kasus kefarmasian

10
MAKALAH ILMU PERILAKU DAN ETIKA PROFESI KEFARMASIAN “Apoteker Jujur, Lapor Apotek Jual Narkotika Tanpa Izin Divonis 4 Bulan” diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Ilmu Perilaku dan Etika Profesi Kefarmasian semester dua dengan dosen mata kuliah M.H Ruseno, S.Si, Apt., disusun oleh : Eizy Azizah P17335114015

Upload: eizy-azizah

Post on 31-Jan-2016

109 views

Category:

Documents


20 download

DESCRIPTION

Kasus dalam bidang Kefarmasian

TRANSCRIPT

Page 1: KASUS KEFARMASIAN

MAKALAH ILMU PERILAKU DAN ETIKA PROFESI KEFARMASIAN

“Apoteker Jujur, Lapor Apotek Jual Narkotika Tanpa Izin

Divonis 4 Bulan”

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Ilmu Perilaku dan Etika Profesi Kefarmasian semester dua dengan dosen mata kuliah M.H Ruseno, S.Si, Apt.,

disusun oleh :

Eizy Azizah

P17335114015

PROGRAM DIPLOMA III FARMASI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN

BANDUNG

2015

Page 2: KASUS KEFARMASIAN

Apoteker Jujur, Lapor Apotek Jual Narkotika Tanpa Izin Divonis 4 Bulan

Jakarta,  Apoteker Yuli Setyorini (32) melaporkan apotek tempat dia bekerja

menjual narkotika dan psikotropika tanpa izin. Tindakannya ini malah dipidanakan dan

Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Jawa Tengah, menghukum Yuli 4 bulan penjara. Kini

Yuli meringkuk di LP Semarang.

"Kasus ini menjadi bencana bagi dunia apoteker. Dengan tuduhan penggelapan bagi

Yuli, maka apoteker tidak lagi mempunyai perlindungan hukum dalam menjalankan praktek

kefarmasian yang pada akhirnya dapat mengganggu kelancaran pelayanan kefarmasian

kepada masyarakat," kata Ketua Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) M Dani Pratomo saat

mengadukan kasus ini ke Komisi Yudisial (KY), Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu

(26/9/2012).

Kasus ini bermula saat apotek tempat Yuli bekerja mendapat teguran dari Dinas

Kesehatan Kota Semarang karena menjual narkotika dan psikotropika tanpa izin pada 2010.

Lantas, pada 2011 apotek tempat dia bekerja masih menjual barang yang sama.

Maka pada 2012, dia pun berinisiatif melaporkan ke Dinas Kesehatan Kota Semarang

dengan membawa barang bukti narkotika tersebut. Tetapi yang terjadi pihak yang tidak suka

melaporan Yuli ke polisi dengan tuduhan penggelapan.

"Kasus ini menampar profesi apoteker sebagai orang yang bertanggung jawab

terhadap obat-obatan. Dan kami mengharapkan pelajaran berharga agar masyarakat dan

pemilik modal menghormati kode etik apoteker saat menjalankan profesinya," ujar Dani.

Setelah diproses hukum, Yuli mendapat vonis 4 bulan penjara dari PN Semarang pada

15 Agustus 2012. Majelis hakim memutuskan Yuli menggelapkan barang dalam jabatannya.

"Padahal barang tersebut hanya dititipkan ke Dinas Kesehatan Kota Semarang dan

barang tersebut kini telah dikembalikan ke apotek. Sesuai pasal 50 ayat 1 KUHP, seseorang

Page 3: KASUS KEFARMASIAN

tidak bisa dihukum karena kewajiban perbuatan dari pekerjaannya," ujar kuasa hukum Yulis,

Bambang Jaya Supeno, di tempat yang sama.

Menanggapi laporan ini, KY sebagai lembaga yang dibentuk konstitusi untuk

mengawasi perilaku hakim berjanji akan melakukan investigasi, apakah ada perbuatan

pelanggaran kode etik hakim atau tidak.

