jurnal tugas akhir studi eksperimen refleksi …
TRANSCRIPT
1
Jurnal Tugas Akhir
STUDI EKSPERIMEN REFLEKSI GELOMBANG PADA PEMECAH
GELOMBANG TERAPUNG TIPE MOORING
Septhian Dwi Saputra(1),Sujantoko(2) dan Haryo Dwito Armono(3)
1Mahasiswa Teknik Kelautan, 2,3Staf Pengajar Teknik Kelautan
Abstract
Pada zaman sekarang ini Floating Breakwater telah banyak dikembangkan di Negara – Negara maju. Hal inilah yang mendasari terbuatnya Floating Breakwater terbaru. Floating Breakwater terbaru kali ini mempunyai papan penghalang di depannya untuk menghalau gelombang dan bentuknya yang seperti tangga sebagai peredam gelombang. Jumlah Floating mampu dipasang sesuai kondisi alam sekitar dan mudah dalam hal pemasangannya. Karena floating breakwater ini merupakan floating baru maka perlu dilakukan suatu pengujian di laboratorium dengan suatu pemodelan. Model menggunakan skala 1 :10 dan pengujian dilakukan di Laboratory of Environmental and Energy, Department of Ocean Engineering ITS untuk diketahui berapa koefisien refleksi yang terjadi serta berapa jumlah yang efisien untuk mereduksi gelombang. Pengujian dilakukan dengan menggunakan gelombang irregular dan variasi lebar model 12 cm sampai 34 cm. Dari hasil pengujian menunjukkan semakin banyak row yang dipasang semakin banyak gelombang yang tereduksi. Keywords: floating breakwater, koefisien refleksi, uj fisik, model fisik, mooring.
1.Pendahuluan
Keuntungan yang luar biasa sebagai
salah satu jalur pelayaran dunia membuat
setiap kota yang memiliki jalur perlintasan
pelayaran untuk membuat suatu pelabuhan.
Banyak bangunan pelabuhan yang dibuat
oleh manusia untuk berbagai keperluan.
Bangunan tersebut berhubungan langsung
dengan lautan bebas, dimana setiap saat
mendapat kiriman gelombang datang yang
bervariasi tinggi maupun periodenya. Untuk
itu maka diperlukan suatu struktur yang
dapat melindungi kawasan pelabuhan dari
gelombang datang tersebut sehingga tidak
mengganggu aktivitas di pebuhan. Jenis
struktur yang telah banyak dibangun untuk
meredam energi gelombang salah satunya
adalah struktur breakwater (pemecah
gelombang).
Breakwater berfungsi untuk
mengurangi intensitas aksi gelombang di
2
perairan pantai sehingga dapat digunakan
untuk mengurangi erosi pantai. Breakwater
dibangun agak jauh dari pantai atau
dibangun dengan salah satu ujung
terhubung ke pantai. Struktur ini dapat
memastikan meredam gelombang lebih baik
dan dengan biaya yang relatif lebih rendah.
Breakwater ukuran kecil, ditempatkan 1-
300 meter lepas pantai di air yang relatif
dangkal, yang dirancang untuk melindungi
pantai landai. Breakwater dapat berupa
fixed atau floating tergantung pada
kedalaman air normal dan kisaran pasang
surut. Konstruksi Breakwater biasanya
sejajar atau tegak lurus pantai untuk
mempertahankan kondisi ketenangan di
pelabuhan. Sebagian besar konstruksi
breakwater tergantung pada pendekatan
gelombang dan mempertimbangkan
beberapa parameter lingkungan lainnya.
Breakwater yang pada umumnya memiliki
material penyusun concrete/rock atau stone
menjadi tidak efektif jika diaplikasikan
untuk kedalaman yang besar, karena
mempengaruhi tingkat kesulitan kerja dan
semakin banyaknya material yang
dibutuhkan sehingga biaya yang
dikeluarkan juga menjadi besar.
Struktur floating sering digunakan
dalam rekayasa laut dalam dua dekade ini.
Keuntungan dari adanya bangunan terapung
antara lain tidak menambah massa benda
yang mendesak massa air sehingga tidak
menimbulkan efek kenaikan muka air laut.
Keuntungan berikutnya adalah tidak
menimbulkan scouring pada pondasi pilar
jembatan. Pilar jembatan konvensional
umumnya mengalami masalah scouring
atau gerusan yang dapat membahayakan
pondasi struktur.
Floating breakwater juga memiliki
fleksibilitas untuk dikembangkan
(flexibility of future extensions), mobilitas,
dan mudah untuk dipindah-pindahkan.
Sehingga struktur ini mudah digunakan dan
dipindahkan di berbagai lokasi. Selain itu
floating breakwater memiliki efisiensi yang
tinggi untuk meredam gelombang, struktur
yang � imple, murah, dan ukuran
panjangnya yang efisien.
