kebijakan desentralisasi fiskal, pergeseran sektoral, dan ......lyze panel data, the study found...

22
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Vol. 14 No. 2, Januari 2014: 1- ISSN 1411-5212 Kebijakan Desentralisasi Fiskal, Pergeseran Sektoral, dan Ketimpangan Antarkabupaten/Kota di Sulawesi Tengah Fiscal Decentralization Policies, Sectoral Shifts and Inequalities Amongst Regencies/Municipalities in Central Sulawesi Muhammad Amir Arham a,* a Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Gorontalo Abstract Fiscal decentralization can create efficiency and effectiveness to promote growth and change in economic structures well as to reduce inequalities amongst regions. This study intends to find out whether the fiscal decentralization policies during 2001–2010 contribute to the shift of economic sectors and inequality rates amongst district/municipalities in the Province of Central Sulawesi. By using econometrics method to ana- lyze panel data, the study found that fiscal decentralization supports a shift in the economic sector where the role of primary sector gradually decreased and the secondary and tertiary sector tend to be increased since the implementation of regional autonomy. As a result, the fiscal decentralization produces an economic change in Central Sulawesi. At the same time, during this study period, it shows that fiscal decentralization can generate an economic inequality amongst regencies/municipalities in the region. Keywords: Fiscal Decentralization, Sectoral Shifts, Inequality Abstrak Desentralisasi fiskal dapat menciptakan efisiensi dan efektivitas untuk mendorong pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi, serta mengurangi ketimpangan antardaerah. Studi ini ingin mengetahui pengaruh kebijakan desentralisasi fiskal terhadap pergeseran sektor dan ketimpangan antarkabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah. Dengan menggunakan metode ekonometrika melalui persamaan data panel pada periode tahun 2001–2010, studi ini menemukan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal dapat mendorong pergeseran sektor, di mana peranan sektor primer kecenderungannya makin menurun, sehingga berakibat pada peningkatan peranan sektor sekunder dan tersier selama pelaksanaan otonomi daerah, dengan demi- kian kebijakan desentralisasi fiskal dapat menciptakan perubahan struktur ekonomi di Sulawesi Tengah. Kebijakan desentralisasi fiskal mendorong terjadinya peningkatan ketimpangan antara kabupaten/kota di Sulawesi Tengah selama periode studi. Kata kunci: Desentralisasi Fiskal, Pergeseran Sektoral, Ketimpangan JEL classifications: E62, R11, R12 Pendahuluan Desentralisasi prinsipnya memberikan kewe- nangan yang besar kepada pemerintah daerah untuk dapat memecahkan masalah-masalah * Alamat Korespondensi: Jalan Sudirman No. 6, Ko- ta Gorontalo E-mail : [email protected]. pembangunan di daerah, sehingga berdam- pak pada pertumbuhan ekonomi (Oates, 1972). Implikasi lebih lanjut, pertumbuhan ekonomi diharapkan mendorong terjadinya perubahan struktur perekonomian yang ditandai dengan terjadinya pergeseran struktur pekerjaan seca- ra sektoral, perubahan komposisi sektoral da-

Upload: others

Post on 12-Feb-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Jurnal Ekonomi dan Pembangunan IndonesiaVol. 14 No. 2, Januari 2014: 1-

    ISSN 1411-5212

    Kebijakan Desentralisasi Fiskal, Pergeseran Sektoral, dan KetimpanganAntarkabupaten/Kota di Sulawesi Tengah

    Fiscal Decentralization Policies, Sectoral Shifts and Inequalities AmongstRegencies/Municipalities in Central Sulawesi

    Muhammad Amir Arhama,∗

    aDepartemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Gorontalo

    Abstract

    Fiscal decentralization can create efficiency and effectiveness to promote growth and change in economicstructures well as to reduce inequalities amongst regions. This study intends to find out whether the fiscaldecentralization policies during 2001–2010 contribute to the shift of economic sectors and inequality ratesamongst district/municipalities in the Province of Central Sulawesi. By using econometrics method to ana-lyze panel data, the study found that fiscal decentralization supports a shift in the economic sector wherethe role of primary sector gradually decreased and the secondary and tertiary sector tend to be increasedsince the implementation of regional autonomy. As a result, the fiscal decentralization produces an economicchange in Central Sulawesi. At the same time, during this study period, it shows that fiscal decentralizationcan generate an economic inequality amongst regencies/municipalities in the region.Keywords: Fiscal Decentralization, Sectoral Shifts, Inequality

    Abstrak

    Desentralisasi fiskal dapat menciptakan efisiensi dan efektivitas untuk mendorong pertumbuhan danperubahan struktur ekonomi, serta mengurangi ketimpangan antardaerah. Studi ini ingin mengetahuipengaruh kebijakan desentralisasi fiskal terhadap pergeseran sektor dan ketimpangan antarkabupaten/kotadi Provinsi Sulawesi Tengah. Dengan menggunakan metode ekonometrika melalui persamaan data panelpada periode tahun 2001–2010, studi ini menemukan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal dapat mendorongpergeseran sektor, di mana peranan sektor primer kecenderungannya makin menurun, sehingga berakibatpada peningkatan peranan sektor sekunder dan tersier selama pelaksanaan otonomi daerah, dengan demi-kian kebijakan desentralisasi fiskal dapat menciptakan perubahan struktur ekonomi di Sulawesi Tengah.Kebijakan desentralisasi fiskal mendorong terjadinya peningkatan ketimpangan antara kabupaten/kota diSulawesi Tengah selama periode studi.Kata kunci: Desentralisasi Fiskal, Pergeseran Sektoral, Ketimpangan

    JEL classifications: E62, R11, R12

    Pendahuluan

    Desentralisasi prinsipnya memberikan kewe-nangan yang besar kepada pemerintah daerahuntuk dapat memecahkan masalah-masalah

    ∗Alamat Korespondensi: Jalan Sudirman No. 6, Ko-ta Gorontalo E-mail : [email protected].

    pembangunan di daerah, sehingga berdam-pak pada pertumbuhan ekonomi (Oates, 1972).Implikasi lebih lanjut, pertumbuhan ekonomidiharapkan mendorong terjadinya perubahanstruktur perekonomian yang ditandai denganterjadinya pergeseran struktur pekerjaan seca-ra sektoral, perubahan komposisi sektoral da-

    [email protected].

  • Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal,... 2

    lam regional income, distribusi dan pemera-taan pendapatan, maupun perubahan struk-tur permintaan domestik. Namun, kelihatan-nya selama pelaksanaan desentralisasi fiskal,efek pertumbuhan dan kemajuan ekonomi le-bih kuat di daerah yang kaya Sumber Da-ya Alam (SDA) sebagaimana yang ditemukanoleh Waluyo (2007), bahwa desentralisasi fis-kal di Indonesia lebih kuat pengaruhnya terha-dap pertumbuhan ekonomi di daerah industridan daerah yang kaya SDA. Gejala yang samaditemukan oleh Hammond dan Tossun (2011)di Amerika Serikat, bahwa desentralisasi lebihmemiliki dampak terhadap daerah pusat indus-tri dan jasa, namun tidak signifikan bagi dae-rah nonmetropolitan.

    Berdasarkan temuan empiris tersebut di atasdikaitkan dengan pelaksanaan desentralisasifiskal di Sulawesi Tengah, kelihatan kondisi-nya sangat kontras, meskipun kekayaan SDA(pertanian dan pertambangan) cukup merata.Potensi pertanian menyebar di semua kabupa-ten, sementara potensi perikanan berada di ti-ga kawasan, yakni Laut Sulawesi, Teluk Tomi-ni, dan Teluk Tolo. Potensi migas dan mine-ral di wilayah timur Sulawesi Tengah (Kabu-paten Banggai dan Kabupaten Morowali), de-mikian juga di wilayah pantai barat SulawesiTengah (Kabupaten Donggala, Kabupaten To-litoli, dan Kabupaten Buol) potensi tambangemas cukup besar. Daerah-daerah yang po-tensial tersebut kondisinya belum mengalamikemajuan yang signifikan, industri pengolah-an belum berkembang. Sejatinya bahan bakuyang tersedia dapat dimanfaatkan untuk kegi-atan industri, kondisi ini mengakibatkan struk-tur perekonomian masih bergantung pada sek-tor primer, belum beranjak ke sektor sekunder.

    Padahal kemajuan perekonomian yang diha-rapkan oleh semua negara (daerah), yakni ter-jadinya pergeseran sektor (perubahan strukturproduksi) perekonomian, yang ditandai menu-runnya peranan sektor primer dan meningkat-nya peranan sektor sekunder, baik dalam Pro-duk Domestik Regional Bruto (PDRB) mau-

    pun dalam penyerapan tenaga kerja. Djojoha-dikusumo (1994) mengungkapkan bahwa per-ubahan struktur suatu perekonomian berkait-an dengan perubahan-perubahan pada struk-tur produksi, kesempatan kerja, ketimpanganantarsektoral, antarwilayah, dan antardistribu-si pendapatan. Selanjutnya akan mendorongkenaikan pendapatan, sehingga mengakibatkanterjadinya pergeseran pada komposisi produk,yakni pergeseran di antara sumbangan sekto-ral dan pada kesempatan kerja produktif (darisektor primer beralih ke sektor sekunder dantersier).

    Selain itu, jika struktur perekonomian dae-rah masih didominasi sektor primer, kecende-rungannya akan terjadi ketimpangan yang cu-kup tinggi, sekalipun desentralisasi sudah dija-lankan. Hasil studi Rodŕıguez-Pose dan Ezcur-ra (2010) memperkuat asumsi tersebut bahwakebijakan desentralisasi di negara berkembang(terutama negara agraris) berpengaruh signi-fikan terhadap kenaikan ketimpangan. Nugra-hanto dan Muhyiddin (2008), menemukan hasilyang tidak berbeda bahwa desentralisasi fiskalmeningkatkan ketimpangan regional di Indo-nesia, termasuk di Sulawesi Tengah. Temuan-temuan ini tentu bertolak belakang dengan tu-juan pelaksanaan desentralisasi fiskal, padahalkebijakan desentralisasi fiskal pada dasarnyaadalah salah satu solusi untuk memecahkanmasalah ketimpangan, karena dalam pelaksa-naan desentralisasi dilakukan intergovernmen-tal transfer untuk meminimalkan vertical im-balance dan horizontal imbalance. Sementaraitu, tingkat ketimpangan ekonomi antarwila-yah (kabupaten/kota) menurut dispersion ra-tio untuk setiap provinsi di wilayah Sulawesimenunjukkan bahwa tingkat kesenjangan kabu-paten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah cende-rung meningkat (Bappenas, 2013).

    Dengan demikian, pelaksanaan desentralisa-si fiskal pencapaiannya belum maksimal untukmendorong terjadinya perubahan struktur eko-nomi di daerah dan belum dapat mengoreksimasalah ketimpangan. Tidak jauh berbeda de-

  • Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal,... 3

    ngan masalah pengelolaan sektor publik, pa-da tahun 2010 semua kabupaten/kota di Sula-wesi Tengah tercatat terdapat 306 kasus giziburuk (Kemenkes RI, 2010), bahkan termasuksalah satu yang tertinggi di Indonesia. Kondisiini tidak sejalan dengan tujuan desentralisasiyang diasumsikan, justru pelayanan publik un-tuk kebutuhan dasar, misalnya sektor kesehat-an masyarakat di daerah akan makin membaiksetelah desentralisasi diimplementasikan. Kon-disi ini memperkuat hasil studi Pepinsky danWihardja (2009) sebelumnya yang menemukanminimnya efek positif desentralisasi terhadappembangunan di Indonesia, tidak terkecuali diSulawesi Tengah.

