inflamasi non infeksi sgd
DESCRIPTION
integumentTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem integumen merupakan bagian sistem organ yang terbesar yang
mencakup kulit, rambut, kuku, kelenjar keringat dan produknya (keringat atau
lendir). Kata ini berasal dari bahasa Latin "integumentum", yang berarti "penutup".
Sistem integumen berperan dalam homeostasis, proteksi, pengaturan suhu, reseptor,
sintesis biokimia dan penyerapan zat.
Tubuh manusia mempunyai berbagai cara untuk melakukan proteksi.
Pertahanan pertama adalah barier mekanik, seperti kulit yang menutupi permukaan
tubuh.1 Kulit termasuk lapisan epidermis, stratum korneum, keratinosit dan lapisan
basal bersifat sebagai barier yang penting, mencegah mikroorganisme dan agen
perusak potensial lain masuk ke dalam jaringan yang lebih dalam. Misalnya asam
laktat dan substansi lain dalam keringat mengatur pH permukaan epidermis dalam
suasana asam yang membantu mencegah kolonisasi oleh bakteri dan organisme
lain.
Pada beberapa kasus kelainan kulit dapat merupakan tanda penting penyebab
infeksi yang merupakan indikator bermakna adanya infeksi yang mendasarinya.
Walaupun kebanyakan penyakit eksantem bersifat ringan, diagnosis banding
penting sekali oleh karena beberapa infeksi yang fatal sering mempunyai kelainan
(tanda) pada kulit sebagai manifestasi awal. Dermis dengan kolagen dan elastin
2
memberikan dukungan dan pencegahan banyak elemen seperti saraf, pembuluh
darah, dan lain-lain sedangkan subkutis merupakan insolator panas dan persediaan
kalori.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui jenis-jenis inflamasi non infeksi.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui etiologi penyakit inflamasi non infeksi.
b. Untuk mengetahui epidemiologi penyakit inflamasi non infeksi
c. Untuk mengetahui histopatologi penyakit inflamasi non infeksi
d. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit inflamasi non infeksi
e. Untuk mengetahui gejala klinik penyakit inflamasi non infeksi
f. Untuk mengetahui laboratorium penunjang penyakit inflamasi non infeksi
g. Untuk mengetahui proses keperawatan penyakit inflamasi non infeksi
3
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Dermatitis
1. Definisi
Dermatitis adalah peradangan kulit ( epidermis dan dermis ) sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen atau pengaruh faktor endogen, menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik dan keluhan gatal (Djuanda,
2007).
Dermatitis adalah peradangan pada kulit ( inflamasi pada kulit ) yang
disertai dengan pengelupasan kulit ari dan pembentukkan sisik ( Brunner &
Suddart, 2000 ).
2. Etiologi
Penyebab dermatitis belum diketahui secara pasti. Sebagian besar
merupakan respon kulit terhadap agen-agen misalnya zat kimia, bakteri dan
fungi selain itu alergi makanan juga bisa menyebabkan dermatitis. Respon
tersebut dapat berhubungan dengan alergi (Arief Mansjoer, 2000).
Penyebab Dermatitis secara umum dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :
a) Eksogen misalnya bahan kimia dan mikroorganisme.
b) Endogen misalnya dermatitis atopik.
4
3. Patofisiologi
Dermatitis merupakan peradangan pada kulit, baik pada bagian dermis
ataupun epidermis yang disebabkan oleh beberapa zat alergen ataupun zat
iritan. Zat tersebut masuk kedalam kulit yang kemudian menyebabkan
hipersensitifitas pada kulit yang terkena tersebut. Masa inkubasi sesudah terjadi
sensitisasi permulaan terhadap suatu antigen adalah 5-12 hari, sedangkan masa
reaksi setelah terkena yang berikutnya adalah 12-48 jam. Bahan iritan ataupun
allergen yang masuk ke dalam kulit merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin,
menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat air kulit.
