kacang berjamur

5
- Kacang Berjamur Kacang tanah umumnya ditanam di lahan kering pada awal atau akhir musim kemara baik secara monokultur maupun tumpang sari dengan jagung atau ubi kayu. Produksi ka tanah Indonesia sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan seba kecil diekspor. Kacang tanah sebagai bahan pangan dapat menjadi substrat yang baik bagi jamur toksigenik yang menghasilkan mikotoksin. Jamur toksigenik yang biasa menginfeksi ka tanah adalah Aspergillus flavus dan A. parasiticus . Toksin yang dihasilkan disebut dengan aflatoksin (Afla kependekan A. flavus ). Di Indonesia, aflatoksin tergolong ke dalam mikotoks utama yang banyak mengkontaminasi produk-produk pertanian, seperti jagung, kacang t bahanpakan ternak, dan produk ternak . Kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah di Indonesia telah dilaporkan oleh ba peneliti. Kacang tanah dalam bentuk polong segar, polong kering, biji serta berbaga olahan sederhana (kacang rebus, kacang garing, bungkil, oncom) dan olahan modern (k atom, kacang mentega, pasta kacang) umumnya telah terkontaminasi aflatoksin B1 deng kandungan di luar batas toleransi aman yang cocok untuk pertumbuhan dan perkembanga berbagai kapang. Kesadaran penduduk dunia akan keamanan pangan diwujudkan dengan menetapkan standar mutu produk (ISO 9000) dan mutu lingkungan (ISO 14000) serta ekolabel sebag instrumen pengendali nonlegal dalam interaksi pasar. Kandungan aflatoksin pada kaca dapat menjadi salah satu hambatan nontarif di pasar internasional. Oleh karena itu, upaya untuk meminimumkan kandungan aflatoksin dalam rangka menghilangkan berbagai hambatan dalam pemasaran serta melindungi konsumen dalam dan luar negeri perlu sege dikembangkan. - Aspergilus flavus Demikian pula polong segar yang segera dikeringkan memperlihatkan tingkat infeksi A. flavus yang lebih sedikit dibandingkan dengan polong segar yang ditunda pengeringannya. Pe pengeringan polong segar melebihi 48 jam setelah dipanen akan meningkatkan infeksi A. flavus dan kontaminasi aflatoksin - Pengertian Aflatoksin Aflatoksin merupakan segolongan senyawa toksik (mikotoksin, toksin yang berasal dari fungi) yang dikenal mematikan dan karsinogenik bagi manusiadan hewan.Spesies penghasilnya segolongan fungi (jenis kapang) dari genus Aspergillus , terutama A. flavus (dari sini nama "afla" diambil) dan A. parasiticus yang berasosiasi dengan produk-produk biji-bijian berminyak ata berkarbohidrat tinggi. Kandungan aflatoksin ditemukan pada biji kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai, pi atau bunga matahari), rempah-rempah (seperti ketumbar, jahe, lada, serta kunyit),

Upload: loita-datu-nindita

Post on 21-Jul-2015

190 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

- Kacang Berjamur Kacang tanah umumnya ditanam di lahan kering pada awal atau akhir musim kemarau, baik secara monokultur maupun tumpang sari dengan jagung atau ubi kayu. Produksi kacang tanah Indonesia sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan sebagian kecil diekspor. Kacang tanah sebagai bahan pangan dapat menjadi substrat yang baik bagi jamur toksigenik yang menghasilkan mikotoksin. Jamur toksigenik yang biasa menginfeksi kacang tanah adalah Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Toksin yang dihasilkan disebut dengan aflatoksin (Afla kependekan A. flavus). Di Indonesia, aflatoksin tergolong ke dalam mikotoksin utama yang banyak mengkontaminasi produk-produk pertanian, seperti jagung, kacang tanah, bahanpakan ternak, dan produk ternak . Kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah di Indonesia telah dilaporkan oleh banyak peneliti. Kacang tanah dalam bentuk polong segar, polong kering, biji serta berbagai produk olahan sederhana (kacang rebus, kacang garing, bungkil, oncom) dan olahan modern (kacang atom, kacang mentega, pasta kacang) umumnya telah terkontaminasi aflatoksin B1 dengan kandungan di luar batas toleransi aman yang cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan berbagai kapang. Kesadaran penduduk dunia akan keamanan pangan diwujudkan dengan menetapkan standar mutu produk (ISO 9000) dan mutu lingkungan (ISO 14000) serta ekolabel sebagai instrumen pengendali nonlegal dalam interaksi pasar. Kandungan aflatoksin pada kacang tanah dapat menjadi salah satu hambatan nontarif di pasar internasional. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk meminimumkan kandungan aflatoksin dalam rangka menghilangkan berbagai hambatan dalam pemasaran serta melindungi konsumen dalam dan luar negeri perlu segera dikembangkan.

