implikasi dari praktik spionase dalam hubungan diplomatik terhadap hubungan bilateral antara negara...
TRANSCRIPT
1
BAB. I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara merupakan salah satu subyek hukum internasional, di antara
subyek hukum yang lainnya yaitu: “Organisasi internasional, palang merah
internasional, tahta suci atau vatikan, organisasi pembebasan atau bangsa
bangsa yang sedang memperjuangkan hak-haknya, wilayah-wilayah
perwalian, kaum beliigerensi dan individu”.1 Negara merupakan subjek
hukum yang paling utama2. Menurut Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933
tentang Hak-hak dan Kewajiban Negara mensyaratkan suatu negara dengan
karakteristik memiliki penduduk yang tetap, pada wilayah tertentu, memiliki
pemerintahan yang berdaulat dan yang ke-4 berupa kemampuan melakukan
hubungan dengan negara lain di luar negaranya.3 Sebagai subjek hukum
internasional negara memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan
hukum internasional dalam berbagai kehidupan masyarakat internasional,
baik dengan sesama negara maupun dengan subjek-subjek hukum
internasional lainnya. Sebagai konsekuensinya maka negaralah yang paling
1 Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1999, h. 59. 2 J. G. Starke, “Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh”, Sinar Grafika, Jakarta, 1988, hal
127-128.3 Ibid.
2
banyak memiliki, memikul dan memegang kewajiban-kewajiban berdasarkan
hukum internasional dibanding dengan subjek hukum intenasional lainnya.4
Disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) dan (3) Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang menyebutkan tujuan dari Organisasi Internasional
Perserikatan Bangsa-bangsa itu adalah :
2. Mengembangkan hubungan persahabatan antara bangsa-bangsa
berdasarkan penghargaan atas prinsip-prinsip persamaan hak dan hak
rakyat untuk menetukan nasib sendiri, dan mengambil tindakan-
tindakan lain yang wajar untuk memperteguh perdamaian universal;
3. Mencapai kerjasama iternasional dalam memecahkan persoalan-
persoalan internasional di lapangan ekonomi, social, kebudayaan, atau
yang bersifat kemanusiaan, demikian pula dalam usaha-usaha
memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak-hak asasi
manusia dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua umat manusia
tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama, dan…..
Perwujudan dari Pasal 1 ayat (2) dan (3) Piagam PBB tersebut
direalisasikan dalam suatu hubungan antar-negara yang disebut dengan
hubungan diplomatik dengan aturan hukum internasional yaitu Konvensi
Wina 1961 yang mengatur tentang Hubungan Diplomatik. Pada pembukaan
Konvensi Wina 1961 disebutkan bahwa :
4 Febi Hidayat, “Pertanggungjawaban Negara Atas Pelanggaran Hak Kekebalan Diplomatik Ditinjau dari Aspek Hukum Internasional (Studi Kasus Penyadapan KBRI di Myanmar Tahun 2004), Skripsi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Sumatera Barat, 2011, hal.3
3
…“Having in mind the purposes and principles of the Charter of the United
Nations concerning the sovereign equality of States, the maintenance of
international peace and security, and the promotion of friendly relations
among nations”…
Disebutkan di atas bahwa pembentukan Konvensi Wina 1961 itu
sendiri ditujukan untuk menjalankan misi yang dimuat dalam Piagam PBB
yang mengakui persamaan kedaulatan negara, untuk menjaga perdamaian dan
ketertiban dunia dan untuk mempromosikan hubungan pertemanan yang baik
antara negara-negara. Hal inilah yang menjadi landasan hukum dibukanya
suatu hubungan diplomatik.
Dengan kata lain, hukum diplomatik merujuk pada norma-norma
hukum internasional yang mengatur tentang kedudukan dan fungsi misi
diplomatik yang dipertukarkan oleh Negara-negara yang telah membina
hubugan diplomatik.5 Pada masa dinasti-dinasti besar dunia praktik
pengutusan perwakilan dari kerajaan untuk berkunjung ataupun melakukan
misi-misi tertentu di wilayah kerajaan lain sudah banyak terjadi. Utusan yang
merupakan kurir atau penyampai pesan dari raja. Baik itu di kerajaan-kerjaan
Romawi kuno, Siria, Byzantium, Mesir, Babilonia, India dan China
memberikan perlakuan khusus terhadap utusan raja walaupun utusan tersebut
hanyalah seorang kurir atau penyampai pesan dari raja. Utusan tersebut tidak
5 Ibid.
4
boleh dibunuh, disakiti, dilukai ataupun disandera.6 Perlakuan khusus
terhadap utusan perwakilan diplomatik itu menjadi suatu kebiasaan dalam
hukum internasional. Seorang petugas perwakilan diplomatik memiliki
imunitas dan hak-hak keistimewaan lainnya dan diberlakukan sampai saat ini.