Keadaan ini akan merusak sel dermis maupun sel epidermis sehingga
menimbulkan kelainan kulit atau dermatitis.
Adapun faktor-faktor yang ikut mendorong perkembangan dermatitis
adalah gesekan, tekanan, balutan, macerasi, panas dan dingin, tempat dan luas
daerah yang terkena dan adanya penyakit kulit lain.
4. Gejala Klinik
Secara umum manifestasi klinis dari dermatitis yaitu secara subyektif ada
tanda–tanda radang akut terutama pruritus ( sebagai pengganti dolor). Selain itu
terdapat pula kenaikan suhu (kalor), kemerahan (rubor), edema atau
pembengkakan dan gangguan fungsi kulit. Sedangkan secara obyektif, biasanya
batas kelainan tidak tegas dan terdapat lesi polimorfi yang dapat timbul secara
serentak atau beturut-turut.
5
a. Dermatitis Kontak.
Gatal-gatal, rasa tidak enak karena kering, kulit berwarna coklat dan
menebal.
b. Dermatitis Atopik.
Gatal-gatal, muncul pada beberapa bulan pertama setelah bayi lahir, yang
mengenai wajah, daerah yang tertutup popok, tangan, lengan dan kaki.
5. Laboratorium Penunjang
Alergi kontak dapat dibuktikan dengan tes in vivo dan tes in vitro. Tes in
vivo dapat dilakukan dengan uji tempel. Berdasarkan tehnik pelaksanaannya
dibagi tiga jenis tes tempel yaitu :
a. Tes Tempel Terbuka
Pada uji terbuka bahan yang dicurigai ditempelkan pada daerah belakang
telinga karena daerah tersebut sukar dihapus selama 24 jam. Setelah itu
dibaca dan dievaluasi hasilnya. Indikasi uji tempel terbuka adalah alergen
yang menguap.
b. Tes Tempel Tertutup
Untuk uji tertutup diperlukan Unit Uji Tempel yang berbentuk semacam
plester yang pada bagian tengahnya terdapat lokasi dimana bahan tersebut
diletakkan. Bahan yang dicurigai ditempelkan dipunggung atau lengan atas
penderita selama 48 jam setelah itu hasilnya dievaluasi.
6
c. Tes tempel dengan Sinar
Uji tempel sinar dilakukan untuk bahan-bahan yang bersifat sebagai
fotosensitisir yaitu bahan-bahan yang bersifat sebagai fotosensitisir yaitu
bahan yang dengan sinar ultra violet baru akan bersifat sebagai alergen.
Tehnik sama dengan uji tempel tertutup, hanya dilakukan secara duplo. Dua
baris dimana satu baris bersifat sebagai kontrol. Setelah 24 jam ditempelkan
pada kulit salah satu baris dibuka dan disinari dengan sinar ultraviolet dan
24 jam berikutnya dievaluasi hasilnya.
6. Proses Keperawatan
a. Pengkajian
1) Kaji faktor penyebab terjadinya gangguan kulit.
2) Kaji pengetahuan orang tua tentang faktor penyebab dan metode kontak.
3) Kaji adanya pruritas dan burning.
4) Kaji peningkatan stress yang diketahui pasien.
5) Kaji tanda-tanda infeksi.
6) Riwayat infeksi yang berulang-ulang.
7) Kaji faktor yang memperparah.
8) Pada reaksi ringan kulit terlihat merah dan terdapat vesicle.
9) Pada reaksi berat terdapat ulceration.
7
b. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kekeringan pada kulit
2) Resiko kerusakan kulit berhubungan dengan terpapar allergen
3) Perubahan rasa nyaman berhubungan dengan pruritus
B. Miliaria
1. Definisi
Miliaria adalah suatu keadaan tertutupnya pori-pori keringat sehingga
menimbulkan retensi keringat di dalam kulit. Berdasarkan lokasinya, miliaria
terbagi dalam beberapa tipe :
a. Miliaria kristalina, sumbatan berada di dalam stratum korneum.
b. Miliaria rubra, sumbatan terletak di dalam epidermis.
c. Miliaria profunda, sumbatan ada di dalam dermo-epidermal junction.
