kebijakan luar negeri qatar dalam memberikan...
TRANSCRIPT
KEBIJAKAN LUAR NEGERI QATAR DALAM
MEMBERIKAN DUKUNGAN TERHADAP NATIONAL
TRANSITIONAL COUNCIL (NTC) TERKAIT KRISIS
POLITIK DI LIBYA
(2011-2012)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Rahmi Kamilah
1110113000050
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
JAKARTA
2014
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
KEBIJAKAN LUAR NEGERI QATAR DALAM MEMBERIKAN
DUKUNGAN TERHADAP PIHAK NATIONAL TRANSITIONAL COUNCIL
(NTC) TERKAIT KRISIS POLITIK DI LIBYA (2011-2012)
1. Merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 23 Oktober 2014
Rahmi Kamilah
iii
iv
v
ABSTRAKSI
Skripsi ini menganalisa tentang kebijakan luar negeri Qatar terkait krisis
politik di Libya pada periode 2011-2012. Skripsi ini bertujuan untuk melihat
faktor apa saja yang mendorong Qatar untuk memberikan dukungan kepada pihak
oposisi dalam krisis politik di Libya. Sumber data yang diperoleh untuk
melengkapi penulisan skripsi ini ialah melalui pengumpulan studi kepustakaan.
Dalam skripsi ini ditemukan bahwa fenomena Arab Spring yang terjadi di
Timur Tengah berdampak luas terhadap perpolitikan kawasan tersebut. Salah satu
faktor utama yang mendorong gerakan revolusi ialah permasalahan ekonomi.
Qatar, sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi salah
satu negara kawasan yang tidak mengalami revolusi tersebut. Selain itu, terdapat
responsibility to protect (r2p) bagi Qatar sebagai negara anggota PBB untuk
membantu meredam konflik yang didalamnya terdapat pelanggaran HAM, salah
satunya ialah krisis politik di Libya.
Konsep intervensi yang digunakan dalam penelitian ini berguna untuk
menjelaskan pentingnya sebuah intervensi dilakukan oleh negara-negara di dunia
demi mengurangi dampak kemanusiaan yang dihasilkan dari sebuah revolusi
politik. Selain itu, teori kebijakan luar negeri juga digunakan untuk menganalisa
faktor apa saja yang memengaruhi Qatar dalam menerapkan kebijakan luar negeri
terkait krisis di Libya. Faktor tersebut dapat dilihat dari dua sisi, yakni faktor
internal dan faktor eksternal.
Melalui analisa kebijakan luar negeri yang digunakan dalam penelitian ini,
maka akan ditemukan faktor dominan apa yang paling memengaruhi kebijakan
Qatar terkait krisis politik di Libya. Dalam menganalisa faktor-faktor tersebut
akan ditemukan bahwa pertumbuhan ekonomi Qatar menjadi pendorong utama
bagi Qatar untuk menerapkan kebijakan intervensi. Selain itu, kebijakan intervensi
tersebut juga didorong oleh keinginan Qatar untuk menjadi aktor dominan di
kawasan Timur Tengah.
Kata Kunci: Qatar, Libya, Timur Tengah, Arab Spring, intervensi.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil’alamin
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik
serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang
berjudul “Kebijakan Luar Negeri Qatar dalam Memberikan Dukungan Terhadap
Pihak National Transitional Council (NTC) terkait Krisis Politik di Libya (2011-
2012)” dengan baik.
Adapun tujuan penyusunan skripsi ini ialah untuk memenuhi tugas akhir
dan untuk memenuhi syarat wajib kelulusan bagi mahasiswa/i Program Studi
Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dengan keterbatasan kemampuan yang dimiliki penulis, penyusunan
skripsi ini tidak akan mampu diselesaikan tanpa bantuan dan bimbingan pihak
lainnya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini izinkan penulis untuk mengucapkan
banyak terima kasih kepada:
1. Allah SWT dengan segala rahmat, ridha dan kasih sayang-Nya dan masih
memberikan saya kesempatan untuk mampu menyelesaikan sekolah saya
hingga sarjana.
2. Yang tersayang, Ibu dan Ayah (Atin M. Murlim dan Rasum Shaleh) yang
selalu memanjatkan do’a bagi anak-anaknya. Perjuangan untuk
menghidupkan dan menyukseskan kami tidak akan mampu kami bayar
hingga kapanpun. Semoga kami cukup mampu membuat kalian bangga. Ami
sayang Ibu dan Ayah.
3. Yang terhormat, Bapak A. Fuad Fanani, selaku dosen pembimbing selama
penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas waktu dan ilmu yang diberikan
selama proses bimbingan berlangsung.
4. Yang terhormat, Ibu Debbie Affianty Lubis, selaku Kepala Prodi HI serta
seluruh dosen dan karyawan FISIP UIN untuk segala bantuannya selama
masa perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.
5. Yang tersayang, Kakak dan Teteh (Dzaki Abdul Rahman dan
Dzakiatussa’adah) atas kasih sayang dan dukungannya.
6. Riko Febrian Eltari yang banyak membantu dan menemani dalam proses
penyelesaian skripsi ini, terima kasih atas waktunya.
7. Teman-teman Warsol Forum/Cordobre, Asri Kusumastuty, Balqis Faradiba,
Dara Amalia, M. Hafied Noval, Sauri Susanto, Dimas Ardhiyanto, Thufeil
Izharruddin, Rifqi Fauzan, Wildan Ramadhan, Sabana Putra Maka, Ray Putra
Mahardika, Novian Dwi Chayo, M. Faisal Akbar atas segala bantuan,
dukungan, dan kenangan selama masa kuliah.
vii
8. Shofia Nida dan Airin Aisyah beserta seluruh teman-teman HI-B yang tidak
pernah gagal memberikan kesan dan pesan semasa kuliah. Semoga kita semua
mampu mencapai kesuksesan di masa mendatang.
9. Dan kepada seluruh orang terdekat yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Terimakasih atas dukungan dan motivasi untuk saya menyelesaikan skripsi
ini dengan baik.
Mengingat seluruh keterbatasan, penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan. Meskipun demikian, penulis harap skripsi ini
dapat memberikan manfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkannya.
Jakarta, 23 Oktober 2014
Rahmi Kamilah
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK……………………………………………………………… v
KATA PENGANTAR………………………………………………….. vi
DAFTAR ISI……………………………………………………………. viii
DAFTAR TABEL………………………………………………………. x
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………… xi
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………. xii
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………….. xiii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………. 1
A. Latar Belakang Masalah……………………………………. 1
B. Pertanyaan Penelitian………………………………………. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................ 5
D. Tinjauan Pustaka.................................................................. 5
E. Kerangka Teori..................................................................... 9
1. Teori Kebijakan Luar Negeri....................................... 9
a. Faktor Internal.................................................. 13
b. Faktor Eksternal............................................... 14
2. Konsep Intervensi........................................................ 15
F. Metodologi Penelitian........................................................... 17
G. Sistematika Penulisan........................................................... 18
BAB II KRISIS POLITIK YANG TERJADI DI LIBYA...................... 20
A. Awal Mula terjadinya Krisis Politik di Libya....................... 20
1. Arab Spring sebagai Fenomena Politik
di Timur Tengah………………………………………. 20
2. Arab Spring di Libya (Libya Spring)…………………. 25
B. Pihak Oposisi dalam Krisis Politik di Libya......................... 29
1. Lahirnya Kelompok Oposisi di Libya pada
Masa Rezim Qaddafi.................................................... 29
2. NTC sebagai Perwakilan Resmi Rakyat Libya
pada Masa Krisis………………………………………. 32
BAB III PERAN QATAR DALAM KRISIS POLITIK DI LIBYA…….. 35
A. Kedudukan Qatar di Timur Tengah………………………… 35
1. Kedudukan Qatar di Timur Tengah
sebelum Krisis Politik…………………………………. 38
ix
2. Kedudukan Qatar di Timur Tengah
pada Masa Krisis Politik……………………………… 41
B. Hubungan Bilateral Qatar dan Libya………………………. 43
1. Hubungan Qatar dan Libya
sebelum Krisis Politik………………………………… 44
2. Hubungan Qatar dan Libya
pada Masa Krisis Politik……………………………… 45
C. Bentuk Dukungan Qatar terhadap Pihak NTC..................... 47
BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG QATAR UNTUK
MEMBERIKAN DUKUNGAN TERHADAP NTC................ 50
A. Dukungan Qatar terhadap NTC
sebagai Bentuk Intervensi.................................................... 50
B. Faktor-Faktor yang mendorong Kebijakan Qatar
terhadap NTC....................................................................... 54
1. Faktor Internal………………………………………… 55
a. Atribut Ekonomi:
Pertumbuhan Ekonomi Qatar………………… 55
b. Kepentingan Ekonomi:
Peluang Kerjasama Qatar dan NTC................ 58
2. Faktor Eksternal………………………………………. 60
a. Struktur dalam Sistem Internasional:
Kawasan Timur Tengah………………………. 61
b. Aliansi:
Hubungan Qatar dengan AS………………….. 63
BAB V PENUTUP……………………………………………………… 67
Kesimpulan……………………………………………………... 67
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. xiv
LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………. xx
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Indeks Perdamaian Global Tahun 2011………………… 43
Tabel 2. Daftar Negara Terkaya di Dunia 2011-2012……………. 56
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta Qatar di Timur Tengah………………………… 35
Gambar 2. Definisi Intervensi…………………………………… 16
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Resolusi PBB 1970………………………………… xx
Lampiran 2. Resolusi PBB 1973………………………………… xxxii
xiii
DAFTAR SINGKATAN
DK PBB : Dewan Keamanan PBB
GCC : Gulf Cooperation Council
HAM : Hak Asasi Manusia
ICC : International Criminal Court
ICISS :International Commission on Intervention and State
Sovereignty
JEM : Justice and Equality Movement
LCG : Libya Contact Group
LIFG : Libyan Islamist Fight Group
LNG : Liquefied Natural Gas
MoU : Memorandum of Understanding
NATO : North Atlantic Treaty Organization
NTC : National Transitional Council
OKI : Organisasi Konferensi Islam
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
RCC : Revolutionary Command Council
UNSMIL : United Nations Support Mission in Libya
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Desember 2010, merupakan bulan yang mengawali gejolak politik di
Timur Tengah, yang disebut dengan Arab Spring. Berawal di Tunisia, aksi protes
terhadap pemerintah melahirkan bentuk-bentuk protes di negara Arab lain sebagai
ekspresi ketidakpuasan terhadap pemerintahan yang ada di negara-negara Timur
Tengah. Aksi protes ini juga terjadi di Mesir pada Januari 2011 untuk
menurunkan rezim Husni Mubarak. Protes tersebut berhasil menurunkan rezim
Mubarak turun dari kursi pemerintahan. Fenomena Arab Spring ini juga menyebar
ke negara Timur Tengah lainnya, seperti Suriah, Yaman, Aljazair, Yordania,
Oman, Maroko, termasuk Libya.1
Di Libya, aksi protes diawali pada bulan Februari 2011 yang
menginginkan mundurnya rezim Muammar Qaddafi dari kursi pemerintahan
Libya.2 Aksi ini menimbulkan perang saudara antara pemerintahan dengan para
pemberontak yang menginginkan kemunduran Qaddafi. Kerasnya sikap Qaddafi
dalam menghadapi para pemberontak mendorong Uni Eropa dan PBB bersikap
1 Cedric Dupont dan Florence Passy, “The Arab Spring or How to Explain those Revolutionary
Episodes?”Swiis Political Science Association: SPSR, 2037 (Oktober 2011): 1. 2 Dr. Bruce St. John, Libyan Myths and Realities, (Copenhagen: Royal Danish Defense College,
2011), 4.
2
tegas melalui embargo serta penarikan Libya dari keanggotaan U.N. Human Right
Council.3
Selain Uni Eropa dan PBB yang memberikan respon terhadap revolusi
politik di Libya, negara-negara Arab seperti Qatar turut memberikan respon
terkait krisis tersebut. Pada Maret 2011, Qatar menjadi negara Arab pertama yang
mengakui National Transitional Council (NTC) sebagai perwakilan resmi rakyat
Libya.4 NTC merupakan badan yang dibentuk oleh pihak oposisi dalam
menghadapi rezim Qaddafi yang kemudian diresmikan sebagai perwakilan bagi
rakyat Libya.5
NTC memperoleh legitimasi melalui dewan-dewan lokal yang telah
dibentuk oleh pihak pemberontak. Selain dari dewan lokal, negara-negara dunia
seperti Perancis, Jerman, Italia, Tiongkok, Rusia, Yordania, Kuwait, Uni Emirat
Arab, termasuk Qatar turut memberikan pengakuan terhadap pemerintahan
sementara NTC sebagai perwakilan resmi rakyat Libya.6
Qatar, selain memberikan dukungan terhadap pihak NTC, juga
memberikan dukungan militer seperti pengiriman senjata, seragam, amunisi dan
transportasi perang serta bantuan keuangan dalam membantu pihak pemberontak
baik secara unilateral maupun dalam kerangka kerjasama Liga Arab dan
kampanye NATO.7 Qatar juga memfasilitasi kapal perang di Al-Udeid, yang
3 “TIMELINE-Libya's uprising against Muammar Gaddafi”. Reuters, 30 Maret 2011, tersedia di
<http://www.reuters.com/article/2011/03/30/libya-idUSLDE72K0KK20110330> diakses pada 9
Maret 2014.pukul 15. 32. 4 Lina Khatib, “Qatar’s Foreign Policy: The Limits of Pragmatism”, International Affairs 89: 2
(2013): 421. 5 Bruce St. John, “Libyan Myths and Realities” Royal Danish Defense College, Research Paper,
(Agustus, 2011), 10. 6 John, “Libyan Myths and Realities”, 10. 7 Khatib.“Qatar’s Foreign Policy”, 421.
3
merupakan pangkalan militer Amerika Serikat (AS), sebagai bentuk dukungan
Qatar terhadap pihak NTC.8
Selain memberikan bantuan dana dan militer kepada pihak anti-Qaddafi,
Qatar juga memberikan bantuan dalam bidang energi, yakni membantu
memasarkan minyak mentah Libya.9 Perjanjian penjualan minyak antara Qatar
dan pihak oposisi ini dicapai sehari sebelum Qatar memberikan pernyataan
pengakuan terhadap NTC sebagai perwakilan resmi rakyat Libya.10
Dalam respon Qatar terhadap isu Arab Spring, Qatar tidak hanya berperan
dalam krisis yang terjadi di Libya saja, melainkan juga di negara Arab lain seperti
Bahrain, Yaman, Tunisia, Mesir dan Suriah. Namun, intervensi militer yang
dilakukan Qatar hanya diterapkan di Libya dan Suriah. Keterlibatan Qatar secara
politik di Bahrain dan Yaman dapat dikatakan terbatas karena terdapat pengaruh
besar dari Arab Saudi di kedua negara tersebut. Selain itu, di Tunisa dan Mesir,
peran Qatar hanya sebatas pemberian bantuan ekonomi.11
Sebelum aktif dalam memberikan respon terkait fenomena Arab Spring,
Qatar memosisikan dirinya sebagai mediator dalam isu-isu kawasan terdahulu,
8 David Roberts, “Behind Qatar’s Intervention in Libya: Why was Doha such a Strong Supporters
of the Rebels?” Foreign Affairs, 28 September 2011, tersedia di:
<http://www.foreignaffairs.com/articles/68302/david-roberts/behind-qatars-intervention-in-libya>
diakses pada 2 Juni 2014, pukul 19.36. 9 Sultan Barakat, “The Qatari Spring: Qatar’s Emerging Role in Peacemaking”, London School of
Economics and Political Science, 24 (Juli, 2012): 26. 10 “Qatar recognises Libyan rebels after oil deal”, AlJazeera, 28 Maret 2011, tersedia di:
<http://www.aljazeera.com/news/middleeast/2011/03/201132814450241767.html> diakses pada
15 Maret 2014, pukul 17.02. 11 Kristian Coates Ulrichsen, “Qatar and The Arab Spring: Policy Drivers and Regional
Implications”, Carnegie Endowment for International Peace, tersedia di:
<http://carnegieendowment.org/2014/09/24/qatar-and-arab-spring-policy-drivers-and-regional-
implications>, diakses pada 18 November 2014, pukul 20.35.
4
seperti di Yaman, Libanon, dan Sudan.12 Peran mediasi yang dilakukan Qatar di
negara-negara tersebut ialah dengan mengupayakan penyelesaian konflik melalui
perundingan perdamaian beserta penyediaan dana bantuan.13 Peran tersebut
menjadikan Qatar dikenal sebagai negara netral atau tidak memihak dalam upaya
penyelesaian konflik.14
Peran Qatar dalam menghadapi krisis politik di Libya menunjukkan
adanya perubahan pola kebijakan luar negeri Qatar jika dibandingkan dengan
peran mediasi dalam menghadapi isu-isu di kawasan sebelum Arab Spring.
Intervensi Qatar dalam menghadapi krisis di Libya tersebut tidak lagi mewakili
reputasi netral yang dimiliki Qatar sebelumnya. Selain itu, Qatar sebagai negara
kecil, berdasarkan ukuran geografisnya, dengan kebijakan intervensi akan
membentuk citra negatif bagi Qatar diantara negara-negara tetangganya.15
Dengan adanya perubahan kebijakan yang lebih aktif melalui dukungan
yang diberikan Qatar terhadap NTC, menjadi menarik untuk dibahas faktor apa
saja yang mendorong Qatar untuk memberikan dukungan bagi pihak NTC terkait
krisis politik di Libya tahun 2011-2012. Pemilihan periode ini didasarkan pada
awal terjadinya revolusi di Libya serta peran yang dilakukan Qatar dalam
menghadapi isu di Libya dengan melihat perkembangan kebijakannya selama
setahun kedepan.
12 Barakat, “The Qatari Spring”, 13. 13 Khatib.“Qatar’s Foreign Policy”, 418. 14 Barakat, “The Qatari Spring”, 2. 15 Kristian Coates Ulrichsen, “Small States with a Big Role: Qatar and The Unites Arab Emirates
in The Wake of Arab Spring”, HH Sheikh Nasser al-Mohammad al-Sabbah, Publication Series
3(Oktober, 2012): 18.
5
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan kasus yang dibahas dalam tulisan ini, maka dapat
dirumuskan pertanyaan untuk penelitian ini, yakni:
“Faktor apa saja yang mendorong Qatar untuk memberikan dukungan terhadap
pihak NTC terkait krisis politik di Libya tahun 2011?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui permasalahan Arab Spring khususnya di Libya.
2. Menjelaskan kebijakan-kebijakan Qatar melalui intervensi di Libya.
3. Menganalisa faktor-faktor yang mendorong Qatar melakukan intervensi
dalam krisis politik di Libya.
Adapun manfaat yang dapat dihasilkan dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan pengetahuan mengenai kebijakan Qatar terhadap krisis
politik di Libya.
2. Untuk menambah wawasan bagi para penstudi Hubungan Internasional
mengenai kasus yang menjadi topik penelitian.
3. Sebagai bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya dengan bahasan
yang sama.
D. Tinjauan Pustaka
Silvia Colombo, menulis jurnal yang berjudul “The GCC Countries and
The Arab Spring: Between Outreach, Patronage, and Repression”. Jurnal yang
6
diterbitkan oleh Instituto Affari Internazionali Vol. 12, No. 09 pada tahun 2012 ini
menuliskan tentang fenomena Arab Spring yang terjadi di Timur Tengah dan
bagaimana gejolak politik yang terjadi memengaruhi negara-negara Teluk yang
tergabung dalam Gulf Cooperation Council (GCC).
Dalam tulisan tersebut menggambarkan bahwa Arab Spring
memengaruhi kondisi internal mereka, terutama dalam hal politik dan ekonomi.
Secara regional, GCC ini harus menerapkan kebijakan intervensi serta
memberikan bantuan-bantuan bagi rakyat yang terkena dampak revolusi seperti
yang terjadi di Suriah dan Libya. Tulisan ini menjelaskan bagaimana negara-
negara Teluk yang tergabung dalam GCC ini memberikan respon terhadap isu
regional yang sedang terjadi.16
Perbedaan jurnal tersebut dengan penelitian yang akan dibahas adalah
subjek penelitian. Meskipun Qatar merupakan negara anggota GCC, namun
penelitian ini tidak membahas respon GCC secara keseluruhan tetapi lebih
memfokuskan pada peran Qatar secara unilateral dalam mengahadapi gejolak
politik yang terjadi di Libya. Selain itu, objek dari penelitian ini juga
memfokuskan pada isu Arab Spring yang terjadi di Libya saja. Berbeda dengan
penelitian yang dituliskan dalam jurnal di atas yang membahas mengenai Arab
Spring secara keseluruhan dan dampaknya terhadap regional.
Pada tahun 2013, European Scientific Journal menerbitkan tulisan dalam
Vol. 12 yang berjudul “The Rise of Qatar as a Soft Power and The Challenges”.
Jurnal yang dituliskan oleh Osman Antwi-Boateng ini menjelaskan tentang
16 Silvia Colombo, “The GCC Countries and The Arab Spring: Between Outreach, Patronage, and
Repression”, Instituto Affari Internazionali, 12: 09 (2012).
7
kebijakan soft-power yang diterapkan oleh Qatar dalam isu-isu kawasan yang
merupakan daya tarik bagi Qatar. Daya tarik ini terlihat dari stabilitas politik,
pertumbuhan ekonomi melalui redistribusi pendapatan yang efektif serta sistem
pendidikan yang progresif. Selain itu, penyebaran pengaruh melalui Al-Jazeera,
investasi dalam bidang olahraga dan kebijakan dalam memberikan bantuan yang
tidak memberatkan.17
Perbedaan jurnal tersebut dengan penelitian ini terletak pada isu yang
dibahas. Jurnal tersebut tidak memfokuskan pada isu yang terjadi di Arab spring
seperti halnya penelitian ini. Selain itu, adanya keterlibatan Qatar dalam intervensi
militer menggambarkan bahwa penelitian ini mencakupi kebijakan hard-power,
bukan hanya soft-power seperti jurnal tersebut.
