTAMINA : 3-(2aminobutil) indole
35. KATINONA : (-)-(S)- 2-aminopropiofenon
36. ( + )-LISERGIDA, nama lain LSD, LSD-25 : 9,10-didehidro-N, N-
dietil-6-metilergolina-8 β – karboksamida
37. MDMA : (•})-N, α -dimetil-3,4- (metilendioksi)fenetilamina
38. meskalina : 3,4,5-trimetoksifenetilamina
39. METKATINONA : 2-(metilamino )-1- fenilpropan-1-on
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
47
40. metilaminoreks : (•})-sis- 2-amino-4-metil- 5- fenil- 2-oksazolina
41. MMDA : 5-metoksi- α -metil-3,4- (metilendioksi)fenetilamina
42. N-etil MDA : (•})-N-etil- α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamin
43. N-hidroksi MDA : (•})-N-[ α -metil-3,4-
(metilendioksi)fenetil]hidroksilamina
44. paraheksil : 3-heksil-7,8,9, 10-tetrahidro-6,6, 9-trimetil-6H-dibenzo
[b,d] piran-1-ol
45. PMA : p-metoksi- α -metilfenetilamina
46. psilosina, psilotsin : 3-[2-( dimetilamino )etil]indol-4-ol
47. PSILOSIBINA : 3-[2-(dimetilamino)etil]indol-4-il dihidrogen fosfat
48. ROLISIKLIDINA, nama lain PHP,PCPY : 1-( 1-
fenilsikloheksil)pirolidina
49. STP, DOM : 2,5-dimetoksi- α ,4-dimetilfenetilamina
50. TENAMFETAMINA, nama lain MDA : α -metil-3,4
(metilendioksi)fenetilamina
51. TENOSIKLIDINA, nama lain TCP : 1- [1-(2-tienil)
sikloheksil]piperidina
52. TMA : (•})-3,4,5-trimetoksi- α -metilfenetilamina
53. AMFETAMINA : (•})- α –metilfenetilamina
54. DEKSAMFETAMINA : ( + )- α –metilfenetilamina
55. FENETILINA : 7-[2-[( α -metilfenetil)amino]etil]teofilina
56. FENMETRAZINA : 3- metil- 2 fenilmorfolin
57. FENSIKLIDINA, nama lain PCP : 1-( 1- fenilsikloheksil)piperidina
58. LEVAMFETAMINA, nama lain levamfetamina : (- )-(R)- α
metilfenetilamina
59. levometamfetamina : ( -)- N, α -dimetilfenetilamina
60. MEKLOKUALON : 3-( o-klorofenil)- 2-metil-4(3H)- kuinazolinon
61. METAMFETAMINA : (+ )-(S)-N, α –dimetilfenetilamina
62. METAKUALON : 2- metil- 3-o-to lil-4(3H)- kuinazolinon
63. ZIPEPPROL : α - ( α metoksibenzil)-4-( β-metoksifenetil )-1-
piperazinetano
64. Opium Obat
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
48
65. Campuran atau sediaan opium obat dengan bahan lain bukan narkotika
DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN II
1. Alfasetilmetadol : Alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4,4- difenilheptana
2. Alfameprodina : Alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4- propionoksipiperidina
3. Alfametadol : alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
4. Alfaprodina : alfa-l, 3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
5. Alfentanil : N-[1-[2-(4-etil-4,5-dihidro-5-okso-l H-tetrazol-1- il)etil]-4-
(metoksimetil)-4-pipe ridinil]-N- fenilpropanamida
6. Allilprodina : 3-allil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
7. Anileridina : Asam 1-para-aminofenetil-4-fenilpiperidina)-4- karboksilat
etil ester
8. Asetilmetadol : 3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana
9. Benzetidin : asam 1-(2-benziloksietil)-4-fenilpiperidina-4- karboksilat
etil ester
10. Benzilmorfina : 3-benzilmorfina
11. Betameprodina : beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina
12. Betametadol : beta-6-dimetilamino-4,4-difenil-3–heptanol
13. Betaprodina : beta-1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina
14. Betasetilmetadol : beta-3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4- difenilheptana
15. Bezitramida : 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(2-okso-3- propionil-1-
benzimidazolinil)-piperidina
16. Dekstromoramida : (+)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-
pirolidinil)butil]-morfolina
17. Diampromida : N-[2-(metilfenetilamino)-propil]propionanilida
18. Dietiltiambutena : 3-dietilamino-1,1-di(2’-tienil)-1-butena
19. Difenoksilat : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)- 4fenilpiperidina-4-
karboksilat etil ester
20. Difenoksin : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4- fenilisonipekotik
21. Dihidromorfina
22. Dimefheptanol : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
23. Dimenoksadol : 2-dimetilaminoetil-1-etoksi-1,1-difenilasetat
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
49
24. Dimetiltiambutena : 3-dimetilamino-1,1-di-(2'-tienil)-1-butena
25. Dioksafetil butirat : etil-4-morfolino-2, 2-difenilbutirat
26. Dipipanona : 4, 4-difenil-6-piperidina-3-heptanona
27. Drotebanol : 3,4-dimetoksi-17-metilmorfinan-6s,14-diol
28. Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina
dan kokaina.
29. Etilmetiltiambutena : 3-etilmetilamino-1, 1-di-(2'-tienil)-1-butena
30. Etokseridina : asam1-[2-(2-hidroksietoksi)-etil]- 4fenilpiperidina-4-
karboksilat etil ester
31. Etonitazena : 1-dietilaminoetil-2-para-etoksibenzil-5-
nitrobenzimedazol
32. Furetidina : asam 1-(2-tetrahidrofurfuriloksietil)4 fenilpiperidina-4-
karboksilat etil ester)
33. Hidrokodona : Dihidrokodeinona
34. Hidroksipetidina : asam 4-meta-hidroksifenil-1-metilpiperidina-4-
karboksilat etil ester
35. Hidromorfinol : 14-hidroksidihidromorfina
36. Hidromorfona : Dihidrimorfinona
37. Isometadona : 6-dimetilamino- 5 -metil-4, 4-difenil-3- heksanona
38. Fenadoksona : 6-morfolino-4, 4-difenil-3-heptanona
39. Fenampromida : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-propionanilida
40. Fenazosina : 2'-hidroksi-5,9-dimetil- 2-fenetil-6,7- benzomorfan
41. Fenomorfan : 3-hidroksi-N–fenetilmorfinan
42. Fenoperidina : asam1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4- fenilpiperidina-4-
karboksilat etil ester
43. Fentanil : 1-fenetil-4-N-propionilanilinopiperidina
44. Klonitazena : 2-para-klorbenzil-1-dietilaminoetil-5- nitrobenzimidazol
45. Kodoksima : dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima
46. Levofenasilmorfan : (1)-3-hidroksi-N-fenasilmorfinan
47. Levomoramida : (-)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4- (1pirolidinil)butil]
morfolina
48. Levometorfan : (-)-3-metoksi-N-metilmorfinan
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
50
49. Levorfanol : (-)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
50. Metadona : 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanona
51. Metadona intermediat : 4-siano-2-dimetilamino-4, 4-difenilbutana
52. Metazosina : 2'-hidroksi-2,5,9-trimetil-6, 7-benzomorfan
53. Metildesorfina : 6-metil-delta-6-deoksimorfina
54. Metildihidromorfina : 6-metildihidromorfina
55. Metopon : 5-metildihidromorfinona
56. Mirofina : Miristilbenzilmorfina
57. Moramida intermediat : asam (2-metil-3-morfolino-1, 1difenilpropana
karboksilat
58. Morferidina : asam 1-(2-morfolinoetil)-4-fenilpiperidina-4-
karboksilat etil ester
59. Morfina-N-oksida
60. Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya
termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-
Noksida
61. Morfina
62. Nikomorfina : 3,6-dinikotinilmorfina
63. Norasimetadol : (•})-alfa-3-asetoksi-6metilamino-4,4-
difenilheptana
64. Norlevorfanol : (-)-3-hidroksimorfinan
65. Normetadona : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heksanona
66. Normorfina : dimetilmorfina atau N-demetilatedmorfina
67. Norpipanona : 4,4-difenil-6-piperidino-3-heksanona
68. Oksikodona : 14-hidroksidihidrokodeinona
69. Oksimorfona : 14-hidroksidihidromorfinona
70. Petidina intermediat A : 4-siano-1-metil-4-fenilpiperidina
71. Petidina intermediat B : asam4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
72. Petidina intermediat C . . .
72. Petidina intermediat C : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat
73. Petidina : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
51
74. Piminodina : asam 4-fenil-1-( 3-fenilaminopropil)- pipe ridina-4-
karboksilat etil ester
75. Piritramida : asam1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4(1- piperidino)-
piperdina-4-karboksilat amida
76. Proheptasina : 1,3-dimetil-4-fenil-4- propionoksiazasikloheptana
77. Properidina : asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat isopropil
ester
78. Rasemetorfan : (•})-3-metoksi-N-metilmorfinan
79. Rasemoramida : (•})-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)-
butil]-morfolina
80. Rasemorfan : (•})-3-hidroksi-N-metilmorfinan
81. Sufentanil : N-[4-(metoksimetil)-1-[2-(2-tienil)-etil -4- piperidil]
propionanilida
82. Tebaina
83. Tebakon : Asetildihidrokodeinona
84. Tilidina : (•})-etil-trans-2-(dimetilamino)-1-fenil-3- sikloheksena-1-
karboksilat
85. Trimeperidina : 1,2,5-trimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
86. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas.
DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN III
1. Asetildihidrokodeina
2. Dekstropropoksifena : α-(+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-metil-2-
butanol propionat
3. Dihidrokodeina
4. Etilmorfina : 3-etil morfina
5. Kodeina : 3-metil morfina
6. Nikodikodina : 6-nikotinildihidrokodeina
7. Nikokodina : 6-nikotinilkodeina
8. Norkodeina : N-demetilkodeina
9. Polkodina : Morfoliniletilmorfina
10. Propiram : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2- piridilpropionamida
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
52
11. Buprenorfina : 21-siklopropil-7-α-[(S)-1-hidroksi-1,2,2-trimetilpropil]-
6,14-endo-entano-6,7,8,14- tetrahidrooripavina
12. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas
13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika
14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika
2. 6. Pengertian Umum Tentang Surat Dakwaan
Secara faktual tentang pemikiran, pemahaman, dan pembahasan
terhadap surat dakwaan dalam teoritik dan praktek cukup banyak
mengundang asumsi para doktina dan praktisi hukum. Terminologi “surat
dakwaan”baru dikenal ketika mengintrodusir ketentuan pasal 14 huruf d ,
pasal 140 ayat (1)dan pasal 143 KUHAP,sedangkan apabila kita merujuk
kepada sistem hukum Eropa Kontinental maka surat dakwaan biasa disebut
dengan istilah”acte van verwijzing” hal yang berbeda penyebutan surat
dakwaan di Inggris dan negara-negara sistem Anglo Saxon dikenal dengan
nama “Imputation” atau “Bill of Indictment”.71
M. Yahya Harahap memberi batasan tentang surat dakwaan adalah
suatu surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan
kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan
penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam
pemeriksaan di muka sidang pengadilan.72
Adapun Harun M. Husein
memberikan batasan tentang surat dakwaan sebagai berikut:73
“Surat dakwaan ialah suatu surat yang diberi tanggal dan ditandatangani
oleh penuntut umum, yang memuat uraian tentang identitas lengkap
terdakwa, perumusan tindak pidana yang didakwakan dengan unsur-
unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pidana
yang bersangkutan disertai dengan uraian tentang waktu dan tempat
71 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya,
(Bandung ,PT Alumni, 2006)hal 89 72 M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan edisi Kedua,(Jakarta, Sinar grafika,2000) hal 385 73
Harun M Husein, Surat Dakwaan Teknik Penyusunan, Fungsi dan Permasalahannya, (Jakarta,Rineka Cipta,1994)hal 43
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
53
tindak pidana dilakukan oleh terdakwa, surat yang menjadi dasar dan
batas ruang pemeriksaan di sidang pengadilan.”
Sedangkan A. Karim Nasution memberikan batasan mengenai
surat dakwaan sebagai berikut:74
“Suatu surat atau akta yang memuat suatu perumusan dari tindak pidana
yang dituduhkan, yang sementara dapat disimpulkan dari surat-surat
pemeriksaan pendahuluan yang merupakan dasar bagi hakim untuk
melakukan pemeriksaan yang bila ternyata cukup terbukti, terdakwa
dapat dijatuhi hukuman”.
A. Soetomo memberikan batasan tentang surat dakwaan yang pada
intinya adalah sebagai berikut:75
“Surat yang dibuat atau disiapkan oleh Penuntut Umum yang
dilampirkan pada waktu melimpahkan berkas perkara ke pengadilan yang
memuat nama dan identitas pelaku perbuatan pidana, kapan dan dimana
perbuatan dilakukan serta uraian secara cermat, jelas dan lengkap
mengenai perbuatan tersebut yang didakwakan telah dilakukan oleh
terdakwa yang memenuhi unsur-unsur pasal-pasal tertentu dan undang
undang tertentu pula yang nantinya merupakan dasar dan titik tolak
pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan untuk dibuktikan apakah
benar perbuatan yang didakwakan itu betul dilakukan dan apabila betul
terdakwa pelakunya yang dapat dipertanggungjawabkan untuk perbuatan
tersebut.“
Mr. I. A. Negerburgh berpendapat tentang surat dakwaan sebagai
berikut:76
“Surat dakwaan sangat penting dalam pemeriksaan perkara pidana, karena
ialah yang merupakan dasar dan menentukan batas-batas bagi
pemeriksaan hakim. Memang pemeriksaan itu tidak batal jika batas-batas
itu dilampaui, tetapi putusan hakim hanya boleh mengenai peristiwa-
peristiwa yang terletak dalam batas-batas itu. Oleh sebab itu, terdakwa
tidaklah dapat dihukum karena suatu tindak pidana yang tidak disebut
dalam surat tuduhan, juga tidak tentang tindak pidana yang walaupun
disebut didalamnya, tetapi tindak pidana tersebut hanya dapat dihukum
dalam suatu keadaan tertentu yang ternyata memang ada , tetapi tidak
dituduhkan”
74 A. Karim Nasution, Masalah Surat Tuduhan Dalam Proses Pidana, (Jakarta: PN.
Percetakan Negara RI, 1972), hlm. 75. 75 A. Soetomo, Pedoman Dasar Pembuatan Dasar Dakwaan dan Suplemen, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1989), hlm. 4. 76 A. Karim Nasution, Loc Cit.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
54
Dari berbagai definisi di atas, dapat ditarik inti persamaannya
terkait dengan apa yang dinamakan surat dakwaan adalah sebagai berikut:
1) Sebagai suatu akta, dalam surat dakwaan harus dicantumkan tanggal dan
tanda tangan pembuatnya. Tanpa mencantumkan tanggal dan tanda
tangan tersebut, surat dakwaan tidak bernilai sebagai suatu akta,
meskipun masih dapat disebut sebagai surat.
2) Surat dakwaan harus diuraikan tindak pidana apa yang didakwakan
beserta waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan oleh terdakwa.
3) Perumusan tindak pidana yang didakwakan harus dilakukan dengan
cermat, jelas, dan lengkap dikaitkan dengan unsur-unsur tindak pidana
yang sebagaimana dirumuskan dalam pasal pidana yang bersangkutan.
4) Surat dakwaan berfungsi sebagai dasar pemeriksaan di sidang
pengadilan.
Penuntut umum adalah istansi yang diberi berwenang oleh undang-
undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan serta
penetapan pengadilan. Salah satu wewenang utama Penuntut umum
melakukan tindakan penuntutan.77
Merujuk pasal 1 butir 7 dapat diketahui
bahwa “penuntutan adalah tindakan Penuntut umum untuk melimpahkan
perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”.
Definisi pasal 137 KUHAP mempertegas lagi tugas dari Penuntut umum
yang berbunyi”Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap
siapa pun yang didakwa melakukan tindak pidana dalam daerah hukumnya
dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili”
sehingga dapat dikemukakan prinsip:78
77 M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan edisi Kedua,(Jakarta, Sinar grafika,2000) hal 385
78 Ibid
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
55
- Hanya Penuntut umum saja yang berwenang menuntut atau melakukan
penuntutan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Insitusi
atau pejabat lain diluar Penuntut umum tidak mempunyai wewenang
melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang didakwa melakukan
tindak pidana.
- Wewenang dan tindakan Penuntut umum tersebut dilakukan oleh Penuntut
umum dengan jalan “melimpahkan”perkaranya ke pengadilan yang
berwenang untuk mengadilinya
Sehingga berdasarkan kedua pasal yaitu pasal 1 butir 7 KUHAP dan
pasal 137 KUHAP dapat disimpulkan bahwa penuntutan berarti :
- Melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang
- Untuk diperiksa dan diputus oleh hakim dalam sidang pengadilan
- Wewenang penuntutan perkara hanya semata-mata hak yang ada pada
penuntut umum.
2.7 Jenis-Jenis Putusan Hakim
Putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting
yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian
dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasanya putusan hakim disatu pihak
berguna bagi terdakwa untuk memperoleh kepastian hukum (rechts
zekerheids) tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah
berikutnya terhadap putusan tersebut dalam artian dapat menerima putusan,
melakukan upaya hukum verzet, banding atau kasasi, melakukan grasi dan
sebagainya. Sedangkan dilain pihak hakim yang mengadili perkara
diharapkan dapat Putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek
penting yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan
demikian dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasanya putusan hakim
disatu pihak berguna bagi terdakwa untuk memperoleh kepastian
memberikan putusan yang mencerminkan nilai-nilai keadilan dengan
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
56
memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan
yang dijatuhkan setimpal sesuai dengan kesalahannya.79
2.7.1 Putusan bebas (Vrijspraak/Acquittal)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 putusan bebas diatur
didalam pasal 191 (1)KUHAP bahwa: “Jika pengadilan berpendapat
bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan
yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan,
maka terdakwa diputus bebas”.
Didalam penjelasan pasal 191(1) KUHAP tersebut dijelaskan
yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut
penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti
menurut ketentuan hukum acara pidana ini. Secara sistematis ketentuan
pasal 191 ayat (1) KUHAP beserta penjelasannya menentukan putusan
bebas dapat terjadi apabila:80
- Dari hasil pemeriksaan di depan sidang pengadilan.
- Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum dan karena itu,
majelis hakim menjatuhkan putusan bebas (Vrjspraak / acquittal)
kepada terdakwa:
Tidak terdapatnya alat bukti seperti ditentukan asas minimum
pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief
wettelijke bewijs theorie) sebagaimana dianut KUHAP. Misalnya
hakim dalam persidangan menemukan satu alat bukti berupa
keterangan terdakwa saja (Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP) atau
satu alat bukti petunjuk saja (Pasal 184 ayat (1) huruf e
KUHAP)atau satu alat bukti petunjuk saja (Pasal 184 ayat (1) huruf
d KUHAP).
79 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktek, Teknik Penyususnan, dan Permasalahannya, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007), hlm 119.
80 Ibid., hal 157.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
57
Majelis hakim berpendirian bahwa terhadap asas minimum
pembuktian sesuai undang-undang telah terpenuhi, misalnya
adanya dua alat bukti berupa keterangan saksi (Pasal 184 ayat (1)
huruf a KUHAP) dan alat bukti petunjuk (Pasal 184 ayat (1) huruf
d KUHAP). Akan tetapi majelis hakim tidak dapat menjatuhkan
pidana karena tidak yakin akan kesalahan terdakwa .
Menurut pandangan doktrina bentuk putusan bebas/vrijpraak
dikenal ada beberapa bentuk , yaitu :
a. Pembebasan murni atau de “zuivere vrijispraak” dimana hakim
membenarkan mengenai “feiten”-nya (na alle noodzakelijke voor
beslissingen met juistheid te hebben genomen).
b. Pembebasan tidak murni atau”de onzuivere vrijspraak” dalam hal
“bedekte niet igheid van dagvaarding” (batalnya dakwaan secara
terselubung) atau “pembebasan yang menurut kenyataannya tidak
didasarkan pada ketidakterbuktian dalam surat dakwaan.
c. Pembebasan berdasarkan alasan pertimbangan kegunaan atau
de”vrijspraak op grond van doelmatigheid overwegingen” bahwa
berdasarkan pertimbangan haruslah diakhiri suatu penuntutan yang
sudah pasti tidak akan ada hasilnya (berustend op de overweging dat
een eind gemaakt moet worden aan een noodzakelijk op niets
uitlopende, vervolging).
d. Pembebasan yang terselubung atau de “bedekte vrijspraak”dimana
hakim telah mengambil putusan tentang “feiten”dan menjatuhkan
putusan “pelepasan dari tuntutan hukum”, padahal menurut pendapat
H.R putusan tersebut berisikan suatu “pembebasan secara murni”.81
Dalam praktek peradilan, jika seseorang terdakwa oleh majelis
hakim dijatuhi putusan “vrijspraak”, pada hakikatnya amar/diktum
putusannya haruslah berisikan :”pembebasan terdakwa secara sah dan
meyakinkan dari segala dakwaan; memulihkan hak terdakwa dari
81 Mr. J.M van Bemmelen, Ons Stracrecht, Deel I, Algemeen deel het materiele strafrechet,
H.D Tjeenk Wilink, (Groningen: 1971), hlm. 101.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
58
kemampuan, kedudukan serta martabatnya; memerintahkan terdakwa
segera dibebaskan dari tahanan setelah putusan diucapkan apabila
terdakwa ditahan; dan pembebanan biaya perkara kepada negara.”82
2.7.2 Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum (Onslag van alle
Rechtsvervolging)
Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van alle
rechtsvervolging) diatur dalam ketentuan pasal 191 ayat (2) KUHAP
dengan redaksional bahwa: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan
yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala
tuntutan hukum”.
Apabila dikonklusikan dan dijabarkan lebih jauh secara teoritik
dan praktik, pada ketentuan pasal 191 ayat (2) KUHAP terhadap putusan
pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging)
terjadi jika:83
- Dari hasil pemeriksaan di depan sidang pengadilan.
- Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan
meyakinkan menurut hukum, tetapi perbuatan tersebut bukanlah
merupakan tindak pidana.
- Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan
meyakinkan menurut hukum, tetapi perbuatan tersebut bukanlah
merupakan tindak pidana.
- Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi
amar/diktum putusan hakim melepaskan terdakwa dari segala tuntuan
hukum karena adanya alasan pemaaf (strafuitsluitings-grooden/feit de
axcuse) dan alasan pembenar (rechtvaardigings-grond), seperti:
a. Kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya (Pasal 44 ayat
(1) KUHPidana).
b. Keadaan memaksa/overmacht (Pasal 48 KUHPidana).
82 Lilik Mulyadi, Op.cit., hlm. 159. 83 Ibid.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
59
c. Pembelaan darurat/noodwer (Pasal 49 KUHPidana).
d. Melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang
(Pasal 50 KUHPidana)
e. Melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang
diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu (Pasal 51 KUHPidana).
Terkait dengan putusan bebas (vrijpraak/acquittal) dan putusan
pelepasan dari tuntutan (onslag van alle Rechtvervolging) M. Yahya
Harahap SH meninjau perbandingan itu dari berbagai segi, antara lain:
Ditinjau dari segi Pembuktian
Pada putusan pembebasan, perbuatan tindak pidana yang didakwakan
kepada terdakwa “tidak terbukti” secara sah dan meyakinkan menurut
hukum. Jadi, tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang
secara negatif serta tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian
yang diatur pasal 183 KUHAP. Lain halnya pada putusan pelepasan
dari segala tuntutan hukum. Apa yang didakwakan kepada terdakwa
cukup terbukti secara sah, baik dinilai dari segi pembuktian menurut
undang-undang maupun dari segi batas minimum pembuktian yang
diatur dalam pasal 183 KUHAP , akan tetapi perbuatan yang terbukti
tadi “tidak merupakan tindak pidana”. Tegasnya perbuatan yang
didakwakan dan yang terbukti tadi, tidak diatur dan tidak termasuk
dalam ruang lingkup hukum perdata, hukum asuransi, hukum dagang,
ataupun hukum adat .84
Ditinjau dari segi Penuntutan
Pada putusan pembebasan, perbuatan yang dilakukan dan didakwakan
kepada terdakwa benar-benar perbuatan tindak pidana yang harus
dituntut dan diperiksa di sidang “pengadilan Pidana”.Hanya dari segi
penilaian pembuktian, pembuktian yang ada tidak cukup mendukung
keterbukaan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu kesalahan terdakwa
tidak terbukti. Karena kesalahannya tidak terbukti, terdakwa “diputus
bebas”, dan membebaskan dirinya dari ancaman pidana yang
84 Ibid.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
60
diancamkan pada pasal tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Sedangkan pada putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum,
hakikatnya apa yang didakwakan kepadanya bukan merupakan
perbuatan tindak pidana. Barangkali hanya berupa kuasi tindak pidana,
seolah-oleh penyidik dan penuntut umum melihatnya sebagai perbuatan
pidana. Misalnya ,A dan B membuat transaksi pinjaman uang dengan
ketentuan pembayaran diajukan paling lambat 1 Januari 1984. Pada
batas waktu yang diperjanjian A tidak dapat memenuhi pelunasan
hutang. Atas kelalaian pembayaran tersebut B melaporkan A kepada
penyidik atas tuduhan penggelapan atau penipuan. Memang disini
seolah-oleh terjadi kuasi hukum. Bagi yang kurang teliti akan menilai
kasus itu merupakan perbuatan tindak pidana penipuan karena A telah
berbohong dan memperdaya B akan melunasi hutangnya pada tanggal 1
Januari 1984. Namun bagi yang teliti, sebenarnya tidak terjadi kuasi
hukum sebab apa yang terjadi benar-benar murni merupakan ruang
lingkup hukum perdata yang diatur dalam hukum perjanjian. Jadi, oleh
karena A didakwa melakukan perbuatan tindak pidana penipuan,
padahal apa yang didakwakan benar- benar bukan tindak pidana,
melainkan merupakan perbuatan yang diatur dalam hukum perjanjian,
sejak semula A tidak boleh dan tidak mungkin dituntut di hadapan
sidang peradilan pidana. Dia dapat digugat di hadapan sidang peradilan
perdata. Oleh karena sejak semula dia tidak boleh dituntut di depan
peradilan pidana, sudah semestinya dia dilepaskan dari segala tuntutan
hukum pidana. Dan dalam kasus tadi, si A hanya boleh digugat di
depan peradilan perdata.85
2.7.3 Putusan Pemidanaan (Veroordeling)
Putusan pemidanaan /veroordeling diatur oleh ketentuan pasal
193 ayat (1)KUHAP. Terhadap putusan pemidanaan dapat terjadi jika:86
a) Dari hasil pemeriksaan didepan persidangan.
