isbd 4

14
www.ekosuryanti.wordpress.com REVITALISASI KEBUDAYAAN YOGYAKARTA DALAM ERA GLOBALISASI Penulis : DSKM, Bapeda * Abstraksi Kebudayaan menjadi modal pembangunan daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kebudayaan dapat menjadi motor penggerak dan motivator dalam pelaksanaan pembangunan di daerah. Pembangunan kebudayaan tidak bisa lepas dari fenomena globalisasi. Era globalisasi menawarkan banyak kepraktisan, kemudahan, kebebasan yang memiliki daya tarik besar bagi generasi muda. Kebudayaan Jawa dianggap memiliki kaidah-kaidah yang justru menjauhkan diri dari pendukung-pendukungnya. Padahal Yogyakarta memiliki kekayaan kebudayaan yang diakui oleh dunia internasional. Kebudayaan sebagai salah satu pilar daya saing daerah memerlukan strategi perencanaan yang berbasis kebudayaan. Dalam perencanaan berstrategi kebudayaan diperlukan ketahanan budaya, yang mencakup kemampuan budaya Jawa di Jogja menghadapi ancaman penggerusan baik dari dalam maupun budaya global. Pendahuluan A. Latar Belakang Permasalahan Banyak faktor yang menentukan daya saing, seperti teknologi, sumber daya manusia, prasarana, lingkungan, atau budaya. Masalah daya saing bukan hanya menyangkut industri dan perdagangan. Budaya merupakan salah satu pilar daya saing daerah yang sangat penting. Budaya yang khas akan menjadi produk yang memiliki nilai tambah yang tinggi. Ketertarikan suatu masyarakat terhadap budaya tertentu akan berpengaruh pada peluang yang lain. Budaya yang manakah yang bisa dijadikan daya saing daerah ?

Upload: selynarizky60920922

Post on 29-Nov-2015

17 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: ISBD 4

www.ekosuryanti.wordpress.com

REVITALISASI KEBUDAYAAN YOGYAKARTA

DALAM ERA GLOBALISASI

Penulis : DSKM, Bapeda *

Abstraksi

Kebudayaan menjadi modal pembangunan daerah di Daerah Istimewa

Yogyakarta. Kebudayaan dapat menjadi motor penggerak dan

motivator dalam pelaksanaan pembangunan di daerah. Pembangunan

kebudayaan tidak bisa lepas dari fenomena globalisasi. Era globalisasi

menawarkan banyak kepraktisan, kemudahan, kebebasan yang

memiliki daya tarik besar bagi generasi muda. Kebudayaan Jawa

dianggap memiliki kaidah-kaidah yang justru menjauhkan diri dari

pendukung-pendukungnya. Padahal Yogyakarta memiliki kekayaan

kebudayaan yang diakui oleh dunia internasional. Kebudayaan

sebagai salah satu pilar daya saing daerah memerlukan strategi

perencanaan yang berbasis kebudayaan. Dalam perencanaan

berstrategi kebudayaan diperlukan ketahanan budaya, yang

mencakup kemampuan budaya Jawa di Jogja menghadapi ancaman

penggerusan baik dari dalam maupun budaya global.

Pendahuluan

A. Latar Belakang Permasalahan

Banyak faktor yang menentukan daya saing, seperti teknologi,

sumber daya manusia, prasarana, lingkungan, atau budaya. Masalah

daya saing bukan hanya menyangkut industri dan perdagangan.

Budaya merupakan salah satu pilar daya saing daerah yang sangat

penting. Budaya yang khas akan menjadi produk yang memiliki nilai

tambah yang tinggi. Ketertarikan suatu masyarakat terhadap budaya

tertentu akan berpengaruh pada peluang yang lain. Budaya yang

manakah yang bisa dijadikan daya saing daerah ?