“Saving Strangers in Libya: Traditional and Alternative Discourses on
Humanitarian Intervention” merupakan thesis yang ditulis oleh Sorana-Christina
Jude untuk memperoleh gelar Master di Eurpoean Institute. Thesis yang
diselesaikan pada tahun 2012 ini menuliskan tentang intervensi yang dilakukan
banyak pihak terkait proses demokratisasi yang terjadi di Libya pada tahun 2011.
Tulisan ini melihat bagaimana intervensi yang dilakukan negara-negara dunia
terhadap Libya dari pendekatan-pendekatan Hubungan Internasional baik
pendekatan tradisional maupun pendekatan alternatif. Tulisan ini juga melihat
bagaimana intervensi yang tersebut menggambarkan kewajiban negara-negara
untuk membantu mengatasi konflik yang terjadi. Di lain pihak, tulisan ini juga
17 Osman Antwi-Boateng, “The Rise of Qatar as a Soft Power and The Challenges”, European
Scientific Journal, 12 (2013).
8
mencoba melihat intervensi yang telah dipolitisasi berdasarkan kepentingan
nasional negara yang terlibat.18
Perbedaan penelitian ini dengan thesis tersebut ialah bahwa penelitian ini
mencoba melihat faktor-faktor yang memengaruhi Qatar melakukan intervensi di
Libya. Selain itu, penelitian ini tidak menjabarkan segala bentuk intervensi yang
dilakukan oleh negara dunia terhadap proses demokratisasi di Libya melainkan
terfokus pada intervensi yang dilakukan Qatar untuk menghadapi krisis di Libya.
Maya Savitri, pada tahun 2013 menulis skripsi yang berjudul “Alasan
NATO (North Atlantic Treaty Organization) Dalam Krisis Politik di Libya Tahun
2011” untuk memperoleh gelar sarjana S.Sos di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dalam penelitian tersebut dijelaskan mengenai peran NATO
sebagai organisasi internasional dengan aktifitas yang didasarkan pada
kepentingan negara anggotanya. Penelitian ini juga membahas mengenai
intervensi yang dilakukan oleh NATO dengan menjabarkan maksud dan tujuan
NATO dalam misi tersebut.19
Dalam penelitian di atas membahas mengenai peran NATO dalam
intervensi terhadap krisis yang terjadi di Libya. Subjek penelitian difokuskan pada
peran NATO sebagai organisasi internasional dalam menghadapi krisis politik di
Libya. Dengan demikian, perbedaan penelitian ini terletak pada subjek yang lebih
memfokuskan pada peran Qatar meskipun terhadap kasus yang sama, yakni krisis
politik di Libya.
18 Sorana-Christina Jude, “Saving Strangers in Libya: Traditional and Alternative Discourses on
Humanitarian Intervention”, Eurpoean Institute, (Thesis: 2012). 19 Maya Savitri, “Alasan NATO (North Atlantic Treaty Organization) Dalam Krisis Politik di
Libya Tahun 2011”, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, (Skripsi: 2013).
9
E. Kerangka Teori
1. Teori Kebijakan Luar Negeri
Dalam penelitian ini, teori yang akan digunakan adalah teori kebijakan
luar negeri untuk melihat dasar pertimbangan kebijakan Qatar terhadap Libya.
Kebijakan luar negeri, bagi Marijke Breuning, merupakan hasil dari interaksi
negara dengan lingkungan diluar batasnya.20 Alex Mintz dan Karl DeRouen
merumuskan pembuatan kebijakan luar negeri sebagai sekumpulan pilihan yang
diputuskan oleh individu, kelompok, atau koalisi dan akan memengaruhi tindakan
negaranya dalam lingkungan internasional. Dalam kebijakan luar negeri tersebut
terdapat seperangkat karakter yang lekat dengan pembuatan keputusan, yakni
ketidakpastian dan resiko.21
Secara tradisional, keputusan yang diambil dalam proses pembuatan
kebijakan luar negeri didasari pada kepentingan nasional yang tidak lepas dari
alasan untuk mempertahankan dan melindungi kekuasaan dan keamanan.
Terutama ketika masa perang, suatu negara dihadapkan pada pilihan untuk terlibat
perang demi melindungi integritas wilayahnya. Namun, dalam perkembangan
yang terjadi di sistem internasional, terutama paska Perang Dingin, fenomena
globalisasi yang ada memengaruhi perpolitikan dunia yang membuat negara lebih
memfokuskan perhatiannya dalam sektor ekonomi, meskipun tidak melepaskan
diri seutuhnya dari unsur-unsur militer. Negara menjadikan ekonomi sebagai
20 Marijke Breuning, Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction, (New York: Palgrave
Macmillan, 2007), 5. 21 Alex Mintz dan Karl DeRouen Jr., Understanding Foreign Policy Decision Making,
(Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 3.
10
prioritas utama, terlebih lagi semenjak dibentuknya berbagai macam organisasi
kerjasama ekonomi antar internasional.22
Kebijakan luar negeri merupakan unsur penting dalam membentuk
sebuah fenomena internasional. Sebab, sebuah kebijakan yang diterapkan suatu
negara akan menciptakan sebuah interaksi. Beberapa kebijakan dikalkulasikan
secara cermat dan kebijakan lainnya dapat pula diterapkan hanya dengan
mengandalkan intuisi.23 Kalkulasi sebuah kebijakan menandakan bahwa isu-isu
domestik dapat menentukan bagaimana sebuah kebijakan ditetapkan. Nilai-nilai
yang telah melekat dalam lingkungan domestik mampu memengaruhi bagaimana
pola politik internal dan membentuk tindakan terhadap lingkungan eksternal.24
Dalam memahami proses pembentukan kebijakan luar negeri, elemen
utama yang paling penting ialah pemimpin. Namun, proses pembuatan kebijakan
suatu negara tidak hanya dapat dilihat dari faktor pemimpin saja, tetapi juga
melihat proses birokrasi dalam pembuatan kebijakan yang sekaligus melihat
peranan aktor-aktor lain dalam birokrasi tersebut. Selain aktor-aktor politik,
publik juga memiliki peran dalam memengaruhi keputusan suatu kebijakan, baik
itu masyarakat, pers, bahkan aktor-aktor politik dari negara lain.25
Terdapat empat unsur dalam proses pembuatan kebijakan, yakni
pilihan, keputusan, tindakan, dan hasil. Pilihan merupakan beberapa kemungkinan
yang dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pembuat keputusan untuk
menetapkan kebijakan. Keputusan merupakan pilihan yang telah ditetapkan.
22 Breuning, Foreign Policy Analysis, 5. 23Mintz dan DeRouen Jr., Understanding Foreign Policy Decision Making, 3. 24Mintz dan DeRouen Jr., Understanding Foreign Policy Decision Making, 6. 25 Breuning, Foreign Policy Analysis, 6.
11
Selanjutnya, tindakan merupakan perilaku yang didasarkan pada keputusan yang
telah dibuat. Tindakan biasanya dilakukan untuk memengaruhi aktor dari negara
lain atau untuk memperoleh keuntungan bagi negara. Dan yang terakhir adalah
hasil. Hasil dari kebijakan yang telah diterapkan yang cenderung bersifat abstrak.
Sebab hasil dari sebuah kebijakan juga dapat dipengaruhi oleh kebijakan negara
lain sebagai respon dari interaksi antar negara.26
Kebijakan luar negeri merupakan sebuah bentuk interaksi yang terjadi
antar negara karena di dalamnya terdapat sebuah tindakan dan juga respon dari
tindakan tersebut. Dengan demikian, penting untuk memahami kebijakan luar
negeri dari level negara. Level ini mencakup faktor internal yang memengaruhi
kebijakan suatu negara. Faktor-faktor internal tersebut dapat dilihat dari kerangka
institusi – seperti melihat interaksi antara badan legislatif dan eksekutif, serta
kondisi negara – seperti dalam hal ekonomi, sejarah dan kebudayaan negara.27
Faktor-faktor tersebut mampu membentuk sekumpulan pilihan bagi pembuat
kebijakan.
Selain dalam level negara, kebijakan luar negeri juga dapat dilihat dari
level sistem internasional. Level ini memfokuskan interaksi yang terjadi antar
negara. Sebab sistem internasional merupakan sekumpulan negara yang saling
berinteraksi yang dipengaruhi oleh kapabilitas mereka, yakni kekuasaan dan
kekayaan, dan hal tersebut memungkinkan mereka untuk bertindak di lingkungan
global. Kemampuan yang dimiliki suatu negara dapat berubah, yakni apakah
26 Breuning, Foreign Policy Analysis, 7-8. 27 Breuning, Foreign Policy Analysis, 12-13.
12
kemampuan ekonomi dan militer mereka bertambah atau berkurang.28 Interaksi
yang terjadi antar negara menjadikan sistem internasional sebagai faktor penting
bagi negara untuk mempertimbangkan kebijakan luar negeri.
Analisa dalam kebijakan luar negeri meliputi pemeriksaan pada proses
pembuatan kebijakan. Bagaimana keputusan ditetapkan dan bagaimana perubahan
dalam politik internasional berdampak pada perilaku manusia untuk berperan
secara individu maupun kolektif.29 Penjelasan mengenai analisa kebijakan luar
negeri juga meliputi hasil dari keputusan sebuah negara. Hasil tersebut juga
didasarkan pada pertimbangan bahwa keputusan yang dibuat akan memiliki
konsekuensi tersendiri bagi lingkungan internasional.30
Kebijakan luar negeri dibuat melalui beberapa fokus, seperti mengenali
permasalahan, membingkai isu, mengumpulkan persepsi, memprioritaskan tujuan,
serta mengumpulkan pilihan-pilihan yang didasarkan pada situasi saat itu. Faktor-
faktor yang memengaruhi suatu kebijakan luar negeri merupakan satu kunci
dalam menjelaskan proses pembuatan kebijakan. Kontribusi dalam menganalisa
proses pembuatan kebijakan ialah untuk mengetahui poin penting apa saja yang
menjadi penentu utama bagi suatu negara untuk bertindak yang biasanya didasari
oleh faktor materi dan ide.31
Adapun faktor-faktor yang dapat digunakan untuk menganalisa suatu
kebijakan ialah melalui faktor objektif dengan melihat kondisi lingkungan
28 Breuning, Foreign Policy Analysis, 13. 29Valerie M. Hudson dan Christopher S. Vore, “Foreign Policy Analysis Yesterday, Today, and
Tomorrow. Mershon International”, Mershon International Study Review: The International
Studies Association, 39: 2 (Oktober,1995): 210. 30 Valerie M. Hudson, “Foreign Policy Analysis: Actor-Specific Theory and the Ground of
International Relations”, International Studies Association: Blackwell Publishing, 1 (2005): 2. 31 Hudson, “Foreign Policy Analysis”, 2-3.
13
domestik dan juga lingkungan internasional yang memengaruhi keputusan sebuah
kebijakan.32 Adapun faktor-faktor tersebut ialah:
a. Faktor Internal:
1. Atribut Ekonomi
Perekonomian suatu negara merupakan salah satu faktor yang
dipertimbangkan negara dalam menerapkan sebuah kebijakan. Tingkat
pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan karakteristik ekonomi yang
mampu memengaruhi proses perumusan kebijakan. Sebuah negara dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi cenderung lebih aktif dalam menghadapi isu-
isu internasional. Tingkat kekayaan suatu negara juga dapat memosisikan negara
sebagai pemberi atau penerima bantuan asing.33
2. Kepentingan Ekonomi
Berbeda dengan faktor atribut ekonomi yang menekankan pada
kemampuan ekonomi suatu negara, faktor kepentingan ekonomi ini lebih
menekankan pada kebutuhan ekonomi yang dikejar oleh suatu negara.
Kepentingan nasional merupakan dasar negara untuk menerapkan sebuah
kebijakan. Kepentingan nasional yang paling berpengaruh ialah kepentingan
ekonomi. Ketika akses terhadap sumber daya alam terancam, suatu negara akan
menerapkan sebuah kebijakan yang mampu mengamankan akses terhadap sumber
daya yang menjadi sektor penting dalam menjalankan perekonomian negaranya.34
32 Peter A. Toma dan Robert F. Gorman, International Relations: Understanding Global Issues,
(California: Brooks/Cole Publishing Company, 1991), 129. 33 Frederic S. Pearson dan J. Martin Rochester, International Relations: The Global Condition in
195.Twenty-First Century, (New York: The McGraw-Hill Companies, Inc: 1998), 195. 34Mintz dan DeRouen Jr, Understanding Foreign Policy Decision Making, 130-131.
14
Dengan demikian, kepentingan ekonomi menjadi faktor penentu kebijakan suatu
negara.
b. Faktor Eksternal:
1. Struktur dalam Sistem Internasional
Struktur yang ada dalam sistem internasional dapat memengaruhi
kebijakan luar negeri suatu negara. Struktur tersebut dapat berupa unipolar,
bipolar, ataupun multipolar. Dalam melihat dominasi suatu negara di sistem
internasional harus juga memahami bahwa struktur dalam sistem internasional
dapat berubah. Secara umum, perubahan ini didorong oleh masalah ekonomi
ketika peran sebagai negara hegemon tidak lagi mampu untuk terakomodasi. Hal
tersebut akan mendorong negara lain untuk menggantikan peran tersebut.35
2. Aliansi
Aliansi merupakan salah satu faktor eksternal yang memengaruhi
kebijakan suatu negara. Keinginan suatu negara untuk menerapkan kebijakan
tertentu dapat dipengaruhi oleh aliansi yang dijalin dengan negara atau organisasi
lain. Aliansi militer, salah satu bentuk aliansi, dapat memengaruhi suatu negara
untuk mempertimbangkan pentingnya melakukan agresi atau intervensi militer
terhadap negara lain. Dapat juga kebijakan yang dibuat berupa ajakan suatu
negara untuk bergabung dengan koalisi yang dibentuk atau kebijakan untuk
menerima atau menolak ajakan dari negara lain.36
35 Pearson dan Rochester, International Relations, 188 36Mintz dan DeRouen Jr., Understanding Foreign Policy Decision Making, 126.
15
2. Konsep Intervensi
Konsep intervensi atau yang dikenal dengan intervensi kemanusiaan
dapat dipahami sebagai tindakan oleh negara atau sekelompok negara untuk
mencegah atau membatasi dampak dari ancaman atau penggunaan kekerasan
terhadap manusia tanpa seizin dari negara yang dituju.37 Konsep intervensi yang
lama dapat ditekankan pada kewajiban negara dalam melindungi populasinya
sendiri. Namun, bagi Alex Bellamy, konsep intervensi ini sudah meluas dengan
adanya peran bantuan dari negara-negara dunia untuk menanggapi genosida dan
kejahatan massa.38
Bagi Martha Finnemore, intervensi kemanusiaan merupakan intervensi
dengan menggunakan militer yang tujuannya untuk melindungi rakyat sipil.39
James N. Rosenau melihat bahwa intervensi merupakan instrumen dari sebuah
tindakan, bukan merupakan tujuan akhir. Nilai moralitas sebuah tindakan
intervensi tergantung dari hasil akhir yang dituju.40 Dengan demikian, intervensi
dapat dipahami sebagai aksi yang dilakukan negara terhadap negara lain dengan
maksud melindungi warga sipil dalam kondisi perang. Tetapi, aksi intervensi ini
bertentangan dengan kedaulatan suatu negara. Hal tersebut menjadi perdebatan
mengenai legitimasi sebuah intervensi.41
37 J. L. Holzgrefe dan Robert O. Keohane, Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and
Political Dilemmas, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 18. 38 Alex J. Bellamy, “The Responsibility to Protect: The Five Years On”, Ethics and International
Affairs 24:2 (2010), 143. 39 Martha Finnemore (1996) dalam Saban Kardas, “Humanitarian Intervention: The Evolution of
The Idea and Practice”, Journal of International Affairs, 6: 2 (Juli, 2001): 1. 40 James N. Rosenau, The Scientific Study of Foreign Policy, (London: Frances Printer,1980) 342. 41 Gareth Evans, “From Humanitarian Intervention to The Responsibility to Protect”, Wisconsin
International Law Journal , 23: 3, 704.
16
Gambar 2. Definisi Intervensi
Sumber42: Joshep S. Nye Jr. (1991).
Joseph Nye menjelaskan bahwa bentuk intervensi memiliki beberapa
tahapan dari low coercion yang berupa pernyataan suatu negara terhadap negara
lain hingga high coercion yang berupa invasi militer.43 Penjelasan mengenai
intervensi ini menggambarkan bahwa intervensi dapat dilihat dari berbagai
bentuk, baik itu dari pidato kenegaraan, bantuan ekonomi, blokade hingga invasi
militer.
International Commission on Intervention and State Sovereignty
(ICISS) melihat bahwa konsep intervensi harus dilihat dari segi responsibility
(tanggung jawab), yakni tanggung jawab untuk melindungi rakyat atau dapat
dipahami juga sebagai responsibility to protect (r2p). R2p merupakan salah satu
bentuk upaya internasional dalam melakukan pencegahan terhadap genosida dan
42 Joshep S. Nye, Jr., Understanding International Conflict: An Introduction to Theory and
History, (New York: Longman, 1991), 162. 43 Nye, Understanding International Conflict, 162.
17
kejahatan massa serta upaya perlindungan terhadap rakyat sipil dari kejahatan
tersebut.44
Terdapat tiga bentuk responsibility, yang pertama adalah responsibility
to prevent (tanggung jawab untuk mencegah). Bentuk pencegahan ini ditujukan
kepada penyebab apa saja yang menimbulkan krisis yang mengancam manusia.
Yang kedua ialah responsibility to react (tanggung jawab untuk bereaksi), yakni
memberikan respon terhadap situasi yang mengancam manusia, seperti pemberian
sanksi dan intervensi militer. Yang ketiga ialah responsibility to rebuild (tanggung
jawab untuk membangun kembali) melalui penyediaan bantuan untuk proses
pemulihan, rekonstruksi dan rekonsiliasi.45
F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif. Dalam
penelitian kualitatif, bekal yang utama bagi peneliti ialah pengalaman, yakni
pengalaman dalam menganalisa data. Pengalaman dalam menganalisa data ini
kemudian dapat digunakan untuk menyusun pertanyaan penelitian dari sebuah
studi kasus. Penyusunan pertanyaan penelitian dari studi kasus berguna untuk
menentukan fokus isu dalam proses pengumpulan data.46
Sumber data yang akan digunakan untuk melengkapi informasi yang
dibutuhkan dalam penelitian ini menggunakan data-data yang diperoleh dari buku,
jurnal, artikel, dan website. Teknik yang digunakan dalam memperoleh sumber
44 Bellamy, “The Responsibility to Protect”, 143. 45 International Commission on Intervention and State Sovereignty, The Responsibility to Protect
(2110) dalam Evans, “From Humanitarian Intervention”, 707-709. 46 Robert E. Stake, The Art of Case Study Research, (CA: Sage Publications, 1995), 50
18
data adalah dengan studi kepustakaan atau literatur. Teknik ini digunakan dengan
mengumpulkan sumber-sumber kepustakaan yang berkaitan dengan topik yang
dibahas serta menghubungkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan
terdahulu. Perolehan data ini akan dilakukan dengan mengunjungi perpustakan di
beberapa universitas, seperti Universitas Islam Negeri Jakarta dan Universitas
Indonesia, serta Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian yang membahas mengenai kebijakan luar negeri Qatar
dalam memberikan dukungan terhadap pihak NTC di Libya ini akan terdiri dari
lima bab. Pada bab I, yakni pendahuluan, akan dijelaskan mengenai latar belakang
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Selain itu, bab ini juga akan
memberikan informasi mengenai pertanyaan penelitian serta kerangka teori yang
akan digunakan untuk menganalisa permasalahan yang ada.
Selanjutnya, pada bab II akan dijelaskan mengenai krisis politik di Libya.
Penjelasan tersebut akan diawali dengan menceritakan awal terjadinya fenomena
Arab Spring di Timur Tengah serta menceritakan sedikit tentang beberapa negara
lain yang juga mengalami krisis politik tersebut. Kemudian pada bab ini akan
dijelaskan mengenai krisis politik di Libya secara lebih mendalam beserta
penjelasan mengenai kelompok-kelompok oposisi di Libya. Pada bab ini juga
akan dijelaskan mengenai NTC sebagai perwakilan resmi rakyat Libya pada masa
krisis.
Dalam bab III, penelitian ini akan memasuki peran yang dilakukan Qatar
dalam menghadapi krisis di Libya. Sebelum menjelaskan peran Qatar, penelitian
19
ini memberikan informasi terlebih dahulu mengenai perpolitikan Qatar di kawasan
baik sebelum terjadinya Arab Spring ataupun pada masa Arab Spring
berlangsung. Untuk melihat peran Qatar di Libya, penelitian ini juga memberikan
informasi terlebih dahulu mengenai hubungan bilateral kedua negara tersebut.
Setelah itu pada bagian terakhir dalam bab ini akan dijelaskan mengenai bentuk-
bentuk dukungan yang diberikan Qatar terhadap pihak NTC.
Pada bab IV, penelitian ini akan memasuki bagian analisa. Bagian ini
akan menjawab permasalahan yang menjadi pertanyaan penelitian. Dalam
menjawab pnelitian ini, teori serta konsep yang dijelaskan pada bab I akan
diaplikasikan beserta data-data yang telah dikumpulkan. Konsep intervensi akan
dijelaskan untuk membantu penulis membuktikan bahwa dukungan yang
diberikan Qatar merupakan salah satu bentuk intervensi. Selain konsep intervensi,
pada bab IV terdapat faktor subjektif dan faktor objektif yang digunakan penulis
untuk melihat faktor apa saja yang memengaruhi Qatar untuk memberikan
dukungan terhadap pihak NTC.