85 Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 870-871. 86 Lilik Mulyadi, Op.Cit., hlm. 173.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
61
b) Majelis hakim berpendapat, bahwa:
- Perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut umum
dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan
menurut hukum;
- Perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang lingkup tindak pidana
(kejahatan/misdrijven atau pelanggaran/overtredingen); dan
- Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta-fakta persidangan
(Pasal 183 ayat (1) KUHAP.
- Oleh karena itu, majelis hakim lalu menjatuhkan putusan
pemidanaan (veroordeling) kepada terdakwa.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
62
BAB 3
KEADILAN SUBSTANTIF DAN BATAS KEWENANGAN
HAKIM UNTUK MENJATUHKAN PUTUSAN
BERDASARKAN SURAT DAKWAAN
Pada dasarnya Hakim memiliki kebebasan dalam mengadili suatu
perkara, namun dalam menjalankan kebebasan tersebut Hakim juga dibatasi
oleh peraturan perundang-undangan. Pada bab ini dibahas tentang batasan
kewenangan Hakim dalam mengadili perkara pidana yang bertitik tolak dari
independensi kekuasaan kehakiman hingga kemudian adanya pembatasan
kewenangan tersebut. Dari pembahasan itu kemudian dibahas pula
kewenangan Hakim untuk menjatuhkan Putusan di luar dari pasal yang
didakwakan oleh Penuntut Umum.
3.1. Batasan Kewenangan Hakim dalam Mengadili Perkara
3.1.1. Independensi Kekuasaan Kehakiman
Setelah amandemen ketiga, UUD 1945 menggunakan istilah
“Negara Hukum”,87
yang disebut oleh Mahfud MD sebagaimana
dikutip oleh Bambang Kesowo sebagai istilah yang netral karena tidak
menyebut lagi Rechtsstaat maupun Rule of law, yang mendekatkan atau
menjadikan Rechtsstaat dan the Rule of law sebagai konsep yang saling
komplementatif dan konvergentif. Konsep negara hukum Indonesia
menerima prinsip kepastian hukum yang menjadi hal utama dalam
konsepsi Rechtsstaat, sekaligus juga menerima prinsip rasa keadilan
dalam the Rule of law.88
Dari uraian singkat di atas, dapat dilihat bahwa rechtsidee dari
negara hukum yang telah ditegaskan dalam amandemen ketiga UUD
87 Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen Ketiga, tanggal 9 November 2001.
88 Bambang Kesowo, “Negara Hukum, Program Legislasi Nasional, dan Kebutuhan Desain Besar Bagi Perencanaannya” (Makalah disampaikan pada Rapat Senat Terbuka dalam rangka Dies
Natalis ke-66 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 17 Februari 2012), hlm. 3.
24
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
63
1945, secara ideal dan ilmiah akan dibangun di atas keseimbangan
konsepsi baik Rechtsstaat maupun Rule of law, kongkritnya
mengupayakan keseimbangan diantara keduanya, antara prinsip
kepastian hukum dan keadilan.89
Untuk dapat mencapai cita-cita pembentukan negara hukum,
Republik Indonesia harus memenuhi unsur-unsur negara hukum.
Karena istilah negara hukum yang dikehendaki dalam amandemen
ketiga UUD 1945 adalah negara hukum sebagai konsep yang saling
komplementatif dan konvergentif dari konsep Rechtsstaat dan the Rule
of law, maka perlu dilihat unsur-unsur negara hukum tersebut baik
dalam konsepsi Rechtsstaat maupun the Rule of law. Rechtsstaat
maupun the Rule of law sama-sama memuat unsur “pembagian
kekuasaan” dan “peradilan bebas” sebagai karakteristiknya.
Terkait peradilan bebas atau yang umum disebut independensi
kekuasaan kehakiman (independence judiciary) ini adalah prinsip yang
berlaku universal, yang telah juga tercantum dalam Universal
Declaration of Human Rights,90
yang kemudian dijabarkan lebih lanjut
dalam Beijing Statement.91
Poin 3 Beijing Statement menyebutkan:
“Independence of the Judiciary requires that: a) the Judicial
shall decide matters before it in accordance with its impartial
assessment of the facts and its understanding of the law
without improper influences, direct or indirect, from any
source, and 2) the Judiciary has jurisdiction, directly or by
way of review, over all issues of a justiciable nature”.
Berkaitan dengan masalah independensi kekuasaan
kehakiman, Oemar Seno Adji menyatakan:
89 Ibid, hal. 5. 90 Pasal 10 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, yang diadopsi dan dinyatakan dalam
General Assembly resolution 217 A (III) tanggal 10 Desember 1948, yang menyatakan: “Everyone
is entitled in full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunal, in
the determination of his rights and obligations and of any criminal charge against him.” 91 Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Lawasia Region,
yang disepakati dalam Konferensi Ketua-ketua Mahkamah Agung se-Asia Pasifik ke-6 di Beijing tanggal 19 Agustus 1995 sebagaimana telah diamandemen dalam Konferensi ke-7 di Manila,
tanggal 28 Agustus 1997.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
64
“Suatu pengadilan yang bebas merupakan suatu syarat yang
indispensable dalam suatu masyarakat di bawah Rule of law.
Kebebasan demikian mengandung di dalamnya kebebasan dari
campur tangan dari badan-badan lain, baik dari eksekutif
maupun dari legislatif, meskipun ini tidak berarti bahwa
Hakim itu boleh bertindak sewenang-wenang.92
Secara lebih kongkrit, Ahmad Kamil dalam kesimpulannya
menyatakan bahwa:
“Kebebasan hakim mengandung pengertian bahwa para hakim
bebas untuk memeriksa fakta-fakta hukum di persidangan
tentang obyek sengketa yang diperiksa untuk ditentukan
hukum atas perkara itu, tanpa adanya tekanan langsung dan
tidak langsung kepada para Hakim. Untuk mendukung
kebebasan Hakim tersebut, maka pengadilan harus bebas dari
segala bentuk kekuasaan eksekutif, legislatif, dan tekanan
jurnalistik.93
Secara normatif independensi kekuasaan kehakiman di
Indonesia secara tegas disebutkan dalam Pasal 24 Ayat (1) Undang-
undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”94
Kemudian dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-undang Kekuasaan
Kehakiman disebutkan, “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasia dan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”95
Dari rumusan undang-undang tersebut, jelas bahwa konstitusi
dan undang-undang Indonesia sepakat bahwa independensi kekuasaan
kehakiman adalah satu prasyarat mutlak untuk cita-cita membentuk
92 Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1985), hlm. 20. 93 Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 312. 94 Pasal 24 Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan
ke-3 tanggal 19 November 2001. 95
Indonesia, Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UUNo. 48 Tahun 2009, Lembaran Negara Tahun 2009 No. 157, Tambahan Lembaran Negara No. 5076.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
65
negara hukum. Penjabaran makna kekuasaan kehakiman yang merdeka
itu sendiri dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman disebutkan
sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Hakim dan Hakim
Konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.
(2) Segala Campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak
lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam
hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dipidana sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 3 Ayat (1) Undang-undang kekuasaan
kehakiman menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “kemandirian
peradilan” adalah bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari
segala bentuk tekanan baik fisik maupun psikis. Dari bunyi ketentuan
tersebut masih perlu dikaji lebih lanjut apa saja campur tangan dalam
urusan peradilan yang dikecualikan dalam ketentuan Pasal 3 Ayat (2) di
atas. Setiap asas hukum tentu disepakati sebagai suatu asas dengan
melihat pada manfaat dan tujuan asas tersebut.
Penulis melihat tujuan dari diatur dan ditegakkannya asas
kekuasaan kehakiman yang merdeka, bukanlah ditujukan pada diri
pelaku kekuasaan kehakiman itu sendiri,96
apalagi diri hakim selaku
pribadi. Tujuan dari asas kekuasaan kehakiman yang merdeka pada
hakikatnya adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat
khususnya para pencari keadilan. Sebagaimana disebutkan dalam
Beijing Statement, adalah tugas dari pengadilan untuk menghormati dan
memperhatikan tujuan dan fungsi yang layak/tepat dari lembaga
pemerintahan lainnya, sebaliknya adalah tugas lembaga-lembaga
96 Yang dimaksud sebagai pelaku kekuasaan kehakiman adalah sebagaimana yang ditentukan
dalam UUD 1945, bahwa “Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya,
bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi adalah pelaku Kekuasaan Kehakiman.” Republik Indonesia, Undang-undang Dasar Negara Tahun 1945, perubahan III tanggal 19 November 2001,
Pasal 24 Ayat (1) dan 24 A Ayat (1).
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
66
tersebut untuk menghormati dan memperhatikan tujuan dan fungsi dari
pengadilan. Tujuan dan fungsi pengadilan yang dimaksud adalah
termasuk: a) untuk memastikan semua orang dapat hidup secara aman
di dalam negara hukum, b) mendorong, dalam batasan fungsi
pengadilan, ketaatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan
c) untuk menyelenggarakan hukum secara imparsial terhadap
seseorang, diantara orang-orang, dan negara.97
Atas dasar itu, maka esensi dari kekuasaan kehakiman yang
merdeka adalah untuk memberikan perlindungan dan memastikan agar
kekuasaan kehakiman tersebut dapat menjalankan fungsi dan tujuannya
dengan baik. Hal ini dikatakan juga dalam Beijing Statement bahwa,
“The maintenance of the independence of the judiciary is
essential to the attainment of its objectives and the proper
performance of its functions in a free society observing the
rule of law. It is essential that such independence be
guaranteed by the State and enshrined in the Constitution or
the law.”98
Dengan tercapainya fungsi dan tujuan dari kekuasaan
kehakiman, maka kepentingan masyarakat khususnya para pencari
keadilan juga akan terlindungi untuk mendapatkan suatu proses
peradilan yang baik yang akan membawa pada keadilan, yang lebih
lanjut akan mendatangkan kesejahteraan bagi keseluruhan masyarakat.
“The Judiciary is an institution of the highest value in every society,99
”
karena itu jika nilai tertinggi dalam masyarakat sudah sesuai fungsi dan
dapat mencapai tujuannya, maka fungsi dan tujuan masyarakat secara
keseluruhan juga dapat tercapai, yaitu kesejahteraan.
Sutanto mengutip kesimpulan hasil seminar Depkehham RI di
Jakarta bahwa kebebasan hakim mempunyai dua sisi, yaitu bebas dalam
arti terlepas dari pengaruh kekuasaan lain dan juga bebas untuk
mempersepsi dan menginterpretasi hukum dan mengadili menurut
97 Beijing Statement, Op. Cit. Pasal 5 dan Pasal 10. 98 Ibid., Pasal 4. 99 Ibid., Pasal 1.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
67
persepsi dan interpretasinya. Kebebasan untuk mempersepsi dan
menginterpretasikan hukum ini sebenarnya adalah alat yang penting
dalam upaya mencapai tujuan hukum, karena ditangan Hakimlah
hukum (undang-undang) itu menjadi hidup.100
Andi Hamzah membedakan antara pengertian "mandiri" dan
"independen" atau merdeka. Mandiri menurut Hamzah artinya berada di
bawah atap sendiri tidak berada di bawah atap departemen atau badan
lain. Sedangkan independen atau merdeka berarti di dalam memutus
perkara seperti dimaksud Paulus Effendi Lotulong dengan “bebas dari
pengaruh eksekutif maupun segala kekuasaan negara lainnya dan
kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari
pihat pihak extra judisiil, kecuali dalam hal-hal yang di izinkan oleh
undang-undang”.101
Dikatakan oleh Hamzah, Dalam hal "mandiri", hakim dan
jaksa pada tahun 1945 sampai dengan tahun 1959 berada dibawah
"atap" departemen (kementerian) kehakiman. Namun semua orang tahu
dari pengalaman empiris, bahwa baik hakim maupun jaksa sungguh-
sungguh independen pada waktu itu. Jaksa Agung Suprapto menangkap
menteri kehakiman yang secara administratif adalah atasannya. Itulah
bukti betapa independennya Jaksa Agung yang pensiun pada umur 65
tahun (teoritis seumur hidup) pada waktu itu. Di sini juga ternyata,
bahwa boleh saja tidak mandiri asal independen dalam menjalankan
tugasnya. Sebaliknya, sesudah tahun 1959 (tahun 1961 resminya)
kejaksaan "mandiri" mempunyai badan sendiri terlepas dari Departemen
Kehakiman namun independensinya hilang, karena Jaksa Agung bukan
lagi "Jaksa Agung pada Mahkamah Agung" tetapi menteri atau anggota
100 Sutanto, “Independensi Lembaga Peradilan di Indonesia”, (Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel Pembangunan Hukum Arah Pengembangan Sistem Peradilan Indonesia,
diselenggarakan oleh BPHN Depkumham RI dan FH Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,,
tanggal 24-27 April 2007), hal. 3. 101 Andi Hamzah, “Kemandirian dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman”, (Makalah
Disampaikan Pada Seminat Pembangunan Hukum Nasional VIII Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003), hal. 8-
9.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
68
kabinet (pembantu presiden) bukan pensiun pada umur 65 tahun, tetapi
setiap saat dapat diganti oleh presiden. Dengan sendirinya dalam
menjalankan tugas penegakan hukum selalu harus waspada jangan
sampai menyinggung kepentingan politik Presiden yang ujung-ujungnya
menjadikan dia tidak independen.102
Jika jaksa tidak independen dalam
penuntutan, maka hakim pun menjadi tidak independen, karena
putusannya tergantung pada apa yang didakwakan jaksa.103
3.1.2. Wewenang Hakim dalam Mengadili Perkara Pidana
Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk mengadili, dengan pengertian mengadili
adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan
memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak
memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang
diatur dalam undang-undang ini (KUHAP).104
Wewenang Hakim dalam mengadili Terdakwa terhadap
dakwaan yang didakwakan kepadanya memiliki tiga kemungkinan.
Pertama, memutuskan Terdakwa bebas dari dakwaan jika pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan,105
memutuskan Terdakwa lepas
dari segala tuntutan hukum jika perbuatan yang didakwakan kepada
Terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana (misalnya terbukti sebagai perkara perdata, ada alasan pemaaf,
ataupun ada alasan pembenar),106
atau putusan pemidanaan jika
pengadilan berpendapat bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya.107
102 Ibid., hal 10 103 Ibid., hal. 9. 104 Pasal 1 Angka 8 jo. Pasal 1 Angka 9 KUHAP. 105 Pasal 191 Ayat (1) KUHAP 106 Pasal 191 Ayat (2) KUHAP. 107 Pasal 193 Ayat (1) KUHAP.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
69
Wewenang lainnya yang dimiliki Hakim dalam mengadili
perkara pidana antara lain:
a. Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang
pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan
penahanan (Pasal 20 ayat (3), dan Pasal 26 ayat (1)
KUHAP);
b. Memberikan penangguhan penahanan dengan atau tanpa
jaminan uang atau orang, berdasarkan syarat yang
ditentukan (Pasal 31 ayat (1) KUHAP);
c. Mengeluarkan “Penetapan” agar terdakwa yang tidak hadir
di persidangan tanpa alasan yang sah setelah dipanggil
secara sah kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada
sidang pertama dan berikutnya (Pasal 154 ayat (6)
KUHAP);
d. Menentukan tentang sah atau tidaknya segala alasan atas
permintaan orang yang karena pekerjaanya, harkat martabat
atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia dan minta
dibebaskan dari kewajiban sebagai saksi (Pasal 170
KUHAP);
e. Mengeluarkan perintah penahanan terhadap seorang saksi
yang diduga telah memberikan keterangan palsu di
persidangan baik karena jabatannya atau atas permintaan
Penuntut Umum atau Terdakwa (Pasal 174 ayat (2)
KUHAP);
f. Memerintahkan perkara yang diajukan oleh Penuntut
Umum secara singkat agar diajukan ke sidang pengadilan
dengan acara biasa setelah adanya pemeriksaan tambahan
dalam waktu 14 (empat belas) hari akan tetapi Penuntut
Umum belum dapat juga menyelesaikan pemeriksaan
tambahan tersebut (Pasal 203 ayat (3) huruf (b) KUHAP).
g. Memberikan penjelasan terhadap hukum yang berlaku, bila
dipandang perlu di persidangan, baik atas kehendaknya
sendiri mapun atas permintaan terdakwa atau Penasehat
Hukum-nya (Pasal 221 KUHAP).
h. Memberikan perintah kepada seorang untuk mengucapkan
sumpah atau janji di luar sidang (Pasal 223 ayat (1)
KUHAP);
3.1.3. Pembatasan Kewenangan Hakim
Melihat begitu besarnya kewenangan Hakim, mulai dari
merampas harta kekayaan seseorang yang terbukti berasal dari tindak
pidana, mengurangi kekayaan orang dengan menjatuhkan pidana denda,
menjatuhkan pencelaan dengan perintah mengumumkan putusan
Hakim, pencabutan hak-hak tertentu, perampasan kemerdekaan, bahkan
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
70
hingga menjatuhkan pidana mati, maka diperlukan adanya pengaturan
tentang pembatasan wewenang Hakim tersebut.
Sutanto mengatakan, walaupun pada asasnya lembaga
pengadilan di dalam memeriksa dan mengadili setiap perkara yang
diajukan kepadanya mempunyai kebebasan atau independensi, namun
kebebasan itu sendiri tidaklah bersifat mutlak dalam arti bebas tanpa
batas yang justru menjurus pada kesewenang-wenangan. Di dalam
menjatuhkan keputusannya Hakim mempunyai tanggung jawab penuh
kepada Tuhan Yang Maha Esa, pada pihak yang berperkara,
masyarakat, pengadilan banding atau kasasi, ilmu pengetahuan, bangsa
maupun negara.108
Menurut L. J. Van Apeldoorn, pembatasan kebebasan Hakim
adalah pengalaman bangsa Eropa, dimana pada masa lampau kebebasan
Hakim yang tidak terbatas membawa ketidakpastian hukum. Reaksi
keras dari Montesqueiu tampak dalam kata-kata: “para Hakim hanyalah
mulut yang mengucapkan kata-kata undang-undang, mereka adalah
mahluk yang tidak bernyawa yang tidak boleh melemahkan kekuatan
dan kekerasan undang-undang.”109
Kelonggaran baru diberikan dalam
Code Penal 1810, Hakim dibebaskan untuk memilih pidana minimum
dan maksimum yang diancamkan. Pembatasan kebebasan Hakim juga
ditentukan mengenai hal yang menentukan perbuatan apa yang diliputi
oleh suatu rumusan pasal.110
Dalam sistem hukum di Indonesia, wewenang Hakim tersebut
juga dibatasi oleh undang-undang yang menegaskan bahwa “Pengadilan
mengadili menurut hukum.”111
Sutanto membagi beberapa faktor yang
108 Sutanto, Op. Cit. hlm. 7 109 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Inleiding tot de studie van het Nederlandase
Recht) diterjemahkan oleh Oetarid Sadino, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1954), hlm. 392. 110 Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara
Pidana, (Bandung: PT. Alumni, 2005), hlm. 221. 111 Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang RI No. 48 Tahun 2009. Terhadap hal ini Bagir Manan
mengatakan, “hukum” dalam mengadili menurut hukum harus diartikan luas melebihi pengertian
hukum tertulis dan tidak tertulis. Hukum dalam kasus atau keadaan tertentu – meliputi pengertian-pengertian yang mengikat pihak-pihak, kesusilaan yang baik, dan ketertiban umum (goede zeden
en openbaar orde). Bagir Manan, Op. Cit. hlm. 9.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
71
dapat mempunyai pengaruh untuk membatasi kebebasan pengadilan di
Indonesia ke dalam dua kelompok, yaitu faktor yuridis yang terdiri dari
Pancasila, hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, dan kepentingan
para pihak. Sedangkan faktor yuridis terdiri dari faktor ekonomi,
politik, dan faktor keamanan.112
Andi Hamzah berkesimpulan, dalam mengadili perkara pidana,
Hakim dibatasi oleh asas legalitas baik hukum substantif maupun
hukum acara dan apa yang didakwakan Jaksa.113
Kesimpulan itu ditarik
Andi Hamzah dari argumen bahwa Hakim tidak boleh memutus di luar
yang didakwakan Jaksa, karena dominus litis adalah Jaksa (yang
mewakili negara). Jaksa boleh menuntut satu feit (perbuatan) saja
walaupun Terdakwa melakukan lebih dari satu feiten (perbuatan), tetapi
yang satu itu sungguh-sungguh terjadi dan sungguh-sungguh dibuktikan
dengan alat bukti yang cukup ditambah dengan keyakinan Hakim.
Kebebasan menuntut Jaksa dilakukan pula oleh Jaksa di Amerika
Serikat dengan praktek plea bargaining, artinya jika Terdakwa
mengakui kesalahannya Jaksa dapat mengurangi delik yang akan
didakwakan. Oleh karena itu kebebasan atau kemerdekaan Hakim untuk
memutus perkara pidana tergantung pula pada bebas atau merdeka
tidaknya penuntut umum.114
Pembatasan wewenang Hakim secara prosedural yang
berkaitan dengan surat dakwaan inilah yang menjadi sentral dari
penelitian ini. Pasal 182 (4) KUHAP yang menentukan bahwa :
“Musyawarah tersebut ayat (3) harus didasarkan atas surat
dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan
di sidang pada Hakim mengadili perkara berdasarkan surat
dakwaan.”
Selanjutnya dalam pasal 197(1) huruf c juga disebutkan Surat
putusan pemidanaan memuat dakwaan sebagaimana terdapat dalam
112 Sutanto, Op. Cit. hlm. 7-15. 113 Andi Hamzah, Op. Cit. hlm. 11. 114 Ibid, hal. 8.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
72
surat dakwaan yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam
persidangan.
3.2. Kewenangan Hakim untuk Menjatuhkan Putusan di Luar Pasal
Dakwaan Penuntut Umum
Andi Hamzah mengatakan, idealnya apa yang didakwakan Jaksa
ialah perbuatan yang sungguh-sungguh terjadi. Kemandirian putusan Hakim
ialah apa yang terbukti seperti sungguh-sungguh terjadi dan didakwakan
Jaksa, seperti juga dalam perkara perdata Putusan Hakim tergantung kepada
apa yang digugat.115
Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana jika fakta
yang terbukti di persidangan tidak sesuai dengan pasal yang didakwakan.
Secara normatif KUHAP menentukan, “jika pengadilan berpendapat bahwa
dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka
Terdakwa diputus bebas.”116
Bagaimana halnya jika walaupun perbuatan
Terdakwa tidak terbukti memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana yang
didakwakan, tetapi perbuatan Terdakwa memenuhi rumusan unsur tindak
pidana lain yang tidak didakwakan sebagaimana dalam perkara no.
810/K.Pid.Sus/2012 dan perkara no 2089/K.Pid.Sus/2011 yang akan penulis
bedah pada pembahasan Bab 4 nanti, tentu akan membawa pada
permasalahan keadilan, baik bagi masyarakat sebagai korban, atau sebaliknya
Terdakwa dan keluarganya.
