isi terbaru tgl 10 2-2015
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Padang merupakan salah satu daerah sentral produksi bengkuang yang
tersebar di beberapa kecamatan yaitu, diantaranya kecamatan Koto Tangah,
Nanggalo, Kuranji, dan Pauh. Pada tahun 2005 areal tanam mencapai 130 hektar
dengan rata-rata produksi 192 kuintal per hektar (total produksi 2.765 ton). Selain
kota Padang, ada beberapa daerah di Jawa seperti Kebumen juga merupakan
sentral produksi bengkuang. Di Kebumen, menurut data BPS Kebumen (2005-
2007) ada empat kecamatan sentra produksi bengkuang yang total produksinya
berkisar 5.020-7.030 ton per tahun yakni, Prembun, Mirit, Bonorowon dan
Padereso (Winarto, 2009).
Bengkuang (Pachyrrhizus erosus) merupakan tanaman tahunan yang dapat
mencapai panjang 4-5 meter, sedangkan akarnya dapat mencapai 2 meter.
Tumbuhan ini membentuk umbi akar (cormus) berbentuk bulat atau membulat
seperti gasing dengan berat dapat mencapai 5 kg. Kulit umbinya tipis berwarna
kuning pucat dan bagian dalamnya berwarna putih dengan cairan segar agak
manis. Umbinya mengandung gula dan pati serta fosfor dan kalsium. Umbi ini
juga memiliki efek pendingin karena mengandung kadar air 86-90%.
Rasa manis berasal dari suatu oligosakarida yang disebut inulin, yang
tidak bisa dicerna tubuh manusia. Sifat ini berguna bagi penderita diabetes atau
orang yang berdiet rendah kalori (Heyne K, 1987). Umbi bengkuang sebaiknya
disimpan pada tempat kering bersuhu 120C hingga 160C. Suhu lebih rendah
1
2
mengakibatkan kerusakan. Penyimpanan yang baik dapat membuat umbi bertahan
hingga 2 bulan (Heyne K, 1987).
Bengkuang adalah tanaman polong yang termasuk hortikutura yang
mempunyai potensi yang sangat baik untuk dikembangkan karena manfaat dari
tanaman bengkuang ini sangat banyak diantaranya adalah :
1) Umbi bengkuang mengandung inulin yang tidak dapat dicerna sehingga
dapat digunakan sebagai penganti gula.
2) Dapat diolah sebagai bahan makanan.
3) Sebagai bahan dasar obat untuk penyakit kanker, diabetes mellitus, nyeri
perut.
4) Sebagai bahan dasar kosmetik (Astawan, 2010).
Tanaman bengkuang (Pachyrrhizus erosus) dikenal baik oleh masyarakat
kita. Umbi tanaman bengkuang biasa dimanfaatkan sebagai buah atau bagian dari
beberapa jenis masakan. Umbi tersebut bisa dimakan segar, dibuat rujak, ataupun
asinan. Kulit umbinya tipis berwarna kuning pucat dan bagian dalamnya berwarna
putih dengan cairan segar agak manis. Umbinya mengandung gula dan pati serta
forfor dan kalsium. Umbi ini memiliki efek pendingin karena mengandung kadar
air 86-90%. Bengkuang merupakan tanaman yang memiliki banyak fungsi.
Umbi bengkuang juga mengandung agen pemutih (whitening agent) yang
dapat memutihkan dan menghilangkan tanda hitam dan pigmentasi di kulit.
Bengkuang juga mengandung vitamin C dan senyawa fenol yang dapat berfungsi
sebagai sumber antioksidan bagi tubuh (Keny, 2010).
3
Kandungan bengkuang (Pachyrrhizus erosus) salah satunya yaitu zat
besi dan vitamin C, dimana kandungan ini berfungsi untuk mempercepat proses
penyembuhan luka (Muscari, M, E, 2005).
Inflamasi adalah suatu respon protektif yang di tujukan untuk
menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik
yang diakibatkan oleh kerusakan asal (Mitchell, 2012). Inflamasi melaksanakan
tugas pertahanannya dengan mengencerkan, menghancurkan, atau menetralkan
agen berbahaya (misalnya mikroba atau toksin). Peradangan / inflamasi adalah
respon lokal (reaksi) dari jaringan hidup yang bervaskularisasi akibat rangsangan
endogen dan eksogen (Sugianto, 2013).