Pada semua tipe, pecahnya saluran keringat di bawah sumbatan akan
menghasilkan retensi, yang mengakibatkan gatal, papula, papula vesikula dan
eritematus.
2. Etiologi
Biang keringat terjadi karena penyumbatan kelenjar atau saluran keringat
oleh daki, debu, dan kosmetik. Tidak ada penyebab genetik. Biang keringat
biasanya menyerang orang yang tinggal di daerah tropis, yang kelembapannya
terlalu tinggi. Bintik merah biasanya terjadi pada daerah kulit yang banyak
berkeringat, seperti dahi, leher, punggung, dan dada. Biang keringat disebabkan
8
oleh panas dan kelembapan yang tinggi pada lapisan atas kulit. Ada beberapa
faktor yang menyebabkan keringat keluar berlebihan dan tersumbatnya saluran
keringat, yaitu udara panas dan lembap disertai ventilasi ruangan yang kurang
baik, pakaian terlalu tebal, dan ketat, aktivitas yang berlebihan.
3. Epidemiologi
Miliaria rubra banyak terjadi di daerah panas kelembaban yang tinggi, tetapi
dapat juga terjadi di daerah lain. Sekitar 30% orang yang tinggal di daearah
tersebut bisa mengalami miliaria. Sebenarnya semua bayi dapat mengalami
miliaria pada kondisi yang ada. Anak-anak lebih banyak mengalami miliaria di
bandingkan orang dewasa. Ini rupanya menggambarkan bahwa bertambahnya
kekuatan struktur saluran keringat sesuai bertambahnya umur, tidak ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
4. Patofisologi
Rangsangan utama bagi pengembangan Miliaria adalah kondisi
kelembaban panas yang tinggi dan menyebabkan berkeringat berlebihan.
Terjadi occlusion kulit karena pakaian, perban, atau lembaran plastik (dalam
pengaturan percobaan) selanjutnya dapat berkontribusi untuk pengumpulan
keringat pada permukaan kulit dan lapisan overhydration dari corneum. Orang
yang rentan, termasuk bayi, yang relatif belum matang eccrine kelenjar,
overhydration dari stratum corneum dianggap cukup untuk menyebabkan
penyumbatan sementara dari acrosyringium.
9
Jika kondisi lembab panas bertahan, individu terus memproduksi keringat
berlebihan, tetapi tidak dapat mengeluarkan keringat ke permukaan kulit karena
penyumbatan duktus. Sumbatan ini menyebabkan kebocoran keringat ke
permukaan kulit, baik di dalam dermis atau epidermis, dengan relatif
anhidrosis.
Ketika titik kebocoran di lapisan corneum atau hanya di bawahnya, seperti
dalam Miliaria crystallina, sedikit adanya peradangan, dan lesi tidak
menunjukkan gejala. Sebaliknya, di Miliaria rubra, kebocoran keringat ke
lapisan subcorneal menghasilkan spongiotic vesikula dan sel inflamasi kronis
periductal menyusup pada papiler dermis dan epidermis bawah. Dalam Miliaria
profunda, terbentuknya dari keringat ke dermis papiler menghasilkan
substansial, masuk kedalam periductal limfositik spongiosis dari saluran intra-
epidermis.
Residen bakteri kulit, seperti Staphylococcus epidermidis dan
Staphylococcus aureus, diperkirakan memainkan peran dalam patogenesis
Miliaria. Pasien dengan Miliaria telah 3 kali lebih banyak bakteri per satuan
luas kulit sebagai subyek kontrol sehat. Agen antimikroba efektif dalam
menekan Miliaria akibat eksperimental. Acid-Schiff berkala-positif bahan tahan
diastase telah ditemukan di plug intraductal yang konsisten dengan substansi
polisakarida ekstraselular stafilokokal (EPS). Dalam pengaturan percobaan,
hanya S epidermidis galur yang menghasilkan EPS dapat menimbulkan
Miliaria.
