jurnal ot ke fitofarmaka

7
Editorial Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007 Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka* Hedi R. Dewoto Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Pendahuluan Saat ini meskipun obat tradisional cukup banyak digunakan oleh masyarakat dalam usaha pengobatan sendiri (self-medication), profesi kesehatan/dokter umumnya masih enggan untuk meresepkan ataupun menggunakannya. Hal tersebut berbeda dengan di beberapa negara tetangga seperti Cina, Korea, dan India yang mengintegrasikan cara dan pengobatan tradisional di dalam sistem pelayanan kesehatan formal. Alasan utama keengganan profesi kesehatan untuk meresepkan atau menggunakan obat tradisional karena bukti ilmiah mengenai khasiat dan keamanan obat tradisional pada manusia masih kurang. 1 Obat tradisional Indonesia meru- pakan warisan budaya bangsa sehingga perlu digali, diteliti dan dikembangkan agar dapat digunakan lebih luas oleh masyarakat. Definisi obat tradisional ialah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. 2 Obat tradisional Indonesia atau obat asli Indonesia yang lebih dikenal dengan nama jamu, umumnya campuran obat herbal, yaitu obat yang berasal dari tanaman. Bagian tanaman yang digunakan dapat berupa akar, batang, daun, umbi atau mungkin juga seluruh bagian tanaman. Fitofarmaka adalah obat dari bahan alam terutama dari alam nabati, yang khasiatnya jelas dan terbuat dari bahan baku, baik berupa simplisia atau sediaan galenik yang telah memenuhi persyaratan minimal, sehingga terjamin kese- ragaman komponen aktif, keamanan dan kegunaannya. Penggunaan obat tradisional di Indonesia sudah berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu, sebelum obat modern ditemukan dan dipasarkan. Hal itu tercermin antara lain pada lukisan di relief Candi Borobudur dan resep tanaman obat yang ditulis dari tahun 991 sampai 1016 pada daun lontar di Bali. 3 Indonesia yang beriklim tropis merupakan negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Indonesia memiliki sekitar 25 000-30 000 spesies tanaman yang merupakan 80% dari jenis tanaman di dunia dan 90 % dari jenis tanaman di Asia. 1,4 Hasil inventarisasi yang dilakukan PT Eisai pada 1986 mendapatkan sekitar tujuh ribu spesies tanaman di Indone- sia digunakan masyarakat sebagai obat, 5 khususnya oleh 205 * Disampaikan pada Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Farmakologi pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 14 Juli 2007

Upload: lutfi-chabib

Post on 26-Oct-2015

336 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

OT

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal OT Ke Fitofarmaka

Editorial

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007

Pengembangan Obat Tradisional IndonesiaMenjadi Fitofarmaka*

Hedi R. Dewoto

Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan

Saat ini meskipun obat tradisional cukup banyakdigunakan oleh masyarakat dalam usaha pengobatan sendiri(self-medication), profesi kesehatan/dokter umumnya masihenggan untuk meresepkan ataupun menggunakannya. Haltersebut berbeda dengan di beberapa negara tetangga sepertiCina, Korea, dan India yang mengintegrasikan cara danpengobatan tradisional di dalam sistem pelayanan kesehatanformal. Alasan utama keengganan profesi kesehatan untukmeresepkan atau menggunakan obat tradisional karena buktiilmiah mengenai khasiat dan keamanan obat tradisional padamanusia masih kurang.1 Obat tradisional Indonesia meru-pakan warisan budaya bangsa sehingga perlu digali, ditelitidan dikembangkan agar dapat digunakan lebih luas olehmasyarakat.

Definisi obat tradisional ialah bahan atau ramuan bahanyang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian(galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secaraturun temurun telah digunakan untuk pengobatanberdasarkan pengalaman.2 Obat tradisional Indonesia atau

obat asli Indonesia yang lebih dikenal dengan nama jamu,umumnya campuran obat herbal, yaitu obat yang berasaldari tanaman. Bagian tanaman yang digunakan dapat berupaakar, batang, daun, umbi atau mungkin juga seluruh bagiantanaman.

Fitofarmaka adalah obat dari bahan alam terutama darialam nabati, yang khasiatnya jelas dan terbuat dari bahanbaku, baik berupa simplisia atau sediaan galenik yang telahmemenuhi persyaratan minimal, sehingga terjamin kese-ragaman komponen aktif, keamanan dan kegunaannya.

