iv. hasil dan pembahasan - repository.ipb.ac.id · maupun periodik terhadap lahan dengan tujuan...
TRANSCRIPT
35
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kinerja Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Damar
Penilaian kinerja pengelolaan HLGD pada dua pemerintah daerah yaitu
Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango mengggunakan laju
perubahan tutupan hutan, sedimentasi dan fluktuasi debit air sebagai indikator
kinerja. Data perubahan tutupan lahan hutan diperoleh dari hasil analisis citra
landsat TM dari tahun 1999 sampai tahun 2009, data fluktuasi debit air diperoleh
dari data hasil pengukuran BALIHRISTI tahun 2003 sampai tahun 2009
sedangkan untuk sedimentasi menggunakan data tahun 2004 dan tahun 2005 oleh
BP-DAS Bolango
a. Perubahan Tutupan Hutan Kawasan Hutan Lindung Gunung Damar
1. Kabupaten Gorontalo
Menurut Lo (1995) penutupan hutan menggambarkan konstruksi vegetasi
alami maupun buatan yang menutup permukaan lahan yang secara umum dapat
dibagi ke dalam tiga kelas , yaitu (1) struktur fisik yang dibangun oleh manusia,
(2) fenomena biotik vegetasi alami (hutan), tanaman pertanian dan kehidupan
binatang, (3) tipe-tipe pembangunan. Selanjutnya Malingreau dan Rosita (1991)
mengatakan perubahan penutupan hutan terjadi karena adanya perubahan pola
penggunaan lahan sebagai bentuk campur tangan manusia baik secara permanen
maupun periodik terhadap lahan dengan tujuan memenuhi kebutuhan baik
kebutuhan kebendaan, spiritual atau gabungan keduanya.
Data mengenai perubahan tutupan hutan yang terjadi di kawasan HLGD di
dalam wilayah Kabupaten Gorontalo dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Perubahan tutupan hutan kawasan HLGD di wilayah Kabupaten
Gorontalo tahun 1999-2009
No Jenis Penutupan Lahan Luas (ha) pada Tahun
1999 2001 2004 2009
1 Hutan 7154.63 6906.73 5586.26 3793.42
2 Lahan pertanian 2331.64 2470.08 3096.16 4028.29
3 Semak belukar 466.07 960.42 529.71 345.09
4 Lahan terbuka 294.86 487.94 309.13 122.65
5 Lainnya 932.65 354.68 1658.58 2890.39
Total 11179.84 11179.84 11179.84 11179.84
36
Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui, selama 10 tahun terakhir tutupan
hutan di Kabupaten Gorontalo berkurang sebesar 3361.21 ha atau 46.98%
Penurunan tutupan hutan di HLGD disebabkan oleh konversi lahan hutan menjadi
lahan pertanian. Hal ini terlihat dari meningkatnya lahan pertanian di HLGD
selama tahun 1999 sampai dengan 2009 yang mencapai 4028.29 ha atau 36.03%.
Peningkatan lahan pertanian didalam kawasan hutan, umumnya disebabkan oleh
aksi-aksi perambahan yang dilakukan baik secara individu maupun kelompok.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan terdapat beberapa faktor masyarakat
yang tinggal disekitar kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo melakukan
perambahan antara lain 1) ketergantungan masyarakat terhadap kawasan hutan
yang tinggi, 2) rendahnya tingkat kesejahteraan yang diindikasikan dengan masih
tingginya tingkat kemiskinan. Kondisi seperti ini menyebabkan individu atau
kelompok melakukan jalan pintas dengan melakukan perambahan tanpa
memikirkan aspek kelestarian 3) terbatasnya alternatif sumber pendapatan selain
dari sektor pertanian, 4) kondisi biofisik kawasan hutan seperti lahan yang subur
5) aksesibilitas menuju kawasan HLGD yang mudah 6) lemahnya penegakan
hukum bagi para perambah. Situasi ini mengindikasikan HLGD telah mengalami
tekanan akibat aktivitas sosial ekonomi masyarakat baik secara individu maupun
kelompok. Dampak negatif sebagai akibat dari konversi hutan menjadi lahan
pertanian antara lain berkurangnya keanekaragaman hayati, terganggunya siklus
hidrologi, terjadinya erosi dan sedimentasi.
Kegiatan perambahan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo telah terjadi
sejak kawasan HLGD ditunjuk sebagai kawasan hutan lindung. Perambahan hutan
dapat diartikan sebagai kegiatan menduduki kawasan hutan negara yang
dilakukan oleh individu maupun kelompok dalam jumlah yang lebih kecil maupun
besar untuk dijadikan areal lain seperti perkebunan, pertanian, pertambangan dan
lain sebagainya yang bersifat sementara atupun dalam waktu yang cukup lama.
Dampak yang ditimbulkan dari aktivitas ini adalah terjadinya degradasi hutan.
Menurut Lamb (1994) degradasi hutan merupakan kondisi dimana fungsi
ekologis, ekonomis dan sosial hutan tidak terpenuhi. Berdasarkan hasil analisis,
rataan degradasi HLGD selama tahun 1999-2009 mencapai 4.96%/tahun. Berikut
37
ini diuraikan rataan degradasi hutan untuk setiap periode berdasarkan hasil
analisis citra landsat tahun 1999, 2001, 2004 dan 2009
Pada periode 1999-2001 tutupan hutan di HLGD berkurang sebesar 247.90
ha dengan laju penurunan sebesar 1.73%/tahun. Penurunan tutupan hutan diikuti
dengan bertambah luasnya lahan pertanian sebesar 138.47 ha atau mengalami
peningkatan sebesar 2.97%/tahun. Peningkatan luasan yang cukup besar terjadi
pada semak sebesar 494.35 ha atau terjadi peningkatan rata-rata sebesar 5.30%.
Terbentuknya semak belukar di kawasan HLGD tidak terlepas dari sistem
peladang berpindah yang dipraktekkan sejak lama oleh masyarakat sekitar HLGD.
Menurut Barbour et al. 1999, semak belukar merupakan lahan yang diberakan dan
mengalami suksesi dengan masuknya jenis-jenis tumbuhan secara alami mulai
dari komponen pionir hingga suksesi lanjut. Perubahan tutupan hutan pada
periode 1999-2001 dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 9
Tabel 5. Laju perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD tahun 1999-2001 di
wilayah Kabupaten Gorontalo No Jenis Penutupan Lahan Luas (ha) Laju Per Tahun (%)
1 Hutan -247.90 -1.73
2 Lahan pertanian 138.44 2.97
3 Semak belukar 494.35 5.30
4 Lahan terbuka 193.07 3.27
Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan
Pada periode 2001-2004 penurunan tutupan hutan meningkat dibandingkan
dengan tutupan hutan tahun 1999-2001. Tutupan hutan berkurang hingga
mencapai 1320.47 ha atau mengalami degradasi sebesar 6.37%/tahun. Selain itu,
tutupan lahan lain yang mengalami perubahan yang cukup besar pada periode ini
adalah lahan pertanian sebesar 626.08 ha atau meningkat sebesar 8.45%/tahun.
Selanjutnya laju perubahan tutupan hutan lindung tahun 2001-2004 dapat dilihat
pada Tabel 6
Tabel 6. Laju perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD tahun 2001-2004 di
wilayah Kabupaten Gorontalo No Jenis Penutupan Lahan Luas (ha) Laju Per tahun (%)
1 Hutan -1320.46 -6.37
2 Lahan pertanian 626.08 8.45
3 Semak belukar -430.71 -14.95
4 Lahan terbuka -178.81 -12.21
Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan
38
Periode 2004-2009 merupakan periode dimana tekanan terhadap kawasan
HLGD sangat tinggi. Hal ini terlihat dari penurunan tutupan hutan sebesar
1792.85 ha atau mengalami degradasi sebesar 8.02%/tahun Selain itu, terdapat
juga tutupan lahan yang mengalami peningkatan yang sangat besar, yaitu lahan
pertanian sebesar 932.13 ha. Laju peningkatan lahan pertanian pada periode ini
sebesar 30.11% atau sebesar 7.53%/tahun. Peningkatan lahan pertanian yang
terjadi antara tahun 2004-2009 terjadi karena terkait dengan upaya pemerintah
daerah dalam mensukseskan program agropolitan yang dicanangkan sejak tahun
2003. Kebijakan ini diambil untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang di
Kabupaten Gorontalo. Pemberian benih gratis beberapa komoditi unggulan seperti
jagung, cengkih dan coklat kepada kelompok tani tanpa mempertimbangkan
kepemilikan lahan telah mempercepat laju deforestasi di hutan lindung Gunung
Damar. Data-data mengenai perubahan tutupan lahan pada periode ini dapat
dilihat pada Tabel 7 dan Gambar 10
Tabel 7. Laju Perubahan Tutupan Hutan di Kawasan HLGD Tahun 2004-2009 di
wilayah Kabupaten Gorontalo No Jeni Penutupan Lahan Luas (ha) Laju Per tahun (%)
1 Hutan -1792.84 -8.02
2 Lahan pertanian 932.13 7.53
3 Semak belukar -184.61 -8.71
4 Lahan terbuka -186.48 -15.08
Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan
Meskipun Jordan (1985) mengkategorikan sistem peladang berpindah
termasuk dalam kategori sedang sebagai penyebab degradasi hutan, tapi hasil
survey lapangan memperkirakan konversi hutan akan semakin meningkat jika
belum ditemukan solusi dalam mengatasi kegiatan perambahan hutan yang
umumnya disebabkan oleh sistem peladang berpindah. Saat ini terdapat dua
pemikiran yang saling mempertentangkan penyebab degradasi hutan. Pemikiran
pertama menyebutkan bahwa tingkat produktivitas pertanian yang kecil dan
meningkatnya jumlah petani kecil diduga sebagai peyebab deforestasi (FAO 1990,
World Bank 1990, Barbier et al. 1993, Fraser 1996). Penjelasan tersebut
cenderung memandang penduduk sipil dan terutama petani kecil, sebagai faktor
utama dalam pembabatan hutan. Sedangkan pemikiran kedua menyebutkan
adanya kebijakan pemerintah dengan proyek-proyek pembangunannya yang tidak
39
tepat dan maraknya industri perkayuan telah meningkatkan laju deforestasi
termasuk di Indonesia. karena (Dick 1991, WALHI 1992, Ascher 1993,
Dauvergne 1994).
Menarik untuk ditelaah pendapat yang dikemukakan oleh Potter (1994)
yang mengatakan bahwa transformasi petani tradisional menjadi petani modern
telah menyumbang laju deforestasi meningkat. Menurut Dick (1991) peladang
berpindah hanya menyumbang 21% dari total laju degradasi hutan yang ada
didunia dibeberapa kawasan hutan. Kartawinata el al. (1989) yang mengamati
sistem peladang berpindah dibeberapa wilayah, mengemukakan pada umumnya
sistem peladang tradisional masih mengembangkan tanaman tahunan, sehingga
tidak beralasan jika peladang tradisional dituding sebagai pemicu degradasi hutan.
Namun Barrow (1991) secara lebih rinci menyatakan bahwa faktor-faktor utama
penyebab terjadinya perubahan lahan dari hutan ke lahan non hutan adalah: (1)
perubahan jumlah populasi manusia, (2) marjinalisasi tanah, (3) kemiskinan, (4)
status kepemilikan tanah, (5) ketidakstabilan politik dan masalah administrasi, (6)
kondisi sosial ekonomi, (7) masalah kesehatan, (8) praktek pertanian yang tidak
tepat, dan (9) aktifitas pertambangan dan industry. Secara umum laju degradasi
hutan antara tahun 1999-2009 disajikan pada Gambar 6
Gambar 6. Grafik Laju Degradasi Tutupan Hutan di kawasan HLGD Kabupaten
Gorontalo Periode 1999-2009
-247.9
138.44
494.35
193.07
-1320.46
626.08
-430.71
-178.81
-1792.84
932.13
-184.61 -186.48
-2000
-1500
-1000
-500
0
500
1000
1500
Hutan Lahan pertanian Semak belukar Lahan terbuka
L
a
j
u
D
e
g
r
a
d
a
s
i
Jenis Penutupan Lahan
1999-2001 2001-2004 2004-2009
40
Gambar 7. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 1999 dan 2001
41
Gambar 8. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 2001 dan 2004
42
Gambar 9. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 2004 dan 2009
43
2. Kabupaten Bone Bolango
Berdasarkan hasil survey dan interpretasi citra landsat kondisi HLGD di
Kabupaten Bone Bolango sedikit mengalami tekanan dibandingkan dengan
kondisi HLGD di Kabupaten Gorontalo. Untuk melihat sejauh mana tekanan
tersebut maka dilakukan analisis perubahan tutupan hutan yang dibagi ke dalam
beberapa periode waktu yang sama dengan kabupaten Gorontalo. Perubahan
tutupan lahan HLGD di Kabupaten Bone Bolango dapat dilihat pada Tabel 8
Tabel 8. Perubahan tutupan hutan kawasan HLGD di wilayah Kabupaten Bone
Bolango tahun 1999-2009
No Jenis Penutupan Lahan Luas(ha) pada Tahun
1999 2001 2004 2009
1 Hutan 8338.01 8028.38 7250.68 6056.73
2 Lahan pertanian 407.89 502.18 687.76 956.79
3 Semak belukar 68.24 101.71 99.70 45.57
4 Lahan terbuka 36.30 63.35 49.89 13.63
5 Lainnya 86.81 241.63 849.23 1864.53
Total 8937.26 8937.26 8937.26 8937.26
Berdasarkan data-data pada Tabel 8 tutupan hutan di kawasan HLGD adalah
yang paling banyak berubah sejak ditunjuk sebagai kawasan hutan lindung
ditahun 1999. Tutupan hutan di kawasan HLGD hingga tahun 2009 berkurang
seluas 2281.28 ha atau berkurang 27.36%. Perubahan tutupan hutan di kawasan
HLGD Kabupaten Bone Bolango lebih kecil jika dibandingkan dengan penurunan
tutupan lahan hutan di HLGD Kabupaten Gorontalo yang mencapai 46.98% pada
periode yang sama. Sebaliknya lahan pertanian mengalami peningkatan sebesar
74.31% sejak sepuluh tahun terakhir. Selain itu, jenis tutupan yang mengalami
perubahan adalah semak belukar dan lahan terbuka. Semak belukar mengalami
peningkatan yang cukup besar, yaitu sebesar 27.58 ha, sedangkan lahan terbuka
meningkat sebesar 14.82 ha. Peningkatan lahan pertanian dan lahan terbuka di
HLGD Kabupaten Bone Bolango diakibatkan oleh adanya sistem ladang
berpindah yang dipraktekkan oleh masyarakat di desa Mongiilo dan Owata.
Praktek ladang berpindah ini telah lama dilakukan dengan siklus 5-7 tahun.
Berdasarkan sejarah desa, interaksi antara masyarakat dengan HLGD sudah
berlangsung ratusan tahun. Sistem peladang berpindah yang dipraktekkan oleh
masyarakat di empat desa yang menjadi sampel penelitian, merupakan bagian dari
44
upaya pelestarian budaya masyarakat sekitar HLGD. Didik et al. (1998)
menyatakan pola pengelolaan hutan yang diprakarsai dan dilakukan masyarakat
dapat bertahan bahkan hingga ratusan tahun. Cara-cara pengelolaannya relatif
menjamin keberadaan hutan dan sekaligus penting untuk mendukung dan
mempertahankan kehidupan mereka. Sistem pemanfaatan HLGD yang berbasis
budaya berdampak terhadap kecilnya laju perubahan tutupan lahan pada periode
1999, 2001, 2004 dan 2009. Berikut ini dijelaskan perubahan tutupan lahan yang
terjadi di HLGD selama periode tersebut
Periode 1999-2001 jenis tutupan lahan yang mengalami perubahan yang
paling besar adalah tutupan hutan. Jenis tutupan hutan mengalami penurunan
sebesar 309.65 ha dengan laju penurunan rata-rata sebesar 1.86%/tahun. Apabila
dibandingkan dengan laju perubahan tutupan hutan pada periode yang sama di
Kabupaten Gorontalo yang mencapai 1.73%/tahun maka laju degradasi yang
terjadi di Kabupaten Bone Bolango lebih besar. Jenis tutupan lahan lain yang
mengalami perubahan cukup besar adalah peningkatan lahan pertanian. Lahan
pertanian dalam kawasan HLGD mengalami peningkatan sebesar 94.30 ha
mengalami peningkatan rata-rata sebesar 11.56%/tahun. Adapun jenis perubahan
tutupan lahan selama tahun 1999-2001 dapat dilihat pada Tabel 9
Tabel 9. Laju perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD tahun 1999-2001 di
wilayah Kabupaten Bone Bolango
No Jenis Penutupan Lahan Luas (ha) Laju per tahun (%)
1 Hutan -309.65 -1.86
2 Lahan pertanian 94.30 11.56
3 Semak belukar 33.46 24.52
4 Lahan terbuka 27.06 37.27
Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan
Periode 2001-2004 jenis tutupan lahan yang mengalami perubahan yang
paling besar adalah tutupan hutan. Jenis tutupan hutan mengalami penurunan
sebesar 777.70 ha atau rata-rata laju penurunan hutan mencapai 3.23% per tahun.
Jenis tutupan lahan lain yang mengalami perubahan yang cukup besar adalah tipe
lahan pertanian yang mengalami peningkatan sebesar 185.57 ha atau rata-rata laju
peningkatan lahan pertanian mencapai 12.32%/tahun. Data mengenai laju
perubahan lahan pada periode ini dapat dilihat pada Tabel 10 dan pada Gambar
12.
45
Tabel 10. Laju perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD Tahun 2001-2004 di
wilayah Kabupaten Bone Bolango
No Jenis Penutupan Lahan Luas (ha) Laju Per tahun (%)
1 Hutan -777.70 -3.23
2 Lahan pertanian 185.57 12.32
3 Semak belukar -2.01 -0.66
4 Lahan terbuka -13.46 -7.08
Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan
Periode 2004-2009 perubahan jenis tutupan lahan yang paling besar terjadi
pada tutupan hutan. Tutupan hutan ini mengalami penurunan yang paling besar
selama periode tahun 1999 sampai tahun 2009. Penurunan tutupan hutan
mencapai 1193.95 ha atau rata-rata sebesar 4.11%/tahun. Jika dibandingkan
dengan laju perubahan tutupan lahan hutan sebesar 8.02%/tahun di Kabupaten
Gorontalo maka laju perubahan tutupan lahan hutan di Kabupaten Bone Bolango
relatif lebih rendah. Tipe tutupan lahan lain yang mengalami peningkatan yang
cukup besar adalah lahan pertanian sebesar 269.03 ha atau rata-rata mengalami
peningkatan sebesar 9.78%/tahun. Jika dibandingkan dengan peningkatan lahan
pertanian di HLGD Kabupaten Gorontalo sebesar 7.53% maka tutupan lahan
pertanian di Kabupaten Bone Bolango relatif lebih besar. Data mengenai
perubahan tutupan lahan pada periode ini dapat dilihat pada Tabel 11 dan Gambar
13.
Tabel 11. Laju perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD Tahun 2004-2009 di
wilayah Kabupaten Bone Bolango
No Penutupan Lahan Luas (ha) Laju Per tahun (%)
1 Hutan -1193.95 -4.12
2 Lahan pertanian 269.03 9.78
3 Semak belukar -54.13 -13.57
4 Lahan terbuka -36.26 -18.17
Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan
Secara umum perbandingan tutupan lahan selama periode 1999-2009 dapat
dilihat pada Gambar 12
46
Gambar 10. Grafik laju degradasi tutupan hutan di kawasan HLGD Bone Bolango
Berdasarkan uraian di atas, ancaman terhadap keberadaan HLGD di
Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango berasal dari pemukiman,
perladangan dan pengambilan kayu secara tidak sah. Aktivitas sistem perladangan
oleh masyarakat, pemukiman dan pengambilan kayu secara tidak sah merupakan
aktivitas yang paling sering ditemukan di HLGD yang masuk dalam wilayah
administrasi Kabupaten Gorontalo, sedangkan di Kabupaten Bone Bolango
aktivitas yang paling menonjol adalah perladangan berpindah. Aktivitas
perladangan dan pemukiman merupakan aktivitas yang dilakukan sejak lama
bahkan sebelum kawasan HLGD ditunjuk oleh menteri kehutanan menjadi
kawasan lindung. Hal ini bisa dibuktikan dari sejarah terbentuknya desa desa
tersebut. Pada umumnya desa yang terdapat disekitar kawasan HLGD telah ada
sekitar tahun 1800-an. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh-tokoh
masyarakat diperoleh informasi bahwa terbentuknya pemukiman baru dimasa lalu
selalu disertai dengan pembukaan lahan pertanian untuk mendukung kehidupan
penduduk setempat. Pada umumnya ladang-ladang yang dibuka oleh masyarakat
relatif berdekatan dengan pemukiman penduduk. Pola pemukiman penduduk yang
tinggal di dalam kawasan HLGD menyebar dan tidak terkonsentrasi pada satu
lokasi saja. Aktivitas pengambilan kayu secara tidak sah biasanya terjadi pada saat
pembukaan ladang.
-309.65
94.30 33.46 27.06
-777.70
185.57
-2.01 -13.46
-1193.95
2690.35
-541.30
-36.26
-1500.00
-1000.00
-500.00
0.00
500.00
1000.00
1500.00
2000.00
2500.00
3000.00
Hutan Lahan pertanian Semak belukar Lahan terbuka
L
a
j
u
D
e
g
r
a
d
a
s
i
Jenis Penutupan Lahan
1999-2001 2001-2004 2004-2009
47
Gambar 11. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di Kabupaten Bone Bolango tahun 1999 dan 2001
48
Gambar 12. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di Kabupaten Bone Bolango tahun 2001 dan 2004
49
Gambar 13. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di Kabupaten Bone Bolango tahun 2004 dan 2009
50
b. Debit Air Sungai dan Sedimentasi
Tutupan hutan merupakan salah satu penentu kualitas DAS. Secara umum
kualitas DAS Bionga di Kabupaten Gorontalo dan DAS Bone di Kabupaten Bone
Bolango tergolong buruk hal ini diindikasikan oleh debit air sungai dan
sedimentasi yang secara kuantitas dan kualitas menurun.. Penunjukkan Hutan
Gunung Damar sebagai kawasan lindung oleh pemerintah merupakan salah satu
keputusan yang dianggap penting untuk melindungi sistem tata air yang ada di
Propinsi Gorontalo. Menurut Lee (1988) vegetasi di dalam kawasan hutan mampu
mengintersepsi butir air hujan mengurangi limpasan permukaan, mengurangi erosi
tanah serta menjaga kelembaban permukaan tanah (Lee, 1988). Berdasarkan hasil
survey dan penelusuran literatur, HLGD merupakan hulu dari 2 sungai besar yaitu
sungai Bionga yang terletak di Kabupaten Gorontalo, Sungai Bolango yang
terletak di Kabupaten Bone Bolango. Keberadaan sungai-sungai ini sangat penting
karena menjadi sumber air baku PDAM dan mengairi sawah. Ketiga sungai ini
mengalir sepanjang tahun dengan rata-rata debit air yang berbeda disetiap
tahunnya. Adapun data fluktuasi debit air sungai tersebut terdapat pada Tabel 12
dibawah ini.