Keuntungan dari penggunaan
floating structure menurut Watanabe (2004)
adalah sebagai berikut.
1. Efisiensi konstruksi karena tidak
perlu pembuatan dan pengerjaan
desain pondasi.
2. Ramah lingkungan karena tidak
merusak dan tidak menambah
volume benda yang bersifat
massive structure.
3. Mudah dan cepat dalam pengerjaan
karena proses pengerjaan dengan
metode perakitan (assembling
method).
3
4. Tahan terhadap gempa karena
secara struktur tidak tertanam di
tanah atau tidak berbasis pondasi
namun mengapung dan hanya di
ikat dengan anchor.
5. Konstruksi apung tidak mengalami
proses konsolidasi maupun
setlemen.
6. Cocok untuk pembuatan konstruksi
yang mengedepankan estetika
model atau bentuk dibandingkan
metode konvensional yang
umumnya kaku.
2. Dasar Teori
2.2.1 Gelombang
Parameter penting untuk menjelaskan
gelombang air adalah panjang gelombang,
tinggi gelombang, dan kedalaman air.
Parameter-parameter yang lain seperti
kecepatan dan percepatan dapat ditentukan
dari ketiga parameter pokok di atas
(Pratikto, Armono, dan Suntoyo, 1996).
� Panjang gelombang (L) adalah jarak
horizontal antara kedua puncak atau
titik tertinggi gelombang yang
berurutan, atau bisa dikatakan sebagai
jarak antara dua lembah gelombang.
� Periode Gelombang (T) adalah waktu
yang dibutuhkan oleh dua
puncak/lembah gelombang yang
berurutan melewati titik tertentu.
� Kecepatan rambat gelombang
(Celerity) (C) merupakan perbandingan
antara panjang gelombang dan periode
gelombang (L/T). Ketika gelombang
air menjalar dengan kecepatan C,
partikel air tidak turut bergerak ke arah
permabtan gelombang.
� Amplitudo (a) adalah jarak antara
puncak/titik tertinggi gelombang atau
lembah/tiitk terendah gelombang
dengan muka air tenang (H/2)
(Pratikto, Armono, dan Suntoyo,
1996).
untuk menghitung panjang gelombang
dangkal (L) dari panjang gelombang laut
dalam (Lo) dan periode gelombang (T),
dapat digunakan pendekatan dengan rumus
berikut (Nielsen, 1984) :
π2
2gTLo =
++
=2
2360
112
6
1122
Lo
h
Lo
h
Lo
h
L
h ππππ
dengan :
g = percepatan gravitasi (m/s2)
h = kedalaman air (m)
2.2.2 Gelombang Acak (Irreguler Wave)
Meskipun analisa gelombang
sederhana sudah ada, akan tetapi tidak
secara akurat menggambarkan variabilitas
gelombang laut. Jika melihat permukaan
(2.1)
(2.2)
4
laut, kita tidak pernah melihat
perkembangan konstan dari gelombang
identik. Sebaliknya, permukaan laut terdiri
dari berbagai gelombang tinggi dan periode
yang bergerak dalam arah yang berbeda.
Ketika angin bertiup dan gelombang timbul
sebagai respon, laut cenderung tak
beraturan, berbagai tinggi dan periode yang
diamati. Swell memang terlihat lebih teratur,
tetapi juga secara fundamental tidak teratur
di alam, dengan beberapa variabilitas pada
tinggi dan periodenya. Pada kenyataannya,
gelombang yang sangat teratur hanya bisa
dihasilkan di laboratorium, tetapi jarang
terjadi di alam. Begitu kita memakai dasar
variabilitas dari permukaan laut, maka perlu
memperoleh karakteristik permukaan laut
secara statistik. Permukaan laut sering
merupakan kombinasi dari banyak
komponen gelombang. Komponen-
komponen individual yang dihasilkan oleh
angin di berbagai daerah di laut dan telah
disebarkan ke berbagai titik, membentuk
gelombang kompleks.
Jika alat untuk mengukur elevasi
gelombang (η), sebagai fungsi waktu di
letakkan di laut, maka rekaman yang
dihasilkan seperti pada gambar 2.5.
Gambaran kondisi laut tersebut dapat dilihat
sebagai suatu superposisi dari banyak
gelombang sinusoidal yang merambat ke
arah yang berlainan. Sebagai contoh
berdasarkan pada gambar 2.6 ( dua
gelombang sinus dan penjumlahannya)
merupakan superposisi dari gelombang
sinusoidal yang mengijinkan penggunaan
analisa Fourier dan teknik spektrum dalam
menggambarkan kondisi laut. Akan tetapi,
karena tingkat ketidakteraturan (random) di
laut sangat tinggi, maka metode statistik
harus digunakan dalm perhitungan (Dean
dan Dalrymple, 1984).