Dalam misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

terkandung keinginan untuk mewujudkan masyarakat bermoral,

beretika, dan berbudaya. Dalam membangun peradaban bangsa

diperlukan strategi pembangunan kebudayaan. Oleh karenanya

pembangunan kebudayaan merupakan salah satu prioritas

pembangunan nasional untuk mewujudkan misi tersebut. Misi RPJP

Page 2: ISBD 4

www.ekosuryanti.wordpress.com

nasional bersinergi dengan misi pembangunan DIY yang ingin

mewujudkan DIY sebagai pusat budaya terkemuka 2020.

Membicarakan kebudayaan, yang manakah yang menjadi

sasaran program pembangunan kebudayaan di Yogyakarta.

Berdasarkan wujudnya, kebudayaan dapat digolongkan atas dua

komponen utama: Kebudayaan material dan Kebudayaan

nonmaterial. Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan

masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan

material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu

penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan

seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang,

seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung

pencakar langit, dan mesin cuci. Kebudayaan nonmaterial adalah

ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi,

misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian

tradisional.

Menurut Edward B. Taylor, kebudayaan merupakan keseluruhan

yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,

kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-

kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota

masyarakat.

Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan

menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak. Wujud ideal

kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide,

gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang

sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan

ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga

masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka

itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu

berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga

masyarakat tersebut. Aktivitas (tindakan) adalah wujud

kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam

masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial.

Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling

berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia

Page 3: ISBD 4

www.ekosuryanti.wordpress.com

lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata

kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan

dapat diamati dan didokumentasikan. Artefak (karya) adalah wujud

kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan

karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau

hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya

paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan. Dalam kenyataan

kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak

bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh:

wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada

tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

Kebudayaan Yogyakarta merupakan kebudayaan yang tumbuh

dan berkembang di DIY yang berakarkan kebudayaan lama dan asli

serta sebagai hasil interaksi dari kebudayaan lain sebagai pelengkap,

pemerkaya, dan penyempurna.

Berdasarkan definisi kebudayaan di atas, Yogyakarta memiliki

modal besar dalam program pembangunan nasional. Dalam hal

kesejahteraan dan kepurbakalaan, DIY memiliki 365 buah Benda

Cagar Budaya, yang terdiri dari kraton, rumah adat, bangunan

kolonial, goa, tempat beribadah, situs kota, benteng, dan lain-lain

yang masing-masing memiliki keunikan dan kelangkaan tersendiri dan

13 Kawasan Cagar Budaya. Selain itu juga terdapat 30 museum.

Dalam hal adat tradisi, kesenian dan nilai budaya, DIY diperkaya oleh

2863 grup/ormas kesenian, 46 jenis potensi kesenian, 45 buah potensi

kesenian, 45 buah sentra industri kerajinan, dan 32 desa budaya.

(Berdasarkan data tahun 1995). Para leluhur Yogyakarta juga

mewariskan nilai-nilai filosofis yang bisa menjadi dasar dalam setiap

tata perilaku kita. Potensi tersebut diperkuat dengan kenyataan

bahwa eksistensi Sultan dan insitusi Kraton masih diakui di tingkat

nasional dan internasional.

Apabila kita melihat kuantitas dari potensi budaya di DIY, dapat

dikatakan bahwa DIY memiliki modal besar dalam pembangunan

kebudayaan di daerah. Akan tetapi, kenyataannya kuantitas dan

kualitas pelestarian terhadap warisan budaya masih belum optimal,

apalagi pasca gempa 27 Mei 2006 tingkat kerusakan BCB semakin

Page 4: ISBD 4

www.ekosuryanti.wordpress.com

tinggi, tingkat kesadaran masyarakat terhadap keberadaan BCB/KCB

masih rendah. Belum lagi aset budaya fisik harus terancam tergusur

kepentingan investasi dan ekonomi. Museum sebagai tempat

penyimpanan warisan budaya fisik dan sebagai tempat pembelajaran

dan penelitian wisata bagi masyarakat, ternyata kurang diminati oleh

masyarakat lokal. Fasilitasi terhadap apresiasi seni budaya dari

masyarakat belum maksimal, minimnya dana untuk sektor

kebudayaan. Wajarlah jika atraksi-atraksi seni pada ruang-ruang

publik masih rendah dan masih bersifat lokal, belum meng-

internasional. Selain itu juga nilai-nilai luhur budaya belum menjadi

bagian dari kehidupan masyarakat.

