isi skripsi
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keharmonisan dalam kehidupan rumah tangga pasangan suami istri
merupakan hal yang selalu didambakan. Salah satu faktor yang mempengaruhinya
adalah libido (gairah seksual), yang didefinisikan sebagai keinginan individual
untuk terlibat dalam aktivitas seksual. Berkurangnya libido dapat dipengaruhi oleh
kelainan fisiologis fungsi tubuh, psikologis individu, atau pemberian obat-obat
tertentu seperti potassium nitrat dan obat-obat sedatif (Kartawinata, 1991). Hal
yang sering berpengaruh terhadap libido adalah kelainan seksual (disfungsi
seksual) pada kaum pria. Disfungsi seksual ini dapat berupa disfungsi ereksi,
hiposeksualitas (hasrat seks yang berkurang), dan impotensia (kemampuan ereksi
berkurang atau tidak mampu sama sekali) (Yogha, 2006).
Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah penurunan libido ini
dapat dilakukan dengan menggunakan afrodisiaka yang merupakan obat untuk
meningkatkan gairah seksual dan menimbulkan ereksi. Secara alami banyak
tanaman yang dipercaya oleh masyarakat dapat meningkatkan libido seperti pala,
bawang merah, cabe, daun saga, merica dan Pausinystalia yohimbe. Tanaman
yang berkhasiat sebagai afrodisiaka pada umumnya mengandung senyawa turunan
saponin, alkaloid, flavonoid dan senyawa lain yang berkhasiat sebagai penguat
tubuh serta memperlancar peredaran darah, seperti tanaman kolesom (Talinum
triangulare) dengan kandungan ginsenoside (turunan saponin)
2
(Nugroho et al., 2009), dan Ginko biloba dengan bahan aktifnya 9-6
ginkobiloba flavonoid glycoside (Gizi, 2009).
Bahan yohimbin (turunan alkaloid) yang berasal dari tanaman
P. yohimbe telah diteliti dan memiliki aktivitas afrodisiaka (Syarif et al., 2007),
tetapi juga terdapat efek samping yang dapat menyebabkan jantung berdebar-
debar dan sediaannya langka di Indonesia. Begitu pula dengan afrodisiaka yang
berupa hormon yang dapat menyebabkan disfungsi hati. Selain itu, apabila
testosteron diberikan secara oral, maka akan diabsorbsi dengan cepat, dan
umumnya dikonversi menjadi metabolit inaktif, serta hanya sekitar seperenam
dari dosis yang diberikan tersedia dalam bentuk aktif (Katzung, 2004). Adanya
alternatif obat yang aman dan berkualitas untuk mengatasi penurunan libido
sangat diperlukan.
Manuran (Coptosapelta tomentosa Valeton ex K.Heyne) merupakan
salah satu tumbuhan yang terdapat di daerah Kotabaru Provinsi Kalimantan
Selatan yang secara empiris digunakan oleh masyarakat sekitarnya sebagai
afrodisiaka. Cara pengolahannya cukup sederhana, yaitu dengan merebus akar
dengan 2 bagian air sampai air tertinggal menjadi 1 bagian, kemudian diminum
setelah dingin. Penelitian mengenai efek afrodisiaka dari tumbuhan ini telah
dilakukan dengan menggunakan ekstrak metanol dan terbukti berkhasiat sebagai
afrodisiaka pada dosis 2 g/KgBB (Rezeky, 2009).
Pembuktian aktivitas afrodisiaka akar manuran dengan menggunakan
ekstrak metanol dapat dilanjutkan ke uji aktivitas afrodisiaka terhadap fraksi-
fraksi akar manuran, misalnya fraksi petroleum eter. Pemilihan fraksi petroleum
3
eter pada penelitian ini adalah karena pelarut ini umumnya dapat menarik
senyawa terpenoid, steroid dan flavonoid (Nainggolan & Simanjuntak, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian Fitriana (2009) mengenai isolasi fraksi petroleum
eter akar manuran dan identifikasi dengan spektroskopi ultraviolet (UV) dan
infrared (IR), nampak adanya cincin aromatik yang diduga adalah golongan
flavonoid.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian aktivitas afrodisiaka dengan
menggunakan fraksi petroleum eter akar manuran. Uji aktivitas afrodisiaka fraksi
petroleum eter akan dilakukan terhadap mencit putih jantan sebagaimana pada
penelitian sebelumnya yang dilakukan Rezeky (2009). Selain itu, hewan uji
mencit putih jantan merupakan hewan uji yang umum digunakan untuk penelitian
secara biologi ataupun obat-obatan, mudah dipelihara dan dikendalikan, serta
harganya lebih murah dibandingkan hewan uji yang lainnya.
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditetapkan perumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apakah fraksi petroleum eter akar manuran memiliki aktivitas afrodisiaka
pada mencit putih jantan?
2. Berapa dosis fraksi petroleum eter akar manuran yang dapat memberikan efek
afrodisiaka pada mencit putih jantan?
4
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui dan membuktikan adanya aktivitas afrodisiaka fraksi petroleum
eter akar manuran pada mencit putih jantan.
2. Mengetahui dosis fraksi petroleum eter akar manuran yang dapat memberikan
efek afrodisiaka pada mencit putih jantan.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi kepada masyarakat ilmiah mengenai aktivitas fraksi
petroleum eter akar manuran sebagai afrodisiaka.
2. Menjadi dasar dalam penelitian lebih lanjut terhadap akar manuran dalam hal
efek afrodisiaka, sehingga di masa depan akar manuran dapat dikembangkan
menjadi fitofarmaka yang bermanfaat bagi kesejahteraan dan perbaikan
kesehatan masyarakat.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Tumbuhan Manuran
Manuran merupakan salah satu tumbuhan yang hidup di daerah
Kalimantan. Tumbuhan manuran (Gambar 1) merupakan tumbuhan dengan arah
tumbuh batang memanjat dan jenis batang berkayu, berwarna hijau jika muda
dan berwarna coklat setelah tua, daunnya tipis berwarna hijau dengan tepian
bergerigi. Bentuk akarnya membulat seperti bonggol dan berkayu, berwarna
coklat kekuningan. Bau akar, daun dan batangnya sangat khas dan menyengat
seperti plastik karet, dan rasanya agak sepat dan pahit. Tumbuhan ini dapat
ditemukan di daerah Kalimantan, tepatnya di desa Gedambaan Kecamatan Pulau
Laut Utara Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan. Secara empiris
masyarakat sekitar menggunakan bagian akar tumbuhan untuk diminum yang
dipercayai berkhasiat meningkatkan vitalitas dan stamina (Rezeky, 2009).
Klasifikasi dari manuran adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Bangsa : Rubiales
Suku : Rubiaceae
Marga : Coptosapelta (BHL, 2009)
Jenis : Coptosapelta tomentosa Valeton ex K.Heyne (LIPI, 2009).
6
Gambar 1. Manuran ( C. tomentosa Valeton ex K.Heyne)
2.2Ekstraksi
Ekstraksi adalah penarikan zat yang diinginkan dari bahan obat dengan
menggunakan bahan pelarut yang dipilih sesuai zat yang diinginkan. Jenis
ekstraksi yang tepat tergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan
yang diekstraksi. Hasil dari ekstraksi ini disebut ekstrak, yang tidak hanya
mengandung satu zat saja tetapi berbagai macam zat, tergantung bahan yang
digunakan dan kondisi ekstraksi (Tjokronegoro & Baziad, 1992). Ekstrak adalah
sediaan kering, kental atau cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati atau
hewani menurut cara yang cocok dan di luar pengaruh cahaya matahari
(Depkes RI,1979).
