kajian perencanaan partisipatif

Upload: fikrykarim

Post on 10-Jul-2015

1.140 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BADAN PERENCANAAN DAERAH KOTA DEPOK Tahun 2007

Kajian Perencanaan Partisipatif

Perbagai peluang pengembangan kota-kota di Indonesia, termasuk di Kota Depok, menghendaki inovasi dan pendekatan-pendekatan baru untuk menghasilkan gagasan-gagasan kreatif. Bagaimana pun berbagai perubahan dimulai dari gagasan / ide. Karena itu, gagasan tentang partisipasi warga untuk menciptakan kondisi kota yang lebih baik, seperti yang diprakarsai oleh Imagine Chicago, atau gagasan Charles Landry (2002) tentang Kota Kreatif (The Creative City), mungkin harus mulai didiskusikan secara meluas dan pengembangan gagasannya dikelola secara lebih serius. Konsep inti dibalik gagasan-gagasan itu adalah bahwa masa depan suatu kota merupakan masa depan bersama seluruh warga kota. Kenyamanan, kebanggaan, produktivitas, dan daya saing suatu kota merupakan produk bersama warga kotanya. Karena itu perlu ditumbuhkan milieu kreatif yang memungkinkan setiap individu warga kota, termasuk organisasiorganisasi yang ada, untuk dapat memberikan gagasan kreatif dan kontribusi terbaiknya bagi penciptaan kota yang diinginkan bersama. Dari perspektif itu, maka perencanaan partisipatif harus dilihat tidak semata-mata sebagai pelaksanaan suatu prosedur perencanaan yang melibatkan masyarakat semata, seperti yang dilakukan selama ini, tapi harus dimulai dengan proses imajinatif yang melibatkan sebanyak mungkin warga kota untuk merumuskan bersama tentang kota seperti apa yang diinginkan bersama di masa depan. Semakin detil kondisi yang diinginkan, dan semakin banyak warga kota yang memahami tentang kondisi detil kota yang diinginkan itu, maka akan semakin memudahkan bagi semua pihak untuk merealisasikannya. Depok, Desember 2007BAPEDA KOTA DEPOK

i

Kajian Perencanaan Partisipatif

BAPEDA KOTA DEPOK

ii

Kajian Perencanaan Partisipatif

Hal KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.. 1.2. Tujuan.. 1.3. Metodelogi kajian 1.4. Sistematika Penulisan Kajian TINJUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pembangunan 2.2. Konsep Perencanaan 2.3. Partisipasi Masyarakat 2.4. Perencanaan Partisipatif 2.5. Modal Sosial. 2.6. Konsep Biaya Transaksi 2.7. Forum Warga. 2.8. Pendekatan Apreciative Inquiri KEBIJAKAN DAERAH 3.1. Visi Pembangunan Daerah 3.2. Misi Pembangunan Daerah 3.3. Kebijakan Umum LANDASAN KONSTITUSIONAL, YURIDIS DAN KEBIJAKAN PERENCANAAN PARTISIPATIF 4.1. UUD 1945 4.2. UU NO. 25/2004 4.3. SE Bersama Bappenas dan Mendagri 4.4. Srt Mendagri No. 414.2/2435/SJ (2005) 4.5. Kep. Walikota Depok No. 02/2004 i ii iv v

1 7 7 8

BAB II

10 16 22 51 55 57 60 65

BAB III

72 75 75

BAB IV

82 85 90 92 94

BAPEDA KOTA DEPOK

ii

Kajian Perencanaan Partisipatif

BAB V

KAJIAN EVALUATIF PERENCANAAN PARTISIPATIF Tolok ukur peraturan perundangan dan 5.1. 97 juknis (petunjuk teknis) .. 5.2. Tolok ukur berdasarkan tipologi partisipasi 98 5.3. Tolok ukur pengembangan modal sosial 98 5.4. Tinjauan evaluatif 99 5.5. Pembahasan 107 SKENARIO PENGUATAN PERENCANAAN PARTISIPATIF 6.1. Tanpa perubahan berarti (status quo) 6.2. Memenuhi aturan/pedoman yg ada 6.3. Memenuhi aturan + kemitraan.. 6.3. Kemitraan + pendekatan apresiatif

BAB VI

116 118 120 122

BAB VII

REKOMENDASI SKENARIO Musrenbang RW dan Kelompok-kelompok 7.1. 124 Masyarakat 7.2. Musrenbang Kelurahan 125 7.3. Musrenbang Kecamatan 126 7.4. Forum SKPD 126 7.5. Musrenbang Kota 127

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan 128 8.2. Saran 131 DAFTAR PUSTAKA

BAPEDA KOTA DEPOK

iii

Kajian Perencanaan Partisipatif

Hal Gambar 1. Tangga Partisipasi menurut Arnstein Gambar 2. Alur Kajian Perencanaan Partisipatif di Kota Depok Gambar 3. Roda Partisipasi oleh Davidson 4 8 44

BAPEDA KOTA DEPOK

iv

Kajian Perencanaan Partisipatif

Hal Tabel 1. Tiga model pendekatan pemberdayaan masyarakat. Tabel 2. Istilah-istilah didalam proses perencanaan berdasarkan proses perencanaan yang dikandungnya Tabel 3. Tangga pemberdayaan warga, Burns Tabel 4. Tipologi partisipasi, Pretty Tabel 5. Tingkatan partisipasi, Mayer. 16

17 34 40 41

Tabel 6. Tahapan partisipasi, Wates.. 42 Tabel 7. Tipologi partisipasi, Parkers dan Panelli. 43 Tabel 8. Tipologi roda partisipasi, Davidson 45

Tabel 9. Tangga partisipasi masyarakat, Bonger & Specht. 46 Tabel 10. Perbedaan pendekatan problem solving dan KPA... 69

Tabel 11. Hak-hak warga Negara berdasarkan UUD 1945. 82

BAPEDA KOTA DEPOK

v

Kajian Perencanaan Partisipatif

Tabel 12. Kewajiban warga Negara berdasarkan UUD 1945. 84 Tabel 13. Tugas, tanggung jawab dan kewajiban Negara/pemerintah Tabel 14. Tinjauan evaluatif proses perencanaan di kota Depok. 85 99

BAPEDA KOTA DEPOK

vi

Kajian Perencanaan Partisipatif

1.1. Latar BelakangDewasa ini telah berkembang pendapat pakar dan praktisi tentang Perencanaan Participatif sebagai teknik dan metode yang tepat sasaran untuk menganalisis persoalan pembangunan sosial masyarakat di lingkungannya. Perencanaan Partisipatif telah diakui keunggulannya melalui pendekatan partisipatif, transparan dan aspiratif. Kelebihan lain adalah karena orang luar yang biasanya lebih aktif bekerja sendiri dengan bekal pengetahuan dan keahliannya, maka dalam Perencanaan Partisipatif posisi orang luar hanya sebatas Fasilitator atau Pemandu. Tidak berlebihan kalau pada akhirnya hasil Perencanaan Partisipatif merupakan data dasar atau rujukan untuk melakukan berbagai program pembangunan dan pemberdayaan di lingkungan masyarakat bersangkutan (dimana Perencanaan Partisipatif itu diterapkan). Perencanaan Partisipatif menjadi pantas untuk dikembangkan sebagai upaya untuk mendukung pergeseran paradigma pembangunan ke arah desentralisasi, penganekaragaman lokal, dan pemberdayaan masyarakat. Memang benar bahwa Perencanaan Partisipatif lebih khusus untuk mengkaji persoalan di daerah, akan tetapi melihat ciri dan cara kerjanya, Perencanaan Partisipatif dapat pula dilakukan untuk kepentingan umum yang berkaitan dengan persoalan pembangunan masyarakat.

BAPEDA KOTA DEPOK

1

Kajian Perencanaan Partisipatif

Meski banyak pihak sepakat bahwa pembangunan partisipatif atau pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan merupakan sebuah keharusan, namun istilah partisipasi itu sendiri masih dimaknai secara berbeda oleh orang yang berbeda. Apalagi jika istilah itu digunakan dalam konteks / setting yang berbeda. Berbagai stakeholders di Kota Depok, misalnya, dapat berbeda-beda jawabannya jika ditanyakan apakah proses pembangunan di Kota Depok, termasuk proses perencanaannya, sudah dapat dikategorikan partisipatif atau belum. Jawaban dari mereka yang secara rutin mengikuti Musrenbang di tingkat kelurahan atau mereka yang aktif di LPM kelurahan, misalnya, dapat berbeda dengan jawaban dari pihak birokrasi; juga dapat berbeda dengan jawaban dari kalangan LSM, kalangan dunia usaha, atau dari kalangan akademisi. Ketiadaan kerangka definisi yang sama tentang konsep pembangunan yang partisipatif ini membuat berbagai pihak yang mendiskusikannya dapat terjebak pada debat yang tak berujung dan kerap kali berakhir dengan kekecewaan, putus asa, frustasi, dan malahan mungkin melahirkan sikap apatis. Ini disebabkan karena masing-masing pihak mungkin menggunakan tolok ukur, konsep, asumsi, dan paradigma yang berbeda. Seperti halnya dengan debat tentang penerapan demokrasi di Indonesia, sebagian pihak menganggap bahwa Indonesia sudah demokratis, karena telah terdapat berbagai prosedur yang menggambarkan sebuah negara demokrasi seperti diadakannya pemilu secara rutin, pembatasan masa jabatan kepala pemerintahan / kepala daerah, serta terdapat lembagalembaga yang menggambarkan sebuah negara yang demokratis. Namun sebagian pihak berpendapat bahwa beberapa substansi demokrasi seperti penghargaan yang tulus terhadap keragaman (pandangan, ideologi,

BAPEDA KOTA DEPOK

2

Kajian Perencanaan Partisipatif

agama) dan penyelesaian perbedaan pendapat / konflik secara beradab, dalam banyak kasus belum sepenuhnya dimiliki oleh bangsa Indonesia. Analog dengan hal itu, maka bagi sebagian pihak, partisipasi masyarakat di Kota Depok barulah terbatas pada partisipasi yang prosedural, tapi belum tercipta di partisipasi kelurahan yang substansial. sudah Secara prosedural untuk ikut masyarakat memang diundang

Musrenbang. Tapi apakah semua warga telah diberikan kesempatan yang sama untuk mengikuti / memberikan masukan pada forum Musrenbang kelurahan tersebut? Lalu, berapa persen usulan yang disepakati di Musrenbang diakomodir dalam APBD? Kemudian secara prosedural kelompok-kelompok masyarakat sudah diundang dalam forum SKPD, tapi apakah terdapat simetrisitas informasi sebagai basis pengambilan keputusan tentang sebuah rencana? Dari perspektif ini, maka kajian evaluatif terhadap proses perencanaan partisipatif di Kota Depok dan skenario penguatannya ke depan hanya dan tentang dapat dilakukan secara utuh jika terdapat pemahaman bersama, terutama kesepakatan bersama, di antara para stakeholders

konsep pembangunan partisipatif yang akan diterapkan di Kota Depok. Tanpa kesepakatan itu, masing-masing pihak akan melihat perencanaan partisipatif yang dilaksanakan di Kota Depok dengan aksentuasi sudut pandang yang berbeda-beda. Salah satu hal yang perlu disadari sejak awal adalah bahwa partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan itu sendiri memiliki derajat yang berbeda-beda pada setiap komunitas dan pada setiap konteks kegiatan tertentu. Derajat partisipasi masyarakat pada proyek-proyek yang didanai oleh lembaga dana di luar Pemerintahan Kota Depok, misalnya, dapat berbeda dengan derajat partisipasi masyarakat pada proyek-proyek yang didanai oleh APBD Kota Depok. Pada Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), atau Proyek

BAPEDA KOTA DEPOK

3

Kajian Perencanaan Partisipatif

Pemberdayaan

Masyarakat

Squatter

(PPMS),

misalnya,

derajat

partisipasinya dapat berbeda dengan derajat partisipasi pada proyek pengentasan kemiskinan yang didanai oleh APBD Kota Depok dan dilaksanakan oleh SKPD. Yang menjadi pertanyaan adalah tolok ukur apa yang membedakan derajat partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan? Dalam berbagai kepustakaan (referensi), derajat / tingkatan partisipasi masyarakat itu tergantung pada seberapa besar masyarakat / warga memiliki power (kekuasaan, kekuatan, daya, kemampuan, wewenang) dalam proses pengambilan keputusan tentang apa yang direncanakan, bagaimana power. Berdasarkan tolok ukur ini, maka dapat proses untuk yang yang jika maka empowerment diartikan sebagai (pemberdayaan) masyarakat menambah memutuskan terbaik bagi apa dirinya bahwa rencana itu dilaksanakan, dan bagaimana memelihara hasilnya. Menurut Asrnstein (1969): citizen participation is citizen

kekuasaan pada masyarakat

secara kolektif. Bahkan ada berpendapat ingin perlu membangun masyarakat, dilakukan kepadaGambar 1. Tangga partisipasi menurut Arnstein (1969)

empowerment

disempowerment mengalami (surplus)

pihak-pihak yang selama ini kelebihan power.