10
Pada akhir tahap Miliaria, hyperkeratosis dan parakeratosis dari
acrosyringium diamati. Sebuah plug hyperkeratotic mungkin muncul untuk
menghalangi eccrine saluran, tetapi sekarang ini diyakini menjadi terlambat
perubahan dan bukan penyebab menimbulkan penyumbatan keringat.
5. Gejala Klinis
a. Miliaria kristalina
Pada penyakit ini terlihat vesikel berukuran 1-2 mm terutama pada badan
setelah banyak berkeringat, misalnya karena hawa panas. Vesikel
bergerembol tanpa tanda radang pada bagian badan yang tertutup pakaian.
Umumnya tidak memberi keluhan dan sembuh dengan sisik yang halus.
Pada gambaran histopatologik terlihat gelembung intra/subkorneal.
b. Miliaria rubra
Penyakit ini lebih berat dari pada miliaria kristaliana, terdapat pada badan
dan tempat-tempat tekanan atau gesekan pakaian. Terlihat papul merah atau
papul vesikular ekstravesikular yang sangat gatal dan pedih. Miliaria jenis
ini terdapat pada orang yang tidak biasa pada daerah tropic.
c. Miliaria profunda
Bentuk ini agak jarang kecuali di daerah tropis. Kelainan ini biasa timbul
setelah miliaria rubra, ditandai dengan papul putih, keras berukuran 1-3
mm. Terutama terdapat di badan dan ekstremitas. Karena letak retensi
keringat lebih dalam maka secara klinis labih banyak berupa papul dari
pada vesikel. Tidak gatal dan tidak terdapat eritema. Pada gambaran
11
histologik tampak saluran kelenjar keringat yang pecah pada dermis bagian
atas dengan atau tanpa infiltrasi sel radang.
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
a. Miliaria secara klinis berbeda, karena itu, beberapa tes laboratorium
diperlukan.
b. Dalam Miliaria crystallina, pemeriksaan sitologi vesikuler gagal untuk
mengungkapkan isi sel atau multinuklear peradangan sel raksasa (seperti
yang diharapkan pada vesikula herpes).
c. Dalam Miliaria pustulosa, pemeriksaan sitologi dari pustula
mengungkapkan isi sel-sel inflamasi.
1) Tidak seperti eritema toxicum neonatorum, eosinofil tidak menonjol.
2) Pewarnaan Gram.
7. Penatalaksanaan
a. Mendorong terjadinya penhuapan keringat
b. Melaksanakan pola hidup sehat dengan cara menjaga kebersihan rumah,
mamndikan anak secara teratur dua kali sehari, gantilah baju anak ketika
terlihat basah oleh keringat
c. Hindari keadaan yang dapat membuat anak berkeringat berlebihan
d. Hindari mandi air hangat
e. Taburkan bedak disekujur tubuh setelah mandi
12
C. Erupsi Obat
1. Definisi
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada
kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang
biasanya sistemik.
Erupsi obat alergik (EOA) merupakan reaksi hipersensitivitas yang
ditandai oleh satu atau lebih makula yang berbatas jelas, berbentuk bulat atau
oval dengan ukuran lesi bervariasidari beberapa milimeter sampai beberapa
sentimeter. Gambaran yang khas dari EOA adalah kecenderungannya untuk
berulang di tempat lesi yang sama bila terpapar kembali dengan obat yang sama
2. Etiologi
Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu,
tempat dan jenis penelitian yang dilaporkan. Tingginya angka kejadian alergi
obat tampak berhubungan erat dengan kekerapan pemakaian obat tersebut.