Dan bagian terakhir ialah bab V. Bagian terakhir ini akan menjadi bagian
penutup yang berisi kesimpulan penelitian. Kesimpulan ini akan menjabarkan
kembali penelitian yang telah disusun secara keseluruhan. Selain itu juga pada
bagian ini akan mempertegas kembali jawaban penelitian yang didapat dari hasil
penelitian.
20
BAB II
KRISIS POLITIK YANG TERJADI DI LIBYA
Krisis politik yang terjadi di Libya merupakan salah satu dampak dari
fenomena Arab Spring yang melanda kawasan Timur Tengah. Pada Bab ini akan
dijelaskan mengenai awal mula terjadinya Arab Spring hingga berdampak pada
perpolitikan di negara-negara Timur Tengah yang salah satunya adalah Libya.
Selain itu juga akan dijelaskan bagaimana pihak oposisi di Libya menghadapi
krisis politik tersebut.
A. Awal Mula Terjadinya Krisis Politik di Libya
Krisis politik di Libya, seperti yang telah dijelaskan di atas, merupakan
dampak dari fenomena Arab Spring yang menyebabkan krisis politik di beberapa
negara di Timur Tengah.
1. Arab Spring sebagai Fenomena Politik di Timur Tengah
Arab Spring merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat Barat
untuk menggambarkan revolusi politik yang terjadi di Timur Tengah. Terdapat
juga istilah Arab Uprising yang diartikan sebagai pemberontakan Arab untuk
menyebutkan gerakan revolusi tersebut. Orang Arab sendiri lebih memilih
menggunakan Arab Awakening atau kebangkitan Arab untuk menggambarkan
21
fenomena yang lekat dengan reformasi sosial, nasional, konstitusional, dan
gerakan Islamis modern.47
Revolusi yang terjadi di dunia Arab ini diawali di Tunisia. Pada 17
Desember 2010, Muhammad Bouazizi melakukan protes melalui pembakaran diri.
Aksi pembakaran diri yang dilakukan oleh Bouazizi mendorong para pemuda
Tunisia untuk melakukan protes terhadap pemerintah. Aksi protes tersebut
merupakan ekspresi dari ketidakpuasan terhadap isu-isu sosial yang melanda
Tunisia, seperti pengangguran, korupsi, inflasi makanan, dan juga tidak adanya
kebebasan dalam berpolitik. Dalam waktu yang singkat, tepatnya pada 14 Januari
2011, protes yang dilakukan masyarakat Tunisa berhasil mendorong presiden
Zaenal Abidin Ben Ali yang telah memimpin selama 23 tahun untuk turun dari
kursi kepemimpinan.48
Di bawah pemerintahan Ben Ali, kebebasan pers terutama melalui internet,
berada di bawah kontrol sang diktator. Halaman wikipedia mengenai profil
dirinya, blog dan twitter dari pihak oposisi, serta artikel berita yang bersifat kritis
tidak dapat diakses oleh pengguna internet karena telah di blok. Diskusi mengenai
sang diktator, Ben Ali, juga tidak dapat dilakukan secara bebas terutama bahasan
yang bersifat mengkritisi dikarenakan adanya ketakutan terhadap polisi-polisi
rahasia yang dapat menangkap dan memenjarakan rakyat sipil.49
47 Eugene Rogan, “The Arab Spring: Implications for British Policy”, Conservative Middle East
Council, (Oktober, 2011): 4. 48 Alasdair MacKay, “The Arab Spring of Discontent”, E-International Relations, (2011): 4 49 Sami Ben Hassine, We Finally have Revolution on our Minds, dalam Guardian News and
Media, The Arab Spring, (London: Guardian Books, 2012), 215.
22
Informasi mengenai revolusi yang terjadi menyebar secara cepat melalui
media. Protes yang pada awalnya merupakan ekspresi terhadap banyaknya
penangguran, tingginya harga makanan, dan keterbatasan pers menjalar ke isu
yang lebih berat seperti keinginan masyarakat untuk menurunkan Ben Ali dari
kursi pemerintahan. Gerakan yang diawali oleh Bouazizi tersebut mendorong
rakyat Tunisia untuk berani berekspresi.50 Meskipun Tunisia mengalami beberapa
perkembangan dalam isu sosial seperti tingkat pendidikan yang tinggi dan jumlah
masyarakat kelas menengah yang juga tinggi, adanya pembagian kelas sosial tidak
dapat dihindarkan. Pembagian kelas sosial dan juga gerakan buruh menjadi pilar
utama pemicu revolusi di Tunisia.51
Aksi pembakaran diri yang dilakukan oleh Bouazizi tidak hanya
berdampak secara lokal, yakni mendorong masyarakat Tunisia untuk melakukan
protes terhadap pemerintahan Ben Ali, tetapi juga berdampak pada negara Arab
lainnya, salah satunya adalah Mesir. Mundurnya Ben Ali dari kepemimpinan di
Tunisia pada 14 Januari 2011 memberikan pencerahan bagi rakyat Mesir yang
berusaha untuk menjatuhkan kepemimpinan Hosni Mubarak.52
Tidak jauh berbeda dengan aksi yang dilakukan Bouazizi, protes di Mesir
juga diawali dengan aksi pembakaran diri oleh Abdou Abdel-Monaam Hamadah
yang merupakan seorang pemilik restoran yang putus asa dengan kondisi ekonomi
di Mesir. Meskipun aksi tersebut tidak memperoleh perhatian langsung yang
50 Alyssa Alfano, “A Personal Perspective on Tunisian Revolution”, dalam Alasdair MacKay, :The
Arab Spring of Discontent”, E-International Relations, (2011): 7. 51 Jason William Boose, “Democratization and Civil Society: Libya, Tunisia, and The Arab
Spring”, International Journal of Social Science and Humanity, 2:4 (Juli, 2012): 314. 52 Hamid Dabashi, “The Arab Spring: The End of Postcolonialism”, (London: Zed Books, 2012),
18.
23
signifikan selayaknya yang terjadi di Tunisia, tetapi aksi tersebut mampu memicu
aksi protes yang lebih besar melalui “Day of Rage” pada 25 Januari 2011 untuk
menurunkan rezim Mubarak.53
Pada akhir Januari 2011, ribuan rakyat Mesir berkumpul di Tahrir Square
masih dengan agenda yang sama, meminta mundurnya Mubarak dari kursi
kepemimpinan. Mubarak menolak untuk mundur, namun berjanji akan
memberikan reformasi demokratis serta tidak akan mencalonkan diri kembali
dalam pemilu berikutnya. Rakyat tetap memaksa Mubarak untuk turun melalui
aksi protes lainnya pada 1 Februari 2011 di lokasi yang sama, Tahrir Square. Aksi
protes masih berlanjut pada 4 Februari 2011 melalui “Day of Departure”. Aksi
tersebut mendapatkan respon dari Omar Suleiman selaku Perdana Menteri untuk
melakukan negosiasi dengan pihak oposisi, termasuk Muslim Brotherhood. Sang
presiden masih menolak untuk mengundurkan diri. Pada 11 Februari, Omar
Suleiman yang baru saja diangkat menjadi wakil presiden menyatakan
pengunduran diri Hosni Mubarak dan dengan demikian kekuasaan sementara
berada di tangan militer.54
Selanjutnya, aksi protes menyebar di negara lainnya seperti Yaman,
Bahrain, hingga Suriah. Tidak berbeda dengan negara-negara sebelumnya, rakyat
Yaman juga menginginkan kemunduran sang presiden, Ali Abdullah Saleh.
Presiden Saleh yang telah menjabat sejak tahun 1990 merespon aksi protes dengan
menyatakan bahwa dirinya tidak akan melakukan re-eleksi pada pemilu yang akan
datang dan hanya akan menjabat hingga masa kepemimpinannya berakhir pada
53 Dabashi, The Arab Spring, 18. 54 Dabashi, The Arab Spring, 18-19.
24
2013. Namun, rakyat Yaman tetap melanjutkan aksi protes melalui “Day of rage”
pada 3 Februari 2011.55
Selama proses demonstrasi yang terjadi, tokoh militer dan beberapa
menteri beralih memberikan dukungan kepada para demonstran, berbeda dengan
sang Presiden yang masih mempertahankan kepemimpinannya. Aksi demonstrasi
ini masih terus berlanjut hingga Mei 2011 yang menimbulkan banyak korban jiwa
akibat bentroknya militer pemerintah dengan pihak oposisi. Pada bulan Juni 2011,
Presiden Saleh terkena tembakan roket di kediaman kepresidenan dan
diterbangkan ke Arab Saudi.56
Aksi protes dengan menggunakan istilah “Day of Rage” tidak hanya
dilakukan oleh para protestan di Mesir dan Yaman, rakyat Bahrain juga
melakukan aksi yang sama pada 14 Februari 2011. Namun, aksi protes di Bahrain
ini dikatakan berbeda dengan Arab Spring karena dipicu oleh perbedaan Sunni-
Siah yang ada dalam struktur sosial Bahrain. Meskipun demikian, pemicu lainnya
tidak dapat dilepaskan dari hal-hal ekonomi yakni adanya tindak korupsi oleh para
elit politik. Aksi protes yang dilakukan di Pearl Square menelan korban jiwa dan
mendorong sang pemimpin, Hamad bin Isa Al Khalifa yang telah menjabat sejak
1942, melepaskan beberapa tahanan politik sebagai langkah damai dengan pihak
oposisi.57
Di Suriah, aksi protes pertama terjadi di bagian selatan Suriah, tepatnya di
kota Dera’a pada 18 Maret 2011. Pada aksi protes awal yang terjadi di Suriah
55 Dabashi, The Arab Spring, 20. 56 Dabashi, The Arab Spring, 21 57 Dabashi, The Arab Spring, 21.
25
tersebut, rezim Bashar Al Assad langsung merespon protes tersebut secara militer.
Semakin banyak para protestan yang mempertahankan diri dengan persenjataan,
semakin banyak kekerasan yang dilakukan oleh rezim Assad. Dalam krisis politik
di Suriah, rezim Assad memperoleh bantuan, baik secara militer maupun finansial,
dari negara-negara besar seperti Rusia dan Tiongkok. Dalam menghadapi krisis
tersebut, rezim Assad juga memperbaharui beberapa aturan dalam negeri seperti
memodifikasi manajemen hubungan regional dan internasional untuk mengurangi
sanksi diplomatik dan ekonomi.58
2. Arab Spring di Libya (Libya Spring)
Arab Spring yang terjadi di Libya atau dapat dikatakan sebagai Libya
Spring merupakan krisis politik yang terjadi di Libya. Pada 15 Februari 2011,
kerusuhan mulai terjadi di Libya tepatnya di depan markas besar kepolisian di
Benghazi. Kerusuhan tersebut semakin menyebar hingga pada 17 Februari terjadi
aksi protes di kota besar Libya, Benghazi dan Tripoli.59 Ratusan rakyat Libya
menjadi korban jiwa hanya dalam hitungan hari dari awal kerusuhan terjadi.
Berbeda dengan kepala pemerintah lain yang berupaya untuk melakukan negosiasi
dengan rakyat atau setidaknya menawarkan perubahan, Moammar Qaddafi dan
juga anaknya Saif al-Islam menyatakan sikap keras terhadap pihak oposisi melalui
ancaman penyerangan.60
58 Steven Heydemann, “Tracking The Arab Spring: Syria and The Futur of Authoritarianism”,
Journal of Democracy 24:4 (Oktober, 2013): 62-63. 59 Simon Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, Global Center for Responsibility to
Protect: Occasional Paper Series, 3 (Oktober, 2012): 5. 60 Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, 5.
26
Kerusuhan yang terjadi di Libya diawali oleh aksi seorang individu yang
diketahui tidak memperoleh akses pendidikan dan informasi. Organisasi
masyarakat di Libya tidak dibenarkan keberadaannya di bawah kepemimpinan
Qaddafi dan sektor swasta juga memiliki andil yang lemah. Ekonomi menjadi
pemicu dari kerusuhan yang terjadi, seperti isu pengangguran, pendapatan yang
rendah, dan ketimpangan sosial.61
Meskipun memiliki dasar yang sama dengan krisis di negara Arab lain,
kerusuhan di Libya berlangsung lebih lama dan menelan lebih banyak korban
jiwa. Hal ini dikarenakan cara dan sikap Qaddafi dalam menghadapi para
protestan, yakni dengan menggunakan kekerasan. Semakin banyaknya korban
jiwa semakin banyak pula elit-elit pemerintah yang membelot dan memutuskan
untuk bergabung dengan rakyat Libya. Akibatnya, bentrokan yang terjadi antara
militer Qaddafi dan rakyat Libya semakin sulit untuk ditangguhkan. Pembentukan
badan perwakilan rakyat Libya atau NTC semakin menguatkan pihak oposisi,
meskipun tidak membuat Qaddafi menyerah dan memutuskan untuk mundur dari
kepemimpinannya.62
Jumlah korban jiwa yang dihasilkan pada awal krisis di Libya mendorong
banyak pihak untuk memberikan respon terkait krisis tersebut. Sejak tanggal 15
Februari hingga 22 Februari 2011 terdapat 200 korban jiwa yang tercatat oleh
Dewan HAM PBB (UN Human Right Council) dan 500-700 korban jiwa yang
tercatat oleh Pengadilan Internasional (International Criminal Court, ICC).
61 Wolfram Lacher, “The Libyan Revolution: Old Elites and New Political Forces”, dalam Muriel
Asseburg, “Protest, Revolt and Regime Change in The Arab World”, German Institute for
International and Security Affairs, Research Paper 6 (Februari, 2012): 11. 62 Asseburg, “Protest, Revolt and Regime Change in The Arab World”, 11.
27
Organisasi-organisasi seperti PBB, Uni Afrika, Liga Arab, Organisasi Konferensi
Islam (OKI) turut memberikan respon terhadap krisis yang menelan ratusan
korban jiwa tersebut.63
Ban Ki-Moon, selaku Sekertaris-Jenderal PBB, pada 20 Februari 2011
melakukan negosiasi dengan Qaddafi melalui telepon untuk mengajak sang
diktator menghentikan kekerasan terhadap rakyat Libya secepatnya. Sikap
Qaddafi yang menolak ajakan tersebut mendorong para elit politik di Libya untuk
memihak kepada sipil. Dua hari berikutnya, Komisaris PBB untuk HAM, Navi
Pillay, menyatakan kepada otoritas Libya untuk menghentikan kekerasan terhadap
HAM dan menggambarkan situasi di Libya sebagai “kejahatan terhadap manusia”
atau “crimes against humanity”.64
Dalam merespon perang saudara di Libya, Dewan Keamanan PBB (DK-
PBB) pada 26 Februari 2011 menetapkan Resolusi 1970 mengenai “tanggung
jawab otoritas Libya dalam melindungi populasinya”. Dalam resolusi tersebut
ditetapkan embargo senjata, pembekuan aset, pelarangan bepergian dan
menyerahkan situasi krisis ke pihak ICC. Eskalasi kekerasan terhadap sipil
mendorong DK-PBB untuk mengadopsi Resolusi 1973 pada 17 Maret 2011 dan
disetujui oleh 10 dari 15 anggota DK-PBB. Resolusi 1973 lebih menekankan pada
upaya gencatan senjata untuk menghentikan penyerangan terhadap sipil serta
63 Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, 5-6. 64 Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, 6.
28
upaya intensif untuk mencari solusi atas krisis termasuk di dalamnya aksi
militer.65
Selain dari pihak PBB, organisasi internasional lain seperti Liga Arab, Uni
Afrika dan OKI, masing-masing memberikan respon terhadap krisis yang
dihadapi rakyat Libya. Pada 22 Februari 2011, Uni Afrika dan OKI sama-sama
memberikan pernyataan tegas terhadap otoritas Libya untuk segera menyudahi
penyerangan terhadap rakyat sipil. Liga Arab melarang Libya untuk menghadiri
pertemuan yang dilakukan oleh organisasi tersebut. Pada 14 Maret 2011, Dewan
Keamanan dan Perdamaian Uni Afrika membentuk Komisi Tingkat Tinggi.66
18 Maret 2011, DK-PBB memberikan izin terhadap NATO untuk
menerapkan no-fly zone di Libya.67 Kebijakan tersebut dilakukan juga oleh negara
koalisi NATO seperti Swedia, Yordania, Qatar dan Uni Emirat Arab. Pada 29
Maret, NATO secara resmi mengambil alih seluruh operasi militer di Libya
melalui “Operations Unified Protector”. Koalisi yang dilakukan negara-negara
tersebut juga memberikan bantuan langsung terhadap pihak oposisi yang
bermarkas di Benghazi, Misrata, Tripoli, dan juga di Sirte.68
Meskipun telah banyak keterlibatan pihak asing beserta sanksi terhadap
Libya, tidak membuat sikap Qaddafi melunak. Sikap keras Qaddafi mendorong
NATO untuk melakukan penyerangan terhadap lokasi-lokasi ditempat sang
65 “10 anggota DK PBB yang menyetujui Resolusi 1973: Bosnia-Herzegovina, Kolombia,
Perancis, Gabon, Libanon, Nigeria, Portugal, Afrika Selatan, Inggris dan Amerika Serikat; dan 5
anggota DK PBB yang tidak memberikan suara: Brasil, Cina, Jerman, India dan Rusia”.
Simon Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, 6. 66 Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, 6. 67 Dabashi, The Arab Spring, 20. 68Marianne Mosegaard Madsen dan Simone Sophie Wittstrøm Selsbæk, “The Responsibility to
Protect and the intervention in Libya”, Roskilde University:Department of Society and
Globalisatio, (Desember, 2012): 17.
29
diktator berada. Bom yang sempat diluncurkan di Tripoli dan Misrata tidak
berhasil mengenai Qaddafi melainkan salah satu anaknya dan tiga orang
cucunya.69
Banyaknya kekerasan yang dilakukan oleh Qaddafi, pada bulan Agustus,
ICC menyatakan bahwa Qaddafi dan anaknya serta kepala intelijen Libya
dinyatakan sebagai pidana atas kejahatan yang diperbuat. Otoritas Libya
kemudian diserahkan kepada pihak oposisi NTC. Pada 24 Oktober 2011, NTC
menyatakan berakhirnya perang saudara diikuti dengan tewasnya Qaddafi dan
anaknya pada 20 Oktober 2011. Selanjutnya, pada 26 Oktober 2011 kebijakan no-
fly zone berakhir diikuti dengan misi NATO di Libya pada 31 Oktober 2011.70
B. Pihak Oposisi dalam Krisis Politik di Libya
NTC merupakan perwakilan rakyat Libya yang dibentuk oleh pihak-pihak
yang melawan pemerintahan Qaddafi terkait krisis politik yang terjadi pada tahun
2011. Pihak-pihak oposisi ini tidak begitu saja lahir ketika fenomena Arab Spring
terjadi, melainkan telah ikut berpartisipasi dalam revolusi-revolusi sebelumnya.
1. Lahirnya Kelompok Oposisi di Libya Pada Masa Rezim Qaddafi
Muammar Qaddafi memperoleh kepemimpinannya melalui “revolusi
Libya” pada tahun 1969 melalui kudeta militer terhadap pemimpin sebelumnya,
69 Madsen dan Selsbæk, “The Responsibility to Protect”, 17. 70 Madsen dan Selsbæk, “The Responsibility to Protect”, 18
30
Raja Idris.71 Kudeta militer tersebut dilakukan melalui kepemimpinannya dalam
Revolutionary Command Council (RCC) dan atas keberhasilan dalam aksi kudeta
membuat Qaddafi diangkat sebagai pemimpin bagi rezim yang baru. Libya di
bawah kepemimpinan Qaddafi memperoleh bentuk baru yang mana hukum-
hukum lama dihapuskan oleh sang pemimpin, serta pada tahun 1973 Qaddafi
menghapuskan pemerintahan Libya dan mendeklarasikan bentuk Libya yang baru,
yakni Jamahiriya atau Negara Rakyat.72
Meskipun Qaddafi telah mendeklarasikan Libya sebagai Negara Rakyat,
dalam prakteknya rakyat tidak diberikan ruang untuk berekspresi. Tidak adanya
partai politik, persatuan perdagangan, dan organisasi umum lainnya
menggambarkan bentuk pembatasan terhadap kebebasan rakyat sipil. Beberapa
organisasi sipil diakui keberadannya, seperti Boy Scouts dan Red Crescent, untuk
menghindari amukan rakyat sipil.73
Pada tahun 1959, Libya menemukan sumber cadangan minyak yang
berhasil memberikan keuntungan bagi negara tersebut. Namun, ketika Qaddafi
menduduki kursi kepemimpinan, keuntungan dari penjualan minyak tersebut lebih
ditujukan untuk kepentingan rezim, agar rezim Qaddafi tetap menduduki
kekuasaan. Meskipun sebagian keuntungan disisihkan untuk subsidi, hal tersebut
dilakukan semata-mata untuk “menutup mulut” rakyat agar tidak membelot.74
71 Rosan Smith, et.al., “Revolution and Its Discontents: Stae, Factions, and Violence in The New
Libya”, Netherland Institute of International Relations, (September, 2013): 11. 72 David Seddon, A Political and Economic Dictionary of The Middle East: An Essential Guide to
the Politics and Economics of the Middle East, (London: Taylor and Francis Group, 2004), 408. 73 Bruce St. John, “Libyan Myths and Realities”, Copenhagen: Royal Danish Defense College.,
(Agustus, 2011): 6. 74 Smith, et.al., “Revolution and Its Discontents”, 8.
31
Aksi kecurangan yang dilakukan rezim tersebut mendorong rakyat Libya untuk
membentuk gerakan oposisi bahkan sejak awal kepemimpinan Qaddafi.
Gerakan oposisi di Libya telah muncul pada tahun 70-an, yakni tidak lama
setelah Qaddafi berhasil menduduki pemerintahan Libya. Wilayah Timur Libya
merupakan wilayah dimana pihak oposisi terkuat berada. Pada tahun 1970-an
gerakan oposisi terbentuk oleh pihak militer dan para pelajar. Pada tahun 1980-an
gerakan oposisi didominasi oleh aktor-aktor yang diasingkan. Pada tahun 1990-an
terbentuk oposisi yang terinspirasi dari nilai-nilai Islam.75
Sebelum krisis politik yang terjadi pada tahun 2011 lalu, upaya
menurunkan rezim Qaddafi telah beberapa kali dilakukan oleh rakyat Libya. Pada
tahun 1976, rezim Qaddafi menekan sebuah kelompok mahasiswa, Libyan
Student Union, yang sempat melakukan pemberontakan dan mengeksekusi
pemimpin dari kelompok tersebut serta menyiksa beberapa mahasiswa.