Permukaan gelombang yang terekam
akan lebih tidak teratur dan acak meskipun
gelombang individu dapat diidentifikasi,
ada variasi yang signifikan dalam tinggi dan
periode dari gelombang ke gelombang.
Akibatnya, definisi karakteristik
gelombang, tinggi, periode, dan lainnya
harus secara statistik atau probabilistik,
yang menunjukkan kondisi gelombang.
Dengan menganalisis waktu pengukuran
seri waktu (time-series) pada keadaan laut
alami, beberapa perkiraan statistik dari
parameter sederhana dapat dihasilkan. Yang
paling penting dari parameter ini adalah
tinggi gelombang signifikan, Hs. Hs (H1/3)
adalah rata-rata dari yang terbesar 1/3
(33%) dari gelombang direkam selama
periode sampling. Mengukur secara statistik
ini dirancang agar sesuai dengan perkiraan
gelombang tinggi yang dibuat oleh
pengamat berpengalaman. (Pengamat tidak
memperhatikan semua gelombang kecil
yang lewat, melainkan mereka hanya fokus
5
pada puncak yang lebih besar dan lebih menonjol).
Gambar 2.5. Bentuk gelombang yang
terekam (Dean dan Dalrymple, 1984).
Dengan demikian gelombang di laut
dapat dinyatakan menurut distribusi energi
terhadap frekuensi gelombang, panjang
gelombang, dan periode gelombang.
Distribusi energi gelombang menurut
frekuesinya disebut spektrum gelombang.
Gambar 2.6. Gelombang acak merupakan
superposisi gelombang
reguler dalam jumlah ∞
(Pierson, et al, 1953)
Jika dalam perancangan diketahui
tinggi gelombang signifikan (Hs) dan
periode puncak (Tp), maka untuk membuat
plot spektrum gelombangnya dapat
digunakan persamaan sebagai berikut
(Goda, 1985) :
( ) ( )( )453/1 03.1exp)(257.0 −− −= fTfTTHfS sss
dengan :
f = frekuensi gelombang (Hz)
H1/3 = tinggi gelombang signifikan (m)
Ts = periode gelombang sinifikan (Tp =
1.05Ts detik )
2.2.3 Teori Spektrum Gelombang
JONSWAP
Spektrum gelombang merupakan
distribusi dari suatu energi gelombang
sebagai fungsi dari frekuensi yang
menerangkan jumlah total energi yang
terpindahkan (transmitted) dari suatu daerah
gelombang yang diberikan. Umumnya dapat
dirumuskan sebagai berikut :
( ) ( )∫∞
=0
2cos4 τπωττω dRS
dengan :
ω = frekuensi geombang (rad/dtk)
R(ι) = fungsi autocorrelation
permukaan air dengan seri waktu
Ι = data waktu yang paling akhir
diantara sampel
( ) ( ) ( )[ ]ττ += txtxER
(2.4)
(2.3)
(2.5)
6
spektrum gelombang sangat dipengaruhi
oleh gelombang bangkitan angin dan
karakteristik statistic/spasial spektrum.
Spektrum parameter tunggal yang paling
sering digunakan adalah model Pierson-
Moskowitz yang berdasarkan pada tinggi
gelombang signifikan atau kecepatan angin.
2.2.4 Refleksi Gelombang
Gambar 2.9. Skema terjadinya refleksi gelombang.
Jika suatu gelombang mengenai benda
yang menghalangi laju gelombang tersebut,
maka gelombang tersebut mengalami
refleksi dan transmisi. Demikian halnya
yang terjadi pada gelombang yang
mengenai suatu struktur pelindung pantai.
Refleksi gelombang secara sederhana bisa
diartikan sebagai seberapa besar gelombang
terpantulkan oleh struktur pelindung bila
dibandingkan dengan besar nilai gelombang
datang. Sehingga, bila dibahasakan dalama
rumus matematis, koefisien refleksi menjadi
:
Cr = (Hi) / (Hr) (2.6)
Dengan Hr adalah tinggi gelombang setelah
mengenai struktur yang lalu terpantulkan
kembali (terrefleksikan) dan Hi adalah
tinggi gelombang sebelum mengenai
struktur. Refleksi gelombang pada floating
breakwater merupakan sebuah fungsi yang
terdiri berbagai parameter dan suku sebagai
sebuah fungsi parameter gelombang dan
struktur (PIANC, 1994) :
Pada uji coba di wave flume, hal yang
patut jadi perhatian untuk selanjutnya
menjadi acuan adalah karakteristik
gelombang yang terjadi dan koefisien
refleksi yang terjadi akibat adanya struktur.