Untuk melihat apakah Hakim berwenang menjatuhkan putusan di
luar pasal yang didakwakan, Penulis uraikan sebagai berikut:
3.2.1. Fungsi Surat Dakwaan Dalam Pemeriksaan Persidangan
Menurut Djoko Prakoso, peranan penting suatu surat
dakwaan dapat dilihat secara personal bagi para pihak yang terlibat
pemeriksaan sidang yaitu Hakim, Penuntut Umum dan Terdakwa atau
Penasehat Hukumnya. Fungsi ini dapat dipengaruhi oleh hak dan
115 Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 11. 116 Pasal 191 Ayat (1) KUHAP.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
73
kewajiban masing-masing sebagai penegak hukum. Bagi penuntut
umum dengan dibuatnya surat dakwaan merupakan dasar pelimpahan
perkara tersebut agar diperiksa dan diputuskan. Selanjutnya surat
dakwaan tersebut menjadi dasar pembuktian dan pembahasan yuridis
selama persidangan serta tuntutan pidana, dan pada akhirnya dapat
juga digunakan sebagai dasar melakukan upaya hukum baik upaya
hukum luar biasa maupun biasa.117
Fungsi surat dakwaan bagi seorang Hakim adalah sebagai
dasar pemeriksaan, memberikan batas ruang lingkup pemeriksaan,
dasar pertimbangan dan akhirnya menjadi dasar pengambilan
keputusan tentang dapat tidaknya seorang Terdakwa diminta
pertanggungjawaban atas perbuatan yang didakwakan terhadap
dirinya. Dengan adanya surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa
Penuntut Umum maka ruang lingkup pemeriksaan persidangan hanya
terbatas pada pencarian kebenaran atas apa yang disebutkan dalam
surat dakwaan tersebut. Hakim tidak boleh melakukan pemeriksaan
yang tidak berkaitan dengan Terdakwa dalam surat dakwaan.118
Seorang Terdakwa atau penasihat hukum mempunyai
kepentingan yang mendalam tentang surat dakwaan karena bagi
Terdakwa atau penasehat hukumnya, surat dakwaan merupakan dasar
bagi mereka melakukan pembelaan atas apa-apa yang didakwakan
terhadap Terdakwa. Oleh karena itu UU menentukan bahwa rumusan
surat dakwaan harus cermat, jelas, dan lengkap. Hal ini guna
memberikan perlindungan hak-hak Terdakwa dalam melakukan
pembelaannya. Karena apabila surat dakwaan tersebut tidak disusun
dengan cermat, jelas, dan lengkap, akan merugikan bagi pembelaan
Terdakwa atau Penasihat Hukumnya. Oleh karena itu UU memberikan
akibat batalnya surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan UU.119
117 Djoko Prakoso, Surat Dakwaan, Tuntutan Pidana dan Eksaminasi Perkara di Dalam
Proses Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 100-101. 118 Ibid, hal. 101. 119 Loc. cit.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
74
Sejalan dengan pendapat tersebut, dalam surat edaran Jaksa
Agung yang menjadi pedoman pembuatan surat dakwaan bagi internal
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, pada Bagian II Surat Edaran
tersebut dikatakan bahwa Surat Dakwaan menempati posisi sentral
dan strategis dalam pemeriksaan perkaa pidana di Pengadilan, karena
itu Surat Dakwaan sangat dominan bagi keberhasilan pelaksanaan
tugas penuntutan.120
Ditinjau dari berbagai kepentingan yang
berkaitan dengan pemeriksaan perkara pidana, maka fungsi surat
dakwaan dapat dikategorikan:
b. Bagi Pengadilan/Hakim, Surat Dakwaan merupakan dasar dan
sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dasar
pertimbangan dalam penjatuhan keputusan;
c. Bagi Penuntut Umum, Surat Dakwaan merupakan dasar
pembuktian/analisis yuridis, tuntutan pidana, dan penggunaan
upaya hukum;
d. Bagi Terdakwa/Penasihat Hukum, Surat Dakwaan merupakan
dasar untuk mempersiapkan pembelaan.
Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa fungsi utama surat
dakwaan adalah sebagai landasan utama pemeriksaan perkara pidana
di dalam persidangan, sebagai landasan utama maka konsekuensinya
adalah:
a. Pemeriksaan di dalam tahap pembuktian di persidangan harus
dibatasi hanya atas apa yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut
Umum melalui surat dakwaannya sebagai dasar pemeriksaan;121
b. Terdakwa hanya dapat dijatuhi hukuman, apabila telah terbukti
melakukan tindak pidana seperti yang telah didakwakan dalam
surat dakwaan;122
120 Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Surat Edaran Jaksa Agung tentang pembuatan Surat
Dakwaan, No. SE-004/J.A/11/1993 tanggal 16 Nopember 1993. 121 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan
Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 378. 122 Loc. cit.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
75
c. Tindak pidana yang terbukti di dalam persidangan harus sesuai
dengan tindak pidana yang dituduhkan dalam surat dakwaan;123
d. Jika salah satu unsur saja dari tindak pidana yang didakwakan tidak
ada atau lebih tegasnya tidak terbukti, maka dapat dikatakan bahwa
tindak pidana belum atau tidak terjadi.124
3.2.2. Faktor yang Dapat Mempengaruhi Timbulnya Perbedaan Fakta
Persidangan dengan Surat Dakwaan
KUHAP mewajibkan surat dakwaan Penuntut Umum harus
menguraikan secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak
pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat
tindak pidana itu dilakukan.125
Perumusan surat dakwaan tersebut
didasarkan pada hasil pemeriksaan pendahuluan dimana dapat
diketemukan baik berupa keterangan Terdakwa maupun keterangan
saksi dan alat bukti yang lain termasuk keterangan ahli misalnya
visum et repertum, dapat diketemukan perbuatan sungguh-sungguh
dilakukan (perbuatan materil) dan bagaimana dilakukannya.126
Pemeriksaan yang dilakukan oleh Penyidik dengan
mencantumkan pasal undang-undang pidana yang menjadi dasarnya
tidak mengikat Penuntut Umum untuk mengikutinya. Penuntut Umum
dapat membuat perubahan dengan fakta-fakta dan data serta
menyusun dakwaan berdasarkan perumusan delik tersebut. Penuntut
Umum dapat membuat perubahan pasal undang-undang yang
dicantumkan oleh Penyidik untuk menyesuaian dakwaan dengan
fakta-fakta dan data serta menyusun dakwaan berdasarkan perumusan
delik tersebut, hal ini dilakukan dengan cara pengembalian berkas
kepada Penyidik disertai pemberian petunjuk kepada Penyidik tentang
123 Loc. cit. 124 S. R. Sianturi, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. (Jakarta:
Peteheam, 1996), hlm. 207-208. 125 Pasal 143 Ayat (2) KUHAP. 126
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Cetakan Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 170.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
76
hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi sebagaimana diatur dalam
Pasal 138 Ayat (2) KUHAP.
Dalam prakteknya, sekalipun Penuntut Umum telah
menyusun surat dakwaan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari
pemeriksaan Penyidikan, sering terjadi pada tahap pemeriksaan
persidangan surat dakwaan tersebut justru berbeda dengan fakta-fakta
yang ada di persidangan, padahal fakta di persidangan itulah yang
digunakan Hakim dalam menjatuhkan Putusannya. Menurut Penulis,
beberapa faktor yang memiliki kemungkinan untuk dapat
mempengaruhi timbulnya hal tersebut antara lain adalah sebagai
berikut:
a. Keterangan saksi-saksi di persidangan berbeda dengan keterangan
mereka di penyidikan, hal ini dimungkinkan karena pada tahap
penyidikan pemeriksaan dilakukan tertutup tanpa ada kewajiban
untuk memberikan keterangan di bawah sumpah, sementara di
persidangan saksi memberikan keterangan dalam persidangan yang
terbuka untuk umum (kecuali perkara tertentu seperti kesusilaan
dan pidana anak) dan di bawah sumpah, sehingga pada umumnya
saksi lebih leluasa memberikan keterangan di persidangan, yang
memungkinkan keterangan tersebut tidak sesuai dengan surat
dakwaan Penuntut Umum.
b. Adanya alat bukti tambahan di luar berkas penyidikan yang
diajukan di persidangan. Pada umumnya Terdakwa ataupun
Penasehat Hukumnya baru secara maksimal melakukan defense di
persidangan, dengan mengajukan bukti-bukti a de charge (bukti
yang mendukung kepentingan pembelaan Terdakwa) yang
mungkin bahkan tidak pernah dimunculkan sama sekali pada
pemeriksaan penyidikan, hal itu adalah hal yang menjadi bagian
dari strategi pembelaan Terdakwa.
c. Perbedaan pandangan/pendapat antara Penuntut Umum dengan
Majelis Hakim terhadap penafsiran atas suatu ketentuan
perundang-undangan. Perbedaan ini sangat mungkin terjadi bukan
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
77
hanya antara Hakim dengan Jaksa apalagi dengan Penasehat
Hukum yang masing-masing memiliki perspektif dan interest yang
berbeda, juga karena pendapat diantara para ahli hukum maupun
praktisi juga sering berbeda. Hal demikian dipengaruhi antara lain
karena perbedaan latar belakang, budaya hukum, pendidikan
hukum, dan faktor-faktor lainnya. Terlepas dari adanya perbedaan-
perbedaan tersebut, harus kembali diingat bahwa hukum itu
memiliki tujuan, dan tujuan itulah yang harus dicapai dalam
penegakan hukum.
3.2.3 Keadilan Substantif Dalam Putusan Hakim di luar Surat
Dakwaan
Keadilan procedural adalah keadilan yang didasarkan pada
ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dari peraturan hukum formal,
seperti mengenai waktu dan syarat-syarat beracara di pengadilan
sedangkan keadilan substantive adalah keadilan yang didasarkan pada
nilai-nilai yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai
hati nurani.
Mochtar Kusumaatmadja127
mengemukakan bahwa hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara, bebas dari campur tangan
masyarakat, eksekutif maupun legislatif. Dengan kebebasan yang
demikian itu, diharapkan hakim dapat mengambil keputusan
berdasarkan hukum yang berlaku dan juga berdasarkan keyakinannya
yang seadil-adilnya serta memberikan manfaat bagi masyarakat.
Dengan demikian, maka hukum dan badan-badan pengadilan akan
dapat berfungsi sebagai penggerak masyarakat dalam pembangunan
hukum dan pembinaan tertib hukum.
.
127 Muchtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan
Nasional, Lembaga Peneliti Hukum Fakultas Hukum Universitas Padja, diedarkan oleh penerbit
Bina Cipta, Bandung, 1986, Hal 319-320
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
78
Setiap ketentuan peraturan perundang-undangan tentunya
diundangkan atas dasar filosofis, yuridis, dan sosiologisnya masing-
masing. Seperti halnya dalam perkara a quo, walaupun fakta yang
terbukti di persidangan dan pasal yang didakwakan adalah sama
menyangkut pelanggaran terhadap Undang-undang Narkotika, tetapi
antara perbuatan “memakai/menggunakan Narkotika” dengan
perbuatan “memiliki Narkotika” memiliki latar belakang, fungsi, dan
tujuan yang berbeda, yang karena perbedaan itu, maka pembuat
undang-undang merumuskannya dalam pasal yang berbeda dengan
ancaman pidana yang berbeda pula.
Terkait dengan pengertian dakwaan dihubungkan dengan
keadilan substantif dalam menjatuhkan putusan diluar dakwaan
penulis melihat bahwa surat dakwaan merupakan dasar bagi hakim
dalam melakukan pemeriksaan didepan persidangan dan pada
hakikatnya hakim tidak boleh mengubah surat dakwaan sebagaimana
ditentukan oleh putusan Mahkamah Agung Ri No 589K/Pid /1984
tanggal 17 Oktober 1984128
dan hakim juga dalam menjatuhkan
hukuman kepada terdakwa tidak diperkenankan menjatuhkan pidana
terhadap perbuatan yang tidak didakwakan oleh Penuntut Umum
dalam surat dakwaannya sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI
No 321K/Pid/1983 tanggal 26 Mei 1984129
dan terkait tidak
diperkenankannya hakim menjatuhkan putusan diluar dakwaan
seperti dua putusan Mahkamah Agung RI sebagaimana disebutkan
diatas ada pandangan baru dari Mahkamah Agung RI No 693
K/Pid/1986 tanggal 12 Juli 1986130
dan putusan Mahkamah Agung RI
No 675K/Pid/1987 tanggal 21 Maret 1989 yang pada intinya
menyatakan Bahwa terdakwa dapat dijatuhi pidana dengan tindak
pidana sejenis yang sifatnya lebih ringan walaupun tidak didakwakan
128 Ketentuan-Ketentuan KUHAP dalam Yurisprudensi, (Jakarta: Proyek Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI, Tanpa Tahun), hlm. 70-82. 129 Majalah Varia Peradilan No 6 ,( Penerbit :Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Maret , 1986
)Hal 117-121 130 Yurisprudensi Indonesia , Penerbit Mahkamah Agung RI , 1986 Hal 45
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
79
dan ada putusan Mahkamah Agung RI Nomor 818K/Pid/1984 tanggal
31 Mei 1985 yang pada pokoknya menyatakan apabila didakwa
dengan dakwaan tunggal melanggar pasal 310 KUHP tetapi yang
terbukti adalah pasal 315 KUHP maka terdakwa dapat dijatuhi
hukuman sesuai dengan pasal 315 KUHP walaupun tidak didakwakan
karena Mahkamah Agung RI berpendirian bahwa hal tersebut dapat
dilakukan sepanjang tindak pidana yang dilakukan adalah sejenis131
.
Keadilan substantif sebagai sumber keadilan prosedural
masih bersifat konsep parsial dan belum menjangkau seutuhnya ide-
ide dan realitas yang seharusnya menjadi bagian dari konsep dan
penegakan keadilan, akibatnya penegakan hukum menjadi kurang
atau bahkan tidak mampu menyelesaikan inti persoalan sebenarnya
suara orang atau masyarakat yang tertindas sebagai subjek yang
sangat memerlukan keadilan terabaikan sama sekali.132
Produk
peradilan berupa putusan hakim sering dianggap kontroversial
cenderung tidak dapat diterima oleh kalangan luas dikarenakan
produk hukum hakim tersebut tidak sejalan dengan nilai hukum dan
rasa keadilan dalam masyarakat yang menyebabkan putusan-putusan
yang dijatuhkan dianggap tidak berdasarkan kepada pertimbangan
hukum yang cermat (onvoeldoende gemotiverd).133
Para pencari keadilan (justiciabellen) tentu sangat
mendambakan perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan dapat
diputus oleh hakim-hakim yang professional dan memiliki integritas
moral yang tinggi, sehingga dapat melahirkan putusan putusan yang
tidak saja mengandung aspek kepastian hukum (keadilan procedural),
tetapi juga berdimensikan legal justice, moral justice dan social
131 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya,
(Bandung ,PT Alumni, 2006)hal 95 132
Bambang Sutiyoso,Mencari format ideal Keadilan Putusan Dalam Peradilan,Jurnal Hukum
No 2 Vol 17 April 2010.
133 Ibid
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
80
justice. Karena keadilan itulah yang menjadi tujuan utama yang
hendak dicapai dari proses penyelesaian sengketa di pengadilan.134
Kalau dicermati kepala putusan hakim itu sendiri berbunyi
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, oleh
karena itu pertimbangan keadilan sesungguhnya lebih dikedepankan
dalam memutus suatu perkara. Dalam hal ini memang sepenuhnya
diserahkan kepada majelis hakim yang menangani perkara tersebut.
Bismar Siregar menambahkan bahwa dasar seorang hakim dalam
mengambil putusan adalah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhahan
Yang Maha Esa”. Dengan demikian, dalam menetapkan putusannya,
pertama-tama seorang hakim bermunajat kepada Alloh SWT.135
Adanya benturan-benturan antara pemenuhan keadilan
prosedural di satu sisi dan keadilan substantif di sisi lain, memang
harus ada solusi dan opsi yang jelas dan harus diputuskan oleh Hakim
dengan argumentasi hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam hal ini kami berpendapat, semestinya hakim lebih dahulu
mengedepankan pilihan keadilan substantif, yang sesuai dengan hati
nurani dan rasa keadilan masyarakat. Oleh karena itu, hanya dalam
hal-hal kasuistik dan sangat eksepsional, yaitu terjadi pertentangan
yang tajam antara keadilan prosedural dan keadilan substantif,
keadilan prosedural bisa diabaikan. Tentunya tidak berarti semua
kasus harus boleh begitu saja keadilan prosedural dikalahkan. Hal ini
untuk menghindari apa yang dikemukakan oleh Machiavelli, yaitu
dihalalkannya segala cara untuk mencapai tujuan, atau dengan kata
lain jangan sampai keadilan prosedural diabaikan begitu saja untuk
mencapai tujuan tertentu yang sebenarnya tidak terlalu essensial
pemenuhannya.136
134 Ibid
135 Ibid
136 Ibid
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
81
BAB 4
ANALISA PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DAN
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TERKAIT
DENGAN PUTUSAN DILUAR DAKWAAN
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1. Beberapa “Putusan Diluar Dakwaan” dalam Perkara Narkotika oleh
Hakim Pengadilan Negeri
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, diperoleh data berupa
beberapa putusan Pengadilan Negeri dan Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia terkait dengan putusan diluar dakwaan dalam perkara
narkotika sebagai berikut:
I. Putusan No. 10 /Pid.B/2012/PN.Msb.
Dalam perkara ini yang menjadi terdakwa adalah Nama MS bin
UH Als S Bin OGU, Tempat Lahir: Sidrap, Umur/Tanggal Lahir: 34
Tahun/01 Januari 1978, Jenis Kelamin: Laki-Laki, Kebangsaan:
Indonesia, Adapun dakwaan jaksa /Penuntut Umum disusun secara
subsidairitas yaitu:
PRIMAIR :
Bahwa terdakwa MS bin UH alias S bin Ogu , pada Hari Rabu Tanggal
09 Nopember 2011 sekitar pukul 03.30 wita atau setidak-tidaknya pada suatu
waktu dalam bulan Nopember Tahun 2011 atau setidak-tidaknya masih dalam Tahun 2011, bertempat dalam WC, Kamar 107 Penginapan “Wisma Sidenreng”,
Jalan Jend. Ahmad Yani, Kelurahan Kappuna, Kecamatan Masamba, Kabupaten
Luwu Utara atau pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Masamba, yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan
untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, yang dilakukan oleh terdakwa dengan cara antara lain sebagai berikut :
- Awalnya terdakwa yang tidak mempunyai kapasitas sebagai sebagai Ilmuwan
/ Peneliti, Pedagang Besar Farmasi, Dokter, pihak apotek, pihak puskesmas, pihak rumah sakit ataupun pengguna serta tidak mempunyai izin dari Menteri
Kesehatan untuk melakukan perbuatan yang bersinggungan dengan Narkotika,
mendapatkan 1 (satu) paket shabu-shabu dari seseorang bernama LALIN
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
82
(DPO) pada Hari Senin tangal 07 Nopember 2011 sekitar pukul 08.00 Wita di
pinggir jalan di Kabupaten Sidrap yang mana kemudian 1 (satu) paket shabu-shabu tersebut lalu terdakwa bawa menuju kerumahnya di Malili ;
- Bahwa selanjutnya terdakwa pada Hari Selasa, Tanggal 08 Nopember 2011 sekitar pukul 19.00 Wita, di Desa Manurung, Kecamatan Malili, Kabupaten
Luwu Timur, terdakwa yang sementara berdiri dipinggir jalan kemudian
melintas teman terdakwa yakni ALDI dan MANSUR mengajak jalan-jalan ke
Burau yang mana akhirnya terdakwa kemudian ikut mobil ALDI dan MANSUR dengan terlebih dahulu terdakwa membawa 1 (satu) paket shabu-
shabu yang didapatkan dari LALIN serta 1 (satu) bong (botol mimuman bekas
coca cola) yang terdakwa rakit sendiri yang mana bong tersebut sebagai alat bantu apabila nantinya terdakwa akan menggunakan atau mengkonsumsi paket
shabu-shabu ;
- Bahwa setelah sampai dalam perjalanan ke Burau terdakwa bersama ALDI
serta MANSUR ketiganya kemudian melanjutkan perjalanan ke Karetan di
Kabupaten Luwu namun dalam perjalan ke Karetan ketiganya lalu singgah di
Kafe Nusa di Kecamatan Sabbang, Kabupaten Luwu Utara untuk minum dan sekitar pukul 02.30 Wita terdakwa bersama ALDI serta MANSUR dengan
ditemani 3 (tiga) orang pelayan kafe kesemuanya naik mobil dan menuju
Wisma Sidenreng yang mana terdakwa lalu makan di kamar 108 dan setelah selesai terdakwa lalu masuk ke kamar 107 sampai kemudian terdakwa masuk
ke WC Kamar 107 tersebut bermaksud untuk menggunakan 1 (satu) paket
shabu-sabhu beserta 1 (satu) buah bong yang memang sudah terdakwa persiapkan dan bawa dari rumahnya namun saat itu lampu WC padam
sehingga terdakwa menyimpannya di WC kamar 107 tersebut dan keluar
hingga kemudian datang Tim Anti Narkoba dari Polres Luwu Utara langsung
melakukan penggeledahan badan terhadap terdakwa akan tetapi tidak ditemukan barang bukti sehingga Tim Anti Narkoba dari Polres Luwu Utara
melakukan pencarian di WC kamar 107 menemukan barang bukti berupa 1
(satu) buah sachet plastik warna bening yang berisikan butiran kristal warna putih (shabu-shabu) seberat 0,5 (nol koma nol lima) gram ditimbang dengan
plastiknya dan 1 (satu) buah botol plastik bekas coca-cola (bong) ;
- Berdasarkan hasil pemeriksaan Pusat laboratorium Forensik Polri
Laboratorium Forensik cabang Makassar No.Lab : 1255/KNF/XI/2011
tertanggal 11 Nopember 2011 yang ditanda tangani oleh An. Kepala
Laboratorium Forensik Cabang Makassar Dr. Nursamran Subandi, M.Si dengan pemeriksa Drs. Sugiharti, Hasura Mulyani, AMD dan Arianata Vira
T, S.Si yang isi kesimpulannya yaitu “ barang bukti setelah diperiksa sisanya
berupa: Kristal bening seberat 0,2372 gram (1 sachet plastik bening berisi
kristal bening) milik MS bin UH Als S Bin OGU Positif mengandung
Metamfetamina terdaftar dalam Golongan I Nomor urut 61 lampiran
Undang-undang R.I Nomor 35 tahun 2009 tentang Norkotika.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diancam pidana dan diatur dalam
Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
SUBSIDIAIR :
Bahwa terdakwa MS bin UH Als S Bin OGU , pada Hari Rabu
Tanggal 09 Nopember 2011 sekitar pukul 03.30 wita atau setidak-tidaknya pada
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
83
suatu waktu dalam bulan Nopember Tahun 2011 atau setidak-tidaknya masih
dalam Tahun 2011, bertempat dalam WC, Kamar 107 Penginapan “Wisma Sidenreng”, Jalan Jend. Ahmad Yani, Kelurahan Kappuna, Kecamatan Masamba,
Kabupaten Luwu Utara atau pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah
hukum Pengadilan Negeri Masamba, yang tanpa hak atau melawan hukum, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan
tanaman, yang dilakukan oleh terdakwa dengan cara antara lain sebagai berikut :
- Awalnya terdakwa yang tidak mempunyai kapasitas sebagai sebagai Ilmuwan / Peneliti, Pedagang Besar Farmasi, Dokter, pihak apotek, pihak puskesmas,
pihak rumah sakit ataupun pengguna serta tidak mempunyai izin dari Menteri
Kesehatan untuk melakukan perbuatan yang bersinggungan dengan Narkotika, mendapatkan 1 (satu) paket shabu-shabu dari seseorang bernama LALIN
(DPO) pada Hari Senin tangal 07 Nopember 2011 sekitar pukul 08.00 Wita di
pinggir jalan di Kabupaten Sidrap yang mana kemudian 1 (satu) paket shabu-shabu tersebut lalu terdakwa bawa menuju kerumahnya di Malili ;
- Bahwa selanjutnya terdakwa pada Hari Selasa, Tanggal 08 Nopember 2011
sekitar pukul 19.00 Wita, di Desa Manurung, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, terdakwa yang sementara berdiri dipinggir jalan kemudian
melintas teman terdakwa yakni ALDI dan MANSUR mengajak jalan-jalan ke
Burau yang mana akhirnya terdakwa kemudian ikut mobil ALDI dan MANSUR dengan terlebih dahulu terdakwa membawa 1 (satu) paket shabu-
shabu yang didapatkan dari LALIN serta 1 (satu) bong (botol mimuman bekas
coca cola) yang terdakwa rakit sendiri yang mana bong tersebut sebagai alat bantu apabila nantinya terdakwa akan menggunakan atau mengkonsumsi paket
shabu-shabu ;
- Bahwa setelah sampai dalam perjalanan ke Burau terdakwa bersama ALDI serta MANSUR ketiganya kemudian melanjutkan perjalanan ke Karetan di Kbupaten
Luwu namun dalam perjalan ke Karetan ketiganya lalu singgah di Kafe Nusa di
Kecamatan Sabbang, Kabupaten Luwu Utara untuk minum dan sekitar pukul 02.30 Wita terdakwa bersama ALDI serta MANSUR dengan ditemani 3 (tiga)
orang pelayan kafe kesemuanya naik mobil dan menuju Wisma Sidenreng yang
mana terdakwa lalu makan di kamar 108 dan setelah selesai terdakwa lalu masuk ke kamar 107 sampai kemudian terdakwa masuk ke WC Kamar 107
tersebut bermaksud untuk menggunakan 1 (satu) paket shabu-sabhu beserta 1
(satu) buah bong yang memang sudah terdakwa persiapkan dan bawa dari
rumahnya namun saat itu lampu WC padam sehingga terdakwa menyimpannya di WC kamar 107 tersebut dan keluar hingga kemudian datang Tim Anti
Narkoba dari Polres Luwu Utara langsung melakukan penggeledahan badan
terhadap terdakwa akan tetapi tidak ditemukan barang bukti sehingga Tim Anti Narkoba dari Polres Luwu Utara melakukan pencarian di WC kamar 107
menemukan barang bukti berupa 1 (satu) buah sachet plastik warna bening
yang berisikan butiran kristal warna putih (shabu-shabu) seberat 0,5 (nol koma
nol lima) gram ditimbang dengan plastiknya dan 1 (satu) buah botol plastik bekas coca-cola (bong);
- Berdasarkan hasil pemeriksaan Pusat laboratorium Forensik Polri Laboratorium Forensik cabang Makassar No.Lab : 1255/KNF/XI/2011 tertanggal 11
Nopember 2011 yang ditanda tangani oleh An. Kepala Laboratorium Forensik
Cabang Makassar Dr. Nursamran Subandi, M.Si dengan pemeriksa Drs. Sugiharti, Hasura Mulyani, AMD dan Arianata Vira T, S.Si yang isi
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
84
kesimpulannya yaitu “ barang bukti setelah diperiksa sisanya berupa: Kristal
bening seberat 0,2372 gram (1 sachet plastik bening berisi kristal bening)
milik MS bin UH Als S Bin OGU Positif mengandung Metamfetamina
terdaftar dalam Golongan I Nomor urut 61 lampiran Undang-undang R.I
Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diancam pidana dan diatur dalam Pasal
112 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Dalam persidangan telah didengarkan keterangan saksi-saksi, yaitu
saksi M bin M, saksi AP alias A bin M, JP, A.A, A bin L dan BAP yang
dibacakan atas nama R binti R serta selanjutnya didengarkan juga
keterangan terdakwa MS Bin UH alias S bin Ogu
Barang bukti yang diajukan kepersidangan berupa Kristal bening
seberat 0,2372 gram (1 sachet plastik bening berisi kristal bening) Positip
mengandung Metamfetamina terdaftar dalam Golongan I Nomor urut 61
lampiran Undang-undang R.I Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratis Kriminalistik dari Pusat
laboratorium Forensik Polri Laboratorium Forensik Cabang Makassar
No.Lab : 1255/KNF/XI/2011 tertanggal 11 Nopember 2011 yang ditanda
tangani oleh An. Kepala Laboratorium Forensik Cabang Makassar Dr.
