judul rancang bangun sarana niaga...
TRANSCRIPT
0
LAPORAN PENELITIAN UNGGULAN
JUDUL RANCANG BANGUN SARANA NIAGA BERMOTOR RODA DUA
UNTUK WIRAUSAHA KULINER KELILING KOTA BANDUNG MELALUI KAJIAN ERGOKULTURAL SUNDA
SK REKTOR ITENAS NO: 161/B.06.01/Rektorat/Itenas/IV/2013
OLEH:
EDI SETIADI PUTRA
LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL
2013
1
HALAMAN PENGESAHAN
PENELITIAN HIBAH BERSAING
Judul Penelitian : Rancang Bangun Sarana Niaga
Kuliner Untuk Wirausaha Kuliner Keliling Kota Bandung Melalui Kajian Ergokultural Sunda
Ketua Peneliti
a. Nama : Edi Setiadi Putra, Drs,.M.Ds b. NIDN : 0409086501 c. Jabatan Fungsional : Lektor/3D d. NIP/NPP : 00 08 04 e. Program Studi/Jurusan/Fak : Desain Produk/Desain Produk/FSRD f. Nomor HP : 0853 1444 7737 g. Alamat surel(e-mail) : [email protected]
Lama Penelitian Keseluruhan : 8 (delapan) bulan Biaya Penelitian : 13.750.000 (Tiga belas juta tujuh ratus
lima puluh ribu rupiah)
Bandung, 30 November 2013
Ketua Peneliti:
Edi Setiadi Putra, Drs.,M.Ds NIDN: 04090865
Menyetujui
Ketua Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Teknologi Nasional
Dr. Dewi Kania Sari, Ir.,M.T. NIDN: 0407096502
2
ABSTRAK (RINGKASAN)
Kegiatan niaga kuliner yang mempergunakan fasilitas kendaraan bermotor semakin populer di Kota Bandung, dimana Berbagai perusahaan kuliner besar pada umumnya memiliki unit pelayanan pengiriman (delivery unit service) untuk pelanggan yang menggunakan fasilitas pemesanan secara online, baik mempergunakan internet, telepon dan SMS. Program layanan pesan-antar (delivery orders) ini, mempergunakan fasilitas kendaraan bermotor (mobil dan sepedamotor) yang dirancang khusus sesuai citra identitas perusahaan, dengan kemampuan jelajah luas yang menjangkau seluruh pelosok Kota Bandung.
Prospek bisnis kuliner keliling yang mempergunakan sepedamotor, juga berkembang dalam bentuk pelayanan jual-beli langsung (direct services). Berbagai jenis kuliner telah diperdagangkan secara langsung ke tempat pelanggan, terutama yang berdomisili di kawasan pelosok yang tidak dapat dilalui kendaraan beroda empat dan gerobak niaga. Perkembangan kawasan hunian di Kota Bandung yang kini meluas ke area dataran tinggi seputar kota, telah membuat bisnis niaga kuliner keliling bersepedamotor semakin meningkat, baik dari jumlah armada maupun jenis kulinernya. Sepedamotor merupakan fasilitas yang cukup memadai untuk bisnis niaga kuliner keliling, karena selain mampu menjelajah area yang luas juga dapat menjangkau kawasan sempit, terjal dan curam.
Pada saat ini, wirausaha niaga kuliner keliling mempergunakan fasilitas niaga pada sepedamotor, yang dirancang dan dibangun sendiri tanpa memperhatikan kaidah ergonomis, higienis dan estetika. Beberapa sarana niaga kuliner bersepedamotor yang ada, kondisinya sangat memprihatinkan, bersifat sementara dan darurat. Keadaan ini mengandung risiko kecelakaan bagi pengguna kendaraan maupun masyarakat di sekitarnya.
Sebagian besar wirausaha niaga kuliner keliling mengharapkan adanya fasilitas niaga yang baik dan benar. Dimana fasilitas niaga tidak saja harus bersih dan sehat, tetapi juga harus praktis, mudah, dan nyaman dipakai. Fasilitas niaga kuliner juga diharapkan dapat menarik minat pembeli/pelanggan, sebagai suatu atraksi budaya kuliner yang bernilai luhur, karena kuliner merupakan salah satu wujud budaya yang lestari. Dengan demikian fasilitas niaga yang sesuai dengan nilai-nilai budaya Sunda bagi masyarakat Kota Bandung dan sekitarnya merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting.
Konsep nilai budaya Sunda yang relevan dengan sistematika operasional niaga kuliner, dapat diperoleh dari kebiasaan masyarakat Sunda dalam memperlakukan ekosistem, mempersiapkan dan mengolah makanan, menyuguhkan makanan-minuman, mengemas penganan, memperlakukan tamu atau pelanggan, mengelola kedai, serta dalam beragam olah pakan buhun sebagai suatu patikrama atau aturan adat budaya.
Kolaborasi sinergis antara nilai-nilai kultural dan kaidah ergonomi memunculkan konsep ‘Ergonomic-Cultural’ atau Ergokultur, yaitu konsep tata cara kerja yang relevan dengan nilai-nilai budaya. Implementasi nilai-nilai filosofis dalam ergokultur khas Sunda untuk peningkatan kualitas tataniaga kuliner keliling, diharapkan dapat meningkatkan popularitas, produktivitas dan prospektivitas bisnis kuliner keliling sebagai bagian dari perkembangan budaya, sehingga sarana niaga kuliner keliling bersepedamotor pun merupakan salah satu fasilitas utama yang berpotensi penting dalam rangka mengembangkan budaya kuliner yang sehat, bersih dan berkualitas tinggi bagi masyarakat luas.
Kata kunci : Kuliner, Sunda, Ergokultural
3
PRAKATA
Puji dan syukur senantia saya panjatkan kehadirat Allah SWT, serta ucapan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada LP2M (Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan
Masyarakat) Institut Teknologi Nasional yang telah memberikan kesempatan dan dukungan
biaya untuk melaksanakan penelitian yang bertajuk : “Rancang Bangun Sarana Niaga
Bermotor Roda Dua Untuk Wirausaha Kuliner Keliling Kota Bandung Melalui
Kajian Ergokultural Sunda”.
Penelitian ini adalah merupakan langkah yang cukup penting untuk menemukan
hakikat ergokultural Sunda, sebagai inspirasi dalam proses perancangan dan pembuatan
prototipe sarana niaga kuliner untuk wirausaha kuliner keliling. Prospek sarana niaga
bernuansa budaya Sunda pada suatu produk transportasi modern, merupakan salah satu
gambaran kolaborasi unik yang dapat memicu daya tarik aktivitas usaha niaga kuliner
keliling.
Konsep kolaborasi unsur fungsionalisme dari sarana transportasi (sepedamotor)
yang terpadu baik dengan unsur estetika dan filosofi Sunda, merupakan sinergi yang
mengusung sarana niaga kuliner bersepedamotor sebagai produk budaya, yang
keberadaannya patut dikembangkan dan dilestarikan. Sebab pada saat ini, masyarakat umum
masih terpaksa menggeluti bisnis kuliner yang sarat dengan nilai-nilai budaya dengan tata
cara yang kurang layak, yaitu rentan terhadap risiko kesehatan dengan tata cara kerja yang
cukup berbahaya.
Ucapan terimakasih juga disampaikan untuk dukungan civitas akademika Itenas,
rekan-rekan peneliti, dan para responden masyarakat wirausaha niaga kuliner keliling, serta
masyarakat penggemar kuliner di Kota Bandung dan sekitarnya.
Bandung, 30 November 2013
Peneliti,
Edi Setiadi Putra
4
DAFTAR ISI Lembar Pengesahan .................................................................................................. 1 Ringkasan (abstrak) ................................................................................................... 2 Prakata ....................................................................................................................... 3 Daftar Isi .................................................................................................................... 4 BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 5 1.1. Latar Belakang ................................................................................................... 5 1.2. Tujuan ............................................................................................................... 7 1.3. Urgensi Penelitian .............................................................................................. 7 1.4. Target Temuan Inovasi ...................................................................................... 8 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 9 2.1. Sejarah Perkembangan Budaya Pesan Antar ..................................................... 9 2.2. Prinsip Kuliner Cepat Saji di Indonesia ............................................................ 13 2.3. Kendaraan Bermotor Roda Dua Dalam Bisnis Kuliner Keliling ....................... 14 2.4. Konsep Pendekatan Budaya Dalam Bisnis Kuliner Keliling ............................ 21 2.5. Peluang Pendekatan Ergokultur Kuliner Sunda ................................................ 24 BAB III. METODE PENELITIAN ....................................................................... 30 3.1. Prinsip Metodologi Penelitian Etnografis ......................................................... 30 3.2. Konsep Alur Penelitian Etnografis Ergokultural ............................................... 31 3.3. Metode Pendekatan Ergokultural Kuliner Sunda .............................................. 36 3.4. Analisis Data Etnografis ................................................................................... 36
3.4.1. Karakteristik bisnis kuliner keliling di Kota Bandung ........................... 36 3.4.2. Jenis kuliner dan prinsip manajemen kuliner keliling ........................... 38 3.4.3. Komparasi desain sarana niaga kuliner keliling .................................... 40 3.4.4. Identifikasi permasalahan ergonomi dan kultural (ergokultur) .............. 43
3.5. Konsep dan Implementasi Nilai Budaya Sunda ................................................ 54
BAB IV. DESAIN SARANA NIAGA KULINER KELILING ........................... 62 4.1. Konsepsi Penerapan Ergokultural Sunda .......................................................... 62 4.2. Konsep Desain Produk ..................................................................................... 67
4.2.1. Filosofi desain ........................................................................................ 67 4.2.2. Aspek-aspek pertimbangan desain ........................................................ 68 4.2.3. Batasan desain ....................................................................................... 70 4.2.4. Sasaran desain ........................................................................................ 70 4.2.5. Kriteria desain ........................................................................................ 70 4.2.6. Spesifikasi desain .................................................................................. 71 4.2.7. Citra desain ............................................................................................ 74
BAB V. PENUTUP .................................................................................................. 76 5.1. Kesimpulan ....................................................................................................... 76 5.2. Saran .................................................................................................................. 76 Daftar Pustaka ........................................................................................................... 77
5
BAB I . PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di Kota Bandung yang pada masa kini dikenal sebagai ‘kota wisata kuliner’
dan ‘kota wisata belanja’, telah terjadi permasalahan kesemerawutan, yang
disebabkan oleh maraknya pedagang kaki lima (PKL). PKL adalah pedagang yang
melakukan usaha perdagangan di sektor informal yang mempergunakan fasilitas
umum, baik di lahan terbuka maupun tertutup dengan mempergunakan peralatan
bergerak maupun tidak bergerak. (Lembaran daerah Kota Bandung No.4 tahun 2010:
Perda Nomor 04 Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki
Lima).
Permasalahan kesemerawutan kota yang mengakibatkan kemacetan lalu lintas,
kekumuhan dan ketidaknyamanan lainnya, memaksa Pemerintah Kota Bandung
melakukan langkah pembenahan kota, yaitu melalui: (1) relokasi PKL pada lahan
niaga yang dipersiapkan khusus, (2) revitalisasi pasar tradisional untuk mengimbangi
laju pertumbuhan PKL, (3) mengembangkan konsep ‘belanja tematik’ di beberapa
kawasan, dimana PKL dihimpun sebagai bagian inheren dari suatu tema pusat
perbelanjaan khusus, (4) mengembangkan konsep ‘festival’ yaitu penempatan PKL
berdasarkan pelaksanaan event-event tertentu di Kota Bandung, dan (5)
mengembangkan konsep ‘Pujasera’ (pusat jajan serba ada) yaitu penempatan
beragam PKL kuliner atau penjual makanan/masakan di suatu lokasi.
Pada Perda No.04 tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan PKL,
disebutkan bahwa karakteristik PKL adalah para pedagang yang: (1) menggunakan
perlengkapan dagang dengan cara bongkar-pasang (knocked down) dan mudah
dipindahkan (moveable). (2) terpaksa menggunakan bagaian jalan, trotoar, dan atau
tempat lain yang untuk kepentingan umum (public area) yang bukan untuk tempat
6
berdagang secara tetap atau permanen. Dengan demikian, PKL kuliner pada
umumnya mempergunakan sarana niaga (berdagang) berupa: (a) tenda makanan, (b)
gerobak dorong atau pikulan, dan (c) lesehan (ngampar atau deprokan).
Di Kota Bandung terdapat pusat-pusat ‘pujasera’ yang terdiri dari PKL yang
membawa gerobak dorong untuk mendirikan tenda bongkar-pasang yang beroperasi
sesuai batasan waktu tertentu. Di luar itu, juga terdapat jenis PKL kuliner yang
menggunakan gerobak dorong, pikulan, sepeda, sepeda motor, sepedamotor roda tiga
dan mobil, yang menjelajah seputar Kota Bandung dan sekitarnya. Menurut data
APKLI (Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia) 2012, niaga kuliner yang
mempergunakan sepeda motor meningkat tajam mencapai angka pertumbuhan 12%
pertahun, sehingga pada awal tahun 2012 diperkirakan mencapai angka 10.000an
PKL. Jika diukur dari peningkatan jumlah penjualan sepeda motor komuter di Kota
Bandung, yang mencapai lebih dari 8% per tahun, maka kemungkinan pertumbuhan
PKL yang mempergunakan sepeda motor akan lebih dari perkiraan sebelumnya.
Data akurat belum dapat divalidasi karena sebagian pedagang kuliner yang
mempergunakan sepedamotor tidak tergabung dengan asosiasi atau koperasi usaha.
Di luar dari permasalahan kesemerawutan kota yang diakibatkan oleh PKL
baru atau ‘liar’ yang melanggar Perda Kota Bandung, PKL kuliner yang
mempergunakan sepeda motor telah berkembang menjadi fenomena baru. Ragam
kuliner bergerak ke seluruh pelosok kota dan wilayah di luar kota Bandung setiap
saat, tanpa khawatir dituduh sebagai biang kekumuhan kota, yang selama ini
ditujukan pada PKL yang membuka warung tenda di tempat sembarangan.
Fenomena unik dari niaga kuliner bersepeda motor, terlihat dari ragam saji
kuliner yang dibawa berkeliling dengan desain sarana niaga yang sangat sederhana,
bahkan cenderung asal jadi atau asal bisa, sehingga tampilan dan kondisinya sangat
7
memprihatinkan karena cenderung berpotensi menimbulkan kecelakaan fatal baik
bagi pedagang yang merangkap pengemudi (user) maupun warga masyarakat lain di
sekitarnya berada.
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi terhadap pemerintah
kota mengenai kelayakan sarana niaga PKL (wirausaha) kuliner keliling yang
mempergunakan sepeda motor, sehingga relevan dengan kebutuhan tatakota, karena
merupakan penjabaran atau implementasi pembinaan dan penataan PKL berdasar
Perda No.04/Tahun 2011 tentang Penataan dan pembinaan PKL di Kota Bandung,
Permendagri Nomor 41 tahun 2012 tentang pedoman penataan dan pemberdayaan
pedagang kaki lima, serta relevan dengan UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu
Lintas Angkutan Jalan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55
Tahun 2012 tentang Kendaraan.
Penelitian ini merupakan implementasi ilmu terapan desain produk yang
bermuara pada keberadaan produk sarana niaga yang berdampak ekonomi bagi para
wirausaha ekonomi kecil dan pemerintah kota, melalui pendekatan ergonomi dan
budaya.