Pada masa pemrintahan Ratu Anne kerajaan Britania Raya (Inggris)
1706 Masehi yang memenjarakan Duta Besar Rusia dengan tuduhan
penipuan, kemudian Kaisar Russia mengirimkan ultimatum perang kepada
kerajaan Inggris karena penangkapan atas Duta Besarnya tersebut. Semenjak
itu kerajaan Inggris menyatakan bahwa “setiap perwakilan asing harus
dianggap suci, dan tidak dapat diganggu gugat” (inviolability). 7
Pemberian kekebalan dan keistimewaan pada utusan perwakilan diplomatik
ini didasarkan pada teori “Functional Necessity”. Menurut teori ini kekebalan dan
hak-hak istimewa seorang wakil diplomatik diberikan agar wakil-wakil diplomatik
dapat menjalankan tugas dan misinya dengan leluasa dan maksimal. Teori ini pula
yang dianut oleh Konvensi Wina 1961. Disebutkan dalam pembukaannya atau
preamble-nya dalam alinea ketiga :
…”Realizing that the purpose of such privileges and immunities is not to
benefit individuals but to ensure the efficient performance of the functions of
diplomatic missions as representing States” ( diartikan oleh penulis sebagai
“menyadari bahwa tujuan dari keistimewaan dan kekebalan tersebut tidak
6 Simon Szykman, “Diplomacy An Historical Perspective”. www.mellonuniversity.org diaakses tanggal 21 Desember 2013
7 Setyo Widagdo dan hanif Nur.S, Op. Cit, hal 79
5
untuk kepentingan pribadi melainkan untuk memastikan efisiensi dari
pelaksanaan fungsi dari perwakilan misi diplomatik”)
Pemberian kekebalan dan keistimewaan wakil-wakil diplomatik itu
untuk mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi misi diplomatik. Tugas
dan fungsi diplomatik ini diatur oleh Konvensi Wina 1961. Berdasarkan Pasal
3 Konvensi Wina 1961 tugas dan fungsi perwakilan diplomatik dan konsuler
adalah;
1. Representasi
2. Proteksi
3. Negosiasi
4. Pelaporan
5. Peningkatan Hubungan Persahabatan Antarnegara
Pemberian imunitas dan hak-hak keistimewaan tersebut tentunya
berdasar atas prinsip reciprocity antarnegara.8 Jadi dengan kata lain, jika
negara penerima memberikan perlakuan yang baik terhadap utusan dari
negara pengirim, maka kemungkinan besar negara pengirim juga akan
memberi perlakuan yang sama terhadap utusan dari negara penerima di negara
pengirim ataupun sebaliknya. Akan tetapi, perlakuan yang baik serta imunitas
dan hak-hak keistimewaan lainnya tersebut bukan berarti seorang petugas
diplomatik dapat berlaku di luar batas kewajaran dan kenormalan ataupun
melanggar aturan hukum dari negara penerima dengan sengaja. Para petugas
8 Ibid, hal. 80
6
diplomatik juga harus menghormati kedaulatan negara penerima dengan cara
tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan kerugian
ataupun mengancam serta ikut campur dalam urusan dalam negeri negara
penerima.
Dalam praktik hubungan diplomatik ini banyak sekali kepentingan-
kepentingan lain di luar dari misi diplomatik yang ditugaskan dari negara
pengirim. Misi diplomatik menjadi kamuflase dari misi spionase yakni
melakukan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mengetahui segala
aktivitas, tujuan, rencana, kapabilitas dan kelemahan-kelemahan musuh atau
negara yang dituju baik melalui cara penyadapan ataupun pengiriman agen-
agen intelejen yang berkedok diplomat serta kegiatan-kegiatan lain yang
bertentangan dengan hukum internasional. Tugas dan misi dari hubungan
diplomatik yang memberikan kekebalan dan hak-hak istimewa kepada wakil
diplomatik ini disalahgunakan untuk kepentingan lain di luar misi yang
seharusnya. Banyak kasus-kasus yang terjadi dari penyimpangan-
penyimpangan tugas dan fungsi diplomatik itu sendiri, seperti kasus
penyadapan di kedutaan-kedutaan besar, kasus spionase yang banyak terjadi
pada masa perang dunia,dan lain-lain. Contoh kasus adalah Ryan Fogle yaitu
seorang agen CIA (Central Intellegence Agency atau badan
intelijen pemerintah federal Amerika Serikat) yang didelegasikan oleh
pemerintah Amerika untuk berperan ganda sebagai petugas atau staf
7
diplomatik di kedutaan Amerika di Negara Rusia yang akhirnya dapat
diketahui dan ditangkap oleh FSB (Federalnaya Sluzhba Bezopasnosti –
Federal Security Service atau dinas kontra-intelijen Rusia).9 Pada tahun 2006,
terdapat kasus seorang atase Angkatan Laut Kedutaan Besar Amerika Serikat
di Venezuela dituduh melakukan praktik mata-mata berkedok misi
diplomatik.10
Begitu juga kasus penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap
Indonesia yang baru diketahui publik melalui pengakuan dari Edward
Snowden yaitu mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional Amerika
Serikat (NSA) yang membocorkan data rahasia NSA. Tindakan penyadapan
yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat dan Australia ini
bertentangan dengan Konvensi Wina 1961 tentang cara-cara yang dibenarkan
untuk mendapatkan informasi mengenai negara penerima dalam hubungan
diplomatik. Dengan kemajuan teknologi dan kurangnya aturan hukum yang
mengatur tentang tindakan penyadapan sangat memudahkan praktek-praktek
seperti ini. Terutama untuk negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan
Australia yang memiliki teknologi yang lebih tinggi dari teknologi Indonesia.