Respon inflamasi berlangsung bersamaan dengan proses perbaikan.
Inflamasi bertujuan merusak, melarutkan, atau mengatasi penyebab cedera, dan
proses ini pada gilirannya dapat berubah menjadi suatu rangkaian proses yang
sedapat mungkin memperbaiki jaringan yang rusak dan menyembuhkannya.
Perbaikan dimulai pada fase awal inflamasi dan biasanya selesai pada saat efek
cedera berhasil dinetralisasi.
Selama proses perbaikan, pada jaringan yang mengalami cedera, terjadi
regenarisasi sel parenkim dan pengisian daerah yang rusak oleh jaringan
fibroblastik. Pada dasarnya, inflamasi merupakan respons perlindungan untuk
membersihkan atau membuang penyebab cedera (seperti toksin atau mikroba)
maupun kerusakan yang ditimbulkannya (seperti toksin atau mikroba) maupun
kerusakan yang ditimbulkannya seperti sel dan jaringan nekrotik (Sjamsuhidajat,
2014).
4
Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat
proses patalogis yang berasal dari internal dan eksternal dan mengenai organ
tertentu (Lazarus, et al., 1994 dalam Potter & Perry, 2006).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang penelitian di atas, maka dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : “Apakah terdapat efektikitas
ekstrak umbi bengkuang (Pachyrhizus erosus) terhadap fase inflamasi dalam
proses penyembuhan luka mukosa oral pada tikus putih (Galur Wistar)?”.
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui efektifitas ekstrak umbi bengkuang (Pachyrhizus
erosus) terhadap fase inflamasi dalam proses penyembuhan luka mukosa
oral pada tikus putih (Galur Wistar).
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui efektifitas kandungan dari umbi bengkuang
(Pachyrhizus erosus).
2. Untuk mengetahui proses penyembuhan luka mukosa terhadap
fase inflamasi pada tikus (Galur Wistar).
3. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh esktrak umbi bengkuang
(Pachyrhizus erosus) terhadap fase inflamasi dalam proses
penyembuhan luka mukosa oral tikus putih (Galur Wistar).
5
1.4. Manfaat
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi yang bermanfaat bagi
masyarakat tentang efektifitas ekstrak umbi bengkuang (Pachyrhizus
erosus) terhadap fase inflamasi dalam proses penyembuhan luka mukosa
oral pada tikus putih (Galur Wistar) sehingga dapat dipakai sebagai
bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.
2. Memberikan salah satu cara pengobatan alternatif yang efektif dalam
proses penyembuhan luka mukosa oral tikus (Galur Wistar).
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bengkuang (Pachyrhizus erosus)
2.1.1. Definisi Bengkuang (Pachyrhizus erosus)
Bengkuang (Pachyrhizus erosus) termasuk tanaman dalam famili
leguminosae, tanaman ini berasal dari Meksiko dan Amerika Tengah bagian
utara. Penyebaran ke Filipina dilakukan oleh bangsa Spanyol kemudian
menyebar diberbagai negara di asia tenggara termasuk Indonesia
(Purseglove, 1987). Saat ini tanaman bengkuang banyak di usahakan di
negara-negara beriklim tropis. Tanaman bengkuang biasanya tumbuh
didataran rendah dan terletak di beberapa daerah di Indonesia. Bengkuang di
budidayakan didaerah perkebunan dataran rendah, misalnya terletak pada
daerah sekitar Jawa Barat dan Jawa Tengah (Hayne, 1987 dalam Demer,
2008).
2.1.2. Klasifikasi
Bengkuang (Pachyrhizus erosus (L.) termasuk ke dalam :
a. Kingdom : Plantae
b. Divisi : Magnoliophyta
c. Kelas : Magnoliopsida
d. Ordo : Fabales
e. Famili : Fabaceae
f. Genus : Pachyrhizus
g. pesies : Pachyrhizus
6
7
Nama umum bengkuang adalah yam bean (Inggris), jicama
(Mexico), sengkuang (Malaysia), singkamas (Filipina), dan sangkalu (India).