Beberapa metode ekstraksi senyawa organik bahan alam yang umum
digunakan antara lain maserasi, perkolasi, sokletasi, destilasi uap, dan
pengempaan. Maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut
organik yang digunakan pada temperatur ruangan. Perkolasi merupakan proses
melewatkan pelarut organik pada sampel sehingga pelarut akan membawa
senyawa organik bersama-sama pelarut. Sokletasi menggunakan alat soklet
7
dengan pemanasan dan pelarut akan dapat dapat dihemat karena terjadinya
sirkulasi pelarut yang selalu membasahi sampel. Proses destilasi lebih banyak
digunakan untuk senyawa organik yang tahan pada suhu cukup tinggi, yang lebih
tinggi dari titik didih pelarut yang digunakan. Metode pengempaan lebih banyak
digunakan dalam proses industri seperti pada isolasi katekin dari daun gambir dan
proses ini tidak menggunakan pelarut (Lenny, 2006a).
Salah satu metode ekstraksi yang sering dilakukan adalah metode maserasi,
karena cocok untuk jumlah sampel yang banyak. Secara umum ekstraksi senyawa
metabolit sekunder dari seluruh bagian tumbuhan seperti bunga, buah, daun, kulit
batang dan akar dapat dilakukan dengan menggunakan sistem maserasi dengan
pelarut organik polar seperti metanol. Metode maserasi digunakan untuk menyari
simplisia yang mengandung komponen kimia yang mudah larut dalam cairan
penyari, dan tidak mengandung zat yang mudah mengembang seperti benzoin,
tiraks dan lilin (Tjokronegoro & Baziad, 1992). Maserasi dilakukan dengan cara
merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada
temperatur kamar, terlindung dari cahaya (untuk mencegah reaksi yang dikatalisis
cahaya atau perubahan warna) (Tjokronegoro & Baziad, 1992). Lama perendaman
yang optimal kira-kira selama 5 hari dengan pengadukan sebanyak tiga kali sehari
untuk mencapai keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi yang lebih cepat ke
dalam cairan. Jika tidak diaduk akan menyebabkan lambatnya perpindahan zat
aktif ke dalam pelarut (Svehla, 1994).
8
2.3Fraksinasi
Penelaahan profil fitokimia lengkap dari suatu jenis tumbuhan
memerlukan fraksinasi ekstrak kasar (crude extract) untuk memisahkan
kandungan senyawa kimia yang satu dari kandungan senyawa kimia yang
lainnya. Jumlah dan jenis senyawa yang dapat dipisahkan menjadi fraksi
tergantung pada jenis tumbuhan (Harborne, 1987).
Ekstraksi cair-cair juga lazim disebut dengan fraksinasi. Beberapa cairan
tidak dapat bercampur, misalnya air dan air raksa, sedangkan lainnya seperti air
dan etanol atau aseton, dapat bercampur satu dengan lainnya dalam semua
perbandingan. Ada pula cairan yang bercampur sebagian dengan cairan lain.
Sebagai contoh jika air ditambahkan dengan eter dan ampura dikocok maka pada
suatu titik tertentu masih terjadi larutan. Namun, jika dilakukan penambahan air
lebih lanjut maka akan menghasilkan dua lapisan cairan. Satu lapisan
mengandung larutan jenuh air dalam eter, lapisan satunya merupakan larutan
jenuh eter dalam air (Sudjadi,1986).
Salah satu pelarut yang dapat digunakan dalam fraksinasi adalah
petroleum eter. Petroleum eter (PE) merupakan suatu pelarut nonpolar yang biasa
dikenal juga dengan nama petroleum Naphtha, Naphtha ASTM, Petroleum spirits,
X4 atau ligroin. Petroleum eter memiliki titik beku -400C dan titik didih 350C.
Selain itu, PE memiliki tekanan uap 40 mmHg, densitas uap 2,5 mmHg, dan tidak
larut dalam air. PE memilliki aroma seperti minyak tanah, bersih, dan larutannya
tidak berwarna. Bahan ini harus disimpan di area yang didesain aman dari bahaya
kebakaran, terlindung dari temperatur yang ekstrim dan cahaya matahari, serta
9
dihindarkan dari bahan yang dapat menyebabkan inkompatibilitas, asam, basa,
oksida, senyawa nitrogen-flourine, sulfit, perklorat, dan eksplosif
(Burdick & Jackson, 2006).
2.4Afrodisiaka
Afrodisiaka adalah obat yang bekerja secara hormonal atau non hormonal
dan sangat erat hubungannya dengan libido.
2.4.1 Cara hormonal
Kerja afrodisiaka secara hormonal sangat erat kaitannya dengan
androgen yang sangat berperan penting untuk stimulasi dan memelihara fungsi
seksual pada pria. Androgen yang paling penting pada manusia yang
disekresikan oleh testis adalah testosteron. Pada pria sekitar 8 mg testosteron
diproduksi setiap hari. Sekitar 95% diproduksi oleh sel Leydig dan hanya 5%
oleh adrenal. Testis juga mensekresi sejumlah kecil androgen kuat lain,
dehidrotestosteron, serta androstenedion dan dehidroepiandrosteron yang
merupakan androgen lemah. Kadar testosteron plasma pada pria adalah sekitar
0,6 µg/dL setelah masa puber dan berkurang setelah mencapai usia 50 tahun.
Testosteron di banyak jaringan target dikonversi menjadi dehifdrotestosteron oleh
5α-reductase, dan dalam jaringan ini dehidrotestosteron merupakan androgen aktif
utama (Katzung, 2004). Testosteron diekskresi 90% melalui urine dan 6% melalui
tinja dalam bentuk asal, metabolik dan konjugat (Syarif et al., 2007). Turunnya
kadar testosteron saat usia bertambah membuat banyak laki-laki yang beranjak
usia mengalami pengalaman seksual yang tidak memuaskan (Tjahjono, 2008).
10
Bahan dasar biosintesis testosteron adalah kolesterol. Bila terjadi
gangguan produksi testosteron dalam testis, maka testosteron yang dihasilkan dari
konversi proandrogen korteks adrenal tidak cukup untuk mempertahankan fungsi
reproduksi laki-laki. Kadar testosteron dalam testis ± 100 kali kadar testosteron
dalam sirkulasi sistemik. Kadar yang tinggi dalam testis ini secara fisiologis
diperlukan untuk spermatogenesis. Steroidogenesis dalam testis terjadi di sel
Leydig atas pengaruh luteinizing hormone (LH) yang juga disebut interstitial cell
stimulating hormone (ICSH), suatu hormon gonadotropin yang disekresi oleh
hipofisis anterior. Sekresi LH terjadi karena rangsangan gonadotropin-releasing
hormone (GnRH) yang diekskresi oleh hipotalamus. Sekresi LH bersifat pulsatil
setiap 2 jam dan tertinggi di pagi hari. Sekresi testosteron juga pulsatil dengan
kadar tertinggi pagi hari sekitar jam 8 dan terendah sekitar jam 8 malam.
Aktivitas steroidogenik LH diperantai perangsangan siklik AMP dan sintesis
kalmodulin. Follicle stimulating hormone (FSH), yang juga diproduksi oleh
hipofisis anterior, berfungsi merangsang spermatogenesis
(Syarif et al., 2007).