9 Kompasioner, “Spionase Fogle di Rusia: Keberhasilan FSB vs Kegagalan CIA”, http://luar-
negeri.kompasiana.com, di upload tanggal 21 Mei 2013
10 Rita Uli Hutapea, “AS-Venezuela Saling Usir Diplomat“, http://news.detik.com, Sabtu,
04/02/2006 11:10 WIB
8
Tindakan penyadapan seperti yang dilakukan oleh perwakilan Diplomatik
Australia tersebut tentunya mencedrai hubungan baik antar kedua negara.
Perbuatan tersebut juga tidak sesuai dengan prinsip umum dibentuknya suatu
perjanjian termasuk perjanjian untuk membuka hubungan diplomatik harus
berdasarkan tujuan atau niat yang baik dan tidak bertentangan dengan hukum
serta tidak sesuai dengan prinsip bertetangga yang baik antar-negara yang
bertujuan untuk menjaga perdamaian dunia. Oleh Karena banyaknya kasus-
kasus penyelewengan fungsi dan misi diplomatik seperti yang telah dijelaskan
di atas. Termasuk penyelewengan yang berhubungan dengan praktik
penyadapan yang banyak dikecam oleh negara-negara, namun tetap saja
terjadi dan dilakukan oleh hampir setiap negara. Melihat dari hal tersebut
diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul skripsi “IMPLIKASI
DARI PRAKTIK PENYADAPAN DALAM HUBUNGAN
DIPLOMATIK TERHADAP HUBUNGAN BILATERAL ANTARA
NEGARA PENGIRIM DAN NEGARA PENERIMA (Studi Kasus
Penyadapan Australia atas Pejabat Negara Indonesia 2013)”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peranan hukum internasional khususnya konvensi wina 1961
dalam mengatur masalah penyadapan antar negara?
9
2. Tindakan apakah yang dapat dilakukan oleh negara penerima sebagai
akibat dari praktik penyadapan kepada negara pengirim berdasarkan
hukum internasional?
3. Bagaimakah pengaturan hukum di Indonesia mengenai tindakan spionase
dari seorang perwakilan diplomatik?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui aturan Hukum Internasional mengenai spionase dalam
hubungan diplomatik berdasarkan konvensi Wina 1961?
2. Untuk mengetahui tindakan lain yang diatur oleh hukum intrnasional yang
dapat dilakukan oleh negara penerima terhadap wakil diplomatik negara
pengirim selain Persona non-Grata?
3. Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang praktik spionase di
Indonesia?
D. Manfaat Penelitian
Peniliti berharap penelitian ini memiliki manfaat praktis maupun manfaat
akademis bagi segenap civitas academica maupun masyarakat umum yang
berminat terhadap masalah-masalah spionase serta hukum diplomatik dan
konsuler :
1. Manfaat Teoritis
10
a. Agar menambah ilmu pengetahuan khususnya di bidang penguasaaan
tentang hukum internasional serta hukum diplomatik dan konsuler.
b. Agar mengetahui bagaimana pertanggungjawaban dari negara yang
yang melakukan tindakan spionase terhadap negara lain melalui misi
diplomatiknya.
c. Agar mengetahui bagaimana hukum internasional mengatur tentang
praktik spionase yang banyak terjadi hamper di setiap negara.
d. Agar dapat menerapkan pengetahuan tentang hukum internasional dan
hukum diplomatik dan konsuler yang didapat selama masa
perkuliahan.
2. Manfaat Praktis
a. Diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum
linternasional dan hukum diplomatik dan konsuler di Indonesia.
b. Dapat menjadi pertimbangan bagi negara-negara yang mengalami
kerugian berupa informasi penting yang disadap oleh negara lain di
wilayah negaranya sebagai akibat tindakan spionase yang dilakukan
oleh perwakilan diplomatik negara lain.
c. Menjadi bahan referensi bagi pembaca, baik mahasiswa, maupun
dosen ataupun masyarakat umum sehubungan dengan hukum
diplomatik dan konsuler.
11
E. Kerangka Pemikiran
a. Teori Dasar Pemberian Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik
1) Teori Fungsional (Functional Necessity Theory)
Functional Necessity Theory dalam bahasa Indonesia disebut
teori kebutuhan fungsional. Menurut teori ini, hak-hak istimewa
dan kekebalan diplomatik perlu diberikan kepada diplomat agar
dapat melaksanakan fungsinya secara optimal sehingga hasil
pekerjaannya memuaskan negara penerima dan negara pengirim.11
Hak-hak keistimewaan lainnya yang dimiliki oleh seorang pejabat
diplomatik sesuai dengan yang dimuat oleh Pasal 27 Konvensi Wina 1961
antara lain adalah “freedom of communication” kebebasan berkomunikasi.