    Selanjutnya, dalam pelaksanaan desentrali-sasi fiskal pada dasarnya diharapkan daerahotonom (kabupaten/kota) makin mandiri da-lam pembiayaan pelayanan publik dan pemba-ngunan. Atau setidaknya proporsi PendapatanAsli Daerah (PAD) terhadap total penerimaanmasing-masing daerah makin meningkat setiaptahun, dan sebaliknya proporsi transfer makinmenurun. Jika dikaitkan dengan kondisi ini diSulawesi Tengah, maka upaya melakukan ”bigpush” pembangunan yang dilakukan pemerin-tah adalah dengan menerbitkan Instruksi Pre-siden (Inpres) Republik Indonesia No. 7 Tahun2008 tentang Percepatan Pembangunan Pro-vinsi Sulawesi Tengah dengan mengalokasikananggaran sebesar Rp2 triliun sebagai konseku-ensi keluarnya Inpres tersebut. Hal ini meng-indikasikan bahwa pelaksanaan desentralisasifiskal di Sulawesi Tengah belum menunjukk-an hasil yang memadai dalam hal kemandiri-an fiskal setiap kabupaten/kota malahan ma-kin berharap adanya transfer dari pusat, selaindana Perimbangan Keuangan Pusat dan Da-erah (PKPD). Realitas ini memperkuat hasilstudi Setiaji dan Adi (2007) bahwa kemandiri-an daerah bukan makin membaik, akan tetapisebaliknya di mana ketergantungan daerah ter-hadap transfer dari pusat menjadi makin ting-gi. Kendati setiap tahun secara nominal PADseluruh kabupaten/kota meningkat, tetapi se-

    bagian besar kabupaten/kota di Sulawesi Te-ngah proporsi PAD-nya terhadap total pene-rimaannya menurun. Malahan kenaikan PADdi beberapa daerah di Sulawesi Tengah selamapelaksanaan otonomi daerah cenderung men-ciptakan distorsi ekonomi, yang menjadi peng-hambat daya saing investasi karena makin ba-nyaknya jenis Pajak Daerah dan Retribusi Da-erah (PDRD) yang dianggap membebani duniausaha.

    Investasi sangat dibutuhkan oleh kabupa-ten/kota karena melalui investasi kapasitasekonomi dan kemampuan fiskal daerah dapatmeningkat. Hanya saja pola daya tarik inves-tasi di berbagai daerah begitu buruk, di ma-na masalah-masalah klasik penghambat sepertifaktor kelembagaan dan minimnya infrastruk-tur masih mendominasi, belum dilakukan per-baikan. Padahal menurut Nugraheni dan Pri-yarsono (2012) bahwa infrastruktur secara lu-as dapat memicu terjadinya kegiatan ekono-mi produktif di sektor-sektor lain. Akan te-tapi, kenyataannya di Indonesia, terutama diSulawesi Tengah yang wilayahnya cukup luasmenunjukkan bahwa kondisi infrastruktur ma-sih buruk dan belum mengalami perbaikan se-cara signifikan selama pelaksanaan desentra-lisasi. Jika pemerintah daerah hanya menge-jar target PAD dengan memperluas basis pa-jak dan retribusi daerah, maka pada akhirnyaPAD dapat saja meningkat tetapi kinerja pere-konomian masih kurang baik. Menurut Wibo-wo (2004), untuk membantu mendorong per-tumbuhan ekonomi atau meningkatkan kinerjaekonomi harus mempertimbangkan fakta bah-wa pajak cenderung memiliki efek negatif ter-hadap kinerja perekonomian daerah.

    Kendati banyak masalah yang timbul da-lam pelaksanaan desentralisasi fiskal, akan te-tapi kebijakan tersebut merupakan sebuah ke-niscayaan bagi negara besar seperti Indonesia.Hanya saja perlu berbagai perbaikan sehing-ga memberikan hasil yang lebih optimal padapelaksanaan desentralisasi. Selanjutnya, makinmeningkatnya transfer dan PAD di setiap ka-

  • Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal,... 4

    bupaten/kota di Sulawesi Tengah serta kelelu-asaan mendesain program melalui perencanaanpembiayaan, diharapkan akan menciptakan po-la perubahan struktur ekonomi sekaligus dapatmengoreksi ketimpangan yang terjadi selamaini. Dengan mempertimbangkan beberapa ura-ian permasalahan yang diungkapkan di atas,maka perlu dilakukan studi dengan tujuan un-tuk mengetahui apakah kebijakan desentralisa-si fiskal selama sepuluh tahun berpengaruh ter-hadap pergeseran sektor (sektor primer menu-run). Selain itu, studi ini ingin mengetahui pe-ngaruh kebijakan desentralisasi fiskal terhadapketimpangan antarkabupaten/kota di ProvinsiSulawesi Tengah.

    Tinjauan Referensi

    Teori Desentralisasi Fiskal

    Desentralisasi dapat dimaknai sebagai gambar-an sejauh mana kewenangan dipegang oleh pe-merintah daerah untuk mampu mengambil ke-putusan sendiri yang mengikat beberapa kebi-jakan pada ruang lingkup pemerintahan daerah(Litvack et al., 1998). Pentingnya kewenangandiberikan kepada pemerintah lokal (daerah) ka-rena lebih efisien untuk kegiatan produksi danpenyediaan barang-barang publik (Musgravedan Musgrave, 1989; Oates, 1993). Selain itu,pengambilan keputusan pada level pemerintahlokal akan lebih didengarkan untuk mengane-karagamkan pilihan lokal dan lebih bergunabagi efisiensi sektor publik, serta akuntabili-tas dan transparansi dalam pemberian layanandan pembuatan kebijakan (de Mello, 2000; We-llisch, 2004).

    Dengan demikian, pelaksanaan desentralisa-si fiskal menjadi penting untuk dilakukan kare-na memiliki alasan ekonomi, di antaranya un-tuk meningkatkan penyediaan barang publikyang pada gilirannya akan mendorong pertum-buhan ekonomi di daerah. Studi Akai dan Saka-ta (2002) menemukan bahwa desentralisasi fis-kal, terutama desentralisasi penerimaan mem-berikan sugesti pembangunan ke depan serta

    memberikan stimulasi pertumbuhan ekonomi.Berbagai studi yang mendukung temuan iniseperti yang dilakukan oleh b. Ismail et al.(2004), Iimi (2005), Ding (2007), Akai et al.(2009), dan Samimi et al. (2010), menemuk-an bahwa desentralisasi fiskal berdampak ter-hadap pertumbuhan ekonomi. Walaupun bebe-rapa hasil studi menunjukkan hasil yang berbe-da, yaitu studi Davoodi dan Zou (1998) sertaMartinez-Vazquez dan McNab (2006) di manadesentralisasi fiskal justru korelasinya negatifterhadap pertumbuhan ekonomi di negara ber-kembang.

    Merujuk pada beberapa teori dan dikuatkandengan bukti empiris di beberapa negara, ma-kin diyakini bahwa desentralisasi sebagai sis-tem pemerintahan dapat memacu laju pem-bangunan ekonomi daerah untuk mengurangiketergantungan terhadap pemerintah pusat, disamping mengembangkan prinsip-prinsip de-mokrasi dan partisipasi masyarakat lebih nya-ta. Ini menunjukkan bahwa desentralisasi fis-kal sangat diperlukan bagi Indonesia, di manatidak mungkin semua urusan dilakukan seca-ra terpusat karena faktanya selama pemerin-tahan sentralistik ketimpangan distribusi pen-dapatan sangat tinggi. Demikian juga ketim-pangan antarwilayah Jawa dan luar Jawa, In-donesia bagian Timur, dan Indonesia bagianBarat. Adanya pelaksanaan desentralisasi fis-kal diharapkan pemerintah daerah akan lebihefektif dan mampu untuk memenuhi pelayan-an publik yang dibutuhkan, membangun sa-rana perekonomian, serta dapat menciptakanlapangan kerja bagi masyarakatnya, sehinggapada akhirnya akan meningkatkan pendapatanmasyarakat.

    Prinsip dasar dari kebijakan desentralisasifiskal, yakni memberikan kewenangan yang le-bih luas kepada daerah untuk melakukan kre-asi meningkatkan penerimaan dan mengatursendiri pengeluarannya (belanja), dengan de-mikian desentralisasi fiskal dapat dilihat darisisi penerimaan maupun dari sisi pengeluar-an. Oleh sebab itu, pengukuran desentralisasi

  • Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal,... 5

    fiskal cukup beragam, jadi tidak ada satupunmetode pengukuran yang baku atau indikatortunggal untuk mengukur desentralisasi fiskal(Martinez-Vazquez dan Timofeev, 2010). Indi-kator desentralisasi fiskal dapat diukur dari sisirasio penerimaan pemerintah daerah terhadappenerimaan negara dan daerah (Lin dan Liu,2000). Selain melihat dari sisi penerimaan, jugadapat diukur dari rasio pengeluaran pemerin-tah daerah terhadap pengeluaran pemerintah-an di atasnya (Zhang dan Zou, 1998; Davoodidan Zou, 1998). Akai dan Sakata (2002) meng-uraikan bahwa ada beberapa indikator untukmengukur desentralisasi fiskal, antara lain (a)rasio penerimaan dan pengeluaran pemerintahdaerah terhadap penerimaan dari pemerintahpusat, serta (b) rasio penerimaan sendiri pe-merintah daerah terhadap total penerimaan,termasuk bantuan pemerintah di level provin-si (federal), dan (c) rasio penerimaan sendiripemerintah daerah terhadap total penerima-an, tidak termasuk bantuan pemerintah di levelprovinsi (federal).

    Pergeseran Sektoral

    Perubahan struktur (pergeseran sektoral)mengandung makna terjadinya transformasi,bukan hanya dalam bentuk fisik, tetapi jugaberkaitan dengan kebiasaan atau cara memper-lakukan kegiatan produksi ekonomi. Perubah-an struktural telah banyak digunakan dalamstudi ekonomi meskipun dengan makna dan in-terpretasi yang berbeda. Dalam ekonomi pem-bangunan, perubahan struktural umumnya di-pahami sebagai pengaturan aktivitas produktifyang berbeda dalam perekonomian dan distri-busi yang berbeda faktor produksinya di antaraberbagai sektor ekonomi, berbagai pekerjaan,wilayah geografis, dan jenis produk (Machlup(1991) dalam Silva dan Teixeira, 2008).

    Dengan demikian, pembangunan ekonomimengandung arti luas dan mencakup perubah-an pada tata susunan ekonomi masyarakat se-cara menyeluruh. Menurut Indiastuti (2003)pembangunan ekonomi mengacu pada semua

    perubahan dalam perekonomian termasuk per-ubahan dalam struktur ekonomi yang menyer-tai perubahan output atau PDRB. Maka da-ri itu, pembangunan merupakan proses tran-sformasi yang ditandai oleh perubahan struk-tur, yaitu perubahan pada landasan kegiatanekonomi maupun pada kerangka susunan eko-nomi masyarakat yang bersangkutan. Prosestransformasi atau perubahan dalam strukturperekonomian suatu negara bergeser dari yangsemula didominasi oleh sektor primer, seper-ti pertanian, ke sektor-sektor nonprimer, in-dustri, perdagangan, dan jasa. Dengan adanyaperubahan struktur atau pergeseran sektoralmengakibatkan perubahan dalam struktur pro-duksi melalui pergeseran kesempatan kerja danalokasi dana sekaligus memberikan nilai tam-bah kepada komoditi.

    Secara umum proses perubahan strukturperekonomian ditandai dengan: (1) merosot-nya pangsa sektor primer (pertanian); (2) me-ningkatnya pangsa sektor sekunder (industri);dan (3) pangsa sektor tersier (jasa) kurang le-bih konstan, namun kontribusinya akan me-ningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.Untuk menganalisis perubahan struktur eko-nomi, maka teori utama yang biasa dijadikanrujukan adalah teori transformasi struktural.Transformasi struktur produksi menunjukkanbahwa sejalan dengan peningkatan pendapat-an per kapita, perekonomian suatu negara ak-an bergeser dari yang semula mengandalkansektor pertanian mengalami penurunan, saatGross National Product (GNP)/per kapita me-ningkat (Kuncoro, 2007).

    Proses transformasi ekonomi dibutuhkan da-lam pembangunan ekonomi bukan hanya dinegara-negara industri, akan tetapi juga dibu-tuhkan oleh negara berkembang. Menurut Bo-net (2006), proses transformasi struktural eko-nomi yang terjadi di negara berkembang ju-ga dimaksudkan untuk mengurangi divergen-si ekonomi, sebab negara yang masih meng-andalkan sektor primer umumnya terjadi ke-timpangan antarwilayah. Dalam proses pemba-

  • Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal,... 6

    ngunan ekonomi pada mulanya didominasi olehberbagai sektor kemudian terkonsentrasi seca-ra dinamis pada sektor tertentu, di mana inimerupakan indikasi bahwa terjadi proses tran-sformasi yang dapat memberikan efek terjadi-nya penurunan ketimpangan regional. Berkait-an dengan itu, Caselli dan Coleman (2001) me-nyebutkan bahwa konvergensi ekonomi terjadikarena adanya transformasi struktural.