- Aspergilus flavus Demikian pula polong segar yang segera dikeringkan memperlihatkan tingkat infeksi A. flavus yang lebih sedikit dibandingkan dengan polong segar yang ditunda pengeringannya. Penundaan pengeringan polong segar melebihi 48 jam setelah dipanen akan meningkatkan infeksi A. flavus dan kontaminasi aflatoksin - Pengertian Aflatoksin Aflatoksin merupakan segolongan senyawa toksik (mikotoksin, toksin yang berasal dari fungi) yang dikenal mematikan dan karsinogenik bagi manusiadan hewan.Spesies penghasilnya adalah segolongan fungi (jenis kapang) dari genus Aspergillus, terutama A. flavus (dari sini nama "afla" diambil) dan A. parasiticus yang berasosiasi dengan produk-produk biji-bijian berminyak atau berkarbohidrat tinggi. Kandungan aflatoksin ditemukan pada biji kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai, pistacio, atau bunga matahari), rempah-rempah (seperti ketumbar, jahe, lada, serta kunyit),

dan serealia (sepertigandum, padi, sorgum, dan jagung). Aflatoksin juga dapat dijumpai pada susu yang dihasilkan hewan ternak yang memakan produk yang terinfestasikapang tersebut. Obat juga dapat mengandung aflatoksin bila terinfestasi kapang ini. Praktis semua produk pertanian dapat mengandung aflatoksin meskipun biasanya masih pada kadar toleransi. Kapang ini biasanya tumbuh pada penyimpanan yang tidak memperhatikan faktor kelembaban (min. 7%) dan bertemperatur tinggi. Daerah tropis merupakan tempat berkembang biak paling ideal. Toksin ini memiliki paling tidak 13 varian, yang terpenting adalah B1, B2, G1, G2, M1, dan M2. Aflatoksin B1 dihasilkan oleh kedua spesies, sementara G1 dan G2 hanya dihasilkan oleh A. parasiticus. Aflatoksin M1, dan M2 ditemukan pada susu sapi dan merupakan epoksida yang menjadi senyawa antara. Aflatoksin B1 diduga sebagai yang paling toksik, dan diproduksi oleh Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Aflatoksin G1 dan G2 diproduksi oleh A. parasiticus. Aspergillus flavus dan A. parasiticus ini tumbuh pada kisaran suhu yang jauh, yaitu berkisar dari 10-120C sampai 42-430C dengan suhu optimum 320-330C dan pH optimum 6.

Aflatoksin B1, senyawa yang paling toksik, berpotensi merangsang kanker, terutama kanker hati. Serangan toksin yang paling ringan adalah lecet (iritasi) ringan akibat kematian jaringan (nekrosis). Pemaparan pada kadar tinggi dapat menyebabkan sirosis, karsinoma pada hati, serta gangguan pencernaan, penyerapan bahan makanan, dan metabolisme nutrien. Toksin ini di hati akan direaksi menjadi epoksida yang sangat reaktif terhadap senyawa-senyawa di dalam sel. Efek karsinogenik terjadi karena basa N guanin pada DNA akan diikat dan mengganggu kerja gen. Pemanasan hingga 250 derajat Celsius tidak efektif menginaktifkan senyawa ini. Akibatnya bahan pangan yang terkontaminasi biasanya tidak dapat dikonsumsi lagi. Data dari negara berkembang menunjukkan banyak bahan pangan pokok dan produk agriculture terkontaminasi oleh aflatoksin terutama AFB1 dalam jumlah yang cukup signifikan. Kontaminasi disebabkan oleh kondisi lingkungan, proses pengolahan yang buruk dan kurangnya fasilitas penyimpanan. Jagung dan kacang tanah merupakan komoditas yang paling banyak terkontaminasi oleh aflatoksin. Selain itu, aflatoksin juga bersifat immunosuppresif yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh.

Bahaya aflatoksin terdiri dari bahaya akut dan subkronik letal. Bahaya akut meliputi sirosis hati dan kematian, sedangkan bahaya subkronik letal meliputi kanker, peningkatan toksisitas virus hepatitis B, dan penekanan sistim imun serta berbagai gangguan gizi. Bahaya akut terjadi apabila terpapar aflatoksin dosis tinggi (minimal 1 ppm); bahaya kronik kanker terjadi apabila terpapar aflatoksin dengan dosis berapa pun. Peningkatan toksisitas pada kondisi virus hepatitis B positif tidak diketahui dosis spesifiknya sementara itu, penghambatan imunitas dan berbagai gangguan gizi pada manusia terjadi apabila tjd paparan aflatoksin berdosis rendah (minimal 0,2 ppm). Di antara keempat jenis aflatoksin tersebut AFB1 memiliki efek toksik yang paling tinggi. Mikotoksin ini bersifat karsinogenik, hepatatoksik dan mutagenik sehingga menjadi perhatian badan kesehatan dunia (WHO) dan dikategorikan sebagai karsinogenik golongan 1A. Di Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin yang sering ditemukan pada produk-produk pertanian dan hasil olahan. Selain itu, residu aflatoksin dan metabolitnya juga ditemukan pada produk peternak seperti susu, telur, dan daging ayam. Sudjadi et al (1999) dalam Maryam (2002) melaporkan bahwa 80 diantara 81 orang pasien (66 orang pria dan 15 orang wanita) menderita kanker hati karena mengkonsumsi oncom, tempe, kacang goreng, bumbu kacang, kecap dan ikan asin. AFB1, AFG1, dan AFM1 terdeteksi pada contoh liver dari 58% pasien tersebut dengan konsentrasi diatas 400 g/kg. Toksikologi Aflatoksin Aflatoksin tidak menyebabkan keracunan secara akut, namun secara kronis menimbulkan kelainan organ hati. Penyimpanan makanan dalam waktu lama dan cara yang tidak benar,