Goda dan Suzuki menemukan metode yang
menggunakan teknik perubahan Fourier.
Persamaan yang bisa menggambarkan
kejadian refleksi gelombang yang terjadi di
7
wave flume saat struktur sudah terpasang
adalah
ηi = ɑi cos(kx - ωt + εi) ηr = ɑr cos(kx - ωt + εr)
dengan akhiran “I” dan “R” mengatakan
Incident dan Reflected.
Sumbu positif X diambil dari arah datang
gelombang yang menuju struktur. Bila
diasumsikan profil gelombang terekam di 2
tempat, yaitu di
χ1 = χ dan χ2 = χ1 + ∆L maka :
η1 = (ηi + ηr )x=x1
= A1 cos(ωt) + B1 sin(ωt) (2.9) η2 = (ηi + ηr )x=x2
= A2 cos(ωt) + B2 sin(ωt) (2.10)
dengan :
A1 = ɑi cos φi + ɑr cos φr (2.11)
B1 = ɑi sin φi + ɑr sin φr (2.12) A2 = ɑi cos(k∆L + φi) + ɑr cos(k∆L + φr) (2. 13) B2 = ɑi sin(k∆L + φi) + ɑr sin(k∆L + φr) (2.14) φi = k x1 + εI (2.15) φr = k x1 + εr (2.16)
Karena ɑi, ɑr, φi dan φr tidak diketahui, maka
dengan mengeliminasi keempat variable
tersebut bisa didapat
ɑi = (2.17)
ɑr = (2.18)
dengan :
K1 = A2 - A1 cos k∆L - B1 sin k∆L (2.19) K2 = B2 + A1 sin k∆L - B1 cos k∆L (2.20) K3 = A2 - A1 cos k∆L + B1 sin k∆L (2.21) K4 = B2 - A1 sin k∆L - B1 cos k∆L (2.22)
2.2.5 Pemodelan Fisik
Dasar dari semua pemodelan fisik
adalah model dibuat agar bisa berperilaku
hampir sama dengan prototype-nya
sehingga model fisik dapat digunakan untuk
memprediksi prototype pada keadaan
sebenarnya dibawah kondisi yang
ditentukan. Meskipun terdapat
kemungkinan hasil dari pemodelan fisik
tidak mewakili perilaku prototype karena
efek dari skala dan faktor laboratorium.
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa aturan
untuk melakukan pemodelan fisik adalah
meminimalisir efek penyekalaan dengan
mengerti dan menggunakan prinsip
kesamaan sebaik mungkin dan
meminimalisir efek laboratorium dengan
mengoperasikan model dengan cermat dan
(2.7)
(2.8)
8
berhati-hati. Keserupaan antara protoptype
dengan model fisik dapat diperoleh jika
semua faktor yang mempengaruhi reaksi,
berada pada porsi yang sesuai antara
kondisi sebenarnya dengan model. Untuk
model pant, tiga kondisi umum dibawah ini
harus dipenuhi untuk memperoleh
kesamaan model (model similitude)
(Hughes, Cohen, dan Acuff, 2008) :
1) Keserupaan Geometrik
Serupa geometrik dipenuhi
apabila rasio semua dimensi linier dari
model dan prototipe sama. Hubungan
ini hanya menunjukkan keserupaan
dalam bentuk tidak dalam hal gerak
(motion) (Warnock 1950). Skala
panjang model dapat dirumuskan
sebagai berikut :
p
m
p
m
p
m
p
m
h
h
d
d
b
b
l
l===
dengan:
lm = panjang model (m)
lp = panjang prototipe (m)
bm = lebar model (m)
bp = lebar prototipe (m)
dm = tinggi model (m)
dp = tinggi prototipe (m)
hm = kedalaman air pada model (m)
hp = kedalaman air pada prototipe (m)
2) Keserupaan Kinematik
Serupa kinematik
mengindikasikan kesamaan gerak
partikel antara model dengan
protoptipe. Serupa kinematik
dipenuhi apabila rasio antara
komponen semua gerak vektor dari
model dan prototype sama untuk
semua partikel dan waktu (Hudson
et al, 1979). Berdasarkan
keserupaan kinematik, nilai-nilai
skala antara model dan prototype
dapat dirumuskan sebagai berikut:
• Skala Waktu :
3
3
2
21
1 p
m
p
m
p
m
t
t
t
t
t
t==
• Skala Kecepatan :
3
3
2
21
1 p
m
p
m
p
m
v
v
v
v
v
v==
• Skala Percepatan :
3
3
2
21
1 p
m
p
m
p
m
f
f
f
f
f
f==
(2.23) (2.24)
(2.25)
(2.26)
9
3. Pemodelan Dan Pengujian
3.1 Persiapan Pengujian
a) Skala Panjang
Untuk mendapatkan model yang
memiliki keserupaan geometrik,
maka penyekalaan prototipe harus
sebaik mungkin dilakukan agar
model benar-benar memiliki rasio
semua dimensi linier yang sama.
