isbd 4
TRANSCRIPT
www.ekosuryanti.wordpress.com
REVITALISASI KEBUDAYAAN YOGYAKARTA
DALAM ERA GLOBALISASI
Penulis : DSKM, Bapeda *
Abstraksi
Kebudayaan menjadi modal pembangunan daerah di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Kebudayaan dapat menjadi motor penggerak dan
motivator dalam pelaksanaan pembangunan di daerah. Pembangunan
kebudayaan tidak bisa lepas dari fenomena globalisasi. Era globalisasi
menawarkan banyak kepraktisan, kemudahan, kebebasan yang
memiliki daya tarik besar bagi generasi muda. Kebudayaan Jawa
dianggap memiliki kaidah-kaidah yang justru menjauhkan diri dari
pendukung-pendukungnya. Padahal Yogyakarta memiliki kekayaan
kebudayaan yang diakui oleh dunia internasional. Kebudayaan
sebagai salah satu pilar daya saing daerah memerlukan strategi
perencanaan yang berbasis kebudayaan. Dalam perencanaan
berstrategi kebudayaan diperlukan ketahanan budaya, yang
mencakup kemampuan budaya Jawa di Jogja menghadapi ancaman
penggerusan baik dari dalam maupun budaya global.
Pendahuluan
A. Latar Belakang Permasalahan
Banyak faktor yang menentukan daya saing, seperti teknologi,
sumber daya manusia, prasarana, lingkungan, atau budaya. Masalah
daya saing bukan hanya menyangkut industri dan perdagangan.
Budaya merupakan salah satu pilar daya saing daerah yang sangat
penting. Budaya yang khas akan menjadi produk yang memiliki nilai
tambah yang tinggi. Ketertarikan suatu masyarakat terhadap budaya
tertentu akan berpengaruh pada peluang yang lain. Budaya yang
manakah yang bisa dijadikan daya saing daerah ?
Dalam misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
terkandung keinginan untuk mewujudkan masyarakat bermoral,
beretika, dan berbudaya. Dalam membangun peradaban bangsa
diperlukan strategi pembangunan kebudayaan. Oleh karenanya
pembangunan kebudayaan merupakan salah satu prioritas
pembangunan nasional untuk mewujudkan misi tersebut. Misi RPJP
www.ekosuryanti.wordpress.com
nasional bersinergi dengan misi pembangunan DIY yang ingin
mewujudkan DIY sebagai pusat budaya terkemuka 2020.
Membicarakan kebudayaan, yang manakah yang menjadi
sasaran program pembangunan kebudayaan di Yogyakarta.
Berdasarkan wujudnya, kebudayaan dapat digolongkan atas dua
komponen utama: Kebudayaan material dan Kebudayaan
nonmaterial. Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan
masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan
material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu
penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan
seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang,
seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung
pencakar langit, dan mesin cuci. Kebudayaan nonmaterial adalah
ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi,
misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian
tradisional.
Menurut Edward B. Taylor, kebudayaan merupakan keseluruhan
yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-
kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota
masyarakat.
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan
menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak. Wujud ideal
kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang
sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan
ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga
masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka
itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu
berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga
masyarakat tersebut. Aktivitas (tindakan) adalah wujud
kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial.
Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling
berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia
www.ekosuryanti.wordpress.com
lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata
kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan
dapat diamati dan didokumentasikan. Artefak (karya) adalah wujud
kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan
karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau
hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya
paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan. Dalam kenyataan
kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak
bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh:
wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada
tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
Kebudayaan Yogyakarta merupakan kebudayaan yang tumbuh
dan berkembang di DIY yang berakarkan kebudayaan lama dan asli
serta sebagai hasil interaksi dari kebudayaan lain sebagai pelengkap,
pemerkaya, dan penyempurna.
Berdasarkan definisi kebudayaan di atas, Yogyakarta memiliki
modal besar dalam program pembangunan nasional. Dalam hal
kesejahteraan dan kepurbakalaan, DIY memiliki 365 buah Benda
Cagar Budaya, yang terdiri dari kraton, rumah adat, bangunan
kolonial, goa, tempat beribadah, situs kota, benteng, dan lain-lain
yang masing-masing memiliki keunikan dan kelangkaan tersendiri dan
13 Kawasan Cagar Budaya. Selain itu juga terdapat 30 museum.
Dalam hal adat tradisi, kesenian dan nilai budaya, DIY diperkaya oleh
2863 grup/ormas kesenian, 46 jenis potensi kesenian, 45 buah potensi
kesenian, 45 buah sentra industri kerajinan, dan 32 desa budaya.
