kasus fauziah fachri

Upload: aci-lusiana

Post on 08-Oct-2015

5 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

kasus

TRANSCRIPT

TUGAS UNDANG UNDANG FARMASIKASUS OBAT TRADISIONAL

OLEH :FAUZIAH FACHRI, S.Farm

ANGKATAN IPROGRAM PROFESI APOTEKERFAKULTAS FARMASIUNIVERSITAS ANDALASPADANG2015

Kasus Obat TradisionalDihimpun dari berita elektronik Detik dan Kompas yang memberitakan bahwa sampai saat ini masih banyak jamu kemasan yang mencampurkan bahan kimia obat ke dalam jamu. Kasus ini sebenarnya telah terjadi sejak lama, tetapi peredaran jamu yang mengandung zat kimia selalu ada dengan nama yang lain. Hai ini menjadi bukti bahwa para produsen jamu yang menyatakan menggunakan zat alami (semacam herbal) dalam produknya tidak percaya diri dengan kasiat jamu yang diproduksinya, sehingga merasa perlu menambahkan zat kimia yang mempunyai efek lebih cepat. Obat tradisional yang dicampur dengan bahan kimia obat juga tak kalah berbahayanya. Bila dikonsumsi lama bisa menimbulkan sakit liver, gagal ginjal, tukak lambung sampai muntah darah, dan juga pecahnya pembuluh darah di otak. Karena sebetulnya penggunaan obat kimia harus atas pengawasan dokter dan tidak boleh digunakan untuk jangka panjang.Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) dengan Marius Widjajarta sebagai ketuanyamelakukan survei lapangan di 5 kota yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya. Mereka melakukan survei produk yang sudah di-public warning oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) pada 2001-2012, namun kenyataannya masih banyak beredar jamu yang berbahaya di pasaran.Menurut Marius Widjajarta, bahan kimia yang terkandung di jamu berbahaya itu misalnya yang termasuk golongan analgetik dengan resep dokter. YPKKI juga menemukan kandungan obat pelangsing yang sudah ditarik BPOM pada 18 Oktober 2010 di dalam produk jamu, dan bahkan menemukan obat-obatan dari China yang mengandung bahan kimia obat.Di daerah lain, Dinas Kesehatan Wonosobo, Jawa Tengah mengingatkan warga terkait peredaran 29 merk obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat (BKO). Jamu-jamu tersebut dinilai berbahaya bahkan jika digunakan tidak dengan dosis yang benar bisa menyebabkan kematian.Kepala Dinas Kesehatan Wonosobo dr. Okie Hapsoro, Selasa (19/2/2013) mengatakan hal tersebut menindaklanjuti peringatan publik dari Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia. Peringatan tersebut terkait peredaran obat tradisional dan suplemen makanan yang mengandung BKO. "Obat tradisional maupun suplemen makanan yang mengandung BKO memiliki resiko dan efek samping negatif bila dikonsumsi tanpa pengawasan dokter. Beberapa contoh zat kimia yang memiliki efek samping di antaranya adalah Sibutramin Hidroklorida," jelasnya.

1. Kajian Pelanggaran Etika dan Undang-UndangPelanggaran-pelanggaran yang terkait mengenaiproses kasus yang tercantum di atas adalah:a. Persyaratan usaha industri obat tradisional danusaha industri kecil obat tradisional(SK NOMOR 007 TAHUN 2012 TENTANG REGISTRASI OBAT TRADISIONAL).