Penggunaan obat tradisional di Indonesia sudahberlangsung sejak ribuan tahun yang lalu, sebelum obatmodern ditemukan dan dipasarkan. Hal itu tercermin antaralain pada lukisan di relief Candi Borobudur dan resep tanamanobat yang ditulis dari tahun 991 sampai 1016 pada daun lontardi Bali.3

Indonesia yang beriklim tropis merupakan negaradengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di duniasetelah Brazil. Indonesia memiliki sekitar 25 000-30 000 spesiestanaman yang merupakan 80% dari jenis tanaman di duniadan 90 % dari jenis tanaman di Asia.1,4

Hasil inventarisasi yang dilakukan PT Eisai pada 1986mendapatkan sekitar tujuh ribu spesies tanaman di Indone-sia digunakan masyarakat sebagai obat,5 khususnya oleh

205

* Disampaikan pada Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetapdalam Ilmu Farmakologi pada Fakultas Kedokteran UniversitasIndonesia Jakarta 14 Juli 2007

Page 2: Jurnal OT Ke Fitofarmaka

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007

Pengembangan Obat Tradisonal Indonesia Menjadi Fitofarmaka

industri jamu dan yang didaftarkan ke Badan PengawasObat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia berjumlah283 spesies tanaman.1 Senarai tumbuhan obat Indonesia yangditerbitkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesiapada tahun 1986 mendokumentasi 940 tanaman obat danjumlah tersebut tidak termasuk tanaman obat yang telahpunah atau langka dan mungkin ada pula tanaman obat yangbelum dicantumkan.6

Bila dikaji dari sejarah perkembangan, beberapa obatmoderen ternyata sebagian di antaranya juga disolasi daritanaman (Tabel 1).1,7 Selain itu didapatkan juga obat anti-kanker yang berasal dari sumber bahan alam sepertiaktinomisin, bleomisin, dan daunorubisin yang diisolasi darijamur dan bakteri.

Tabel 1. Obat yang Berasal dari Tanaman1,7

Nama Obat Nama sumber Tanaman Kegunaan

Kolkisin Colchicum autumnale GoutDigitalis Digitalis purpurea Gagal jantungOpium Papaver somniferum AnalgesikKina Cinchona ledgeriana AntimalariaArtemisinin Artemisin annua AntimalariaVinkristin Vinca rosea AntikankerVinblastin Vinca rosea Antikanker

Dalam dekade belakangan ini di tengah banyaknya jenisobat modern di pasaran dan munculnya berbagai jenis obatmodern yang baru, terdapat kecenderungan global untukkembali ke alam (back to nature). Faktor yang mendorongmasyarakat untuk mendayagunakan obat bahan alam antaralain mahalnya harga obat modern/sintetis dan banyaknyaefek samping.8 Selain itu faktor promosi melalui media masajuga ikut berperan dalam meningkatkan penggunaan obatbahan alam. Oleh karena itu obat bahan alam menjadi semakinpopuler dan penggunaannya meningkat tidak saja di negarasedang berkembang seperti Indonesia, tetapi juga padanegara maju misalnya Jerman dan Amerika Serikat. Tahun2000 pasar dunia untuk obat herbal termasuk bahan bakumencapai 43 000 juta dolar Amerika. Penjualan obat herbalmeningkat dua kali lipat antara tahun 1991 dan 1994, danantara 1994 dan 1998 di Amerika Serikat.9

Di Indonesia menurut survei nasional tahun 2000,didapatkan 15,6% masyarakat menggunakan obat tradisionaluntuk pengobatan sendiri dan jumlah tersebut meningkatmenjadi 31,7 % pada tahun 2001.10 Jenis obat tradisional yangdigunakan dapat berupa obat tradisional buatan sendiri, jamugendong maupun obat tradisional industri pabrik.

Obat Tradisional sebagai Obat Alternatif

Penggunaan obat tradisional di Indonesia tidak sajaberlangsung di desa yang tidak memiliki/jauh dari fasilitaskesehatan dan obat modern sulit didapat, tetapi jugaberlangsung di kota besar meskipun banyak tersedia fasilitas

kesehatan dan obat modern mudah diperoleh. Obat tra-disional mungkin digunakan sebagai obat alternatif karenamahalnya atau tidak tersedianya obat modern/sintetis danadanya kepercayaan bahwa obat tradisional lebih aman.Selain untuk memelihara kesehatan dan mengobati penyakitringan, yang mengkhawatirkan ialah obat tradisional jugadigunakan masyarakat sebagai obat pilihan untuk mengobatipenyakit berat, penyakit yang belum memiliki obat yangmemuaskan seperti kanker dan AIDS, serta berbagai penyakitmenahun misalnya hipertensi dan diabetes melitus tanpapengawasan/sepengetahuan dokter.