(Berdasarkan data tahun 1995). Para leluhur Yogyakarta juga
mewariskan nilai-nilai filosofis yang bisa menjadi dasar dalam setiap
tata perilaku kita. Potensi tersebut diperkuat dengan kenyataan
bahwa eksistensi Sultan dan insitusi Kraton masih diakui di tingkat
nasional dan internasional.
Apabila kita melihat kuantitas dari potensi budaya di DIY, dapat
dikatakan bahwa DIY memiliki modal besar dalam pembangunan
kebudayaan di daerah. Akan tetapi, kenyataannya kuantitas dan
kualitas pelestarian terhadap warisan budaya masih belum optimal,
apalagi pasca gempa 27 Mei 2006 tingkat kerusakan BCB semakin
www.ekosuryanti.wordpress.com
tinggi, tingkat kesadaran masyarakat terhadap keberadaan BCB/KCB
masih rendah. Belum lagi aset budaya fisik harus terancam tergusur
kepentingan investasi dan ekonomi. Museum sebagai tempat
penyimpanan warisan budaya fisik dan sebagai tempat pembelajaran
dan penelitian wisata bagi masyarakat, ternyata kurang diminati oleh
masyarakat lokal. Fasilitasi terhadap apresiasi seni budaya dari
masyarakat belum maksimal, minimnya dana untuk sektor
kebudayaan. Wajarlah jika atraksi-atraksi seni pada ruang-ruang
publik masih rendah dan masih bersifat lokal, belum meng-
internasional. Selain itu juga nilai-nilai luhur budaya belum menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat.
Keadaan umum di atas, diperparah oleh fenomena globalisasi
yang datang bagaikan hantu bagi pejuang kebudayaan di daerah.
Globalisasi adalah berkurang atau hilangnya batasan negara dalam
pertukaran sukarela lintas batas dan produksi global yang semakin
terintegrasi. Globalisasi diasumsi akan membawa budaya dunia
menuju homogenitas. Yang lebih mengherankan lagi, daya serap
masyarakat lokal lebih besar pada budaya yang dibawa dunia global,
daripada daya serap terhadap nilai-nilai lokal.
Globalisasi dan percampuran dengan budaya lain tidak bisa
terelakkan, mengingat posisi Yogyakarta, sebagai pusat pendidikan
DIY didiami oleh masyarakat dari luar daerah. DIY merupakan kota
yang memiliki romantika sejarah, dari klasik hingga zaman revolusi
kemerdekaan, yang meninggalkan kesan mendalam bagi orang-orang
yang pernah datang ke sana. Selain itu DIY menjadi salah satu daerah
tujuan wisata bagi penduduk dunia. Masyarakat Yogyakarta memiliki
nilai-nilai keterbukaan bagi orang-orang asing, sehingga akulturasi
budaya sering terjadi.
B. Permasalahan
Suatu kebudayaan dikatakan bernilai tinggi apabila dia mampu
menjawab tantangan yang ada dengan bertanggung jawab.
Kebudayaan tidak diam, tetapi bergerak, tumbuh dan berkembang.
Kebudayaan memang harus memiliki challenge agar kebudayaan itu
hidup, tetapi challenge harus diimbangi dengan response. Jika
www.ekosuryanti.wordpress.com
dikatakan bahwa suatu budaya tak boleh dipengaruhi oleh budaya
lain diluarnya, atau dilindungi dari pengaruh globalisasi, maka sama
saja, menurut Tom G. Palmer, menggiring budaya tersebut keambang
kehancuran.
Akan tetapi, ketika kebudayaan lain tersebut justru mengancam
peradaban masyarakat lokal, apa kita perlu menyambut dan
merangkul dunia global atau justru kita mengisolasi diri dengan
budaya lain.