Nursamran Subandi, M.Si dkk.
Setelah melalui proses persidangan selanjutnya Jaksa/Penuntut
Umum membacakan tuntutannya sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa Muhammad Saleh bin Ogu tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa
hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
menyerahkan atau menerima Narkotika Golongan I” sebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 114 ayat (1) UU RI No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika sebagaimana dakwaan Primair kami
dan oleh karena itu membebaskan terdakwa dari dakwaan tersebut ;
2. Menyatakan Terdakwa Muhammad Saleh bin Ogu terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Memiliki,
menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
85
bukan tanaman” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
112 ayat (1) UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
sebagaimana dakwaan subsidair kami ;
3. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Muhammad Saleh bin Ogu
dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dikurangi selama
Terdakwa berada dalam tahanan sementara, dengan perintah terdakwa
tetap ditahan ;
4. Menghukum terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp.
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) subsidiair 3 (tiga) bulan
penjara ;
5. Menetapkan barang bukti berupa:
- 1 (satu) buah sachet plastik warna bening yang berisikan butiran
Kristal warna putih (shabu-shabu) seberat 0,2372 gram gram
beserta plastiknya
- 1 (satu) buah botol plastik bekas coca cola (bong)
- 1 (satu) buah pipet warna putih
Dirampas untuk dimusnahkan ;
6. Menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar
Rp.2.000,- (dua ribu rupiah).
Terkait dengan tuntutan Jaksa /Penuntut Umum maka Majelis
hakim Pengadilan Negeri Msb memberikan putusan Menyatakan terdakwa
MS bin UH Als S Bin OGU tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan PRIMAIR
MAUPUN SUBSIDIAIR Jaksa Penuntut Umum dan membebaskan
Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan PRIMAIR MAUPUN SUBSIDIAIR
Jaksa Penuntut Umum tersebut , kemudian menyatakan terdakwa MS bin
UH Als S Bin OGU telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “PENYALAH GUNA NARKOTIKA
GOLONGAN I BAGI DIRI SENDIRI” dan menjatuhkan pidana kepada
Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan
6 (enam) bulan;
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
86
Putusan tersebut di atas diambil setelah hakim mempertimbangkan
pertimbangan yang bersifat yuridis, yaitu antara lain :
a. Surat dakwaan dan Surat Tuntutan jaksa penuntut umum
Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa oleh karena dakwaan
jaksa penuntut umum disusun dalam bentuk subsidairitas, maka hakim akan
mempertimbangkan terlebih dahulu dakwaan primair dari jaksa penuntut
umum, yaitu melanggar Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika untuk kemudian bila tidak
terbukti beralih ke dakwaan subsidair .
b. Fakta –fakta dipersidangan.
Dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan terbukti bahwa pada
hari Senin tanggal 7 Nopember 2011 terdakwa diberi 1(satu)paket shabu
dari Lalin (DPO) dan selanjutnya hari Rabu tanggal 9 Nopember 2011
terdakwa bertemu dengan saksi A P dan saksi M bin M yang mengendarai
mobil di pinggir jalan dan mengajak terdakwa untuk ikut bersama para
saksi, untuk kemudian pergi ke kafe dan dilanjutkan dengan pergi ke wisma
Sidenreng dan pada saat terdakwa sedang berada dikamar mandi untuk
memakai shabu tersebut akan tetapi tidak jadi digunakan karena tidak ada
pipet kemudian terdakwa menyimpannya di depan kloset WC di dalam
kamar No.107, disaat itulah datang petugas kepolisian menangkap terdakwa
berikut barang bukti setelah diperiksa sisanya berupa: Kristal bening
seberat 0,2372 gram (1 sachet plastik bening berisi kristal bening) milik
terdakwa,
c. Pertimbangan Hakim terkait dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Dalam pertimbangannya mengenai dakwaan primair Pasal 114 ayat (1)
Undang-Undang No. 35 tahun 2009, majelis hakim menilai terdakwa tidak
dalam kapasitasnya sebagai menawarkan menjual, menjual, membeli,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika
dengan demikian dakwaan primair tidak terpenuhi dalam diri terdakwa,
selanjutnya dipertimbangkan dakwaan subsidair pasal 112 ayat (1) UU No
35 Tahun 2009 terhadap sub unsur memiliki, menyimpan, menguasai
atau menyediakan ini harus benar-benar dilihat berdasarkan fakta
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
87
yang terungkap dalam persidangan apakah terdakwa memiliki,
menyimpan, menguasai atau menyediakan dalam rangka untuk
diedarkan atau dipakai sendiri atau dengan kata lain digunakan
sendiri (penyalah guna). Dihubungkan antara SEMA no 4 tahun 2010
dan barang bukti yang ditemukan bersama terdakwa sebanyak 0,2372
(nol koma dua tiga tujuh dua) gram sehingga unsur pasal ini tidak
dapat diterapkan kepada terdakwa.
Selain pertimbangan yang bersifat yuridis, hakim juga memberikan
pertimbangan yang bersifat non yuridis, yaitu antara lain : hal-hal yang
memberatkan dan meringankan, yaitu :
Hal-hal yang memberatkan :
Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat
Hal-hal yang meringankan :
terdakwa belum pernah dihukum dan masih muda sehingga masih
diharapkan untuk dapat memperbaiki perbuatannya dimasa yang akan
datang;
Terdakwa sebagai salah satu korban peredaran narkotika ;
Adapun alasan/pertimbangan majelis hakim memutuskan “putusan
diluar dakwaan” adalah sebagai berikut :
1. bahwa ada dua hal pokok yang dapat ditemukan dari rumusan
pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika yaitu pemberantasan peredaran tindak pidana narkotika
dan prekursor narkotika serta perlindungan terhadap pengguna
narkotika hal mana telah dirumuskan sebagai tujuan dari UU ini
sebagaimana bunyi Pasal 4 huruf c dan d sebagai berikut:
- memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor
narkotika; dan
- menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi
penyalah Guna dan pecandu Narkotika, yang berarti ada
pemisahan besar berkaitan dengan pengaturan ketentuan pidana
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
pertama mengenai pemberantasan narkotika dan prekursor
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
88
narkotika dan kedua mengenai penyalah guna narkotika dan
pecandu narkotika;
2. bahwa oleh karena ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, hanya dapat dikenakan kepada
seseorang dalam kerangka “peredaran” baik dalam perdagangan,
bukan perdagangan maupun pemindahtanganan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi, sehingga tidak boleh begitu saja secara serampangan
misalnya seorang penyalah guna narkotika diajukan kepersidangan
dan dikenakan ketentuan-ketentuan tersebut. Seorang penyalah
guna narkotika dalam rangka mendapatkan narkotika tentulah
dilakukan dengan cara membeli, menerima atau memperoleh dari
orang lain dan untuk itu narkotika yang ada dalam tangannya jelas
merupakan miliknya atau setidak-tidaknya dalam kekuasaannya
sehingga tentulah tidak tepat apabila dikenakan Pasal 111, 112,
114, 115, 117, 119, 122, 124 dan 125 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan anggapan pasal-pasal
tersebut mencantumkan larangan memiliki, menyimpan,
menguasai, membeli, menerima dan membawa oleh karena itu
meskipun penyalah guna kedapatan memiliki, menyimpan,
menguasai, membeli, menerima dan membawa dalam rangka untuk
menggunakan narkotika untuk dirinya sendiri maka tindak pidana
yang dikenakan haruslah Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika;
3. bahwa terhadap unsur “tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan” majelis perpendapat
bahwa terhadap sub unsur memiliki, menyimpan, menguasai atau
menyediakan ini harus benar-benar dilihat berdasarkan fakta yang
terungkap dalam persidangan apakah terdakwa MS bin UH Als S
Bin OGU memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
89
dalam rangka untuk diedarkan atau dipakai sendiri atau dengan
kata lain digunakan sendiri (penyalah guna);
4. bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan
Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2010 sebagai pengganti Surat
Edaran Nomor 7 Tahun 2009 yang berisi hal-hal yang apa
seseorang dapat dikatakan sebagai penyalah guna, lahirnya Surat
Edaran ini adalah untuk memperjelas penafsiran siapa penyalah
guna narkotika dan secara kontrario menunjukkan jika seseorang
memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan lebih dari
jumlah yang ditentukan dalam Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2010
tidak dapat serta merta dikatakan sebagai penyalah guna
narkotika.
5. bahwa mengingat azas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya
ringan serta mengingat pula pasal yang akan diterapkan terhadap
terdakwa MS bin UH Als S Bin OGU masih dalam kualifikasi
yang sama yaitu Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan juga untuk
memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum maka sudahlah tepat
kiranya apabila kemudian Majelis menerapkan Pasal 127 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
walaupun tidak didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum;
6. bahwa yang dimaksud dengan penyalah guna seperti yang
ditentukan dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika adalah orang yang menggunakan
narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Penyalah guna disini
juga diawali dengan kata “setiap” maka semua orang tanpa
terkecuali sebagai pengguna narkotika termasuk pecandu
narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika dapat diancam
dengan ketentuan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika ini;
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
90
II. Putusan No. 55/Pid.B/2012/PN.M.
Dalam perkara ini yang menjadi terdakwa adalah Nama Lengkap:
R Bin Alm M. D, Tempat Lahir: Majene, Umur / Tanggal lahir: 38
Tahun/02 Juli 1974,
Dakwaan jaksa/Penuntut Umum disusun secara alternatif yaitu:
Kesatu :
Bahwa ia Terdakwa R bin Alm M.D, Pada hari dan tanggal 05 April 2012,sekitar pukul 21.30 wita atau setidak-tidaknya pada waktu lain yang masih dalam bulan
April tahun 2012, bertempat di depan Pusat Pertokoan Lingkungan Battayang
Kelurahan Banggae Kecamatan Banggae Kab. Majene, atau setidak tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam Daerah Hukum Pengadilan
Negeri Majene, tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai atau menyediakan Narkotika golongan 1” bukan tanaman berupa 1(satu) paket butiran Kristal shabu-shabu dengan berat 0,0239 gram. yang
kejadiannya sebagai berikut :
--------Bahwa pada awalnya Saksi HASBI petugas dari satuan Reserse Narkoba Polres Majene memperoleh informasi dari masyarakat bahwa didepan Pusat
Pertokoan Lingk. Battayang Kelurahan Banggae Kecamatan Banggae Kab.
Majene, akan terjadi transaksi Narkoba jenis shabu-shabu yang akan dilakukan Terdakwa, kemudian Saksi HASBI menghubungi rekannya Saksi BUDI
SANTOSO dan Saksi IDRIS untuk mengatur strategi, kemudian ketiga saksi
tersebut menuju kedepan Pusat Pertokoan Lingk, Battayang Kelurahan Banggae Kecamatan Banggae Kab. Majene untuk menangkap para pelaku yang akan
melakukan transaksi Narkoba, setelah ketiga saksi berada disekitar tempat yang
dimaksud ketiga Saksi melakukan persembunyian tidak lama kemudian
Terdakwa melintas menuju motornya yang sedang terparkir dan pada saat Terdakwa hendak menstarter motornya ketiga Saksi langsung melakukan
penangkapan dan melakukan penggeledahan, namun tidak melakukan barang
bukti Terdakwa, kemudian Terdakwa langsung berkata kepada petugas dari satuan Reserse Narkoba Polres Majene “ada apa ini pak, saya tidak terima jangan
sampai bapak menyimpan Narkoba dimotor saya”. Padahal petugas dari Satuan
Reserse Naroba Polres Majene pada saat itu belum menyampaikan alasan
melakukan penangkapan, ketiga Saksi dari satuan Reserse Narkoba Polres Majene makin penasaran dan akhirnya melakukan pemeriksaan pada motor
Terdakwa, dan setelah beberapa saat melakukan pencarian pada saat itu, telah
berhasil menemukan 1 (satu) paket bungkusan plastik yang diselipkan pada lubang setir motor Terdakwa, yang diduga sebagai jenis shabu-shabu selanjutnya
Terdakwa dibawa kekantor Polres Majene untuk menjalani pemeriksaan.
---------Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam dengan Pidana dalam pasal 112
ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009 Tentang
Narkoba.
Atau
Kedua :
--------Bahwa ia Terdakwa R BIN Alm.M. D, Pada hari dan tanggal 05 April
2012,sekitap pukul 21.30 wita atau setidak-tidaknya pada waktu lain yang masih
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
91
dalam bulan April tahun 2012, bertempat di depan Pusat Pertokoan Lingkungan
Battayang Kelurahan Banggae Kecamatan Banggae Kab. Majene, atau setidak tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam Daerah Hukum
Pengadilan Negeri Majene, telah menghalangi atau mempersulit penyidikan serta
penuntutan pemeriksaan perkara tindak Pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika dimuka siding pengadilan. Yang kejadiannya sebagai
berikut. :
--------Bahwa pada awalnya Saksi HASBI petugas dari satuan Reserse Naroba Polres Majene memperoleh informasi dari masyarakat bahwa didepan Pusat
Pertokoan Lingk. Battayang Kelurahan Banggae Kecamatan Banggae Kab.
Majene, akan terjadi tranSaksi Narkoba jenis shabu-shabu yang akan dilakukan Terdakwa, kemudian Saksi HASBI menghubungi rekannya Saksi BUDI
SANTOSO dan Saksi IDRIS untuk mengatur strategi, kemudian ketiga saksi
tersebut menuju kedepan Pusat Pertokoan Lingk, Battayang Kelurahan Banggae Kecamatan Banggae Kab. Majene untuk menangkap para pelaku yang akan
melakukan transaksi Narkoba, setelah ketiga Saksi berada disekitar tempat yang
dimaksud ketiga Saksi melakukan persembunyian tidak lama kemudian
Terdakwa melintas menuju motornya yang sedang terparkir dan pada saat Terdakwa hendak menstrater motornya ketiga Saksi langsung melakukan
penangkapan dan melakukan penggeledahan, namun tidak melakukan barang
bukti Terdakwa, kemudian Terdakwa langsung berkata kepada petugas dari satuan Reserse Narkoba Polres Majene “ada apa ini pak, saya tidak terima jangan
sampai bapak menyimpan Narkoba dimotor saya”. Padahal petugas dari Satuan
Reserse Naroba Polres Majene pada saat itu belum menyampaikan alasan
melakukan penangkapan, ketiga Saksi dari satuan Reserse Narkoba Polres Majene makin penasaran dan akhirnyamelakukan pemeriksaan pada motor
Terdakwa, dan setelah beberapa saat melakukan pencarian pada saat itu, telah
berhasil menemukan 1 (satu) paket bungkusan plastik yang diselipkan pada lubang stir motor Terdakwa, yang diduga sebagai jenis shabu-shabu selanjutnya
Terdakwa dibawa ke kantor Polres Majene untuk menjalani pemeriksaan.
Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam dengan pidana dalam pasal 138
Undang-undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkoba.
Dalam persidangan telah didengarkan keterangan 6(enam orang
saksi), yaitu H (anggota Polisi), BS(anggota polisi),I Bin S (anggota
polisi), MS bin K,MD alias A bin D, SD alias D bin B. Selanjutnya telah
pula didengarkan keterangan saksi yang meringankan (a de charge) yaitu
saksi A.S Spd, saksi H. A A, saksi Hrf, serta terdakwa RAMLI Bin Alm
M. DAALI.
Barang bukti yang ditemukan polisi adalah : 1 (Satu) Paket butiran
Kristal bening dengan berat 0,0239 gram dirampas untuk dimusnahkan, 1
(satu) lembar kertas rokok warna kuning emas, 1 (satu) Unit sepeda motor
merk smash warna hitam Nomor Polisi DC 4923 PC;
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
92
Setelah melalui proses persidangan selanjutnya Jaksa/Penuntut
Umum membacakan tuntutannya sebagai berikut :menyatakan Terdakwa R
Bin Alm M. D telah terbukti secara sah dan terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “menyimpan, Narkotika
Golongan I bukan tanaman” sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana
dalam Pasal 112 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam
dakwaan kesatu, menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu
dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun 3 (tiga) bulan dan pidana
denda sebesar Rp. 800.000.000,- (Delapan ratus juta Rupiah) subsidair 4
(empat ) bulan kurungan dan menetapkan masa penahanan yang telah
dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan dan
agar Terdakwa tetap ditahan.
Terkait dengan tuntutan Jaksa /Penuntut Umum tersebut diatas
maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Majene memberikan putusan
sebagai mana dibawah ini:
- Menyatakan bahwa Terdakwa RAMLI Bin Alm M. DAALI tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana dalam dakwaan kesatu ataupun dakwaan kedua penuntut
umum;
- Membebaskan Terdakwa dari dakwaan dakwaan-dakwaan tersebut;
- Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “Penyalahguna Narkotika golongan I bagi diri
sendiri”
- Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 8 (delapan) bulan;
Putusan tersebut di atas diambil setelah hakim mempertimbangkan
pertimbangan yang bersifat yuridis, yaitu antara lain :
b. Surat dakwaan dan Surat Tuntutan jaksa penuntut umum
Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa oleh karena dakwaan
jaksa penuntut umum disusun dalam bentuk alternative, maka hakim akan
mempertimbangkan terlebih dahulu kesatu dari jaksa penuntut umum, yaitu
melanggar Pasal 112 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia No. 35
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
93
Tahun 2009 Tentang Narkoba untuk kemudian bila tidak terbukti beralih ke
dakwaan alternative kedua .
b. Fakta –fakta dipersidangan.
Dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan terbukti
bahwa pada hari Pada hari Kamis tanggal 05 April 2012 sekitar jam 21.00
wita didepan pusat pertokoan Lingk. Battayang Kel. Banggae Kec.
Banggae Kab. Majene polisi telah menemukan shabu seberat 0,0239 gram
distang motor sebelah kanan milik terdakwa, dipersidangan Terdakwa
pada pokoknya telah membantah keterangan Saksi Hasbi, Saksi Budi
Santoso, dan Saksi Idris Bin Sadri(saksi –saksi anggota kepolisian)
c. Pertimbangan Hakim terkait dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Dalam pertimbangannya mengenai dakwaan alternative kesatu Pasal
112 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkoba, majelis hakim menilai terjadi ketidakcocokan diantara
para saksi terkait dengan kepemilikan shabu yang diketemukan di stang
sebelah kanan motor terdakwa sehingga majelis tidak meyakini kepemilikan
terdakwa atas barang bukti shabu tersebut, selanjutnya dipertimbangkan
dakwaan alternative kedua pasal 138 Undang-undang Republik Indonesia
No. 35 Tahun 2009 Tentang narkotika dengan unsur menghalang-halangi
atau mempersulit penyidikan perkara tindak pidana narkotika
terhadap pasal ini hakim berpendapat perbuatan Terdakwa yang
menyangkali perbuatan yang dituduhkan kepadanya adalah hak bagi setiap
orang, bahkan sekalipun tuduhan tersebut kemudian terbukti, Terdakwa
tidak dapat dipersalahkan akibat mengingkari suatu fakta tindak pidana yang
telah dilakukan olehnya karena bahkan di depan pengadilanpun hukum
memberi hak ingkar (wraking sehingga unsur pasal ini tidak dapat
diterapkan kepada terdakwa.
