kajian terhadap hadis innam al-syu’mu fÎ tsalÂtsatin fÎ al-farasi wa al wa al...
TRANSCRIPT
KAJIAN TERHADAP HADIS
“INNAMÂ AL-SYU’MU FÎ TSALÂTSATIN FÎ AL-FARASI WA AL MAR’ATI
WA AL-DÂR”
(STUDI MA’ÂNI AL-HADÎTS)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Nida Asiah
NIM: 1113034000013
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2018 M.
ii
ABSTRAK
Nida Asiah
Kajian Terhadap Hadis Innamâ al-Syu’mu fî Tsalâtsatin fi al-Farasi Wa al-
Mar’ati Wa al-Dâr (Studi Ma’ânî al-Hadîts)”.
Menganggap sial sesuatu baik berupa tempat, waktu, seseorang atau pun
lainnya merupakan perbuatan yang diharamkan dalam syari’at Islam dan termasuk
dalam kategori perbuatan syirik. Adanya hadis Nabi Saw yang mengatakan
Innamâ al-Syu’mu fî Tsalâtsatin fî al-Farasi Wa al-Mar’ati Wa al-Dâr jika
dipahami secara tekstual maka akan menimbulkan pemahaman secara sepintas
bahwa ketiga hal tersebut dapat membawa kesialan. Mengapa hanya ketiga hal
tersebut yang dapat membawa kesialan? Mengapa tidak dengan hal yang lainnya?
Padahal pada zaman dahulu hewan mempunyai peran yang sangat penting dalam
kehidupan sehari-hari, seperti dijadikan alat transportasi, untuk berperang dan
lainnya. Begitu juga dengan perempuan, Islam begitu memuliakannya,
memandang bahwa perempuan adalah karunia Allah Swt, sedangkan tempat
tinggal menjadi sumber kedamaian dan ketenangan bagi pemiliknya. Hadis ini
pun nampaknya bertentangan dengan al-Qur’an surah al-Hadîd ayat 22 yang
berbunyi “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis di kitab (lauhul mahfuz) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. Hal ini
menjadi pertanyaan besar, bagaimana pemaknaan hadis tentang Innamâ al-Syu’mu
fî Tsalâtsatin fi al-Farasi Wa al-Mar’ati Wa al-Dâr? Dan bagaimana relevansi
hadis tentang kesialan ada pada tiga hal?
Penelitian ini menggunakan kajian ma’ânî al-hadîs. Bagaimana hadis
tersebut bisa dimaknai secara tekstual atau kontekstual sehingga dapat
memperoleh pemahaman yang tepat, proporsional dan komprehensif. Dengan
analisis historis, generalisasi, linguistik, tematik-komprehensif dan konfirmatif
dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’an dan berbagai pendekatan lainnya, maka akan
diperoleh pemahaman yang akan lebih mendekati kebenaran tentang hadis
Innamâ al-Syu’mu fî Tsalâtsatin fî al-Farasi Wa al-Mar’ati Wa al-Dâr.
Setelah diteliti, makna al-Syu’mu yang dimaksud dalam hadis adalah
ketidakberuntungan, apabila hewan tunggangan lambat jalannya, tidak dapat
dimanfaatkan dan semata-mata untuk kesombongan. Perempuan (isteri) tidak
dapat melahirkan, panjang lidah (suka ngomel) dan tempat tinggal yang sempit,
atau bertetangga dengan orang-orang yang suka berbuat kejahatan dan
merduhakakan Allah. Hal ini terjadi bukan karena naluri atau fitrah yang melekat
kepada ketiga hal tersebut, melainkan karena apa yang Allah takdirkan pada
benda tersebut berupa kebaikan dan keburukan. Hadis kesialan ada pada tiga hal
ini tidak relevan karena ketiga hal tersebut tidak selalu mempengaruhi perilaku
manusia untuk merasa sial. Akan tetapi ketiga hal tersebut terkadang dapat
membawa keberuntungan dan kebahagiaan dalam hidup seseorang.
iii
KATA PENGANTAR
Bismillâhirrahmânirrahîm
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan berbagai macam nikmat
kepada penulis, serta rahmat dan karunia-Nya, dan kemudahan serta kesabaran
dalam menghadapi berbagai macam kesulitan yang penulis hadapi. Berkat
pertolongan dan rida-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat
serta salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhamad Saw, beserta
keluarga, sahabat dan para pengikut setianya. Semoga kita mendapatkan syafa’at
beliau di akhirat nanti, aamiin.
Skripsi ini tentunya terasa sulit bagi penulis jikalau tanpa bantuan,
dukungan dan semangat dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam membantu mempermudah kesulitan-kesulitan yang penulis alami.
Skripsi ini masih banyak kekurangan, walaupun penulis telah berusaha
semaksimal mungkin mencurahkan semua tenaga dan pikiran untuk dapat
dipersembahkan dengan penuh kualitas. Meskipun demikian, skripsi sederhana ini
tidak akan rampung tanpa bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis ucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada semua
pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini:
1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr.
Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
seluruh jajarannya.
iv
2. Prof. Masri Mansoer, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan seluruh fasilitas yang
dibutuhkan.
3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu al-Qur’an
dan Tafsir dan Dra. Banun Binaningrum, M.Pd selaku Sekretaris Jurusan
Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir beserta jajarannya yang selalu
menyempatkan waktunya dalam menyiapkan berbagai kebutuhan yang
diperlukan penulis.
4. Dr. Muhammad Zuhdi Zaini, MA selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah memberikan banyak arahan yang sangat membantu penulis dalam
menyelesaikan penelitian.
5. Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA selaku dosen penasehat akademik yang
telah memberikan masukan dan arahan sepanjang perkuliahan.
6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin khususnya prodi Ilmu al-Qur’an dan
Tafsir dan prodi Ilmu Hadis yang telah memberikan pengajaran serta
pemahaman yang baru bagi penulis.
7. Terimakasih kepada Team Ujian Skripsi, Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum,
MA (Ketua Sidang), Ibu Dra. Banun Bina Ningrum, M.Pd (Sekretaris
Sidang), Bpk. Dr. M. Isa H.A Salam, M.Ag (Ketua Sidang I), Bpk. Dr.
Ahmad Fudhaili, M.Ag (Ketua Sidang II), yang telah memberikan koreksi
dan masukan terhadap skripsi penulis supaya menjadi lebih baik dan
memberikan pengalaman yang akan selalu penulis ingat pada hari itu.
8. Segenap pimpinan dan karyawan, Perpustakaan Utama dan Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
v
melayani dan meberikan buku-buku yang dapat membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
9. Kedua orang tua H. Adjid dan Hj. Muslihah yang tidak ada henti-hentinya
memberikan do’a, serta dukungan moril maupun materil kepada penulis,
dari awal kuliah sampai selesainya penulis menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah Swt memberikan kesehatan, dan menghadiahkan surga
untuknya kelak, aamiin.
10. Pimpinan pondok Pesantren al-Qur’an al-Falah Cicalengka-Nagreg alm
KH. Q. Ahmad Syahid, KH. Cecep Abdullah Syahid, dan para Asatidz
Asatidzah, yang telah memberikan banyak ilmu sehingga penulis bisa
melanjutkan study di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
11. Seluruh teman-teman seperjuangan TH angkatan 2013, keluarga ATHA
2013, Salman al-Farisi, Muslih Muhaimin, alm Afif Hasan Naufal, Faris
Maulana, Iqbal Firdaus, Rino Ardiansyah, Gisda Aryah Putri, Ira Nur
Azizah, Bekti Rahmasari serta teman-teman lain yang tidak bisa penulis
sebutkan namanya satu persatu, terimakasih selama 4 tahun sudah menjadi
teman yang setia, dan memberikan kebahagiaan dalam hidup penulis.
12. Team CAPCINS (Aini Zahra, Armenia Septiarini, Rizqa Faurina, Kiki
Saraswati, Evi Nurdiana, Yuni Fitriani, Aulia Tiara) yang telah menemani
berjuang disaat susah dan senang selama kuliah. Semoga kita semua selalu
berada dalam lindungan Allah Swt dan tetap dalam ikatan silaturrahmi dan
jalinan persahabatan yang indah.
13. Aini Zahra teman seperjuangan penulis dari maba hingga saat ini, yang
selalu bareng mulai dari pulang pergi kampus, proposalan, skripsian,
vi
kompre, satu dosen pembimbing hingga sama-sama merasakan pahit
manisnya selama kuliah dan menjadi anak PP (Pulang Pergi). Semoga
kebersamaan ini selalu di ridhai oleh Allah Swt.
14. Teman-teman KKN PEMANAH 178 (Jihad, Arsy, Dzaki, Nizar, Ageng,
Dyah, Lisa, Syarah, Cici, Fitri) terimakasih atas kebersamaan dan warna
warni kehidupan selama satu bulan dalam pengabdian di masyarakat.
Semoga perjuangan kita tidak berhenti hanya di KKN saja, tetapi berlanjut
untuk masa yang akan datang.
15. Pak Najib, S.Th.I yang telah memberikan solusi dan pencerahan kepada
penulis disaat mengalami kebuntuan dalam berfikir, juga kepada kak Hani
Hilyati, S.Th.I yang telah membantu dan mempermudah penulis untuk
menyelesaikan tahapan-tahapan dalam skripsi.
16. Sahabat-sahabati keluarga besar PMII Komfuspertum yang menjadi
tempat penulis berproses dan mengenal politik.
17. Badminton Ushuluddin 2016 (Iman, Imam, Syifa Dzihni, Iqbal Hafiz)
serta teman-teman lain yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu
persatu). Terimakasih atas pengalaman yang diberikan selama ini semoga
ukhuwah kita tetap terjalin sampai kapanpun.
18. Dimas Satrio Wibowo yang telah setia menemani penulis dalam mencari
buku, memberikan support, memberikan pencerahan sampai
mendengarkan keluh kesah penulis selama skripsian.
Semoga semua kebaikan dan pengorbanan yang kalian lakukan untuk
membantu menyelesaikan skripsi ini, Allah Swt membalas dengan kebaikan yang
vii
lebih besar. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat
khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman
pada buku pedoman penulisan skripsi yang terdapat dalam buku Pedoman
Akademik Program Strata 1 tahun 2013-2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
a. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h ha dengan garis di bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
d de dengan garis di bawah ض
t te dengan garis di bawah ط
z zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ´ ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
ix
n en ن
w We و
h Ha ه
Apostrof ء
y Ye ي
b. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia,
terdiri dari vocal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau
diftong. Untuk vocal tunggal, ketentuan alihaksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah
I Kasrah
U Dammah
Ada pun untuk vokal rangkap, ketentuan alihaksaranya adalah
sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي Ai a dan i
و Au a dan u
Vokal Panjang
Ketentuan alihaksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
â a dengantopi di atas ى ا
î i dengantopi di atas ى ي
x
û u dengantopi di atas ىو
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan
dengan huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi hurup /l/, baik diikuti
huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-
rijâl, al-diwân bukan ad-diwân.
Syaddah(Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda ( ), dalam alihaksara ini
dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang
diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang
menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh
huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata رورة tidak ditulis ad-darûrah الض
melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alihaksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat
pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku
jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2).
Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka
huruf tersebut dialihaksarakan menja dihuruf /t/ (lihat contoh 3).
Contoh:
No TandaVokal Latin Keterangan
Tarîqah طريقة 1
xi
al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah اجلامعة اإلسالمية 2
Wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3
Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,
dalam alihaksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan
mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan
(EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat,
huruf awal, nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting
diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan
huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan
Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat
diterapkan dalam alihaksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak
miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu
ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alihaksaranya.
Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin
al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânirî.
xii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah........................... 9
C. Tujuan Penelitian ....................................................... 10
D. Manfaat Penelitian ..................................................... 10
E. Kajian Pustaka ............................................................ 11
F. Metodologi Penelitian ................................................ 13
G. Sistematika Penulisan ................................................ 15
BAB II KAIDAH PEMAKNAAN HADIS SERTA
PANDANGAN UMUM TENTANG INNAMÂ AL-
SYU’MU FÎ TSALÂTSATIN: FÎ AL-FARASI, WA AL-
MAR’ATI WA AL-DÂR
A. Kaidah Pemaknaan Hadis. ......................................... 17
B. Definisi al-Syu’mu. .................................................... 21
C. Definisi al-Faras, al-Mar’ah dan al-Dâr .................. 26
BAB III PEMAKNAAN HADIS TENTANG INNAMÂ AL-
SYU’MU FÎ TSALÂTSATIN: FÎ AL-FARASI, WA AL-
MAR’AH WA AL-DÂR
A. Hadis Tentang Kesialan ............................................. 36
B. Kritik Sanad .............................................................. 45
C. Metodologi Ma’anil Hadis ......................................... 47
1) Analisis Matan ..................................................... 48
2) Analisis Historis ................................................... 58
3) Analisis Generalisasi ............................................ 61
BAB IV PENDAPAT ULAMA SERTA RELEVANSI HADIS
INNAMÂ AL-SYU’MU FÎ TSALÂTSATIN: FÎ AL-
FARASI, WA AL-MAR’ATI WA AL-DÂR DALAM
REALITAS KEHIDUPAN MASYARAKAT
MODERN
A. Pendapat Ulama Tentang Hadis Kesialan .................. 64
xiii
B. Kontekstualisasi dan Relevansi Hadis dalam
Kehidupan Masyarakat Modern ................................ 72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................ 78
B. Saran ........................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Islam mempunyai dua sumber hukum yaitu al-Qur‟an dan al-Sunnah,
keduanya merupakan referensi tertinggi bagi setiap muslim dalam memahami
hukum Islam. Dalam memahami keduanya, kita dituntut untuk menggali makna-
makna yang terkandung di dalamnya secara menyeluruh, tanpa meninggalkan
aspek-aspek penting di dalamnya. Kendati setiap orang mempunyai kemampuan
berbeda dalam menangkap dan memahami lafal-lafal dan ungkapan-ungkapan
yang terdapat dalam al-Qur‟an dan Hadis, karena keduanya mengandung nilai-
nilai yang bersifat zahir dan batin.1
Dalam memahami kedua sumber itu, jika dibandingkan jauh lebih berat
mengembangkan pemikiran terhadap Sunnah dari pada al-Qur‟an. Karena dalam
pemahaman dan penafsiran al-Qur‟an tidak akan mengurangi otoritas al-Qur‟an
sebagai wahyu dan pegangan hidup juga sebagai sumber utama ajaran Islam. Di
samping itu Allah sendiri telah menjamin ketidakberubahan esensi misi al-Qur‟an.
Sedangkan hadis sendiri, bagi umat Islam menduduki peringkat kedua setelah
al-Qur‟an, yang mana berfungsi sebagai penjelas ungkapan al-Qur‟an yang
mujmal, mutlaq, khas dan sebagainya.2
Memahami hadis atau sunnah merupakan pekerjaan yang rumit, karena
harus meneropong segala sesuatu yang dinisbatkan pada Nabi Muhammad Saw,
1 Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h. 15. 2 Achwan Baharuddin, “Visi–Misi Ma‟anil Hadis dalam Wacana Studi Hadis,” Tafaqquh
vol. 2, no. 2 (Desember, 2014), h. 2.
2
baik ucapan, perbuatan maupun ketetapannya. Upaya itu bagi generasi muslim
awal (sahabat) tidak banyak menemui hambatan, sebab mereka hidup sezaman
dengan Rasulullah Saw, sehingga bila ada permasalahan yang terkait dengan
agama dan khususnya sosial kemasyarakatan mereka bisa merujuk kepada
Rasulullah Saw, di samping itu tingkat kerumitan persoalan dunia yang relatif
sederhana, sehingga problem yang mereka hadapi pun lebih sederhana dibanding
dengan zaman modern saat ini.3
Komaruddin Hidayat di dalam bukunya menguraikan bahwa setiap teks
lahir dalam sebuah wacana yang memiliki variabel, antara lain suasana politis,
ekonomi, psikologis dan lain sebagainya sehingga ketika wacana yang bersifat
spontan dan dialogis dituliskan dalam teks, maka sangat potensial akan
melahirkan salah paham di kalangan pembacanya. Atau setidaknya pengetahuan
yang diperoleh melalui sebuah wacana lisan akan berbeda dengan pengetahuan
yang didapat hanya melalui bacaan.4
Demikian halnya dengan teks-teks hadis. Problem understanding dan
meaning terhadap matan sebuah hadis merupakan sesuatu yang sangat signifikan
di kalangan umat Islam, terutama dalam wacana pemikiran Islam kontemporer.
Hal ini didasari pada suatu asumsi, bahwa teks atau matan hadis bukanlah sebuah
narasi yang berbicara dalam ruang hampa sejarah (vacum histories)5 melainkan,
dibalik sebuah teks atau matan, sesungguhnya terdapat banyak variabel serta
3 Liliek Channa AW, “Memahami Makna Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual,”
Ulumuna vol. XV, no. 2 (Desember 2011), h. 3. 4 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta:
Paramadina, 1996), 17. 5 Pernyataan vacum historis ini di inspirasi pada pernyataan gadamer yang menyatakan
bahwa, setiap pemahaman selalu merupukan sesuatu yang bersifat historis dialektik dan sekaligus
merupakan peristiwa kebahasaan. Sebagai hal yang bersifat historis, pemahaman sangat terkait
dengan sejarah, dengan pengertian bahwa pemahaman itu merupakan fusi dari masa lalu dengan
masa kini. Lihat Lukman S. Thahir, “Memahami Matan Hadis Lewat pendekatan Hermeneutik”
dalam Hermenia: Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2002, h. 27.
3
gagasan yang tersembunyi yang harus dipertimbangkan ketika seseorang ingin
memahami dan merekonstruksi makna sebuah hadis. Tanpa memahami berbagai
variabel dan situasi dibalik teks, misalnya suasana historis, sosiologis, psikolgis
dan sebagainya. Maka akan sangat potensial melahirkan kesalah pahaman
penafsiran.6
Dalam pemaknaan hadis diperlukan kejelasan apakah suatu hadis akan
dimaknai tekstual ataukah kontekstual. Pemahaman terhadap kandungan hadis
apakah suatu hadis termasuk kategori temporal, lokal, atau universal. Serta apakah
konteks tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapnya saja, atau mencakup pula
mitra bicara dan kondisi sosial ketika teks itu muncul.7
Pemaknaan hadis menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak ketika teks-
teks keagamaan yang lahir banyak mengutip literatur-literatur hadis yang pada
gilirannya mempengaruhi pola pikiran dan tingkah laku masyarakat. Sebagai salah
satu contoh tentang upaya memahami hadis secara lebih tepat dengan
menggunakan metode pemaknaan hadis adalah bagaimana memahmi hadis
tentang kesialan ada pada tiga hal: hewan tunggangan, perempuan (isteri) dan
tempat tinggal.
Identifikasi awal adalah apa makna kesialan yang terdapat dalam hadis
tersebut. Mengambil pengertian dari Mahmud Yunus, bahwa yang dimaksud
dengan syu‟mu (kesialan) adalah kemalangan, rasa pesimis.8
Dahulu orang-orang Arab jahiliyah mempercayai adanya hal-hal kejadian
tertentu yang dapat menyebabkan atau mengundang sial, yang biasa disebut
6 Syaikhudin, “Perempuan yang Membatalkan Sholat,” Musawa vol. 10, no. 1 (Januari
2011), h. 12. 7 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1999), h. 124.
8 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Ciputat: Mahmud Yunus Wa Dzurriyah,
2010), h. 188.
4
dengan tatayyur. Apabila salah seorang dari mereka keluar untuk suatu urusan,
jika dia melihat burung terbang ke arah kanan, maka dia merasa optimis dan
meneruskan urusannya. Dan jika dia melihat burung terbang ke arah kiri, maka
dia merasa pesimis dan mengurungkan niatnya. Terkadang salah seorang dari
mereka mengusik burung yang sedang hinggap agar terbang untuk dijadikan
pegangan dalam melakukan sesuatu atau tidak.9
Mayoritas pra-Islam melakukan tatayyur dan berpegang kepadanya.
Terkadang petunjuk burung itu menjadi kenyataan, karena dihiasi syetan, dan itu
termasuk syirik karena dia bergantung kepada selain Allah dengan keyakinan
mendapat bahaya dari makhluk yang tidak mempunyai manfaat atau madarat
untuk dirinya sendiri, karena pada hakikatnya burung itu tidak berbicara dan tidak
pula mengetahui baik dan buruk sehingga perbuatannya dapat dijadikan
petunjuk.10
Kemudian tradisi tersebut mengalami perkembangan, yang asalnya mereka
mengambil i‟tibâr hanya dari seekor burung kemudian mereka mengambil i‟tibâr
dari selain burung dengan menggunakan apapun yang dilihat, didengar dan
diketahui. Sebagai contoh mereka percaya dengan adanya hari baik dan sial pada
hari-hari tertentu, bahkan mereka menganggap beberapa hewan, rumah dan wanita
sebagai pembawa sial dan sebagainya.11
Hal ini berkaitan dengan hadis yang
diriwayatkan oleh al-Bukhârî:
9 „Abdurrahman Hasan Balfas, Hukum Keyakinan Sial Terhadap Sesuatu (T.tp.: Pustaka
Ibnu „Umar, 2016), h. 26. Lihat Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, Miftâh Dâris Sa‟adah (T.tp.: Dâr
Ibnu „Affan, 1416). Jilid 3, h. 268-269. 10
Ibnu Hajar al-„Asqalâni, Fath al-Bâri bi Syarh Sahîh al-Bukhâri (Jakarta, Pustaka
Azzam, 2008), jilid. 28, h. 350. 11
Indana Zulfa, “Pandangan Hadis Terhadap Tatayyur (Studi Kasus Tradisi Pemilihan
Pasangan dan Hari Pernikahan dengan Perhitungan Jawa di Desa Dukuh Kembar Kecamatan
Dukun Kabupaten Gresik),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta,
5
، قال: أخب رني سالم بن عبد الله، أ ث نا أبو اليمان، أخب رنا شعيب، عن الزهري ن حدؤم في ثلثة هما، قال: سمعت النبي ي قول: " إنما الش عبد الله بن عمر رضي الله عن
ار في ال 12"فرس والمرأة والد“Telah menceritakan kepada kami Abu al-Yaman, telah mengabarkan
kepada kami Syu‟aib dari Zuhri berkata: Telah mengabarkan kepada ku
Salim bin „Abdillah bahwasanya „Abdallah ibn „Umar ra berkata:
Sesungguhnya kesialan itu ada dalam tiga hal: kuda, wanita dan rumah.”