Menurut Sorensen (1988), genus pachyrhizus terdiri atas lima spesies, yaitu
Pachyrhizus erosus (L.) Urban, P. ahipa (wedd.) parody, P. tuberosus (lam.)
spreng, P. ferrugineus (piper), dan P. panamensis. Ketiga spesies yang
pertama sudah dibudidayakan, sedang dua spesies lainnya masih merupakan
spesies liar.
Gambar 1. Umbi Tanaman Bengkuang (Pachyrhizus erosus).
Sumber : id.wikipedia.org/wiki/bengkuang
Bengkuang merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak
diminati oleh masyarakat sebagai bahan konsumsi. Bengkuang juga telah
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan produk-produk kecantikan seperti
lulur bengkuang, handbody bengkuang, dan sebagainya. Namun demikian
bengkuang masih belum dapat dimanfaatkan secara optimal sehingga bengkuang
bukanlah buah yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan berharga mahal
(Williams, dkk., 1993).
8
Varietas yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah bengkuang gajah
dan bengkuang badur. Perbedaan di antara kedua jenis bengkuang ini adalah
waktu panennya. Varietas bengkuang gajah dapat dipanen ketika usia tanam
memasuki empat sampai lima bulan. Varietas bengkuang badur memiliki waktu
panen lebih lama. Jenis ini baru dapat dipanen ketika tanamannya berusia tujuh
sampai sebelas bulan. Walaupun umbinya dapat dimakan, bagian bengkuang yang
lain seperti biji sangat beracun, sama seperti tuba.
Racun ini sering dipakai untuk membunuh serangga atau menangkap ikan,
terutama yang diambil dari biji-bijinya. Biji bengkuang yang telah masak kaya
akan lipid yaitu ± 30% namun tidak dapat dimakan karena memiliki isoflavonoid
yang tinggi yaitu rotenone, isoflavanon dan furano-3-fenil kumarin yang sangat
beracun bagi manusia (Kay, 1973).
Kandungan vitamin C pada buah bengkuang yang tinggi yaitu sebesar 20
mg/100 gram yang sangat berperan sebagai antioksidan yang bermanfaat untuk
menangkal serangan radikal bebas penyebab kanker dan penyakit seperti penyakit
jantung, diabetes, dan stroke. Sementara kandungan vitamin B1-nya bermanfaat
untuk mengoptimalkan fungsi otak, mencegah terjadinya kerusakan saraf, maupun
memperlancar sirkulasi darah (Dike, 2011).
Di dalam bengkuang terdapat juga fitoestrogen. Bagi kaum perempuan,
kehadiran fitoestrogen sangat diperlukan untuk mempertahankan kualitas hidup di
usia tua. Ketika memasuki masa monopouse dimana hormone estrogen tidak lagi
diproduksi tubuh, perempuan mengalami kemunduran fisik, diantaranya kulit
cepat mengeriput serta organ tulang mulai rapuh dan mudah patah (Astawan dan
Kasih, 2008).
9
Bengkuang termasuk umbi-umbian yang memiliki kandungan air tinggi.
Bentuknya bulat dengan ujung yang meruncing. Buah ini sering digunakan untuk
bahan rujak. Bengkuang kaya vitamin C, kalsium, fosfor, dan serat makanan
(Sekarindah dan Rozaline, 2006).
Umbi bengkuang mengandung gizi yang cukup baik, yang secara umum
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Kandungan Nutrisi Dalam 100 Gram Bengkuang
Komposisi Gizi Jumlah
Energi (kcal) 55,00
Protein (g) 1,40
Lemak (g) 0,20
Karbohidrat (g) 12,80
Kalsium (mg) 15,00
Fosfor (mg) 18,00
Kalium (mg) 0,60
Vitamin A (IU) 0,00
Vitamin B1 (mg) 0,04
Vitamin C (mg) 20,00
Air (%) 85,10
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1992).