    Chenery dan Syrquin (1975) menunjukkancorak jenis perubahan yang berlaku dalam pro-ses pembangunan negara-negara berkembang.Perubahan tersebut dibedakan menjadi tigagolongan, yaitu: (1) proses akumulasi, di ma-na kegiatan-kegiatan ekonomi yang termasuksebagai proses akumulasi adalah pembentukanmodal atau investasi, pendapatan pemerintah,dan kegiatan penyediaan pendidikan kepadamasyarakat; (2) proses alokasi sumber-sumberdaya, di mana yang tergolong sebagai alokasisumber-sumber daya adalah struktur permin-taan domestik, struktur produksi, dan strukturperdagangan; dan (3) proses demografi dan dis-tributif, adapun yang tergolong dalam prosesdemografi dan distributif adalah alokasi tenagakerja pada berbagai sektor, urbanisasi, tingkatkelahiran dan kematian, serta distribusi pen-dapatan.

    Perubahan struktur (sektor) ekonomi yangterjadi setidaknya dipengaruhi oleh bebera-pa faktor, yaitu faktor yang didasarkan olehsumbernya (permintaan agregat/Aggregate De-mand (AD) dan penawaran agregat/AggregateSupply (AS)), selain itu perubahan strukturekonomi terjadi karena adanya intervensi pe-merintah (Tambunan, 2001). Faktor dari sisiAD yang paling dominan memengaruhi peru-bahan struktur yaitu permintaan domestik, se-dangkan faktor yang menyebabkan perubahanstruktur ekonomi dari sisi AS yaitu pergeserankeunggulan komparatif, perubahan teknologi,peningkatan sumber daya manusia (SDM), danakumulasi modal. Selain itu, perubahan struk-tur ekonomi juga dipengaruhi oleh perubahanteknologi dan perdagangan global, sementara

    faktor internalnya adalah intervensi yang dila-kukan oleh pemerintah berupa kebijakan yangdikeluarkan oleh pemerintah (Kuncoro, 2007).

    Untuk keperluan penulisan ini, maka studilebih memfokuskan perubahan struktur eko-nomi yang dipengaruhi oleh faktor internal,yakni intervensi pemerintah melalui kebijakandesentralisasi fiskal atau melalui pengeluarandalam bentuk transfer (transfer of intergover-nmental), yaitu block-grant dan specific-grant,yang menjadi bagian penerimaan daerah. De-ngan asumsi bahwa penerimaan makin besarsehingga daerah makin leluasa merencanakanpembangunan ekonomi beserta pembiayaannyauntuk mendorong perubahan struktur ekonomi(Arham, 2013).

    Untuk menganalisis dan mengetahui perge-seran dan peranan perekonomian di suatu dae-rah umumnya menggunakan analisis ShiftSha-re. Namun, penggunaan analisis Shift-Shareuntuk melihat pergeseran sektor relatif memi-liki kelemahan, maka untuk keperluan studiini menggunakan alat analisis, yakni Structu-ral Change Index (SCI). Sebuah metode yangumum digunakan untuk mengukur perubahanstruktural dalam tingkat output (dan pekerja)atau koefisien (komposisi) perubahan struktu-ral. SCI untuk output dapat didefinisikan seba-gai setengah jumlah dari nilai absolut dari per-bedaan nilai tambah share/sektor dari waktuke waktu. Formulasi rumus dari perhitunganini adalah sebagai berikut (Jenissen, 1998; Jar-joura, 2001; Dietrich, 2009).

    SCI =1

    2Σ|Xi,t −Xi,t−1| (1)

    dengan:SCI : Sectoral change index ;X : Kontribusi (share) sektor dari total nilaishare masing-masing sektor;i : Sektor (i);t : Share sektor primer periode sekarang;t−1 : Share sektor primer periode sebelumnya.

    Penggunaan nilai absolut memastikan bah-wa angka positif dan negatif dalam perubahan

  • Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal,... 7

    nilai share sektor tidak membatalkan satu sa-ma lain ketika nilai dijumlahkan. SCI dibatasiantara 0 hingga 100, dengan angka 0 berarti ti-dak ada perubahan struktural, sementara 100menunjukkan kebalikannya, yaitu terjadi per-ubahan struktural secara lengkap (Janissen etal., 1998).

    Analisis lebih lanjut dalam studi ini untukmengukur secara langsung pengaruh desentra-lisasi fiskal terhadap pergeseran sektoral ada-lah dengan melakukan analisis regresi hasil per-hitungan SCI. Mengenai pergeseran sektor me-rujuk pada teori perubahan struktur, di manaproses transformasi struktural ini berupa per-geseran dari sektor pertanian ke sektor indus-tri dan kemudian beralih ke sektor jasa-jasa(Chenery dan Syrquin, 1975). Sementara pem-bagian tiga sektor acuannya adalah pada teo-ri Fisher (1935), bahwa transformasi struktu-ral merupakan peralihan dan pergeseran per-mintaan secara berangsur-angsur dari kegiat-an sektor produksi primer (pertanian, pertam-bangan) ke sektor produksi sekunder (indus-tri manufaktur dan konstruksi) dan ke sektortersier (jasa), yang mengakibatkan perubahandalam struktur produksi melalui pergeseran ke-sempatan kerja dan alokasi dana.

    Untuk keperluan analisis, studi ini lebih difo-kuskan pada sektor primer karena daerah oto-nom di Provinsi Sulawesi Tengah masih meng-andalkan sektor tersebut sebagai kontributorpembentukan output, di samping untuk meng-hindari hasil analisis yang bias jika memasukk-an ketiga kelompok sektor (primer, sekunder,dan tersier).

    Ketimpangan Antardaerah

    Konsep ekonomi wilayah menjelaskan kesen-jangan pendapatan dapat terjadi jika suatu wi-layah berkembang mempunyai struktur ekono-mi yang memungkinkan terjadinya backwasheffect atau polarization effect terhadap faktor-faktor ekonomi dari wilayah-wilayah yang ku-rang berkembang, sehingga berdampak terha-dap keterlambatan pertumbuhan ekonomi. Da-

    lam konteks regional, ketimpangan antardae-rah tidak dapat dihindari akibat tidak terjadi-nya trickle down effect dari output secara na-sional terhadap masyarakat secara keseluruh-an. Sjafrizal (2008) menyebutkan bahwa ke-timpangan pembangunan antarwilayah meru-pakan aspek yang umum terjadi dalam kegi-atan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan di-sebabkan oleh adanya perbedaan kondisi de-mografi yang terdapat pada masing-masing wi-layah. Pandangan tersebut hampir sama de-ngan yang dikemukakan oleh Shankar dan Shah(2008), bahwa ketimpangan antardaerah meru-pakan suatu perkembangan yang selalu ada diberbagai negara, terutama bagi negara dengangeografis dan wilayah yurisdiksi yang luas.

    Hal ini memperjelas bahwa kesenjangan dis-tribusi pendapatan antarwilayah merupakanmasalah universal, karena pada tingkat apapun kesenjangan selalu ada, dikarenakan olehperbedaan potensi-potensi ekonomi yang dimi-liki masing-masing wilayah. Meskipun demiki-an, ketimpangan wilayah dan distribusi pen-dapatan bersifat ”alamiah” dan universal yangtidak dapat dihindari, namun kondisi itu da-pat diubah melalui proses pembangunan dankebijakan. Kusnetz sudah dapat membuktik-an hal itu, yaitu dalam analisis pola-pola per-tumbuhan historis di negara-negara maju dite-mukan bahwa pada tahap-tahap pertumbuhanawal distribusi pendapatan cenderung membu-ruk, namun dalam tahap-tahap berikutnya halitu akan membaik (Kuncoro, 2004).

    Dasar teoritis analisis mengenai ketimpang-an wilayah menggunakan hipotesis neoklasik(Kusnetz), menurut hipotesis neoklasik padapermulaan proses pembangunan suatu negara,ketimpangan pembangunan antarwilayah cen-derung meningkat atau tidak merata. Prosesini akan terjadi sampai ketimpangan tersebutmencapai titik puncak/melebar (divergence)(Kuncoro, 2006; Todaro dan Smith, 2006; Sja-frizal, 2008). Bila proses pembangunan terusberlanjut, maka berangsur-angsur ketimpang-an pembangunan antarwilayah tersebut menu-

  • Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal,... 8

    run (convergence) menyerupai huruf U terbalik(reverse U-shape curve). Kurva U terbalik da-pat diinterpretasikan sebagai relasi antara ke-senjangan pendapatan dan tingkat pendapatanper kapita. Todaro dan Smith (2006) menye-butkan bahwa kurva Kusnetz dapat dihasilk-an oleh proses pertumbuhan berkesinambung-an yang berasal dari perluasan sektor modern,seiring dengan perkembangan sebuah negaradari perekonomian tradisional ke perekonomi-an modern.

    Pembuktian hipotesis Kusnetz yang dila-kukan oleh Williamson (1965) mengenai ke-timpangan pembangunan antarwilayah denganmembandingkan antara negara berkembangdan negara maju dengan menggunakan data ti-me series dan cross section dengan mengambilsampel sebanyak 24 negara dalam kurun waktu10 tahun (1950–1960). Hasil studinya membuk-tikan bahwa hipotesis neoklasik terbukti secaraempiris dan hasil pengukurannya menggunak-an Weighted Coefficient Variation (CV), yaituindeks variasi pendapatan antardaerah dalamsuatu wilayah.

    Menurut Lessmann (2009), untuk mengu-kur ketimpangan antardaerah (interregion) da-lam suatu negara ada tiga jenis pengukuran,yaitu (1) indikator ekonomi, yang umumnyamenggunakan Produk Domestik Bruto (PDB);(2) tingkat teritorial, untuk negara-negara Ero-pa umumnya menggunakan ukuran statistikunit teritorial dan di luar Eropa menggunak-an ukuran perbedaan daerah; dan (3) pengu-kuran konsentrasi yang biasanya menggunakankoefisien variasi, koefisien Gini, dan koefisienweighted-population.

    Pengukuran ketimpangan selama ini yangbanyak digunakan yaitu indeks Williamson(CV), ataupun juga dapat menggunakan pe-ngukuran lain, seperti indeks Theil dan koefisi-en Gini rasio untuk distribusi pendapatan. Na-mun, jenis-jenis pengukuran tersebut kurangcocok digunakan untuk keperluan data panelpada tingkat regional, karena itu penulisan inimenggunakan pengukuran ketimpangan pen-

    dapatan per kapita relatif (Bonet, 2006). Pe-ngukuran ini dapat digunakan secara fleksi-bel, di mana polanya mirip dengan pengukuranketimpangan tradisional lainnya indeks Theil(Td), koefisien Gini, atau Sigma Convergen-ce, yang dapat menghitung ketimpangan da-lam daerah dan antardaerah secara sekaligussehingga cakupan analisis menjadi lebih luasbila dibandingkan dengan indeks Williamson.Keseimbangan sempurna (ekuiti) terjadi bila-mana per kapita kabupaten/kota sama denganrata-rata provinsi pada daerah dan tahun ter-tentu. Formulasinya sebagai berikut:

    ln eqit =∣∣∣PCGDPitPCGDPt

    − 1∣∣∣ (2)

    dengan:ln eqit = Nilai ketimpangan relatif;PCGDPit = Pendapatan per kapita tingkatkabupaten/kota;PCGDPt = Pendapatan per kapita provinsi;i = Menunjukkan daerah (i = 1, 2, 3,... 8);t = Tahun analisis (t = 2001, 2002,... 2010);

    Persamaan pengukuran ketimpangan terse-but pada dasarnya digunakan untuk mengu-kur ketimpangan fiskal (Qiao et al., 2002). Se-lanjutnya, dimodifikasi untuk mengukur ke-timpangan wilayah dengan menggunakan da-ta PDRB per kapita sebagaimana yang dila-kukan oleh Bonet (2006). Secara umum, ha-sil studi mengenai ketimpangan di Indonesiayang sudah dilakukan oleh beberapa ahli me-nunjukkan bahwa ketimpangan pembangunanantarwilayah di Indonesia lebih tinggi diban-dingkan dengan negara maju (Sjafrizal, 2008;Akita, 2002; Akita et al., 2011). Ketimpanganyang terjadi di suatu daerah disebabkan olehbanyak faktor (Sjafrizal, 2008), di antaranya;1) Perbedaan yang sangat besar dalam kan-dungan sumber daya alam pada masing-masingdaerah. Daerah dengan kandungan sumber da-ya alam yang cukup tinggi akan lebih mu-dah meningkatkan produksi dengan biaya rela-tif murah dibandingkan daerah yang mempu-nyai kandungan sumber daya alam yang lebih

  • Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal,... 9

    rendah; 2) Perbedaan kondisi demografis yangcukup besar antardaerah. Kondisi demografisyang dimaksud adalah perbedaan tingkat per-tumbuhan dan struktur kependudukan, perbe-daan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbe-daan kondisi ketenagakerjaan, dan perbedaandalam tingkah laku dan kebiasaan, serta etoskerja yang dimiliki masyarakat daerah bersang-kutan; 3) Kurang lancarnya mobilitas barangdan jasa. Kurang lancarnya mobilitas barangdan jasa dapat pula mendorong terjadinya pe-ningkatan ketimpangan pembangunan antar-wilayah; dan 4) Alokasi dana pembangunan an-tardaerah, sistem pemerintahan cukup berpe-ngaruh, bilamana sistem sentralistik diterapk-an maka alokasi dana lebih banyak dialokasikandi pemerintahan pusat sehingga mengakibatk-an kurangnya distribusi pengalokasian dana se-cara merata di berbagai wilayah.