Tabel 12. Debit air Sungai Bionga dan Sungai Bolango No
Nama Sungai Rata-rata Debit (m
3/detik)
2003 2006 2009
1 Sungai Bionga Kabupaten Gorontalo 0.30 0.54 0.50
2 Sungai Bolango Kabupaten Bone Bolango 26.17 28.98 30.10
Sumber: Halida (2008), Balihristi (2008), Balihristi (2009)
Tabel 12 di atas menunjukkan debit air terbesar terdapat di Sungai Bolango
di Kabupaten Bone Bolango. Menurut Balihristi (2009), ada beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi debit sungai di antaranya luas daerah tangkapan, penutupan
lahan, curah hujan, jenis tanah, topografi serta model pengelolaan lahan. Dari
beberapa faktor tersebut maka luas daerah tangkapan menjadi yang paling
berpengaruh. DAS Bionga memiliki wilayah tangkapan air terluas yaitu 91004 ha
dibandingkan dengan DAS Bolango yang hanya sebesar 52775 ha. Dari luas
tangkapan ini terlihat bahwa DAS Bolango adalah DAS contoh dengan daerah
memberikan debit air yang lebih tinggi dibandingkan kedua DAS lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa ada unsur lain yang lebih berperan terhadap hasil air selain
luas daerah tangkapan. Penutupan lahan adalah unsur yang dapat diduga
51
mempunyai peran yang cukup besar mempengaruhi hasil air suatu DAS. Besarnya
laju perubahan tutupan hutan menjadi non hutan di Kabupaten Gorontalo diduga
menyebabkan debit air sungai Bionga yang mempunyai hulu di HLGD mengalami
penurunan. Menurut Halida (2008) kondisi tutupan hutan primer yang relatif
terjaga di hulu DAS Bolango di Kabupaten Bone Bolango membuat kondisi debit
air sungai Bolango stabil bahkan debitnya meningkat. Sebaliknya kondisi
kerusakan diwilayah hulu DAS Bionga di Kabupaten Gorontalo telah
menyebabkan debit air sungainya menjadi kecil.
Tingkat kerusakan hutan dihulu DAS juga berdampak pada jumlah sedimen
yang terdapat pada dua wilayah DAS seperti terlihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Jumlah Sedimentasi di DAS Bionga dan DAS Bolango
No Nama Sungai Sedimentasi (gram/ha/bulan)
2004 2005
1 DAS Bionga Kabupaten Gorontalo 0.73 2.10
2 DAS Bolango Kabupaten Bone Bolango 1.47 1.42
Sumber: Halida (2008), BP-DAS Bone Bolango (2009)
Berdasarkan tabel di atas terlihat pada tahun 2005 jumlah sedimen yang
terangkut pada aliran air sungai DAS Bionga lebih besar dibandingkan pada DAS
Bolango. Jumlah sedimen di DAS Bolango mengalami penurunan yakni 1.47
gram pada tahun 2004 menjadi 1.42 gram pada tahun 2005. Balai Penelitian
Agroklimat dan Hidrologi (2007) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa
peningkatan luas hutan sebesar lima persen di sub DAS Cikao, dapat menurunkan
sedimen 2.69%. Peningkatan luas hutan 10% dapat menurunkan sedimen sebesar
5.72%. Dalam laporan yang sama dikemukakan bahwa peningkatan luas hutan
sebesar 5% di sub DAS Ciherang dapat menurunkan sedimen sebesar 2.21%.
Peningkatan luas hutan sebesar 10% dapat menurunkan sedimen sebesar 4.55%.
Indikator lain yang bisa dijadikan acuan telah rusaknya fungsi pengatur tata air di
HLGD adalah bertambah luasnya lahan kritis di DAS Bionga yakni 3.075 ha
sedangkan pada DAS Bolango 1.175 ha (BP-DAS Bone Bolango, 2009)
4.2. Situasi HLGD
a. Situasi Ekologi
Menurut Halidah et al. 2007 secara umum HLGD terdiri dari 2 tipe hutan
yaitu hutan alam sekunder dan hutan tanaman. Adapun ciri hutan alam sekunder
di HLGD antara lain tegakan muda, struktur lebih seragam, jenis kayu merupakan
52
kayu lunak, tidak awet, riap awal besar lambat laun mengecil. Sedangkan hutan
tanaman adalah hutan yang sengaja ditanam dengan jenis tanaman tertentu dengan
kepentingan tertentu. Vegetasi hutan tanaman di HLGD terdiri dari jenis tanaman
pinus dan agathis dengan umur lebih dari 80 tahun. Tidak ditemukan catatan
tertulis mengenai sejarah hutan tanaman di HLGD tetapi berdasarkan informasi
dari masyarakat, tanaman pinus dan agathis ditanam oleh pemerintah kolonial
Belanda.
Jenis vegetasi yang terdapat di Hutan lindung Gunung Damar antara lain
adalah Meranti (Shorea sp), Nyatoh (Palaqium amboinansis), Cempaka
(Elmerelia ovalis), Pinus (Pinus merkusii), Jati (Tectona grandis), Damar (Agathis
mollucana), dan beberapa jenis vegetasi lainnya. Sedangkan spesies kunci dari
mamalia yang terdapat di HLGD antara lain monyet hitam (Macaca heckii), babi
hutan (Sus celebensis), rusa (Cervus timorensis), sedangkan untuk jenis aves
terdiri dari rangkong (Ryciteros cassidix), Maleo (Macropelon maleo), ayam
hutan (Gallus galus). Informasi terkait dengan potensi flora fauna juga didapatkan
dari masyarakat yang menyatakan sering melihat babi rusa (Babyrousa babirusa),
Anoa (Bubalus quarlesi), kuse (Palanger ursinus), tarsius (Tarsius sp) di sekitar
Gunung Pangga yang termasuk dalam kawasan HLGD (Maga 2010; Kaipa 2010).
Menurut Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1999 satwa-satwa ini termasuk yang
dilindungi oleh Pemerintah Indonesia.
Potensi lain yang terdapat di HLGD adalah tanaman obat dan tanaman hias.
Tanaman obat di HLGD terdiri dari 11 jenis tanaman obat yang didominasi oleh
tanaman jahe-jahean dengan potensi sebanyak 443 batang/ha. Sedangkan tanaman
hias terdiri dari 12 jenis dengan potensi antara 10 - 114 batang atau rumpun per-
hektar. Jenis tanaman hias ini didominasi oleh jenis paku-pakuan. Penyebaran
tanaman hias dan tanaman obat dipengaruhi oleh jenis tegakan. Pada umumnya
tanaman obat dan tanaman hias menyebar dibawah vegetasi tanaman pinus
(Halida et al. 2007). Potensi satwa dan vegetasi yang dijelaskan sebelumnya pada
umumnya menyebar di sebelah utara kawasan HLGD baik di wilayah Kabupaten
Gorontalo maupun Kabupaten Bone Bolango karena berdasarkan hasil interpretasi
citra digital dan ground check lapangan, kondisi hutan diwilayah ini relatif belum
terganggu oleh aktivitas manusia
53
Hasil interpretasi citra satelit tahun 2009 tutupan lahan di HLGD terdiri
hutan, lahan pertanian, semak dan lahan terbuka. Adapun tutupan lahan di HLGD
di wilayah administrasi Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango bisa
dilihat pada Tabel 14
Tabel 14. Jenis tutupan lahan kawasan HLGD tahun 2009
No Jenis Penutupan Lahan Luas Tutupan Lahan (ha)
Gorontalo Bone Bolango
1 Hutan 3793.42 6056.73
2 Lahan Pertanian 4028.29 956.79
3 Semak 345.09 45.57
4 Lahan Terbuka 122.65 13.63
5 Lainnya 2890.39 1864.52
6 Sub Total Kabupaten 11179.84 8937.26
Luas Total 20117
Data pada Tabel 14 menunjukkan tutupan yang mendominasi di Kabupaten
Gorontalo adalah lahan pertanian seluas 4028.29 ha sedangkan di Kabupaten
Bone Bolango didominasi oleh tutupan lahan hutan seluas 6056.73 ha. Secara
umum luas HLGD di wilayah administrasi Kabupaten Gorontalo lebih besar yaitu
seluas 11179.84 ha dibandingkan dengan Kabupaten Bone Bolango yang
memiliki luas 8937.26 ha.
Topografi di HLGD bervariasi mulai dari datar sampai curam. Topografi
HLGD di wilayah administrasi Kabupaten Gorontalo pada umumnya
bergelombang, sedangkan di wilayah Kabupaten Bone Bolango pada umumnya
curam dan hanya sedikit berada pada wilayah yang datar. Di sekitar HLGD
terdapat beberapa desa, total desa yang terdapat di sekitar HLGD adalah 15 desa
yang terdiri dari 6 desa diwilayah administrasi Kabupaten Gorontalo dan 9 desa di
Kabupaten Bone Bolango. Kelas lereng di HLGD dapat dilihat pada Tabel 15
Tabel 15. Kelas lereng dan luasannya di kawasan HLGD
No Kelas Lereng Luas (ha) Persentase
1 Datar 56.17 0.28
2 Landai 102.16 0.51
3 Agak Curam 433.89 2.16
4 Curam 10077.22 50.09
5 Sangat Curam 9447.56 46.96
Jumlah 20117 100.0
54
Berdasarkan peta satuan lahan dan tanah lembar Gorontalo 1;250.000
terdapat 2 jenis tanah yang terdapat di HLGD yaitu jenis Tanah Litosol dan Tanah
Podzolik. Jenis Tanah Litosol merupakan tanah yang paling banyak ditemukan di
dalam kawasan hutan lindung, yaitu sebesar 13688.42 ha atau sekitar 68.04%.
Jenis tanah podsolik yang ada di dalam kawasan hutan lindung sekitar 6428.58 ha
atau mencakup sekitar 31.96% dari total luas wilayah hutan lindung. Menurut
Suwardi (2000) Tanah Litosol merupakan jenis tanah dengan lapisan tanah yang
tidak begitu tebal, kurang menyimpan air, sehingga pada kemiringan lereng besar
dan curah hujan besar rentan bencana tanah longsor, akan tetapi jenis tanah ini
agak tahan terhadap erosi. Sedangkan jenis tanah podsolik merupakan jenis tanah
yang berasal dari batuan pasir kuarsa, tersebar di daerah beriklim basah tanpa
bulan kering, curah hujan lebih 1500 mm/tahun. Tekstur lempung hingga berpasir,
kesuburan rendah hingga sedang, warna merah, dan kering. Kesuburan kimiawi
rendah atau miskin unsur hara, reaksi tanah asam, solumnya dangkal dan mudah
tererosi. Adapun jenis tanah yang di HLGD terdapat pada Tabel 16.
Tabel 16. Jenis tanah dan luasnya di kawasan HLGD
No Jenis Tanah Luas (ha) Persentase
1 Tanah Litosol 13688.42 68.05
2 Tanah Podzolik 6428.58 31.95
Total 20117.00 100.00
Jenis tanah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya sangat berpengaruh
terhadap tingkat kedalaman solum tanah, Kedalaman solum tanah di kawasan
HLGD memiliki beberapa tingkatan. Adapun tingkat kedalaman solum tanah
dapat dilihat pada Tabel 17
Tabel 17. Tingkatan kedalaman solum tanah di kawasan HLGD No Solum Tanah (cm) Luas (ha) Persentase
1 30 – 60 534.54 2.66
2 60 – 90 3376.24 16.78
3 > 90 16206.22 80.56
Sumber: BP-DAS Bone Bolango, 2010
Berdasarkan Tabel 17 dapat diketahui bahwa sebagian besar HLGD berada
pada tingkat solum tanah >90 cm atau sekitar 80.56% dari luas wilayah. Solum
tanah ini dapat menjadi suatu indikator bahwa kawasan ini sangat potensial untuk
55
dijadikan sebagai lahan budidaya baik untuk tanaman tahunan maupun tanaman
semusim karena memiliki solum tanah yang cukup dalam
Memiliki jenis tanah yang sebagian rawan terhadap erosi dan kemiringan
lereng yang didominasi oleh topografi yang curam, membuat kawasan HLGD
berpotensi memicu terjadinya erosi yang dapat mengurangi produktivitas tanah.
Menurut Lal (1995) pengaruh erosi pada tempat terjadinya dibedakan atas
pengaruh langsung yang terjadi pada jangka pendek dan pengaruh tidak langsung
yang tejadi pada jangka panjang. Pengaruh langsung dari erosi tanah adalah
robohnya tanaman sebagai akibat terkikisnya tanah yang mendukung sistem
perakaran dan hanyutnya tanah bersamaan dengan aliran permukaan, menurunnya
kapasitas air tanah. Data mengenai erosi di kawasan HLGD terdapat di Tabel 18
Tabel 18. Tingkat bahaya erosi di kawasan HLGD No Kelas Bahaya Erosi Luas (ha) Persentase
1 Potensi Erosi berat 10.56 0.05
2 Potensi Erosi Sangat berat 20106.44 99.95
Sumber: BP-DAS Bone Bolango, 2010
Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa kawasan HLGD mengalami
tingkat erosi yang sangat besar dihampir seluruh kawasannya. Hal ini karena
adanya perubahan tutupan hutan menjadi non hutan di kawasan HLGD.
Berdasarkan penelitian Monde (2008) alih guna lahan hutan menjadi lahan
tanaman semusim mengakibatkan erosi dan aliran permukaan meningkat. Hal
tersebut terjadi karena minimnya penutupan permukaan tanah. Kondisi permukaan
tanah yang terbuka memungkinkan terjadinya dispersi agregat tanah ketika turun
hujan, kemudian butir tanah yang halus tersebut akan tererosi bila terjadi aliran
permukaan.Luasnya potensi untuk terjadinya erosi di HLGD membuat kawasan
ini menjadi rawan terhadap lahan kritis. Berdasarkan tingkat kekritisannya maka
lahan kritis di HLGD di terbagi menjadi 3 yaitu; agak kritis, kritis dan sangat
kritis seperti yang terlihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Potensi lahan kritis dan luasannya di kawasan HLGD
No Potensi Lahan Kritis Luas (ha) Persentase
1 Potensi Agak kritis 3425.91 17.03
2 Potensi Kritis 8350.61 41.51
3 Potensi Sangat kritis 8340.48 41.46
Total 20117.00 100.00
Sumber: BP-DAS Bone Bolango, 2010
56
Lahan agak kritis adalah lahan yang masih produktif tetapi kurang tertutup
vegetasi, atau mulai terjadi erosi ringan, sehingga lahan akan rusak dan menjadi
kritis. Adapun ciri-ciri dari lahan kritis adalah persentase penutupan lahan < 50%,
wilayah perladangan yang telah rusak, padang rumput/alang-alang dan semak
belukar tandus. Sedangkan lahan sangat kritis adalah lahan yang sangat rusak
sehingga tidak berpotensi lagi untuk digunakan sebagai lahan pertanian dan sangat
sukar untuk direhabilitasi
Keadaan curah hujan diketahui dari 3 (tiga) stasiun klimatologi terdekat
yaitu stasiun klimatologi Bandara Jalaluddin, stasiun klimatologi Talumelito dan
stasiun klimatologi BPP Kwandang karena ketiga stasiun dapat mewakili lokasi
penelitian yaitu Hutan Lindung Gunung Damar. Curah hujan diperoleh
berdasarkan analisis data curah hujan tahunan selama 10 tahun. Analisis data
menunjukan bahwa pada Stasiun Meteorologi Jalaludin terdapat rata-rata curah
hujan sebesar 1.324 mm/th, berdasarkan klasifikasi iklim Schimidt – Ferguson
termasuk dalam tipe C. Pada Stasiun Penakar Curah Hujan BPP Kwandang
terdapat rata-rata curah hujan sebesar 1.883 mm/th, berdasarkan klasifikasi iklim
Schimidt – Ferguson termasuk dalam tipe C. Sedangkan pada Stasiun Penakar
Curah Hujan di Stasiun Geofisika Talumelito terdapat rata-rata curah hujan
sebesar 1.585 mm/th, berdasarkan klasifikasi iklim Schimidt – Ferguson termasuk
dalam tipe C.
b. Situasi Sosial Ekonomi
Berdasarkan informasi yang didapat dari tokoh masyarakat, ketua adat dan
pemerintah lokal, keberadaan masyarakat yang tinggal disekitar kawasan HLGD
di wilayah Kabupaten Gorontalo telah ada sejak tahun 1305 dimana desa yang
pertama kali terbentuk adalah Desa Talumelito, sedangkan pemukiman yang
pertama kali terbentuk diwilayah Kabupaten Bone Bolango terjadi pada tahun
1815 yaitu Desa Longalo. Sampai dengan tahun 2010 jumlah penduduk yang
tinggal didesa sampel penelitian berjumlah 9936 jiwa dengan rata rata
pertumbuhan penduduk 1.2% per tahun ditahun 2009. Jumlah penduduk dan
pertumbuhan penduduk di HLGD di desa sampel terdapat pada Tabel 20
57
Tabel 20. Jumlah Penduduk di HLGD berdasarkan sampel desa No Kabupaten Jumlah Penduduk Pertumbuhan penduduk (%)
1 Gorontalo 5907 1.37
2 Bone Bolango 4029 1.03
Sumber: Monografi desa sampel 2010
Penduduk yang tinggal di sekitar kawasan HLGD pada umumnya berprofesi
sebagai petani. Mata pencaharian ini menggambarkan tingkat ketergantungan
masyarakat terhadap sumberdaya alam hutan di HLGD. Selain itu mata
pencaharian penduduk bisa menggambarkan seberapa besar tekanan terhadap
HLGD dan daya dukung lahan disekitar HLGD. Tabel 21 menunjukkan mata
pencaharian pokok penduduk didesa sampel pada umumnya berasal dari sektor
pertanian seperti peternakan, perkebunan, tanaman pangan dan kehutanan.
Tabel 21. Sumber mata pencaharian penduduk di desa sampel di HLGD
No Sektor Kabupaten Gorontalo Kabupaten Bone Bolango
1 Pertanian 2377 1820
2 Perdagangan 169 51
3 PNS 33 10
4 Konstruksi 40 44
5 Transportasi 125 51
Jumlah 2744 1976
Sumber: Hasil Olahan BPS 2010
Sebelum ditunjuk sebagai kawasan lindung oleh pemerintah di tahun 1999,
masyarakat yang tinggal disekitar HLGD telah mempraktekkan sistem pertanian
sejak lama. Pemanfaatan lahan-lahan hutan untuk pertanian masih sangat
tradisional. Pada umumnya masyarakat yang tinggal di desa-desa di wilayah
administrasi Kabupaten Gorontalo menanami kebun mereka dengan tanaman
semusim berupa tanaman jagung, kecuali di Desa Dulamayo Selatan sebagian
besar masyarakatnya telah mempraktekkan sistem kebun campuran (ilengi)
berbasis cengkih, kemiri dan aren. Alasan sebagian besar masyarakat desa
memanfaatkan lahan hutan dengan tanaman semusim di wilayah Kabupaten
Gorontalo karena tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan hasilnya.
Sedangkan di wilayah Kabupaten Bone Bolango memanfaatkan lahan hutan
dengan sistem kebun campuran yang sering disebut dengan ilengi. Pada umumnya
kebun campuran ini merupakan perpaduan antara tanaman jagung dan tanaman
kelapa, aren dan tanaman kemiri. Jagung merupakan tanaman unggulan yang
58
sering ditanam oleh petani di sekitar hutan dan kuantitasnya mengalami
peningkatan sejak ditetapkan program agropolitan berbasis jagung. Berdasarkan
BPS (2010) luas lahan jagung di sekitar HLGD berjumlah 3710.94 ha dengan
total produksi per tahun mencapai 10487.60 ton seperti terlihat pada Tabel 22.
Tabel 22. Luas lahan jagung dan produksinya di sekitar HLGD
No Wilayah Luas (ha) Luas Panen
(ha)
Produksi per tahun
(ton)
1 Kabupaten Gorontalo 2383.38 2145.79 6673.41
2 Kabupaten Bone Bolango 1327.56 1226.43 3814.19
Jumlah 3710.94 3372.22 10487.60
Sumber: BPS 2010
Peningkatan produksi jagung yang terjadi di sekitar HLGD merupakan
respon petani terhadap kebijakan pemerintah daerah yang menjamin harga jagung
dengan cara membeli jagung tersebut dari petani melalui Badan Usaha Milik
Daerah dan adanya pembagian bibit unggul gratis kepada petani. Sejak
dicanangkan program agropolitan berbasis jagung ditahun 2003 harga jagung
meningkat 52.88%. Program Agropolitan merupakan program pemerintah yang
ingin menjadikan Propinsi Gorontalo menjadi daerah penghasil jagung terbesar di
Indonesia. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari Dinas Pertanian dan
Tanaman Pangan, jagung yang dari Propinsi Gorontalo telah diekspor ke Malaysia
dan Philipina. Adapun harga jagung di Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango
dapat dilihat pada Tabel 23
Tabel 23. Perkembangan harga jagung di Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango No Tahun Harga Jagung (Rp)
1 2004 899
2 2009 1700
Sumber: BPS 2010
Pemanfaatan sumberdaya alam yang dikelola oleh petani di HLGD
memberikan kontribusi terhadap tingkat pendapatan petani. Tingkat pendapatan
petani disekitar HLGD dapat dijadikan indikator kondisi perekonomian keluarga.
Usahatani perkebunan cengkih kelapa, kemiri dan jagung berkontribusi besar
dalam menunjang perekonomian masyarakat di HLGD. Kondisi tanah yang relatif
subur dengan tingkat curah hujan yang sesuai sangat mendukung bagi usahatani
baik pertanian maupun perkebunan. Rataan tingkat pendapatan petani yang
tinggal di sekitar HLGD disajikan pada Tabel 24.
59
Tabel 24. Tingkat pendapatan petani disekitar HLGD di Kabupaten Gorontalo dan
Bone Bolango No Wilayah Pendapatan (Rp/bulan)
1 Kabupaten Gorontalo 1187923
2 Kabupaten Bone Bolango 980188
Secara umum rata-rata tingkat penerimaan petani sampel yang berada di
wilayah HLGD di Kabupaten Gorontalo lebih tinggi dibandingkan dengan
pendapatan petani sampel di wilayah HLGD di Kabupaten Bone Bolango. Namun
demikian berdasarkan pengamatan di lapangan, kondisi perekonomian di dua
wilayah relatif tidak berbeda. Indikator-indikator seperti kondisi rumah relatif
hampir sama dikedua wilayah. Sampai saat ini masyarakat masih terus melakukan
sistem peladang berpindah dengan siklus rata-rata di 2 wilayah kabupaten adalah
7 tahun.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa interaksi antara masyarakat
dengan HLGD telah lama terjadi. Interaksi ini terjadi karena faktor kedekatan
jarak rumah penduduk dengan kawasan HLGD. Bahkan terdapat beberapa dusun
di Desa Dulamayo Utara, Desa Malahu dan Desa Dulamayo Selatan yang terdapat
di Kabupaten Gorontalo masuk dalam kawasan HLGD. Semakin dekat jarak
rumah penduduk dengan kawasan HLGD maka semakin besar pula interaksinya
demikian pula sebaliknya. Pemahaman tentang jarak tempat tinggal dengan lahan
usaha tani diperlukan untuk mengetahui kemampuan petani mencapai ladangnya.