Keadaan umum di atas, diperparah oleh fenomena globalisasi

yang datang bagaikan hantu bagi pejuang kebudayaan di daerah.

Globalisasi adalah berkurang atau hilangnya batasan negara dalam

pertukaran sukarela lintas batas dan produksi global yang semakin

terintegrasi. Globalisasi diasumsi akan membawa budaya dunia

menuju homogenitas. Yang lebih mengherankan lagi, daya serap

masyarakat lokal lebih besar pada budaya yang dibawa dunia global,

daripada daya serap terhadap nilai-nilai lokal.

Globalisasi dan percampuran dengan budaya lain tidak bisa

terelakkan, mengingat posisi Yogyakarta, sebagai pusat pendidikan

DIY didiami oleh masyarakat dari luar daerah. DIY merupakan kota

yang memiliki romantika sejarah, dari klasik hingga zaman revolusi

kemerdekaan, yang meninggalkan kesan mendalam bagi orang-orang

yang pernah datang ke sana. Selain itu DIY menjadi salah satu daerah

tujuan wisata bagi penduduk dunia. Masyarakat Yogyakarta memiliki

nilai-nilai keterbukaan bagi orang-orang asing, sehingga akulturasi

budaya sering terjadi.

B. Permasalahan

Suatu kebudayaan dikatakan bernilai tinggi apabila dia mampu

menjawab tantangan yang ada dengan bertanggung jawab.

Kebudayaan tidak diam, tetapi bergerak, tumbuh dan berkembang.

Kebudayaan memang harus memiliki challenge agar kebudayaan itu

hidup, tetapi challenge harus diimbangi dengan response. Jika

Page 5: ISBD 4

www.ekosuryanti.wordpress.com

dikatakan bahwa suatu budaya tak boleh dipengaruhi oleh budaya

lain diluarnya, atau dilindungi dari pengaruh globalisasi, maka sama

saja, menurut Tom G. Palmer, menggiring budaya tersebut keambang

kehancuran.

Akan tetapi, ketika kebudayaan lain tersebut justru mengancam

peradaban masyarakat lokal, apa kita perlu menyambut dan

merangkul dunia global atau justru kita mengisolasi diri dengan

budaya lain.

Gempuran budaya luar yang lebih kuat daripada ketahanan

budaya masyarakat lokal tentu akan membahayakan eksistensi

budaya lokal. Kalau masyarakat setempat sendiri sudah tidak memiliki

daya saring dan daya tahan agar budaya lokal tetap eksis,

mungkinkah kebudayaan Yogyakarta mampu bertahan dua puluh lima

tahun yang akan datang ? Akankah kebudayaan Yogyakarta menjadi

tamu asing yang aneh bagi penduduk Yogya di ruang budayanya

sendiri ? Siapakah yang paling bertanggung jawab terhadap eksistensi

dan pengembangan kebudayaan lokal ?

Dalam realita sehari-hari kebudayaan lokal sedang mengalami

kondisi mati segan, hidup tidak mau.

II. Pembahasan

Globalisasi bukan faktor tunggal melunturnya ketahanan

budaya

Fenomena globalisasi bukanlah sesuatu yang baru. Palmer

menggambarkan justru adanya globalisasilah yang membuat budaya

semakin beragam seraya berkembang dan mengisi satu dengan yang

lainnya. Bagi Palmer mereka yang membela keotentikan budaya

biasanya menganggap batas-batas budaya otentik sama dengan

batas-batas territorial. Menutup tulisannya Palmer mengatakan,

budaya yang hidup selalu berubah, proses perubahanlah yang

menjadikan budaya sebagai budaya. Sekitar tahun 420 sebelum

Masehi, ahli filosofi Democritus dari Abdera menulis, ”Bagi orang yang

bijaksana seluruh dunia ini terbuka, karena asal jiwa yang baik adalah

seluruh dunia.” Demikian pula bagi orang Jawa di Yogyakarta. Sejarah

telah membuktikan bahwa persentuhan antara budaya satu dengan

yang lainnya justru memperkaya dan melengkapi kebudayaan lokal.