Gempuran budaya luar yang lebih kuat daripada ketahanan
budaya masyarakat lokal tentu akan membahayakan eksistensi
budaya lokal. Kalau masyarakat setempat sendiri sudah tidak memiliki
daya saring dan daya tahan agar budaya lokal tetap eksis,
mungkinkah kebudayaan Yogyakarta mampu bertahan dua puluh lima
tahun yang akan datang ? Akankah kebudayaan Yogyakarta menjadi
tamu asing yang aneh bagi penduduk Yogya di ruang budayanya
sendiri ? Siapakah yang paling bertanggung jawab terhadap eksistensi
dan pengembangan kebudayaan lokal ?
Dalam realita sehari-hari kebudayaan lokal sedang mengalami
kondisi mati segan, hidup tidak mau.
II. Pembahasan
Globalisasi bukan faktor tunggal melunturnya ketahanan
budaya
Fenomena globalisasi bukanlah sesuatu yang baru. Palmer
menggambarkan justru adanya globalisasilah yang membuat budaya
semakin beragam seraya berkembang dan mengisi satu dengan yang
lainnya. Bagi Palmer mereka yang membela keotentikan budaya
biasanya menganggap batas-batas budaya otentik sama dengan
batas-batas territorial. Menutup tulisannya Palmer mengatakan,
budaya yang hidup selalu berubah, proses perubahanlah yang
menjadikan budaya sebagai budaya. Sekitar tahun 420 sebelum
Masehi, ahli filosofi Democritus dari Abdera menulis, ”Bagi orang yang
bijaksana seluruh dunia ini terbuka, karena asal jiwa yang baik adalah
seluruh dunia.” Demikian pula bagi orang Jawa di Yogyakarta. Sejarah
telah membuktikan bahwa persentuhan antara budaya satu dengan
yang lainnya justru memperkaya dan melengkapi kebudayaan lokal.
www.ekosuryanti.wordpress.com
Kehadiran budaya lain di tengah budaya lokal dapat menjadi unsur
dinamisasi budaya lokal. Kehadiran budaya Hindu dan Budha mampu
berakulturasi dengan budaya lokal tanpa ada konflik yang penting.
Realita sejarah telah membuktikan bahwa kebudayaan
Yogyakarta bukanlah kebudayaan asli yang berdiri sendiri di
negerinya, tetapi merupakan ramuan dari berbagai kebudayaan yang
telah di-harmonisasikan ke dalam seluruh aspek kehidupan berbudaya
di Yogyakarta. Seorang ahli tata ruang dan ahli strategi perang telah
mendesign kebudayaan Yogyakarta sedemikian rupa yang
dimanifestasikan dalam bentuk seni pertunjukan, seni rupa, bahasa,
seni suara, seni sastra, adat istiadat, filosofi, seni bangunan, dan
sebagainya.
Sesungguhnya permasalahan pokok dari kebudayaan itu bukan
hanya globalisasi, tetapi terletak pada eksistensi kebudayaan itu
sendiri. Kebudayaan yang berkembang selama ini dianggap telah
meninggalkan banyak rumus aslinya. Faktor-faktor yang
menyebabkan kebudayaan Jawa di Yogyakarta tidak tampil dalam
kehidupan sehari-hari :
a. Kebudayaan asli dianggap kurang praktis,
b. Biaya ritual yang mahal dan terlalu banyak perhitungan,
sehingga perlu penyederhanaan lagi.
c. Banyak aturan dan unggah-ungguh yang belum mendarah
daging di kalangan generasi muda.
Bukanlah globalisasi yang harus dihindari, tetapi upaya-upaya
pembakuan dan modernisasi yang mengarah pada proses
pembunuhan tradisi harus di lawan, karena itu berarti pelenyapan
atas sumber identitas lokal yang diawali dengan krisis identitas lokal.
Menghadapi globalisasi diperlukan sikap arif dan positif thinking,
karena globalisasi juga membawa nilai-nilai yang bisa dipadukan
dengan budaya asli.
Perpaduan Nilai-Nilai Kearifan Lokal dengan Nilai-Nilai Modern
www.ekosuryanti.wordpress.com
Nilai-nilai kearifan lokal bukanlah nilai usang yang harus
dimatikan, tetapi dapat bersinergi dengan nilai-nilai universal dan
nilai-nilai modern yang dibawa globalisasi. Dunia internasional sangat
menuntut demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup menjadi
agenda pembangunan di setiap negara. Isu-isu tersebut dapat
bersinergi dengan aktualisasi dari filosofi ”Hamemayu Hayuning
Bawana”, masyarakat Yogyakarta harus bersikap dan perilaku yang
selalu mengutamakan harmoni, keselarasan, keserasian dan
keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam, manusia
dengan manusia dan manusia dengan Allah SWT dalam melaksanakan
hidup dan kehidupan agar negara menjadi panjang, punjung, gemah
ripah loh jinawi, karta tur raharja.