Pertama, penulis menelaah sebuah pendapat yang dikatakan Norlayla
sebagaimana ia mengutip Imam Khomaeni yang mengatakan bahwa perempuan
sebagai cobaan karena sifat mereka yang lemah, menjadi beban keluarga,
pembawa sial dan sebagai penggoda. Memiliki anak perempuan adalah ujian
hidup dan itu tidak mudah karena biasanya anak perempuan itu adalah ujian hidup
yang harus dijalani dengan penuh kesabaran, ketulusan, keikhlasan, dan kebesaran
hati. Anggapan Khomaeni, perempuan diciptakan untuk menguji hamba-
hambanya agar mengetahui hamba-hambanya yang sabar. Allah menguji dan
mencoba manusia karena dua anugerah yaitu bahagia dan sengsara. Anak
perempuan adalah amanat Tuhan yang harus dijaga dengan baik, dididik dengan
pendidikan yang baik, jasmani, maupun rohani.13
Pendapat Khomaeni tersebut
tidak lantas dibenarkan, karena pernyataanya itu dianggap menyimpang.
Kedua, ada anggapan suatu kepercayaan masyarakat di Jawa bahwa
apabila keliru dalam memilih tempat, bahan yang digunakan dan keliru dalam
memilih waktu mendirikannya diyakini akan membawa kesialan atau
2015), h. 5. Lihat juga Muhammad al-Sewed, “Awal Mula Terjadinya Kesyirikan di Jazirah
Arab,” Majalah Salafy, Edisi Perdana Sya‟ban 1995, h. 34-35 12
Abî „Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl bin Ibrahim, Jami‟ Sahîh al-Bukhâri (Kairo:
Majlis al-a‟la Lisunil al-Islamiyyah, 1410 ), h. 729. 13
Norlayla, “Hadis tentang Ujian Hidup dengan Anak Perempuan: Kajian Fiqh Al-
Hadits”, (Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Antasari Banjarmasin, 2015), h. 5.
Atau lihat Imam Khomaeni , 40 Hadis, Khazanah Ilmu-Ilmu Islam, terj. Zainal Abidin dkk.,
(Bandung :Mizan, 1993 ), h. 70.
6
menyebabkan ketidakharmonisan bagi pemiliknya. Kesialan atau
ketidakharmonisan bagi pemiliknya. Kesialan atau ketidakharmonisan tersebut
dapat berbentuk, seperti anggota keluarga sering sakit-sakitan, sering mendapat
musibah, sering bertengkar antar keluarga bahkan sampai pada sulitnya mencari
rejeki.14
Hadis di atas, jika dipahami secara tekstual maka akan melahirkan
pemahaman sepintas bahwa kesialan melingkupi ketiga hal tersebut: al-faras, al-
Mar‟ah dan al-Dâr. Dan memahami secara tekstual hadis tersebut tidak cukup
dijadikan sebagai dasar hukum. Perlu kiranya penulis menemukan pemaknaan
yang tepat. Dengan demikian problem yang paling urgen adalah bahwa secara
sekilas hadis tersebut nampak bertentangan dengan ayat al-Qur‟an sûrah al-Hadîd
ayat 22:
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadîd/57: 22)
Mengutip ayat di atas bahwa Ahmad Syakir menjelaskan terkait tentang
ketetapan Allah yang telah mendahului para makhluk-Nya sebelum Dia
menciptakan makhluk. Artinya, bahwasanya segala musibah yang menimpa
14
Joko Budiwiyanto, “Rumah Tradisional Jawa Dalam Sudut Pandang Religi”, Jurnal
Ornamen, Vol. 10, No. 1, Januari 2013, h. 4. Atau Heinz Frick, Pola Struktur dan Teknik
Bangunan di Indonesia: Suatu pendekatan arsitektur Indonesia melalui pattern language secara
Konstruktif dengan Contoh Arsitektur Jawa Tengah, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 94.
7
manusia dan yang terjadi di dunia ini tidak lain telah dituliskan oleh Allah
sebelumnya.15
Ayat ini pun menunjukkan bahwa misi para Nabi adalah sama dalam hal
mengahapuskan pengaruh-pengaruh keyakinan yang menjurus ke arah
kemusyrikan dan mengajak manusia kepada keyakinan mentauhidkan Allah.
Menyandarkan sesuatu, baik buruk, kepada selain Allah adalah fenomena
kemusyrikkan.16
Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw datang untuk
menegakkan tauhid dan menghapus semua praktek-praktek jahiliyah dalam
beraqidah, karena perilaku masyarakat jahiliyah dalam beraqidah lebih bersifat
syirik, menyekutukan Allah dengan selain-Nya.
Dari pernyataan di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa keliru apabila
sebagian pendapat mengatakan bahwa al-faras membawa kesialan. Padahal
hewan sejak zaman dahulu sangat berperan penting dalam kehidupan sehari-hari,
seperti berperang, dijadikan hewan tunggangan, dan lain-lain. Begitu juga dengan
perempuan (al-Mar‟ah), Islam begitu memuliakan perempuan, memandang
bahwa perempuan adalah karunia Allah. Bersamanya kaum laki-laki akan
mendapat ketenangan, lahir maupun batinnya. Darinya akan muncul energi positif
yang sangat bermanfaat berupa rasa cinta, kasih sayang dan motivasi hidup. Laki-
laki dan perempuan menjadi satu entitas dalam bingkai rumah tangga. Keduanya
saling membantu dalam mewujudkan hidup yang nyaman dan penuh kebahagiaan,
mendidik dan membimbing generasi manusia yang akan datang. Sebagaimana
Allah swt berfirman:
15
Syaikh Ahmad Syakir, Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta: Darus Sunnah, 2014),
jilid 6, h. 352. 16
Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci (Jakarta: Transpustaka, 2013), h. 208.
8
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. al-Rûm/30: 21)
“Mereka (istri-istri) adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah
pakaian bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah/2: 187).
Salah satu fungsi pakaian adalah menutup aurat atau hal yang rawan serta
kekurangan-kekurangan. Ini berarti masing-masing memiliki kekurangan yang
tidak dapat ditutupi kecuali dengan bantuan lawan jenisnya. Tidak dapat
dipungkiri bahwa mengabaikan perempuan berarti mengabaikan setengah dari
potensi masyarakat, dan melecehkan mereka berarti melecehkan seluruh manusia
karena tidak seorang manusia pun kecuali Adam dan Hawa yang tidak lahir
melalui seorang perempuan.17
Sedangkan (al-Dâr) tempat tinggal merupakan tempat seluruh anggota
keluarga berkumpul dan melakukan aktivitas yang menjadi rutinitas sehari-hari.
Sehingga rumah bisa menjadi sumber kedamaian, ketenangan bagi pemiliknya.
Jadi, tidak logis apabila ketiga hal tersebut menjadi penyebab kesialan dalam
kehidupan manusia. Dalam redaksi hadis tersebut pun, mengapa hanya hewan
tunggangan, perempuan dan tempat tinggal yang dapat menyebabkan kesialan.
Mengapa hal ini dikhususkan kepada tiga hal tersebut saja, apa sebenarnya
17
M. Qurais Shihab, Perempuan; dari Cinta sampai Seks dari Nikah Mut‟ah sampai
Nikah Sunnah dari Bias Lama sampai Bias Baru (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 33.
9
variabel yang terkandung di balik teks tersebut. Sehingga perlu adanya penjelasan
bahwa hadis ini memang benar-benar valid.
Berangkat dari latar belakang masalah yang dipaparkan di atas maka
dalam penelitian ini, penulis bermaksud meneliti dan mengkaji pemaknaan dan
pemahaman yang tepat terhadap matan hadis Innamâ al-Syu‟mu fî Tsalâtsatin fi
al-Farasi wa al-Mar‟ati waddâri. Oleh karena itu penulis dalam penelitian ini
mengambil judul Skripsi, “Kajian Terhadap Hadis Innamâ al-Syu’mu fî
Tsalâtsatin fi al-Farasi wa al-Mar’ati wa al-Dâr (Studi Ma’âni al-Hadîts)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Melihat beberapa argumen di atas, penulis memiliki beberapa
permasalahan yang timbul dan perlu adanya penelusuran lebih lanjut mengenai
hadis kesialan yang dikeluarkan oleh Nabi Saw, di antaranya:
a. Ada berapa hadis yang diriwayatkan dari Nabi Saw tentang kesialan?
b. Bagaimana pendapat para muhaddisin tentang hadis kesialan?
c. Apa makna sebenarnya dari hadis Innamâ al-Syu‟mu fî Tsalâtsatin fi al-
Farasi wa al-Mar‟ati wa al-Dâr?
d. Bagaimana kontekstualisasi dan relevansi hadis-hadis tentang Innamâ
al-Syu‟mu fî Tsalâtsatin fi al-Farasi wa al-Mar‟ati wa al-Dâr dengan
realitas kekinian?
2. Pembatasan Masalah
Dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas, untuk menghindari
pembahasan yang tidak mengarah kepada maksud dan tujuan dari penulisan
10
skripsi ini, maka penulis perlu membatasi pembahasan yang akan dibahas, yaitu
penulis lebih memfokuskan dan menitik-beratkan kepada makna hadis tentang
Innamâ al-Syu‟mu fî Tsalâtsatin fi al-Farasi wa al-Mar‟ati wa al-dâr. Adapun
hadis-hadis di atas penulis batasi pada riwayat Imam al-Bukhârî.
3. Perumusan Masalah
Dari batasan masalah tersebut, maka dengan demikian penulis
merumuskan permasalahan utama dalam skripsi ini, yaitu:
1. Apa makna hadis tentang “Innamâ al-Syu‟mu fî Tsalâtsatin fi al-
Farasi wa al-Mar‟ati wa al-dâr” yang sebenarnya?
2. Bagaimana kontekstualisasi dan relevansi hadis-hadis tentang Innamâ
al-Syu‟mu fî Tsalâtsatin fi al-Farasi wa al-Mar‟ati wa al-dâr dengan
realitas kekinian?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk merenungkan dan menangkap pemaknaan atau interpretasi
mengenai hadis-hadis tentang kesialan ada pada tiga hal.
2. Untuk mengetahui kontekstualisasi dan relevansi pemaknaan hadis
tentang kesialan ada pada tiga hal dengan realitas kekinian.
D. Manfaat Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan penjelasan mengenai hadis
Nabi Saw tentang Innamâ al-Syu‟mu fî Tsalâtsatin fi al-Farasi wa al-Mar‟ati wa
al-dâr, baik dari segi sanad maupun matan-nya. Selain itu peneliti ini diharapkan
11
bisa menambah ilmu pengetahuan dalam kajian hadis, terutama yang berkaitan
mengenai hadis Innamâ al-Syu‟mu fî Tsalâtsatin fi al-Farasi wa al-Mar‟ati wa al-
Dâr.
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini mempunyai kegunaan praktis yakni untuk memberikan
sebuah bahan pertimbangan untuk melakukan pengkajian secara mendalam
terhadap hadis yang diterima dengan melakukan pemaknaan matan hadis, agar
ditemukan sebuah kesimpulan yang komrpehensif. Penelitian ini juga diharapkan
mampu memberikan pengetahuan kepada masyarakat bahwa kesialan tidak hanya
terjadi pada perempuan, kuda dan rumah. Dan juga diharapkan penelitian ini bisa
menambah database perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai bahan
pertimbangan untuk mahasiswa yang akan mengambil tema yang sama.
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka pembahasan ini adalah banyak merujuk kepada literatur-
literatur review, artikel dan jurnal atau berasal dari skripsi, di antaranya:
Indana Zulfa yang berjudul Pandangan Hadis Terhadap Tatayyur (Studi
Kasus Tradisi Pemilihan Pasangan dan Hari Pernikahan dengan Perhitungan Jawa
di Desa Dukuh Kembar Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik) tahun 2015 yang
membahas tentang menganggap sial hari tertentu sebagai hari pernikahan dalam
pandangan hadis.
Moh. Istikromul Umamik yang berjudul Studi Mukhtalif al-Hadîth
Tentang Tiyarah dalam Sunan al-Nasâ‟i Nomor Indeks 3568 dan Musnad Ahmad
Nomor Indeks 4171 membahas tentang hadis yang bertentangan antara
dibolehkannya tiyarah dengan hadis yang menganggap tiyarah adalah syirik.
12
Achmad Zainul Arifin yang berjudul Pamali dalam Perspektif al-Sunnah
(Kajian Tematik dalam Kutub al-Tis‟ah) tahun 2014 yang membahas hadis
tentang pamali dengan mengumpulkan hadis-hadis yang setema.
Selain itu penulis juga merujuk beberapa buku dan jurnal yang dapat
dijadikan sumber rujukan dalam skripsi ini, di antaranya:
Hukum Keyakinan Sial Terhadap Sesuatu karya Abdurrahman Hasan
Balfas yang berisi tentang macam-macam kesialan, Rahasia Tawakkal dan Sebab
Akibat karya Abdullah bin Umar al-Dumaiji yang berisi tentang pendapat ulama
tentang kesialan, Perempuan di Lembaran Suci karya Ahmad Fudhaili yang
membahas tentang kesialan dari segi misoginis, Fathul Bâri bi Syarh Sahîh al-
âBukhâri karya Ibn Hajar Al-„Asqalâni secara jelas menjelaskan tentang
pemahaman hadis kesialan. Syarh Sahîh Muslim karya Imam al-Nawawi
menjelaskan makna al-Syu‟mu secara singkat kemudian menjelaskan maksud
hadis tentang kesialan secara keseluruhan. Tidak jauh berbeda dengan Syarh
Sahîh Muslim, Syarh Sunan Abî Dâwud dan juga Syarh Sunan al-Tirmidzi
menjelaskan secara singkat makna dari kata al-Syu‟mu dan menjelaskan maksud
hadis tentang kesialan secara keseluruhan.
Dari kajian buku dan literatur yang membahas tentang kesialan ada pada
tiga hal belum ada yang membahas secara rinci dan lengkap dari segi makna. Oleh
karena itu, penulis berupaya meneliti dan mengkaji hadis Innamâ al-Syu‟mu fî
Tsalâtsatin fi al-Farasi wa al-Mar‟ati wa al-dâr dalam kandungan hadis dengan
metode ma‟âni al-hadîs. Sepengetahuan penulis judul ini belum ada yang
membahas dalam segi makna dan penting untuk diteliti agar tidak menimbulkan
13
permasalahan di kalangan masyarakat serta memberikan pemahaman yang lebih
jelas.
F. Metodologi Penelitian
Yang dimaksud dengan metodologi penelitian adalah suatu cara atau jalan
yang ditempuh dalam mencari, menggali, mengolah dan membahas data dalam
suatu penelitian, untuk memperoleh kembali pemecahan tehadap permasalahan.18
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian
kepustakaan (Library Research) dalam arti objek utama dari penelitian ini adalah
literatur-literatur atau bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan topik
permasalahan yang akan dibahas.
Adapun sifat penelitian adalah analisis deskriptif, yaitu sebuah metode
yang bertujuan untuk memecahkan permasalahan yang ada dengan teknik
deskriptif yaitu dengan mengumpulkan data-data yang ada, menafsirkan dan
mengadakan analisa yang interpretatif19
Untuk penelitian ini penulis mengedepankan fiqh al-hadîs atau sering
dikenal dengan ma‟âni al-hadîs. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai
berikut:
1. Metode Pengumpulan Data
Karena penelitian ini merupakan kepustakaan (Library Research), maka
metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menelusuri buku-buku
atau tulisan lain yang menjadi rujukan utama, yakni Sahîh Bukhâri, Sahîh Muslim,
Sunan al-Tirmidzi, Sunan Ibn Mâjah, Sunan Abî Dâwud Sunan al-Nasâ‟i dan
Musnad Ahmad ibn Hanbal yang informasinya penulis peroleh dengan bantuan
18
Joko Subgyo, Metodologi PenelItian dalam Teori dan Praktek (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1994), h. 2. 19
Winarno Surahmad, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1994), h. 138.
14
penelusuran melalui Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâz al-Hadîs al-Nabawi dengan
menggunakan kata kunci al-Syu‟mu serta buku-buku atau tulisan-tulisan yang
mendukung pendalaman dan ketajaman analisis, seperti kitab-kitab syarah, kamus
bahasa Arab, artikel-artikel atau buku-buku yang menunjang penelitian ini.
2. Metode Analisis Data
Adapun metode untuk menganalisis matan hadis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode fiqh al-hadîts atau sering dikenal dengan pemaknaan
hadis/ ma‟anil hadis yang ditawarkan oleh Musahadi HAM,20
yang secara ringkas
telah mencakup metode-metode yang ditawarkan oleh para pakar studi hadis.
Adapun langkah-langkahya sebagai berikut:
a. Kritik historis, yaitu dengan menentukan validitas dan otentisitas hadis
dengan menggunakan kaedah kesahihan hadis, yang meliputi
persambungan sanad, seluruh periwayat bersifat adil, seluruh periwayat
bersifat dabit, dan tidak adanya syaz dan „illat.
b. Kritik eiditis, yaitu menjelaskan makna hadis setelah menentukan
otentitas hadis langkah ini memuat tiga langkah utama yaitu sebagai
berikut:
1. Analisis isi, yakni pemahaman terhadap muatan makna hadis melalui
beberapa kajian, yaitu kajian linguistik,21
kajian tematis-
komprehensif, dan kajian konfirmatif yakni dengan melakukan
konfirmasi makna yang diperoleh dengan petunjuk al-Qur‟an.
20
Menurut pandangan penulis, metode yang ditawarkan oleh Musahadi HAM merupakan
metode yang mudah dipahami karena melalui tahapan-tahapan yang rinci. Musahadi HAM,
Evolusi Konsep Sunnah: Impilkasi Pada Perkembangan Hukum Islam (Semarang: Aneka Ilmu,
2000), h. 155-162. 21
Disini menggunakan prosedur-prosedur gramatikal bahasa Arab mutlak yang
diperlukan, karena setiap teks hadis harus ditafsirkan dalam bahasa aslinya yakni bahasa Arab.
15
2. Analisis realitas historis, dalam tahapan ini makna atau arti suatu
pernyataan dipahami dengan melakukan kajian atas realitas, situasi
atau problem historis di mana pernyataan sebuah hadis muncul, baik
situasi makro maupun mikro.
3. Analisis generalisasi, yaitu menangkap makna universal yang
tercakup dalam hadis yakni inti dan esensi makna dari sebuah hadis.
4. Kritik praktis, yaitu perubahan makna hadis yang diperoleh dari
proses generalisasi ke dalam realitas kehidupan kekinian, sehingga
memiliki makna praktis bagi problematika hukum dan
kemasyarakatan saat ini.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan pembahasan yang utuh maka diperlukan adanya
sistematika penulisan. Dalam sistematika penulisan ini, dibagi menjadi lima bab,
dan masing-masing bab memiliki sub pokok bahasan.
Bab pertama adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
batasan masalah dan rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian,
kajian pustaka dan sistematika penulisan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
bagaimana latar belakang masalah tentang judul yang penulis ambil dan
metodologi penulisan yang digunakan untuk meneruskan penelitian skripsi ini.
Bab kedua memaparkan penjelasan kaidah pemaknaan hadis serta tinjauan
umum tentang hadis Innamâ al-Syu‟mu fî Tsalâtsatin fi al-Farasi wa al-Mar‟ati
wa al-Dâr.
Bab ketiga adalah pemaknaan hadis tentang Innamâ al-Syu‟mu fî
Tsalâtsatin fi al-Farasi wa al-Mar‟ati wa al-Dâr. Yang meliputi kritik sanad,
16
metodologi Ma‟âni al-Hadîts yang terdiri dari analisis matan, kajian linguistik,
analisis historis, dan analisis generalisasi.
Bab keempat merupakan pendapat ulama serta kontekstualisasi dan
relevansi hadis Innamâ al-Syu‟mu fî Tsalâtsatin fi al-Farasi wa al-Mar‟ati wa al-
Dâr dalam kehidupan modern.
Bab kelima adalah kesimpulan dari seluruh uraian yang telah
dikemukakan jawaban atas permasalahan yang diteliti disertai dengan saran-saran
yang dapat disumbangkan sebagai rekomendasi untuk kajian lebih lanjut dari
penelitian ini, sekaligus merupakan penutup rangkaian dari pembahasan ini.
17
17
BAB II
KAIDAH PEMAKNAAN HADIS SERTA PANDANGAN UMUM
TENTANG INNAMÂ AL-SYU’MU FÎ TSALATSATIN: FÎ AL-FARASI, WA
AL-MAR’AH WA AL-DÂR
Bab ini menguraikan pandangan umum tentang kesialan, perlunya untuk
mengetahui macam-macam kesialan selain kesialan pada tiga hal. Karena
pemahaman masyarakat pada umumnya sangat beragam. Selain itu, kesialan
dalam wujud kehidupan menjadi sebuah kepercayaan dan sangat diyakini
keberadaannya.
A. Kaidah Pemaknaan Hadis
Bagi umat Islam pada umumnya, memahami hadis Nabi adalah hal yang
penting. Namun tidak banyak orang yang dapat memahami sumber hukum Islam
kedua tersebut. Kurangnya pedoman dan wawasan yang memadai menjadi salah
satu penyebabnya.
Problematika memahami hadis sebenarnya telah diupayakan solusinya
oleh para cendikiawan muslim baik dari kelompok mutaqaddimin maupun
mutaakhkhirin melalui gagasan-gagasan dan pikiran-pikiran yang mereka dalam
kitab-kitab sharh maupun yang lain. Walaupun demikian, masih banyak hal yang
harus dikaji kembali mengingat adanya kemungkinan faktor-faktor yang belum
dipikirkan dan perlu dipikir ulang dalam wilayah yang melingkupi pemahaman
teks Hadis.1
1 Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi; Perspektif Muhammad al-
Ghazali dan Yusuf al-Qardhawi (Yogyakarta: Teras, 2008), h. 5.
18
Menurut Yusuf al-Qardhawi, ada beberapa petunjuk dan ketentuan umum
untuk memahami hadis dengan baik agar mendapat pemahaman yang benar, jauh
dari penyimpangan, pamalsuan dan penafsiran yang tidak sesuai, di antara
petunjuk-petunjuk umum tersebut adalah:
1. Memahami hadis sesuai petunjuk al-Qur‟an.
2. Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama.
3. Mengkompromikan (al-jam„u) atau menguatkan (al-tarjih) pada salah satu
hadis yang tampak bertentangan.
4. Memahami hadis dengan mempertimbangkan latar belakangnya, situasi
dan kondisi ketika diucapkan, serta tujuannya.
5. Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap.
6. Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang
bersifat majaz dalam memahami hadis.
7. Membedakan antara alam ghaib dan alam kasat mata.
8. Memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadis.2
Sedangkan menurut Bustamin dan M. Isa, langkah-langkah yang ditempuh
dalam memahami hadis antara lain:
1. Dengan menghimpun hadis-hadis yang terjalin dengan tema yang sama.
2. Memahami hadis dengan bantuan hadis sahih.
3. Memahami kandungan hadis dengan pendekatan al-Qur‟an.
4. Memahami makna hadis dengan pendekatan kebahasaan.
5. Memahami makna hadis dengan pendekatan sejarah (teori asbâb al-wurud
hadis).3
2 Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi, Penerjemah Muhammad al-
Baqir, (Bandung: Karisma, 1993), 92.
