kata pengantar -...
TRANSCRIPT
i
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas karunia dan
pertolongan-Nya, penyusunan publikasi “Distribusi Pendapatan Kabupaten
Sumbawa Tahun 2016” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penyusunan Distribusi Pendapatan Kabupaten Sumbawa ini dimaksudkan
untuk melihat tingkat distribusi pendapatan masyarakat Kabupaten Sumbawa
tahun 2012 sampai dengan 2016. Distribusi Pendapatan merupakan salah satu
gambaran dan evaluasi mengenai pemeretaan pembangunan terutama
pembagian pendapatan masyarakat.
Kami menyadari bahwa publikasi ini masih terdapat kekurangan, oleh
karena itu kritik dan saran konstruktif untuk penyempurnaan publikasi ini di
masa mendatang sangat kami harapkan.
Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu sampai terwujudnya
publikasi ini kami ucapkan terima kasih.
Sumbawa Besar, November 2017
DINAS KOMUNIKASI, INFORMASI DAN STATISTIK KABUPATEN SUMBAWA
K e p a l a,
Ir. H. IBRAHIM, M.Si
NIP. 19590915 198903 1 021
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2 Tujuan................................................................................................... 4
1.3 Sistematika Penulisan........................................................................... 4
BAB II BAHAN DAN METODOLOGI........................................................................... 7
2.1 Bahan Analisis...................................................................................... 7
2.2 Konsep dan Definisi.............................................................................. 8
2.3 Metode Analisis.................................................................................... 11
2.3.1 Koefisien Gini.......................................................................... 12
2.3.2 Kurva Lorenz........................................................................... 14
2.3.3 Kriteria Bank Dunia................................................................. 16
BAB III GAMBARAN UMUM EKONOMI RUMAHTANGGA DAN DAERAH................... 18
3.1 Ekonomi Rumahtangga........................................................................ 18
3.1.1 Pengeluaran Rumah Tangga................................................... 19
3.1.2 Angka Kemiskinan................................................................... 23
3.2 Ekonomi Daerah Kabupaten Sumbawa................................................ 26
3.2.1 Produk Domestik Regional Bruto............................................ 26
3.2.2 Struktur Ekonomi.................................................................... 29
3.2.3 Pertumbuhan Ekonomi........................................................... 31
3.2.4 PDRB Per Kapita...................................................................... 34
3.2.5 Indeks Harga Implisit.............................................................. 36
iii
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................................. 38
4.1 Perkembangan Distribusi Pendapatan Kabupaten Sumbawa.............. 38
4.2 Distribusi Pendapatan Menurut Tipe Daerah...................................... 42
4.3 Distribusi Pendapatan Menurut Kabupaten/Kota................................ 47
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN............................................................................. 50
5.1 Kesimpulan........................................................................................... 50
5.2 Saran- saran.......................................................................................... 51
LAMPIRAN....................................................................................................................... 52
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tujuan utama dari pembangunan ekonomi adalah dapat memberikan
pembaharuan bagi negara ke arah yang lebih baik dengan peningkatan
kesejahteraan rakyat, penurunan kemiskinan serta pengangguran.
Pembangunan ekonomi sangat memperhitungkan pertumbuhan penduduk dan
pemerataan pendapatan penduduk suatu negara. Dengan demikian
pembangunan ekonomi dapat dikatakan berhasil jika pendapatan perkapitanya
tinggi dengan distribusi pendapatan yang merata. Untuk mencapai tujuan
tersebut pemerintah melakukan pemerataan hasil pembangunan dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Tingkat pertumbuhan yang tinggi tanpa disertai pemerataan
pembangunan hanyalah menciptakan perekonomian yang lemah. Dari segi
pendidikan, Kabupaten Sumbawa masih mengalami masalah ketidakmerataan
pendidikan dengan rendahnya tingkat pendidikan di pedesaan. Rendahnya
tingkat pendidikan akan mengakibatkan rendahnya produktivitas yang berakibat
pula pada rendahnya tingkat pendapatan. Dapat disimpulkan bahwa
kesenjangan tingkat pendidikan akan mengakibatkan kesenjangan tingkat
pendapatan semakin besar. Pemerataan pembangunan perlu diupayakan
supaya dampak dari pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh penduduk.
2
Pemerataan pendidikan dan fasilitas merupakan upaya yang dapat ditempuh
pemerintah untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas yang
berdampak pada peningkatan pemerataan pembangunan.
Masalah besar yang saat ini dihadapi oleh hampir di seluruh Indonesia
tidak terkecuali Kabupaten Sumbawa adalah disparitas (ketimpangan) distribusi
pendapatan dan tingkat kemiskinan. Tidak meratanya distribusi pendapatan
memicu terjadinya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari
munculnya masalah kemiskinan. Ketimpangan distribusi pendapatan dan
kemiskinan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya sangat
dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk. Pertambahan jumlah
penduduk akan berdampak negatif terhadap kemiskinan, terutama bagi mereka
yang sangat miskin. Sebagian besar rumah tangga miskin memiliki anggota
rumah tangga yang besar sehingga akan membuat mereka memiliki peluang
yang kecil untuk keluar dari garis kemiskinan dan gap tersebut semakin
diperburuk dengan ketimpangan pendapatan yang semakin melebar.
Membiarkan kedua masalah tersebut akan semakin memperparah kondisi
perekonomian bahkan akan menimbukan konsekuensi negatif pada kehidupan
sosial, seperti krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998.
Indikator makro seperti pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Sumbawa
dalam kurun lima tahun terakhir ini selalu menunjukkan performa yang cukup
baik yaitu selalu tumbuh di atas lima persen. Hal tersebut berdampak pula pada
peningkatan level Produk Domestrik Bruto (PDRB) per kapita. Tingginya PDRB
per kapita di suatu daerah belum tentu mencerminkan meratanya distribusi
3
pendapatan. Distribusi pendapatan yang tidak merata akan mengakibatkan
terjadinya disparitas. Semakin besar perbedaan pembagian hasil pembangunan,
semakin besar pula disparitas pendapatan yang terjadi. Kabupaten Sumbawa
tergolong dalam daerah yang belum terlepas dari masalah ini.
Pemerataan pendapatan merupakan upaya yang dilakukan pemerintah
agar pendapatan masyarakat dapat terbagi semerata mungkin. Pengertian
merata di sini tidak berarti bahwa semua penduduk pendapatannya dibuat
sama, tetapi lebih kepada memberikan kesempatan yang sama untuk setiap
penduduk dalam memperoleh pendapatan. Dengan demikian maka kondisi
sekelompok kecil masyarakat berpendapatan tinggi mendapat sebagaian besar
“kue” hasil pembangunan di suatu wilayah tidak terjadi.
Dalam hal ini peranan pemerintah khususnya Pemerintah Daerah
Kabupaten Sumbawa sangat besar sebagai pembuat strategi dan kebijakan
dalam menciptakan distribusi pendapatan yang merata di masyarakat.
Kebijakan dan program akan menjadi sangat efektif jika dalam perumusannya
didukung oleh data-data ataupun ulasan yang berkaitan yang bisa memberikan
gambaran mengenai pemerataan pendapatan, kemiskinan dan kondisi
perekonomian Kabupaten Sumbawa. Oleh karena itu, perlu disusun sebuah
publikasi yang memuat analisis mengenai pemerataan pendapatan masyarakat
di Kabupaten Sumbawa.
4
1.2. Tujuan
Secara umum penyusunan Analisis Distribusi Pendapatan di Kabupaten
Sumbawa mempunyai tujuan untuk melihat gambaran umum distribusi atau
pemerataan pendapatan di Kabupaten Sumbawa. Sedangkan secara khusus,
penyusunan Analisis Distribusi Pendapatan di Kabupaten Sumbawa mempunyai
tujuan, antara lain :
1. Menghitung besarnya tingkat distribusi pendapatan masyarakat Sumbawa.
2. Melihat gambaran dan menganalisis tingkat distribusi pendapatan
masyarakat menurut karakteristik.
3. Mengetahui distribusi pendapatan masyarakat, mulai dari kelompok
masyarakat berpendapatan rendah sampai masyarakat berpendapatan
tinggi.
4. Menganalisis masyarakat berpendapatan rendah sesuai dengan beberapa
karakteristik rumahtangga.
5. Hasil penyusunan Analisis Distribusi Pendapatan masyarakat Sumbawa dapat
dipergunakan sebagai masukan untuk menyusun langkah-langkah kebijakan
yang perlu diambil yang akan dituangkan dalam program pembangunan.
1.3. Sistematika Penulisan
Analisis Distribusi Pendapatan Kabupaten Sumbawa Tahun 2016 terdiri dari
dari 5 (lima) bab. Bab-bab tersebut membahas antara lain :
5
BAB I. PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan latar belakang dari penulisan ini dan
mengungkapkan tujuan penulisan Analisis Distribusi Pendapatan
Kabupaten Sumbawa serta sistematika penulisan dari tulisan buku ini
BAB II. BAHAN DAN METODOLOGI
Bab ini akan membahas sumber data analisis, kemudian membahas
konsep dan definisi data/indikator yang digunakan dalam penulisan buku
ini. Selain itu juga menguraikan metode-metode analisis yang akan
digunakan dalam penulisan
BAB III. GAMBARAN UMUM EKONOMI RUMAHTANGGA DAN DAERAH
Bab ini menggambarkan perekonomian rumahtangga yang ada di
Kabupaten Sumbawa. Perekonomian rumahtangga yang dibahas antara
lain besarya pengeluaran rumahtangga, konsumsi rumahtangga dan
kemiskinan yang terjadi di Kabupatan Sumbawa. Selain itu juga
membahas perekonomian daerah Kabupaten Sumbawa. Perekonomian
Daerah akan diulas masalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan
pertumbuhan ekonomi.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini memperlihatkan hasil hitungan distribusi pendapatan Kabupaten
Sumbawa. Selanjutnya membahas hasil hitungan yang diperoleh dari
metode yang digunakan dalam analisis distibusi pendapatan di Kabupaten
Sumbawa. Analisis distribusi pendapatan Kabupaten Sumbawa juga akan
melihat distribusi pendapatan menurut karaktristik tempat tinggal.