Selain pertimbangan yang bersifat yuridis, hakim juga memberikan
pertimbangan yang bersifat non yuridis, yaitu antara lain : hal-hal yang
memberatkan dan meringankan, yaitu :
Hal-hal yang memberatkan :
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
94
- Perbuatan Terdakwa bertentangan dengan usaha pemerintah dalam
pemberantasan Penyalahgunaan Narkotika;
Hal-hal yang meringankan :
- Terdakwa bersikap sopan di persidangan;
- Terdakwa merupakan Tulang punggung keluarga;
- Terdakwa menyesal dengan perbuatan yang telah dilakukannya yaitu
menggunakan Narkotika jenis shabu;
- Terdakwa belum pernah dipidana sebelumnya
Adapun alasan/pertimbangan majelis hakim memutuskan “putusan
diluar dakwaan” adalah sebagai berikut :
1. Majelis berpendapat bahwa selain lemahnya pembuktian,terdapat pula
berbagai ketidaklogisan dalam keterangan Saksi-Saksi yang diajukan
oleh Penuntut Umum, bahkan dalam hal tuduhan terbukti sekalipun
masih membutuhkan pertimbangan yang seksama karena kepemilikan
atau penguasaan narkotika dengan berat +/- 0,2 gram harus dilihat dari
segi kontekstualnya dengan melihat tujuan pemilikan atau penguasaanya
(vide: Putusan MA No. 1386K/Pid .Sus/2011) sehingga dengan demikian
timbul ketidakyakinan bagi Majelis Hakim untuk menyatakan unsur ini
terpenuhi;
2. Bahwa unsur kedua menghalangi atau mempersulit penyidikan serta
penuntutan pemeriksaan perkara tindak Pidana Narkotika dan/atau tindak
pidana Prekursor Narkotika dimuka sidang pengadilan berdasarkan
pemeriksaan persidangan terdakwa tidak pernah terbukti melakukan
tindakan-tindakan yang bersifat menentang penegakan hukum Narkotika
yang dilakukan terhadapnya, perbuatan Terdakwa yang menyangkali
perbuatan yang dituduhkan kepadanya adalah hak bagi setiap orang,
bahkan sekalipun tuduhan tersebut kemudian terbukti, Terdakwa tidak
dapat dipersalahkan akibat mengingkari suatu fakta tindak pidana yang
telah dilakukan olehnya karena bahkan di depan pengadilan pun hukum
memberi hak ingkar (wraking) kepada Terdakwa dengan demikian unsur
ini tidaklah dapat dipandang terpenuhi menurut hukum ;
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
95
3. Majelis Hakim yang mengadili perkara ini dengan kewajiban pro justitia
(demi keadilan) sebelum memutuskan perkara ini mempertimbangkan
hal-hal berikut:
- Bahwa dalam persidangan, Saksi Muhammad Syukri Bin Alm
Kasman menerangkan bahwa Terdakwa pernah menggunakan
Narkotika beberapa bulan sebelum kejadian tersebut, Keterangan
Saksi tersebut secara langsung bersesuaian dengan Keterangan
Terdakwa sendiri di depan persidangan yang mengatakan dirinya
pernah menggunakan Narkotika Bersama Saksi Muhammad Syukri
Bin Alm Kasman dan Lk. Syahrial;
- Bahwa Terdakwa dipersidangan menerangkan tentang dirinya yang
pernah diajak oleh Saksi Hasbi untuk menjadi Banpol guna menjerat
para pengguna Narkotika menandakan bahwa Saksi Hasbi telah telah
memiliki pengetahuan terhadap diri Terdakwa sebagai orang yang
mengerti masalah Narkotika;
- Bahwa keterangan Saksi SUPRIA DELI Alias DELI Bin BADDULU
yang pernah mendengar bahwa Terdakwa pernah menggunakan
Narkotika apabila dihubungkan dengan Keterangan Saksi Hasbi, Saksi
Budi Santoso, dan Saksi Idris Bin Sadri yang pada pokoknya
mengemukakan Bahwa Terdakwa telah termasuk dalam Daftar Target
Operasi Unit Narkotika Polres Majene dihubungkan pula dengan
keterangan Terdakwa dipersidangan tentang dirinya yang pernah
diajak oleh Saksi Hasbi untuk menjadi Banpol adalah suatu
kettingbewijs yang mengarah pada fakta bahwa benar Terdakwa
pernah menggunakan Narkotika;
- Bahwa meskipun hasil pemeriksaan urine dan darah Terdakwa
menunjukkan hasil negatif namun tidak dapat menggugurkan fakta
tersebut karena berdasarkan keterangan Terdakwa, dirinya memakai
Narkotika jauh sebelum penangkapan dilakukan terhadap dirinya
namun setidak-tidaknya masih dalam kurun waktu tahun 2012
sehingga menjadi bernilai wajar ketika hasil pemeriksaan tersebut
bernilai negatif karena tenggang waktu yang lama tersebut;
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
96
- Bahwa hal tersebut yang menjadi dasar bagi Majelis Hakim yang
mengadili perkara ini untuk menetapkan fakta bahwa “Terdakwa
adalah orang yang pernah menggunakan Shabu-shabu”. dan oleh
karena suatu hal yang telah ditetapkan menjadi fakta persidangan
haruslah dinilai mutlak karena diyakini akan kebenarannya, maka
dalam hal diajukan tersendiripun akan tetap memiliki hasil yang sama
sebagaimana sifatnya sebagai suatu ‘Fakta’, berdasarkan hal tersebut
Majelis Hakim yang mengadili perkara ini berpandangan bahwa
dalam persidangan telah terungkap Fakta tentang perbuatan Terdakwa
yang dapat dipertimbangkan sebagai suatu Tindak Pidana;
4. Bahwa Terdakwa di depan persidangan memberi keterangan bahwa
dirinya pernah menggunakan shabu-shabu bersama Saksi Muhammad
Syukri Bin Alm Kasman dan Lk. Syahrial hal mana didukung pula oleh
keterangan Saksi Saksi Muhammad Syukri Bin Alm Kasman sendiri,
Saksi Supria Deli Alias Deli Bin Baddulu, Saksi Hasbi, Saksi Budi
Santoso dan Saksi Idris bin Sadri sebagaimana diuraikan sebelumnya,
5. Majelis Hakim yang mengadili perkara ini akan mengemukakan hal-hal
yang dapat dijadikan sebagai ratio decidendi atau setidak-tidaknya
sebagai obiter dicta dalam memutuskan hal demikian, yaitu:
- Bahwa Putusan Mahkamah Agung No. 47 K/Kr/1956 tanggal 2 Maret
1957, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 68/K/Kr/1973 tanggal 16
Desember 1976, pasal 182 ayat 4 KUHAP, Pasal 191 ayat (1) dan (2)
KUHAP, serta Pasal 193 ayat (1) KUHAP menjadi dasar dalam
praktek Hukum Acara Pidana bahwa pemeriksaan persidangan harus
mengacu pada surat dakwaan, oleh karena itu putusan Hakim kerap
dibatasi ruang lingkupnya sebatas hal yang didakwakan, surat
dakwaan selalu dipandang sebagai suatu litis contestatio dalam
memeriksa perkara dan menjatuhkan putusan, namun Majelis Hakim
yang mengadili perkara ini berpendapat bahwa Hakim seharunya
tidaklah dikunci dalam upaya penegakan keadilan dengan
membatasinya secara mutlak berdasarkan dakwaan penuntut umum
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
97
hal mana tidak akan memberi ruang bagi Hakim dalam menjalankan
kewajibannya untuk menegakkan keadilan secara utuh;
- Bahwa penegakan Hukum Acara Pidana tidak dapat dipersamakan
dengan penegakan Hukum Acara Perdata dimana dalam Hukum Acara
Perdata terdapat larangan untuk menjatuhkan putusan yang bersifat
ultra petita dengan didasari filosofi bahwa tujuan hukum acara
perdata adalah penegakan hukum perdata materiel sebagai hukum
private;
- Bahwa dengan demikian, merupakan sesuatu yang rasional apabila
putusan Hakim dalam perkara perdata harus sebatas pada hal-hal yang
diminta oleh suatu pribadi yang berkedudukan sebagai penggugat
karena :
- Pribadi tersebutlah yang merasa dirugikan hak-haknya,
- Pribadi tersebutlah yang menggugat/menuntut haknya melalui
pengadilan, sehingga dengan demikian tidak akan terdapat bias
terhadap apa yang ingin digugat/dituntutnya;
- Bahwa dalam Hukum Acara Pidana yang bertujuan untuk
menegakkan Hukum Pidana Materil sebagai hukum publik,
seharusnya Majelis Hakim dapat mempertimbangkan dan
memutuskan suatu hal yang tidak dimintakan atau dituduhkan oleh
Penuntut Umum apabila terang bertujuan untuk menegakkan keadilan,
karena hakikatnya Penuntut Umum bukanlah prinsipal atau pihak
yang berkepentingan langsung, Penuntut Umum bukanlah pihak yang
dirugikan secara langsung, melainkan hanya merupakan perwakilan
dari Publik/Negara yang tidak secara mutlak dapat bersifat
representatif atas kehendak publik/negara atau dapat saja bias
terhadap kehendak Publik/Negara itu sendiri.
- Bahwa sehubungan dengan hal tersebut, dalam perkara ini, Majelis
menilai Penuntut Umum telah tidak representatif dalam mewakili
kehendak publik/negara karena tidak menuangkan pasal 127 ayat 1
huruf a UURI No.35 2009 dalam dakwaan padahal negara/publik
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
98
menentang perbuatan tersebut dimana perbuatan tersebut sebenarnya
nampak dalam berkas perkara;
- Bahwa meski demikian Majelis Hakim menilai bahwa memutus suatu
hal yang tidak didakwakan oleh Penuntut umum bukan tanpa batasan
karena dapat menimbulkan pemeriksaan yang tidak terarah dalam
persidangan oleh karena itu perbuatan yang dapat dipertimbangkan
sebatas hal yang berkaitan langsung dengan apa yang didakwakan;
- Bahwa perbuatan Terdakwa yang dipersalahkan oleh Majelis Hakim
memiliki kaitan erat dan berhubungan langsung dengan perbuatan
yang didakwakan kepada Terdakwa dimana kedua hal tersebut diatur
dalam undang-undang khusus yang sama dengan rumpun yang sama
yaitu menyangkut kejahatan Narkotika;
- Bahwa meskipun berbeda konteks dalam hal fakta peristiwa namun
dalam putusan Mahkamah Agung No.2497/K/Pid.Sus/2011 terdapat
hal yang layak dijadikan bahan pertimbangan, dimana Terdakwa yang
sebelumnya didakwa tunggal dengan Pasal 112 (1) jo. Pasal 132 (1)
UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika diputus terbukti
melakukan tindak pidana yang diatur dalam pasal 127 ayat (1) huruf a
UU a quo.
- Bahwa setiap putusan yang membebaskan atau melepaskan Terdakwa
harus diikuti dengan pemulihan hak-hak Terdakwa dalam
kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang menurut
Majelis memiliki nilai ironi jika dari satu sisi telah terdapat fakta
hukum bahwa Terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana.
III. Putusan No. 151 /Pid.B/2011//PN.KTP
Dalam perkara ini yang menjadi terdakwa adalah W alias WIDYA,
lahir di Ketapang, umur 16 Tahun/05 Mei 1995, jenis kelamin Perempuan,
Kebangsaan Indonesia. Terdakwa W alias Widya didakwa oleh Jaksa
Penuntut Umum dengan dakwaan Subsidairitas:
PRIMER:
---------Bahwa terdakwa pada hari Sabtu tanggal 18 Juni 2011 sekitar pukul 13.30 Wib atau pada waktu lain dalam tahun 2011 bertempat di Losmen Wijaya Desa
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
99
Kendawangan Kiri Kec. Kendawangan Kab. Ketapang atau pada tempat lain dalam
daerah hukum Pengadilan Negeri Ketapang, permufakatan jahat tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika
golongan I bukan tanaman, yang dilakukan oleh terdakwa dengan cara-cara sebagai
berikut:
Bahwa pada waktu dan tempat tersebut di atas terdakwa bersama-sama
dengan SY. M. Saunan Als Unan, Ahmat Saba’an als Amat dan Syafaredha Als Edha
(tersangka dalam berkas terpisah) datang dari pelabuhan Kendawangan menuju Losmen Wijaya dan sesampainya di Losmen Wijaya terdakwa dan kawan-kawan
memasuki kamar nomor 5, setelah sampai di kamar terdakwa dan kawan-kawan
berkumpul di atas tempat tidur untuk siap-siap mengisap sabu-sabu, kemudian Saunan als Unan menyiapkan peralatan untuk mengisap sabu-sabu tersebut lalu
Saunan als Unan mengisap sabu-sabu terlebih dahulu kemudian bergantian terdakwa,
saudari Edha dan terakhir baru saudara Amat. Sewaktu sedang mengisap sabu-sabu tersebut lah masuk anggota Polisi melakukan penggerebekan dan menangkap
terdakwa bersama kawan-kawan yaitu SY. M. Saunan Als Unan, Ahmat Saba’an als
Amat dan Syafaredha als Edha.
Bahwa narkotika jenis sabu-sabu yang disita dari terdakwa dan kawan-kawan
seluruhnya sebesart 0,8 (nol koma delapan) gram, kemudian disihkan untuk
pemeriksaan laboratorium dan berdasarkan Surat Keterangan Pengujian Badan POM RI. LP-185/N/PL-Pol/VI/2011 tanggal 22 Juni 2011 yang dibuat oleh Dra. Ketut
Ayu Sarwetini, Apt menyatakan contoh barang bukti Positif mengandung
metamphetamin yang termasuk jenis narkotika golongan I sesuaiu dengan UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Dalam hal ini perbuatan tersebut dilakukan terdakwa tanpa hak dan tanpa izin
dari yang berwenang yakni Menteri Kesehatan RI.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 112
ayat (1) jo pasal 132 ayat (1) UU. RI Nomor : 35 Tahun 2009 tentang Narkotika jo UU. RI No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak;
SUBSIDER:
------Bahwa terdakwa pada hari Sabtu tanggal 18 Juni 2011 sekitar pukul 13.30 Wib
atau pada waktu lain dalam tahun 2011 bertempat di Losmen Wijaya Desa Kendawangan Kiri Kec. Kendawangan Kab. Ketapang atau pada tempat lain dalam
daerah hukum Pengadilan Negeri Ketapang, permufakatan jahat tanpa hak atau
melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika
golongan I bukan tanaman, yang dilakukan oleh terdakwa dengan cara-cara sebagai berikut:
Bahwa pada waktu dan tempat tersebut di atas terdakwa bersama-sama dengan SY. M. Saunan Als Unan, Ahmat Saba’an als Amat dan Syafaredha Als Edha
(tersangka dalam berkas terpisah) datang dari pelabuhan Kendawangan menuju
Losmen Wijaya dan sesampainya di Losmen Wijaya terdakwa dan kawan-kawan memasuki kamar nomor 5, setelah sampai di kamar terdakwa dan kawan-kawan
berkumpul di atas tempat tidur untuk siap-siap mengisap sabu-sabu, kemudian
Saunan als Unan menyiapkan peralatan untuk mengisap sabu-sabu tersebut lalu
Saunan als Unan mengisap sabu-sabu terlebih dahulu kemudian bergantian terdakwa, saudari Edha dan terakhir baru saudara Amat. Sewaktu sedang mengisap sabu-sabu
tersebut lah masuk anggota Polisi melakukan penggerebekan dan menangkap
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
100
terdakwa bersama kawan-kawan yaitu SY. M. Saunan Als Unan, Ahmat Saba’an als
Amat dan Syafaredha als Edha.
Bahwa narkotika jenis sabu-sabu yang disita dari terdakwa dan kawan-kawan
seluruhnya sebesart 0,8 (nol koma delapan) gram, kemudian disihkan untuk pemeriksaan laboratorium dan berdasarkan Surat Keterangan Pengujian Badan POM
RI. LP-185/N/PL-Pol/VI/2011 tanggal 22 Juni 2011 yang dibuat oleh Dra. Ketut
Ayu Sarwetini, Apt menyatakan contoh barang bukti Positif mengandung
metamphetamin yang termasuk jenis narkotika golongan I sesuaiu dengan UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Dalam hal ini perbuatan tersebut dilakukan terdakwa tanpa hak dan tanpa izin dari yang berwenang yakni Menteri Kesehatan RI.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 114 ayat (1) jo pasal 132 ayat (1) UU. RI Nomor : 35 Tahun 2009 tentang Narkotika jo
UU. RI No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak;
Terhadap dakwaan tersebut Jaksa Penuntut Umum setelah melalui
persidangan maka menuntut terdakwa WIDYA WATI Als WIDYA Binti
JALI bersalah menyimpan dan menguasai sabu-sabu bersama-sama
sebagaimana diatur dalam pasal 112 ayat (1) jo pasal 132 ayat (1) UU. RI
Nomor : 35 Tahun 2009 tentang Narkotika jo UU. RI No. 3 Tahun 1997
Tentang Peradilan Anak sebagaimana yang kami bacakan dalam dakwaan
primaair dan menjatuhkan pidana dengan pidana penjara selama 5 (lima)
tahun dikurangi selama terdakwa menjalani masa penahanan serta
menghukum terdakwa untuk membayar denda sebesar Rp. 800.000.000,-
(delapan ratus juta rupiah) subsidair 2 (dua) bulan kurungan.
Selanjutnya Majelis hakim memutuskan terdakwa WIDYA WATI
Als WIDYA Binti JALI tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Penuntut Umum dalam
dakwaan primair maupun subsidair untuk kemudian membebaskan terdakwa
WIDYA WATI Als WIDYA Binti JALI oleh karena itu dari dakwaan primair
maupun dakwaan subsidair tersebut dan menyatakan terdakwa WIDYA
WATI Als WIDYA Binti JALI telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana: “Penyalah Guna Narkotika Golongan I
Bagi Diri Sendiri” serta menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena
itu dengan pidana penjara selama: 1 (satu) tahun.
Adapun pertimbangan hakim memutus terdakwa dengan pasal
diluar dakwaan adalah sebagai berikut:
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
101
1. Bahwa terdakwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap dipersidangan
tidak terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan dalam
dakwaan primair maupun dakwaan subsidair .
2. Bahwa terdakwa sebagaimana fakta yang terungkap dalam persidangan
ternyata telah mempergunakan/memakai narkotika golongan I, akan tetapi
Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya tidak mendakwa terdakwa
melakukan tindak pidana penyalah guna narkotika golongan I bagi diri
sendiri sebagaimana ditentukan dalam pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor. 35 tahun 2009 tentang Narkotika;
3. Bahwa pasal 182 ayat (4) KUHAP pada pokoknya menentukan
‘musyawarah harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang
terbukti dalam pemeriksaan di sidang’dan apabila ketentuan pasal tersebut
diartikan secara kaku/strict law, maka terdakwa Widya Wati Als Widya
Binti Jali yang telah dinyatakan tidak terbukti dalam dakwaan primair
maupun dakwaan subsidair, pada hal secara fakta hukum sebagaimana
telah dipertimbangkan, sebenarnya terdakwa ada melakukan perbuatan
penyalahgunaan narkotika golongan I sebagaimana ditentukan dalam pasal
127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor: 35 tahun 2009 tentang
Narkotika, maka terdakwa tidak dapat diadili menurut ketentuan pasal
127 ayat (1) huruf a tersebut karena tidak didakwakan Jaksa Penuntut
Umum dalam dakwaannya, namun yang menjadi persoalan dalam hal ini
adalah apakah pantas dan adil membebaskan terdakwa begitu saja hanya
karena kekurang cermatan Jaksa Penuntut Umum menyusun dakwaannya.
Menurut pendapat Hakim hal tersebut adalah tidak adil karena akan
menciderai rasa keadilan masyarakat dan tidak mendidik bagi terdakwa,
sehingga menurut pendapat Hakim demi kepentingan keadilan (for the
interest of the justice), dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut harus
dibaca sebagai dakwaan berbentuk gabungan yaitu pertama: Primer
melanggar: 112 ayat (1) jo pasal 132 ayat (1) UU RI Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika jo UU. RI No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan
Anak, Subsidair melanggar pasal 114 ayat (1) jo pasal 132 ayat (1) UU. RI
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika jo UU RI No. 3 Tahun 1997
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
102
Tentang Peradilan Anak. Atau kedua melanggar : pasal 127 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Nomor: 35 tahun 2009 tentanag Narkotika;
4. Bahwa hakim mendasarkan putusan kepada Yurisprudensi Putusan
Mahkamah Agung RI. Nomor: 1671 K/Pid/1996 tanggal 18 Maret 1997
yang pada pokoknya menyatakan ‘menghukum terdakwa membantu
melakukan pembunuhan berencana (exs pasal 56 jo pasal 340 KUHP,
dakwaan alternatif yang tidak didakwakan Jaksa Penuntut Umum;
4.1.2. Beberapa Putusan Mahkamah Agung RI Terkait “Putusan Diluar
Dakwaan” dalam Perkara Narkotika
I. Putusan No 2089 K/Pid.S/2011 diputus tanggal 15 Desember 2011
dengan susunan majelis kasasi : Prof Dr Komariah E Sapardjaja SH
(sebagai ketua majelis), Dr Salman Luthan, S.H, M.H dan Suhadi, S.H,
M.H (masing-masing sebagai anggota Majelis), Atas nama terdakwa W
alias Widya binti J
Membaca putusan Pengadilan Negeri dengan amar :
M E N G A D I L I
1. Menyatakan Terdakwa W alias Widya binti J tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan Penuntut Umum dalam dakwaan primair maupun subsidair;
2. Membebaskan terdakwa W alias Widya binti J oleh karena itu dari
dakwaan primair maupun dakwaan subsidair tersebut;
3. Menyatakan terdakwa W alias Widya binti J telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: “Penyalah Guna
Narkotika Golongan I Bagi Diri Sendiri;”;
4. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjaraa selama: 1 (satu) tahun;
5. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani
terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
6. Menetapkan agar terdakwa tetap ditahan;
7. Menetapkan barang bukti berupa :
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
103
- 3 (tiga) paket kecil sabu-sabu yang dibungkus dengan plastik seberat
0,8 gram;
- 1 (satu) buah bong terbuat dari botol minuman;
- 1 (satu) buah korek api gas;
- 1 (satu) buah botol kaca kecil bekas parfum fambo;
Dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam
perkara Pidana Nomor: 156/Pid.B/2011/PN-KTP lain a.n. terdakwa
Syarif Muhammad Saunan dkk;
8. Membebani Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000
(seribu rupiah);
Membaca putusan Pengadilan Tinggi Pontianak No. 177 / Pid. Sus /
2011 / PT. PTK. tanggal 16 September 2011 yang amarnya sebagai berikut:
- Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Ketapang tanggal 23 Agustus
2011;
- Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah);
Putusan Mahkamah Agung terkait putusan diluar dakwaan ini adalah
sebagai berikut :
MENGADILI
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : JAKSA
PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI KETAPANG tersebut;
Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Pontianak Nomor:
177/Pid.Sus/2011/PT.PTK., tanggal 16 September 2011., yang menguatkan
putusan Pengadilan Negeri Ketapang Nomor : 151/Pid.B/ 2011/PN.KTP.,
tanggal 23 Agustus 2011;
MENGADILI SENDIRI :
1. Menyatakan Terdakwa W Alias W Binti JALI tersebut tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana didakwakan Jaksa/Penuntut Umum dalam dakwaan Primair
dan Subsidair ; Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan
Primair dan Subsidair tersebut ;
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
104
2. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya ;
3. Menetapkan barang bukti, berupa :
- 3 (tiga) paket kecil shabu-shabu yang dibungkus dengan plastik seberat
0,8 gram ;
- 1 (satu) buah bong terbuat dari botol minuman ;
- 1 (satu) buah korek api gas ;
- 1 (satu) buah botol kaca kecil bekas parfum Fambo ;
Dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam perkara
Pidana Nomor : 156/Pid.B/2011/PN-KTP lain atas nama Terdakwa S M S,
Dkk;
4. Membebankan biaya perkara pada seluruh tingkat peradilan dan pada
tingkat kasasi ini kepada Negara ;
Bahwa alasan Mahkamah Agung memutus seperti tersebut diatas
adalah: Judex Facti telah salah menerapkan hukum, oleh karena telah
menyatakan Terdakwa bersalah dan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa
didasarkan pada ketentuan pidana Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang
No. 35 Tahun 2009 yang tidak didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum, lagi
pula fakta di persidangan membuktikan bahwa Terdakwa hanya menghisap
shabu-shabu, dengan demikian Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak
pidana dalam dakwaan Primair dan Subsidair, dan harus dibebaskan dari
segala dakwaan Jaksa/ Penuntut Umum;
Bahwa dalam perkara ini salah seorang Hakim Anggota Majelis,
yakni: Hakim Agung Suhadi, SH., MH., berbeda pendapat (dissenting
opinion), dengan alasan pertimbangan sebagai berikut:
Terdakwa sudah terbukti melakukan perbuatan yang diatur dalam
dakwaan primair melanggar pasal 112 ayat (1)Jo Pasal 132 ayat (1) UU No
35 Tahun 2009 karena menurut keterangan para saksi dan keterangan
Terdakwa dihubungkan dengan barang bukti, telah terbukti Terdakwa dan
teman-temannya telah menghisap shabu-shabu di tepi pantai dan kemudian
perbuatan menghisap shabu-shabu tersebut diulangi lagi di kamar hotel dan
perbuatan Terdakwa sebelum atau pada saat menghisap shabu-shabu dapat
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
105
diartikan telah menguasai shabu-shabu tersebut tidaklah mungkin Terdakwa
dapat menghisap shabu-shabu tersebut walaupun sebentar tanpa menguasai
shabu-shabu tersebut terlebih dahulu.
Arti menguasai dalam unsur ini harus diartikan secara luas termasuk
pada saat ia menghisap sehingga perbuatan terdakwa bersama teman-
temannya sejak berada di tepi pantai maupun ketika berada di dalam kamar
hotel telah melakukan mufakat jahat yaitu melakukan perbuatan menghisap
shabu-shabu (narkotika golongan I) secara bersama-sama dan menghukum
Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun.
II. Putusan No 810 K/Pid.Sus/2012 diputus tanggal 14 Juni 2012 dengan
susunan majelis hakim kasasi : Dr Artidjo Alkostar, S.H, LL.M (sebagai
ketua majelis), Prof Dr Surya Jaya ,S.H, M.Hum dan Dr H Andi Samsan
Nganro, S.H, M.H.(masing-masing sebagai anggota majelis) Atas nama
terdakwa IDRIS LUKMAN BIN LOKMAN HENDRIK
Membaca putusan PN Surabaya No.1608/Pid.B/2011 /PN.SBY
tanggal 19 September 2011 dengan amar :
1. Menyatakan Terdakwa IDRIS LUKMAN bin LOKMAN HENDRIK
tersebut diatas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan
Kesatu dan dakwaan Kedua tersebut ;
2. Membebaskan Terdakwa dari dakwaan tersebut ;
3. Menyatakan Terdakwa IDRIS LUKMAN bin LOKMAN HENDRIK
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Menyalahgunakan Narkotika golongan I bagi dirinya sendiri”;
4. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa IDRIS LUKMAN bin LOKMAN
HENDRIK oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun
dan 6 (enam) bulan ;
5. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa sebelum
putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap akan dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
106
6. Memerintahkan agar Terdakwa segera menjalani perawatan/rehabilitasi
pada Rumah Sakit Rehabilitasi dan Ketergantungan Obat di RSUD Dr.