Kebanyakan masyarakat mengenal manfaat bengkuang hanya sebatas
sebagai kosmetik pemutih wajah atau kulit saja. Hal ini memang tidak juga salah
karena sesuai dengan sifat bengkuang yang memiliki banyak kandungan air yang
bervitamin dan mengandung antioksidan, sehingga sering digunakan oleh
masyarakat untuk kosmetik dalam pembuatan krim pemutih atau penghalus wajah
(Dike, 2011).
10
Kandungan kimia tanaman bengkuang tanaman bengkuang mengandung :
saponin, flavonoid dan minyak atsiri. Senyawa lain yang terkandung di dalam biji
bengkuang yang mampu mempengaruhi selera makan pada larva antara lain
pachirryzida, rotenoid, isoflavonoid dan phenylcoumarine (Waji, 2009).
Saponin Senyawa ini terdapat pada daun dan biji bengkuang mempunyai
sifat menyerupai sabun. Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat yang
dapat menimbulkan busa bila dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah
sering menyebabkan turunnya sel darah merah. Dalam larutan yang sangat encer
saponin sangat beracun untuk ikan, dan tumbuh-tumbuhan yang mengandung
saponin telah digunakan sebagai racun ikan selama beratus-ratus tahun. Beberapa
saponin juga bekerja sebagai anti mikroba (Waji, 2009).
Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada
tanaman hijau, kecuali alga. Flavonoid yang lazim digunakan pada tumbuhan
tingkatan tinggi (Angiospermae) adalah flavon dan flavonol dengan C- dan O-
glikosida, isoflavon C- dan O-glikosida, flavanon C- dan O-glikosida, khalkon
dengan C- dan O-glikosida, dan dihidroflavonol O-glikosida. Golongan flavon,
flavonol, flavanon, isoflavon, dan khalkon juga sering ditemukan dalam bentuk
aglikonya (Rohyami, 2008).
2.2. Inflamasi
2.2.1. Definisi Inflamasi
Inflamasi adalah suatu respon protektif yang di tujukan untuk
menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan
nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan asal (Mitchell, 2012). Inflamasi
11
melaksanakan tugas pertahanannya dengan mengencerkan, menghancurkan,
atau menetralkan agen berbahaya (misalnya mikroba atau toksin).
Peradangan/inflamasi adalah respon lokal (reaksi) dari jaringan hidup yang
bervaskularisasi akibat rangsangan endogen dan eksogen (Sugianto, 2013).
2.2.2. Mekanisme Inflamasi
Respon inflamasi berlangsung bersamaan dengan proses perbaikan.
Inflamasi bertujuan merusak, melarutkan, atau mengatasi penyebab cedera,
dan proses ini pada gilirannya dapat berubah menjadi suatu rangkaian proses
yang sedapat mungkin memperbaiki jaringan yang rusak dan
menyembuhkannya. Perbaikan dimulai pada fase awal inflamasi dan
biasanya selesai pada saat efek cedera berhasil dinetralisasi.
Selama proses perbaikan, pada jaringan yang mengalami cedera,
terjadi regenarisasi sel parenkim dan pengisian daerah yang rusak oleh
jaringan fibroblastik. Pada dasarnya, inflamasi merupakan respons
perlindungan untuk membersihkan atau membuang penyebab cedera (seperti
toksin atau mikroba) maupun kerusakan yang ditimbulkannya (seperti toksin
atau mikroba) maupun kerusakan yang ditimbulkannya (seperti sel dan
jaringan nekrotik). Tanpa inflamasi, infeksi dapat berlangsung tanpa kendali,
luka tidak akan sembuh, dan organ yang mengalami cedera akan tetap sakit.
Meskipun demikian, inflamsi dan proses perbaikan tetap berpotensi
membahayakan, misalnya menimbulakan reaksi hipersensitif yang dapat
mengancam jiwa, seperti gigitan serangga, akibat obat-obatan atau toksin.
Respon inflamasi pada jaringan ikat bervaskularisasi akan melibatkan
komponen plasma, sel darah yang bersikulasi (seperti neutrofil, monosit,
12
eosinofil, limfosit, basofil, dan trombosit), pembuluh darah dan komponen
seluler (seperti sel mast, fibroblast, makrofag, limfosit) dan ekstra selular
(seperti kolagen, elastin, fibrronektin, laminin, dan lain-lain) jaringan ikat.