Terdapat mekanisme umpan balik pada sumbu
testis-hipofisis-hipotalamus dalam pengaturan sekresi hormon. Kadar tinggi
testosteron plasma merupakan umpan balik negatif yag akan menghambat sekresi
LH dan sedikit menghambat sekresi FSH. Estradiol, yang diproduksi testis
maupun yang merupakan hasil konversi androgen melalui reaksi aromatisasi di
jaringan perifer, merupakan penghambat sekresi LH dan FSH dengan potensi
yang lebih kuat daripada testosteron. Sekresi LH yang terhambat akan
11
menyebabkan penurunan produksi testosteron. Berbeda dengan inhibin, suatu
peptida yang dihasilkan oleh sel Sertoli dalam tubulus seminiferus juga berfungsi
menghambat sekresi FSH. Oleh karena itu, androgen sintetik yang tidak
mengalami aromatisasi menjadi estrogen, misalnya oksandrolon, kurang
menghambat sekresi gonadotropin dibandingkan dengan testosteron yang
mengalami aromatisasi. Hambatan serupa juga terjadi terhadap sekresi hormon
tropik GnRH pada tingkat hipotalamus (Syarif et al., 2007).
Mesterolon adalah derivat dihidrometil dari testosteron, namun kurang
menghambat hipofisis pada dosis terapi, hingga sekresi androgen dan
spermatogenesis tidak dihambat. Efek sampingnya lebih ringan dan kurang toksik
bagi hati. Dosis pada defisiensi androgen dan infertilisasi pada pria dengan
hipogonadism adalah 25 mg 3–4 kali sehari untuk beberapa bulan, kemudian
diturunkan menjadi 50–75 mg per hari dalam dosis terbagi sebagai dosis
pemeliharaan (Kendal, 2007).
Mesterolon merupakan androgen oral yang bentuk aktifnya berupa
1 metil-dihidrotestosteron. DHT (dihidrotestosteron) merupakan bentuk produk
konversi testosteron oleh enzim 5-alpha-reduktase. Hasilnya akan membentuk
hormon sebanyak 3-4 kali sebagai androgen. Aktivitas mesterolon adalah sebagai
androgen kuat yang tidak aromatisasi ke estrogen. Dalam situasi klinis
mesterolon umumnya digunakan untuk mengobati berbagai jenis disfungsi
seksual, yang sering disebabkan rendahnya tingkat testosteron endogen.
Mesterolon biasanya dapat memulihkan masalah seksual dan impotensi, dan
kadang-kadang digunakan untuk meningkatkan jumlah sperma. Mesterolon tidak
12
merangsang tubuh untuk memproduksi testosteron, tetapi hanya mengganti
androgen oral yang digunakan untuk mengkompensasi kekurangan androgen pria
alami (Anabolic, 2010).
Mesterolon sangat androgenik, tetapi efek anabolik dari mesterolon
dianggap terlalu lemah untuk tujuan membangun otot. Hal ini disebabkan oleh
fakta bahwa mesterolon dengan cepat dapat dikurangi menjadi metabolit aktif
dalam jaringan otot. Sifat anabolik lemah dari senyawa ini menunjukkan
kecenderungan untuk memblokir reseptor androgen dalam jaringan otot, sehingga
mengurangi kemampuan steroid dalam membangun otot lebih kuat. Mesterolon
juga memiliki pengaruh antiestrogenik. Pengaruh antiestrogenik dari senyawa ini
diduga disebabkan oleh kemampuannya untuk bersaing dengan substrat lain untuk
mengikat ke enzim aromatase (Anabolic, 2010).
Pengujian terhadap efek afrodisiaka secara hormonal dilakukan dengan
cara menghitung kadar testosteron mencit jantan yang telah diberi obat peningkat
gairah seksual setelah beberapa waktu (Winarni, 2007). Cara yang lain dengan
menimbang bobot jengger ayam jantan yang telah diberi obat peningkat gairah
seksual setelah beberapa waktu (Arnida, 2003).
2.4.2 Cara non hormonal
Peningkatan libido dengan cara non hormonal dapat diberikan oleh
yohimbin. Alkaloid yohimbin diperoleh dari kulit pohon C. yohimbe (Afrika
Barat) dan pohon Aspidosperma quebracho-blauco (Amerika Selatan)
(Directorat of Health Promotion and Wellness, 2009). Yohimbin juga merupakan
antagonis serotonin yang dapat meningkatkan aktivitas seksual pada tikus jantan,
13
dan mungkin berguna bagi beberapa pasien dengan disfungsi ereksi psikogenik
(Syarif et al., 2007). Yohimbin merupakan penghambat monoamin oksidase yang
dapat menstimulasi peningkatan pembebasan norepinefrin. Yohimbin digunakan
dalam bentuk tablet, kapsul, dan tinktura yang dapat meningkatkan kadar
terstosteron dalam darah, pertumbuhan otot, kekuatan, fatigue dan fungsi seksual.
Yohimbin (4 mg-20 mg) dapat menyebabkan efek samping berupa insomnia,
kegelisahan, frekuensi miksi meningkat, kelelahan, tremor, sakit kepala, takikardi,
hipotensi, mual, muntah, bronkospasme, dan sindrom lupus
(Directorat of Health Promotion and Wellness, 2009).
Tanaman obat yang berkhasiat afrodisiaka bekerja memperbaiki imunitas
tubuh, dan membangkitkan rangsang pada sistem syaraf pusat yang juga
memperbaiki sirkulasi darah, lalu akan membangkitkan kesegaran tubuh dan
mendorong gairah seksual, serta akhirnya fungsi ereksi membaik. Beberapa
tanaman obat yang memiliki fungsi afrodisiaka atau pembangkit gairah (obat
erogenik atau sex arousal agent), diantaranya bawang putih digolongkan sebagai
afrodisiaka karena sifatnya yang menurunkan kadar kolesterol dalam darah,
sehingga secara tidak langsung dapat melenturkan pembuluh darah dan
memperbaiki kelenturan pembuluh darah. Tanaman lainnya, yaitu pasak bumi
(Eurycoma longifolia), yang banyak ditemukan di Kalimantan, Sumatera, dan
Malaysia, juga bersifat afrodisiaka karena bahan aktif eurycomanol yang
dikandungnya. Ada pula Ginkgo biloba, tanaman yang banyak dijumpai di
Amerika dan mengandung bahan aktif 9-6 ginkgobiloba flavonoid glycoside.
Tumbuhan ini bermanfaat memperbaiki peredaran darah perifer maupun
14
peredaran darah otak yang akan menciptakan rangsang erotik lebih baik. Ini akan
membangkitkan libido melalui susunan syaraf pusat dan otonom, sehingga
memproduksi neurotransmitter nitrit oksida (NO). NO merupakan syarat utama
untuk terjadinya relaksasi otot polos dalam korpus kavernosum yang diperlukan
untuk membangkitkan ereksi (Gizi, 2009).
Pengujian aktivitas afrodisiaka non hormonal dilakukan dengan cara
mengamati tingkah laku seksual tikus jantan terhadap tikus betina, meliputi
pendekatan (introduction), penunggangan (climbing), dan coitus. Introduction
terjadi pada waktu mencit jantan mendekati mencit betina hingga mulai mencium
atau menjilat vagina mencit betina. Climbing terjadi pada waktu mencit jantan
menunggangi mencit betina. Coitus terjadi pada waktu mencit putih jantan
menunggangi mencit putih betina dan terjadi senggama dengan tanda pada mencit
betina merenggangkan badannya serta ekornya terangkat. Cara ini lebih tepat
digunakan untuk meneliti tumbuhan atau obat peningkat gairah seksual yang
belum diketahui mekanisme aksinya dalam meningkatkan gairah seksual
(Arnida, 2003).