Implikasinya dengan mengetahui jarak pemukiman penduduk dan kemampuan
menjelajahnya maka dapat diperkirakan tekanan terhadap HLGD. Adapun rata-
rata jarak pemukiman penduduk dengan HLGD dapat dilihat pada Tabel 25
Tabel 25. Jarak pemukiman desa sampel dengan HLGD di Kabupaten Gorontalo
dan Bone Bolango No Wilayah Jarak Pemukiman dengan HLGD
1 Kabupaten Gorontalo 0.2 - 1 km
2 Kabupaten Bone Bolango 3 – 4 km
Tersedianya jalan desa di wilayah Kabupaten Gorontalo yang dapat dilalui
oleh kendaraan roda dua seperti ojek telah memudahkan akses masyarakat
terhadap kawasan HLGD, sehingga kegiatan perambahan hutan untuk
membangun ladang baru lebih cepat. Kegiatan perambahan hutan lebih sering
terjadi di wilayah Kabupaten Gorontalo karena jarak pemukiman masyarakat
60
dengan kawasan hutan sangat dekat. Sedangkan di wilayah Kabupaten Bone
Bolango meskipun jaraknya relatif dekat, tetapi akses menuju kawasan HLGD
sangat sulit karena topografi kawasan HLGD di Kabupaten Bone Bolango di
dominasi oleh lereng-lereng curam. Pada umumnya masyarakat lebih sering
membuka ladang yang tidak jauh dari jalan atau berdekatan dengan rumah mereka
yang terletak di dalam kawasan HLGD. Hal ini dilakukan untuk lebih mudah
dalam mempersiapkan ladang.
Sistem peladang berpindah dalam masyarakat yang tinggal di kawasan
HLGD terus dipertahankan karena disamping untuk mempertahankan hidup juga
untuk mempertahankan budaya mereka. Disamping memanfaatakan lahan
pertanian, masyarakat memanfaatkan kawasan HLGD untuk mengambil hasil
hutan non kayu seperti rotan, getah, buah bahkan tanaman obat dan beberapa jenis
kayu untuk keperluan konstruksi ringan hingga konstruksi berat. Menurut Halida
et al. (2007) tanaman obat yang sering digunakan oleh masyarakat antara lain sirih
hutan (Piper antunuatum), kayu manis (Cinnamomum burmanii), Tahi ayam
(Lantara camara), Jahe (Zingeber officinale), keladi merah (Anthurium sp),
sedangkan untuk getah yang dimanfaatkan adalah getah damar (Agathis sp) dan
getah pinus (Pinus merkusii). Beberapa jenis buah juga ditemukan dikawasan
HLGD seperti Durian (Durio zibethinus) dan Langsat. Tanaman lain yang juga
sering dimanfaatkan adalah Aren (Arenga piñata) dan Bambu. Aren yang tumbuh
liar di dalam kawasan HLGD dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pembuatan
gula aren dan pembuatan arak lokal (Bohito), sedangkan bambu dipergunakan
masyarakat untuk memagari pekarangan rumah dan lahan usaha tani. Masyarakat
yang tinggal di sekitar HLGD juga memanfaatkan beberapa jenis kayu untuk
keperluan konstruksi ringan dan konstruksi berat. Menurut Hiola (2011) terdapat
10 jenis-jenis kayu konstruksi berat dan konstruksi ringan yang sering
dipergunakan oleh masyarakat. Pada umumnya masyarakat hanya memanfaatkan
5 jenis kayu seperti Michelia alba, M. champaca, Callophylum scutellaroides,
Bambusa sp dan Palaqium obavatum. Keputusan masyarakat untuk
memanfaatkan 5 jenis kayu ini didasarkan pada kekuatan dan daya tahan kayu
Sejak ditunjuk sebagai kawasan lindung keberadaan ladang-ladang
masyarakat yang terdapat di dalam kawasan HLGD menimbulkan konflik.
61
Masyarakat menganggap bahwa mereka telah menggarap lahan tersebut sejak
ratusan tahun tetapi oleh pemerintah hal ini tidak diakui karena bertentangan
dengan peraturan perundangan yang berlaku. Luas lahan konflik dan jumlah kasus
perambahan di HLGD bisa dilihat pada Tabel 26
Tabel 26. Luas lahan konflik dan jumlah gangguan di HLGD No Wilayah Lahan Konflik (ha)
* Jumlah Gangguan
**
1 Kabupaten Gorontalo 4028.29 58
2 Kabupaten Bone Bolango 956.79 14
Keterangan: *). Berdasarkan analisis citra landsat 2009, **) Data PPNS Dishut 2010 Menurut (Dolot, 2009) tahapan pembukaan lahan hutan di kawasan HLGD
menurut adat istiadat setempat terdiri dari molulawoto (memilih lokasi), molatato
(membersihkan lahan), motiboto (menebang pohon besar), molumbilo tiboto
(membakar lahan), Mamopomulo lohunggalawa (membersihkan lahan sehabis
dibakar), Mopomulo (menanam) dan Mamomaango (memelihara). Sebelum
mereka membuka lahan hutan biasanya mereka akan berkonsultasi dengan dukun
kampung dan panggoba4 untuk menentukan lokasi dan waktu bercocok tanam
Setelah kegiatan panen selesai, bekas areal peladang tersebut ditanami
dengan kacang-kacangan dan sayuran, ada pula yang dibiarkan menjadi semak
belukar. Menurut Greenland 1987, sistem usaha tani ladang berpindah yang
dipraktekkan oleh masyarakat seperti yang diungkapkan diatas merupakan cara
produksi hasil panen yang konstan dan tidak banyak memerlukan masukan input.
Secara alamiah masa bera pada kegiatan ladang berpindah memungkinkan
pulihnya kembali zat hara yang telah terhisap oleh tanaman sebelumnya. Secara
keseluruhan perilaku masyarakat yang melakukan interaksi dengan HLGD
dilandasi oleh kelembagaan informal berupa adat istiadat yang tumbuh dan
berkembang secara turun temurun.
Berdasarkan hasil survei, terdapat beberapa masyarakat yang memanfaatkan
lahan di luar kawasan hutan. Sistem pemanfaataan lahan pada umumnya
didominasi oleh sistem pertanian tradisional yang berbasis tanaman semusim di
Kabupaten Gorontalo dan kebun campuran di Kabupaten Bone Bolango. Rata-rata
penguasaan kebun atau lahan pertanian berupa ilengi oleh masyarakat yang
4 Panggoba adalah sebutan bagi orang yang menguasai ilmu perbintangan. Ilmu tersebut
diwariskan turun-temurun. Dengan melihat posisi bintang, panggoba akan menentukan kapan
waktu yang tepat untuk memulai menanam atau memanen.
62
tinggal disekitar kawasan hutan lindung bervariasi mulai dari 0.952 ha di
Kabupaten Gorontalo dan 1.109 ha di Kabupaten Bone Bolango, seperti yang
ditunjukkan oleh Tabel 27
Tabel 27. Luas kepemilikan lahan diluar kawasan HLGD No Kabupaten Luas Kepemilikan Lahan (ha/KK)
1 Gorontalo 0.952
2 Bone Bolango 1.109
Rata-rata 1.03
Tingginya interaksi masyarakat yang tinggal di desa-desa sekitar HLGD
mengindikasikan masyarakat yang tinggal di sekitar HLGD sangat
menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Berdasarkan hasil perhitungan
indeks kegiatan dasar wilayah menunjukkan sektor pertanian merupakan sektor
yang paling dominan dibandingkan dengan sektor lain. Indeks sektor pertanian
didesa-desa yang menjadi sampel penelitian rata rata mencapai 2.25 di HLGD
wilayah administrasi Kabupaten Gorontalo sedangkan di wilayah Kabupaten Bone
Bolango hanya 0.93. Rendahnya indeks sektor pertanian di Kabupaten Bone
Bolango karena faktor lahan yang tidak memungkinkan untuk digarap sebagai
lahan pertanian. Pada umumnya lahan lahan yang terdapat disekitar HLGD
memiliki topografi yang agak curam sampai curam kondisi ini menyebabkan
penduduknya bekerja disektor lain seperti ojek dan tukang bangunan. Data ini
menunjukkan desa-desa yang berada disekitar HLGD di wilayah Kabupaten
Gorontalo memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sektor pertanian
dibandingkan di Kabupaten Bone Bolango seperti yang terlihat pada Tabel 28.
Tabel 28. Indeks LQ sektor pertanian di sekitar HLGD berdasarkan wilayah No Wilayah Indeks LQ Sektor Pertanian
1 Kabupaten Gorontalo 2.25
2 Kabupaten Bone Bolango 0.93
Sumber: BPS Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango (2010)
Berkembang pesatnya sektor pertanian di sekitar HLGD belum membuat
daya dukung wilayah menjadi rendah. Berdasarkan hasil survey dan analisis data
memperlihatkan indeks daya dukung di wilayah di Kabupaten Gorontalo
mencapai 0.35 sedangkan di Kabupaten Bone Bolango mencapai 0,34 seperti
yang terlihat pada Tabel 29
63
Tabel 29. Indeks daya dukung wilayah di sekitar HLGD No Wilayah Indeks Daya Dukung
1 Kabupaten Gorontalo 0.35
2 Kabupaten Bone Bolango 0.34
Menurut Soemarwoto (1991) jika indeks daya dukung lahan < 1 maka lahan
tersebut masih dapat menampung lebih banyak penduduk untuk melaksanakan
aktivitas sosial ekonomi
Berdasarkan data hasil penelitian di wilayah sekitar HLGD masih
ditemukan masyarakat miskin. Pengetahuan terhadap keberadaan penduduk
miskin menjadi sangat penting untuk mengetahui kapasitas masyarakat dalam
memanfaatkan sumberdaya hutan meskipun kemiskinan bukan merupakan
wilayah dari pengelolaan hutan. Terdapat banyak cara untuk mengkategorikan
masyarakat miskin tapi intinya kemiskinan merupakan keadaan dimana
masyarakat kekurangan barang untuk melanjutkan hidupnya. Keadaan ini bisa
disebabkan oleh keterisolasian, ketidakberdayaan (powerless), buta huruf,
buruknya lingkungan hidup, dan derajat kesehatan yang rendah (World Bank,
2004 dalam Wijayanto 2005). Total jumlah penduduk miskin di sekitar wilayah
HLGD 1429 KK yang tersebar di desa-desa sampel. Untuk lebih jelasnya bisa
dilihat pada Tabel 30
Tabel 30. Jumlah penduduk miskin di sekitar HLGD No Wilayah Jumlah Penduduk Miskin (KK)
1 Kabupaten Gorontalo 879
2 Kabupaten Bone Bolango 550
Jumlah 1429
Salah satu dimensi yang bisa dilihat sebagai akar permasalahan kemiskinan
adalah tingkat pendidikan. Hasil survey menunjukkan tingkat pendidikan
masyarakat yang tinggal disekitar kawasan HLGD masih sangat rendah.
Pendidikan yang rendah akan menyebabkan adaptasi masyarakat terhadap
pengetahuan menjadi rendah. Padahal pengetahuan ini diperlukan agar masyarakat
bisa mengelola sumberdaya alam dengan lebih baik. Menurut Sumardjo et el.
(2008) masyarakat petani yang memiliki pendidikan rendah cenderung
berperilaku untuk mempraktekkan usaha tani ala kadarnya. Kondisi ini
64
menyebabkan potensi kemiskinan akan meningkat. Adapun tingkat pendidikan
masyarakat yang tinggal disekitar HLGD dapat dilihat pada Tabel 31
Tabel 31. Tingkat pendidikan penduduk di sekitar HLGD
No
Pendidikan
Kabupaten
Gorontalo
Persentase Kabupaten
Bone Bolango
Persentase
1 SD 95 79.16 98 85.96
2 SMP 8 6.66 10 8.77
3 SMA 17 14.16 12 10.52
Jumlah 120 100.00 120 100.00
Kemiskinan dan tingkat pendidikan rendah yang terjadi pada masyarakat
sekitar HLGD merupakan indikator lemahnya kapasitas masyarakat dan lemahnya
posisi tawar masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan HLGD. Posisi tawar
masyarakat yang tinggal di sekitar HLGD sangat diperlukan untuk menjadi bagian
dalam menentukan kebijakan pengelolaan HLGD.
Meskipun memiliki kapasitas yang rendah namun beberapa kelompok
masyarakat yang tinggal dikawasan HLGD mempunyai pengetahuan lokal dalam
melestarikan sumberdaya alam seperti di desa-desa yang ada di wilayah
Kabupaten Bone Bolango. Kearifan lokal ini berupa kesepakatan adat, dimana
setiap pasangan yang melakukan pernikahan harus menanam tanaman seperti
kelapa dan kemiri. Kesepakatan ini dipatuhi oleh masyarakat yang berada di
empat desa seperti Desa Mongiilo, Desa Owata di Kabupaten Bone Bolango.
Pemerintah Kabupaten Gorontalo sebenarnya pernah mengeluarkan SK Bupati
Gorontalo No 54 Tahun 2007 yang mewajibkan para anak sekolah yang lulus
sekolah harus menanam tanaman kehutanan. Surat keputusan yang merupakan
kebijakan Bupati Gorontalo ini tidak efektif karena kurangnya sosialisasi ke
masyarakat dan pengambilan keputusan tersebut tidak melibatkan masyarakat.
Menurut Asikin (2001) lemahnya sensitifitas suatu kebijakan publik disebabkan
salah satunya oleh rendahnya tingkat partisipasi pihak-pihak yang terkait
(stakeholder) di dalam perumusan kebijakan pada semua tahapan. Harus diingat
kebijakan publik merupakan satu set keputusan yang saling terkait, diambil oleh
satu atau sekelompok pihak yang berkepentingan di bidang ini tentang suatu
tujuan dan cara mencapainya. Secara prinsip keputusan ini harus berada dalam
wilayah kendali semua stakeholders tersebut. Kualitas suatu kebijakan dapat
65
diukur dari efektifitasnya saat diimplementasikan. Betapa pun bagusnya isi teks
atau formula kebijakan, jika tidak dapat diimplementasikan, maka kebijakan
tersebut dianggap gagal. Oleh karena itu, selain teks (substansi), maka proses di
dalam penyusunannya juga memainkan peran penting
c. Situasi Sebagai Sumber Interdependensi
Berdasarkan situasi kawasan HLGD yang telah dijelaskan sebelumnya
dalam kaitannya dengan pengelolaannya dapat dijelaskan situasi pengelolaan
HLGD. Situasi dapat didefinisikan sebagai karakteristik yang merupakan sumber
interdependensi. Pengetahuan mengenai sumber interdependensi dari sebuah
kawasan hutan lindung sangat diperlukan untuk memprediksi dampak alternatif
institusi terhadap kinerja. Schmid (1987) mengatakan bahwa institusi akan efektif
dijalankan jika institusi tersebut mampu mengendalikan karakteristik inheren
sumberdaya alam. Berikut akan dijelaskan beberapa karakteristik inheren terkait
dengan situasi yang diamati dalam penelitian ini antara lain: biaya ekslusi tinggi,
biaya transaksi, joint impact goods, incompatibilitas dan surplus
1) Biaya ekslusi tinggi
Secara hukum (de jure) HLGD adalah sumberdaya bersama yang dikuasai
oleh negara dengan struktur hak penuh seperti hak untuk memasuki dan
memanfaatkan, hak menentukan pengelolaan dan menentukan siapa saja yang bisa
berpartisipasi serta hak untuk memperjualbelikan. Tapi fakta di lapangan
menunjukkan pemerintah tidak dapat melaksanakan hak-hak tersebut karena
pemerintah tidak mampu mempertahankan kawasan HLGD sesuai tujuan
pengelolaannya.
Hasil analisis perubahan tutupan hutan menggunakan citra landsat TM7
antara tahun 1999-2009 menunjukkan tutupan hutan di kawasan HLGD
Kabupaten Gorontalo adalah 33.93% sedangkan tutupan hutan di kawasan HLGD
Kabupaten Bone Bolango adalah 67.76%. Perubahan tutupan hutan menjadi non
hutan yang begitu besar di Kabupaten Gorontalo disebabkan oleh adanya konversi
lahan berhutan menjadi lahan pertanian. Hal ini terlihat dari luasnya lahan
pertanian di kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo yang mencapai 4028.29 ha
atau 36.03%. Seperti diketahui sebagian masyarakat yang tinggal di sekitar
kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo mempunyai mata pencaharian dari
66
sektor pertanian dan perkebunan. Indeks LQ sektor pertanian disekitar wilayah
HLGD Kabupaten Gorontalo berjumlah 2.248 artinya masyarakat sangat
menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan, masyarakat yang tinggal di
beberapa dusun di desa Dulamayo Utara dan Malahu di Kabupaten Gorontalo
yang lokasinya berada dalam kawasan HLGD memanfaatkan lahan dengan
tanaman semusim seperti jagung dan kacang-kacangan, kecuali di Desa Dulamayo
Selatan masyarakat menanami lahan mereka dengan tanaman cengkih, coklat,
kemiri dan aren. Sedangkan pemanfaatan lahan di dalam kawasan HLGD di desa-
desa di Kabupaten Bone Bolango pada umumnya merupakan kebun campuran
berbasis tanaman kelapa dan kemiri. Tidak ditemukan adanya pemukiman di
dalam kawasan HLGD Kabupaten Bone Bolango. Situasi di atas menggambarkan
pemanfaatan HLGD di Kabupaten Gorontalo menimbulkan biaya ekslusi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Bone Bolango
Beberapa alasan yang mendasari situasi biaya ekslusi tinggi di HLGD
diwilayah Kabupaten Gorontalo adalah 1) Tidak mungkin memindahkan
pemukiman dan masyarakat yang telah melakukan usaha tani di dalam kawasan
HLGD. Saat ini terdapat pemukiman di tiga desa yaitu Desa Malahu, Desa
Dulamayo Selatan dan Desa Dulamayo Utara yang masuk dalam kawasan HLGD,
sedangkan di Kabupaten Bone Bolango semua desa berada diluar kawasan HLGD
2) Jika dipaksakan akan direlokasi maka pemerintah Kabupaten Gorontalo akan
menanggung biaya yang sangat mahal karena harus mencarikan lahan yang baru
3). Memicu terjadinya konflik antara masyarakat dengan pemerintah. Situasi biaya
ekslusi tinggi di kawasan HLGD bisa memunculkan adanya penunggang gratis
(free rider). Kelompok free rider hanya bisa menikmati keuntungan tanpa
berkontribusi dalam pengelolaan sumberdaya tersebut (Pakpahan 1989, Basuni,
2003)
2) Biaya Transaksi
Biaya transaksi dapat didefinisikan sebagai seluruh ongkos yang timbul
karena pertukaran dengan pihak lain. Biaya transaksi sangat mempengaruhi
kinerja kelembagaan. Biaya transaksi merupakan faktor inheren dari situasi yang
dapat menentukan siapa yang menanggung biaya tersebut. Biaya transaksi dapat
67
dibedakan menjadi 3 yaitu; 1) biaya membuat kontrak, 2) biaya informasi dan 3)
biaya pemantauan dan pelaksanaan hukum. Menurut Williamson dalam Basuni
(2003) biaya transaksi sulit diukur dan dikuantifikasikan, tetapi biaya transaksi
dapat dideteksi melalui perbandingan institusi. Untuk mendeteksi adanya biaya
transaksi dalam pengelolaan HLGD, dalam Tabel 44 disajikan perbandingan
institusi pengelolaan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo dengan pengelolaan
HLGD di wilayah Kabupaten Bone Bolango. Berdasarkan perbandingan institusi
tersebut, biaya transaksi tinggi dalam pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo
bersumber dari:
a) Panjang tata batas kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo hanya 14.65%
sedangkan panjang tata batas kawasan HLGD di Kabupaten Bone Bolango
yang telah mencapai 41.18%. Panjang batas kawasan merupakan salah satu
bentuk kontrak antara pemerintah selaku pihak pengelola kawasan dengan
masyarakat sekitar HLGD. Realiasisasi panjang tata batas kawasan HLGD
yang masih rendah di Kabupaten Gorontalo menimbulkan adanya resiko
penunggang gratis (free rider). Berdasarkan hasil pengamatan bentuk free rider
di kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo adalah adanya eksploitasi berlebihan
terhadap getah damar dan pengambilan secara berlebihan daun woka
(Livistonia rotundufolia) yang tumbuh liar di dalam kawasan HLGD.
Eksploitasi berlebihan terhadap getah damar, membuat masyarakat kesulitan
mendapatkan kualitas getah damar yang lebih baik. Begitu juga yang terjadi
dengan daun woka, masyarakat sangat kesulitan mencari daun woka yang
umumnya dipergunakan oleh masyarakat sebagai wadah/kemasan dari gula
aren dan sebagai wadah untuk menyimpan makanan
b) Terbatasnya informasi tentang lokasi tata batas kawasan di HLGD Kabupaten
Gorontalo menyebabkan lahan hutan lebih dipersepsikan oleh sebagian anggota
masyarakat sebagai sumberdaya open acces daripada sebagai barang ekslusif,
sumberdaya milik Negara. Hal ini terlihat dari luasnya lahan konflik didalam
kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo yang mencapai 4028.29 ha. Biaya
pemantauan dan penegakan hukum sehubungan dengan perilaku free access
atas sumberdaya hutan dalam kawasan HLGD, dapat berkurang jika ada
68
informasi tentang tata batas kawasan HLGD kepada masyarakat di sekitar
hutan
c) Tingginya kasus perambahan yang terjadi di Kabupaten Gorontalo dibandingan
dengan Kabupaten Bone Bolango mengindikasikan lemahnya penegakan
hukum di Kabupaten Gorontalo. Bukti dari kapasitas pemerintah lemah dalam
melaksanakan penegakan hukum ditunjukkan oleh jumlah kasus pelanggaran
hukum di dalam kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo yang berhasil diungkap
sebanyak 130 kasus selama hampir 10 tahun. Berdasarkan informasi dari salah
satu anggota polisi hutan dan anggota penyidik pegawai negeri sipil (PPNS)
pada umumnya kasus-kasus tersebut jarang dikenakan sanksi dan pemerintah
daerah memilih untuk menyelesaikan secara kekeluargaan karena ketiadaan
anggaran dalam memproses sebuah kasus. Situasi seperti ini telah membuat
pemerintah daerah melakukan toleransi terhadap penegakan hukum dan oleh
Williamson (1985) akan membuka peluang kolusi antara pengelola dan
pengguna kawasan HLGD. Menurut Van der Berg (2001) dalam Ismanto
(2010) jika penegakan hukum lemah maka secara rasional perilaku individu
akan memaksimumkan keuntungan sendiri dan cenderung bertindak tidak
produktif. Perilaku individu rasional yang dimaksud adalah perilaku dimana
individu akan mengambil yang terbaik pada situasi dimana mereka berada.