BAPEDA KOTA DEPOK

4

Kajian Perencanaan Partisipatif

Berdasarkan

tolok

ukur

ini

terdapat

beberapa

tipologi

partisipasi

masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Arnstein (1969), Burns (1994), Donaldson (1998), Pretty (1995), dan Mayer (1997). Asumsi awal yang ingin ditegaskan dalam kajian ini adalah pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan di Kota Depok merupakan bentuk operasional dari pilihan tahapan / jenjang / tangga partisipasi masyarakat yang dipilih ada. Jika mengacu yang pada tangga participation) dikemukakan oleh berdasarkan tipologi yang (ladder (1969), of citizen misalnya, partisipasi Arsntein

partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan di Kota Depok, seperti melalui mekanisme Musrenbang, mungkin baru pada tahapan konsultasi. Pada tahap ini masyarakat memang diberikan kesempatan untuk mengemukakan pandangan, apsirasi dan usulannya. Tapi masyarakat

tidak berada dalam posisi menentukan dalam proses pengambilan keputusan akhir tentang sebuah rencana. Jika naik ke tangga partisipasi yang lebih tinggi, yaitu tahapan kemitraan (partnership), pemerintah dan masyarakat terlibat secara sejajar dalam proses pengambilan keputusan. Sedangkan pada tangga partisipasi tertinggi, yaitu tahapan kontrol / pengendalian oleh masyarakat (citizen control), pengambilan keputusan sepenuhnya berada di tangan masyarakat. Pertanyaannya adalah apakah mungkin partisipasi masyarakat dalam proses pelaksanaan pembangunan di Kota Depok naik ke tangga kemitraan (partnership) atau bahkan ke pengendalian oleh masyarakat berdasarkan tipologi Arnstein itu? Kajian ini juga akan mencoba mengaitkan antara proses perencanaan partisipatif dengan pembentukan modal sosial. Meski baru bersifat rintisan, yang diusulkan melalui kajian ini adalah bagaimana proses

BAPEDA KOTA DEPOK

5

Kajian Perencanaan Partisipatif

pembangunan di Kota Depok senantiasa mempertimbangkan aspek peningkatan modal sosial. Kajian yang dilakukan oleh Francis Fukuyama dalam bukunya Trust

sampai pada kesimpulan betapa modal sosial ini akan ikut menentukan kemajuan ekonomi suatu bangsa. Ia membagi masyarakat di dunia ini dengan masyarakat dengan tingkat kepercayaan yang rendah (low trust society) dan masyarakat dengan tingkat kepercayaan yang tinggi (high trust society). Dengan mengemukakan beberapa studi kasus, Fukuyama sampai pada kesimpulan bahwa kinerja ekonomi yang tinggi terdapat pada masyarakat dengan tingkat kepercayaan yang tinggi pula. Pertanyaannya adalah proses perencanaan partisipatif yang dilaksanakan di Depok telah memberikan andil untuk penciptakan kategori dengan tingkat kepercayaan sesama yang mana? Apakah di Kota menambah Depok atau rekening malah kepercayaan stakeholders

membuatnya semakin defisit sejalan dengan berjalannya waktu? Berdasarkan paparan tersebut di atas, maka kajian ini akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan berikut: a. Berdasarkan tipologi yang ada, partisipasi masyarakat yang ada di Kota Depok dalam proses perencanaan berada pada level apa? b. Apakah mungkin derajat partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan ditingkatkan (naik ke tangga yang lebih tinggi)? c. Kendala-kendala institusional, yuridis, politis apa saja yang mungkin dihadapi untuk meningkatkan derajat partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan di Kota Depok. d. Bagaimana skenario proses perencanaan di Kota Depok dengan derajat partisipasi masyarakat pada level yang optimal? e. Prasyarat apa yang dibutuhkan agar skenario itu bisa terlaksana? f. Bagaimana keterkaitan antara perencanaan partisipatif dan pengembangan modal sosial?

BAPEDA KOTA DEPOK

6

Kajian Perencanaan Partisipatif

1.2. TujuanTujuan pelaksanaan kajian ini adalah: 1. Melakukan tinjauan evaluatif pelaksanaan proses perencanaan partisipasi ditinjau dari : (a) sisi peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang berkaitan dengan perencanaan partisipatif, (b) dari sisi derajat partisipasi warga berdasarkan tipologi yang ada, serta (c) dari sisi kontribusi proses perencanaan dalam pengembangan modal sosial di Kota Depok. 2. Menyusun skenario penguatan perencanaan partisipatif di Kota Depok. 3. Mengidentifikasi kendala-kendala institusional, yuridis, dan politis dalam upaya peningkatan derajat partisipasi dalam perencanaan di Kota Depok.

1.3. Metodologi KajianKajian ini menggunakan yang pendekatan ada, kualitatif yang yaitu ada dari menjawab studi serta berbagai

pertanyaan-pertanyaan dokumen-dokumen

rumusan

masalah termasuk

dengan

pandangan

kalangan yang terekam di media masa, mengikuti alur sebagai berikut :

studi kepustakaan,

wawancara mendalam dengan beberapa informan. Kajian ini akan

BAPEDA KOTA DEPOK

7

Kajian Perencanaan Partisipatif

Tinjauan Peraturan Perundangan tentang Perencanaan Partisipatif

Deskripsi Pelaksanaan Perencanaan Partisipatif di Kota Depok

Tolok Ukur Peraturan Perundangan

Kajian Evaluatif Perencanaan Partisipatif di Kota Depok

Tipologi Partisipasi Modal Sosial

Kajian Skenario Penguatan Perencanaan Partisipatif di Kota Depok

Gambar 2. Alur Kajian Perencanaan Partisipatif di Kota Depok

1.4. Sistematika Penulisan KajianKajian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan 1.3. Tujuan 1.4. Metodelogi kajian 1.5. Sistematika Penulisan Kajian TINJUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pembangunan 2.2. Konsep Perencanaan 2.3. Partisipasi Masyarakat 2.4. Perencanaan Partisipatif 2.5. Modal Sosial 2.6. Konsep Biaya Transaksi 2.7. Forum Warga

BAB II

BAPEDA KOTA DEPOK

8

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.8. BAB III

Pendekatan Apreciative Inquiri

KEBIJAKAN DAERAH 3.1. Visi Pembangunan Daerah 3.2. Misi Pembangunan Daerah 3.3. Kebijakan Umum LANDASAN KONSTITUSIONAL, YURIDIS DAN KEBIJAKAN PERENCANAAN PARTISIPATIF 4.1. UUD 1945 4.2. UU NO. 25/2004 4.3. SE Bersama Bappenas dan Mendagri 4.4. Srt Mendagri No. 414.2/2435/SJ (2005) 4.5. Kep. Walikota Depok No. 02/2004 KAJIAN EVALUATIF PERENCANAAN PARTISIPATIF 5.1. Tolok ukur peraturan dan juknis Tolok ukur berdasarkan tipologi 5.2. partisipasi 5.3. Tolok ukur pengembangan modal sosial 5.4. Tinjauan evaluatif 5.5. Pembahasan SKENARIO PENGUATAN PERENCANAAN PARTISIPATIF 6.1. Tanpa perubahan berarti (status quo) 6.2. Memenuhi aturan/pedoman yg ada 6.3. Memenuhi aturan + kemitraan 6.3. Kemitraan + pendekatan apresiatif SKENARIO PENGUATAN PERENCANAAN PARTISIPATIF Musrenbang RW dan Kelompok-kelompok 7.1. Masyarakat 7.2. Musrenbang Kelurahan 7.3. Musrenbang Kecamatan 7.4. Forum SKPD 7.5. Musrenbang Kota

BAB IV

BAB V

BAB VI

BAB VII

DAFTAR PUSTAKA

BAPEDA KOTA DEPOK

9

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.1. Konsep Pembangunan2.1.1. Pengertian Pembangunan Kegiatan perencanaan bukanlah suatu kegiatan yang berdiri sendiri. Aktifitas ini ada dalam konteks siklus proses pembangunan (perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, monitoring dan evaluasi). Pada berbagai level status sosial masyarakat, istilah pembangunan ini dapat memiliki makna yang berbeda-beda. Jika mempelajari usulanusulan pembangunan yang muncul dari forum Musrenbang di kelurahan, misalnya, pembangunan lebih banyak identik dengan pembangunan fisik: jalan, jembatan, saluran, tanggul, fisik sekolah, fisik puskesmas, dan sejenisnya. Sedangkan bagi para penggiat HAM (hak asasi manusia), pembangunan dimaknai sebagai proses pemenuhan hak-hak warga negara. Ungkapan menggugat yang sering muncul berkaitan dengan istilah ini adalah: Pembangunan itu untuk siapa?. Gugatan ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa sebagian warga masyarakat mempersepsikan terdapat pihak-pihak yang sangat diuntungkan dengan proses pembangunan dan ada pihak-pihak yang seolah-olah tidak mendapat apa-apa, malah mungkin dirugikan (berkorban). Bahkan, telah terbentuk perspesi bahwa untuk mendapat manfaat dari kegiatan pembangunan yang bersumber dari anggaran negara harus melalui KKN (dekat dengan kekuasaan). Kesan yang juga muncul di masyarakat

BAPEDA KOTA DEPOK

10

Kajian Perencanaan Partisipatif

adalah kelompok yang paling diuntungkan dari proses pembangunan di era reformasi ini adalah kalangan eksekutif dan legislatif. Meskipun tentu saja kesan dan persepsi seperti ini belum tentu selalu benar. Dari sudut pandang ini, maka proses perencanaan yang melibatkan masyarakat, yang dilakukan secara iteratif (berulang), adalah untuk menjamin bahwa akan terdapat distribusi keuntungan yang adil dari proses pembangunan. Yang dituju adalah munculnya persepsi di masyarakat bahwa semua pihak memperoleh benefit (keuntungan) yang adil dari setiap proses pembangunan. Persoalannya adalah bagaimana dengan kelompok-kelompok yang masyarakat tidak yang selama ini tidak proses diuntungkan / terpinggirkan dalam proses pembangunan. Mereka adalah kelompok-kelompok memiliki akses dalam pengambilan keputusan. Bagaimana agar suara mereka didengar dalam proses perencanaan tersebut? 2.1.2. Pembangunan sebagai Pemenuhan Hak-Hak Warga Negara Dalam dokumen Deklarasi tentang Hak atas Pembangunan yang disetujui dengan resolusi Majelis Umum 41/28 tanggal 4 Desember 1986 ditegaskan bahwa: pembangunan adalah proses ekonomi, sosial, budaya dan politik yang komprehensif yang ditujukan pada perbaikan yang tetap mengenai kesejahteraan seluruh penduduk dan semua individu atas dasar partisipasi mereka yang aktif, bebas, dan berarti dalam pembangunan dan dalam distribusi keuntungan yang adil yang timbul darinya. Menurut deklarasi itu, hak atas pembangunan merupakan salah satu hak asasi manusia. Pribadi manusia adalah pelaku utama pembangunan dan harus merupakan peserta aktif dan pewaris hak atas pembangunan. (Pasal 1 ayat 2)