Senyawa kimia yang umum terdapat dalam tanaman afrodisiaka adalah
senyawa terpenoid, steroid dan flavonoid (Nainggolan & Simanjuntak, 2005).
Senyawa-senyawa ini memiliki aktivitas sebagai afrodisiaka dengan efek yang
berbeda. Senyawa sitosterol, yang merupakan turunan steroid yang biasa
terkandung dalam tumbuhan bersifat afrodisiaka, adalah senyawa awal pembentuk
hormon steroid dalam tubuh (Tempo, 2008). Flavonoid dalam tumbuhan
afrodisiaka berfungsi sebagai antioksidan dan dapat melancarkan sirkulasi darah,
15
sehingga baik untuk mengatasi disfungsi ereksi yang disebabkan oleh gangguan
sirkulasi darah (Wijayakusuma, 1992). Beberapa struktur senyawa kimia yang
dapat berkhasiat afrodisiaka ditunjukkan pada Gambar 2 dan 3.
Gambar 2. Struktur dasar steroid (Harborne, 1987)
Gambar 3. Struktur umum flavonoid (Sastrohamidjojo,1996)
16
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari 2010 sampai bulan
April 2010 di Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia dan Farmakologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Lambung
Mangkurat.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
3.2.1 Alat penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik
(Ohauss®), spuit, jarum suntik oral, alat-alat gelas (Pyrex®), blender, mortir dan
stamper (RRC®), pipet, waterbath (Memmert®), rotary vacum evaporator IKA
type RV OS-ST IP-B, mikroskop, corong pisah, baskom, gelas beker, corong,
stoples kaca dan kandang mencit.
3.2.2 Bahan penelitian
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah akar
manuran, Proviron® (mesterolon), aquades, metanol proanalisis 95% (Merck®),
larutan Na-CMC (natrium carboxymetylcellulose) 0,5%, larutan fisiologis NaCl
(0,9%) dan Petroleum eter (Merck®)’
17
3.3 Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan adalah mencit putih jantan dan betina (Mus
musculus L) galur DDY usia 2-3 bulan dengan berat badan 24-35 gram yang
diperoleh dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Pembuatan simplisia uji
Akar manuran dicuci hingga bersih dan dipotong-potong kecil. Sampel
dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari secara langsung hingga
diperoleh simplisia uji yang kering. Simplisia yang telah kering dan dipotong-
potong kecil disebut dengan haksel.
3.4.2 Pembuatan ekstrak manuran
Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi. Simplisia uji yang
diperoleh dihaluskan terlebih dahulu hingga menjadi serbuk dengan cara
diblender. Sampel serbuk manuran ditimbang 3,4 kg dan dimasukkan ke dalam
stoples. Cairan penyari (metanol) kemudian dituangkan secara perlahan-lahan ke
dalam stoples yang berisi sampel sambil diaduk hingga cairan penyari merata.
Cairan penyari dibiarkan merendam sampel hingga 1 cm di atas permukaan
sampel. Setiap 24 jam cairan penyari diganti dan cairan tersebut ditampung di
wadah yang sesuai. Sampel maserasi sekali-kali diaduk perlahan-lahan pada saat
pergantian cairan penyari. Perlakuan tersebut diulang sampai cairan penyari
bening. Setelah itu diuapkan dengan rotary vacuum evaporator hingga diperoleh
ekstrak metanol manuran yang kental.
18
3.4.3 Pembuatan fraksi petroleum eter akar manuran
Pembuatan fraksi petroleum eter akar manuran ini dilakukan sebanyak
2 kali. Pembuatan pertama yaitu menggunakan ekstrak metanol akar manuran
sebanyak 21 gram dan disuspensikan dengan H2O sebanyak 10 mL. Selanjutnya
ditambahkan pelarut petroleum eter sebanyak 50 mL. Sedangkan untuk
pembuatan fraksi yang kedua yaitu menggunakan ekstrak metanol akar manuran
sebanyak 50 gram lalu disuspensikan dengan H2O sebanyak 25 mL dan pelarut PE
yang ditambahkan sebanyak 100 mL. Campuran dipisahkan di corong pisah yang
akan membentuk 2 lapisan. Selanjutnya lapisan air dengan lapisan PE dipisahkan.
Lapisan air kemudian ditambahkan petroleum eter lagi dan pengerjaan ini diulang
hingga diperoleh fraksi PE yag bening. Fraksi petroleum eter yang didapat
diuapkan, lalu diperoleh fraksi petroleum eter yang kental.
3.4.4 Pembuatan larutan Na-CMC 0,5%
Larutan Na-CMC 0,5% dibuat dengan menimbang Na-CMC sebanyak
0,5 g, lalu dilarutkan dengan aquades panas sedikit demi sedikit sampai semua
Na-CMC larut. Larutan Na-CMC dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Sisa
aquades ditambahkan ke dalam labu ukur sampai didapatkan volume larutan
Na-CMC sebanyak 100 mL.
3.4.5 Pembuatan Larutan dan Penetapan Dosis Proviron®
Pembuatan larutan dari obat Proviron® yang mengandung mesterolon
25 mg untuk setiap tabletnya yaitu dengan menggerus halus tablet terlebih dahulu.
Serbuk tablet yang diperoleh digunakan untuk membuat stok mesterolon 25
mg/10 mL dengan pelarut Na-CMC 0,5% sebanyak 10 mL.
19
3.4.6 Pembuatan suspensi fraksi petroleum eter akar manuran
Pembuatan suspensi dilakukan untuk mempermudah dalam pemberian
pada hewan uji. Fraksi petroleum eter akar manuran kental ditimbang sesuai
dengan dosis yang ditentukan. Fraksi kemudian dicampur secukupnya sesuai stok
dengan suspending agent, yaitu Na-CMC 0,5%. Hasil suspensi dimasukkan dalam
wadah (botol kaca) tertutup.
3.4.7 Orientasi untuk Penentuan Dosis
Dosis yang digunakan berdasarkan pada hasil orientasi yaitu dosis
terkecil sampai dengan dosis terbesar yang dapat memberikan efek. Penentuan
dosis ini dilakukan dengan menentukan terlebih dahulu kemampuan fraksi PE
akar manuran tersuspensi dalam pelarut Na-CMC karena fraksi PE akar manuran
agak sukar menjadi suspensi dengan baik. Selanjutnya diperoleh konsentrasi dari
fraksi PE yang dapat tersuspensi yaitu sebesar 0,46 g/10 mL. Konsentrasi tersebut
menjadi dasar stok untuk pemberian fraksi PE secara oral dengan volume
pemberian yang berbeda yaitu 0,3 mL/30gBB, 0,5 mL/30gBB, dan 1 mL/30gBB.