1.3. Urgensi penelitian
Penelitian ini diperlukan untuk memahami perkembangan fenomena
peningkatan wirausaha atau PKL kuliner bersepeda motor, sehingga dapat
dikembangkan kemudian sebagai komponen potensial dalam meningkatkan
kesejahteraan perekonomian masyarakat. Melalui kajian yang terpokus pada
pemahaman budaya setempat dan kaidah norma ergonomi yang menjamin
8
produktivitas, efektivitas kerja dan efisiensi usaha, diharapkan diperoleh gambaran
lengkap tentang sarana niaga kuliner bersepedamotor yang baik dan benar.
1.4. Target temuan inovasi
Bahwa penelitian ini merupakan multidisiplin yang mengarah pada
pemahaman optimalisasi kebutuhan aktivitas pedagang kuliner bersepedamotor
berdasarkan konsekuensi kaidah ergonomi dan nilai budaya Sunda yang paduan
kolaboratifnya dikemas dalam istilah ergokultural Sunda. Kolaborasi antara kedua
hal ini, diyakini dapat melahirkan beberapa wawasan keilmuan yang baru.
Target temuan inovatif yang diharapkan dicapai adalah diperolehnya desain
sarana niaga yang ergonomis-kulturalis Sunda, yang berwawasan lingkungan atau
relevan dengan aturan pemerintah kota, sehingga berupa triumvirate atau trigatra
yang sinergis seperti tergambar pada skema di bawah ini:
Gambar 1.
Trigatra sinergi harmonis antara manusia-produk-lingkungan
Harmoni produk dengan lingkungan kerja (work environment) dan SOP /aturan (rules) pemerintah kota.
Harmoni produk dengan budaya kerja (ergonomic-cultural), perilaku manusia dan faktor manusia dalam desain produk
Harmoni manusia dengan lingkungan kerja (work environment) dan SOP /aturan (rules) pemerintah kota.
Produk Sarana Niaga
Kuliner
Lingkungan Kerja :
Aturan & SOP, Budaya
Manusia Pengguna
Produk
9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Perkembangan Budaya Pesan Antar
Penelitian atau materi kajian yang terkait dengan penggunaan sepeda motor
sebagai fasilitas utama dalam niaga kuliner keliling, belum ada yang membahasnya
secara komprehensif, hal ini ditunjukkan dari kurangnya literatur dan minimnya hasil
penelitian yang relevan baik dalam jurnal maupun jurnal online.
Prospek usaha niaga kuliner dengan mempergunakan fasilitas kendaraan
bermotor roda dua dimulai di Amerika Serikat, yang ditandai dengan
berkembangnya industri makanan cepat saji (fast food). James N Klapthor (2003)
menyebutkan industri makanan cepat saji USA adalah yang terbesar di dunia, karena
di setiap pelosok kota terdapat aneka industri makanan dan gerai makanan yang siap
santap, untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Amerika Serikat yang
menginginkan kecepatan pelayanan (fast service) dari menu-menu makanan siap
santap (ready to eat) yang tersedia.
Gerai-gerai makanan cepat saji khas Amerika Serikat di seluruh dunia, seperti
Pizza Hut, McDonald, Kentucky Fried Chicken
Beberapa contoh desain fasilitas pesan antar dari beberapa pelopor makanan
cepat saji:
, dan lain sebagainya, merupakan
pelopor pelayanan cepat bagi semua pelanggan di mana pun berada. Melalui sistem
pelayanan pesan antar (delivery order service), industri kuliner cepat saji tersebut
menyediakan armada pengiriman pesanan secara cepat, dengan mempergunakan
sepeda dan sepedamotor yang cenderung dapat menembus kemacetan lalu-lintas
yang biasa terjadi di kota-kota besar.
10
Gbr.2 .KFC Delivery Service (www.sweetater.blog.com)
Gbr.3. McDonald Delivery order (www.sweetater.blog.com)
Gbr.4. Pizza Hut Delivery (qatariadventures.blogspot.com)
Gbr. 5. Armada Delivery Service (rightinfrontofme.wordpress.com)
Peranan unit pelayanan pesan-antar yang sangat penting dalam bisnis makanan
cepat saji, telah memacu peningkatan kinerja usaha yang sangat tinggi, karena
pelanggan dan konsumen memperoleh pelayanan cepat yang serba praktis.
Pelanggan dapat menghubungi gerai cepat saji untuk memesan makanan atau
minuman untuk diantar langsung ke tempat dimana pelanggan berada. Seperti
tampak pada ilustrasi di bawah ini:
Gambar. 6
Ilustrasi prinsip pesan antar (delivery order services)
Pesan (order by phonecell, videophone)
Antar (delivery service) Gerai Cepat Saji (Resto Fastfood)
Pelanggan (customer)
11
Menurut Klapthor (2003) dan Sarah Boslaugh (2010), tingginya konsumsi
makanan cepat saji telah memicu masalah kesehatan, dimana selama periode 1980
sampai 1990an, asupan kalori warga Amerika Serikat telah meningkat 24%
menimbulkan fenomena yang mereka sebut dengan ‘wabah obesitas Amerika’
(American Obesity Epidemic). Permasalahan yang muncul di Amerika ini,
merupakan hal yang sangat berharga bagi masyarakat lainnya, sehingga gerai-gerai
makanan cepat saji ala timur (Chinese food, Korean food, Japanese food, Indonesian
food) yang dikenal lebih sehat, bermunculan sebagai alternatif makanan cepat saji
yang memuat unsur lokal. Konsep lokalitas pada produk global merupakan
fenomena paska globalisasi yang marak di berbagai belahan dunia. Beberapa contoh
sarana niaga makanan cepat saji dari timur:
Gbr.7.Japanese Food Hokben (www.cikarang biz.com)
Gbr.8. Joey Malays Pizza (fickr.com)
Gbr.9. Chinese Pizza (www.q2hoo.com)
Gbr.10. Bakso Malang Indonesia (www.pelapak.com)
12
Implementasi unsur budaya lokal pada desain sarana pengiriman kuliner
dimulai di Jepang sejak kebangkitan kembali negara itu setelah mengalami
kekalahan Perang Asia Timur Raya. Kebangkitan nasionalisme Jepang telah
memunculkan beragam desain gerai cepat saji dan sarana pengiriman bergaya
Jepang.
Nilai-nilai budaya Jepang yang dilestarikan melalui penerapan citra (image)
tentang eksotisme Jepang dalam desain penutup sarana pesan antarnya, yang
menggunakan ciri atap rumah adat Jepang. Visualisasi budaya Jepang pada produk
tersebut dapat menunjukkan bahwa produk tersebut terkait erat dengan visualisasi
estetika dari budaya Jepang.
Upaya ini mengalami keberhasilan luar biasa, dimana banyak waralaba
bermerk Jepang akhirnya bertebaran di seluruh penjuru dunia. Pola ini kemudian
diikuti oleh negara-negara lainnya, seperti China, Korea, dan beberapa negara Eropa.
Gambar 11.
Contoh beberapa karakter produk sarana niaga keliling di Indonesia Produksi di dalam negeri oleh PT. Fc.Fiberglass
(www.fcfibreglass.com)
Konsep waralaba makanan cepat saji ini berpengaruh terhadap kebangkitan
inspirasi wirausaha di Indonesia untuk mengembangkan kuliner lokal sebagai
makanan cepat saji yang sesuai dengan lidah dan citarasa masyarakat Indonesia.
13
2.2. Prinsip Kuliner Cepat Saji di Indonesia
Beberapa wirausaha PKL (Pedagang Kaki Lima) yang mengembangkan
kuliner lokal cepat saji, menggunakan beberapa konsep penjualan makanan cepat saji
mengikuti sistem waralaba, dimana terdapat pusat pengelola yang menjadi pangkalan
atau pool, sebelum semua personalnya beredar di seluruh pelosok kota.
Gambar 12
Area jelajah niaga kuliner keliling
Bisnis kuliner cepat saji di Indonesia, terdiri dari 4 (empat) katagori, yaitu:
1. Restoran cepat saji (Fastfood Restaurant) dengan pelayanan pesan antar
(delivery order service). Jenis ini adalah serupa dengan yang berkembang di
beberapa kota besar di dunia, yaitu berupa waralaba (franchise) dari beberapa
perusahaan kuliner multinasional, misalnya: Restoran Mac Donald, Pizza Hut,
KFC (Kentucky Fried Chicken), Hoka-hoka Bento, dan masih banyak lagi.
Armada pelayanan pesan antar dari restoran waralaba ini, pada umumnya
mempergunakan sepedamotor, dengan sarana bawa produk kuliner yang
dirancang khusus.
2. Restoran lokal dan koperasi kuliner dengan pelayanan pesan antar.
Beberapa bisnis kuliner lokal memiliki unit pelayanan pesan antar seperti
waralaba multinasional, namun beberapa berbeda dalam sistem pelayanannya,
yaitu berupa antaran (delivery) dari pusat ke cabang, atau dari restoran ke
14
berbagai lokasi pujasera, lokasi pesta dan antaran makan siang harian di berbagai
tempat. Bisnis ini pada umumnya berbentuk katering.
3. Koperasi kuliner dengan armada kuliner keliling. Koperasi usaha kuliner
keliling terdiri dari beberapa jenis kuliner yang dipersiapkan oleh koperasi
sebagai pusat pengolahan, yang kemudian dikemas khusus untuk disebarkan ke
seluruh penjuru kota dengan mempergunakan sepedamotor, sepeda, dan gerobak
dorong.
4. Wirausaha kuliner mandiri. Merupakan jenis usaha yang dilakukan perorangan
atau home industri. Para wirausaha kuliner mempersiapkan jenis kuliner masing-
masing setiap harinya, untuk disebarkan ke seluruh pelosok kota dengan
mempergunakan pikulan, sepeda, sepedamotor dan gerobak dorong.
2.3. Kendaraan Bermotor Roda Dua Untuk Kuliner Keliling
Wirausaha niaga kuliner bersepedamotor yang berkeliling kota tanpa pesanan
dari konsumen, dengan prinsip ‘jemput bola’ atau mengejar konsumen ke pusatnya
atau dimana konsumen berdomisili, termasuk dalam katagori PKL kuliner yang
bergerak, seperti tercantum dalam Perda No.04/Tahun 2011 Tentang Penataan dan
Pembinaan PKL di Kota Bandung.
Gambar 13
Area jelajah pergerakan pedagang
Penggunaan berbagai jenis sarana niaga keliling, pada dasarnya disesuaikan
dengan area jelajah dan kapasitas yang diperlukan. Sepedamotor merupakan
15
kendaraan yang banyak dipakai pedagang untuk menjangkau konsumen yang berada
di kawasan yang jauh dari pusat-pusat perniagaan, atau yang berdomisili di wilayah
yang sulit dijangkau oleh sarana lain.
Gambar 14
Berjualan sayur mayur dengan sepedamotor (sumber: www.cuperduki.com)
Gambar 15
Berjualan bubur ayam dengan sepedamotor sport (sumber: www.loserkidband.blogspot.com)
Penelitian yang dilakukan oleh Neni Yulianita dan M.E. Fuady (2005) tentang
opini komunitas warga Kota Bandung yang berada di sekitar aktivitas PKL,
menunjukkan adanya keprihatinan warga kota atas maraknya PKL yang mangkal di
16
suatu tempat publik, yang ternyata berdampak pada rusaknya unsur 7 K, yaitu:
keamanan, ketertiban, ketenangan, kenyamanan, keindahan, kebersihan dan
keramahtamahan, sehingga merusak tatanan kehidupan budaya kota (urban culture)
yang mengusung prinsip “Genah Merenah Tumaninah” sebagai semboyan
berkehidupan layak di Kota Bandung.
Penelitian mereka menunjukkan adanya variasi pendapat yang menyebabkan
tidak dapat ditarik kesimpulan atau kecenderungan yang pasti, karena bersifat sangat
relatif yang bergantung pada persepsi yang didasari pengalaman masing-masing
responden dalam berinteraksi dengan para PKL, baik yang mangkal maupun yang
berkeliling.
Pada masa ini, usaha kuliner keliling bersepedamotor yang secara berkala
mangkal di area publik yang terlarang untuk dipergunakan berjualan, telah menjadi
PKL yang harus ditertibkan dan diberikan wawasan K3. Seperti tampak pada gambar
berikut :
Gbr.16. Mangkal di area publik (www.poskotanews.com)
Gbr.17. Penertiban oleh Satpol PP (www.manteb.com)
Permasalahan pedagang kuliner keliling yang mempergunakan kendaraan
bermotor (seperti bersepedamotor atau mobil) atau kendaraan tak bermotor (seperti:
sepeda, becak dan gerobak) pada dasarnya tidak sama dengan permasalahan PKL
(Pedagang Kaki Lima) yang mangkal di suatu tempat. Permasalahan yang muncul
17
akibat dari penggunaan sepedamotor untuk berdagang kuliner keliling, sebagai
berikut:
1. Pedagang sulit mengendalikan sepedamotornya yang membawa beban
sangat besar (overweight atau overload), karena keseimbangan kendaraan
terganggu. Keadaan inilah yang sangat memberikan gangguan kepada
pengendara lain di sekitarnya. Risiko kecelakaan jauh lebih tinggi bila kita
berkendaan di lokasi yang dekat dengan pedagang kuliner keliling
bersepedamotor.
Gbr.18.
Volume sarana niaga yang besar memunculkan risiko kecelakaan (www. Pelapak.com dan www.endofiberglass.com)
Gbr.19.
Risiko kecelakaan dari beban berlebihan
Pada dasarnya para pedagang kuliner keliling ini menyadari betapa merepotkan
membawa beban berlebih setiap harinya, terlihat dari adanya upaya untuk
18
mengurangi bobot dengan mengurangi jumlah peralatan tableware yang biasanya
dibawa sebagai bagian dari pelayanan kepada konsumen.
2. Pedagang kuliner keliling mengalami kesulitan atau risiko kecelakaan pada
saat menanjak atau menurun, karena beban yang dibawa memberikan
gangguan yang mengakibatkan kondisi kendaraan tidak stabil.
Gambar.20 Ilustrasi posisi berkendara pada tiga situasi (datar, naik, turun)
Dan pada lokasi jalan berlubang dan berpolisitidur
3. Pedagang kuliner keliling yang menggunakan kendaraan sepedamotor sport,
mengalami kesulitan besar jika harus berhenti dan turun dari sepedamotornya,
karena kakinya harus dapat melewati lokasi sarana niaga yang terpasang di
belakang sepedamotornya.
Gambar.21 Ilustrasi kesullitan naik dan turun pada sepedamotor jenis sport
19
4. Pedagang kuliner keliling yang menggunakan kendaraan sepedamotor komuter
yang tangki BBMnya berada di bawah jok, memiliki kesulitan besar ketika harus
mengisi BBM. Ia harus membongkar dulu sarana niaganya terlebih dahulu, dan
memasangnya kembali ketika tangki telah terisi.
Gambar.22 Ilustrasi kesulitan mengisi BBM di bawah jok sepedamotor komuter
5. Pedagang kuliner keliling memiliki kekhawatiran yang sangat besar terhadap
bahaya kebakaran atau kecelakaan yang diakibatkan membawa kompor menyala
dan aktivitas memasak kuliner pada kendaraannya.
Gambar.23 Ilustrasi risiko kecelakaan kebakaran
Penggunaan kendaraan bermotor untuk berniaga keliling, telah
dipertimbangkan oleh negara dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 22
20
Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Peraturan Pemerintah
Nomor 55 Tahun 2012 Tentang Kendaraan. Kedua referensi ini memuat ragam
aturan tentang penggunaan sepedamotor dari berbagai hal, terutama yang
menyangkut masalah keselamatan berkendara (safety riding), keselamatan
berlalulintas (safety traffic), dan berbagai ketentuan tentang spesifikasi teknis
sepedamotor.