Diduga risiko terjadinya reaksi alergi sekitar 1 – 3% terhadap sebagian besar
jenis obat. Pada umumnya laporan tentang obat tersering penyebab alergi
adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat dan pirazolon. Obat lain yang sering
pula dilaporkan adalah analgetik lain (asam mefenamat), antikonvulsan
(dilantin, mesantoin, tridion), sedatif (terutama luminal) dan trankuilizer
(fenotiazin, fenergan, klorpromazin, meprobamat). Tetapi, alergi obat dengan
gejala klinis berat paling sering dihubungkan dengan penisilin dan sulfa.
13
3. Epidemiologi
Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi
obat, tetapi berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi epidemiologi,
uji klinis terapeutik obat dan laporan dari dokter diperkirakan kejadian alergi
obat adalah 2% dari total pemakaian obat – obatan atau sebesar 15 – 20% dari
keseluruhan efek samping pemakaian obat – obatan.
4. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya erupsi alergi obat dapat terjadi secara non
imunologik dan imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi
imunologik. Pada mekanisme imunologik, erupsi alergi obat terjadi pada
pemberian obat kepada pasien yang sudah tersensitasi dengan obat tersebut.
Obat dengan berat molekul yang rendah awalnya berperan sebagai antigen yang
tidak lengkap (hapten). Obat atau metabolitnya yang berupa hapten ini harus
berkonjugasi dahulu dengan protein, misalnya jaringan, serum atau protein dari
membran sel untuk membentuk antigen yaitu kompleks hapten protein. Obat
dengan berat molekul yang tinggi dapat berfungsi langsung sebagai antigen
lengkap. Sehingga mengakibatkan terjadinya erupsi obat.
5. Gejala klinis
a. Bercak kemerahan akibat barbiturate mungkin terdapat pada telapak tangan
dan kaki
b. Biasanya berupa eritema atau morbiliform, kadang – kadang disertai dengan
demam, limfadenopati dan nyeri pada mulut.
14
6. Laboratorium penunjang
a. Pemeriksaan in vivo
b. Pemeriksaan in vitro
7. Pengobatan
a. Pengobatan kausal
Dilaksanakan dengan menghindari obat yang membuat alergi. Dianjurkan
pula untuk menghindari obat yang mempunyai struktur kimia dengan obat
satu golongan.
b. Pengobatan simtomatik
1) Pada reaksi tipe I
Bila terjadi syok dapat diberikan epineprin 1 : 1000 sebanyak 0,3-0,5
ml secara subkutan atau intravena. Antihistamin dan kortikosteroid
dapat diberikan, tetapi bukan pengobatan penanganan pertama.
Umumnya reaksi dapat diatasi dalam 15-20 menit.
2) Pada reaksi tipe lain
Penghentian penggunaan obat yang membuat alergi umumnya cukup
memberikan hasil yang baik. Sesuai dengan berat ringannya reaksi,
pemberian kortikosteroid dan antihistamin dapat dipertimbangkan.
15
D. Eritroskuamosa
1. Definisi
Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritema di
seluruh tubuh atau hamper seluruh tubuh, biasanya disertai skuama.
Eritroderma adalah kemerahan yang abnormal pada kulit yang menyebar luas
ke daerah-daerah tubuh (Kamus Saku Kedokteran, Dorland).
2. Etiologi
Penyebab yang umum adalah faktor-faktor genetik, akibat pengobatan
dengan medikamentosa tertentu dan infeksi. Penyakit ini bisa juga merupakan
akibat lanjut (sekunder) dari psoriasis, eksema, dermatitis seboroik, dermatitis
kontak, dermatitis atopik, pitiriasis rubra pilaris, dan limfoma maligna.