Kebebasan berkomunikasi yang dimaksud adalah para pejabat diplomatik
dalam menjalankan tugasnya mempunyai kebebasan penuh dan dalam
kerahasian untuk berkomunikasi dengan pemerintahnya. Kebebasan
berkomunikasi ini juga berlaku bagi semua korespondensi resmi antara
suatu perwakilan dengan pemerintahnya dan kebebasan ini harus
dilindungi oleh negara penerima. Surat menyurat para pejabat diplomatik
tidak boleh digeledah, ditahan atau disensor oleh negara penerima. Suatu
perwakilan asing dapat menggunakan kode dan sandi rahasia dalam
11 Ibid, hal. 120
12
komunikasinya dengan pusat sedangkan instalasi radio dan pemancar
radio hanya dapat dilakukan atas izin negara setempat.12
b. Pasal 41 Ayat (3) Konvensi Wina 1961 yang berbunyi “Gedung (kantor)
perwakilan diplomatik tidak boleh digunakan untuk tujuan yang tidak
sesuai dengan fungsi misi sebagaimana dituangkan di dalam konvensi ini
atau aturan umum hukum internasional atau oleh perjanjian khusus yang
berlaku diantara negara pengirim dan negara penerima”. Dengan
ketentuan yang terdapat pada pasal ini terlihat bahwa bisa bertindaknya
aparat keamanan terhadap perwakilan negara asing hanya terbatas pada
tindakan-tindakan yang dianggap membahayakan.
c. Teori Par Im Paren Non Habet Imperium
Maksudnya adalah negara tidak dapat menjalankan yurisdiksinya terhadap
negara berdaulat lainnya, yang dalam hal ini kepala perwakilan
diplomatik.13 Artinya negara pengirim tudak dapat menerapkan yursdiksi
hukum negaranya di wilayah negara penerima. Pemberian keistimewaan-
keistimewaan seorang pejabat diplomatik itu didasarkan pada hukum
kebiasaan internasional guna memberikan keleluasaan seorang pejabat
diplomatik dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, baik negara
pengirim ataupun pejabat diplomatik tidak dapat berlaku sewenang-
12 Edy Suryono dan Moenir Arisoendha, Hukum Diplomatik: Kekebalan dan keistimewaanya, Angkasa, Bandung, 1991, hal. 39
13 A. Mansyur Effendi, “Hukum Konsuler, Hukum Diplomatik serta Hak dan Kewajiban Wakil-Wakil Organisasi Internasional/Negara”, IKIP Malang, 1994, hal. 44
13
wenang dengan mengenyampingkan hukum negara penerima seperti
melakukan penyadapan.
d. Azas Resiprositas
Teori ini didasarkan pada tindakan yang dilakukan atas dasar
hubungan timbal balik dan saling menguntungkan antara kedua belah
pihak negara, yakni dalam hal ini negara penerima maupun negara
pengirim. Jadi dengan adanya perwakilan diplomatik antar kedua negara,
menyebabkan terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik dan
tentunya saling menguntungkan antara masing-masing pihak. Jadi, jika
suatu negara menginginkan suatu perlakuan yang baik dari negara lain,
maka negara tersebut juga harus memberi perlakuan yang baik terhadap
negara yang bersangkutan.14
e. Pertanggungjawaban Negara
Hukum internasional merupakan hukum yang pada dasarnya mengatur
hubungan antar negara-negara. Kaitannya dengan hukum
pertanggungjawaban yaitu dengan cirri utamanya, menempatkan negara
sebagai subyek utama. Hal ini sesuai dengan yang terdapat dalam pasal
pertama mengenai tanggung jawab dalam hukum internasional oleh the
International Law Commission atau Komisi Hukum Internasional (yang
selanjutnya disingkat dengan ILC), yang menyatakan: “setiap tindakan
negara yang salah secara internasional membebani kewajiban negara
14 Eddy O.S. Hiariej,”Pengantar Hukum Pidana Internasional”, Erlangga, Jakarta, 2009, hlm. 41
14
bersangkutan (every internationally wrongfull act of a state entails the
international responsibility of that state)”.15 Tanggung jawab muncul
diakibatkan oleh pelanggaran atas hukum internasional. Suatu negara
tersebut melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional, yang mana
dalam kasus tersebut diatas yang terjadi adalah pelanggaran terhadap
kekebalan berkomunikasi oleh negara penerima. Pertanggungjawaban
negara berbeda-beda kadarnya tergantung pada kewajiban yang
diembannya atau besar kerugian yang telah ditimbulkan. Semua hak yang
berkarakter internasional memiliki pertanggungjawaban internasional.
f. Azas Pacta Sunt Servanda
Berdasarkan teori ini bahwa suatu perjanjian internasional adalah
dianggap sebagai undang-undang oleh para pihak-pihak yang telah
membuat perjanjian tersebut dan segera meratifikasinya menjadi hukum
nasional di negara mereka masing-masing. Prinsip ini juga mensyaratkan
bahwa kesepakatan atau perjanjian yang telah ditandatangani harus
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.16
g. Teori-teori Mengenai Hubungan Antara Hukum Internasional dan
Hukum Nasional
- Teori Monisme
15 J. Thontowi dan Pranoto Iskandar, “Hukum Internasional kontemporer”, Refika Aditama, Bandung, 2006, hal.196
16 J.B. Daliyo, et. al., “Pengantar Hukum Indonesia”, PT. Prehallindo, Jakarta, 1987, hlm. 205.
15
Teori mengatakan bahwa hukum internasional dan hukum
nasional merupakan dua aspek yang sama dari satu sistem, yaitu
hukum pada umumnya. Semua hukum dianggap sebagai suatu
ketentuan tunggal yang tersusun dari kaidah-kaidah hukum yang
mengikat negara-negara, individu-individu, atau kesatuan-kesatuan
lain yang bukan negara.17 Anggapan demikian didasarkan pada
karakteristik isi dari hukum itu sendiri. Hukum nasional dan hukum
internasional merupakan bagian dari himpunan peraturan yang
universal, yang mengikat semua oknum, baik secara kolektif maupun
secara individual.