Meningkatnya Industri Obat Tradisional

Meningkatnya minat masyarakat terhadap obat tra-disional memacu industri farmasi di Indonesia untuk ikutmemproduksi obat tradisional.

Tabel 2. Jumlah dan Jenis Industri Obat Tradisional yang Di-daftar di Badan POM11

Tahun Industri Kecil Industri Obat Industri JumlahObat Tradisional Tradisional Farmasi

2002 29 10 16 552003 164 58 82 3042004 217 54 85 3562005 197 47 87 3312006 172 40 79 291

Pada tahun 2002 jumlah industri farmasi yangmemproduksi obat tradisional yang mendaftar pada BadanPOM ada 16 perusahaan dan meningkat menjadi 82 padatahun berikutnya.12 Jumlah industri yang memproduksi obattradisional sampai akhir 2002 di Indonesia didapatkan 1012,yang terdiri atas 105 industri skala besar dan 907 industriskala kecil.13 Jumlah sediaan obat tradisional yang didaftarpada Badan POM akhir 2006 adalah 14 217 termasuk dian-taranya 2 036 produk impor dan 52 produk lisensi.12

Penelitian Obat Tradisional Indonesia

Obat tradisional Indonesia merupakan warisan budayabangsa sehingga perlu dilestarikan, diteliti dan dikembangkan.Penelitian obat tradisional Indonesia mencakup penelitianobat herbal tunggal maupun dalam bentuk ramuan. Jenispenelitian yang telah dilakukan selama ini meliputi penelitianbudidaya tanaman obat, analisis kandungan kimia, toksisitas,farmakodinamik, formulasi, dan uji klinik. Dari jenis penelitiandi atas, uji klinik masih sangat kurang dilakukan dibandingkanjenis penelitian lainnya, sehingga data khasiat dan keamananobat herbal pada manusia masih sangat jarang. Hal tersebutantara lain karena biaya penelitian untuk uji klinik sangatbesar dan uji klinik hanya dapat dilakukan bila obattradisional/obat herbal tersebut telah dibuktikan aman danmemperlihatkan efek yang jelas pada hewan coba. Penelitianmengenai budidaya tanaman obat dilakukan untuk memenuhi

206

Page 3: Jurnal OT Ke Fitofarmaka

Pengembangan Obat Tradisonal Indonesia Menjadi Fitofarmaka

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007

kebutuhan tanaman obat tertentu yang meningkat sehinggakebutuhan tidak terpenuhi dari lahan yang ada atau karenaberkurangnya lahan tempat tumbuh tanaman obat. TanamanPurwoceng (Pimpinella pruatjan Molenb), merupakantumbuhan liar di hutan pegunungan Dieng yang secaraempiris turun menurun digunakan untuk meningkatkanvitalitas pria. Penelitian pada tikus jantan cenderungmeningkatkan testosteron. Dewasa ini tanaman tersebutsudah termasuk langka karena penambangan Purwocengsecara besar-besaran dan intensifikasi pertanian di pegu-nungan Dieng. Oleh karena itu dilakukan penelitianpengembangan di luar habitat asli di Gunung Putri. Darihasil penelitian tersebut didapatkan Purwoceng dapatdibudidayakan di Gunung Putri, namun produksi danmutunya lebih rendah dari pada di pegunungan Dieng.14

Diperkirakan dengan pemupukan tanah Gunung Putri akanmeningkatkan produksi dan mutu simplisia. Jadi pengem-bangan obat tradisional tidak lepas dari pembudidayaannya.

Saat ini minat untuk melakukan penelitian obattradisional/obat herbal cukup banyak. Hal itu tercerminantara lain dari banyaknya peserta Program PendidikanPascasarjana (P3S) Biomedik FKUI, ataupun ProgramPendidikan Dokter Spesialis khususnya Spesialis FarmakologiKlinik yang melakukan penelitian mengenai obat herbal untuktesisnya. Selain di berbagai perguruan tinggi di Indonesia,penelitian mengenai obat tradisional/obat herbal juga banyakdilakukan di lembaga penelitian, pemerintah maupun industrifarmasi. Sebagian hasil penelitian dilaporkan di seminar ataukongres terutama yang khusus membahas hasil penelitianobat tradisional/obat herbal seperti Seminar NasionalTumbuhan Obat Indonesia. Di sisi lain, banyak hasilpenelitian yang tidak dipublikasikan dan tersebar di berbagaiinstitusi pendidikan, lembaga penelitian, pemerintah/departemen maupun di industri. Oleh karena itu diperlukansuatu badan yang mengkoordinasi pengumpulan datapenelitian obat herbal di Indonesia beserta hasilnya danmengintegrasikan pada satu database yang dapat diaksesoleh semua pihak yang berminat. Data tersebut akan sangatberguna sebagai sumber informasi terutama untuk menen-tukan penelitian selanjutnya, baik untuk menghindariduplikasi penelitian, memperbaiki metode, maupun untukmelengkapi penelitian yang sudah ada.