Individu-individu yang rasional berupaya mengurangi kerusakan di dalam
situasi yang buruk dan mengambil keuntungan pada kesempatan yang baik
3) Joint Impact Goods
Joint Impact Goods adalah karakteristik sumberdaya dimana sekali
pemanfaatan, maka semua orang memiliki kesempatan yang sama mendapatkan
dampaknya tanpa mengurangi utilitas orang lain yang memperoleh jasa yang sama
dan sebaliknya. Situasi HLGD merupakan sumberdaya yang dapat menimbulkan
dampak bagi semua pihak. Implikasinya dapat menimbulkan efek positif atau
negatif. Terjadinya alih fungsi hutan di kawasan HLGD menjadi lahan pertanian
dan perkebunan terutama di Kabupaten Gorontalo berdampak pada terjadinya
sedimentasi di daerah aliran sungai, menurunnya debit air dan kehilangan
beberapa satwa yang dilindungi
69
Hasil survei lapangan dan wawancara yang dilakukan dengan tokoh
masyarakat di Desa Dulamayo Selatan dan Dulamayo Utara menyebutkan debit
air yang berasal dari beberapa sungai kecil yang terdapat di hulu kawasan HLGD
mengalami penurunan terutama saat musim kemarau. Hal ini berdampak pada
kondisi debit air sungai utama yaitu Sungai Bionga yang merupakan sumber air
baku bagi PDAM Kabupaten Gorontalo. Menurut Halida (2008) rata-rata fluktuasi
debit air di Sungai Bionga hanya 0.50 m3/detik jauh lebih kecil jika dibandingkan
dengan rata-rata fluktuai debit air Sungai Bone di Kabupaten Bone Bolango yang
debit airnya mencapai 30.1 m3/detik. Situasi ini tidak saja dirasakan masyarakat di
hulu tetapi juga dirasakan masyarakat di hilir. Dampak negatif lain yang terjadi
akibat konversi hutan di kawasan HLGD adalah sedimentasi. Sedimentasi di
Sungai Bionga yang terletak di Kabupaten Gorontalo juga mengalami peningkatan
menjadi 2.10 gr/ha/bulan. Jika dibandingkan dengan sedimentasi yang terjadi di
Sungai Bolango yang sedimentasinya hanya 1.42 gr/ha/bulan maka sedimentasi di
DAS Bionga lebih tinggi (Halida, 2008). Hasil wawancara yang dilakukan dengan
masyarakat juga terungkap, jika musim hujan datang maka beberapa sungai di
hulu kawasan HLGD menjadi keruh hal yang sama juga dirasakan yang tinggal di
wilayah hilir. Menurut Balihristi (2009) tingginya sedimentasi di Sungai Bionga
menyebabkan sedimentasi di Danau Limboto sebesar 1.75 juta m3. Kondisi ini
menyebabkan Danau Limboto menjadi dangkal dengan kedalaman hanya berkisar
2-3 meter. Dosen dan mahasiswa Jurusan Kehutanan Universitas Gorontalo juga
merasakan dampak akibat perubahan tutupan hutan karena sangat susah
menemukan satwa seperti jenis burung dan mamalia yang menjadi obyek
penelitian di HLGD di Kabupaten Gorontalo. Adapun dampak positif yang
ditimbulkan oleh pembukaan lahan pertanian di kawasan HLGD adalah
tersedianya lapangan kerja baru yaitu jasa ojek yang mengangkut hasil-hasil
pertanian menuju pasar terdekat
4) Inkompatibilitas
Menurut Pakpahan (1989) inkompatibilitas adalah situasi dimana
pemanfaatan suatu sumberdaya oleh salah satu pihak meniadakan atau
mengurangi pemanfaatan oleh pihak yang lain . Faktor kepemilikan dapat
mengontrol masalah inkompatibilitas selama biaya transaksi rendah. Kepemilikan
70
mendefinisikan siapa yang berhak berpatisipasi dalam keputusan penggunaan
sumberdaya dan siapa yang tidak berhak berpartisipasi dalam penggunaan
sumberdaya bersama. Basuni (2003) mengemukakan faktor kepemilikan hanya
mampu mengendalikan inkompatibilitas tetapi tidak mampu mengendalikan
karakateristik lainnya seperti biaya ekslusi tinggi dan karakteristik lainnya
Konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kemudian diikuti dengan
pemukiman di dalam kawasan HLGD menyebabkan fungsi HLGD sebagai
pengatur sistem tata air menjadi terganggu. Berdasarkan hasil survey terdapat 3
desa yang memiliki dusun di dalam kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo yaitu:
Desa Malahu, Desa Dulamayo Selatan dan Desa Dulamayo Utara. Keberadaan
desa-desa di dalam kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo telah menyebabkan
prosentasi lahan pertanian meningkat menjadi 36%. Ini menunjukkan masyarakat
yang tinggal disekitar HLGD di Kabupaten Gorontalo memiliki preferensi untuk
mengkonversi kawasan hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan
dibandingkan dengan mempertahankan kawasan tersebut sebagai kawasan hutan.
Perilaku mengkonversi hutan menjadi lahan pertanian terjadi karena masyarakat
belum memahami dengan baik dan benar tentang aturan main dalam pemanfaatan
hutan sebagai indikasi bahwa penggarap mengakui dan menerima aturan main
tersebut
Kemungkinan lain yang menyebabkan pengelolaan hutan inkompatibel
adalah karena pelakunya tidak memiliki perilaku dan kapasitas seperti yang
diharapkan oleh pemerintah (Kartodihardjo 1998). Dalam kaitannya dengan pola
pemanfaatan kawasan HLGD, kemungkinannya penggarap memiliki perilaku dan
kapasitas untuk memanfaatkan lahan hutan dengan pola intensif. Sehingga mereka
akan berusaha mempengaruhi dengan menolak institusi yang ditetapkan.
Penolakan terjadi kemungkinan karena tidak sesuainya strata hak. Menurut
Kartodihardjo (1998) rendahnya strata hak mengakibatkan penggarap lahan tidak
memiliki inovasi untuk melakukan pengelolaan hutan secara berkelanjutan seperti
yang diharapkan oleh pemerintah. Dihubungkan dengan pemanfaatan HLGD
rendahnya strata hak mengarahkan perilaku masyarakat yang memanfaatkan lahan
di kawasan HLGD tidak memperlakukan lahan tersebut sebagai asset guna
meningkatkan produktivitas pertanian. Oleh karena itu masyarakat yang
71
memanfaatkan lahan pertanian di dalam kawasan HLGD tidak berusaha
melindungi dan melestarikan kawasan hutan, karena dianggap sebagai
penghambat untuk memaksimalkan keuntungannya
5) Surplus
Hamparan lahan yang berbeda memiliki tingkat produktivitas yang berbeda.
Hal ini disebabkan oleh karakteristik inheren dari lahan seperti tingkat kesuburan
atau lokasi lahan tersebut dekat dengan pusat ekonomi. Kondisi surplus
menggambarkan adanya peningkatan nilai lahan tersebut, walaupun tanpa ada
pengorbanan sedikitpun dari pemiliknya. Kondisi surplus belum menjamin akan
terjadinya peningkatan kesejahteraan bila rente tersebut bukan dimiliki oleh
masyarakat yang berada dikawasan tersebut, tetapi dimiliki pihak lain yang
mempunyai pengetahuan lebih tentang nilai rente tersebut.
Secara umum nilai surplus sumberdaya lahan disekitar HLGD Kabupaten
Gorontalo lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Bone Bolango. Hal ini
bersumber dari jarak lahan tersebut dari pusat ekonomi dan keberadaan komoditi
pertanian di dalam lahan tersebut. Secara umum jarak lahan-lahan pertanian di
sekitar HLGD di Kabupaten Gorontalo yang dikuasai oleh masyarakat hanya
berjarak 3-5 km dari ibukota Kabupaten Gorontalo. Menurut Pearce and Turner
(1990) nilai sebuah lahan akan sangat ditentukan oleh faktor manusia yaitu ada
tidaknya bangunan dan faktor eksternalitas misalnya kedekatan dengan pusat
ekonomi, bebas banjir dan terdapat akses jalan. Semakin dekat sebuah lahan
dengan pusat ekonomi maka nilai lahan tersebut akan semakin tinggi. Tingginya
nilai lahan disekitar HLGD yang ada di Kabupaten Gorontalo memicu terjadinya
jual beli lahan. Menurut Basuni (2003) fenomena terjadinya jual beli lahan
garapan pada dasarnya disebabkan oleh rendahnya modal finansial yang dimiliki
oleh para petani pemilik lahan. Umumnya pembeli lahan berasal dari Kota
Gorontalo atau dari kota-kota lain, maka petani setempat yang menjual lahan
garapan berkeyakinan bahwa mereka masih dapat menggarap lahan yang
dijualnya. Situasi ini menghambat peningkatan kesejahteraan petani disekitar
kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo. Data menunjukkan bahwa kepemilikan
penduduk desa terhadap lahan disekitar HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo
mencapai 68.33%. Prosentase kepemilikan lahan ini lebih rendah dibandingkan
72
dengan kepemilikan lahan oleh penduduk desa sekitar HLGD di Kabupaten Bone
Bolango yaitu mencapai 89.67%.
4.3. Aturan Formal Pengelolaan Hutan Lindung
Pengelolaan hutan lindung Gunung Damar tidak terlepas dari ketentuan
ketentuan yang terkandung dalam peraturan perundangan. Hasil identifikasi
terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan
lindung berjumlah 11 peraturan-perundangan yang meliputi 1 surat keputusan
menteri kehutanan, 2 keputusan presiden, 5 peraturan pemerintah dan 3 undang
undang yang berkaitan dengan pengelolaan hutan lindung seperti yang terlihat
pada Tabel 32.
Tabel 32 Aspek manajemen hutan lindung yang diatur oleh peraturan
perundangan (lihat lampiran 1)
Aspek Peraturan
Perundangan Isi Interpretasi
Hak
Kepemilikan
Terhadap
Kawasan
HLGD
Pasal 33 ayat
3 UUD 1945
Bumi dan air dan
kekayaan alam yang
terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk
sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Seluruh sumberdaya alam
dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan sebesar
besarnya untuk
kemakmuran rakyat
Pasal 4 UU
41/1999
tentang
Kehutanan
Semua hutan di dalam
wilayah Republik
Indonesia termasuk
kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara
untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat
Penegasan penguasaan
negara atas kawasan hutan
termasuk potensi
sumberdaya alam yang
terkandung di dalamnya
Penetapan
dan
Pemantapan
Pasal 8
Keppres
32/1990
tentang
Pengelolaan
Kawasan
Lindung
Penunjukkan kawasan
hutan lindung didasarkan
pada kriteria kelerengan,
jenis tanah,curah hujan
yang melebihi skor 175
Kriteria yang dipergunakan
dalam penunjukkan
kawasan hutan lindung
belum mempertimbangkan
faktor sosial misalnya
adanya pemukiman di
dalam kawasan hutan
Pasal 24
butir 3 PP
No 44/2004
tentang
Perencanaan
Kehutanan
Kriteria Penetapan
kawasan hutan lindung
didasarkan pada kriteria
kelerengan, jenis
tanah,curah hujan yang
melebihi skor 175
Memperkuat
Kriteriapenetapan hutan
lindung yang telah
ditetapkan sebelumnya oleh
Keppres 32/1990
Pasal 5
Kepmen
Kehutanan
Kawasan hutan yang
ditunjuk harus memenuhi
kriteria sebagai berikut
Pemerintah daerah harus
memastikan kawasan hutan
yang tunjuk berdasarkan
73
No 32/Kpts-
II/2001
tentang
kriteria dan
standart
pengukuhan
kawasan
hutan
yaitu. a) belum pernah
ditunjuk atau ditetapkan
Menteri sebagai kawasan
hutan, b) tidak dibebani
hak hak atas tanah, c)
tergambar dalam peta
penunjukkan kawasan
hutan dan perairan yang
ditetapkan oleh Menteri
atau RTRWP/RTRWK
keputusan menteri
kehutanan atas
rekomendasi
Bupati/Gubernur tidak
tumpang tindih dengan
penggunaan lainnya
Pasal 10 PP
44/2004
tentang
Perencanaan
Kehutanan
Pemerintah daerah
menyelenggarakan
inventarisasi kawasan
hutan sebagai tahap awal
pengukuhan kawasan
hutan
Inventarisasi merupakan
kewenangan Pemerintah
daerah
Pasal 20 PP
N0 44/2004
tentang
Perencanaan
Kehutanan
Dalam pelaksanaan
penataan kawasan
permasalahan yang
berkaitan dengan hak atas
tanah disepanjang trayek
dan didalam kawasan
hutan harus diselesaikan
oleh panitia tata batas
Kewenangan penyelesaian
permasalahan hak hak atas
tanah menjadi tanggung
jawab pemerintah daerah
Pasal 19 PP
No 44/2004
tentang
Perencanaan
Kehutanan
Berdasarkan penunjukkan
kawasan maka
Pemerintah Daerah
melaksanakan penataan
kawasan hutan yang
dicantumkan dalam
RTRW
Pemerintah daerah
memiliki kewenangan
dalam penataan kawasan
hutan sebelum dikukuhkan
sebagai kawasan hutan oleh
Menteri Kehutanan
Penetapan
dan
Pemantapan
Pasal 20 PP 15
2010 tentang
Penyelenggara
n Penataan
Ruang
Pemerintah harus
melibatkan partisipasi
masyarakat dalam
penyusunan konsepsi
rencana tata ruang
Terbuka peluang
masyarakat untuk
berpartisipasi dalam proses
penyusunan konsepsi
kawasan hutan
Permenhut
28/2009 Tata
cara konsultasi
persetujuan
RTRW
Pemerintah daerah harus
mengkonsultasikan
PERDA RTRW kepada
Menteri Kehutanan
berkaitan dengan
substansi kawasan hutan
Menteri Kehutanan
dimungkinkan
membatalkan PERDA
RTRW jika tidak sesuai
dengan substansi kehutanan
Pasal 18 PP
44/2004
tentang
Perencanan
Kehutanan
Penunjukkan suatu
kawasan hutan termasuk
didalamnya adalah
kawasan hutan lindung
dilakukan berdasarkan
keputusan Menteri
Kehutanan
Pemerintah pusat masih
menganut single player
dalam penunjukkan
kawasan hutan meski
disebutkan penunjukkan
kawasan hutan tetap
mempertimbangkan RTRW
Pasal 16 PP
44/2004
tentang
Pengukuhan kawasan
hutan meliputi:
penunjukan kawasan
Kewenangan pengukuhan
berada ditangan pemerintah
pusat
74
Perencanan
Kehutanan
hutan, penataan batas,
pemetaan dan penetapan
Pengelolaan Pasal 21 UU
41/1999
tentang
Kehutanan
Pengelolaan hutan
meliputi: a) tata hutan
dan penyusunan rencana
pengelolaan hutan, b)
pemanfaatan hutan dan
penggunaan kawasan
hutan, c) rehabilitasi dan
reklamasi hutan, dan d)
perlindungan hutan dan
konservasi alam
Pengelolaan hutan
ditujukan untuk
memperoleh manfaat yang
sebesar besarnya serta
serbaguna dan lestari untuk
kemakmuran rakyat
Pasal 23 PP
No 6/2007 tata
hutan dan
rencana
pengelolaan
hutan serta
pemanfaatanny
a
Pemanfaatan Hutan
lindung hanya
diperkanankan untuk
pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa
lingkungan dan
pemanfaatan hasil hutan
bukan kayu
Menegaskan bahwa hutan
lindung hanya bisa
dimanfaatkan untuk jasa
lingkungan, pemanfaatan
kawasan
Pasal 2 Perpres
No 28/2011
Penggunaan
HL untuk
Pertambangan
Bawah Tanah
Kawasan hutan lindung
dapat dimanfaatkan
untuk pertambangan
bawah tanah
Keputusan ini bertentangan
dengan Pasal 23 PP No
6/2007 jo PP No 3/2008
Pengelolaan Pasal 4 PP No
24/2010
tentang
Penggunaan
Kawasan
Hutan
Didalam hutan lindung
dapat dibangun kegiatan
religi, pertambangan,
instalasi pembangkit,
transmisi, dan distribusi
listrik serta teknologi
energi baru dan
terbarukan,
pembangunan jaringan
telekomunikasi, stasiun
pemancar radiodan
televise sarana
transportasi yang bukan
transportasi umum,
sarana dan prasarana
sumber daya air
fasilitas umum, industri
terkait kehutanan,
pertahanan dan
keamanan, prasarana
keselamatan umum dan
penampungan korban
bencana alam
Keputusan ini bertentangan
dengan Pasal 23 PP No
6/2007 jo PP No 3/2008
Pasal 2 ayat 4
PP 38/2007
tentang
Pemerintah
menyerahkan 31
kewenangan urusan
Kewenangan yang
dimaksud hanya berupa
permintaan pertimbangan
75
Pembagian
Kewenangan
antara
Pemerintah
pusat,
pemerintah
provinsi dan
pemerintah
kabupaten/kota
pemerintahan kepada
daerah termasuk
kewenangan
pengelolaan kehutanan
kepada daerah
teknis yang bersifat
administrative berkaitan
dengan substansi kehutanan
tanpa berhak memutuskan.
Keputusan akhir tetap
berada ditangan pemerintah
pusat
Pembinaan
dan
Pengawasan
Pasal 123 PP
6/2007 tata
hutan dan
rencana
pengelolaan
hutan serta
pemanfaatanny
a
Kewenangan pembinaan
dan pengawasan berada
ditangan pemerintah,
Gubernur untuk tingkat
provinsi, Bupati untuk
tingkat kabupaten
Dimungkinkan untuk
melakukan koordinasi
pembinaan dan pengawasan
antar institusi pemerintah
Pasal 60 UU
41/1999
tentang
Kehutanan
Pemerintah, pemerintah
daerah, masyarakat
maupun perorangan
wajib berperan serta
dalam pengawasan
hutan
Pengawasan secara
kolaboratif sangat
dimungkinkan
Pembinaan
dan
Pengawasan
Pasal 15 dan
19 UU 32/
2009 tentang
Perlindungan
dan
Pengelolaan
Lingkungan
Pemerintah daerah wajib
membuat Kajian
Lingkungan Hidup
Strategis Untuk
menjamin kelestarian
lingkungan hidup setiap
perencanaan ruang
wajib
Pemerintah daerah
memiliki kewenangan
dalam menentukan norma
atau aturan dalam rangka
memantau dampak
pemanfaatan ruang
termasuk pemanfaatan
hutan lindung
Pasal 48-49 PP
45/2004
tentang
Perlindungan
Hutan
Pembinaan terhadap
pengelolaan hutan
terdiri dari pedoman,
bimbingan, pelatihan,
arahan, supervise
Ketentuan mengenai
pengawasan belum diatur
dalam peraturan
perundangan
Berikut ini uraian dari ketentuan ketentuan mengenai tahapan kegiatan
dalam penyelenggaraan hutan lindung
a. Hak kepemilikan (property rights) atas kawasan HLGD
Pasal 4 UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan menyebutkan bahwa
Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Ketentuan ini merupakan turunan dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang
menyebutkan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
76
rakyat. Berdasarkan dua ketentuan tersebut maka lahan hutan lindung Gunung
Damar merupakan wilayah yang dikuasai oleh Negara dan bebas dari hak-hak
pihak lain yang membebani lahan tersebut. Terkait dengan strata hak kepemilikan
sebagaimana yang dikemukakan oleh Schlager dan Ostrom (1992) maka negara
selaku pemilik sumberdaya berhak melakukan hal-hal sebagai berikut yaitu 1) hak
akses (acces rights) adalah hak untuk memasuki suatu area sumberdaya yang
memiliki batas-batas yang jelas dan menikmati manfaat non ekstraktif 2) hak
memanfaatkan (withdrawal rights) adalah hak untuk memanfaatkan suatu unit
sumberdaya atau produk dari suatu sistem sumberdaya 3) hak pengelolaan
(management rights) hak untuk mengatur pola pemanfaatan sumberdaya 4) hak
ekslusi (exclusion rights) adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh
memiliki hak akses dan bagaimana akses tersebut dialihkan ke pihak lain, 5) hak
pengalihan (alienation rights) adalah hak untuk menjual dan menyewakan
sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut. Jika sebuah sumberdaya dikuasai
oleh negara maka para individu mempunyai kewajiban untuk mematuhi aturan
yang ditetapkan oleh pemerintah atau departemen yang mengelola sumberdaya
tersebut. Demikian pula pemerintah juga mempunyai hak untuk memutuskan
aturan main penggunanya (Asikin, 2001). Dalam pengelolaan sumberdaya CPR
secara efektif baik oleh negara maupun sekelompok masyarakat maka Ostrom
(1990) mengemukakan beberapa prinsip agar sumberdaya CPR tersebut mencapai
kinerja optimal antara lain 1) terdapat kesesuaian antara peraturan dan situasi
lokal 2) terdapat kesepakatan yang memungkinkan terjadinya partisipasi sebagian
besar pengguna dalam proses pengambilan keputusan 3) monitoring efektif yang
dilakukan oleh pemilik dalam hal ini pemerintah 5) terdapat sanksi bagi bagi yang
tidak menghormati aturan. Selanjutnya Kartodihardjo (2010) mengemukakan
kebijakan pengelolaan CPR oleh pemerintah seharusnya tidak memisahkan
masyarakat lokal dengan sumberdaya alam, melainkan menumbuhkan usaha
masyarakat agar menjadi pelindung SDA.
b. Penetapan dan pemantapan hutan lindung
Menurut Sadino (2006) penetapan kawasan hutan adalah proses penentuan
yuridis formal baik secara fisik di lapangan disertai dengan desain kawasannya
sebagai dasar pengelolaan hutan secara efisien, efektif dan lestari dengan kata lain
77
penetapan kawasan hutan merupakan penegasan tentang kepastian hukum
mengenai status, letak batas dan luas suatu wilayah tertentu yang telah ditunjuk
berdasarkan keputusan hukum yang bersifat mengikat, sedangkan pemantapan
kawasan hutan adalah proses negosiasi kawasan hutan yang diarahkan untuk
memperoleh legitimasi dari individu atau kelompok masyarakat dan organisasi.