3. Histologi
a. Eritroma akibat alergi obat secara sistematik
Banyak obat yang bisa menyebabkan alergi, tetapi yang sering adalah
penisilin dan derivatnya (ampisilin, amoxilin, kloksasilin), sulfonamid,
golongan analgesik antipiretik (misalnya asam salisilat, metamisol,
parasetamol, fenibutason, piramidon) dan tetrasiklin. Alergi obat-obatan
bisa memaparkan eosinofil diantara infiltrate eosinofil, Mikosis fungoides
atau sezary syndrome bisa membentuk gambaran infiltrate seperti
monotonous band yang terdiri dari sel mononuclear-cerebriform yang besar,
sepanjang dermoepidermal junction atau sekitar pembuluh darah di dalam
16
dermis papillary, epidermitropism tanpa spongiosis dan mikroabses pautrier
tanpa epidermis.
b. Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit
Penyakit kulit yang bisa meluas menjadi eritroderma misalnya psoriasis,
pemfigus follasius, dermatitis atopik, pitiriasis rubra pilaris, liken planus,
dermatitis seboroik pada bayi.
c. Eritroderma akibat penyakit sistemik termasuk keganasan
Berbagai penyakit atau kelainan alat dalam termasuk keganasan dan
infeksi fokal alat dalamd. Idiopatik. Specimen histologik tidak spesifik
walau bagaimanapun, ulangan biopsy bisa menunjukan bukti dari mikosis
fungiodes .
4. Patofisiologi
Pada eritroderma terjadi eritema dan skuama. Mekanisme terjadinya alergi
obat seperti terjadi secara non imunologik dan imunologik (alergik), tetapi
sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Pada mekanisme imunologik,
alergi obat terjadi pada pemberian obat pada pasien yang sudah tersensitasi
dengan obat tersebut. Obat dengan berat molekul yang rendah aalnya berperan
sebagai antigen yang tidak lengkap (hapten). Obat atau metaboliknya yang
berupa hapten ini harus berkojugasi dahulu dengan protein, serum atau protein
dari membrane sel untuk membentuk antigen obat dengan berat molekul yang
tinggi dapat berfungsi langsung sebagai antigen lengkap.
17
5. Manifestasi Klinis
Keadaan ini mulai terjadi secara akut sebagai erupsi terjadi bercak-bercak
atau eritematous yang menyeluruh disertai gejala panas, rasa tidak enak badan
dan kadang-kadang gejala gastrointestinal. Warna kulit berubah dari merah
muda menjadi merah gelap. Sesudah satu minggu dimulai gejala eksfoliasi
(pembentukan skuama) yang khas dan biasanya dalam bentuk serpihan kulit
yang halus yang meninggalkan kulit yang licin serta berwarna merah
dibawahnya. Gejala ini disertai dengan pembentukan sisik yang baru ketika
sisik yang lama terlepas. Kerontokan rambut dapat menyertai kelainan ini
eksaserbasi sering terjadi. Efek sistemiknya mencakup gagal jantung kongestif
high-output, gangguan intestinal, pembesaran payudara, kenaikan kadar asam
urat dalam darah (hiperurisemia) dan gangguan temperature.
6. Laboratorium Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan eusinofilia pada dermatitis
exfoliativa oleh karena dermatitis atopik. Gambaran lainnya adalah sedimen
yang meningkat, turunnya albumin serum dan globulin serum yang relatif
meningkat, serta tanda disfungsi kegagalan jantung dan intestinal.
7. Proses Keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian keperawatan berkelanjutan dilaksanakan untuk mendeteksi
infeksi. Kulit yang mengalami desrupsi eritematosa basah amat rentan
terhadap infeksi dan dapat menjadi tempat kolonisasi organisasi pathogen
18
yang amat memperberat inflamasi. Antibiotik yang diresepkan dokter jika
terdapat infeksi dipilih berdasarkan hasil kultur dan tes sensitifitas. Pasien
diobservasi untuk memantau tanda-tanda dan gejala gagal jantung kongestif
karena hiperenia serta peningkatan aliran darah kulit dapat menimbulkan
gagal jantung yang dapat menyebabkan high-output. Hipotermia dapat pula
terjadi karena peningkatan aliran darah dalam kulit yang ditambah lagi
dengan kehilangan air lewat kulit sehingga terjadi kehilangan panas lewat
radiasi, konduksi dan evaporasi. Perubahan pada tanda-tanda vital harus
dipantau dengan ketat dan dilaporkan. Sebagaimana setiap dermatitis yang
akut, terapi topikal digunakan untuk meredakan gejala (terapi simtomatik).