Hamemayu Hayuning Bawana dapat direalisasikan dengan
Hamemasuh Memalaning Bumi, yaitu membersihkan atau
mengamankan tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak asasi
manusia. ”Memalaning Bumi” itu dapat berupa peperangan,
penghapusan etnis, penyalahgunaan obat bius, penggunaan senjata
pemusnah masal, terorisme, wabah penyakit, pembakaran hutan, dan
lain-lain yang membahayakan kehidupan manusia dan alam
lingkungan. Rasio dan kreatifitas Barat dapat bersinergi dengan
Hangengasah Mingising Budi, yang menggambarkan upaya yang tidak
berhenti untuk mempertajam budi/manusia sehingga semakin tajam
dari waktu ke waktu. Budi manusia yang terasah akan selalu
menghasilkan hal-hal yang bersifat baik bahkan luhur dalam wujud
hasrat sampai dengan perbuatan atau karya-karyanya. Dalam hal ini
diharapkan manusia dapat melahirkan pemikiran-pemikiran atau
hasrat baik atau luhur secara terus menerus guna disumbangkan bagi
kepentingan manusia atau bebrayan agung termasuk untuk
www.ekosuryanti.wordpress.com
melindungi atau melestarikan dunia seisinya. Etos kerja dan
profesionalisme dapat sinergi dengan filosofi ”Sepi ing pamrih rame
ing gawe” (giat bekerja tanpa memikirkan diri sendiri). Terbangunnya
kondisi damai dalam menjalin hubungan dengan negara-negara lain
sehingga tercipta stabilitas keamanan dari tingkat sub regional,
regional bahkan di dunia seyogyanya dicapai dengan aplikasi konsep
”nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake”.
Membangun Pusat-pusat Revitalisasi Kebudayaan Jawa.
Yogyakarta masih memiliki desa-desa budaya, yang di
dalamnya diperkaya arsitektur tradisional, upacara ritual, kesenian,
barang-barang kerajinan, dan sebagainya. Untuk menjamin
kelancaran kegiatan Pusat Revitalisasi Kebudayaan Jawa di Jogja
secara berkesinambungan tentu diperlukan sumber dana yang tetap.
Dalam hal ini pihak pemerintah, swasta, swadaya masyarakat secara
bergotong-royong menyediakan satu sumber dana secara
berkesinambungan dapat di pergunakan untuk biaya yang diperlukan
oleh Pusat Revitalisasi Kebudayaan. Kalau kegiatan dalam proyek
tersebut sudah dapat menghasilkan produksi yang dapat dijual ke
pasaran, hasilnya akan digunakan sepenuhnya untuk membiayai
proyek tersebut. Untuk melakukan revitalisasi kebudayaan
membutuhkan media yang bertaraf nasional dan internasional
sehingga bisa meningkatkan peran kebudayaan lokal di fora nasional
maupun internasional, dapat memanfaatkan teknologi komputer
untuk menawarkannya.
Budaya yang khas dapat menjadi suatu produk yang memiliki
nilai tambah yang tinggi, sesuai dengan perkembangan media. Daya
tarik kebudayaan akan berpengaruh pada daya tarik yang lainnya
termasuk ekonomi dan investasi. Pemerintah sudah selayaknya
memperkuatkan daya saing di sektor budaya, dan mempromosikan
industri budaya yang memiliki nilai tambah yang tinggi sebagai
penggerak ekonomi di Yogyakarta. Untuk memperkuat daya saing
budaya pemerintah perlu membangun pusat informasi gabungan
www.ekosuryanti.wordpress.com
untuk pertunjukan seni, pendirian dan pengelolaan promosi
pertunjukan seni, pengembangan tenaga ahli khusus untuk
membesarkan anak yang berbakat seni, menggiatkan sumbangan
pengusaha di bidang seni, sistem sertifikatmhadiah untuk buku dan
pertunjukan seni budaya, peningkatan kegiatan promosi tentang
produk budaya.