Proses kegiatan penetapan dan pemantapan kawasan hutan lindung dimulai
dengan inventarisasi kawasan. Kegiatan inventarisasi dilakukan dengan maksud
untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya,
potensi kekayaan alam hutan serta lingkungannya secara lengkap. Ascher (1993)
mengatakan ketersediaan informasi sumberdaya hutan menjadi penting untuk
memastikan kepastian dalam hasil pengukuran kerja atau kinerja. Selama ini
pemerintah tidak menguasai data dan informasi tentang kondisi hutan sehingga
pengetahuan yang dimiliki oleh pemerintah sangat terbatas.
Setelah proses inventarisasi hutan yang dilaksanakan oleh pemerintah
daerah selesai maka Menteri Kehutanan menunjuk kawasan hutan atas
rekomendasi Gubernur dan memperhatikan RTRW dan atau paduserasi TGHK
dan RTRW. Proses penyusunan RTRW yang dilakukan oleh pemerintah daerah
dalam rangka menentukan peruntukkan kawasan termasuk kawasan hutan harus
melibatkan partisipasi masyarakat seperti yang tercantum dalam Pasal 20 PP 15
2010 tentang Penyelenggaran Penataan Ruang. Namun fakta di lapangan
menunjukkan kegiatan penyusunan RTRW diserahkan kepada konsultan ahli
perencanaan yang cenderung bekerja tanpa melibatkan masyarakat sejak awal.
Pelibatan masyarakat hanya dilakukan pada saat konsultasi publik setelah RTRW
selesai dibuat. Setelah proses administrasi pengesahan RTRW selesai maka
pemerintah daerah harus mengkonsultasikan RTRW tersebut dengan pihak-pihak
terkait termasuk menteri kehutanan dalam rangka konsultasi tentang substansi
masalah kehutanan sesuai dengan Permenhut 28/2009 tentang Tata Cara
Konsultasi Persetujuan Subtansi Kehutanan dalam RTRW. Dalam proses ini
menteri kehutanan dapat membatalkan RTRW tersebut jika terdapat
ketidaksesuaian masalah substansi kehutanan
Ketentuan penunjukkan kawasan hutan lindung didasarkan pada kriteria
yang terdapat pada pasal 24 ayat 3 butir b PP No 44 tahun 2004 tentang
78
perencanaan hutan dimana menyebutkan kawasan hutan dengan faktor
kelerengan, jenis tanah, curah hujan melebihi skor 175 dan/atau kawasan hutan
yang memiliki kelerengan lapangan 40% atau lebih dan atau kawasan hutan yang
memiliki ketinggian diatas 2000 mdpl atau lebih, kawasan hutan yang memiliki
jenis tanah yang peka terhadap erosi dengan lereng lapangan lebih dari 15%,
kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air dan kawasan hutan yang
merupakan perlindungan pantai. Selain memperhatikan status kawasan,
penunjukkan kawasan hutan harus memenuhi persyaratan sebagaimana yang
tercantum dalam pasal 5 Keputusan Menteri Kehutanan No 32/Kpts-II/2001
tentang kriteria dan standart pengukuhan kawasan hutan pasal 5 disebutkan bahwa
kawasan hutan yang ditunjuk harus memenuhi kriteria sebagai berikut yaitu. a)
belum pernah ditunjuk atau ditetapkan Menteri sebagai kawasan hutan, b) tidak
dibebani hak hak atas tanah, c) tergambar dalam peta penunjukkan kawasan hutan
dan perairan yang ditetapkan oleh Menteri atau RTRWP/RTRWK.
Tahapan selanjutnya yang harus dilakukan adalah melakukan penataan batas
yang terdiri dari pemancangan patok batas sementara, penyelesaian hak-hak pihak
ketiga, penyusunan berita acara pengakuan masyarakat disekitar area batas,
penyusunan berita acara pemancangan batas patok sementara, pemasangan pal
batas, pemetaan hasil penataan batas, pembuatan dan penandatanganan berita
acara tata batas, pelaporan kepada menteri kehutanan dengan tembusan kepada
gubernur. Setelah tata batas dilakukan maka menteri menetapkan kawasan hutan
yang telah temu gelang.
Berdasarkan hasil analisis terhadap peraturan perundangan yang berkaitan
dengan pemantapan dan penetapan kawasan hutan maka dapat dijelaskan hal-hal
sebagai berikut;
1) Proses penetapan dan pemantapan kawasan hutan lindung hanya memuat
berbagai prosedur yang sifatnya administratif, belum ada mekanisme yang
merancang sanksi dan insentif yang mendorong pemerintah daerah
merumuskan program untuk mengoptimalisasi pengelolaan dan
pemanfaatan hutan lindung sebagai contoh aturan formal penunjukkan
HLGD hanya menempatkan pemerintah daerah sebagai pemberi
rekomendasi yang sifatnya administrasi tanpa bisa memutuskan. Situasi ini
79
menyebabkan menjadi berlarut-larutnya proses pengukuhan hutan. Semakin
lamanya proses pengukuhan kawasan hutan berakibat pada ketidakpastian
kawasan hutan. Menurut Contreras et al (2006) ketidakpastian hak-hak
sebagai akibat dari tidak jelasnya batas batas kawasan hutan berpotensi
menimbulkan konflik dan masyarakat akan memandang kawasan hutan
adalah sumberdaya yang “open acces”
2) Proses pengusulan penunjukkan kawasan hutan lindung oleh pemerintah
daerah yang tertuang dalam RTRW hanya mengacu pada kriteria biofisik
sesuai pasal 8 Keppres 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan
belum memperhatikan aspek sosial, sehingga terjadi tumpang tindih antara
kawasan hutan dan penggunaan lainnya seperti pemukiman rumah-rumah
permanen dan kampung-kampung (dusun, rumah tangga, desa) yang ada di
dalam kawasan hutan.
3) Pemerintah daerah belum menjalankan prosedur pada undang-undang
penataan ruang, yakni pentingnya partisipasi masyarakat dalam
pengambilan keputusan dalam proses perumusan dan penetapan kawasan
hutan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan kontrol
terhadap isi dan pelaksanaan program pembangunan yang mempengaruhi
kehidupan mereka. Menurut Singletton (1999) bentuk partisipasi merupakan
salah satu bentuk aksi kolektif yang dapat mengendalikan perilaku
opportunistik dan dapat juga menghilangkan penumpang gratis (free rider)
dari anggota kelompok serta dapat mengurangi biaya transaksi
4) Sampai saat ini belum ditemukan peraturan yang secara khusus mengatur
proses penyelesaian hak-hak pihak ketiga disepanjang trayek batas dan di
dalam kawasan hutan. Sehingga belum ada ruang bagi pelaksana di
lapangan untuk mengambil keputusan dalam menyelesaikan hak-hak tata
batas. Ketentuan yang ada hanyalah menegaskan bahwa permasalahan
mengenai hak atas lahan baik sepanjang batas kawasan hutan maupun di
dalam kawasan hutan menjadi tanggung jawab panitia tata batas yang
dibentuk oleh Bupati. Implikasi di lapangan adalah pemerintah daerah
dalam hal ini Dinas Kehutanan belum bisa merumuskan bentuk-bentuk
penyelesaian hak-hak pihak ketiga
80
c. Pengelolaan hutan lindung
Landasan hukum yang mengatur pengelolaan sumber daya hutan termasuk
hutan lindung tertuang dalam pasal 21 Undang-Undang Kehutanan Nomor
41/1999. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pengelolaan hutan meliputi: a)
tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, b) pemanfaatan hutan dan
penggunaan kawasan hutan, c) rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan d)
perlindungan hutan dan konservasi alam. Ketentuan ini kemudian dijabarkan
secara teknis melalui PP 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan rencana pengelolaan
hutan serta pemanfaatan hutan. Dalam ketentuan yang tercantum dalam PP No 6
tahun 2007 menyebutkan kegiatan tata hutan dan perencanaan meliputi kegiatan
tata batas, inventarisasi, pembagian dalam blok/zona pengelolaan dan pemetaan.
Setelah kegiatan tersebut dilaksanakan maka pengelola kawasan hutan diwajibkan
untuk menyusun rencana pengelolaan jangka pendek dan jangka menengah.
Dokumen rencana pengelolaan hutan baik jangka pendek maupun jangka
menengah harus memiliki strategi kelayakan pemanfaatan, rehabilitasi dan
perlindungan kawasan hutan.
Sesuai dengan tujuan pengelolaan hutan lindung, maka pengelolaan hutan
lindung diarahkan untuk pemanfaataan hasil hutan bukan kayu sesuai dengan
ketentuan yang tercantum dalam pasal 23 Dalam PP No 6 tahun 2007, akan tetapi
ketentuan ini menjadi tidak jelas saat pemerintah mengeluarkan Peraturan
Presiden No 28 tahun 2011 tentang penggunaan kawasan hutan lindung untuk
penambangan bawah tanah dan PP No 24 tahun 2004 tentang tentang Penggunaan
Kawasan Hutan. Dalam pasal 4 PP No 24 tahun 2010 disebutkan bahwa didalam
kawasan hutan lindung dapat dibangun seperti jalan umum, fasilitas umum,
instalasi air, stasiun relay dan lain lain. Ketentuan ini telah disalah artikan oleh
pemerintah daerah sebagai contoh pemerintah Kabupaten Gorontalo membangun
membangun kantor desa, membangun sekolah bagi masyarakat yang tinggal di
kawasan hutan lindung seperti yang terjadi di dalam kawasan HLGD.
Pembangunan berbagai fasilitas didalam kawasan HLGD secara tidak langsung
telah melegitimasi keberadaan mereka di dalam kawasan hutan lindung. Situasi ini
akan semakin mempersulit posisi pemerintah selaku penguasa atas lahan yang ada
81
dalam kawasan HLGD untuk memperoleh kepastian hak dari masyarakat yang
tinggal disekitar kawasan HLGD.
Dalam pengelolaan hutan lindung diatur pula ketentuan tentang kewenangan
pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan lindung.
Kewenangan Pemda untuk mengambil berbagai keputusan dalam pengelolaan
hutan, tidak banyak dibahas dalam UU 41/1999. Berdasarkan PP 38 Tahun 2007.
Kewenangan pemerintah kabupaten dalam pengelolaan hutan lindung meliputi :
inventarisasi hutan, rehabilitasi hutan dan perlindungan hutan, pemberian
perijinan pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang
tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam appendix CITES dan pemanfaatan jasa
lingkungan skala kabupaten, sedangkan kewenangan Pemerintah Pusat dalam
pengelolaan hutan lindung adalah :
a. Pelaksana pengukuhan kawasan hutan lindung.
b. Pelaksana penunjukkan kawasan hutan lindung.
c. Penyelenggaraan tata batas, penataan dan pemetaan kawasan hutan lindung.
d. Pelaksana penetapan kawasan hutan lindung.
e. Penetapan norma, standart, prosedur dan kriteria (NSPK) dan pengesahan
rencana pengelolaan dua puluh tahunan dan lima tahunan.
f. Penetapan NSPK rencana pengelolaan tahunan.
g. Penetapan NSPK dan pengesahan rencana kerja usaha (dua puluh tahunan) dan
lima tahunan (jangka menengah) unit pemanfaatan hutan lindung.
h. Penetapan NSPK rencana pengelolaan tahunan unit usaha pemanfaatan hutan
lindung.
i. Penetapan NSPK dan pengesahan penataan areal kerja unit usaha pemanfaatan
hutan lindung
Beberapa kegiatan tersebut ternyata meninggalkan problem yang sangat
komplek dan sangat mempengaruhi kegiatan pengelolaan hutan lindung oleh
pemerintah kabupaten karena belum semua NSPK tentang pengelolaan hutan
lindung sudah disusun oleh Pemerintah Pusat (Departemen Kehutanan), yang
dapat dijadikan acuan bagi Pemerintah Kabupaten untuk menjalankan tugasnya.
Hal ini sesuai dengan penelitian Ekawati (2010) yang menyatakan bahwa belum
dikeluarkannya beberapa NSPK sebagai acuan pemerintah daerah dalam
82
pengelolaan hutan lindung telah membuat pengelolaan dan pemanfaatan hutan
lindung seperti di Kabupaten Tanjung Jabung, Kabupaten Sorolangun dan
Kabupaten Solok belum berjalan optimal
Berdasarkan ketentuan peraturan perundangan seperti yang telah disebutkan
diatas maka dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut:
1. Mekanisme pengelolaan hutan lindung antara pemerintah daerah dan
pemerintah pusat masih lebih banyak mengatur hal-hal yang bersifat
instruksi yang sangat birokratis dan belum menyentuh penguatan
pengelolaan hutan dan status hutan lindung sehingga tidak mendorong
upaya untuk melestarikan hutan. Menurut Khan et al (2004) kebijakan
pengelolaan kehutanan yang lebih menekankan aspek teknis dan sangat
birokratis akan berakibat pada inefisiensi dan menimbulkan biaya ekonomi
tinggi
2. Beberapa peraturan perundangan tidak konsisten dengan peraturan di
atasnya sehingga menyulitkan pemerintah mencapai kinerja yang
diinginkan. Situasi ini bisa menimbulkan konflik yang disebabkan karena
perbedaan penafsiran dalam pelaksanaan kebijakan. Hal ini sesuai dengan
temuan beberapa kajian tata kelola kehutanan menghasilkan kesimpulan
antara lain, peraturan perundangan tentang kehutanan Indonesia cenderung
simpang siur tumpang tindih (Ginoga et al 2005). Peraturan yang tidak
konsisten akan berakibat pada melemahnya penegakan hukum sehingga
akan memicu perilaku oportunistik individu atau kelompok dalam
memanfaatkan hasil hutan sebagai contoh diperbolehkannya penambangan
di kawasan hutan lindung dikhawatirkan hanya akan menjadi dalih agar bisa
mengeksploitasi kayu dari dalam kawasan hutan lindung yang selama ini
masih relatif baik.
3. Pengelolaan hutan lindung masih dikelola secara sentralistik hal ini terlihat
dari dominasinya pemerintah pusat sebagai pengambil keputusan
pengelolaan hutan lindung, sedangkan pemerintah daerah hanya
ditempatkan sebagai pemberi rekomendasi dan lebih bersifat administrasi
tanpa diberi kewenangan untuk memutuskan. Menurut Steni (2004)
desentralisasi yang terjadi di Indonesia terutama dalam pengelolaan SDA
83
lebih bersifat teknis dan administratif. Ketentuan hukum yang ada lebih
banyak menjabarkan implementasi otonomi sistem pemerintahan secara
politik dan bukan otonomi pengaturan SDA berdasarkan kebutuhan rakyat
di daerah. Sehingga McCarthy (2004) menyimpulkan bahwa pelaksanaan
desentralisasi khususnya disektor kehutanan belum mencapai tujuan “good
governance”
d. Pembinaan dan Pengawasan di Hutan Lindung
Pembinaan dan pengawasan dalam rangka pengelolaan hutan ditujukan
untuk menjaga tertibnya pelaksanaan pengelolaan hutan. Berdasarkan PP 6/2007
pasal 123 menyatakan bahwa kewenangan pembinaan dan pengawasan
dilaksanakan oleh Menteri untuk mengendalikan kebijakan kehutanan yang
dilakanakan oleh Gubernur, Bupat/Walikota. Kegiatan pembinaan dan
pengawasan ini meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan,
supervisi, monitoring dan/atau evaluasi yang berkaitan dengan penyusunan
rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan bimbingan penyusunan
prosedur dan tata kerja, pelatihan sumber daya manusia dan aparatur, arahan
penyusunan rencana program dan penilaian pengelolaan hutan lestari secara
periodik. Hal yang sama juga dikemukakan dalam PP 45/2004 tentang
perlindungan hutan pasal 48 dan 49. Sampai saat ini baik pemerintah kabupaten
Gorontalo dan Bone Bolango belum sepenuhnya menjalankan kewenangan dalam
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan hutan lindung
Gunung Damar. Hal ini mengindikasikan rendahnya kepedulian pemerintah
daerah dalam melakukan pengawasan terhadap batas yurisdiksinya dan rendahnya
kepedulian pemerintah daerah dalam mengamankan hak kepemilikannya terhadap
kawasan. Situasi seperti ini bisa membuka peluang perilaku oportunistik
masyarakat yang tinggal sekitar HLGD untuk memanfaatkan sumberdaya HLGD
tanpa berusaha untuk melestarikannya. Ketentuan mengenai kegiatan pembinaan
dan pengawasan juga telah menyebutkan bahwa masyarakat memiliki kewajiban
melakukan pengawasan, namun tidak ada ketentuan yang dapat memperkuat
posisi masyarakat sehingga sangat sulit untuk membuat pengawasan masyarakat
dapat berjalan efektif. Kendala yang dihadapi dalam melaksanakan kewenangan
pembinaan dan pengawasan adalah minimnya SDM dan pendanaan dalam
84
4.4. Perilaku Stakeholder di Hutan Lindung Gunung Damar
a. Stakeholders di HLGD
Secara etimologis stakeholders dapat dimaknai sebagai sebagai pihak pihak
dari luar organisasi yang berkepentingan dan berpengaruh terhadap kinerja,
keberadaan dan keberlangsungan organisasi. Menurut Asikin (2001) stakeholder
adalah semua pihak yang kepentingannya terpengaruh oleh dampak, baik positif
maupun negatif, yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan. Pihak yang terpengaruh
dampak ini dibedakan menjadi tiga bagian, yakni stakeholders utama dan kunci;
serta stakeholder pendukung. Sedangkan Mitchell et al 1997 dalam Sundawati
dan Askadi 2008) mengemukakan stakeholder merupakan kelompok individu
yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu.
Brown et al. (2001) juga menambahkan bahwa analisis stakeholder merupakan
pengumpulan informasi dari individu atau sekelompok orang yang berpengaruh di
dalam memutuskan, mengelompokkan informasi dan sistem menilai kemungkinan
konflik yang terjadi antara kelompok-kelompok berkepentingan.
Hasil identifikasi stakeholder, terdapat 18 stakeholder di Kabupaten
Gorontalo dan 14 stakeholder di Kabupaten Bone Bolango yang berkepentingan
dalam pengelolaan hutan lindung Gunung Damar dapat dilihat pada Tabel 33
Tabel 33. Daftar Stakeholder yang terlibat dalam Pengelolaan HLGD
No Stakeholder Kabupaten Gorontalo Stakeholder Kabupaten Bone Bolango
1 BKSDA Sulawesi Utara BKSDA Sulawesi Utara
2 BPKH Wilayh XV Gorontalo BPKH Wilayh XV Gorontalo
3 BP-DAS Bone Bolango BP-DAS Bone Bolango
4 Dinas Kehutanan dan Pertambangan
Energi
Dinas Kehutanan dan Pertambangan
Energi
5 Badan Perencanaan Pembangunan
Pembangunan Daerah
Badan Perencanaan Pembangunan
Pembangunan Daerah
6 Dinas Pekerjaan Umum Dinas Pekerjaan Umum
7 Badan Lingkungan Hidup Badan Lingkungan Hidup
8 DPRD DPRD
10 PDAM PDAM
11 Dinas Pertanian dan Tanaman
Pangan
Lembaga Donor EGSLP
12 Badan Penyuluh Kehutanan Tokoh Masyarakat
85
Lanjutan Tabel 33 No Stakeholder Kabupaten Gorontalo Stakeholder Kabupaten Bone Bolango
13 Polisi Kehutanan Masyarakat lokal sekitar HLGD
14 Universitas Gorontalo Polisi Kehutanan
15 LSM Komunitas untuk Bumi
16 Lembaga Donor EGSLP
17 Tokoh Masyarakat
18 Masyarakat lokal sekitar HLGD
Berdasarkan daftar stakeholder yang tertulis diatas terlihat pengelolaan
HLGD melibatkan berbagai pihak mulai dari pemerintah pusat, pemerintah
daerah, perguruan tinggi, LSM dan masyarakat lokal. Beragamnya stakeholder
yang terlibat dalam pengelolaan HLGD dengan berbagai kepentingannya akan
membawa konsekwensi terhadap semakin kompleksnya pengelolaan HLGD, oleh
karena itu diperlukan suatu kelembagaan untuk mengatur perilaku stakeholder
agar bersepakat untuk bersama-sama mewujudkan pengelolaan HLGD sesuai
dengan tujuan pengelolaan hutan lindung yang telah ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan
b. Tugas Pokok Stakeholder
Berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia tugas pokok merupakan sasaran
utama yang dibebankan kepada organisasi untuk dicapai. Analisis tugas pokok
diperlukan untuk melihat sejauh mana kewenangan organisasi pemerintah daerah
dalam pengelolaan HLGD sekaligus melihat sejauh mana kepentingan dan
pengaruh organisasi pemerintah dalam pengelolaan HLGD. Tugas pokok suatu
organisasi akan menentukan pola koordinasi antar organisasi karena berkaitan
dengan hak dan tanggung jawab organisasi dan bentuk keterlibatan sebuah
organisasi dalam suatu kegiatan. Selanjutnya pendapat Uphoff (1986) menyatakan
bahwa kinerja suatu institusi dapat diukur melalui bagaimana institusi dapat
menyelesaikan tugas pokoknya. Adapun tugas pokok stakeholder di Kabupaten
Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango yang terlibat dalam pengelolaan HLGD
dapat dilihat pada Tabel 34 dan Tabel 35
86
Tabel 34. Stakeholders dan Tugas Pokoknya dalam pengelolaan HLGD di
Kabupaten Gorontalo Stakeholder Tugas Pokok
1. BKSDA Sulawesi Utara 1. Penyelenggaraan konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan
kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman
wisata alam, dan taman buru,
2. Koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya
dan hutan lindung serta
3. Konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar
kawasan konservasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Permenhut
02/Menhut-II/2007)
2. BPKH Wilayah XV Gorontalo
1. Mempunyai tugas melaksanakan pengukuhan
kawasan hutan,
2. penyiapan bahan perencanaan kehutanan
wilayah,
3. penyiapan data perubahan fungsi serta
perubahan status/peruntukan kawasan hutan,
4. penyajian data dan informasi pemanfaatan
kawasan hutan,
5. penilaian penggunaan kawasan hutan, dan
penyajian data informasi sumberdaya hutan
(Permenhut 13/Menhut-II/2011)
3. BP-DAS Bone Bolango Melaksanakan penyusunan rencana,
pengembangan kelembagaan dan evaluasi
pengelolaan DAS (Permenhut 15/Menhut-II/2007)
4. Dinas Kehutanan dan
Pertambangan Energi
1. Penyiapan bahan rancangan teknis RHL,
Bimbingan Teknis RHL
2. Penataan lahan dan konservasi
3. Pengembangan dan pengelolaan peredaran hasil
hutan
4. Menyelenggarakan pelatihan masyarakat dan
perizinan dibidang pertambangan
5. Penyiapan rancangan teknis pertambangan dan
energy
6. Inventarisasi potensi tambang
7. Bimbingan teknis, pengawasan dan penelitian
pengembangan (Perda No 35/2007)
5. Kepala Desa Memberikan pelayanan, pembinaan dan
pengawasan kepada masyarakat (PP 72 tahun
2005)
6. Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah
(BAPPEDA)
Membantu kepala daerah dalam Penyelenggaraan
pemerintahan daerah dibidang perencanaan
pembangunan, penelitian dan pengembangan
daerah (Perda 16/2007)
7. Dinas Pekerjaan Umum
Bidang Penataan Ruang
Melaksanakan sebagian kewenangan di dinas PU
dan Menyusun perencanaan penataan ruang (Perda
No 33/2007)
87
Lanjutan Tabel 34 Stakeholder Tugas Pokok
8. Badan Lingkungan Hidup, Melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan
kebijakan daerah yang bersifat spesifik pada
lingkup pengelolaan lingkungan hidup,
Melaksanakan proses legislasi, penganggaran dan
pengawasan (Perda No 18/2007)
9. DPRD Melaksanakan proses legislasi, penganggaran dan
pengawasan (Pasal 24 UU 32/2004)
10. Dinas Pertanian dan Tanaman
Pangan
Melaksanakan kewenangan desentralisasi
dibidang pertanian (Perda No 33/2007)
11. Badan Penyuluh Pertanian Membantu Kepala Daerah dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dibidang
Penyuluhan (Perda No 4/2008)
12. PDAM Membantu pemerintah daerah dalam peningkatan
pelayanan kepada masyarakat dalam bidang air
bersih (Perda No 6/1993)
13. Polhut Menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan,
memantau, dan mengevaluasi serta melaporkan
kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan
serta peredaran hasil hutan. (Pasal 4 Kepmenpan
No. 55/KEP/M.PAN/7/2003)
14. Lembaga Donor EGSLP.
1. Meningkatkan tatakelola lingkungan dan
sumber daya alam pada DAS dan menunjukan
pemecahannya bagi isu-isu pengelolaan sumber
daya alam prioritas yang diindetifikasi, dan
diimplementasikan oleh pemangku kepentingan
kunci pada tingkat masyarakat (desa) dan DAS;
2. Memperkuat institusi tatakelola lingkungan dan
prosesnya pada tingkat desa, kabupaten dan
propinsi.