    Beberapa faktor pendorong terjadinya ke-timpangan antarwilayah, faktor yang terakhirdi atas memiliki relevansi dengan kebijakan de-sentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal meru-pakan suatu kebijakan yang dapat mengorek-si ketimpangan antardaerah, di mana bebera-pa studi terbaru memperlihatkan hasil empiris.Suwanan dan Sulistiani (2009) melihat kaitanantara desentralisasi fiskal dan kesenjangan wi-layah di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bah-wa kebijakan desentralisasi akan mendorongpenurunan kesenjangan antardaerah. Bahkandaerah miskin sangat diuntungkan dengan ada-nya desentralisasi. Studi yang sama dilakukanoleh Widhiyanto (2008), menurutnya desentra-lisasi fiskal di Indonesia mendorong pertum-buhan ekonomi dan mereduksi disparitas pen-dapatan regional. Sementara Hartono dan Ira-wan (2011), mengukur ketimpangan di Indo-nesia selama pelaksanaan desentralisasi fiskal,di mana hasilnya menunjukkan ketidaksetara-an pendapatan rumah tangga diakibatkan ke-timpangan antarsektor ekonomi.

    Lessmann (2009) melakukan pengujian se-cara empiris tentang desentralisasi fiskal dankesenjangan antarwilayah untuk negara-negara

    Organisation for Economic Co-operation andDevelopment (OECD). Hasilnya menunjukk-an bahwa negara dengan tingkat desentralisasifiskal yang tinggi memiliki kesenjangan wila-yah yang rendah. Rodŕıguez-Pose dan Ezcurra(2010) menunjukkan bahwa ketimpangan yangterjadi bervariasi berdasarkan tingkat pemba-ngunan negara atau tingkat kekayaan masing-masing negara. Bagi negara maju dan berpeng-hasilan tinggi, kebijakan politik desentralisasiberpengaruh terhadap penurunan ketimpang-an, sedangkan pada negara berkembang yangberpenghasilan rendah dan menengah, kebijak-an desentralisasi berpengaruh signifikan terha-dap kenaikan ketimpangan.

    Studi Sejenis Sebelumnya

    Secara empiris sudah banyak studi yang di-lakukan mengenai desentralisasi fiskal, na-mun lebih banyak melihat hubungannya de-ngan pertumbuhan dan ketimpangan. Semen-tara yang meneliti tentang pergeseran (peru-bahan) struktur dan ketimpangan di antaranyadilakukan oleh Akita et al. (2011), yang meli-hat perubahan struktur dan ketimpangan dis-tribusi pendapatan regional di Indonesia. Sha-re sektor pertambangan mengalami penurun-an, akan tetapi di Sumatera dan Kalimantansecara spasial industri manufaktur memaink-an peran penting terciptanya ketimpangan. Se-mentara di Jakarta dipengaruhi oleh kekuatanurbanisasi, dampak globalisasi dan liberalisa-si perdagangan, serta sektor keuangan sangatmemengaruhi ketidaksetaraan.

    Valli dan Saccone (2009) meneliti tentangpergeseran struktural dan pembangunan di Ci-na dan India. Perubahan struktur yang terjadidi Cina terutama didorong oleh reformasi eko-nomi dan pertumbuhan pasar internal sejak ta-hun 1980-an dan tahun 1990-an, yang dengancepat melakukan penetrasi pasar dunia, namunsebagian besar ekspor Cina di sektor teknolo-gi menengah dan teknologi tinggi dikarenakanjoint-venture. Sementara di India, perubahanstruktur yang terjadi lebih seimbang meskipun

  • Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal,... 10

    lebih lambat dalam pasar dunia karena produkseperti perangkat lunak, baja, otomotif, danfarmasi lebih banyak dihasilkan sendiri, bukanjoint-venture.

    Sedangkan studi yang berkaitan antara de-sentralisasi fiskal dengan perubahan strukturdan ketimpangan masih relatif terbatas di In-donesia. Dirgantoro et al. (2009) melakukan pe-ngujian dampak desentralisasi fiskal terhadapperubahan struktur tenaga kerja di Jawa Ba-rat. Hasilnya menunjukkan bahwa Jawa Baratmengalami transformasi struktur tenaga kerjaselama berlangsungnya proses pembangunan.Transformasi struktur tenaga kerja yang terja-di, yaitu sektor pertanian tidak berkaitan eratdengan sektor industri. Penurunan kontribusitenaga kerja di sektor pertanian tidak seca-ra otomatis diikuti oleh peningkatan kontribu-si tenaga kerja di sektor industri, akan tetapidiserap di sektor lainnya seperti sektor infor-mal. Peningkatan belanja pegawai dan peneri-maan daerah dari Dana Alokasi Umum (DAU)berdampak positif baik terhadap tenaga kerjasektor pertanian, sehingga total tenaga kerjadan kontribusi tenaga kerja sektor pertanianmeningkat. Peningkatan belanja sektor perta-nian berdampak positif terhadap tenaga kerjapertanian, di mana terjadi peningkatan kontri-busi tenaga kerja sektor pertanian, akan tetapiberdampak negatif terhadap total tenaga ker-ja. Peningkatan pengeluaran untuk infrastruk-tur berdampak positif terhadap tenaga kerjatotal, tetapi berdampak negatif pada tenagakerja sektor pertanian dan kontribusi tenagakerja sektor pertanian menjadi menurun, yangberarti terjadi transformasi di sektor pertani-an.

    Bonet (2005) melihat kaitan antara desentra-lisasi, pergeseran struktur, dan ketimpanganregional di Kolombia. Hasilnya memperlihatk-an bahwa desentralisasi fiskal berdampak ter-hadap meningkatnya ketimpangan pendapatanantardaerah, keterbukaan ekonomi, dan aglo-merasi ekonomi, tetapi sebaliknya berdampaknegatif terhadap ketimpangan, oleh karena itu

    diperlukan perubahan struktur ekonomi.Berbagai hasil studi di atas dapat menja-

    di rujukan, namun studi ini lebih mendekatiyang telah dilakukan oleh Bonet (2005). Ha-nya saja pergeseran sektor tidak dilakukan esti-masi dan instrumennya menggunakan interak-si tabel Input-Output, sehingga kurang tampakpengaruh kebijakan desentralisasi fiskal terha-dap pergeseran sektor. Oleh sebab itu, studimengenai pergeseran sektor dan ketimpanganyang dipengaruhi kebijakan desentralisasi fiskaltermasuk studi yang masih baru. Atas dasaritu, dirumuskan dua model persamaan denganmengadopsi beberapa hasil studi sebelumnyadengan menggunakan data panel, yaitu kaitanantara desentralisasi fiskal dan pergeseran sek-tor mengadopsi model Bonet (2005), sedangk-an kaitan antara desentralisasi fiskal dan ketim-pangan mengikuti model dasar dari Lesmann(2006) serta Suwanan dan Sulistiani (2009).

    Metode

    Studi ini menggunakan pengolahan panel data,di mana data satuan (unit) sebanyak 8 kabupa-ten/kota di Sulawesi Tengah dan periode wak-tu selama 10 tahun. Tahapan studi ini dilakuk-an melalui beberapa langkah, pertama meng-alkulasi nilai indeks pergeseran dengan meto-de perhitungan SCI, dan hanya nilai SCI sek-tor primer diregresikan dengan tujuan untukmemudahkan analisis, serta menghindari biaspenafsiran. Langkah kedua menghitung nilaiketimpangan dengan menggunakan model Qi-ao et al. (2002) yang dimodifikasi oleh Bonet(2006), metode perhitungan ini hampir samadengan Entropi Theil. Langkah ketiga mela-kukan regresi desentralisasi fiskal terhadap ni-lai indeks pergeseran sektor untuk persamaanpertama dan persamaan kedua desentralisasifiskal terhadap nilai indeks ketimpangan.

    Model Pergeseran Sektor

    Model pergeseran sektor yang digunakan da-lam studi ini didasarkan dari teori dasar Che-

  • Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal,... 11

    nery dan Syrquin (1975), bahwa perubahanstruktur produksi setidaknya dipengaruhi da-ri pendapatan dan jumlah populasi di sua-tu negara, dan secara empiris dilakukan olehAzis (1992) dengan menambahkan variabel da-na Inpres. Secara khusus, studi terdahulu yangdilakukan oleh Bonet (2006) adalah studi ten-tang hubungan antara desentralisasi fiskal ter-hadap pergeseran sektor, hanya saja studi ter-sebut tidak melakukan regresi. Instrumen yangdigunakan adalah tabel Input-Output, sehinggakurang tampak pengaruh kebijakan desentrali-sasi fiskal terhadap pergeseran sektor. Keterba-tasan teori secara spesifik dan studi-studi ter-dahulu membuat studi ini menjadi penting di-lakukan, sekaligus dapat dianggap sebagai kele-bihan dibandingkan dengan studi sebelumnya.

    Persamaan pergeseran sektor ini lebih mene-kankan pada sektor primer yang diproksi da-ri nilai sectoral change index kabupaten/kota,dengan asumsi bahwa kabupaten/kota di Su-lawesi Tengah sektor pertanian berkontribusipaling besar terhadap pembentukan perekono-mian wilayah, adapun model empiris yaitu se-bagai berikut:

    SCit = α0 + α1 lnPDRBCAPit + α2 lnPOPit

    + α3UNEMPit + α4IKF + FDit + ε1(3)

    dengan:SC : Pergeseran sektor;PDRBCAP : PDRB per kapita Atas DasarHarga Konstan (Rupiah), harga dasar tahun2000;POP : Jumlah penduduk (Jiwa);IKF : Indeks kemampuan fiskal;UNEMP : Angka pengangguran (Persen);FD : Desentralisasi fiskal (Persen);i : Kabupaten/Kota;t : Periode waktu.

    Pada Persamaan (3), pergeseran sektor me-rupakan variabel terikat, sementara variabelpenjelas ditentukan dengan mempertimbangk-an faktor-faktor yang mendorong terjadinyapergeseran (perubahan) struktur, di antara-

    nya pendapatan per kapita, jumlah penduduk,struktur tenaga kerja (pengangguran), kemam-puan fiskal, dan desentralisasi fiskal. Semakintinggi tingkat pendapatan masyarakat, jum-lah penduduk bertambah, angka penganggur-an berkurang, kemampuan fiskal tinggi, danrasio PAD terhadap total penerimaan makinmeningkat, maka diduga akan mendorong ter-jadinya perubahan struktur ekonomi yang di-tandai dengan menurunnya peranan sektor pri-mer. Definisi operasional dari tiap variabel pa-da model ini dapat dilihat pada lampiran (3).