BAPEDA KOTA DEPOK

11

Kajian Perencanaan Partisipatif

Secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga negara yang paling humanistik. Dengan rumusan seperti ini maka pembangunan pada dasarnya merupakan upaya untuk memanusiakan manusia (Rustiadi et al, 2006). Lebih lanjut dijelaskan, pengertian pemilihan alternatif yang sah dalam definisi pembangunan di atas diartikan bahwa upaya pencapaian aspirasi tersebut dilaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku atau dalam suatu tatanan kelembagaan atau tatanan budaya yang dapat diterima. UNDP mendefisinikan pembangunan, khususnya pembangunan manusia, sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging peoples choices). Dalam konsep tersebut, penduduk (manusia) dilihat sebagai tujuan akhir (the ultimate end), bukan alat, cara, atau instrumen pembangunan sebagaimana yang dilihat oleh model formasi modal manusia (human capital). Pembangunan juga dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses

perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi. Menurut Tadaro (2000), pembangunan harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang yaitu kecukupan (substenance) memenuhi paling hakiki pokok, kebutuhan

meningkatkan rasa harga diri atau jatidiri (self esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih. Tadaro berpendapat bahwa pembangunan harus dipandang sebagai proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, institusi-institusi, disamping

BAPEDA KOTA DEPOK

12

Kajian Perencanaan Partisipatif

tetap

mengejar

akselerasi

pertumbuhan

ekonomi,

penanganan

ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. 2.1.3. Pembangunan Berkelanjutan Keterbatasan sumber daya alam baik akibat degradasi maupun

eksploitasi yang berlebihan telah melahirkan apa yang dikenal dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Inti dari konsep ini adalah bahwa pemanfaatan sumber daya untuk pemenuhan kebutuhan generasi saat ini tidak boleh mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang. Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi konsep yang populer terutama sejak dipublikannya laporan Our Common Future sebagai laporan World Commission on Environmental and Development yang dipimpin oleh G.H. Bruntland di tahun 1988, dimana mantan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Emil Salim, menjadi salah satu anggotanya. Pada tahun 1992, pada KTT Bumi di Rio de Jenairo, pentingnya pendekatan pembangunan secara berkelanjutan semakin dipertegas. Serageldin (1996), diacu dalam Rustiadi et al (2006) mengajukan tiga dimensi keberlanjutan yang dikenal sebagai triangular framework yaitu keberlanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi. Ungkapan yang populer tentang makna pembangunan berkelanjutan adalah secara ekonomi menguntungkan, secara sosial pembangunan itu dapat diterima dan adil (termasuk adil terhadap generasi mendatang), dan secara ekologi tidak merusak alam (sehingga dapat digunakan oleh generasi mendatang). Selanjutnya Spangenber (1999) menambahkan dimensi kelembagaan (institution) sebagai dimensi keempat, sehingga keempat dimensi tersebut membentuk sebuah prisma keberlanjutan (prism of sustainability).

BAPEDA KOTA DEPOK

13

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.1.4. Kegagalan Pemerintah dalam Pembangunan Terdapat beberapa teori tentang tipologi kegagalan pemerintah dalam proses pembangunan yang pernah dikemukakan (ODowd, 1978; Weisbrod, 1978, Dollery dan Wallis, 1997), namun penyebab kegagalan tersebut dibagi dalam tiga faktor utama (Rustiadi et.al., 2006), antara lain : Pertama, disebabkan oleh inefisiensi dari sistem / struktur politik yang asimetrik. Hal ini disebut juga constitutional failure atau legislative failure, dimana para politisi lebih mementingkan kelompok, terutama untuk pemenangan pemilu yang akan datang, sehingga tidak memikirkan kepentingan dan perbaikan kondisi-kondisi kemasyarakatan. Kedua, disebabkan karena terhenti atau tersendatnya kegiatan pelayanan masyarakat yang berakibat inefisiensi, sering disebut sebagai bureauratic failure. Ketiga, intervensi pemerintah dalam sektor rent seeking selalu disertai dengan kepentingan pribadi dan kelompok, dalam hal ini pemerintah lebih bertindak sebagai rent seeker. 2.1.5. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Pusat Kajian Bina Swadaya (2007), memaparkan bagaimana sebuah proses dalam pembangunan dilakukan terutama dikaitkan tiga kategori, bersama yaitu: (1) development dan (3) degan praktek for community of pemberdayaan masyarakat (community development) dan membaginya (pembangunan untuk masyarakat), (2) development with community (pembangunan masyarakat), development community (pembangunan masyarakat). 1. Pembangunan untuk masyarakat (development for community)

adalah bentuk pemberdayaan masyarakat dimana masyarakat pada dasarnya menjadi objek pembangunan karena berbagai inisiatif, perencanaan, dan pelaksanaan kegiatan pembangunan dilakukan oleh

BAPEDA KOTA DEPOK

14

Kajian Perencanaan Partisipatif

aktor dari luar. Aktor luar ini dapat saja telah melakukan penelitian, melakukan konsultasi, dan melibatkan tokoh setempat. Namun apabila keputusan dan sumber daya pembangunan berasal dari luar maka pada dasarnya masyarakat tetap menjadi objek. Hal ini dapat terjadi bila masyarakat merupakan komunitas yang kesadaran dan budayanya terdominasi. 2. Pembangunan bersama masyarakat (development with community) secara khusus ditandai dengan kuatnya pola kolaborasi antara aktor luar dan masyarakat setempat. Keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama dan sumber daya yang dipakai berasal dari kedua belah pihak. Model ini paling populer dan banyak diaplikasikan oleh berbagai pihak. Dasar pemikiran pola ini adalah dapat berkembangnya sinergi dari potensi yang dimiliki oleh masyarakat lokal dengan yang dikuasai oleh aktor luar. Keterlibatan masyarakat dalam upaya pembangunan juga diharapkan dapat mengembangkan rasa memiliki terhadap inisiatif pembangunan yang ada sekaligus membuat proyek pembangunan menjadi lebih efisien. 3. Pembangunan proses pelaksanaannya masyarakat (development yang inisiatif, sendiri oleh of community) perencanaan, masyarakat. adalah dan Dapat

pembangunan

dilaksanakan

dikatakan masyarakat menjadi pemilik dari proses pembangunan. Peran aktor luar dalam kondisi ini lebih sebagai sistem pendukung bagi proses pembangunan. Ini merupakan model yang diidealkan oleh berbagai pihak, namun dalam kenyatannya belum banyak komunitas yang mampu membangun dirinya sendiri. Untuk mengarah ke model ini diperlukan berbagai program peningkatan kapasitas (capacity building) untuk masyarakat lokal.

BAPEDA KOTA DEPOK

15

Kajian Perencanaan Partisipatif

Tabel 1. Tiga Model Pendekatan Pemberdayaan MasyarakatDevelopment for Community (Pembangunan untuk masyarakat) Aktor dari luar Sosialisasi dan Konsultasi Aktor dari luar Aktor dari luar Proyek Development with Community (Pembangunan bersama masyarakat) Aktor dari luar bersama masyarakat lokal Kolaborasi Aktor dari luar bersama masyarakat lokal Aktor dari luar bersama masyarakat lokal Proyek dan Program Development of Community (Pembangunan masyarakat) Masyarakat lokal Pemberdayan dan pengerahan potensi sendiri Masyarakat lokal Masyarakat lokal Pengembangan sistem dan penguatan kelembagaan

Aktor Utama Bentuk Hubungan Pengambil keputusan Pelaksana Bentuk kegiatan

Sumber : Pusat Kajian Bina Swadaya (2007).

2.2. Konsep Perencanaan2.2.1. Pengertian Perencanaan Perencanaan telah didefinisikan secara berbeda-beda oleh para ahli sesuai dengan bidangnya masing-masing. Namun dalam pengertian yang paling sederhana, perencanaan sebenarnya adalah suatu cara rasional untuk mempersiapkan masa depan. Menurut Kay dan Alder (1999), diacu dalam Rustiadi et. al (2006), perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Dengan ada, demikian, proses perencanaan (kapasitas) dilakukan kita dengan menguji berbagai arah pencapaian serta mengkaji berbagai ketidakpastian yang mengukur kemampuan untuk mencapainya, kemudian memilih arah-arah terbaik dan memilih langkah-langkah untuk mencapainya.

BAPEDA KOTA DEPOK

16

Kajian Perencanaan Partisipatif

Sebagian berpendapat bahwa perencanaan adalah suatu aktivitas yang dibatasi oleh lingkup waktu tertentu, sehingga perencanaan lebih jauh diartikan sebagai suatu kegiatan terkoordinasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu. Dari berbagai pendapat dan definisi yang dikembangkan mengenai perencanaan, secara umum selalu terdapat dua unsur penting, yakni: (1) unsur hal yang ingin dicapai, dan (2) unsur cara untuk mencapainya. Dalam implementasi proses perencanaan, dikenal berbagai nomenklatur seperti visi, misi, tujuan, sasaran, strategi, kebijakan, program, proyek, serta aktivitas. Istilah-istilah itu sering saling dipertukarkan dengan tidak konsisten dan bahkan cenderung dapat membingungkan sehingga dapat mengganggu proses pembangunan akibat perencanaan yang tidak jelas. Visi, tujuan dan sasaran adalah istilah-istilah yang menjelaskan mengenai unsur perencanaan yang pertama (hal yang ingin dicapai). Misi dan aktivitas adalah istilah-istilah mengenai unsur-unsur perencanaan yang kedua (cara mencapainya). Sedangkan strategi, program, dan proyek merupakan suatu kumpulan komponen perencanaan yang mencakup kedua unsur perencanaan dalam suatu struktur tertentu.Tabel 2. Istilah-istilah di dalam proses perencanaan berdasarkan unsur perencanaan yang dikandungnya Unsur Perencanaan Hal yang ingin dicapai Normatif Normatif Terukur Terukur Normatif/terukur Terukur Terukur Terukur Terukur Cara untuk mencapai

Istilah (nomenklatur) Visi (vision) Misi (mission) Tujuan (goal) Sasaran (objective) Strategi (strategy) Kebijakan (policy) Program (program) Pryek (project) Aktifitas (action)

Keterangan

Sumber: Rustiadi et. al. (2006)BAPEDA KOTA DEPOK

17

Kajian Perencanaan Partisipatif

1. Visi (vision): suatu kondisi ideal (cita-cita) normatif yang ingin dicapai di masa datang 2. Misi (mission): cara normatif untuk mencapai visi. 3. Tujuan-tujuan (goals): hal-hal yang ingin dicapai secara umum. Setiap bentuk tujuan (goals) bersifat dapat dimaksimumkan atau diminimumkan. 4. Sasaran (objectives): bentuk operasional dari tujuan, biasanya lebih terukur, disertai target pencapaiannya. Sasaran merupakan kondisi minimum yang harus dicapai dalam mencapai tujuan dalam waktu tertentu. 5. Strategi (strategy): sekumpulan sasaran-sasaran dengan metodemetode untuk mencapainya. 6. Kebijakan (policy): sekumpulan aktivitas (actions), untuk pelaksanaan-pelaksanaan pencapaian jangka pendek. 7. Aktivitas (actions): kegiatan pelaksanaan, khususnya menyangkut fisik dan biaya. 8. Program (program): sekumpulan aktivitas (actions) untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang dilakukan oleh suatu institusi tertentu. 9. Proyek (project): sekumpulan aktivitas (actions) untuk mencapai suatu tujuan/target/sasaran tertentu yang dilakukan oleh suatu institusi tertentu dalam waktu tertentu dengan sumberdaya (biaya) tertentu. Dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan, beberapa istilah ini juga diberikan definisinya. Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan. Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi. Strategi adalah langkah-langkah berisikan program-program indikatif untuk mewujudkan visi dan misi.BAPEDA KOTA DEPOK