6
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
Bab V akan menyimpulkan uraian-uraian dari bab sebelumnya yang
menjadi acuan dalam melihat gambaran tingkat kesenjangan pendapatan
masyarakat di Kabupaten Sumbawa. Selanjutnya juga penyusun buku ini
memberikan saran-saran kebijakan pembangunan yang sekiranya
mendukung dalam pembangunan ekonomi di Kabupaten Sumbawa.
7
BAB II
BAHAN DAN METODOLOGI
2.1. Bahan Analisis
Bahan analisis yang digunakan bersumber pada Survei Sosial Ekonomi
Nasional (SUSENAS) Tahun 2016 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik
(BPS). Adapun cara pengumpulan datanya, petugas mewawancarai tatap muka
kepada kepala rumah tangga atau anggota rumah tangga dewasa yang
mengetahui kondisi rumah tangga yang terkena sampel.
Data pokok yang dipergunakan dalam penghitungan dan analisis distribusi
pendapatan adalah pengeluaran rumah tangga. Ini dilakukan dengan
pertimbangan, di mana pengumpulan data pendapatan rumah tangga sangat
sulit diperoleh informasinya oleh petugas lapangan. Pada umumnya masalah
pendapatan ada yang disembunyikan/dirahasiakan oleh responden sehingga
data pendapatan yang diperoleh underestimate. Sementara itu, apabila rumah
tangga responden ditanyakan mengenai pengeluaran rumah tangga informasi
yang diperoleh cukup representatif mewakili pendapatan rumah tangga. Oleh
karena itu, dalam analisis pendapatan digunakan data pengeluaran rumah
tangga. Pertimbangan lain, secara ekonomi pengeluaran rumah tangga
berbanding lurus dengan pendapatan rumah tangga. Di mana semakin besar
pendapatan diikuti oleh pengeluaran semakin besar.
8
2.2. Konsep dan Definisi
Pengeluaran rumah tangga sebulan adalah seluruh biaya pengeluaran
yang dikeluarkan oleh rumah tangga selama sebulan oleh semua anggota
rumah tangga baik pengeluaran untuk kebutuhan makanan maupun bukan
makanan.
Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan adalah seluruh biaya
pengeluaran yang dikeluarkan oleh rumah tangga sebulan oleh semua
anggota rumah tangga di bagi jumlah anggota rumah tangga.
Tipe Daerah adalah karakteristik yang membedakan lokasi daerah
menurut indikator komposit yang telah ditetapkan, Tipe daerah dibedakan
menjadi 2 (dua) daerah perkotaan dan pedesaan.
Produk Domestik Regional Bruto(PDRB) adalah nilai tambah semua
barang dan jasa dari hasil kegiatan-kegiatan ekonomi (produksi) yang
beroperasi di wilayah domestik tanpa memperhatikan kepemilikan yang
menjadi nilai tambah bagi daerah bersangkutan.
Produk Domestik Regional Bruto(PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku
adalah jumlah nilai tambah bruto yang dinilai sesuai dengan harga yang
berlaku pada tahun bersangkutan.
Produk Domestik Regional Bruto(PDRB) Atas Dasar Harga Konstan adalah
jumlah nilai tambah bruto yang dinilai atas dasar harga tetap pada tahun
2010.
Inflasi adalah perubahan harga suatu barang dan jasa terhadap harga
9
barang sebelumnya.
Kemiskinan
Berdasarkan cara pendekatannya, ukuran kemiskinan secara umum
dibedakan atas kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan
absolut didasarkan pada ketidakmampuan individu untuk memenuhi
kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak. Konsep ini dikembangkan di
Indonesia dan dinyatakan sebagai “inability of the individual to meet basic
needs” (Tjondronegoro, Soejono dan Hardjono, 1993).
Konsep tersebut sejalan dengan Sen (Meier, 1989) yang menyatakan
bahwa kemiskinan adalah “the failure to have certain minimum
capabilities”. Definisi tersebut mengacu pada standar kemampuan
minimum tertentu, yang berarti bahwa penduduk yang tidak mampu
melebihi kemampuan minimum tersebut dapat dianggap sebagai miskin.
Perhitungan penduduk miskin di Indonesia pada dasarnya mengikuti
konsep tersebut.
Pengukuran kemiskinan dilakukan dengan cara menetapkan nilai
standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan,
yang harus dipenuhi untuk dapat hidup secara layak. Nilai standar
kebutuhan minimum tersebut digunakan sebagai garis pembatas untuk
memisahkan antara penduduk miskin dan tidak miskin.
Garis kemiskinan dihitung berdasarkan rata-rata pengeluaran
makanan (garis kemiskinan makanan/GKM) dan non makanan (GKNM) per
10
kapita, dan selanjutnya akan diperoleh batas garis kemiskinan total.
Mereka yang hidup dengan pengeluaran lebih rendah dari Garis
Kemiskinan disebut sebagai penduduk yang hidup di bawah garis
kemiskinan atau penduduk miskin.
Batas kecukupan (standar minimum) untuk makanan dihitung dari
besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk makanan yang menghasilkan
energi 2.100 kilo kalori per orang per hari. Batas kecukupan non makanan
dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk non makanan yang
memenuhi kebutuhan minimum seperti : untuk perumahan, penerangan,
pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan aneka barang jasa
esensial lainnya.
Fakir Miskin
Konsep fakir miskin menurut Departemen Sosial menggunakan
konsep dan definisi fakir miskin sebagai orang yang sama sekali tidak
mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak
bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai kebutuhan pokok yang
layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata
pencaharian tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok yang layak
bagi kemanusiaan. Secara umum, kebutuhan pokok manusia untuk hidup
secara layak minimal mencakup kebutuhan makanan (pangan), pakaian
(sandang) dan tempat tinggal (papan). sejalan dengan itu, konsep fakir
miskin dapat dinyatakan sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan
11
untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum untuk makanan sebesar
2100 kilo kalori, sewa rumah dan biaya pembelian satu stel pakaian yang
paling sederhana untuk setahun.
Sejalan dengan pengertian tersebut, maka untuk melakukan
pengukurannya terlebih dahulu ditentukan batas kecukupan untuk
kebutuhan-kebutuhan pokok tersebut. Nilai yang diperoleh akan
merupakan nilai batas fakir miskin atau Garis Fakir Miskin (GFM), dimana
seseorang yang pengeluarannya kurang dari garis tersebut dianggap
sebagai fakir miskin.
Pada uraian sebelumnya dijelaskan bahwa garis kemiskinan terdiri
dari dua komponen, yaitu GKM dan GKNM. Kedua komponen tersebut
akan digunakan dalam penghitungan Garis Fakir Miskin (GFM). GFM
merupakan GKM ditambah dengan pengeluaran pokok perumahan,
yaitu perkiraan sewa rumah dan biaya pembelian satu stel pakaian paling
sederhana untuk setahun.
2.3. Metode Analisis
Tingkat kesejahteraan masyarakat pada umumnya tergantung dari tinggi
randahnya pendapatan yang diperoleh. Dengan pendapatan yang diperoleh,
masyarakat dapat memenuhi segala kebutuhan yang diinginkan. Apabila
pendapatan yang diperoleh cukup tinggi, masyarakat akan dapat memenuhi
kebutuhan yang diinginkan, baik itu kebutuhan makanan maupun bukan
12
makanan. Tetapi bagi masyarakat yang berpendapatan rendah maka masyarakat
akan membatasi kebutuhan sehari-hari atau mengutamakan kebutuhan pangan
terlebih dahulu. Banyak orang berpendapat bahwa apabila tingkat pendapatan
penduduk suatu wilayah tinggi berarti bahwa penduduk wilayah tersebut dapat
dikatakan berada pada tingkat kehidupan yang sejahtera. Pendapat ini sudah
jelas tidak selamanya benar, sebab besarnya pendapatan antara individu yang
satu dengan individu yang lain tidaklah selalu seragam. Dapat kita lihat keadaan
di masyarakat, ada yang kaya ada yang miskin. Bahkan di masyarakat terjadi
kesenjangan ekonomi yang cukup menyolok antara rumah tangga yang
bersebelahan rumah, yang satu kaya sekali dan tetangga sebelah tergolong
miskin. Dengan kondisi ini, maka sangat perlu kiranya guna melihat kesenjangan
ekonomi antara masyarakat satu dengan lainnya. Salah satu indikator untuk
melihat kesenjangan ekonomi tersebut adalah dengan menghitung distribusi
pendapatan yang ada di masyarakat.
Penghitungan distribusi pendapatan dapat diukur dengan berbagai
metode. Pada dasarnya metode-metode tersebut dapat digolongkan dalam dua
kelompok yaitu : Metode Statistik dan Metode Empiris. Metode-metode tersebut
sudah pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam menganalisa distribusi
pendapatan. Namun metode yang biasa digunakan adalah metode empiris
antara lain: koefisien Gini dengan kurva Lorenz dan ukuran Bank Dunia.
2.3.1. Koefisien Gini
Koefisien Gini biasa tersebut Gini Concentration Ratio atau Gini Rasio
13
dan dilambangkan dengan G. Koefisien Gini menggunakan hubungan antara
jumlah pendapatan (aggregate income) yang diterima oleh seluruh rumah
tangga/ individu dengan jumlah rumah tangga/individu. Selain itu dapat juga
digunakan untuk melihat penyebaran/ distribusi pendapatan secara menyeluruh
dan menarik kesimpulan dari kurva Lorenz. Rumus koefisien Gini diperkenalkan
oleh seorang ahli statistik yakni C. Gini pada tahun 1902. koefisien Gini
mempunyai nilai dari 0 sampai dengan 1 ( 0 < G <1). Apabila G = 1 disebut ukuran
ketidakmerataan sempurna. Disebabkan karena tidak pernah terjadi ukuran
pemerataan sempurna atau ukuran ketidakmerataan sempurna maka koefisien
Gini terletak diantara 0 dan 1 ( 0 <G < 1).