Aturan tentang sarana niaga kuliner keliling yang ditempelkan pada
sepedamotor belum ada, hal ini terbukti dari tidak adanya bahasan dalam kedua
referensi tersebut (UU Nomor 22 Tahun 2009 dan PP Nomor 55 Tahun 2012).
Pemakaian sarana niaga kuliner keliling pada sepedamotor dapat mengacu pada
kedua referensi ini dalam hal dimensi kendaraan dan berbagai aspek yang
berpengaruh terhadap keselamatan berkendara, baik bagi pengguna kendaraan
maupun masyarakat umum di sekitarnya.
Penelitian tentang bagaimana kelayakan kendaraan sepedamotor untuk
dipergunakan sebagai kendaraan niaga, atau penelitian tentang bagaimana kelayakan
PKL yang menggunakan sepedamotor, belum dapat diperoleh atau samasekali belum
pernah ada. Permasalahan PKL yang menyangkut penggunaan sepedamotor sebagai
fasilitas bergerak dalam menjajakan kuliner, dibahas oleh beberapa penulis dalam
opini-opini publik dalam media massa. Permasalahan yang muncul terkait dengan
keberadaan aktivitas kuliner keliling dengan sepedamotor ini, diantaranya adalah :
1. Merupakan bagian dari PKL yang harus diperhatikan Pemerintah Kota Bandung,
karena turut berjualan di tempat yang dilarang, misalnya mangkal di beberapa
titik trotoar atau ruas jalan yang mengganggu ketertiban umum.
2. Merupakan permasalahan keselamatan berkendara (safety riding), karena
beberapa pengendara sepedamotor biasa membawa sarana niaga kuliner yang
21
melebihi beban atau dimensi yang wajar, sehingga tidak dapat mengendalikan
kendaraannya dengan baik dan berpotensi besar memunculkan kecelakaan lalu
lintas bagi pengendara dan orang lain.
3. Merupakan permasalahan kesehatan lingkungan (hygiene & environment),
dimana aspek kesehatan kuliner perlu mendapatkan perhatian Pemerintah,
menyangkut nilai gizi, jaminan halal, kebersihan bahan baku dan pengaruh
terhadap pola makan masyarakat.
2.4. Konsep Pendekatan Budaya Dalam Bisnis Kuliner Keliling
Penelitian Udji (2012) menyimpulkan adanya proses perubahan sosial-
ekonomi (sosio-economics) dalam tatanan perekonomian rakyat, sehingga diperlukan
adanya upaya konkrit untuk memberdayakan PKL secara bijaksana yang didasarkan
pada faktor budaya yang berlaku di kalangan warga PKL.
Andrik P (2002) menyatakan perlunya jalinan komunikasi sosial budaya, guna
memahami karakteristik budaya yang relevan dengan jenis dan sistem pengaturan
atau kebijakan. Setiap karakter budaya membutuhkan pendekatan sosial-budaya
(sosio-cultural) yang berbeda. Hal senada juga dipaparkan Alo Liliweri (2001)
mengenai adanya gatra-gatra komunikasi antar budaya, yang dapat
diimplementasikan sesuai dengan karakteristik budaya.
Secara sosiologis, PKL merupakan suatu entitas sosial yang didalamnya
terdapat pengelompokan menurut katagori atau karakter tertentu, seperti suku
bangsa, etnik, bahasa, adat istiadat, asal daerah, jenis kegiatan, dan agama (Sarjono
2005:5). Entitas ini pada dasarnya memiliki kecenderungan aktivitas yang sama,
yakni berdagang pada tempat yang tidak semestinya. Olivia Lewi Pramesti (2012)
yang mengkaji kecenderungan penggunaan ruang publik oleh sebagian besar PKL
yang tidak memiliki lahan tetap, menyimpulkan perlunya ketegasan pemerintah
22
untuk lebih aktif mempertahankan ruang publik untuk masyarakat umum. Proses
pengembalian ruang publik untuk tidak dimanfaatkan menjadi ruang personal, pada
dasarnya membutuhkan pendekatan yang terfokus pada perilaku dan karakter
manusianya, yaitu melalui pendekatan budaya (cultural approach).
Pendekatan budaya untuk pemulihan kota, mencakup pemahaman dan
pembinaan terhadap perilaku manusia tanpa merubah karakteristik budaya secara
penuh. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mengarah pada keberadaan budaya kerja
(work culture) sebagai refleksi kompetensi dan produktivitas kerja. Tb. Sjafri
Mangkuprawira (2007) menyebutkan bahwa budaya kerja adalah sistem nilai,
persepsi, perilaku dan keyakinan yang dianut setiap individu dan komunitasnya
tentang makna kerja dan refleksinya dalam kegiatan mencapai tujuan bisnis, tujuan
organisasi usaha dan kepuasan individu.
Dewa Gde Satrya (2009) yang meneliti tentang implementasi unsur budaya
dalam penataan PKL di Kota Surabaya, menyimpulkan bahwa ‘wisata kuliner
sebagai penyelamat PKL’. Wisata kuliner adalah gerakan pelestarian budaya kuliner
sebagai atraksi dan tujuan wisata, baik untuk wisatawan domestik maupun
wisatawan asing. Kegiatan wisata kuliner yang mampu menarik perhatian
wisatawan, memberikan harapan hidup yang lebih baik bagi PKL yang bergerak di
bidang niaga kuliner. Pewirausaha kuliner keliling yang menyebarkan makanan sehat
dan bergizi tinggi ke seluruh pelosok kota, patut memperoleh perhatian sebagai
bagian penting dari pembangunan kesehatan masyarakat dan sebagai unsur penting
dalam membiakkan budaya kuliner bagi masyarakat luas.
Dinarjati Eka Puspitasari (2009) yang meneliti PKL kuliner di Kota
Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, menyimpulkan bahwa program penataan PKL
kuliner dapat mewujudkan fungsi tata kota dengan lebih baik. Pola penataan
23
pedagang kuliner yang sesuai dengan tata ruang kawasan publik, menjadikan PKL
sebagai unsur penting yang mendukung keindahan dan ketertiban kota.
R.M.Moch.Wispandono (2012) yang meneliti mengenai pemberdayaan PKL
dalam rangka mengurangi pengangguran, menyimpulkan bahwa potensi komunitas
PKL yang bergerak dalam usaha kuliner, khususnya dalam perspektif peningkatan
perekonomian rakyat, merupakan suatu prioritas yang dapat dikembangkan. Dalam
rangka menjaga keberlangsungan usaha, PKL kuliner pun harus mampu menjaga
kebersihan lingkungan dan kuliner yang sehat sehingga dapat mendukung
peningkatan gizi masyarakat.
Vidya Aswatun Hasanah dan Sri Handayani (2013) yang meneliti kondisi
higiene sanitasi penjualan makanan, jenis makanan dan sikap konsumen terhadap
unsur higienis dan sanitasi lingkungan pada PKL kuliner di kawasan Taman Bungkul
Kota Surabaya, menyimpulkan bahwa terdapat kecenderungan yang meningkat,
dimana konsumen lebih memperhatikan higiene dan sistem sanitasi lingkungan
dimana terdapat PKL kuliner.
Ridzki Januar (2012) yang meneliti Perda No.4 Tahun 2011 tentang penataan
dan pembinaan pedagang kaki lima di Kota Bandung, melihat adanya dua
kepentingan yang sama-sama kuat, suatu konvergensi antara kepentingan ekonomi
masyarakat kecil dan kepentingan masyarakat umum. Keduanya sangat penting
untuk diperhatikan pembinaan, penataan dan pengembangannya.
Di Kota Bandung, terdapat tiga jenis wilayah yang terkait dengan keberadaan
pedagang kaki lima, yaitu :
(1). Zona merah yang tidak boleh terdapat PKL, yaitu wilayah di sekitar tempat
ibadah, rumah sakit, markas militer, jalan protokol atau nasional, jalan provinsi,
dan detail tempat lainnya yang diatur undang-undang.
24
(2). Zona kuning yang bisa buka-tutup berdasarkan waktu dan tempat. Seluruh
pasar tumpah hanya boleh berdagang mulai pukul 22.00 sampai pukul 06.00
pagi. Pedagang kuliner malam boleh berdagang pada pukul 17.00 sampai pukul
04.00. zona kuning adalah wilayah di sekitar kantor pemerintah yang sudah
tidak dipergunakan, depan mall dan area sekitar lapangan olah raga yang
ditetapkan oleh undang-undang.
(3). Zona hijau merupakan wilayah yang dipersiapkan untuk PKL atau yang
diperbolehkan PKL melakukan kegiatan peniagaan tanpa batas waktu. Wilayah
ini merupakan wilayah khusus hasil relokasi, revitalisasi pasar, konsep belanja
tematik, konsep festival, bazzar, serta konsep pujasera sesuai ketentuan yang
berlaku.
Olivia Dewi Pramesti (2012) yang melakukan penelitian mengenai fenomena
kecenderungan menurunnya nilai-nilai sosial masyarakat Indonesia, yang juga
disebabkan oleh berkurangnya ruang publik. Nilai-nilai sosial yang dulu dimiliki
rakyat Indonesia adalah diantaranya nilai kebersamaan, tenggang rasa dan saling
menghargai. Hal yang ironis, nilai-nilai sosial ini sudah berganti dengan nilai-nilai
personal seperti egois, arogansi dan apatisme.
Ruang publik yang ada di masyarakat, seperti trotoar, makin tidak
mengakomondasi kepentingan-kepentingan publik. Justru saat ini, kepentingan
ekonomi menjadi kepentingan utama yang melanggar kepentingan publik. Ruang
publik tidak lagi memberikan rasa nyaman dan aman. Ruang publik semakin
terminimalisir dengan kepentingan personal.
2.5. Peluang Pendekatan Ergokultural Kuliner Sunda
Edi S Ekajati (2005) menyimpulkan tentang pentingnya memperhatikan nilai-
nilai budaya, dalam rangka menumbuhkan kembali nilai-nilai sosial yang tergusur.
25
Kondisi mengkhawatirkan yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia, banyak
disebabkan oleh rangkaian konflik yang disebabkan perebutan ruang publik untuk
dijadikan ruang personal. Pendekatan budaya adalah pendekatan efektif untuk
mengembalikan ruang publik dari kepentingan personal.
Edi S Ekajati (1985) menyoroti urgensi kebudayaan Sunda yang dapat
dijadikan pertimbangan perbaikan masyarakat yang telah mengalami dekulturasi
akibat globalisasi dan ekses kehidupan modern. Nilai-nilai sosial budaya masyarakat
Sunda dapat dilihat dari perilaku hidup dan cara pandangnya terhadap lingkungan
(Darsa, A. Undang, 2006).
Nilai budaya Sunda yang dihidupkan kembali di kota Bandung dan sekitarnya
adalah “Genah Merenah Tumaninah”, sebagai semboyan untuk hidup yang aman
dan nyaman di Kota Bandung. Aspek ‘genah’ mengusung dimensi kelayakan
lingkungan yang baik untuk kehidupan, aspek ‘merenah’memperlihatkan pentingnya
penataan kota sebagai lingkungan yang tertib terkendali, sebagai wahana kehidupan
yang memberikan nilai-nilai kenyamanan dan kebahagiaan dalam beraktivitas sehari-
hari, dan aspek ‘tumaninah’ mengusung dimensi kelayakan sosial dalam
memperoleh ruang gerak yang lapang, suasana yang harmonis, suatu kehidupan yang
santai tetapi penuh makna kesejahteraan hidup.
Gambar.24 Ilustrasi konsepsi Genah Merenah Tumaninah
Konsep hidup yang genah-merenah-tumaninah merupakan nilai-nilai dasar yang
terkait pola karakter masyarakat Sunda, untuk dapat mengisi hidupnya dengan gaya
26
hidup yang tertib dan teratur sehingga mencapai nilai merenah. Kualitas merenah
diperoleh dari upaya untuk terbiasa hidup dalam kedamaian, bersahabat dan tepa
selira antar masyarakat, sehingga mencapai kualitas ketenangan diri yang disebut
tumaninah. Raihan kualitas tumaninah dan merenah akan meningkatkan potensi diri
untuk mencapai kualitas individu yang merasa genah yaitu kualitas kenyamanan
yang merasai hidup yang enak sehingga betah hidup di dunia.
Prinsip kehidupan yang berkembang dalam tatanan masyarakat Sunda, adalah
berupa semboyan untuk mencapai kesejahteraan sosial dengan peningkatan kualitas
perilaku, yang disebut “Gemah Ripah Repeh Rapih”. Karakter untuk terbiasa rapih
atau hidup yang rapi, tertib dan teratur. Karakter repeh yang artinya bersikap damai
dan bersahabat, tulus dan ikhlas. Sedangkan gemah ripah berarti upaya untuk
senantiasa tekun, rajin dan giat bekerja sehingga memiliki motivasi yang sangat kuat
untuk meraih kesejahteraan di dunia dan akhirat. Implementasi repeh-rapih
dilakukan melalui karakter yang someah (ramah) baik pada tamu (someah ka semah)
dan ramah kepada tuan rumah (someah kanu boga imah) jika melakukan kunjungan.
Gambar.25 Ilustrasi konsepsi Gemah Ripah Repeh Rapih
Masyarakat Kota Bandung yang didominasi oleh masyarakat Sunda, pada
dasarnya masih memiliki dan memelihara nilai-nilai sosial yang mengusung
kesejahteraan diri baik secara fisik maupun mentalitas. Konsep ergokultural Sunda
yang relevan dengan kehidupan perniagaan kuliner keliling, meliputi beberapa hal
berikut:
27
1. Someah atau keramahtamahan. Aspek keramahtamahan dalam kehidupan
masyarakat Sunda, dapat dilihat dari caranya memperlakukan tamu atau orang
lain. Nilai bersahabat dan menghindari permusuhan akan melahiran jalinan saling
menghormati dan saling memuliakan. Wirausaha kuliner keliling yang memasuki
pelosok kota, diperlukan sikap yang someah (ramah) dalam berniaga, sehingga
dapat memberikan keuntungan yang berkualitas. Sesuai ujaran “Someah ka nu
boga imah atawa ka semah mawa genah merenah tur tumaninah” (bersikap
ramah kepada pemilik rumah maupun tamu akan membawa kenyamanan dan
ketenangan). Pedagang darimanapun berasal diperlukan memiliki sikap yang
ramah ketika berada di kawasan berpenghuni warga Sunda maupun dari suku
lainnya, sebagai jaminan memperoleh keramahan pula. Sikap ramah akan
melahirkan pelayanan prima kepada konsumen, sehingga akan turut juga
meningkatkan respon positif dari masyarakat konsumen biasa menjadi
masyarakat pelanggan (costumer). Sikap someah tidak hanya terlihat dari tutur
kata, mimik wajah maupun sikap diri, tetapi dari menggunakan sarana dalam
bekerja, misalnya: tidak menggunakan sepedamotor yang garang akibat knalpot
yang bersuara bising, tidak menggunakan grafis yang menyinggung perasaan dan
tidak menyajikan makanan pada wadah yang tidak pantas, dan lain-lain
sebagainya.
2. Tangginas atau gesit. Masyarakat Sunda membiasakan diri untuk bangun pagi
dan kemudian melakukan aktivitas usaha. Semakin pagi semakin segar dan
semakin bersemangat. Semakin gesit maka kita akan semakin cepat berproduksi,
semakin cepat memperoleh laba usaha. Konsep tangginas juga berlaku dalam
proses pembuatan makanan yang efisien dan tepat olah, sehingga dapat melayani
28
pembeli/konsumen dengan cepat. Aspek tangginas terlihat dalam proses
melayani konsumen yang lebih dari satu orang dalam waktu bersamaan.