Pemberontakan kembali dilakukan pada tahun 1980-an ketika kelompok oposisi
dari pihak-pihak yang diasingkan melalui Libyan Salvation Front melakukan aksi
protes. Dan pada tahun 1990 kembali terjadi aksi pemberontakan yang dilakukan
oleh kelompok Islamis seperti Libyan Islamist Fighting Group (LIFG) yang
berasal dari wilayah Timur Libya. Aksi-aksi pemerontakan tersebut menghasilkan
10.000 rakyat Libya diasingkan oleh rezim Qaddafi.76
75 Ali Abdullatif Ahmida, “The Libyan National Transitional Council: Social Bases, Membership,
and Political Trends”, Aljazeera Center for Studies: Reports, (Oktober, 2011): 3. 76 Ahmida, “The Libyan National Transitional Council”, 3.
32
2. NTC sebagai Perwakilan Resmi Rakyat Libya
Kelompok-kelompok oposisi Libya yang telah terbentuk sejak tahun 70-an
tersebut memberikan respon terhadap Arab Spring yang terjadi di Libya melalui
pembentukan badan revolusi yang dinamakan NTC.77 Peresmian badan
pemerintahan sementara Libya ini dideklarasikan setelah meninggalnya sang
pemimpin dan berakhirnya perang sipil pada 24 Oktober 2011. Perdana Menteri
Abdurrahim al Kib mengetuai kabinet sementara NTC hingga badan tersebut
terbentuk secara utuh.78
Meskipun baru dinyatakan secara resmi sebagai pemerintahan sementara
Libya, NTC telah terbentuk sejak awal krisis politik Libya terjadi, yakni pada 17
Februari 2011. NTC memiliki dua kelompok utama di dalamnya, yakni
perwakilan dari seluruh wilayah Libya serta dewan lokal dari wilayah bagian
Timur Laut. Anggota-anggota dari NTC terdiri dari pihak-pihak yang membelot
rezim Qaddafi, reformis, teknokrat, pejuang oposisi keturunan aristokrat dan
keluarga bangsawan pada zaman Monarki Libya, pengacara, professor, hingga
pebisnis yang diasingkan dari wilayah Barat. Pembentukan NTC ini juga
didukung oleh salah satu kelompok Islamis, Muslim Brotherhood.79
Pembentukan badan NTC ini bertujuan untuk mengarahkan Libya selama
periode transisi. NTC yang telah terbentuk sejak awal revolusi ini mewakili
77 Ahmida, “The Libyan National Transitional Council”, 4. 78 Susan Power, “The Role of the NTC in the Economic Reconstruction of Libya”, Socio-Legal
Studies Review, 1 (2012): 115. 79 Power, “The Role of The NTC”, 117
33
seluruh kota yang ada di Libya dan memperoleh legitimasi dari dewan lokal yang
dibuat oleh rakyat Libya yang terlibat dalam revolusi.80
NTC dapat dikatakan sebagai badan yang dibuat oleh pihak lokal Libya
untuk menghadapi krisis politik. Dari dunia internasional, terdapat Libya Contact
Group81 (LCG) sebagai upaya dunia internasional dalam membantu menangani
krisis di Libya yang dibuat pada 29 Maret 2011. Dalam upaya untuk mewujudkan
Libya yang bebas dan demokratis, LCG memberikan pengakuannya terhadap
NTC sebagai otoritas yang sah bagi rakyat Libya pada 15 Juli 2011.82 Selain
LCG, beberapa negara seperti Perancis, Jerman, Italia, Tiongkok, Rusia, Jordania,
Kuwait, Uni Emirat Arab, termasuk Qatar turut memberikan pengakuan terhadap
NTC sebagai perwakilan resmi rakyat Libya.83
Meskipun telah memperoleh legitimasi dari level domestik maupun
internasional, peran NTC dilihat dari statusnya sebagai pemerintah “sementara”
menjadikan peranannya terbatas. Dalam Resolusi DK-PBB 2022, pembentukan
NTC dilakukan untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi implementasi
mandat PBB untuk Libya (UNSMIL). Tetapi, NTC tetap memperoleh haknya
untuk menerima kembali aset-aset negara yang sebelumnya dibekukan. Dalam
Resolusi DK-PBB 2009, NTC harus mengembalikan dan mengalokasikan dana
Libya secara terbuka dan transparan. Dengan adanya pengembalian aset tersebut,
80 Power, “The Role of The NTC”, 118. 81 “LCG merupakan kelompok yang mengupayakan dukungan bagi rakyat Libya dari pihak
internasional seperti Liga Arab, Uni Afrika, NATO, GCC, OKI serta negara-negara seperti
Australia, Bahrain, Denmark, Jerman, Kanada, Inggris, dan AS”. dalam Power, “The Role of The
NTC”, 118. 82 Power, “The Role of The NTC”, 118. 83 John, “Libyan Myths and Realities”, 10.
34
NTC diharapkan dapat memainkan peran penting dalam upaya merekonstruksi
Libya.84
84 Power, “The Role of The NTC”, 125.
35
BAB III
PERAN QATAR DALAM KRISIS POLITIK DI LIBYA
Fenomena Arab Spring, termasuk krisis politik yang terjadi di Libya,
mengundang respon-respon dari dunia internasional, baik dari organisasi
internasional, organisasi regional, maupun negara secara individu. Salah satu
negara Arab yang memberikan respon terhadap krisis politik di Libya ialah Qatar.
Dalam melihat respon Qatar terhadap krisis tersebut, ada baiknya untuk
menjelaskan terlebih dahulu kedudukan Qatar secara regional di Timur Tengah.
A. Kedudukan Qatar di Timur Tengah
Gambar 1. Peta Qatar di Timur Tengah
Sumber85: CIA: The World Factbook
Qatar merupakan negara kecil di kawasan Timur Tengah yang memiliki
luas wilayah 11.586 km2 dengan populasi sebanyak 2.123.160 jiwa (untuk
85 “The World Factbook: Qatar”, CIA, tersedia di <https://www.cia.gov/library/publications/the-
world-factbook/geos/qa.html> diakses pada 18 Agustus 2014, pukul 20.15.
36
perhitungan bulan Juli 2014). Meskipun dengan wilayah yang kecil, kesediaan
sumber minyak dan gas memosisikan Qatar menjadi negara dengan tingkat
pendapatan per kapita tertinggi di dunia pada tahun 2007.86 Tingkat kekayaan
ekonomi Qatar tersebut menjadikan Qatar tidak terkena dampak Arab Spring
dilihat dari pemicu fenomena tersebut yang umumnya mengenai permasalahan
ekonomi. Selain menjadi salah satu negara terkaya di dunia, pada tahun 2007
Qatar mampu memainkan peran di dunia internasional sebagai salah satu anggota
tidak tetap DK-PBB.87
Qatar memperoleh kemerdekaannya dari Britania Raya pada tahun 1971.
Namun, pada awal kemerdekaan, Qatar merupakan negara kecil dengan populasi
yang sedikit dan menjadi negara yang terabaikan. Meskipun pada tahun 80-an
produksi minyak Qatar meningkat, namun Qatar belum cukup menarik perhatian
investor asing untuk bekerjasama dalam sektor energi. Situasi ini berubah ketika
Sheikh Hamad bin Khalifa Al-Thani melakukan kudeta terhadap ayahnya, Emir
Khalifa bin Hamad Al-Thani. Kepemimpinan Emir Hamad mampu membawa
Qatar menjadi negara yang lebih dikenal di dunia internasional.88
Qatar, di bawah kepemimpinan Emir yang baru, mencapai perubahan
positif negara tersebut melalui beberapa strategi yang baru pula. Kemajuan yang
diperoleh Qatar ini tercapai melalui tiga strategi utama, yakni liberalisasi
ekonomi, proyek kebijakan luar negeri dan “state branding”. Ketiga strategi
kunci ini mendorong Qatar untuk menjadi negara yang kaya, netral dan visioner 86 “The World Factbook: Qatar”, CIA, tersedia di <https://www.cia.gov/library/publications/the-
world-factbook/geos/qa.html> diakses pada 23 Juli 2014, pukul 23.15. 87 Barakat, “The Qatari Spring”, 4. 88 J.E. Peterson, “Qatar’s International Role: Branding, Investment, and Policy Projection”,
Norwegian Peacebuilding Resource Centre, Policy Brief (February, 2013): 1.
37
serta memancing para investor asing dan para turis sekaligus juga menjembatani
hubungan antara Timur Tengah dan Barat terutama dalam upaya perdamaian.89
Dalam liberalisasi ekonomi, Qatar memfokuskan pada sektor investasi.
Strategi Qatar untuk bermain aktif di dunia internasional adalah melalui investasi.
Saham di beberapa bank dan perusahaan ternama di dunia, seperti Barclays Bank,
London Stoke Exchange, Porsche dan Volkswagen telah ditanamkan oleh negara
monarki tersebut. Selain itu, lebih dari 1 miliar euro saham telah ditanam oleh
Qatar di Perancis termasuk di tim sepakbola Paris Saint-German. Saham-saham
tersebut ditanamkan oleh Qatar sebagai upaya untuk menggantikan pendapatan di
masa mendatang yang kini didominasi dari sektor minyak dan gas.90
Strategi yang kedua ialah terkait dengan kebijakan luar negeri. Proyek
kebijakan luar negeri Qatar yang lebih bersifat aktif ini telah menjadi strategi
utama yang digunakan oleh sang Emir, Sheikh Hamad bin Khalifa Al-Thani.
Melalui aliansi eratnya dengan AS, Qatar mampu berperan dalam isu-isu
internasional seperti di Iraq pada tahun 2003. Qatar juga secara independen aktif
berperan sebagai mediator di kawasan yang umumnya merupakan isu
pemberontakan. Salah satu perannya yang paling signifikan ialah keterlibatannya
dalam isu Arab Spring, terutama di Libya dan Suriah.91
Dan strategi yang terakhir ialah state branding. State Branding yang
dilakukan Qatar ini merupakan upayanya untuk lebih dikenal sebagai sebuah
negara, terutama dalam lingkup global. Qatar menerapkan strategi ini melalui
89 Barakat, “The Qatari Spring”, 1. 90 Peterson, “Qatar’s International Role”, 2. 91 Peterson, “Qatar’s International Role”, 2.
38
beberapa cara, seperti mengadakan acara kebudayaan tahunan dalam Qatar
Cultural Fest, kepemilikan satelit televisi Aljazeera dan perusahaan penerbangan
Qatar Airways. Hal-hal tersebut menjadi langkah nyata bagi Qatar untuk bermain
aktif di lingkungan internasional. Selain itu, state branding ini juga dilakukan
melalui bidang olahraga, salah satunya adalah keberhasilan Qatar menjadi tuan
rumah Piala Dunia 2022 mendatang.92
1. Kedudukan Qatar di Timur Tengah sebelum Arab Spring
Sejak pertengahan tahun 2000, Qatar mulai aktif bermain dalam
lingkungan global. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh Qatar menjadi salah
satu poin utama Qatar dapat berperan aktif di lingkungan internasional. Selain
menjadi negara dengan pendapatan per kapita tertinggi selama beberapa tahun,
Qatar juga menjadi salah satu negara anggota tidak tetap DK-PBB. Aktifnya Qatar
dapat dilihat terutama dari peran mediasi dalam menghadapi isu-isu di Timur
Tengah seperti yang dilakukan di Sudan, Libanon dan Yaman.
Pada awal tahun 2008, Menteri Luar Negeri Qatar, Ahmad bin Abdullah
Al-Mahmud mengawali upayanya untuk memediasi konflik yang terjadi di Sudan.
Upaya awal dilakukan dengan melakukan observasi mengenai konflik secara
mendalam dengan memahami berbagai perspektif terkait konflik bersama aktor-
aktor internasional lainnya seperti Amerika Serikat, Libya, Tiongkok, Perancis,
92 Peterson, “Qatar’s International Role”, 1-2.
39
PBB, Liga Arab, dan Uni Afrika.93 Hal tersebut dilakukan oleh Qatar untuk
memahami secara mendalam mengenai konflik yang terjadi di Darfur tersebut.
Selain itu Al-Mahmud juga mengunjungi wilayah Darfur secara langsung
untuk mengetahui kondisi konflik disana. Menurut pejabat Sudan dan Darfur,
mediasi yang dilakukan Qatar berbeda dengan mediasi yang dilakukan oleh
negara lain. Qatar berperan secara intim selama proses mediasi dengan
pengetahuan mengenai situasi konflik secara mendalam. Pada tahun 2009,
berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU) yang dijalin antar kedua
negara tersebut, Qatar dan Sudan sepakat untuk menjadikan Doha sebagai lokasi
resmi untuk melangsungkan proses negosiasi.94
Mediasi yang dilakukan di Qatar dalam konflik Sudan memiliki
kelemahan tersendiri. Lemahnya kordinasi, tranparansi, dan substansi dalam
proses negosiasi menjadi salah satu kelemahan tersebut. Selain itu, ketua dari
salah satu kelompok pemberontak Justice and Equality Movement (JEM), Ahmed
Huseein, menyatakan bahwa proses negosiasi yang dilakukan Qatar terburu-buru
dilihat dari struktur negosiasi yang sederhana dengan jangka waktu yang singkat
untuk melakukan upaya-upaya mediasi.95
Selanjutnya, Qatar juga menjadi mediator terkait konflik yang terjadi
antara Hizbullah dan pemerintah Lebanon. Meskipun dalam kasus tersebut posisi
Qatar bukan sebagai mediator utama, melainkan Qatar berperan di bawah
organisasi Liga Arab, tetapi Qatar tetap memainkan peran penting dalam upaya
93 Mehran Kamrava, “Mediation and Qatari Foreign Policy”, Middle East Journal, 65:4 (Autumn,
2011): 545. 94 Kamrava, “Mediation and Qatari Foreign Policy”, 546. 95 Barakat, “The Qatari Spring”, 21-22.
40
penyelesaian konflik.96 Pada Mei 2008, Doha Agreement berhasil ditandatangani
sebagai perjanjian damai oleh kedua pihak yang bersengketa. Keberhasilan
mediasi ini didasarkan pada adanya keyakinan pemerintah Lebanon dan Hizbullah
terhadap upaya Qatar dalam memediasi konflik dan memberikan kuasa penuh
terhadap Qatar dalam mengupayakan perdamaian97.
Namun demikian, resolusi 2008 tersebut tidak berhasil membenahi krisis
yang terjadi di Lebanon hingga ke akar permasalahan. Selain itu, Qatar juga
lemah dalam memahami konteks mediasi di Lebanon.98 Meskipun dengan
kekurangan tersebut, Qatar telah berhasil meredam ketegangan antara pemerintah
Lebanon dengan Hizbullah.
Di Yaman, upaya memediasi konflik antara pemerintah Yaman dan pihak
pemberontak Huthi dilakukan sebanyak dua kali, yakni pada tahun 2007 dan
2010. Pada tahun 2007, Qatar membujuk pihak yang bersengketa untuk
menghentikan peperangan dan berjanji akan mengalokasikan dana rekonstruksi.
Perdamaian dicapai pada tahun 2008 dengan Qatar memberikan dana rekonstruksi
300-500 juta dollar AS serta menyediakan tempat bagi pihak pemberontak yang
diasingkan. Konflik kembali muncul pada tahun 2009 dan mendorong Qatar untuk
melakukan negosiasi ulang pada tahun selanjutnya.99
Mediasi yang dilakukan oleh Qatar sempat dinyatakan gagal oleh Ali
Abdullah Saleh pada bulan Maret 2009. Kekecewaan rakyat Yaman terkait
dengan banyaknya kebutuhan untuk proyek pembangunan membuat Qatar
96 Kamrava, “Mediation and Qatari Foreign Policy”, 548. 97 Barakat, “The Qatari Spring”, 18. 98 Barakat, “The Qatari Spring”, 18. 99 Kamrava, “Mediation and Qatari Foreign Policy”, 550.
41
menarik kembali bantuan yang sebelumnya diberikan. Pada 29 Agustus 2010,
pembaruan perjanjian gencatan senjata dilakukan oleh Qatar meskipun upaya
tersebut tidak membuahkan hasil. Kegagalan dalam memediasi konflik di Yaman
ini didasari pada kurangnya monitoring selama proses mediasi serta mekanisme
follow-up yang tidak diterapkan dan membuat Qatar kurang memahami konflik
tersebut.100
Meskipun upaya mediasi yang dilakukan Qatar memiliki kelemahan pada
setiap prosesnya, namun peran mediasi tersebut mampu membentuk citra positif
bagi Qatar. Ketekunan Qatar dalam mengupayakan perdamaian bagi negara-
negara di kawasan Timur Tengah yang menghadapi konflik internal tidak jauh
dari kemampuannya untuk mendanai proses negosiasi, memfasilitasi pertemuan
selama proses negosiasi, komitmen untuk bersikap netral dan menciptakan
perdamaian.101 Namun hal tersebut juga tidak dapat terlepas dari upaya Qatar
untuk tetap mempertahankan eksistensinya. Sebagai negara kecil, Qatar ingin
menunjukkan bahwa eksistensinya di mata dunia tidak hanya dilihat dari kekuatan
ekonomi tetapi juga kekuatan politik.
2. Kedudukan Qatar di Timur Tengah pada Masa Arab Spring
Peran aktif yang dibangun Qatar di kawasan Timur Tengah sebagai
mediator membentuk citra positif bagi perpolitikan Qatar di kawasan. Tetapi,
berbeda dengan sikap netral yang diterapkan oleh Qatar terhadap isu-isu yang
terjadi sebelumnya, pada isu Arab Spring, Qatar lebih mengaktifkan peranannya
100 Barakat, “The Qatari Spring”, 17. 101 Kamrava, “Mediation and Qatari Foreign Policy”, 539.
42
dengan lebih memihak. Sikap keberpihakan Qatar ini dicenderungkan kepada
pihak pemberontak dibandingkan terhadap rezim yang berkuasa. Meskipun
perannya lebih banyak dilakukan berdasarkan keanggotaanya di dalam organisasi
regional, Qatar tetap menjadi salah satu negara yang paling aktif dalam
menyuarakan pendapat dalam merespon fenomena tersebut.
Dalam fenomena Arab Spring, terdapat beberapa negara yang terkena
dampaknya meskipun dengan kapasitas yang berbeda. Seperti dalam merespon
gejolak politik yang terjadi di Bahrain pada tahun 2011, Qatar memberikan
dukungan terhadap misi yang dijalankan oleh GCC untuk menumpas para
pemberontak. Selain dalam kasus Bahrain, gejolak politik yang terjadi di Yaman
juga mendorong Qatar untuk memberikan sikap meskipun masih berada di dalam
kerangka kerjasama GCC. Qatar mendukung inisiatif GCC untuk memilih proses
negosiasi dalam masa transisi di Yaman dibandingkan penurunan rezim Ali
Abdullah Saleh secara langsung.102
Berbeda dengan respon yang diberikan Qatar terhadap Bahrain dan
Yaman, dalam menghadapi kasus yang terjadi di Libya dan Suriah, Qatar lebih
memberikan respon secara tegas. Dalam kasus di Libya, Qatar memberikan
bantuan baik secara politik, finansial, bahkan militer untuk menunjang para
pemberontak dan mencapai perdamaian.103 Sedangkan di Suriah, melalui Perdana
Menteri Qatar, Sheikh Hamad bin Jassim Al-Thani, Qatar berhasil membujuk
pemimpin Suriah, Bashar al Assad untuk menandatangani perjanjian perdamaian
dengan Liga Arab terkait krisis politik di Suriah. Dalam keberpihakannya dengan
102 Khatib.“Qatar’s Foreign Policy”, 419. 103 Barakat, “The Qatari Spring”, 28.
43
pihak oposisi, Qatar memberikan pengakuannya terhadap pihak oposisi di Libya
(National Transitional Council) dan di Suriah (National Coalition for Syrian
Revolutionary and Opposition Forces).104
Tabel 1. Indeks Perdamaian Global Tahun 2011
Negara 2011 2010 2009 2008 2007
Irlandia 11 6 12 6 4
Qatar 12 15 17 33 30
Swedia 13 10 6 13 7
Belgia 14 17 15 15 11
Jerman 15 16 16 14 12
Keterangan: Tahun 2011 Qatar menjadi negara dengan indeks perdamaian
tertinggi ke-12 di dunia. Berbeda dengan tahun 2008 yang hanya menempati
peringkat ke-33.
Sumber105: The Guardian : Global Peace Indeks 2011.
B. Hubungan Bilateral Qatar dan Libya
Sebelum memutuskan untuk melakukan intervensi dalam krisis politik
yang terjadi di Libya, Qatar telah menjalin hubungan bilateral dengan salah satu
negara kaya energi di Afrika tersebut. Hubungan bilateral ini akan dilihat dari dua
periode, yakni hubungan bilateral sebelum terjadi Arab Spring dan hubungan
bilateral pada masa Arab Spring.
104 Khatib.“Qatar’s Foreign Policy”, 422. 105 “Global Peace Indeks 2011: The Full List”, The Guardian, tersedia di
<http://www.theguardian.com/news/datablog/2011/may/25/global-peace-index-2011#data>
diakses pada 18 Agustus 2014, pukul 20.15.