Dimensi linier yang dimaksud adalah
panjang, lebar, tinggi, dan kedalaman
air. Dari rasio perbandingan (pers.
2.31) :
Sehingga, diperoleh skala panjang 1:10
berikut merupakan hasil penyekalaan dari
data percobaan untuk mendapatkan
ukuran sebenarnya.
Tabel 3.1. Skala model dari prototipe
Tabel 3.2. Skala prototipe dari model
3.2 Desain Pengujian Model
Desain pengujian sangat perlu
dilakukan agar saat pengujian model di
laboratorium peneliti telah terlebih dahulu
mengetahui gambaran yang harus dilakukan
sehingga percobaan dapat dilakukan dengan
sebaik mungkin untuk mendapatkan hasil
yang diinginkan.
Dimensi Prototype (cm) Skala Model
(cm) Panjang 100 1:10 10 Lebar 100 1:10 10 Tinggi 150 1:10 15
Dimensi Prototype (cm) Skala Model
(cm) Tinggi
Gelombang (H)
35 1:10 3.5 45 1:10 4.5 55 1:10 5.5
Water Depth (D)
800 1:10
80
10
1
150
15
100
10
100
10 === (3.1)
Gambar 3.1. Floating dengan kombinasi sudut
10
3.3 Kalibrasi Wave Probe
Untuk mendapatkan suatu pemodelan
fisik yang baik atau sesuai dengan kondisi
prototipenya, maka perlu dilakukan
kalibrasi untuk meminimalisir efek error
pada saat pengujian model di laboratorium.
Karena fungsi dari wave probe sangat
mempengarui hasil dari pengujian ini, yakni
mencatat fluktuasi gelombang di depan dan
di belakang model, maka proses kalibrasi
terhadap wave probe harus dilakukan.
Proses kalibrasi wave probe dilakukan
dengan cara mencatat posisi zero point dari
wave probe dan kemudian merekam
kalibrasinya dengan menaikkan dan
menurunkan wave prove dari posisi zero
point. Setelah proses pencatatan kalibrasi
selesai, maka wave probe harus
dikembalikan pada posisi awal atau zero
point position. Kalibrasi ini dilakukan untuk
mencari hubungan antara perubahan
elektrode yang tercelup dalam air dengan
perubahan voltase yang tercatat dalam
dalam recorder.
Tabel 3.3 Data pengujian model di wave flume dengan gelombang irregular
Gambar 3.3. Floating didalam wave flume tank
Gambar 3.2. Floating dengan kombinasi susunan row
11
4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Analisa Data
Dari percobaan yang dilakukan,
didapatkan hasil dari koefisisen refleksinya.
Karena jenis gelombang yang digunakan
adalah gelombang irregular maka tinggi
gelombang dan periode gelombang yang
diinputkan (tabel 3.3) pada pembangkit
gelombang (wave flume tank) hasilnya tidak
akan sama. Setelah didapatkan hasil dari
wave flume tank, maka parameter tinggi
gelombang datang dan terrefleksi serta
periode gelombang rata-rata dapat diperoleh
nilai koefisien refleksinya dengan
menggunakan persamaan 2.13.
4.2 Analisa Hasil Pengujian
Setelah didapatkan data dari wave
flume tank maka dilakukan pengolahan data
yang terlebih dulu dilakukan dengan
kalibrasi. Data output kalibrasi kemudian
diolah dengan program matlab yang
kemudian didapatkan nilai dari koefisien
refleksinya.
4.2.1. Konfigurasi Kr Untuk Model A
Untuk model A dilakukan 3 variasi
sudut mooring yang dianalisa yaitu 45o, 90o
serta 600. Dari ketiga sudut itu bisa kita
bandingkan model mana yang mempunyai
efektifitas dalam memantulkan gelombang
yang datang. Untuk lebih jelasnya bisa
dilihat dari tabel dibawah ini.