3. Getol atau rajin. Masyarakat Sunda menggunakan istilah getol untuk pekerjaan
rutin yang dijalani dengan sepenuh hati, sehingga tidak nampak kebosanan atau
penurunan kinerja. Konsep getol ini diperoleh dari keberhasilan cara kerja yang
sistematis, dimana pekerjaan yang rumit menjadi tampak ringan. Dalam kaitan
dengan budaya kuliner, seorang pedagang kuliner harus memiliki mekanisme
atau sistematika kerja harian yang tepat, sehingga akan memunculkan nilai getol
yang bersumber dari integritas bukan paksaan.
Konsep kehidupan masyarakat yang hidup di Kota Bandung dan sekitarnya,
memiliki suatu semboyan “Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh dan Silih Wangi”, yang
berarti antar masyarakat tanpa membedakan ras, agama maupun golongan, perlu:
1. menjalin kelayakan hidup bermasyarakat yang saling memberikan perhatian dan
pandangan yang mempertajam pemikiran dan keluhuran budi pekerti (silih asah
atau saling mengasah diri)
2. menjalin kehidupan harmonis yang saling mengasihi, tidak melakukan
permusuhan atau sikap-sikap yang mengundang pertentangan atau pertikaian
sesama warga (silih asih atau saling mengasihi)
3. menjalin kehidupan yang dinamis untuk peningkatan ragam kehidupan yang
lebih layak dan berkualitas, melalui tindakan untuk saling memberikan perhatian,
saling mengingatkan jika terjadi penyimpangan pandangan, dan saling
memberikan wawasan untuk perbaikan dan pengembangan secara berkelanjutan
(silih asuh atau saling memberikan pengasuhan)
4. menjalin kehidupan yang berkembang dan meningkatkan kualitas hidup, melalui
sinergi masyarakat yang menjadikan Kota Bandung memiliki reputasi yang baik
29
sebagai kota yang bersih, sehat, damai, aman, nyaman, sejahtera dan harum.
(silih wangi atau saling memberikan perhatian yang mengharumkan nama kota).
Gambaran silih asah-silih asih-silih asuh dan silih wangi tergambar sebagai
kesatuan utuh yang saling terhubung satu sama lain, seperti tampak pada gambar di
bawah ini.
Gambar.26 Ilustrasi konsepsi Silih asih-silih asih-silih asuh-silih wangi
30
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1. Prinsip Metodologi Penelitian Etnografis
Dalam mengkaji data-data yang sifatnya deskriptif kualitatif, maka dilaksanakan
upaya pemahaman teoritikal dengan pendekatan kajian pengamatan dan pendalaman
wawasan, melalui proses metodologi penelitian etnografi yang dikembangkan
Spreadley (1985). Metode penelitian etnografi merupakan salah satu metode yang
cukup relevan untuk kajian penelitian ini yang bersumber data fenomenologi sosio-
kultural yang hidup di masyarakat berbudaya Sunda. Penelitian ini diawali dengan
studi pustaka tentang ragam aturan yang terhubung dengan keberadaan pedagang
kaki lima, sebagai bekal pengetahuan untuk melakukan observasi, wawancara,
pencatatan, pendokumentasian dan perekaman.
Dalam rangka memperoleh data komprehensif yang merupakan satu kesatuan
yang utuh dan terintegrasi, digunakan metode deskripsi karena masalah yang diteliti
terkait dengan konsep perilaku dan kehidupan manusia (urban culture) di kawasan
Kota Bandung.
Pengumpulan data menggunakan teknik observasi (field work observation) dan
wawancara etnografis (ethnographic interviews) dengan menggunakan pedoman
pengumpulan data atau teknik observasi, terutama dilakukan untuk mengetahui
berbagai fenomena dibalik kegiatan pedagang kaki lima. baik yang bersifat fisik,
sosial, ekonomi maupun budaya berdasarkan pengamatan langsung yang dapat
melengkapi dan memperjelas data yang diperoleh melalui wawancara, serta untuk
memperoleh data yang tidak mungkin terungkap melalui wawancara atau tatap
muka. Teknik wawancara dipergunakan untuk memperoleh data primer, yaitu
langsung dari sumbernya sendiri, baik mengenai pandangan atau pendapat maupun
31
mengenai kenyataan-kenyataan yang dialami informan, sehingga data yang didapat
memiliki nilai validitas cukup tinggi dan dapat dipercaya.
Wawancara yang dilakukan bersifat terbuka (open interview), dalam arti
memberi keleluasaan bagi para informan untuk menjawab pertanyaan dan memberi
pandangan-pandangan secara bebas dan terbuka serta memungkinkan untuk
mengajukan pertanyaan secara mendalam (in-depth interview). Informan ditentukan
secara purposive, yaitu tipe sampling yang didasarkan atas pertimbangan atau
penilaian peneliti dengan anggapan informan yang dipilih representatif untuk
populasi (Fetterman, 1998). Informan ditentukan secara berantai dari responden yang
ditunjuk oleh informan pertama yang telah diwawancarai. Cara ini seperti yang
disebut dengan snowball sampling technique (Bagdan & Bilken, 1986). Metode
etnografi dari Spreadley, seperti tampak pada skema berikut :
Gambar 27
Konsep kajian etnografi pada sektor budaya yang melibatkan aplikasi iptek Adaptasi dari Spreadley 1985.
3.2. Konsep Alur Penelitian Etnografis Ergokultural
Implementasi etnografi dalam dunia Desain Produk, adalah mengenai
pengamatan tentang perilaku kerja manusia (observing what people do) sebagai
32
suatu sudut pandang sosio-cultural yang berpengaruh dalam keputusan desain. Sudut
pandang lain yang terlibat dalam pembentukan produk adalah paradigma aplikasi
teknologi berupa desain partisipatori (participatory design) berupa kompetensi
dalam berkreasi dan berproduksi (what people make) yang terpadu dengan unsur
ilmu pengetahuan berbasis kearifan lokal, yang dapat diserap melalui wawancara
langsung (traditional interviewing) mengenai kemampuan mendasar yang dimiliki
masyarakat budaya tertentu (what people say they do).
Kedua unsur ini merupakan kaidah yang dapat tercakup dalam bidang ilmu
ergonomi makro. Dengan demikian kajian ergonomi yang mencakup nilai-nilai
budaya dapat disebut sebagai ergokultural, yang merupakan unusr konvergen dengan
etnografi untuk menyingkap tabir ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki
suatu masyarakat. (Agar, M. 2006).
Dalam kontek dengan body knowledge bidang studi Desain Produk, diperoleh
gambaran mengenai hubungan antara riset etnografi dengan proses pekerjaan pada
rancang bangun produk. Kegiatan penelitian diawali dengan tahap product discovery
(preliminary design) sampai memperoleh hasil kreasi inovasi dalam proses product
design (conceiving to prototyping) pada fase 1 atau tahun pertama,yang dilanjutkan
dengan proses uji produk dan uji pasar pada fase 2 product evaluation (to
commercialization and production) di tahun kedua, seperti pada gambar di bawah
ini:
33
Gambar 28.
Proses Perancangan Produk dalam Riset Etnografi (sumber: light Mind White paper.com)
Proses penelitian secara rinci terdiri dari 6 (enam) tahapan pekerjaan, dalam alur
penelitian berikut di bawah ini:
Gambar 29
Bagan Alir Penelitian (Sumber: penulis)
1 2 3 4 Analysis Methods
Design Methods
Ergocultural Approach &
Implementation
Goal 1 Prototyping
Interview
Observasi
MANUSIA
Karakter
Perilaku
LINGKUNGAN
Rule: K3
Tata Kota
BUDAYA
ERGONOMI
ESTETIK
IPTEK
Kulineri
Sanitasi
Nutrisi
Concept & product testing
Material
Bentuk
Fungsi
5 Goal 2 Production
Product Design
Idea Generation & Screening
Filosofi
Tata Nilai
Higiene
Kinerja
KOMUNITAS
6
INDUSTRI
Tes Pasar
Kelayakan
R & D
DR & O
Wisata Kuliner
Budaya Sunda
Product Discovery Idea Generation And Screening
Product Design Concept and
Product Testing
Product Evaluation Commercialization-Product
Launch and Evaluation
ETHNOGRAPHY RESEARCH
• Secondary Research • Observational Studies • Customer Interviews
• Concept Creation • Use Scenarios • Concept Prototyping • Customer Interviews
• Usability Testing • User Trial Market • Acceptance Study
Phase 1
Phase 2 (next)
Ethnographic Research
Product Discovery Product Evaluation Commercialization product launch
34
NO TAHAP PELAKSANAAN PERANGKAT
METODA TEMPAT PELAKSANAAN
DAN TINDAKAN
1
Ethnographic Research Kajian deskripsi kualitatif pada sumber subjek primer & skunder, untuk memahami situasi secara komprehensif dan objektif.
• Kajian literatur • Observasi lapangan • Wawancara • Dokumentasi data
• Sampel responden 100 orang, PKL kuliner di Kota Bandung
• Riset etnografi dilakukan terhadap minimal 10 orang PKL
• Observasi di 2 Kecamatan Kota Bandung
2
Analysis Methods Kajian deskripsi kualitatif mengenai karakteristik dan perilaku manusia (PKL kuliner dan konsumennya) dalam studi komparasi dengan aturan dan kebutuhan Kota Bandung. Menghasilkan kesimpulan untuk analisis ergokultural.
• Literatur Review • Analisis observasi • Analisis interview • Analisis statistik • Analisis karakter • Analisis perilaku • Analisis lingkungan
kerja
• Sampel responden 10 PKL setiap jenis kuliner. Total 10 jenis kuliner terpopuler
• Sampel area sentra PKL di 2 kecamatan, dibagi berdasar kluster kuliner terbesar.
3
Design Methods Analisis dan sintesis dari sikon tahap 1, dalam kajian analisis konsepsi desain awal. Meliputi aspek implementasi iptek dan estetika yang berpengaruh dalam desain suatu produk. Menghasilkan Design requirement yang terhubung unsur ergokultural
• Literatur Review • Analisis kebutuhan
iptek dan estetik • Analisis teknologi
kulineri (tata boga) • Analisis higiene dan
fasilitas sanitasi • Konsep desain • Kriteria desain
• Perancangan produk di Studio Desain Produk FSRD-Itenas, dapat melibatkan mahasiswa prodi Desain Produk yang berminat.
• Kajian lain yang multi disiplin, berkolaborasi dengan laboratorium Program studi terkait, sebagai konsultan dan analis.
4
Ergocultural Approach & Implementation Analisis dan sintesis pendekatan budaya (Sunda) dan kaidah Ergonomi dalam bentuk konsep desain (design concept) sebagai filosofi desain dan kelayakan kerja. Nilai dasar seperti unsur higiene dan sanitasi dalam fasilitas sarana niaga sebagai prioritas.
• Literatur Review • Konsep terapan budaya
Sunda (spirit) • Konsep wisata kuliner • Konsep Ergonomi
terapan • Konsepsi Ergokultur
• Dilaksanakan di Studio Desain Produk FSRD Itenas. Konsep budaya Sunda dapat berkolaborasi dengan beberapa pihak yang relevan dengan konsentrasi budaya Sunda. Kaidah ergonomi dapat berkolaborasi dengan Jurusan Teknologi Industri dan konsultasi PEI (Perhimpunan Ergonomi Indonesia)
5
Prototyping (Goal 1) Realisasi konsep desain dalam bentuk prototip produk yang siap uji (kelayakan operasional, relevansi ergokultur dalam wisata kuliner dan tata boga kuliner PKL)
• Konsep desain • Gambar produksi • Modelling Digital • Prototipe produk
• Dilaksanakan di Laboratorium Model & prototyping FSRD-Itenas.
• Jumlah alternatif lebih dari 5 • Prototipe maksimal 2 unit
6
Production & Commercialization (Goal 2). Realisasi evaluasi desain, uji pasar dan uji operasional fasilitas produk. Menghasilkan produk yang siap diproduksi dan disebarluaskan.
• Produksi alternatif dan varian
• Uji komparasi desain • Uji fungsi dan
operasional • Uji pasar & komersil • Konsep produksi &
industri
• Dilaksanakan melalui kerjasama dengan pihak industri, sesuai industrial abilities lokal Kota Bandung
• Produk tes mencapai minimal 3(tiga) unit, mewakili jenis kuliner dan karakteristik yang berbeda
TEMUAN (GOAL) Produk prototipe ’Sarana Niaga Kuliner Bermotor Roda Dua’ hasil rancang bangun yang
berlandaskan kajian ergokultural, yaitu implementasi prinsip-prinsip ergonomi modern dan terapan kaidah kearifan lokal budaya Sunda dalam bidang kuliner, sehingga sangat mampu mendukung aktivitas wisata kuliner di Kota Bandung dan sekitarnya.
35
Guna memahami secara lebih mendalam mengenai teori integrasi nilai-nilai
sosial masyarakat Kota Bandung yang akan diwujudkan dalam sarana niaga
wirausaha kaki lima, diperlukan pendekatan lain yang sifatnya praktika, yaitu
sebagai upaya untuk memenuhi objektivitas penelitian dengan pembuktian nilai-nilai
otentik objektif yang dapat dikaji dalam bentuk analisis estetika bentuk dan perilaku
(human behaviour). Data-data yang diperoleh dalam kegiatan etnografis menjadi
bahan analisis primer yang dipertemukan dengan landasan pertimbangan aplikasi
iptek dalam disiplin Desain Produk (Paul Skagg, 2012), yang implementasinya
tergambar pada bagan alir di bawah ini:
Gambar 30 Alur proses riset etnografi dan ergokultur pada proyek penelitian ini
Kajian yang terfokus pada desain sarana niaga bermotor roda dua yang ada
sebelumnya sebagai proses analisis komparatif, dilakukan untuk memahami dasar-
dasar filosofi desain yang sebelumnya pernah dipikirkan oleh pihak lain.
Identifikasi Konvergensi harmonisasi
antara PKL dan Aturan Pemda
Kaji pustaka SOP dan etnografi PKL dalam
batasan riset
EKSOTERI Faktor
ergonomi
ISOTERI Budaya Sunda
Analisis ergokultural thp sarana niaga PKL di Kota Bandung
Kajian Perda & Pedoman kerja PKL
Riset: Perancangan sarana niaga bagi wirausaha sektor informal (PKL) di Kota Bandung melalui kajian ergokultural Sunda
36
Permasalahan yang terkuak dan desakan kebutuhan pebisnis kuliner dan
konsumennya merupakan dasar tolok ukur yang dipergunakan untuk memahami
tingkat ketercapaian desain dalam menggiring solusi dari permasalahan umum. Pola
ini diusulkan sebagai landasan pola pikir dalam menentukan alternatif desain yang
diambil sebagai solusi optimal yang mendekati inti masalah.