- Teori Dualisme
Hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua sistem
hukum yang berbeda sama sekali, hukum internasional dan hukum
nasional berbeda sama sekali secara instrinsik. Menurut Triepel,
terdapat perbedaan fundamental di antara kedua sistem hukum
tersebut, yaitu :
a) Subyek-subyek hukum nasional adalah individu-individu,
sedangkan subyek-subyek hukum internasional adalah
semata-mata dan secara ekslusif hanya negara-negara.
b) Sumber-sumber hukum keduanya berbeda : sumber hukum
nasional adalah kehendak negara itu sendiri, sumber hukum
17 J. G. Starke, Op. Cit, hal 98
16
internasional adalah kehendak bersama (gemenwille) dari
negara-negara.18
Menurut Anziloti hukum internasional dan hukum nasional berbeda
menurut prinsip-prinsip fundamental dengan mana masing-masing
sistem itu ditentukan. Pentaatan terhadap perundang-undangan negara
didasarkan pada prinsip atau norma fundamental, sedangkan pentaatan
terhadap hukum internasional didasarkan pada azas pacta sunt
servanda.19
h. Teori Tarnsformasi dan teori delegasi
- Teori transformasi
Teori ini membedakan antara traktat yang bersifat janji (promises)
dengan undang-undang yang bersifat perintah (command). Akibat
dari perbedaan mendasar ini adalah diperlukannya suatu transformasi
dari satu tipe kepada tipe yang lain baik secara formal maupun secara
subtantif.20
- Teori delegasi
Menurut teori ini ada pendelegasian dari hukum internasional kepada
konstitusi hukum nasional mengenai hak-hak pemberlakuan traktat
atau konvensi. Mengenai prosedur atau cara-cara pengadopsian
18 Triepel, dalam J.G. Starke. Op. Cit, hal 9719 Ibid.20 Ibid, hal 102
17
hukum internasional ke hukum nasional merupakan diskresi negara
sepanjang tidak bertentangan dengan hukum. Prosedur ratifikasi dan
asas publisitas yang bervariasi. Teori ini pula yang dianut oleh
Indonesia.
F. METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Dalam penulisan karya tulis ini akan digunakan pendekatan Yuridis
Normatif, atau penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.21
Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup:22
1. Penelitian terhadap asas-asas hukum
2. Penelitian terhadap sistematik hukum
3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal
4. Perbandingan hukum
5. Sejarah hukum
2. Jenis Data
Dalam penelitian hukum normatif sumber datanya adalah data
sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi 3
(tiga):
21 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 13-14
22 Ibid, hal. 14
18
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat pokok
yang menjadi acuan dasar penulisan skripsi ini.14 Bahan hukum
primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi dan
petusan-putusan hakim.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer.16 Bahan hukum sekunder
ini dapat berupa buku-buku hukum termasuk skripsi, disertasi hukum,
dan jurnal-jurnal hukum.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan tentang bahan hukum primer dan
sekunder, misalnya kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan
lain sebagainya.
3. Metode Pengumpulan Data
Agar didapat hasil yang baik, maka perlu didukung dengan tersedianya
data yang cukup dan akurat. Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi kepustakaan. Sumber data diperoleh dari data sekunder
seperti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, literatur hukum, hasil-hasil
19
penelitian, perjanjian internasional/konvensi, buku-buku, majalah, tesis,
makalah dan sebagainya, yang peneliti temukan pada:
a. Perpustakaan Universitas Negeri Padjajaran Bandung
b. Perpustakaan Universitas Islam Bandung
c. Buku-buku dan jurnal koleksi dosen
d. Buku-buku, majalah, dan literatur hukum koleksi pribadi penulis
4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Adapun pengolahan dan Analisis data yang digunkan adalah Analisis
Kualitatif, yaitu berupa uraian terhadap data yang terkumpul dengan tidak
menggunakan angka, tetapi berdasarkan peraturan perundang-undangan,
pandangan para pakar hukum, literature hukum, hasil-hasil penelitian,
perjanjian internasional/konvensi, dan sebagainya.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penelitian ini dibagi menjadi 5 (lima) bab, yang masing-
masing bab terdiri atas ;
BAB I. Pendahuluan
Bab ini berisi uraian latar belakang dari pokok permasalahan.
Sub bab nya terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
20
BAB II. Tinjauan Pustaka
Pada bab ini dikaji teori-teori ilmiah yang berhubungan dengan
konsep-konsep yang dipermasalahkan dan dipakai dalam analisis
terhadap masalah yang diteliti. Kajiannya mencakup negara sebagai
subyek hukum internasional, syarat-syarat berdirinya sebuah negara,
hubungan dan hukum diplomatik, tugas dan fungsi misi diplomatik,
penyelesaian permasalahan diplomatik.
BAB III. Metode Penelitian
Pada bab ini diuraikan tentang metode yang digunakan dalam
penelitian, yang dihubungkan dengan fakta-fakta dari berbagai
sumber mengenai tindakan penyadapan dan spionase yang
dilakukan oleh kedutaan Amerika Serikat dan Australia di
Indonesia.