18

Kajian Perencanaan Partisipatif

Kebijakan

adalah

arah/tindakan

yang

diambil

oleh

Pemerintah

Pusat/Daerah untuk mencapai tujuan. Program adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran, atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah. 2.2.2. Pendekatan / Basis Perencanaan Perencanaan umumnya dilakukan berdasarkan berbagai kombinasi

pendekatan. Beberapa pendekatan perencanaan yang umum dilakukan berdasarkan basis (pijakan) utamanya (Kelly dan Becker, 2000, diacu dalam Rustiadi et.al, 2006) adalah: (1) Berbasis kecenderungan (trends-driven). Perencanaan dengan basis pendekatan ini dilaksanakan dengan berdasarkan kecenderungan umum yang terjadi. Kecenderungan selalu berubah-ubah sehingga pendekatan ini bukan pendekatan yang ideal untuk kepentingan publik jangka panjang. Tapi secara teknis pendekatan ini setidaknya dapat memberikan informasi bagi pendekatan-pendekatan lainnya. Pendekatan ini sering dilakukan oleh institusi-institusi yang belum matang dan mandiri dimana pendekatan yang termudah adalah dengan meniru atau mengikuti kecenderungan dari institusi-institusi yang lebih berpengalaman. (2) Berbasis kesempatan / peluang (opprotunity-driven). Pendekatan ini sering dilakukan terutama karena alasan-alasan pragmatis, mengingat adanya peluang-peluang yang langka. Adanya peluang (opprtunity) dianggap harus dimanfaatkan sebesar-besanya. (3) Berbasis isu (issue-driven). Perencanaan dilakukan berdasarkan isu atau masalah-masalah yang ada. Beranjak dari permasalahan atau

BAPEDA KOTA DEPOK

19

Kajian Perencanaan Partisipatif

isu disusun langkah-langkah untuk menanggulangi dan menjawab isu dan tantangan tersebut. (4) Berdasarkan tujuan (goal-driven). Ini merupakan pendekatan

perencanaan yang paling klasik. Namun proses tersulit adalah menetapkan tujuan itu sendiri seringkali bukanlah proses yang mudah apalagi jika dilakukan melalui proses lintas stakeholders. (5) Berbasis visi (vision-driven). Berbeda dengan pendekatan berbasis tujuan, pendekatan berbasis visi sangat menekankan nilai-nilai normatif di dalam gerakan atau aktivitasnya dan tidak ada tujuantujuan yang spesifik dan terukur. Perencanaan seperti ini lebih sesuai untuk gerakan-gerakan sosial, pendidikan, spiritual/keagamaan, yang sangat berorientasi sangat panjang dan tidak memiliki target-target spesifik jangka pendek. 2.2.3. Proses Perencanaan Berdasarkan prosesnya, perencanaan dapat diklasifikasikan menjadi perencanaan ikremental, adaptif, rasional, dan partisipatif (Rustiadi et al, 2006). 1. Perencanaan inkremental. Proses perencanaan ini dilakukan akibat terbatasnya Pendekatan kapasitas ini pengambilan keputusan, rupa dan mereduksi terlalu cakupan (scope) dan biaya pengumpulan informasi dan analisis. dilakukan sedemikian agar tidak menyimpang dari kondisi saat ini (status quo). Komponen utama dari pendekatan ini adalah: (a) pilihan-pilihan diturunkan dari kebijakan dan perencanaan yang merupakan peningkatan, penambahan, atau perbaikan dari kebijakan yang ada (status quo), (b) hanya sejumlah kecil pilihan yang dipertimbangkan, (c) hanya sejumlah kecil konsekuensi yang diinvestigasi, (d) tujuan dan pendekatan yang

BAPEDA KOTA DEPOK

20

Kajian Perencanaan Partisipatif

dipilih didasarkan atas pertimbangan yang mudah dilakukan, (e) keputusan dibuat dari proses analisis iteratif dan evaluasi. 2. Perencanaan Adaptif. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Holling (1978), yaitu suatu pendekatan yang berfokus pada pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman. Begitu didapat informasi baru segera dilakukan review atas pengelolaan yang sedang berjalan dan pendekatan-pendekatan baru dirumuskan. Pendekatan ini selalu menghadapi kendala terutama akibat adanya penolakan (resistensi) dari pihak-pihak yang harus melakukan penyesuaianpenyesuaian terhadap hal-hal yang bagi mereka masih penuh ketidakpastian. Perencanaan adaptif yang terlalu longgar akan banyak menimbulkan berbagai bentuk inkonsistensi dalam perspektif jangka panjang. 3. Perencanaan Rasional. Rasionalitas adalah cara utama yang

dikembangkan masyarakat dan para pemikir barat sejak zaman renaisan. Rasionalitas dapat diartikan sebagai suatu cara memilih pendekatan menyeluruh terbaik dengan berpikir untuk tertib (sistematis) tujuan dan (komprehensif) mencapai tertentu.

Pendekatan rasional membutuhkan sejumlah pengetahuan, berbagai alat (tools) berupa analisis ilmiah, untuk dapat membuat keputusankeputusan yang logis dalam menelaah semua alternatif yang ada. Kesempurnaan dari pendekatan ini adalah terletak pada ketersediaan informasi yang sempurna. Secara umum tahapan proses dalam kerangka perencaan rasional adalah: (a) identifikasi masalah, (b) menetapkan tujuan/sasaran, (c) identifikasi peluang dan hambatan, (d) pengajuan alternatif-alternatif, (e) menetapkan alternatif pilihan dan melaksanakannya. 4. Perencanaan partisipatif / konsensus. Dalam perencanaan

rasional dituntut adanya pengetahuan / informasi yang sempurna. Kondisi ini merupakan suatu kondisiBAPEDA KOTA DEPOK

yang sangat sulit dipenuhi

21

Kajian Perencanaan Partisipatif

karena kapasitas, pengetahuan, pengalaman, informasi, dan teknologi yang dimiliki perencana cenderung terbatas dibandingkan dengan kompleksitas kepentingan permasalahan yang yang ada. pula. Di sisi lain, informasi sifat sebenarnya tersebar beragam di masing-masing stakeholders dengan berbeda-beda Dengan demikian, komprehensif dari suatu perencanaan pada dasarnya dapat dipenuhi dengan membangun partisipasi seluruh stakeholders agar diperoleh informasi yang lengkap dan dipahami bersama untuk kemudian dibangun keputusan yang terbaik. 5. Perencanaan Rasional Partisipatif. Dengan perencanaan secara terintegrasi ini, maka pendekatan partisipatif akan menutupi berbagai kelemahan pendekatan perencanaan rasional terutama kelemahan akibat terbatasnya informasi. Pendekatan partisipatif juga akan lebih menjamin penerimaan (acceptability) dari pihak-pihak yang berkepentingan.

2.3. Partisipasi Masyarakat2.3.1. Pengertian Masyarakat Sebelum membahas partisipasi masyarakat, perlu dipahami terlebih dahulu berbagai konsep tentang masyarakat atau komunitas (community). Dari berbagai referensi di Indonesia kedua istilah ini kerap kali dipertukarkan atau diangap sama. Ada yang menerjemahkan community sebagai masyarakat namun ada yang lebih suka menerjemahkannya sebagai komunitas. Dalam realitas, komunitas itu sendiri mulai dari level dengan lingkup geografis yang relatif kecil, seperti komunitas RT / RW sampai pada komunitas negara-negara seperti European Community (Masyarakat Eropa). Bahkan dengan informasi yang tak terbatas, akibat kemajuanBAPEDA KOTA DEPOK

22

Kajian Perencanaan Partisipatif

teknologi informasi (internet), terjadi perubahan yang radikal tentang tempat (space) dan waktu (time). Komunitas dalam masyarakat informasi menjadi tak berbatas ruang (spaceless) dan tak terbatas

waktu (timeless). Komunitas seperti ini di kota-kota modern membentuk apa yang disebut sebagai cyber culture (budaya siber) atau networking culture (kultur jejaring). Burns (1994) memberikan beberapa makna tentang komunitas sebagai berikut: 1. Masyarakat / komunitas sebagai warisan identitas. Makna ini merupakan ekspresi tradisi budaya atau identitas bersama, sebagai sesuatu yang diwariskan turun temurun. Ini merupakan sebuah konsep yang menggambarkan legitimasi berdasarkan sejarah. 2. Masyarakat hubungan / komunitas sebagai hubungan sosial. dan Pola antar direfleksikan dalam kekeluargaan ketetanggaan,

dimana interaksi sosial dan dukungan satu satu sama lain seringkali digerakkan oleh faktor tempat tinggal. Ini merupakan sebuah konsep yang menggambarkan legitimasi berdasarkan tradisi sosiologi dan antropologi. 3. Masyarakat / komunitas sebagai basis konsumsi kolektif, yakni suatu kesatuan kelompok atau ketetanggaan yang memiliki kebutuhan atau permintaan yang sama terhadap barang publik (public goods), seperti perpustakaan, transportasi, kualitas lingkungan dan lainnya. Ini merupakan 4. Masyarakat itu dapat sebuah / konsep masyarakat basis yang untuk menggambarkan produksi dan legitimasi berdasarkan ekonomi. komunitas sebagai penyediaan barang-barang barang publik lokal. Barang-barang publik disediakan oleh swasta, masyarakat umum, atau pihakpihak relawan (termasuk masyarakat itu sendiri). Ini merupakan konsep masyarakat yang menggambarkan legitimasi berdasarkan ekonomi dan penyediaan pelayanan teknologi.

BAPEDA KOTA DEPOK

23

Kajian Perencanaan Partisipatif

5. Masyarakat / komunitas sebagai sumber pengaruh dan kekuatan / kekuasaan yang berasal dari hasil pemberdayaan (empowerment) atau keterwakilan, apakah melalui saluran representasi atau partisipasi formal atau informal dari aksi politik. Ciri-ciri komunitas dapat ditentukan oleh beberapa hal. Ciri-ciri

komunitas, menurut Community Speaker Series (2001), yang diacu dalam Ahmad (2004) adalah: Sekelompok orang Sekelompok orang yang mendiami suatu wilayah tertentu Orang-orang yang disatukan oleh isu bersama Orang-orang yang bekerja sama Sekelompok orang yang mengkonsolidasikan sumberdaya bersama (pool resources). Sekelompok orang yang saling menghormati satu dengan lainnya. Sekelompok orang yang merasa aman bersama Sekelompok orang yang memiliki rasa ketetanggaan. Orang-orang yang terorganisir Orang-orang yang mempertahankan dan membina kegiatan Orang-orang yang membuat kemitraan Orang-orang yang fokus pada kebutuhan dari kelompoknya. Sekelompok orang yang memiliki visi bersama Sukarelawan yang terorganisir Orang-orang yang melakukan langkah kecil bersama untuk tujuan yang besar. Menurut Moelyadi dan Simanjuntak (1993), masyarakat adalah langsung

sekelompok orang yang menempati wilayah tertentu secara

atau tidak langsung saling berhubungan dalam usaha pemenuhan kebutuhannya, terikat sebagai suatu kesatuan sosial melalui perasaan solidaritas oleh karena latar belakang sejarah, politik dan kebudayaan.