15. Universitas Gorontalo Melaksanakan tridharma perguruan tinggi;
pengajaran, penelitian dan pengabdian pada
masyarakat (Pasal 3 PP No 60/1999)
16. Komunitas untuk
Bumi/KUBU (LSM) Melaksanakan advokasi dan kampanye
sumberdaya alam
Tabel 35. Stakeholders dan Tugas Pokoknya dalam pengelolaan HLGD di
Kabupaten Bone Bolango I. Stakeholder Tugas Pokok
1. BKSDA Sulawesi Utara 1. Penyelenggaraan konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan
cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam,
dan taman buru,
2. Koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan
hutan lindung serta
3. Konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar kawasan
konservasi berdasarkan peraturan perundang-
88
undangan yang berlaku (Permenhut 02/Menhut-
II/2007)
2. BPKH Wilayah XV
1. Mempunyai tugas melaksanakan pengukuhan
kawasan hutan,
2. penyiapan bahan perencanaan kehutanan wilayah,
3. penyiapan data perubahan fungsi serta perubahan
status/peruntukan kawasan hutan,
4. penyajian data dan informasi pemanfaatan kawasan
hutan,
5. penilaian penggunaan kawasan hutan, dan
penyajian data informasi sumberdaya hutan
(Permenhut 13/Menhut-II/2011)
3. BP-DAS Bone Bolango Melaksanakan penyusunan rencana, pengembangan
kelembagaan dan evaluasi pengelolaan DAS
(Permenhut 15/Menhut-II/2007)
4. Dinas Kehutanan dan
Pertambangan Energi
Melaksanakan urusan pemerintahan daerah
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan di
bidang Kehutanan, Pertambangan dan energy:
1. Penyelenggaraan, inventarisasi pemetaan hutan,
pertambangan dan Energi.
2. penyelenggaraan tata batas hutan, rekonstruksi,
penataan batas kawasan hutan produksi dan hutan
lindung serta batas wilayah pertambangan
3. penyelenggaraan pembentukan wilayah utama hutan
raya, wilayah pertambangan sesuai dengan Rencana
Tata Ruang Daerah ;
4. pemberian ijin dan pengawasan pemanfaatan
kawasan hutan dan pertambangan kecuali kawasan
suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman
buru;
5. penyelenggaraan pengurusan erosi, sedimentasi,
produktivitas lahan pada Daerah Aliran Sungai ;
6. Pemberian ijin dan pengawasan pemanfaatan jasa
lingkungan hutan dan wilayah pertambangan.
7. Pengesahan rencana tebang hutan;
8. Pemberian ijin dan pengawasan usaha pemanfaatan
hutan PSDH, dana reboisasi dan dana investasi untuk
biaya pelestarian hutan (Perda 12/2005)
5. Kepala Desa Melaksanakan tugas administrasi pemerintahan desa
(PP 72 tahun 2005)
6. Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah
(BAPPEDA)
Membantu pemerintah daerah dibidang perencanaan
pembangunan, Menyusun dan melaksanakan kebijakan
daerah dalam bidang perencanaan pembangunan
daerah (Perda 14/2005)
7. Dinas Pekerjaan Umum
Bidang Penataan Ruang
Melaksanakan penataan ruang dan membangun
infrastruktur (Perbup No19/2011)
89
Lanjutan Tabel 35
II. Stakeholder Tugas Pokok
8. Badan Lingkungan Hidup, Melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan
daerah yang bersifat spesifik pada lingkup pengelolaan
lingkungan hidup:
1. Membantu Kepala Daerah dalam merumuskan dan
melaksanakan kebijakan teknis Bidang Lingkungan
Hidup
2. Mengkoordinasikan penyusunan program,
perumusan kebijakan dan petunjuk teknis di
Bidang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
dan Tata Lingkungan, termasuk Penataan Ruang
Terbuka Hijau
3. Mengkoordinasikan penyusunan program,
perumusan kebijakan dan petunjuk teknis di
Bidang Pengendalian, Pengawasan Pencemaran
dan Kerusakan Lingkungan
4. Mengkoordinasikan penyusunan program,
perumusan kebijakan dan petunjuk teknis di
Bidang Kebersihan (Perda No 10/2010)
9. DPRD Penyusunan kebijakan daerah tentang lingkungan
hidup (Pasal 24 UU 32/2004)
10. PDAM Optimalisasi pelayanan air bersih dalam rangka
memaksimalkan PAD (Perda 11/2011)
11. Lembaga Donor EGSLP.
a. Meningkatkan tatakelola lingkungan dan sumber
daya alam pada DAS terpilih dan menunjukan
pemecahan yang berkelanjutan bagi isu-isu
pengelolaan lingkungan an sumber daya alam
prioritas yang diindetifikasi, dan diimplementasikan
oleh pemangku kepentingan kunci pada tingkat
masyarakat (desa) dan DAS;
b. Memperkuat dan institusionalisasi struktur tatakelola
lingkungan dan prosesnya pada tingkat desa,
kabupaten dan propinsi.
12. Polhut Menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan,
memantau, dan mengevaluasi serta melaporkan
kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan serta
peredaran hasil hutan. (Pasal 4 Kepmenpan No.
55/KEP/M.PAN/7/2003)
Mengacu pada Bryson (2003) dilakukan identifikasi kesesuaian tugas pokok
dengan metode 4Rs (Rights, Responsibility, Reward and Relationship). Metode
4Rs merupakan tools untuk memperjelas hak dan tanggung jawab serta bentuk
interaksi yang dijalankan oleh stakeholder dalam pengelolaan HLGD berdasarkan
tugas pokoknya. Adapun kejelasan hak dan tanggung jawab serta bentuk interaksi
90
berdasarkan metode 4Rs untuk wilayah Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten
Bone Bolango dapat dilihat pada Tabel 36 dibawah ini dan Tabel 37 dihalaman
selanjutnya
Tabel 36. Stakeholders pengguna dan yang menikmati sumberdaya HLGD serta
terlibat dalam kegiatan teknis dan di Kabupaten Gorontalo dan Bone
Bolango
Stakeholder Rights Responsibility Rewards Relationship
I. Kabupaten
Gorontalo
1. Masyarakat
lokal
2. PDAM
II. Kabupaten
Bone Bolango
1. Masyarakat
2. PDAM
Menikmati
sumberdaya
yang
dihasilkan
oleh HLGD
Memperoleh
izin
pemanfaatan
Mengetahui
rencana
peruntukkan
hutan,
pemanfaatan
hasil hutan
Memberi
informasi dan
pertimbangan
dalam
pengelolaan
HLGD
Ikut
memelihara
dan menjaga
kawasan hutan
dari gangguan
dan perusakan
Melakukan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan
pembangunan
kehutanan
Melakukan
kegiatan teknis
yang
menunjang
pemanfataan
HLGD
Meningkatnya
kesejahteraan
masyarakat di
dalam dan
disekitar
kawasan
HLGD
Mendapatkan
keuntungan
dengan
penjualan hasil
hutan bukan
kayu
Mendapatkan
pengetahuan
baru melalui
kegiatan riset
Terlibat
dalam
kegiatan
teknis
kehutanan
melalui
dukungan
tenaga kerja
Dapat
menyiapkan
dukungan
dana
Menyediaka
n informasi
yang
berkaitan
dengan
pengelolaan
HLGD
Berdasarkan identifikasi masing masing stakeholder seperti yang terlihat
pada Tabel 36 terdapat stakeholder di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone
Bolango yang terdiri dari Masyarakat lokal dan PDAM yang menikmati
sumberdaya yang dihasilkan oleh HLGD. Sedangkan kewajibannya adalah ikut
menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan, melakukan kegiatan teknis
pemanfataan HLGD, penyediaan tenaga kerja, memberikan informasi dan
penyediaan dana pengelolaan HLGD.
91
Tabel 37. Stakeholders Pengelola, Penyedia Pedoman dan Pengawasan
Pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango Stakeholder Rights Responsibility Rewards Relationship
1. BKSDA,
2. BPKH
Wilayah XV
Gorontalo
3. BP-DAS Bone
Bolango
4. Dinas
Kehutanan
Pertambangan
dan Energi,
5. kepala desa
dan
6. Polisi
Kehutanan,
7. Dinas PU
8. Universitas
Gorontalo
9. BAPPEDA,
10. DPRD,
11. LSM,
12. Badan
Lingkungan
Hidup,
13. EGSLP
Kabupaten Bone
Bolano
1. BAPPEDA
2. BLH,
3. PU,
4. DPRD
5 EGSLP
6.Dishutamben
7. BKSDA
8. BPKH
9. BP-DAS
10.Kep Desa
Memberi dan
mencabut
izin
pemanfaatan
Melakukan
pengelolaan
terhadap
kawasan
HLGD
Melakukan
pengawasan,
penilaian dan
memfasilitasi
program
Melaksanaka
n penelitian
dan
pengembang
an
Melakukan
pengelolaan
hutan secara
lestari
Melaksanakan
kewenangan
otonomi daerah
dalam rangka
pelaksanaan
tugas
desentralisasi
dibidang
kehutanan
Melaksanakan
kebijakan
pengelolaan
HLGD
Berupaya
mewujudkan
program
pemulihan
kawasan HLGD
Memberi
dukungan
penuh terhadap
segala bentuk
kegiatan
pengelolaan
hutan
Meningkatnya
PAD
Terwujudnya
visi misi
organisasi
Menikmati
kualitas
lingkungan
hidup yang
dihasilkan oleh
HLGD
Menyiapka
n norma,
standar,
pedoman
dan kriteria
pengelolaan
HLGD
Menyiapka
n dukungan
dana
Hasil identifikasi terhadap tugas pokok stakeholder pengelola, penyedia
pedoman dan kriteria serta pengawas pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo
terdapat beberapa stakeholder terlibat seperti BKSDA, BPKH Wilayah XV
Gorontalo, BP-DAS Bone Bolango, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi,
kepala desa, Polisi Kehutanan, Universitas Gorontalo, BAPPEDA, EGSLP,
92
DPRD, LSM, Dinas PU dan Badan Lingkungan Hidup. Stakeholder pengelola,
penyedia pedoman dan kriteria serta pengawas pengelolaan HLGD di wilayah
Kabupaten Gorontalo terlihat lebih banyak jika dibandingkan dengan Kabupaten
Bone Bolango yang terdiri dari BKSDA, BPKH Wilayah XV Gorontalo, BP-DAS
Bone Bolango, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi, kepala desa,
BAPPEDA, EGSLP, DPRD, Dinas PU dan Badan Lingkungan Hidup. Berkaitan
dengan hak dan kewajiban, stakeholder ini mempunyai hak menyiapkan norma,
standar, pedoman dan kriteria pengelolaan HLGD sedangkan kewajibannya
adalah menyelenggarakan kebijakan, kewenangan pengelolaan hutan lindung
lestari.
Sampai saat ini Pemerintah Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone
Bolango hanya melakukan aktivitas pemanfaatan jasa lingkungan berupa
pemanfaatan air minum melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Kegiatan pemanfaatan jasa air minum oleh PDAM merupakan salah satu bagian
dari strategi pemerintah daerah untuk meningkatkan pelayanan publik sekaligus
sumber pendapatan asli daerah (PAD) untuk membiaya pembangunan di daerah .
Menurut Fauzi (2004) keberadaan lembaga pemerintah di bidang industri
pengolahan air seperti dibentuknya Perusahaan Daerah Air Minum oleh
pemerintah daerah, tak lain untuk memberikan pelayanan penyediaan air bersih
kepada masyarakat secara kuantitas dan kualitas baik dan secara operasional
efisien serta berkelanjutan (sustainable). Intervensi pemerintah melalui PDAM
sebagai institusi pemerintah dalam penyediaan air bersih bagi masyarakat
sebenarnya dapat diterima secara logis mengingat air sebagai barang publik
penggunaannya oleh masyarakat harus dikendalikan agar tidak menimbulkan
ekternalitas negatif
Sejak diterapkannya sistem pemerintahan otonomi daerah (otoda),
pengelolaan hutan menghadapi berbagai tantangan baru. Pemberlakuan UU
tentang Pemerintahan Daerah menjadi titik tolak bergesernya orientasi, arah dan
kebijakan pembangunan kehutanan. Selain itu kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah, memberikan kewenangan yang semakin luas kepada pemerintah
daerah dalam berbagai perubahan sistem pengelolaan pemerintahan. Salah satu
perubahan tersebut adalah dalam pengurusan hutan hutan lindung oleh pemerintah
93
daerah yang diperkuat dengan keluarnya PP No 38 tahun 2007 tentang pembagian
urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota setidaknya terdapat 58 kewenangan yang
seharusnya menjadi kewenangan pemerintah pusat diserahkan ke daerah.
Pelimpahan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah ternyata
menimbulkan permasalahan lain yaitu adanya tumpang tindih kewenangan dalam
menjalankan pengelolaan HLGD seperti yang terlihat pada Tabel 38.
Tabel 38. Aspek pengelolaan HLGD berdasarkan tugas pokok organisasi
pengelolaan hutan lindung
Aspek Kabupaten Gorontalo Kabupaten Bone Bolango
Penetapan dan
Pemantapan
BAPPEDA, BKSDA, BPKH,
Dishuttamben. PU
BAPPEDA, BKSDA, BPKH,
Dishuttamben, PU
Pengelolaan Dishuttamben, BPKH,
BKSDA, BP-DAS, PDAM
Dishuttamben, BPKH, BKSDA,
BP-DAS dan PDAM
Pembinaan dan
Pengawasan
Dishuttamben, BLH, DPRD,
Polhut, Kepala Desa
Dishuttamben, BLH, DPRD,
Kepala Desa
Hasil identifikasi terhadap lembaga pemerintah pusat dan daerah
menunjukkan bahwa terdapat 10 lembaga yang terkait dengan pengelolaan hutan
lindung Gunung Damar. Pada tabel diatas juga menunjukkan terjadi tumpang
tindih kewenangan dalam pengelolaan kawasan hutan lindung berdasarkan
tupoksi yang digariskan melalui pasal 10 UU No 41 tahun 1999 tentang
kehutanan. Pada tugas pokok pemantapan dan penetapan kawasan hutan beberapa
lembaga pemerintah pusat dalam hal ini unit pelaksana teknis (UPT) Departemen
Kehutanan terlibat seperti BKSDA dan BPKH XV Gorontalo sedangkan di level
pemerintah daerah terdapat BAPPEDA dan Dinas Kehutanan Pertambangan dan
Energi, Bidang Tata Ruang Dinas PU. Menurut Manan (2001) secara umum
ketidakjelasan kewenangan yang terjadi dalam pengelolaan hutan lindung
disebabkan oleh; 1) terdapat lebih dari satu lembaga pemerintah yang memiliki
tanggung jawab terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan hutan
lindung 2) belum jelas dan tegasnya pembagian kewenangan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Banyaknya kantor kantor pusat di daerah sangat
mempengaruhi kewenangan otonomi. Untuk menjamin kemandirian daerah,
kantor kantor pusat di daerah harus ditiadakan atau dikurangi kecuali sangat
94
diperlukan sama sekali. Urusan pusat yang memerlukan pelaksanaan di daerah
dapat diserahkan kepada satuan pemerintahan otonomi melalui tugas pembantuan
c. Klasifikasi dan Partisipasi Stakeholder
Hasil identifikasi stakeholder seperti yang diuraikan dalam Tabel 33
terdapat 18 stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan HLGD di Kabupaten
Gorontalo dan 14 stakeholder di Kabupaten Bone Bolango yaitu 1). BKSDA, 2)
BPKH Wilayah XV Gorontalo, 3). BP-DAS Bone Bolango, 4). Dinas Kehutanan
dan Pertambangan Energi, 5).BAPPEDA, 6). Dinas Pekerjaan Umum, 7). Badan
Lingkungan Hidup, 8). DPRD, 9). Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, 10)
Badan Penyuluh Pertanian, 11) Polisi Kehutanan, 12) Kepala Desa (formal
leader), 13) tokoh masyarakat (informal leader) 14) Lembaga Donor EGSLP, 15).
Perguruan Tinggi, 16). LSM Komunitas untuk Bumi (KUBU), 17). PDAM dan
18). masyarakat lokal. Secara umum stakeholder pengelolaan HLGD terdiri dari
organisasi pemerintah dan non pemerintah (organizations), masyarakat lokal
(communities). Hal ini hampir sesuai dengan yang dikemukakan oleh IIED (2005)
bahwa stakeholders dapat meliputi organisasi atau kelompok-kelompok sosial dan
komunitas masyarakat lokal. Berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya, Reed et
al (2009) mengelompokkan stakeholder menjadi 4 bagian yaitu stakeholder
subyek, stakeholder key player, stakeholder context setter dan stakeholders
crowd. Menurut Hermawan et al (2005), tingkat pengaruh mengindikasikan
kemampuan stakeholder untuk mempengaruhi keberhasilan atau
ketidakberhasilan suatu kegiatan. Sedangkan tingkat kepentingan keterlibatan
berkaitan dengan dampak yang akan diterima oleh stakeholder. Dalam penelitian
ini, kepentingan dan pengaruh stakeholder diidentifikasi berdasarkan
kewenangannya yang tertuang dalam tugas pokok dalam mengambil keputusan
terkait dengan proses pengelolaan hutan lindung dan realita yang terjadi di
lapangan. Adapun informasi tentang tingkat kepentingan keterlibatan dan tingkat
pengaruh stakeholder di Kabupaten Gorontalo disajikan pada Tabel 39.
95
Tabel 39. Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam pengelolaan HLGD di
Kabupaten Gorontalo Stakeholder Kepentingan Keterlibatan Pengaruh
BKSDA Sulawesi
Utara
Tinggi. Penyelenggaraan
konservasi di dalam dan di
luar kawasan konservasi
Tinggi. Pengambil kebijakan
konservasi sumberdaya alam
hayati dan koordinasi teknis HL
BPKH Wilayah XV
Gorontalo
Tinggi. Koordinasi
pemantapan kawasan dan
penataan kawasan hutan
Tinggi. Pengambil Kebijakan
dalam penataan kawasan hutan
BP-DAS Bone
Bolango
Tinggi. Otoritas pengelola
wilayah hulu DAS di
HLGD
Tinggi. Pengambil kebijakan
pengelolaan DAS
Dinas Kehutanan dan
Pertambangan Energi
Tinggi. Koordinator
pengelola SDH di daerah
Tinggi. Wilayah teritorial,
implementasi dan control
Kepala Desa.
Tinggi. Sebagai Pembina
dan masyarakat sekitar
hutan
Tinggi. Koordinasi
pemerintahan dan kontrol
wilayah teritori
Badan Perencanaan
Pembangunan
Daerah (BAPPEDA)
Rendah. Tidak menerima
dampak
Tinggi. Kontrol implementasi
perencanaan
Dinas Pekerjaan
Umum
Tinggi. Pemeliharaan
infrastruktur seperti jalan,
bangunan pemerintah di
HLGD
Tinggi. Koordinasi penataan
ruang
Badan Lingkungan
Hidup (BLH)
Rendah. Tidak menerima
dampak
Tinggi. Koordinasi terhadap
pengawasan lingkungan
DPRD Rendah. Tidak menerima
dampak
Tinggi. Dukungan proses
pengambilan keputusan tingkat
lokal
Badan Penyuluh
Pertanian
Rendah. Tidak menerima
dampak
Rendah. Tidak mempunyai
kebijakan tentang kehutanan
Dinas Pertanian dan
Tanaman Pangan,
Tinggi. Memiliki demplot
pengembangan beberapa
varietas jagung dan
komoditi pertanian lainnya
Tinggi. Mempunyai kebijakan
tentang Agropolitan
PDAM
Tinggi. Pemanfaat
sumberdaya air
Rendah. Tidak memiliki akses
terhadap pengambilan keputusan
Polisi Kehutanan Tinggi. Dukungan terhadap
pengamanan kawasan Tinggi. Kontrol terhadap SDH
Masyarakat lokal Tinggi. Menerima manfaat
dari sumberdaya hutan
Rendah. Tidak mempunyai
akses terhadap kebijakan
Tokoh masyarakat Tinggi. Menerima manfaat
dari keberadaan
sumberdaya hutan
Rendah. Tidak mempunyai
akses terhadap kebijakan
96
Lanjutan Tabel 39
Stakeholder Kepentingan Keterlibatan Pengaruh
Lembaga Donor
EGSLP.