BAB IV. Hasil Pembahasan dan Kegunaan
Pada bab ini ditulis laporan rinci pelaksanaan kegiatan
penelitian berikut hasil-hasil penelitian yang dikumpulkan dan
dianalisis dari bahan-bahan hukum yang digunakan. Hal ini
dilakukan dengan cara studi kepustakaan dengan melihat ketentuan-
21
ketentuan hukum lingkungan internasional dan hukum humaniter,
buku-buku, jurnal, artikel berita, yurisprudensi serta teori-teori para
sarjana yang dijadikan sumber kebiasaan dalam hukum
internasional yang berkaitan dengan masalah yang akana dibahas.
BAB V. Penutup
Mengemukakan rangkuman hasil penelitian dan analisis bab-
bab terdahulu sehingga dapat ditarik kesimpulan dan saran atas
analisis yang dilakukan berdasarkan pokok-pokok permasalahan.
22
DAFTAR PUSTAKA
Daliyo, J.B. et. al., “Pengantar Hukum Indonesia”, PT. Prehallindo, Jakarta, 1987.
Eddy O.S. Hiariej,”Pengantar Hukum Pidana Internasional”, Erlangga, Jakarta,
2009.
Edy Suryono dan Moenir Arisoendha, “Hukum Diplomatik: Kekebalan dan
keistimewaanya”, Angkasa, Bandung, 1991.
J. Thontowi dan Pranoto Iskandar, “Hukum Internasional Kontemporer”, Refika
Aditama, 2006.
Quincy Wright “The Study of International Relations” dalam Setyo Widagdo dan
Hanif Nur “Hukum diplomatik dan Konsuler”, Bayumedia, Malang, 2008.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009.
Starke, J. G. “Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh”, Sinar Grafika,
Jakarta, 1988.
Syahmin, Ak, “Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis”, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2008.
Parthiana, Wayan, “Pengantar Hukum Internasional”, Mandar Maju, Bandung, 1999.
A. Mansyur Effendi, “Hukum Konsuler, Hukum Diplomatik serta Hak dan Kewajiban
Wakil-Wakil Organisasi Internasional/Negara”, IKIP Malang, 1994.
23
Febi Hidayat, “Pertanggungjawaban Negara Atas Pelanggaran Hak Kekebalan
Diplomatik Ditinjau dari Aspek Hukum Internasional (Studi Kasus Penyadapan
KBRI di Myanmar Tahun 2004)”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Andalas,
Sumatera Barat, 2011.
Hutapea, Rita Uli, “AS-Venezuela Saling Usir Diplomat“, http://news.detik.com,
2006.
Kompasioner, “Spionase Fogle di Rusia: Keberhasilan FSB vs Kegagalan CIA”,
http://luar-negeri.kompasiana.com, di upload tanggal 21 Mei 2013.
Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak-hak dan Kewajiban Negara
Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa 1973
24
BAB. II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Hukum Diplomatik
Hukum diplomatik sebelum menjadi hukum tekstual yang dituangkan
dalam Konvensi Wina 1961 merupakan hukum kebiasaan internasional yang
sudah dikenal dan dilakukan oleh kerajaaan-kerajaan kuno di dunia.
Pertukaran misi diplomatik ataupun utusan dari kerajaan menjadi agenda dari
kerajaan. Sejarah membuktikan bahwa jauh sebelum bangsa-bangsa di dunia
mengenal dan menjalankan praktik hubungan diplomatik secara tetap seperti
yang ada sekarang, pada zaman India Kuno telah dikenal ketentuan-ketentuan
atau kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antar raja-raja ataupun kerajaan,
dimana hukum bangsa-bangsa pada waktu itu telah mengenal istilah “duta”.23
Penerimaan duta-duta ke negara asing sudah dikenal di kerajaan-
kerajaan Indonesia dan negara-ngera Asia serta Arab sebelum negara-negara
barat mengetahuinya. Di benua Eropa, baru pada abad ke-16 soal pengiriman
dan penempatan duta itu diatur menurut hukum kebiasaan.24 Karena
banyaknya kepentingan negara yang diatur dalam hukum kebiasaan
internasional mengenai hubungan diplomatik, barulah pada abad ke-19
pembicaraan tentang pengkodifikasian hukum diplomatik ini dilakukan,
23 Setyo widagdo dan Hanif Nur,”Hukum Diplomatik dan Konsuler”, Bayumedia, Bandung, 2008, hal 9.24 Ibid.
25
dimulai dengan Konvensi Wina 1815, kemudian Protokol “Aixla-Chapelle”
1818. Pada saat telah dibentuknya Liga Bangsa-Bangsa usaha untuk
mengkodifikasi aturan hukum tekstual mengenai hukum diplomatik ini masih
dilanjutkan yakni pada tahun 1927, konfrensi Den Haag 1930. Kemudian
setelah terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Komisi Hukum
Internasional merancang aturan-aturan hukum diplomatik 1949-1979.
Keluarlah hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik yaitu
tanggal 2 Maret sampai 14 April 1961 atau dieknal dengan Konvensi Wina
1961 dan Konvensi Wina 1963 tentang hubungan konsuler.