Penelitian dalam bidang obat tradisional/obat herbal diIndonesia perlu dilakukan secara terkoordinasi, terpadu danterarah agar dapat memberikan hasil yang komprehensif. Olehkarena itu perlu dibentuk jaringan kerja sama antar penelitidari berbagai disiplin ilmu. Badan POM tahun 2002 melakukanpemetaan penelitian obat tradisional/obat herbal yang telahdilakukan di perguruan tinggi, lembaga penelitian, industri,dan pemerintah, mulai dari budidaya hingga uji klinik.Selanjutnya setelah dilakukan pemetaan ditetapkan sembilanspesies tanaman unggulan untuk diteliti lebih lanjut sampaike tahap uji klinik. Di bawah koordinasi Badan POM uji klinikdilakukan oleh peneliti dari berbagai perguruan tinggi. Hal

itu dilakukan dalam usaha mendapatkan obat golonganfitofarmaka. Sembilan spesies tanaman yang dipilih sebagaitanaman unggulan untuk diteliti lebih lanjut, termasuk ujiklinik, adalah cabe jawa (Piper retrofractum Vahl.), temulawak(Curcuma xanthorrhiza Roxb.), kunyit (Curcuma domestica

Val.), jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.), sambiloto(Andrographis paniculata Nees.), jahe (Zingiber officinale

Rosc.), mengkudu (Morinda citrifolia L.), salam (Eugenia

polyantha Wight.), dan jambu biji (Psidium guajava L.).13

Perbedaan Obat Tradisional Indonesia dengan Obat

Modern

Tabel 3. Perbedaan Obat Tradisional/obat Herbal dengan ObatModeren9

Obat moderen Obat tradisional/ obat herbal

Kandungan senyawa Satu atau beberapa Campuran banyak–kimia dimurnikan/sintetik senyawa alamiZat aktif Jelas Sering tidak diketahui/

atautidak pastiKendali mutu Relatif mudah Sangat sulitEfektivitas dan Ada bukti ilmiah, Umumnya belum adakeamanan uji klinik bukti ilmiah/uji klinik

Berbeda dengan obat moderen yang mengandung satuatau beberapa zat aktif yang jelas identitas dan jumlahnya,obat tradisional/obat herbal mengandung banyak kandungankimia dan umumnya tidak diketahui atau tidak dapat dipas-tikan zat aktif yang berperan dalam menimbulkan efek terapiatau menimbulkan efek samping. Selain itu kandungan kimiaobat herbal ditentukan oleh banyak faktor. Hal itu disebabkantanaman merupakan organisme hidup sehingga letakgeografis/tempat tumbuh tanaman, iklim, cara pem-budidayaan, cara dan waktu panen, cara perlakuan pasca-panen (pengeringan, penyimpanan) dapat mempengaruhikandungan kimia obat herbal.15,16 Kandungan kimia tanamanobat ditentukan tidak saja oleh jenis (spesies) tanaman obat,tetapi juga oleh anak jenis dan varietasnya. Sebagai contohbau minyak kayu putih yang disuling dari daun Eucalyptus

sp bervariasi tergantung dari anak jenis dan varietastumbuhan, bahkan ada di antaranya yang tidak berbau.

Pada tanaman obat, kandungan kimia yang memiliki kerjaterapeutik termasuk pada golongan metabolit sekunder.Umumnya metabolit sekunder pada tanaman bermanfaatsebagai mekanisme pertahanan terhadap berbagai predatorseperti serangga dan mikroorganisme dan hanya dihasilkanoleh tanaman tertentu termasuk tanaman obat. Kandunganaktif tanaman obat antara lain berupa alkaloid, flavonoid,minyak esensial, glikosida, tanin, saponin, resin, dan terpen.17

Lemak, protein, karbohidrat merupakan metabolit primer yangdihasilkan oleh semua jenis tanaman.

