infeksi respiratori akut
DESCRIPTION
infeksi respiratori akutttTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Infeksi respiratorik akut (IRA) atau Infeksi saluran napas akut (ISPA)
merupakan penyebab terpenting morbiditas dan mortalitas pada anak. Kelompok
usia 6-23 bulan adalah kelompok umur paling rentan untuk mengalami IRA
(Nasution, dkk., 2008).
Kejadian penyakit IRA di Indonesia masih cukup tinggi terutama pada anak -
anak yaitu pada kelompok Balita. Sekitar 20% - 30% kematian anak balita
disebabkan oleh penyakit IRA. Pelaksanaan program pemberantasan penyakit
IRA di Indonesia telah dilakukan mulai tahun 1984, walaupun demikian sampai
saat ini penyakit tersebut masih menjadi masalah kesehatan masyarakat (Agung,
dkk., 2006).
IRA paling sering terjadi pada anak. Di Indonesia, kasus IRA menempati
urutan pertama dalam jumlah pasien rawat jalan terbanyak. Hal ini menunjukkan
angka kesakitan akibat IRA masih tinggi. Kasus IRA merupakan 50% dari seluruh
penyakit pada anak berusia di bawah 5 tahun dan 30% pada anak berusia 5-12
tahun. Puncak insiden biasanya terjadi pada usia 2-3 tahun. Insiden IRA di negara
berkembang adalah 2-10 kali lebih banyak daripada negara maju. Di negara maju
IRA didominasi oleh virus, sedangkan di negara berkembang oleh bakteri. Di
negara berkembang IRA dapat menyebabkan 10-25% kematian dengan 1/3-1/2
kematian pada balita. Sedangkan pada bayi, angka kematian mencapai 45 per
1000 kelahiran kehidupan (Wantania, dkk., 2008).
Tahun 2010, pemerintah telah merencanakan untuk menurunkan angka
kesakitan akibat IRA hingga 3 per 1000 balita. Akan tetapi keberhasilannya
bergantung pada banyaknya faktor risiko (Wantania, dkk., 2008).
B. TUJUAN
Untuk mengetahui klasifikasi IRA/ISPA dan faktor risiko sehingga
diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan akibat IRA/ISPA, serta dapat
mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan dengan benar dan akurat.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI
Secara umum saluran udara pernafasan adalah sebagai berikut :
Nares anterior (apertura nasalis anterior) cavitas nasalis choanae
(apertura nasalis posterior) nasopharynx larynx trachea bronchus
primarius (bronchus principalis) bronchus secundus (bronchus lobaris)
bronchus tertius (bronchus segmentalis) bronchiolus bronchiolus terminalis
bronchiolus respiratorius ductus alveolaris atrium alveolaris sacculus
alveolaris alveolus
1. Trachea
Merupakan tabung cartilaginea dari larynx hingga pangkal bronchus. Setinggi
vertebrae cervicalis VI (sebelah caudal cartilago cricoidea) hingga vertebrae
thoracalis IV-V, saat inspirasi turun hingga vertebrae thoracalis VI.
Setinggi pertengahan vertebra thoracalis IV-V, trache bercabang menjadi
bronchus primarius dexter dan sinister. Percabangan ini disebut bifurcatio trachea
VASCULARISASI INNERVASI SYSTEMA LYMPHATICA
Trachea mendapat suplai darah arterial dari:1) R. Trachealis a. Thyroidea
superior2) Cabang-cabang
a.thyroidea inferior3) A. Bronchialis cabang
aorta descendens p4) Pars thoracis (setinggi
vertebrae V)Sedangkan darah venosa dari trachea dialirkan ke v. Thyroidea superior
Parasymphatis :N Vagus beserta cabangnya n. Laryngeus recurrens menyebabkan kontraksi sehingga terjadi penyempitan lumen dan hipersekresi kelenjar
Symphatis : Truncus symphaticus efeknya berlawanan dengan symphaticus
Cairan lymphe pada trachea akan dialirkan menuju: Nodus lymphaticus
tracheobronchialis Nodus lymphaticus
trachealis Nodus lymphaticus
cervicalis
2. Bronchus primarius
Membentang mulai dari bifurcatio trachea hingga hilum pulmonalis. Terbagi
menjadi dua, yaitu : Bronchus Primarius Dexter dan Bronchus Primarius Sinister
2
Kategori Bronchus primarius Dexter Bronchus primarius SinisterUkuran Panjang
Lebih pendek1-4 cmRata-rata 2 cm
PanjangAntara 5-7 cmRata-rata 5 cm
Lebar Penampang Lebih lebarDiameter lebih panjang
Lebih sempitDiameter lebih pendek
Posisi Lebih tegakMembentuk sudut sekitar 250
terhadap linea mediana
Lebih datar / horizontalMembentuk sudut sekitar 450
terhadap linea mediana
3. Bronchus secundus
Jumlahnya sama dengan jumlah lobus pada pulmo sehingga sering disebut
bronchus lobaris.