Berbagai komponen itu berbentuk jaringan komonikasi seluler yang kuat
yang berakhir dengan meningkatnya respons inflamasi (Sjamsuhidajat,
2014).
2.2.3. Fase Inflamasi
Respon vaskular dan selular pada inflamasi akut dan kronis
diperantarai oleh mediator kimiawi yang berasal dari plasma atau sel yang di
induksi oleh rangsang inflamasi. Mediator tersebut dapat bekerja sendiri
atau secara bersama, atau dalam rangkaian reaksi, selanjutnya meningkatkan
respon inflamasi. Inflamasi akan dihentikan jika rangsang penyebab cedera
dihentikan dan mediator inflamasinya dihambat atau dihilangkan
(Sjamsuhidajat, 2014).
2.2.4. Jenis-jenis Inflamasi/Radang
Inflamasi dapat berlangsung akut maupun kronis. Inflamasi akut
berlangsung relative singkat, berakhir dalam beberapa menit, jam, atau hari
dengan gambaran utama adanya eksudasi cairan dan protein plasma (udem)
dan migrasi leukosit, terutama neutrofil. Inflamasi kronis berlangsung lebih
lama disertai gambaran histologis berupa adanya limfosit, makrofag,
penambahan pembuluh darah, fibrosis, dan jaringan nekrosis (Robbin,
2004).
13
2.2.5. Gejala-gejala Terjadinya Respons Inflamasi
Kemerahan (Rubor) Kemerahan atau rubor biasanya merupakan hal
pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Waktu reaksi
peradangan mulai timbul maka arteri yang mensuplai darah ke daerah
tersebut melebar, dengan demikian lebih banyak darah mengalir ke dalam
mikrosirkulasi lokal.
Pembuluh-pembuluh darah yang sebelumnya kosong atau sebagian
saja meregang dengan cepat dan terisi penuh oleh darah. Keadaan ini
dinamakan hiperemia atau kongesti menyebabkan warna merah lokal karena
peradangan akut. Timbulnya hiperemia pada permulaan reaksi peradangan
diatur oleh tubuh melalui pengeluaran zat mediator seperti histamin
(Mitchell, 2012).
Tabel 2. Perbedaan Inflamasi Akut dan Kronis
Akut Kronik
Etiologi Patogen, jaringan
injury
Radang akut yang persisten, akibat
pathogen yang tidak dapat dihancurkan,
benda asing yang persisten, atau reaksi
autoimun.
Sel-sel
utama yang
terlibat
Neutrifil, sel
mononuklear
(monosit, limfosit)
Sel mononuklear (monosit, makrofag,
limfosit dan sel plasma) fibroblast.
Mediator Vaso active
amines, eicosanoid
IFN-y dan sitokin lainnya, growth faktor,
reactif oxygen species, hidrotic enzymes.
Serangan Segera Tertunda
Waktu Beberapa hari Sampai beberapa bulan
Hasil Abses, radang,
kronis
Tissue destruction fibrous
Sumber : (http://id.m.wikipedia.org.wiki/daftar tabel inflamasi)
Luka
Inflamasi
Penyembuhan Luka
Ekstrak Bengkuang
Bengkuang
Mukosa Mulut
Penurunan inflamasi
14
2.3. Kerangka Konsep
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian
2.4. Hipotesis
Ho : Tidak ada pengaruh efek ekstrak umbi bengkuang (Pachyrhizus
erosus) terhadap fase inflamasi dalam proses penyembuhan luka
mukosa oral pada tikus Galur Wistar.
Ha : Ada pengaruh efek ekstrak umbi bengkuang (Pachyrhizus erosus)
terhadap fase inflamasi dalam proses penyembuhan luka mukosa
oral pada tikus Galur Wistar.
15
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Eksperimental
Laboratorium.
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari s/d April 2015,
dilaboratorium kopertis wilayah X Sumatera Barat, Laboratorium Farmasi
Universitas Andalas Sumatera Barat.