Rendah. Tidak menerima
dampak
Tinggi. Memiliki akses terhadap
pengambilan kebijakan
Universitas
Gorontalo Tinggi. Melaksanakan salah
satu tridharma perguruan
tinggi yaitu penelitian dan
pengabdian masyarakat di
HLGD
Tinggi. Memiliki akses
memberikan masukan kepada
pemerintah
LSM KUBU Rendah. Tidak menerima
dampak
Rendah. Tidak bisa
mempengaruhi keputusan
Klasifikasi stakeholder berdasarkan tingkat kepentingan keterlibatan dan
pengaruhnya dalam pengelolaan HLGD juga dilakukan di wilayah Kabupaten
Bone Bolango. Stakeholder berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya
akan dianalisis pada 4 kelompok stakeholder. Adapun klasifikasi stakeholders
untuk wilayah Kabupaten Bone Bolango dapat dilihat pada Tabel 40
Tabel 40. Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam pengelolaan HLGD di
Kabupaten Bone Bolango Stakeholder Kepentingan Keterlibatan Pengaruh
BKSDA Sulawesi
Utara
Tinggi. Penyelenggaraan
konservasi di dalam dan di
luar kawasan konservasi
Tinggi. Pengambil kebijakan
konservasi sumberdaya alam
hayati dan koordinasi teknis
HL
BPKH Wilayah XV
Gorontalo
Tinggi. Pelaksana
pemantapan kawasan dan
penataan kawasan hutan
Tinggi. Pengambil Kebijakan
dalam penataan kawasan hutan
BP-DAS Bone
Bolango
Tinggi. Pengelola wilayah
hulu DAS di HLGD
Tinggi. Pengambil kebijakan
pengelolaan DAS
Dinas Kehutanan dan
Pertambangan Energi
Tinggi. Melaksanakan tugas
desentralisasi kehutanan
Tinggi. Pengambil kebijakan
kehutanan didaerah
Kepala Desa. Tinggi. Sebagai Pembina dan
masyarakat sekitar hutan
Tinggi. Koordinasi
pemerintahan dan kontrol
wilayah teritori
Badan Perencanaan
Pembangunan
Daerah (BAPPEDA)
Rendah. Tidak menerima
dampak
Tinggi. Kebijakan perencana
dan pembangunan daerah
Dinas Pekerjaan
Umum
Rendah. Tidak menerima
dampak
Tinggi. Koorditor penataan
ruang
Badan Lingkungan
Hidup (BLH)
Rendah. Tidak menerima
dampak
Tinggi. Koordinasi bidang
pengendalian, pengawasan
pencemaran dan
kerusakanlingkungan
97
Lanjutan Tabel 40 Stakeholder Kepentingan Keterlibatan Pengaruh
DPRD Rendah. Tidak menerima
dampak
Tinggi. proses pengambilan
keputusan tingkat lokal
PDAM
Tinggi. Pemanfaat
sumberdaya air
Rendah. Tidak memiliki akses
terhadap pengambilan
keputusan
Masyarakat lokal Tinggi. Menerima manfaat
dari sumberdaya hutan
Rendah. Tidak mempunyai
akses terhadap kebijakan
Tokoh masyarakat Tinggi. Tempat
melaksanakan aktivitas sosial
budaya
Rendah. Tidak mempunyai
akses terhadap kebijakan
Lembaga Donor
EGSLP.
Rendah. Tidak menerima
dampak
Rendah. Tidak Memiliki akses
terhadap pengambilan
kebijakan
Selanjutnya stakeholder yang telah diklasifikasi berdasarkan pengaruh dan
kepentingannya dimasukkan dalam matriks kuadran untuk menentukan subyek
(subject), pemain kunci (key player), penghubung (context setter) dan penonton
(crowd). Hal ini dilakukan untuk menentukan stakeholders yang bisa melakukan
kerjasama dan stakeholders yang memiliki resiko bagi ketidakberhasilan kegiatan.
Matriks kuadran posisi stakeholder dapat dilihat pada Gambar 14 dan 15
Gambar 14. Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders berdasarkan tugas
pokok organisasi pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo
K
e
p
e
n
t
i
n
g
a
n
Pengaruh
SUBYEK KEY PLAYER
CROWD CONTEXT SETTER
BKSDA
BPKH
BP-DAS
Dishuttamben
Kepala Desa
PU
Universitas Gorontalo
Dinas Pertanian
PDAM
POLHUT
Masyarakat lokal
Tokoh Masyarakat
LSM Kubu
EGSLP
DPRD
BLH
BAPPEDA
Badan Penyuluh
98
Gambar 15. Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders tugas pokok
organisasi pengelolaan HLGD di Kabupaten Bone Bolango
Berdasarkan matriks tingkat kepentingan dan tingkat pengaruh yang
menempati posisi kuadran A (subyek) di kabupaten Gorontalo dan Kabupaten
Bone Bolango terdapat stakeholders, dengan tingkat kepentingan tinggi dan
tingkat pengaruh yang rendah yaitu, tokoh masyarakat, masyarakat lokal, dan
PDAM. Apabila kegiatan ini ingin melindungi kepentingan mereka, maka
diperlukan inisiatif-inisitaif khusus terutama karena mereka adalah merupakan
para pihak yang paling besar menerima dampak dari kegiatan ini. Peningkatan
kemampuan dan peningkatan kesadaran terhadap hutan lindung sebagai salah satu
sistem penyangga kehidupan merupakan salah satu upaya yang dapat ditempuh
untuk melibatkan stakeholder ini dalam kegiatan pengelolaan hutan lindung
Gunung Damar
Posisi kuadran B (key players) di Kabupaten Gorontalo terdiri dari
BKSDA, BPKH Wilayah XV Gorontalo, BP-DAS Bone Bolango, Dinas
Kehutanan Pertambangan dan Energi, kepala desa dan Polisi Kehutanan, Dinas
PU, Dinas Pertanian serta Universitas Gorontalo, sedangkan untuk Kabupaten
Bone Bolango terdiri dari BKSDA, BPKH Wilayah XV Gorontalo, BP-DAS
K
e
p
e
n
t
i
n
g
a
n
Pengaruh
SUBYEK KEY PLAYER
CROWD CONTEXT SETTER
BP-DAS
BPKH
BKSDA
Dishuttamben
Kepala Desa
PDAM
Masyarakat lokal
Tokoh Masyarakat
BLH BAPPEDA
DPRD EGSLP
PU
99
Bone Bolango, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi, kepala desa.
Stakeholder ini merupakan kelompok yang paling kritis karena memiliki
kepentingan dan pengaruh yang sama tinggi. Kuadran B ditempati oleh lebih
banyak stakeholders dibandingkan dengan Kuadran A, C, dan D. Banyaknya
pihak yang berperan sebagai pemain adalah potensi besar dalam rangka
pengelolaan hutan lindung Gunung Damar. Perlu dilakukan kerjasama yang baik
agar kegiatan pengelolaan hutan lindung Gunung Damar dapat mencapai kinerja
yang diharapkan
Posisi kuadran C (context setter) di Kabupaten Gorontalo terdapat
stakeholders, dengan tingkat kepentingan rendah dan tingkat pengaruh yang tinggi
yaitu BAPPEDA, DPRD, Badan Lingkungan Hidup, EGSLP sedangkan untuk
wilayah Kabupaten Bone Bolango terdiri dari BAPPEDA, BLH, PU, DPRD.
Stakeholder pengamat dapat diinterpretasikan bahwa kepentingan dari stakeholder
ini bukan merupakan target dari kegiatan. Oleh karena itu dalam konteks
pencapaian kegiatan kelompok stakeholders ini dapat dipandang sebagai sumber
dari resiko bagi ketidakberhasilan kegiatan. Meskipun demikian stakeholder ini
memiliki manfaat dalam rangka merumuskan atau menjembatani keputusan dan
opini dalam pengelolaan hutan lindung Gunung Damar.
Kuadran D (crowd) di Kabupaten Gorontalo terdapat stakeholders, dengan
tingkat kepentingan rendah dan tingkat pengaruh yang rendah yaitu Badan
Penyuluhan Pertanian, LSM Kubu dan EGSLP. Sedangkan di Kabupaten Bone
Bolango adalah EGSLP. Stakeholder ini tidak memerlukan pelibatan intensif
dalam pencapaian tujuan kegiatan tetapi apabila memungkinkan, perlu dilakukan
monitoring dan evaluasi berkala untuk mengetahui perkembangan
kepentingannya.
Dalam pelaksanaan pengelolaan HLGD terlihat peran beberapa
stakeholders belum optimal dalam pengelolaan HLGD. Bryson (2003)
mengatakan belum optimalnya management sumberdaya di akibatkan oleh tidak
optimalnya peran stakeholders yang dalam menentukan kebijakan. Mengacu pada
Kuadran Stakeholder versi Reed et al (2009) stakeholder yang berpengaruh dalam
menentukan kebijakan dalam pengelolaan HLGD terdapat pada key stakeholder
dan context setter yang terdiri dari BKSDA, BPKH Wilayah XV Gorontalo, BP-
100
DAS Bone Bolango, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi, kepala desa dan
Polisi Kehutanan, Dinas PU, Dinas Pertanian serta Universitas Gorontalo, Badan
Lingkungan Hidup, DPRD, BAPPEDA. Hampir tidak terdapat perbedaan
stakeholder yang berpengaruh dalam menentukan kebijakan di Kabupaten
Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango. Untuk mengoptimalkan peran
stakeholder yang berpengaruh pada kebijakan pengelolaan HLGD maka perlu
dilakukan strategi pelibatan partisipasi stakeholder key player dan context setter
untuk dapat menghalangi atau memblokir kegiatan yang berdampak negatif pada
kegiatan pengelolaan hutan lindung Gunung Damar. Partisipasi merupakan proses
keterlibatan stakeholders dalam mempengaruhi dan ikut mengendalikan jalannya
rangkaian penyusunan kebijakan yang berdampak kepadanya. Karena itu tiap
stakeholder akan memiliki tingkat keterlibatan yang berbeda-beda sesuai dengan
bobot yang dimilikinya. Bobot yang dimaksud adalah tingkat (kedekatan)
kepentingan stakeholder bersangkutan dengan pengambil keputusan dan kekuatan
pengaruhnya terhadap proses penyusunan kebijakan. Adapun partisipasi
stakeholder yang seharusnya terlibat dalam pengelolaan HLGD dapat dilakukan
dapat dilihat pada Tabel 41
Tabel 41. Matriks Mekanisme Partispasi Stakeholder dalam Pengelolaan HLGD
(diadaptasi dan di modifikasi dari Bryson 2003)
Aspek
Jenis Partisipasi
Memberikan
informasi
Koordinasi Kolaborasi Pemberdayaan
Penetapan
dan
Pemantapan
Kawasan
BPKH, BP-DAS,
BKSDA,
Universitas
Gorontalo, Dinas
Kehutanan
Pertambangan
Energi
BPKH, BP-DAS,
BKSDA,
Universitas
Gorontalo, Dinas
Kehutanan
Pertambangan
Energi,
BAPPEDA, Dinas
Pertanian, Kepala
Desa, Dinas PU,
BLH, DPRD
BPKH, BP-
DAS,
BKSDA,
Universitas
Gorontalo,
Dinas
Kehutanan
Pertambangan
Energi
101
Lanjutan Tabel 41
Aspek
Jenis Partisipasi
Memberikan
informasi
Koordinasi Kolaborasi Pemberdayaan
Pengelolaan Dinas Kehutanan
Pertambangan
dan Energi
Dinas Kehutanan
Pertambangan
dan Energi, Dinas
Pertanian dan
Tanaman Pangan
Universitas
Gorontalo,
PDAM
Masyarakat
Lokal
Pembinaan
dan
Pengawasan
Kepala Desa Kepala Desa dan
Polisi Kehutanan
Polisi
Kehutanan,
Dinas
Kehutanan
Pertambangan
dan Energi,
Kepala Desa
LSM
Berdasarkan tabel diatas jenis partisipasi yang bisa dilakukan oleh
stakeholder kunci dalam aspek pemantapan dan penetapan, pengelolaan
pembinaan serta pengawasan kawasan HLGD adalah memberikan informasi,
koordinasi, kolaborasi dan pemberdayaan. Memberikan informasi artinya
stakeholder kunci harus saling memberikan informasi yang jelas tentang
keberadaan HLGD. Selama ini organisasi di lingkungan pemerintah lebih
mengetahui informasi internal dibandingkan dengan informasi eksternal.
Stakeholder yang berasal pemerintahan cenderung bekerja secara sektoral dan
sangat jarang mensosialisasikan hasil-hasil kegiatannya kepada pihak lain.
Sebagai contoh hasil wawancara dengan pihak Dinas Kehutanan Pertambangan
dan Energi yang selama ini tidak mengetahui secara pasti panjang kawasan HLGD
yang telah ditata-batas. Seperti diketahui kegiatan penataan batas merupakan
tanggung jawab BPKH Gorontalo. Demikian halnya informasi hasil-hasil
penelitian berupa kondisi biofisik kawasan dan situasi sosial ekonomi yang
dilakukan oleh Universitas Gorontalo tidak pernah disosialisasikan kepada pihak
lain. Sehingga informasi yang dipegang oleh organisasi pemerintah kurang
lengkap dan sifatnya parsial. Situasi ini menimbulkan perilaku oportunistik pihak-
pihak yang memanfaatakan HLGD untuk mengeksploitasi sumberdaya sehingga
menimbulkan eksternalitas negative. Untuk itu pihak Dinas Kehutanan
Pertambangan dan Energi Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango
selaku pengelola di daerah harus pro aktif mengumpulkan semua informasi yang
102
berkaitan dengan kondisi tata-batas, situasi sosial ekonomi dan biofisik kawasan
HLGD dari organisasi lainnya
Jenis partisipasi selanjutnya yang harus dilakukan oleh stakeholder key
player adalah melakukan koordinasi. Koordinasi yang dimaksud disini adalah
pertukaran informasi kegiatan dua arah antar organisasi sebagai proses
perintegrasian kegiatan-kegiatan pembangunan untuk mencapai tujuan yang lebih
efisien dan efektif. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, terjadi kendala
dalam melaksanakan koordinasi antara SKPD pemerintah daerah dan kantor UPT
Kementrian Kehutanan di daerah dalam pengelolaan HLGD karena masih
terdapatnya ego sektoral, sebagai contoh dalam pelaksanaan RHL terjadi tumpang
tindih program antara Dinas Kehutanan dan Pertambangan Energi Kabupaten
Gorontalo dan Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Bone Bolango
dengan BP-DAS Bone Bolango. Tumpang tindih program mengindikasikan
buruknya koordinasi pengelolaan hutan di daerah. Hasil kajian Sutrisno (2011)
menemukan bahwa kebijakan koordinasi dalam pengelolaan hutan cenderung
menggunakan pendekatan vertical yang dicirikan oleh level tertinggi organisasi
pemerintah. Hal ini menjadi sumber penyebab kegagalan koordinasi antar
pemerintah karena mekanisme koordinasi vertikal cenderung hanya mengatur
bagaimana pengorganisasian pengambilan keputusan terpusat dalam sebuah
organisasi. Untuk mengoptimalkan pengelolaan HLGD maka koordinasi yang
dapat dilakukan adalah koordinasi horizontal yaitu mengkoordinasikan tindakan-
tindakan atau kegiatan-kegiatan penyatuan dalam tingkat organisasi (aparat) yang
setingkat.. Dipilihnya koordinasi horizontal karena memudahkan komunikasi
sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesepakatan lebih efisien.
Munandar (2001) menawarkan pola koordinasi yang dapat dilakukan adalah
membentuk kelompok kerja. Kelompok kerja adalah sekumpulan orang yang
berinteraksi satu sama lain sekaligus mempersepsikan diri sendiri sebagai bagian
dari kelompok yang datang bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Langkah selanjutnya adalah melakukan kolaborasi yaitu pembagian peran dan
kerjasama di dalam pengelolaan HLGD. Kolaborasi dalam pengelolaan HLGD
sangat penting karena terbatasnya sumber daya yang terdapat dimasing-masing
organisasi. Kolaborasi yang terjadi diharapkan akan menjadi sebuah kegiatan
103
berbagi pengetahuan, belajar, dan membangun suatu kesepakatan dan pada
akhirnya meningkatkan kesuksesan dalam menyelesaikan suatu masalah.
Partisipasi pemerintah dalam kolaborasi adalah berperan dalam
mensinergikan kegiatan-kegiatan pembangunan wilayah dengan pengelolaan
HLGD. Sedangkan pihak Universitas Gorontalo berperan dalam pemberdayaan
masyarakat, sehingga masyarakat mampu mengatasi persoalan dalam dirinya.
Keberadaan Universitas Gorontalo dinilai mampu melakukan transfer
pengetahuan dan teknologi pada masyarakat sehingga terjadi perubahan sosial
yang dapat menjamin kelestarian HLGD. Kolaborasi pihak swasta dalam hal ini
PDAM sangat diperlukan, pihak swasta dapat berperan dalam menumbuhkan jiwa
kewirausahaan yang memiliki prinsip usaha untuk pemupukan modal.
Keterlibatan pihak PDAM akan mendukung kemajuan masyarakat dalam
mengembangkan potensi alam dan potensi sumberdaya manusia untuk
meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat sekitar hutan. Untuk
mengefektifkan partisipasi stakeholder, tindak lanjut harus diprioritaskan pada
upaya pelembagaannya secara mapan. Pemerintah perlu mengembangkan
kelembagaan melalui tiga aspek:
a) Penyusunan kerangka dan produk hukum yang mengatur masalah hak,
kewajiban, prosedur dan mekanisme partisipasi stakeholder. Kerangka
hukum ini diperlukan untuk memberikan keabsahan dan legitimasi politis
bagi stakeholder di satu pihak, serta batasan akan hak, kewajiban, dan
kewenangan mereka di lain pihak. Untuk menjamin efektifitasnya
ketentuan-ketentuan hukum ini perlu disusun sampai pada tingkat peraturan
pelaksanaannya.
b) Penyusunan tata cara, prosedur, serta mekanisme berpartisipasi sebagai
petunjuk teknis dan panduan baik bagi stakeholder maupun pemrakarsa
kebijakan dalam menjalankan proses partisipasi. Tercakup dalam panduan
teknis ini adalah, kriteria untuk pemberian suatu status bagi tiap stakeholder
yang relevan untuk suatu substansi kebijakan tertentu yang sedang dalam
proses penyusunan kebijakan. Melekat dalam status tersebut hak dan
kewenangan stakeholder sesuai dengan batasan yang diberikan oleh
peraturan perundangan yang telah ditetapkan.
104
Pengembangan kapasitas stakeholder melalui berbagai upaya penguatan
kelembagaan dan peningkatan kompetensi teknis mereka sesuai dengan
kepentingan masing-masing.
d. Perilaku dan Kinerja Stakeholder
Memahami perilaku masyarakat yang berkepentingan dan terlibat dalam
pengelolaan HLGD, merupakan informasi yang sangat bermanfaat bagi sebuah
lembaga pengambil kebijakan dalam menyusun kelestarian Tingkat kepentingan
dan pengaruh stakeholders yang dikemukakan sebelumnya mempengaruhi
perilaku dan kinerja pengelolaan daerah tersebut. Secara ringkas perilaku
stakeholders dan kinerjanya dalam pengelolaan HLGD disajikan pada Tabel 42
dan 43
Tabel 42. Perilaku Stakeholders dan Kinerja Pengelolaan HLGD di Kabupaten
Gorontalo Stakeholder Ringkasan Tugas Pokok
(Sesuai Peraturan
Perundangan)
Perilaku Kinerja
1. BKSDA
Sulawesi Utara
Menyelenggarakan
konservasi dan
koordinasi pengelolaan
Hutan Lindung
(Permenhut 02/Menhut-
II/2007)
Belum
melaksanakan
koordinasi
pengelolaan HL
dan konservasi
SDAH
Belum ada informasi
tentang potensi
keanekaragaman
hayati di HLGD
yang disediakan oleh
BKSDA
2. BPKH Wilayah
XV
Melaksanakan
pengukuhan kawasan
hutan dan menyajikan
informasi tentang
kawasan hutan
(Permenhut 13/Menhut-
II/2011)
Melaksanakan
sebagian penataan
batas di kawasan
HLGD
Belum ada kejelasan
batas-batas Hutan
Lindung Gunung
Damar
3. BP-DAS Bone
Bolango
Melaksanakan
penyusunan rencana
pengelolaan DAS,
pengembangan
kelembagaan dan
evaluasi (P. 15/Menhut-
II/2007)
Belum menyusun
rencana
pengelolaan 2
DAS besar; DAS
Bionga, DAS dan
DAS Bolango
Belum ada kegiatan
pengelolaan di DAS
Bionga
105
Lanjutan Tabel 42 Stakeholder Ringkasan Tugas Pokok
(Sesuai Peraturan
Perundangan)
Perilaku Kinerja
4. Dinas
Kehutanan dan
Pertambangan
Energi
Kabupaten
Gorontalo
Melaksanakan
inventarisasi pemetaan
hutan, penataan batas,
pemberian ijin dan
pengawasan
pemanfaatan kawasan
hutan (Perda No
35/2007)
Belum
sepenuhnya
melaksanakan
inventarisasi,
penataan batas,
pemberian ijin
usaha kehutanan
Tata batas kawasan
HLGD baru
mencapai 14.65%
5. Kepala Desa di
Kabupaten
Gorontalo
Melaksanakan tugas
administrasi
pemerintahan dan
mengembangkan potensi
SDA (PP 72 tahun
2005)
Memungut pajak
hasil bumi kepada
masyarakat
sekitar HLGD
Ada Penerimaan
PAD dari pajak hasil
bumi pemanfaatan
HLGD
6. BAPPEDA
Kabupaten
Gorontalo
Melaksanakan
perencanaan
pembangunan daerah
dan melaksanakan
kebijakan perencanaan
pembangunan (Perda
16/2007)
Menyusun
Perencanaan
pembangunan
daerah
Tidak ada
pengawasan terhadap
implementasi
perencanaan
pembangunan
7. Dinas Pertanian
Tanaman
Pangan
Kabupaten
Gorontalo
Melaksanakan
kewenangan
pembangunan pertanian
(Perda No 33/2007)
Mensukseskan
program
Agropolitan
dengan
menyerahkan
Bibit Gratis
kepada kelompok
tani sekitar
HLGD
Meluasnya lahan
pertanian dan terjadi
peningkatan produksi
hasil pertanian di
dalam kawasan
HLGD
8. Polisi hutan
Kabupaten
Gorontalo
Melaksanakan
pemantuan,
perlindungan &
pengamanan hutan
(Pasal 4 Kepmenpan
No.