Sutomo Surabaya ;
7. Menetapkan masa menjalani pengobatan dan atau perawatan tersebut di
atas diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman ;
8. Menetapkan barang bukti berupa 1 (satu) paket shabu seberat 0,2 (nol
koma dua) gram beserta pembungkusnya dirampas untuk dimusnahkan;
9. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp.5.000,- (lima ribu rupiah) ;
Membaca putusan PT Surabaya No.774/PID/2011/PT. SBY. tanggal
13 Desember 2011 yang amar lengkapnya sebagai berikut :
- Menerima permintaan banding dari Jaksa/Penuntut Umum tersebut;
- Memperbaiki putusan PN Surabaya tanggal 19 September 2011 Nomor :
1608/Pid.B/2011/PN.Sby., sekedar mengenai kualifikasi amar putusan.
Putusan Mahkamah Agung terkait putusan diluar dakwaan ini adalah
sebagai berikut:
MENGADILI
Menolak permohonan Kasasi dari Penuntut Umum: JAKSA /
PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI SURABAYA tersebut;
Membebankan terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara
dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp.2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah).
Bahwa alasan Mahkamah Agung memutus seperti tersebut diatas
adalah:
Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan tersebut tidak dapat
dibenarkan, oleh karena judex facti tidak salah menerapkan hukum karena
dari fakta-fakta hukum di persidangan ternyata Terdakwa hanya diajak oleh
saksi Eko untuk memakai atau menghisap Narkotika secara bergantian
sebanyak 4-5 kali dengan demikian Terdakwa terbukti memakai atau
menghisap Narkotika tetapi Terdakwa tidak terbukti pernah memiliki,
membawa atau menyimpan atau menguasai Narkotika, sedangkan uang untuk
membeli Narkotika adalah kepunyaan saksi Eko karena saksi Eko sendiri
yang membeli dari orang lain, maka dengan terbuktinya Terdakwa menghisap
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
107
atau memakai Narkotika maka Terdakwa seharusnya dipersalahkan
melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 127 ayat (1) Undang- Undang
No.35 Tahun 2009, dalam hal ini persoalannya sekarang, apakah Terdakwa
dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana yang tidak didakwakan oleh
Jaksa/Penuntut Umum di mana, sebenarnya Terdakwa harus dibebaskan
akibat kecerobohan Jaksa/Penuntut Umum yang tidak mendakwakan Pasal
127 ayat (1) Undang-Undang No.35 Tahun 2009, namun demikian judex facti
telah melakukan konstruksi hukum yang dibatasi penggunaannya dalam
hukum pidana, akan tetapi dalam rangka kemanfaatan dan keadilan sebagai
bagian dari tujuan hukum, maka putusan judex facti dapat dibenarkan, karena
telah mempertimbangkan pasal aturan hukum yang menjadi dasar
pemidanaan dan dasar hukum dari putusan serta pertimbangan keadaan-
keadaan yang memberatkan dan keadaan-keadaan yang meringankan sesuai
Pasal 197 ayat (1) f KUHAP ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula
ternyata, putusan judex facti (Pengadilan Tinggi) dalam perkara ini tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan
kasasi tersebut harus ditolak ;
III. Putusan No. 670 K/Pid.Sus/2012 tanggal 8 Mei 2012 dengan majelis hakim
kasasi: Djoko Sarwoko, SH.MH. (ketua), Prof. Dr. Komariah E Sapardjaja,
SH, dan Prof. Dr. Surya Jaya, SH, M.Hum. (anggota) , atas nama terdakwa
II MANSUR Bin MISNAN dan I. BAGUS KURNIAWAN bin
DHARMAN, bahwa MANSUR bin MISNAN Cs didakwa dengan dakwaan
tunggal melanggar pasal 112 ayat(1)Jo pasal 132 Undang-Undang No 35
Tahun 2009 tentang Narkotika.
Membaca tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri
Jakarta Barat tanggal 22 September 2011 antara lain menyatakan terdakwa
BAGUS KURNIAWAN bin DHARMAN dan terdakwa MANSUR Bin
MISNAN terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “Secara Tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman berupa
sabu dan percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
108
Narkotika dan Prekusor sebagaimana dalam pasal 112 ayat (1)Jo pasal 132
ayat (1) UURI No 35 tahun 2009 tentang Narkotika dalam dakwaan tunggal
serta menjatuhkan pidana terhadap kedua terdakwa dengan pidana penjara
masing-masing selama 7(tujuh)tahun dikurangi selama para terdakwa berada
dalam tahanan dan denda sebesar Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah)subsider 4 (empat)bulan penjara.
Membaca putusan PN Jakarta Barat No.1581/Pid.Sus /2011/PN.Jkt.
Bar. tanggal 25 Oktober 2011 yang pada pokoknya menyatakan terdakwa-
terdakwa I Bagus Kurniawan bin Drahman dan terdakwa II Mansur Bin
Misnan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “Tanpa hak dan melawan hukum bermufakat memiliki narkotika
golongan I bukan tanaman , menjatuhkan pidana terhadap terdakwa-terdakwa
dengan pidana penjara masing-masing selama 5 (lima) tahun dan denda
sebesar Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dengan ketentuan
apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana penjara masing-masing 4
(empat) bulan.
Membaca putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 480 / Pid / 2011
/ PT DKI tanggal 9 Desember 2011yang pada pokoknya menerima banding
dari terdakwa II Mansur bin Misnan serta menguatkan putusan PN Jakarta
Barat No 1581/Pid.Sus/2011/PN Jkt Bar. Terhadap putusan tersebut terdakwa
II Mansur bin Misnan mengajukan Kasasi berikut memori kasasinya, dan atas
permohonan tersebut Mahkamah Agung memutuskan:
MENGADILI
Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi /terdakwa II
Mansur bin Misnan tersebut;
Membatalkan putusan PT Jakarta Nomor : 480/Pid/2011/PT.DKI
tanggal 09 Desember 2011 yang menguatkan putusan PN Jakarta Barat
Nomor 1581/Pid.Sus/2011/PN Jkt Bar tanggal 25 Oktober 2011.
MENGADILI SENDIRI
1. Menyatakan terdakwa II MANSUR Bin MISNAN tidak terbukti secara
sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
109
dakwaan Jo pasal 112 ayat (1) Pasal 132 Undang-Undang No 35 Tahun
2009 tentang Narkotika ;
2. Membebaskan terdakwa II MANSUR bin MISNAN oleh karena itu dari
dakwaan tersebut ;
3. Menyatakan terdakwa II MANSUR bin MISNAN terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Menyalahgunakan
Narkotika Golongan I bukan Tanaman bagi Diri Sendiri” ;
4. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa II MANSUR bin MISNAN
dengan pidana penjara selama 2(dua)tahun dan pidana denda sebesar
Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila
denda tersebut tidak dibayar , maka diganti dengan pidana kurungan
selama 4(empat)bulan ;
5. Menetapkan lamanya terdakwa dalam tahanan sebelum putusan ini
mempunyai kekuatan hukum yang tetap akan dikurangkan seluruhnya dari
pidana penjara yang dijatuhkan;
6. Menetapkan barang bukti berupa: 1(satu) bungkus plastik klip berisikan
kristal warna putih dengan berat netto 0,0565 gram (sisa hasil labkrim
dengan berat netto 0,0452 gram) mengandung Metamfetamina dalam
golongan I dirampas untuk dimusnahkan .
7. Membebankan kepada pemohon kasasi /terdakwa II untuk membayar
biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan dalam tingkat kasasi ini
sesesar Rp 2.500,00 (dua rbu lima ratus rupiah)
Bahwa alasan Mahkamah Agung memutus seperti tersebut diatas
adalah:
1. Mahkamah Agung berpendapat dakwaan tunggal pasal 112 ayat (1)
Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang didakwakan
kepada terdakwa telah menyulitkan hakim (judex facti) didalam memutus
perkara berdasarkan fakta-fakta dipersidangan.
2. Mahkamah Agung berpendapat jika judex facti hanya mengikuti saja dan
menerapkan pasal dakwaan tunggal yang didakwakan Penuntut Umum
padahal fakta-fakta persidangan tidak mampu membuktikan terpenuhinya
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
110
unsur-unsur dalam dakwaan tunggal tersebut, maka hal tersebut
merupakan penerapan hukum yang keliru.
3. Mahkamah Agung berpendapat bahwa fakta-fakta dipersidangan telah
memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana termuat dalam pasal 127 ayat
(1) UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu terdakwa telah terbukti
menggunakan narkotika golongan I bukan tanaman untuk dirinya sendiri .
4. Mahkamah Agung berpendapat bahwa walaupun pasal 127 (1)tidak
didakwakan padahal ternyata terbukti menggunakan narkotika tanpa ijin
yang nyata-nyata melawan upaya negara didalam pemberantasan
peredaran narkotika dan penyalahgunaan Narkotika maka membebaskan
terdakwa hanya karena alasan pasal 127 ayat (1)tidak didakwakan akan
tidak sejalan dengan semangat pemberantasan peredaran dan
penyalahgunaan narkotika tersebut, dengan berbagai alasan diatas
Mahkamah Agung berpendapat bahwa terdakwa harus dinyatakan terbukti
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam dalam
pasal 127 ayat (1) Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
IV. Putusan Kasasi NO. 566 K/Pid.Sus/2012 diputus tanggal 18 April 2012
dengan susunan majelis hakim kasasi : Prof Dr Komariah E Sapardjaja, SH,
(ketua majelis ), Prof Dr Surya Jaya ,SH,M.Hum dan H Suhadi, SH,(masing-
masing sebagai anggota majelis) , atas nama terdakwa SAIPULLAH bin H
MURSID, bahwa terdakwa didakwa dengan dakwaan dakwaan tunggal
melanggar pasal 132 ayat (1) Undang-Undang No 35 Tahun 2009 Jo Pasal
112 ayat (1) Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Membaca tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri
Amuntai tanggal 1 November 2011 antara lain menyatakan terdakwa
SAIPULLAH bin H MURSID bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan
permufakatan jahat yang tanpa hak atau melawan hukum menguasai
NARKOTIKA Golongan I sebagaimana diatur dalam pasal 132 (1)ayat 1
Undang- Undang RI No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika serta menjatuhkan
pidana terhadap terdakwa SAIPULLAH bin H MURSID dengan pidana
penjara selama 5(lima) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
111
tahanan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar
Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)subsider 4 (empat)bulan
penjara.
Membaca putusan Pengadilan Negeri Amuntai tanggal 14 November
2011 yang pada pokoknya menyatakan terdakwa SAIPULLAH bin H
MURSID telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana “Melakukan permufakatan jahat dengan tanpa hak menguasai
narkotika golongan ITanpa hak dan melawan hukum bermufakat memiliki
narkotika golongan I bukan tanaman , menjatuhkan pidana terhadap terdakwa
diatas dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar
Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)dengan ketentuan apabila denda
tidak dibayar wajib diganti dengan kurungan selama 4 (empat) bulan.
Membaca putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan di
Banjarmasin Nomor 116/Pid.Sus/2011/PT.BJM tanggal 15 Desember 2011
yang pada pokoknya menerima banding dari terdakwa serta menguatkan
putusan PN Amuntai No 125/Pid.Sus/2011/PN Amt tanggal 14 November
2011.
Terhadap putusan tersebut baik terdakwa dan juga Jaksa Penuntut
Umum mengajukan Kasasi berikut memori kasasinya , dan atas permohonan
tersebut Mahkamah Agung memutuskan :
MENGADILI
Menyatakan tidak dapat diterima permohonan kasasi dari pemohon
kasasi II/terdakwa: SAIPULLAH bin H MURSID;
Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi I : Jaksa/Penuntut
Umum pada Kejaksaan Negeri Amuntai ’
Memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan di
Banjarmasin Nomor : 116/Pid.Sus/2011/PT.Bjm. tanggal 15 Desember 2011
yang memperbaiki putusan PN Amuntai nomor 125/Pid.Sus/2011/PN.Amt.
tanggal 14 November 2011sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai
berikut:
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
112
Menyatakan terdakwa SAIPULLAH bin H MURSID telah terbukti secara
sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”menyalah-
gunakan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri” 2009 tentang Narkotika ;
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 2
(dua)tahun dan pidana denda sebesar Rp.800.000,-(delapan ratus juta
rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka
diganti dengan pidana selama 3 (tiga) bulan ;
Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani
terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
Menetapkan terdakwa wajib menjalani rehabilitasi medis selama
6(enam)bulan di Rumah Sakit Jiwa ”Sambang Lihum Banjarmasin”;
Menetapkan bahwa selama terdakwa menjalani rehabilitasi medis,
diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana;
Menetapkan barang bukti berupa :
- 1 (satu) paket kecil berisi sabu-sabu dengan berat keseluruhan 0,71
gram yang telah disisihkan sehingga beratnya menjadi 20,95 miligram ;
- 1 (satu)paket kecil yang berisi sabu-sabu dengan berat keseluruhan 0,45
gram yang telah disisihkan sehingga beratnya menjadi 20,95 miligram;
- 1 (satu)buah pipet kaca ;
- 1 (satu)buah potongan sedotan plastik warna putih;
- 1 (satu)buah botol plastik dengan tulisan XYLTOL warna putih ;
- 2 (dua)buah botol plastik yang digunakan sebagai alat pembakar,
dirampas untuk dimusnahkan ;
Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara pada
tingkat kasasi ini sebesar Rp 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah)
Bahwa alasan Mahkamah Agung memutus seperti tersebut diatas
adalah:
1. Mahkamah Agung berpendapat hakim terikat dengan surat dakwaan, dan
surat dakwaan harus menjadi dasar proses pemeriksaan di muka
pengadilan, akan tetapi dakwaan tunggal pasal 132 Jo pasal 112 Undang-
Undang Narkoba yang didakwakan Jaksa/Penuntut Umum sangat
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
113
menyulitkan hakim, karena kebebasan hakim untuk memutus sesuai
dengan rasa keadilan menjadi sangat terganggu;
2. Berdasarkan fakta terdakwa tertangkap tangan mengkonsumsi sabu-sabu
dikamar bersama temannya farhan dan Barang bukti sabu saat tertangkap
tangan seberat 0,71 gram dan 0,45 gram, dan terdakwa pernah menjalani
rehab medis selama 14 hari;
3. Bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dihubungkan dengan tujuan
terdakwa menguasai atau memiliki maka penerapan pasal 132 Jo pasal 112
adalah tidak tepat, seharusnya terdakwa didakwa dengan pasal 127 UU No
35 Tahun 2009 akan tetapi pasal 127 tidak didakwakan ;
4. Mahkamah Agung berpendapat walaupun pemberantasan narkotika harus
gencar dilakukan karena akan merusak mental dan moral bangsa Indonesia
akan tetapi penjatuhan pidana yang hanya mengikuti dakwaan
Jaksa/Penuntut Umum saja akan mencederai rasa keadilan, akan tetapi
dipihak lain membebaskan terdakwa hanya karena alasan dakwaan yang
tidak didakwakan, juga tidak sejalan dengan semangat dan tujuan
pemberantasan tindak pidana narkotika.
4.1.3. Hasil Wawancara
Dalam Penelitian ini, di samping memperoleh putusan diluar
dakwaan, penulis juga melakukan wawancara dengan narasumber Hakim
Agung pada MA RI dengan maksud untuk menjawab permasalahan tentang
munculnya putusan diluar dakwaan serta bagaimana sikap Mahkamah
Agung sebenarnya terhadap putusan diluar dakwaan tersebut.137
Di kalangan Hakim Agung pada Mahkamah Agung terkait
dengan putusan diluar dakwaan masih ada 2 (dua) pandangan dimana
sebagian hakim agung berpendapat bahwa putusan hakim yang seperti itu
berarti melanggar asas legalitas sedangkan sebagian hakim yang lain
137 Hasil wawancara langsung tanggal 27 November 2012 dengan Hakim Agung Dr. Artidjo
Alkostar, SH. LLM. di Gedung Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
114
mengatakan boleh saja hakim memutus diluar dakwaan sepanjang hal
tersebut dilandasi oleh rasa keadilan bagi terdakwa.138
Terkait hal tersebut telah ada hasil rumusan rapat kamar pidana
Mahkamah Agung Republik Indonesia di Tangerang pada tanggal 8 s/d 10
Maret 2012 pertanyaan no 20 dengan permasalahan Perkara narkotika:
dalam hal fakta membuktikan bahwa terdakwa adalah pengguna (Jo. pasal
127 UU Narkotika) akan tetapi tidak didakwakan. Bagaimana bunyi putusan
akhir? Jawaban/solusi yang ditawarkan adalah tetap dihukum walaupun
dengan pidana yang minimal, kalau terbukti pemakai dengan dosis kecil,
dan urine positip (catatan : Pendapat terakhir beberapa Majelis Mahkamah
Agung RI, terbukti pasal yang didakwakan (biasanya pasal 112 Jo. pasal
132 ) tetapi menerobos pidana minimumnya.139
Hakim dapat mengacu kepada Yurisprudensi Mahkamah Agung
yang mana disebutkan bahwa hakim dapat memutus diluar dakwaan
sepanjang lebih ringan ancaman pidananya, dan hal itu dilakukan sepanjang
untuk rasa keadilan bagi pelaku. Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam
perkara pidana umum berlaku juga dalam perkara pidana khusus dalam hal
ini adalah dalam perkara narkoba.140
Terkait dengan adanya asas legalitas
bahwa hakim seharusnya memutus hanya terhadap dakwaan yang diajukan
oleh Penuntut Umum Artidjo Alkostar tidak sependapat karena hakim agung
sudah melihat kepada nilai sebagai bagian tertinggi dalam suatu piramida
hukum yang mana paling dasar disebutkan adalah norma, kemudian
dibagian tengah ada Asas serta paling tinggi adalah suatu nilai (filosofi
daripada hukum dan keadilan) itu sendiri.
Bahwa Artidjo Alkostar juga berpendapat bahwa tugas hakim
lainnya yang paling penting adalah berfikir dan berzikir yang diartikan
bahwa tugas hakim selain menemukan fakta materiil yang sesungguhnya
juga menggunakan hati nurani sehingga kedua komponen itu tidak dapat
138 Ibid. 139 Hasil rumusan rapat kamar pidana Mahkamah Agung RI tanggal 8 s/d 10 Maret 2012 yang
diikuti oleh 18 (delapan belas)Hakim Agung RI dan 8(delapan)Hakim Adhoc Tipikor pada
Mahkamah Agung RI 140 Ibid.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
115
dipisahkan saat hakim mengambil suatu putusan hukum.141
Selanjutnya
ditambahkan oleh Artidjo Alkostar bahwa untuk dapat memutus diluar
dakwaan seorang hakim dituntut untuk berani dalam arti memang dalam
memutus seperti itu harus lepas dari segala kepentingan dan apabila hal itu
yang dilakukan maka seorang hakim tidak perlu takut untuk memutus
seperti itu sepanjang fakta-fakta dipersidangan bisa membuktikan bahwa
terdakwa hanyalah penyalahguna narkotika.
Bahwa memang dibutuhkan pengalaman dan jam terbang yang
cukup untuk sampai pada “keberanian” memutus seperti halnya putusan
diluar dakwaan dan sekali lagi Artidjo Alkostar menyatakan putusan
tersebut tidak salah, yang salah adalah ketika memutuskan hal seperti itu
ternyata belakangan diketahui ada “sesuatu”kepada hakim tersebut.142
Hakim Agung Artidjo Alkostar menyatakan dirinya pernah
beberapa kali membenarkan putusan pengadilan negeri yang memutus
diluar dakwaan tersebut karena menurut keyakinannya berdasarkan
pertimbangan hukum sudah sesuai dengan hukum yang berlaku dan beliau
juga mengatakan bahwa hal tersebut masih merupakan kewenangannya
sebagai Hakim Agung karena meskipun Hakim Agung adalah judek Juris
yang melihat dari persfektif yang berbeda dalam hal ini dicontohkan hakim
melihat fakta hukum untuk kemudian menerapkan hukum yang ada ,
sedangkan Hakim Agung melihat penerapan hukum yang diambil Judex
Facti dihubungkan dengan persoalan hukum yang ada , sehingga menurut
beliau pendapat yang menyatakan Hakim Agung melampaui
kewenangannya dikarenakan masih melihat fakta persidangan adalah
sesuatu yang tidak perlu dipermasalahkan.143
Penulis juga mewawancarai Hakim Agung Djoko Sarwoko, SH
MH (Tuada Pidsus pada Mahkamah Agung)144
terkait dengan fakta
persidangan yang berbeda dengan surat dakwaan yang pada pokoknya
141 Ibid 142 Ibid 143 Ibid 144
Wawancara langsung dengan Hakim Agung Djoko Sarwoko SH MH pada tanggal 27 November 2012 di Gedung Mahkamah Agung Republik Indonesia
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
116
hakim bukanlah corong undang-undang dan hakim berwenang untuk
menilai fakta-fakta yang ada dipersidangan tersebut dan hakim dapat
memutus perkara dibawah minimal khusus ataupun diluar dakwaan
sepanjang ada alasan dan argumentasi yang kuat yang mendasarinya serta
hal tersebut dirasa memenuhi rasa keadilan bagi terdakwa.
Penulis juga telah mewawancarai Hakim Agung Komariah E.
Sapardjaja terkait dengan putusan diluar dakwaan yang pada pokoknya
beliau mengatakan bahwa beliau pernah memutus bebas terhadap perkara
kasasi dalam perkara Narkotika yang diajukan kepadanya yang mana pada
perkara itu pada tingkat Pengadilan Negeri diputus dengan putusan diluar
dakwaan pasal 127 UU No 35 Tahun 2009.145
Pada putusan kasasi tersebut
salah satu hakim anggota yaitu Hakim Agung Suhadi, SH. MH. melakukan
dissenting opinion, akan tetapi perkembangannya sekarang ini banyak
Hakim Agung termasuk Hakim Agung Komariah E Sapardjaja yang
memutus dibawah minimal khusus perkara narkotika apabila dirasakan
tuntutan jaksa/Penuntut Umum dihubungkan dengan fakta-fakta
persidangan yang terungkap terlalu tinggi. Hal ini dilakukan karena putusan
bebas untuk terdakwa yang terbukti melakukan suatu delik akan tetapi tidak
didakwakan tidak sejalan dengan semangat dan tujuan pemberantasan
tindak pidana narkotika.146
Terkait dengan putusan dibawah minimum khusus dalam perkara
narkotika Komariah E. Sapardjaja mengatakan harus betul-betul dilihat
barang bukti yang relative kecil yang ditemukan ataupun dikonsumsi oleh
terdakwa sebagaimana batasan dalam SEMA No 4 Tahun 2010 tentang
Penempatan penyalahgunaan, korban penyalahgunaan dan pecandu
narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi social.147
KUHAP mensyaratkan hakim terikat dengan surat dakwaan dan
dakwaan harus menjadi dasar dalam proses pemeriksaan di muka
145 Wawancara langsung dengan Hakim Agung Prof Dr.Komariah E Sapardjaja,S.H pada
tanggal 14 Januari 2013 di Gedung Mahkamah Agung Republik Indonesia 146 Ibid 147 Ibid
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
117
pengadilan, akan tetapi hakim juga memiliki kebebasan untuk memutus
sesuai dengan rasa keadilan sehingga bila menemukan dakwaan yang tidak
tepat dalam persidangan maka hakim dapat menegur jaksa /penuntut umum
didalam pertimbangan dan bukan memutus diluar dakwaan. Hukum bukan
hanya undang-undang akan tetapi juga norma-norma yang ada
dimasyarakat. Terkait dengan hukum procedural dan hukum substantif
Komariah E. Sapardjaja mengatakan seharusnya tidak boleh lagi
dipertentangkan antara keduanya justru sebaliknya kedua hukum tersebut
haruslah saling melengkapi, meskipun memang dalam prakteknya antara
hukum procedural dan hukum substantive belum mendapatkan formula
yang tepat dan sampai sekarang para pakar hukum masih mengkaji kedua
hal tersebut seperti teori hukum integrative yang disampaikan oleh Prof. Dr.
Romli Atmasasmita, S.H., LL.M.148
Penulis juga telah mewawancarai Ahli Hukum Pidana Universitas
Indonesia Prof Mardjono Reksodiputro, SH. MA.149
yang berpendapat
bahwa dahulu dalam HIR ada kesempatan hakim untuk memperbaiki surat
dakwaan jaksa/ penuntut umum karena dahulu zaman HIR berlaku hakim-
hakim terdiri dari golongan kulit putih dan bersekolah tinggi sedangkan
Jaksa pada zaman HIR adalah terdiri dari golongan pribumi dan
berpendidikan setingkat dibawah para hakim, sekarang perbedaan
pendidikan antara hakim dan jaksa sudah tidak ada dalam arti dari tingkat
pendidikan antara hakim dan jaksa sudah sejajar sehingga adalah merupakan
hal yang pantas jika kelalaian penerapan hukum acara yang dilakukan jaksa
diberi sangsi bukan dalam arti pidana akan tetapi hakim dapat
membebaskan terdakwa.