    Model Ketimpangan Antarkabupa-ten/kota

    Setelah indeks ketimpangan dikalkulasikan,maka indeks tersebut dijadikan sebagai varia-bel terikat. Model yang digunakan dalam studiini mengikuti model dasar dari Lesmann (2006)pada negara-negara OECD, Suwanan dan Su-listiani (2009) di Indonesia, dan modifikasi pe-nulis berdasarkan keterbatasan model empirissebelumnya. Adapun model disusun seperti se-bagai berikut:

    INEQit = β0 + β1 lnPDRBCapit

    + β2 lnPOPit + β3POVit

    + β4HDIit + β5UNEMPit

    + β6FDit + ε2

    (4)

    dengan:INEQ : Kesenjangan daerah dikalkulasikandari indeks ketimpangan;PDRBCap : PDRB per kapita Atas DasarHarga Konstan (Rupiah), Harga dasar tahun2000;POP : Jumlah penduduk (Jiwa);POV : Tingkat kemiskinan (Persen);HDI : Indeks pembangunan manusia ;UNEMP : Angka pengangguran (Persen);FD : Desentralisasi fiskal (Persen).

    Ada banyak faktor yang dapat mendorongterjadinya ketimpangan, salah satu faktornyaadalah kebijakan desentralisasi fiskal, prin-sipnya desentralisasi memberikan kewenangan

  • Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal,... 12

    yang luas kepada daerah untuk mendesain per-encanaan pembangunan dan melakukan krea-si meningkatkan penerimaan berdasarkan po-tensi yang dimilikinya sehingga akan mengura-ngi ketimpangan yang terjadi selama ini. Sela-in itu, variabel penjelas lainnya ditentukan de-ngan mempertimbangkan variabilitas kemam-puan ekonomi masyarakat, jumlah populasi,angka kemiskinan, kualitas sumber daya ma-nusia, dan struktur tenaga kerja (penganggur-an). Makin tinggi tingkat pendapatan per ka-pita masyarakat, jumlah penduduk produktifbanyak, angka kemiskinan sedikit, kemampu-an SDM yang tinggi, angka pengangguran ren-dah, dan rasio PAD terhadap total penerimaanbesar, maka akan mengoreksi ketimpangan an-tarkabupaten/kota (daerah). Uraian mengenaidefinisi operasional dapat dilihat pada lampir-an (3).

    Metode Pengumpulan Data dan Ana-lisis Data

    Data yang digunakan dalam studi ini meru-pakan data sekunder. Sumber perolehan da-ta adalah Anggaran Pendapatan dan Belan-ja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota di Indo-nesia, 2001–2010 dari Kementerian Keuang-an (2010) untuk data keuangan (fiskal) daerahdan Daerah Dalam Angka Provinsi SulawesiTengah, 2001–2010 dari Badan Pusat Statis-tik/BPS (2010) untuk data makroekonomi da-erah, dan keseluruhan data tersebut merupak-an data kuantitatif. Pendekatan yang digunak-an untuk mengestimasi parameter model per-geseran sektor dan ketimpangan wilayah ada-lah pendekatan data panel. Hasil pengujian pe-milihan teknik dalam pengolahan data paneltelah dilakukan pengujian statistik melalui ujiHausman dan uji Chow. Berdasarkan hasil ujiHausman dan uji Chow, model yang tepat di-gunakan untuk kedua persamaan, yaitu perge-seran dan ketimpangan antarkabupaten/kotaadalah pendekatan fix effect, dengan melakuk-an pembobotan melalui coefficient covariancewhite cross section method. Untuk mempero-

    leh penduga yang bersifat Best, Linear, Unbi-ased Estimator (BLUE), maka penduga harusterbebas dari pelanggaran asumsi klasik, yaitumultikolonieritas, autokorelasi, dan hetersoke-dasitas.

    Hasil dan Analisis

    Pola Pergeseran Sektor

    Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwapergeseran sektor didapatkan dari nilai secto-ral change index dengan dibagi menjadi tigakelompok sektor, yakni sektor primer, sektorsekunder, dan sektor tersier. Namun, hanya ni-lai sektor primer (pertanian, penggalian, danpertambangan) yang dianalisis untuk memini-malkan kekeliruan (bias) karena bisa saja nilaikoefisien masing-masing sektor bernilai nega-tif (turun). Jika hasil regresi menunjukkan pa-da kondisi tersebut, maka akan sulit dilakuk-an analisis dalam pengertian pergeseran sektorke arah mana. Lain halnya jika hanya sektorprimer yang dianalisis, apabila nilai koefisiensektor primer bernilai negatif diasumsikan sek-tor primer menurun, dan given sektor-sektorlainnya meningkat. Berdasarkan kalkulasi in-deks pergeseran sektor primer kabupaten/kotadi Sulawesi Tengah secara rinci dapat dilihatpada lampiran (1), sementara yang ditampilk-an berikut sifatnya lima tahunan menunjukkanpola seperti Gambar 1.

    Pada 2001, terlihat nilai pergeseran sektorprimer relatif tinggi masing-masing KabupatenBangkep (1,81), Kabupaten Banggai (0,90),Kabupaten Tolitoli (0,77), dan Kabupaten Bu-ol (0,90), paling rendah Kabupaten Morowali(0,16). Tahun 2005, nilai indeks pergeseran pa-ling tinggi dialami oleh Kabupaten Donggala(3,27), disusul Kabupaten Banggai Kepulauan(3,26), Kabupaten Poso (3,22) dan Morowa-li (1,52), terendah Kabupaten Tolitoli (0,19).Pada 2010, yaitu akhir periode studi, nilai in-deks paling tinggi adalah Kabupaten Bang-gai (3,52), Kabupaten Donggala (1,85), ser-ta Bangkep dan Tolitoli masing-masing (0,57),

  • Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal,... 13

    Gambar 1: Pola Pergeseran Sektor Primer Setiap Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah

    Sumber: Hasil Olahan Penulis, (2014)

    dan terendah adalah Kabupaten Poso (0,15).

    Pola Ketimpangan Antarkabupa-ten/Kota

    Usaha-usaha pembangunan yang dilakukan, ti-dak lain untuk mencapai pertumbuhan eko-nomi yang setinggi-tingginya, bersamaan me-nurunnya ketimpangan distribusi pendapatan.Untuk mengatasi masalah ketimpangan adabanyak kebijakan afirmasi yang dapat dijalank-an oleh pemerintah maupun inisiatif masyara-kat itu sendiri. Desentralisasi fiskal merupak-an keputusan politik dan kebijakan pemerintahyang diyakini salah satu solusi untuk mengu-rangi ketimpangan antardaerah. Berdasarkanhasil kalkulasi indeks ketimpangan secara per-iodik lima tahunan, didapatkan nilai sepertiGambar 2 (Rincian kalkulasi indeks ditampilk-an pada lampiran (2)).

    Pada awal pelaksanaan desentralisasi fis-kal di Sulawesi Tengah terlihat bahwa ketim-pangan interregion, Kabupaten Donggala sa-ngat tinggi (0,99), disusul Kabupaten Bang-kep (0,56) dan Kabupaten Poso (0,55), teren-dah Kabupaten Morowali (0,01). Selama limatahun perjalanan desentralisasi fiskal, ketim-pangan di Kabupaten Donggala masih yangtertinggi (0,65), kemudian Kabupaten Banggai(0,57), kedua daerah ini merupakan daerah in-duk, dan ketimpangannya mengalami penurun-

    an, dan terendah Kabupaten Morowali (0,16).Jika diukur perjalanan pelaksanaan otonomidaerah selama 10 tahun, nilai ketimpangantertinggi berubah polanya, justru KabupatenBangkep mengalami peningkatan ketimpangan(0,69), kemudian Kabupaten Buol (0,65), Poso(0,61), dan Tolitoli (0,56), dan terendah Moro-wali (0,38). Dua daerah yang tertinggi ketim-pangannya pada tahun kesepuluh pelaksanaandesentralisasi, yaitu Kabupaten Bangkep danBuol, yang merupakan kabupaten pemekaran.

    Pengaruh Kebijakan DesentralisasiFiskal terhadap Pergeseran Sektor

    Model pendekatan yang diestimasi adalahfaktor-faktor pendapatan per kapita, jumlahpopulasi, angka pengangguran, kemampuanfiskal, dan desentralisasi fiskal (FD) terha-dap pergeseran sektor. Berdasarkan serangkai-an pengujian atau diagnostik pada kriteria sta-tistik terkait dengan model goodness of fit danpengujian hipotesis, hasil pengolahan data mo-del pergeseran sektor menunjukkan bahwa se-cara serempak (bersama-sama) memengaruhivariabel terikat secara signifikan. Selain itu,evaluasi model dengan kriteria ekonomi de-ngan melihat tanda dan besaran nilai koefisi-en dari variabel bebas, dan terlihat tidak se-mua arah koefisien sesuai teori. Hasil penaksir-an parameter-parameter persamaan pergeser-

  • Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal,... 14

    Gambar 2: Pola Ketimpangan Antarkabupaten/Kota di Sulawesi Tengah

    Sumber: Hasil Olahan Penulis, (2014)

    an sektor dapat dilihat pada Tabel 1.

    Hasil estimasi menjelaskan bahwa pendapat-an per kapita sebagai efek dari kegiatan pere-konomian daerah tampak memberikan penga-ruh signifikan dan memiliki korelasi negatif ter-hadap pergeseran sektor. Jika terjadi kenaik-an pendapatan per kapita, maka peranan sek-tor primer makin menurun. Berdasarkan da-ta BPS, kontribusi sektor pertanian terhadappembentukan output perekonomian di Sulawe-si Tengah setiap tahunnya makin menurun.Sedangkan faktor populasi tidak hanya seba-tas menggambarkan kuantitas akan tetapi jugapenting dipertimbangkan masalah produktivi-tasnya (kualitas), karena jumlah penduduk da-pat berdampak positif dan negatif, tergantungdari kemampuan penduduk itu sendiri untukdapat mengakumulasi kapital dari serangkaiankegiatan ekonomi. Berkaitan dengan hal terse-but, hasil estimasi menunjukkan bahwa varia-bel penduduk tidak memberikan pengaruh sig-nifikan terhadap pergeseran sektor. Dengan ka-ta lain, jumlah populasi yang semakin bertam-bah tidak berpengaruh terhadap upaya suatudaerah untuk mendorong terjadinya perubah-an struktur dalam jangka panjang. Temuan initidak sejalan dengan teori Chenery dan Syrqu-in (1975), bahwa perubahan struktur produk-si dipengaruhi oleh jumlah penduduk di suatuwilayah.

    Variabel angka pengangguran menunjukkankondisi serupa, yakni tidak berpengaruh sig-nifikan terhadap pergeseran struktur kegiat-an ekonomi. Menurut Dirgantoro et al. (2009),perubahan struktur tenaga kerja tidak terja-di, karena jumlah pekerja di sektor pertaniancenderung tetap tinggi dan tidak bergeser atautidak berkaitan dengan sektor industri, namunada kemungkinannya terserap ke sektor infor-mal. Karena pada kenyataannya, struktur per-ekonomian Sulawesi Tengah, yaitu sektor in-dustri belum berkembang sebagaimana yangjuga terjadi di wilayah lainnya di Kawasan Ti-mur Indonesia (KTI).

    Dari hasil estimasi yang dilakukan, variabelkemampuan fiskal daerah berpengaruh signifik-an, yang menunjukkan besarnya kemampuanfiskal pada masing-masing kabupaten/kota diSulawesi Tengah. Jika terjadi perubahan, ma-ka akan menggeser struktur produksi ekonomi,dengan kata lain peranan sektor primer makinmenurun. Selanjutnya, kebijakan desentralisa-si fiskal sebagai variabel utama, pengaruhnyaterhadap pergeseran sektor adalah signifikan.Setiap terjadi kenaikan rasio penerimaan PADterhadap total penerimaan masing-masing ka-bupaten/kota di Sulawesi Tengah, akan meng-akibatkan peranan sektor primer menurun danpada saat yang sama peranan sektor sekun-der dan tersier meningkat. Bukti empiris ini

  • Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal,... 15

    sesuai dengan yang diharapkan, sebab secarateoritis desentralisasi fiskal merupakan bagiandari deregulasi politik dan ekonomi yang akanmendorong perubahan struktur produksi eko-nomi. Jarjoura (2001) menguraikan bahwa de-ngan adanya deregulasi akan mendorong ke-tergantungan ekonomi terhadap sektor perda-gangan dan jasa (services) yang meningkat se-iring dengan menurunnya peranan sektor pri-mer (SDA).