BAPEDA KOTA DEPOK

24

Kajian Perencanaan Partisipatif

Berdasarkan

berbagai

konsep

tersebut,

sesungguhnya

pengertian

masyarakat dapat dikelompok menjadi dua kategori yaitu community of place dan community of interest. Pengelompokan ini dijelaskan oleh Burns (1994) sebagai berikut: 1. Community of interest adalah perkumpulan komunitas /masyarakat berdasarkan isu dan kepentingan tertentu baik pada lokasi tertentu atau tidak, dan tidak selalu dihubungkan dengan batas wilayah tertentu. 2. Community of place yaitu pengelompokan masyarakat berdasarkan wilayah / lokasi tertentu. Wilayah komunitas seperti itu dapat bervariasi dalam hal ukuran meskipun batasan yang paling umum adalah ukurannya relatif kecil dan lokal. Komunitas berbasis area / wilayah ini dapat diidentifikasi dalam pengertian sebagai batasan wilayah pelayan administratif, dan dan status sosial tempat ekonomi ini lebih atau berdasarkan atau dalam pengertian karakter politik. Kategori masyarakat tempat berdasarkan

diidentifikasi

tinggal seperti jalan, blok, ketetanggaan, kejamaahan / jemaat, perkampungan, dsb. 2.3.2. Pengertian Partisipasi Masyarakat Menurut Cohen dan Uphoff (1977), yang diacu dalam Harahap (2001), partisipasi dan adalah keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan keputusan tentang apa yang dilakukan, dalam pembuatan

pelaksanaan program dan pengambilan keputusan untuk berkontribusi sumberdaya atau bekerjasama dalam organisasi atau kegiatan khusus, berbagi manfaat dari program pembangunan dan evaluasi program pembangunan. Sedangkan menurut Ndraha (1990), partisipasi masyarakat dalam

proses pembangunan dapat dipilah meliputi; (1) partisipasi dalam / melalui kontak dengan pihak lain sebagai awal perubahan sosial, (2)

BAPEDA KOTA DEPOK

25

Kajian Perencanaan Partisipatif

partisipasi dalam memperhatikan / menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya, (3) partisipasi dalam perencanaan termasuk pengambilan keputusan, (4) partisipasi dalam pelaksanaan operasional, (5) partisipasi dalam menerima, memelihara, dan mengembangkan hasil pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai tingkat pelaksanaan pembangunan. Survey partisipasi oleh The International Association of Public

Participation telah mengidentifikasi nilai inti partisipasi sebagai berikut (Delli Priscolli, 1997), yang diacu dalam Daniels dan Walker (2005): 1. Masyarakat harus memiliki suara dalam keputusan tentang tindakan yang mempengaruhi kehidupan mereka. 2. Partisipasi masyarakat meliputi jaminan bahwa kontribusi masyarakat akan mempengaruhi keputusan. 3. Proses partisipasi masyarakat mengkomunikasikan dan memenuhi kebutuhan proses semua partisipan. 4. Proses partisipasi masyarakat berupaya dan memfasilitasi keterlibatan mereka yang berpotensi untuk terpengaruh. 5. Proses partisipasi masyarakat melibatkan partisipan dalam mendefinisikan bagaimana mereka berpartisipasi. 6. Proses partisipasi masyarakat mengkomunikasikan kepada partisipan bagaimana input mereka digunakan atau tidak digunakan. 7. Proses partisipasi masyarakat memberi partisipan informasi yang mereka butuhkan dengan cara bermakna. Korten (1988) dalam pembahasannya tentang berbagai paradigma pembangunan mengungkapkan bahwa dalam paradigma pembangunan yang berpusat pada rakyat, partisipasi adalah proses pemberian peran kepada individu bukan hanya sebagai subyek melainkan sebagai aktor yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. Sedangkan Migley (1986)

BAPEDA KOTA DEPOK

26

Kajian Perencanaan Partisipatif

melihat partisipasi sebagai upaya memperkuat kapasitas individu dan masyarakat untuk mendorong mereka dalam menyelesaikan permasalan yang mereka hadapi. Tjokrowinoto (1987), diacu dalam Hasibuan (2003), menyatakan alasan pembenar partisipasi masyarakat dalam pembangunan: 1. 2. Rakyat adalah fokus sentral dan tujuan akhir pembangunan, partisipasi merupakan akibat logis dari dalil tersebut. Partisipasi menimbulkan harga diri dan kemampuan pribadi untuk dapatturut masyarakat. 3. Partisipasi menciptakan suatu lingkungan umpan balik arus informasi tentang sikap, aspirasi, kebutuhan, dan kondisi lokal yang tanpa keberadaannya akan tidak terungkap. Arus informasi ini tidak dapat dihindari untuk berhasilnya pembangunan. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Pembangunan dilaksanakan lebih baik dengan dimulai dari dimana rakyat berada dan dari apa yang mereka miliki. Partisipasi memperluas wawasan penerima proyek pembangunan. Partisipasi akan memperluas jangkauan pelayanan pemerintah kepada seluruh lapisan masyarakat. Partisipasi menopang pembangunan Partisipasi Partisipasi menyediakan merupakan lingkungan lingkungan yang yang kondusif kondusif baik baik bagi bagi aktualisasi potensi manusia maupun pertumbuhan manusia aktualisasi potensi manusia maupun pertumbuhan manusia. 10. Partisipasi merupakan cara yang efektif membangun kemampuan masyarakat untuk pengelolaan program pembangunan guna memenuhi kebutuhan lokal. 11. Partisipasi dipandang sebagai pencerminan hak-hak demokratis individu untuk dilibatkan dalampembangunan mereka sendiri. serta dalam keputusan penting yang menyangkut

BAPEDA KOTA DEPOK

27

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.3.3. Keuntungan dan Kerugian Partisipasi Masyarakat Dengan mengacu pada berbagai referensi (Anon, 2000; Blumenthal, 2000, Dovers, 2000; Kapoor, 2001; serta UNDP, 2000), Thomsen (2003) memaparkan keuntungan dan kerugian dari partisipasi masyarakat. Keuntungan dari partisipasi masyarakat adalah: 1. Partisipasi memperluas basis pengetahuan dan representasi. Dengan mengajak masyarakat dengan spektrum yang lebih luas dalam proses pembuatan keputusan, maka partisipasi dapat: (a) meningkatkan representasi dari kelompok-kelompok komunitas, khususnya kelompok yang selama ini termarjinalisasikan, (b) membangun perspektif yang beragam yang berasal dari beragam stakeholders, (c) mengakomodir pengetahuan lokal, pengalaman, dan kreatifitas, sehingga memperluas kisaran ketersediaan pilihan alternatif. 2. Partisipasi membantu terbangunannya transparansi komunikasi dan hubungan-hubungan kekuasaan di antara para stakeholders. Dengan melibatkan stakeholders dan berdiskusi dengan pihak-pihak yang akan menerima atau berpotensi menerima akibat dari suatu kegiatan / proyek, hal itu dapat menghindari ketidakpastian dan kesalahan interpretasi tentang suatu isu / masalah. 3. Partisipasi dapat meningkatkan pendekatan iteratif dan siklikal dan menjamin pengambilan bahwa solusi didasarkan maka para pada pembuat pemahaman keputusan dan dapat pengetahuan lokal. Dengan membuka kesempatan dalam proses keputusan, memperluas pengalaman masyarakat dan akan memperoleh umpan balik dari kalangan yang lebih luas. Dengan demikian, kegiatan yang dilakukan akan lebih relevan dengan kepentingan masyarakat lokal dan akan lebih efektif.

BAPEDA KOTA DEPOK

28

Kajian Perencanaan Partisipatif

4. Partisipasi hasil

akan

mendorong yang

kepemilikan berkelanjutan

lokal,

komitmen

dan

akuntabilitas. Pelibatan masyarakat lokal dapat membantu terciptanya (outcomes) dengan menfasilitasi kepemilikan masyarakat terhadap proyek dan menjamin bahwa aktivitas-aktivitas yang mengarah pada keberlanjutan akan terus berlangsung. Hasil yang diperoleh dari usaha-usaha kolaboratif lebih mungkin untuk diterima oleh seluruh stakeholders. 5. Partisipasi dapat membangun kapasitas masyarakat dan modal sosial. Pendekatan partisipatif akan meningkatkan pengetahuan dari tiap stakeholders tentang kegiatan / aksi yang dilakukan oleh stakholders lain. Pengetahuan ini dan ditambah dengan peningkatan interaksi antar sesama stakeholders akan meningkatkan kepercayaan diantara para stakeholders dan memberikan kontribusi yang positif bagi peningkatan modal sosial. Sedangkan kerugian yang mungkin muncul dari pendekatan partisipatif adalah: 1. Proses partisipasi dapat digunakan untuk memanipulasi sejumlah besar warga masyarakat. melakukan proses (b) ini Partisipasi secara sadar atau tidak sadar memanipulasi tidak partisipasi publik untuk dapat merugikan kepada mereka yang terlibat jika: (a) para ahli yang kepentingannya, jika direncanakan secara hati-hati,

partisipasi dapat menambah biaya dan waktu dari sebuah proyek tanpa ada jaminan bahwa partisipasi itu akan memberikan hasil yang nyata. 2. Partisipasi dapat menyebabkan konflik. Proses partisipasi seringkali menyebabkan ketidakstabilan hubungan sosial politik yang ada dan menyebabkan konflik yang dapat mengancam terlaksananya proyek.

BAPEDA KOTA DEPOK

29

Kajian Perencanaan Partisipatif

3. Partisipasi dapat menjadi mahal dalam pengertian bahwa waktu dan biaya yang dikeluarkan dipersepsikan sebagai sesuatu yang mahal bagi masyarakat lokal. Pada wilayah-wilayah dimana di dalamnya terdapat ketidakadilan sosial, proses partisipasi akan dilihat sebagai sesuatu yang mewah dan pengeluaran-pengeluaran untuk proses itu tidak dapat dibenarkan ketika berhadapan dengan kemiskinan yang akut. 4. Partisipasi dapat memperlemah (disempower) masyarakat. Jika

proses partisipasi dimanipulasi, tidak dikembangkan dalam kerangka kerja institusional yang mendukung atau terjadi kekurangan sumber daya untuk penyelesaian atau keberlanjutan suatu proyek, maka partisipan dapat meninggalkan proses tersebut, kecewa karena hanya sedikit hasil yang diraih, padahal usaha yang dilakukan oleh masyarakat telah cukup besar. 2.3.4. Tipologi Partisipasi Tipologi partisipasi menggambarkan derajat keterlibatan masyarakat dalam proses partisipasi yang didasarkan pada seberapa besar kekuasaan (power) yang dimiliki masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Kegunaan dari adanya tipologi partisipasi ini adalah: (a) untuk membantu memahami praktek dari proses pelibatan masyarakat, (b) untuk mengetahui sampai sejauh mana upaya peningkatan partisipasi masyarakat dan (c) untuk menilai dan mengevaluasi keberhasilan kinerja dari pihak-pihak yang melakukan pelibatan masyarakat. 2.3.4.1. Tipologi Tangga Partisipasi Arnstein (1969). Sherry Arnstein adalah yang pertama kali mendefinisikan strategi partisipasi yang didasarkan pada distribusi kekuasaan antara masyarakat (komunitas) dengan badan pemerintah (agency). Dengan pernyataannya bahwa partisipasi masyarakat identik dengan kekuasaan masyarakatBAPEDA KOTA DEPOK

30

Kajian Perencanaan Partisipatif

(citizen partisipation is citizen power), Arnstein menggunakan metafora tangga partisipasi dimana tiap anak tangga mewakili strategi partisipasi yang berbeda yang didasarkan pada distribusi kekuasaan. Tangga terbawah merepresentasikan kondisi tanpa partisipasi (non participation), meliputi: (1) manipulasi (manipulation) dan (2) terapi (therapy). (informing), Kemudian (4) diikuti dengan tangga (3) dan menginformasikan (5) penentraman konsultasi (consultation),

(placation), dimana ketiga tangga itu digambarkan sebagai tingkatan tokenisme (degree of tokenism). Tokenisme dapat diartikan sebagai kebijakan sekadarnya, berupa upaya superfisial (dangkal, pada permukaan) atau tindakan simbolis dalam pencapaian suatu tujuan. Jadi sekadar menggugurkan kewajiban belaka dan bukannya usaha sungguhsungguh untuk melibatkan masyarakat secara bermakna. Tangga selanjutnya adalah (6) kemitraan (partnership), (7) pendelegasian wewenang / kekuasaan (delegated power), dan (8) pengendalian masyarakat (citizen control). Tiga tangga terakhir ini menggambarkan perubahan dalam keseimbangan kekuasaan yang oleh Arnstein dianggap sebagai bentuk sesungguhnya dari partisipasi masyarakat. 1. Manipulasi (manipulation). Pada tangga partisipasi ini bisa diartikan relatif tidak ada komunikasi apalagi dialog; tujuan sebenarnya bukan untuk melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program tapi untuk mendidik atau menyembuhkan partisipan (masyarakat tidak tahu sama sekali terhadap tujuan, tapi hadir dalam forum). 2. Terapi (therapy). Pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat terbatas. Inisiatif datang dari pemerintah dan hanya satu arah. Tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai derajat tokenisme dimana peran serta masyarakat diberikan kesempatan untuk berpendapat dan didengar pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka

BAPEDA KOTA DEPOK

31

Kajian Perencanaan Partisipatif

akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Peran serta pada jenjang ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat. 3. Informasi (information). Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak terjadi tapi masih bersifat satu arah dan tidak ada sarana timbal balik. Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi masyarakat tidak diberikan kesempatan melakukan tangapan balik (feed back). 4. Konsultasi (consultation). Pada tangga partisipasi ini komunikasi telah bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan, telah ada harapan bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi. 5. Penentraman (placation). Pada level ini komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara untuk masyarakat dan pemerintah. saran atau usulan Masyarakat kewenangan tersebut. Tiga tangga teratas dikategorikan sebagai bentuk yang sesungguhnya dari partisipasi dimana masyarakat memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. 6. Kemitraan (partnership). Pada tangga partisipasi ini, pemerintah dan masyarakat merupakan mitra sejajar. Kekuasaan telah diberikan dan telah ada negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan, baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi. Kepada masyarakat yang selama ini tidak memiliki akses dipersilahkan untuk menilai memberikan dan

merencanakan usulan kegiatan. Namun pemerintah tetap menahan kelayakan keberadaan

BAPEDA KOTA DEPOK

32

Kajian Perencanaan Partisipatif

untuk proses pengambilan keputusan diberikan kesempatan untuk bernegosiasiai dan melakukan kesepakatan. 7. Pendelegasian mengurus kekuasaan (delegated power). Ini berarti dari bahwa proses

pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk sendiri beberapa kepentingannya, monitoring dan mulai evaluasi, perencanaan, pelaksanaan, sehingga

masyarakat memiliki kekuasaan yang jelas dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keberhasilan program. 8. Pengendalian warga (citizen control). Dalam tangga partisipasi ini, masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa campur tangan pemerintah. 2.3.4.2 Tipologi (1994) Burns et al (1994) berpendapat bahwa bila pemerintah hendak Partisipasi Burns, Hambleton, dan Hogget

meningkatkan partisipasi masyarakat, maka harus diketahui terlebih dahulu sampai sejauh mana jenjang proses partsipasi yang telah ada. Untuk itu Burns memodifikasi model Arnstein yang dirasakan lebih tepat terhadap kebutuhan publik (kewenangan masyarakat lokal) dalam rangka mengembangkan partisipasi masyarakat, pemberdayaan, dan perubahan tata kelola pemerintahan di daerah. Dalam menggunakan tipologi ini, Burns menjelaskan bahwa terdapat kemungkinan untuk menambah jenjang antara tangga partisipasi yang satu dengan yang lainnya meski terkesan lebih rumit dan memberikan kebebasan untuk menghapus atau menambah jenjang menurut situasi yang ada. Dia mengakui bahwa terdapat permasalahan yang kompleks dalam penentuan jenjang partisipasi. Ini disebabkan adanya karakteristik yang bisa diasumsikan bahwa terdapat lebih dari satu jenjang pada saat

BAPEDA KOTA DEPOK

33

Kajian Perencanaan Partisipatif

bersamaan dan upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di setiap tangga membutuhkan cara yang berbeda-beda. Burns juga mengingatkan bahwa kualitas partisipasi masyarakat tidak harus menempati tangga tertinggi dalam waktu yang sangat cepat. Semua harus didasarkan pada situasi dan kondisi masyarakat. Berdasarkan hasil kajian terhadap delapan tangga partisipasi Arnstein, serta pemetaannya terhadap ruang kekuasaan dan yang ada tata dalam kelola masyarakat, Burns memodifikasi konsep Arsntein tersebut dalam rangka pengembangan partisipasi masyarakat perubahan pemerintahan daerah. Burns dan koleganya memberi nama untuk tangga partisipasi mereka dengan A Ladder of Citizen Empowerment (Tangga Pemberdayaan Warga), dengan menambahkan ruang pada jenjang partisipasi satu dengan yang lainnya serta menjabarkan kemungkinan adanya perbedaan pembagian ruang jenjang partisipasi Tangga Pemberdayaan Warga dari Burns.Tabel 3. Tangga Pemberdayaan Warga oleh Burns et al (1994)

pada penilaian

oleh pemerintah daerah atau institusi lainnya. Tabel 3 menggambarkan

No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Jenjang Partisipasi Civic hype Cynical Consultation Poor Information Customer care High Quality Information Genuine Information Effective Advisory Body Limited decentralised decision making Partnership Delegated Control Enrusted Control Independent Control

Kategori

Citizen Non Participation

Citizen Participation

Citizen Control

BAPEDA KOTA DEPOK

34

Kajian Perencanaan Partisipatif

Secara garis besar penjelasan terhadap jenjang partisipasi tersebut adalah sebagai berikut : A. Tanpa Partisipasi Warga. Keempat jenjang dimana warga dikategorikan tidak berpartisipasi (citizen non participation) karena adalah civic hype, cynical consultation, dari foor information, dan diabaikan, keadaan ini. 1. Civic hype. Peranan pemerintah dalam kondisi ini terlalu besar, menguasai hampir seluruh segi kehidupan, sehingga masyarakat tidak mempunyai peranan dan bersifat pasif. Pada jenjang ini pemerintah daerah melakukan sosialisasi informasi, baik kepada masyarakat maupun keluar, namun informasi yang diberikan bersifat manipulatif, berbentuk propaganda dan pada dasarnya tidak sesuai dengan kondisi obyektif daerahnya. 2. Cynical consultation. Pada kondisi ini partisipasi masyarakat customer care. Jenjang-jenjang ini tidak boleh manipulasi informasi berkembang keempat

cenderung rendah tapi pemerintah daerah telah membuka diri untuk menerima kritik dari masyarakat. Pada jenjang ini, pemerintah daerah melakukan pertemuan konsultasi dengan masyarakat tentang suatu masalah atau program tertentu, namun dalam pertemuan tersebut tidak menyentuh topik-topik yang substantif. Misalnya, pemerintah daerah melakukan pertemuan konsultasi dengan masyarakat untuk memutuskan nama dari satu jalan yang akan dibangun, bukannya membahas hal-hal yang bersifat strategis, seperti perencanannya, tujuan serta pembiayaannya. 3. Poor informasi. Masyakat tidak diberikan informasi kebijakan dan permasalahan legislatif. Pada yang berkaitan ini dengan kehidupan sulit atau masyarakat. tidak bisa Informasi tersebut lebih untuk konsumsi pemerintah sendiri atau jenjang masyarakat

BAPEDA KOTA DEPOK

35

Kajian Perencanaan Partisipatif

mendapatkan informasi atau data-data yang akurat, valid, dan obyektif mengenai daerahnya atau hal-hal apa saja yang dilakukan dan juga disebabkan oleh sulitnya oleh pemerintah daerah. Hal ini disebabkan karena tidak dilakukannya penerbitan data atau informasi masyarakat untuk mendapatkan informasi tersebut. 4. Customer care. Pada jenjang ini pemerintah daerah membentuk sejenis unit pelayanan pengaduan. Jika pengaduan-pengaduan masyarakat mengenai buruknya pelayanan pemerintah melalui unit pelayanan itu diabaikan, maka pada jenjang ini terjadi konsultasi palsu (pseudo consultation). Namun sebaliknya jika pengaduan masyarakat tersebut ditindaklanjuti dan membuahkan hasil, misalnya terjadi perbaikan dalam pelayanan pemerintah, maka pada jenjang ini dapat digolongkan dalam partisipasi. Hal ini dapat terjadi karena masyarakat customer memiliki care ini informasi pada yang cukup mengenai untuk berbagai meredam kegiatan pemerintah atau mulai dilakukannya transparansi. Program awalnya ditujukan ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan pemerintah. B. Dengan Partisipasi Warga 5. High quality information. Pada jenjang ini terjadi sosialisasi informasi yang berkualitas tinggi, baik dilihat dari proses maupun materi yang disampaikan pemerintah daerah kepada masyarakat setempat. Sosialisasi informasi-informasi tersebut akan mendorong terjadinya proses dialog atau konsultasi antara pemerintah daerah dengan masyarakat setempat yang lebih menyentuh substansi permasalahan. Keterbukaan pemerintah daerah dalam hal ini telah memberikan peluang yang luas kepada masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan pemerintahan, pengajuan daerah. baik dalam hal pemantauan, evaluasi, maupun tuntutan-tuntutan. Dengan proses konsultasi seperti itu,

masyarakat dapat memberikan input yang signifikan bagi pemerintah

BAPEDA KOTA DEPOK

36

Kajian Perencanaan Partisipatif

6. Genuine Consultation. Diskusi antara pemerintah dengan masyarakat telah ada dan sebenarnya telah berjalan. Dalam diskusi ini, masyarakat memberikan masukan kepada pemerintah sebelum suatu kebijakan diambil jenjang genuine walaupun tidak ada kepastian pemerintah akan consultation ini, dilakukan improvisasi untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan masukan tersebut. Pada meningkatkan kualitas konsultasi antara pemerintah daerah dengan masyarakat dilihat dari substansi pembahasan maupun prosesnya. Misalnya, dilakukan proses konsultasi antara pemerintah dengan masyarakat sebelum merancang suatu peraturan atau sebelum merancang program. Sebagai hasil dari peningkatan kualitas konsultasi ini dapat menghasilkan perubahan struktural misalnya pembentukan berbagai badan atau komite masyarakat yang berfungsi sebagai penasehat (advisory) bagi pemerintah daerah dalam rangka membuat kebijakan atau melaksanakan program-program pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat yang bersangkutan. 7. Effective advisory bodies. Pada jenjang ini terjadi peningkatan keberadaan badan atau komite penasehat masyarakat, sehingga dapat berfungsi efektif dan akan mendorong partisipasi badan atau komite tersebut dalam pembuatan kebijakan yang menyangkut operasional, penggunaan sumber daya bahkan dapat menyentuh tataran strategis. Namun tidak ada satu ketentuan pun bagi pemerintah daerah untuk memasukan pendapat komite masyarakat tersebut ke dalam kebijakan yang akan dibuat. Artinya, hasil dialog tersebut tidak mengikat pemerintah daerah. 8. Limited decentralised decision making. Pada tahap ini masyarakat telah menunjukan inisiatif mereka dan telah ada transfer atau setidaknya pemberian wewenang untuk mempengaruhi pemerintah. Telah ada organisasi / perkumpulan masyarakat yang bekerjasama dengan pemerintah dalam pengambilan keputusan. Organisasi

BAPEDA KOTA DEPOK

37

Kajian Perencanaan Partisipatif

tersebut melaksanakan hal-hal seperti mengajak masyarakat untuk bersatu, mendiskusikan persamaan persepsi bagaimana pelayanan beroperasi, memperbaiki memberi keadaan pandangan saat ini. apa yang ini terjadi juga saat ini, memberikan masukan apa yang dapat dan harus dilakukan untuk Organisasi mengambil keputusan untuk langkah aksi, memonitor aksi yang dilakukan dan merencanakan langkah aksi selanjutnya. Pada jenjang ini keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan telah meningkat ke arah kontrol masyarakat terhadap operasional maupun pengelolaan sumber daya dengan kerangka yang spesifik dan terbatas. Pemerintah daerah mulai melakukan pengalihan manajerial pengelolaan program pemerintah kepada masyarakat. Disamping itu, setidak-tidaknya terjadi proses transfer kekuasaan (kewenangan), dimana masyarakat memiliki maupun pengaruh yang signifikan terhadap terutama proses melalui pembuatan mekanisme pelaksanaan kebijakan,

negosiasi antara masyarakat dengan pemerintah daerahnya. 9. Limited Partnership. Pada jenjang ini pemerintah daerah dan

masyarakat menjadi mitra sejajar, dan kemudian berkembang pada pembagian kekuasaan antara pemerintah daerah atau unit-unit pemerintah daerah dengan unit-unit kelompok masyarakat dalam kerangka yang spesifik. Selain itu pemerintah daerah membangun strategi bottom-up 10.Delegated control. Pada tahap ini operasional pengambilan keputusan telah dibedakan secara internal (pemerintah) dan eksternal (masyarakat), dimana pemerintah memisahkan kewenangan tertentu untuk didelegasikan kepada masyarakat. Secara umum dalam jenjang ini kontrol yang substansial didelegasikan kepada masyarakat daerah atau pembuatan kebijakan maupun pelaksanaannya, namun harus tetap mengacu pada kebijakan strategis, seperti standarisasi yang