Page 6: ISBD 4

www.ekosuryanti.wordpress.com

Kehadiran budaya lain di tengah budaya lokal dapat menjadi unsur

dinamisasi budaya lokal. Kehadiran budaya Hindu dan Budha mampu

berakulturasi dengan budaya lokal tanpa ada konflik yang penting.

Realita sejarah telah membuktikan bahwa kebudayaan

Yogyakarta bukanlah kebudayaan asli yang berdiri sendiri di

negerinya, tetapi merupakan ramuan dari berbagai kebudayaan yang

telah di-harmonisasikan ke dalam seluruh aspek kehidupan berbudaya

di Yogyakarta. Seorang ahli tata ruang dan ahli strategi perang telah

mendesign kebudayaan Yogyakarta sedemikian rupa yang

dimanifestasikan dalam bentuk seni pertunjukan, seni rupa, bahasa,

seni suara, seni sastra, adat istiadat, filosofi, seni bangunan, dan

sebagainya.

Sesungguhnya permasalahan pokok dari kebudayaan itu bukan

hanya globalisasi, tetapi terletak pada eksistensi kebudayaan itu

sendiri. Kebudayaan yang berkembang selama ini dianggap telah

meninggalkan banyak rumus aslinya. Faktor-faktor yang

menyebabkan kebudayaan Jawa di Yogyakarta tidak tampil dalam

kehidupan sehari-hari :

a. Kebudayaan asli dianggap kurang praktis,

b. Biaya ritual yang mahal dan terlalu banyak perhitungan,

sehingga perlu penyederhanaan lagi.

c. Banyak aturan dan unggah-ungguh yang belum mendarah

daging di kalangan generasi muda.

Bukanlah globalisasi yang harus dihindari, tetapi upaya-upaya

pembakuan dan modernisasi yang mengarah pada proses

pembunuhan tradisi harus di lawan, karena itu berarti pelenyapan

atas sumber identitas lokal yang diawali dengan krisis identitas lokal.

Menghadapi globalisasi diperlukan sikap arif dan positif thinking,

karena globalisasi juga membawa nilai-nilai yang bisa dipadukan

dengan budaya asli.

Perpaduan Nilai-Nilai Kearifan Lokal dengan Nilai-Nilai Modern

Page 7: ISBD 4

www.ekosuryanti.wordpress.com

Nilai-nilai kearifan lokal bukanlah nilai usang yang harus

dimatikan, tetapi dapat bersinergi dengan nilai-nilai universal dan

nilai-nilai modern yang dibawa globalisasi. Dunia internasional sangat

menuntut demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup menjadi

agenda pembangunan di setiap negara. Isu-isu tersebut dapat

bersinergi dengan aktualisasi dari filosofi ”Hamemayu Hayuning

Bawana”, masyarakat Yogyakarta harus bersikap dan perilaku yang

selalu mengutamakan harmoni, keselarasan, keserasian dan

keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam, manusia

dengan manusia dan manusia dengan Allah SWT dalam melaksanakan

hidup dan kehidupan agar negara menjadi panjang, punjung, gemah

ripah loh jinawi, karta tur raharja.