Tabel 4.1 Hasil Dari Model A Untuk Sudut 45o
Tabel 4.2 Hasil Dari Model A Untuk Sudut 90o
Tabel 4.3 Hasil Dari Model A Untuk Sudut 60o
12
Dari tabel 4.1 bisa kita lihat
bahwa untuk sudut 450 nilai Kr terkecil
adalah 0.174 dan nilai Kr terbesar
adalah 0.221. Selain itu semakin tinggi
nilai Kr maka nilai Hs dan Tav semakin
kecil (berbanding terbalik) tapi untuk
H/gt2 nilainya semakin tinggi
(berbanding lurus). Sementara untuk
sudut 900 dari tabel 4.2 dapat kita lihat
bahwa untuk sudut 900 mempunyai nilai
Kr terkecil 0.157 dan nilai Kr terbesar
ialah 0.208. Sama halnya sudut 450,
hubungan nilai Kr dengan Hs dan Tav
berbanding terbalik yaitu semakin tinggi
nilai Kr maka nilai Hs dan Tav semakin
kecil. Sementara untuk hubungan H/gt2
dengan Kr memiliki hubungan
berbanding lurus yaitu semakin tinggi
nilai Kr maka nilai H/gt2 juga semakin
tinggi. Hal yang sama juga berlaku
untuk sudut 600 yang bisa kita lihat pada
tabel 4.3. Dari tabel 4.3 bisa kita lihat
bahwa hubungan nilai Kr dengan H/gt2
berbanding lurus yaitu semakin tinggi
nilai Kr maka nilai H/gt2 juga semakin
tinggi dan untuk hubungan dengan Hs
dan Tav berbanding terbalik yaitu
semakin tinggi nilai Kr maka nilai Hs
dan Tav semakin kecil. Nilai Kr terkecil
untuk sudut 600 adalah 0.142 dan untuk
nilai terbesarnya adalah 0.162.
Dari gambar 4.1 diatas dapat
terlihat bahwa pada model A hubungan
nilai Kr dengan Hs berbanding terbalik
yaitu makin tinggi nilai Hs maka nilai
Kr makin rendah. Sedangkan hubungan
nilai Kr dengan Tav sama halnya
dengan hubungan nilai Kr dengan Hs
yaitu berbanding terbalik yaitu makin
tinggi nilai Tav maka nilai Kr makin
rendah. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat
pada gambar 4.2.
Gambar 4.1. Hubungan antara Hs dan Kr
Pada Model A
13
Gambar 4.2. Hubungan antara Tav dan Kr
Pada Model A Tabel 4.4. Hasil Dari Model B Untuk Sudut 450
Tabel 4.5. Hasil Dari Model B Untuk Sudut 900
Sedangkan untuk hubungan nilai Kr dengan
H/gt2 berbeda dengan hubungan nilai Kr
dengan Hs maupun hubungan nilai Kr dan
Tav. Hubungan nilai Kr dengan H/gt2
berbanding lurus yaitu makin tinggi nilai
H/gt2 maka nilai Kr juga ikut tinggi. Untuk
lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar 4.3.
4.2.2. Konfigurasi Kr Untuk Model B
Untuk model B juga dilakukan 3
variasi sudut mooring yang dianalisa yaitu
45o, 90o serta 600. Dari ketiga sudut itu bisa
kita bandingkan model mana yang
mempunyai efektifitas dalam memantulkan
gelombang yang datang. Untuk lebih
jelasnya bisa dilihat dari tabel dibawah ini.
Gambar 4.3. Hubungan antara H/gt2 dan Kr
Pada Model A
14
Tabel 4.6. Hasil Dari Model B Untuk Sudut 600
Untuk tabel 4.4 bisa kita lihat bahwa untuk
sudut 450 nilai Kr terkecil adalah 0.342 dan
nilai Kr terbesar adalah 0.512. Selain itu
semakin tinggi nilai Kr maka nilai Hs dan
Tav semakin kecil (berbanding terbalik) tapi
untuk H/gt2 nilainya semakin tinggi
(berbanding lurus). Sementara untuk sudut
900 dari tabel 4.5 dapat kita lihat bahwa
untuk sudut 900 mempunyai nilai Kr
terkecil 0.325 dan nilai Kr terbesar ialah
0.486. Sama halnya sudut 450, hubungan
nilai Kr dengan Hs dan Tav berbanding
terbalik yaitu semakin tinggi nilai Kr maka
nilai Hs dan Tav semakin kecil. Sementara
untuk hubungan H/gt2 dengan Kr memiliki
hubungan berbanding lurus yaitu semakin
tinggi nilai Kr maka nilai H/gt2 juga
semakin tinggi. Hal yang sama juga berlaku
untuk sudut 600 yang bisa kita lihat pada
tabel 4.6. Dari tabel 4.6 bisa kita lihat
bahwa hubungan nilai Kr dengan H/gt2
berbanding lurus yaitu semakin tinggi nilai
Kr maka nilai H/gt2 juga semakin tinggi dan
untuk hubungan dengan Hs dan Tav
berbanding terbalik yaitu semakin tinggi
nilai Kr maka nilai Hs dan Tav semakin
kecil. Nilai Kr terkecil untuk sudut 600
adalah 0.294 dan untuk nilai terbesarnya
adalah 0.448.