44
1. Hubungan Bilateral Qatar dan Libya sebelum Krisis Politik
Hubungan bilateral Qatar dan Libya telah terjalin sebelum terjadinya Arab
Spring. Hubungan bilateral tersebut dapat terlihat dari beberapa ikatan kerjasama
yang dijalin keduanya. Pada tahun 2002, Qatar dan Libya menjalin kerjasama
dalam bidang industri, pertanian, dan juga menyepakati MoU dalam urusan
kesehatan. Pada tahun 2004, beberapa kerjasama juga kembali dijalin seperti
dalam bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kesenian. Di tahun yang sama
pula kedua negara menjalin kerjasama dalam hal pertukaran dagang, kerjasama
ekonomi, pengembangan dan perlindungan dalam hal investasi.106
Meskipun terdapat jalinan kerjasama antara Qatar dan Libya, namun
dalam urusan tertentu kedua negara dengan kaya akan sumber energi tersebut
tidaklah sejalan, terutama dalam urusan kelompok Islamis. Sejak tahun 90-an,
Qatar telah menjadi tuan rumah bagi para kelompok Islamis yang diasingkan dari
Libya, terutama LIFG. Qatar juga memberikan bantuan kepada salah satu tokoh
Islamis di Libya, Ali Al-Sallabi, untuk melakukan rekonsiliasi dengan Qaddafi
setelah dirinya di penjara pada tahun 1999 karena mencoba melakukan
pembunuhan terhadap Qaddafi.107
106 “Qatar Bilateral Relations: Libya”, Ministry of Foreign Affairs, tersedia di
<http://www.mofa.gov.qa/en/ForeignPolicy/BilateralRelations/Pages/LY.aspx> diakses pada 4
Agustus 2014, pukul 13.50. 107 Lina Khatib, “Qatar Involvement in Libya: A Delicate Balance”, World Peace Foundation,
tersedia di <http://sites.tufts.edu/reinventingpeace/2013/01/07/qatars-involvement-in-libya-a-
delicate-balance/> diakses pada 4 Agustus 2014, pukul 14.15.
45
2. Hubungan Bilateral Pada Masa Krisis Politik
Seperti yang telah diketahui bahwa dalam Krisis Politik yang terjadi di
Libya, Qatar memberikan respon aktif melalui intervensi yang dilakukan dalam
mendukung pihak oposisi. Dukungan yang diberikan Qatar terhadap NTC mampu
mempererat hubungan antara kedua negara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari
MoU yang dijalin keduanya pada tahun 2012 mengenai HAM. Selain itu juga
beberapa kunjungan diplomatik dijalin keduanya pasca revolusi yang
menggambarkan bahwa hubungan bilateral diantara keduanya masih
berlangsung.108
Pada bulan Oktober 2011, Qatar dan pihak NTC sempat menjalin
kerjasama melalui MoU dalam menyepakati kantor kejaksaan umum bagi kedua
negara. Kerjasama tersebut disepakati sebagai upaya untuk menjalin komitmen
mengenai pertukaran informasi perihal hukum, undang-undang, peraturan dan
sistem peradilan di kedua negara tersebut. Selain itu juga kerjasama dijalin dalam
urusan pelatihan staff-staff hukum di area kerjasama yang telah disepakati.109
Selain dalam bidang hukum, Qatar dan NTC juga menjalin kerjasama
dalam sektor ekonomi. Investasi Qatar di Libya diketahui mencapai 10 miliar
dollar AS sejak akhir periode rezim Qaddafi dan sejak pemerintahan Libya
diambil alih oleh pihak NTC, hubungan bilateral dalam bidang ekonomi semakin
erat. Hal ini dapat terlihat dari beberapa proyek kerjasama infrastruktur yang
dikembangkan. Pembangunan hotel, komplek perumahan dan fasilitas hiburan
108 “Qatar Bilateral Relations: Libya”, <www.mofa.gov.qa>. 109 “Qatar-Libya NTC sign Legal Cooperation”, The Peninsula, 17 Oktober 2011, tersedia di
<http://thepeninsulaqatar.com/news/qatar/169442/qatar-libya-ntc-sign-legal-cooperation-deal>
diakses pada 4 Agustus 2014, pukul 15.09.
46
juga menjadi proyek pembangunan yang dijalin antara perusahaan Qatar – Barwa
Real Estate Company, dan perusahaan negara Libya – Libyan Development and
Investment Company.110
Masih dalam proyek infrastruktur, Al-Libya Al-Qataria (ALAQ) juga
membangun usaha komplek perumahan mewah bernama “The Waterfront”. Selain
itu, dalam sektor penerbangan, Qatar Airways telah mengaktifkan operasi
penerbangan Doha-Benghazi sebanyak empat kali dalam seminggu.111 Jalinan
kerjasama tersebut menjadi bukti eratnya hubungan bilateral antara Qatar dengan
pemerintah Libya.
Tetapi eratnya hubungan antara pemerintah Qatar dan NTC sempat
mendapatkan kritikan dari Duta Besar Libya untuk PBB, Abdurrahman Shalgham.
Ia sempat menyatakan bahwa bantuan-bantuan yang diberikan Qatar merupakan
upaya Qatar untuk mendominasi Libya dan juga kawasan Timur Tengah. Ia juga
menyatakan bahwa kesepakatan yang dijalin antara Qatar dan NTC bukanlah apa
yang rakyat Libya inginkan dari hasil revolusi. Sebab, banyak rakyat Libya yang
berperan penting dalam sektor energi dan perbankan yang ada di Qatar, sehingga
tidak sepantasnya Libya menyetujui apa yang dikehendaki oleh Qatar.112
110 Will Ward, “Amid “Divorce” Talk, Economic Ties with Qatar Remain Strong”, The Libya
Wire, 3(Januari, 2012):4. 111 “ALAQ merupakan usaha bersama antara Diar Real Estate Investment Company milik Qatar
dan Oyia yang merupakan cabang usaha dari Economic and Social Development Fund milik
Libya” dalam Ward, “Amid “Divorece” Talk”, 4. 112 “Shalgham Attacks Qatar: Libya Will Not Be Emirate Ruled by Commander of Faithful in
Qatar”, Middle East Online, 4 November 2011, tersedia di <http://www.middle-east-
online.com/english/?id=48879> diakses pada 4 Agustus 2014, pukul 15.27.
47
C. Bentuk Dukungan Qatar terhadap Pihak NTC
NTC merupakan perwakilan resmi rakyat Libya dan telah memperoleh
legitimasinya sebagai pemerintah sementara Libya selama masa transisi politik.
Sejak awal dibentuk, yakni tidak lama setelah revolusi Libya terjadi, NTC telah
memperoleh bantuan-bantuan dari dunia internasional, termasuk Qatar. Bentuk
dukungan Qatar ini berupa bantuan militer, ekonomi, serta politik.
Peran Qatar dalam krisis politik yang terjadi di Libya merupakan ekspresi
dalam menegakkan perlindungan terhadap HAM. Secara politik, peran yang
diberikan Qatar dalam menangani krisis di Libya ialah dengan memberikan
dukungan penuh terhadap inisiatif untuk menerapkan no-fly zone di bawah
kerangka organisasi GCC dan Liga Arab pada bulan April 2011. Sebulan
sebelumnya, Qatar menjadi negara Arab pertama yang memberikan pengakuannya
terhadap NTC sebagai perwakilan resmi bagi rakyat Libya.113
Bantuan yang diberikan Qatar terhadap revolusi yang terjadi di Libya tidak
hanya dilakukan melalui organisasi regional seperti GCC dan Liga Arab, tetapi
juga melakukan koalisi dengan NATO dalam bidang militer. Koalisi tersebut
dijalin melalui operasi udara yang dipimpin oleh NATO. Peran Qatar dalam
operasi militer tersebut yakni melalui pengiriman enam buah kapal perang.
Operasi tersebut juga dilakukan untuk mengawasi kebijakan no-fly zone yang
ditetapkan oleh PBB.114
Selain menyumbangkan enam buah kapal perang, dalam bidang militer
Qatar juga memberikan bantuan berupa pasukan bersenjata, penyediaan senjata
113 Khatib.“Qatar’s Foreign Policy”, 421 114 Barakat, “The Qatari Spring”, 27.
48
(yakni misil anti-tank dan senapan), pelatihan, serta konsultasi untuk operasi
militer yang diberikan kepada pihak pemberontak. Para pasukan bersenjata Qatar
juga ikut berbaris di lini depan bersama dengan para pemberontak Libya ketika
menghadapi Qaddafi dan pasukan militernya pada bulan Oktober 2011. Mayor
Jenderal Qatar, Hamad bin Al Atiya menyatakan bahwa keberadaan pasukan
bersenjata Qatar dalam operasi tersebut menjadi penengah antara pihak
pemberontak dan juga pasukan NATO.115
Qatar juga memberikan bantuan dana serta logistik pada masa revolusi di
Libya. Bantuan dana yang diberikan oleh Qatar tercatat mencapai 400 juta dollar
AS. Qatar juga memberikan bantuan logistic seperti memberikan persediaan air,
gas panas, diesel dan juga kebutuhan pokok lainnya.116 Dalam urusan energi,
Qatar memberikan bantuan untuk menjual minyak Libya. Untuk memfasilitasi
ekspor minyak Libya tersebut, pada April 2012 Qatar National Bank
menginvestasikan 49% sahamnya di Bank of Commerce and Development di
Benghazi.117 Qatar juga membantu menyiarkan stasiun televisi milik Libya, Libya
al Ahrar, dari Doha. Selain itu, Qatar turut membantu LCG untuk
mengordinasikan kegiatannya yang menghabiskan dana sebesar 2 miliar dollar
AS.118
Selain memberikan bantuan secara formal kepada pihak NTC, Qatar juga
memberikan bantuan kepada kelompok Islamis serta kepada komandan pasukan
Tripoli, Abdul hakim Belhadj dan Al-Salabi bersaudara. Pemberian bantuan yang
115 Barakat, “The Qatari Spring”, 27. 116 Barakat, “The Qatari Spring”, 27. 117 Khatib.“Qatar’s Foreign Policy”, 420 118 Khatib.“Qatar’s Foreign Policy”, 421
49
dilakukan oleh Qatar terhadap pihak-pihak tersebut mendapat kritikan dari
menteri keuangan dan minyak sementara di Libya, Ali Tarhouni. Kritikan
tersebut menegaskan untuk pihak-pihak yang ingin memberikan bantuan kepada
Libya agar memberikannya secara langsung kepada pemerintah yang berwenang.
Ia menyatakan bahwa119:
“It’s time we publicly declare that anyone who wants
to come to our house has to knock on our front door
first.”
“Ini saatnya kami nyatakan secara terbuka bahwa
siapapun yang ingin datang ke rumah kami harus
mengetuk pintu depan.”
Kritikan tersebut dilakukan dalam upaya menegaskan bahwa pemberian
bantuan kepada pihak-pihak khusus tanpa sepengetahuan pihak yang berwenang
melanggar kedaulatan sebuah negara. Terlebih lagi pemberian bantuan berupa
senjata dan uang diberikan kepada pihak yang berpotensi menimbulkan isu
kemanan.120
119 Ulrichsen, “Small States with a Big Role”, 15. 120 Ulrichsen, “Small States with a Big Role”, 16.
50
BAB IV
FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG QATAR UNTUK
MEMBERIKAN DUKUNGAN TERHADAP NTC
Fenomena Arab Spring yang terjadi di Timur Tengah, termasuk Libya,
memicu dunia internasional untuk membantu menghadapi krisis yang dialami
oleh negara-negara yang terkena krisis politik. Qatar merupakan salah satu negara
yang aktif melibatkan diri dalam proses penyelesaian konflik tersebut. Di Libya,
peran Qatar merupakan peran yang paling signifikan dalam membantu meredam
konflik dibandingkan negara-negara Arab lainnya. Salah satu upaya Qatar dalam
meredam konflik di Libya ialah dengan memberikan dukungan terhadap pihak
oposisi Libya yakni NTC. Beberapa dukungan yang diberikan Qatar terhadap
NTC di Libya tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah intervensi Qatar
terhadap Libya.
A. Dukungan Qatar terhadap NTC sebagai Bentuk Intervensi
Sebuah tindakan intervensi, bagi Finnemore dapat diterapkan dengan
menggunakan atribut militer yang memiliki tujuan kemanusiaan, yakni
melindungi rakyat sipil dari pelanggaran kemanusiaan.121 Berdasarkan
pemahaman mengenai intervensi tersebut, maka tindakan yang dilakukan Qatar
melalui bantuan-bantuan secara militer dalam krisis politik yang terjadi di Libya
dapat dikategorikan sebagai sebuah intervensi. Knudsen menyatakan bahwa
121 Martha Finnemore (1996) dalam Kardas, “Humanitarian Intervention”, 1.
51
sebuah intervensi merupakan tindakan campur tangan yang dilakukan secara
paksa terhadap negara yang berdaulat dengan didasarkan pada kepedulian
terhadap manusia.122
Intervensi pada dasarnya merupakan upaya untuk menerapkan tanggung
jawab negara-negara dunia dalam isu kemanusiaan atau yang dikenal dengan
responsibility to protect. Seperti yang dinyatakan oleh PBB123:
“… authorizing military intervention as a last resort, in the event of
genocide and other large-scale killing, ethnic cleansing or serious
violations of humanitarian law …” (United Nations High-Level
Panel on Threats, Challenges and Changes, 2005)
“… mengesahkan intervensi militer sebagai upaya terakhir, saat
terjadi genosida dan pembunuhan skala besar lainnya, pemusnahan
etnis atau pelanggaran berat terhadap hukum kemanusiaan…”
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa PBB memberikan izin sebuah intervensi
militer sebagai upaya terakhir untuk menghentikan genosida dan pembunuhan
skala tinggi, pemusnahan etnis, atau pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan
lainnya. Intervensi ini dapat diterapkan ketika negara yang bersangkutan tidak
mampu atau tidak berupaya untuk menghentikan pelanggaran-pelanggaran yang
terjadi.
Qatar dan negara lain yang melakukan intervensi dalam krisis politik yang
terjadi di Libya pada tahun 2011 lalu merupakan sebuah upaya untuk
122 Tonny Brems Knudsen (1997) dalam Kardas, “Humanitarian Intervention”, 1. 123 “norm that there is a collective international responsibility to protect…civilians from the effect
of war and human right abuses… This responsibility is exersicable by the Security Council,
authorizing military intervention as a last resort, in the event of genocide and other large-scale
killing, ethnic cleansing or serious violations of humanitarian law which sovereign Governments
have proved powerless or unwilling to prevent” (United Nations High-Level Panel on Threats,
Challenges and Changes, 2005) dalam Joshep S. Nye, Jr., Understanding International Conflict:
An Introduction to Theory and History, (New York: Longman, 1991), 161.
52
menghentikan atau meredam pelanggaran kemanusiaan akibat krisis. Sejak awal
krisis, yakni 15 Februari hingga 22 Februari, telah terdata sebanyak 500-700
korban jiwa akibat kerusuhan yang terjadi di Libya.124 Kerusuhan yang terjadi
tanpa adanya keinginan pemerintah untuk meredam konflik mendorong negara-
negara lain untuk melakukan intervensi.
Intervensi yang dilakukan oleh Qatar dalam menanggapi krisis politik di
Libya merupakan otoritas yang diberikan oleh DK-PBB dalam resolusi 1973
tahun 2011.125 Dalam resolusi tersebut dinyatakan bahwa DK-PBB memberikan
izin kepada seluruh negara anggota PBB untuk melakukan segala upaya
perlindungan terhadap masyarakat sipil di Libya. Tindakan tersebut dapat
dilakukan secara nasional maupun tindakan di bawah kerangka organisasi
regional tertentu.
Qatar sebagai salah satu negara Arab yang aktif dalam memberikan respon
di Libya telah menerapkan beberapa langkah intervensi yang berbeda. Joseph Nye
menjelaskan bahwa bentuk intervensi memiliki beberapa tahapan dari low
coercion yang berupa pernyataan suatu negara terhadap negara lain hingga high
coercion yang berupa invasi militer.126 Qatar memulai intervensi di Libya dengan
pernyataan yang mengutuk tindakan kekerasan dalam aksi protes di Libya hingga
aksi militer untuk menjatuhkan rezim Qaddafi.
124 Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, 5-6. 125 “Authorizes Member States that have notified the Secretary-General, acting nationally or
through regional organizations or arrangements, and acting in cooperation with the Secretary-
General, to take all necessary measures, notwithstanding paragraph 9 of resolution 1970 (2011),
to protect civilians and civilian populated areas under threat of attack in the Libyan Arab
Jamahiriya, including Benghazi…”, S/RES/1973 (2011) 126 Nye, Understanding International Conflict, 162.
53
Pernyataan pemerintah Qatar yang mengutuk aksi kekerasan yang terjadi
dalam revolusi 17 Februari 2011 di Libya merupakan langkah awal tindakan
intervensi Qatar.127 Sebab, sebuah pernyataan resmi oleh otoritas sebuah negara
merupakan bentuk terendah dalam intervensi. Nye menyatakan bahwa sebuah
intervensi dapat dilakukan melalui sebuah pidato kenegaraan yang bertujuan
untuk memengaruhi politik domestik negara lain.128 Dalam hal ini, pernyataan
yang diajukan Qatar dilakukan untuk membujuk otoritas Libya agar menghentikan
pelanggaran HAM yang terjadi.
Bentuk intervensi lainnya yang dilakukan oleh Qatar ialah melalui bantuan
ekonomi. Bantuan ekonomi Qatar di Libya menghabiskan dana hingga 400 juta
dollar AS.129 Bantuan ekonomi juga dapat memengaruhi politik domestik di
Libya.130 Dengan memberikan bantuan kepada pihak NTC, Qatar membantu
meningkatkan posisi NTC sebagai otoritas sementara Libya dalam menjalankan
aktifitas kenegaraan.
Intervensi yang paling tinggi yang dilakukan oleh Qatar terhadap krisis
politik di Libya ialah berupa bantuan militer. Intervensi dalam bentuk militer ini
berupa bantuan perlengkapan dan pasukan militer. Bantuan militer menjadi
intervensi tertinggi bagi Qatar dalam membantu pihak NTC, sebab bantuan militer
tersebut juga memperkuat kemampuan militer NTC dalam menjatuhkan rezim
Qaddafi dari kursi pemerintahan Libya.
127 Peter Hutchison, et.al., “Libya Protest: As It Happened Feb 22”, The Telegraph, 23 Februari
2011, tersedia di:
<http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/africaandindianocean/libya/8342183/Libya-
protests-as-it-happened-Feb-22.html> diakses pada 26 September 2014, pukul 21.58. 128 Nye, Understanding International Conflict, 162. 129 Barakat, “The Qatari Spring”, 27. 130 Nye, Understanding International Conflict, 162.
54
Intervensi Qatar dalam krisis politik di Libya didasarkan oleh beberapa
faktor. Dalam melihat peran Qatar tersebut ada baiknya untuk melihat faktor apa
saja yang mendorong Qatar untuk memberikan dukungan terhadap pihak NTC.
Kebijakan luar negeri ini akan dianalisa melalui dua faktor utama, yakni faktor
subjektif yang terdiri dari faktor idiosyncratic dan faktor objektif yang terdiri dari
faktor internal dan eksternal.
B. Faktor-Faktor yang mendorong Kebijakan Qatar terhadap NTC
Bentuk-bentuk dukungan yang diberikan Qatar terhadap NTC terkait krisis
politik di Libya pada tahun 2011 merupakan sebuah bentuk kebijakan luar negeri.
Hal ini didasarkan pada pernyataan Breuning mengenai kebijakan luar negeri
yang merupakan hasil dari interaksi negara dengan lingkungan diluar batasnya.131
Meskipun Arab Spring tidak terjadi di Qatar, namun fenomena tersebut terjadi
diluar batas negaranya. Sehingga, respon yang Qatar berikan terhadap krisis
politik di Libya merupakan sebuah bentuk interaksi Qatar dengan lingkungan
eksternalnya.
Interaksi dilakukan negara sebagai bentuk kebijakan luar negeri yang
berupa tindakan terhadap negara lain untuk mencapai sebuah tujuan nasional.132
Kebijakan yang diterapkan Qatar terhadap NTC merupakan sebuah tindakan yang
di dalamnya terdapat tujuan nasional Qatar, yakni ingin membesarkan nama Qatar
di lingkungan internasional. Dalam menganalisa kebijakan luar negeri, terdapat
faktor-faktor yang melatarbelakangi kebijakan tersebut.
131 Breuning, Foreign Policy Analysis, 5. 132 Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, 116.
55
1. Faktor Internal
Dalam melihat faktor yang memegaruhi Qatar dalam memberikan
dukungan terhadap pihak NTC dapat dilihat dari faktor internal Qatar. Faktor
internal dalam hal ini dimaksudkan sebagai kondisi lingkungan domestik Qatar
dalam menetapkan sebuah kebijakan.133 Dengan demikian, kondisi perekonomian
serta kepentingan ekonomi akan menjadi faktor yang memengaruhi Qatar dalam
membantu pihak NTC.
a. Atribut Ekonomi
Salah satu faktor internal atau atribut nasional yang memengaruhi
kebijakan luar negeri sebuah negara ialah atribut ekonomi. Karakteristik ekonomi
dapat memengaruhi kebijakan luar negeri terutama jika dilihat dari tingkat
pertumbuhan atau kekayaan ekonomi sebuah negara.134 Dengan demikian,
kekayaan dan tingkat pertumbuhan ekonomi Qatar memberikan pengaruh bagi
kebijakan luar negeri Qatar dalam memberikan bantuan kepada pihak NTC.
Sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
Qatar mampu memainkan peran aktif dalam krisis politik di Libya. Pertumbuhan
ekonomi ini dapat dilihat dari kapasitas gas alam cair atau Liquefied Natural Gas
(LNG) yang tinggi yang dimiliki oleh Qatar. Sektor gas ini menjadi salah satu
penunjang pertumbuhan ekonomi Qatar yang paling signifikan, yakni melalui
investasi besar dan peningkatan kapasitas produksi dalam sektor LNG. Selain itu,
133 Toma dan Gorman, International Relations: Understanding Global Issues, 124. 134 Toma dan Gorman, International Relations: Understanding Global Issues, 126.