BAPEDA KOTA DEPOK

38

Kajian Perencanaan Partisipatif

ditetapkan pemerintah daerah serta kerangka pendelegasian kontrol yang ditentukan secara terpusat. C. Pengendalian / Kontrol oleh Masyarakat Pada jenjang kesebelas dan keduabelas, masyarakat telah memiliki kekuasaan untuk mengatur program, institusinya tidak bergantung pada pemerintah daerah atau badan lainnya. 11.Entrust Control. Masyarakat memiliki kekuasaan dan kapasitas untuk mengatur sebuah program, area dan institusi. Pada jenjang ini peningkatan pengendalian / kontrol masyarakat telah mewujud dengan terbentuknya suatu institusi atau organisasi yang otonom secara legal untuk menguasai pembuatan maupun implementasi kebijakan terhadap suatu atau beberapa bidang tertentiu, namun institusi ini masih tergantung pada alokasi dana dari pemerintah daerah yang hanya berperan pada tataran strategis. 12.Independent Control. Hubungan pemerintah dengan masyarakat meningkat berdasarkan kepercayaan dan saling ketergantungan. Pada jenjang ini dipertimbangkan transformasi fundamental antara negara dan ekonomi pasar di satu sisi dan anggota masyarakat di sisi lain. Kekuataan tidak berada pada pasar, tapi berdasarkan bentuk-bentuk demokrasi dalam semua sisi kehidupan. Kedudukan pemerintah dan masyarakat sederajat. Pada jenjang ini, institusi yang diprakarsai masyarakat yang terlibat dalam menguasai (mengontrol) pembuatan kebijakan maupun implementasinya secara penuh mendapatkan otonomi, baik legal maupun finansial dari pemerintah daerah. Hubungan dengan pemerintah daerah dilakukan melalui koordinasi dengan jaringan kerjasama.

BAPEDA KOTA DEPOK

39

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.3.4.3. Tipologi Partisipasi Pretty (1995) Dengan mengadaptasi tipologi partisipasi Arnstein, Pretty (1995), diacu dalam Ahmad (2004), mengembangkan pendekatan yang berbeda berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam sebagaimana pada Tabel 4. Tabel 4. Tipologi Partisipasi Pretty (1995)Tipologi Partisipasi manipulatif Partisipasi pasif Partisipasi dengan konsultasi Partisipasi yang dibeli Karakteristik Setiap Tipe Partisipasi dilakukan hanya dengan berpura-pura. Warga berpartisipasi dengan diberitahukan apa yang telah diputuskan atau yang telah dilaksanakan. Informasi yang dibagi pun hanya untuk kalangan profesional. Warga berpartisipasi melalui konsultasi atau dengan menjawab pertanyaan dan tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Warga berpartisipasi untuk mendapatkan makanan, uang tunai atau insentif material lainnya. Masyarakat lokal tidak berkewajiban melanjutkan praktek yang diintrodusir ketika insentif berakhir. Partisipasi dilihat oleh badan eksternal sebagai sebuah langkah untuk mencapai tujuan proyek, khususnya untuk mengurangi biaya. Warga mungkin berpartisipasi dengan membentuk kelompok untuk memenuhi tujuan yang ditetapkan sebelumnya berkaitan dengan proyek tersebut. Warga berpartisipasi dalam analisis bersama, mengembangkan rencana aksi bersama dan pembentukan atau penguatan kelompok atau institusi lokal. Metodologi pembelajaran dipakai untuk menemukenali perspektif yang beragam, dan kelompok menentukan bagaimana sumberdaya yang tersedia digunakan. Warga berpartisipasi dengan mengambil inisiatif secara independen (tanpa campur tangan dari institusi luar) untuk mengubah sistem. Mereka mengembangkan kontak dengan institusi luar untuk mengakses sumber daya dan bantuan teknis yang mereka butuhkan, tapi memiliki kontrol sepenuhnya terhadap bagaimana sumberdaya itu digunakan.

Partisipasi fungsional

Partisipasi interaktif

Mobilisasi sendiri dan berdikari

Sumber : Pretty (1995) diacu dalam Thomsen (2004)

BAPEDA KOTA DEPOK

40

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.3.4.4. Tingkatan Partisipasi Mayer (1997) dan Wates (2000) Tingkatan partisipasi yang dikemukakan oleh Mayer (1997) dan Wates (2000) adalah salah satu instrumen untuk melihat tingkat keterlibatan masyarakat dalam sebuah proyek atau proses perencanaan. Tabel 5. Tingkatan Partisipasi Mayer (1997)TahapanPembelajaran

CaraPara pihak dapat menentukan kerjasama yang akan dilakukan dengan pendekatan-pendekatan yang sudah dipelajari. Terdapat perubahan kelembagaan (pengetahuan, kepercayaan dan sikap-kebiasaan) Melihat hubungan antara berbagai permasalahan di setiap tahapan proses yang ada di berbagai pihak dan berbagi tanggung jawab untuk penyelesaian yang mungkin dicapai Mengajak para pihak untuk melihat sumberdaya yang mereka miliki dan menginisiasi kerjasama Mengajak para pihak untuk mengetahui tentang nilai-nilai dan kepentingan yang saling menguntungkan Memberikan kesempatan pada para pihak untuk membuat antisipasi permasalahan yang muncul di masa depan Bertanya kepada para pihak tentang apa yang mereka tahu tentang permasalahan mereka dan apa yang dapat mereka lakukan terhadap permasalahan tersebut Memberikan akses informasi dan pengetahuan kepada masyarakat umum

TujuanPara pihak dapat menggali dan membuat pendekatan yang fleksibel dan kontekstual dengan perubahan yang cepat Identifikasi dan menjajaki kemungkinan kerjasama dalam berbagai aktivitas / proyek Mengkoordinasi sumberdaya, tujuan, dan cara pencapaian Untuk mendamaikan konflik, mencapai kompromi, pemahaman bersama sampai membuat konsensus Menggali proyeksi kemungkinan perubahan di masa depan Membuat kebijakan atas dasar informasi relevan yang didapat di lapangan Memperkaya pemahaman kepada para pihak, memperkuat penerimaan dan legitimasi, belajar berdemokrasi

Ko-Produksi

Koordinasi Mediasi

Antisipasi

Konsultasi

InformasiEdukasi

Sumber : Mayer (1997), diacu dalam Ahmad (2004).

Tahapan partisipasi yang dikembangkan oleh Wates (2000) berdasarkan tingkat keterlibatan masyarakat (kemandirian, kemitraan, konsultasi, dan informasi) pada masing-masing tahapan proyek (inisiasi proyek, perencanaan, implementasi, dan keberlanjutan proyek).

BAPEDA KOTA DEPOK

41

Kajian Perencanaan Partisipatif

Tabel 6. Tahapan Partisipasi Wates (2000)

INISIASI KEMANDIRIAN Kontrol ada pada komunitas KEMITRAAN Berbagi tugas dan ikut serta dalam pengambilan keputusan Komunitas melakukan inisiasi

PERENCANAAN Komunitas merencanakan kegiatannya sendiri Otoritas dan komunitas secara bersama-sama merencanakan kegiatan Otoritas membuat perncanaan setelah berkiomunikasi dengan komunitas

IMPLEMENTASI Komunitas mengimplementa sikan rencananya sendiri Otoritas dan komuniotas bersama-sama mengimplementa sikan perencanaan

KEBERLANJUTAN Komunitas menjaga hasil-hasil pembangunan Otoritas dan komunitas saling menjaga hasil pembangunan

Otoritas dan komunitas bersamasama melakukan inisiasi kegiatan KONSULTASI Otoritas Dilakukan menginisiasi dengan kegiatan pendekatan setelah dialog berdialog dengan komunitas Otoritas INFORMASI menginisiasi Komunikasi dilakukan searah kegiatanSumber : Wates (2000)

Otoritas mengimplementa sikan perencanaannya dengan berkonsultasi pada komunitas Otoritas membuat Otoritas mengimplementa perencanaan sikan sendiri perencanaannya sendiri

Otoritas menjaga hasil pembangunan dengan bertanya kepada komunitas

Otoritas menjaga hasil pembangunannya sendiri

2.3.4.5. Tipologi Partisipasi Parkers and Panelli (2001). Tipologi ini esensinya istilah sama yang dengan lain tipologi sebelumnya partisipasi namun yang

menggunakan

adalah

tipologi

dikemukakan oleh Parkers dan Panneli (2001).

BAPEDA KOTA DEPOK

42

Kajian Perencanaan Partisipatif

Tabel 7. Tipologi Partisipasi Parkers dan Pannelli (2001)Tipe partisipasiCo-option (pilihan bersama) Compliance (kerelaan) Consultation (konsultasi) Cooperation (kerjasama) Co-learning (belajar bersama)

Keterlibatan Masyarakat lokalPerwakilan masyarakat dipilih untuk ikut dalam prosespartisipasi tapi tanpa input yang nyata atau tanpa pembagian kekuasaan dalam pengambilan keputusan. Tugas ditetapkan dengan insentif tapi pihak luar memutuskan agenda dan aksi apa yang harus dilakukan Pendapat masyarakat lokal dicari / diminta, tapi pihak luar yang menganalisis dan memutuskan pilihan kegiatan yang dianggap terbaik untuk dilakukan. Masyarakat lokal bekerjasama dengan pihak luar untuk menentukan prioritas tapi tanggungjawab tetap berada di tangan pihak luar untuk mengarahkan proses tersebut. Masyarakat lokal dan pihak luar berbagai pengetahuan mereka untuk menciptakan pemahaman baru dan mereka bekerja sama untuk membentuk rencana aksi dengan fasilitasi dari pihak luar

Collective action (aksi bersama)

Masyarakat lokal menyusun sendiri agenda mereka dan mengerahkan diri mereka sendiri untuk mencapainya tanpa inisiatif dari pihak luar dan dengan atau tanpa kehadiran fasilitator dari luar.

2.3.4.6. Roda Partisipasi Davidson (1998) Sebenarnya Davidson tidak membuat tipologi partisipasi yang sama sekali baru. Ia sepenuhnya mengadopsi tipologi yang dikemukakan oleh Burns, dan sebagian besar menggunakan istilah yang digunakan oleh Burns. Hanya saja menurut Davidson (1998), tiap jenjang partisipasi masyarakat itu membutuhkan metode dan strategi pendekatan yang berbeda.Karena itu dalam artikelnya Engaging Community, Davidson memodifikasi metode dan strategi pendekatan yang digunakan dalam tiap jenjang partisipasi yang dikemukakan oleh Burns.