Penamaan bronchus secundus didasarkan atas letaknya terhadap a.pulmonalis
Di atas a.pulmonalis disebut bronchus secundus eparterialis
Di bawah a.pulmonalis disebut bronchus secundus hiparterialis
a. Bronchus secundus dexter
Berjumlah tiga sesuai lobus pulmo dexter. Masuk ke hilus pulmonalis
setinggi vertebrae thoracalis V.
Terdiri dari 1 buah bronchus secundus eparterialis dan 2 buah bronchus
secundus hiparterialis.
b. Bronchus secundus sinister
Berjumlah dua sesuai jumlah lobus pulmo sinister. Masuk kedalam hilum
pulmonalis setinggi vertebrae thoracalis VI. Keduanya adalah bronchus
secundus hiparterialis.
4. Bronchus tertius
Mempunyai jumlah sesuai jumlah segmen tiap lobus dalam pulmo. Dalam
tiap pulmo terdapat 10 yang berasal dari bronchus secundus.
Pulmo dexter terdiri dari lobus superior mempunyai bronkus segmentalis 1-3,
lobus medius mempunyai bronkus segmentalis 2-5, dan lobus inferior
mempunya bronkus segmentalis 6-10. Pada pulmo sinister, lobus superior
mempunyai bronkus segmentalis 1-5 dan lobus inferior mempunyai bronkus
segmentalis 6-10.
3
5. Cabang-cabang bronchus tertius
Dari bronchus segmentalis ini akan muncul bronchiolus. Bronchiolus 4-5
bronchioli terminalis bronchiolus respiratosius ductus alveolaris
saculus alveolaris alveoli.
6. Pulmo
Pulmo terbagi 2:
a. Pulmo dexter
Terdiri dari 3 lobus, yaitu lobus superius, medius, dan inferius.
Bangunannya:
1) Apex pulmonis dextra
2) Facies mediastinalis
3) Facies costalis
b. Pulmo sinister
Terdiri dari 2 lobus, yaitu lobus superius dan inferius.
Bangunannya:
1) Apex pulmonalis sinistra
2) Facies mediastinalis
3) Facies costalis
Vaskularisasi Inervasi Sistema Lymphatica
1. Arteri pulmonalisMembawa darah yang akan dioksigenasi dalam pulmo.
2. Arteri bronchialisMembawa darah untuk nutrisi jaringan pulmo.
1. ParasimpatisN. Vagus
2. SimpatisTruncus simpaticus (vertebrae thoracalis 1-4)Keduanya membentuk plexus anterior dexter dan sinister yang terletak di ventral hilus pulmonalis dan plexus pulmonalis posterior di dorsal hilus pulmonalis.
Akan menerima aliran limfe dari cabang bronchus vasa pulmonalis dan jaringan ikat pulmo vasa lymphatica septa lobulus secundus hilus pulmonalis nodus lymphaticus broncho pulmonalis.
4
B. FISIOLOGI
Secara fungsional saluran pernapasan dibagi menjdai 2 bagian:
1. Zona konduksi
Terdiri dari hidung, faring, trakea, bronkus, dan bronkiolus terminalis.
2. Zona respiratorik
Terdiri dari bronkiolus respiratorik, sacus alveoli, dan alveol.
Proses respirasi berlangsung beberapa tahap, yaitu:
1. Ventilasi
Adalah proses pergerakan udara ke dan dari dalam paru. Terdiri atas 2
tahap, yaitu:
a. Proses inspirasi
Kontraksi otot diafragma dan intercostalis eksterna volume thoraks
membesar tekanan intra pleura menurun paru mengembang
tekanan inta alveoli menurun (mencapai -30 mmHg) udara masuk
ke dalam paru.
b. Proses ekspirasi
Otot inspirasi relaksasi volume thoraks mengecil tekanan intra
pleura meningkat volume paru mengecil tekanan intra alveoli
meningkat (+1 mmHg sampai +3 mmHg) udara keluar paru.
2. Pernapasan luar
Pertukaran gas di dalam alveoli dan darah.
3. Transportasi gas melalui darah
4. Pernapasan dalam
Pertukaran gas antara darah dan sel jaringan.
5. Pernapasan seluler
Metabolisme penggunaan O2 di dalam sel serta pembuatan CO2.
5
C. DEFINISI
Infeksi respiratorius adalah infeksi mulai infeksi saluran napas atas dan
adneksanya hingga parenkim paru. Sedangkan pengertian akut merupakan infeksi
yang berlangsung hingga 14 hari. Infeksi respiratorius atas adalah infeksi primer
respiratori di atas laring, sedangkan infeksi laring ke bawah disebut infeksi
respiratori bawah (Wantania, dkk., 2008).
ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang
disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia, tanpa atau
disertai radang parenkim paru (Alsagaff, dkk., 2009).
D. ETIOLOGI
ISPA dapat disebabkan oleh virus, bakteri, maupun riketsia. Dalam klinis
dikenal 6 kelompok besar virus pernafasan sebagai penyebab ISPA.