56
dukungan penuh dari pemerintah terhadap sistem perbankan di negara tersebut
juga menjadi pendorong tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi Qatar.135
Pertumbuhan ekonomi Qatar yang tinggi ini dapat terlihat dari Pendapatan
Domestik Bruto (PDB) dalam negerinya yang mencapai total 185 miliar dollar AS
tahun 2012. Pendapatan dari sektor minyak dan gas menjadi pemicu tingginya
pertumbuhan ekonomi Qatar sejak tahun 2008 hingga 2012, yakni sebanyak
75%.136 Tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut menjadikan Qatar
sebagai salah satu negara terkaya didunia.
Tabel 2. Daftar Negara Terkaya di Dunia 2011-2012
No. Negara PDB per Kapita
1. Qatar US$ 88.222
2. Luxemburg US$ 81.466
3. Singapura US$ 56.694
4. Norwegia US$ 51. 959
5. Brunei Darussalam US$ 48. 333
Sumber137: Forbes: “The World’s Richest Country”.
Toma dan Gorman menyatakan bahwa negara yang memiliki tingkat
kekayaan yang tinggi akan cenderung terlibat dalam perpolitikan dunia.138 Sebab,
135 “Qatar Economic Statistics at a Glance”, Qatar Statistic Authority, 2012, tersedia di
<http://www.qsa.gov.qa/eng/publication/economic_publication/2012/Qatar%20Economic%20Stati
stics%20at%20Glance.pdf> diakses pada 14 September 2014, pukul 15.15. 136 Paul Rivlin, “Qatar: The Economics and The Politics”, The Moshe Dayan Center for Middle
Eastern and African Studies: Tel Aviv University, 3:4 (April, 2013): 2. 137 “The World’s Richest Country”, Forbes tersedia di
<http://www.forbes.com/sites/bethgreenfield/2012/02/22/the-worlds-richest-countries/> , diakses
pada 28 September 2014, pukul 22.56. 138 Toma dan Gorman, International Relations: Understanding Global Issues,126.
57
keterlibatan tersebut membutuhkan biaya, terutama dalam urusan pemberian
bantuan luar negeri. Dengan kemampuan ekonominya yang tinggi tersebut
mendorong Qatar untuk mampu memberikan bantuan baik finansial maupun
logistik kepada pihak oposisi Libya.
Tingkat kekayaan sebuah negara dapat menentukan posisi negara tersebut
sebagai penerima atau pendonor bantuan.139 Hal ini menggambarkan bahwa
tingkat kekayaan yang dimiliki oleh Qatar memosisikan negara tersebut untuk
mampu menjadi pendonor yang aktif dalam menghadapi konflik kawasan. Sebab,
negara yang kaya akan mampu untuk membiayai kebutuhan untuk berpartisipasi
dalam interaksi global, seperti responsif dalam menghadapi isu dan juga dalam
kerjasama internasional. 140
Dengan demikian, atribut ekonomi Qatar menjadi salah satu faktor utama
yang mendorong Qatar untuk memberikan dukungan terhadap pihak NTC dalam
menghadapi krisis politik di Libya. Status yang dimiliki oleh Qatar sebagai negara
dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi memberikan Qatar kemampuan untuk
dapat mengakomodasikan kebijakan intervensi dalam perpolitikan negara lain.
Hal ini menjadi bukti bahwa negara dengan perekonomian yang tinggi akan
bertindak lebih aktif dalam menghadapi isu-isu kawasan maupun global.
Namun demikian, tingkat kekayaan sebuah negara tidak menjadikan
negara tersebut hanya mengandalkan sumber pendapatan yang sudah ada.
Melainkan sebuah negara akan berusaha untuk memperluas peluang kerjasama
demi mempertahankan perekonomiannya. Seperti yang terjadi pada tahun 2011
139 Pearson dan Rochester, International Relations: The Global Condition in 21st Century, 195. 140 Pearson dan Rochester, International Relations: The Global Condition in 21st Century, 195.
58
ketika terjadi lonjakan harga minyak yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi
Qatar yang hanya meningkat sebanyak 13%. Hal ini juga dikarenakan adanya
perubahan kebijakan terhadap sektor gas dengan menangguhkan pengembangan
produksi.141 Dengan demikian, Qatar membutuhkan sektor lain sebagai sumber
pendapatan selain dari sektor non-oil.
Perluasan kerjasama dalam sektor non-oil dibutuhkan oleh Qatar dilihat
dari sumber daya energi merupakan sumber daya terbatas yang tidak dapat
diperbaharui. Meskipun Qatar memiliki tingkat persediaan minyak yang tinggi,
yakni sebanyak 25.4 miliar barel, namun Qatar menjadi negara produsen utama
dengan persediaan yang rendah dibandingkan negara lainnya seperti Kuwait, Irak,
dan Arab Saudi. Persediaan ini akan berkurang dari tahun ke tahun dan
mendorong Qatar untuk mengalokasikan sumber pendapatan utama di sektor non-
oil.142 Dengan demikian, dukungan yang diberikan Qatar kepada pihak NTC tidak
terlepas dari kepentingan ekonomi negara tersebut.
b. Kepentingan Ekonomi
Faktor berikutnya yang memengaruhi kebijakan luar negeri Qatar terhadap
krisis politik di Libya ialah dengan melihat kepentingan ekonomi Qatar.
Kepentingan ekonomi merupakan faktor dominan yang mendorong sebuah negara
untuk menetapkan sebuah kebijakan. Kepentingan ekonomi ini dapat berupa
pencarian lapangan pekerjaan, pencarian sumber energi, atau mengenai keamanan
141 Rivlin, “Qatar: The Economics and The Politics”, 2. 142 Rivlin, “Qatar: The Economics and The Politics”, 3.
59
akses ekonomi.143 Dalam hal ini, kepentingan ekonomi yang dikejar oleh Qatar
ialah kesempatan untuk bekerjasama dengan pihak Libya yang tidak hanya dalam
sektor energi.
Meskipun Qatar dan Libya merupakan dua negara Timur Tengah dengan
sumber kekayaan minyak yang tinggi, kedua negara tersebut tidak memiliki
jalinan kerjasama dalam sektor minyak ketika Libya masih berada di bawah
kepemimpinan Qaddafi. Namun, ketika krisis politik terjadi di Libya dan terdapat
pembentukan NTC di Libya, Qatar memiliki celah untuk menjalin kerjasama
tersebut melalui pihak NTC. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
salah satu bentuk bantuan Qatar dalam krisis politik di Libya ialah membantu
NTC memasarkan minyak mentah Libya dan bantuan tersebut menjadi salah satu
jalan bagi Qatar untuk membuka peluang kerjasama dengan pemerintah Libya
yang baru.144
Meskipun sumber minyak yang dimiliki Qatar melimpah, namun sumber
daya tersebut tidak dapat diperbaharui. Upaya Qatar untuk menghadapi
permasalahan tersebut ialah membuka peluang kerjasama energi seluas-luasnya
dan juga mengandalkan pemasukan ekonomi dalam negeri yang tidak hanya
berasal dari sektor energi. Dalam mencari peluang kerjasama di sektor energi,
Qatar berhasil mendapatkan peluang kerjasama dengan pihak NTC dalam menjual
minyak Libya. Selain itu, Qatar juga berhasil mendapatkan kerjasama dibidang
non-energi seperti dalam sektor infrastruktur145 dan juga perbankan.146
143 Mintz dan DeRouen Jr., Understanding Foreign Policy Decision Making, 130. 144 Mustafa El Labbad dalam Jenan Amin, et.al., “Qatar: Aspirations and Realities”, Heinrich Böll
Stiftung 4(November, 2012): 22. 145 Ward, “Amid “Divorece” Talk”, 4.
60
Kepentingan ekonomi yang dikejar Qatar dalam keterlibatannya di Libya
dapat terlihat dalam kerjasama ekonomi. Paska kepemimpinan Qaddafi, investasi
Qatar di Libya diketahui mencapai 10 miliar dollar AS. Selain itu terdapat
beberapa proyek kerjasama infrastruktur yang dikembangkan seperti
pembangunan hotel, komplek perumahan dan fasilitas hiburan. Proyek
pembangunan ini dijalankan dibawah kerjasama antara perusahaan Qatar – Barwa
Real Estate Company, dan perusahaan negara Libya – Libyan Development and
Investment Company.147
Masih dalam proyek infrastruktur, ALAQ juga membangun usaha
komplek perumahan mewah bernama “The Waterfront”. Selain itu, dalam sektor
penerbangan, Qatar Airways telah mengaktifkan operasi penerbangan Doha-
Benghazi sebanyak empat kali dalam seminggu.148 Jalinan kerjasama tersebut
menjadi bukti eratnya hubungan bilateral antara Qatar dengan pemerintah Libya.
2. Faktor Eksternal
Selain faktor internal terdapat juga faktor eksternal yang mampu
memengaruhi kebijakan luar negeri Qatar. Faktor eksternal ini dapat dilihat dari
lingkungan internasional sebuah negara.149 Adapun faktor eksternal yang
memengaruhi kebijakan luar negeri Qatar ialah struktur dalam sistem
internasional. Selain itu aliansi juga menjadi faktor yang memengaruhi Qatar
untuk memberikan bantuan kepada pihak NTC dalam krisis politik Libya.
146 Dominic Dudley, “A Force for Change”, 2011. Dalam Sara Pulliam, “Qatar’s Foreign Policy:
Building International Image”, Cairo: American University in Cairo, (Juni, 2013), 8. 147 Ward, “Amid “Divorce” Talk”, 4. 148 Ward, “Amid “Divorece” Talk”, 4. 149 Toma dan Gorman, International Relations: Understanding Global Issues, 121.
61
a. Struktur Sistem Internasional
Faktor eksternal pertama yang memengaruhi kebijakan luar negeri Qatar
ialah dengan melihat struktur dalam sistem internasional. Struktur sistem
internasional ini dapat dilihat tidak hanya dari tingkat global, tetapi juga dapat
dilihat secara regional.150 Dalam hal ini, struktur yang akan dilihat ialah struktur
yang terdapat dalam sistem regional, kawasan Timur Tengah.
Struktur dalam sistem internasional mengalami tranformasi yang membuat
kekuatan politik dalam sistem tersebut dapat berubah-ubah. Perubahan ini dapat
dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi negara hegemon yang melemah dan tidak
mampu lagi menunjang kebutuhan sebagai negara yang dominan. Hal ini akan
membuka peluang bagi negara-negara lain dengan perekonomian yang lebih
tinggi untuk menggantikan posisi tersebut.151
Struktur yang dapat berubah ini membuka kesempatan bagi negara kecil
untuk bersaing dalam meningkatkan kekuatan dan pengaruh dalam sistem
internasional. Kesempatan ini dapat terbuka lebar ketika negara dengan ukuran
geografis yang kecil memiliki sumber energi yang melimpah.152 Qatar menjadi
salah satu contoh negara yang berupaya untuk memanfaatkan kekayaan energinya
untuk meningkatkan kekuatan secara politik di kawasan.
Dalam hal ini, struktur multipolar yang ada dalam kawasan Timur Tengah
mendorong Qatar untuk mengejar keinginannya menjadi negara yang tidak hanya
kuat dalam ekonomi, tetapi juga dalam politik. Sebab, pola kekuatan Negara
dalam sistem internasional dapat berubah-ubah. Kemampuan ekonomi Qatar
150 Toma dan Gorman, International Relations: Understanding Global Issues, 122. 151 Pearson dan Rochester, Internastional Relations: The Global Condition in 21st Century, 188. 152 Ulrichsen, “Small States with a Big Role”, 10.
62
mendorong negara tersebut untuk mampu mengakomodasikan kebijakan-
kebijakan yang diterapkan.
Upaya Qatar untuk mencapai posisi dominan dalam perpolitikan kawasan
dapat terlihat sejak Qatar memosisikan diri sebagai mediator dalam konflik-
konflik kawasan seperti di Yaman, Lebanon, dan Sudan. Selanjutnya, strategi
politik luar negeri Qatar di kawasan dilanjutkan dalam intervensi di Libya.
Perubahan arah kebijakan ini menjadi bekal bagi Qatar untuk menunjukkan
kemampuannya dalam penyelesaian konflik-konflik di kawasan. Upaya tersebut
merupakan salah satu strategi state-branding Qatar dalam menerapkan kebijakan
luar negeri.
Keinginan Qatar untuk menjadi pemain dominan di kawasan juga dipicu
oleh posisi Qatar dalam sistem internasional pada tahun 1990an. Pada periode
tersebut, Qatar merupakan negara yang tidak cukup dikenal di dunia. Terdapat
istilah seperti “tempat yang paling membosankan di Teluk” dan “negara yang
tidak dikenal” untuk menggambarkan posisi Qatar pada saat itu. Hal ini didasari
pada posisi Qatar yang tidak aktif dalam berhubungan dengan negara-negara lain
dan memilih untuk berada di bawah kedudukan Arab Saudi.153
Namun, posisi Arab Saudi dalam upaya penyelesaian konflik semakin
pasif dan menyediakan celah bagi kepemimpinan di kawasan.154 Hal ini menjadi
kesempatan bagi Qatar sebagai negara dengan perekonomian yang maju untuk
mengisi celah tersebut dengan memainkan peran sebagai negara yang aktif dalam
upaya penyelesaian konflik-konflik kawasan.
153 David B. Roberts, “The Arab World’s Unlikely Leader: Embracing Qatar’s Expanding Role in
the Region”, Project on Middle East Democracy (Maret, 2012): 1. 154 Khatib, “Qatar’s Foreign Policy”, 419.
63
Posisi Qatar yang sempat menjadi negara yang tidak dikenal mendorong
negara tersebut untuk memiliki peran penting dalam sistem internasional di
kawasan. Pola kepemimpinan Arab Saudi di kawasan yang mulai melemah
membuka jalan bagi Qatar untuk menjadi salah satu negara yang dominan dalam
perpolitikan di Timur Tengah. Ambisi Qatar tersebut diupayakan dengan menjadi
mediator dan pemberi bantuan dalam konflik-konflik kawasan.
b. Aliansi
Faktor terakhir yang memengaruhi Qatar dalam memberikan dukungan
terhadap NTC ialah aliansi yang dibangun oleh Qatar dengan negara-negara Barat,
terutama AS. Bagi Mintz dan DeRouen, keinginan suatu negara untuk
menerapkan kebijakan tertentu harus juga mempertimbangkan aliansi yang dijalin
dengan negara atau organisasi lain. Aliansi militer dapat memengaruhi suatu
negara untuk mempertimbangkan pentingnya melakukan agresi atau intervensi
militer terhadap negara lain.155
Bentuk intervensi yang dilakukan oleh Qatar dalam krisis politik di Libya
salah satunya ialah melalui bantuan militer. Dalam memberikan dukungan
terhadap pihak NTC selama masa krisis, Qatar memberikan peralatan militer
seperti pesawat tempur dan rudal. Selain peralatan militer, Qatar juga membantu
mengirimkan pasukan militernya beserta penasihat militer dalam membantu pihak
155 Mintz dan DeRouen Jr., Understanding Foreign Policy Decision Making, 126.
64
NTC.156 Kemampuan militer dalam membantu pihak NTC tidak terlepas dari
aliansi yang dijalinnya dengan AS.
Hubungan diplomasi Qatar dengan AS diawali sejak tahun 1973 ketika
pertama kali AS membuka kedutaan besar di Doha, Ibu Kota Qatar. Meskipun
demikian, hubungan keduanya tidak berjalan dengan baik ketika terdapat sengketa
pasar gelap yang dilakukan oleh Qatar terkait misil pesawat tempur milik AS pada
akhir 80-an. Sengketa tersebut membuat AS menerapkan pelarangan penjualan
senjata kepada Qatar. Namun, ketegangan antar keduanya membaik ketika Qatar
memutuskan untuk membantu operasi militer AS dalam Perang Teluk pada tahun
1991.157
Ketika terjadi Perang Teluk I, Qatar mengizinkan AS untuk melakukan
operasi militer melalui wilayah Qatar. Pasukan militer Qatar dan AS berkoalisi
dalam melakukan penyerangan militer. Kerjasama keduanya membawa hubungan
tersebut kearah formal, yakni dengan adanya perjanjian kerjasama pertahanan di
tahun berikutnya. Kerjasama pertahanan yang dijalin antara Qatar dan AS
meliputi kerjasama dalam pelatihan pertahanan, preposisi peralatan, dan juga
perjanjian mengenai akses terhadap pangkalan militer, Al-Udeid.158
Kerjasama yang dibentuk oleh Qatar dengan AS merupakan langkah yang
logis. Sebab, Qatar memiliki pasukan bersenjata paling sedikit kedua di kawasan
setelah Bahrain, yakni hanya 11.800 personil militer. Namun, dengan kemampuan
ekonomi yang tinggi, Qatar mampu membeli sistem persenjataan, termasuk sistem
156 Peterson, “Qatar’s International Role”, 3. 157 Christopher M. Blanchard, “Qatar: Background and U.S. Relations”, Congressional Research
Service, (Januari, 2014), 4. 158 Blanchard, “Qatar: Background and U.S. Relations”, 4
65
pertahanan misil dan sistem pertahanan udara AS. Selain itu, upaya Qatar dalam
meningkatkan pertahanan domestik juga terlihat dari pangkalan militer Al-Udeid
yang dibangun pada tahun 90-an dengan menginvestasikan kekayaannya sebesar 1
miliar dollar AS.159
Dengan kesadaran akan minimnya kemampuan militer yang dimiliki,
Qatar memanfaatkan kemampuan ekonomi untuk memperkuat pertahanan negara.
Aliansi dengan AS ini memberikan keuntungan bagi Qatar untuk meningkatkan
keamanan nasional sekaligus pula mengirimkan pasukan perdamaian dalam krisis
politik di Libya.
Peter A. Toma dan Robert F. Gorman menyatakan bahwa sebuah aliansi
akan mampu meningkatkan kapabilitas sebuah negara.160 Qatar, sebagai negara
dengan jumlah penduduk yang sedikit, manjadikan pasukan militer yang dimiliki
pun terbatas. Dengan kapabilitas militer yang minim yang dimiliki oleh Qatar
mendorong negara tersebut untuk membangun sebuah aliansi yang mampu
menjamin keamanan negaranya. Dari penjelasan kerjasama pertahanan antara
Qatar dan AS dapat dilihat bahwa Qatar merupakan salah satu negara yang
memiliki ikatan erat dengan AS.
Aliansi pertahanan antara Qatar dan AS merupakan sebuah strategi Qatar
sebagai negara kecil di kawasan yang rawan konflik. Meskipun Qatar tidak
mengalami dampak dari fenomena Arab Spring bukan berarti negara tersebut
tidak berpotensi mengalami konflik dilihat dari bentuk pemerintahan monarki
yang tidak berbeda dengan negara-negara di Timur Tengah pada umumnya.
159 Blanchard, “Qatar: Background and U.S. Relations”, 5. 160 Toma dan Gorman, International Relations: Understanding Global Issues, 123.
66
Dengan demikian, keuntungan yang dihasilkan dari aliansi Qatar dengan AS ialah
bahwa kemampuan militer AS mampu melengkapi kebutuhan pertahanan bagi
Qatar. Sebab, sebuah aliansi dapat menguntungkan negara kecil ketika ia menjalin
hubungan dengan negara yang lebih besar dan mampu menyediakan kebutuhan
pertahanan negara.161
161 Toma dan Gorman, International Relations: Understanding Global Issues, 124.
67
BAB V
KESIMPULAN
Fenomena Arab Spring yang terjadi sejak akhir tahun 2010 merupakan
sebuah fenomena yang cukup mengguncang dunia. Aksi protes rakyat terhadap
pemerintah-pemerintah diktator di Timur Tengah mengalami efek menular dari
satu negara ke negara lain. Aksi protes dari Tunisia hingga Suriah memberikan
dampak bagi perpolitikan di Timur Tengah. Meskipun fenomena tersebut
merupakan fenomena kawasan, namun tidak sedikit negara-negara di seluruh
dunia memberikan berbagai macam respon dalam menghadapi krisis-krisis politik
tersebut.
Pada dasarnya, aksi protes dalam Arab Spring ini memiliki faktor pemicu
yang sama antara satu negara dengan negara lainnya, yakni masalah krisis
ekonomi serta kepemimpinan yang bersifat diktator. Kemarahan rakyat
ditimbulkan dari perasaan terkekang oleh pemimpin yang menjabat selama
berpuluh-puluh tahun tanpa memberikan rakyat kebebasan berekspresi. Meskipun
dampak yang dihasilkan dari fenomena Arab Spring ini berbeda-beda di setiap
negara di Timur Tengah, seperti mudahnya menurunkan rezim diktator seperti di
Tunisia dan Mesir ataupun sulitnya menurunkan rezim layaknya di Bahrain dan
Suriah, namun krisis-krisis yang terjadi tidak dapat terlepas dari upaya keras
rakyat untuk memperoleh kebebasan.
Krisis politik yang terjadi di Libya diakhiri dengan penyerangan oleh
pihak oposisi terhadap Qaddafi dan keluarga. Penyerangan tersebut didasarkan
68
pada kerasnya rezim Qaddafi dalam menghadapi aksi protes hingga menimbulkan
banyak korban jiwa. Hal tersebut mengundang banyak respon dunia untuk
membantu menangani krisis yang terjadi di Libya. PBB, Liga Arab, hingga
NATO memberikan respon masing-masing terhadap krisis tersebut. Tidak hanya
organisasi internasional, negara-negara di dunia juga turut serta memberikan
bantuan untuk menangani kerusuhan yang terjadi di Libya. Negara barat hingga
negara di kawasan bersama-sama memberikan bantuannya, salah satunya adalah
Qatar.