Berdasarkan hasil orientasi yang menunjukkan adanya efek adalah penggunaan
volume pemberian fraksi PE akar manuran sebesar 0,3 mL/30gBB dan
0,5 ml/30gBB. Selanjutnya volume pemberian ini dikonversi ke dalam bentuk
dosis, yaitu 460 mg/kgBB dan 767 mg/kBB. Selain itu, dilakukan orientasi pula
dengan dosis 50 mg/kgBB, 100 mg/kgBB, dan 200 mg/kgBB. Hasil yang
diperoleh yaitu pada dosis 200 mg/kgBB dapat memberikan efek. Dengan
demikian, berdasarkan orientasi yang telah dilakukan, maka dipilih 3 peringkat
20
dosis yang digunakan dalam penelitian, yaitu 200 mg/kgBB, 460 mg/kgBB dan
767 mg/kgBB.
3.4.8 Pengelompokan dan perlakuan hewan uji
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang
terdiri dari lima kelompok uji, masing-masing kelompok dilakukan pengulangan
sebanyak 5 kali. Pengelompokan tersebut yaitu:
1. Kelompok kontrol yang terdiri dari:
a Kelompok kontrol negatif (K1) yaitu kelompok yang diberi Na-CMC
0,5% secara oral.
b Kelompok kontrol positif (K2) yaitu kelompok yang diberi mesterolon
3,26 mg/kgBB secara oral.
2. Kelompok perlakuan yang terdiri dari:
a Kelompok perlakuan 1 (P1) yaitu kelompok yang diberi dosis suspensi
fraksi akar manuran 200 mg/kgBB secara oral
b Kelompok perlakuan 2 (P2) yaitu kelompok perlakuan yang diberi
suspensi fraksi akar manuran dosis 460 mg/kgBB secara oral.
c Kelompok perlakuan 3 atau (P3) yaitu kelompok yang diberi suspensi
fraksi akar manuran dosis 767 mg/kgBB secara oral .
3.4.9 Pemeriksaan daur estrus
Pemeriksaan daur estrus pada mencit betina dilakukan sebelum hewan uji
diperlakukan dalam pengujian. Cara pemeriksaan ini yaitu pertama-tama
mempersiapkan larutan fisiologis (NaCl 0,9%) yang digunakan untuk mengambil
cairan vagina. Mencit putih betina yang digunakan dipegang dengan cara lazim
21
menggunakan tangan kiri sehingga berada dalam posisi punggung di bawah.
Proses selanjutnya yaitu mengambil larutan fisiologis secukupnya dengan pipet
tetes dan dipegang dengan tangan kanan. Pipet tetes dimasukkan ke dalam liang
vagina mencit dengan hati-hati, kemudian karet pipet ditekan agar larutan
fisiologis masuk ke liang vagina. Pipet tetes dibiarkan beberapa saat dalam
keadaan pipet tertekan, selanjutnya tekanan pipet dilepaskan agar larutan
fisiologis tadi tersedot kembali ke dalam pipet. Larutan fisiologis yang tersedot
tersebut agak keruh yang menunjukkan cairan apus vagina. Cairan apus vagina
yang diperoleh diteteskan pada gelas obyek. Proses terakhir yaitu memeriksa
sampel cairan apus vagina dengan mikroskop untuk mengetahui terjadinya fase
daur estrus pada mencit betina. Karakteristik sel pada fase estrus yaitu folikel
sudah matang, dan sel-sel epitel sudah tidak berinti. Fase estrus ini terjadi selama
12 jam (Adnan,1992). Sel epitel pada apusan vagina mencit betina yang estrus
dapat diliat pada Gambar 4.
Gambar 4. Sel-sel mencit betina hasil apus vagina pada estrus (Adnan,1992)
22
3.4.10 Uji Aktivitas Afrodisiaka Pada Mencit Jantan
Pengujian aktivitas afrodisiaka dimulai dengan memberikan sediaan uji
pada mencit jantan secara oral dengan menggunakan sonde. Mencit jantan yang
sudah diberi perlakuan dimasukkan dalam wadah yang cukup luas dan terbuat dari
kaca atau plastik yang tembus pandang dan didiamkan selama 15 menit.
Sesudah itu dimasukkan tiga ekor mencit betina yang sebelumnya sudah diperiksa
daur estrusnya ke dalam kandang yang berisi mencit jantan. Pengamatan efek
afrodisiaka dilakukan selama 1 jam dan pada waktu malam hari dari pukul
18.30-19.30 WITA. Pengamatan yang dilakukan berupa perilaku seksual mencit
jantan dengan menghitung jumlah introduction, climbing, dan coitus.
Introduction terjadi pada waktu mencit jantan mendekati mencit betina yang
berupa kissing mouth dan kissing vagina. Climbing terjadi pada waktu mencit
jantan menunggangi mencit betina. Coitus terjadi pada waktu mencit putih jantan
menunggangi mencit betina dan terjadi senggama dengan tanda pada mencit
betina merenggangkan badannya serta ekornya terangkat (Arnida, 2003).
3.4.11 Pengumpulan dan Pengolahan Data
Semua data kuantitatif hasil pengamatan jumlah introduction, climbing,
dan coitus yang telah diperoleh dimasukkan ke dalam tabel distribusi frekuensi.
Proses selanjutnya yaitu dilakukan uji normalitas dengan uji Saphiro-Wilk dan uji
homogenitas dengan uji Levene. Jika data terdistribusi normal dan homogen,
maka data dianalisis menggunakan uji Anova satu arah dengan taraf kepercayaan
95%. Apabila terbukti adanya hubungan yang bermakna, dilanjutkan dengan uji
posthoc LSD. Apabila tidak terdistribusi normal dan homogen, dilakukan uji non
23
parametrik dengan uji Kruskal-Wallis, yang kemudian dilanjutkan dengan uji
Mann-Whitney. Berdasarkan analisis data ini maka akar manuran dapat dikatakan
berkhasiat sebagai afrodisiaka apabila ada perbedaan signifikan pada jumlah salah
satu perilaku seksual mencit jantan yaitu introduction, climbing, dan coitus
terhadap kontrol negatif.
Persentase rata-rata jumlah introduction, climbing, dan coitus pada
setiap perlakuan dapat dihitung dengan menggunakan nilai rata-rata jumlah
introduction, climbing, dan coitus terhadap kontrol negatif dan kontrol positif.
Persentase rata-rata jumlah introduction, climbing, dan coitus terhadap kontrol
negatif dimaksudkan untuk mengetahui adanya perbedaan jumlah yang
ditimbulkan dari setiap perlakuan. Penghitungannya dengan menggunakan rumus
(Arnida,2003):
Keterangan :
Rtl : Rata-rata perilaku seksual pada kelompok yang diberi akar manuran
Rkn : Rata-rata perilaku seksual pada kelompok kontrol negative
Persentase rata-rata jumlah introduction, climbing, dan coitus terhadap
kontrol positif penghitungannya tersebut menggunakan rumus yaitu
(Arnida,2003):
Keterangan
Rtl : Rata-rata perilaku seksual pada kelompok yang diberi akar manuran
Rkp : Rata-rata perilaku seksual pada kelompok kontrol positif
24
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1Hasil
4.1.1 Ekstraksi akar manuran
Sampel yang digunakan untuk pengujian aktivitas afrodisiaka ini
sebelumnya dilakukan ekstraksi secara maserasi. Penyari yang digunakan adalah
metanol proanalisis, dan dihasilkan ekstrak cair metanol. Selanjutnya ekstrak cair
diuapkan dengan rotary vacum evaporator pada suhu 550C. Proses penguapan
dengan rotary vacum evaporator dihentikan setelah ekstrak mulai mengental,
tetapi masih mudah dituang atau dipindahkan dari labu alas bulat ke wadah yang
lain. Hasil ekstraksi diperoleh ekstrak kental sebanyak 582,514 gram dari 3,4 kg
serbuk akar manuran. Untuk mengetahui bahwa dalam ekstrak yang didapat tidak
mengandung metanol lagi, maka dilakukan penguapan ekstrak dengan waterbath
pada suhu 400C, lalu menimbangnya hingga beratnya konstan. Ekstrak kental
yang diperoleh berwarna coklat kehitaman. Hasil ekstraksi akar manuran dapat
dilihat pada Lampiran 3.