Negara merupakan subyek hukum utama hukum internasional, oleh
karena itu negara dapat melakukan tindakan hukum layaknya subyek hukum
lainnya. Salah satunya adalah membuka hubungan diplomatik dengan negara
lain. Namun, berdasarkan Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 mengenai Hak-
hak dan Kewajiban-kewajiban Negara mensyaratkan suatu negara yang dapat
dikatakan sebagai subyek hukum internasional harus memenuhi karateristik-
karakterstik sebagai berikut :
a. Memiliki penduduk tetap
Artinya dalam hal ini dalam suatu negara haruslah memiliki penduduk
yang tinggal, dan terdaftar tetap sebagai warga negara dari negara
tersebut dan bukan merupakan penduduk yang bersifat sementara
kemudian berpindah kepada negara lain.
b. Wilayah tertentu
26
Sebuah negara haruslah memiliki wilayah territorial yang jelas dan
permanen. Dimana negara itu nanti akan menjalankan yurisdiksi
hukumnya pada wilayah tersebut. Seperti halnya Negara Indonesia
yang memiliki ribuan pulau yang menyebar dari Sabang sampai
Merauke serta kepemilikan atas wilayah laut yang memisahkan pulau-
pulau di Indonesia.
c. Pemerintahan yang berdaulat
Suatu negara harus dipimpin dan dijalankan oleh suatu rezim
pemerintahan. Baik itu bentuk negara monarki ataupun republik atau
dengan sistem pemerintahan presidensiil ataupun parlementer.
d. Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain
Dalam hukum internasional, syarat (d) merupakan syarat yang paling
penting. Suatu negara harus memiliki kemampuan untuk
menyelenggarakan hubungan-hubungan ekstern dengan negara-negara
lain. Hal ini yang membedakan negara dalam arti sesungguhnya dari
unit-unit yang lebih kecil seperti anggota-anggota suatu federasi, atau
protektorat-protektorat, yang tidak mengurus hubungan-hubungan luar
negerinya sendiri, dan tidak diakui oleh negara-negara lain sebagai
anggota masyarakat internasional yang sepenuhnya mandiri.25
25 J. G. Starke, “Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh”, Sinar Grafika, Jakarta, 1988, hal 127-128.
27
Syarat (d) di atas dapat menjadi kewajiban yang harus dilakukan oleh
suatu negara yaitu berinteraksi dengan negara lain, salah satunya adalah
dengan melakukan hubungan kerjasama dan diplomatik. Hubungan
internasional atau lintas negara semacam ini harus dilandasi dengan maksud
dan tujuan-tujuan yang baik (good offices). Menurut Hugo de Groot, bahwa
dalam hubungan internasional asas persamaan derajat merupakan dasar yang
menjadi kemauan bebas dan persetujuan dari beberapa atau semua negara.
Tujuannya adalah untuk kepentingan bersama dari mereka yang menyatukan
diri di dalamnya. Dalam hubungan internasional, dikenal beberapa asas yang
didasarkan pada daerah dan ruang lingkup berlakunya ketentuan hukum bagi
daerah dan warga negara masing-masing.
a. Asas Teritorial
Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara atas daerahnya.
Menurut asas ini, negara melaksanakan hukum bagi semua orang dan
semua barang yang ada di wilayahnya. Jadi, terhadap semua barang atau
orang yang berada di luar wilayah tersebut, berlaku hukum asing
(internasional) sepenuhnya.
b. Asas Kebangsaan
Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara untuk warga negaranya.
Menurut asas ini, setiap warga negara di manapun ia berada, tetap
menapat perlakuan hukum dari negaranya. Asas ini mempunyai
28
kekuatan exteritorial. Artinya hukum dari negara tersebut tetap berlaku
juga bagi warga negaranya, walaupun berada di negara asing.
c. Asas Kepentingan Umum
Asas ini didasarkan pada wewenang negara untuk melindungi dan
mengatur kepentingan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini,
negara dapat menyesuaikan diri dengan semua keadaan dan peristiwa
yang bersangkut paut dengan kepentingan umum. Jadi, hukum tidak
terikat pada batas-batas wilayah suatu negara. Apabila ketiga asas ini
tidak diperhatikan, akan timbul kekacauan hukum dalam hubungan antar
bangsa (internasional). Oleh sebab itu, antara satu negara dengan negara
lain perlua ada hubungan yang teratur dan tertib dalam bentuk hukum
internasional. Walaupun demikian, kerapkali masih terdapat masalah
dan pertikaian-pertikaian yang perlu dipecahkan. Misalnya persoalan
dwi-kewarganegaraan, batas-batas negara, wajib militer dan wajib
pajak.26
Hubungan internasional ini memiliki banyak cabang, salah satunya
adalah hubungan diplomatik. Berasal dari kata “diplomacy” yang memiliki
arti yang berbeda-beda dari para ahli. Sir ernest Satow memberikan batasan
diplomasi sebagai berikut.
26 Tumija Adi Prawira, “Hubungan Internasional”, www.ayobelajar.com, di upload tanggal 15 Maret 2011
29
“……Application of intelligence and tact to conduct of official relations
between the Goverments of independent states, extending sometimes also to
their relations with vassal states or more briefly still, the conduct of business
between states by peaceful means.”27 (diterjemahkan oleh penulis yaitu cara-
cara atau kemampuan dan keahlian untuk mengadakan hubungan resmi antar-
pemerintahan dari suatu negara yang berdaulat, bahkan dengan negara-negara
yang dijajah atau sedang memperjuangkan kemerdekaannya, dengan cara dan
tujuan untuk perdamaian).
Kemudian Quency Wright dalam bukunya “The study of International
Relaions” memberikan batasan dalam dua hal.