Hamemayu Hayuning Bawana dapat direalisasikan dengan

Hamemasuh Memalaning Bumi, yaitu membersihkan atau

mengamankan tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak asasi

manusia. ”Memalaning Bumi” itu dapat berupa peperangan,

penghapusan etnis, penyalahgunaan obat bius, penggunaan senjata

pemusnah masal, terorisme, wabah penyakit, pembakaran hutan, dan

lain-lain yang membahayakan kehidupan manusia dan alam

lingkungan. Rasio dan kreatifitas Barat dapat bersinergi dengan

Hangengasah Mingising Budi, yang menggambarkan upaya yang tidak

berhenti untuk mempertajam budi/manusia sehingga semakin tajam

dari waktu ke waktu. Budi manusia yang terasah akan selalu

menghasilkan hal-hal yang bersifat baik bahkan luhur dalam wujud

hasrat sampai dengan perbuatan atau karya-karyanya. Dalam hal ini

diharapkan manusia dapat melahirkan pemikiran-pemikiran atau

hasrat baik atau luhur secara terus menerus guna disumbangkan bagi

kepentingan manusia atau bebrayan agung termasuk untuk

Page 8: ISBD 4

www.ekosuryanti.wordpress.com

melindungi atau melestarikan dunia seisinya. Etos kerja dan

profesionalisme dapat sinergi dengan filosofi ”Sepi ing pamrih rame

ing gawe” (giat bekerja tanpa memikirkan diri sendiri). Terbangunnya

kondisi damai dalam menjalin hubungan dengan negara-negara lain

sehingga tercipta stabilitas keamanan dari tingkat sub regional,

regional bahkan di dunia seyogyanya dicapai dengan aplikasi konsep

”nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake”.

Membangun Pusat-pusat Revitalisasi Kebudayaan Jawa.

Yogyakarta masih memiliki desa-desa budaya, yang di

dalamnya diperkaya arsitektur tradisional, upacara ritual, kesenian,

barang-barang kerajinan, dan sebagainya. Untuk menjamin

kelancaran kegiatan Pusat Revitalisasi Kebudayaan Jawa di Jogja

secara berkesinambungan tentu diperlukan sumber dana yang tetap.

Dalam hal ini pihak pemerintah, swasta, swadaya masyarakat secara

bergotong-royong menyediakan satu sumber dana secara

berkesinambungan dapat di pergunakan untuk biaya yang diperlukan

oleh Pusat Revitalisasi Kebudayaan. Kalau kegiatan dalam proyek

tersebut sudah dapat menghasilkan produksi yang dapat dijual ke

pasaran, hasilnya akan digunakan sepenuhnya untuk membiayai

proyek tersebut. Untuk melakukan revitalisasi kebudayaan

membutuhkan media yang bertaraf nasional dan internasional

sehingga bisa meningkatkan peran kebudayaan lokal di fora nasional

maupun internasional, dapat memanfaatkan teknologi komputer

untuk menawarkannya.

Budaya yang khas dapat menjadi suatu produk yang memiliki

nilai tambah yang tinggi, sesuai dengan perkembangan media. Daya

tarik kebudayaan akan berpengaruh pada daya tarik yang lainnya

termasuk ekonomi dan investasi. Pemerintah sudah selayaknya

memperkuatkan daya saing di sektor budaya, dan mempromosikan

industri budaya yang memiliki nilai tambah yang tinggi sebagai

penggerak ekonomi di Yogyakarta. Untuk memperkuat daya saing

budaya pemerintah perlu membangun pusat informasi gabungan

Page 9: ISBD 4

www.ekosuryanti.wordpress.com

untuk pertunjukan seni, pendirian dan pengelolaan promosi

pertunjukan seni, pengembangan tenaga ahli khusus untuk

membesarkan anak yang berbakat seni, menggiatkan sumbangan

pengusaha di bidang seni, sistem sertifikatmhadiah untuk buku dan

pertunjukan seni budaya, peningkatan kegiatan promosi tentang

produk budaya.

III. Rekomendasi

Permasalahan utama dari pembangunan kebudayaan bukan

hanya disebabkan oleh globalisasi, tetapi juga menyangkut kondisi

ketahanan budaya masyarakat setempat sendiri yang mengalami

stagnasi. Globalisasi yang tidak terhindarkan harus diantisipasi

dengan pembangunan budaya yang berkarakter penguatan jati diri

dan kearifan lokal yang dijadikan sebagai dasar pijakan dalam

penyusunan strategi dalam pelestarian dan pengembangan budaya.