III. Rekomendasi
Permasalahan utama dari pembangunan kebudayaan bukan
hanya disebabkan oleh globalisasi, tetapi juga menyangkut kondisi
ketahanan budaya masyarakat setempat sendiri yang mengalami
stagnasi. Globalisasi yang tidak terhindarkan harus diantisipasi
dengan pembangunan budaya yang berkarakter penguatan jati diri
dan kearifan lokal yang dijadikan sebagai dasar pijakan dalam
penyusunan strategi dalam pelestarian dan pengembangan budaya.
Upaya memperkuat jatidiri daerah dapat dilakukan melalui
penanaman nilai-nilai budaya dan kesejarahan senasib
sepenanggungan di antara warga. Oleh karena itu perlu dilakukan
revitalisasi budaya daerah dan perkuatan budaya daerah. Upaya
tersebutt direalisasikan melalui langkah-langkah strategis berikut ini:
A. Revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal
1. Pemahaman atas falsafah budaya Jawa sebaiknya dilakukan
sesegera mungkin ke semua golongan dan semua usia
berkelanjutan dengan menggunakan bahasa Jawa. Demikian
pula di lingkungan pemerintahan, dari pusat hingga RT dan
RW.
2. Pembenahan dalam pembelajaran Bahasa Jawa.
3. ”Plug in” muatan budi pekerti di setiap mata pelajaran di
lingkungan pendidikan.
www.ekosuryanti.wordpress.com
4. Pengembangan kesenian tradisional perlu menjadi perhatian
para pemangku
kebijakan
5. Pengaitan kajian-kajian budaya dengan aspek kehidupan
kemasyarakatan yang lain, seperti teknologi, kesehatan,
agronomi.
B. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia
1. Peningkatan kualitas pendidik, pemangku budaya yang
berkelanjutan
2. Pelibatan semua pihak, pemerintah, LSM, kelompok
masyarakat, pemerhati, akademisi, pebisnis.
3. Penghargaan bagi pemangku, pelaku dan pengembang
budaya Jawa.
C. Fasilitasi dan pendanaan kegiatan kebudayaan (ritual, kesenian,
rehabilitasi Benda Budaya, dan sebagainya) yang berkelanjutan.
1. Pemanfaatan berbagai prasarana yang ada di masyarakat
dan universitas
2. Peningkatan peran media cetak dan elektronik dan visual
termasuk media luar dan dalam ruangan dalam membuat kondusif
pemahaman falsafah budaya Jawa, mempromosikan seni
pertunjukan lokal melalui website.
3. Pejadwalan rutin workshop dan saresehan falsafah budaya
Jawa
4. Penggalangan jejaring antar pengembang kebudayaan baik
di Yogyakarta maupun di luar Yogyakarta.
5. Memberi fasilitas secara berkelanjutan bagi program-
program pelestarian dan pengembangan budaya.
www.ekosuryanti.wordpress.com
D. Penyusunan peraturan perundang-undang untuk melindungi
hasil-hasil karya kebudayaan.
1. Penyusunan draft hak patent atas karya-karya budaya
leluhur, seperti lukisan Affandi, batik, anyam-anyaman,
keramik Kasongan dan sebagainya sebelum diklaim oleh
negara lain.
2. Penyusunan PERDA yang melindungi aset budaya baik yag
berupa ide, perilaku, maupun fisik.
E. Penciptaan tata ruang budaya yang kondusif untuk
pengembangan, pelestarian, pewarisan kebudayaan.
Pembangunan budaya yang berkarakter pada penguatan jati diri
mempunyai karakter dan sifat interdepensi atau memiliki keterkaitan
lintas sektoral, spasial, struktural multi dimensi, interdisipliner,
bertumpu kepada masyarakat sebagai kekuatan dasra dengan
memanfaatkan potensi sumber daya pemerataan yang tinggi.
Karakter pembangunan budaya tersebut secara efektif merangkul dan
menggerakkan seluruh elemen dalam menghadapi era globalisasi
yang membuka proses lintas budaya (trans-cultural) dan silang
budaya (cross cultural) yang secara berkelanjutan akan
mempertemukan nilai-nilai budaya satu dengan lainnya.