3.3. Variabel Penelitian
- Variabel terikat : Inflamasi
- Variabel bebas : Ekstrak bengkuang (Pachyrhizus erosus)
Variabel luar :
- Variabel terkendali : Makanan, minuman, genetik, jenis kelamin,
umur, berat badan, dan suhu badan.
- Variabel tak terkendali : Kondisi dari psikologis dari hewan
percobaan.
15
16
3.4. Defenisi Operasional Variabel
Tabel 3. Definisi Operasional Variabel
No Variabel Definisi Operasional Variabel
1. Inflamasi Inflamasi merupakan suatu respon jaringan
terhadap rangsangan fisik atau kimiawi yang
merusak.
2. Bengkuang
(Pachyrhizus erosus)
Termasuk tanaman dalam famili leguminosae,
tanaman ini berasal dari Meksiko dan Amerika
Tengah bagian utara.
3. Makanan dan minuman Merupakan pemberian energi kepada hewan
agar dapat bertahan hidup, berupa pellet dan
akuades.
4. Genetik dan jenis
kelamin
Merupakan tikus Galur wistar (Rattus
Norvegicus) berjenis kelamin betina.
5. Umur, berat badan dan
suhu badan
Merupakan tikus berumur 2 bulan dengan berat
badan 200 mg, suhu hewan percobaan yaitu
suhu kamar.
6. Kondisi psikologis Kondisi psikologis hewan percobaan
dipengaruh oleh lingkungan luar. Lingkungan
yang terlalu ramai dan pemberian perlakuan
yang berulang kali dapat mempengaruhi kondisi
tikus.
3.5. Populasi, Kriteria, dan Besar Sampel
3.5.1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah tikus Galur Wistar dengan jenis
kelamin betina dengan pertambahan bisa mengatasi keadaan spikologis tikus
dan agar sampel lebih homogen. Tikus memiliki karateristik sangat cerdas,
17
mudah di tangani, tidak bersifat fotofobik (tidak takut), kecendrungan
berkumpul dengan sesama sangat kurang, suhu normal badan 37,50C.
3.5.2. Kriteria
Sampel yang digunakan untuk penelitian ini adalah Galur Wistar
putih dengan persyaratan sebagai berikut :
Kriteria inklusi :
a. Tikus Galur Wistar umur 2 bulan.
b. Jenis kelamin betina.
c. Berat badan ±200 gram.
d. Tidak terdapat kelainan anatomis.
Kriteria ekslusi :
a. Tikus mati selama masa perlakuan.
b. Tikus sakit selama masa perlakuan.
3.5.3. Sampel
Sampel hewan percobaan merupakan sebagian dari populasi yang
terpilih yang mewakili populasi tersebut, sampel hewan percobaan dibagi
menjadi lima kelompok. Besar sampel tiap kelompok di hitung dengan
rumus federer seperti ditulis oleh Sastrosupadi :
(n-1)(5-1) ≥ 15
(n) (4) ≥ 15
4n ≥ 15
n ≥ 15/4
n = ≥ 3,75 maka : (n=4)
18
Keterangan :
n = Jumlah sampel tiap kelompok
t = Jumlah Kelompok
Berdasarkan perhitungan tersebut, maka jumlah sampel hewan
percobaan minimal yang diperlukan adalah 4 ekor tikus (Galur Wistar) dari
setiap kelompok. Sehingga besar sampel yang digunakan adalah 20 ekor
tikus (Galur Wistar).
3.6. Metode penelitian
Dalam penelitian ini metode penelitian yang harus diperhatikan
(Khairunnisa, 2011) :
1. Penyiapan alat dan bahan.
2. Pengambilan sampel.
3. Identifikasi sampel.
4. Pembuatan ekstrak umbi bengkuang (Pachyrhizus erosus).
5. Penyiapan dan aklimatisasi hewan percobaan.
6. Perencanaan dosis.
7. Pembuatan sedian uji.
8. Perlakuan pada hewan percobaan.
9. Pembuatan luka.
10. Pengamatan selama pemberian sedian uji.
11. Analisa data.
20 Sampel TikusGalur Wistar
(galur wistar)
Hasil Penelitian
K (-) K (+1) K+2 K+3
HP (-) HP1 HP2 HP3
19
3.7. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan control
group post test only design (Desnita, 2005 ; Effandilus, 2013).