207

Page 4: Jurnal OT Ke Fitofarmaka

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007

Pengembangan Obat Tradisonal Indonesia Menjadi Fitofarmaka

Konsep Pengembangan Obat Bahan Alam Indonesia

Berdasarkan tingkat pembuktian khasiat, persaratanbahan baku yang digunakan, dan pemanfaatannya, obatbahan alam Indonesia dikelompokkan menjadi tiga kelompok,yaitu: jamu, obat herbal terstandar, dan fitofamaka (Gambar1).18

- Penggunaannya secara turunmenurun, empiris

- Bahan baku tidak distandarisasi- Untuk pengobatan sendiri

- Pembuktian khasiat dan keama-nan berdasarkan uji preklinik

- Bahan baku distandarisasi- Untuk pengobatan sendiri

- Pembuktian khasiat dan keama-nan berdasarkan uji preklinik &uji klinik

- Bahan baku, produk jadi distan-darisasi

- Untuk pelayanan kesehatanformal

Gambar 1. Konsep Pengembangan Obat Bahan Alam Indo-nes ia

Standarisasi dan Persaratan Mutu Simplisia

Dalam rangka pengembangan obat tradisional Indone-sia menjadi obat herbal terstandar dan fitofarmaka, stan-darisasi dan persyaratan mutu simplisia obat tradisionalmerupakan hal yang perlu diperhatikan.

Simplisia merupakan bahan baku yang berasal daritanaman yang belum mengalami pengolahan, kecualipengeringan. Standarisasi simplisia dibutuhkan karenakandungan kimia tanaman obat sangat bervariasi tergantungbanyak faktor seperti telah dikemukakan sebelumnya.Standarisasi simplisia diperlukan untuk mendapatkan efekyang dapat diulang (reproducible). Kandungan kimia yangdapat digunakan sebagai standar adalah kandungan kimiayang berkhasiat, atau kandungan kimia yang hanya sebagaipetanda (marker), atau yang memiliki sidik jari (fingerprint)

pada kromatogram. Untuk mendapatkan simplisia denganmutu standar diperlukan pembudidayaan dalam kondisistandar. Dewasa ini industri obat tradisional disarankan dandidorong untuk melakukan budidaya dan mengembangkansendiri tanaman sumber simplisianya sehingga diharapkandiperoleh simplisia dengan mutu standar yang relatifhomogen. Standarisasi tidak saja diperlukan pada simplisia,tetapi juga pada metode pembuatan sediaan termasuk pelarutyang digunakan dan standardisasi sediaan jadinya.16,19

Jamu

Obat herbal terstandar

Fitofarmaka

Untuk pengembangan obat tradisional menjadi obatherbal terstandardisasi dan fitofarmaka, simplisia harusmemenuhi persaratan mutu agar dapat menimbulkan efek danaman. Persaratan mutu simplisia sejumlah tanaman terteradalam buku Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indo-nesia, atau Materia Medika Indonesia. Materia Medika In-donesia yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengawasan ObatTradisional memuat persaratan baku mutu simplisia yangbanyak dipakai oleh perusahaan obat tradisional.20 Peme-liharaan mutu harus diupayakan dari hulu ke hilir mulai daribudidaya, pemanenan dan pengolahan pasca panen,pembuatan bahan baku, sampai ke pembuatan sediaan dansediaannya. Parameter standar mutu simplisia antara lainmencakup kadar abu, kadar zat terekstraksi air, kadar zatterekstraksi etanol, bahan organik asing, cemaran mikrobatermasuk bakteri patogen, cemaran jamur/kapang, cemaranaflatoksin, cemaran residu pestisida, cemaran logam berat,kadar air, kadar zat aktif/zat identitas. Parameter standar mutuekstrak selain hal di atas juga mencakup konsistensi ekstrak,sedangkan parameter untuk sediaan termasuk di antaranyawaktu hancur, kadar bahan tambahan (pengawet, pewarna,pemanis, bahan kimia obat), kadar etanol, dan stabilitas.2

Tahapan Pengembangan Obat Tradisional Indonesia

Agar obat tradisional dapat diterima di pelayanankesehatan formal/profesi dokter, maka hasil data empirik harusdidukung oleh bukti ilmiah adanya khasiat dan keamananpenggunaannya pada manusia. Bukti tersebut hanya dapatdiperoleh dari penelitian yang dilakukan secara sistematik.Tahapan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmakaadalah sebagai berikut.2,9,22

1. Seleksi

2. Uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farma-kodinamik

3. Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pem-buatan sediaan terstandar

4. Uji klinik

Tahap Seleksi

Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihanjenis obat tradisional/obat herbal yang akan diteliti dandikembangkan. Jenis obat tradisional/obat herbal yangdiprioritaskan untuk diteliti dan dikembangkan adalah:2,21

1. Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang mendudukiurutan atas dalam angka kejadiannya (berdasarkan polapenyakit)

2. Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakittertentu

3. Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu,seperti AIDS dan kanker.

Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menelititanaman obat yang mendadak populer di kalanganmasyarakat. Sebagai contoh banyak penelitian belakangan

208

Page 5: Jurnal OT Ke Fitofarmaka

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007

Pengembangan Obat Tradisonal Indonesia Menjadi Fitofarmaka

ini dilakukan terhadap tanaman Mahkota Dewa (Phaleria

macrocarpa) yang diklaim antara lain bermanfaat untukpenderita diabetes melitus dan buah merah (Pandanus

conoideus Lamk.) yang diklaim antara lain dapat me-nyembuhkan kanker dan AIDS.

Tahap Uji Preklinik

Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenisobat tradisional yang akan dikembangkan menjadifitofarmaka. Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan invivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas dan efekfarmakodinamiknya. Bentuk sediaan dan cara pemberian padahewan coba disesuaikan dengan rencana pemberian padamanusia. Menurut pedoman pelaksanaan uji klinik obattradisional yang dikeluarkan Direktorat Jenderal POMDepartemen Kesehatan RI hewan coba yang digunakanuntuk sementara satu spesies tikus atau mencit, sedangkanWHO menganjurkan pada dua spesies. Uji farmakodinamikpada hewan coba digunakan untuk memprediksi efek padamanusia, sedangkan uji toksisitas dimaksudkan untuk melihatkeamanannya.

Uji Toksisitas

Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, sub-kronik, kronik, dan uji toksisitas khusus yang meliputi ujiteratogenisitas, mutagenisitas, dan karsinogenisitas. Ujitoksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan LD

50 (lethal

dose50

) yaitu dosis yang mematikan 50% hewan coba, menilaiberbagai gejala toksik, spektrum efek toksik pada organ, dancara kematian. Uji LD

50 perlu dilakukan untuk semua jenis

obat yang akan diberikan pada manusia. Untuk pemberiandosis tunggal cukup dilakukan uji toksisitas akut. Pada ujitoksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau tigabulan, sedangkan pada uji toksisitas kronik obat diberikanselama enam bulan atau lebih. Uji toksisitas subkronik dankronik bertujuan untuk mengetahui efek toksik obattradisional pada pemberian jangka lama. Lama pemberiansediaan obat pada uji toksisitas ditentukan berdasarkan lamapemberian obat pada manusia (Tabel 4).2

Tabel 4. Hubungan Lama Pemberian Obat pada Manusia danLama Pemberian Obat pada Hewan Coba pada UjiToksisitas2

Lama pemberian pada manusia Lama pemberian obat padahewan coba

Dosis tunggal atau <1 minggu 2 minggu – 1 bulanDosis berulang + 1-4 minggu 4 minggu – 3 bulanDosis berulang + 1-6 bulan 3-9 bulanDosis berulang >6 bulan 9-12 bulan

Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratanmutlak bagi setiap obat tradisional agar masuk ke tahap ujiklinik. Uji toksisitas khusus dilakukan secara selektif bila:2,20

1. Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensialmenimbulkan efek khusus seperti kanker, cacat bawaan.

2. Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuanusia subur

3. Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkaitdengan penyakit tertentu misalnya kanker.

4. Obat digunakan secara kronik

Uji Farmakodinamik

Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuanuntuk meneliti efek farmakodinamik dan menelusurimekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat tradisionaltersebut. Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo

pada hewan coba. Cara pemberian obat tradisional yang diujidan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara pemberiannyapada manusia. Hasil positif secara in vitro dan in vivo padahewan coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan ke-mungkinan efek pada manusia