    Dengan demikian, peningkatan penerima-an yang bersumber dari PAD bagi kabupa-ten/kota di Sulawesi Tengah sangat diperluk-an, terutama implikasi langsung dari kegiat-an investasi dan kegiatan ekonomi produk-tif masyarakat. Jika melihat pola daya ta-rik investasi, pada umumnya kabupaten/kotadi Sulawesi Tengah masih lemah. Hasil stu-di Komite Pemantau Pelaksanaan OtonomiDaerah/KPPOD (2002) menunjukkan bahwahambatan utama investasi di daerah adalahfaktor kelembagaan, atau pelayanan birokra-si yang tidak efisien, dan banyaknya peraturanyang mengarah pada pungutan yang cenderungmembebani pelaku usaha.

    Hasil estimasi dengan fixed effect menjelask-an adanya perbedaan perilaku atau intersepmasing-masing kabupaten/kota, nilai intersepyang tertinggi adalah Kabupaten Tolitoli se-besar 22.149, disusul Kabupaten Poso sebesar21.871, dan yang terendah Kabupaten Bang-gai (21,271). Kenaikan rasio penerimaan Kabu-paten Tolitoli dan Kabupaten Poso cenderungakan mendorong peningkatan peranan sektorprimer terhadap perekonomian di dua kabupa-ten tersebut. Sedangkan kenaikan rasio pene-rimaan Kabupaten Banggai pengaruhnya ter-hadap pergeseran sektor relatif kecil denganartian peranan sektor primer pertumbuhannyamelambat dibandingkan dengan daerah lainnyayang ada di Sulawesi Tengah. Boleh jadi kare-na di Kabupaten Banggai industri mulai ber-kembang setelah adanya eksplorasi migas sela-ma pelaksanaan otonomi daerah. Untuk jang-ka panjang Kabupaten Banggai peranan sektor

    sekunder dan tersier akan terus meningkat da-lam pembentukan Produk Domestik RegionalBruto.

    Pengaruh Kebijakan DesentralisasiFiskal terhadap Ketimpangan Kabu-paten/Kota

    Model pendekatan yang diestimasi adalahfaktor-faktor pendapatan per kapita masyara-kat, jumlah populasi, tingkat kemiskinan ka-bupaten/kota, kualitas sumber daya manusiayang diproksi dari indeks pembangunan manu-sia, angka pengangguran, dan rasio pengeluar-an (FD) terhadap pola ketimpangan wilayah.

    Berdasarkan hasil estimasi, model persama-an menunjukkan bahwa faktor pendapatan perkapita diukur dari kemampuan daya beli ma-syarakat berpengaruh signifikan dan berkore-lasi positif. Hal ini berarti bahwa setiap ter-jadi kenaikan pendapatan per kapita masya-rakat akan berdampak terhadap meningkatnyaketimpangan antarkabupaten/kota di SulawesiTengah. Secara teoritis, idealnya pendapatanper kapita masyarakat akan mengoreksi ketim-pangan yang terjadi. Akan tetapi, ada kemung-kinan bahwa pendapatan per kapita masyara-kat cenderung terkonsentrasi peningkatannyadi daerah tertentu atau sekelompok orang.

    Kondisi ini makin diperkuat dari faktor jum-lah penduduk, di mana variabel demografi ber-pengaruh signifikan terhadap ketimpangan an-tarkabupaten/kota di Sulawesi Tengah. Hal iniberarti bahwa setiap terjadi kenaikan jumlahpopulasi akan meningkatkan ketimpangan diSulawesi Tengah. Pertambahan jumlah pendu-duk yang tidak terkendali akan cenderung me-ningkatkan ketimpangan, sebab akan mendo-rong pengeluaran pemerintah untuk pengada-an barang publik makin meningkat. Studi Su-wanan dan Sulistiani (2009) dapat membuktik-an asumsi tersebut, yakni pertambahan jum-lah populasi menciptakan ketimpangan antar-wilayah di Indonesia. Namun demikian, per-tambahan jumlah penduduk berpotensi untukmengembangkan SDM lebih terbuka sehingga

  • Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal,... 16

    dapat mengakumulasi kapital sebagai faktorpendorong pertumbuhan ekonomi.

    Variabel kemiskinan memiliki korelasi posi-tif dengan ketimpangan di Sulawesi Tengah.Dengan demikian, setiap terjadi kenaikan ang-ka kemiskinan akan berdampak terhadap me-ningkatnya ketimpangan antarkabupaten/kotadi Sulawesi Tengah. Untuk variabel kualitassumber daya manusia, yang diukur dari indekspembangunan manusia dapat mengoreksi ke-timpangan yang terjadi antarkabupaten/kotadi Sulawesi Tengah, hanya saja tidak berpe-ngaruh secara signifikan. Demikian halnya va-riabel angka pengangguran tidak berpengaruhsignifikan terhadap perbaikan ketimpangan.

    Sedangkan variabel utama, yakni desentra-lisasi fiskal, hasil estimasi menunjukkan bah-wa variabel desentralisasi fiskal berpengaruhsignifikan terhadap ketimpangan, hanya sajaarah nilai koefisien tidak sesuai dengan tuju-an pelaksanaan desentralisasi untuk mengura-ngi ketimpangan. Kenaikan rasio penerimaan(PAD) justru akan memperparah ketimpang-an di Sulawesi Tengah, temuan ini sejalan de-ngan hasil studi oleh Kim et al. (2003) di Ko-rea bahwa ada kecenderungan desentralisasifiskal meningkatkan ketimpangan. Rodŕıguez-Pose dan Gill (2004), Nugrahanto dan Muhyi-ddin (2008), Baskaran dan Feld (2009), sertaJin dan Rider (2010) menemukan hasil yangsama, bahwa desentralisasi justru akan mendo-rong peningkatan ketimpangan antardaerah.

    Dengan demikian, hasil empiris ini seca-ra umum berbeda dengan hasil studi sebe-lumnya di Indonesia yang dilakukan oleh Wi-dhiyanto (2008) serta Suwanan dan Sulistiani(2009), bahwa desentralisasi fiskal dapat meng-urangi ketimpangan. Sejalan dengan itu, mem-perkuat pula asumsi sebelumnya bahwa ne-gara/daerah yang masih bertumpu pada sek-tor primer kecenderungan terjadinya ketim-pang masih sangat tinggi. Hasil estimasi de-ngan fixed effect menjelaskan adanya perbe-daan perilaku masing-masing kabupaten/kota,nilai intersep yang tertinggi adalah Kabupa-

    ten Buol sebesar -12.200, disusul KabupatenBanggai Kepulauan sebesar -12.115. Sementa-ra yang terendah adalah Kota Palu sebesar -11.168. Setiap terjadi kenaikan rasio PAD didua kabupaten (Buol dan Banggai Kepulauan)memberikan pengaruh yang kuat untuk menu-runkan ketimpangan dibandingkan dengan da-erah lainnya. Kedua daerah tersebut merupak-an kabupaten pemekaran yang berada di wi-layah perbatasan yang memiliki karakteristikyang berbeda, Kabupaten Buol merupakan da-erah pertanian, sedangkan Kabupaten Bang-kep wilayah kepulauan. Sementara Kota Palukenaikan rasio PAD pengaruhnya terhadap ke-timpangan relatif lebih kecil dibandingkan de-ngan daerah otonom (kabupaten) yang ada diSulawesi Tengah. Namun demikian, pola ke-timpangan Kota Palu relatif kecil dibandingk-an kabupaten yang ada di Sulawesi Tengah.

    Simpulan

    Berdasarkan hasil analisis data dan pembahas-an yang telah dilakukan, maka dapat disim-pulkan beberapa hal penting sebagai berikut.Pertama, kebijakan desentralisasi fiskal dapatmendorong terjadinya pergeseran sektor (per-ubahan struktur) ekonomi di Sulawesi Tengah,di mana peranan sektor primer kecenderungan-nya makin menurun, sehingga berakibat padapeningkatan peranan sektor sekunder dan ter-sier selama pelaksanaan otonomi daerah. Sela-in itu, diharapkan akan mengakibatkan peru-bahan dalam struktur produksi melalui perge-seran kesempatan kerja. Dalam tataran aplika-tif, pemerintah kabupaten/kota di Sulawesi Te-ngah perlu lebih mengoptimalkan PAD namuntidak menciptakan ekonomi biaya tinggi, yangselanjutnya memperbesar proporsi belanja pu-blik karena masih minimnya investasi yang da-pat mendorong peningkatan PAD. Hal ini di-perlukan karena meskipun terjadi perubahanstruktur ekonomi dengan menurunnya peran-an sektor primer, akan tetapi kontributor uta-ma perekonomian di wilayah Sulawesi Tengah

  • Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal,... 17

    masih didominasi sektor pertanian, sementarasektor ini pertumbuhannya lambat, dan penye-rapan tenaga kerja kecil.

    Kedua, kebijakan desentralisasi fiskal yangtelah berjalan meningkatkan ketimpangan an-tarkabupaten/kota di Sulawesi Tengah selamapelaksanaan otonomi daerah. Oleh karenanya,pemerintah kabupaten/kota di Sulawesi Te-ngah perlu melakukan perbaikan institusi ke-lembagaan pemerintah daerah dengan mening-katkan transparansi dan akuntabilitas pemu-ngutan PAD. Selain diperlukan prioritas per-encanaan dan kegiatan pembangunan yang me-miliki efek untuk menciptakan pemerataan.

    Berdasarkan simpulan di atas, maka disam-paikan beberapa saran, yaitu: Pertama, va-riabel fiskal daerah (desentralisasi fiskal) ter-bukti berperan memengaruhi pergeseran sek-tor (perubahan struktur), namun perlu di-pertimbangkan untuk mengintroduksi variabelinvestasi. Variabel tersebut diduga berperanpada perubahan struktur dan penurunan ke-timpangan, baik secara langsung maupun ti-dak langsung antarkabupaten/kota di Provin-si Sulawesi Tengah, sekaligus merupakan kele-mahan dari studi ini. Kedua, temuan bahwadesentralisasi fiskal (kenaikan rasio penerima-an PAD terhadap total penerimaan kabupa-ten/kota) belum dapat mengoreksi ketimpang-an antarkabupaten/kota di Provinsi SulawesiTengah. Maka studi selanjutnya perlu memper-timbangkan dengan memasukkan variabel de-sentralisasi fiskal tidak hanya melihat dari si-si revenue, namun juga perlu melihat dari sisiexpenditure seperti studi yang dilakukan olehZhang dan Zou (1998), serta Akai dan Saka-ta (2002) sebagai alternatif permodelan untukdapat memperoleh hasil yang lebih baik.

    Daftar Pustaka

    [1] Akai, N., & Sakata, M. (2002). Fiscal Decentrali-zation Contributes to Economic Growth: Evidencefrom State-Level Cross-Section Data for the Uni-ted States. Journal of Urban Economics, 52, 93–108.

    [2] Akai, N., Hosoi, N., & Nishimura, Y. (2009). FiscalDecentralization and Economic Volatility: Eviden-ce from State Level Cross-Section Data of the USA.Japanese Economic Review, 60 (2), 223–235.

    [3] Akita, T., (2002). Regional Income Inequality inIndonesia and the Initial Impact of the EconomicCrisis. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 38(2), 201–222.

    [4] Akita, T., Kurniawan, P. A., & Miyata, S. (2011).Structural Changes and Regional Income Inequa-lity in Indonesia: A Bidimensional DecompositionAnalysis. Asian Economic Journal, 25 (1), 55–77.

    [5] Arham, M. A. (2013). Pengaruh Kebijakan Desen-tralisasi Fiskal Terhadap Pergeseran Sektoral danKetimpangan Antar Kabupaten/Kota di Sulawesidan Jawa. Disertasi. Bandung: Pasacasarjana FEBUnpad.

    [6] Azis (1992) ................................[7] b. Ismail, A. G., Hamzah, M. Z., & Ritonga, J.

    T. (2004). Fiscal Decentralization and EconomicGrowth: Evidence from Selected Muslim Countri-es. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 9 (2), 109–116.

    [8] Bappenas. (2013). Analisis Kesenjangan An-tar Wilayah 2013. Jakarta: KementerianPerencanaan Pembangunan Nasional/BadanPerencanaan Pembangunan Nasional (Bap-penas). http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139281-%5B_

    Konten_%5D-Konten%20C9754a.pdf (Accessed.....).