4.1.2 Fraksinasi akar manuran
Ekstrak kental metanol akar manuran yang diperoleh dari ekstraksi
dilanjutkan dengan fraksinasi. Pada fraksinasi ini pelarut yang digunakan yaitu
petroleum eter (PE) yang bersifat non polar. Ekstrak kental metanol yang
digunakan yaitu sebanyak 71 gram dan pelarut PE sebanyak 6 liter. Hasil
fraksinasi diperoleh fraksi kental PE sebanyak 3,64 gram. Hasil fraksi PE akar
25
manuran cair berwarna coklat kemerahan dan fraksi PE kentalnya berwarna coklat
kehitaman. Hasil ekstraksi akar manuran dapat dilihat pada Lampiran 4.
4.1.3 Pemeriksaan estrus
Pemeriksaan estrus mencit betina dilakukan pada sore hari sebelum
dilakukan pengamatan. Mencit betina pada saat estrus biasanya terlihat tidak
tenang, lebih aktif serta vaginanya membengkak dan berwarna merah.
Pemeriksaan estrus apusan cairan vagina dengan menggunakan mikroskop
menunjukkan sel-sel epitelnya tidak memiliki inti.
4.1.4Uji aktivitas afrodisiaka
Pengujian aktivitas afrodisiaka dilakukan dengan mengamati perilaku
seksual mencit putih jantan terhadap mencit betina, yang terdiri dari introduction,
climbing, dan coitus, yang dihitung jumlahnya selama 1 jam. Dosis yang
digunakan dalam pengujian berdasarkan hasil orientasi terdiri dari 200 mg/kgBB
(P1), 460 mg/kgBB (P2) dan 767 mg/kgBB (P3) . Hasil pengamatan introduction,
climbing dan coitus dapat dilihat pada Lampiran 5.
Penghitungan introduction dilakukan ketika mencit putih jantan
mendekati mencit putih betina. Hasil rata-rata jumlah introduction ini dapat
dilihat Gambar 5.
26
Gambar 5. Rata-rata jumlah introduction pada masing-masing kelompok perlakuan
Pengamatan selanjutnya adalah jumlah climbing. Hasil rata-rata jumlah
climbing dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Rata-rata jumlah climbing pada masing-masing kelompok perlakuan
Pengamatan selanjutnya yaitu coitus, yang merupakan keadaan ketika
mencit jantan menunggangi mencit putih betina dan terjadi senggama dengan
27
tanda pada mencit putih betina merenggangkan badannya serta ekornya terangkat.
Hasil rata-rata jumlah coitus seperti terlihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Rata-rata jumlah coitus pada masing-masing kelompok perlakuan
Berdasarkan rata-rata jumlah introduction, climbing, dan coitus, dapat
diperoleh nilai persentase introduction, climbing, dan coitus terhadap kontrol
negatif dan kontrol positif. Hasil persentase tersebut dapat dilihat pada Tabel 1
dan 2.
Tabel 1. Persentase introduction, climbing dan coitus mencit jantan terhadap kontrol negatif
No. Kelompok Dosis Fraksi PE Akar
Manuran
Persentase (%)Introduction
Persentase (%)
Climbing
Persentase (%) Coitus
1. P1 25,00 52,38 0,00 2. P2 3,80 58,33 -300,003. P3 63,00 61,16 -300,00
Tabel 2 Persentase introduction, climbing dan coitus mencit jantan terhadap kontrol positif
No. Kelompok Dosis Fraksi PE Akar
Manuran
Persentase (%)Introduction
Persentase (%)
Climbing
Persentase (%)Coitus
1 P1 -96,77 -142,86 0,002 P2 -131,00 -122,50 -2000
28
3 P3 -12,13 -98,06 -2000
4.1.5 Analisis data
Data jumlah introduction, climbing, dan coitus diuji normalitasnya
dengan menggunakan uji Saphiro-Wilk dan diuji homogenitasnya dengan uji
Levene. Hasil analisis dari uji Saphiro-Wilk menunjukkan bahwa data tidak
normal karena perilaku introduction, climbing, dan coitus memiliki nilai
sig < 0,05. Begitu pula hasil uji Levene menunjukkan data untuk perilaku coitus
tidak homogen (sig < 0,05) , sedangkan perilaku introduction dan climbing
memiliki data homogen (sig > 0,05). Selanjutnya data dilakukan transformasi
untuk dapat memperoleh data yang normal dan homogen. Akan tetapi, data yang
diperoleh dari beberapa kali transformasi tidak menunjukkan hasil yang normal
dan homogen. Selanjutnya data dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis, yang
menunjukkan hasil tidak adanya perbedaan signifikan pada jumlah introduction,
climbing, dan coitus (sig > 0,05). Akan tetapi, analisis lanjutan dengan uji Mann-
Whitney diperoleh hasil adanya perbedaan signifikan mengenai jumlah
introduction dan climbing antara kontrol negatif dengan positif. Hasil analisis
data dapat dilihat pada Lampiran 6, 7, dan 8.
4.2 Pembahasan
Pengujian aktivitas afrodisiaka terhadap fraksi PE akar manuran
dilakukan dengan pengamatan terhadap perilaku seksual mencit jantan terhadap
mencit betina, dengan menghitung jumlah introduction, climbing, dan coitus.
Pengamatan terhadap perilaku mencit jantan terhadap mencit betina estrus ini
dilakukan pada malam hari. Pengamatan tersebut dilakukan selama 1 jam, yaitu
29
pada pukul 18.30 s/d 19.30, karenaberdasarkan hasil dari orientasi bahwa mencit
jantan tersebut hanya aktif selama 1 jam.
Penentuan dosis untuk fraksi PE ini dilakukan dengan menentukan
kemampuan fraksi PE tersuspensi di dalam pelarutnya. Hal ini karena fraksi PE
tidak dapat tersuspensi sempurna dengan pelarut Na-CMC. Selanjutnya diperoleh
konsentrasi fraksi PE akar manuran yang dapat tersuspensi, yaitu sebesar
0,46 g/10 mL dan konsentrasi tersebut menjadi dasar stok suspensi fraksi PE
untuk pemberian secara oral dengan volume pemberian yang berbeda. Kemudian
diperoleh dosis terkecil sampai dosis terbesar yang dapat memberikan efek
berdasarkan hasil orientasi. Peringkat dosis yang diujikan terdiri dari 3 peringkat,
yaitu dosis 200 mg/kgBB (P1), 460 mg/kgBB (P2), dan 767 mg/kgBB (P3),
dan 2 kelompok dosis kontrol, yaitu kontrol negatif Na-CMC 0,5% (K1) dan
kontrol positif mesterolon 3,26 mg/kgBB (K2).