3.3. Metode Pendekatan Ergokultural Kuliner Sunda
Secara khusus, penelitian ini akan lebih terarah untuk ditujukan khusus dalam
mencapai optimalisasi harmonis antara wirausaha kuliner keliling yang melakukan
aktifitas niaga secara bergerak (mobile), ke pelosok-pelosok Kota Bandung dan
sekitarnya. Dengan demikian batasan ini dapat digambarkan pada skema berikut:
Gambar 31 Alur proses riset etnografi dan ergokultur sesuai fokus dan batasan penelitian
3.4. Analisis Data Etnografis
3.4.1. Karakteristik bisnis kuliner keliling di Kota Bandung
Karakter usaha wirausaha kuliner keliling yang teridentifikasi adalah
aktivitas makanan cepat saji lokal (Indonesian fastfood) dengan metode
Analisis etnografi dan ergokultural Sunda
Kajian harmonisasi mutualisme wirausaha kuliner keliling dengan
Kota Bandung Bermartabat
Aturan niaga wirausaha kuliner
keliling
Konsep desain sarana niaga kuliner keliling
di Kota Bandung
Prototipe desain sarana niaga kuliner keliling untuk Kota
Bandung
37
penjualan mempergunakan sepedamotor secara langsung menuju domisi
pelanggan tanpa adanya aktivitas pemesanan lebih dulu (direct selling system).
Konsepsi penjualan langsung bergaya ‘jemput bola’ atau ‘door to door’
merupakan aktivitas dasar dari metoda penjualan ‘street hawker’, yaitu
menjajakan barang atau makanan cepat saji dengan cukup agresif menuju
langsung ke lingkungan pelanggan dan calon pelanggan. Dalam keadaan
operasional bergerak (on moving), maka aktivitas ini mendekati konsep pesan-
antar (delivery order). Namun apabila mangkal atau standby di suatu titik dekat
keramaian dimana konsumen kemungkinan tersedia, statusnya berubah menjadi
PKL (Pedagang Kaki Lima) yang diwajibkan mematuhi peraturan daerah Kota
Bandung, sesuai Perda No.04/Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pembinaan
PKL. Jenis kuliner cepat saji yang ditemukan di lapangan melalui pengamatan
dan wawancara, sebagai berikut:
Tabel.1. Jenis kuliner cepat saji di wilayah Bandung Timur
No Jenis Kuliner
Waktu Operasional Pagi
05.00-09.00 Siang
10.00-14.00 Sore
15.00-18.00 Malam
19.00-21.00 1 Bubur Ayam • 2 Bubur Kacang Ijo Ketan Item • • 3 Bubur Sumsum • • 4 Bakso Tahu • • • 5 Bakso Malang • • • 6 Sate Ayam Madura • 7 Mie Ayam dan Bakmie • • • 8 Es Krim • 9 Es Buah • 10 Buah-buahan, rujak • 11 Bak Pao • • • 12 Fried Chicken • • 13 Roti dan Kue • • • 14 Bandros , Surabi • •
Keterangan tabel 1:
1. Terjadi pembatasan lokasi pengamatan hanya di sekitar wilayah Bandung
Timur, karena untuk cakupan seluruh Kota Bandung membutuhkan waktu
38
dan sumberdaya yang lebih besar. Untuk pengamatan ini, peneliti
menggunakan sebanyak 10 orang kontributor dari 10 komplek perumahan.
Diharapkan 10 domisili konsumen ini dapat mewakili kawasan Bandung
Timur.
2. Peneliti tidak menghitung keberadaan unit pesan antar (delivery order) dari
restauran atau bisnis waralaba kuliner. Pengamatan dilakukan terhadap
wirausaha dalam kelompok koperasi/besar (10-15 unit), menengah (6-10
unit), kecil (2 sd 5 unit) dan perorangan.
3.4.2. Jenis kuliner dan prinsip manajemen kuliner keliling
Tabel.2. Jenis kuliner dan kepemilikan usaha
No Jenis Kuliner Perorangan
(1 unit) Kel. Kecil (2-5 unit)
Menengah (6-10 unit)
Koperasi (10-15 unit)
1 Bubur Ayam • 2 Bubur Kacang Ijo Ketan Item • 3 Bubur Sumsum • 4 Bakso Tahu • • • 5 Bakso Malang • 6 Sate Ayam Madura • 7 Mie Ayam dan Bakmie • • 8 Es Krim • • 9 Es Buah • • 10 Buah-buahan, rujak • • 11 Bak Pao • • 12 Fried Chicken • • • • 13 Roti dan Kue • • 14 Bandros , Surabi • •
Keterangan tabel 2:
1. Wirausaha perorangan mencakup sebagian besar jenis kuliner cepat saji. Pada
umumnya produk sarana niaga yang dipakai masih sangat sederhana.
2. Wirausaha kelompok kecil dan kelompok menengah sudah menggunakan
produk sarana niaga yang didesain seragam dengan identitas nama yang sama.
3. Wirausaha kelompok besar atau koperasi pada umumnya sudah memiliki
brand (merek dagang) sebagai suatu korporasi.
Ketiga kelompok wirausaha kuliner keliling dapat dibedakan dari desain sarana
niaganya. Usaha individu yang sifatnya sederhana terlihat dari visualisasi estetis
39
sarana niaga yang sangat sederhana, sangat berbeda dengan kelompok koperasi dan
korporasi yang lebih terorganisir dengan visualisasi grafis yang seragam.
Di bawah ini beberapa contoh produk sarana niaga dalam empat katagori
kepemilikan atau tiga katagori organisasi usaha :
Tabel.3.
Komparasi Sarana niaga perorangan dan kelompok
Gbr.32.Sarana niaga perorangan
(www.tsuchi.or.id)
Karakteristik sarana niaga perorangan : 1. Sangat sederhana tidak dirancang dengan
baik dan benar. Beberapa perlengkapan kerja menggunakan peralatan dapur rumah, seperti panci, ember dan bejana lain yang tidak diperuntukkan bagi penggunaan lain (multipurposes).
2. Sangat kurang memperhatikan faktor keamanan (safety), higienis, kenyamanan (comfortability)
3. Berbeda dengan yang lain atau kondisinya sama sekali tidak ada kesamaan.
Gbr.33.Sarana niaga kecil-menengah (www.antarafoto.com)
Karakteristik sarana niaga kelompok kecil dan menengah : 1. Memiliki standar dimensi dan perlengkapan
yang sama 2. Menggunakan merk dagang, alamat
produksi dan jaminan kesehatan atau sertifikasi halal
3. Masih kurang memperhatikan faktor keamanan kerja (safety), kesehatan dan kebersihan (hygienis) dan kenyamanan.
Gbr.34.Sarana niaga korporasi/koperasi
(www.angkringan.org)
Karakteristik sarana niaga kelompok besar (korporasi) atau koperasi: 1. Memiliki standar operasional kerja (SOP)
dan perlengkapan yang sama 2. Memiliki merek dagang, standar menu dan
cita rasa, alamat produsen (kantor) 3. Memiliki sertifikasi halal dari MUI dan
BPOM, namun belum mencantumkan kandungan nutrisi.
4. Masih kurang memperhatikan faktor keamanan kerja (safety), kesehatan dan kebersihan (hygienis) dan kenyamanan.
40
3.4.3. Komparasi desain sarana niaga kuliner keliling
Berdasarkan karakteristik tersebut di atas, diperoleh gambaran aktual
mengenai situasi dan kondisi dari beragam usaha kuliner yang tersebar di wilayah
Bandung Timur. Sebagian besar masih kurang dalam memperhatikan nilai-nilai
keselamatan kerja (safety) baik saat mengemudi maupun mempersiapkan penyajian
kuliner, serta kurang memperhatikan faktor kesehatan dan kebersihan, terutama pada
beberapa komponen display saji yang cenderung kotor karena debu, oli dan karat.
Seperti pada tabel berikut:
Tabel.4. Komparasi Kualitas Sarana-Prasarana Kerja
Identifikasi kode: √ (ada) dan × (tidak ada)
Jumlah sampel yang diamati : 3 unit/ jenis kuliner, total: 42 responden
No Jenis Kuliner Safety Hygiene Comfortability Sertf. Halal SOP 1 Bubur Ayam × √ × × √ 2 Bubur Kacang Ijo Ketan Item × × × × √ 3 Bubur Sumsum × √ × × √ 4 Bakso Tahu × √ × × √ 5 Bakso Malang × √ × √ √ 6 Sate Ayam Madura × √ × × √ 7 Mie Ayam dan Bakmie × √ × × √ 8 Es Krim × × × × √ 9 Es Buah × √ × × √ 10 Buah-buahan, rujak × √ × × √ 11 Bak Pao × √ × × × 12 Fried Chicken × × × × √ 13 Roti dan Kue × √ × × × 14 Bandros , Surabi × × × × √
Keterangan tabel:
Bahwa terdapat permasalahan yang menjadi prioritas untuk segera dapat
dipelajari solusinya, karena meliputi hal berikut:
1. Hampir semua wirausaha tidak memperhatikan pertimbangan faktor
keselamatan berkendara (safety riding), keamanan kerja (work safety),
kebersihan dan kesehatan peralatan kerja (hygiene) dan kenyamanan kerja
(comfortability).
41
2. Sebagian besar tidak memiliki sertifikat halal, yang berfungsi sebagai pakta
jaminan terhadap bahan-bahan dasar yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat
beragama Islam.
3. Sebagian besar teleh memiliki SOP (Standard Operational Procedure) baik
dalam proses pengolahan bahan baku maupun dalam proses penyajian,
namun tidak tertulis atau terpampang pada display. Kebiasaan rutin telah
menjadi semacam SOP yang dipatuhi agar tidak terjadi kendala. Menurut
mereka, SOP diperlukan untuk:
a. Menjamin kestabilan cita rasa, berdasarkan komposisi bahan dan takaran
bumbu.
b. Menjamin standar pelayanan kepada pelanggan, agar tidak terjadi
komplain dari masyarakat
c. Menjamin kestabilan pendapatan (income), karena bila ‘kebiasaan’
berubah mendadak karena sesuatu hal, maka beberapa unsur variabel
yang membutuhan biaya (cost value) akan meningkat dan mengurangi
nominal laba usaha.
Karakter wirausaha niaga kuliner keliling bersepedamotor di Kota Bandung
sangat beragam, hal ini terbuki dari beberapa hal yang ditanyakan peneliti melalui
kegiatan wawancara terstruktur kepada 5 (lima) orang pedagang dari 14 jenis
kuliner, berjumlah total 70 responden, Terinci sebagai berikut:
Tabel.5. Status Pendidikan Pelaku Usaha
No Jenis Kuliner Tingkat Pendidikan Formal TDK SD SMP SMA D1 D3 S1
1 Bubur Ayam 1 1 2 1 2 Bubur Kacang Ijo Ketan Item 2 1 2 3 Bubur Sumsum 1 4 4 Bakso Tahu 3 2 5 Bakso Malang 1 2 2 6 Sate Ayam Madura 3 2 7 Mie Ayam dan Bakmie 1 4 8 Es Krim 5 9 Es Buah 2 2 1
42
10 Buah-buahan, rujak 5 11 Bak Pao 1 4 12 Fried Chicken 1 2 2 13 Roti dan Kue 5 14 Bandros , Surabi 1 3 1
Jumlah responden 2 9 25 31 3
Kesimpulan :
Status tingkat pendidikan wirausaha niaga kuliner keliling sebagian besar (31 orang)
telah menyelesaikan pendidikan tingkat SMA atau yang sederajat. 25 orang telah
tamat belajar di SMP, 9 orang tamat SD, 2 orang tidak pernah bersekolah dan 3
orang memiliki sertifikat Diploma 1 (D1).
Tabel.6. Status Usia Pelaku Usaha
Total responden = 70 orang (5 orang x 14 jenis kuliner) No Jenis Kuliner Rentang Usia
<17 17-27 28-38 39-49 >50 1 Bubur Ayam 2 1 2 1 2 Bubur Kacang Ijo Ketan Item 1 3 1 3 Bubur Sumsum 2 2 1 4 Bakso Tahu 2 3 5 Bakso Malang 1 3 1 6 Sate Ayam Madura 1 2 2 7 Mie Ayam dan Bakmie 3 1 1 8 Es Krim 2 2 1 9 Es Buah 1 2 2 10 Buah-buahan, rujak 1 2 2 11 Bak Pao 3 1 1 12 Fried Chicken 4 1 13 Roti dan Kue 5 14 Bandros , Surabi 1 2 2
Jumlah responden 29 24 16 1
Kesimpulan :
1. Usia pedagang pada umumnya termasuk rentang usia produktif
2. Tidak ada pedagang berusia kurang dari 17 tahun, hal ini disebabkan oleh
persyaratan memperoleh SIM (Surat Ijin Mengemudi) dan KTP, yang harus lebih
dari 17 tahun.
3. Satu orang pedagang berusia lebih dari 50 tahun.
4. Total responden berjenis kelamin laki-laki.
43
3.4.4. Identifikasi Permasalahan Ergonomi dan Kultural (Ergokultur)
Berdasarkan permasalahan ergonomi yang ditemukan dalam tabel 3 dan 4,
maka berikut identifikasi permasalahan ergonomi lebih rinci, dari hasil wawancara
dengan 70 responden (5 orang responden setiap jenis kuliner).
Tabel.7.
Berat beban, kapasitas porsi dan jelajah setiap hari
Total responden = 70 orang (5 orang x 14 jenis kuliner)
No Jenis Kuliner Beban, Porsi dan Area
Perkiraan beban Jumlah Porsi Akumulasi Area jelajah (km)
1 Bubur Ayam 65 Kg 60 50 2 Bubur Kacang Ijo Ketan Item 70 Kg 200 50 3 Bubur Sumsum 45 Kg 75 20 4 Bakso Tahu 75 Kg 60 50 5 Bakso Malang 80 Kg 60 50 6 Sate Ayam Madura 65 Kg 50 30 7 Mie Ayam dan Bakmie 80 Kg 75 25 8 Es Krim 80 Kg 100 30 9 Es Buah 60 Kg 100 20 10 Buah-buahan, rujak 65 Kg 50 45 11 Bak Pao 50 Kg 50 25 12 Fried Chicken 60 Kg 100 60 13 Roti dan Kue 50 Kg 150 50 14 Bandros , Surabi 70 Kg 50 20
Keterangan :
1. Perkiraan beban mencakup jumlah berat dari berbagai peralatan dan barang
dagangan, diluar berat sepeda motor dan manusia.
2. Jumlah porsi adalah satuan kuliner yang dijual. Data di sini adalah
merupakan target yang harus dicapai oleh setiap unit pedagang. Pencapaian
rata-rata mencakup 70% dari target.
3. Akumulasi area jelajah adalah perkiraan rata-rata jarak tempuh setiap hari,
terdiri dari jarak dekat (10-20 km2), jarak menengah (30-40 km2), dan jarak
jauh (50-60 km2
).
Tabel.8. Masalah yang terkait dengan keselamatan berkendara (safety riding)
Total responden = 70 orang (5 orang x 14 jenis kuliner)
No Jenis Kuliner Masalah dengan Sepedamotor
naik ke sepedamotor Pengendalian sepedamotor
Turun dari sepedamotor
1 Bubur Ayam (tidak) (ya) (ya) 2 Bubur Kacang Ijo Ketan Item (tidak) (tidak) (ya) 3 Bubur Sumsum (ya) (ya) (ya) 4 Bakso Tahu (ya) (ya) (ya) 5 Bakso Malang (tidak) (ya) (ya)
44
6 Sate Ayam Madura (ya) (ya) (ya) 7 Mie Ayam dan Bakmie (ya) (ya) (ya) 8 Es Krim (ya) (tidak) (ya) 9 Es Buah (ya) (ya) (ya) 10 Buah-buahan, rujak (tidak) (ya) (ya) 11 Bak Pao (tidak) (ya) (ya) 12 Fried Chicken (ya) (tidak) (ya) 13 Roti dan Kue (ya) (ya) (ya) 14 Bandros , Surabi (tidak) (ya) (ya)
Keterangan :
1. Kemudahan naik sepedamotor (persiapan mengemudi) terbagi dua, ada yang
mengalami kesulitan karena saat menaiki jok harus sangat berhati-hati karena
terhalang oleh barang bawaan yang terletak di belakang pengemudi, yaitu
pengguna sepedamotor sport. Lihat gambar berikut:
Gambar 35
Penggunaan sepedamotor sport dan faktor kesulitan bergerak (www.mountingtrans.com)
2. Pengendalian sepeda motor bersifat relatif, terkait kemahiran (skill) dan
ketangkasan (agility) dalam bermanuver, sesuai dengan kondisi lingkungan.