Standardisasi Sederhana, Penentuan Identitas danPembuatan Sediaan Terstandar

Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia,penentuan identitas, dan menentukan bentuk sediaan yangsesuai. Bentuk sediaan obat herbal sangat mempengaruhiefek yang ditimbulkan. Bahan segar berbeda efeknyadibandingkan dengan bahan yang telah dikeringkan. Prosespengolahan seperti direbus, diseduh dapat merusak zat aktiftertentu yang bersifat termolabil.15 Sebagai contoh tanamanobat yang mengandung minyak atsiri atau glikosida tidakboleh dibuat dalam bentuk decoct karena termolabil. Demikianpula prosedur ekstraksi sangat mempengaruhi efek sediaanobat herbal yang dihasilkan. Ekstrak yang diproduksi denganjenis pelarut yang berbeda dapat memiliki efek terapi yangberbeda karena zat aktif yang terlarut berbeda. Sebagai contohdaun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) memiliki tigajenis kandungan kimia yang diduga berperan untukpelangsing yaitu tanin, musilago, alkaloid. Ekstraksi yangdilakukan dengan etanol 95% hanya melarutkan alkaloid dansedikit tanin, sedangkan ekstraksi dengan air atau etanol 30%didapatkan ketiga kandungan kimia daun jati belanda yaitutanin, musilago, dan alkaloid tersari dengan baik.22

Uji klinik Obat tradisional

Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional/obat herbal harus dibuktikan khasiat dan keamanannyamelalui uji klinik. Seperti halnya dengan obat moderen makauji klinik berpembanding dengan alokasi acak dan tersamarganda (randomized double-blind controlled clinical trial)merupakan desain uji klinik baku emas (gold standard).

Uji klinik pada manusia hanya dapat dilakukan apabilaobat tradisional/obat herbal tersebut telah terbukti aman danberkhasiat pada uji preklinik. Pada uji klinik obat tradisionalseperti halnya dengan uji klinik obat moderen, maka prinsip

209

Page 6: Jurnal OT Ke Fitofarmaka

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 8, Agustus 2007

Pengembangan Obat Tradisonal Indonesia Menjadi Fitofarmaka

etik uji klinik harus dipenuhi. Sukarelawan harus mendapatketerangan yang jelas mengenai penelitian dan memberikaninformed-consent sebelum penelitian dilakukan. Standar-disasi sediaan merupakan hal yang penting untuk dapatmenimbulkan efek yang terulangkan (reproducible). Uji klinikdibagi empat fase yaitu:

Fase I : dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk me-nguji keamanan dan tolerabilitas obat tradisio-nal

Fase II awal: dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas,tanpa pembanding

Fase II akhir: dilakukan pada pasien jumlah terbatas, denganpembanding

Fase III : uji klinik definitif

Fase IV : pasca pemasaran,untuk mengamati efek sam-ping yang jarang atau yang lambat timbulnya

Untuk obat tradisional yang sudah lama beredar luas dimasyarakat dan tidak menunjukkan efek samping yangmerugikan, setelah mengalami uji preklinik dapat langsungdilakukan uji klinik dengan pembanding. Untuk obattradisional yang belum digunakan secara luas harus melaluiuji klinik pendahuluan (fase I dan II) guna mengetahuitolerabilitas pasien terhadap obat tradisional tersebut.2

Berbeda dengan uji klinik obat modern, dosis yangdigunakan umumnya berdasarkan dosis empiris tidakdidasarkan dose-ranging study. Kesulitan yang dihadapiadalah dalam melakukan pembandingan secara tersamardengan plasebo atau obat standar. Obat tradisional mungkinmempunyai rasa atau bau khusus sehingga sulit untuk dibuattersamar.

Saat ini belum banyak uji klinik obat tradisional yangdilakukan di Indonesia meskipun nampaknya cenderungmeningkat dalam lima tahun belakangan ini. Kurangnya ujiklinik yang dilakukan terhadap obat tradisional antara lainkarena:

1. Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan ujiklinik

2. Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telahterbukti berkhasiat dan aman pada uji preklinik

3. Perlunya standardisasi bahan yang diuji

4. Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuandosis berdasarkan dosis empiris, selain itu kandungankimia tanaman tergantung pada banyak faktor.

5. Kekuatiran produsen akan hasil yang negatif terutamabagi produk yang telah laku di pasaran

Setelah melalui penilaian oleh Badan POM, dewasa initerdapat sejumlah obat bahan alam yang digolongkan sebagaiobat herbal terstandar dan dalam jumlah lebih sedikit di-golongkan sebagai fitofarmaka.