19
Untuk memahami hadis dengan sebaik-baiknya, memastikan makna
konotasi kata-kata yang digunakan sangat penting sekali. Sebab, konotasi kata-
kata tertentu adakalanya berubah dari suatu masa ke masa lainnya, dan dari suatu
lingkungan ke lingkungan lainnya.
Musahadi HAM juga mempunyai rumusan tersendiri dalam rangka
memahami hadis Nabi Saw. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:4
a. Kritik historis adalah kritik dengan menentukan validitas dan otentisitas
hadis dengan menggunakan kaidah ke-sahîh-an hadis, yang meliputi
persambungan sanad, seluruh periwayatan bersifat „adil, seluruh periwayat
bersifat dabit, dan tidak adanya syaz dan „illat. Selain itu, untuk
mengetahui keotentikan hadis, selanjutnya menggunakan langkah-langkah
yang seperti diterapkan oleh para ulama hadis sebagai berikut:
1. Takhrij hadis yaitu menunjukkan hadis-hadis pada sumber aslinya,
yang mana hadis tersebut telah diriwayatkan dengan aslinya.
2. I‟tibar yaitu menyertakan sanad-sanad yang lain dengan tujuan agar
terlihat jelas seluruh jalur sanad yang diteliti, nama-nama periwayat
dan metode yang digunalan oleh masing-masing periwayat yang
bersangkutan.
b. Kritik eiditis yaitu kritik yang bertujuan memperoleh makna yang tekstual
dan kontekstual yang ditempuh dengan beberapa langkah, yaitu:
1. Analisis isi yaitu pemahaman terhadap hadis dengan melalui beberapa
kajian, antara lain:
3 Bustamin dan M Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2004), h. 64. 4 Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada Hukum Islam. (Semarang:
Aneka Ilmu, 2000), h. 155-162.
20
a) Kajian linguistik adalah kajian yang menggunakan prosedur-
prosedur gramatikal bahasa Arab yang meliputi pembentukan asal
kata dan analisis kaedah nahwu. Kajian ini perlu dilakukan karena
teks hadis harus ditafsirkan kedalam bahasa aslinya yaitu bahasa
Arab.
b) Kajian tematis-komprehensif adalah kajian hadis yang
mempertimbangkan teks-teks yang lain memiliki tema yang sama
dengan hadis yang bersangkutan dengan rangka memperoleh
pemahaman yang lebih komprehensif.
c) Kajian konfirmatif yang dimaksud disini adalah dengan al-Qur‟an.
Kajian ini dilakukan dengan mengkonfirmasikan makna hadis
dengan al-Qur‟an.
2. Analisis realitas historis yaitu dengan menelusuri sebab-sebab
munculnya suatu hadis. Dalam tahap ini, makna atau suatu pernyataan
dipahami dengan menggunakan kajian terhadap realitas, situasi atau
problem historis dimana hadis itu muncul.
3. Analisis generalisasi yaitu menangkap makna universal yang tertuang
dalam sebuah hadis.
4. Kritik praktis adalah perubahan makna hadis yang diperoleh dari
proses generalisasi kedalam realita kekinian sehinggi memiliki makna
praktis bagi problematika hukum dan kemasyarakatan kekinian.5
Metode yang ditawarkan Musahadi HAM inilah yang akan penulis
gunakan dalam mengkaji hadis-hadis tentang syu‟mu (kesialan).
5 Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada Hukum Islam (Semarang:
Aneka Ilmu, 2000), h. 155-162.
21
B. Pengertian al-Syu’mu
Kata al-syu‟mu ( ؤم memiliki arti kesialan (الش6 berasal dari akar kata
sya‟ama (شأم) yang mempunyai arti kiri, lawan kata dari kata „al-Yumni‟ (الي مه)
yang berarti nasib baik. Dikatakan “tasya‟amtu bikadza” (aku sial dengan hal ini),
dan “tayammantu bikadza” (aku bernasib baik dengan hal ini).7 Contoh ungkapan
yang menggunakan kata tersebut adalah:
تشأم الرجل إذاأخذ نحوشمالو “Laki-laki tersebut mengambil jalan ke arah kiri”
8
Kiri mengandung suatu kesan yang negatif, kotor dan buruk. Makan
diperintahkan dengan menggunakan tangan kanan, beristinja‟ diperintahkan
menggunakan tangan kiri. Masuk masjid diperintahkan mendahulukan kaki kanan,
memasuki kamar mandi mendahulukan kaki kiri. Sedangkan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kesialan berasal dari kata sial yang mempuyai arti tidak mujur,
segala usahanya selalu tidak berhasil, menghilangkan segala apa yang
menyebabkan sial, malang, celaka dan buruk nasibnya. Adapun arti dari kesialan
itu sendiri adalah keadaan sial, ketidakmujuran, kemalangan, dan kecelakaan.9
Penggunaan kata syu‟mu ( ؤم yang pada awalnya berarti kiri (الش
mengandung pengertian kepada sesuatu yang tidak menguntungkan (sial).
Pengertian ini mempunyai padanan kata dengan pengertian yang sama, yaitu al-
Tiyarah (الطيرة). al-Tiyarah sendiri memiliki pengertian keyakinan sial terhadap
6 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 687. 7 Ibnu Hajar al-„Asqalâni, Fathul Bâri bi Syarh Sahîh al-Bukhâri (Jakarta, Pustaka
Azzam, 2008), jilid. 25, h. 122. 8 Abi al-Fadl Jamâluddin bin Muhammad bin Mukrim Ibnu Manzur al-Ifrâqi al-Masri,
Lisan al-„Arab (Beirut: Dār al-Fikr, 1968), jilid. 12, h. 315.
9 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1999), h. 934.
22
sesuatu. Oleh karena itu, al-Hafiz Ibnu Hajar berpendapat bahwa “al-Tiyarah”
dan “Syu‟mu” adalah satu arti yaitu kesialan yang dihubungkan dengan sesuatu.
Pada hakikatnya pengertian al-Tiyarah dan al-Syu‟mu mempunyai perbedaan
dalam praktiknya walaupun mempunyai kesamaan dalam pendefinisian.10
Al-Tiyarah adalah praktik pengundian untuk menentukan nasib seseorang
melalui binatang atau benda-benda lainnya yang dapat diramalkan tentang nasib
seseorang di masa depan. Apabila benda tersebut menunjukkan ke arah kanan
maka benda tersebut atau pekerjaannya akan mendatangkan keberuntungan atau
keberkahan. Sebaliknya apabila benda tersebut menunjukkan ke arah kiri maka
orang tersebut atau pekerjaannya akan mendatangkan kerugian atau kesialan.
Sedangkan al-Syu‟mu (sial) adalah hasil dari praktik al-Tiyarah yang
menunjukkan ke arah kiri, atau sesuatu yang dianggap membawa kerugian (sial).11
Menganggap sial sesuatu baik berupa tempat, waktu, seseorang atau
hayalan mistis lainnya sangat laku dan akan senantiasa laku di tengah berbagai
kelompok masyarakat maupun individu-individunya. Pada zaman dahulu umat
Nabi Salih „alaihissalam berkata kepadanya,
“Mereka menjawab: "Kami mendapat nasib yang malang, disebabkan
kamu dan orang-orang yang besertamu". Sālih berkata: "Nasibmu ada
pada sisi Allah, (Bukan Kami yang menjadi sebab), tetapi kamu kaum
yang diuji" (QS. Al-Naml/27: 47)
10
„Abdullâh bin „Umar al-Dumaiji, Rahasia Tawakkal dan Sebab Akibat (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2000), h. 197. 11
Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci (Jakarta: Transpustaka, 2013), h. 207.
23
Para mufassir mengartikan kesialan dengan amal berikut balasannya.
Allah menjelaskan bahwa kesialan mereka merupakan ketetapan Allah dan itu
terjadi karena mereka sendiri. Menimpa mereka karena amal dan balasannya yang
telah ditetapkan atas mereka.”12
Menurut Rasyid Rida, Allah menyandarkan segala sesuatu yang baik. Dia
yang telah menciptakan materi-materinya dan yang membuat hukum-hukum
sebab akibat. Akan tetapi, jika Allah menyandarkan sesuatu yang baik atau yang
buruk kepada sesuatu, itu terdapat kasb (upaya) dan usaha ikhtiar manusia yang
sudah diketahui orang. Pengertian ini telah dikuatkan pula oleh nas-nas al-Qur‟an
dan Sunnah. Misalnya Firman Allah Swt:
“Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh
kali lipat amalnya; dan Barangsiapa yang membawa perbuatan jahat
Maka Dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan
kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS.
al-An‟am/6: 160)
Berkenaan dengan hal ini, ada orang yang memperoleh kebaikan dikatakan
berkat karunia Allah secara mutlak, sedangkan orang yang menimpa keburukan
dikatakan karena ulah manusia itu sendiri secara mutlak. Menurut Rasyid Rida
sebagaimana yang dikutip oleh Athaillah, pernyataan Allah pada ayat di atas
memang benar dan pertanyaan tersebut juga benar. Masing-masing pada
tempatnya. Ayat di atas menjelaskan dua hal:
Pertama, untuk menafikan dan mengikis kepercayaan sial (al-Syu‟mu) dan
ramalan buruk (al-Tatayyur). Dengan demikan, orang akan mengetahui keburukan
12
Ibn Taimiyyah, Baik dan Buruk: al-Hasanah wa al-Sayyi‟ah. Penerjemah Fauzi Faisal
Bahreisy (Jakarta: PT Serambi Ilmu semesta, t.t.), h. 58.
24
yang menimpa mereka, bukanlah karena adanya kesialan yang melekat pada diri
seseorang di antara mereka.13
Pada masa jahiliyah masyarakat mempercayai adanya kesialan dan
ramalan buruk itu. Kepercayaan tersebut masih terdapat di kalangan orang-orang
bodoh dari semua bangsa, padahal kepercayaan itu termasuk khurafat yang tidak
dapat diterima akal sehat dan sudah dikikis oleh agama Islam.14
Allah telah
menyatakan hal itu dalam surah al-A‟raf/7: 131:
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata:
"Itu adalah karena (usaha) kami". dan jika mereka ditimpa kesusahan,
mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang
besertanya. Ketahuilah, Sesungguhnya kesialan mereka itu adalah
ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”
(QS. al-A‟raf/7: 131)
Al-Hâfiz Ibn Katsîr menjelaskan di dalam kitab tafsirnya “Kemudian
apabila datang kepada mereka kemakmuran, ini disebabkan (usaha) kami, yaitu
kemakmuran, kesuburan dan rezeki yang mereka dapatkan”. Ini adalah sesuatu
yang kami berhak mendapatkannya karena usaha kami. Dan jika mereka ditimpa
kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang
yang bersamanya. Yaitu mereka ditimpa kekeringan dan kesulitan dan ini
disebabkan Musa dan para pengikutnya serta ajaran yang mereka bawa.15
Seperti yang dikutip oleh „Abdurrahman Hasan Balfas bahwa al-Syaikh
Sâlih al-Fauzan menjelaskan, makna ayat ini adalah bahwasanya Fir‟aun dan
13
Athaillah, Rasyid Rida; Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manâr (T.tp.:
Erlangga, t.t.), h. 175. 14
Athaillah, Rasyid Rida; Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manâr, h. 175. 15
Ibn Katsīr, Tafsir al-Qur‟ân al-„Azîm (Beirut: Dār Taibah, 2008), jilid. 3, h. 416.
25
kaumnya ketika mereka ditimpa musibah berupa keringanan dan kesulitan,
mereka berkata “Musibah ini menimpa kita disebabkan Musa dan para
pengikutnya dengan sebab kesialan mereka. Maka Allah Swt membantah
perkataan mereka bahwasanya apa yang menimpa mereka adalah takdir dan
ketetapan Allah disebabkan kekafiran mereka, kemudian Allah Ta‟ala mensifati
mereka dengan kebodohan dan tidak memiliki ilmu, kalau seandainya mereka
mau berfikir maka mereka akan mengetahui bahwasanya Musa tidaklah datang
kecuali membawa kebaikan, keberkahan dan keberuntungan.16
Kedua, orang yang ditimpa keburukan seharusnya mencari dan meneliti
sebab terjadinya keburukan itu pada dirinya sendiri dan tidak mencarinya pada
orang lain yang pernah melakukannya, sebab keburukan yang menimpa seseorang
adalah karena kelalaiannya atau ketidaktahuannya dalam memilih sunnatullah
yang mengantarkannya kepada kebaikan dan menghindarkannya dari keburukan.17
Tatayyur dan Syu‟mu adalah salah satu fenomena penyandaran nasib
manusia atau ketergantungan manusia kepada selain Allah yang menunjukkan
gejala perbuatan musyrik. Islam memandang tiyarah sebagai perbuatan syirk
asghar (syirik kecil) yaitu menyekutukan Allah Swt. Nabi Saw bersabda:
د بن كثير أخب رنا سفيان عن سلمة ث نا محم بن كهيل عن عيسى بن عاصم عن زر حدبن حب يش عن عبد اللو بن مسعود عن رسول اللو صلى اللو عليو وسلم قال الطي رة
ل شرك الطي رة شرك ثلثا وما منا إل ولكن اللو يذىبو وك بالت Muhammad ibn Katsir menceritakan kepada kami, ia berkata: Sufyan telah
menginformasikan kepada kami dari Kuhail dari „Isa ibn „Ashim dari Zirr
ibn Hubaisy dari „Abdillah bin Mas‟ud dari Rasulullah Saw, bersabda: “al-
Tiyarah adalah musyrik, al-Tiyarah adalah musyrik, al-Tiyarah adalah
16
„Abdurrahman Hasan Balfas, Hukum Keyakinan Sial Terhadap Sesuatu (T.tp.: Pustaka
Ibnu „Umar, 2016), h. 26. 17
„Aṭaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manâr (T.tp.:
Erlangga, t.t.), h. 176.
26
musyrik. Kita pasti mengalami (kesialan dan keburuntungan), akan tetapi
Allah menghilangkannya dengan cara tawakkal (menyerahkan semua
keputusan kepada Allah)."18
Hadis ini dengan sangat jelas menunjukkan bahwa tiyarah atau
beranggapan sial termasuk bentuk syirik. Kesyirikan dalam masalah tiyarah ini
bisa dirinci menjadi dua: Pertama, jika mengangap bahwa yang mendatangkan
manfaat dan mudharat adalah makhluk, ini syirik besar. Seperti menyembah batu,
berhala, pohon, menyembelih kepada selain Allah, meminta kepada orang yang
sudah mati dan lain-lain. Kedua, jika menganggap bahwa yang beri manfaat atau
mudharat hanyalah Allah, namun makhluk hanyalah sebagai sebab, ini termasuk
syirik kecil. Seperti bersumpah dengan nama selain Allah, menganggap sial
terhadap sesuatu, riya‟ dan lain-lain.19
C. Pengertian al-Faras, al-Mar’ah dan al-Dâr
1. Definisi al-Faras
adalah seekor kuda baik yang berjenis kelamin laki-laki ataupun الفرس
perempuan, pada hal demikian ada kesamaan. Jama‟nya adalah افراس atau وس ف ر
adalah suatu kiasan untuk رهان كفرسي .dua hal yang sama kedudukannya ه ما
Dipukul keduanya bergegas atau menuju kepada tujuan, maka keduanya
mempunyai kesamaan.20
Selain menggunakan kata al-Farâs, di dalam hadis yang
penulis cantumkan ada juga yang menggunakan kata الدابت artinya adalah setiap
sesuatu yang melata di muka bumi, dan sungguh berlaku atau berguna untuk
ditunggangi dari jenis hewan, baik yang berjenis kelamin laki-laki ataupun
18
Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwud, jilid. 3, h. 400, hadis nomor: 3910. 19
„Abdurrahman Hasan Balfas, Hukum Keyakinan Sial Terhadap Sesuatu (T.tp.: Pustaka
Ibnu „Umar, 2016), h. 16. 20
Syauqi Dhaif, al-Mu‟jam al-Wasît (Mesir: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah, 2004),
cetakan ke-4, h. 711.
27
perempuan. Jama‟nya adalah دواب dan tasgirnya adalah 21ويبت. د Dengan demikian
baik al-Faras maupun al-Dabbah memiliki pengertian yang sama, yaitu hewan
yang dapat ditunggangi untuk dimanfaatkan sebagai keperluan, tujuan dan
sebagainya. Termasuk salah satunya yaitu kuda, akan tetapi hal ini tidak hanya
terbatas kepada kuda, melainkan kepada semua yang memiliki pengertian hewan
yang dapat ditunggangi seperti keledai, unta dan lain sebagainya.
Pada zaman Nabi Saw unta biasanya digunakan sebagai kendaraan,
termasuk perang. Tenaganya yang kuat dengan berjalan di tengah gurun pasir
menjadi nilai positif dari hewan tersebut. Meskipun demikian, hewan tersebut
tidak bisa berlari kencang seperti kuda. Namun, pada saat itu alat transportasi
utama antar kampung dan kota adalah kuda, unta keledai dan kereta kuda.22
Kuda disebut dalam al-Qur‟an secara spesifik sebanyak lima kali, namun
secara tersurat hewan ini disebut lebih banyak dari jumlah itu. Ayat-ayat yang
berbicara secara spesifik mengenai kuda diantaranya mengaitkan hewan ini
dengan kejantanan, kecepatan, dan keberanian. Dalam sûrah al-Nahl/16: 8, al-
Qur‟an berbicara mengenai pemanfaatan kuda, begal, keledai, dan hewan lain
sebagai pengangkut beban. Khusus untuk ketiga jenis hewan ini, selain untuk
keperluan itu, ketiganya juga dipelihara karena keindahannya dan hal-hal lain
yang bermanfaat untuk kehidupan manusia.
21
Syauqi Dhaif, al-Mu‟jam al-Wasît (Mesir: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah, 2004),
cetakan ke-4, h. 298. 22
Niamatus Sholikha, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jasa Transportasi Online Go-Jek
Berdasarkan Contract Drafting Dengan Akad Musharakah Yang Diterapkan Oleh PT Go-Jek
Indonesia Cabang Tidar Surabaya. (Thesis, S2 UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016), h. 18.
28
“Dan (dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu
menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan
apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (QS. al-Nahl/16: 8)
Allah menciptakan hewan-hewan itu untuk ditunggangi dan sebagai
perhiasan. Barangsiapa menggunakannya untuk keperluan tersebut maka dia telah
menggunakannya untuk hal-hal yang diperbolehkan. Jika perbuatannya ini disertai
maksud untuk melakukan ketaatan maka akan naik ke tingkat mandub
(dianjurkan). Sedangkan jika dimaksudkan untuk kemaksiatan maka justru akan
mendatangkan dosa baginya.23
Orang yang memelihara kuda tidak lepas dari dua maksud, yaitu untuk
dinaiki (dijadikan kendaraan) atau diperdagangkan. Masing-masing maksud itu
mungkin disertai ketaatan kepada Allah maka masuk bagian pertama, atau disertai
kemaksiatan maka masuk bagian yang terakhir, atau tidak disertai apapun maka
masuk bagian yang kedua.24
Begitu pula dengan keledai, unta dan lainnya.
Penulis memasukkan sedikit penjelasan tentang kuda yang sangat menarik.
Bahwa pada zaman dahulu, kuda merupakan kendaraan bagus yang dengan
mudah dapat digunakan oleh orang-orang, dan bisa menambah kekuatan yang
tidak dimiliki oleh orang yang berperang sambil berjalan kaki.25
Secara tidak langsung kuda, unta dan keledai sangat berperan penting
dalam kehidupan manusia. Ketiganya berjasa membantu manusia dalam
menunaikan tugas sehari-hari, seperti menjadi hewan tunggangan, mengangkut
beban hingga untuk berbagai kepentingan pertanian. Ketiga hewan tersebut juga
23
Ibn Hajar al-„Asqallânî, Fath al-Bâri bi Syarh Sahîh al-Bukhâri (Jakarta, Pustaka
Azzam, 2008), jilid. 16, h. 192. 24
Ibn Hajar al-„Asqallânî, Fath al-Bâri bi Syarh Sahîh al-Bukhâri, jilid 16, h. 192. 25
Yusuf Qardawi, Fiqih Jihad; Sebuah Karya Monumental terlengkap Tentang Jihad
menurut al-Qur‟an dan Sunnah. Penerjemah Irfan Maulana Hakim, dkk. (Bandung: PT Mizan
Publika, 2010), h. 486.
29
tercatat sejak lama digunakan sebagai tunggangan dalam banyak peperangan.
Meski peran ketiga hewan tersebut dalam perang semakin terpinggirkan seiring
majunya proses mekanisasi dalam ranah ini, namun dalam beberapa hal salah satu
hewan tunggangan seperti kuda masih digunakan, misalnya, dalam perang di
lanskap yang bergunung atau sulit dicapai oleh kendaraan bermotor karena
nihilnya jalur transportasi, seperti yang dilakukan tentara Afghanistan saat
melawan pasukan Rusia26
Terbukti pada zaman dahulu hewan sangat berperan penting dalam
kehidupan manusia, baik untuk peperangan maupun sebagai alat transportasi.
hewan sangat diperhatikan karena ia merupakan kendaraan pada zaman tersebut,
zaman sekarang kendaraan yang digunakan untuk peperangan adalah tank,
kendaraan lapis baja, dan masih banyak kendaraan lainnya Sedangkan kendaraan
yang digunakan oleh manusia untuk bekerja atau beraktifitas pada zaman
sekarang adalah motor, mobil, kereta, dan lain-lain.
2. Definisi al-Mar’ah
Dalam kamus bahasa Arab, al-Mar‟ah )المرأة( atau imra‟ah امرأة berasal
dari kata mara‟a (مرا) yang berarti baik dan bermanfaat.27
al-Mar‟ah sebagai
bentuk muannats dari kata al-mar‟u yang mempunyai arti kedewasaan dan
kematangan. Dari akar kata mara‟ah ini juga menjadi al-mar‟u yang bermakna
seseorang (laki-laki). Sehingga kata al-mar‟ah sebagai bentuk mu‟annats dari al-
mar‟u berarti perempuan. Kata al-mar‟ah yang berarti perempuan sehingga tidak
masuk di dalamnya anak perempuan sebab yang dimaksudkan adalah perempuan
26
Kementrian Agama RI, Hewan dalam Perspektif al-Qur‟an dan Sains (Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf al-Qur‟an, 2012), h. 142. 27
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 1417.
30
dewasa. Sementara dalam bahasa Arab untuk anak perempuan itu adalah al-bint.28
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perempuan memiliki arti
perempuan atau isteri/bini.29
Sedangkan Kata al-mar‟ah berpasangan dengan kata
al-mar‟u dapat dipahami sebagai berikut:
a) Makna dari kata tersebut yaitu kesegaran dan kenyamanan. Dalam
penggunannya, kata al-mar‟u berlaku umum yang berarti seorang laki-laki
atau perempuan. Akan tetapi kata al-mar‟ah secara khusus terpakai dalam
makna isteri kecuali dalam dua ayat pada QS. an-Nisa‟/4: 12 dan QS. an-
Naml/27: 23. Dari sini terlihat bahwa makna ini berkonotasi fungsional.