Harry T. Oshima memberikan batasan mengenai Koefisien Gini sebagai berikut : - Bila koefisien Gini terletak antara 0,5 dan 1 ketimpangan pembagian
pendapatan dikatakan tinggi/parah.
- Bila koefisien Gini terletak antara 0,35 dan 0,5 ketimpangan pembagian
pendapatan dikatakan sedang.
- Bila koefisien Gini terletak dibawah 0.35 ketimpangan pembagian
pendapatan dikatakan rendah.
Koefisien Gini dihitung dengan menggunakan rumus :
14
Keterangan :
G = Koefisien Gini
Pi = Persentase jumlah rumah tangga/penduduk pada kelas
pendapatan ke-i Qi= Q’i + Q” (i-1)
Q’i = Persentase kumulatif jumlah pendapatan sampai dengan kelas
ke-i
Q’(i-1) = Persentase kumulatif jumlah pendapatan sampai dengan kelas
ke- (i-1)
K = Banyaknya kelas
1 dan 10.000 = bilangan konstan
2.3.2. Kurva Lorenz
Sebagai pendamping ukuran koefisien Gini biasanya digunakan kurva
Lorenz. Pada kurva Lorenz diperlihatkan hubungan antara penduduk sebagai
penerima pendapatan dan jumlah pendapatan yang diterima. Kurva Lorenz
digambarkan pada satu segi empat sama sisi, dimana sumbu holizontal
menunjukan persentase jumlah penduduk sedangkan sumbu vertikal
menunjukan persentase jumlah pendapatan yang diterima. Persentase untuk
jumlah penduduk maupun untuk jumlah pendapatan yang diterima, disusun
secara komulatif (dari yang berpendapatan rendah sampai tinggi). Dalam
keadaan distribusi pendapatan yang merata sempurna, maka a % dari jumlah
penduduk akan menerima a % dari jumlah pendapatan. Sehigga dalam kurva
15
Lorenz keadaan ini digambarkan sebagai garis diagonal dari bawah kiri keatas
kanan (koefisien Gini = 0 ). Sebaliknya jika a % jumlah penduduk menerima
kurang dari a % jumlah pendapatan, maka Kurva Lorenz akan menyimpang dari
garis diagonal. Karena Kurva Lorenz disusun dengan mengunakan persentase
kumulatif (dari yang terendah ke yang tertinggi), maka penyimpangann Kurva
Lorenz tesebut terhadap garis diagonal memberat kebawah (cembung) bentuk
Kurva Lorenz .Dalam keadaan ketidakmerataan sempurna, dengan perkatan lain
hanya satu penduduk saja yang menerima semua pendapatan, maka Kurva
Lorenz akan berhimpit dengan sumbu-sumbu horizontal dan vertikal bagian
bawah (koefisien Gini = 1). Gambar 1 memberikan suatu contoh mengenai kurva
Lorenz. Garis lengkung yang menghubungkan titik-titik A,B,C,D,E dan F disebut
Kurva Lorenz. Kurva Lorenz ini melukiskan keadaan distribusi pendapatan di
suatu masyarakat. Garis diagonal A,P,Q,R,S dan F melukiskan distribusi
pendapatan yang mutlak merata. Daerah yang terletak antara garis diagonal dan
Kurva Lorenz disebut sebagai daerah ketidakmerataan pendapatan maksimum
merupakan ukuran ketidakmerataan pendapatan Gini (Koefisien Gini).
16
Gambar 1 : Kurva Lorenz
F
A
2.3.3. Kriteria Bank Dunia
Untuk menganalisa distribusi pendapatan di suatu daerah atau negara,
Bank Dunia membagi penduduk menjadi tiga kelompok :
1. Kelompok 40 % penduduk berpendapat terendah.
2. Kelompok 40 % penduduk berpendapat menengah/sedang
3. Kelompok 20 % penduduk berpendapat tertinggi.
Tingkat ketidakmerataan pembagian pendapatan diukur dengan besarnya
bagian pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk berpendapatan rendah,
dengan ketentuan sebagai berikut:
- Tingkat ketidakmerataan tinggi bila 40 % penduduk berpendapatan
terendah menerima kurang 12 % dari seluruh pendapatan.
R E
C
B
17
- Tingkat ketidakmerataan sedang bila 40 % penduduk berpendapatan
terendah menerima 12 %-17 % dari seluruh pendapatan
- Tingkat ketidakmerataan rendah bila 40 % penduduk berpendapat
terendah menerima lebih dari 17 % dari seluruh pendapatan.
Ukuran Bank Dunia ini bukan merupakan ukuran yang bersifat
menyeluruh karena hanya memperhatikan perkembangan dari 40 % dari
jumlah penduduk berpendapatan rendah.
18
BAB III
GAMBARAN UMUM EKONOMI RUMAH TANGGA DAN EKONOMI DAERAH
3.1. Ekonomi Rumahtangga
Di kehidupan sehari-hari dapat dilihat atau diamati keadaan masyarakat di
sekeliling secara kasat mata. Dipastikan akan menemui keadaan ekonomi rumah
tangga yang bervariasi. Ada sejumlah rumah tangga dengan pokok persoalan
rumah tangga yang rumit yang hanya memikirkan persoalan makan saja. Bahkan
ada rumah tangga yang kondisinya hanya memikirkan apa yang dimakan hari ini.
Kemudian ada sejumlah rumah tangga yang sudah dapat memenuhi kebutuhan
makanan tetapi kebutuhan bukan makanan seperti perumahan, pengobatan dan
pendidikan belum terjangkau. Selain itu ada juga beberapa rumah tangga tanpa
kesulitan mampu memenuhi segala kebutuhan yang diinginkannya. Perbedaan
kondisi ekonomi atau yang diistilahkan dengan kesenjangan ekonomi ini hanya
bersifat relatif atau belum terukur karena hanya berdasarkan pengamatan saja.
Dalam kehidupan masyarakat pasti ada masyarakat kaya, masyarakat
menengah dan masyarakat miskin. Untuk mengetahui agregat masyarakat
dengan kriteria tersebut dibutuhkan indikator-indikator yang terukur (statistik)
dengan konsep dan definisi yang jelas. Tanpa konsep dan definisi yang jelas akan
menimbulkan persepsi yang berbeda-beda di kalangan pengamat ekonomi dan
para pelaku pembangunan. Ini yang perlu dipahami oleh para pakar
pembangunan di daerah. Kalau konsep dan definisi sudah sama maka para pakar
tersebut dapat duduk bersama-sama membicarakan suatu persoalan untuk
didiskusikan. Selanjutnya dalam membuat dan memutuskan program
pembangunan terutama bagi masyarakat golongan rendah dapat berjalan
dengan efektif dan efisien. Oleh karena itu, untuk melihat tingkat kesenjangan
pendapatan secara terukur harus menggunakan penghitungan secara statistik.
Sebelum menghitung tingkat kesenjangan pendapatan masyarakat atau
19
distribusi pendapatan di Kabupaten Sumbawa sangat perlu kiranya lebih dahulu
melihat gambaran perekonomian rumah tangga dan perekonomian daerah.
3.1.1. Pengeluaran Rumah tangga
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012-2016
memperlihatkan besarnya rata-rata pengeluaran per kapita sebulan di
Kabupaten Sumbawa. Selama periode tersebut hasil Susenas menunjukkan
bahwa secara nominal rata-rata pengeluaran per kapita sebulan terus mengalami
peningkatkan, seperti pada grafik 3.1. rata-rata pengeluaran per kapita sebulan
pada tahun 2012 senilai Rp.681.445.- meningkat pada tahun 2014 menjadi Rp.
689.468.- Pada Tahun 2016 meningkat lagi mencapai Rp.833.243.- Untuk
melihat rata-rata pengeluaran rumah tangga sebulan cukup mengalikan dengan
rata-rata jumlah anggota rumah tangga dalam satu rumah tangga. Pada Tahun
2016 rata-rata jumlah anggota rumah tangga dalam satu rumah tangga sebanyak
4 orang sehingga rata-rata pengeluaran rumah tangga sebulan senilai
Rp.3.332.972,-
Grafik 3.1 menunjukkan juga perkembangan rata-rata pengeluaran per
kapita sebulan di perkotaan dan pedesaan. Terlihat bahwa rata-rata pengeluaran
per kapita sebulan perkotaan maupun pedesaan mengalami peningkatan dalam
kurun waktu 2012-2016. Untuk daerah perkotaan pada tahun 2012 rata-rata
pengeluaran per kapita sebulan hanya sebesar Rp. 951.587, menurun sedikit
menjadi sebesar Rp. 938.380,- pada tahun 2014 dan mencapai Rp. 1.083.499
pada tahun 2016. Untuk daerah pedesaan rata-rata pengeluaran per kapita
sebulan masih di bawah daerah perkotaan. Walaupun demikian, dalam kurun
2012-2016 rata-rata pengeluaran per kapita sebulan mengalami kenaikan, yaitu
dari Rp. 561.262 pada tahun 2012 naik menjadi Rp. 578.734 pada tahun 2014
dan naik lagi mencapai sebesar Rp. 714.102 pada tahun 2016.
20
Grafik 3.1 : Rata-rata Pengeluaran Perkapita Sebulan di Kabupaten Sumbawa.
Sumber: BPS Kabupaten Sumbawa
Kenaikan nilai nominal rata-rata pengeluaran rumah tangga seperti yang
ditunjukkan pada grafik 3.1 belum dapat mengungkap kemajuan kesejahteraan
masyarakat atau meningkatnya daya beli masyarakat, karena besarnya nilai
tersebut dipengaruhi oleh adanya kenaikan harga kebutuhan rumah tangga.
Salah satu indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan penduduk
adalah pola pengeluaran/konsumsi, yaitu porsi pengeluaran yang digunakan
untuk memenuhi kebutuhan makanan dan bukan makanan. Hal ini berkaitan
dengan hukum ekonomi yang menyatakan bahwa persentase pengeluaran untuk
makanan akan semakin berkurang dengan semakin meningkatnya pendapatan
(Ernest Engel, 1857). Semakin tinggi pendapatan porsi pengeluaran akan
bergeser dari pengeluaran untuk makanan ke pengeluaran bukan makanan.