Group Virus Sub Group Tipe
Orthomyxovirus Influenza Virus A
B
C
Paramyxovirus Para influenza virus 1-4
Metamyxovirus Respiratory syncytial Virus (RSV)
Adenovirus 1-31
Picornavirus Rhinovirus
Coxsackie virus A
Coxsackie virus B
Echovirus
1-55
1-21
1-6
1-32
Coronavirus
E. PATOGENESIS
Ketahanan saluran pernapasan terhadap partikel atau infeksi dan gas yang ada
di udara tergantung pada:
1. Keutuhan epitel mukosa dan gerak mukosilia
Hal-hal yang dapat mengganggu keutuha mukosa dan pergerakan silia, yaitu:
6
a. Asap rokok dan gas SO2, polutan utama dalam pencemaran udara
b. Sindroma imotil
c. Pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi (25% atau lebih)
2. Makrofag alveoli
Makrofag banyak terdapat di alveoli dan akan dimobilisasi ke tempat lain
bila terjadi infeksi. Asap rokok dapat menurunkan kemampuan makrofag
membunuh bakteri, sedangkan alkohol menurunkan mobilitas sel-sel ini.
3. Antibodi setempat
Antibodi setempat pada saluran pernapasan adalah IgA, yang terdapat
banyak di mukosa. Kekurangan antibodi ini memudahkan terjadinya infeksi
saluran pernapasan yang sering terjadi pada anak. Defisiensi IgA akan
mengalami hal serupa dengan penderita yang mengalami imunodefisiensi
lain, seperti penderita mendapat terapi sitostatik atau radiasi, penderita
dengan neoplasma yang ganas, dan lain-lain (Immuno compromised host).
F. FAKTOR RESIKO
1. Usia
Menurut penelitian ditemukan 50% anak berusia dibawah 5 tahun dan
30% anak berusia 5-12 tahun didapatkan menderita IRA.
2. Jenis kelamin
Tidak ada perbedaan insiden IRA akibat virus atau bakteri pada laki-laki
dan perempuan, tetapi pada usia diatas 6 tahun insiden lebih tinggi pada anak
laki-laki.
3. Status gizi
Gizi buruk merupakan faktor predisposisi terjadinya IRA pada anak. Hal
ini dikarenakan adanya gangguan respon imun.
4. ASI
Bayi yang tidak pernah diberi ASI lebih rentan mengalami IRA
dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI. Pemberian ASI dengan durasi
yang lama mempunyai pengaruh proteksi terhadap IRA bawah selama tahun
pertama.
7
5. BBLR
BBLR memiliki peran penting terhadap kematian akibat IRA.
6. Imunisasi
Campak, pertusis dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan resiko
IRA, dan memperberat IRA itu sendiri, tetapi hal ini dapat dicegah. Vaksin
campak cukup efektif dan dapat mencegah kematian hingga 25%.
7. Pendidikan orang tua
Tingkat pendidikan ini berhubungan erat dengan keadaan sosio ekonomi
dan pengetahuan orang tua. Kurangnya pengetahuan menyebabkan sebagian
kasus IRA tidak diketahui orang tua dan tidak diobati.
8. Status sosial ekonomi
Anak yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah
mempunyai resiko lebih besar sebanyak 3,3 kali.
9. Penggunaan fasilitas kesehatan
Angka kematian pada anak dengan pnemonia yang tidak diobati
mencapai 10-20%. Pengguanaan fasilitas kesehatan sangat berpengaruh pada
tingkat keparahan IRA. Disebagian negara berkembang pemanfaatan fasilitas
kesehatan sangat rendah.
10. Lingkungan
Polusi udara berhubungan dengan beberapa penyakit, termasuk IRA. Hal
ini berkaitan dengan konsentrasi polutan lingkungan yang dapat mengiritasi
mukosa saluran respiratori.penyakit lain seperti HIV/AIDS juga merupakan
faktor resiko IRA. Bencana alam seperti tsunami juga menyebabkan
peningkatan kasus akibat IRA, dikarenakan pneumonia aspirasi.
G. GAMBARAN KLINIK
Gambaran Klinik secara umum yang sering didapat adalah rinitis, nyeri
tenggorokan, batuk-batuk dengan dahak kuning/putih kental, nyeri retrosternal,
dan konjungtivitis. Suhu badan meningkat antara 4-7 hari, disertai malaise,
mialgia, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah-muntah, dan insomnia. Kadang-
8
kadang dapat juga disertai diare. Bila peningkatan suhu brlangsung lama biasanya
menunjukkan adanya penyulit.
Di klinik dikenal 6 gambaran syndroma ISPA yang disebabkan virus:
1. Sindroma Korisa (Coryzal/Common Cold Syndrome)
Sindroma ini diawali dengan suara serak dan rasa nyeri tenggorok. Kemudian
ditandai dengan peningkatan sekresi hidung, bersin-bersin, hidung buntu,
kadang-kadang disertai sekresi air mata dan konjungtivitis ringan. Keluhan
sistemiknya berupa nyeri kepala, mialgia, malaise, rasa lemah malas dan rasa
dingin.
2. Sindroma Faring (Pharingeal Syndrome)
Gejala umum sindroma faring berupa panas dingin, malaise, nyeri/ pegal
seluruh badan, nyeri kepala, dan kadang-kadang suara parau. Terdapat
peradangan pada faring dan pembesaran adenoid serta tonsil.
3. Sindroma Faringokonjungtiva
Gejala klinik diawali dengan faringitis yang berat kemudian diikuti
konjungtivitis yang sering bilateral. Didapatkan fotofobi dan nyeri pada bola
mata.