Dalam hal ini setiap orang baik laki-laki maupun perempuan, bertugas
memberi ketenangan dan kenyamanan. Dengan kata lain, mereka harus
saling memberikan kebahagaian kegembiraan satu sama lain.
b) Kedua kata tersebut menggunakan bentuk dasar yang sama, hanya saja
kata kedua (al-mar‟ah) memperoleh imbuhan mu‟annats sehingga berarti
perempuan.30
Kebanyakan dalam al-Qur‟an ketika yang dimaksudkan adalah perempuan
sebagai istri, maka digunakan kata imra‟ah. Sementara dalam hadis Nabi Saw
untuk pengertian istri adakalanya digunakan kata al-mar‟ah dan adakalanya pula
digunakan kata imra‟ah. Dari pengertian yang telah dipaparkan di atas dapat
dipahami bahwa al-mar‟ah adalah seorang perempuan dewasa baik itu sudah
menikah maupun belum menikah yang diharapkan mampu memberi manfaat baik
28
Fatira Wahidah, “al-Mar‟ah dalam Hadis Nabi SAW” (Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Sultan Qaimuddin Kendari), h. 54.
29
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1999), h. 753. 30
Zaitunah Subhan, Al-Qur‟an dan Perempuan; Menuju Kesetaraan Gender dalam
Penafsiran, h. 27.
31
untuk dirinya maupun untuk orang lain dan untuk segala sesuatu. Adapun skripsi
ini menggunakan lafadz al-mar‟ah yang memiliki arti perempuan dewasa yang
sudah menikah (istri).
3. Definisi al-Dâr
al-Dâr adalah sebuah tempat yang berbentuk bangunan dan halaman atau
tempat tinggal, atau sebuah negeri, qabilah, darussalam yakni negeri orang-orang
muslim yaitu surga, sebagaimana Allah Swt berfirman السالم دار Jama‟nya .له م
adalah adwurun, diyârun, atau diyâratun atau durun. Diyârah adalah jama‟nya
diyâratun.31
Selain menggunakan kata al-dâr di dalam hadis tersebut
menggunakan kata maskan yang memiliki arti rumah, tempat tinggal. Jama‟nya
adalah مساك ه.32
Jadi ,itu jama‟ masakin artinya adalah isim makan مسك ه atau مسكه
seperi rumah, tempat tinggal, atau tempat untuk mendirikan sebuah bangunan.
Tempat untuk bersantai atau tidak untuk berburu-buru.33
Dengan demikian kata al-Maskan dan al-Dâr dalam hadis memiliki
pengertian yang sama yaitu sebuah tempat tinggal yang berbentuk bangunan,
seperti rumah, apartemen dan lainnya. Tidak jauh berbeda dengan kamus bahasa
Arab, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia rumah memiliki arti yang sama yaitu
bangunan untuk tempat tinggal.34
Rumah adalah fitrah setiap makhluk untuk membangun tempat tinggal
yang dijadikan sebagai tempat beristirahat dan melindungi diri, walaupun bentuk
31
Syauqi Dhaif, al-Mu‟jam al-Wasît (Mesir: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah, 2004),
cetakan ke-4, h. 333-334. 32
Achmad Warson Munawwir dan Muhammad Fairuz, al-Munawwir Kamus Indonesia-
Arab (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007), h. 646. 33
Aplikasi al-Ma‟ânî „Arabî „Arabî
34 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1999), h. 851.
32
dan ukuran yang berbeda-beda sesuai kemampuan dan kebutuhan setiap makhluk
itu sendiri.
Al-Qur‟an memperkenalkan dua istilah untuk menyebut tempat tinggal
atau rumah. Pertama disebut dengan bait, Kedua disebut dengan maskan. Dalam
skripsi yang penulis teliti hadis yang didalamnya terdapat kata maskan dan dâr.
Dalam Sûrah al-Taubah/9: 72 Allah Swt berfirman dengan menggunakan kata
maskan:
“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan,
(akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal
mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga
'Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan
yang besar.” (QS. al-Taubah/9: 72)
Kata maskan berasal dari kata sakana yang berarti tenang, tenteram dan
bahagia. Oleh karena itu, rumah bukan hanya berfungsi sebagai tempat bermalam,
tempat istirahat atau tempat berlindung. Tetapi lebih jauh, rumah berfungsi
sebagai tempat mencari ketenangan dan kebahagiaan batin. Di dalam rumah
(maskan) inilah manusia membangun keluarga sakinah yaitu tatanan keluarga
yang membawa kebahagiaan dan ketenangan hati.35
Memiliki tempat tinggal adalah impian semua orang. Tempat tinggal juga
merupakan kebutuhan primer yang paling urgent disamping kebutuhan-kebutuhan
35
http://syofyanhadi.blogspot.co.id/2008/06/rumah-menurut-al-quran.html diakses pada
24 agustus 2017, pukul 13.00.
33
yang lain. Tempat tinggal yang luas akan menghadirkan rasa tenang, lapang dan
nyaman. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah Saw:
ث نا وكيع عن سفيان عن ثني جميل أخب رنا ومجاىد عن حد حبيب بن أبي ثابت حدنافع بن عبد الحارث قال قال رسول اللو صلى اللو عليو وسلم من سعادة المرء
36الجار الصالح والمركب الهنيء والمسكن Telah menceritakan kepada kami Waki' dari Sufyan dari Habib bin Abi
Tsabit telah menceritakan kepadaku Jamil telah mengabarkan kepada kami
Mujahid dari Nafi' bin Abdul Harits berkata; Rasulullah
Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Termasuk kebahagiaan seseorang
adalah tetangga yang baik, kendaraan yang menyenangkan dan tempat
tinggal yang luas."
Tempat tinggal yang luas, yaitu yang banyak manfaatnya bagi
penghuninya. Jadi, keluasannya tentu berbeda sesuai dengan perbedaan orangnya.
Sebab, terkadang luas bagi seseorang, namun sempit bagi yang lain atau
sebaliknya.
Tempat tinggal yang ideal dan menjadi idaman orang-orang yang beriman
adalah rumah yang di bangun diatas pondasi ketaqwaan kepada Allah. Rumah
yang pilar-pilarnya selalu mengikuti al-Qur‟an dan al-Sunnah serta berhukum
kepada dua sumber itu dengan ikhlas menerima segala keputusan-Nya dengan
lapang dada. Allah Swt berfirman dalam Sûrah al-Nisâ‟/4: 59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
36
Al-Imâm al-Hâfiz Abî „Abdullah Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad ibn
Hanbal (Riyadh: Bait al-Afkâr al-Dauliyah, 1997), h. 1073.
34
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS. al-Nisâ‟/4: 59)
Rumah idaman adalah rumah yang terarah dalam semua tindakannya dan
terpenuhi dalam segala aspeknya, spiritual maupun material yang tidak
melampaui batas. Salah satu cara menjadikan rumah sebagai tempat memperoleh
ketenangan atau menjadikan rumah sebagai tempat yang menyenangkan dan
membawa keberkahan yaitu dengan membaca al-Qur‟an sebagaimana dalam
sebuah hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Darimi bab keutamaan
membaca al-Qur‟an:
ثني ث نا يحيى ىو ابن أبي كثير، حد اد، حد ث نا حرب بن شد ث نا معاذ بن ىانئ، حد حد، أن أبا ىري رة، كان ي قول: الب يت ليتسع على أىلو إن »حفص بن عنان الحنفي
ره أن ي قرأ فيو القرآن، وإن الب يت ياطين، ويكث ر خي وتحضره الملئكة وت هجره الشياطين، ويقل ره أن ل ي قرأ فيو ليضيق على أىلو وت هجره الملئكة، وتحضره الش خي
37«القرآن
“Telah menceritakan kepada kami Mu'adz bin Hani` telah menceritakan
kepada kami Harb bin Syaddad telah menceritakan kepada kami Yahya -
yaitu Ibn Abi Katsir telah menceritakan kepadaku Hafsh bin 'Inan Al
Hanafi bahwa Abu Hurairah pernah berkata, "Sesungguhnya rumah akan
terasa luas bagi penghuninya, para malaikat akan mendatanginya, setan-
setan akan menjauhi dan kebaikannya akan bertambah jika al-Qur'an
dibaca di dalamnya. Dan rumah akan terasa sempit bagi penghuninya, para
malaikat menjauhinya, setan-setan datang dan kebaikannya berkurang jika
di dalamnya tidak dibacakan al-Qur'an."
Tidak diragukan bahwa rumah yang luas yaitu rumah yang penuh dengan
keberkahan, keluasan, dan ketaqwaan kepada Allah. Serta kebaikan, rasa cinta,
kasih dan sayang, juga pendidikan yang islami akan berpengaruh terhadap
kehidupan seseorang. Dengan izin Allah seseorang yang hidup dalam lingkungan
rumah seperti itu akan senantiasa mendapatkan ketenangan, kenyamanan, serta
37
Abu Muhammad „Abdullâh bin „Abd al-Rahman ibn al-Fadl ibn Bahrâm ibn „Abd al-
Samad al-Darimî, Musnad al-Darimi (T.tp.: Dâr al-Mughni, 2000), jilid 4, h. 2085.
35
taufik dari Allah dalam setiap urusannya, sukses dalam pekerjaan yang
ditempuhnya, baik dalam menuntut ilmu, perdagangan atau pekerjaan-pekerjaan
yang lain.38
38
Muhammad al-Sayyim, Rumah Penuh Cahaya (Yogyakarta: Tiga Lentera Utama
(L3U) Press, 2000), h. 41.
36
36
BAB III
PEMAKNAAN HADIS TENTANG INNAMÂ AL-SYU’MU FÎ
TSALATSATIN: FÎ AL-FARAS, AL-MAR’AH WA AL-DÂR
Bab ini berbeda dengan bab sebelumnya yang hanya menjelaskan langkah-
langkah dalam pemaknaan hadis. Sedangkan dalam bab ini penulis menerapkan
kaidah dari pemaknaan hadis yang telah dicantumkan di bab sebelumnya. Bab ini
melacak hadis-hadis tentang Innamâ al-Syu’mu fî Tsalatsatin: fî al-Faras, al-
Mar’ah wa al-Dâr dengan kata kunci ؤ م الش sebagai redaksi inti pada pembahasan
bab ini. Pembahasan ini perlu dilakukan untuk membuktikan sejauh mana redaksi
hadis itu sebagai upaya berbeda dalam memahami makna hadis tersebut.
A. Hadis Tentang Kesialan
Untuk mengetahui secara lengkap sanad dan matannya mengenai hadis-
hadis yang membahas tentang kesialan ( ؤم penulis menelusurinya dengan (الش
metode takhrij hadis.1 Bagi seorang peneliti hadis, kegiatan takhrijul hadis sangat
penting. Tanpa dilakukan takhrij hadis terlebih dahulu, maka akan sulit diketahui
asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti, berbagai riwayat yang telah
meriwayatkan hadis itu, dan ada atau tidaknya syahid atau mutabi dalam sanad
hadis yang ditelitinya. Ada tiga hal yang menyebabkan pentingnya kegiatan
takhrij hadis,2 yaitu:
1. Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti.
1 Menurut bahasa takhrij artinya mengeluarkan, menampakkan, dan menjelaskan.
Sementara menurut istilah, takhrij berarti mencari atau mengeluarkan hadis dari
persembunyiannya yang terdapat dalam kitab induk hadis. Sementara menurut istilah, takhrij
berarti mencari atau mengeluarkan hadis dari persembunyiannya yang terdapat dalam kitab induk
hadis. Lihat Bustamin, Dasar-Dasar Ilmu Hadis (Jakarta: Ushul Press, 2009), h. 180. 2 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2007),
h. 42.
37
37
2. Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadis yang akan diteliti.
3. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya syahid dan mutabi’ pada
sanad yang diteliti.
Ada empat metode dalam melakukan kegiatan takhrij, yaitu: Pertama,
takhrij hadis melalui kata/lafal pada matan hadis. Kedua, melalui tema. Ketiga,
melalui awal matan hadis, dan Keempat, melalui shahabat Nabi atau periwayat
pertama.3 Namun penulis di sini hanya menggunakan satu metode dari empat
yang dipaparkan tersebut, yaitu dengan menggunakan metode kata atau lafal pada
matan hadis.
Dalam melakukan kegiatan takhrij penulis menggunakan metode yang
pertama yaitu melalui kata atau lafal pada matan. Dengan menelusuri lafadz hadis
yang terdapat pada matan فىثالثتفىالفرسو ؤم ارإنماالش المرأة،والد dengan penggalan
kata yang ditelusuri adalah lafal شأم. Setelah mencari menggunakan kitab kamus
hadis Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Hadîs al-Nabawî karangan A.J. Wensick,
penulis menemukan hadis tersebut memiliki sumber yang cukup banyak, 4yakni:
1. Hadis Sahîh al-Bukhâri kitab Jihad bab ke 47, kitab Nikah bab ke 17, Kitab
Tib bab ke 43 dan 45.
2. Hadis Sahîh Muslim kitab Salam hadis ke 115-120
3. Hadis Sunan Abî Dâwud kitab Tib bab ke 24
4. Hadis Sunan al-Tirmidzî kitab Adab bab ke 57
5. Hadis Sunan al-Nasâ‟î kitab Khoil bab ke 5
6. Hadis Sunan Ibnu Mâjah kitab Nikah bab 55
7. Hadis Muwatha Malik, kitab Istidzan bab 22
3 Bustamin, Dasar-Dasar Ilmu Hadis (Jakarta: Ushul Press, 2009), h. 184.
4 A.J. Wensick, Mu’jam al-Mufahras li alfâz al-Hadis al-Nabawî (Breil: Leiden, 1936),
jilid 3, h. 54.
38
38
8. Hadis Musnad Ahmad ibn Hanbal juz 2 halaman 8, 26, 115 dan 126
Untuk mengetahui dengan jelas susunan sanad dan matan hadis, berikut
redaksi hadis-hadis tentang kesialan ada pada tiga berdasarkan term dan kitab-
kitab yang meriwayatkannya:
1) Sahîh al-Bukhâri kitab Jihad bab ke 47
ث نا عبد أن اللو عبد بن سالم أخب رني قال الزىري عن شعيب أخب رنا اليمان أبو حدهما اللو رضي عمر بن اللو إنما ي قول وسلم عليو اللو صلى النبي سمعت قال عن
والدار والمرأة الفرس في ثلثة في الشؤم Telah bercerita kepada kami Abu al-Yaman telah mengabarkan kepada
kami Syu'aib dari Al-Zuhri berkata telah bercerita kepadaku Salim ibn
'Abdullah bahwa Abdullah ibn 'Umar radiallahu „anhuma berkata aku
mendengar Nabi sallallâhu 'alaihi wasallam bersabda; "Sesungguhnya
kesialan ada pada tiga hal, pada kuda, perempuan dan tempat tinggal”
ث نا عبد اللو بن مسلمة، عن مالك، عن أبي حازم بن دينار، عن سهل بن سعد حدإن كان في »الساعدي رضي اللو عنو: أن رسول اللو صلى اهلل عليو وسلم قال:
5«، ففي المرأة، والفرس، والمسكن شيء Telah bercerita kepada kami 'Abdullah ibn Maslamah dari Malik dari Abu
Hazim ibn Dinar dari Sahal ibn Sa'ad as-Sa'idiy radiallâhu 'anhu
bahwasanya Rasulullah sallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: "Kalau ada
kesialan pada sesuatu, maka ada pada perempuan, kuda dan tempat
tinggal".
Hadis ketiga dari Bukhari kitab Nikah bab ke 17
ثني مالك، عن ابن شهاب، عن حمزة، وسالم، اب ني عبد ث نا إسماعيل، قال: حد حدهما: أن رسول اللو صلى اهلل عليو اللو بن عمر، عن عبد اللو بن عمر رضي اللو عن
ار، والفرس الشؤم في المرأة »ال: وسلم ق 6«، والد
Telah menceritakan kepada kami Isma'il ia berkata; Telah menceritakan
kepadaku Malik dari Ibnu Syihab dari Hamzah dan Salim keduanya adalah
5 Muhammad ibn Ismâ‟îl Abu „Abdillâh al-Bukhâri al-Ja‟fi, Sahîh Bukhâri (Beirut: Dār
al-Fikr, t.t.), h. 699. 6 Muhammad ibn Ismâ‟îl Abu „Abdillâh al-Bukhâri al-Ja‟fi, Sahîh Bukhâri, h. 1309.
39
39
anak Abdullah ibn Umar, dari Abdullah ibn Umar radiallâhu 'anhuma,
bahwasanya Rasulullah sallallâhu'alaihi wasallam bersabda: "Adakalanya
kesialan itu ada pada perempuan, rumah dan juga kuda."
ث نا عمر بن محمد العسقل ث نا يزيد بن زريع، حد هال، حد ث نا محمد بن من ني، عن حدأبيو، عن ابن عمر، قال: ذكروا الشؤم عند النبي صلى اهلل عليو وسلم، ف قال النبي
ار، والمرأة، والفرس إن كان الشؤم »صلى اهلل عليو وسلم: «في شيء ففي الدTelah menceritakan kepada kami Muhammad ibn Minhal Telah
menceritakan kepada kami Yazid ibn Zurai' Telah menceritakan kepada
kami Umar ibn Muhammad Al Asyqalani dari bapaknya dari Ibnu Umar ia
berkata; Mereka membicarakan kesialan di sisi Nabi sallallâhu'alaihi
wasallam, maka Nabi sallallâhu'alaihi wasallam pun bersabda: "Sekiranya
kesialan itu ada pada sesuatu, maka niscaya akan terdapat pada rumah,
perempuan dan kuda".
ث نا عبد اللو بن يوسف، أخب رنا مالك، عن أبي حاز م، عن سهل بن سعد: أن حد، ففي الفرس والمرأة إن كان في شيء »رسول اللو صلى اهلل عليو وسلم قال:
7«والمسكن Telah menceritakan kepada kami Abudllah ibn Yusuf Telah mengabarkan
kepada kami Malik dari Abu Hazim dari Sahl ibn Sa'dari bahwa
Rasulullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: "Sekiranya kesialan itu
ada pada sesuatu, maka niscaya akan terdapat kuda, perempuan dan
rumah”.
Kitab Tib bab ke 43
ث نا يونس، عن الزىري ، عن ث نا عثمان بن عمر، حد ثني عبد اللو بن محمد، حد حدهما: أن رسول اللو صلى اهلل عليو وسلم قال: " ال سالم، عن ابن عمر، رضي اللو عن
ابة ، والشؤم في ثلث: في المر ي رة عدوى وال ط ار، والد 8"أة، والدTelah menceritakan kepadaku Abdullah ibn Muhammad telah
menceritakan kepada kami Utsman ibn Umar telah menceritakan kepada
kami Yunus dari Az Zuhri dari Salim dari Ibnu Umar radiallâhu 'anhuma
bahwa Rasulullah sallallâhu'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada 'adwa
(keyakinan adanya penularan penyakit) tidak ada ṭiyarah (menganggap sial
sesuatu hingga tidak jadi beramal), dan adakalanya kesialan itu terdapat
pada tiga hal, yaitu; isteri, tempat tinggal dan kendaraan."
7 Muhammad ibn Ismā‟īl Abu „Abdillâh al-Bukhâri al-Ja‟fi, Sahîh Bukhâri (Beirut: Dār
al-Fikr, t.t.), h. 1309. 8 Muhammad ibn Ismâ‟īl Abu „Abdillâh al-Bukhâri al-Ja‟fi, Sahîh Bukhâri, h. 1469.
40
40
2) Sahîh Muslim kitab Salam bab ke 34
ث نا يحيى بن يحيى، ث نا مالك بن أنس، وحد ث نا عبد اهلل بن مسلمة بن ق عنب، حد وحدحمزة، وسالم، اب ني عبد اهلل بن عمر، قال: ق رأت على مالك، عن ابن شهاب، عن
، الشؤم في الدار »عن عبد اهلل بن عمر، أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم قال: 9«والمرأة، والفرس
Dan telah menceritakan kepada kami 'Abdullah ibn Maslamah ibn Qa'nab;
Telah menceritakan kepada kami Malik ibn Anas; Demikian juga
diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami
Yahya ibn Yahya dia berkata; Aku membaca atas Malik dari Ibnu Syihab
dari Hamzah dan Salim Ibnu 'Abdullah ibn 'Umar dari 'Abdullah ibn 'Umar
bahwa Rasulullah sallallâhu'alaihi wasallam bersabda: Terkadang kesialan
itu terdapat pada tiga perkara: "Di dalam rumah, dalam diri perempuan,
dan pada kuda."
ث نا أبو الطاىر، وحرملة بن يحيى، قاال: أخب رنا ابن وىب، أخب رني يونس، عن وحدابن شهاب، عن حمزة، وسالم، اب ني عبد اهلل بن عمر، عن عبد اهلل بن عمر، أن
وإنما الشؤم في ثلثة: ال عدوى وال طي رة سلم قال: "رسول اهلل صلى اهلل عليو و ار" 10المرأة، والفرس، والد
Dan telah menceritakan kepada kami Abu al-Thahir dan Harmalah ibn
Yahya keduanya berkata; Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb;
Telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dari Hamzah dan
Salim -kedua anak- 'Abdullah ibn 'Umar bahwa Rasulullah sallallâhu
'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada penyakit yang menular secara
sendirian, tidak ada pengaruh atau alamat jahat pada suara burung. Dan
adakalanya kesialan itu terdapat pada tiga perkara: “Dalam diri
perempuan, pada kuda, dan dalam rumah.”
ث نا شعبة، عن عمر حد و ث نا محمد بن جعفر، حد ث نا أحمد بن عبد اهلل بن الحكم، حدبن محمد بن زيد، أنو سمع أباه، يحد ث عن ابن عمر، عن النبي صلى اهلل عليو
11«شيء حق، ففي الفرس، والمرأة، والدار إن يكن من الشؤم »قال: وسلم أنو Dan telah menceritakan kepada kami Ahmad ibn 'Abdullah ibn Al Hakam;
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn Ja'far; Telah
menceritakan kepada kami Syu'bah dari 'Umar ibn Muhammad ibn Zaid
9 Al-Imam al-Hafiz Abi al-Husain Muslim ibn Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh
Muslim, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2003), h. 1115. 10
Sahîh Muslim, nomor hadis 116, h. 1115. 11
Sahîh Muslim, nomor hadis 117, h. 1115.