Pergeseran pola pengeluaran terjadi karena elastisitas permintaan
terhadap makanan pada umumnya rendah, sebaliknya elastisitas permintaan
terhadap barang bukan makanan pada umumnya tinggi. Keadaan ini jelas terlihat
pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi makanannya sudah tercapai
951.587
561.262
681.445
938.380
578.734
689.468
1.083.499
714.102
833.243
0
200.000
400.000
600.000
800.000
1.000.000
1.200.000
Perkotaan Perdesaan Sumbawa
2012 2014 2016
21
titik jenuh, sehingga peningkatan pendapatan akan digunakan untuk memenuhi
kebutuhan barang bukan makanan atau ditabung. Dengan demikian, pola
pengeluaran dapat dipakai sebagai salah satu alat untuk mengukur tingkat
kesejahteraan penduduk, dimana perubahan komposisinya digunakan sebagai
perubahan tingkat kesejahteraan.
Tabel 3.1 Pola Konsumsi Rumah tangga Menurut golongan
pengeluaran di Kabupaten Sumbawa Tahun 2016.
Golongan Pengeluaran per Kapita Sebulan
(Rp)
Porsi Makanan (%)
Porsi Bukan Makanan
(%)
Jumlah (%)
< 199.999 60,66 39,34 100,00
200.000-299.999 60,96 39,04 100,00
300.000-499.999 59,92 40,08 100,00
500.000-749.999 58,41 41,59 100,00
750.000-999.999 55,50 44,50 100,00
1.000.000-1.499.999 51,56 48,44 100,00
>1.500.000 40,02 59,98 100,00
Jumlah 51,41 48,59 100,00
Sumber : BPS Kabupaten Sumbawa
Hasil Susenas tahun 2016 akan membuktikan teori ekonomi di atas.
Untuk itu perlu melihat pola konsumsi rumah tangga menurut golongan
pengeluaran dan pola konsumsi. Tabel 3.1 memperlihatkan pola konsumsi rumah
tangga menurut golongan pengeluaran. Di mana terlihat masyarakat di
Kabupaten Sumbawa menunjukkan teori ekonomi di atas karena semakin tinggi
golongan pengeluaran rumah tangga menunjukkan porsi pengeluaran makanan
semakin turun dan diikuti dengan naiknya porsi pengeluaran untuk kebutuhan
bukan makanan, seperti; papan, sandang, pendidikan, kesehahatan, dan
sebagainya. Namun demikian, secara umum masyarakat Kabupaten Sumbawa
Tahun 2016 memilki porsi pengeluaran bukan makanan yang belum diatas 50
22
persen yaitu sebesar 48,59 persen.
Tabel 3.2 memperlihatkan perkembangan tingkat kesejahteraan
masyarakat Kabupaten Sumbawa ditinjau dari pola konsumsi rumah tangga
menurut daerah kota/desa. Seperti pada tabel 3.2, Secara umum dalam periode
tahun tersebut tingkat kesejahteraan masyarakat Kabupaten Sumbawa masih
cukup baik. Pada tahun 2016, porsi pengeluaran rumah tangga di pedesaan
masih dominan untuk memenuhi kebutuhan non makanan yaitu sebesar 44,31
persen dan kebutuhan makanan sebesar 55,69 persen sedangkan untuk
pengeluaran rumah tangga di perkotaan lebih dominan digunakan untuk
memenuhi kebutuhan non makanan, yaitu sebesar 54,50 persen dan untuk
kebutuhan makanan sebesar 45,50 persen.
Tabel 3.2. Rata-rata Pengeluaran Per kapita Sebulan dan Pola Konsumsi
Rumah tangga di Sumbawa Tahun 2012-2016
Jenis Pengeluaran /
Tahun
Rata-rata Pengeluaran Per Kapita Sebulan
Pola Konsumsi
Kota Desa K+D Kota Desa K+D
Total
2012 951.587 561.262 681.445 100,00 100,00 100,00 2014 938.380 578.734 689.468 100,00 100,00 100,00 2016 1.083.4
99 714.102 833.243 100,00 100,00 100,00
Makanan
2012 485.325 302.855 359.038 51,00 53,96 52,69
2014 481.117 324.684 372.849 51,27 56,10 54,08
2016 493.025 397.650 428.411 45,50 55,69 51,41
Bukan Makanan
2012 466.262 258.407 322.406 49,00 46,04 47,31
2014 457.264 254.050 578.734 48,73 43,90 83,94
2016 590.475 316.452 404.832 54,50 44,31 48,59 Sumber: BPS Kabupaten Sumbawa
23
3.1.2. Angka Kemiskinan
Salah satu indikator yang sering digunakan untuk melihat tingkat
kesejahteraan masyarakat di suatu daerah adalah jumlah penduduk miskin.
Semakin sedikit jumlah penduduk miskin di suatu daerah maka daerah tersebut
mempunyai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Konsep
Kemiskinan berdasarkan cara pendekatannya, ukuran kemiskinan secara umum
dibedakan atas kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut
didasarkan pada ketidakmampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasar
minimal untuk hidup layak. Konsep ini dikembangkan di Indonesia dan
dinyatakan sebagai “inability of the individual to meet basic needs”
(Tjondronegoro, Soejono dan Hardjono, 1993).
Konsep tersebut sejalan dengan Sen (Meier, 1989) yang menyatakan
bahwa kemiskinan adalah “the failure to have certain minimum capabilities”.
Definisi tersebut mengacu pada standar kemampuan minimum tertentu, yang
berarti bahwa penduduk yang tidak mampu melebihi kemampuan minimum tersebut
dapat dianggap sebagai miskin. Perhitungan penduduk miskin di Indonesia pada
dasarnya mengikuti konsep tersebut.
Pengukuran kemiskinan dilakukan dengan cara menetapkan nilai standar
kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang harus
dipenuhi untuk dapat hidup secara layak. Nilai standar kebutuhan minimum
tersebut digunakan sebagai garis pembatas untuk memisahkan antara penduduk
miskin dan tidak miskin.
Garis kemiskinan dihitung berdasarkan rata-rata pengeluaran makanan
24
(garis kemiskinan makanan/GKM) dan non makanan (GKNM) per kapita, dan
selanjutnya akan diperoleh batas garis kemiskinan total. Mereka yang hidup
dengan pengeluaran lebih rendah dari Garis Kemiskinan disebut sebagai
penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan atau penduduk miskin.
Batas kecukupan (standar minimum) untuk makanan dihitung dari
besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk makanan yang menghasilkan energi
2.100 kilo kalori per orang per hari. Patokan ini mengacu pada rekomendasi dari
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 1978. Batas kecukupan non
makanan dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk non makanan
yang memenuhi kebutuhan minimum seperti : untuk perumahan, penerangan,
pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan aneka barang jasa esensial
lainnya.
Dalam rangka memenuhi amanat rakyat sebagaimana yang tercantum
dalam pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunya “Fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, maka pemerintah secara
berkesinambungan melaksanakan berbagai program untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup mereka.
Progam pengentasan kemiskinan setiap tahun terus dilakukan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. Berbagai kebijakan dan upaya telah
dilakukan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin. Dari program tersebut,
jumlah penduduk miskin dari tahun ke tahun mengalami penurunan, walaupun
penurunannya berjalan sangat lambat.
Ini dapat dibuktikan dari hasil perhitungan yang dilakukan oleh Badan
25
Pusat Statistik, bahwa tahun 2010 persentase penduduk miskin di Kabupaten
Sumbawa sebanyak 21,75 persen dan mengalami penurunan menjadi sebesar
19,82 persen pada tahun 2011. Dari grafik 3.3, dapat dilihat bahwa dari tahun
2010 sampai dengan tahun 2016 penduduk miskin di Kabupaten Sumbawa
cenderung mengalami penurunan selama 7 tahun terakhir. Ini memberikan sinyal
bahwa pada kurun waktu tersebut masyarakat di Kabupaten Sumbawa telah
terjadi peningkatan kesejahteraan. Persentase Penduduk miskin di Kabupaten
Sumbawa tahun 2016 mencapai 16,12 persen atau mengalami penurunan 5,63
persen sejak tahun 2010.
Grafik 3.3
Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Sumbawa
Tahun 2010-2016
Sumber : BPS Kabupaten Sumbawa
21,75
19,82
18,26
17,04 16,87 16,73 16,12
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
26
Dalam pengentasan kemiskinan, ada bagian kemiskinan yang sangat perlu
untuk mendapatkan prioritas utama dalam penanganannya, yaitu
penduduk/keluarga fakir miskin. Keluarga fakir miskin, maupun
angggota/masyarakat lainnya yang mengalami masalah/hambatan untuk dapat
hidup secara layak, secara konseptual digolongkan sebagai Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS). Sesuai dengan definisi yang dipakai, PMKS adalah
seseorang, keluarga/kelompok masyarakat yang karena sebab- sebab tertentu
tidak dapat melaksanakan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan minimum, baik
berupa kebutuhan jasmani, rohani maupun sosial. Secara khusus, penyandang
masalah kesejahteraan sosial merupakan kelompok sasaran
pelayanan/pemberdayaan dari pengentasan kemiskinan.
3.2. Ekonomi Daerah Kabupaten Sumbawa
3.2.1. Produk Domestik Regional Bruto
PDRB menggambarkan kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumber
daya alam dan faktor-faktor produksi lainnya dalam menciptakan nilai tambah.
PDRB merupakan jumlah dari nilai tambah yang diciptakan dari seluruh aktivitas
perekonomian di suatu daerah. Dari nilai PDRB ini akan menggambarkan
kegiatan ekonomi yang terjadi di daerah. Selain itu, PDRB digunakan sebagai
salah satu indikator untuk mengukur perekonomian daerah. Dalam mengevaluasi
pembangunan ekonomi daerah juga menggunakan nilai PDRB.