Dari gambar 4.4 diatas dapat terlihat bahwa
pada model B hubungan nilai Kr dengan Hs
berbanding terbalik yaitu makin tinggi nilai
Hs maka nilai Kr makin rendah. Sedangkan
hubungan nilai Kr dengan Tav sama halnya
dengan hubungan nilai Kr dengan Hs yaitu
berbanding terbalik yaitu makin tinggi nilai
Tav maka nilai Kr makin rendah. Untuk
lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar 4.5.
Gambar 4.4. Hubungan antara Hs dan Kr Pada
Model B
15
Tabel 4.7. Hasil Dari Model C Untuk Sudut 450
Tabel 4.8. Hasil Dari Model C Untuk Sudut 900
Untuk hubungan nilai Kr dengan H/gt2
berbeda dengan hubungan nilai Kr dengan
Hs maupun hubungan nilai Kr dan Tav.
Hubungan nilai Kr dengan H/gt2
berbanding lurus yaitu makin tinggi nilai
H/gt2 maka nilai Kr juga ikut tinggi. Untuk
lebih jelasnya bisa dilihat dari grafik
hubungan antara Kr dan H/gt2 pada gambar
4.6 dibawah ini.
4.2.3. Konfigurasi Kr Untuk Model C
Untuk model C juga dilakukan 3 variasi
sudut mooring yang dianalisa yaitu 45o, 90o
serta 600. Dari ketiga sudut itu bisa kita
bandingkan model mana yang mempunyai
efektifitas dalam memantulkan gelombang
yang datang. Untuk lebih jelasnya bisa
dilihat dari tabel dibawah ini.
Gambar 4.5. Hubungan antara Tav dan Kr Pada
Model B
Gambar 4.6. Hubungan antara H/gt2 dan Kr
Pada Model B
16
Tabel 4.9. Hasil Dari Model C Untuk Sudut 600
Untuk tabel 4.7 bisa kita lihat bahwa untuk
sudut 450 nilai Kr terkecil adalah 0.483 dan
nilai Kr terbesar adalah 0.634. Selain itu
semakin tinggi nilai Kr maka nilai Hs dan
Tav semakin kecil (berbanding terbalik) tapi
untuk H/gt2 nilainya semakin tinggi
(berbanding lurus). Sementara untuk sudut
900 dari tabel 4.8 dapat kita lihat bahwa
untuk sudut 900 mempunyai nilai Kr
terkecil 0.446 dan nilai Kr terbesar ialah
0.617. Sama halnya sudut 450, hubungan
nilai Kr dengan Hs dan Tav berbanding
terbalik yaitu semakin tinggi nilai Kr maka
nilai Hs dan Tav semakin kecil. Sementara
untuk hubungan H/gt2 dengan Kr memiliki
hubungan berbanding lurus yaitu semakin
tinggi nilai Kr maka nilai H/gt2 juga
semakin tinggi. Hal yang sama juga berlaku
untuk sudut 600 yang bisa kita lihat pada
tabel 4.9. Dari tabel 4.9 bisa kita lihat
bahwa hubungan nilai Kr dengan H/gt2
berbanding lurus yaitu semakin tinggi nilai
Kr maka nilai H/gt2 juga semakin tinggi
dan untuk hubungan dengan Hs dan Tav
berbanding terbalik yaitu semakin tinggi
nilai Kr maka nilai Hs dan Tav semakin
kecil. Nilai Kr terkecil untuk sudut 600
adalah 0.410 dan untuk nilai terbesarnya
adalah 0.595.
Dari gambar 4.7 dapat terlihat bahwa pada
model C hubungan nilai Kr dengan Hs
berbanding terbalik yaitu makin tinggi nilai
Hs maka nilai Kr makin rendah. Sedangkan
hubungan nilai Kr dengan Tav sama halnya
dengan hubungan nilai Kr dengan Hs yaitu
berbanding terbalik yaitu makin tinggi nilai
Tav maka nilai Kr makin rendah. Untuk
lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar 4.8.
Gambar 4.7. Hubungan antara Hs dan Kr Pada
Model C
17
Untuk hubungan nilai Kr dengan H/gt2
berbeda dengan hubungan nilai Kr dengan
Hs maupun hubungan nilai Kr dan Tav.
Hubungan nilai Kr dengan H/gt2
berbanding lurus yaitu makin tinggi nilai
H/gt2 maka nilai Kr juga ikut tinggi. Untuk
lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar 4.9
dibawah ini.
4.2.4. Konfigurasi Kr Untuk Sudut 450,
Sudut 900 dan Sudut 600.