41
41
bahwa dia mendengar Bapaknya bercerita; dari Ibnu Umar dari Nabi
sallallâhu'alaihi wasallam beliau bersabda: "Kalau memang kesialan benar
maka yang pasti hal itu kadang terjadi pada pada kuda, dalam diri
perempuan dan dalam rumah."
ث نا ابن أبي مريم، أخب رنا ثني أبو بكر بن إسحاق، حد ثني وحد سليمان بن بلل، حدعتبة بن مسلم، عن حمزة بن عبد اهلل بن عمر، عن أبيو، أن رسول اهلل صلى اهلل عليو
12«في شيء ففي الفرس، والمسكن، والمرأة إن كان الشؤم »وسلم قال: Dan telah menceritakan kepadaku Abu Bakr ibn Ishaq; Telah
menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam; Telah mengabarkan kepada
kami Sulaiman ibn Bilal; Telah menceritakan kepadaku 'Utbah ibn Muslim
dari Hamzah ibn 'Abdullah ibn 'Umar dari Bapaknya bahwa Rasulullah
sallallâhu'alaihi wasallam bersabda: "Kalau memang kesialan benar maka
hal itu terjadi pada kuda, dalam diri perempuan dan dalam rumah."
ث نا عبد اهلل بن مسلمة بن ق عن ث نا مالك، عن أبي حازم، عن سهل بن وحد ب، حد، ففي المرأة والفرس إن كان »سعد، قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم:
13ي عني الشؤم « والمسكن Dan telah menceritakan kepada kami 'Abdullah ibn Maslamah ibn Qa'nab;
Telah menceritakan kepada kami Malik dari Abu Hazim dari Sahl ibn Sa'd
dia berkata; Rasulullah sallallâhu'alaihi wasallam bersabda: "Kalau
memang kesialan ada maka terjadi pada diri perempuan, pada kuda dan
dalam rumah."
3) Sunan Abî Dâwud kitab Tib bab ke 24
ث نا مالك، عن ابن شهاب، عن حمزة، وسالم، اب ني عبد اللو بن ، حد ث نا القعنبي حدفي الشؤم »صلى اهلل عليو وسلم قال: عمر، عن عبد اللو بن عمر، أن رسول اللو
ار، والمرأة، والفرس 14«الدTelah menceritakan kepada kami Al Qa'nabi telah menceritakan kepada
kami Malik dari Ibnu Syihab dari Hamzah dan Salim keduanya adalah
anak Abdullah ibn Umar, dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah
sallallâhu'alaihi wasallam bersabda: "Kesialan ada pada rumah, perempuan
dan kuda."
12
Al-Imam al-Hafiz Abi al-Husain Muslim ibn Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh
Muslim, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2003), nomor hadis 118, h. 1116. 13
Sahîh Muslim, nomor hadis 119, h. 1116. 14
Abî Dâwud Sulaimân ibn al-Asy‟ats Al-Sijistâni, Sunan Abî Dâwud, (Riyadh: Bait al-
Afkâr al-Dauliyyah, 1994), h. 429.
42
42
4) Sunan al-Tirmidzî kitab Adab bab ke 57
ث نا سفيان، عن الزىري ، عن سالم، وحمزة، اب ني عبد ث نا ابن أبي عمر، قال: حد حد، في الشؤم في ثلثة اهلل بن عمر عن أبيهما، أن رسول اهلل صلى اللو عليو وسلم قال:
ابة المرأة 15، والمسكن، والدTelah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar telah menceritakan
kepada kami Sufyan dari Az Zuhri dari Salim dan Hamzah -dua putra
Abdullah ibn Umar, dari Ayahnya bahwa Rasulullah sallallâhu'alaihi
wasallam bersabda: "kesialan itu ada pada tiga hal, yaitu; perempuan,
tempat tinggal dan binatang tunggangan (kendaraan).”
5) Sunan al-Nasâ’î kitab Khoil bab ke 5
ث نا سفيان، عن أخب رنا ق ت يبة بن سعيد، ومحمد بن منصور واللفظ لو قاال: حد: الشؤم في ثلثة ي ، عن سالم، عن أبيو، عن النبي صلى اهلل عليو وسلم، قال: "الزىر
ار" 16المرأة، والفرس، والد
Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah ibn Sa'id dan Muhammad ibn
Manshur dan ini adalah lafadz Muhammad ibn Manshur, berkata; telah
menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri dari Salim dari ayahnya
dari Nabi sallallâhu'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Kesialan ada dalam
tiga hal: perempuan, kuda, dan rumah."
ث نا مالك، والحارث بن ث نا معن، قال: حد أخب رني ىارون بن عبد اللو، قال: حدث نا مالك، عن مسكين، قراءة عليو وأنا أسمع واللفظ لو، عن ابن الق اسم، قال: حد
ابن شهاب، عن حمزة، وسالم، اب ني عبد اللو بن عمر، عن عبد اللو بن عمر، رضي هما: أن رسول اللو صلى اهلل عليو وسلم، قال: ار والمرأة الد الشؤم في»اللو عن
17«والفرس
Telah mengabarkan kepada kami Harun ibn Abdullah berkata; telah
menceritakan kepada kami Ma'n berkata; telah menceritakan kepada kami
Malik dan al Harits ibn Miskin dengan membacakan riwayat dan aku
mendengar, lafazhnya adalah lafazh al-Harits ibn Miskin, dari al-Qasim
berkata; telah menceritakan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari
Hamzah dan Salim keduanya adalah anak Abdullah ibn Umar, dari
15
Muhammad ibn „Îsâ ibn Saurah al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî (Riyadh: Bait al-Afkâr
al-Dauliyyah, 297),h. 452. 16
Sunan al-Tirmidzî, nomor hadis 3568, h. 452. 17
Abu „Abd al-Rahman Ahmad ibn Syu‟aib ibn „Alî al-Khurâsânî, Sunan al-Nasâ‟î
(Beirut: Dâr al-Fikr, 2005), h. 865.
43
43
Abdullah ibn Umar radiallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah sallallâhu'alaihi
wasallam bersabda: "Kesialan ada dalam rumah, perempuan dan kuda."
6) Sunan Ibn Mâjah kitab Nikah bab ke 55
ثني سليمان بن سليم ث نا إسماعيل بن عياش قال: حد ث نا ىشام بن عمار قال: حد حدو مخمر بن معاوية، قال: الكلبي، عن يحيى بن جابر، عن حكيم بن معاوي ة، عن عم
في ال شؤم، وقد يكون اليمن سمعت رسول اللو صلى اهلل عليو وسلم، ي قول: " ار" 18ثلثة: في المرأة، والفرس، والد
Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar berkata, telah
menceritakan kepada kami Isma'il ibn 'Ayyasy berkata, telah menceritakan
kepadaku Sulaiman ibn Sulaim al-Kalbi dari Yahya bin Jabir dari Hakim
ibn Mu'awiyah dari pamannya Mikhmar ibn Mu'awiyah ia berkata, "Aku
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada
istilah sial, dan terkadang keberkahan itu ada pada tiga hal; isteri, kuda dan
rumah."
ث نا عبد اللو بن ن ث نا عبد السلم بن عاصم قال: حد ث نا مالك بن حد افع، قال: حدأنس، عن أبي حازم، عن سهل بن سعد، أن رسول اللو صلى اهلل عليو وسلم، قال:
19، ي عني الشؤم « ففي الفرس، والمرأة، والمسكن إن كان »
Telah menceritakan kepada kami Abdus Salam ibn Ashim berkata, telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibn Nafi' berkata; telah menceritakan
kepada kami Malik ibn Anas dari Abu Hazim dari Sahl ibn Sa'd bahwa
Rasulullah sallallâhu'alaihi wasallam bersabda: "Kalau memang kesialan
itu ada, maka ada pada tiga hal; kuda, isteri dan tempat tinggal".
ث نا بشر بن المفضل عن عبد الرحمن بن إسحق ث نا يحيى بن خلف أبو سلمة حد حدالشؤم في رسول اللو صلى اللو عليو وسلم قال عن الزىري عن سالم عن أبيو أن
ار ثلث 20في الفرس والمرأة والدTelah menceritakan kepada kami Yahya ibn Khalaf Abu Salamah berkata,
telah menceritakan kepada kami Bisyr Ibnul Mufaddal dari 'Abdurrahman
ibn Ishaq dari Az Zuhri dari Salim dari Bapaknya bahwa Rasulullah
sallallâhu'alaihi wasallam bersabda: "Kesialan itu ada pada tiga hal; kuda,
perempuan dan rumah."
18
Al-Hâfiz Abi „Abdillâh Muhammad ibn Yazîd, Sunan Ibnu Mâjah (Riyadh: Bait al-
Afkâr al-Dauliyyah, t.t.), h. 216. 19
Sunan Ibnu Mâjah, nomor hadis 1994, h. 216. 20
Sunan Ibnu Mâjah, nomor hadis 1995, h. 216.
44
44
7) Muwatha Malik, kitab Istidzan bab ke 22
ثني مالك عن ابن شهاب عن حمزة وسالم اب ني عبد اللو بن عمر عن عبد اللو وحدار والمرأة والفرس الشؤم بن عمر أن رسول اللو صلى اللو عليو وسلم قال 21في الد
Telah menceritakan kepadaku Malik dari Ibnu Syihab dari Hamzah dan
Salim anak Abdullah ibn 'Umar, dari Abdullah ibn Umar bahwa
Rasulullah sallallâhu'alaihi wasallam bersabda: "Kesialan itu terdapat pada
tempat tinggal, perempuan, dan kuda."
8) Musnad Ahmad ibn Hanbal juz 2
ث نا سفيان، عن الزىري ، عن سالم، عن أبيو، أن النبي صلى اهلل عليو وسلم قال: " حدار " قال سفيان إنما نحفظو، عن سالم ي عني الشؤم في ثلث الفرس، والمرأة، والد
22الشؤم Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri dari Salim dari
Ayahnya, bahwa Nabi sallallâhu'alaihi wasallam bersabda: "Kesialan itu
ada pada tiga hal; Kuda, wanita dan rumah. Sufyan berkata, "Kami
menghafalnya dari Salim yakni kesialan"
ث نا رباح، عن معمر، عن الزىري ، عن حمزة بن عبد اهلل، ث نا إب راىيم بن خالد، حد حدرس، والمرأة، : الف الشؤم في ثلث صلى اهلل عليو وسلم قال: "عن أبيو، أن رسول اهلل
23"والدارTelah menceritakan kepada kami Ibrahim ibn Khalid telah menceritakan
kepada kami Rayah dari al-Zuhri dari Hamzah ibn Abdillah dari Bapaknya
bahwa Rasulullah sallallâhu'alaihi wasallam bersabda: "Kesialan itu ada
pada tiga hal; kuda, perempuan dan rumah."
ث نا شعبة، عن عمر بن محمد بن زيد، أنو سمع أباه، د بن جعفر، حد ث نا محم حد إن يك من الشؤم يحد ث، عن ابن عمر، عن النبي صلى اهلل عليو وسلم أنو قال: "
24في المرأة والفرس والدارشيء حق ف
21
Mâlik ibn Anas ibn Mâlik ibn Amir al-Asbahî al-Madînî, al-Muwatta (Beirut:
Muassasah al-Risâlah, 1412), h. 972. 22
Al-Imâm al-Hâfiz Abî „Abdullah Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad ibn
Hanbal (Riyadh: Bait al-Afkâr al-Dauliyah, 1997), h. 378. 23
Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal h. 399. 24
Ahmad ibn Hanbal, Musnad al- Imâm Ahmad ibn Hanbal, h. 436.
45
45
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn Ja'far telah menceritakan
kepada kami Syu'bah dari Umar ibn Muhammad ibn Zaid dia mendengar
bapaknya menceritakan dari Ibnu Umar dari Nabi sallallâhu'alaihi
wasallam bahwasanya beliau bersabda: "Jika kesialan itu ada, maka
terdapat pada wanita, kuda dan rumah."
ث نا إسحاق بن عيسى، أخب رنا مالك، عن الزىري ، عن سالم، وحمزة، اب ني عبد حدار، الشؤم فيقال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: "اهلل بن عمر، عن أبيهما الد
25والمرأة، والفرس"Telah menceritakan kepada kami Ishaq ibn Isa telah mengabarkan kepada
kami Malik dari Zuhri dari Salim dan Hamzah, keduanya putera Abdullah
ibn Umar, keduanya mendengar dari bapaknya, dia berkata; Rasulullah
sallallâhu'alaihi wasallam bersabda: "Kesialan itu ada pada rumah, wanita
dan kuda."
ث نا أبو أويس، عن الزىري ، أن ث نا إب راىيم بن أبي العباس، حد سالم بن عبد اهلل، حدث هما أنو سمع رسول اهلل ثاه، عن أبيهما، أنو حد وحمزة بن عبد اهلل بن عمر، حد
ار، والمرأة في الف الشؤم صلى اهلل عليو وسلم ي قول: " 26"رس، والدTelah menceritakan kepada kami Ibrahim ibn Abil Abbas telah
menceritakan kepada kami Abu Uwais dari Zuhri bahwa Salim ibn
Abdillah dan Hamzah ibn Abdillah ibn Umar telah menceritakan
kepadanya dari bapak keduanya, bahwa dia (Abdullah ibn Umar) telah
menceritakan kepada keduanya (yakni Salim dan Hamzah), dia mendengar
Rasulullah sallallâhu'alaihi wasallam bersabda: "Kesialan itu terdapat pada
kuda, tempat tinggal dan wanita."
B. Kritik Sanad
Ada beberapa faktor yang menjadikan penelitian hadis berkedudukan
sangat penting yaitu: Pertama, hadis Nabi Saw sebagai salah satu sumber ajaran
Islam. Kedua, tidak seluruh hadis tertulis pada zaman Nabi Saw. Ketiga, telah
timbul berbagai pemalsuan hadis. Keempat, proses penghimpunan hadis yang
memakan waktu lama. Kelima, jumlah kitab hadis yang banyak dengan metode
penyusunan yang berbeda-beda. Keenam, telah terjadi periwayatan hadis secara
25
Ahmad ibn Hanbal, Musnad al- Imâm Ahmad ibn Hanbal, h. 467. 26
Ahmad ibn Hanbal, Musnad al- Imâm Ahmad ibn Hanbal, h. 473.
46
46
makna.27
Oleh karena itu, sebelum lebih jauh melangkah pada pemaknaan hadis
dengan metode ma‟anil hadis, diperlukan penelitian tingkat kesahihan sanad
hadis, karena hadis yang akan diteliti minimal harus berstatus hasan.28
Melihat data-data di atas, hadis yang penulis teliti memiliki banyak sanad.
Di dalam kutub al-tis’ah hadis tentang kesialan terdapat 48 buah kecuali al-
Darimi. Akan tetapi, yang penulis cantumkan hanya 24 buah yang setema dengan
hadis tersebut dan sesuai dengan kitab takhrij hadis yaitu mu’jam mufahras.
Namun penulis menelaah kualitas sanad dan maknanya hanya dari hadis al-
Bukhârî saja, yaitu hadis tentang kesialan yang terdapat pada kitab Jihad pada bab
Mâyudzkaru Min Syu’mi al-Farasi, kitab Nikah bab Mâyuttaqâ Min Syu’mi al-
Mar’ati dan kitab Tiyarah.
Imam al-Bukhârî mencantumkan hadis tentang kesialan ada pada tiga hal:
kuda, perempuan dan rumah dengan diulang sebanyak enam kali, dengan bab
yang berbeda, lafaz yang berbeda serta dengan jalur sanad yang berbeda. Sanad
pertama, Bukhari menerimanya dari Abu al-Yaman dari Syu'aib dari al-Zuhrî dari
Salim ibn 'Abdullah dari Abdullah ibn 'Umar radiallahu „dari Rasulullah sallallâhu
„alaihi wasallam.
Sanad kedua, al-Bukhârî menerima dari 'Abdullah ibn Maslamah dari
Malik dari Abu Hazim ibn Dinar dari Sahal ibn Sa'ad al-Sa'idi radiallâhu 'anhu
dari Rasulullah sallallâhu „alaihi wasallam.
Sanad ketiga al-Bukhârî menerima hadis dari Isma'il dari Malik dari Ibn
Syihab dari Hamzah dan Salim dari „Abdullah ibn Umar radiallâhu 'anhuma, dari
Rasulullah sallallâhu'alaihi wasallam.
27
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 7. 28
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’anil Hadis
Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), h. 89.
47
47
Sanad ke empat Bukhâri meriwayatkan hadis dari Muhammad ibn Minhal
dari Yazid ibn Zurai' dari „Umar ibn Muhammad al-„Asyqalâni dari bapaknya
(Muhammad ibn Zaid) dari Ibnu Umar dari Rasulullah sallallâhu'alaihi wasallam.
Sanad kelima al-Bukhârî menerima dari „Abudllah ibn Yusuf dari Malik
dari Abu Hazim dari Sahl ibn Sa'd dari Rasulullah sallallâhu 'alaihi wasallam.
Sanad ke enam al-Bukhârî menerima hadis dari „Abdullah ibn Muhammad
dari „Utsman ibn „Umar dari Yunus dari al-Zuhri dari Salim dari Ibnu „Umar
radiallâhu 'anhuma dari Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam.
Dengan demikian, semua hadis diatas bersandar kepada Nabi Saw artinya
semua berkategori marfu’ dan merupakan hadis ahad29
. Ditinjau dari jumlah
perawi yang meriwayatkan hadis tersebut, terdapat dua sahabat yaitu Ibn „Umar
dan Sahal. Sedangkan dari kalangan tabi’ tabi’in diriwayatkan oleh dua perawi,
maka hadis ini tergolong ‘aziz.30
Keadaan perawi dalam jalur sanad hadis yang penulis teliti tersebut
semuanya tsiqah dan dapat dijadikan hujjah. Sanad pada hadis ini bersambung
dari awal sampai akhir, sighat tahammul wa al-ada’ yang digunakan adalah
/ حدثنا/حدثني /اخبرنيأخبرنا bahkan banyak juga yang menggunakan عن yang telah
disepakati oleh para ulama bahwa sanadnya bersambung dan menduduki
peringkat yang tinggi dalam lafal penerimaan hadis. Maka penulis menyimpulkan
sanad hadis pertama hingga ke enam dari al-Bukhârî bersambung dan memenuhi
kriteria hadis sahîh secara sanad.
C. Metodologi Ma’âni al-Hadîs
29
Hadis yang tidak terkumpul syarat-syarat hadis mutawatir. 30
Hadis yang perawinya berjumlah tidak kurang dari dua orang di seluruh tingkatan
(tabaqat) sanadnya.
48
48
Setelah mengetahui sanad dan redaksi matan hadis-hadis tentang kesialan
ada pada tiga hal maka langkah selanjutnya adalah memaparkan dan menjelaskan
pemaknaan hadis secara tepat, proporsional dan komprehensif. Pemahaman
makna suatu hadis tidak dapat dipisahkan dari penelitian tentang kajian matan,
yaitu dengan melakukan analisis terhadap matan dengan beberapa pendekatan
agar pemahaman terhadap hadis tersebut tidak menyalahi arah dan tujuannya.
Pendekatan yang dimaksud adalah suatu acuan yang dapat dijadikan
pegangan untuk melihat, meneliti dan menangkap sesuatu yang berkaitan dengan
hadis, salah satu contohnya adalah melalui pendekatan linguistik. Pendekatan
linguistik ini dilakukan dengan cara melihat bentuk-bentuk kebahasaan yang
terdapat dalam matan hadis, selain itu juga bisa melalui pendekatan historis.31
1. Analisi Matan
Sebuah hadis tidak terlepas dari sanad maupun matan, banyak matan hadis
yang semakna dengan sanad yang sama-sam sahihnya tersusun dengan lafal yang
berbeda. Salah satu sebab terjadinya perbedaan lafal pada matan hadis yang
semakna adalah karena telah terjadi periwayatan secara makna (al-riwayah bi al-
makna).
Adanya periwayatan secara makna telah menyebabkan penelitian matan
dengan pendekatan semantik tidak mudah dilakukan. Kesulitan itu terjadi karena
matan hadis yang sampai ke tangan mukharrij-nya masing-masing terlebih dahulu
beredar pada sejumlah periwayat yang berbeda generasi dan tidak jarang terjadi
juga berbeda latar belakang budaya dan kecerdasan mereka.32
31
Hasan Asy‟ari Ulamai, Melacak Hadis Nabi Saw Cara Cepat Mencari Hadis Dari
Manual Hingga Digital (Semarang: RaSAIL, 2006), h. 73. 32
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2007),
h. 25.
49
49
Perbedaan generasi dan budaya dapat menyebabkan timbulnya perbedaan
penggunaan dan pemahaman suatu kata atau istilah. Sedangkan kecerdasan dapat
menyebabkan pemahaman terhadap matan hadis yang meriwayatkan berbeda.
Selanjutnya dalam menganalisis matan hadis-hadis tentang innamâ al-
syu’mu fî tsalatsatin: fî al-faras, al-mar’ah wa al-dâr penulis melakukan dengan
beberapa kajian, yakni kajian bahasa (linguistik), tematik komprehensif, dan
konfirmasi makna yang didapatkan dari petunjuk-petunjuk al-Qur‟an.
1) Kajian Linguistik
Jika dilihat hadis tentang kesialan ada pada tiga hal disebutkan di atas
terdapat redaksi yang berbeda-beda, akan tetapi memiliki substansi yang sama.
Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan bahasa dalam usaha memahami dan
mengetahui perbedaan-perbedaan lafal yang terdapat dalam hadis-hadis tentang
kesialan tersebut.
Dalam memaparkan hadis-hadis tentang kesialan ada pada tiga hal dengan
kata kunci al-syu’mu, al-Bukhârî mengeluarkan 6 buah hadis. Redaksi hadis-hadis
tersebut berbeda-beda. Term yang digunakan dalam hadis-hadis tersebut
menggunakan kata innama, inkâna, inyakun dan lâ ‘adwa walâ tiyarah.
Dalam sebagian riwayat terdapat redaksi hadis yang menggunakan kata
innama yang berindikasi pada penetapan atau kepastian, maka hal ini merupakan
sebuah bentuk ringkasan dan perubahan dari sebagian riwayat.33
Adapun redaksi yang menggunakan kata inyaku dan inkana sama-sama
masing memiliki arti “jikalau terjadi kepada sesuatu” yang berarti sebuah
pengandaian yang belum tentu akan terjadi, dalam hadis ini kata tersebut
33
„Abdullâh bin „Umar al-Dumaiji, Rahasia Tawakkal dan Sebab Akibat (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2000), h. 206.