1) The employment of tact, shrewdness and skill in any negotiation or
transaction (kemampuan dari kebijaksanaan, kelihaian dan
keterampilan dalam setiap negosiasi atau transaksi)
2) The art of negotiation in order to achieve the maximum of cost within
a system of politics in which war is a possibility.28( seni dari negosiasi
dalam usaha pencapaian nilai tertinggi dalam suatu sistem politik di
mana perang menjadi kemungkinan terbesar yang akan terjadi).29
27 Husni Syam, SH., LL.M, “Hukum Diplomatik dan Konsuler”, hand out bahan kuliah tanggal 6 Oktober 2013, hal 2
28 Quincy Wright “The Study of International Relations” dalam Setyo Widagdo dan Hanif Nur “Hukum diplomatik dan Konsuler, Bayumedia, Malang, 2008, hal. 529 Setyo Widagdo dan Hanif Nur, Op. Cit, hal 5.
30
Hubungan diplomatik ini diatur oleh hukum diplomatik, hukum
diplomatik itu sendiri merupakan cabang hukum internasional yang terdiri
dari seperangkat aturan-aturan dan norma-norma hukum yang menetapkan
kedudukan dan fungsi para diplomat termasuk bentuk-bentuk organisasional
dari dinas diplomatik.30 Pengertian hukum diplomatik pada hakekatnya
merupakan ketentuan-ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional
yang mengatur hubungan diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar
permufakatan bersama dan ketentuan atau prinsip tersebut dituangkan dalam
instrumen-instrumen hukum sebagai hasil kodifikasi hukum kebiasaan
internasional dan pengembangan hukum internasional.31 Sumber hukum dari
hukum diplomatik selalin yang dimuat dalam Pasal 38 Statuta mahkamah
Internasional antara lain ;
1. The Final Act of The Congress of Vienna (1815) on Diplomatic Ranks;
2. Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocol
(1961), termasuk di dalamnya:
a. Vienna Convention on Diplomatic Relations;
b. Optional Protocol Concerning Acquisition of Nationality
c. Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes
3. Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocol
1963, yang memuat :
30 Jan Osmancyk, dalam Husni Syam, Op. Cit hal 331 Sumaryo Suryokusumo. Hukum Dilomatik, Teori dan Kasus, Alumni, Bandung, 2005, hal.5.
31
a. Vienna Convention on Consular Relations;
b. Optional Protocol Concerning Acquisition of Nationality;
c. Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes
4. Convention on Special Mission and Optional Protocol (1969), yang di
dalamnya memuat :
a. Convention on Special Mission;
b. Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes
5. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against
Internatioally Protected Persons, including Diplomtic Agents (1973)
6. Vienna Convention on the Reperesentation of State in their Relations
with International Organization of a Universal Character (1975).32
B. Prinsip-Prinsip Dalam Hukum Diplomatik
1. Mutual Consent/ Kesepakatan
Menurut Pasal 2 Konvensi Wina 1961 menyatakan bahwa :
”The establishment of diplomatic relations between States, and of
permanent diplomatic missions, takes place by mutual consent.”
(diterjemahkan oleh penulis sebagai “syarat untuk membuka hubungan
diplomatik antar-negara dan melaksanakan misi-misi diplomatik yang
bersifat permanen (bukan misi khusus yang bersifat ad hoc) harus
berdasarkan kesepakatan bersama”).
32 Setyo Widagdo dan Hanif Nur, Op. Cit, hal 16
32
Untuk membuka suatu hubungan diplomatik harus berdasarkan
kesepakatan dari negara pengirim dan negara penerima misi dan pejabat
diplomatik. Harus ada prosedur pendelegasian pejabat diplmatik danada
penerimaan resmi dari negara atau pemerintahan negara dimana suatu
misi diplomatik akan diakreditasikan. Untuk itu pembukaan suatu
hubungan diplomatik merupakan hak dari negara (Right to Legation)
2. Inviolabilitas
Pasal 29 Konvensi Wina 1961 menyatakan bahwa :
“The person of a diplomatic agent shall be inviolable. He shall not
liable to any form of arrest or detention. The receiving state shall treat
him with due respect and shall take all appropriate steps to pre-vent
any attack on his person, freedom or dignity”. (Diterjemahkan oleh
penulis sebagai “seorang utusan diplomatik harus tidak dapat diganggu
gugat. Dia tidak dapat dikenakan penahanan atau penghukuman dalam
bentuk lainnya. Negara penerima harus memperlakukan utusan
perwakilan diplomatik dengan hormat dan melakukan segala bentuk
tindakan yang diperlukan untuk mencegah tindakan kekerasan atau
tindakan lain yang dapat mengancam kebebasan dan kehormatannya”)
Pengaturan mengenai inviolabilitas ini diatur dalam pasal 22-29
Konvensi Wina 1961. Inviolability diartikan sebagai kekebalan terhadap
alat-alat kekuasaan negara penerima dan kekebalan terhadap segala
33
gangguan yang merugikan sehingga di sini terkandung pengertian
memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari alat-alat kekuasaan
negara penerima. Sementara Immunity diartikan sebagai kekebalan
terhadap yurisdiksi dari negara penerima, baik hukum pidana maupun
perdata.33
3. Reasonable and Normal
33 Setyo Widagdo dan Hanif Nur.s, Op. Cit, hal 100