Rendaman yang meringankan gejala kompres dan pelemasan kulit dengn
preparat emolien dipakai untuk mengobati dermatitis yang kuat. Pasien
cenderung menjadi sangat mudah tersinggung karena rasa gatalnya yang
hebat. Preparat kortikosterid oral atau parenteral dapat diresepkan kalau
penyakit tersebut tidak terkendali oleh terapi yang lebih konservatif. Setelah
penyebabnya yang spesifik, terapi yang diberikan dapat lebih spesifik.
Pasien dinasehati untuk menghindari semua iritan demasa mendatang,
khususnya obat-obatan (Brunner & Suddart).
19
b. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan keseimbangan cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
berlebihan transdermal dan edema.
2) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kulit kering bersisik.
3) Gangguan body image berhubungan dengan perubahan pigmen kulit.
4) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan postula dan krusta.
E. Urtikaria
1. Definisi
Urtikaria akut adalah suatu reaksi vaskular dari kulit berwarna merah atau
keputihan akibat edema interseluler lokal yang terbatas pada kulit dan mukosa.
Urtikaria akut merupakan kondisi yang sering mendorong pasien untuk mencari
pengobatan di gawat darurat.
Urtikaria akut didefinisikan apabila berlangsung beberapa jam sampai 6
minggu tergantung pada etiologi. Jika urtikaria ini terus menerus sampai waktu
6 minggu, keadaan ini didefinisikan sebagai urtikaria kronis.
2. Etiologi
Penyebab pasti belum jelas, tetapi 40-50 % kasus urtikaria akut dapat
diketahui penyebabnya. Penyebab yang diidentifikasi sebagai infeksi saluran
pernafasan atas adalah 39,5 % dari total kasus, analgesik 9 %, dan intoleransi
makanan 0,9 %. Urtikaria terkaitan dengan adanya ganggian autoimun atau
keganasan dapat menjadi kondisi urtikaria kronis.
20
3. Epidemiologi
Urtikaria sering dijumpai pada semua umur, orang dewasa lebih banyak
mengalami urtikaria dibandingkan dengan usia muda. Sheldon (1951),
menyatakan bahwa umur rata-rata penderita urtikaria ialah 35 tahun, jarang
dijumpai pada umur kurang dari 10 tahun atau lebih dari 60 tahun. Ditemukan
40 % bentuk urtikaria saja, 49 % bentuk urtikaria bersama dengan angiodema,
dan 11 % bentuk angiodema saja. Lama serangan bervariasi.
4. Patofisiologi
Pelepasan histamin dan senyawa lain oleh sel mast dan basofil
menyebabkan munculnya urtikaria. Dengan mediasi suatu imun yang mengikat
IgE untuk mengaktifkan sel mast. Aktivasi sel mast dari reseptor FcERI
menyebabkan suatu degranulasi vesikel intraselular yang mengandung histamin.
Histamin ini akan memberikan manifestasi pelepasan kemokin sehingga
terjadinya ekstravasasi cairan ke dermis (edema).
Aktivasi reseptor histamin H1 pada sel otot polos dan sel endotel
menyebabkan kontraksi selular dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah.
Aktivasi reseptor histamin H2 menyebabkan vasodilatasi. Urtikaria adalah pola
reaksi yang mencerminkan aktivasi sel mast dan basofil. Mekanisme yang tepat
dari suatu aksi yang mengakibatkan pelepasan intraseluler sel mast dan basofil
sangat bervariasi dan dapat terjadi melalui mekanisme mediasi imun atau non
imun.