4. Sindroma Influenza
Gambaran klinis terjadi secara mendadak dan dengan cepat dapat menular.
Klinisnya gangguan fisik cukup berat dengan gejala batuk, meriang, badan
panas, lemah, nyeri kepala, nyeri tenggorok, nyeri retrosternal, nyeri seluruh
tubuh, malaise, dan anoreksia.
5. Sindroma Herpangina
Terdapat vesikel-vesikel di dalam mulut dan faring. Vesikel mengalami
ulserasi dengan tepi membengkak, disertai nyeri tenggorokan, nyeri kepala,
dan demam.
6. Sindroma Laringotrakeobronkitis Obstruktif Acuta (Croup Syndrome)
Klinis tampak gawat dan berat berupa batuk-batuk, sesak nafas yang disertai
stridor inspirasi, sianosis, serta gangguan sistemik lain.
9
H. KLASIFIKASI IRA
Infeksi Respiratori Akut (IRA) terdiri dari infeksi respiratori akut atas dan
bawah.
1. IRA Atas
a. Rhinitis
Rhinitis disebut juga common cold coryza, cold atau salesma.
1) Definisi
Rhinitis adalah penyakit akut yang sangat infeksius dan biasanya
disebabkan oleh virus.
2) Etiologi
Kategori Mikroorganisme
Penyebab rinitis terbanyak
Dapat menyebabkan rinitis
Jarang menyebabkan rinitis
Rhinovirus
Virus Parainfluenza
RSV
Coronavirus
Adenovirus
Enterovirus
Virus influenza
Virus parainfluenza
Reovirus
Mycoplasma pneumoniae
Coccidioides immitis
Histoplasma capsulatum
Bordatella pertussis
Chlamydia psitacci
Coxiella Burnetti
3) Patogenesis
Patogenesis rhinitis umumnya melibatkan interaksi antara replika
virus dan respon inflamasi pejamu, tetapi patogenesis tiap virus
sangat berbeda karena perbedaan lokasi pimer tempat replikasi
10
virus. Infeksi dimulai dengan deposit virus di mukosa hidung-
anterior atau di mata. Di daerah adenoid, virus memasuki sel epitel
dengan cara berikatan dengan reseptor spesifik di epitel. Setelah
berada di dalam sel epitel, virus bereplikasi dengan cepat. Infeksi
virus pada mukosa hidung menyebabkan vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler, sehingga timbul gejala klinis
hidung tersumbat dan sekret hidung yang merupakan gejala utama
rinitis. Stimulasi kolinergik menyebabkan peningkatan sekresi
kelenjar mukosa dan bersin.
4) Manifestasi Klinis
Gejala pada anak dan dewasa sangat berbeda. Pada 3 hari pertama
sekret hidung dan demam, sekret yang semula encer menjadi
purulen. Gejala lain nyeri tenggorokan, batuk, rewel, gangguan
tidur, dan penurunan nafsu makan. Pemeriksaan fisik tidak
menunjukkan tanda yang khas, tetapi kadang dijumpai edema dan
eritem mukosa hidung serta limfadenopati servikel anterior.
5) Diagnosis
Penegakan diagnosis sebenarnya relatif mudah, tetapi perlu
diwaspadai diagnosis banding yang mempunyai gejala menyerupai
rinitis untuk menghindari terjadinya undertreatment. Diagnosis
rinitis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan perjalanan penyakit
yang diperoleh dari anamnesis lengkap. Ditemukannya virus
penyebab rinitis merupakan baku emas penegakan diagnosis, tetapi
tidak direkomendasikan pada tatalaksana pasien sehari-hari. Metode
identifikasi virus meliputi kultur virus, deteksi antigen dan PCR.
6) Tatalaksana
a) Nonmedikamentosa
Apabila gejala klinis pada anak tidak terlalu berat dianjurkan
tidak menggunakan medikamentosa. Usaha untuk mengatasi
hidung tersumbat misalnya elevasi kepala saat tidur pada anak.
Pada bayi dan anak direkomendasikan untuk terapi supportif
11
cairan yang adekuat karena pemerian minum dapat mengurangi
gejala nyeri dan gatal pada tenggorok.
b) Medikamentosa
Apabila gejala yang ditimbulkan terlalu mengganggu maka
dianjurkan untuk memberikan obat. Pada bayi dan anak, terapi
simptomatik yang direkomendasikan adalah asetaminophen atau
ibuprofen untuk anak berusia lebih dari 6 bulan, untuk
menghilangkan demam yang mungkin terjadi pada hari pertama.
Pemberian tetes hidung saline yang diikuti dengan mengisap
lendir dapat mengurangi sekret hidung.
b. Faringitis, Tonsilitis, Tonsilofaringitis Akut
1) Definisi
Istilah faringitis akut digunakan untuk menunjukkan semua infeksi
akut pada faring, termasuk tonsilitis dan tonsilofaringitis yang
berlangsung hingga 14 hari. Faringitis merupakan peradangan akut
membran mukosa faring dan struktur lain disekitarnya.