Kesulitan dalam pengendalian lebih disebabkan oleh beban yang overweight.
3. Semua responden merasakan kesulitan pada saat harus turun dari kendaraan
dan melayani pelanggan. Kesulitan yang terjadi karena pada saat turun,
biasanya kaki pengemudi diayunkan ke arah belakang dan harus melewati
tingginya sarana niaga yang terletak di belakang. Pedagang yang
45
mempergunakan sepeda motor komuter masih berkesempatan untuk turun ke
arah depan seperti saat naik. (lihat gambar 35).
4. Semua responden yang mempergunakan sepedamotor komuter yang tangki
bahan bakarnya berada di bawah jok, mengalami kesulitan besar saat harus
mengisi BBM. Mereka harus membongkar pasang sarana niaga untuk
mengisi BBM. Responden yang mempergunakan sepedamotor sport yang
tangkinya di luar jok, tidak mengalami kendala ini.
Gambar 36
Penggunaan sepedamotor komuter dan faktor kesulitan mengisi BBM (www.hubpages.com)
Nilai-nilai ergonomi yang perlu diterapkan dalam sarana niaga kuliner
keliling bersepedamotor adalah meliputi hal-hal berikut :
(1). Penyesuaian kemampuan beban sepedamotor sebagai standar baku.
Tekanan beban yang berlebihan dapat mempengaruhi konstruksi sepeda motor.
Perhatian terhadap perlunya pembatasan beban adalah untuk optimalisasi
keseimbangan berat yang mempengaruhi kesetimbangan dan kemudahan
46
pengendalian. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pengemudi sepeda
motor adalah titik-titik penting sebagaimana pada gambar di bawah ini:
Gbr.37.
Posisi berkendara, memperhatikan sendi manusia (www. Sportrider.com)
Gbr.38.
Posisi pengendara membutuhkan keleluasaan kendali (www. motorplus-online.com)
47
(2). Pertimbangan kemudahan operasional melalui penempatan sarana niaga yang
tidak menghalangi gerakan-gerakan normal manusia, termasuk dalam
operasional penggunaan sepeda motor. Studi konfigurasi penempatan sarana
niaga mengacu pada jangkauan pantauan visual pengendara melalui kaca spion.
Posisi kaca spion dipergunakan sebagai salah satu acuan untuk mengukur
batasan dimensi, posisi produk dan konfigurasi komponennya, sehingga
perangkat niaga mendukung faktor kelayakan pakai. Seperti pada gambar
berikut di bawah ini:
Gbr. 39
Batasan tinggi dan lebar berdasarkan range visual spion
Gbr. 40
Batasan panjang berdasarkan range penumpang (bonceng)
48
(3). Penyesuaian kemampuan beban sepedamotor melalui layout beban yang
efisien dan praktis. Optimalisasi beban yang dapat dibawa oleh sepedamotor
sebaiknya mengikuti standar spesifikasi kemampuan struktur dalam menahan
beban, sehingga kinerja kendaraan dalam situasi dan kondisi yang prima. Tata
letak sarana niaga kuliner adalah terletak di belakang sesuai dengan peruntukan
beban tambahan selain pengemudi. Posisi penumpang atau pembonceng pada
dasarnya digantikan dengan beban produk.
Gbr. 41
Tata letak ideal sarana niaga berdasar pertimbangan kestabilan sepedamotor
Data di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan produk yang
menggantikan posisi penumpang (pembonceng), terdiri dari beragam jenis dan
kapasitas, yang dibagi dalam tiga katagori, yaitu:
1. Maksimum bagasi atau triple bagasi, yaitu terdiri dari 1(satu) unit bagasi
belakang dan ditambah 2 (dua) unit bagasi samping sebagai satu kesatuan.
Tipe ini memuat seluruh perlengkapan dalam melaksanakan kegiatan
berniaga kuliner. Beberapa kalangan pedagang sering menyebutnya dengan
istilah “gerobak’.
2. Minimum bagasi atau singel bagasi, yaitu terdiri hanya satu unit bagasi
belakang. Tipe ini serupa dengan bagasi-bagasi tambahan untuk sepedamotor
yang dijual bebas di suatu supermarket, namun pada umumnya berukuran
49
lebih besar karena merupakan media niaga kuliner, yang terdiri dari ragam
peralatan yang berdimensi cukup besar.
3. Medium bagasi atau dobel bagasi, yaitu terdiri dari dua unit atau dua bagian
bagasi samping. Tipe ini banyak dipergunakan oleh pedagang kuliner yang
memutuskan untuk meniadakan bagasi belakang atau bagasi atas (di bagian
belakang sepedamotor) yang mengalami kesulitan dalam mengisi BBM.
(1) Maksimum Bagasi
(2) Minimum
Bagasi
(3) Medium Bagasi
Gbr. 42
Tiga jenis bagasi kuliner
Tiga jenis bagasi kuliner yang banyak terdapat di Kota Bandung adalah triple
bagasi atau tipe maksimum bagasi, dimana banyak terjadi kasus-kasus yang
menunjukkan pola kerja yang tidak produktif karena aspek beban yang berlebih. Para
pedagang kuliner memperoleh banyak kendala dari penggunaan bagasi tipe
maksimum atau triple bagasi ini.
Perhitungan dimensi yang mungkin dapat dipergunakan untuk kegiatan ini
adalah dengan menggunakan panduan yang berasal dari faktor pertimbangan
kompatibilitas ergonomis, seperti pada gambar berikut:
50
Gbr. 43
Dimensi bagasi sepedamotor
4. Pertimbangan keselamatan berkendara (safety riding) dengan implementasi
komponen keselamatan lalulintas. Bahwa pekerjaan wirausaha kuliner keliling
termasuk katagori high risk (sangat riskan), karena berpotensi mengalami
kecelakaan kerja yang fatal. Perhatian untuk waspada dalam berlalulintas di jalan
raya, merupakan persyaratan mutlak yang wajib dipenuhi oleh produk yang
terkait pekerjaan ini. Karenanya dibutuhkan upaya untuk memenuhi standar
keselamatan, seperti pada gambar berikut ini:
Gbr. 44
Komponen keselamatan berkendara
51
5. Pertimbangan higienitas kuliner dalam lingkungan jalan raya. Bahwa
konsep pekerjaan niaga kuliner keliling membutuhkan perhatian untuk
memperhatikan nilai-nilai higienitas yang terkait dengan pengaruh lingkungan
jalan raya atau lingkungan lalu lintas.
Situasi dan kondisi sarana niaga di lapangan menunjukkan bahwa pada saat
ini masih banyak pelaku usaha yang kurang memperhatikan masalah kesehatan
atau yang menyadari pengaruh lingkungan lalu lintas terhadap kualitas
kulinernya. Seperti tampak pada gambar berikut di bawah ini:
Gb. 45
Pengaruh debu jalan dan radikal bebas terhadap perangkat saji kuliner
Berdasarkan kajian adanya perngaruh debu-debu jalanan yang sarat dengan
radikal bebas yang berpengaruh buruk terhadap kesehatan, maka konsep sarana
niaga yang sangat mendukung prospek higienitas adalah yang seminimal mungkin
mengurangi kemungkinan debu memasuki wadah atau tempat dimana kuliner
berada.
Pengaruh angin dan hujan dalam bisnis niaga kuliner keliling ini adalah
membuat makanan (kuliner) cepat dingin dan basi. Hal ini merupakan kendala
yang sangat serius karena akan merusak seluruh aktivitas.
Beberapa produk sejenis yang dapat mengurangi kemungkinan debu, angin
dan air hujan memasuki area kuliner adalah dengan penggunaan insulasi atau
sejenis karet pengedap (insulated rubber). Seperti gambar berikut:
52
Gbr. 46 Konsep wadah kedap
dari pengaruh angin, debu dan air hujan
Gbr. 47
Insulated delivery box (www.popscreen.com)
Gbr. 48
Tas pesan antar (delivery bag) (www.leatherdiscount.com)
6. Pertimbangan kemudahan dalam mengisi BBM. Bahwa pedagang kuliner
keliling memiliki kendala dasar yang berpotensi mengganggu seluruh aktivitas
bisnisnya, yaitu kesulitan dalam mengisi BBM (Bahan Bakar Minyak). Jika
mereka membutuhkan pengisian bensin di SPBU, maka keseluruhan kontainer
yang dibawa harus dilepas dahulu sebelum memasuki area SPBU. Solusi untuk
mengatasi kendala ini, telah banyak dilakukan antara lain :
a. Penggunaan sepedamotor khusus niaga. Beberapa jenis sepedamotor
buatan China dan Taiwan, telah dipersiapkan untuk penggunaan sebagai
kendaraan khusus niaga kuliner keliling karena telah menggantikan lokasi
pengisian BBM di depan sehingga tidak perlu membuka dudukan jok
seperti pada motor sport.
53
Gbr. 49
Sepedamotor komuter dengan lubang BBM di luar jok.
Gbr. 50
Sepedamotor komuter dengan modifikasi lubang BBM di luar jok
Gbr. 50
Konsep adaptasi box geser untuk kemudahan membuka jok
54
3.5. Konsep dan Implementasi Nilai Budaya Sunda
Konsep implementasi nilai Budaya Sunda yang termaksud dalam
ergokultural Sunda, mencakup nilai-nilai dasar masyarakat Sunda dalam memahami
kuliner, yang pada dasarnya memuat ragam kecerdasan lokal (local intellegence)
yang sepatutnya diperkenalkan kembali dan dikembangkan sebagai komponen
budaya global.
Beberapa hal yang merupakan bahan pertimbangan budaya Sunda dalam
desain sarana niaga ini adalah sebagai berikut :
(1) Implementasi estetika Sunda. Nilai-nilai estetika Sunda yang meliputi cita,
rasa, cipta dan karsa dalam nuansa Budaya Sunda, muncul dalam bentuk perilaku
dan karakter masyarakat Sunda konservatif dalam memaknai berbagai aspek
kehidupan. Nilai-nilai dasar estetika Sunda yang dipaparkan oleh Jamaludin
(2010), menyebutkan unsur siga, dan waas, sebagai salah satu pemahaman
masyarakat Sunda terhadap hakikat suatu bentuk visual berdasarkan pengalaman
visualnya dalam melihat dan menafsirkan esensi keindahan alam semesta.
Filosofi keindahan suatu bentuk produk harus sesuai dengan situasi dan
kondisi dimana keindahan itu hidup. Dunia kuliner Sunda mengharuskan
aktivitas kuliner adalah berada dalam ruang lingkup kebersihan, kesehatan dan
keindahan (baik cita rasa maupun bentuk sajian kuliner), sehingga paduan ketiga
cakupan ini akan membentuk wujud hasrat (desire) yang melebihi dimensi
kebutuhan (need) dan keinginan (want).
Hasrat untuk menjangkau kualitas hidup (genah, merenah, tumaninah)
merupakan suatu tujuan yang dapat diwujudkan melalui penerapan kaidah
estetika. Dalam hirarki desain, hasrat (desire) merupakan tataran estetika yang
tertinggi.
55
(2) Konsep visualisasi ‘pancaraken’ wahana kuliner khas Sunda. Melalui
pengamatan terhadap artefak Budaya Sunda dalam dunia kuliner, kita
menemukan adanya beberapa produk sarana membawa makanan atau bahan
makanan tradisi Sunda yang disebut ‘pancaraken’ atau perabot dapur, antara
lain:
Gbr. 51
Tetenong
Tetenong adalah sarana khusus berbentuk silinder (ukuran ∅ 50cm) terbuat dari anyaman bambu yang tertutup (kedap), untuk mewadahi makanan yang siap santap. Setiap tetenong berisi berbagai kuliner (terdiri 4 sampai 7 jenis masakan) hasil masakan harian maupun dalam rangka acara pesta. Tetenong dipergunakan juga untuk mengirimkan makanan siap santap. Pada pesanan kecil (satu buah tetenong), maka dibawa dengan cara disuhun diatas kepala, dan dijinjing untuk tetenong berukuran kecil (∅ 30cm) atau dengan rantang. Tradisi mengirim makanan dengan tetenong dan rantang untuk orangtua dan kerabat, bertahan hingga kini di kawasan padesaan Pasundan
Gbr.52. Rantang
Rantang adalah sarana khusus untuk membawa makanan siap santap berukuran kecil (volume antara 0,5 liter sd 3 liter). Rantang pada umumnya terdiri dari 3 sampai 5 modul wadah yang disusun secara vertikal dengan komponen pengikat dan handel pegangan untuk dijinjing. Material untuk rantang bermacam jenis, antara lain: plastik, stainless steel dan alumunium.
Gbr. 53
Baki
Baki atau alas nampan adalah sarana khusus untuk menyajikan makanan minuman kepada tamu. Masyarakat Sunda membudayakan perilaku hormat dan ramah (someah) kepada tamu dengan selalu membawa makanan beralaskan baki.
Gbr.54
Saji
Saji adalah sejenis baki dengan volume yang lebih besar, dahulu dipergunakan untuk membawa sasajen (sajian untuk roh leluhur). Saji terbuat dari anyaman bambu. Nama saji menjadi populer ketika banyak masyarakat lain memakai untuk menyajikan aneka makanan.
56
Gbr.55. Tolok
Tolok merupakan wadah besar yang terbuat dari anyaman bambu, untuk dipergunakan khusus membawa barang-barang dagangan dengan cara dipikul menggunakan rancatan. Tolok biasanya memiliki kontruksi penguat di bawah (disebut soko) dan penutupnya (disebut turub).
Gbr.56. Tolombong
Tolombong merupakan wadah khusus untuk membawa hasil bumi, baik umbi-umbian, buah-buahan dan sayuran. Tolombong terbuat dari anyaman bambu berbentuk silinder bagian atas, dan bagian alasnya mendekati bentuk persegi.
Gbr. 57 Bakul
Gbr.58. Boboko
Gbr.59. Dingkul
Gbr.60. Said
Pada Budaya Sunda, terdapat konsep nama produk yang berbeda sesuai fungsi dan dimensinya, walau sekilas bentuknya mirip, seperti berikut: • Bakul adalah wadah khusus untuk
menyimpan beras dan nasi, yang populer di Pulau Jawa. Berukuran ∅35-40cm
• Boboko adalah jenis bakul yang lebih ramping dan tinggi dibandingkan bakul, dipergunakan untuk menghidangkan nasi hangat untuk siap disantap. Istilah boboko ini sering dipakai untuk menyebut jenis-jenis lain selain boboko.
• Dingkul atau Bodag, adalah jenis boboko berukuran lebih besar dari boboko dan bakul, pada umumnya difungsikan untuk menyimpan cadangan beras untuk siap tanak atau untuk penyimpanan sementara untuk dikirimkan ke pihak lain. Masyarakat Sunda kuno membawa dingkul dengan mempergunakan kain batik atau selendang (bhs Sunda: samping) yang diselendangkan seperti membawa bayi. Dingkul adalah boboko yang sifatnya mobile (bergerak).
• Said adalah sejenis boboko besar yang sering dipergunakan untuk menyimpan gabah, beras, jagung dan hasil bumi lain di pawon (dapur). Said biasanya dipakai untuk pengolahan nasi dalam pesta (kenduri).