27
Tabel 3.3. PDRB dan Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Sumbawa
Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2010
Tahun 2012 - 2016 (jutaan Rp.)
Tahun PDRB Atas Dasar (Juta Rp) Laju Pertumbuhan (%)
Berlaku Konstan’2010 Berlaku Konstan’2010 (1) (2) (3) (4) (5)
2012 7.410.211,83 7 046 786,98 8,88 6,67
2013 8.051.788,76 7 500 252,07 8,66 6,44
2014 9.074.924,98 7 997 178,20 12,71 6,63
2015 10.288.324,58 8 511 041,73 13,37 6,43
2016 11.392.033,93 8 958 629,61 10,73 5,26
Sumber : BPS Kabupaten Sumbawa
Tabel 3.3 memperlihatkan nilai PDRB atas harga berlaku dan atas dasar
harga konstan tahun 2010 Kabupaten Sumbawa selama tahun 2012-2016. Nilai
PDRB atas dasar harga berlaku Kabupaten Sumbawa terlihat setiap tahun
mengalami peningkatan. Pada tahun 2012, nilai PDRB atas dasar harga berlaku
yang diciptakan telah mencapai sebesar 7,41 triliyun rupiah dan mengalami
kenaikan pada tahun 2013 menjadi 8,05 triliyun rupiah atau mengalami
pertumbuhan sebesar 8,66 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Untuk tahun selanjutnya nilai PDRB atas dasar berlaku terus mengalami
kenaikan, pada tahun 2016 nilai PDRB atas dasar berlaku telah mencapai sebesar
11,39 trilliyun rupiah atau mengalami pertumbuhan sebesar 10,73 persen
dibandingkan dengan nilai PDRB tahun sebelumnya. Namun perlu di ketahui
bahwa pertumbuhan sebesar angka tersebut akibat kenaikan produksi yang
28
diikuti oleh kenaikan harga komoditas tersebut.
Untuk itu, dalam analisis ekonomi makro lebih banyak menggunakan PDRB
atas dasar harga konstan, yang dikenal dengan pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sumbawa selama periode tahun 2012-2016
bersifat fluktuatif, namun masih pada kisaran angka 6 (enam) persen.
Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sumbawa tahun 2012 sebesar 6,67 persen
dan mengalami perlambatan 6,44 persen pada tahun 2013. Pada tahun 2014
pertumbuhan ekonomi Sumbawa naik sebesar 6,63 persen sebelum mengalami
perlambatan selama dua tahun terakhir, yaitu dengan laju 6,43 di tahun 2015
dan 5,26 persen pada tahun 2016.
Permasalahan yang krusial dalam analisa pertumbuhan ekonomi adalah
apakah pertumbuhan ekonomi yang tercipta di daerah sudah dinikmati secara
merata oleh seluruh lapisan masyarakat?. Apabila nilai produksi yang dihasilkan
daerah belum dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat maka akan
menimbulkan kesenjangan ekonomi yang cukup lebar di masyarakat. Bahkan
akan menimbulkan dampak yang meluas, salah satunya banyaknya masyarakat
miskin. Dan selanjutnya akan membawa dampak yang lebih meluas, antara lain :
di bidang pendidikan, kesehatan dan sosial lainnya.
Dalam program Nawa Cita, menuju Indonesia yang berdaulat secara politik,
serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan,
salah satu program yang menjadi fokus Jokowi adalah mewujudkan kemandirian
ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
29
3.2.2. Struktur Ekonomi
Proses pembangunan ekonomi biasanya diikuti dengan terjadinya
perubahan-perubahan dalam struktur ekonomi baik itu struktur permintaan
domestik, struktur produksi, maupun struktur perdagangannya. Perubahan
struktur ini sesungguhnya terjadi akibat adanya interaksi antara dua proses yaitu
proses akumulasi (pembentukan modal) dan perubahan konsumsi masyarakat
yang terjadi, karena meningkatnya pendapatan per kapita. Perubahan pola
permintaan ini yang kemudian mengubah komposisi barang dan jasa yang
diproduksi dan diperdagangkan. Perubahan struktur perekonomian suatu daerah
biasanya terjadi secara perlahan, terkecuali terjadi suatu kejadian ekonomi yang
luar biasa, seperti mendorong atau mematikan suatu sektor secara besar-
besaran.
Analisa struktur ekonomi daerah sangat penting untuk diketahui oleh para
perencana dan pembuat kebijakan pembangunan daerah. Dalam
melakukan pembangunan, prioritas pembangunan ekonomi salah satunya
ditentukan oleh struktur ekonomi daerah. Kalau daerah mempunyai potensi
pertanian maka para perencana dan pembuat kebijakan harus memprioritaskan
di sektor pertanian. Tetapi juga memperhatikan sektor lainnya yang sekiranya
dapat mendukung atau potensi yang belum dikembangkan di daerah. Untuk itu
salah satu faktor keberhasilan pembangunan ekonomi daerah sangat tergantung
pada kecermatan para perencana dan pembuat kebijakan dalam merencanakan
pembangunan ekonomi daerah.
30
Tabel 3.4. Kontribusi Masing-masing Sektor Terhadap Pembentukan PDRB Kabupaten Sumbawa Atas Dasar
Harga Berlaku Tahun 2012 – 2016 (persen)
Lapangan Usaha/Industry 2012 2013 2014 2015* 2016**
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
A Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 39,09 38,82 38,28 38,69 38,79
B Pertambangan dan Penggalian 3,07 3,05 3,02 2,98 2,99
C Industri Pengolahan 2,30 2,22 2,09 1,98 1,95
D Pengadaan Listrik dan Gas 0,07 0,06 0,08 0,08 0,08
E Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang
0,06 0,06 0,06 0,06 0,06
F Konstruksi 13,28 13,07 12,90 13,03 12,97
G Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
14,81 15,08 15,57 15,29 15,46
H Transportasi dan Pergudangan 3,91 3,95 3,96 3,99 4,01
I Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 1,24 1,35 1,47 1,47 1,49
J Informasi dan Komunikasi 1,30 1,31 1,28 1,23 1,21
K Jasa Keuangan dan Asuransi 3,51 3,63 3,64 3,62 3,74
L Real Estat 2,18 2,24 2,29 2,25 2,22
M,N Jasa Perusahaan 0,23 0,23 0,24 0,23 0,23
O Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 7,21 7,14 7,47 7,48 7,11
P Jasa Pendidikan 4,85 4,88 4,79 4,79 4,86
Q Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 1,24 1,24 1,23 1,22 1,20
R,S,T,U Jasa lainnya 1,67 1,66 1,63 1,62 1,62
Produk Domestik Regional Bruto 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
* Angka sementara
** Angka sangat sementara
Sumber : BPS Kabupaten Sumbawa
Tabel 3.4 memperlihatkan perkembangan kontribusi masing-masing sekor
terhadap pembentukan PDRB di Kabupaten Sumbawa selama kurun waktu 2012-
2016. Memperhatikan perkembangan kontribusi masing-masing sektor terhadap
pembentukan PDRB Kabupaten Sumbawa dalam kurun waktu lima tahun
terakhir. Secara umum dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam kurun
31
waktu tersebut belum menunjukkan terjadinya perubahan struktur ekonomi di
Kabupaten Sumbawa secara signifikan. Kontribusi yang diberikan masing-masing
sektor terhadap pembentukan PDRB datar-datar saja (relatif tetap). Dapat
dikatakan bahwa belum terjadi transformasi ekonomi.
Bahkan dalam kurun waktu lima tahun terakhir, setiap tahun terjadi
penurunan kontribusi oleh sektor industri terhadap pembentukan PDRB. Dengan
cenderung menurunnya kontribusi sektor industri terhadap PDRB, ini berarti
memberikan indikasi perkembangan di sektor industri cukup mengkhawatirkan.
Early warning tersebut wajib diketahui oleh para perencana dan pemutus
kebijakan pembangunan daerah di Kabupaten Sumbawa. Keadaan di sektor
industri membutuhkan perhatian yang lebih serius dan dibutuhkan kebijakan
pembangunan yang tepat. Dan perlu diingat, selain sektor pertanian Kabupaten
Sumbawa sangat perlu mengandalkan sektor industri sebagai penyangga
perekonomian daerah.
Satu-satunya sektor yang mengalami kenaikan dalam kontribusi PDRB
Kabupaten Sumbawa adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran. Tetapi
pergerakaanya sangat lambat. Pada tahun 2012, sektor perdagangan
memberikan kontribusi terhadap PDRB hanya sebesar 14,81 persen, dan terus
bergerak naik menjadi 15,46 persen pada tahun 2016.
3.2.3. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu indikator keberhasilan
pembangunan ekonomi suatu daerah dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
32
6,67
6,44 6,63
6,43
5,26
5,00
5,50
6,00
6,50
7,00
2012 2013 2014 2015 2016
Pada sub bab sebelumnya telah diuraikan perkembangan pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Sumbawa. Untuk lebih jelasnya pertumbuhan ekonomi
Kabupaten Sumbawa dapat dilihat pada grafik 3.3. Terlihat bahwa perekonomian
Kabupaten Sumbawa selama kurun waktu 2012-2016 mengalami pertumbuhan
ekonomi yang cukup baik, yaitu positif di atas 5 persen.
Jika diamati pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sumbawa setiap tahun,
terlihat pergerakannya fluktuatif seperti pada grafik 3.3. Pertumbuhan ekonomi
Kabupaten Sumbawa tahun 2012 mencapai sebesar 6,67 persen dan mengalami
perlambatan menjadi 6,44 persen pada tahun 2013. Kemudian pada tahun 2014
mengalami kenaikan menjadi sebesar 6,63 sebelum mengalami perlambatan
selama dua tahun terakhir, yaitu sebesar 6,43 persen pada tahun 2015 dan 5,26
persen di tahun 2016.