BAPEDA KOTA DEPOK

43

Kajian Perencanaan Partisipatif

Gambar 3. Roda Partisipasi oleh Davidson

BAPEDA KOTA DEPOK

44

Kajian Perencanaan Partisipatif

Tabel 8. Tipologi Roda Partisipasi Davidson No. Jenjang Partisipasi1. Minimal Communication

KarakteristikBadan pemerintah memutuskan seluruh hal / materi tanpa konsultasi (kecuali ketika aturan mengharuskan melakukan konsultasi), seperti melalui laporan dari komite. Menjelaskan kepada publik apa yang diinginkan oleh badan pemerintah, bukan tentang apa yang ingin diketahui oleh publik. Ini dilakukan dengan pendekatan yang menjangkau publik yang lebih luas Memberikan informasi tentang apa yang diinginkan atau dibutuhkan oleh masyarakat, seperti kertas kerja untuk didiskusikan atau pameran untuk pengembangan rencana atau catatan panduan untuk pengembangan area konservasi Pemberian informasi dalam cara yang terbatas dengan beban diletakan pada masyarakat untuk memberikan respon seperti dalam bentuk poster atau leaflet. Memiliki pelayanan yang berorientasi pada publik sebagai pelanggan (customer), seperti memperkenalkan kebijakan yang peduli pada pelanggan atau menyediakan sebuah skema untuk pengaduanpengaduan atau komentar-komentar Badan pemerintah secara aktif mendiskusikan berbagaiisu dengan masyarakat berkaitan dengan apa yang dipikirkan tentang aksi yang akan dilakukan terlebih dahulu. Sebagai contoh, berhubungan dengan kelompok penyewa atau survey kepuasan publik. Mengundang keterlibatan masyarakat untuk mengajukan proposal / usulan yang akan menjadi bahan pertimbangan badan pemerintah. Memecahkan masalah melalui kemitraan dengan masyarakat seperti kemitraan formal Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk membuat keputusannya sendiri tentang beberapa isu, seperti pengelolaan tempat permuan warga. Mendelegasikan kekuasaan pembuatan keputusan secara terbatas dalam wilayah atau proyek tertentu, seperti organisasi pengelolaan penyewa dan dewan sekolah. Badan pemerintah diharuskan unrtuk menyediakan pelayanan tapi memilih pelaksanannya dengan menfasilitasi kelompok masyarakat dan / atau badan lainnya untuk memberikan pelayanan atas nama pemerintah, seperti pemberian kontrak pelayanan perawatan oleh sektor volunter / relawan Memindahkan kekuasaan pembuatan keputusan yang substansial kepada masyarakat, seperti organisiasi pengelolaan penyewaan.

Contoh TeknikCatatan publik

2.

Limited Information

Press release, newsletter, dan kampanye Leaflet

3.

High Quality Information

4. 5.

Limited Consultation Customer Care

Pertemuan publik dan survey Kartu komentar, wawancara perorangan.

6.

Genuine Consultation

7. 8.

Effective Advisory Body Partnership

9.

Limited Decentralized Decision-Making Delegated Control

10.

Panel warga, lingkaran diskusi di tingkat distrik, diskusi kelompok terarah, pengukuran pendapat, panelpengguna, dan kelompok stakeholder Perencanaan nyata (planning for real), Dewan juri warga, pencarian prioritas Pilihan bersama (co-option), Kelompok-kelompok stakeholder, permainan disain Penerapan teknik-teknik partisipatif dengan dukungan politis untuk mendelegasikan wewenang Penerapan teknik-teknik partisipatif dengan dukungan politis untuk mendelegasikan wewenang Penerapan teknik-teknik partisipatif dengan dukungan politis untuk mendelegasikan wewenang Penerapan teknik-teknik partisipatif dengan dukungan politis untuk mendelegasikan wewenang

11.

Independent Control

12.

Enrusted Control

BAPEDA KOTA DEPOK

45

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.3.4.7.

Tipologi Partisipasi Brager & Specht (1973).

Brager & Specht mengembangkan tipologi partisipasi tidak dalam bentuk jenjang tapi dalam bentuk kontinum, dilihat dari sisi pengendalian masyarakat / partisipan dalam proses perencanaan. Pada tingkat pengendalian yang tinggi, masyarakat memiliki dalam pelaksanaan kegiatan, sedangkan pada tingkat pengendalian masyarakat yang rendah boleh dikatakan tidak afda partisipasi samasekali. Tabel 9 . Tangga Partisipasi Masyarakat Brager & Specht (1973).Pengendalian Tinggi Aksi Partisipan Has control (memiliki kontrol) Contoh Organisiasi / badan pemerintah meminta masyarakat untuk mengidentifikasi masalah dan membuat seluruh keputusan penting terhadap tujuan-tujuan dan langkah-langkah mencapainya. Badan pemerintah berkeinginan untuk membantu masyarakat pada tiap tahap untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan Badan pemerintah mengidentifikasi dan menyodorkan sebuah masalah kepada masyarakat. Pemerintah menetapkan batasan masalah dan meminta masyarakat untuk membuat serangkaian keputusan yang dapat ditambahkan dalam sebuah rencana sehingga rencana itu dapat diterima. Badan pemerintah menyodorkan rencana tentatif (sementara) dan terbuka untuk perubahan dari mereka yang dipengaruhi oleh rencana itu. Badan pemerintah mempresentasikan sebuah saran dan mengundang pertanyaan. Disiapkan untuk perubahan rencana hanya jika betul-betul dibutuhkan. Badan pemerintah mencoba untuk mempromosikan sebuah rencana dan berkonsultasi dengan masyarakat sekadar untuk mengembangkan dukungan agar rencana itu dapat diterima, sehingga pemenuhan administraif dapat diharapkan Badan pemerintah membuat rencana dan mengumumkannya. Masyarakat diajak mengikuti pertemuan / rapat untuk tujuan mendapatkan informasi. Masyarakat tidak mendapatkan pemberitahuan apa pun.

Has delegated authority (memiliki kewenangan yang didelegasikan)

Plans jointly (merencanakan bersama) Advises (pemberian saran ) Is consulted (dikonsultasikan)

Receives information (menerima informasi) None (tidak ada)

Rendah

Sumber : Brager & Specht (1973), diacu dalam WHO (2002).

BAPEDA KOTA DEPOK

46

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.3.4.8. Faktor-Faktor Yang mempengaruhi Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi adanya tiga faktor utama yang mendukungnya, yaitu (1) kemauan, (2) kemampuan, dan (3) kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi (Slamet, 1992) diacu dalam Sumardjo dan Saharudin (2003). Menurut kemauan Sahidu (1998), faktor-faktor yang mempengaruhi adalah motif, tingkat harapan,

masyarakat

untuk

berpartisipasi

kebutuhan (needs), imbalan (rewards), dan penguasaan informasi. Faktor yang memberikan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi adalah pengaturan dan pelayanan, kelembagaan, struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal, kepemimpinan, sarana dan prasarana. Sedangkan faktor yang mendorong adalah pendidikan, modal dan pengalaman yang dimiliki. Jika berpartisipasi bisa dianggap sebagai sebuah perilaku dari

masyarakat, dan partisipasi masyarakat juga berkaitan dengan perilaku pemerintah untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi, maka setidaknya terdapat dua teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku masyarakat dan pemerintah ini. Yaitu, teori pilihan rasional (rational choices theory) theory). Menurut teori pilihan rasional, perilaku individu atau sebuah kelompok merupakan respon terhadap aturan (rules) dan insentif yang ada. Aturan ini dapat berupa aturan formal (peraturan perundang-undangan) maupun aturan non formal (misalnya, kesepakatan-kesepakatan warga), dapat dalam bentuk tertulis atau tidak tertulis. Insentif pun beragam mulai dari yang kasat mata dan bersifat ekonomi maupun yang tidak kasat mata dan teori normatif (normative

BAPEDA KOTA DEPOK

47

Kajian Perencanaan Partisipatif

dan bersifat non ekonomi. Jadi, jika seseorang atau sebuah kelompok berperilaku partisipatif, maka perilaku itu merupakan pilihan rasional bagi yang bersangkutan dalam memberikan respon terhadap aturan main atau insentif yang ada. Sedangkan menurut teori normatif, seorang berperilaku tertentu karena perilaku itu merupakan sesuatu yang memang patut dilakukan. Jadi yang menjadi pertimbangan adalah logika kepatutan (logic of approriateness). Logika ini merupakan hasil dari proses internalisasi yang memakan waktu yang relatif lama dalam diri seorang individu atau kelompok. Ini merupakan hasil dari pendidikan (formal, nonformal, dan informal) pada berbagai tingkatan, atau melalui kampanye-kampanye publik melalui berbagai media. 2.3.5. Faktor-Faktor Penghambat Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan Para ahli telah mengidentifikasi hal-hal yang menghambat partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan. Menurut Soetrisno (1995), faktor-faktor penghambat itu adalah: (1) belum dipahaminya konsep partisipasi oleh pihak perencana dan pelaksana pembangunan. Partisipasi dipahami sebagai kemauan rakyat untuk mendukung program pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah, (2) adanya reaksi yang menghambat proses pembangunan seperti keengganan masyarakat untuk ikut berperan serta seperti mengevaluasi proses pembangunan secara kritis dan terbuka (budaya diam), aparat bersikap otoriter, dan kurang terbuka terhadap aspirasi masyarakat (budaya mencari selamat), (3) adanya peraturan-peraturan pemerintah yang menghambat kemauan rakyat untuk berpartisipasi. Sementara Abe (2001) mengidentifikasi setidaknya enam faktor

penghambat masyarakat untuk berpartisipasi, yaitu: (1) keterbatasan

BAPEDA KOTA DEPOK

48

Kajian Perencanaan Partisipatif

pengetahuan masyarakat sehingga secara teknis sulit berpartisipasi (misalnya pendidikan yang rendah dan kemampuan baca tulis), (2) masyarakat berada dalam politik sentralistik otoriter sehingga membudaya politik mengekor, pasif, takut mengambil inisiatif dan hidup dalam budaya petunjuk, (3) rakyat berada dalam represi ideologi dimana kesadaran politik rakyat diduga merupakan kesadaran hasil bentukan negara, (4) aspirasi yang disampaikan rakyat adalah aspirasi pantulan (refleksi) aspirasi negara, (5) rakyat telah kehilangan institusi lokal, sebagai akibat dari tekanan politik elit, (6) langkanya kepercayaan diri, sehingga rakyat tidak terbiasa jujur mengatakan apa adanya meskipun bertentangan dengan pemerintah. Hambat-hambatan untuk berpartisipasi itu juga dapat dilihat dari sisi hambatan struktural, hambatan administrasi dan hambatan sosial (Okley, 1991). Hambatan struktural berasal dari lingkungan politik negara, dimana ideologi yang dianut kurang mendukung keterbukaan, kurang respon terhadap suara rakyat, dan sistem politiknya tersentralisasi. Hambatan administrasi adalah berupa prosedur perencanaan program dan proyek pembangunan yang tersentralisasi mengurangi keterlibatan lokal. Sedangkan hambatan sosial adalah masih terdapatnya mental ketergantungan dimana pada umumnya terdapat dominasi dari kelompok elit lokal. Hamijoyo (1993) mengidentifikasi beberapa faktor pengambat partisipasi masyarakat yang bersumber dari masyarakat itu sendiri, yaitu: (1) masyarakat belum dapat menghayati atau merasakan masalah atau kepentingannya, (2) masyarakat atau tokoh terpercaya belum sanggup atau kurang berani mengajukan bentuk atau cara pemecahan masalah yang diterima (acceptable) yang secara teknis dan keuangan dapat dilaksanakan, (3) tujuan partisipasi masyarakat kurang jelas, karena manfaat atau tujuan pembangunan masih kurang jelas bagi masyarakat, (4) karena sebab-sebab terdahulu, maka di antara masyarakat belum

BAPEDA KOTA DEPOK

49

Kajian Perencanaan Partisipatif

ada atau bahkan tidak ada rasa keterikatan batin, rasa senasib sepenanggungan, (5) di wilayahnya sendiri, masyarakat tidak atau belum merasakan ada kegiatan yang cocok ataupun bermanfaat baginya, (6) tidak ada semacam reference group yang merupakan fokus atau panutan bagi warga setempat, (7) tidak ada peran yang cukup merata atau banyak peran terlalu diborong oleh orang-orang tertentu. Pembagian peran dan tanggung jawab dianggap kurang adil dan terbuka, (8) kebanyakan warga lokal belum melihat hasil pembangunan melalui partisipasi mereka, atau pimpinan kurang menunjukan hasil yang sebenarnya ada, (9) tidak ada organisasi yang cukup handal untuk mengelola partisipasi masyarakat, sehingga aspirasi dan potensi warga kurang tersalur secara efektif dan efisien. Jika ditelaah berbagai