Qatar menjadi salah satu negara yang aktif memberikan bantuan kepada
pihak oposisi di Libya, yakni NTC. Bantuan yang diberikan Qatar yakni berupa
logistik, finansial, hingga bantuan militer. Aktifnya Qatar dalam menghadapi
krisis politik di Libya ini menunjukkan perubahan arah kebijakan luar negeri
Qatar yang lebih aktif dibandingkan sebelumnya. Sebab, sebelum terjadinya
fenomena Arab Spring ini, Qatar lebih memilih untuk memosisikan diri sebagai
mediator dalam menghadapi isu-isu di kawasan seperti yang terjadi di Lebanon,
Sudan dan Yaman. Sedangkan dalam isu Arab Spring ini, terutama di Libya,
Qatar menerapkan kebijakan yang berpihak dalam krisis tersebut, yakni berpihak
kepada NTC.
Perubahan arah kebijakan Qatar ini didasarkan pada beberapa faktor, yakni
faktor internal dan eksternal. Faktor internal membahas mengenai atribut ekonomi
dan kepentingan ekonomi. Sedangkan faktor eksternal membahas mengenai
struktur dalam sistem internasional dan aliansi.
69
Faktor atribut ekonomi digunakan untuk melihat kemampuan ekonomi
Qatar sebagai faktor yang mendorong Qatar memberikan bantuan kepada pihak
NTC. Sebab, keputusan sebuah negara untuk melakukan intervensi juga harus
didasarkan pada kemampuan ekonomi dilihat dari biaya yang dibutuhkan dalam
menerapkan kebijakan tersebut tidaklah sedikit.
Faktor yang kedua ialah kepentingan ekonomi. Kepentingan ekonomi
merupakan salah satu kepentingan nasional yang utama. Sebab, ekonomi
merupakan sumber utama bagi negara untuk menjalankan aktifitasnya. Kebijakan
luar negeri suatu negara tidak akan terlepas dari adanya unsure kepentingan
ekonomi. Kepentingan ekonomi ini dapat dimaksudkan untuk melindungi akses
terhadap sumber perekonomian, akses terhadap perdagangan minyak, dan juga
kesempatan untuk bekerjasama. Dalam hal ini, kepentingan ekonomi Qatar dapat
terlihat dari keinginannya untuk memperoleh kerjasama dan juga melindungi
investasi-investasinya agar tidak terkena dampak krisis yang terjadi di Libya.
Faktor yang ketiga ialah faktor yang dilihat dari lingkungan eksternal
Qatar, yakni struktur dalam sistem internasional. Sistem internasional dalam hal
ini dapat dilihat dari struktur yang terdapat di kawasan Timur Tengah. Kawasan
Timur Tengah pada dasarnya memiliki struktur multipolar yang memosisikan
semua negara sama. Namun, dalam sistem yang multipolar pun terdapat peluang
negara untuk mendominasi sistem tersebut. Qatar dalam hal ini memiliki
keinginan untuk mengejar posisi dominan dalam kawasan. Upaya ini dilakukan
melalui perannya dalam konflik-konflik di kawasan, yakni membantu proses
perdamaian negara-negara yang menghadapi konflik.
70
Faktor yang terakhir ialah faktor aliansi. Qatar sebagai negara kecil dengan
ambisi yang besar tidak akan mampu mencapai targetnya tanpa adanya bantuan
dari pihak lain. Aliansi yang dibentuk Qatar dengan AS memberikan keuntungan
bagi Qatar untuk memperkuat posisinya di kawasan. Selain untuk memperkuat
militer Qatar, aliansinya dengan AS juga memberikan unsur keamanan bagi Qatar
dilihat dari letak geografisnya yang rawan konflik. Dengan demikian, aliansi
tersebut menjadi faktor yang mendorong Qatar untuk memberikan dukungan
terhadap pihak NTC.
Kebijakan luar negeri Qatar yang didasarkan oleh berbagai faktor tertuju
pada satu pencapaian, yakni keinginan Emir Hamad untuk membawa Qatar
sebagai aktor dominan di kawasan. Strategi kebijakan luar negeri Qatar yang aktif
dalam merespon konflik-konflik di kawasan merupakan upaya Qatar untuk
mencapai tujuannya. Selain itu, adanya perubahan pola kebijakan
menggambarkan bahwa Qatar mampu melihat peluang dari sebuah situasi dan
menyesuaikan sikap dari setiap situasi yang berbeda.
xiv
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Breuning, Marijke. Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction. New
York: Palgrave Macmillan, 2007.
Dabashi, Hamid. “The Arab Spring: The End of Postcolonialism”. London: Zed
Books, 2012.
Hassine, Sami Ben. The Arab Spring: We Finally have Revolution on our Minds.
London: Guardian Books, 2012.
Holsti, K.J. International Politics: A Framework for Analysis. New Jersey:
Prentice-Hall International Inc., 1992.
Holzgrefe, J. L. dan Robert O. Keohane. Humanitarian Intervention: Ethical,
Legal, and Political Dilemmas. Cambridge: Cambridge University Press,
2003.
Mintz, Alex dan Karl DeRouen Jr. Understanding Foreign Policy Decision
Making.Cambridge: Cambridge University Press, 2010.
Nye, Joshep S. Understanding International Conflict: An Introduction to Theory
and History. New York: Longman, 1991.
Pearson, Frederic S. dan J. Martin Rochester. International Relations: The Global
Condition in Twenty-First Century. New York: The McGraw-Hill
Companies, Inc., 1998.
Rosenau, James N. The Scientific Study of Foreign Policy. London: Frances
Printer,1980.
Rosenau, James N. World Politics: An Introduction. London: Collier Mc Millan,
1976.
Seddon, David. A Political and Economic Dictionary of The Middle East: An
Essential Guide to the Politics and Economics of the Middle East. London:
Taylor and Francis Group, 2004.
Stake, R.E. The Art of Case Study Research. CA: Sage Publications, 1995.
Toma, Peter A. dan Robert F. Gorman. International Relations: Understanding
Global Issues. California: Brooks/Cole Publishing Company, 1991.
xv
JURNAL
Adams, Simon. “Libya and the Responsibility to Protect”. Global Center for
Responsibility to Protect: Occasional Paper Series 3 (Oktober, 2012).
Ahmida, Ali Abdullatif. “The Libyan National Transitional Council: Social Bases,
Membership, and Political Trends”. Aljazeera Center for Studies: Reports
(Oktober, 2011).
Alfano, Alyssa. “A Personal Perspective on Tunisian Revolution”. E-
International Relations (2011).
Amin, Jenan, et.al. “Qatar: Aspirations and Realities”. Heinrich Böll Stiftung, 4
(November, 2012).
Antwi-Boateng, Osman.“The Rise of Qatar as a Soft Power and The Challenges”.
European Scientific Journal, 2 (Desember, 2013): 39-51.
Asseburg, Muriel. “Protest, Revolt and Regime Change in The Arab World”.
German Institute for International and Security Affairs Research Paper 6
(Februari, 2012).
Barakat, Sultan. “The Qatari Spring: Qatar’s Emerging Role in Peacemaking”.
London School of Economics and Political Science, 24 (Juli, 2012).
Bellamy, Alex J. “The Responsibility to Protect: The Five Years On”. Ethics and
International Affairs 24:2 (2010): 143-169.
Blanchard, Christopher M. “Qatar: Background and U.S. Relations”.
Congressional Research Service, (Januari, 2014).
Boose, Jason William. “Democratization and Civil Society: Libya, Tunisia, and
The Arab Spring”. International Journal of Social Science and Humanity
2:4 (Juli, 2012): 310-15.
Cooper, Andrew F. dan Bessma Momani. “Qatar and Expanded Contours of
Small States Diplomacy”. The International Spectator: Italian Journal of
International Affairs 46:3(September 2013) 113-128.
Dupont, Cedric dan Florence Passy. “The Arab Spring or How to Explain those
Revolutionary Episodes?”. Swiis Political Science Association: SPSR,
2037 (Oktober 2011): 1-5.
Evans, Gareth. “From Humanitarian Intervention to The Responsibility to
Protect”. Wisconsin International Law Journal, 23: 3, 703-722.
xvi
Hudson, Valerie M. Hudson. “Foreign Policy Analysis: Actor-Specific Theory
and the Ground of International Relations”. International Studies
Association: Blackwell Publishing, 1 (2005): 1-30.
Hudson, Valerie M. dan Christopher S. Vore.“Foreign Policy Analysis Yesterday,
Today, and Tomorrow”. Mershon International Study Review: The
International Studies Association, 39: 2 (Oktober,1995): 209-38.
John, Bruce St. “Libyan Myths and Realities”. Royal Danish Defense College,
Research Paper, (Agustus, 2011).
Kamrava, Mehran. “Mediation and Qatari Foreign Policy”. Middle East Journal
65:4 (Autumn, 2011): 539-56.
Khatib, Lina. “Qatar’s Foreign Policy: The Limits of Pragmatism”. International
Affairs 89: 2 (2013): 417-31.
Lacher, Wolfram. “The Libyan Revolution: Old Elites and New Political Forces”.
dalam Muriel Asseburg. “Protest, Revolt and Regime Change in The Arab
World.” German Institute for International and Security Affairs Research
Paper 6 (Februari, 2012).
Mackay, Alasdair. “The Arab Spring of Discontent”. E-International Relations
(2011).
Madsen, Marianne Mosegaard dan Simone Sophie Wittstrøm Selsbæk. “The
Responsibility to Protect and the intervention in Libya”. Roskilde
University:Department of Society and Globalisatio (Desember, 2012).
Pertusot, Vivien. “NATO Partnership: Shaking Hands or Shaking the System?”.
Brussel: The Institut français des relations internationals 31 (May,
2011).
Peterson, J.E. “Qatar’s International Role: Branding, Investment, and Policy
Projection”. Norwegian Peacebuilding Resource Centre Policy Brief
(February, 2013).
Power, Susan. “The Role of the NTC in the Economic Reconstruction of Libya”.
Socio-Legal Studies Review 1 (2012):115-39.
Pulliam, Sara. “Qatar’s Foreign Policy: Building International Image”. Cairo:
American University in Cairo, (Juni, 2013), 8.
Rivlin, Paul. “Qatar: The Economics and The Politics”. The Moshe Dayan Center
for Middle Eastern and African Studies, Tel Aviv University. 3:4 (April,
2013): 2.
xvii
Roberts, David B. “The Arab World’s Unlikely Leader: Embracing Qatar’s
Expanding Role in the Region”. Project on Middle East Democracy
(Maret, 2012): 1.
Rogan, Eugene Rogan. “The Arab Spring: Implications for British Policy.”
Conservative Middle East Council, (Oktober, 2011).
Saban Kardas. “Humanitarian Intervention: The Evolution of The Idea and
Practice”. Journal of International Affairs, 6: 2 (Juli, 2001).
Smith, Rosan, et.al. “Revolution and Its Discontents: State, Factions, and
Violence in The New Libya.” Netherland Institute of International
Relations (September, 2013).
Ulrichsen, Kristian Coates. “Small States with a Big Role: Qatar and The United
Arab Emirates in the Wake of Arab Spring”. HH Sheikh Nasser al-
Mohammad al-Sabbah, Publication Series no. 3 (Oktober 2012)
Ward, Will. “Amid ‘Divorce’ Talk, Economic Ties with Qatar Remain Strong”.
The Libya Wire: Avvicena Group 3 (Januari, 2012).
WEBSITE
David Roberts, “Behind Qatar’s Intervention in Libya: Why was Doha such
a Strong Supporters of the Rebels?” Foreign Affairs, 28 September 2011, tersedia
di: <http://www.foreignaffairs.com/articles/68302/david-roberts/behind-qatars-
intervention-in-libya> diakses pada 2 Juni 2014, pukul 19.36.
“Global Peace Indeks 2011: The Full List”, The Guardian, tersedia di:
<http://www.theguardian.com/news/datablog/2011/may/25/global-peace-index-
2011#data> diakses pada 18 Agustus 2014, pukul 20.15.
Hutchison, Peter, et.al., “Libya Protest: As It Happened Feb 22”, The
Telegraph, 23 Februari 2011, tersedia di:
<http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/africaandindianocean/libya/834218
3/Libya-protests-as-it-happened-Feb-22.html> diakses pada 26 September 2014,
pukul 21.58.
Khatib, Lina. “Qatar Involvement in Libya: A Delicate Balance”, World
Peace Foundation, tersedia di:
<http://sites.tufts.edu/reinventingpeace/2013/01/07/qatars-involvement-in-libya-a-
delicate-balance/> diakses pada 4 Agustus 2014, pukul 14.15.
“Qatar Bilateral Relations: Libya”, Ministry of Foreign Affairs, tersedia di:
<http://www.mofa.gov.qa/en/ForeignPolicy/BilateralRelations/Pages/LY.aspx>
diakses pada 4 Agustus 2014, pukul 13.50.
xviii
“Qatar Economic Statistics at a Glance”, Qatar Statistic Authority, 2012,
tersedia di:
<http://www.qsa.gov.qa/eng/publication/economic_publication/2012/Qatar%20Ec
onomic%20Statistics%20at%20Glance.pdf> diakses pada 14 September 2014,
pukul 15.15.
“Qatar-Libya NTC sign Legal Cooperation”, The Peninsula, 17 Oktober
2011, tersedia di: <http://thepeninsulaqatar.com/news/qatar/169442/qatar-libya-
ntc-sign-legal-cooperation-deal> diakses pada 4 Agustus 2014, pukul 15.09.
“Qatar recognises Libyan rebels after oil deal”, AlJazeera, 28 Maret 2011,
tersedia di:
<http://www.aljazeera.com/news/middleeast/2011/03/201132814450241767.html
>; diakses pada 15 Maret 2014, pukul 17.02.
“Shalgham Attacks Qatar: Libya Will Not Be Emirate Ruled by
Commander of Faithful in Qatar”, Middle East Online, 4 November 2011, tersedia
di: <http://www.middle-east-online.com/english/?id=48879> diakses pada 4
Agustus 2014, pukul 15.27.
“The World Factbook: Qatar”. CIA, tersedia di:
<https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/qa.html>
diakses pada 18 Agustus 2014, pukul 20.15. “The World’s Richest Country”.
Forbes, tersedia di <http://www.forbes.com/sites/bethgreenfield/2012/02/22/the-
worlds-richest-countries/>diakses pada 28 September 2014, pukul 22.56.
“TIMELINE-Libya's uprising against Muammar Gaddafi”. Reuters, 30
Maret 2011.tersedia di:
<http://www.reuters.com/article/2011/03/30/libya-idUSLDE72K0KK20110330>;
diakses pada 9 Maret 2014. pukul 15. 32.
Ulrichsen, Kristian Coates Ulrichsen. “Qatar and The Arab Spring: Policy
Drivers and Regional Implications”. Carnegie Endowment for International Peace,
tersedia di:
<http://carnegieendowment.org/2014/09/24/qatar-and-arab-spring-policy-drivers-
and-regional-implications>, diakses pada 18 November 2014, pukul 20.35.
xix
THESIS/SKRIPSI
Jude, Sorana-Christina.“Saving Strangers in Libya: Traditional and Alternative
Discourses on Humanitarian Intervention” Thesis Eurpoean Institute.
2012.
Savitri, Maya. “Alasan NATO (North Atlantic Treaty Organization) Dalam Krisis
Politik di Libya Tahun 2011” Skripsi Universitas Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2013.
United Nations S/RES/1970 (2011)*
Security Council Distr.: General
26 February 2011
Resolution 1970 (2011)
Adopted by the Security Council at its 6491st meeting, on 26 February 2011
The Security Council,
Expressing grave concern at the situation in the Libyan Arab Jamahiriya and
condemning the violence and use of force against civilians,
Deploring the gross and systematic violation of human rights, including the
repression of peaceful demonstrators, expressing deep concern at the deaths of
civilians, and rejecting unequivocally the incitement to hostility and violence
against the civilian population made from the highest level of the Libyan
government,
Welcoming the condemnation by the Arab League, the African Union, and the
Secretary General of the Organization of the Islamic Conference of the serious
violations of human rights and international humanitarian law that are being
committed in the Libyan Arab Jamahiriya,
Taking note of the letter to the President of the Security Council from the
Permanent Representative of the Libyan Arab Jamahiriya dated 26 February 2011,
Welcoming the Human Rights Council resolution A/HRC/RES/S-15/1 of
25 February 2011, including the decision to urgently dispatch an independent
international commission of inquiry to investigate all alleged violations of
international human rights law in the Libyan Arab Jamahiriya, to establish the facts
and circumstances of such violations and of the crimes perpetrated, and where
possible identify those responsible,
Considering that the widespread and systematic attacks currently taking place
in the Libyan Arab Jamahiriya against the civilian population may amount to crimes
against humanity,
Expressing concern at the plight of refugees forced to flee the violence in the
Libyan Arab Jamahiriya,
Expressing concern also at the reports of shortages of medical supplies to treat
the wounded,
* Second reissue for technical reasons (10 March 2011).
11-24558* (E)
*1124558*
S/RES/1970 (2011) S/RES/1970 (2011)
2 11-24558 11-24558 2
Recalling the Libyan authorities’ responsibility to protect its population,
Underlining the need to respect the freedoms of peaceful assembly and of
expression, including freedom of the media,
Stressing the need to hold to account those responsible for attacks, including
by forces under their control, on civilians,
Recalling article 16 of the Rome Statute under which no investigation or
prosecution may be commenced or proceeded with by the International Criminal
Court for a period of 12 months after a Security Council request to that effect,
Expressing concern for the safety of foreign nationals and their rights in the
Libyan Arab Jamahiriya,
Reaffirming its strong commitment to the sovereignty, independence, territorial
integrity and national unity of the Libyan Arab Jamahiriya.