Grafik 3.3 : Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Sumbawa Tahun 2012-2016
Sumber : BPS kabupaten Sumbawa
33
Tabel 3.5. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Sumbawa Menurut Lapangan
Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2010 Tahun 2012 - 2016 (Persen)
Lapangan Usaha/Industry 2012 2013 2014 2015* 2016**
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
A Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 7,24 6,27 6,32 6,84 3,06
B Pertambangan dan Penggalian 5,73 6,50 6,76 6,61 7,91
C Industri Pengolahan 4,45 4,65 4,93 3,58 4,28 D Pengadaan Listrik dan Gas 14,61 18,96 39,54 -4,63 10,23
E Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang
4,85 5,00 8,52 4,15 4,78
F Konstruksi 3,89 5,92 6,25 6,94 7,04 G Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil
dan Sepeda Motor 8,93 8,68 8,59 5,30 7,58
H Transportasi dan Pergudangan 5,16 5,40 5,41 7,36 5,62 I Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 6,48 6,78 7,29 5,20 7,72
J Informasi dan Komunikasi 13,59 8,72 9,97 9,47 8,45
K Jasa Keuangan dan Asuransi 13,01 7,85 8,37 9,07 11,05 L Real Estat 4,37 5,41 6,34 6,42 5,77 M,N Jasa Perusahaan 6,22 6,28 7,32 5,61 6,55 O Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan
Jaminan Sosial Wajib 2,96 3,11 3,42 3,45 2,35
P Jasa Pendidikan 6,87 7,01 6,94 7,17 6,59 Q Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 5,18 7,79 7,00 6,87 6,09
R,S,T,U Jasa lainnya 7,11 6,44 7,45 6,01 7,05
Produk Domestik Regional Bruto 6,67 6,44 6,63 6,43 5,26
* Angka sementara/PreliminaryFigures
** Angka sangat sementara/Very Preliminary Figures
Sumber : BPS Kabupaten Sumbawa
Untuk lebih jelas melihat kondisi perekonomian Kabupaten Sumbawa
dapat dilihat pada tabel 3.5. Pada tabel ini memperlihatkan pertumbuhan
ekonomi masing-masing sektor. Kalau diperhatikan perkembangan pertumbuhan
ekonomi masing-masing sektor, dapat diambil suatu kesimpulan, yaitu ; pertama
: di Kabupaten Sumbawa tidak terlihat adanya tranformasi ekonomi yang
permanen karena pergerakan pertumbuhan ekonomi di masing-masing sektor
bersifat fluktuatif ; kedua : Masing-masing sektor belum mempunyai ketahanan
34
ekonomi yang kuat, ini dapat dilihat dari setiap adanya perubahan musim,
perubahan kebijakan pemerintah, dan kondisi lainnya masing-masing sektor
adanya yang mengalami penurunan produksinya.
Sektor pertanian yang memiliki peranan utama di Kabupaten Sumbawa
hanya tumbuh sebesar 3,06 persen pada tahun 2016, menurun dibandingkan
pertumbuhan ekonomi sektor pertanian pada tahun 2015 yang dua kali lipat
lebih besar dari tahun 2016 yaitu 6,84. Untuk meningkatkan produksi di sektor
pertanian, Kabupaten Sumbawa perlu mengevaluasi infrastruktur dan kebijakan
di sektor pertanian.
Jika kita perhatikan, sejak tahun 2012-2016 laju pertumbuhan sektor
Konstruksi Kabupaten Sumbawa selalu mengalami kenaikan dari tahun ke
tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah berusaha untuk tetap
melanjutkan agenda pembanguan di Kabupaten Sumbawa menuju Sumbawa
yang lebih maju.
Sektor industri pengolahan yang diharapkan mampu meningkatkan
peranannya dalam perekonomian Kabupaten Sumbawa mengalami
pertumbuhan ekonomi yang bersifat stagnan selama tahun 2012-2016 dengan
pertumbuhan sebesar 4 persen, sehingga peranannya belum banyak
mengalami peningkatan.
3.2.4. PDRB Per Kapita
PDRB Per Kapita merupakan gambaran dari rata-rata pendapatan yang
diterima oleh setiap penduduk selama satu tahun dan biasanya juga digunakan
35
sebagai indikator tingkat kemakmuran penduduk. Data ini diperoleh dengan cara
membagi nilai PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun pada tahun
yang sama. Untuk mengetahui adanya pertumbuhan tingkat kesejahteraan
masyarakat, dihitung dengan PDRB Per Kapita atas dasar harga konstan.
Pertumbuhan PDRB dapat terjadi tanpa memberi dampak positif pada tingkat
kesejahteraan masyarakat, akibat pertumbuhan penduduk dan atau perubahan
harga yang lebih tinggi daripada pertumbuhan PDRBnya.
Tabel 3.6. PDRB Per Kapita dan Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita
Kabupaten Sumbawa Tahun 2012 - 2016
RINCIAN 2012 2013 2014 2015 2016
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
I. ATAS DASAR HARGA BERLAKU
1. PDRB Per Kapita (Rp.) 17.349.291 18.641.679 20.785.492 23.324.139 25.571.172
2. Jumlah Penduduk Pertengahan Tahun
427.119 431.924 436.599 441.102 445.503
3. Laju Pertumbuhan (%) 8,88
8,66
12,71
13,37
10,73
II. ATAS DASAR HARGA KONST. 2010
1. PDRB Per Kapita (Rp) 16.498.416 17.364.750 18.316.987 19.294.952 20.109.022
2. Jumlah Penduduk Pertengahan Tahun
427.119 431.924 436.599 441.102 445.503
3. Laju Pertumbuhan (%) 6,67 6,44 6,63 6,43 5,26
Sumber : BPS Kabupaten Sumbawa
36
Tabel 3.6 menunjukkan bahwa PDRB Per Kapita dari tahun 2012 sampai
tahun 2016 terus mengalami pertumbuhan yang positif baik atas dasar berlaku
maupun atas dasar harga konstan. Laju peningkatan PDRB perkapita Kabupaten
Sumbawa atas dasar harga konstan pada tahun 2016 sebesar 4,22 pesen.
Peningkatan atau penurunan PDRB per kapita tidak dapat dijadikan
sebagai ukuran peningkatan kemakmuran ekonomi maupun penyebaran
pendapatan disetiap strata ekonomi, karena pengaruh inflasi yang cukup
dominan dalam pembentukan PDRB.
3.2.5. Indeks Harga Implisit
Dalam pembangunan ekonomi, masalah tingkat harga merupakan
variabel penting yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan daya
beli (Purchasing Power) masyarakat. Pertumbuhan pendapatan yang tinggi tidak
akan membawa dampak terhadap kesejahteraan masyarakat kalau tingkat harga
meningkat lebih tinggi. Dengan berkembangnya perekonomian berarti semua
komponen nilai tambah, termasuk upah dan gaji serta keuntungan pengusaha
juga meningkat, upah dan gaji sebagai balas jasa faktor produksi tenaga kerja
mengalami kenaikan, kalau di lain pihak harga barang kebutuhan relatif stabil
maka akan terjadi kenaikan daya beli. Bila daya beli masyarakat meningkat
berarti terdapat perbaikan kesejahteraan.
37
Tabel 3.7. Perbandingan IHI Dari PDRB Kabupaten Sumbawa dengan Inflasi Kota Mataram Tahun 2012 – 2016
Tahun
PDRB ADH.
Berlaku (Juta Rp)
PDRB ADH.
Konstan 2010 (Rp)
IHI
Laju Inflasi Kota
Mataram (%)
(1) (2) (3) (4) (5)
2012 7.410.211,83 7 046 786,98 105,16 4,10
2013 8.051.788,76 7 500 252,07 107,35 9,27
2014 9.074.924,98 7 997 178,20 113,48 7,18
2015 10.288.324,58 8 511 041,73 120,88 3,25
2016 11.392.033,93 8 958 629,61 127,16 2,47
Sumber : BPS Kabupaten Sumbawa Indeks Harga Implisit (IHI) adalah suatu indeks harga yang diperoleh
dengan membagi nilai PDRB atas dasar harga berlaku dengan nilai PDRB atas
dasar harga konstan untuk masing-masing sektor/sub sektor dalam kurun waktu
satu tahun dan dikalikan 100. Indeks harga implisit menggambarkan tingkat
perubahan harga umum seluruh komoditi baik barang maupun jasa yang terjadi
di suatu wilayah dalam kurun waktu satu tahun.
Tabel 3.7 menunjukkan bahwa selama tahun 2012 - 2016 terjadi
peningkatan daya beli masyarakat, karena laju inflasi lebih rendah dibanding laju
PDRB Per Kapita. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nilai tambah
produksi per penduduk Kabupaten Sumbawa mengalami peningkatan secara riil.
Peningkatan daya beli masyarakat menunjukkan adanya peningkatan tingkat
kesejahteraan penduduknya.
38
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Perkembangan Distribusi Pendapatan Kabupaten Sumbawa
Pada Bab sebelumnya telah diuraikan bahwa laju pertumbuhan
perekonomian Kabupaten Sumbawa dalam kurun waktu lima tahun terakhir
menunjukkan performa yang baik. Hal tersebut berdampak pula pada
peningkatan level Produk Domestrik Bruto (PDRB) per kapita. Tingginya PDRB
per kapita di suatu daerah belum tentu mencerminkan meratanya distribusi
pendapatan.
Suatu daerah dikatakan berhasil dalam pembangunan ekonomi jika
kenaikan laju pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati oleh seluruh lapisan
masyarakat. Tetapi pada umumnya kenaikan laju pertumbuhan ekonomi
daerah belum sepenuhnya dinikmati oleh kalangan masyarakat menengah
bawah bahkan sebagian besar porsinya dinikmati oleh masyarakat menengah
ke atas. Jika hal tersebut terjadi berarti daerah belum mampu menciptakan
kebijakan pembangunan ekonomi yang tepat bagi masyarakat berpendapatan
rendah.