2) Etiologi
Berbagai bakteri dan virus dapat menjadi etiologi faringitis, baik
faringitis sebagai manifestasi tunggal maupun sebagai bagian dari
penyakit lain. Virus yang paling banyak menyebabkan faringitis
adalah Adenovirus, Rhinovirus, dan virus parainfluenza. Virus
penyebab faringitis dikarenakan infeksi sistemik atau penyakit lain
seperti virus campak, CMV, Rubella, dan virus lain. Sedangkan
penyebab bakteri yang paling banyak menyebabkan faringitis yang
paling banyak adalah Streptococcus beta hemoliticus grup A.
3) Patogenesis
Virus atau bakteri masuk menginvasi mukosa nasofaring atau
orofaring melalui kontak langsung atau tidak langsung
menyebabkan replikasi virus di dalam makrofag pengaktifan T
12
helper dan T sitotoksik sekresi mediator inflamasi disfungsi
sel endotel kebocoran plasma peradangan.
4) Manifestasi Klinis
Gejala faringitis yang khas akibat bakteri Streptococcus berupa
nyeri tenggorokan dengan awitan mendadak, disfagia, dan demam.
Urutan gejala yang biasanya dikeluhkan adalah nyeri kepala, nyeri
perut, muntah, dan demam mencapai suhu 40ºC. Gejala seperti
rinorea, suara serak, batuk, konjungtivitis, dan diare biasanya
disebabkan oleh virus.
5) Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan laboratorium. Baku emas penegakan diagnosis
faringitis bakteri atau virus adalah melalui pemeriksaan kultur dari
apusan tenggorok.
6) Tatalaksana
Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada faringitis virus, karena
tidak akan mempercepat waktu penyembuhan atau mengurangi
derajat keparahan. Istirahat cukup dan pemberian cairan yang sesuai
merupakan terapi supportif yang dapat diberikan. Apabila terdapat
nyeri berlebih atau demam, dapat diberikan parasetamol atau
ibuprofen.
c. Otitis media
1) Definisi
Otitis media merupakan suatu inflamasi telingah tengah
berhubungan dengan efusi telinga tengah yang merupakan
penumpukan cairan ditelinga tengah.
Otitis media terjadi karena aerasi telinga tengah yang terganggu
biasanya disebabkan karena fungsi tuba eustachius yang terganggu.
2) Etiologi
13
Kuman yang sering menyebabkan otitis media diantaranya
streptococcus pneumoniae, haemophillus influenzae, dan moraxella
catarrhalis.
3) Patogenesis
Tuba eustachius secara normal menutup saat menelan. Tuba
eustachius melindungi telingah tengah dari sekresi nasopharing,
drainase sekresi telinga tengah dan memungkinkan keseimbangan
tekanan udara dengan tekanan atmosfer dalam telingah tengah.
Obstruksi tuba eustachius tekanan telinga tengah menjadi negatif
jika menetap mengakibatkan efusi transudat telinga tengah.
Bayi dan anak kecil memiliki tuba yang lebih pendek dibandingkan
dewasa yang mengakibatkannya lebih rentan terhadap refluks
sekresi nasopharing dan juga faktor imun belum sempurna.
4) Manifestasi Klinis
Gejala diawali dengan infeksi saluran nafas, nyeri telinga, demam,
dan gangguan pendengaran. Pada bayi gejala ini tidak khas,
sehingga gejala yang timbul seperti irritable, diare, muntah, malas
minum, dan sering menangis.
5) Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan pada pemeriksaan membran tympani.
Dari hasil pemeriksaan otoskopiu didapatkan gerakan membran
tympani yang berkurang, cembung, kemerahan, keruh, dan sekret
purulen. Bila diagnosis masih meragukan, perlu dilakukan tindakan
aspirasi dari telinga tengah.
6) Tatalaksana
Terapi tergantung dari kuman dan hasil uji sensitivitas. Sebelum
didaptkannya hasil uji sensitivitas, amoksisilin oral merupakan
antibiotik pilihan awal. Amoksisilin diberikan dengan dosis 40
mg/KgBB/24 jam, 3 kali sehari selama 10 hari. Pilihan obat lainnya
adalah eritromicin (50 mg/ KgBB/ 24jam) bersama dengan
sulfonamide (100 mg/ KgBBB/ 24jam) trisufa atau 150
14
mg/KgBB/24 jam sulfisoksazol empat kali sehari, Trimetroprim
sulfametoksasol 8 dan 40 mg/ KgBB/ 24 jam diberi 2 kali sehari,
sefaklor (40 mg/KgBB/24 jam) 3 kali sehari, amoksisilin klavulanat
(40 mg/KgBB/24 jam) 3 kali sehari, atau sefiksim 8 mg/KgBB/24
jam sekali atau dua kali sehari.
Terapi suportif lain yaitu analgetik, antipiretik, dan dekongestan.
2. IRA Bawah
a. Epiglotitis
1) Definisi
Epiglotitis merupakan infeksi yang sangat serius dari epiglottis dan
struktur supraglotis, yang berakibat obstruksi jalan nafas akut dan
menyebabkan kematian jika tidak diobati.
2) Etiologi
Hampir selalu disebabkan oleh haemophillus influenzae tipe B.