    [9] Baskaran, T., & Feld, L. P. (2009). Fiscal De-centralization and Economic Growth in OECDCountries: Is there A Relationship? CESifoWorking Paper Series, 2721. Munich, Ger-many: Center for Economic Studies and IfoInstitute (CESifo). http://www.cesifo-group.de/portal/page/portal/DocBase_Content/WP/

    WP-CESifo_Working_Papers/wp-cesifo-2009/

    wp-cesifo-2009-07/cesifo1_wp2721.pdf

    (Accessed .....).[10] Bonet, J. A. (2005). Decentralization, Structural

    Change and Regional Disparities in Colombia. Do-ctoral dissertation. United States: University ofIllinois at Urbana-Champaign.

    [11] Bonet, J. A. (2006). Fiscal Decentralization andRegional Income Disparities: Evidence from theColombian Experience. The Annals of RegionalScience, 40 (3), 661–676.

    [12] BPS. (2010). Daerah Dalam Angka Provinsi Sula-wesi Tengah, 2001–2010. Palu, Sulawesi Tengah:Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah.

    [13] Caselli, F. & Coleman, W. J., (2001). The U.S.Structural Transformation and Regional Conver-gence: A Reinterpretation. Journal of PoliticalEconomy, 109 (3), 584–616.

    [14] Chenery, H. B., & Syrquin, M. (1975). Patterns

    http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139281-%5B_Konten_%5D-Konten%20C9754a.pdfhttp://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139281-%5B_Konten_%5D-Konten%20C9754a.pdfhttp://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139281-%5B_Konten_%5D-Konten%20C9754a.pdfhttp://www.cesifo-group.de/portal/page/portal/DocBase_Content/WP/WP-CESifo_Working_Papers/wp-cesifo-2009/wp-cesifo-2009-07/cesifo1_wp2721.pdfhttp://www.cesifo-group.de/portal/page/portal/DocBase_Content/WP/WP-CESifo_Working_Papers/wp-cesifo-2009/wp-cesifo-2009-07/cesifo1_wp2721.pdfhttp://www.cesifo-group.de/portal/page/portal/DocBase_Content/WP/WP-CESifo_Working_Papers/wp-cesifo-2009/wp-cesifo-2009-07/cesifo1_wp2721.pdfhttp://www.cesifo-group.de/portal/page/portal/DocBase_Content/WP/WP-CESifo_Working_Papers/wp-cesifo-2009/wp-cesifo-2009-07/cesifo1_wp2721.pdf

  • Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal,... 18

    of Development 1950–1970. Oxford, U.K.: OxfordUniversity Press.

    [15] Davoodi, H. & Zou, H. F. (1998). Fiscal Decentra-lization and Economic Growth: A Cross-CountryStudy. Journal of Urban Economics, 43 (2), 244–257.

    [16] de Mello, L. R., (2000). Fiscal Decentralizationand Intergovernmental Fiscal Relations: A Cross-Country Analysis. World Development, 28 (2),365–380.

    [17] Dietrich, A. (2009). Does Growth Cause StructuralChange, or Is it the Other Way Round? A Dyna-mic Panel Data Analyses for Seven OECD Coun-tries. Jena Economic Research Papers, 2009-034.Jena, Germany: Friedrich Schiller University andthe Max Planck Institute of Economics.

    [18] Ding, Y. (2007). Fiscal Decentralization and Eco-nomic Growth in China,1994–2002. Journal of Chi-nese Economic and Business Studies, 5 (3), 243–260.

    [19] Dirgantoro, M. A., Mangkuprawira, S., Siregar, H.& Sinaga, B. M. (2009). Dampak Kebijakan De-sentralisasi Fiskal Terhadap Transformasi Ekono-mi di Provinsi Jawa Barat. Jurnal Organisasi danManajemen, 5 (1), 1–9.

    [20] Djojohadikusumo, S. (1994). Perkembangan Pemi-kiran Ekonomi: Dasar Teori Ekonomi Pertumbuh-an dan Ekonomi Pembangunan. Jakarta: LP3ES.

    [21] Fisher, A. G. B. (1935). The Clash of Progress andSecurity. London: MacMillan & Co. Ltd.

    [22] Hammond, G. W., & Tosun, M. S. (2011). The Im-pact of Local Decentralization on Economic Grow-th: Evidence from U.S. Counties. Journal of Regio-nal Science, 51 (1), 47–64.

    [23] Hartono, D., & Irawan, T. (2011). DecentralizationPolicy and Equality: A Theil Analysis of Indonesi-an Income Inequality. European Journal of Econo-mics, Finance & Administrative Sciences, 29, 41–51.

    [24] Iimi, A. (2005). Decentralization and EconomicGrowth Revisited: An Empirical Note. Journal ofUrban Economics, 57 (3), 449–461.

    [25] Indiastuti, R. (2003). The Financing of RegionalDevelopment and Economic Growth in West JavaProvince. Working Paper in Economics and De-velopment Studies, 200304. Bandung: Departmentof Economics. Padjadjaran University. http://lp3e.fe.unpad.ac.id/wopeds/200304.pdf

    (Accessed .....).[26] Janissen, B., Thomson, R., Clark, C., & Geer,

    T. (1998). Aspects of Structural Change in Aus-tralia. Productivity Commission Working Paper,1560. Canberra, Australia: AusInfo - Commonwe-alth of Australia.

    [27] Jarjoura, G. (2001). Structural Change in Austra-lia’s Trade and Manufacturing Sectors: Progress

    and Problems. Journal of Economic and Social Po-licy, 6 (1), 1–28. http://epubs.scu.edu.au/cgi/viewcontent.cgi?article=1027&context=jesp

    (Accessed .....).[28] Jin, Y., & Rider, M. (2010). Fiscal Decentra-

    lization, Fiscal Equalization, and EconomicGrowth: A Comparative Study of China andIndia. Draft - not distributed. India: TheDelhi Centre of Indian Statistical Institute.http://www.isid.ac.in/~pu/conference/dec_

    10_conf/Papers/MarkRider.pdf (Accessed .....).[29] Kemenkes RI. (2010) ................................[30] Kementerian Keuangan. (2010). Anggaran Pen-

    dapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupa-ten/Kota di Indonesia, 2001–2010. Jakarta: Ke-menterian Keuangan Republik Indonesia.

    [31] Kim, E., Hong, S. W., & Ha, S. J. (2003). Impactsof National Development and Decentralization Po-licies on Regional Income Disparity in Korea. TheAnnals of Regional Science, 37 (1), 79–91.

    [32] KPPOD. (2002). Daya Tarik Investasi Kabupa-ten/Kota di Indonesia. Jakarta: Komite PemantauPelaksanaan Otonomi Daerah.

    [33] Kuncoro, M. (2004). Otonomi & PembangunanDaerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi, danPeluang. Jakarta: Penerbit Erlangga.

    [34] Kuncoro, M. (2006). Ekonomi Pembangunan: Te-ori, Masalah dan Kebijakan. Edisi Keempat. Yo-gyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan - AkademiManajemen Perusahaan UPP STIM YKPN.

    [35] Kuncoro, M. (2007). Ekonomika Industri Indone-sia: Menuju Negara Industri Baru, 2030? Yogya-karta: Andi.

    [36] Lessmann, C. (2009). Fiscal Decentralization andRegional Disparity: Evidence from Cross-sectionand Panel Data. Environment and Planning, 41(10), 2455–2473.

    [37] Lin, J. Y., & Liu, Z. (2000). Fiscal Decentralizationand Economic Growth in China. Economic Deve-lopment and Cultural Change, 49 (1) 1–21.

    [38] Litvack, J., Ahmad, J., & Bird, R. (1998). Rethin-king Decentralization in Developing Countries.Sector Studies Series. Washington, D.C.: TheInternational Bank for Reconstruction and Deve-lopment. World Bank.http://www1.worldbank.org/publicsector/decentralization/

    Rethinking%20Decentralization.pdf (Accessed.....).

    [39] Mart́ınez-Vásquez, J., & McNab, R. M. (2006). Fi-scal Decentralization, Macrostability, and Growth.Hacienda Pública Espanola/Revista de Economı́aPública, 179 (4), 25–49.

    [40] Mart́ınez-Vásquez, J., & Timofeev, A. (2010). De-centralization Measures Revisited. Public Financeand Management, 10 (1), 13–47

    [41] Musgrave, R., & Musgrave, P. (1989). Public Fi-

    http://lp3e.fe.unpad.ac.id/wopeds/200304.pdfhttp://lp3e.fe.unpad.ac.id/wopeds/200304.pdfhttp://epubs.scu.edu.au/cgi/viewcontent.cgi?article=1027&context=jesphttp://epubs.scu.edu.au/cgi/viewcontent.cgi?article=1027&context=jesphttp://www.isid.ac.in/~pu/conference/dec_10_conf/Papers/MarkRider.pdfhttp://www.isid.ac.in/~pu/conference/dec_10_conf/Papers/MarkRider.pdfhttp://www1.worldbank.org/publicsector/decentralization/Rethinking%20Decentralization.pdfhttp://www1.worldbank.org/publicsector/decentralization/Rethinking%20Decentralization.pdfhttp://www1.worldbank.org/publicsector/decentralization/Rethinking%20Decentralization.pdf

  • Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal,... 19

    nance in Theory and Practice. International Edi-tion. Singapore: McGraw-Hill.

    [42] Nugrahanto, A. S., & Muhyiddin. (2008). FiscalDecentralization and Regional Inequality in Indo-nesia 2001–2004. Journal of Development Plan-ning, 1 (14), 1–19.

    [43] Nugraheni, D., & Priyarsono D.S. (2012). KinerjaKeuangan Daerah, Infrastruktur, dan Kemiskinan:Analisis Kabupaten/Kota di Indonesia 2006–2009.Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 12(2), 148–167.

    [44] Oates, W. E. (1972). Fiscal Federalism. New York:Harcourt Brace Jovanovich.

    [45] Oates, W. E. (1993). Fiscal Decentralization andEconomic Development. National Tax Journal, 46(2), 237–243.

    [46] Pepinsky, T. B., & Wihardja, M. M. (2009). De-centralization and Economic Performance in Indo-nesia. Journal of East Asian Studies, 11 (3), 337–371.

    [47] Qiao, B., Mart́ınez-Vásquez, J., & Xu, Y. (2002).Growth and Equity Tradeoff in DecentralizationPolicy: China’s Experience. International StudiesProgram Working Paper, 02-16. Atlanta, U. S.:International Studies Program, Andrew YoungSchool of Policy Studies, Georgia State University.http://icepp.gsu.edu/sites/default/files/

    documents/icepp/wp/ispwp0216.pdf (Accessed.....).

    [48] Rodŕıguez-Pose, A., & Ezcurra, R. (2010). DoesDecentralization Matter for Regional Disparities?A Cross-Country Analysis. Journal of EconomicGeography, 10 (5), 619–644.

    [49] Rodŕıguez-Pose, A., & Gill, N. (2004). Is Therea Global Link between Regional Disparities andDevolution? Environment and Planning, 36 (12),2097–2117.

    [50] Samimi, A. J., Lar, S. K. P., Haddad, G. K., &Alizadeh, M. (2010). Fiscal Decentralization andEconomic Growth in Iran. Australian Journal ofBasic and Applied Sciences, 4 (11), 5490–5495.

    [51] Setiaji, W., & Adi, P. H. (2007). Peta KemampuanKeuangan Daerah Sesudah Otonomi Daerah: Apa-kah Mengalami Pergeseran? (Studi Pada Kabupa-ten dan Kota se Jawa–Bali). Simposium NasionalAkuntansi X. Unhas Makassar 26–28 Juli 2007.

    [52] Shankar, R., & Shah, A. (2003). Bridging the Eco-nomic Divide Within Countries: A Scorecard onthe Performance of Regional Policies in ReducingRegional Income Disparities. World Development,31 (8), 1421–1441.

    [53] Silva, E. G., & Teixeira, A. C. C. (2008). SurveyingStructural Change: Seminal Contributions and aBibliometric Account. Structural Change and Eco-nomic Dynamics, 19 (4), 273–300.