"Kami akan menindaklanjuti pengaduan ini. Tapi kami ingatkan ini bisa berjalan

cepat atau lambat," ujar komisioner KY Suparman Marzuki. Selain mengadu ke KY, Yuli

dalam kasus ini juga mengajukan perlawanan hukum banding ke Pengadilan Tinggi

Semarang

Page 4: KASUS KEFARMASIAN

Pembahasan

Perjalanan panjang Yuli Setyorini menghadapi tuntutan jaksa, atas kasus yang

menimpanya rupanya belum menemui titik akhir. Hasil sidang akhir yang berlangsung pada

tanggal 15 Agustus 2012, memutuskan Yuli divonis hukuman 4 bulan penjara, berkurang dari

tuntutan jaksa sebelumnya yang menuntut Yuli hukuman 7 bulan penjara. Yuli dijerat dengan

pasal 374 KUHP dengan tuduhan penggelapan. Hasil keputusan ini rupanya membuat Yuli

merasa tidak diperlakukan adil, hal ini terkait dengan pembelaan Yuli, bahwa apa yang

dituduhkan kepada Yuli adalah tidak benar, karena pengamanan obat adalah kewenangan

Yuli selaku Apoteker. Yuli pun mengajukan banding. 

Kasus Yuli sebenarnya sudak dimulai sejak setahun yang lalu. Awalnya, Yuli

berpraktek sebagai Apoteker Pengelola Apotek (APA) di Apotek Dirgantara Ngaliyan,

Semarang, milik seorang pengusaha Apotek bernama Wiwik. Selama perjalanannya menjadi

Apoteker, beberapa kali Yuli merasa ada kejanggalan perihal stok obat di Apotek, terutama

obat golongan keras, narkotik dan psikotropik. Yuli menangkap adanya kecurangan dari

Pemilik Sarana Apotek (PSA), yang melakukan pemesanan obat psikotropik yaitu diazepam

dan Valisanbe, tanpa sepengetahuan Yuli selaku Apoteker. 

Adanya pemesanan obat tanpa seepengetahuan Yuli, membuat Yuli mengadukan hal

ini ke Dinas Kesehatan Semarang. Dinas Kesehatan Semarang kemudian melakukan sidak

dan pembinaan kepada APA dan PSA. Dalam sidak tersebut, memang ditemukan beberapa

pelanggaran, dimana apotek membuat obat setelan, memesan psikotropik tanpa adanya faktur

pemesanan, dan kesalahan beberapa administrasi resep. Dalam pembinaan tersebut, Dinkes

Semarang meminta kepada APA dan PSA untuk membuat surat pernyataan bahwa Apotek

Dirgantara tidak akan melakukan pelanggaran lagi, jika tidak APA wajib menyerahkan

kembali SIA ke Dinkes. 

Sayangnya, pernyataan tersebut kembali diingkari PSA. Yuli menemukan kejanggalan

lagi pada resep psikotropika, dimana resep yang jumlahnya 10, diganti menjadi 20 oleh AA

yang diminta oleh PSA. Atas kejadian ini, Yuli menyerahkan surat pengunduran diri pada

PSA, dilanjutkan dengan mengembalikan SIA kepada Dinkes Semarang. Sesuai dengan

kewenangannya, Yuli pun melakukan inventarisasi barang di Apotek, dan melakukan

pengamanan terhadap barang narkotik dan psikotropik. Yuli mengganggap sedian tersebut

bisa disalahgunakan jika tidak diamankan, Yuli memilih menitipkannya ke Dinas Kesehatan

Semarang. Sebulan sesudahnya, Dinkes Semarang melakukan penyegelan terhadap Apotek

Page 5: KASUS KEFARMASIAN

Dirgantara, berikut pengembalian obat yang ditipkan Yuli. Semua produk yang dimiliki

Apotek Dirgantara pun ikut disegel. 

Adapun jenis obat-obatan yang dititipkan Yuli ke Dinkes Kota Semarang, antara lain,

Codein tablet 10mg sebanyak 175,05, Codein tablet 20mg (199,675), Codipront Caps 45

caps, Codipront syrup 1 botol, Codipront Cum exp syrup 3 Botol, Amitriptilin 25 mg (91),

Carbamazepipn (63), Haloperidol (11), CPZ (525,5), Clobazam (60), Danalgin (61), dan

Tramal (15). 