Pengujian dilakukan dengan menempatkan mencit jantan dan mencit
putih betina dalam kandang berbeda. Mencit jantan kemudian diberikan
perlakuan, yaitu pemberian fraksi PE akar manuran dengan dosis tertentu secara
oral dan didiamkan selama 15 menit. Selanjutnya mencit betina dimasukkan
dalam kandang mencit jantan. Pengujian ini menggunakan mencit jantan dan
mencit betina dengan perbandingan 1 : 3. Pengamatan ini dilakukan pada malam
hari selama 1 jam dengan mengamati perilaku mencit jantan dalam mendekati
mencit betina dan menghitung jumlah introduction, climbing, dan coitus.
Hasil pengamatan menunjukkan rata-rata jumlah introduction
(Gambar 5) pada P1, P2, dan P3 lebih besar jika dibandingkan dengan kontrol
30
negatif yang hanya diberi sediaan Na-CMC, dengan P3 memberikan rata-rata
jumlah introduction tertinggi. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan rata-rata
jumlah introduction kontrol positif, ketiga dosis tersebut memiliki hasil rata-rata
yang lebih kecil. Perhitungan rata-rata jumlah introduction tersebut juga
menunjukkan bahwa pada P2 mengalami penurunan dan pada P3 mengalami
kenaikan lagi. Hal ini dapat disebabkan karena pengaruh kondisi mencit putih
betina yang melakukan penolakan terhadap mencit putih jantan. Selain itu, pada
penelitian dapat pula terjadi kondisi mencit putih jantan yang tidak banyak
melakukan introduction atau tidak memerlukan pendekatan terlalu lama tetapi
langsung melakukan climbing yang juga merupakan salah satu perilaku seksual
dari mencit putih jantan.
Pengamatan selanjutnya yaitu climbing yang terjadi jika mencit jantan
mulai menunggangi mencit betina yang. Rata-rata jumlah climbing (Gambar 6)
pada ketiga peringkat dosis akar manuran lebih besar jika dibandingkan kelompok
kontrol negatif, dengan P3 memberikan rata-rata jumlah climbing terbesar.
Selain itu, semakin besar dosis yang diberikan, semakin besar pula jumlah
climbing yang terjadi. Jika dibandingkan dengan kontrol positif, ketiga peringkat
dosis tersebut memiliki rata-rata jumlah climbing yang lebih kecil
Berdasarkan hasil penghitungan rata-rata jumlah coitus (Gambar 7),
diperoleh hasil yaitu ketiga dosis memiliki rata-rata jumlah coitus yang lebih kecil
dibandingkan dengan kontrol negatif, bahkan pada P1 tidak terjadi coitus selama
pengujian dilakukan. Begitu pula jika dibandingkan dengan kontrol positif, ketiga
dosis tersebut jauh lebih kecil jumlahnya.
31
Perolehan hasil yang berbeda pada hasil pengamatan terhadap jumlah
coitus dari kelompok uji dibandingkan dengan jumlah introduction dan climbing
dapat dipengaruhi oleh keadaan mencit putih betina yang melakukan penolakan
terhadap mencit putih jantan yang ingin melakukan coitus, sehingga mencit putih
jantan hanya berhasil melakukan introduction dan climbing saja. Adanya
penolakan mencit putih betina dapat disebabkan karena kondisi mencit betina
yang tidak estrus pada saat pengujian. Meskipun sebelum pengujian dilakukan
pemeriksaan estrus, tetapi pemeriksaan itu hanya dapat memastikan bahwa mencit
mengalami estrus dan tidak dapat menentukan berapa lama mencit tersebut sudah
mengalami estrus, karena estrus hanya berlangsung selama 12 jam. Selain itu, dari
ketiga perilaku tersebut jumlah introduction dari ketiga peringkat dosis lebih besar
dibandingkan dengan jumlah climbing dan coitus. Hal ini disebabkan karena pada
introduction terdiri dari 2 perilaku yang diamati yaitu berupa kissing mouth dan
kissing vagina.
Berdasarkan data rata-rata jumlah introduction, climbing dan coitus
mencit putih jantan setelah pemberian fraksi PE akar manuran, maka dapat
diperoleh nilai persentase perbedaan rata-rata jumlah introduction, climbing, dan
coitus dibandingkan terhadap kontrol negatif dan kontrol positif. Hasil persentase
perilaku seksual terhadap kontrol negatif menunjukkan bahwa persentase
introduction dan climbing memiliki nilai yang lebih besar daripada kontrol
negatif. Hanya persentase coitus saja yang tidak melebihi kontrol negatif.
Berdasarkan nilai persentase antara ketiga dosis terhadap kontrol negatif,
diperoleh nilai paling besar pada P3, dengan persentase introduction sebesar 63%
32
dan climbing 61,16%. Sedangkan persentase introduction, climbing, dan coitus
dari 3 peringkat dosis peralakuan terhadap kontrol positif menunjukkan bahwa
ketiga peringkat dosis yang digunakan tidak dapat menandingi hasil dari kontrol
positif.
Data jumlah introduction, climbing dan coitus ini kemudian dianalisis
dengan uji statistik. Pertama-tama yang dilakukan adalah analisis terhadap
normalitas data dengan menggunakan uji Saphiro-Wilk. Hasil yang diperoleh
yaitu data tersebut menunjukkan hasil tidak normal karena perilaku introduction,
climbing, dan coitus memiliki nilai sig < 0,05. Begitu pula dengan uji
homogenitas dengan uji Levene yang menunjukkan adanya hasil tidak homogen
pada perilaku coitus (sig < 0,05), sedangkan untuk introduction dan climbing
memiliki data yang homogen (sig > 0,05). Data kemudian dilakukan transformasi
karena data tidak terdistribusi normal dan homogen. Berdasarkan transformasi
data yang dilakukan beberapa kali ternyata data yang diperoleh tetap tidak
terdistribusi normal dan homogen.
Data selanjutnya dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis. Hasil dari uji ini
menunjukkan bahwa jumlah introduction, climbing, dan coitus tidak berbeda
signifikan (sig > 0,05). Akan tetapi, ketika dilakukan analisis lanjutan dengan uji
Mann Whitney, ternyata terdapat perbedaan signifikan antara kontrol negatif dan
positif untuk perilaku introduction dan climbing. Hasil uji Kruskall-Wallis
tersebut menunjukkan bahwa fraksi PE akar manuran tidak menimbulkan efek
afrodisiaka pada mencit putih jantan. Meskipun pada perhitungan rata-rata jumlah
introduction dan climbing ketiga peringkat dosis melebihi kontrol negatif serta
33
adanya persentase perbedaan rata-rata jumlah introduction dan climbing ketiga
peringkat dosis terhadap kontrol negatif. Akan tetapi, perbedaan atau selisih itu
tidak dianggap signifikan ketika dianalisis secara statistik.