50
50
berindikasi tidak adanya penetapan dan kepastian dalam kesialan yang terdapat
pada tiga hal.34
Selain menggunakan redaksi innama, inkana dan inyaku hadis yang
diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan mukharrij lainnya juga memakai redaksi la
‘adwa (tidak ada penyakit) keyakinan bahwa penyakit itu menular dengan
sendirinya tanpa kekuasaan Allah. Walâ tiyarah (dan tidak pula tiyarah) yaitu
sikap pesimis yang menghalangi seseorang untuk melakukan suatu perbuatan.35
Sikap Ibnu „Umar mengumpulkan antara kedua hadis فيثالث ؤم العدوىوالطيرة،والشmenunjukkan bahwa dia menguatkan salah satu kemungkinan daripada makna
syu’mu (kesialan).36
Hadis ini menggunakan kalimat jazm (statemen pasti), dan
kalimat syarath (kalimat yang mengandung syarat).37
Maksudnya ialah bahwa
tidak ada penyakit dan tidak ada sikap pesimis yang terjadi kepada seseorang,
kemungkinan jika terjadi kesialan itu kepada tiga hal: hewan, perempuan dan
tempat tinggal.
Imam Nawawi di dalam kitabnya Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawi
memaknai lafazh ؤم sebagai ketidaksesuaian dengan apa yang (kesialan) الش
diinginkan seseorang.”38
Dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi bahwa ؤم bermakna الش
did al-Yumni yakni antonim dari keberuntungan (al-Yumni) lawannya
keberuntungan adalah kesialan. Tidak berbeda jauh dengan yang dikatakan Imam
al-Nawawi yang dimaksud kesialan disini adalah ketidaksesuaian atau
34
Ibnu Hajar al-„Asqalāni, Fath al-Bâri bi Syarh Sahîh al-Bukhâri (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), jilid. 16, h. 182. 35
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri bi Syarh Sahîh al-Bukhâri, jilid. 16, h. 181. 36
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri bi Syarh Sahîh al-Bukhâri, jilid. 28, h. 450. 37
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Kesesatan Ramalan Bintang (Jakarta: Akbar Media Eka
Sarana, 2004), h. 185. 38
Imam al-Nawawi, Syarah Sahîh Muslim. Penerjemah Fathoni Muhammad, dkk.
(Jakarta: Darus Sunnah Press, 2014), h. 543.
51
51
ketidakcocokkan.39
Dalam kamus al-Jam’u al-Wasit ؤم الشر memiliki pengertian الش
yaitu kejelekan atau kerusakan. Jama‟ nya adalah syurûrun, dikatakan laki-laki itu
jelek, artinya yang mempunyai kejelekan jama‟nya asyrârun atau syirârun,
dikatakan itu adalah kejelekan seorang manusia, yakni kejelekan mereka semua.40
adalah seekor kuda baik yang berjenis kelamin laki-laki ataupun الفرس
perempuan, pada hal demikian ada kesamaan. Dipukul keduanya bergegas atau
menuju kepada tujuan, maka keduanya mempunyai kesamaan.41
Selain
menggunakan kata kuda, di dalam hadis juga ada yang menggunakan kata الدابت
artinya adalah setiap sesuatu yang melata di muka bumi, dan sungguh berlaku
atau berguna untuk ditunggangi dari jenis hewan, baik yang berjenis kelamin laki-
laki ataupun perempuan.42
Dengan demikian, baik al-Faras maupun al-Dâr
memiliki pengertian yang sama yaitu hewan yang dapat ditunggangi untuk suatu
keperluan. Seperti kuda, keledai, unta dan lainnya.
al-Mar’ah )المرأة( atau imra’ah امرأة berasal dari kata mara’a (مرا) yang
berarti baik dan bermanfaat.43
al-Mar’ah sebagai bentuk muannats dari kata al-
mar’u yang mempunyai arti kedewasaan dan kematangan. Dari akar kata mara’ah
ini juga menjadi al-mar’u yang bermakna seseorang (laki-laki). Sehingga kata al-
mar’ah sebagai bentuk mu’annats dari al-mar’u berarti perempuan. Kata al-
mar’ah yang berarti perempuan sehingga tidak masuk di dalamnya anak
perempuan sebab yang dimaksudkan adalah perempuan dewasa. Sementara dalam
39
Abu al-„Ula Muhammad Abd al-Rahmân ibn „Abd al-Rahîm, Tuhfatul Ahwadzi Syarh
Jâmi’ al-Tirmidzi (Riyadh: Bait al-Afkâr al-Dauliyyah, t.t.), h. 2114. 40
Syauqi Dhaif, al-Mu’jam al-Wasît (Mesir: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah, 2004),
cetakan ke-4, h. 508. 41
Syauqi Dhaif, al-Mu’jam al-Wasît, h. 711. 42
Syauqi Dhaif, al-Mu’jam al-Wasît , h. 298. 43
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 1417.
52
52
bahasa Arab untuk anak perempuan itu adalah al-bint.44
Dari pengertian yang
telah dipaparkan di atas dapat dipahami bahwa hadis ini menggunakan lafadz al-
mar’ah yang memiliki arti perempuan dewasa yang sudah menikah (istri).
Kemudian kata المسكن memiliki arti rumah, tempat tinggal. Jama‟nya
adalah مساكن.45
Jadi مسكن atau مسكن itu jama‟ masakin artinya adalah isim makan,
seperti rumah, tempat tinggal, atau tempat untuk mendirikan sebuah bangunan.
Tempat untuk bersantai atau tidak untuk berburu-buru.46
Selain menggunakan
kata maskan di dalam hadis tersebut menggunakan kata al-Dâr yaitu sebuah
tempat yang berbentuk bangunan dan halaman atau tempat tinggal.47
Dengan demikian pengertian al-Maskan atau al-Dâr di dalam hadis
merupakan suatu tempat tinggal yang berbentuk bangunan. Contohnya seperti
rumah, negara atau lainnya.
Telah berkata Imam Sanadi di dalam kitab Sunan al-Nasa’i terkait hadis
ثالثت في ؤم yang dimaksud kesialan disini adalah diperbolehkan, apabila الش
seseorang tersebut meyakini di dalam hatinya bahwa kesialan ada pada tiga
perkara tersebut, dan seseorang tersebut mengetahui inti dari kesialan itu. Beliau
berpendapat bahwa para ulama sepakat terhadap keyakinan yang memberikan
dampak kesialan seperti tatayyur datangnya bukan dari Allah, itu merupakan
kerusakan. Allah lah yang mengatur sebab-sebab atau dampak yang terjadi.48
44
Fatira Wahidah, “al-Mar’ah dalam Hadis Nabi SAW” (Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Sultan Qaimuddin Kendari), h. 54. 45
Achmad Warson Munawwir dan Muhammad Fairuz, al-Munawwir Kamus Indonesia-
Arab (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007), h. 646. 46
Aplikasi al-Ma‟ânî „Arabî „Arabî 47
Syauqi Dhaif, al-Mu’jam al-Wasît (Mesir: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah, 2004),
cetakan ke-4, h. 333-334. 48
Sunan al-Nasâ’î bi Syarh al-Hâfidz Jalâluddin al-Suyûti (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), jilid
3, h. 221.
53
53
Kemudian makna ثالثت .maksudnya ada pada tiga perkara ,(pada tiga) في
Ibnu al-„Arabi berkata sebagaimana yang terdapat di dalam kitab Fath al-Bâri,
pembatasan disini dinisbatkan kepada kebiasaan bukan kepada fitrah atau naluri.49
Imam Tirmidzi berkata في ؤم الش ثالثت إنما memiliki makna sesungguhnya
kesialan terhadap tempat atau rumah karena sempitnya dan buruknya tetangga.
Sialnya perempuan karena tidak dapat melahirkan, dan sialnya kuda tidak dapat
digunakan berperang.50
Al-Khattabi dan ulama lainnya berkata, “Maknanya adalah pengecualian
dari merasa sial terhadap sesuatu. Jadi, merasa sial terhadap sesuatu adalah
perkara yang dilarang, kecuali jika seseorang memiliki rumah yang dia tidak suka
menetap di sana, atau seorang perempuan yang dia tidak suka bersama dengannya,
atau seekor kuda yang tidak disukainya. Maka hendaknya orang tersebut
meninggalkan itu semua dengan cara menjualnya dan yang sejenisnya, atau
menceraikan perempuan itu.51
Ibnu Qayyim berkata di dalam kitab Fathul Majid bahwa “Pemberitahuan
Nabi Saw tentang kesialan terdapat pada tiga perkara ini bukan penetapan
(pembolehan) ramalan tentang sesuatu yang buruk (tatayyur) yang dinafikan
Allah swt, akan tetapi maksudnya adalah bahwa bisa jadi Allah menciptakan
darinya beberapa hal yang membawa berkah, di mana orang yang mendekatinya
tidak akan terkena kesialan atau keburukan.52
49
Ibn Hajar al-„Asqalâni, Fath al-Bâri bi Syarh Sahîh al-Bukhâri, jilid. 16, h. 181. 50
Abi al-Tayyib Muhammad Syamsul Haq, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abî Daud
(Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), jilid. 10, h. 1675. 51
Imam al-Nawawi, Syarah Sahîh Muslim (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2014), h. 543. 52
Syaikh Abdurrahman ibn Hasan Alu al-Syaikh, Fathul Majid Syarh Kitab al-Tandib.
Penerjemah Izzudin Karimi, dkk. (Jakarta: Darul Haq, 2015), h. 733.
54
54
Dari pemaparan di atas dapat dipahami bahwa maksud hadis tersebut
adalah kemungkinan jika terjadinya kesialan, itu ada pada tiga hal: hewan
tunggangan, perempuan (isteri) dan tempat tinggal. Adanya syarat tersebut, tidak
serta merta membenarkan atau memastikan kesialan pada ketiga hal tersebut.
Karena tidak ada yang mustahil jika keberadaannya saling berkaitan sekalipun
hal-hal itu berlawanan.
2) Kajian Tematik Komprehensif
Untuk dapat memahami al-sunnah termasuk hadis Nabi Saw, tentang
syu’mu secara tepat, diperlukan kajian tematik-komprehensif, yakni menghimpun
semua hadis sahîh dan atau minimal hasan yang berkaitan dengan tema tersebut.
Selanjutnya mengembalikan kandungannya yang mutasyabih kepada yang
muhkam, mengaitkan yang mutlaq dengan yang muqayyad dan menafsirkan yang
‘amm dengan yang khas.53
Metode ini dianggap cukup urgen, sebab teks-teks hadis tidak bisa
dipahami sebagai teks yang berdiri sendiri, melainkan sebagai satu kesatuan yang
integral, sehingga dalam penafsiran suatu hadis kita harus mempertimbangkan
hadis-hadis lain yang memiliki tema yang relevan agar makna yang dihasilkan
lebih komprehensif.54
Diantara hadis yang memiliki tema yang berkaitan dengan hadis tersebut
adalah:
53
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi. Penerjemah Muhammad al-
Baqir, (Bandung: Karisma, 1993), 106. 54
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah: Impilkasi Pada Perkembangan Hukum Islam
(Semarang: Aneka Ilmu, 2000), h. 153.
55
55
ث نا عمر بن محمد العسقلني، عن ث نا يزيد بن زريع، حد هال، حد ث نا محمد بن من حدذكروا الشؤم عند النبي صلى اهلل عليو وسلم، ف قال النبي أبيو، عن ابن عمر، قال:
ار، والمرأة، والفرس إن كان الشؤم »صلى اهلل عليو وسلم: «في شيء ففي الدTelah menceritakan kepada kami Muhammad ibn Minhal Telah
menceritakan kepada kami Yazid ibn Zurai' Telah menceritakan kepada
kami Umar ibn Muhammad Al Asyqalani dari bapaknya dari Ibnu Umar ia
berkata; Mereka membicarakan kesialan di sisi Nabi sallallâhu'alaihi
wasallam, maka Nabi sallallâhu'alaihi wasallam pun bersabda: "Sekiranya
kesialan itu ada pada sesuatu, maka terdapat pada rumah, perempuan dan
kuda."55
ث نا يحيى بن يحيى، ث نا مالك بن أنس، وحد ث نا عبد اهلل بن مسلمة بن ق عنب، حد وحدعن ابن شهاب، عن حمزة، وسالم، اب ني عبد اهلل بن عمر، قال: ق رأت على مالك،
، الشؤم في الدار »عن عبد اهلل بن عمر، أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم قال: «والمرأة، والفرس
Dan telah menceritakan kepada kami 'Abdullah ibn Maslamah ibn Qa'nab;
Telah menceritakan kepada kami Malik ibn Anas; Demikian juga
diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami
Yahya ibn Yahya dia berkata; Aku membaca atas Malik dari Ibnu Syihab
dari Hamzah dan Salim Ibnu 'Abdullah ibn 'Umar dari 'Abdullah ibn 'Umar
bahwa Rasulullah sallallâhu'alaihi wasallam bersabda: Terkadang kesialan
itu terdapat pada tiga perkara: "Di dalam rumah, dalam diri perempuan,
dan pada kuda."56
ث نا أبو أويس، عن الزىري ، أن سالم بن عبد اهلل ث نا إب راىيم بن أبي العباس، حد ، حدث هما أنو سمع رسول اهلل ثاه، عن أبيهما، أنو حد وحمزة بن عبد اهلل بن عمر، حد
ار، والمرأة " الشؤم اهلل عليو وسلم ي قول: " صلى 57في الفرس، والدTelah menceritakan kepada kami Ibrahim ibn Abil Abbas telah
menceritakan kepada kami Abu Uwais dari Zuhri bahwa Salim ibn
Abdillah dan Hamzah ibn Abdillah ibn Umar telah menceritakan
kepadanya dari bapak keduanya, bahwa dia (Abdullah ibn Umar) telah
menceritakan kepada keduanya (yakni Salim dan Hamzah), dia mendengar
55
Muhammad ibn Ismâ‟îl Abu „Abdillâh al-Bukhâri al-Ja‟fi, Sahîh Bukhâri (Beirut: Dār
al-Fikr, t.t.), h. 1309. 56
Al-Imam al-Hafiz Abi al-Husain Muslim ibn Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh
Muslim, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2003), h. 1115. 57
Al-Imâm al-Hâfiz Abî „Abdullah Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad ibn
Hanbal (Riyadh: Bait al-Afkâr al-Dauliyah, 1997), h. 473.
56
56
Rasulullah sallallâhu'alaihi wasallam bersabda: "Kesialan itu terdapat pada
kuda, tempat tinggal dan wanita."
ثني سليمان بن سليم الكلبي عن ث نا إسمعيل بن عياش حد ث نا ىشام بن عمار حد حدو مخمر بن معاوية قال سمعت رسول يحيى بن جابر عن حكيم بن معاوية عن عم
لى اللو عليو وسلم ي قول ال شؤم وقد يكون اليمن في ثلثة في المرأة والفرس اللو ص والدار
Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar berkata, telah
menceritakan kepada kami Isma'il bin 'Ayyasy berkata, telah menceritakan
kepadaku Sulaiman bin Sulaim Al Kalbi dari Yahya bin Jabir dari Hakim
bin Mu'awiyah dari pamannya Mikhmar bin Mu'awiyah ia berkata, "Aku
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada
istilah sial, dan terkadang keberkahan itu ada pada tiga hal; isteri, kuda dan
rumah."58
Dari masing-masing hadis tersebut mempunyai maksud bahwa ketiga hal
yang disebutkan tidak hanya mempunyai pembahasan semata-mata menyatakan
adanya kesialan saja. Akan tetapi dalam hadis yang lain memuat adanya bahwa
ketiga hal tersebut dapat membawa keberuntungan atau keberkahan.
3) Kajian Konfirmatif
Salah satu metode pemahaman hadis yang ditawarkan pada ulama ahli
hadis adalah metode konfirmatif, yaitu memahami hadis atau al-sunnah dalam
kerangka bimbingan dan petunjuk al-Qur‟an. Metode ini cukup dianggapai
prinsipil dengan asumsi bahwa al-Qur‟an sebagai sumber pokok ajaran Islam, dan
karenanya petunjuk dan ajarannya tidak boleh bertentangan dengan al-Qur‟an
yang berisi keterangan-keterangan yang jelas dan pasti, bahkan senantiasa
menjadi penguat dan penjelas al-Qur‟an. Disamping itu agara diperoleh
58
Al-Hâfiz Abi „Abdillâh Muhammad ibn Yazîd, Sunan Ibnu Mâjah (Riyadh: Bait al-
Afkâr al-Dauliyyah, t.t.), h. 216.
57
57
pemahaman yang tepat jauh dari pemalsuan, penyimpangan dan penafsiran yang
deduktif.59
Menurut penulis, hadis tentang kesialan yang memiliki pengertian bahwa
terdapat kesialan pada tiga hal: hewan, perempuan (isteri) dan tempat tinggal ini
kontradiksi dengan kandungan ayat 22 dari surah al-Hadîd yang menyatakan
bahwa tidak ada suatu bencanapun yang menimpa seseorang di muka bumi
melainkan sudah ditetapkan oleh Allah dalam lauhul mahfudz. Allah Swt
berfirman:
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadîd/57: 22)
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata:
"Itu adalah karena (usaha) kami". dan jika mereka ditimpa kesusahan,
mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang
besertanya. ketahuilah, Sesungguhnya kesialan mereka itu adalah
ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”
(QS. Al-A‟raf/7: 131)
59
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi. Penerjemah Muhammad al-
Baqir, (Bandung: Karisma, 1993), h. 92.
58
58
Mereka menjawab: "Sesungguhnya Kami bernasib malang karena kamu,
Sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya Kami
akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari
kami. Utusan-utusan itu berkata: "Kemalangan kamu adalah karena kamu
sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)?
sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas". (QS. Yâsîn/36: 22)
Ke tiga ayat ini menjelaskan sekaligus menegaskan bahwa kesialan atau
kejadian apapun yang menimpa mereka adalah takdir dan ketetapan dari Allah,
maksudnya adalah segala kebaikan dan segala keburukan yang telah ditetapkan
kepada mereka berasal dari sisi Allah Swt.60
Begitu juga dengan kesialan pada
tiga hal yang disebutkan dalam hadis tidaklah mutlak dapat mendatangkan
kesialan atau musibah. Bahwa suatu kesialan atau musibah adalah suatu peristiwa
yang telah ditetapkan oleh Allah Swt dan bukan karena disebabkan oleh orang
lain yang membawa kesialan.
2. Analisis Historis
Setelah memahami hadis tentang kesialan melalui tinjauan matan dari
sudut kebahasaan, maka selanjutnya dilakukan pemahaman hadis melalui
pendekatan historis. Pendekatan historis adalah pendekatan dalam memahami
hadis dengan cara mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat hadis itu
60
Syaikh Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi. Penerjemah Sudi Rosadi, dkk. (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), Jilid. 7, h. 647.
59
59
disampaikan Nabi Saw.61
Analisis historis sangat penting mengingat apa yang kita
sebut sebagai teks keagamaan, termasuk koleksi hadis adalah bagian dari realitas
tradisi keislaman yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw, dan para sahabatnya
dalam lingkup situasi sosialnya. Bila kita memahami hadis hanya secara tekstual
yang dipisahkan dari asumsi-asumsi sosialnya, maka sangat mungkin akan terjadi
distorsi informasi atau bahkan salah faham.62
Dalam sahih al-Bukhârî yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar disebutkan,
bahwa para sahabat menyebut-nyebut soal kemalangan di depan Nabi Saw. Maka
beliau menjelaskan: “Jika kemalangan itu menimpa sesuatu, maka ia terdapat pada
tiga hal, yaitu: kuda, isteri dan rumah”. Kesialan disini artinya sebagai lawan dari
nasib baik. Kuda yang sulit dikendalikan ketika ia berlari kencang sehingga tidak
dapat dimanfaatkan, bila ditambatkan semata-mata untuk kebanggan dan
kesombongan. Isteri (perempuan) yang tidak dapat melahirkan (mandul), panjang
lidah (suka ngomel), dan memiliki akhlak yang buruk. Rumah yang sempit, atau
bertetangga dengan orang-orang yang suka berbuat kejahatan dan mendurhakakan
Allah.63
Menurut Ibnu Qutaibah latarbelakang hadis ini adalah orang-orang Arab
jahiliyah selalu melakukan tatayyur, kemudian Nabi Saw melarang mereka, akan
tetapi orang-orang Arab jahiliyah tidak sepenuhnya mentaati larangan Nabi,
sehingga tersisa tiga hal yang disebutkan dalam hadis.64
61
Said Agil Husin Munawwar, Asbabul Wurud: Studi Kritis Hadis Pendekatan Sosio-
Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 26. 62
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik
(Jakarta: Paramadina, 1996), h. 23. 63
Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi al-Damsyiqi, Asbabul Wurud II: Latar Belakang
Historis Timbulnya Hadis-Hadis Rasul (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), h. 104. 64
Ibnu Hajar al-„Asqalâni, Fath al-Bâri (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jilid 16, h. 182.
60
60
Keadaan orang-orang Arab jahiliyah sebelum datangnya Nabi Saw tidak
lagi mampu mewujudkan sikap tauhid yang telah diserukan Nabi Saw
sebelumnya. Budaya syirik telah mengakar dalam segala aspek kehidupan
mereka. Meskipun maju dalam bidang sastra dan perdagangan, mereka amat
merosot dalam bidang akidah. Budaya syirik begitu subur pada waktu itu, mereka
begitu percaya pada ramalan-ramalan, percaya bahwa sesuatu bisa mendatangkan
kesialan atau keberuntungan serta masih banyak tradisi dan kebiasaan syirik
lainnya.
Imam al-Qurṭubi berpendapat seperti yang dikutip oleh Ibnu Hajar al-
„Asqallânî dalam kitabnya Fath al-Bâri, hal ini tidak boleh dipahami sebagaimana
keyakinan orang-orang Arab jahiliyah bahwa yang demikian itu dapat
mendatangkan mudarat dan manfaat dengan sendirinya, karena pemahaman
seperti ini tidak benar. Namun yang dimaksud adalah ketiga hal tersebut
merupakan hal yang paling banyak dijadikan manusia untuk melakukan
tatayyur.65
Secara historis dapat diketahui bahwa Nabi Saw dalam menyampaikan
hadis ini karena merespon orang-orang Arab jahiliyah yang menyangka adanya
penyebab kesialan yang terdapat pada diri seseorang atau ada kesialan karena
mendengar atau melihat sesuatu. Begitu kuat kepercayaan terhadap tatatyyur yang
mereka yakini sehingga dapat mengurungkan niat mereka untuk melakukan
aktifitas, sampai-sampai mereka tidak menghiraukan atau tidak menggubris
larangan Nabi Saw untuk tidak mempercayai hal yang tidak rasional dan tidak
pula dibenarkan Islam.
65
Ibnu Hajar al-„Asqalâni, Fath al-Bâri (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jilid 16, h. 182.
61
61
Jika melihat dari sosial kultural masyarakat Arab jahiliyah pada waktu itu.