Pasal 71. Obat tradisional dilarang mengandung:1. Etil alkohol lebih dari 1%, kecuali dalam bentuk sediaan tingtur yang pemakaiannya dengan pengenceran;2. bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat;3. narkotika atau psikotropika; dan/atau4. bahan lain yang berdasarkan pertimbangan kesehatan dan/atau berdasarkan penelitian membahayakan kesehatan.2. Bahan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditetapkan dengan Peraturan Kepala Badan.Analisa Kasus:Dalam kasus, ditemukan obat tradisional yang mengandung BKO di pasaran. Obat tradisional tersebut dicampur dengan campuran bahan kimia obat yang memiliki khasiat obat, dimana obat tradisional seharusnya memiliki efek samping yang lebih ringan dibandingkan obat sintetik. Dilihat dari kasus tersebut, maka obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat tersebut telah melanggar pasal 7 ayat 1 sesuai peraturan diatas.a. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen3. Pasal 4a Hak konsumen adalah : Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.Analisa Kasus:Berdasarkan kasus tersebut, beredarnya obat tradisional yang mengandung BKO dengan jelas melanggar hak konsumen sebagaimana yang tercantum pada Pasal 4a di mana memproduksi obat tradisional bercampur bahan kimia obat dapat membahayakan keselamatan konsumen. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian Bagian Ketiga mengenai pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi4. Pasal 7 ayat (1)Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi harus memiliki apoteker penanggung jawab5. Pasal 9 ayat (2)Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang apoteker sebagai penanggung jawabAnalisa Kasus:Dalam kasus tersebut, beredarnya obat tradisional mengandung BKO telah melanggar PP 51/2009 Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (2). Dimana sebuah pabrik yang memproduksi pabrik wajib mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 apoteker sebagai penanggung jawab produksi. Jika hal ini tidak dipenuhi dapat menyebabkan produksi tersebut tidak memenuhi persyaratan CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 006 tahun 2012 Tentang Industri dan usaha obat tradisionala. Pasal 33 Setiap industri dan usaha obat tradisional berkewajiban: a. Menjamin keamanan, khasiat/manfaat dan mutu produk obat tradisional yang dihasilkan; b. Melakukan penarikan produk obat tradisional yang tidak memenuhi ketentuan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu dari peredaran; dan c. Memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. - Pasal 34 a. Setiap IOT dan IEBA wajib memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Apoteker Warga Negara Indonesia sebagai Penanggung Jawab.b. Setiap UKOT wajib memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Tenaga Teknis Kefarmasian Warga Negara Indonesia sebagai Penanggung Jawab yang memiliki sertifikat pelatihan CPOTB. - Pasal 37 (1) Setiap industri dan usaha obat tradisional dilarang membuat: 1) segala jenis obat tradisional yang mengandung bahan kimia hasil isolasi atau sintetik yang berkhasiat obat; 2) obat tradisional dalam bentuk intravaginal, tetes mata, sediaan parenteral, supositoria kecuali untuk wasir; dan/atau 3) obat tradisional dalam bentuk cairan obat dalam yang mengandung etanol dengan kadar lebih dari 1% (satu persen). Analisa Kasus:Berdasarkan kasus, UKOT atau IOT yang memproduksi obat tradisional yang mengandung BKO telah melanggar PerMenKes Nomor 006 Tahun 2012 ini karena tidak menjamin keamanan produk yang dihasilkan dan menambahkan bahan kimia hasil isolasi atau sintetik yang berkhasiat obat ke dalam obat tradisional.1.1.1 Proses Hukum Penyimpangan Produksi Obat Tradisional oleh BPOM dan POLRISebagai institusi yang mempunyai tugas pokok melakukan pengawasan terhadap obat dan makanan, termasuk dalam kasus OT-BKO, Badan POM akan menindaklanjuti setiap pelanggaran di bidang obat dan makanan dengan pemberian sanksi administratif dan sanksi pro-justitia / penyidikan. Apabila dalam pengawasan rutin oleh bagian Pemdik BPOM atau berdasarkan laporan masyarakat ditemukan suatu kasus, maka BPOM dapat memberikan sanksi administratif berupa pemberian surat teguran, surat peringatan, pemusnahan produk, sampai pencabutan izin. Pemilik sarana juga akan diminta membuat surat pernyataan yang menyebutkan bahwa pemilik tidak akan mengulangi perbuatan melanggar hukum lagi, dan jika mengulangi perbuatannya maka pemilik bersedia untuk diajukan ke pengadilan untuk proses pro justisia.Sarana-sarana yang bermasalah seperti toko jamu tersebut biasanya diawasi dan diperiksa kembali dalam kurun waktu minimal enam bulan. Jika pada saat pemeriksaan ulang yang dilakukan, tidak ditemukan pelanggaran lagi, maka kasus tidak dilanjutkan. Namun, jika pada saat pemeriksaan ulang masih ditemukan pelanggaran, maka pemilik akan diberikan sanksi hukum atau pro justisia. Petugas Pemdik BPOM yang melakukan sidak pada saat itu dapat melakukan tindakan tegas. Petugas dapat melakukan penanganan TKP dengan menggeledah dan menyita barang bukti dari sarana tersebut. Tindakan-tindakan yang dilakukan nantinya didokumentasikan dalam suatu Laporan Kejadian yang merupakan suatu laporan tertulis yang dibuat oleh petugas tentang adanya suatu perstiwa yang diduga sebagai tindak pidana, baik yang ditemukan sendiri maupun melalui pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang. Laporan Kejadian ini menjadi salah satu dasar dalam membawa kasus ini ke pengadilan. Laporan Kejadian ini nantinya akan diterima oleh Kepala Balai Besar POM untuk ditindaklanjuti. Kepala Balai Besar POM akan mengeluarkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan kepada PPNS BPOM. Dengan adanya surat perintah ini, penyidikan terhadap suatu kasus akan dimulai. Dalam pelaksanaan tugas penyidikan ini, PPNS BPOM berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik POLRI. Jika perkara yang ditangani PPNS BPOM menyangkut beberapa kewenangan atau menyangkut undang-undang diluar kewenangannya maka dapat dilakukan pelimpahan penyidikan kepada penyidik POLRI. PPNS dan penyidik POLRI memantau proses hukum selanjutnya sampai vonis yang ditetapkan (BPOM RI, 2012).Adapun tahapan penyidikan kasus yang melibatkan kerjasama antara penyidik BPOM dengan penyidik POLRI digambarkan dalam skema berikut:

Gambar 1. Skema Penyidikan Tindak Pidana Obat dan Makanan (BPOM RI, 2012)Berdasarkan skema di atas, setelah dibuat Laporan Kejadian maka tahap selanjutnya dapat dilakukan investigasi awal yang merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan bukti permulaan terhadap adanya dugaan suatu tindak pidana untuk dapat mengungkap kasuskasus tindak pidana di bidang obat dan makanan, yang bermuara pada diketahuinya aktor utama, modus operandi dan luas jaringannya. Investigasi ini dilakukan dengan menggunakan SPDP (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan) yang dikeluarkan Kepala Balai Besar POM seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam Keputusan Bersama Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No IIK.00.04.72.02578 tanggal 16 Agustus 2002 Pasal 5 Ayat 1 disebutkan bahwa dalam hal ditemukan adanya kasus yang berindikasikan tindak pidana, maka BPOM dapat menangani sesuai lingkup tugasnya dan dalam hal-hal tertentu BPOM dapat bersama POLRI atau menyerahkan penanganan sepenuhnya kepada POLRI.Penyidikan lebih lanjut dapat dilakukan melalui upaya paksa seperti pemanggilan, penangkapan dan penahanan (dengan bantuan POLRI), serta penggeledahan dan penyitaan. Dari hasil investigasi, dilakukan pemeriksaan terhadap saksi, ahli, maupun tersangka. Tahap akhir dari penyidikan adalah penyelesaian dan pengiriman berkas perkara. Berkas perkara memuat iktisar atau kesimpulan kasus yang ditangani yang dituangkan dalam resume yang telah ditentukan penulisannya. Jika kesimpulan dari penyidikan tersebut tidak menunjukkan bukti yang kuat, dianggap bukan merupakan suatu tindak pidana, maupun harus dihentikan demi hukum, maka penyidik BPOM dapat mengeluarkan surat penghentian penyidikan (SP3). Namun, jika dari hasil penyidikan disimpulkan bahwa kasus tersebut merupakan suatu tindak pidana maka kasus dapat dilimpahkan kepada kejaksaan melalui Korwas PPNS. Langkah selanjutnya dilakukan penyerahan perkara yaitu pelimpahan tanggung jawab suatu perkara dari penyidik ke penuntut umum. Jika berkas perkara dirasa belum lengkap (P-19), maka dilakukan investigasi kembali untuk melengkapi berkas. Jika berkas perkara telah lengkap (P-21), maka tersangka dan barang bukti diserahkan ke pengadilan untuk menjalani proses hukum.