menyebabkan kerusakan pada bahan makanan tersebut oleh mikroorganisme dan jamur yang dapat menghasilkan aflatoksin. Tidak ada spesies hewan, termasuk juga manusia, yang kebal terhadap efek toksik akut dari aflatoksin. Namun, manusia lebih mampu bertahan terhadap infeksi akut (Anonimus 2006c). Kerentanan terhadap aflatoksin sangat besar pada anak-anak, bergantung pada kemampuan tiap individu untuk mendetoksifikasi aflatoksin melalui proses biokimiawi tubuh, dan juga dipengaruhi oleh jenis kelamin (kaitannya dengan konsentrasi hormone testosteron). Toksisitas aflatoksin juga bergantung pada faktor nutrisi. Aflatoksikosis adalah istilah untuk kondisi keracunan akibat aflatoksin. Terdapat 2 bentuk aflatoksikosis, yaitu bentuk intoksikasi akut dan berat dan bentuk intoksikasi kronik subsimtomatik. Pada bentuk akut, terjadi kerusakan secara langsung pada organ hati, yang dapat diikuti oleh kematian. Banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa dosis dan durasi paparan aflatoksin sangat mempengaruhi akibat yang ditimbulkan, seperti (Williams et al 2004): 1.Paparan aflatoksin dalam dosis besar mengakibatkan infeksi akut dan kematian, akibat terjadinya irosis hepatis. Gejala terjadinya aflatoksikosis berat adalah nekrosa hemoragi organ hati, proliferasi duktus empedu, edema, dan lethargy. Manusia dewasa umumnya lebih toleran terhadap aflatoksin, dari kasus aflatoksikosis yang pernah dilaporkan, kematian banyak terjadi pada anak-anak. 2.Dosis subletal secara kronis menimbulkan gangguan nutrisi dan imunologis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa aflatoksin B1 mampu menginduksi terjadinya aplasia timus, menurunkan jumlah dan fungsi limfosit-T, menekan aktivitas fagositik, dan menurunkan aktivitas komplemen. Selain itu, juga disebutkan bahwa kontaminasi makanan oleh aflatoksin menyebabkan supresi respon imun berperantara sel (cell mediated immune responses). 3.Efek kumulatif dari aflatoksin memiliki resiko terhadap terjadinya kanker. Interaksi antara aflatoksin dengan virus Hepatitis B dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker hati. Deteksi Aflatoksin pada Manusia Terdapat dua teknik yang banyak dilakukan untuk mendeteksi kadar aflatoksin pada manusia (Anonimus 2006c, Henry et al. 2001). Metode pertama adalah dengan mengukur AFM1-guanin di dalam urin. Kehadiran zat tersebut menjadi indikasi terjadinya paparan aflatoksin selama 24 jam terakhir. Namun, kekurangan dari teknik ini adalah hanya memberikan hasil positif pada sekitar 30% dari individu yang positif terpapar aflatoksin. Hal tersebut disebabkan oleh waktu paruh dari AFM1-guanin. Kadar AFM1-guanin yang terukur dapat bervariasi setiap harinya dan dipengaruhi oleh diet, sehingga teknik ini tidak efektif untuk mendeteksi paparan aflatoksin yang kronis. Metode kedua yaitu mengukur kadar AFB1-albumin dalam serum. Pendekatan ini lebih akurat, memberikan hasil positif sebesar 90% dari individu yang positif terpapar aflatoksin. Metode ini juga efektif untuk mendeteksi paparan aflatoksin yang kronis (untuk 2-3 bulan). - Penanganan terjangkit aflatoksin Menurut penelitian dari U.Patriana dan E.S Pribadi, penderita yang disebabkan oleh aflatoksin dapat di atasi dengan menggunakan kortikosteroid dan antibiotik. Pada penelitian tersebut

peneliti menggunakan 150 ayam sebagai media uji. Pada ayam tersebut mendapatkan perlakuan bebeda, 45 ayam pertama menerima aflatoksin dan antibiotik, 45 ayam kedua menerima aflatoksin dan kortikosteroid, dan kelompok ke tiga menerima aflatoksin saja. Penelitian tersebut mendapatkan hasil bahwa organ hati ayam yang terpapar oleh aflatoksin yang tidak menerima kortikosteroid dan antibiotic, jauh lebih berat di bandingkan dengan hati ayam yang menerima kortikosteroid dan antibiotic. Maka dapat disimpulkan bahwa