Budaya syirik dan kepercayaan kepada ramalan-ramalan yang begitu kuat
mengakar, kemerosotan moral dan akidah yang begitu merajalela, kemelaratan
yang menjepit watak keras masyarakat sangat sulit memasukkan kesadaran Islami
dan merubah pola pikir serta menghapus kepercayaan mereka secara spontan.66
Untuk menurunkan tensi kepercayaan mereka terhadap tatayyur, Nabi Saw
tidak serta merta menghapus kepercayaan mereka sekaligus, namun juga tidak
membiarkan kepercayaan tersebut terus melekat pada masyarakat. Pada
tahapannya Nabi menafikan kesialan itu secara umum sebagaimana halnya
penularan penyakit atau kesialan disebabkan sesuatu dari yang mereka lihat atau
mereka dengar. Kemudian setelah menekankan sisi ini, lalu Nabi Saw
menyebutkan kalau pun ada kesialan maka terletak pada tiga hal, yakni kuda,
perempuan dan rumah.67
3. Analisi Generalisasi
Dengan beberapa kajian yang ada, pemahaman secara generalisasi dapat
diketahui bahwa ketika menyabdakan hadis ini Nabi Saw mengawali dengan
penafian ramalan nasib buruk dan penularan penyakit, baru kemudian beliau
memberitahukan bahwa kemalangan ada pada tiga hal. Dan ini adalah untuk
menghilangkan anggapan bahwa kesialan sama sekali tidak terjadi pada tiga hal
itu. Maka, beliau mengatakan bahwa tidak ada penularan penyakit, nasib buruk
dan kesialan kecuali pada tiga hal. Di situ beliau mendahulukan berita baik,
tentang tidak adanya penularan penyakit dan tidak benarnya ramalan nasib buruk
66
Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2008), h. 29. 67
Ibnu Hajar al-„Asqalâni, Fath al-Bâri bi Syarh Sahîh al-Bukhâri (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), jilid 28, h. 352.
62
62
dalam perkataan beliau bahwa kesialan itu pada tiga hal. Akan tetapi, kesialannya
bukan pada zat benda tersebut memiliki pengaruh, melainkan karena apa yang
Allah takdirkan pada benda tersebut berupa kebaikan dan keburukan.
Pemberitahuan Nabi Saw bahwa kesialan ada pada tiga hal itu tidak berarti
membenarkan tiyarah (nasib buruk) yang telah beliau nafikan. Akan tetapi,
tujuannya untuk menjelaskan bahwa Allah Swt terkadang menciptakan kesialan
atau kemalangan pada tiga hal itu bagi orang yang mendekati atau menempatinya.
Terkadang Allah Swt juga menciptakan keberkahan pada tiga hal tersebut,
sehingga orang yang mendekatinya tidak terkena kesialan atau keburukan.68
Pemahaman tentang adanya kesialan yang terdapat pada tiga hal: hewan,
perempuan (isteri) dan tempat tinggal bukan sesuatu ketetapan yang pasti dan
terus menerus melekat pada ketiga objek tersebut. Dari beberapa teks hadis di atas
bisa diketahui, bahwa kesialan atau suatu hal yang dapat menjadi sebab bencana
itu tidak ada. Bahkan hadis Nabi Saw menegaskan bahwa meyakini adanya
kesialan yang berasal dari sesuatu adalah termasuk perbuatan syirik dan syirik
termasuk dari dosa besar yang tidak diampuni, sehingga anggapan kesialan itu
tidak dibenarkan dalam Islam.
Bahkan di dalam al-Qur‟an surah Ali-„Imrân Allah Swt berfirman:
68
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Kesesatan Ramalan Bintang (Jakarta: Akbar Media Eka
Sarana, 2004), h. 188.
63
63
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini, Yaitu: perempuan-perempuan, anak-anak, harta yang
banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah
tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali-„Imrân/03: 14)
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah Swt mengabarkan dari apa yang
telah Dia jadikan indah pada pandangan manusia di kehidupan dunia ini, dari
macam-macam kenikmatan berupa enam macam yang didalamnya terdapat
perempuan dan hewan (kuda) sebagai kesenangan atau keindahan hidup.
Perempuan dan hewan (kuda) tidak selalu dinisbatkan dengan kesialan, karena
dua hal ini bisa menjadi kesenangan dan kebahagiaan seseorang dalam
hidupnya.69
69
Syaikh Ahmad Syakir, Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah Agus Ma‟mun, dkk.
(Jakarta: Darus Sunnah Press, 2014), jilid. 1, h. 845
64
64
BAB IV
PENDAPAT ULAMA TENTANG HADIS KESIALAN ADA PADA TIGA
HAL DAN RELEVANSI TERHADAP REALITAS KEHIDUPAN
MASYARAKAT MODERN
A. Pendapat Ulama Tentang Hadis Kesialan
Pembahasan ini mendiskusikan beberapa ulama berbeda pendapat
mengenai hadis ini, sebagian ada yang menetapkan adanya syu‟mu (kesialan),
adapula yang melarang dan adapula yang menafikan. Secara garis besar pendapat
para ulama tersebut dapat dibagi menjadi lima kelompok:
Pertama, ulama yang berpatokan kepada segi lahiriyah hadis-hadis
tersebut, dan mereka berpendapat kemungkinan adanya kesialan pada ketiga hal
dan mengharamkan tatayyur secara umum, sehingga hanya terbatas kepada ketiga
hal tersebut. Di antara para ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam
Malik, Ibnu Qutaibah dan al-Syaukani.1
Imam Malik memahami hadis ini berdasarkan teksnya. Sesungguhnya
rumah itu telah Allah jadikan tempat tinggal sebagai sebab terjadinya kesusahan
dan kehancuran. Begitu juga kesialan terhadap perempuan tidak dapat melahirkan
atau kuda atau pembantu yang terkadang menjadi kehancuran (kesialan) bagi
seseorang dengan kehendak Allah Swt. Dan maknanya terkadang kesialan terjadi
pada tiga perkara tersebut.2
1 Abdullah bin Umar ad-Dumaiji, Rahasia Tawakal dan Sebab Akibat (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2000), h. 198. 2 Abu al-„Ula Muhammad Abd al-Rahmân ibn „Abd al-Rahîm, Tuhfatul Ahwadzi Syarh
Jâmi‟ al-Tirmidzi (Riyadh: Bait al-Afkâr al-Dauliyyah, t.t.), h. 2114.
65
Sedangkan Ibnu Qutaibah mengatakan: bahwa kebiasaan masyarakat
jahiliyah adalah melakukan tatayyur, maka Nabi Saw melarang mereka untuk
melakukannya seraya mengajarkan bahwa sesungguhnya tiyarah itu tidak ada.
Namun, ketika mereka enggan meninggalkan kebiasaan itu, maka tersisa tiga hal
di atas. Beliau memahami hadis tersebut berdasarkan makna lahiriahnya.
Pernyataan ini berkonsekuensi bahwa seseorang yang menganggap sial dengan
salah satu dari tiga hal tersebut maka mereka akan ditimpa sesuatu yang tidak
diinginkan.3
Al-Syaukani mengatakan seperti yang dikutip oleh ad-Dumaji bahwa
Hadis mengenai kesialan menjadi mukhasis (pengkhusus) dari lafaz umum dalam
hadis “Tidak ada adwa dan tidak pula tiyarah, dan sesungguhnya kesialan itu ada
pada tiga hal.”4
Kedua, kelompok yang menyatakan bahwa hadis yang menetapkan
adanya kemalangan/kesialan itu menjadi mansukh. Kelompok ini diwakili oleh
Ibnu Hajar.
Menurut Ibnu Hajar, mengutip pendapat Ibnu „Abdil Barr, bahwa hadis Ini
diucapkan Nabi Saw pada awal mula Islam, dan setelah itu dinasakh oleh firman
Allah Swt: “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis di kitab (lauhul mahfudz) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah”. (QS. al-
Hadîd/57: 22). Akan tetapi penghapusan suatu dalil tidak dapat ditetapkan
berdasarkan kemungkinan. Terutama apabila dua dalil yang nampak bertentangan
3 Ibnu Hajar al-„Asqalāni, Fathul Bâri bi Syarh Sahîh al-Bukhâri (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), jilid. 16, h. 181. 4 Abdullah bin Umar ad-Dumaiji, Rahasia Tawakkal dan Sebab Akibat (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2000), h. 199.
66
dapat dikompromikan. Terlebih lagi dalam riwayat ini telah disebutkan penafian
tatayyur, kemudian ditetapkannya pada hal-hal yang telah disebutkan.5
Ketiga, kelompok yang mentakwilkan hadis tentang kesialan dalam
berbagai versi penafsiran. Tetapi penulis tidak menemukan nama-nama ulama
dalam kelompok ini siapa saja. Diantara penafsirannya yaitu:
1. Bahwa Nabi menyebutkan hal itu dalam rangka menjelaskan keyakinan
manusia dalam perkara tersebut. Dengan kata lain tidak dalam rangka
menetapkan hal itu. Namun, redaksi hadis-hadis sahih yang telah
disebutkan tidak menerima penakwilan ini. Ibnu al-„Arabi berkata:
“Pernyataan ini tidak dapat diterima, karena Nabi Saw tidak diutus untuk
mengabarkan keyakinan manusia masa lalu atau yang sedang berlangsung,
bahkan beliau diutus untuk mengajarkan mereka apa yang harus
diyakini.”6
2. Sebagian adapula yang menafsirkan bahwa kesialan ini jika mengenai istri
(perempuan) ialah tidak dapat melahirkan kemudian kekurangan ajaran,
tingkah lakunya, dan pertentangannya. Sialanya kuda yaitu tidak pernah
dibawa ke medan perang atau tidak bisa dimanfaatkan. Dan jika mengenai
rumah ialah apabila memiliki tetangga yang jahat.7 Pengertian semacam
ini di dasarkan pada hadis Sa‟ad bin Abi Waqas. Rasulullah Saw
mengatakan:
“Di antara yang membahagiakan manusia ada tiga macam dan yang
mencelakakannya tiga macam juga. Yang membahagiakan ialah istri yang
shalehah, kendaraan yang baik dan rumah yang nyaman. Sedangkan yang
5 Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul al-Bâri bi Syarh al-Bukhâri, jilid 16, h. 187.
6 Abdullah bin Umar ad-Dumaiji, Rahasia Tawakkal dan Sebab Akibat, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2000), h. 200. 7 Abu al-„Ula Muhammad Abd al-Rahmân ibn „Abd al-Rahîm, Tuhfatul Ahwadzi Syarh
Jâmi‟ al-Tirmidzi (Riyadh: Bait al-Afkâr al-Dauliyyah, t.t.), h. 2114.
67
mencelakakan ialah istri yang jahat, kendaraan yang buruk, rumah yang
buruk.”8
3. Seseorang harus menghindari perkara-perkara ini, jika dalam hatinya
terdapat kebencian terhadapnya. Hal ini untuk menjaga aqidah agar tidak
terjerumus dalam kebatilan dan mencegah hal-hal yang membahayakan.
Karena dikhawatirkan akibat kebencian yang berlebihan terhadapnya,
mendorong seseorang untuk meyakini bahwa tempat itu benar-benar
mendatangkan kesialan kemudian terjerumus dalam hal yang haram.
Pendapat ini didasarkan pada hadis Farwah bin Musaik. Ia mengatakan,
Saya berkata kepada Rasulullah:
“Ya Rasulullah tanah milik kami ini disebut tanah “abin”, yakni tanah
yang subur dan memberikan kami makanan namun saat ini terkena hama.
Bahkan hamanya sangat ganas. Nabi mengatakan, “Tinggalkan karena itu
akan menyebabkan penyakit dan bahaya”.9
4. Ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa maksud hadis ini adalah
bahwa ketiga perkara tersebut sering menyakitkan hati dikarenakan rasa
benci dari diri seseorang. Meskipun terkadang manusia menampik terdapat
kesialan didalamnya. Maka hadis ini memerintahkan untuk menghindar
dari ketiga perkara tersebut agar siksaan yang diakibatkan olehnya hilang.
Arti dari kesialan disini adalah dalam bentuk kebencian bukan siksaan
dalam arti yang sesungguhnya.10
5. Arti hadis ini adalah pemberitahuan Nabi tentang sebab-sebab yang
banyak mempengaruhi dilakukannya tatayyur, yakni ketiga perkara
tersebut dengan tujuan agar kita berhati-hati terhadapnya. Dengan kata
8 Hadis riwayat Ahmad ibn Hanbal, nomor hadis 1445, jilid. 3, h. 55.
9 Ibnu Hajar al-„Asqalâni, Fathul Bâri bi Syarh Sahîh al-Bukhâri (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), jilid. 16, h. 181. 10
Abdullah bin Umar ad-Dumaiji, Rahasia Tawakkal dan Sebab Akibat, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2000), h. 201.
68
lain, peristiwa-peristiwa dan musibah-musibah yang sering terjadi karena
perkara tersebut lah yang menyebabkan manusia merasa sial. Dan ketika
keyakinan itu memuncak, maka akan menimbulkan kembali kepercayaan
pada zaman jahiliyah terhadap tatayyur yang dilarang Nabi.11
6. Sasaran pembicaraan hadis ini adalah mereka yang biasa melakukan
tatayyur dan tidak dapat melepaskan diri dari kungkungannya, sehingga
Nabi Saw mengatakan: “Kesialan itu biasanya menimpa dalam perkara-
perkara di atas” dan jika yang demikian menimpamu, maka tinggalkanlah
dan jangan menyiksa diri sendiri”. Di antara yang mendukung penafsiran
ini adalah pelarangan Nabi terhadap tatayyur yang akan menimpa.
Dasarnya adalah hadis: “Dilarang meramal mengenai nasib buruk.
Kalaupun ada ramalan mengenai hal itu maka itu mengenai istri, tempat
tinggal, dan kendaraan.”12
Tentang hal ini Ibnu Qayyim berkomentar, sekelompok yang lain
mengatakan “Kesialan dalam tiga perkara ini sebenarnya akan menimpa mereka
yang pesimis dan meramalkan keburukannya sehingga akhirnya benar-benar
tertimpa. Namun mereka yang bertawakkal kepada Allah dan tidak pesimis dan
tidak pula meramalkannya maka tidak akan tertimpa.13
Keempat, kelompok yang mengingkari hadis ini dan menentang
keberadaannya. Di antara riwayat-riwayat yang menentangnya ialah:
11
Abdullah bin Umar ad-Dumaiji, Rahasia Tawakkal dan Sebab Akibat, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2000), h. 201. 12
Abdullah bin Umar ad-Dumaiji, Rahasia Tawakkal dan Sebab Akibat, h. 201. Lihat
juga Miftah Dârus Sa‟adah, h. 613. 13
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu al-Syaikh, Fathul Majid Syarh Kitab al-Tandib.
Penerjemah Izzudin Karimi, dkk. (Jakarta: Darul Haq, 2015), h. 733.
69
1. Riwayat Ahmad, Ibnu Huzaimah dan Al-Hakim dari Qatadah melalui Abu
Hassan:
“Sesungguhnya dua orang laki-laki dari Bani Amir mendatangi Aisyah
radiyallâhu anhu dan mengatakan, Abu Hurairah mengatakan bahwa
Rasulullah Saw telah bersabda: “Kesialan itu terdapat pada kuda, wanita
dan tempat tinggal”. Mendengar hal ini Aisyah sangat marah dan
mengatakan: “Rasulullah tidak pernah mengatakannya. Yang
dikatakannya ialah sesungguhnya orang-orang jahiliyah biasa merasa
pesimis karena perkara-perkara tersebut”.14
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Aisyah mengingkari hadis ini dan
mengatakan:15
“Demi Allah yang telah menurunkan furqan (Qur‟an) kepada Abu Qasim
(Muhammad), siapa yang meriwayatkan mengenai hal ini maka ia telah
berdusta. Yang dikatakan oleh Rasulullah ialah:
“Orang-orang jahiliyah mengatakan: ramalan tentang nasib buruk itu
dalam hal istri, rumah dan kendaraan. Kemudian Aisyah membaca: “Tiada
suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum
Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah
bagi Allah”. (QS. al-Hadîd/57: 22)
2. Abu Daud al-Tayalisi meriwayatkan dalam musnad nya dari Muhammad
bin Rasyid dari Makhul, dia berkata, dikatakan kepada Aisyah
radiyallâhu‟anhu Sesungguhnya Abu Hurairah RA berkata Rasulullah
Saw bersabda: “Kesialan ada pada tiga tempat: rumah, perempuan dan
kuda”. Aisyah menjawab: Abu Hurairah tidak sempurna meriwayatkan
hadis itu, hanya saja Abu Hurairah masuk ketika Rasulullah Saw sedang
bersabda: “Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi yang
mengatakan kesialan terdapat pada tiga hal: rumah, perempuan dan
14
Ibnu Hajar al-„Asqalâni, Fathul Bâri bi Syarh Sahîh al-Bukhâri (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), jilid. 16, h. 183. 15
Ibnu Hajar al-„Asqalâni, Fathul Bâri bi Syarh Sahîh al-Bukhâri. Jilid. 16, h. 181.
70
kuda. Abu Hurairah mendengar akhir hadis tersebut, tapi tidak mendengar
awalnya.16
Status hadis ini dinilai munqathi‟17
karena salah seorang perawinya, yaitu
Makhul tidak mendengar langsung riwayat ini dari Aisyah dan diragukan pernah
bertemu Aisyah, maka ada perantara antara Makhul dengan Aisyah yang tidak
dicantumkan dalam riwayat tersebut.18
Al-Zarkasyi mengatakan, “Sebagian para
ulama hadis mengatakan bahwa riwayat Aisyah mengenai masalah ini, Insya
Allah benar adanya karena kesesuaian dengan larangan Nabi Saw terhadap
kesialan dalam bentuk larangan menyeluruh dan kebencian terhadapnya serta
kesenangan apabila hal itu ditinggalkan.19
Kelima, kelompok yang mengatakan bahwa hadis “Kesialan dalam tiga
hal” sama sekali tidak menunjukkan pada penetapan kesialan yang dilarang oleh
Allah, tapi ia merupakan bentuk pernyataan sebab akibat. Siapa yang menganggap
sial dan bersikap pesimistis maka Allah akan menjadikan perbuatannya itu
sebagai sebab terjadinya sesuatu yang mereka tidak senangi. Sebaliknya, siapa
yang bertawakkal kepada Allah tidak bersikap pesimis, dan tidak menganggap sial
sesuatu maka mereka akan terhindar dari sesuatu yang tidak disenangi dan akan
mendapatkan manfaat.20
Mengenai hadis ini para perawi berselisih dalam redaksinya. Diantara
mereka ada yang meriwayatkan sebagaimana dalam terjemah. Sebagian lagi
memberi tambahan pada bagian awal dari redaksinya sehingga terkesan
menunjukkan tidak adanya ramalan mengenai tiyarah ataupun kesialan.
16
Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul al-Bâri bi Syarh al-Bukhâri, jilid 16, h. 183. 17
Hadis yang sanadanya tidak bersambung, dari sisi manapun terputusnya. 18
Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci (Jakarta: Transpustaka, 2013), h. 218. 19
Abdullah bin Umar ad-Dumaiji, Rahasia Tawakkal dan Sebab Akibat, h. 205. 20
Abdullah bin Umar ad-Dumaiji, Rahasia Tawakkal dan Sebab Akibat, h. 206.
71
Penulis menyimpulkan bahwa penulis sependapat dengan ulama yang
mengingkari hadis ini dan menentang keberadaannya. Melalui riwayat Imam
Ahmad yang meriwayatkan dari jalur lain:
، دخل على ان العرج، أن رجلي ث نا سعيد، عن ق تادة، عن أب حس ث نا روح، حد حدث أن نب اهلل صلى اهلل عليه وسلم، كان ي قول: " إ ا عائشة ف قال: إن أبا هري رة يد ن
ة ف ال ماء، وشق ها ف الس ة من ار " قال: فطارت شق ابة، والد رض، الطي رة ف المرأة، والد ف قالت: والذي أن زل القرآن على أب القاسم ما هكذا كان ي قول، ولكن نب اهلل صلى اهلل
ار والد ابة " ث عليه وسلم كان ي قول: " كان أهل الاهلية ي قولون: الطي رة ف المرأة والدق رأت عائشة: }ما أصاب من مصيبة ف الرض ول ف أن فسكم إل ف كتاب{ ]احلديد:
21[ إل آخر الية 22
“Telah menceritakan kepada kami Rauh telah menceritakan kepada kami
Sa'id dari Qatadah dari Abu Hassan Al A'raj bahwa ada dua orang lelaki
masuk menemuinya, keduanya berkata; Sesungguhnya Abu Hurairah
menceritakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda:
"Sesungguhnya bagian dari thiyarah (kesialan) ada pada wanita, kuda, dan
rumah." Dia berkata; "Sebagiannya terbang ke langit dan sebagiannya di
bumi." Aisyah berkata; "Demi Yang menurunkan Al Qur'an kepada Abi Al
Qasim (Muhammad), tidak seperti ini yang dikatakan beliau. Akan tetapi,
Nabi Allah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang-orang jahiliyah
mengatakan; 'Athiyarah adalah pada wanita, rumah, dan kuda." Kemudian
Aisyah membacakan: Tidaklah suatu musibah yang menimpa bumi dan
diri kalian kecuali telah ditetapkan --sampai pada akhir ayat--
Hadis ini kedudukannya lebih rendah dibandingkan hadis al-Bukhari dan
Muslim, akan tetapi matan hadis riwayat „Aisyah yang di kutip oleh Imam Ahmad
sangat relevan dengan hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim yang terkesan
misoginis. Kritikan „Aisyah menggunakan ayat al-Qur‟an terhadap periwayatan
Abu Hurairah menjadikan hadis tersebut “tandingan yang seimbang” terhadap
riwayat al-Bukhari dan Muslim melalui jalur Ibnu Umar, dengan melihat materi
21
Al-Imâm al-Hâfiz Abî „Abdullah Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad ibn
Hanbal (Riyadh: Bait al-Afkâr al-Dauliyah, 1997), h. 197.
72
kritikan (matan hadis), yaitu surah al-Hadîd/57: 22. Perbandingan ini menjadikan
sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa riwayat „Aisyah telah mendekati
kebenaran, Insya Allah, karena lebih sesuai dengan larangan Nabi secara umum
tentang tatayyur, dan sesuai dengan ayat al-Qur‟an, surah al-Hadîd/57: 22.