57
Gbr.61. Dulang
Dulang adalah sejenis boboko yang terbuat dari kayu, berfungsi untuk mengolah nasi yang baru ditanak sehingga siap disantap. Dulang biasanya didampingi hihid yaitu kipas angin manual yang berfungsi untuk menghadirkan angin sehingga nasi yang panas dapat cepat hangat.
Gbr.62. Jubleg
Jubleg adalah sejenis dulang yang terbuat dari batu basal dan kayu (disebut jubleg kai), dipergunakan untuk menumbuk beras menjadi tepung dengan mempergunakan alu (penumbuk dari kayu dolken).
Gbr.63. Lulumpang
Lulumpang atau lumpang adalah jenis jubleg berukuran lebih kecil. Pada umumnya terbuat dari batu basal, kayu pohon nangka dan besi. Lulumpang berfungsi untuk mengolah biji kopi, bumbu dapur dan lain-lain menjadi lebih lembut atau serbuk.
Gbr.64. Kekeba/Tingkem
Kekeba atau Tingkem adalah sarana untuk membawa oleh-oleh dari kampung ke kota. Pada umumnya membawa hasil bumi atau hasil pertanian, termasuk aneka penganan khas desa. Produk ini terbuat dari anyaman bambu.
Gbr.65. Kolanding dan Lodong
Kolanding adalah wadah minuman yang terbuat dari ruas bambu berukuran kecil ∅5cm, sedangkan lodong dipergunakan untuk membawa minuman dengan volume yang lebih besar.
Gbr.66. Pipiti
Pipiti adalah wadah untuk makanan hidangan siap santap, terbuat dari anyaman bambu, yang terdiri dari dua bagian yaitu bagian wadah dan penutup. Pipiti berisi makanan biasanya dibagikan kepada para tamu undangan pada suatu pesta.
58
Beberapa produk tradisional Sunda yang terkait dengan kuliner tersebut di
atas, memberikan gambaran bahwa konsep ‘pancaraken’ atau desain perabotan
dapur Sunda memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut :
a. Setiap produk memiliki nama untuk setiap fungsinya walaupun bentuknya
cenderung memiliki kesamaan, namun terdapat perbedaan dari ukuran dan
materialnya. Hal ini memperlihatkan masyarakat Sunda telah memahami
adanya pengaruh faktor material terhadap fungsi produk dan tata cara kerja.
b. Setiap produk wadah disesuaikan desainnya berdasarkan karakteristik
material yang diwadahinya, sehingga setiap orang dapat mengetahui mana
yang merupakan bejana air atau bejana padat.
c. Setiap produk yang dipergunakan untuk menyimpan dan membawa makanan
siap santap pada umumnya selalu memiliki penutup, sehingga seluruh
makanan dapat terjaga dari kontaminasi dari luar.
d. Dimensi yang berbeda menunjukan adanya pertimbangan untuk membawa
seperlunya atau secukupnya, sehingga tidak terjadi sisa yang mubazir.
Konsep efisiensi yang dipersiapkan pada volume produk merupakan
kecerdasan lokal (local intellegence) yang sangat arif (kearifan lokal atau
local wisdoms) dan ergonomis.
(3) Inspirasi Pancaraken Tetenong untuk sarana niaga kuliner keliling. Bahwa
salah satu aktivitas masyarakat Sunda yang sangat relevan dengan konsep tata
boga dan tata niaga kuliner keliling di Kota Bandung dan sekitarnya, adalah
budaya mengirimkan makanan siap santap dengan tetenong.
Berbagai menu makanan harian maupun menu khusus, pada umumnya
dikomposisikan pada sebuah tetenong sebagai wadah makanan yang merupakan
bentuk penghargaan yang tinggi pada hasil bumi. Komposisi makanan pada
59
tetenong menunjukkan kondisi dan situasi yang dihadapi pemberi yang
dimaknai oleh penerima sebagai bukti keiklasan dan ketulusan hati. Bukan jenis
makanannya yang istimewa tetapi bagaimana cara makanan itu disampaikan
dengan santun dan ramah (someah).
Beragam makanan disusun melingkar pada tetenon sebagai bentuk
lingkaran kehidupan (circle of life) yang disebut mandala. Susunan makanan
pada tetenong menunjukkan keragaman unsur yang melibatkan alam (ekosistim)
yang khas. Urang Sunda pahuma (peladang) akan membawa aneka makanan
yang diolah dan disajikan dengan gaya orang pedalaman dataran tinggi yang
sederhana dengan dominasi sayuran dan ternak. Ini akan berbeda dengan tata
saji masyarakat Sunda pamayang (nelayan) yang lebih banyak
mengkomposisikan hasil budidaya ikan laut, atau juga masyarakat Sunda
panyawah (pesawah) yang biasa mengkomposisikan nasi sebagai sentral yang
diperlengkapi aneka hidangan yang bersumber dari sawah, kolam air tawar dan
kebun pekarangan. Gambar berikut menunjukkan bagaimana tetenong
diperlakukan :
Gbr.67. Tiga cara membawa tetenong
(www.wisata.kompasiana.com)
A
B
C
60
A. Tetenong disuhun. Tetenong yang berisi makanan untuk orangtua, sesepuh
maupun kerabat yang dituakan atau dihormati, biasanya dibawah dengan cara
disuhun di atas kepala. Tetenong ini berukuran sedang (sekitar ∅45cm),
sehingga dapat dipegang kedua sisinya dengan kedua tangan untuk menjaga
kestabilan selama di perjalanan. Pada festival tetenong yang dilestarikan di
Desa Cibuntu Kab. Bandung, tetenong diarak keliling desa dengan disuhun.
Tampak seperti pada gambar berikut:
Gambar 68. Karnaval Tetenong Desa Cibuntu Kab. Bandung
(www.stptrisakti.net)
B. Tetenong ditanggung. Tetenong yang dibawa sekaligus dalam jumlah
banyak atau lebih besar dari pada umumnya, maka cara membawanya dengan
ditanggung menggunakan rancatan (pikulan).
C. Tetenong dijinjing. Tetenong yang berukuran kecil cukup dibawa dengan
menggunakan tali jinjingan atau dengan menggunakan selendang seperti
membawa boboko. (lihat gambar 68).
61
Inspirasi tetenong sebagai dasar pembentukan budaya kuliner keliling,
mencakup karakteristik mentalitas dan karakteristik visualnya. Nilai-nilai budaya
Sunda yang juga dapat diterapkan pada pada budaya kuliner PKL ini
ditranspormasikan kedalam sistematika yang berbeda, seperti tergambar pada
ilustrasi di bawah ini:
Gambar 69 Transformasi budaya kuliner Sunda
62
BAB IV. DESAIN SARANA NIAGA KULINER KELILING
4.1. Konsepsi penerapan Ergokultural Sunda
Berbagai jenis kuliner berkembang di Kota Bandung, baik yang bernuansa
tradisional maupun yang modern, mulai yang bercitarasa Sunda, Jawa sampai
kuliner khas bangsa asing. Salah satu kuliner yang berasal dari transformasi budaya
kuliner China yaitu Shio mai (siomay), Bak Pao (bakpau) dan Dim Sum (dimsum),
merupakan kegemaran favorit warga Kota Bandung selain Bakso Sapi. Paduan
kuliner siomay, baso tahu, kentang kukus, pare kukus, telur ayam rebus dan daun
kol rebus, membentuk kuliner khas Kota Bandung, yang disebut ‘Basotahu’.
Hampir di setiap pelosok kota terdapat banyak pedagang kaki lima yang
berdagang basotahu, yang telah berkembang menjadi tiga jenis, yaitu: (1) baso tahu
ikan dengan bumbu kacang, (2) basotahu kuah dengan bumbu bakso sapi, (3) baso
tahu goreng atau batagor, yaitu basotahu yang digoreng yang diberi bumbu kacang
atau kuah bakso. Di Kota Bandung juga terdapat pedagang kuliner keliling yang
menjual siomay bersamaan dengan bakpau.
Kuliner “Basotahu” sangat populer di Bandung, terbukti dari maraknya
berbagai merek dagang bisnis kuliner ini, mulai dari usaha kecil home industri
sampai beberapa perusahaan yang memiliki berbagai cabang usaha di kawasan lain.
Di kawasan luar Jawa Barat, kuliner basotahu disebut ‘Siomay Bandung’, karena
kuliner ini dipopulerkan dan sangat berkembang di Bandung yang kemudian meluas
ke seluruh Indonesia.
Popularitas kuliner Baso Tahu yang sangat luas tersebut, dikarenakan kuliner
ini telah mampu memenuhi standar higienis dan kandungan nutrisi dan gizi yang
tinggi, karena proses pembuatannya yang memenuhi standar kesehatan masa kini,
63
karena dibuat dan diproses dengan cara mengukus (steaming) atau mematangkan
dengan uap panas. Dibawah ini adalah tampilan dari kuliner basotahu.
Gambar 70 Kuliner baso tahu atau siomay Bandung
Standar kandungan gizi (nutrition facts) pada basotahu ini belum ada yang
mencantumkannya pada kemasan atau pun wahana lain, padahal informasi itu
dibutuhkan sebagai suatu persyaratan makanan layak konsumsi, maka seluruh
kuliner mestinya memiliki data uji dan ijin tertulis dari BPOM (Badan Pengawas
Obat dan Makanan).
Keyakinan masyarakat konsumen bahwa kuliner baso tahu keliling ini
memiliki kelayakan gizi dan memenuhi standar higienis, merupakan modal dasar
yang penting bagi pedagang untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih prima.
Standar pelayanan ini merupakan SOP (Standard Operational Procedure) yang
dapat memandu pedagang meningkatkan kualitas secara berkelanjutan.
Kajian tentang kuliner baso tahu keliling ini, memperlihatkan adanya
permasalahan krusial berupa operasional kerja yang sangat tidak ergonomis atau
sangat kurang memperhatikan faktor ergonomi.
Peluang desain produk yang sangat relevan dan berpengaruh cukup
signifikan dalam memperbaiki sistematika kerja kuliner keliling, adalah melakukan
perbaikan desain terhadap sarana niaga dengan pendekatan pertimbangan ergonomi.
64
Gambar 71 Sosok kuliner baso tahu keliling di Kota Bandung
Perbaikan awal dari kasus-kasus kendala operasional yang berupa kecelakaan
kerja, inefisiensi dan risiko-risiko lai, dibutuhkan sustu solusi yang efektif. Pada
kasus ini permasalahan adalah tidak terjadi pada sepedamotor sebagai fasilitas kerja
operasional keliling, tetapi justru terjadi pada desain sarana niaga kulinernya.
Solusi untuk melakukan kegiatan niaga yang produktif dengan
mempergunakan sepedamotor, yang dikembangkan oleh para perancang produk di
China dan Taiwan, menunjukkan bahwa untuk melakukan kegiatan niaga tertentu
pada dasarnya membutuhkan fasilitas sepedamotor yang dirancang khusus sebagai
suatu kesatuan fungsi. Seperti tampak pada contoh berikut:
Gambar 72 Moved electronic 3000w Buatan China
(www.4-id.com)
65
Kebutuhan desain sarana niaga yang sangat urgent di lapangan, mencakup
kebutuhan untuk melakukan aktivitas bisnis kuliner keliling yang aman, nyaman dan
murah. Dengan demikian peluang yang dapat dikembangkan untuk memperbaiki
kinerja dan meningkatkan faktor kesehatan kerja dan produktifitas kerja wirausaha
kuliner keliling adalah merancang ulang sarana niaga yang khusus untuk suatu jenis
niaga, namun masih dapat dibongkarpasang pada kendaraan sepedamotornya.
Konsep dasar daru sarana niaga kuliner keliling untuk kuliner baso tahu
(sebagai sampel), diantaranya sebagai berikut :
1. Produk yang dirancang, secara khusus ditujukan untuk operasional
bisnis kuliner ‘basotahu’ keliling, yang bergerak sistematis (sesuai rute
dan jumlah rit harian) dari pool (pangkalan niaga) menuju domisili konsumen
di pelosok kota. Produk ini memiliki beban maksimal 100 kg yang terdiri dari
sekitar 50 porsi kuliner dan berbagai peralatan pelayanan selengkapnya.
Prinsip budaya Sunda yang relevan dengan indikasi batasan volume barang
adalah pedagang hanya dapat membawa barang seperlunya yang disesuaikan
dengan faktor kenyamanan kerja. Dengan demikian, tidak merubah target
penjualan secara umum yang rata-rata mencapai 50 porsi/hari.
2. Proses memasak, membakar dan menggoreng untuk tipe kuliner keliling
sebaiknya tidak dilakukan saat pedagang mengendarai sepedamotor, selain
terkait dengan faktor risiko kecelakaan, juga terkait dengan batasan budaya
Sunda yang tidak mengenal adanya dapur yang mobile. Jika pun kompor
dibutuhkan untuk dibawa, maka hanya dioperasikan secara berkala sekedar
untuk menghangatkan makanan ketika kendaraan sedang diparkir atau
mangkal sementara waktu. Tampak seperti gambar berikut:
66
Gambar 73 Dandang dan kompor sebagai komponen
proses kuliner yg dinyalakan ketika berhenti sementara
3. Produk ini dihubungkan dengan sistem join yang sudah dikenal umum
atau yang mudah pemakaiannya (user friendly atau easy handling), pada
bagian belakang sepedamotor jenis komuter. Rekomendasi penggunaan
jenis sepedamotor komuter, berdasarkan jenis sepedamotor terbanyak yang
dipergunakan pedagang saat ini. Dengan demikian produk ini untuk dipakai
pada sepedamotor yang ada. Pada saat ini terdapat beberapa jenis
sepedamotor komuter (tipe bebek) yang memasang sistem pengisian BBM di
bagian lain selain di bawah jok sepedamotor. Sepedamotor jenis ini sangat
67
relevan untuk dipergunakan khusus sebagai fasilitas bisnis niaga kuliner
keliling. Produk ini tidak kompatibel untuk dipergunakan pada sepedamotor
jenis lain seperti: skuter, motor sport, chooper, dan lain sebagainya.
4. Produk ini memiliki kemampuan untuk memberikan perlindungan terhadap
subjek kuliner, sehingga terjaga dari kontaminasi luar seperti air hujan, debu
jalanan, serangga dan anasir lainnya.
5. Produk ini memiliki ciri khas kuliner jenis ‘Baso Tahu’(shiomay), Bak pau,
atau Dim sum dan sejenisnya yang menggunakan proses kukus (steam),
sehingga tidaklah relevan jika dipergunakan untuk kuliner jenis lain.
6. Produk ini memiliki fasilitas keselamatan berkendara (safety riding),
misalnya melalui pemasang reflektor dan lampu rambu tambahan untuk
meningkatkan kewaspadaan berlalulintas.
4.2. Konsep Desain Produk
4.2.1. Filosofi Desain
Sarana niaga wirausaha kuliner bermotor roda dua merupakan sarana
khusus yang dipergunakan wirausaha bidang kuliner lokal siap saji pada
fasilitas kendaraan bermotor roda dua atau jenis sepedamotor (motorcycle),
yang bergerak menuju kediaman para pelanggan/konsumen, baik yang
melakukan pemesanan maupun yang bertransaksi secara spontan. Sarana ini
dapat dibedakan dengan sarana pesan-antar (delivery order) yang biasa
dipergunakan oleh perusahaan kuliner waralaba cepat saji (fastfood) yang lebih
cenderung bersifat pasif.