Untuk konfigurasi sudut yang
dianalisa adalah Hubungan Kr dengan H/gt2
dengan variasi sudut mooring. Untuk variasi
model yang dianalisa adalah sudut 450
dengan model A, model B dan model C lalu
sudut 900 dengan model A, model B dan
model C dan yang terakhir sudut 600 dengan
model A, Model B dan model C. untuk
lebih jelasnya bisa dilihat pada grafik
dibawah ini.
Gambar 4.8. Hubungan antara Tav dan Kr
Pada Model C
Gambar 4.9. Hubungan antara H/gt2 dan Kr
Pada Model C
Gambar 4.10. Hubungan antara H/gt2 dan
Kr Pada Sudut Mooring 450
18
Dari gambar 4.10 lalu gambar 4.11 dan
gambar 4.12 diatas dapat terlihat bahwa
semakin banyak row yang dipasang maka
nilai Kr juga akan semakin tinggi. Itu dapat
terlihat pada grafik pada setiap sudut
mooring bahwa model C memiliki nilai Kr
lebih tinggi dari model A dan model B. Dan
model B memiliki nilai Kr yang lebih tinggi
dari model A. Sedangkan untuk sudut
mooring sendiri, pemasangan sudut
mooring 450 memiliki efisien lebih baik
daripada sudut mooring 90o dan sudut
mooring 600. Dan sudut mooring 90o
memiliki efisien lebih baik dari sudut
mooring 600.
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil daritugas
akhir ini adalah :
1. Berdasarkan analisa dapat terlihat bahwa
model C mempunyai efektifitas dalam
merefleksikan gelombang lebih baik
daripada model B ataupun model A.
Berdasarkan analisa dapat terlihat bahwa
konfigurasi sudut mooring 450
mempunyai efektifitas dalam membantu
floating merefleksikan gelombang lebih
baik yang kemudian diikuti oleh sudut
mooring 900 lalu sudut mooring 600.
2. Nilai Kr untuk berbagai H dan T
mempunyai nilai dibawah 1 yaitu antara
0.163 - 0.634. Hubungan nilai Kr dengan
Hs,Tav berbanding terbalik yaitu makin
tinggi nilai Hs atau Tav maka nilai Kr
makin rendah.
Gambar 4.11. Hubungan antara H/gt2 dan
Kr Pada Sudut Mooring 900
Gambar 4.12. Hubungan antara H/gt2 dan
Kr Pada Sudut Mooring 900
19
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan untuk para
peniliti yang ingin melanjutkan penelitian
ini adalah tinggi gelombang bisa
divariasikan lagi sehingga didapat nilai Kr
yang lebih mendekati kenyataan dilapangan.
Selain itu lebar floating, draught, dan
bentuk konfigurasi floating bisa lebih
divariasikan lagi sehingga terlihat bentuk
konfigurasi yang paling baik.
6. Daftar Pustaka
Goda, Y., Random Seas And Design Of
Maritime Structure, University Of
Tokyo Press, 1985.
Fugazza, M., & Natale, L., Energy Losses
And Floating Breakwater Response,
ASCE.
Murali, K., & Mani, J.S., Performance Of
Cage Floating Breakwater, ASCE.
Elchahal G., Younes R., Lafon P., The
Effects of Reflection Coefficient of
The Harbour Sidewall On The
Performance of Floating
Breakwaters, 2008.
Tazaki, et al. 1976, “Floating Breakwater”,
United States Patent, Tokyo, Japan.
PIANC.1994, “Floating BreakwaterA
Practical Guide for Design and
Construction”, Report of Working
Group No.13 of The Permanent
Tchnical Comittr II, Brussel,
Belgium.
Dean, R. G dan Dalrymple, R, A. 1984,
“Water Wave Mechanics or Enginer
and Scientists”, Prentice-Hall,
Englewood Cliffs, New Jersey.
Hughes, S.A.1993. “Physical Models and
Laboratory Techniques in Coastal
Engineering”, Coastal Engineering
Research Center,USA.
Pierson, dkk.1953,”On The Motion of Ships
in Confused Seas”, Transaction of
SNAME, Vol.61.
Armono and Hall., 2003, “Wave
Transmission on Submerged
Breakwater Made of Hollow
Hemispherical Shape Artificial
Reefs”, Canadian Coastal
Conference; Ocean Engineering
Institute Teknologi Sepuluh
Nopember, Civil Engineering;
Queens University, Canada.J.E.
Warnock, 1950, Hydraulic
Similitude. In: H. Rowe, editor,
Engineering Hydraulics, Wiley, New
York, N.Y (1950), pp. 136-176.
L.Z. Hales, 1981., Floating Breakwater:
state of the art litrature review,
U.S.Army, CERC, U.S.A. (1981)TR
81-1.
20