Di luar negeri ada ketentuan jika seseorang tersangka harus
didampingi oleh seorang pengacara, dan polisi serta jaksa wajib menyatakan
hak-hak tersebut kepada tersangka dan jika polisi lalai dalam
memberitahukan hak-hak tersangka tersebut tersangka haruslah dibebaskan,
148 Ibid 149
Wawancara langsung dengan Prof Mardjono Reksodiputro SH.MA pada tanggal 14 Januari 2013.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
118
hal-hal seperti itulah cara KUHAP melindungi hak tersangka dan terdakwa
yang diputus melalui hakim karena KUHAP tidak ada sangsi pidana.
Berdasarkan wawancara dengan salah seorang Hakim perkara No
10 /Pid.B/2012/PN.Ms inisial DNK mengatakan bahwa dalam Undang
Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak secara tegas diatur
mengenai kualifikasi antara pengedar dan pemakai karena antara seseorang
yang hendak mengedarkan dengan seseorang yang hendak memakai untuk
diri sendiri tentunya didahului dengan unsur menguasai sehingga dalam
kasus ini Majelis hakim melihat berdasarkan fakta yang terungkap di
persidangan maka tidak ada keterkaitan antara terdakwa dengan pengedar
karena hasil test urine negatif akan tetapi jaksa selalu berpendapat bahwa
untuk dapat diterapkannya pasal 127 (1) UU NO 35 Tahun 2009 tentang
narkotika maka test urin haruslah positif untuk membuktikan bahwa
terdakwa adalah seorang pemakai narkotika.150
Bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan diluar dakwaan
pertama kali harus melihat apakah ada keterkaitan antara terdakwa dengan
pengedar yang kemudian hakim harus melihat barang bukti yang ditemukan
bersama terdakwa dihubungan dengan batasan yang ada dalam SEMA yang
mengatur tentang batas maksimal barang bukti terkait tindak pidana
narkotika apabila barang bukti yang ditemukan melebihi dari aturan SEMA
tersebut maka hakim selayaknya curiga bahwa terdakwa bukanlah
pemakai/penyalahguna akan tetapi sudah lebih dari kualifikasi itu.151
Bahwa terkait dengan asas legalitas hakim DNK menyatakan
hakim bukanlah corong undang-undang dan apabila melihat kasus-kasus
yang melibatkan anak pejabat ataupun artis BNN secara langsung bisa
merehap tersangka tanpa adanya penetapan hakim dan hal ini yang
mendasari hakim memutus seperti itu karena hakim ingin adanya persamaan
dimuka hukum yang berarti terhadap orang yang tidak mampu-pun haruslah
dikenakan pasal 127 UU No 35 Tahun 2009. Terkait tidak dimasukkannya
150 Wawancara melalui telepon dengan hakim anggota perkara no 10/Pid.B/2012/PN Msb tanggal 20 Desember 2012.
151 Ibid
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
119
terdakwa kedalam panti rehap hakim menjawab kami tidak
mempertimbangkan sejauh itu dan juga tidak ada surat keterangan dari
dokter ataupun instansi yang berwenang untuk menempatkan terdakwa ke
dalam panti rehap tersebut yang penting bagi majelis adalah memberikan
rasa keadilan terhadap terdakwa dihubungkan dengan fakta yang terjadi
dipersidangan karena jumlah barang bukti yang ditangkap bersama
terdakwa sangat kecil menurut hakim.152
Terkait dengan asas yang mengatakan bahwa apabila ada hal yang
bertentangan maka hakim harus memilih hal yang paling menguntungkan
bagi terdakwa dalam hal ini terdakwa haruslah dibebaskan maka hakim
DNK menjawab dalam perkara ini majelis menilai ada perbuatan salah yang
dilakukan oleh terdakwa akan tetapi tidak didakwakan sehingga majelis
tetap menghukum terdakwa dengan putusan diluar dakwaan itu dan alasan
mengapa majelis hakim memilih untuk memutus diluar dakwaan karena
apabila hakim memilih tetap menggunakan pasal yang didakwakan dan
kemudian menerobos pidana minimal justru akan menimbulkan persepsi
yang tidak baik karena menurut majelis unsur terbukti tapi tidak tepat
dengan kondisi terdakwa dikaitkan dengan fakta yang terungkap di
persidangan karena menurut majelis pasal yang didakwakan lebih tepat
untuk pengedar narkotika.153
Hakim DNK menyatakan bahwa antara pasal 127 UU No 35
Tahun 2009 dengan pasal 114 UU No 35 Tahun 2009 tidak serumpun akan
tetapi hal tersebut bisa menjadi alasan bagi hakim untuk menjatuhkan
putusan diluar dakwaan,dan yang menarik adalah hakim tetap menggangap
dakwaan sebagai dasar akan tetapi hakim juga melihat fakta dipersidangan
dan apabila ada fakta yang berbeda dengan BAP dan dakwaan maka hakim
lebih condong memilih fakta yang berbeda tersebut, hal berbeda dengan
pandangan jaksa yang melihat dakwaan sebagai fokus dari pemeriksaan.154
152 Ibid., “Intinya semua berpulang kepada hati nurani hakim”. 153 Ibid. 154 Ibid.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
120
4.2. PUTUSAN HAKIM KETIKA MENEMUKAN FAKTA
PERSIDANGAN TIDAK SESUAI DENGAN DAKWAAN DAN
TUNTUTAN PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA
NARKOTIKA
Menurut Satochid Kartanegara dan pendapat-pendapat para ahli
hukum terkemuka dalam hukum pidana, mengemukakan teori pemidanaan
atau penghukuman dalam hukum pidana dikenal ada tiga aliran yaitu:
a.Absolute atau vergeldings theorieen (vergelden/imbalan)Aliran ini
mengajarkan dasar daripada pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu
sendiri untuk menunjukkan kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang
dianggap sebagai pembalasan, imbalan (velgelding) terhadap orang yang
melakukan perbuatan jahat. Oleh karena kejahatan itu menimbulkan
penderitaan bagi si korban.
b.Relative atau doel theorieen (doel/maksud, tujuan) Dalam ajaran ini
yang dianggap sebagai dasar hukum dari pemidanaan adalah bukan
velgelding, akan tetapi tujuan (doel) dari pidana itu. Jadi aliran ini
menyandarkan hukuman pada maksud dan tujuan pemidanaan itu, artinya
teori ini mencari manfaat daripada pemidanaan (nut van de straf)
c. Vereningings theorieen (teori gabungan)
Teori ini sebagai reaksi dari teori sebelumnnya yang kurang dapat
memuaskan menjawab mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan.
Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak
pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi di
samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan
daripada hukum c. Vereningings theorieen (teori gabungan).155
Pengaturan mengenai putusan pemidanaan sendiri terdapat di dalam
ketentuan Pasal 193 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi :
155 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, (Jakarta ;Balai Lektur Mahasiswa
hal 56
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
121
“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan
pidana”.
Tabel 1. Pasal Dakwaan dan Putusan Diluar Dakwaan
NO. PUTUSAN
NAMA
TERDAKWA
PASAL DAKWAAN JAKSA
PENUNTUT UMUM
TUNTUTAN
PASAL YANG
DINYATAKAN
TERBUKTI OLEH
MAJELIS HAKIM
DAN PIDANANYA
No. 10 / Pid.B / 2012
/ PN.Msb
MS bin UH Alias S
bin Ogu.
Dakwaan:
Primair: Pasal 114 Ayat (1) Undang-
undang Republik Indonesia NO. 35
Tahun 2009 tentang narkotika
Subsidair: Pasal 112 Ayat (1)
Undang-undang Republik Indonesia NO. 35 Tahun 2009 tentang narkotika
Tuntutan:
Pasal 112 Ayat (1)
Menjatuhkan pidana kepada terdakwa
MS bin UH Alias S bin Ogu selama 5
(lima) tahun ditambah pidana denda
sebesar Rp. 800.000.000 (delapan
ratus juta rupiah) subsidair 3 (tiga)
bulan penjara
1. Pasal 127 Ayat (1) huruf a
Undang-undang Republik
Indonesia NO. 35 Tahun
2009 tentang narkotika
2. Menyatakan terdakwa “MS bin UH Alias S bin Ogu
telah terbukti dan secara sah
penyalahguna narkotika
bagi diri sendiri” pidana
kepada terdakwa dengan
penjara selama 1 (satu)
tahun dan 6 (enam) bulan"
No. 55/ Pid.B/2012/
PN.M Ramli bin Alm. M.
Daa Ali
Dakwaan
Kesatu : Pasal 112 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia No.35
Tahun 2009 tentang narkotika
Atau :
Kedua: Pasal 138 Undang-undang
Republik Indonesia No.35 Tahun
2009 tentang narkotika
Tuntutan :
Pasal 112 Ayat (1) Undang-undang
Republik Indonesia No.35 Tahun
2009 tentang narkotika menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 4
(empat) tahun 3 (tiga) bulan dan
pidana denda sebesar Rp.
800.000.000 (delapan ratus juta
rupiah) subsidair 4 (empat) bulan
kurungan
1. Pasal 127 Ayat (1) huruf a
Undang-undang Republik Indonesia No.35 Tahun
2009 tentang narkotika;
2. Menyatakan terdak wa
terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana
“penyalahgunaan narkotika
golongan satu bagi diri
sendiri” menjatuhkan pidana
kepada terdakwa selama 8 (delapan) bulan
No. 151/PIT.B/2011/
PN.KTP
Widyawati Alias
Widya Binti Jali
Dakwaan:
Primair : Pasal 112 Ayat (1) JO
Pasal 132 Ayat (1) Undang-undang
Republik Indonesia No.35 Tahun
2009 tentang narkotika JO Undang-undang Republik Indonesia No.3
Tahun 1997 tentang peradilan anak
1. Menyatakan terdakwa
Widyawati Alias Widya
Binti Jali telah terbukti
secara sah dan bersalah
melakukan tindak pidana : “penyalahgunaan narkotika
golongan satu bagi diri
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
122
Susidair : Pasal 114 Ayat (1) JO
Pasal 132 Ayat (1) Undang-undang
Republik Indonesia No.35 Tahun
2009 tentang narkotika JO Undang-
undang Republik Indonesia No.3
Tahun 1997 tentang peradilan anak
Tuntutan :
Menyatakan terdakwa Widyawati
Alias Widya Binti Jali bersalah
menyimpan dan menguasai sabu-sabu
bersama sama sebagaimana diatur
dalam pasal 112 ayat (1) JO pasal
132 ayat (1) undang Republik
Indonesia No.35 Tahun 2009 tentang
narkotika JO Undang-
undang Republik Indonesia No.3 Tahun 1997 tentang peradilan anak
menjatuhkan pidana penjara selama 5
(lima) tahun dan menghukum
terdakwa untuk membayar denda Rp
800.000.000 (delapan ratus juta)
Subsidair 2 (dua) bulan kurungan
sendiri”
2. Menjatuhkan pidana kepada
terdakwa selama 1 (satu) thn
Dari tabel diatas terlihat bahwa ternyata sudah banyak hakim-
hakim Pengadilan Negeri yang memutus “diluar dakwaan” terhadap perkara
narkotika, dan hakim-hakim tidak terpaku dengan pasal 182 ayat
(4)KUHAP yang mensyaratkan musyawarah putusan haruslah berdasarkan
dakwaan jaksa penuntut umum, kesemua putusan pengadilan Negeri
memutus “diluar dakwaan”Jaksa Penuntut umum, hal ini dapat diartikan
bahwa “putusan diluar dakwaan” dalam pertimbangan-pertimbangan
tertentu dapat dijatuhkan meskipun pengaturan mengenai hal tersebut belum
ada ataupun belum jelas.
Dari tabel ini juga terlihat perbedaan yang mencolok antara
tuntutan jaksa/penuntut umum dengan majelis hakim yang memutus perkara
ini hal ini merupakan dampak dari perbedaan pasal yang didakwakan
dengan dakwaan yang dinyatakan terbukti oleh majelis hakim dimana
dalam pasal 127 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan :
1. Setiap penyalah Guna :
a. Narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat)tahun.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
123
b. Narkotika golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2(dua)tahum.
c. Narkotika golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1(satu)tahun.
2. Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), hakim
wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 54, 55, dan pasal 103.
3. Dalam hal penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dapat
dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan
narkotika. Penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial.
Dari definisi pasal 127 Undang-undang no 35 tahun 2009 tentang
narkotika telah jelas ditentukan batas maksimal bagi seseorang yang
terbukti melakukan penyalahgunaan narkotika dan batas maksimal tersebut
jauh dibawah dari ketentuan pasal yang didakwakan kepada terdakwa
seperti yang ada dalam tabel .
Meskipun terhadap penjatuhan pidana seperti ini masih sangat
menimbulkan pro dan kontra dan debatibel dikarenakan ada perbedaan
yang sangat tajam terkait dengan asas legalitas dan teori keadilan. Terkait
asas legalitas yang penulis maksudkan disini adalah berdasarkan pasal 3
KUHAP yang menyatakan Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini156
, dihubungkan dengan bunyi pasal 182(4)
KUHAP yang menyatakan: ”musyawarah tersebut pada ayat (3) harus
didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam
pemeriksaan di sidang”. Dan juga pasal 191 ayat (1) KUHAP yang
menyatakan : “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan
di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan, maka terdakwa
diputus bebas.”157
156 Pasal 3 KUHAP 157 Pasal 182 (4) KUHAP
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
124
Bagi pihak yang setuju terhadap penjatuhan putusan”diluar
dakwaan” , beranggapan hakim bukan sekedar “corong” Undang-undang
(la bouche de la loi) ketika hukum tidak jelas maka hakim dapat melakukan
interpretasi atau penafsiran hal ini sejalan dengan pendapat hakim Agung
Artidjo Alkostar yang menyatakan hakim bekerja dengan hati nurani dan
hakim harus berani melakukan terobosan hukum sepanjang tidak ada
kepentingan didalamnya .
Disatu sisi pihak yang tidak sependapat dengan putusan “diluar
dakwaan” putusan hakim yang seperti itu bertentangan dengan undang –
undang dan penegakan hukum dengan cara melanggar hukum dinilai
tidaklah tepat . Kebenaran prosedural harus tetap ditegakkan meskipun
secara substantif hal itu dirasakan tidak adil.
Tabel .2. Pertimbangan Hal-hal Yang Memberatkan dan Meringankan
NOMOR
PUTUSAN
P E R T I M B A N G A N
1. Hal-Hal Yang Memberatkan
2. Hal-Hal Yang Meringankan
No. 10 / Pid.B /
2012 / PN.Msb
MS bin UH Alias
S bin Ogu.
Hal-hal yang memberatkan :
- Perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat ;
Hal-hal yang meringankan :
- Terdakwa belum pernah dihukum dan masih
muda sehingga masih diharapkan untuk dapat
memperbaiki perbuatannya dimasa yang akan
datang ;
- Terdakwa sebagai salah satu korban peredaran
narkotika ; No. 55/
Pid.B/2012/
PN.M
Ramli bin Alm.
M. Daa Ali
Hal-hal memberatkan :
- Perbuatan Terdakwa bertentangan dengan usaha
pemerintah dalam pemberantasan Penyalahgunaan
Narkotika
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
125
Hal-hal yang meringankan
- Terdakwa bersikap sopan di persidangan;
- Terdakwa merupakan Tulang punggung
keluarga;
- Terdakwa menyesal dengan perbuatan yang telah
dilakukannya yaitu menggunakan Narkotika jenis
shabu;
- Terdakwa belum pernah dipidana sebelumnya;
No.
151/PIT.B/2011/
PN.KTP
Widyawati Alias
Widya Binti Jali .
HAL YANG MEMBERATKAN :
- Bahwa terdakwa tidak mendukung upaya
Pemerintah dalam rangka pemberantasan
penyalahgunaan narkotika
HAL-HAL YANG MERINGANKAN :
1. Terdakwa bersikap sopan di persidangan;
2. Terdakwa belum pernah dihukum;
3. Terdakwa masih anak-anak sehingga terbuka lebar
kemungkinan dan kesempatan baginya untuk
memperbaiki diri sehingga dengan penjatuhan
hukuman yang lebih ringan diharapkan terdakwa
menjadi manusia yang berguna baik bagi dirinya
sendiri, keluarga maupun masyarakat di masa yang
akan datang;
4. Wali terdakwa menyatakan masih sanggup untuk
membina dan mendidik terdakwa;
Dari tabel diatas terlihat bahwa hakim sebelum memutus bersalah
kepada seseorang terdakwa terlebih dahulu mempertimbangan hal-hal yang
meringankan dan memberatkan dari diri terdakwa dan apabila kita melihat
tabel diatas maka terlihat bahwa pertimbangan hal-hal yang meringankan
lebih dominan daripada hal-hal yang memberatkan .
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
126
4.3. DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MENJATUHKAN “PUTUSAN
DILUAR DAKWAAN” DALAM PERKARA NARKOTIKA
Mahkamah Agung RI sebagai badan tertinggi pelaksana kekuasaan
kehakiman yang membawahi 4(empat) badan peradilan di bawahnya158
telah menentukan bahwa putusan hakim haruslah mempertimbangkan
segala aspek yang bersifat yuridis, filosofis, dan sosiologis sehingga
keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan
dalam putusan hakim adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan
hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice) dan keadilan
masyarakat (sosial justice).159
Aspek Yuridis merupakan aspek yang pertama dan utama dengan
berpatokan pada undang-undang yang berlaku. Hakim sebagai aplikator
undang-undang harus memahami undang-undang dengan mencari undang-
undang yang berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi. Hakim harus
menilai apakah undang-undang tersebut adil, ada kemanfaatannya, atau
memberikan kepastian hukum jika ditegakkan, sebab salah satu tujuan
hukum itu unsurnya adalah menciptakan keadilan.160
Mengenai aspek filosofis merupakan aspek yang berintikan pada
kebenaran dan keadilan sedangkan aspek sosiologis mempertimbangkan
tata nilai budaya yang hidup dalam masyarakat. Aspek filosofis dan
sosiologis penerapannya sangat memerlukan pengalaman dan pengetahuan
yang luas serta kebijaksanaan yang mampu mengikuti nilai-nilai dalam
masyarakat yang terabaikan. Jelas penerapannya sangat sulit sebab tidak
mengikuti asas legalitas dan tidak terikat sistem. Pencantuman ketiga
unsure tersebut tidak lain agar putusan dianggap adil dan diterima
masyarakat.161
158 Peradilan Umum, Peradilan Agama , Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara 159 Mahkamah Agung RI, Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan
Makalah Berkaitan, (Jakarta: Pusdiklat MA RI, 2006), hlm. 2. 160 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2011), hlm. 126. 161 Ibid. hlm. 127.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
127
Keadilan hukum (legal justice) adalah keadilan berdasarkan hukum
dan perundang-undangan. Dalam arti hakim hanya memutuskan perkara
hanya berdasarkan hukum positif dan peraturan perundang-undangan.
Keadilan seperti ini keadilan menurut pengamat aliran legalistis positivism .
Dalam menegakkan keadilan ini hakim atau pengadilan hanya sebagai
pelaksana undang-undang belaka. Hakim tidak perlu mencari sumber-
sumber hukum diluar dari hukum tertulis dan hakim hanya dipandang
menerapkan undang-undang pada perkara-perkara konkrit rasional belaka.
Dengan kata lain, hakim sebagai corong undang-undang atau mulut UU162
Keadilan hukum (legal justice) hanya didapat dari undang –undang
justru pada suatu kondisi akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat,
sebab undang-undang tertulis yang diciptakan mempunyai daya laku
tertentu suatu saat daya laku tersebut akan mati, karena saat undang-undang
diciptakan unsure keadilannya membela rakyat, akan tetapi setelah
diundangkan , seiring dengan perubahan nilai-nilai keadilan masyarakat,
akibatnya pada undang-undang unsure keadilannya akan hilang.163
Keadilan
moral (moral justice) dan keadilan sosial (social justice) diterapkan hakim
dengan pernyataan bahwa: ”hakim harus menggali nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat” yang jika dimaknai secara mendalam hal tersebut
sudah masuk kedalam perbincangan tentang moral justice dan social
justice.164
Tabel 3. Barang Bukti Yang Diajukan Kepersidangan
NOMOR
PUTUSAN
Barang Bukti yang Di ajukan Kepersidangan
No. 10 / Pid.B /
2012 / PN.Msb
MS bin UH Alias
- 1 (satu) buah sachet plastik warna bening yang
berisikan butiran kristal warna putih (shabu-
162 Ibid. 163 Ibid. 164 Ibid.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
128
S bin Ogu shabu) seberat 0,5 (nol koma lima) gram
ditimbang dengan plastiknya ;
- 1 (satu) buah botol plastik bekas coca cola
(bong) ;
- 1 (satu) buah pipet warna putih
No. 55/
Pid.B/2012/
PN.M
Ramli bin Alm.
M. Daa Ali
- 1 (Satu) Paket butiran Kristal bening dengan
berat 0,0239 gram;
- 1 (satu) lembar kertas rokok warna kuning
emas
- 1 (satu) Unit sepeda motor merk smash warna
hitam Nomor Polisi DC 4923 PC;
No.
151/PIT.B/2011/
PN.KTP
Widyawati Alias
Widya Binti Jali
- (tiga) paket kecil sabu-sabu yang dibungkus
dengan plastik seberat 0,8 gram;
- 1 (satu) buah bong terbuat dari botol
minuman;
- 1 (satu) buah korek api gas;
- 1 (satu) buah botol kaca kecil bekas parfum
fambo
Putusan No 810
K/Pid.Sus/2012
Atas nama IDRIS
LUKMAN BIN
LOKMAN
HENDRIK
1 (satu) paket shabu seberat 0,2 (nol koma dua)
gram beserta pembungkusnya
Putusan No. 670
K/Pid.Sus/2012
atas nama
terdakwa II
MANSUR Bin
MISNAN dan I.
BAGUS
KURNIAWAN
bin DHARMAN,
bahwa MANSUR
bin MISNAN Cs
1(satu) bungkus plastik klip berisikan kristal
warna putih dengan berat netto 0,0565 gram (sisa
hasil labkrim dengan berat netto 0,0452 gram)
mengandung Metamfetamina dalam golongan I
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
129
Putusan Kasasi
NO. 566
K/Pid.Sus/2012
atas nama
terdakwa
SAIPULLAH bin
H MURSID
- 1 (satu) paket kecil berisi sabu-sabu dengan berat
keseluruhan 0,71 gram yang telah disisihkan
sehingga beratnya menjadi 20,95 miligram
- 1 (satu)paket kecil yang berisi sabu-sabu dengan
berat keseluruhan 0,45 gram yang telah
disisihkan sehingga beratnya menjadi 20,95
miligram;
- 1 (satu)buah pipet kaca
- 1 (satu)buah potongan sedotan plastik warna putih
- 1 (satu)buah botol plastik dengan tulisan
XYLTOL warna putih
- 2 (dua)buah botol plastik yang digunakan sebagai
alat pembakar,
Dari tabel diatas terlihat bahwa semua putusan diluar
dakwaan yang dibuat oleh hakim semuanya memperlihatkan barang
bukti yang bisa dinilai kecil atau sedikit apabila merujuk kepada
SEMA No 4 tahun 2010 tentang batasan barang bukti yang dapat
dimintakan rehab ataupun dapat dinyatakannya seseorang tersangka
atau terdakwa sebagai penyalahguna masih dalam batasan SEMA
tersebut.
Majelis hakim dalam mempertimbangkan berat ringannya
hukuman kepada terdakwa salah satunya mengacu kepada bunyi
SEMA tersebut dan jika didapati bahwa barang bukti yang berada
dalam penguasaan terdakwa lebih dari ketentuan SEMA tersebut
maka hakim harus berfikir untuk tidak menetapkan seseorang
tersebut sebagai penyalahguna bagi diri sendiri.
Hakim menilai dengan jumlah barang bukti yang cukup kecil
tersebut , maka terhadap terdakwa tidaklah tepat diterapkan pasal 112
ataupun 114 UU No 35 Tahun 2009 dimana ancaman pidana terhadap
kedua pasal tersebut cukup tinggi ditambah dengan adanya pidana
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
130
tambahan berupa denda sebesar Rp 800.000.000,- (delapan ratus juta
rupiah).