Grafik 4.1 memperlihatkan perkembangan distribusi pendapatan
Kabupaten Sumbawa ditinjau dari besarnya nilai Koefisien Gini dalam kurun
waktu tahun 2012-2016. Tahun 2012 nilai Koefisien Gini sebesar 0,388 dan
mengalami penurunan menjadi sebesar 0,357 pada tahun 2014. Semakin kecil
39
nilai koefisien gini, pertanda semakin baik atau meratanya distribusi
pendapatan masyarakat. Sementara itu pada tahun 2016, nilai koefisien gini
tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan tahun 2014. Berdasarkan
batasan koefisien Gini Harry T. Oshima, ketimpangan distribusi pendapatan
Kabupaten Sumbawa selama 2012 sampai dengan 2016 tergolong
ketimpangan sedang karena nilai koefisien Gini terletak antara 0,35 dan 0,5.
Grafik 4.1. Perkembangan Distribusi Pendapatan di Sumbawa Menurut Nilai
Koefisien Gini dalam Kurun Waktu Tahun 2012-2016
Sumber: BPS Kabupaten Sumbawa
Nilai koefisien Gini yang tidak mengalami perubahan dari 2014 ke 2016
harus mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah Daerah. Keadaan
teersebut perlu diwaspadai, karena memberikan indikasi bahwa tingkat
ketimpangan ekonomi masyarakat di Kabupaten Sumbawa tidak mengalami
perbaikan. Selai itu, kondisi tersebut juga dapat digunakan sebagai peringatan
0,388
0,357 0,357 0,320
0,340
0,360
0,380
0,400
0,420
0,440
0,460
0,480
0,500
2012 2014 2016
Gini Ratio
40
dini bagi pembangunan ekonomi di Kabupaten Sumbawa yang berorientasi
pada pengurangan kesenjangan ekonomi di masyarakat dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat secara umum. Pemerintah Daerah Kabupaten
Sumbawa harus mengevaluasi kebijakan-kebijakan pembangunan yang
sudah berjalan. Kebijakan pembangunan harus terus berorientasi pada
kepentingan masyarakat bawah.
Grafik 4.2. Distribusi Pendapatan Kabupaten Sumbawa Menurut Menurut
Kriteria Bank Dunia Tahun 2016
Sumber: BPS Kabupaten Sumbawa
Ukuran lain untuk melihat distribusi pendapatan yaitu dengan
menggunakan kriteria Bank Dunia. Bank Dunia membagi penduduk menjadi
tiga kelompok, yaitu kelompok 40 persen penduduk berpendapat terendah,
kelompok 40 persen penduduk berpendapat menengah, dan kelompok 20
persen penduduk berpendapat tertinggi. Pada Grafik 4.2 ditunjukkan bahwa
17,47
39,37
43,16
40 % PendudukBerpendapatanTerendah
40 % PendudukBerpendapatanMenengah
20 % PendudukBerpendapatanTertinggi
41
pada tahun 2016, kelompok 40 persen penduduk berpendapatan terendah
hanya menikmati kue pembangunan sebesar 17,47 persen. Kemudian
kelompok 40 persen penduduk berpendapatan menengah menikmati kue
pembangunan sebesar 43,16 persen. Sementara kelompok 20 persen
penduduk berpendapatan tertinggi menikmati kue pembangunan 39,30
persen.
Tingkat ketidakmerataan pembagian pendapatan Bank Dunia diukur
dari besarnya bagian pendapatan yang dinikmati oleh kelompok 40 persen
penduduk berpendapatan terendah. Terlihat bahwa pada tahun 2016,
Kabupaten Sumbawa termasuk dalam ketidakmerataan rendah karena
kelompok 40 persen penduduk berpendapatan terendah menerima lebih dari
17 persen yaitu sebesar 17,47 persen dari seluruh pendapatan penduduk
Kabupaten Sumbawa seperti yang dipersyaratkan Bank Dunia.
Grafik 4.3. Porsi Pendapatan yang Diperoleh kelompok 40 % Penduduk Berpendapatan Terendah di Kabupaten Sumbawa Tahun 2012-2016
Sumber: BPS Kabupaten Sumbawa
16,00
17,00
18,00
2012 2014 2016
16,80
18,12
17,47
40 % Penduduk Berpendapatan Terendah
42
Selanjutnya Tabel 4.3 memperlihatkan perkembangan porsi pendapatan
yang diperoleh 40 persen penduduk berpendapatan terendah dari tahun 2012
sampai dengan 2016. Terlihat bahwa pada tahun 2012 porsi pendapatan
kelompok 40 persen penduduk berpendapatan terendah sebesar 16,80
persen dari seluruh pendapatan penduduk Kabupaten Sumbawa. Kemudian
meningkat menjadi 18,12 persen pada tahun 2014. Namun pada tahun 2016
menurun menjadi 17,47 persen.
Penurunan porsi pendapatan 40 persen masyarakat berpendapatan
rendah tersebut harus menjadi perhatian Pemerintah Kabupaten Sumbawa.
Tanpa sentuhan kebijakan pembangunan daerah yang berorientasi kepada
masyarakat bawah dikhwatirkan semakin menurunnya porsi pendapatan
masyarakat bawah. Akibatnya terjadi ketimpangan pendapatan semakin besar
di masyarakat.
Tingkat ketidakmerataan pembagian pendapatan Tahun 2012 termasuk
dalam kategori ketidakmerataan sedang karena kelompok 40 persen
penduduk berpendapatan terendah menerima antara 12 - 17 persen dari
seluruh pendapatan. Sementara itu, pada tahun 2014 dan 2016 membaik
menjadi ketidakmerataan rendah.
4.2. Distribusi Pendapatan Menurut Tipe Daerah.
Distribusi pendapatan di Kabupaten Sumbawa dapat dianalisis secara
lebih mendalam dengan membandingkan pemerataan pendapatan di daerah
perkotaan dengan pedesaan. Sebagaimanan diketahui bahwa antara daerah
43
perkotaan dengan pedesaan mempunyai karakteristik perekonomian yang
jauh berbeda. Perekonomian di daerah perkotaan bergerak pada sektor non
pertanian sedangkan perekonomian di pedesaan perekonomiaannya bergerak
pada sektor pertanian. Selain itu, fasilitas perekonomian yang ada di daerah
perkotaan lebih lengkap dibandingkan yang ada di pedesaan. Demikian juga,
akses ekonomi sosial lainnya daerah perkotaan lebih mudah dibandingkan
dengan pedesaan. Yang menarik di sini adalah apakah fasilitas perekonomian
yang ada di perkotaan tersebut mempengaruhi secara signifikan terhadap
masyarakat berpendapatan rendah atau malah menjadi pemicu ketimpangan
pembagian pendapatan di daerah perkotaan.
Pada grafik 4.4 menggambarkan perkembangan nilai Koefisien Gini baik
daerah pedesaan maupun perkotaan. Perkembangan nilai Koefisien Gini
daerah pedesaan terlihat fluktuatif dalam kurun waktu 2012 – 2016. Nilai
Koefisien Gini pedesaan terlihat fluktuatif. Pada tahun 2012 koefisien Gini
sebesar 0,315 kemudian mengalami penurunan menjadi 0,302 pada tahun
2014 dan selanjutnya meningkat menjadi sebesar 0,322 pada tahun 2016.
Sedangkan perkembangan nilai Koefisien Gini daerah perkotaan cenderung
mengalami penurunan. Pada tahun 2012, nilai Koefisien Gini perkotaan
sebesar 0,402, mengalami penurunan yang cukup manjadi 0,375 pada tahun
2014 dan mengalami penurunan lagi menjadi 0,368 pada tahun 2016. Nilai
koefisien gini daerah pedesaan lebih kecil dibandingkan dengan daerah
perkotaan. Ini berarti bahwa daerah pedesaan mempunyai tingkat distribusi
pendapatan lebih merata dibandingkan dengan daerah perkotaan.
44
Grafik 4.4. Distribusi Pendapatan Menurut Tipe Daerah
Berdasarkan Koefisien Gini Tahun 2012-2016
Sumber: BPS Kabupaten Sumbawa
Berdasarkan nilai Koefisien Gini dalam kurun waktu tersebut, daerah
pedesaan mempunyai tingkat distribusi pendapatan dengan ketimpangan
rendah karena nilai koefisien gini pedesaan selalu berada di bawah 0,350.
Sementara daerah perkotaan mempunyai tingkat distribusi pendapatan
dengan ketimpangan sedang karena nilai koefisien gini perkotaan terletak
antara 0,35 sampai dengan 0,50.
Apabila dilihat menurut kriteria Bank Dunia, tingkat distribusi
pendapatan pedesaan masih tergolong ketimpangan rendah, karena porsi
pendapatan yang diperoleh 40 persen penduduk berpendapatan rendah di
atas 17 persen dari total pendapatan Daerah Sumbawa. Sementara itu terjadi
hal sebaliknya di daerah perkotaan. Tingkat distribusi pendapatan perkotaan
tergolong ketimpangan tinggi karena porsi pendapatan yang diperoleh 40
0,402
0,375 0,368
0,315 0,302
0,322
0,200
0,250
0,300
0,350
0,400
0,450
2012 2014 2016
Perkotaan Pedesaan
45
persen penduduk berpendapatan rendah dibawah 12 persen dari total
pendapatan Daerah Sumbawa. Lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik 4.5.
Grafik 4.5. Porsi Pendapatan yang Diperoleh Kelompok 40 % Penduduk Berpendapatan Rendah Menurut Tipe Daerah di Kabupaten Sumbawa
Tahun 2012-2016
Sumber: BPS Kabupaten Sumbawa
Rendahnya porsi pendapatan yang diperoleh 40 persen penduduk
berpendapatan rendah di perkotaan menunjukkan bahwa kemajuan
perekonomian yang tercipta belum dinikmati secara merata oleh semua
lapisan masyarakat perkotaan. Masyarakat lapisan bawah sangat sulit untuk
keluar dari kesulitannya, walaupun pemerintah telah membangun fasilitas
perekonomian yang memadai. Jangkauan masyarakat bawah ke fasilitas
perekonomian kalah bersaing dengan masyarakat menengah ke atas. Agar
dapat menjangkau ke fasilitas tersebut sangat diperlukan uluran tangan dari
pemerintah daerah. Namun program yang diluncurkan harus yang tepat
9,30 9,37 9,92
22,75 24,43
22,93
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
2012 2014 2016
Perkotaan Pedesaan
46
sasaran dan sesuai dengan keadaan masyarakat.