Penyebab lain adalah S. Aureus, S. Pneumonia, C. Albicans, Virus,
dan trauma.
3) Manifestasi klinis
Ditandai dengan demam tinggi mendadak dan berat, nyeri tenggorok,
sesak nafas, obstruksi saluran respiratorik yang progresif. Pada anak
yang lebih besar bisanya didahului nyeri tenggorok dan disfagia,
pasien lebih menyukai posisi duduk, badan membungkuk ke depan
dengan mulut terbuka dan leher ekstensi (sniffing position)
4) Diagnosis
Diagnosis ditegakkan atas dasar ditemukannya epiglotis yang besar,
bengkak, dan berwarna merah ceri dengan pemeriksaan langsung atau
laringoskopi. Pada pemeriksaan radiologi dapat terlihat gambaran
thumb sign.
5) Tatalaksana
Tindakan intubasi nasotrakeal atau trakeostomi dapat dilakukan pada
pasien epiglotitis tanpa memandang derajat nafas yang terlihat.
15
Antibiotik diberikan secara intravena berupa sefalosporin generasi
ketiga seperti cefotaxime selama 7-10 hari, ceftriaxon dosis tunggal
selama 5 hari.
b. Croup/laringotrakeobronkitis
1) Definisi
Istilah lain untuk croup adalah laringitis akut yang menunjukkan
lokasi inflamasi, yang jika meluas sampai trakea disebut
laringotrakeitis dan jika sampai bronkus doisebut
laringotrakeobronkitis. Croup adalah terminologi umum yang
mencakup suatu grup penyakit heterogen yang mengenai laring,
infra/subglotis, trakea, dan bronkus.
2) Klasifikasi
Secara umum, croup dikelompokkan dalam 2 kelompok:
a) Viral croup, ditandai dengan gejala prodromal infeksi respiratori.
Gejala obstruksi saluran respiratori berlangsung selama 3-5 hari.
b) Spasmodic croup = spasmodic cough, terdapat faktor atopik
tanpa gejala prodromal. Anak dapat tiba-tiba mengalami gejala
obstruksi saluran respiratori, biasanya pada waktu malam
menjelang tidur, serangan terjadi sebentar kemudian normal
kembali.
Berdasarkan derajat kegawatan, croup dibagi menjadi 4 kategori:
a) Ringan, ditandai dengan batuk keras menggonggong yang
kadang muncul, stridor yang tidak terdengan ketika pasien
beristirahat atau beraktifitas, dan retraksi ringan dinding dada.
b) Sedang, batuk menggonggong yang sering timbul, stridor yang
mudah didengar ketika beristirahat, retraksi dinding dada yang
sedikit terlihat tetapi tidak ada gawat napas.
c) Berat, ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul,
stridor inspirasi yang terdengar jelas ketika beristirahat, disertai
16
stridor ekspirasi kadang-kadang, retraksi dinding dada dan gawat
napas.
d) Gagal napas mengancam, batuk kadang tidak jelas, terdengar
stridor sangat jelas, gangguan kesadaran, letargi.
3) Etiologi
Disebabkan oleh virus, penyebab tersering Human Parainfluenza
virus tipe 1, HPIV-2, 3, dan 4, virus Influenza A dan B, Adenovirus,
RSV, dan virus campak.
4) Patogenesis
Infeksi virus dimulai dari nasofaring dan menyebar ke epitelium
trakea dan laring. Peradangan difus, eritema dan edema yang terjadi
pada dinding trakea menyebabkan terganggunya mobilitas pita suara
serta area subglotis mengalami iritasi. Aliran udara yang melewati
saluran respiratori atas mengalami turbulensi sehingga menimbulkan
stridor, diikuti dengan retraksi dinding dada (selama inspirasi).
Pergerakan dinding dada dan abdomen yang tidak teratur
menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan
hiperkapnea. Pada keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan
henti napas.
5) Manifestasi klinis
Karakteristik sindrom croup adalah batuk yang menggonggong, suara
serak, stridor inspirasi dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas.
Didahului demam yang tidak begitu tinggi, hidung berair, nyeri
menelan, dan batuk ringan. Kondisi ini berkembang menjadi batuk
nyaring, suara parau dan kasar. Gejala sistemik seperti demam,
malaise. Bila keadaan berat bisa menyebabkan sesak napas, stridor
inspiratorik yang berat, retraksi, dan anak tampak gelisah dan akan
bertambah berat malam hari.
6) Diagnosis
Diagnosis klinik ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul.
Pada pemeriksaan langsung area laring pada pasien croup tidak terlalu
17
diperlukan, tetapi bila terjadi serangan akut, gawat napas maka
pemeriksaan tersebut perlu dilakukan. Pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan laboratorium dan radiologi tidak perlu dilakukan.