21
5. Manifestasi Klinis
Keluhan subyektif biasanya gatal, rasa terbakar atau tertusuk. Klinis tampak
eritema dan edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah
tampak lebih pucat.
6. Laboratorium Penunjang
a. Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin
b. Pemeriksaan gigi, THT
c. Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil, dan
komplemen
d. Tes kulit
e. Tes eliminasi makanan
f. Pemeriksaan histopatologik
g. Tes foto tempel
h. Tes dengan es
i. Tes dengan air hangat
7. Proses Keperawatan
a. Pengkajian
1) Anamnesis
Keluhan subjektif biasanya rasa gatal, rasa terbakar atau tertusuk.
Penting untuk dikaji adalah paparan akut baik berupa pemakaian obat-
obatan atau suatu kontak langsung dengan kulit yang bisa meningkatkan
aktivitas dari sel mast.
22
2) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik klinis tampak eritema dan edema setempat yang
berbatas tegas, kadang bagian tengah tampak lebih pucat.
b. Diagnosa Keperawatan
1) Resiko tinggi syok anafilatik b/d respon
inflamasi, alergi sistemik
2) Gangguan pola tidur b/d gatal, lesi, dan
reaksi inflamasi lokal
3) Kebutuhan pengetahuan b/d
ketidaktahuan program perawatan dan pengobatan
F. Acne
1. Definisi
Acne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea
yang umunya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh dengan sendirinya.
Acne vulgaris adalah penyakit radang menahun dari aparatus pilosebasea,
lesi paling sering dijumpai pada wajah, dada, dan punggung. Kelenjar yang
meradang dapat membentuk papul kecil berwarna merah muda, yang kadang
kala mengelilingi komedo sehingga tampak hitam pada bagian tengahnya.
2. Epidemiologi
23
Karena hampir setiap orang pernah menderita penyakit ini, maka sering
dianggap sebagai kelainan kulit yang timbul secara fisiologis. Baru pada masa
remajalah akne vulgaris menjadi salah satu problem. Umumnya insiden terjadi
pada umur 14-17 tahun pada wanita, 16-19 tahun pada pria dan pada masa itu
lesi yang paling dominan adalah komedo dan papul dan jarang terlihat lesi
beradang. Diketahui bahwa pada ras Oriental (Jepang, Cina, Korea) lebih jarang
menderita akne vulgaris.
3. Etiologi
a. Faktor genetik
b. Faktor ras
c. Hormonal
d. Diet
e. Iklim
f. Lingkungan
g. Stres
4. Patofisiologi
Mekanisme yang tepat dari proses akne tidak sepenuhnya dipahami, namun
diketahui oleh sebum berlebih, hiperkeratinisasi folikel, stres oksidatif dan
peradangan. Androgen, mikroba dan pengaruh patogenetik juga bekerja dalam
proses terjadinya akne.
Lesi akne vulgaris tumbuh dalam folikel sebasea besar dan multilobus yang
mengeluarkan produknya ke dalam slauran folikel. Lesi permukaan akne adalah
24
komedo, yang merupakan kantong folikel yang berdilatasi berisi materi
keratinosa berlapis, lipid, dan bakteri.
5. Manifestasi Klinis
Akne vulgaris ditandai dengan empat tipe dasar yaitu :
a. Komedo terbuka dan tertutup
b. Papula
c. Pustula
d. Lesi Nodulokistik
6. Pengobatan
a. Pengobatan Topikal
Dilakukan untuk mencegah pembentukan komedo, menekan peradangan,
dan mempercepat penyembuhan lesi.
b. Pengobatan Sistemik
Pengobatan sistemik ditujukan terutama untuk menekan pertumbuhan jasad
renik di samping juga mengurangi reaksi radang, menekan produksi sebum,
dan mempengaruhi perkembangan hormonal.
25
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol. 3.
Jakarta : EGC
Doenges, Marilyn E. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi III. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arief. 1998. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta : EGC
Carpenito, Lynda Juall. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Penerbit :
EGC, Jakarta.