Upaya memperkuat jatidiri daerah dapat dilakukan melalui

penanaman nilai-nilai budaya dan kesejarahan senasib

sepenanggungan di antara warga. Oleh karena itu perlu dilakukan

revitalisasi budaya daerah dan perkuatan budaya daerah. Upaya

tersebutt direalisasikan melalui langkah-langkah strategis berikut ini:

A. Revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal

1. Pemahaman atas falsafah budaya Jawa sebaiknya dilakukan

sesegera mungkin ke semua golongan dan semua usia

berkelanjutan dengan menggunakan bahasa Jawa. Demikian

pula di lingkungan pemerintahan, dari pusat hingga RT dan

RW.

2. Pembenahan dalam pembelajaran Bahasa Jawa.

3. ”Plug in” muatan budi pekerti di setiap mata pelajaran di

lingkungan pendidikan.

Page 10: ISBD 4

www.ekosuryanti.wordpress.com

4. Pengembangan kesenian tradisional perlu menjadi perhatian

para pemangku

kebijakan

5. Pengaitan kajian-kajian budaya dengan aspek kehidupan

kemasyarakatan yang lain, seperti teknologi, kesehatan,

agronomi.

B. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia

1. Peningkatan kualitas pendidik, pemangku budaya yang

berkelanjutan

2. Pelibatan semua pihak, pemerintah, LSM, kelompok

masyarakat, pemerhati, akademisi, pebisnis.

3. Penghargaan bagi pemangku, pelaku dan pengembang

budaya Jawa.

C. Fasilitasi dan pendanaan kegiatan kebudayaan (ritual, kesenian,

rehabilitasi Benda Budaya, dan sebagainya) yang berkelanjutan.

1. Pemanfaatan berbagai prasarana yang ada di masyarakat

dan universitas

2. Peningkatan peran media cetak dan elektronik dan visual

termasuk media luar dan dalam ruangan dalam membuat kondusif

pemahaman falsafah budaya Jawa, mempromosikan seni

pertunjukan lokal melalui website.

3. Pejadwalan rutin workshop dan saresehan falsafah budaya

Jawa

4. Penggalangan jejaring antar pengembang kebudayaan baik

di Yogyakarta maupun di luar Yogyakarta.

5. Memberi fasilitas secara berkelanjutan bagi program-

program pelestarian dan pengembangan budaya.

Page 11: ISBD 4

www.ekosuryanti.wordpress.com

D. Penyusunan peraturan perundang-undang untuk melindungi

hasil-hasil karya kebudayaan.

1. Penyusunan draft hak patent atas karya-karya budaya

leluhur, seperti lukisan Affandi, batik, anyam-anyaman,

keramik Kasongan dan sebagainya sebelum diklaim oleh

negara lain.

2. Penyusunan PERDA yang melindungi aset budaya baik yag

berupa ide, perilaku, maupun fisik.

E. Penciptaan tata ruang budaya yang kondusif untuk

pengembangan, pelestarian, pewarisan kebudayaan.

Pembangunan budaya yang berkarakter pada penguatan jati diri

mempunyai karakter dan sifat interdepensi atau memiliki keterkaitan

lintas sektoral, spasial, struktural multi dimensi, interdisipliner,

bertumpu kepada masyarakat sebagai kekuatan dasra dengan

memanfaatkan potensi sumber daya pemerataan yang tinggi.

Karakter pembangunan budaya tersebut secara efektif merangkul dan

menggerakkan seluruh elemen dalam menghadapi era globalisasi

yang membuka proses lintas budaya (trans-cultural) dan silang

budaya (cross cultural) yang secara berkelanjutan akan

mempertemukan nilai-nilai budaya satu dengan lainnya.