    [54] Sjafrizal. (2008). Ekonomi Regional: Teori dan

    Aplikasi. Padang: Baduose Media.[55] Suwanan, A. F., & Sulistiani, E. H. (2009). Fiscal

    Decentralization and Regional Disparities in Indo-nesia; A Dynamic Panel Data Evidence. Journal ofIndonesian Economy and Business, 24 (3), 328–336.

    [56] Tambunan, T. (2001). Perekonomian Indonesia:Teori dan Temuan Empiris. Jakarta: Ghalia Indo-nesia.

    [57] Todaro, M. P., & Smith, S. C. (2006). EconomicDevelopment, 9th edition. London: Pearson Edu-cation Ltd.

    [58] Valli, V., & Saccone, D. (2009). Structural Changeand Economic Development in China and India.The European Journal of Comparative Economics,6 (1), 101–129.

    [59] Waluyo, J. (2007). Dampak Desentralisasi FiskalTerhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpang-an Pendapatan Antardaerah di Indonesia. Sim-posium Nasional Ekonomi PPIE FE UI, WismaMakara-Kampus UI Depok, 12 Desember 2007.

    [60] Wellisch, D. (2004). Theory of Public Finance in aFederal State. Cambridge, U. K.: Cambridge Uni-versity Press.

    [61] Wibowo, K. (2004). Lessons From Previous Ta-xes’ Studies to Indonesian Local and Regional Go-vernments After Fiscal Decentralization. WorkingPapers in Economics and Development Studies,200402. Bandung: Department of Economics, Pa-djadjaran University. http://lp3e.fe.unpad.ac.id/wopeds/200402.pdf (Accessed .....).

    [62] Widhiyanto, I. (2008). Fiscal Desentralization andIndonesia Regional Income Disparity (1994-2004).Jurnal Keuangan Publik, 5 (1), 19–53.

    [63] Williamson, J. G. (1965). Regional Inequality andThe Process of National Development: A Descrip-tion of The Patterns. Economic Development andCultural Change, 13 (4), 1–84.

    [64] Zhang, T., & Zou, H. (1998). Fiscal Decentraliza-tion, Public Spending, and Economic Growth inChina. Journal of Public Economics, 67 (2), 221–240.

    http://icepp.gsu.edu/sites/default/files/documents/icepp/wp/ispwp0216.pdfhttp://icepp.gsu.edu/sites/default/files/documents/icepp/wp/ispwp0216.pdfhttp://lp3e.fe.unpad.ac.id/wopeds/200402.pdfhttp://lp3e.fe.unpad.ac.id/wopeds/200402.pdf

  • Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal,... 20

    Tab

    el

    1:

    Lam

    pir

    an

    3:

    Vari

    ab

    eld

    an

    Defi

    nis

    iO

    per

    asi

    on

    al

    Vari

    ab

    el

    Konse

    psi

    Vari

    ab

    el

    Satu

    an

    Sum

    ber

    Pegese

    ran

    Sekto

    r(S

    C)

    Meru

    pakan

    nilai

    share

    sekto

    rte

    rhadap

    pere

    -konom

    ian

    daera

    hyang

    menunju

    kkan

    nilaine-

    gati

    fdan

    posi

    tif.

    Bila

    nilain

    ya

    negati

    fm

    enun-

    jukkan

    penuru

    nan

    share

    dan

    sebaliknya.N

    ilai

    indeks

    anta

    ra0–100

    -H

    asi

    lP

    erh

    itungan

    Structu

    ral

    Change

    Index

    SCI

    =1 2

    Σ[X

    t−

    Xt

    0]

    Pendapata

    nP

    er

    Kapit

    aM

    asy

    ara

    kat

    (PD

    RB

    /C

    ap)

    Pendapata

    np

    er

    kapit

    aata

    up

    endapata

    np

    er

    kepala

    adala

    hp

    endapata

    np

    enduduk

    kabu-

    pate

    n/kota

    yang

    dih

    itung

    rata

    -rata

    seti

    ap

    tahun.

    Pro

    ksi

    nya

    adala

    hP

    DR

    Bp

    er

    kapit

    adip

    ero

    leh

    dari

    perb

    andin

    gan

    anta

    raju

    mla

    hP

    DR

    Bdengan

    jum

    lah

    penduduk

    pert

    engah-

    an

    tahun,

    yang

    mencerm

    inkan

    pendapata

    np

    enduduk

    suatu

    daera

    hse

    tiap

    tahun

    Rupia

    h/ta

    hun

    BP

    S

    Popula

    si(P

    op)

    Popula

    siata

    up

    enduduk

    adala

    hju

    mla

    hse

    lu-

    ruh

    penduduk

    dala

    mw

    ilayah/daera

    hte

    rten-

    tudala

    msa

    tuta

    hun

    Jiw

    aata

    uora

    ng

    BP

    S

    Unem

    pP

    enganggura

    nadala

    hju

    mla

    hora

    ng

    yang

    be-

    lum

    bekerj

    aata

    use

    menta

    ram

    encari

    pekerj

    a-

    an

    pada

    usi

    aangkata

    nkerj

    a

    Jiw

    aata

    uora

    ng

    BP

    S

    Indeks

    Kapasi

    tas

    Fis

    kal

    (IK

    F)

    Indeks

    Kapasi

    tas

    Fis

    kal

    meru

    pakan

    ukura

    nkem

    am

    puan

    keuangan

    bagi

    daera

    h(k

    abupa-

    ten/kota

    )untu

    km

    em

    bia

    yai

    kegia

    tan

    dan

    ak-

    tivit

    asn

    ya

    -H

    asi

    lP

    erh

    itungan

    Dese

    ntr

    alisa

    siF

    iskal

    (FD

    )D

    ese

    ntr

    alisa

    sip

    eneri

    maan

    yang

    diu

    kur

    dari

    rasi

    op

    eneri

    maan

    sendir

    i(P

    AD

    )te

    rhadap

    to-

    tal

    peneri

    maan

    di

    luar

    peneri

    maan

    pro

    vin

    sipada

    wilayah

    yang

    bers

    angkuta

    n

    Rupia

    h/ta

    hun

    Sala

    hsa

    tuin

    dik

    ato

    ryang

    dig

    unakan

    ole

    hA

    kai

    dan

    Sakata

    (2002)

    Keti

    mpangan

    Dis

    trib

    usi

    Pendapata

    nA

    nta

    -rd

    aera

    h(I

    neq)

    Perb

    edaan

    posi

    sire

    lati

    fpro

    dukti

    vit

    as

    ekono-

    mianta

    rwilayah

    yang

    din

    yata

    kan

    dala

    mnilai

    indeks

    di

    wil

    ayah

    kabupate

    n/kota

    -H

    asi

    lp

    erh

    itungan

    keti

    mpangan

    rela

    tif

    (Qia

    oetal.,

    2002)

    Dese

    ntr

    alisa

    siF

    iskal

    (FD

    )D

    ese

    ntr

    alisa

    sifi

    skal

    adala

    hra

    sio

    pendapata

    nse

    ndir

    ite

    rhadap

    tota

    lp

    endapata

    nm

    asi

    ng-

    masi

    ng

    kabupate

    n/kota

    di

    luar

    peneri

    maan

    pem

    eri

    nta

    hpro

    vin

    si(f

    edera

    l)

    Rupia

    h/T

    ahun

    (%)

    Indik

    ato

    ryang

    dig

    unakan

    ole

    hA

    kai

    dan

    Sa-

    kata

    (2002)

    Keti

    mpangan

    Dis

    trib

    usi

    Pendapata

    nA

    nta

    -rd

    aera

    h(I

    neq)

    Perb

    edaan

    posi

    sire

    lati

    fpro

    dukti

    vit

    as

    ekono-

    mianta

    rwilayah

    yang

    din

    yata

    kan

    dala

    mnilai

    Indeks

    di

    wilayah

    kabupate

    n/kota

    -H

    asi

    lp

    erh

    itungan

    keti

    mpangan

    rela

    tif

    (Qia

    oetal.,

    2002)

    Tin

    gkat

    Kem

    iskin

    an

    (PO

    VE

    R)

    Kem

    iskin

    an

    meru

    pakan

    ora

    ng-o

    rang

    ata

    uin

    -div

    idu

    yang

    mem

    ilik

    ip

    enghasi

    lan

    rendah

    dan

    tidak

    mam

    pu

    mem

    enuhi

    standar

    kebutu

    han

    hid

    upnya

    Jiw

    aata

    uora

    ng

    BP

    S

    Indeks

    Pem

    bangunan

    Manusi

    a(H

    DI)

    Indeks

    Pem

    bangunan

    Manusi

    aadala

    hp

    engu-

    kura

    np

    erb

    andin

    gan

    dari

    hara

    pan

    hid

    up,m

    e-

    lek

    huru

    f,p

    endid

    ikan,

    dan

    standar

    hid

    up

    un-

    tuk

    sem

    ua

    negara

    selu

    ruh

    dunia

    -B

    PS

  • Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal,... 21

    Tabel 2: Lampiran 1: Hasil Kalkulasi SCI

    Kabupaten/KotaNilai Sectoral Change Index

    2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

    Bangkep 1,81 0,3 5,95 0,5 3,26 0,64 0,62 0,62 0,66 0,57Banggai 0,9 2,81 7,63 0,64 0,52 0,09 0,08 0,14 0,33 3,52Buol 0,74 0,36 5,93 0,66 0,58 0,83 0,64 0,61 0,52 0,41Donggala 0 1,69 3,3 0,42 3,27 0,39 0,7 1,16 0,16 1,85Morowali 0,16 0,64 1,09 0,11 1,52 2,12 2,24 0,79 0,1 0,8Poso 0,22 1,63 4,03 0,36 3,22 0,34 0,13 0,06 0,1 0,15Tolitoli 0,77 0,6 2,87 0,4 0,19 0,1 0,27 0,81 0,43 0,57Palu 0,37 0,87 0,26 0,49 0,25 0,43 0,4 0,33 0,19 0,17

    Sumber: Hasil Olahan Penulis, (2014)

    Tabel 3: Lampiran 2: Hasil Penghitungan INEQ

    Kabupaten/KotaNilai Sectoral Change Index

    2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

    Bangkep 0,56 0,6 0,5 0,52 0,57 0,58 0,61 0,65 0,65 0,69Banggai 0,45 0,15 0,3 0,3 0,4 0,4 0,4 0,5 0,5 0,55Buol 0,33 0,4 0,37 0,37 0,47 0,49 0,53 0,59 0,6 0,65Donggala 0,99 0,64 0,03 0,68 0,65 0,67 0,69 0,73 0,53 0,55Morowali 0,01 0,06 0,13 0,12 0,16 0,15 0,17 0,25 0,25 0,38Poso 0,55 0,25 0,59 0,13 0,15 0,3 0,4 0,49 0,51 0,61Tolitoli 0,06 0,19 0,28 0,32 0,38 0,39 0,44 0,51 0,51 0,56Palu 0,05 0,02 0,02 0,01 0,11 0,17 0,23 0,34 0,34 0,4

    Sumber: Hasil Olahan Penulis, (2014)

    Tabel 4: Persamaan Pergeseran Sektor

    Koefisien Nilai Statistik t

    LnPDRBCap -1,255592 -3,144292***Ln POP -0,185976 -0,281081Unemp 0,017117 0,385440IKF -1,041380 -2,313858*FD -0,372636 -1,671961*

    Adj R-Squared 0,573

    F-Stat 3,106

    DW Stat 2,401

    Sumber: Hasil Pengolahan dengan Eviews, (2014)Keterangan: * signifikan pada taraf 10%Keterangan: ** signifikan pada taraf 5%Keterangan: *** signifikan pada taraf 1%

  • Muh. Amir Arham/Kebijakan Desentralisasi Fiskal,... 22

    Tabel 5: Persamaan Ketimpangan Regional

    Koefisien Nilai Statistik t

    LnPDRBCap 0,258729 5,580913***LnPOP 0,553737 7,933418***POV 2,49E-06 4,013394***HDI -2,50E-06 -0,508341UNEMP -0,004760 -1,031044FD 0,034457 2,464270**

    Adj R-Squared 0,9319

    F-Stat 69,552

    DW Stat 1,1558

    Sumber: Hasil Pengolahan dengan Eviews, (2014)Keterangan: * signifikan pada taraf 10%Keterangan: ** signifikan pada taraf 5%Keterangan: *** signifikan pada taraf 1%