Majelis hakim Pengadilan Negeri MSB menjatuhkan putusan
diluar dakwaan dengan salah satu pertimbangannya adalah
memperhatikan asas peradilan yang yang cepat, sederhana dan biaya
ringan serta majelis hakim menganggap pasal yang dipilih masih
dalam kualifikasi yang sama yaitu Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika serta untuk
memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum selain itu Surat Edaran
Nomor 4 Tahun 2010 sebagai pengganti Surat Edaran Nomor 7 Tahun
2009 yang berisi hal-hal yang apa seseorang dapat dikatakan sebagai
penyalah guna, lahirnya Surat Edaran ini adalah untuk memperjelas
penafsiran siapa penyalah guna narkotika dan secara kontrario
menunjukkan jika seseorang memiliki, menyimpan, menguasai atau
menyediakan lebih dari jumlah yang ditentukan dalam Surat Edaran
Nomor 4 Tahun 2010 tidak dapat serta merta dikatakan sebagai
penyalah guna narkotika.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Majene dalam memutus
diluar dakwaan mendasari putusannya dengan putusan Mahkamah
Agung No 2497/K/Pid.Sus/2011 yang berisi meskipun Terdakwa yang
sebelumnya didakwa tunggal dengan Pasal 112 (1) jo. Pasal 132 (1) UU RI
No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika diputus terbukti melakukan tindak
pidana yang diatur dalam pasal 127 ayat (1) huruf a UU a quo. Selain itu
Majelis hakim juga berpendapat bahwa hakim seharusnya tidaklah
dikunci dalam upaya penegakan keadilan dengan membatasinya secara
mutlak berdasarkan dakwaan penuntut umum hal mana tidak akan memberi
ruang bagi Hakim dalam menjalankan kewajibannya untuk menegakkan
keadilan secara utuh selain itu juga majelis hakim berpendapat perbuatan
terdakwa yang dipersalahkan oleh Majelis Hakim memiliki kaitan erat dan
berhubungan langsung dengan perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa
dimana kedua hal tersebut diatur dalam undang-undang khusus yang sama
dengan rumpun yang sama yaitu menyangkut kejahatan Narkotika dan
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
131
pertimbangan majelis hakim terakhir adalah setiap putusan yang
membebaskan atau melepaskan Terdakwa harus diikuti dengan pemulihan
hak-hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta
martabatnya yang menurut Majelis memiliki nilai ironi jika dari satu sisi
telah terdapat fakta hukum bahwa Terdakwa telah terbukti melakukan suatu
tindak pidana .
Majelis hakim Pengadilan Negeri KTP dalam memutus diluar
dakwaan mendasari putusannya dengan mempertanyakan pasal 182 ayat
(4) KUHAP pada pokoknya menentukan “musyawarah harus didasarkan
atas surat dakwaan” dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di
sidang dan apabila ketentuan pasal tersebut diartikan secara kaku/strict law,
maka terdakwa Widya Wati Als Widya Binti Jali yang telah dinyatakan tidak
terbukti dalam dakwaan primair maupun dakwaan subsidair, pada hal secara
fakta hukum sebagaimana telah dipertimbangkan, sebenarnya terdakwa ada
melakukan perbuatan penyalahgunaan narkotika golongan I sebagaimana
ditentukan dalam pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor: 35
tahun 2009 tentang Narkotika, maka terdakwa tidak dapat diadili menurut
ketentuan pasal 127 ayat (1) huruf a tersebut karena tidak didakwakan Jaksa
Penuntut Umum dalam dakwaannya dan majelis menilai tidaklah pantas dan
adil jika membebaskan terdakwa begitu saja hanya karena kekurang
cermatan Jaksa Penuntut Umum menyusun dakwaannya karena akan
menciderai rasa keadilan masyarakat dan tidak mendidik bagi terdakwa,
sehingga menurut pendapat Hakim demi kepentingan keadilan (for the
interest of the justice) dan Majelis hakim mendasarkan putusan kepada
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI. Nomor: 1671 K/Pid/1996
tanggal 18 Maret 1997 yang pada pokoknya menyatakan ‘menghukum
terdakwa membantu melakukan pembunuhan berencana (exs pasal 56 jo
pasal 340 KUHP, dakwaan alternatif yang tidak didakwakan Jaksa Penuntut
Umum’
Terkait dengan Pertimbangan-pertimbangan Majelis hakim diatas
dihubungkan dengan hal-hal yang harus perhatikan oleh seorang hakim
dalam merumuskan suatu putusan seperti legal justice, moral justice dan
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
132
sosial justice menurut pendapat penulis hakim pengadilan negeri sudah
masuk kepada pertimbangan moral justice dimana dari putusan-putusan
pengadilan negeri tersebut hakim menilai dakwaan jaksa berbeda dengan
fakta persidangan sehingga terhadap dakwaan jaksa tersebut haruslah
dinyatakan tidak terbukti , akan tetapi majelis hakim menilai bahwa
meskipun dakwaan jaksa tidak ada yang terbukti akan tetapi ada fakta
persidangan yang menyatakan bahwa terdakwa menggunakan narkotika
tersebut untuk dirinya sendiri sehingga hakim berdasarkan keadilan memutus
sebagaimana putusan yang diuraikan diatas.
Dihubungkan dengan asas legalitas menurut Penulis ada
penyimpangan terhadap penerapan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang
menyatakan : “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di
sidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan, maka terdakwa
diputus bebas”. Kenyataannya Majelis Hakim yang mengadili perkara-
perkara tersebut memilih tidak melaksanakan ketentuan yang tercantum
dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP, akan tetapi dengan berpijak pada teori
keadilan, Yurisprudensi putusan MA, dan asas peradilan yang cepat sebagai
dasar hukum telah menjatuhkan putusan berupa menyatakan bersalah serta
menghukum terdakwa dengan putusan di luar dakwaan Jaksa penuntut
Umum. Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut
apabila berpedoman pada Pasal 191 ayat (1) KUHAP, seharusnya majelis
Hakim akan menjatuhkan putusan bebas kepada masing-masing terdakwa
karena dalam pemeriksaan di sidang pengadilan masing-masing terdakwa
tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum baik dalam dakwaan primair
ataupun dakwaan subsidairnya.
Dihubungkan dengan teori keadilan substantive menurut penulis
putusan tersebut bisa sudah benar , dihubungkan dengan teori keadilan
dimana dalam teori keadilan Gustav Radbruch, menyatakan adanya 3 (tiga)
tujuan ideal hukum, yaitu: keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Tetapi tidaklah mudah mewujudkan ketiga tujuan ideal tersebut sekaligus
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
133
dalam praktek karena itu menurut Radbruch diperlukan asas prioritas untuk
mengeliminirnya. Keberanian hakim untuk mengambil keputusan dengan
menjatuhkan putusan yang bijaksana sebenarnya merupakan sesuatu yang
harus ada dalam diri hakim termasuk memutus diluar dakwaan sepanjang
putusan tersebut tidak dilatari oleh kepentingan yang lainnya sebagaimana
pendapat hakim Agung Artidjo Alkostar .Radbruch menyatakan bahwa
keadilan harus dianggap sebagai salah satu kelompok dari ide hukum
komponen yang lainnya adalah finalisasi dan dan kepastian165
hukum dan
keadilan sebagai dua sisi dari mata uang, jika keadilan digambarkan sebagai
materi dan hukum sebagai bentuk, maka nilai keadilan, maka nilai keadilan
adalah materi yang harus mengisi bentuk hukum, sedangkan hukum
merupakan bentuk yang harus melindungi nilai keadilan.
4.4. PANDANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP “PUTUSAN
DILUAR DAKWAAN“ YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN
NEGERI DAN PENGADILAN TINGGI DALAM PRAKTEK
PERADILAN PIDANA DI INDONESIA
Dari tiga putusan Mahkamah Agung RI terlihat sikap yang berbeda
diantara para hakim agung yang menangani perkara yang sejenis dalam hal ini
perkara narkotika yang dalam amar putusannya di pengadilan negeri sama-
sama memutus diluar dakwaan dari jaksa/penuntut umum.
4.4.1. Pandangan Hakim Agung yang tidak membenarkan putusan diluar
dakwaan untuk kemudian membebaskan terdakwa;
Majelis hakim I yang menangani perkara atas nama Widya wati
yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri dengan putusan diluar
dakwaan pada akhirnya memutus untuk membebaskan terdakwa dengan
pertimbangan bahwa Judex Facti telah salah menerapkan hukum, oleh
karena telah menyatakan Terdakwa bersalah dan menjatuhkan pidana
165 Boy Nurdin, Kedudukan dan Fungsi Hakim Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia,
(Bandung ; Alumni, 2012) Hal 61
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
134
terhadap Terdakwa didasarkan pada ketentuan pidana Pasal 127 ayat (1)
huruf a Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 yang tidak didakwakan
oleh Jaksa/Penuntut Umum, lagi pula fakta di persidangan
membuktikan bahwa Terdakwa hanya menghisap shabu-shabu, dengan
demikian Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana dalam
dakwaan Primair dan Subsidair, dan harus dibebaskan dari segala
dakwaan Jaksa/ Penuntut Umum.
Dalam putusan ini seorang hakim agung mengajukan
dissenting opinion dengan terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang
diatur dalam dakwaan primair melanggar pasal 112 ayat (1) Jo pasal
132 ayat (1) UU No 35 Tahun 2009 dengan hukuman penjara selama
1(satu) tahun yang berarti dibawah ancaman minimal khusus.
Dalam kasus pertama ini, penulis menilai hakim agung
berpegang kepada ajaran legalistic formalistis yang melihat kesalahan
dakwaan yang diajukan oleh jaksa /penuntut umum haruslah diberi
sangsi dengan putusan bebas hal ini sejalan dengan pendapat ahli
hukum Universitas Indonesia Prof Mardjono Reksodiputro SH MA
yang menyatakan bahwa KUHAP dibuat untuk melindungi terdakwa
dari kesewenang-wenangan aparat dalam melakukan tugas yudisialnya
dimana sebelum berlakunya KUHAP kesewenang-wenangan aparat
nampak begitu nyata dan tidak ada perlindungan bagi terdakwa ataupun
tersangka yang tersangkut masalah hukum .
Putusan hakim agung yang menyatakan penjatuhan pidana
berdasarkan putusan diluar dakwaan tidak dapat dibenarkan secara
hukum acara sudah benar dan tepat akan tetapi dengan tidak melihat
fakta persidangan yang terbukti bahwa terdakwa sebenarnya
menggunakan narkotika secara keadilan menurut penulis kurang
menggali sisi kemanfaatan dalam suatu putusan.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
135
4.4.2. Pandangan Hakim Agung yang membenarkan putusan diluar
dakwaan
Putusan No. 810 K/Pid.Sus/2012 Atas nama terdakwa IDRIS
LUKMAN BIN LOKMAN HENDRIK membenarkan putusan diluar
dakwaan dengan dasar pertimbangan majelis hakim melihat pada sisi
keadilan, karena majelis hakim juga sudah mempertimbangan
kecerobohan jaksa/Penuntut Umum yang tidak mendakwakan pasal 127
ayat (1) Undang-undang No 35 Tahun 2009. Majelis Hakim pun
sebenarnya sudah paham jika dakwaan tidak terbukti maka putusan
yang dijatuhkan tersebut seharusnya membebaskan terdakwa, tetapi
dalam rangka kemanfaatan dan keadilan sebagai bagian dari tujuan
hukum, maka Majelis hakim memutuskan untuk membenarkan putusan
judex facti terkait dengan putusan diluar dakwaan yang dijatuhkan.
Putusan No 670K/Pid.Sus/2012 atas nama MANSUR Bin
MISNAN yang dijatuhkan oleh Majelis Kasasi memutuskan putusan
diluar dakwaan dikarenakan jaksa /penuntut umum hanya membuat
dakwaan tunggal kepada terdakwa hal ini menurut majelis hakim
Mahkamah Agung dakwaan tunggal pasal 112 ayat (1) Undang-Undang
No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang didakwakan kepada
terdakwa telah menyulitkan hakim (judex facti) didalam memutus
perkara berdasarkan fakta-fakta dipersidangan dan Mahkamah Agung
berpendapat jika judex facti hanya mengikuti saja dan menerapkan pasal
dakwaan tunggal yang didakwakan Penuntut Umum padahal fakta-fakta
persidangan tidak mampu membuktikan terpenuhinya unsur-unsur
dalam dakwaan tunggal tersebut, maka hal tersebut merupakan
penerapan hukum yang keliru .
Terkait dengan pertimbangan Mahkamah Agung tersebut,
penulis berpendapat bahwa jika dikaitkan dengan asas legalitas yang
dianut oleh negara Indonesia maka putusan ini akan dirasa tidak tepat,
jika dilihat dari satu sisi putusan ini jelas menguntungkan terdakwa
dimana terdakwa diputus lebih rendah dari tuntutan jaksa akan tetapi
jika dipandang dari sisi sebaliknya maka putusan ini merugikan
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
136
terdakwa karena seharusnya terdakwa diputus bebas jika dinilai oleh
hakim dakwaan jaksa tidak terbukti baik dakwaan primair maupun
subsidairnya.
Putusan No 566 K /PidSus/2012 atas nama terdakwa
SAIPULLAH bin H MURSID sedikit berbeda dengan kedua putusan
Mahkamah Agung RI sebelumnya, karena dalam putusan ini hakim
memperingatkan jaksa /Penuntut Umum terkait dakwaan tunggal yang
diterapkannya dalam perkara ini sangat menyulitkan hakim dan
kebebasan hakim untuk memutus sesuai rasa keadilan menjadi sangat
terganggu. Hakim dalam pertimbangannya menyatakan seharusnya
Jaksa /penuntut umum juga mendakwakan pasal 127 Undang-Undang
Narkotika dalam dakwaannya akan tetapi pasal 127 Undang-Undang
Narkotika tersebut tidak didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum.
Majelis hakim dalam pertimbangannya juga menyatakan bahwa
hanya mengikuti dakwaan jaksa/Penuntut umum dirasa akan
mencederai rasa keadilan, akan tetapi dipihak lain membebaskan
terdakwa hanya karena alasan dakwaan yang tidak didakwakan tidak
sejalan dengan dengan semangat dan tujuan pemberantasan tidak pidana
narkotika.
Selanjutnya hakim memutus dibawah minimal dan
menggunakan pasal 127 Undang-Undang Narkotika akan tetapi dalam
amar putusannya tersebut majelis hakim tetap memasang pidana denda
sebesar Rp.800.000.000,-(delapan ratus juta rupiah) yang mana pidana
denda seharusnya tidak ada apabila hakim merujuk kepada pasal 127
Undang-Undang Narkotika.
Berdasarkan pandangan-pandangan hakim tingkat pertama dan
hakim Mahkamah Agung diatas ternyata ada persamaan prinsip yang
dapat diambil ketika menghadapi perkara narkotika yang mana antara
dakwaan dengan fakta hukum tidak terdapat persesuaian yaitu hakim
dapat memutus diluar dakwaan jaksa penuntut umum sepanjang hal
tersebut telah benar-benar dipertimbangkan secara seksama dan matang
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
137
serta berdasarkan argumentasi yang kuat. Secara sekilas memang benar
putusan itu melawan hukum legalistic akan tetapi secara keadilan
putusan tersebut dapat dibenarkan karena hakim bukanlah corong
undang-undang.
Penulis mengambil sikap untuk mendukung pandangan hakim
yang dapat memutus diluar dakwaan dengan batasan yang ketat apabila
jaksa/penuntut umum hanya mendakwa terdakwa dengan dakwaan
tunggal yang jelas menyulitkan hakim memutus berdasarkan rasa
keadilan dan penulis masih menganggap dakwaan adalah dasar bagi
suatu pemeriksaan persidangan karena apabila putusan diluar dakwaan
dapat dilakukan secara serampangan akan mengakibatkan bias dalam
penegakan hukum .
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
138
BAB 5
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas maka
diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Hakim dalam menemukan fakta persidangan yang berbeda dengan
tuntutan tidak hanya berpaku kepada ketentuan pasal 182(4)KUHAP
yang mensyaratkan musyawarah untuk mengambil keputusan harus
didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam
pemeriksaan di sidang. Hal ini terlihat dari 3(tiga)putusan hakim
Pengadilan Negeri dan 3(tiga)putusan Kasasi Mahkamah Agung RI
tentang “putusan diluar dakwaan”dalam perkara narkotika .Hal ini
berarti dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu hakim dapat
memutus “diluar dakwaan” yang diajukan Jaksa/Penuntut umum,
kendati pengaturan untuk hal tersebut tidak ada.
2. Putusan hakim yang “memutus diluar dakwaan” jaksa/penuntut umum
harus mencantumkan pertimbangan-pertimbangan yang matang
dengan argumentasi hukum yang kuat sebagai dasar dalam
memutuskan terdakwa terbukti dengan “pasal diluar dakwaan”, seperti
misalnya jumlah barang bukti yang ditemukan bersama terdakwa
hanya kecil atau sedikit, dan terdakwa bukan merupakan anggota
sindikat atau anggota jaringan peredaran narkotika akan tetapi masih
dalam kategori sebagai penyalahguna narkotika dan hakim dituntut
untuk lebih memperlihatkan semangat pemberantasan tindak pidana
narkotika dibandingkan memutus bebas hanya karena pasal 127 UU
No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak didakwakan .
3. Belum ada kesepahaman diantara hakim agung terkait dengan
“putusan diluar dakwaan” dalam perkara narkotika hal ini terbukti
masih ada dualisme putusan diantara hakim agung guna memutuskan
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
139
hal tersebut. Disatu pihak beberapa hakim agung membenarkan
“putusan diluar dakwaan” tersebut akan tetapi dipihak lain ada
beberapa hakim agung juga yang menentang “putusan diluar dakwaan”
dengan jalan membebaskan terdakwa apabila tidak terbukti pasal yang
didakwakan.
5.2 SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka berkaitan dengan putusan
diluar dakwaan tersebut dapat diajukan saran-saran sebagai berikut :
1. Belum jelasnya pengaturan mengenai boleh tidaknya “putusan diluar
dakwaan” dalam penanganan tindak pidana narkotika menimbulkan
pro dan kontra dikalangan hakim dalam memutus perkara tersebut
dan diharapkan Hakim Agung sebagai Pembina hakim-hakim tingkat
pertama dan tingkat banding seyogjanya dapat memberikan putusan
yang dapat memberikan acuan/pedoman terkait dengan putusan diluar
dakwaan ini( Yurisprudensi tetap), agar jangan sampai hakim-hakim
khususnya tingkat pertama menjadi tidak mempunyai pegangan
apabila mendapati perkara yang seperti ini dan apabila hal tersebut
tidak dilakukan maka putusan diluar dakwaan akan tetap terjadi .
2. Dalam menjatuhkan putusan Hakim hendaknya senantiasa
mempertimbangkan unsur keadilan(gerechtigkeit), kepastian
hukum(Rechtsicherheit)dan kemanfaatan (zwechtmassingkeit) dalam
setiap putusannya dan apabila terjadi pertentangan diantara ketiga
unsur tersebut maka hakim hendaklah mendahulukan unsur keadilan
sehingga tercipta suatu putusan hakim yang mengandung legal
justice, moral justice, dan social justice
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
140
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku/Jurnal:
Abidin farid, Zainal., Hukum Pidana I Cet 2, Jakarta, Sinar grafika, 2007.
Ali, Achmad., Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom Dan Artikel Pilihan
Dalam Bidang Hukum, Jakarta: Kencana, 2008.
-----------------, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),
Jakarta: Chandra Pratama, 1996.
Apeldoorn, Van., Pengantar Ilmu Hukum, (Inleiding tot de studie van het
Nederlandase Recht) diterjemahkan oleh Oetarid Sadino, Jakarta: PT. Pradnya
Paramita, 1954.
AR Sujono SH.M.H dan Bony Daniel, KOMENTAR &PEMBAHASAN Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta : Sinar Grafika,
2011.
Asshiddiqie [e], Jimly., Pengantar Ilmu Tata negara Jilid I, (Jakarta:Sekretariat
Jenderal danKepaniteraan MKRI, 2006.
Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lany dan Mukhsin, ”Kejahatan-kejahatan yang
merugikan dan Membahayakan Negara”, Bina Aksara,
Hamzah, Andi., dan Waluyo, Bambang., Delik-Delik Terhadap Penyelenggaraan
Peradilan (Conterm of Court), Jakarta :Sinar Grafika, 1988.
Hamzah, Andi ., Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Cetakan
Kedua,Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Harahap, M. Yahya., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
------------------, Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan
KUHAP:Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan
PeninjauanKembali, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Harun M Husein, Surat Dakwaan Teknik Penyusunan, Fungsi dan
Permasalahannya, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Huijbers I, Theo., Filsafat hukum Cet ke-3, Yogjakarta: Kanisius,1995.
Kamil, Ahmad., Filsafat Kebebasan Hakim, Jakarta: Kencana, 2012.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
141
Kusumaatmadja, Mochtar., Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam
Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran, Bandung : Bina Cipta, 1986.
Moerad, Pontang., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam
Perkara Pidana, Bandung: PT. Alumni, 2005.
Moelyatno, Asas-asas Hukum Pidana , Jakarta, Bina Aksara,1987.
Moelyono, Anton M., Kamus Besar Bahasa Indonesia cet II , Jakarta : Balai
Pustaka,1988.
Mr J.M van Bemmelen, Ons Stracrecht, Deel I, Algemeen deel het materiele
strafrechet, H.D Tjeenk Wilink, Groningen, 1971.
Mulyadi, Lilik., Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan
Permasalahannya, Bandung : PT Alumni, 2006.
-----------------, Hukum Acara Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996.
-----------------, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktek,
Teknik Penyususnan, dan Permasalahannya Bandung, PT Citra Aditya
Bakti, 2007.
-----------------, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan
Permasalahannya, Bandung ,PT Alumni, 2006.
Nasution, A Karim., Masalah Surat Tuduhan Dalam Proses Pidana,
PN.Percetakan Negara Ri ,1972.
Nawawi Arief, Barda., Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, Bandung , PT Citra Aditya Bakti, 2001.
Nonet, Philippe dan Selznick, Philip., Hukum Responsif terjemahan, Bandung:
Nusa media, 2010.
Nurdin, Boy., Kedudukan dan Fungsi Hakim Dalam Penegakan Hukum di
Indonesia, Bandung : Alumni,2012.
Prakoso, Djoko., Surat Dakwaan, Tuntutan Pidana dan Eksaminasi Perkara di
Dalam Proses Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1988.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
142
Rawls, John ., A Theory of Justice ,Harvard University Press:
Cambridge,Massachusetts, 1972.
Reksodiputro, Mardjono., Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan
Pidana,Kumpulan Karangan Buku ketiga, Jakarta: Lembaga Kriminologi
UI, 2007.
Rifai, Ahmad., Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum
Progresif,Jakarta : Sinar Grafika, 2011.
Seno Adji, Oemar., Peradilan Bebas, Jakarta, PT Erlangga, 1980.
--------------------, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga, 1985.
Siregar, Bismar., Keadilan Hukum Dalam Dalam Berbagai Aspek Hukum
Nasional Jakarta: CV Rajawali, 1986.
Sianturi, S.R., Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Jakarta: Peteheam, 1996.
Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komnetar-
komentarnya lengkap pasal demi pasalnya, Bogor, Politeia,1996.
Soedjono, D. Narkotika dan Remaja. Bandung: Alumni. 1989.
Soetomo. A., Pedoman Dasar Pembuatan Dasar Dakwaan dan Suplemen,
Jakarta: Pradnya Paramita,1989.
Tanya, Bernart L. Dkk., Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Surabaya: CV. Kita, Surabaya
Wignjosoebroto, Soetandyo., Hukum: Paradigma, Metode Dan Dinamika
Masalahnya, Jakarta: ELSAM-HUMA, 2002.
----------------- Hukum Narkotika Indonesia.Bandung: Alumni. 1987.
B. Makalah:
Bambang, Kesowo., Negara Hukum, Program Legislasi Nasional, dan Kebutuhan
Desain Besar Bagi Perencanaannya, Makalah disampaikan pada Rapat
Senat Terbuka dalam rangka Dies Natalis ke-66 Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tanggal 17 Februari 2012.
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
143
Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagat Ketertiban, Bacaan Mahasiswa Program
Doktor Ilmu hukum Universitas Diponegoro, Uki Press, Jakarta, 2006.
C. Peraturan Perundang-Undangan/Konvensi:
Republik Indonesia , Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana , No 8 tahun
1981.
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman No 48
Tahun 2009 LN No 157 Tahun 2009 TLN No 5076 jo. Pasal 1 angka 2 jo.
Pasal 50 jo. Pasal 51 Undang-Undang tentang Peradilan Umum, No. 2
Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan Undang- Undang No. 8 Tahun
2004 dan Undang-Undang No. 49 Tahun 2009.
D. Internet
http://nasional.kompas.com/read/2012/10/31/14280327/Pengguna.Narkoba.5.8.Jut
a.Tahun.2012
http://www.tempo.co/read/news/2012/03/15/064390473/BNN-38-Juta-Warga-
Indonesia-Gunakan-Narkoba
Chairul Akhmad, “Polisi Tangkap Pengedar Narkoba di Kalangan Pelajar”,
<http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/11/10/14/lt24pj-polisi-
tangkap-pengedar-narkoba-di-kalangan-pelajar>,14 Oktober 2011.
Fabian Januarius Kuwando, “Sambil Pesta Sabu, Hakim Puji Bahas Kasus
PTUN”,<http://megapolitan.kompas.com/read/2012/10/23/11212281/Samb
il.Pesta.Sabu.Hakim.Puji.Bahas.Kasus.PTUN> , 23 Oktober 2012
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50d18088e9f22/kejaksaanmemandang
-pasal-54-uu-narkotika
http://waktuterindah.blogspot.com/2012/05/penyalahgunaan-atau-
kepemilikan.html, diakses 25 Nopember 2012
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013
144
Putusan hakim..., Hendro Wicaksono, FH UI, 2013