Gambar 3. Rancangan Penelitian
Keterangan :
K ( - ) : Kelompok pertama adalah tikus normal (kontrol negatif).
K+1 : Kelompok kedua adalah tikus yang diberikan ekstrak bengkuang
sebanyak 0,5 % pagi dan sore.
K+2 : Kelompok ketiga adalah tikus yang diberikan ekstrak
bengkuang sebanyak 1 % pagi dan sore.
K+3 : Kelompok keempat adalah tikus yang diberikan ekstrak
bengkuang sebanyak 2 % pagi dan sore.
HP (-) : Pengamatan luka mukosa pada tikus kontrol.
HP1 : Pengamatan luka mukosa pada tikus Perlakuan I.
HP2 : Pengamatan luka mukosa pada tikus Perlakuan II.
HP3 : Pengamatan luka mukosa pada tikus Perlakuan III.
20
3.8. Alat dan Bahan
3.8.1. Alat
Botol maserasi, labu, rotary evaporator, pipet tetes, lumpang dan
stamfer, kapas, kertas saring, batang pengaduk, gelas ukur, spatel, ampalas,
wadah pemeliharaan tikus, timbangan hewan, spidol, kamera (mengambil
gambar luka pada mencit) (Desnita, 2005).
3.8.2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah ekstrak umbi bengkuang, etanol 96%,
vaselin putih, eter inhalasi, makanan dan minuman tikus (Khairunnisa,
2011).
3.9. Cara Kerja
3.9.1. Pengambilan Sampel Buah Bengkuang (Pachyrhizus erosus)
Sampel yang digunakan adalah umbi bengkuang (Pachyrhizus
erosus) yang diperoleh dari pasar raya Kota Padang, sebanyak 3kg.
3.9.2. Maserasi dan Pembuatan Ekstrak Buah Bengkuang Pachyrhizus
erosus
Maserasi merupakan cara penyarian sederhana yang dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama
beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya. Metode
maserasi digunakan untuk menyari simplisia yang mengandung komponen
kimia aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung
benzoin, tiraks dan lilin. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air,
etanol, air-etanol atau pelarut lainnya. Endapan yang diperoleh dipisahkan
21
dan filtratnya dipekatkan (Alam, Gemini dan Rahim, 2007 ; Ditjen POM,
1986 ; Sudjadi, 1986).
Umbi bengkuang ditimbang dengan menggunakan timbangan digital
4 digit merek Precisa XT 220A. Kemudian ditumbuk dengan menggunakan
lumpang dan alu agar memperkecil molekul sehingga dapat mempercepat
proses maserasi buah bengkuang. Buah bengkuang yang telah ditumbuk
dimasukan kedalam tabung gelap 2,5 liter dan metanol teknis dituangkan
sebanyak 1 liter dengan menggunakan corong, didiamkan selama 9 hari
disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman kedalam tabung
erlenmeyer, lalu dilakukan rotavapor dengan alat rotary evaporator hingga
diperoleh hasil ekstrak bengkuang dengan kekentalan yang pekat
(Khairunnisa, 2011).
3.9.3. Penyiapan Hewan Percobaan
Pada penelitian ini menggunakan 20 ekor tikus putih betina yang
terbagi dalam 4 kelompok dan diperlakukan selama 5 hari. Masing-masing
kelompok terdiri dari 4 ekor tikus dan diaklimitisasi dalam kondisi
laboratorium selama satu minggu dengan diberi makan yang seragam dan
minum yang cukup. Tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus
putih betina yang sehat, tidak mengalami penurunan berat badan lebih dari
10% dan secara visual menunjukkan perilaku yang normal (Khairunnisa,
2011).
22
3.9.4. Perencanaan Dosis
Ekstrak umbi bengkuang yang di ujikan kepada tikus yaitu 0,5%,
1%, 2,%, serta kontrol positif pemberian hidrocortison 2,5%, kontrol negatif
(tanpa pemberian sedian apapun) (Desnita, 2005).