Berdasarkan perrtimbangan user (pemakai) adalah pedagang
/wirausaha/PKL yang notabene merupakan masyarakat yang sederhana, lugu
68
dan sangat jujur, maka sifat-sifat user ini dapat dijadikan salah satu filosofi
desain yang relevan.
Filosofi desain yang dapat dikemukakan adalah ‘simpel’ sebagai makna
dari sesuatu hal yang sederhana, yang memudahkan atau sama sekali tidak
rumit. Konsekwensi atas filosofi desain ini adalah mengarahkan kita untuk
memperhatikan konsep lainnya kepada nilai-nilai yang simpel (simple).
4.2.2. Aspek-aspek pertimbangan desain
Antara lain:
• Bentuk atau rupa produk harus sesuai minat, kebutuhan dan karakteristik
user (pedagang, wirausaha kuliner lokal)
• Dimensi produk sesuai dengan kebutuhan operasional pelayanan terhadap
konsumen, meliputi optimalisasi jumlah porsi kuliner yang terkait daya
muat dan sarana kerja atau perlengkapan operasional dalam tata sajian
berdasarkan nilai-nilai kultural yang mendukung konsepsi estetis. Untuk
memenuhi berbagai jenis komoditi kuliner atau peningkatan jasa
pelayanan, dimungkinkan terdiri dari beberapa versi varian atau terdiri
dari beberapa modul yang dapat dimiliki secara terpisah namun dapat
dipadukan satu sama lain sesuai kebutuhan.
• Seluruh fasilitas yang terkait K3 (kenyamanan, ketertiban dan
keselamatan kerja) tersedia sebagai kelengkapan standar, termasuk hal-
hal yang terhubung dengan prinsip keselamatan berkendara (safety
riding).
• Seluruh fasilitas yang terkait kebersihan dan kesehatan (higiene) serta
informasi jaminan halal dan kandungan gizi-nutrisi dari kuliner, harus
69
dapat diterapkan pada produk ini, karena merupakan hal yang baru sesuai
dengan komitmen pada aturan Pemerintah dan kepedulian terhadap
pelanggan dan lingkungan hidup.
• Produk ini harus dapat dibongkar-pasang (knocked down) dengan mudah
dan cepat (easy handling atau user friendly) pada komponen bracer
sepedamotor komuter atau jenis lain yang dimiliki user.
• Produk ini dapat dikomposisikan dalam beberapa variasi, sesuai dengan
kebutuhan user. Yang bersifat standar adalah tidak mengganggu aktivitas
mengemudi, baik saat naik maupun turun dari sepedamotor, seperti hal
yang terjadi pada produk lain yang menjadi dasar permasalahan
ergonomi.
• Produk ini terdiri dari beragam material yang dipilih berdasarkan
pertimbangan aspek ketahanan material terhadap goresan, benturan, terik
matahari dan curah hujan. Diantaranya adalah pemilihan jenis cat yang
permanen agar warna-warnanya (pada body, komponen dan unsur grafis)
tidak mudah pudar atau kusam.
• Produk ini harus dapat diproduksi oleh industri-industri kecil yang telah
memenuhi standar kualifikasi tertentu.
• Sistem pemasangan atau perakitan (assembling) dari produk ini harus
juga sederhana dan mudah dilakukan oleh maksimal dua orang.
• Secara keseluruhan, produk ini harus memiliki citra estetis yang tinggi
sehingga dapat dijadikan unsur daya tarik peningkatan sektor pariwisata
kuliner serta turut mempercantik Kota Bandung dan sekitarnya. Semua
pedagang kuliner lokal siap saji yang mempergunakan produk ini, dapat
berperan aktif sebagai duta wisata kuliner Kota Bandung.
70
4.2.3. Batasan desain
a. Produk ini tidak ditujukan untuk PKL kuliner keliling yang mangkal atau
berdiam di suatu kawasan tertentu, karena tidak diperlengkapi dengan
sarana lain yang terkait dengan pelayanan tata saji pada konsumen yang
mendatangi tempat tersebut.
b. Produk ini hanya dapat dipasang pada bagian bracer sepedamotor, sehingga
tidak dapat dipergunakan tanpa keberadaan sepeda motor.
4.2.4. Sasaran desain
• Dicapainya standar fungsi dari masing-masing modul
• Dicapainya sistem penghubung (jointing design) antar modul dan antar
komponen yang mudah dan praktis
• Dicapainya konsep penerapan unsur-unsur pendukung K3 (Kebersihan,
kenyamanan dan ketertiban), HSE (Health Safety Environment), sebagai
suatu komponen yang utuh dan menyatu (unity) dengan modul fungsi
tersebut
• Dicapainya standar estetis yang mendukung konsep estetika Kota Bandung.
4.2.5. Kriteria desain
• Fungsional: memenuhi standar efisiensi, efektifitas dan produktivitas kerja
• Estetis: memenuhi standar estetika lingkungan (termasuk kultur dimana
aktivitas ini hidup)
• Praktis: memenuhi kebutuhan kemudahan operasional dan tata cara kerja
yang berlaku umum
71
• Ergonomis: memenuhi standar-standar kenyamanan kerja, keselamatan
kerja dan produktivitas usaha. Manusia merupakan prioritas atau aspek
perhatian yang paling dipentingkan.
4.2.6. Spesifikasi desain
• Produk dipasang di samping bagian belakang sepeda motor, dimaksudkan
untuk memudahkan pengguna/pengemudi naik-turun sepeda motor. Jika
dipasang persis di belakang pengemudi, maka komponen tersebut harus
dapat digeser ke bawah, agar kaki pengemudi tidak tersandung saat naik
maupun turun dari kendaraan sepeda motor.
Gambar 74 Tampilan dasar desain sarana niaga basotahu keliling
• Dimensi untuk masing-masing komoditi kuliner dan sistem pelayanannya
yang berbeda memungkinkan tidak sama, perbedaan yang terjadi karena
adanya perbedaan kebutuhan dan atau keterbatasan modul yang
dimilikinya. Dimensi total standar yang optimum adalah panjang = 45 cm,
72
lebar = 25 cm dan tinggi = 30 cm untuk modul yang dipasang di sisi kiri
maupun kanan sepeda motor, sehingga total lebar produk dan sepedamotor
mencapai 85 cm. Dimensi ini memungkinkan pedagang dapat memasuki
gang-gang kecil, sesuai kebutuhannya yang khas.
Gambar 75 Gambar produksi sarana niaga
• Material utama pada produk ini adalah metal sheet (alumunium atau
stainless steel) untuk kemudahan pembentukan (forming) dan efisiensi
ruang untuk stok kuliner. Menggunakan penguatan lapisan pelindung
73
dengan material polimer yang memiliki tata warna yang tidak mudah
pudar.
• Menggunakan komponen: (1) alat dandang (steamer) khusus
basotahu/dimsum, (2) pemanas (kompor gas atau kompor listrik dengan
adaptor ke arus DC (Accumulator), atau pemanas dari evaporator knalpot),
(3) Botol kecap bahan plastik foodgrade, (4) kontainer bumbu kacang dari
plastik foodgrade.
Gambar 76 Desain sarana niaga kuliner baso tahu
74
4.2.7. Citra desain
Produk ini dirancang dengan image yang menyerap nilai-nilai budaya
Sunda, dalam dimensi pemuliaan lingkungan hidup (ekosistem) dan citra yang
terkait dengan dunia kuliner di kawasan Pasundan. Dengan hasil rancangan
sebagai berikut:
Gambar 77 Desain sarana niaga kuliner baso tahu
Gambar 78 Desain sarana niaga kuliner baso tahu
76
BAB V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Pedagang kuliner keliling di Kota Bandung pada umumnya memiliki
kesadaran yang cukup tinggi tentang pentingnya faktor keselamatan selama
berkendara dan berdagang. Fenomena kuliner keliling yang semakin meningkat pada
dasarnya membutuhkan fasilitas niaga yang baik dan benar.
Sebagian besar peniaga kuliner keliling mengharapkan adanya fasilitas niaga
yang baik dan benar. Dimana fasilitas niaga tidak saja harus bersih dan sehat, tetapi
juga harus praktis, mudah, dan nyaman dipakai. Fasilitas niaga kuliner juga
diharapkan dapat menarik minat pembeli/pelanggan, sebagai suatu atraksi budaya
kuliner yang bernilai luhur, karena kuliner merupakan salah satu wujud budaya yang
lestari. Dengan demikian fasilitas niaga yang sesuai dengan nilai-nilai budaya Sunda
bagi masyarakat Kota Bandung dan sekitarnya merupakan suatu kebutuhan yang
sangat penting.
5.2. Saran
Penelitian ini adalah merupakan langkah awal untuk membuka wawasan
tentang kemungkinan menerapkan prinsip ergonomi modern yang dipadukan
dengan unsur budaya lokal. Pada studi kasus yang menggali hakikat ergokultural
Sunda untuk diterapkan pada suatu wahana bisnis kuliner lokal, ternyata belum
cukup mencapai optimalisasi yang dapat merubah budaya masa kini yang sangat
kental pengaruh global. Dengan demikian masih diperlukan langkah-langkah
lanjutan untuk memperoleh prinsip-prinsip dasar yang dapat dijadikan acuan desain
produk yang relevan dengan kepentingan bisnis kuliner, sehingga penulis
mengharapkan adanya tindak lanjut dari para peneliti lain yang memiliki sudut
pandang berbeda.
77
DAFTAR PUSTAKA
Abang Hasbi. 2012. Penertiban Pedagang Kaki Lima di Kecamatan Pontianak
Tenggara. Jurnal Publika Vol 1 No 1 Tahun 2012.
Agar, M. 1996. Professional Stranger: An Informal Introduction To Ethnography,
(2nd
Arni, Muhammad. 2002. Komunikasi Sosial Budaya. UNS Surakarta.
ed.). Academic Press
Aswatun Hasanah, Vidya. Et.al. 2013. Sikap Konsumen Terhadap Kondisi
Higiene Sanitasi Penjualan Makanan Pedagang Kaki Lima (PKL) Trisula
Taman Bungkul Surabaya. E-journal boga. Volume 2, nomor 1, tahun 2013,
edisi yudisium periode Februari 2013, hal 126-138.
Alo, Liliweri. 2001. Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Cutlip, Scott M.,Allen H. Center, and Glenn M.Broom. 1994. Effective Public
Relations. Seventh edition. New Jersey: Prentice Hall International, Inc.
Boslaugh, Sarah (2010). "Obesity Epidemic", in Culture Wars: An Encyclopedia of
Issues, Viewpoints, and Voices, ed. Roger Chapman. Armonk, N.Y.: M. E.
Sharpe
Darsa, A. Undang. 2006.Gambaran Kosmologi Sunda. Bandung: Kiblat Buku
Utama
Dewa Gde Satrya. 2009. Wisata Kuliner Sebagai Penyelamat PKL di Kota
Surabaya. Jurnal Neo-Bis, Volume 3 Nomor 1.
Dinarjati Eka Puspitasari. 2009. Penataan Pedagang Kaki Lima Kuliner Untuk
Mewujudkan Fungsi Tata Ruang Kota di Kota Yogyakarta dan
Kabupaten Sleman. Jurnal Mimbar Hukum Volume 22 nomor 3 Oktober
2010, hal 588-606.
78
Ekajati, Edi S.1984. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta: Girimuki
Pasaka
Ekajati, Edi S.2005. Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta:
Pustaka Jaya
Fetterman. 1998. Ethnography (2nd
Januar, Ridzki. 2012. Pedagang Kaki Lima: Dibutuhkan tapi Dicampakkan.
Situs online: http://rj-messageinthebottle,blogspot.com/2012/06/ diunduh: 10
Februari 2013.
edition). Thousand Oak CA: Sage Publication
Nurmianto, Eko. 1996. Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Surabaya: Guna
Wijaya
Pasaribu, Iqbal Tawakal.2007. Melihat Fenomena Pedagang Kaki Lima Melalui
Aspek Hukum. Situs: http// hmibecak.wordpress.com/2007/08/01 diunduh 10
Februari 2013
Pusat Studi Sunda. 2007. Menyelamatkan Alam Sunda. Bandung: Yayaasan Pusat
Studi Sunda
Pramesti, Olivia Dewi.2012. Budaya, Solusi Wujudkan Kota Layak Pejalan
Kaki. Situs: http://nationalgeographic.co.id/berita/2012 diunduh: 08 Februari
2013
Puspitasari, Dinarjati Eka. 2010. Penataan Pedagang Kaki Lima Kuliner Untuk
Mewujudkan Fungsi Tata Ruang Kota Di Kota Yogyakarta dan
Kabupaten Sleman. Jurnal Mimbar Hukum Volume 22, Nomor 3, Oktober
2010, Halaman 588-606.
Perda No. 04 Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pembinaan PKL. Lembaran
Daerah Kota Bandung.
79
Permendagri No.41 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Lembaran Negara Republik Indonesia.
Priliawito, Eko. 2011. Perda Trotoar, 150 Ribu PKL Akan Tergusur. Situs: http://
metro.news.viva.co.id/news/read/246968 diunduh 10 Februari 2013
R.M. Moch. Wispandono. 2012. Upaya Mengurangi Pengangguran Melalui
Peningkatan Wisata Kuliner (Studi Kasus Pedagang Kaki Lima Di
Surabaya). Jurnal Fakultas Ekonomi Universitas Trunojoyo Madura.
Rosidi, Ajip.1984. Manusia Sunda. Jakarta: Yayasan Idayu
Rosidi, Ajip. Dkk. 2000.Ensiklopedi Sunda. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya
Skaggs, Paul. 2012. Ethnography in Product Design – Looking For Compensatory
Behaviors. Journal of Management and Marketing Research. Brigham Young
University.
Henny Purwanti. 2010. Usaha Penertiban Dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima
Di Kabupaten Lumajang. Jurnal hukum Argumentum Vol 10 No 1.
Desember 2010.
Is Hardi Utomo. 2005. Implementasi Kebijakan Penataan Dan Pembinaan
Pedagang Kaki Lima (Studi Kasus Implementasi Kebijakan Penataan Dan
Pembinaan Pedagang Kaki Lima Kota Surakarta Ditinjau Dari Prespektif
Komunikasi Pemerintah Kota dan PKL). Jurnal Spirit Publik Volume 1 Nomor
1 April 2005.
I Wayan Wana Pariatha. 2012. Sikap Pedagang Kaki Lima Terhadap
Lingkungan Di Kota Denpasar. Bumi Lestari Journal of Environment,
volume 11 No.1
Klapthor, James N. (2003). "What, When, and Where Americans Eat in 2003".
Newswise/Institute of Food Technologists.
80
Mangkuprawira, Sjafri. 2007. Budaya Kerja. Jurnal online pada situs
http://ronawajah. Wordpress.com. Diunduh pada 10 Maret 2013.
Nurmianto, Eko. 1996. Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Surabaya: Guna
Wijaya
Sarjono, Y. 2005. Pergulatan Pedagang Kaki Lima di Perkotaan. Surakarta:
Muhammadiyah University Press.
Skaggs, Paul. 2012. Ethnography in Product Design – Looking For Compensatory
Behaviors. Journal of Management and Marketing Research. Brigham Young
University.
Udji Asiyah. 2012. Pedagang Kaki Lima Membandel Di Jawa Timur. Jurnal
Masyarakat dan Kebudayaan Politik, tahun 2012, Volume 25 Nomor 1, hal 47-
55.
Wispandono, R.M. Moch. 2012. Upaya Mengurangi Pengangguran Melalui
Wisata Kuliner. (Studi pada Pedagang Kaki Lima di Surabaya). Fakultas
Ekonomi Universitas Trunojoyo Madura.