Pada Grafik 4.5 juga terlihat bahwa walaupun tingkat distribusi
pendapatan perkotaan tergolong ketimpangan tinggi, ada kecenderungan
mengalami perbaikan dari tahun ke tahun. Pada Tahun 2012 porsi pendapatan
yang diperoleh 40 persen penduduk berpendapatan rendah sebesar 9,30
persen meningkat menjadi 9,37 persen pada tahun 2014. Dan pada tahun
2016 porsi pendapatan yang diperoleh 40 persen penduduk berpendapatan
rendah menjadi 9,92 persen.
Sebagai pendukung dari kedua metode di atas perlu diberikan visualisasi
pemerataan pembagian pendapatan dengan Kurva Lorenz. Dari Kurva Lorenz
ini akan menunjukkan bahwa karakteristik yang dikatakan lebih merata dalam
pembagian pendapatan di masyarakat jika garis yang terbentuk mendekati
garis diagonal.
Grafik 4.6 menunjukkan kurva lorenz pemerataan pembagian
pendapatan penduduk menurut Tipe daerah pada tahun 2016. Terlihat daerah
pedesaan lebih mendekati garis diagonal dibandingkan dengan daerah
perkotaan yang agak menjauh dari garis diagonal. Hal ini makin membuktikan
bahwa daerah pedesaan lebih merata pembagian pendapatannya
dibandingkan dengan daerah perkotaan.
47
Grafik 4.6. Kurva Lorenz Distribusi Pendapatan Menurut Tipe Daerah
Tahun 2016
Sumber: BPS Kabupaten Sumbawa
4.3. Distribusi Pendapatan Menurut Kabupaten/Kota
Hal lain yang menarik untuk dibahas dalam distribusi pendapatan
adalah perlunya melihat gambaran tingkat distribusi pendapatan berdasarkan
wilayah. Dalam hal ini membandingkan distribusi pendapatan Kabupaten
Sumbawa dengan kabupaten atau kota lainnya di NTB.
48
Grafik 4.7. Distribusi Pendapatan Menurut Kabupaten/kota Tahun 2016
Sumber: BPS Kabupaten Sumbawa
Pada Grafik 4.7 terlihat bahwa berdasarkan nilai koefisin Gini terdapat
dua Kabupaten / kota di NTB yang mempunyai nilai koefisin Gini diatas 0,35
yaitu Kabupaten Sumbawa dan Kota Bima. Sedangkan Kabupaten/kota lainnya
mempunyai nilai koefisin Gini di bawah 0,35. Menurut Harry T. Oshima, hanya
Kabupaten Sumbawa dan Kota Bima yang tergolong dalam ketimpangan
distribusi pendapatan sedang karena nilai koefisien Gini terletak antara 0,35
dan 0,5. Sementara Kabupaten/kota lainnya sudah tergolong dalam
ketimpangan distribusi pendapatan rendah karena koefisien Gini di bawah
0,35.
0,309
0,344
0,298
0,357
0,290 0,317
0,283 0,311
0,349 0,358
0,000
0,050
0,100
0,150
0,200
0,250
0,300
0,350
0,400
Nilai Koefisien Gini
49
Grafik 4.8. Porsi Distribusi Pendapatan Pendapatan yang Diperoleh Kelompok 40 % Penduduk Berpendapatan Rendah Menurut Kabupaten/Kota
di NTB Tahun 2016
Sumber: BPS Kabupaten Sumbawa
Kemudian jika dilihat menurut kriteria Bank Dunia, tingkat distribusi
pendapatan semua kabupaten/kota di NTB tergolong ketimpangan rendah
karena porsi pendapatan yang diperoleh 40 persen penduduk berpendapatan
terendah di atas 17 persen dari total pendapatan. Namun yang menjadi fokus
perhatian adalah ternyata Kabupaten Sumbawa yang menempati urutan
buncit dari porsi pendapatan yang diperoleh 40 persen penduduk
berpendapatan terendah yaitu sebesar 17,47 persen dari total pendapatan.
Kabupaten Sumbawa Barat sebagai kabupaten terdekat dengan Kabupaten
Sumbawa, justru menempati peringkat pertama di NTB yang mempunyai porsi
pendapatan yang diperoleh 40 persen penduduk berpendapatan terendah
dengan persentase 22,59 persen.
20,28 18,93
21,52
17,47
21,47 20,41 22,59
20,51 18,64 17,54
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
kelompok 40 persen penduduk berpendapatan terendah
50
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
a. Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan di Kabupaten Sumbawa
mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Ini menunjukkan bahwa
seiring dengan kenaikan pendapatan tersebut pengeluaran
masyarakat juga mengalami kenaikan.
b. Pertumbuhan ekonomi yang diraih Kabupaten Sumbawa belum
berdampak secara optimal kepada masyarakat berpendapatan
rendah.
c. Berdasarkan Gini Ratio, Kabupaten Sumbawa tahun 2016
mengalami ketimpangan distribusi pendapatan dengan kategori
sedang. Sementara berdasarkan Bank Dunia Kabupaten Sumbawa
mengalami ketimpangan distribusi pendapatan dengan kategori
rendah.
d. Dari tahun 2014 sampai dengan 2016 ketimpangan distribusi
pendapatan stagnan atau tidak mengalami perbaikan.
e. Tingkat distribusi pendapatan di daerah pedesaan lebih merata
dibandingkan dengan daerah perkotaan.
51
6.2. Saran-saran
a. Pemerintah Kabupaten Sumbawa harus memberikan fokus
perhatian di daerah perkotaan karena ketimpangan distribusi
pendapatan di daerah perkotaan masih tinggi.
b. Kenaikan pendapatan masyarakat harus diimbangi dengan
pengendalikan inflasi barang dan jasa. Apabila tidak diimbangi
dengan penekanan inflasi maka kenaikan pendapatan masyarakat
tidak akan mempunyai arti, dengan kata lain daya beli masyarakat
turun.
c. Kebijakan pemerintah harus mampu mendorong pembangunan
ekonomi bagi masyarakat berpendapatan rendah. Salah satunya
adalah pemerataan pendidikan dan fasilitasnya untuk menciptakan
sumber daya manusia yang berkualitas yang berdampak pada
peningkatan pemerataan pembangunan.
52
53
Lampiran 1 Desil Pendapatan Perkotaan Kabupaten Sumbawa Tahun 2016
Desil Total Pendapatan Distribusi Pendapatan Kumulatif Persentase
Pendapatan
(1) (2) (3) (4)
10 1.841.521.677 1,19 1,19
20 4.822.211.100 3,11 4,29
30 4.427.055.925 2,85 7,14
40 4.320.933.079 2,78 9,92
50 3.491.408.987 2,25 12,17
60 11.181.631.897 7,20 19,37
70 15.090.145.774 9,72 29,09
80 17.171.276.662 11,06 40,15
90 26.262.584.291 16,91 57,06
100 66.691.333.203 42,94 100,00
Jumlah 155.300.102.595 100
54
Lampiran 2 Desil Pendapatan Pedesaan Kabupaten Sumbawa Tahun 2016
Desil Total Pendapatan Distribusi Pendapatan Kumulatif Persentase
Pendapatan
(1) (2) (3) (4)
10 9.111.248.781 4,24 4,24
20 10.168.580.540 4,73 8,97
30 13.525.102.684 6,29 15,26
40 16.483.696.393 7,67 22,93
50 23.884.188.203 11,11 34,03
60 21.890.466.787 10,18 44,22
70 24.640.153.909 11,46 55,68
80 28.428.850.062 13,22 68,9
90 31.586.467.376 14,69 83,59
100 35.275.150.984 16,41 100
Jumlah 155.300.102.595 100
55
Lampiran 3 Desil Pendapatan Kabupaten Sumbawa Tahun 2016
Desil Total Pendapatan Distribusi Pendapatan Kumulatif Persentase
Pendapatan
(1) (2) (3) (4)
10 10.952.770.457 2,96 2,96
20 14.990.791.641 4,05 7,01
30 17.952.158.609 4,85 11,85
40 20.804.629.472 5,62 17,47
50 27.375.597.190 7,39 24,87
60 33.072.098.684 8,93 33,80
70 39.730.299.683 10,73 44,53
80 45.600.126.725 12,31 56,84
90 57.849.051.667 15,62 72,46
100 101.966.484.188 27,54 100,00
Jumlah 370.294.008.315 100
56
Lampiran 4 Distribusi Pendapatan Kabupaten Sumbawa Berdasarkan Kriteria Bank Dunia Menurut Tipe Daerah Tahun 2012
Kriteria Bank Dunia Kota Desa Sumbawa
(1) (2) (3) (4)
40 % Penduduk Berpendapatan Rendah
9,30 22,75 16,80
40 % Penduduk Berpendapatan Menengah
16,30 51,69 36,02
20 % Penduduk Berpendapatan Atas
74,40 25,56 47,18
Jumlah
100,00
100,00
100,00
57
Lampiran 5 Distribusi Pendapatan Kabupaten Sumbawa Berdasarkan Kriteria Bank Dunia Menurut Tipe Daerah Tahun 2014
Kriteria Bank Dunia Kota Desa Sumbawa
(1) (2) (3) (4)
40 % Penduduk Berpendapatan Rendah
9,37 24,43 18,12
40 % Penduduk Berpendapatan Menengah
23,63 48,08 37,83
20 % Penduduk Berpendapatan Atas
67,00 27,49 44,04
Jumlah
100,00
100,00
100,00
58
Lampiran 6 Distribusi Pendapatan Kabupaten Sumbawa Berdasarkan Kriteria Bank Dunia Menurut Tipe Daerah Tahun 2016
Kriteria Bank Dunia Kota Desa Sumbawa
(1) (2) (3) (4)
40 % Penduduk Berpendapatan Rendah
9,92 22,93 17,47
40 % Penduduk Berpendapatan Menengah
30,22 45,98 39,37
20 % Penduduk Berpendapatan Atas
59,85 31,10 43,16
Jumlah
100,00
100,00
100,00