Penutup

Agar obat tradisional/obat herbal dapat diterima dan

digunakan pada pelayanan kesehatan formal makapembuktian khasiat dan kemananan obat tradisional padamanusia melalui uji klinik perlu ditingkatkan. Meskipun minatuntuk melakukan penelitian dan pengembangan obattradisional menjadi fitofarmaka cukup baik, seringkaliterbentur pada masalah dana penelitian yang sulit didapat.Koordinasi penelitian antar departemen, perguruan tinggi,lembaga/pusat penelitian perlu ditingkatkan agar tidak terjadiduplikasi dan pemborosan dana penelitian. Pemerintah,perguruan tinggi, dan organisasi nonpemerintah perlumenyediakan dana untuk meningkatkan kualitas dankuantitas penelitian, termasuk penelitian dan pengembanganobat tradisional menjadi fitofarmaka, sehingga dapatdimanfaatkan pada pelayanan kesehatan.

Daftar Pustaka

1. Pramono E. The commercial use of traditional knowledge andmedicinal plants in Indonesia. Submitted for multi-stakeholderdialoque on trade, intellectual property and biological resourcesin Asia, 2002.

2. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengawasan Obatdan Makanan, Direktorat Pengawasan Obat Tradisional. PedomanPelaksanaan Uji Klinik Obat Tradisional, 2000.

3. Pringgoutomo S. Riwayat perkembangan pengobatan dengantanaman obat di dunia timur dan barat. Buku ajar Kursus HerbalDasar untuk Dokter. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.p.1-5.

4. Erdelen WR, Adimihardja K, Moesdarsono H, Sidik. Biodiversity,traditional medicine and the sustainable use of indigenous medici-nal plants in Indonesia. Indigenous knowledge and developmentmonitor 1999;7(3):3-6.

5. PT Eisai Indonesia. Medicinal herb index in Indonesia. Jakarta:PT Eisai; 1986

6. Departemen Kesehatan RI. Senarai Tumbuhan Obat Indonesia,1986.

7. Hoareau L, DaSilva EJ. Medicinal plants: a re-emerging healthaid. Journal of Biotechnology 1999;2(2):57-63. Diunduh dari:http://www.ejb.org/content/vol2/ issue2/full/2/

8. Pramono S. Kontribusi bahan obat alam dalam mengatasi krisisbahan obat di Indonesia. Jurnal Bahan Alam Indonesia 2002;l:18-20.

9. Timmermans K. ASEAN Workshop on the TRIPS agreementand traditional medicine; 2001. Diunduh dari: http://www.-who.or.id/eng/products/ow5/sub1/ display. asp?id=4

10. Badan Pusat Statistik, 1999-2002. Dikutip dari: Supardi S,Nurhadiyanto F, Eng SW. Penggunaan obat tradisional buatanpabrik dalam pengobatan sendiri di Indonesia. Jurnal Bahan AlamIndonesia 2003;2 (4):136-41.

11. Direktorat Penilaian Obat Tradisional, Suplemen Makanan danKosmetik–Badan POM, 2007.

12. Soediyani N. Direktur Penilaian Obat Tradisional, SuplemenMakanan dan Kosmetik-Badan POM, 2007 (komunikasi pribadi).

13. Moeloek FA. Herbal and traditional medicine: National perspec-tives and policies in Indonesia. Jurnal Bahan Alam Indonesia2006;5(1):293-97.

14. Rahardjo M, Darwati I, Shusena A. Produksi dan mutu simplisiaPurwoceng berdasarkan lingkungan tumbuh dan umur tanaman.Jurnal Bahan Alam Indonesia 2006;5(1):310-16.

15. Fluck H, Jaspersen R. Medicinal plants and their uses. London:W. Foulsham & Co. Ltd; 1976.

16. Raskin I, Ripoll C. Can an apple a day keep the doctor away?Current Pharmaceutical Design 2004;10:1-9.

17. Mills S, Bone K. Principles and practice of phytotherapy: mod-ern herbal medicine. Churchill Livingstone, 2000.

210

Page 7: Jurnal OT Ke Fitofarmaka

Pengembangan Obat Tradisonal Indonesia Menjadi Fitofarmaka

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007

18. Ritiasa K. Kebijakan pengembangan obat herbal Indonesia.Disampaikan pada Seminar nasional obat herbal dan akupunktur,3 Juli 2004.

19. Ziment I, Rotblatt M. Evidence-based herbal medicine. Philadel-phia: Hanley & Belfus, Inc; 2002.

20. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Materia Medika In-donesia, 1977.

21. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Obat KelompokFitoterapi, 1985.

22. Pramono S, Nurwati S, Sugiyanto. Pengaruh lendir daun jati belandaterhadap berat badan tikus jantan galur Wistar. Warta Tumbuhan0bat Indonesia 2000:6(2).

SS

211