Kejadiannya pun terus berlanjut. Tujuh bulan kemudian, anak PSA Wiwik, Iga

Dewinta Putri membuka Apotek dengan nama Mualim Farma. Sebulan sesudahnya, Wiwik

melaporkan Yuli ke Polsek Ngaliyan atas tuduhan pencurian dan penggelapan dengan No.

Pol. LP/40/VIII/2011/JATENG/Restabes Emg/sek Ngl. Yuli harus menelan pahit tuntutan

jaksa yang memvonisnya dengan paal 374 KUHP dengan masa kurungan 7 bulan penjara.

Namun, vonis akhir yang didapat Yuli adalah 4 bulan penjara. 

IAI Semarang mengatakan akan mengawal kasus Yuli setyarini ini sampai tuntas.

Ketika Yuli mengatakan akan mengajukan banding, IAI Semarang sangat mendukung

keputusan Yuli. Dalam sebuah wawancara dengan media masa, Djatmika selaku ketua PD

IAI Semarang menyampaikan bahwa kasus Yuli adalah penodaan terhadap profesi Apoteker.

Ini merupakan penodaan besar profesi Apoteker. Sesuai aturan, kepemilikan obat-obatan

psikotropika tidak bisa sembarangan. Ini sangat berbahaya,” kata Djatmika. 

Sama halnya dengan Djatmika, Dani Pratomo selaku ketua umum Ikatan Apoteker

Indonesia juga menganggap kasus Yuli adalah sebuah penodaan bagi profesi Apoteker. Hal

ini bukan hanya menyangkut Yuli, tapi juga profesi Apoteker. Bagaimanapun, Majelis

Pertimbangan Etik telah menyatakan Yuli tidak melakukan pelanggaran profesi, dan telah

menjalankan profesi sesuai dengan kewenangannya. “Apabila tindakan penitipan obat

berbahaya kepada Dinas Kesehatan seperti yang dilakukan oleh Yuli, dikategorikan sebagai

tindakan penggelapan bahkan sampai dijatuhi hukuman, maka apoteker tidak lagi memiliki

perlindungan hokum dalam menjalankan praktek kefarmasian yang pada akhirnya dapat

mengganggu kelancaran pelayanan kefarmasian kepada masyarakat,” Tutur Dani Pratomo,

dalam sebuah konfrensi pers, di Hotel Bidakara Agustus lalu. 

Kasus yang menimpa Yuli, sangat mungkin menimpa Apoteker lainnya. Hanya saja,

kasus Yuli menjadi sangat luar biasa untuk profesi Apoteker. Yuli, walaupun merasa sangat

lelah mengahadapi persidangan demi persidangan dalam setahun ini, namun beliau mengaku

tidak akan menyerah sampai keadilan ditegakkan. “Demi keadilan, saya mengajukan

Page 6: KASUS KEFARMASIAN

banding, “ katanya dalam wawancara denga media masa. Yuli juga berharap agar Apoteker

nantinya bisa lebih tegas menghadapi PSA, terutama PSA yang nakal

Komentar

Menurut saya, apa yang telah dilakukan oleh Ibu Yuli selaku apoteker sudah menjadi

kewajiban sebagai apoteker dan merupakan langkah yang tepat dan sesuai dengan kode etik

apoteker. Seharusnya, Ibu Yuli ini tidak dibui atau dipenjarakan. Justru yang seharusnya

mendapat hukuman adalah pemilik sarana apotek yang telah menyalahgunakan dan memesan

obat psikotropika dan narkotik tanpa persetujuan dan sepengetahuan Apoteker yang

digunakan untuk pengkonsumsian pribadi. Sudah jelas-jelas ada barang bukti, bahkan asisten

apoteker yang diperintah untuk mengganti jumlah obat psikotropika yang tertera dalam resep

bisa dijadikan saksi di pengadilan.

Wajar saja jika Ibu Yuli mengajukan banding ke pengadilan, karena apa yang

dilakukan beliau sudah sesuai dengan kode etik profesi sebagai apoteker. Wajar juga apabila

IAI ikut membela dan justru melaporkan hakim pengadilan tersebut. Karena masalah ini bisa

disebut penodaan bahkan merugikan apoteker, umumnya untuk apoteker di Indonesia.

Seharusnya IAI dilindungi payung hukum, agar tidak terjadi lagi hal seperti ini.

Page 7: KASUS KEFARMASIAN