7) Tatalaksana
Tatalaksana utama pada pasien croup adalah mengatasi obstruksi jalan
napas. Sindrom croup cukup diatasi dengan terapi uap saja, tetapi
terkadang membutuhkan farmakoterapi. Obat-obat yang diperlukan
seperti kortikosteroid (dexamethasone 0,6 mg/KgBB peroral atau IM
sebanya 1 kali dan dapat diulang dalam 6-24 jam, prednison 1-20
mg/kgBB, nebulisas budesonid 2-4 mg) untuk mengurangi edema
pada mukosa laring melalui mekanisme anti radang. Intubasi
endotrakeal dilakukan pada sindrom croup yang berat yang tidak
responsif terhadap terapi yang lain. Antibiotik tidak diperlukan
kecuali disertai infeksi bakteri. Jika infeksi bakteri diberikan
sefalosporin generasi dua atau tiga.
c. Bronkitis
1) Definisi
Bronkitis merupakan suatu peradangan pada bronkus dan merupakan
penyakit infeksi saluran napas akut bawah yang sering dijumpai.
2) Etiologi
Virus merupakan penyebab tersering, misalnya Rhinovirus,
Respiratory Sincytial Virus (RSV), virus influenza, virus para-
influenza, adenovirus, dan Coxsackie virus.
3) Faktor Predisposisi
Alergi, cuaca, polusi udara dan infeksi saluran napas atas kronik dapat
memudahkan terjadinya bronkitis akut.
4) Patofisiologi
Infeksi bakteri di bronkus dapat merupakan infeksi sekunder setelah
terjadinya kerusakan permukaan mukosa oleh infeksi virus
sebelumnya.
18
5) Gejala Klinis
Batuk mula- mula kering, setelah dua atau tiga hari batuk mulai
berdahak dan menimbulkan suara adanya lendir. Pada beberapa hari
pertama tidak ada tanda kelainan pada pemeriksaan thoraks, tetapi
kemudian dapat timbul rhonki basah kasar.
6) Penatalaksanaan
Tatalaksananya bersifat supportif. Apabila disebabkan oleh virus,
istirahat yang cukup, kelembapan udara yang cukup, rehidrasi
adekuat, acetaminophen pada keadaan demam. Sedangkan jika
disebabkan oleh infeksi bakteri, pemberian antibiotik eritromisin 3-4
hari. Hasil pemeriksaan laboratorium patologi menunjukkan adanya
infiltrasi mukosa oleh limfosit dan leukosit.
d. Bronkiolitis
1) Definisi
Penyakit ini merupakan suatu sindrom obstruksi bronkiolus yang
sering diderita bayi dan anak kecil yang berumur kurang dari 2 tahun.
2) Etiologi
Bronkiolitis akut sebagian besar disebabkan oleh Respiratory
Syncytial Virus (50%). Penyebab lainnya adalah para-influenza virus,
Eaton agent (Mycoplasma pneumoniae), adenovirus, dan beberapa
virus lain.
3) Patologi
Pada bronkiolus ditemukan obstruksi parsial atau total karena edema
dan akumulasi mukus dan eksudat yang kental. Di dinding bronkus
dan bronkiolus terdapat infiltrasi sel radang.
4) Gambaran Klinis
Bronkiolitis akut biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian
atas, disertai dengan batuk pilek untuk beberapa hari, biasanya tanpa
disertai kenaikan suhu atau hanya subfebril. Anak mulai mengalami
sesak napas, makin lama makin hebat, pernapasan dangkal dan cepat.
19
Pada pemeriksaan terdapat suara perkusi hipersonor, ekspirasi
memanjang disertai dengan wheezing. Rhonki nyaring halus kadang
terdengar pada akhir ekspirasi atau pada permulaan inspirasi.
5) Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui:
a) Anamnesis. Gejala awal berupa gejala infeksi respiratorik atas
akibat virus, seperti pilek ringan, batuk dan demam. Satu hingga
dua hari kemudian disertai batuk dengan sesak napas. Selanjutnya
dapat ditemukan wheezing, sianosis, grunting, muntah setelah
batuk, rewel, nafsu makan berkurang.
b) Pemeriksaan fisik. Takipneu, takikardi, suhu diatas 38,50C,
ditemukan rhonki, sianosis, bila gejala yang berat dapat terjadi
apneu.
c) Pemeriksaan laboratorium dan penunjang. Pemeriksaan darah
rutin dan elektrolit kurang bermakna, AGD diperlukan untuk anak
dengan sakit yang berat. Foto rontgen thorak didapatkan
hiperinflasi dan infiltrat (patchy infiltrat), tetapi gambaran ini
tidak spesifik.
6) Tatalaksana
Bersifat supportif, yaitu oksigen, cairan intavena, penyesuaian suhu
lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, nutrisi, setelah itu
obatnya bronkodilator, antiinflamasi seperti kostikosteroid, antiviral
seperti ribavirin.
e. Pneumonia
1) Definisi
Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh
bermacam-macam etiologi, seperti bakteri, virus, jamur dan benda
asing.
2) Etiologi
Penyebab pneumonia adalah bakteri, virus, jamur, dan benda asing.
20
3) Klasifikasi
Pada umumnya diadakan pembagian atas dasar anatomis dan
etiologis.
Pembagian anatomis: (1) pneumonia lobaris, (2) pneumonia
lobularis (bronkopneumonia), dan (3) pneumonia interstitialis
(bronkiolitis).