3.9.5. Pembuatan Sedian Uji
Timbang sedian uji buah bengkuang sebanyak 3 gram, lalu digerus
halus dalam lumpang, selanjutnya ditambah vaselin kuning sebanyak 18
gram kemudian gerus hingga homogen sampai vaselin halus sehingga
didapatkan masa yang homogen, sehingga diperoleh kosentrasi 0,5%.
Selanjutnya sedian 0,5% ditimbang sebanyak 10 gram, lalu ditambahkan
vaselin 10 gram, gerus homogen sehingga diperoleh sediaan dengan
kosentrasi 1%, kemudian sediaan 1% diambil sebanyak 10 gram dan
ditambahkan vaselin 10 gram, gerus homogen sehingga sehingga diperoleh
kosentrasi 2% (Desnita, 2005).
3.9.6. Perlakuan Hewan Percobaan
Hewan percobaan dikelompokkan menjadi 4 kelompok yang masing-
masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus, tiap hewan percobaan :
Kelompok 1 : Kontrol negatif, tanpa diberikan sedian apapun.
Kelompok 2 : Diberikan salep ekstrak buah bengkuang 0,5%.
Kelompok 3 : Diberikan salep ekstrak buah bengkuang 1%.
Kelompok 4 : Diberikan salep ekstrak buah bengkuang 2%.
Sedian uji diberikan pada hewan percobaan sebanyak 2 kali sehari
pagi dan sore hari dengan mengoleskan secukupnya selama 5 hari. Selama
23
perlakuan, semua kelompok tikus diberikan makan dan minum setiap
harinya (Khairunnisa, 2011).
3.9.7. Pembuatan Luka Mukosa
Hewan percobaan atau tikus terlebih dahulu dibius inhalasi dengan
menggunakan larutan eter. Setelah tikus dalam keadaan tidak sadar, dibuat
luka goresan pada mukosa bibir bawah tikus dengan menggunakan amplas
ukuran kasar dengan ukuran luka lebih kurang 1 cm.
3.9.8. Pengamatan Selama Pemberian Sedian Uji
Perkembangan penyembuhan luka diamati setelah 1 hari setelah
pembuatan luka mukosa sampai 5 hari. Pada sewaktu pemberian sedian uji
juga diperhatikan adanya tikus yang sakit karena perlakuan atau karena
penyakit maka tidak diikut sertakan lagi. Parameter luka yang diamati yaitu
keadaan luka dengan menggunakan lup sebagai indikator untuk mengetahui
keadaan luka masih dalam keadaan memerah atau tidak memerah.
Dalam penyembuhan luka mukosa mempunyai skor observasi
dalam penyembuhannya jika jumlah skor <3 maka keadaan luka membaik
(skor 1 dan 2), sedangkan jika lukanya >3 maka keadaan luka kurang
membaik (skor 3) (Moloko, 2013).
3.9.9. Analisa Data
Data hasil penelitian dianalisa secara deskriptif dan kuantitatif
dengan menggunakan metoda analisa variansi (Anova) uji lanjut analisis
data SPSS.
Buah Bengkuang 3kg
Maserasi dengan etanol 96% Selama 5 hari
sebanyak 3 kali saring
Ampas Maserat
DestilasiVakum
Ekstrak Etanol
Bengkuang
Ektrak Etanol
RotaryEvaporator
Kadar Abu Kadar Air
24
3.10. Alur Pembuatan Ekstrak Etanol Bengkuang
Gambar 4. Alur Ekstrak Etanol Buah Bengkuang (Desnita, 2005).
20 Ekor Tikus Wistar
Adaptasi Selama 7 hari
Pembuatan Luka
Kelompok Kontrol
4 Ekor Dalam 2 Time Series
Kelompok Kontrol
4 Ekor Dalam 2 Time Series
Perlakuan 14 Ekor Tikus kontrol positif tanpa tindakan
Perlakuan 24 Ekor Tikus
diberikan ekstrak bengkuang 1%
Perlakuan 34 Ekor Tikus
diberikan ekstrak
bengkuang 2%
Dekapitasi H+2dan H+4
Pembuatan Preparat
Pemeriksaan leukosit PMN dengan mikroskopik elektrik
Analisa Data
25
3.11. Alur Penelitian
Gambar 5. Alur Penelitian