B. Kontekstualisasi dan Relevansinya
Hadis harus dipahami secara kontekstual artinya sesuai dengan mengikuti
konteks yang ada pada masa itu, baik sosial, budaya dan ilmu pengetahuan yang
berkembang ketika itu. Maka ketika konteks kehidupan umat berubah dan
berkembang, maka tentunya pesan yang terkandung di dalam hadis, demikian juga
cara memahaminya harus disesuaikan pula dengan konteks kehidupan yang
berkembang tersebut.22
Penjelasan para ulama hadis tentang pengecualian terhadap tiga hal yang
disebutkan dalam hadis, lebih mengarah kepada konteks sosial yang terjadi pada
saat hadis tersebut diungkapkan. Imam al-Qurtubi menggunakan kata aktsar mâ
-Imam Hattabi menggunakan kata ghâlib al ,(kebanyakan yang terjadi / اكثرما)
ahwâl (غالب االحوال) / kebiasaannya), Ibn al-„Arabi menggunakan kata al-„addah
Maka hadis ini berkenaan dengan orang orang Arab .(adat, kebudayaan / عدة)
jahiliyah yang amat sangat percaya akan adanya kesialan karena sesuatu yang
mereka lihat dan mereka dengar. Oleh karena itu, hadis tersebut tidak dapat
dijadikan legitimasi terhadap suatu kebiasaan atau adat di daerah dan waktu
tertentu.23
22
Nawer Yuslem, “Kontekstualisasi Pemahaman Hadis”, MIQOT Vol. XXXIV No. 1
Januari-Juni 2010, h. 18. 23
Abdullah bin Umar ad-Dumaiji, Rahasia Tawakkal dan Sebab Akibat (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2000), h. 212.
73
Meski sebuah hadis sudah dikatakan sahîh, bukan berarti kita bisa
sembunyi dibalik kesahîhannya, namun dalam proses memahami dan
mengamalkan hadis harusnya disertai dialog dengan ilmu-ilmu yang berkembang
saat ini, sehingga proses fiqh al-hadis atau living hadis terasa sesuai dengan
konteks kekinian.24
Perempuan yang tidak dapat memberikan keturunan dianggap membawa
sial, maka laki-laki juga dapat membawa sial. Keturunan (anak) adalah hasil
pembuahan antara sel telur yang dimiliki istri dan sel sperma yang dimiliki suami
yang terjadi di dalam rahim. Maka keduanya mempunyai potensi yang sama
dalam pembuahan dan mempunyai potensi kegagalan yang sama atau salah satu
alat alat reproduksi suami istri tidak berfungsi. Alasan mandul pada istri adalah
alasan yang sangat misoginis.25
Seorang suami dapat menikahi perempuan lain (poligami) ketika istrinya
tidak dapat memberikan keturunan dan alasan ini dibenarkan, akan tetapi apabila
seorang suami yang mengalami mandul (potensi tidak dapat memberikan
keturunan) maka istri tidak dapat melakukan poliandri, yang dapat dilakukan
adalah khuluk (gugagatan cerai). Alasan mandul untuk menjelaskan hadis tersebut
tidak dapat menghilangkan kehilangan kesan misoginis. Akan tetapi mengalami
potensi mengalami kemandulan dapat dialami oleh suami dan istri, maka
keduanya laki-laki dan perempuan, mempunyai potensi pula untuk mendatangkan
kesialan bagi orang lain, bukan hanya perempuan.26
24
Muhammad Rikza Muqtada, “Kritik Nalar Hadis Misoginis”, Musawa, Vol. 13, No. 2,
(Desember 2014): h. 11 25
Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci (Jakarta: Transpustaka, 2013), h. 224. 26
Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci (Jakarta: Transpustaka, 2013), h. 224.
74
Bahkan asumsi terhadap perempuan sebagai pembawa sial termasuk dari
pernyataan pesimis atas berprasangka buruk kepada Allah Swt dan itu dilarang.
Nabi sendiri menganjurkan seseorang untuk mempunyai prasangka yang baik atau
rasa optimis, karena itu adalah prasangka yang baik atau husnuzan terhadap apa
yang ditetapkan oleh Allah Swt kepada makhluknya. Ini hanya bertepatan dengan
qada dan qadar tanpa menyatakan bahwa kebaikan ataupun keburukan tidak ada
yang dapat mendatangkannya kecuali Allah Swt.27
Kesialan pada kuda terjadi karena lambat jalannya sehingga tidak dapat
dimanfaatkan. Melihat perkembangan zaman yang sangat pesat, maka nikmat
Allah yang diberikan kepada manusia begitu banyak sehingga manusia bisa
membuat berbagai macam kendaraan. Dahulu hanya mengendarai binatang-
binatang berupa keledai, kuda dan lainnya.
Kemudian di zaman sekarang kendaraan diwujudkan dalam bentuk yang
lebih bagus, kuat, lebih indah, dan lebih cepat. Sehingga anggapan kuda atau
kendaraan dapat membawa sial tidak berlaku lagi. Karena zaman sekarang semua
orang beraktifitas tidak lagi menggunakan kuda, akan tetapi menggunakan motor,
mobil atau kendaraan yang lainnya. Jika kendaraan itu mengalami masalah seperti
mogok, kendaraannya rusak atau yang lainnya maka bisa dibawa ke bengkel
untuk diperiksa dan dibetulkan kendaraannya. Sehingga kesialan pada kuda atau
sekarang dapat dikatakan dengan kendaraan itu tidak ada.
Kesialan yang terjadi pada rumah apabila rumah yang kita miliki sempit,
dan tetangganya buruk. Faktanya kebanyakan orang sebelum memiliki rumah ia
terlebih dahulu mencari rumah yang letaknya strategis, luas dan nyaman. Agar
27
Ibnu Hajar al-„Asqalâni, Fathul Bâri bi Syarh Sahîh al-Bukhâri (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), jilid. 25, h. 124.
75
pada saat menempati rumah itu seseorang bisa tinggal dengan tenang dan aman.
Keluasan rumah tergantung kepada keluasan hati seseorang. Jika ia bersyukur
dengan rumah yang dimilikinya, bagaimanapun ukurannya, maka ia selalu
merasakan kelapangan, ketenangan dan kebahagiaan. Seperti hadis Nabi Saw,
yang artinya:
"Sesungguhnya rumah akan terasa luas bagi penghuninya, para malaikat akan
mendatanginya, setan-setan akan menjauhi dan kebaikannya akan bertambah jika
al-Qur'an dibaca di dalamnya. Dan rumah akan terasa sempit bagi penghuninya,
para malaikat menjauhinya, setan-setan datang dan kebaikannya berkurang jika di
dalamnya tidak dibacakan al-Qur'an."28
Dapat dipahami bahwa rumah yang luas yaitu rumah yang penuh dengan
keberkahan, keluasan, dan ketaqwaan kepada Allah Swt. Sedangkan rumah yang
sempit yaitu yang tidak digunakan untuk ketaqwaan kepada Allah Swt sehingga
keburukan yang akan ada di dalamnya.
Hendaknya seorang muslim pandai memilih tetangga yang akan menjadi
pendamping bagi kehidupannya. Tetangga di zaman ini punya pengaruh yang luar
biasa bagi tetangga lainnya akibat berdempetannya rumah dan perkampungan
serta munculnya berbagai ragam perumahan. Jika ia baik, maka tetangga bisa
baik. Namun jika ia buruk, maka kita sebagai tetangga jangan membalasnya
dengan keburukan pula. Bila memperhatikan realita di zaman kini, keburukan
tersebar di banyak tempat. Oleh karena itu, harus berhati-hati dalam mencari
rumah dan tetangga.
Tiga hal yang disebutkan Nabi (kuda, perempuan dan rumah) adalah
sesuatu yang sangat akrab dengan kehidupan manusia, apabila ketiga hal ini tidak
ada, maka akan terasa kurang dan mencari untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
28
Abu Muhammad „Abdullâh bin „Abd al-Rahman ibn al-Fadl ibn Bahrâm ibn „Abd al-
Samad al-Darimî, Musnad al-Darimi (T.tp.: Dâr al-Mughni, 2000), jilid 4, h. 2085.
76
Perkembangan zaman mempengaruhi pemahaman kepada tiga hal tersebut,
materinya dapat berubah, tapi esensinya tetap sama. Kebutuhan pada tiga hal
tersebut sangat mempengaruhi perilaku manusia, maka tidak boleh ada kesalahan
pada tiga hal tersebut sebagai pelarian, karena itulah yang terdekat dengan
kehidupan manusia.29
Jika ketiga hal tersebut tidak dapat menyebabkan madarat sedikitpun, baik
secara umum maupun khusus. Maka itu tidak perlu di anggap, bahkan syariat
mengingkarinya. Jika diyakini itulah tiyarah (ramalan nasib sial atau pesimis).
Dan tiyarah merupakan perbuatan diharamkan dan mengandung unsur
kemusyrikan.
Allah Swt menjadikan prasangka buruk dan rasa pesimis itu sebagai sebab
munculnya hal-hal yang tidak dikehendaki, sebagaimana Dia menjadikan rasa
percaya, tawakkal, dan hanya takut kepada-Nya, sebagai sebab yang menolak
kemalangan itu menjadi sasaran panah kemalangan dan bencana. Panah itu
sedemikian cepat membinasakannya karena ia tidak dibentengi oleh tauhid dan
tawakkal kepada Allah Swt.30
Siapa yang takut kepada selain Allah Swt, maka apa yang ia takutkan itu
akan menimpanya. Sebagaimana orang yang mencintai selain Allah Swt, maka ia
akan disiksa cintanya itu. Demikian juga dengan orang yang bergantung pada
selain Allah Swt, maka ia akan menemui kekecewaan. Ini adalah hal-hal yang
telah dibuktikan oleh pengalaman dan tidak lagi memerlukan bukti tambahan.
Jiwa memang terkadang melakukan rabaan dan ramalan, namun seorang mukmin
yang kuat imannya akan menolak ramalan itu dengan bertawakkal kepada Allah
29
Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci (Jakarta: Transpustaka, 2013), h. 227. 30
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Kesesatan Ramalan Bintang (Jakarta: Akbar Media Eka
Sarana, 2004), h. 187.
77
Swt. Karena sesungguhnya orang yang bertawakkal kepada Allah Swt, ia akan
dicukupkan dari yang lain.31
Dengan demikian hadis ini tidak dapat dipahami secara tekstual bahwa
kesialan terdapat pada tiga hal: kuda, perempuan dan rumah. Jika melihat dari
asbabul wurud yang diturunkan bahwa Nabi Saw menyampaikan bukan dalam
bentuk penegasan, akan tetapi menggunakan kalimat pengandaian yang mana
sesuatu yang dikatakan belum tentu akan terjadi. Bahwa tidak ada sesuatu yang
dapat membawa kesialan, di dalam hadis dikatakan kalaupun ada hal yang
menyebabkan kesialan, itu terdapat pada tiga hal tersebut, namun tidak bersifat
mutlak. Artinya, tiga hal tersebut akan membawa kesialan jika memiliki kriteria
yang bersifat negatif. Sedangkan jika memiliki kriteria yang positif, maka tidak
akan menyebabkan kesialan. Dengan demikian hal yang dapat menyebabkan
kesialan tidak hanya terbatas kepada tiga hal tersebut, melainkan akan berlaku
pula bagi segala sesuatu yang mempunyai sifat-sifat negatif dan akan menimpa
kepada siapapun yang meyakini bahwa sesuatu dapat menyebabkan kesialan.
Karena pada hakikatnya tiga hal ini tidak akan bisa memberikan manfaat dan
mudarat kecuali dengan izin Allah semata.
31
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Kesesatan Ramalan Bintang (Jakarta: Akbar Media Eka
Sarana, 2004), h. 187.
78
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah penulis paparkan dalam bab-bab
sebelumnya mengenai kesialan ada pada tiga hal: hewan tunggangan, perempuan
(isteri) dan tempat tinggal dengan menggunakan metode ma’âni al-hadîs, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Makna al-Syu’mu (kesialan) yang terdapat dalam hadis adalah
ketidaksesuaian terhadap apa yang diinginkan seseorang atau merasa tidak
beruntung sehingga menimbulkan perasaan merasa sial. Al-Faras dan al-
Dabbah mempunyai makna yang tidak jauh berbeda, yaitu hewan yang
dapat ditunggangi, kemudian al-Mar’ah yaitu perempuan yang sudah
dewasa atau isteri. Al-Maskan dan al-Dâr memiliki pengertian yang sama
yaitu tempat tinggal. Ketiga hal yang disebutkan dalam hadis berupa
hewan tunggangan, perempuan (isteri) dan tempat tinggal, dianggap
membawa kesialan bukan dalam pengertian yang sebenarnya dan juga
bukan sebagai penyebab kesialan, akan tetapi ada beberapa faktor yang
melekat pada tiga hal tersebut. Seperti hewan tunggangan dikatakan
membawa sial yaitu apabila lambat jalannya, tidak bisa dimanfaatkan
untuk berperang. Perempuan (isteri) yang tidak bisa melahirkan (mandul),
panjang lidah (suka ngomel). Kemudian kesialan pada tempat tinggal
apabila seseorang memiliki rumah yang sempit dan tetangga yang buruk.
Hal ini terjadi bukan karena naluri atau fitrah yang melekat kepada ketiga
79
79
hal tersebut, melainkan karena apa yang Allah takdirkan pada ketiga hal
tersebut berupa kebaikan dan keburukan. Hadis ini bertentangan dengan
al-Qur’an surah al-Hadîd ayat 22 yang mengatakan bahwa segala musibah
atau bencana yang terjadi di bumi dan manusia itu sudah ditetapkan oleh
Allah dan sudah tertulis di Lauhul Mahfuz.
2. Hadis kesialan ada pada tiga hal: hewan tunggangan, perempuan (isteri)
dan tempat tinggal tidak relevan dengan konteks sekarang, karena makna
kesialan tersebut berkembang pada zaman masyarakat Arab jahiliyah,
yang mana berarti pada zaman sekarang kesialan itu tidak ada. Tetapi
dalam perjalanannya, ketiga hal tersebut bisa saja ditakdirkan bersifat baik
atau buruk, dan bagaimana masing-masing individu memaknai musibah
yang terjadi itu sebagai bentuk kesialan atau bukan. Kebutuhan kepada
tiga hal tersebut tidak selalu mempengaruhi perilaku manusia bahkan
ketiga hal tersebut terkadang dapat membawa keberuntungan dan
kebahagiaan.
B. Saran
Hendaklah seseorang tidak merasa sial atau meyakini bahwa sesuatu dapat
mendatangkan kesialan, karena itu termasuk perbuatan syirik. Sebagai muslim
kita diperintahkan untuk beriman kepada Allah. Bahwa jika terjadi suatu musibah
atau kesialan yang terjadi menimpa kita, itu tidak lain telah ditetapkan oleh Allah
dan telah menjadi takdir Allah, bukan karena suatu benda atau seseorang yang
dapat mendatangkan kesialan.
80
80
DAFTAR PUSTAKA
‘Abd al-Rahîm, ibn Abu al-‘Ula Muhammad Abd al-Rahmân, Tuhfatul Ahwadzi
Syarh Jâmi’ al-Tirmidzi. Riyadh: Bait al-Afkâr al-Dauliyyah, t.t.
Al-‘Asqalâni, Ibnu Hajar, Fathul Bâri bi Syarh Sahîh al-Bukhâri. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta:
Bina Aksara, 1989.
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan
Bintang, 1974.
Athaillah, Rasyid Rida; Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manâr, T.tp.:
Erlangga, t.t.
Baharuddin, Achwan, Visi–Misi Ma’anil Hadis dalam Wacana Studi Hadis.
Tafaqquh vol. 2, no. 2. Desember, 2014.
Balfas, ‘Abdurrahman Hasan, Hukum Keyakinan Sial Terhadap Sesuatu, T.tp.:
Pustaka Ibnu ‘Umar, 2016.
Budiwiyanto, Joko, Rumah Tradisional Jawa Dalam Sudut Pandang Religi.
Jurnal Ornamen, vol. 10, no. 1. Januari 2013.
Bustamin, Dasar-Dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Ushul Press, 2009.
_____, & Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2004.
Channa AW, Liliek, Memahami Makna Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual.
Ulumuna vol. XV, no. 2. Desember 2011.
Al-Damsyiqi, Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi, Asbabul Wurud II: Latar
Belakang Historis Timbulnya Hadis-Hadis Rasul (Jakarta: Kalam Mulia,
2004.
81
81
Al-Darimî, Abu Muhammad ‘Abdullâh bin ‘Abd al-Rahman ibn al-Fadl ibn
Bahrâm ibn ‘Abd al-Samad, Musnad al-Darimi, Jilid 4. T.tp.: Dâr al-
Mughni, 2000.
Dhaif, Syauqi al-Mu’jam al-Wasît. Mesir: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah,
2004. cetakan ke-4.
Al-Dumaiji, ‘Abdullâh bin ‘Umar, Rahasia Tawakkal dan Sebab Akibat. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2000.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1999.
Fudhaili, Ahmad, Perempuan di Lembaran Suci. Jakarta: Transpustaka, 2013.
HAM, Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah: Impilkasi Pada Perkembangan Hukum
Islam. Semarang: Aneka Ilmu, 2000.
Hanbal, ibn Al-Imâm al-Hâfiz Abî ‘Abdullah Ahmad. Musnad al-Imâm Ahmad
ibn Hanbal. Riyadh: Bait al-Afkâr al-Dauliyah, 1997.
Haq, Abi al-Tayyib Muhammad Syamsul, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abî Daud,
Jilid 10. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik.
Jakarta: Paramadina, 1996.
Ibrahim, ibn Abî ‘Abdillâh Muhammad bin Ismâ’îl, Jami’ Sahîh al-Bukhâri.
Kairo: Majlis al-a’la Lisunil al-Islamiyyah, 1410.
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
_____, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’anil Hadis Tentang
Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Jakarta: Bulan
Bintang, 2009.
Al-Ja’fi, Muhammad ibn Ismâ’îl Abu ‘Abdillâh al-Bukhâri, Sahîh Bukhâri.
Beirut: Dār al-Fikr, t.t.
82
82
Katsîr, Ibnu, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, jilid 3. Beirut: Dâr Taibah, 2008.
Kementrian Agama RI, Hewan dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains, Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2012.
Al-Khurâsânî, Abu ‘Abd al-Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn ‘Alî, Sunan al-
Nasâ’î. Beirut: Dâr al-Fikr, 2005.
Al-Madînî, Mâlik ibn Anas ibn Mâlik ibn Amir al-Asbahî. al-Muwatta, Beirut:
Muassasah al-Risâlah, 1412.
Al-Masri, Abi al-Fadl Jamâluddin bin Muhammad bin Mukrim Ibnu Manzur al-
Ifrâqi, Lisan al-‘Arab, Jilid 12. Beirut: Dâr al-Fikr, 1968.
Muhammad al-Sayyim, Rumah Penuh Cahaya, Yogyakarta: Tiga Lentera Utama
(L3U) Press, 2000.
Muhammad ibn Hibban ibn Ahmad ibn Hibban, al-Ihsân fî Taqrîb Sahîh Ibn
Hibban, Jilid 18. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1988.
Munawwar, Said Agil Husin, Asbabul Wurud: Studi Kritis Hadis Pendekatan
Sosio-Historis-Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997.
Muqtada, Muhammad Rikza, Kritik Nalar Hadis Misoginis, Musawa, Vol. 13,
No. 2. Desember 2014.
Al-Naisâbûrî, Al-Imam al-Hafiz Abi al-Husain Muslim ibn Hajjâj al-Qusyairî,
Sahîh Muslim, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2003), h. 1115.
Al-Nawawi, Imam, Syarah Sahîh Muslim. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2014.
Norlayla, Hadis tentang Ujian Hidup dengan Anak Perempuan: Kajian Fiqh Al-
Hadits. Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Antasari
Banjarmasin, 2015.
83
83
Qardhawi, Yusuf, Bagaimana Memahami Hadis Nabi, Penerjemah Muhammad
al-Baqir. Bandung: Karisma, 1993.
_____, Yusuf, Fiqih Jihad; Sebuah Karya Monumental terlengkap Tentang Jihad
menurut al-Qur’an dan Sunnah. Bandung: PT Mizan Publika, 2010.
Al-Qurtubi, Syaikh Imam, Tafsir al-Qurtubi, Jilid 7. Penerjemah Sudi Rosadi,
dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Shafiyyur, Syaikh Rahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2008.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1999.
_____, Perempuan; dari Cinta sampai Seks dari Nikah Mut’ah sampai Nikah
Sunnah dari Bias Lama sampai Bias Baru. Jakarta: Lentera Hati, 2005.
Al-Sijistâni, Abî Dâud Sulaimân ibn al-Asy’ats, Sunan Abî Dâud. Riyadh: Bait al-
Afkâr al-Dauliyyah, 1994.
Sholikha, Niamatus “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jasa Transportasi Online
Go-Jek Berdasarkan Contract Drafting Dengan Akad Musharakah Yang
Diterapkan Oleh PT Go-Jek Indonesia Cabang Tidar Surabaya. Thesis S2
UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016.
Syaikhudin, Perempuan yang Membatalkan Sholat, Musawa, vol. 10, no. 1.
Januari 2011.
Syakir, Syaikh Ahmad, Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Darus Sunnah,
2014.
Subgyo, Joko, Metodologi PenelItian, Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1994.
Subhan, Zaitunah, Al-Qur’an dan Perempuan; Menuju Kesetaraan Gender dalam
Penafsiran. Prenadamedia Grup, 2015.
84
84
Surahmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito, 1994.
Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi; Perspektif Muhammad al-
Ghazali dan Yusuf al-Qardhawi, Yogyakarta: Teras, 2008.
Al-Syaikh, Syaikh Abdurrahman ibn Hasan Alu, Fathul Majid Syarh Kitab al-
Tandib. Penerjemah Izzudin Karimi, dkk. Jakarta: Darul Haq, 2015.
Syaikh Ahmad Syakir, Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir, jilid 1. Penerjemah Agus
Ma’mun, dkk. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2014.
Al-Suyûti, al-Hâfidz Jalâluddin, Sunan al-Nasâ’î bi Syarh Jalâluddin al- Suyûti,
Jilid 3. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
Taimiyyah, Ibnu, Baik dan Buruk: al-Hasanah wa al-Sayyi’ah. Penerjemah Fauzi
Faisal Bahreisy. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, t.t.
Al-Tirmizî, Muhammad ibn ‘Îsâ ibn Saurah, Sunan al-Tirmidzî. Riyadh: Bait al-
Afkâr al-Dauliyyah, 297.
Ulamai, Hasan Asy’ari, Melacak Hadis Nabi Saw Cara Cepat Mencari Hadis
Dari Manual Hingga Digital. Semarang: RaSAIL, 2006.
Wahidah, Fatira, Al-Mar’ah dalam Hadis Nabi SAW. Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri Sultan Qaimuddin Kendari.
Wensick, A.J, Mu’jam al-Mufahharas li alfâz al-Hadis al-Nabawî, jilid 3. Breil:
Leiden, 1936.
Yazîd, ibn Al-Hâfiz Abi ‘Abdillâh Muhammad, Sunan Ibnu Mâjah. Riyadh: Bait
al-Afkâr al-Dauliyyah, t.t.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia. Ciputat: Mahmud Yunus Wa
Dzurriyah, 2010.
Zulfa, Indana, Pandangan Hadis Terhadap Tatayyur (Studi Kasus Tradisi
Pemilihan Pasangan dan Hari Pernikahan dengan Perhitungan Jawa di
85
85
Desa Dukuh Kembar Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik). Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2015.