Pembagian etiologis:
(1) Bakteria: Diplococcus pneumoniae, Pneumococcus,
Streptococcus hemolyticus, Streptococcus aureus,
Hemophilus influenzae, Bacillus Friedlander,
Mycobacterium tuberculosis.
(2) Virus: RSV, virus influenza, adenovirus, virus sitomegalik.
(3) Mycoplasma pneumoniae
(4) Jamur: Histoplasma capsulatum, Cryptococcus neoformans,
Candida albicans, Aspergillus species.
(5) Aspirasi: makanan, cairan amnion, benda asing.
(6) Pneumonia hipostatik
4) Patogenesis
Mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui
saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan
proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya
konsolidasi yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan
edema dan kuman di alveoli disebut hepatisasi merah deposisi
fibrin semakin bertambah dan fagositosis capat disebut hepatisasi
kelabu jumlah makrofag meningkat sel degenerasi, fibrin
menipis, kuman dan debris menghilang disebut resolusi.
5) Manifestasi klinis
Gambaran klinis pada pneumonia bayi dan anak bergantung pada
berat ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut :
Gejala infeksi umum, yaitu : demam, sakit kepala, gelisah,
malaise, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti
21
mual, muntah atau diare, kadang-kadang ditemukan gejala infeksi
ekstrapulmoner.
Gejala gangguan respiratorik, yaitu : batuk, sesak nafas, retraksi
dada, takipneu, nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan
sianosis.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti, pekak
perkusi, suara nafas melemah, dan ronkhi.
6) Pemeriksaan penunjang
Darah perifer lengkap
Pneumonia virus dan mycoplasma umumnya ditemukan leukosit
dalam batas normal atau sedikit meningkat. Sedangkan
pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara
15.000-40.000/mm3 dengan predominan PMN.
CRP
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnotis untuk
membedakan antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus
dan bakteri, atau infeksi bakteri superficialis dan profunda.
Uji serologis
Untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik
mempunyai spesifitas dan sensitivitas yang rendah.
Pemeriksaan mikrobiologis
Untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan kecuali
pada pneumonia berat. Spesimen dapat berasal dari uap
tenggorok, sekret nasopharing, bilasan bronkus, darah, fungsi
pleura, aspirasi paru.
Rontgen Thoraks
Rontgen thoraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan,
hanya direkomendasikan pada pneumonia berat.
Secara umum gambaran foto thorak terdiri dari :
Infiltrat intertitial, ditandai dengan peningkatan corakan
bronkovaskular, peribronkial cuffing, dan hiperaerasi.
22
Infiltrat alveolar merupakan konsolidasi paru dengan air
bronchogram.
Bronkopneumoni ditandai dengan gambaran difus merata pada
kedua paru, berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas
hingga daerah perifer paru disertai dengan peningkatan corakan
peribronkial.
7) Diagnosis
Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan
serologis merupakan dasar terapi yang optimal. Akan tetapi,
penemuan bakteri penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan
laboratorium penunjang yang memadai. Prediktor paling kuat adanya
pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala
respiratori sebagai berikut: takipneu, batuk, napas cuping hidung,
retraksi, ronki, dan suara napas melemah.
Klasifikasi Pneumonia berdasarkan pedoman diagnosis
a) Bayi dan anak usia 2 bulan – 5 tahun
Pneumonia berat
- Bila ada sesak napas
- Harus dirawat dan diberikan antibiotik
Pneumonia
- Bila tidak ada sesak napas
- Ada napas cepat dengan laju napas :
O >50 x/menit untuk anak usia 2 bulan-1 tahun
O >40 x/menit untuk anak >1-5 tahun
- Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral
Bukan pneumonia
- Bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
- Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya
diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun
panas.
23
b) Bayi berusia dibawah 2 bulan
Pneumonia
- Bila ada napas cepat (>60 x/menit) atau sesak napas
- Harus dirawat dan diberikan antibiotik
Bukan pneumonia
- Bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
- Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya
diberikan pengobatan simptomatis
8) Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap.
Indikasi perwatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit.
Neonatus dan bayi kecil dengan klinis pneumonia harus dirawat inap.
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal
dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan
suportif meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi
terhadap gangguan keseimbangan asam basa, elektrolit, dan gula
darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgesik atau
antipiretik.
24
DAFTAR PUSTAKA
Agung A.A., Sulistyorini L., Keman S., 2006. Determinan Sanitasi Rumah Dan Sosial Ekonomi Keluarga Terhadap Kejadian Ispa Pada Anak Balita Serta Manajemen Penanggulangannya Di Puskesmas. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 3: 50.
Alsagaff H., Mukty A., 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga Universty.
Azizi S., Budianto A., Nugroho A., 2005. Guidance to Anatomy II. Surakarta : FK UNS.
Hasan A., Alatas H., 1985. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: infomedika.
Nasution K., Azharry R.M., Erida K.B., Adi K., Ramdhani M.Y., Ishal M.L., Pratiwi L., Wawolumaja C., Endyarni B., 2008. Infeksi Saluran Napas Akut pada Balita di Daerah Urban Jakarta. Sari Pediatri. 11: 223-224.
Rahajoe N.N., Supriyatno B., Setyanto, D.B., 2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: IDAI. pp: 268-365.
25