55/KEP/M.PAN/7/2003)
Melaksanakan
operasi setiap 3
bulan
Kawasan HLGD
belum aman
9. Dinas PU
Kabupaten
Gorontalo
Melaksanakan
kewenangan
pembangunan
infrastruktur (Perda No
31/2007)
Membangun jalan
desa-desa
disekitar dan
didalam kawasan
HLGD
Akses ke kawasan
HLGD menjadi lebih
mudah
10. DPRD
Kabupaten
Gorontalo
Melaksanakan legislasi,
budgeting dan
pengawasan (Pasal 24
UU 32/2004)
Pengawasan,
legislasi dan
budgeting
terhadap PEMDA
Ada kontrol terhadap
kebijakan tapi tidak
bisa membatalkan
kebijkan tersebut
106
Lanjutan Tabel 42 Stakeholder Ringkasan Tugas Pokok
(Sesuai Peraturan
Perundangan)
Perilaku Kinerja
11. BLH Kabupaten
Gorontalo
Melaksanakan
Kebijakan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
(Perda No 18/2007)
Belum melakukan
pemantauan
terhadap
lingkungan
HLGD
Terdapat
peningkatan
sedimentasi DAS
Bionga
12. PDAM
Kabupaten
Gorontalo
Optimalisasi pelayanan
air bersih dalam rangka
memaksimalkan PAD
(Perda 6/1993)
Memperluas
pemasangan
jaringan bersih
untuk penerimaan
PAD
Meningkatnya
Penerimaan PAD
13. Universitas
Gorontalo
Melaksanakan
Tridharma Perguruan
Tinggi (Pasal 3 PP No
60/1999)
Melaksanakan
penelitian dan
pengabdian
masyarakat
Memiliki informasi
potensi sumberdaya
hutan dan kondisi
sosial ekonomi
masyarakat tapi
belum di
informasikan kepada
stakeholder lain
14. Badan Penyuluh
Pertanian,
Kehutanan
Kabupaten
Gorontalo
Membantu kepala
daerah dalam
melaksanakan
penyuluhan pertanian
dan kehutanan (Perda
No 4/2008)
Memberikan
penyuluhan dalam
rangka
peningkatan
kesadaran
Masyarakat masih
melakukan
perambahan
Tabel 43. Perilaku Stakeholders dan Kinerja Pengelolaan HLGD Kab Bone
Bolango Stakeholder Ringkasan Tugas Pokok
(Sesuai Peraturan
Perundangan)
Perilaku Kinerja
15. BKSDA
Sulawesi Utara
Menyelenggarakan
konservasi dan
koordinasi pengelolaan
Hutan Lindung
(Permenhut 02/Menhut-
II/2007)
Belum
melaksanakan
koordinasi
pengelolaan HL
dan konservasi
sumber daya alam
hayati
Belum ada informasi
tentang potensi
keanekaragaman
hayati di HLGD
yang disediakan oleh
BKSDA
16. BPKH Wilayah
XV
Melaksanakan
pengukuhan kawasan
hutan dan menyajikan
informasi tentang
kawasan hutan
(Permenhut 13/Menhut-
II/2011)
Telah
melaksanakan
sebagian besar
tata batas di
kawasan HLGD
Wilayah HLGD yang
ditata batas mencapai
41.18%
107
Lanjutan Tabel 43
Stakeholder Ringkasan Tugas Pokok
(Sesuai Peraturan
Perundangan)
Perilaku Kinerja
17. BP-DAS Bone
Bolango
Melaksanakan
penyusunan rencana
pengelolaan DAS,
pengembangan
kelembagaan dan
evaluasi (P. 15/Menhut-
II/2007)
Belum menyusun
rencana
pengelolaan 2
DAS besar; DAS
Bionga, DAS dan
DAS Bolango
Belum ada kegiatan
pengelolaan di DAS
Bolango
18. Dinas
Kehutanan dan
Pertambangan
Energi Bone
Bolango
Melaksanakan
inventarisasi pemetaan
hutan, penataan batas,
pemberian ijin dan
pengawasan
pemanfaatan kawasan
hutan (Perda 12/2005)
Telah
melaksanakan
sebagian besar
inventarisasi dan
penataan batas
Wilayah HLGD yang
ditata batas mencapai
41.18%
19. Kepala Desa di
Kabupaten Bone
Bolango
Melaksanakan tugas
administrasi
pemerintahan dan
mengembangkan potensi
SDA (PP 72 tahun
2005)
Memungut pajak
hasil bumi kepada
masyarakat
sekitar HLGD
Ada Penerimaan
PAD dari pajak hasil
bumi pemanfaatan
HLGD
20. BAPPEDA
Bone Bolango
Melaksankan
perencanaan
pembangunan daerah
dan kebijakan
perencanaan
pembangunan (Perda
14/2005)
Menyusun
Perencanaan
pembangunan
daerah
Tidak ada
pengawasan terhadap
implementasi
perencanaan
pembangunan
21. Dinas PU Bone
Bolango
Melaksanakan
kewenangan
pembangunan
infrastruktur (Perbup
No19/2011)
Membangun jalan
di desa-desa
disekitar HLGD
Terdapat akses ke
desa-desa sekitar
kawasan HLGD
22. Polisi hutan
Bone Bolango
Melaksanakan
perlindungan &
pengamanan hutan
(Pasal 4 Kemenpan No.
55/M.PAN/2003)
Melaksanakan
patroli jika ada
laporan
pengambilan hasil
hutan secara
illegal dari
pemerintah desa
Masih ditemukan
adanya gangguan
23. DPRD Bone
Bolango
Melaksanakan legislasi,
budgeting dan
pengawasan (Pasal 24
UU 32/2004)
Pengawasan,
legislasi dan
budgeting
terhadap
pemerintah
daerah
Ada kontrol terhadap
kebijakan
pembangunan tetapi
tidak bisa
membatalkan
kebijkan tersebut
108
Lanjutan Tabel 43
Stakeholder Ringkasan Tugas Pokok
(Sesuai Peraturan
Perundangan)
Perilaku Kinerja
24. BLH Bone
Bolango
Melaksanakan
Kebijakan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
(Perda No 10/2010)
Melakukan
pemantauan
terhadap
lingkungan di
HLGD
Terdapat beberapa
papan larangan
disekitar HLGD
25. PDAM Bone
Bolango
Peningkatan pelayanan
air bersih dalam rangka
memaksimalkan PAD
Memperluas
pemasangan
jaringan bersih
untuk penerimaan
PAD
Meningkatnya
Penerimaan PAD
Tabel 42 dan 43 diatas menunjukkan bahwa sebagian perilaku stakeholders
yang terlibat pengelolaan hutan belum sesuai dengan tugas pokok yang ditetapkan
melalui peraturan perundang-undangan. Ini berarti bahwa peraturan pemerintah
yang berlaku tidak mampu mengendalikan perilaku pihak pihak yang terkait
dengan kawasan HLGD. Sebagai contoh sampai saat ini Dinas Kehutanan dan
Pertambangan Energi di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango
belum melaksanakan inventarisasi lengkap dan penataan batas sesuai yang
digariskan oleh peraturan perundangan. Pelaksanaan inventarisasi dan penataan
batas merupakan langkah awal dalam rangka memberikan status hukum bagi
HLGD. Situasi ini menyebabkan pihak-pihak lain yang berada diluar institusi
kehutanan memiliki perilaku oportunisme dan moral hazard yang disebabkan oleh
karakteristik yang menyebabkan sumber interdependensi antar individu atau
kelompok masyarakat dalam penggunaan sumberdaya yaitu biaya transaksi, biaya
ekslusi tinggi, surplus dan inkompatibilitas ekologis dalam pola penggunaan
lahan.
4.5. Perbandingan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Lindung Gunung
Damar di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango
Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini terdapat empat faktor
yang membentuk kelembagaan pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo dan
Kabupaten Bone Bolango yaitu organisasi, hak kepemilikan (property right),
batas yurisdiksi dan aturan representasi. Keempat faktor ini dipengaruhi oleh
situasi atau kondisi sebagai sumber interdependensi. Sebaliknya kelembagaan
109
yang terdapat di HLGD dapat mempengaruhi perilaku stakeholders dan kinerja.
Berdasarkan hasil analisis citra landsat yang mencirikan indikator kinerja
pengelolaan HLGD menunjukkan kelembagaan pengelolaan HLGD di Kabupaten
Bone Bolango lebih baik dibandingkan dengan kelembagaan pengelolaan di
Kabupaten Gorontalo. Adapun perbandingan kelembagaan pengelolaan HLGD di
Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango disajikan dalam Tabel 44:
Tabel 44. Perbandingan Kelembagaan Pengelolaan HLGD di wilayah Kabupaten
Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango Situasi Kabupaten Gorontalo Kabupaten Bone Bolango
I. Situasi Ekologi
1. Tutupan hutan 3793.42 ha (33.93%) 6056.73 ha (67.76%)
2. Tutupan lahan pertanian 4028.29 ha (36.03%) 956.79 ha (10.71%)
3. Semak 345.09 ha (3.09%) 45.57 ha (0.51%)
4. Lahan terbuka 122.65 ha (1.09%) 12.63 ha (0.15%)
II. Situasi Sosial
Ekonomi
Jumlah Penduduk 5907 4029
Jumlah tenaga kerja 2744 1976
Jumlah Desa dalam Kawasan
HLGD
3 Desa: 1) Desa Malahu, 2)
Desa Dulamayo Selatan, 3)
Desa Dulamayo Utara
Tidak ada
Produksi Jagung Sekitar
HLGD (ton/tahun)
6673.14 ton/tahun 3814.19 ton/tahun
Tingkat Pendapatan
(Rp/bulan)
1187923 980188
Rata-rata kepemilikan lahan
(ha)
0.952 1.109
Indeks LQ Sektor Pertanian 2.248 0.930
Daya Dukung 0.355 0.341
Jumlah Penduduk Miskin
(KK)
879 550
Jarak pemukiman dengan
HLGD (km)
0.2 - 1 3 – 4
Komoditas pertanian dan
perkebunan Utama disekitar
HLGD
Cengkih, Kemiri, Langsat,
Durian, Jagung, Aren,
Vanili, Coklat
Kemiri, Kelapa, Coklat,
Jagung,
Tingkat Pendidikan
Responden
SD 79.17%, SMP 6.67%,
SMA 14.17%
SD 85.96%, SMP 8.77%,
SMA 10.53%
110
Lanjutan Tabel 44
III. Organisasi
1. BPKH Aktif Berperan dalam
penataan batas kawasan
Aktif Berperan dalam
penataan batas kawasan
2. BKSDA Belum berperan dalam
konservasi dan koordinasi
pengelolaan kawasan
HLGD
Belum berperan dalam
konservasi dan koordinasi
pengelolaan kawasan
HLGD
3. BP-DAS Belum berperan dalam
pengelolaan wilayah hulu
DAS Bionga
Belum berperan dalam
pengelolaan hulu DAS
Bolango
4. Dinas Kehutanan dan
Pertambangan Energi
Aktif dalam pemanfaatan
HLGD
Aktif dan berperan dalam
pengelolaan HLGD
5. Bidang Tata Ruang Dinas
PU
Berperan dalam penataan
ruang
Berperan dalam penataan
ruang
6. BAPPEDA Berperan dalam
perencanaan pembangunan
Berperan dalam
perencanaan pembangunan
7. Dinas Pertanian dan
Tanaman Pangan
Aktif memberikan bantuan
Saprodi kepada kelompok
tani sekitar HLGD
Tidak aktif
8. Badan Penyuluh
Pertanian
Aktif memberikan
penyuluh
Tidak aktif
9. Badan Lingkungan Hidup Kurang aktif memantau
kualitas lingkungan spesifik
seperti air, erosi dan
sedimentasi
Aktif memberikan
penyuluhan dan
membangun kesadaran
tentang kualitas lingkungan
10. DPRD Berperan dalam legislasi,
penganggaran dan
pengawasan
Aktif dalam legislasi yang
berkaitan dengan
penyelamatan lingkungan
11. PDAM Aktif dalam pemanfaatan
air baku
Aktif dalam pemanfaatan
air baku
12. EGSLP Aktif melaksanakan
pemberdayaan masyarakat
berbasis DAS
Aktif melaksanakan
pemberdayaan masyarakat
berbasis DAS
13. Polisi Hutan Melaksanakan patroli
kawasan 3 bulan sekali
Melaksanakan patroli jika
terjadi gangguan di HLGD
14. Kepala Desa Aktif memberikan
pembinaan dan pengawasan
Aktif memberikan
pembinaan dan pengawasan
15. Tokoh Masyarakat Aktif memberikan
pembinaan dan pengawasan
Aktif memberikan
pembinaan dan pengawasan
16. Universitas Gorontalo Aktif melaksakanakan
penelitian
Tidak aktif
17. LSM Kubu Aktif melaksanakan
advokasi lingkungan
Tidak aktif
18. Masyarakat lokal Aktif memanfaatkan lahan
di dalam dan sekitar HLGD
untuk keperluan subsisten
dan komersial
Aktif memanfaatkan lahan
di dalam dan sekitar HLGD
untuk keperluan subsisten
dan sosial budaya
111
Lanjutan Tabel 44
IV. Batas yurisdiksi
1. Panjang Batas Kawasan
HLGD
31.87 km 45.65 km
2. Panjang tata batas HLGD 4.67 km atau 14.65% 18.8 km atau 41.18%
V. Hak kepemilikan
1. Luas Lahan Konflik 4028.29 ha atau 36.03% 956.79 ha atau 10.71%
2. Jumlah Gangguan 58 kali 14 kali
VI. Aturan representasi Kabupaten Gorontalo Kabupaten Bone Bolango
Biaya koordinasi Tinggi. Stakeholders yang
terlibat dalam pengelolaan
HLGD berjumlah 18
Rendah. Stakeholders yang
terlibat dalam pengelolaan
HLGD berjumlah 43
VII. Kinerja Laju Perubahan Tutupan
HLGD: 46.98%/10 tahun
Laju Perubahan Tutupan
HLGD: 27.36% /10 tahun
Hasil evaluasi dan fakta-fakta yang ditemukan selama penelitian
menemukan beberapa perbedaan kelembagaan pengelolaan HLGD antara
pemerintah Kabupaten Gorontalo dan pemerintah Kabupaten Bone Bolango.
Perbedaan ini tentu saja menghasilkan perbedaan kinerja pengelolaan HLGD.
Adapun perbedaan institusi tersebut dijelaskan berdasarkan hak kepemilikan,
batas yurisdiksi dan aturan representasi.
a. Batas Yurisdiksi
Batas yurisdiksi merupakan batas organisasi dalam melakukan pengelolaan
terhadap sumberdaya. Dalam melaksanakan pengelolaan HLGD maka batas
yurisdiksi pemerintah adalah batas kawasan. Berdasarkan informasi penelaah
pengukuhan kawasan hutan BPKH XV Gorontalo, total panjang kawasan HLGD
adalah 77.52 km dengan batas kawasan terpanjang berada di Kabupaten Bone
Bolango yang mencapai 45.65 km sedangkan Kabupaten Gorontalo mencapai
31.87. Namun demikian total wilayah yang sudah ditatabatas baru mencapai
55.83%. Capaian wilayah yang telah ditata-batas di kawasan HLGD Kabupaten
Gorontalo lebih rendah yaitu 14.65% jika dibandingkan dengan Kabupaten Bone
Bolango yang mencapai 45.65%.
Menurut Suwito (2011) minimnya capaian penaatan batas dan penyelesaian
hak-hak pihak ketiga di dalam kawasan mengakibatkan tumpang tindih hak dan
sering menjadi pemicu konflik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
masyarakat lokal. Situasi ini menunjukkan biaya eksklusi yang ditanggung oleh
112
Pemerintah Kabupaten Gorontalo cukup tinggi jika dibandingkan dengan
Kabupaten Bone Bolango. Faktor utama yang mempengaruhi tingginya biaya
ekslusi adalah luasnya lahan pertanian di dalam kawasan HLGD Kabupaten
Gorontalo yang mencapai 36.03% dibandingkan dengan lahan-lahan pertanian di
dalam kawasan HLGD Kabupaten Bone Bolango yang mencapai 10.71%.
Luasnya lahan pertanian di dalam kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo
disebabkan populasi penduduk yang tinggal di desa-desa sekitar HLGD
Kabupaten Gorontalo lebih besar jika dibandingkan dengan Kabupate Bone
Bolango. Besarnya populasi penduduk cenderung akan meningkatkan permintaan
terhadap lahan. Masyarakat yang tinggal di kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo
cenderung mengganggap lahan-lahan di dalam sebagai sumberdaya terbuka
daripada barang ekslusif sumberdaya milik negara. Dalam situasi dimana
pemanfaatan bersifat tidak kompatibel disertai dengan biaya ekslusi tinggi,
perilaku penunggang gratis (free rider) merupakan fenomena yang mudah
berkembang
b. Hak Kepemilikan
Perbedaan kelembagaan pengelolaan HLGD antara pemerintah Kabupaten
Gorontalo dan Pemerintah Kabupaten Bone Bolango dari aspek hak kepemilikan
terletak pada luasnya lahan konflik, tingginya gangguan di dalam kawasan HLGD
dan kepemilikan lahan di Kabupaten Gorontalo di bandingkan dengan Kabupaten
Bone Bolango. Hal ini menunjukkan pemerintah Kabupaten Gorontalo selaku
pengelola tidak mampu mencegah adanya pihak-pihak yang mengambil
keuntungan tanpa memberikan kontribusi (free rider) terhadap pengelolaan
HLGD. Akibatnya timbul biaya ekslusi tinggi dalam pengelolaan HLGD karena
banyaknya pemanfaatan kawasan HLGD yang tidak sesuai dengan tujuan
pengelolaan hutan lindung Gunung Damar. Menurut Basuni (2003) kepemilikan
sumberdaya hanyalah gugus kosong apabila biaya untuk mencegah pihak lain
memanfaatkan sumberdaya yang bersangkutan jauh lebih besar dari nilainya.
Konsep kepemilikan dengan strata lengkap yang dimiliki oleh pemerintah di
kawasan HLGD seperti hak memasuki, hak memanfaatkan, hak mengelola, hak
mengecualikan dan hak memindahtangankan tidak sepenuhnya dapat
113
dilaksanakan. Situasi seperti ini mengakibatkan hak kepemilikan dalam
pengelolaan HLGD tidak berfungsi secara efektif.
Mengatasi masalah tersebut, perlu diciptakan sebuah kebiasaan baru yaitu
pemberian hak khusus kepada masyarakat di dalam kawasan hutan lindung yang
telah terlanjur melakukan perambahan. Hak penggunaan secara khusus hanya
diberikan pada lahan-lahan pertanian yang telah dirambah dan menjadi satu-
satunya sumber kehidupannya. Hak khusus tersebut adalah hak memasuki (acces),
hak menggunakan (withdrawal), hak kelola (management) dan hak mengeluarkan
(exclusion). Hak khusus yang diberikan ini tidak bisa diperjualbelikan. Pemberian
hak khusus sebaiknya diberikan pada kelompok kecil dan keanggotaan terdefinisi
dengan jelas agar lahir aksi bersama. Kawasan kelola terbatas harus dipetakan
secara jelas dan luasannya memenuhi prinsip prinsip daya dukung. Menurut
Agrawal (2001) kunci sukses kelembagaan untuk pengelolaan CPR terletak pada
keanggotaan kelompok terdefinisikan dengan jelas, ukuran kelompok kecil,
terdapat batas-batas wilayah pengelolaan, kemudahan dalam monitoring, ada
sanksi hukum dan kedekatan lokasi pengguna dengan sumberdaya. Selanjutnya
Kartodihardjo (2006) menambahkan kelembagaan untuk pengelolaan CPR harus
mempertimbangkan beberapa prinsip yaitu penetapan batas-batas alokasi
sumberdaya alam, terdapat pemantauan, sanksi, penyelesaian konflik, terdapat
pengakuan oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi dan teknologi yang
digunakan dan cara pemanfaatannya. Kegiatan pemberian hak harus diikuti
dengan upaya peningkatan pendidikan dan peningkatan kesempatan berusaha.
Melalui kegiatan ini diharapkan kualitas dan kapasitas masyarakat di desa-desa
sekitar HLGD akan meningkat sehingga performance pengelolaan HLGD menjadi
lebih baik
c. Aturan Representasi
Aturan representasi mengatur siapa yang berhak terlibat dalam proses
pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya
ditentukan oleh kaidah-kaidah keterwakilan. Secara umum pengelolaan HLGD
didominasi oleh keterwakilan pihak pemerintah dan pemerintah daerah dan
peluang keterlibatan masyarakat sekitar HLGD kecil. Dominasi pemerintah dalam
pengelolaan hutan lindung bisa dilihat dari keputusan dan kebijakan yang
114
dikeluarkan oleh pemerintah bersifat sangat teknis dan saintifik murni. Hal ini
tentusaja sangat menyulitkan masyarakat yang tinggal dikawasan HLGD untuk
berpartisipasi mengingat pendidikan masyarakat hanya tamatan sekolah dasar.
Pelibatan pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan cenderung diskriminatif,
karena pemerintah daerah seringkali hanya mengakui dan melibatkan kelompok-
kelompok organisasi masyarakat sipil yang berbadan hukum formal. Hal ini
menyebabkan organisasi masyarakat di tingkat lokal dan atau organisasi yang
tidak berbadan hukum misalnya asosiasi petani lokal asosiasi masyarakat adat-
tidak dilibatkan dalam proses-proses pembuatan kebijakan, perencanaan,
pengelolaan dan evaluasi pembangunan kehutanan. Padahal peran mereka sebagai
organisasi sosial, ekonomi dan budaya sangat kongkrit dan berdampak langsung
pada peningkatan kesejahteraan baik secara ekonomi, sosial maupun budaya.
Pengelolaan HLGD di wilayah di Kabupaten Gorontalo melibatkan
stakeholders lebih banyak yaitu 18 stakeholders jika dibandingkan dengan
stakeholders Kabupaten Bone Bolango yang hanya berjumlah 14 stakeholders.
Beragamnya stakeholders yang terlibat dan berkepentingan dengan HLGD bisa
menyebabkan semakin kompleksnya pengelolaan dan tingginya biaya koordinasi.
Biaya koordinasi yang ditimbulkan terdiri dari biaya sosialiasi, pertemuan,
pengawasan dan pencarian informasi. Tingginya biaya koordinasi menunjukkan
ketidakefisienan kelembagaan yang ada, dan ketidakjelasan struktur kebijakan
baik di tingkat lokal maupun nasional. Oleh karena itu diperlukan suatu
mekanisme yang efisien dalam menurunkan biaya transaksi. Salah satu yang bisa
dilakukan adalah menyerahkan sepenuhnya pengelolaan HLGD kepada
pemerintah daerah. Menurut Ostrom et al. (1993) dan Mody (2004) Penyerahan
kewenangan kepada pemerintah daerah dalam semangat desentralisasi akan
meminimalkan biaya transaksi dan memudahkan perencanaan karena adanya
kedekatan pengambilan keputusan dengan masalah yang dihadapi dan mendorong
partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan. Menurut Basuni (2003)
Penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah harus disertai dengan
pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia. Pemerintah daerah
harus berfungsi sebagai fasilitator dan mengkoordinir semua multistakeholder
untuk mengurangi biaya koordinasi. Dalam menjalankan fungsi sebagai fasilitator
115
dan koordinator stakeholders, pemerintah daerah dapat memanfaatkan
kelembagaan yang aktif dalam masyarakat, dengan demikian dapat meningkatkan
peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan. Untuk lebih
meningkatkan partisipasi masyarakat perlu dilakukan perubahan pada mekanisme
pengambilan keputusan. Masyarakat sekitar kawasan HLGD perlu dilibatkan
dalam pengambilan keputusan mulai dalam tahap perencanaan sampai dengan
tahap evaluasi