Penggunaan fraksi PE dari ekstrak metanol akar manuran ternyata
terbukti tidak mempunyai efek afrodisiaka yang bermakna pada mencit putih
jantan. Hasil ini dapat disebabkan karena senyawa aktif dari akar manuran yang
dapat terlarut dengan PE tidak memiliki aktivitas afrodisiaka. Meskipun
berdasarkan hasil isolasi fraksi PE akar manuran menunjukkan adanya flavonoid
yang merupakan salah satu senyawa yang dapat berkhasiat afrodisiaka dengan
fungsinya melancarkan sirkulasi darah sehingga dapat meningkatkan libido
(Wijayakusuma, 1992), namun efek itu tidak terbukti. Adanya kandungan
flavonoid dalam fraksi PE akar manuran ini tidak menjamin fraksi ini dapat
berkhasiat afrodisiaka dan kemungkinan senyawa flavonoid tersebut memiliki
aktivitas yang lain seperti antihepatotoksik (Soegiharjo,2008), antioksidan untuk
pencegahan kanker, antiinflamasi, dan sebagai antibiotik (Lenny,2006b). Selain
itu, penelitian terhadap fraksi akar manuran sebagai afrodisiaka tidak hanya
menggunakan fraksi petroleum eter tetapi juga dilakukan penelitian lain yang
menggunakan fraksi etil asetat (Gamaliana, 2010) dan fraksi n-Butanol akar
manuran (Nugraha, 2010). Hasil kedua penelitian tersebut menunjukkan adanya
aktivitas afrodisiaka. Hal ini berarti bahwa senyawa aktif yang beraktivitas
afrodisiaka pada akar manuran itu lebih terlarut pada pelarut yang semi polar
hingga polar dibandingkan pelarut non polar seperti petroleum eter.
34
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah fraksi
petroleum eter (PE) akar manuran tidak memiliki aktivitas afrodisiaka yang
bermakna terhadap mencit putih jantan pada P1 (dosis 200 mg/kgBB),
P2 ( dosis 460 mg/kgBB), dan P3 ( dosis 767 mg/kgBB).
5.2 Saran
Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan mengenai pengujian aktivitas lain
dari fraksi PE akar manuran seperti aktivitas antioksidan, antiinflamasi, dan
sebagai antibiotik.
35
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, 1992. Pengaruh Mangostin terhadap Fungsi reproduksi Mencit (Mus musculus) Swiis Webster Betina. http://www.digilib.itb.ac.id/gdl.php . Diakses tanggal 10 Oktober 2009
Anabolic. 2010. Proviron (Mesterolone)http://www. Anabolicseshop.comDiakses tanggal 24 Juni 2010
Arnida. 2003. Uji Afrodisiaka Kayu Sanrego (Lunasia amara Blanco) Terhadap Tikus Putih Jantan. Tesis Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta.
BHL (Biodiversity Heritage Library) .2009. Coptosapeltahttp:// www.Biodiversitylibrary.org/name/coptosapeltadiakses tanggal 7 Juni 2009
Burdick & Jackson. 2006. Material Safety Data Sheethttp://www.sciencestuff.com/msds/C2214.html
Diakses tanggal 10 Oktober 2009.
Ciptadra. 2007. Pendongkrak Gairah Seksual. http:// www.kesehatanonline.com/mod.php Diakses tanggal 29 Mei 2009.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Directorat of Health Promotion and Wellness. 2009. Yohimbine
(Pausinystalia yohimbe)
http://chppm-www.apgea.army.mil/dhpw/Wellness.aspx.Diakses tanggal 10 Oktober 2009
Fitriana, M. 2009. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Kimia Fraksi Petroleum Eter Akar Tumbuhan Manuran Asal Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan. Skripsi Fakultas MIPA UNLAM, Banjarbaru (tidak dipublikasikan)
Gamaliana, D.Y. 2010. Uji Aktivitas Afrodisiaka Fraksi Etil Asetat Akar Manuran (Coptosapelta tomentosa Valeton ex.K. Heyne) terhadap mencit putih jantan. Skripsi Fakultas MIPA UNLAM, Banjarbaru (tidak dipublikasikan)
36
Gizi. 2009. Kesehatan reproduksi Pria.http:// gizi .Net/cgi-bin/berita/fullnews .com Diakses tanggal 12 november 2009
Hamsah,2009. Pengaruh Mesterolon pada Metabolisme Tubuhhttp://pamujihamsah.comDiakses tanggal 18 Desember 2009
Harborne, I.B. 1987. Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung.
Kartawinata,S. 1991. Pengaruh biji kapas, pasak bumi, gingseng jawa,bawang putih, pegagan dan mangkokkan terhadap libido tikus putih jantan. Skripsi Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta.
Katzung, B.G. 2004. Farmakologi dasar dan Klinik Buku 3 Edisi 8.Bagian Farmakologi fakulltas kedokteran Universitas Airlangga.Surabaya.
Kendal, M.J. 2007. British National Formulary Edisi 54. BMJ Publishing Group Ltd. Tavistock Square, London WC1H 9JP, UK.
Lenny, S. 2006a. Isolasi dan Uji Bioaktivitas Kandungan Kimia Utama Puding Merah dengan Metode Uji Brine Shrimp. Universitas Sumatera Utara, Medan.
Lenny, S. 2006b. Senyawa Flavonoida, Fenil propanoida, dan Alkaloida.http:// multiply .com /join?replylink=1&t=06003489 Diakses tanggal 5 Juni 2010
LIPPI. 2009. Hasil Identifikasi/determinasi Tumbuhan. Pusat Penelitian Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor.
Nainggolan, O. & J. W. Simanjutak. 2005. Pengaruh Ekstrak Etanol Akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack) terhadap Perilaku Seksual Mencit Putih.http://www/portalkalbe/file/cdk/file/146_13PengaruhEkstrakEtanolAkarPasakBumi.pdf/Diakses tanggal 17 November 2007
Nugraha,D.F. 2010. Uji Aktivitas Afrodisiaka Fraksi n-Butanol Akar Manuran (Coptosapelta tomentosa Valeton ex.K. Heyne) terhadap mencit jantan (Mus musculus) galur DDY. Skripsi Fakultas MIPA UNLAM, Banjarbaru (tidak dipublikasikan)
37
Nugroho, Y.A, B. Nuratmi, M.W. Winarno. 2009. Kolesom (Talinum triangulare willd.) tumbuhan berkhasiat afrodisiaka yang aman http://www litbang.depkes.go.idDiakses tanggal 10 0ktober 2009
Rezeky, F.C. 2009. Aktivitas Afrodisiaka Ekstrak Metanol Akar Manuran Pada Mencit Putih Jantan. Skripsi Fakultas MIPA UNLAM, Banjarbaru (tidak dipublikasikan)
Sastrohamidjojo, H, 1996. Sintesis Bahan Alam. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Sudjadi. 1986. Metode Pemisahan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Syarif, A., P. Ascobat, S.G. Gunawan. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
Tempo. 1998. Viagra dari Bone. Majalah Tempo 29 Desember 1998. http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1998/12/29/INO/mbm.1998122.ino98803.htmlDiakses tanggal 10 Oktober 2009.
Tjahjono, S. 2008. Untuk Cinta yang Lebih Baik www. koran indonesia . com/2008/01/13/ untuk- cinta- yang- lebih- baik .
Diakses tanggal 10 Oktober 2009
Tjokronegoro, A dan Baziad. 1992. Efek Penelitian Obat Tradisional. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Voigt, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Wijayakusuma, H. 1992. Tanaman Berkhasiat Obat Indonesia. Pustaka Kartini. Jakarta.
Wikipedia. 2009. Yohimbinehttp://id.wikipedia.orgDiakses tanggal 10 Oktober 2009
Winarni, D. 2007. Efek Ekstrak Akar Ginseng Jawa dan Korea terhadap Libido Mencit Jantan pada Prakondisi Testosteron Rendah. FMIPA Universitas Airlangga. Surabaya.
Yogha.2006. Disfungsi seksual, Penyebab dan Cara mengatasihttp:// www.mail-archive.com/msg00975.htmlDiakses tanggal 18 Desember 2009