Mindful of its primary responsibility for the maintenance of international peace
and security under the Charter of the United Nations,
Acting under Chapter VII of the Charter of the United Nations, and taking
measures under its Article 41,
1. Demands an immediate end to the violence and calls for steps to fulfil the
legitimate demands of the population;
2. Urges the Libyan authorities to:
(a) Act with the utmost restraint, respect human rights and international
humanitarian law, and allow immediate access for international human rights
monitors;
(b) Ensure the safety of all foreign nationals and their assets and facilitate
the departure of those wishing to leave the country;
(c) Ensure the safe passage of humanitarian and medical supplies, and
humanitarian agencies and workers, into the country; and
(d) Immediately lift restrictions on all forms of media;
3. Requests all Member States, to the extent possible, to cooperate in the
evacuation of those foreign nationals wishing to leave the country;
ICC referral
4. Decides to refer the situation in the Libyan Arab Jamahiriya since
15 February 2011 to the Prosecutor of the International Criminal Court;
5. Decides that the Libyan authorities shall cooperate fully with and provide
any necessary assistance to the Court and the Prosecutor pursuant to this resolution
and, while recognizing that States not party to the Rome Statute have no obligation
under the Statute, urges all States and concerned regional and other international
organizations to cooperate fully with the Court and the Prosecutor;
6. Decides that nationals, current or former officials or personnel from a
State outside the Libyan Arab Jamahiriya which is not a party to the Rome Statute of
S/RES/1970 (2011) S/RES/1970 (2011)
2 11-24558 11-24558 3
the International Criminal Court shall be subject to the exclusive jurisdiction of that
State for all alleged acts or omissions arising out of or related to operations in the
S/RES/1970 (2011) S/RES/1970 (2011)
2 11-24558 11-24558 4
Libyan Arab Jamahiriya established or authorized by the Council, unless such
exclusive jurisdiction has been expressly waived by the State;
7. Invites the Prosecutor to address the Security Council within two months
of the adoption of this resolution and every six months thereafter on actions taken
pursuant to this resolution;
8. Recognizes that none of the expenses incurred in connection with the
referral, including expenses related to investigations or prosecutions in connection
with that referral, shall be borne by the United Nations and that such costs shall be
borne by the parties to the Rome Statute and those States that wish to contribute
voluntarily;
Arms embargo
9. Decides that all Member States shall immediately take the necessary
measures to prevent the direct or indirect supply, sale or transfer to the Libyan Arab
Jamahiriya, from or through their territories or by their nationals, or using their flag
vessels or aircraft, of arms and related materiel of all types, including weapons and
ammunition, military vehicles and equipment, paramilitary equipment, and spare
parts for the aforementioned, and technical assistance, training, financial or other
assistance, related to military activities or the provision, maintenance or use of any
arms and related materiel, including the provision of armed mercenary personnel
whether or not originating in their territories, and decides further that this measure
shall not apply to:
(a) Supplies of non-lethal military equipment intended solely for
humanitarian or protective use, and related technical assistance or training, as
approved in advance by the Committee established pursuant to paragraph 24 below;
(b) Protective clothing, including flak jackets and military helmets,
temporarily exported to the Libyan Arab Jamahiriya by United Nations personnel,
representatives of the media and humanitarian and development workers and
associated personnel, for their personal use only; or
(c) Other sales or supply of arms and related materiel, or provision of
assistance or personnel, as approved in advance by the Committee;
10. Decides that the Libyan Arab Jamahiriya shall cease the export of all
arms and related materiel and that all Member States shall prohibit the procurement
of such items from the Libyan Arab Jamahiriya by their nationals, or using their
flagged vessels or aircraft, and whether or not originating in the territory of the
Libyan Arab Jamahiriya;
11. Calls upon all States, in particular States neighbouring the Libyan Arab
Jamahiriya, to inspect, in accordance with their national authorities and legislation
and consistent with international law, in particular the law of the sea and relevant
international civil aviation agreements, all cargo to and from the Libyan Arab
Jamahiriya, in their territory, including seaports and airports, if the State concerned
has information that provides reasonable grounds to believe the cargo contains items
the supply, sale, transfer, or export of which is prohibited by paragraphs 9 or 10 of
this resolution for the purpose of ensuring strict implementation of those provisions;
S/RES/1970 (2011) S/RES/1970 (2011)
2 11-24558 11-24558 5
12. Decides to authorize all Member States to, and that all Member States
shall, upon discovery of items prohibited by paragraph 9 or 10 of this resolution,
S/RES/1970 (2011) S/RES/1970 (2011)
4 11-24558 11-24558 6
seize and dispose (such as through destruction, rendering inoperable, storage or
transferring to a State other than the originating or destination States for disposal)
items the supply, sale, transfer or export of which is prohibited by paragraphs 9 or
10 of this resolution and decides further that all Member States shall cooperate in
such efforts;
13. Requires any Member State when it undertakes an inspection pursuant to
paragraph 11 above, to submit promptly an initial written report to the Committee
containing, in particular, explanation of the grounds for the inspections, the results
of such inspections, and whether or not cooperation was provided, and, if prohibited
items for transfer are found, further requires such Member States to submit to the
Committee, at a later stage, a subsequent written report containing relevant details
on the inspection, seizure, and disposal, and relevant details of the transfer,
including a description of the items, their origin and intended destination, if this
information is not in the initial report;
14. Encourages Member States to take steps to strongly discourage their
nationals from travelling to the Libyan Arab Jamahiriya to participate in activities
on behalf of the Libyan authorities that could reasonably contribute to the violation
of human rights;
Travel ban
15. Decides that all Member States shall take the necessary measures to
prevent the entry into or transit through their territories of individuals listed in
Annex I of this resolution or designated by the Committee established pursuant to
paragraph 24 below, provided that nothing in this paragraph shall oblige a State to
refuse its own nationals entry into its territory;
16. Decides that the measures imposed by paragraph 15 above shall not
apply:
(a) Where the Committee determines on a case-by-case basis that such travel
is justified on the grounds of humanitarian need, including religious obligation;
(b) Where entry or transit is necessary for the fulfilment of a judicial
process;
(c) Where the Committee determines on a case-by-case basis that an
exemption would further the objectives of peace and national reconciliation in the
Libyan Arab Jamahiriya and stability in the region; or
(d) Where a State determines on a case-by-case basis that such entry or
transit is required to advance peace and stability in the Libyan Arab Jamahiriya and
the States subsequently notifies the Committee within forty-eight hours after making
such a determination;
Asset freeze
17. Decides that all Member States shall freeze without delay all funds, other
financial assets and economic resources which are on their territories, which are
owned or controlled, directly or indirectly, by the individuals or entities listed in
annex II of this resolution or designated by the Committee established pursuant to
S/RES/1970 (2011) S/RES/1970 (2011)
4 11-24558 11-24558 7
paragraph 24 below, or by individuals or entities acting on their behalf or at their
direction, or by entities owned or controlled by them, and decides further that all
S/RES/1970 (2011) S/RES/1970 (2011)
4 11-24558 11-24558 8
Member States shall ensure that any funds, financial assets or economic resources
are prevented from being made available by their nationals or by any individuals or
entities within their territories, to or for the benefit of the individuals or entities
listed in Annex II of this resolution or individuals designated by the Committee;
18. Expresses its intention to ensure that assets frozen pursuant to
paragraph 17 shall at a later stage be made available to and for the benefit of the
people of the Libyan Arab Jamahiriya;
19. Decides that the measures imposed by paragraph 17 above do not apply
to funds, other financial assets or economic resources that have been determined by
relevant Member States:
(a) To be necessary for basic expenses, including payment for foodstuffs,
rent or mortgage, medicines and medical treatment, taxes, insurance premiums, and
public utility charges or exclusively for payment of reasonable professional fees and
reimbursement of incurred expenses associated with the provision of legal services
in accordance with national laws, or fees or service charges, in accordance with
national laws, for routine holding or maintenance of frozen funds, other financial
assets and economic resources, after notification by the relevant State to the
Committee of the intention to authorize, where appropriate, access to such funds,
other financial assets or economic resources and in the absence of a negative
decision by the Committee within five working days of such notification;
(b) To be necessary for extraordinary expenses, provided that such
determination has been notified by the relevant State or Member States to the
Committee and has been approved by the Committee; or
(c) To be the subject of a judicial, administrative or arbitral lien or judgment,
in which case the funds, other financial assets and economic resources may be used
to satisfy that lien or judgment provided that the lien or judgment was entered into
prior to the date of the present resolution, is not for the benefit of a person or entity
designated pursuant to paragraph 17 above, and has been notified by the relevant
State or Member States to the Committee;
20. Decides that Member States may permit the addition to the accounts
frozen pursuant to the provisions of paragraph 17 above of interests or other
earnings due on those accounts or payments due under contracts, agreements or
obligations that arose prior to the date on which those accounts became subject to
the provisions of this resolution, provided that any such interest, other earnings and
payments continue to be subject to these provisions and are frozen;
21. Decides that the measures in paragraph 17 above shall not prevent a
designated person or entity from making payment due under a contract entered into
prior to the listing of such a person or entity, provided that the relevant States have
determined that the payment is not directly or indirectly received by a person or
entity designated pursuant to paragraph 17 above, and after notification by the
relevant States to the Committee of the intention to make or receive such payments
or to authorize, where appropriate, the unfreezing of funds, other financial assets or
economic resources for this purpose, 10 working days prior to such authorization;
S/RES/1970 (2011) S/RES/1970 (2011)
6 11-24558 11-24558 9
Designation criteria
22. Decides that the measures contained in paragraphs 15 and 17 shall apply
to the individuals and entities designated by the Committee, pursuant to paragraph
24 (b) and (c), respectively;
(a) Involved in or complicit in ordering, controlling, or otherwise directing,
the commission of serious human rights abuses against persons in the Libyan Arab
Jamahiriya, including by being involved in or complicit in planning, commanding,
ordering or conducting attacks, in violation of international law, including aerial
bombardments, on civilian populations and facilities; or
(b) Acting for or on behalf of or at the direction of individuals or entities
identified in subparagraph (a).
23. Strongly encourages Member States to submit to the Committee names of
individuals who meet the criteria set out in paragraph 22 above;
New Sanctions Committee
24. Decides to establish, in accordance with rule 28 of its provisional rules of
procedure, a Committee of the Security Council consisting of all the members of the
Council (herein “the Committee”), to undertake to following tasks:
(a) To monitor implementation of the measures imposed in paragraphs 9, 10,
15, and 17;
(b) To designate those individuals subject to the measures imposed by
paragraphs 15 and to consider requests for exemptions in accordance with paragraph
16 above;
(c) To designate those individuals subject to the measures imposed by
paragraph 17 above and to consider requests for exemptions in accordance with
paragraphs 19 and 20 above;
(d) To establish such guidelines as may be necessary to facilitate the
implementation of the measures imposed above;
(e) To report within thirty days to the Security Council on its work for the
first report and thereafter to report as deemed necessary by the Committee;
(f) To encourage a dialogue between the Committee and interested Member
States, in particular those in the region, including by inviting representatives of such
States to meet with the Committee to discuss implementation of the measures;
(g) To seek from all States whatever information it may consider useful
regarding the actions taken by them to implement effectively the measures imposed
above;
(h) To examine and take appropriate action on information regarding alleged
violations or non-compliance with the measures contained in this resolution;
25. Calls upon all Member States to report to the Committee within 120 days
of the adoption of this resolution on the steps they have taken with a view to
implementing effectively paragraphs 9, 10, 15 and 17 above;
S/RES/1970 (2011) S/RES/1970 (2011)
6 11-24558 11-24558 10
Humanitarian assistance
26. Calls upon all Member States, working together and acting in
cooperation with the Secretary General, to facilitate and support the return of
humanitarian agencies and make available humanitarian and related assistance in the
Libyan Arab Jamahiriya, and requests the States concerned to keep the Security
Council regularly informed on the progress of actions undertaken pursuant to this
paragraph, and expresses its readiness to consider taking additional appropriate
measures, as necessary, to achieve this;
Commitment to review
27. Affirms that it shall keep the Libyan authorities’ actions under continuous
review and that it shall be prepared to review the appropriateness of the measures
contained in this resolution, including the strengthening, modification, suspension
or lifting of the measures, as may be needed at any time in light of the Libyan
authorities’ compliance with relevant provisions of this resolution;
28. Decides to remain actively seized of the matter.
S/RES/1970 (2011) S/RES/1970 (2011)
8 11-24558 11-24558 11
Annex I
Travel ban 1. Al-Baghdadi, Dr Abdulqader Mohammed
Passport number: B010574. Date of birth: 01/07/1950.
Head of the Liaison Office of the Revolutionary Committees. Revolutionary
Committees involved in violence against demonstrators.
2. Dibri, Abdulqader Yusef
Date of birth: 1946. Place of birth: Houn, Libya.
Head of Muammar Qadhafi’s personal security. Responsibility for regime
security. History of directing violence against dissidents.
3. Dorda, Abu Zayd Umar
Director, External Security Organisation. Regime loyalist. Head of external
intelligence agency.
4. Jabir, Major General Abu Bakr Yunis
Date of birth: 1952. Place of birth: Jalo, Libya.
Defence Minister. Overall responsibility for actions of armed forces.
5. Matuq, Matuq Mohammed
Date of birth: 1956. Place of birth: Khoms.
Secretary for Utilities. Senior member of regime. Involvement with
Revolutionary Committees. Past history of involvement in suppression of
dissent and violence.
6. Qadhaf Al-dam, Sayyid Mohammed
Date of birth: 1948. Place of birth: Sirte, Libya.
Cousin of Muammar Qadhafi. In the 1980s, Sayyid was involved in the
dissident assassination campaign and allegedly responsible for several deaths
in Europe. He is also thought to have been involved in arms procurement.
7. Qadhafi, Aisha Muammar
Date of birth: 1978. Place of birth: Tripoli, Libya.
Daughter of Muammar Qadhafi. Closeness of association with regime.
8. Qadhafi, Hannibal Muammar
Passport number: B/002210. Date of birth: 20/09/1975. Place of birth: Tripoli,
Libya. Son of Muammar Qadhafi. Closeness of association with regime.
9. Qadhafi, Khamis Muammar
Date of birth: 1978. Place of birth: Tripoli, Libya.
Son of Muammar Qadhafi. Closeness of association with regime. Command of
military units involved in repression of demonstrations.
S/RES/1970 (2011) S/RES/1970 (2011)
8 11-24558 11-24558 12
10. Qadhafi, Mohammed Muammar
Date of birth: 1970. Place of birth: Tripoli, Libya.
Son of Muammar Qadhafi. Closeness of association with regime.
11. Qadhafi, Muammar Mohammed Abu Minyar
Date of birth: 1942. Place of birth: Sirte, Libya.
Leader of the Revolution, Supreme Commander of Armed Forces.
Responsibility for ordering repression of demonstrations, human rights abuses.
12. Qadhafi, Mutassim
Date of birth: 1976. Place of birth: Tripoli, Libya.
National Security Adviser. Son of Muammar Qadhafi. Closeness of association
with regime.
13. Qadhafi, Saadi
Passport number: 014797. Date of birth: 25/05/1973. Place of birth: Tripoli,
Libya.
Commander Special Forces. Son of Muammar Qadhafi. Closeness of
association with regime. Command of military units involved in repression of
demonstrations.
14. Qadhafi, Saif al-Arab
Date of birth: 1982. Place of birth: Tripoli, Libya.
Son of Muammar Qadhafi. Closeness of association with regime.
15. Qadhafi, Saif al-Islam
Passport number: B014995. Date of birth: 25/06/1972. Place of birth: Tripoli,
Libya.
Director, Qadhafi Foundation. Son of Muammar Qadhafi. Closeness of
association with regime. Inflammatory public statements encouraging violence
against demonstrators.
16. Al-Senussi, Colonel Abdullah
Date of birth: 1949. Place of birth: Sudan.
Director Military Intelligence. Military Intelligence involvement in
suppression of demonstrations. Past history includes suspicion of involvement
in Abu Selim prison massacre. Convicted in absentia for bombing of UTA
flight. Brother-in-law of Muammar Qadhafi.
S/RES/1970 (2011) S/RES/1970 (2011)
10 11-24558
Annex II
Asset freeze 1. Qadhafi, Aisha Muammar
Date of birth: 1978. Place of birth: Tripoli, Libya.
Daughter of Muammar Qadhafi. Closeness of association with regime.
2. Qadhafi, Hannibal Muammar
Passport number: B/002210. Date of birth: 20/09/1975. Place of birth: Tripoli,
Libya. Son of Muammar Qadhafi. Closeness of association with regime.
3. Qadhafi, Khamis Muammar
Date of birth: 1978. Place of birth: Tripoli, Libya.
Son of Muammar Qadhafi. Closeness of association with regime. Command of
military units involved in repression of demonstrations.
4. Qadhafi, Muammar Mohammed Abu Minyar
Date of birth: 1942. Place of birth: Sirte, Libya.
Leader of the Revolution, Supreme Commander of Armed Forces.
Responsibility for ordering repression of demonstrations, human rights abuses.
5. Qadhafi, Mutassim
Date of birth: 1976. Place of birth: Tripoli, Libya.
National Security Adviser. Son of Muammar Qadhafi. Closeness of association
with regime.
6. Qadhafi, Saif al-Islam
Passport number: B014995. Date of birth: 25/06/1972. Place of birth: Tripoli,
Libya.
Director, Qadhafi Foundation. Son of Muammar Qadhafi. Closeness of
association with regime. Inflammatory public statements encouraging violence
against demonstrators.
United Nations S/RES/1973 (2011)
Security Council Distr.: General
17 March 2011
Resolution 1973 (2011)
Adopted by the Security Council at its 6498th meeting, on 17 March 2011
The Security Council,
Recalling its resolution 1970 (2011) of 26 February 2011,
Deploring the failure of the Libyan authorities to comply with resolution 1970
(2011),
Expressing grave concern at the deteriorating situation, the escalation of
violence, and the heavy civilian casualties,
Reiterating the responsibility of the Libyan authorities to protect the Libyan
population and reaffirming that parties to armed conflicts bear the primary
responsibility to take all feasible steps to ensure the protection of civilians,
Condemning the gross and systematic violation of human rights, including
arbitrary detentions, enforced disappearances, torture and summary executions,
Further condemning acts of violence and intimidation committed by the
Libyan authorities against journalists, media professionals and associated personnel
and urging these authorities to comply with their obligations under international
humanitarian law as outlined in resolution 1738 (2006),
Considering that the widespread and systematic attacks currently taking place
in the Libyan Arab Jamahiriya against the civilian population may amount to crimes
against humanity,
Recalling paragraph 26 of resolution 1970 (2011) in which the Council
expressed its readiness to consider taking additional appropriate measures, as
necessary, to facilitate and support the return of humanitarian agencies and make
available humanitarian and related assistance in the Libyan Arab Jamahiriya,
Expressing its determination to ensure the protection of civilians and civilian
populated areas and the rapid and unimpeded passage of humanitarian assistance
and the safety of humanitarian personnel,
Recalling the condemnation by the League of Arab States, the African Union,
and the Secretary General of the Organization of the Islamic Conference of the
serious violations of human rights and international humanitarian law that have been
and are being committed in the Libyan Arab Jamahiriya,
11-26839 (E)
*1126839*
S/RES/1973 (2011) S/RES/1973 (2011)
2 11-26839 11-26839 2
Taking note of the final communiqué of the Organisation of the Islamic
Conference of 8 March 2011, and the communiqué of the Peace and Security
Council of the African Union of 10 March 2011 which established an ad hoc High
Level Committee on Libya,
Taking note also of the decision of the Council of the League of Arab States of
12 March 2011 to call for the imposition of a no-fly zone on Libyan military
aviation, and to establish safe areas in places exposed to shelling as a precautionary
measure that allows the protection of the Libyan people and foreign nationals
residing in the Libyan Arab Jamahiriya,
Taking note further of the Secretary-General’s call on 16 March 2011 for an
immediate cease-fire,
Recalling its decision to refer the situation in the Libyan Arab Jamahiriya
since 15 February 2011 to the Prosecutor of the International Criminal Court, and
stressing that those responsible for or complicit in attacks targeting the civilian
population, including aerial and naval attacks, must be held to account,
Reiterating its concern at the plight of refugees and foreign workers forced to
flee the violence in the Libyan Arab Jamahiriya, welcoming the response of
neighbouring States, in particular Tunisia and Egypt, to address the needs of those
refugees and foreign workers, and calling on the international community to support
those efforts,
Deploring the continuing use of mercenaries by the Libyan authorities,
Considering that the establishment of a ban on all flights in the airspace of the
Libyan Arab Jamahiriya constitutes an important element for the protection of
civilians as well as the safety of the delivery of humanitarian assistance and a
decisive step for the cessation of hostilities in Libya,
Expressing concern also for the safety of foreign nationals and their rights in
the Libyan Arab Jamahiriya,
Welcoming the appointment by the Secretary General of his Special Envoy to
Libya, Mr. Abdel-Elah Mohamed Al-Khatib and supporting his efforts to find a
sustainable and peaceful solution to the crisis in the Libyan Arab Jamahiriya,
Reaffirming its strong commitment to the sovereignty, independence, territorial
integrity and national unity of the Libyan Arab Jamahiriya,
Determining that the situation in the Libyan Arab Jamahiriya continues to
constitute a threat to international peace and security,
Acting under Chapter VII of the Charter of the United Nations,
1. Demands the immediate establishment of a cease-fire and a complete end
to violence and all attacks against, and abuses of, civilians;
2. Stresses the need to intensify efforts to find a solution to the crisis which
responds to the legitimate demands of the Libyan people and notes the decisions of
the Secretary-General to send his Special Envoy to Libya and of the Peace and
Security Council of the African Union to send its ad hoc High Level Committee to
S/RES/1973 (2011) S/RES/1973 (2011)
2 11-26839 11-26839 3
Libya with the aim of facilitating dialogue to lead to the political reforms necessary
to find a peaceful and sustainable solution;
S/RES/1973 (2011) S/RES/1973 (2011)
2 11-26839 11-26839 4
3. Demands that the Libyan authorities comply with their obligations under
international law, including international humanitarian law, human rights and
refugee law and take all measures to protect civilians and meet their basic needs,
and to ensure the rapid and unimpeded passage of humanitarian assistance;
Protection of civilians
4. Authorizes Member States that have notified the Secretary-General,
acting nationally or through regional organizations or arrangements, and acting in
cooperation with the Secretary-General, to take all necessary measures,
notwithstanding paragraph 9 of resolution 1970 (2011), to protect civilians and
civilian populated areas under threat of attack in the Libyan Arab Jamahiriya,
including Benghazi, while excluding a foreign occupation force of any form on any
part of Libyan territory, and requests the Member States concerned to inform the
Secretary-General immediately of the measures they take pursuant to the
authorization conferred by this paragraph which shall be immediately reported to
the Security Council;
5. Recognizes the important role of the League of Arab States in matters
relating to the maintenance of international peace and security in the region, and
bearing in mind Chapter VIII of the Charter of the United Nations, requests the
Member States of the League of Arab States to cooperate with other Member States
in the implementation of paragraph 4;
No Fly Zone
6. Decides to establish a ban on all flights in the airspace of the Libyan
Arab Jamahiriya in order to help protect civilians;
7. Decides further that the ban imposed by paragraph 6 shall not apply to
flights whose sole purpose is humanitarian, such as delivering or facilitating the
delivery of assistance, including medical supplies, food, humanitarian workers and
related assistance, or evacuating foreign nationals from the Libyan Arab Jamahiriya,
nor shall it apply to flights authorised by paragraphs 4 or 8, nor other flights which
are deemed necessary by States acting under the authorisation conferred in
paragraph 8 to be for the benefit of the Libyan people, and that these flights shall be
coordinated with any mechanism established under paragraph 8;
8. Authorizes Member States that have notified the Secretary-General and
the Secretary-General of the League of Arab States, acting nationally or through
regional organizations or arrangements, to take all necessary measures to enforce
compliance with the ban on flights imposed by paragraph 6 above, as necessary, and
requests the States concerned in cooperation with the League of Arab States to
coordinate closely with the Secretary General on the measures they are taking to
implement this ban, including by establishing an appropriate mechanism for
implementing the provisions of paragraphs 6 and 7 above,
9. Calls upon all Member States, acting nationally or through regional
organizations or arrangements, to provide assistance, including any necessary over-
flight approvals, for the purposes of implementing paragraphs 4, 6, 7 and 8 above;
S/RES/1973 (2011) S/RES/1973 (2011)
2 11-26839 11-26839 5
10. Requests the Member States concerned to coordinate closely with each
other and the Secretary-General on the measures they are taking to implement
S/RES/1973 (2011) S/RES/1973 (2011)
4 11-26839 11-26839 6
paragraphs 4, 6, 7 and 8 above, including practical measures for the monitoring and
approval of authorised humanitarian or evacuation flights;
11. Decides that the Member States concerned shall inform the Secretary-
General and the Secretary-General of the League of Arab States immediately of
measures taken in exercise of the authority conferred by paragraph 8 above,
including to supply a concept of operations;
12. Requests the Secretary-General to inform the Council immediately of any
actions taken by the Member States concerned in exercise of the authority conferred
by paragraph 8 above and to report to the Council within 7 days and every month
thereafter on the implementation of this resolution, including information on any
violations of the flight ban imposed by paragraph 6 above;
Enforcement of the arms embargo
13. Decides that paragraph 11 of resolution 1970 (2011) shall be replaced by
the following paragraph : “Calls upon all Member States, in particular States of the
region, acting nationally or through regional organisations or arrangements, in order
to ensure strict implementation of the arms embargo established by paragraphs 9 and
10 of resolution 1970 (2011), to inspect in their territory, including seaports and
airports, and on the high seas, vessels and aircraft bound to or from the Libyan Arab
Jamahiriya, if the State concerned has information that provides reasonable grounds
to believe that the cargo contains items the supply, sale, transfer or export of which
is prohibited by paragraphs 9 or 10 of resolution 1970 (2011) as modified by this
resolution, including the provision of armed mercenary personnel, calls upon all
flag States of such vessels and aircraft to cooperate with such inspections and
authorises Member States to use all measures commensurate to the specific
circumstances to carry out such inspections”;
14. Requests Member States which are taking action under paragraph 13
above on the high seas to coordinate closely with each other and the Secretary-
General and further requests the States concerned to inform the Secretary-General
and the Committee established pursuant to paragraph 24 of resolution 1970 (2011)
(“the Committee”) immediately of measures taken in the exercise of the authority
conferred by paragraph 13 above;
15. Requires any Member State whether acting nationally or through regional
organisations or arrangements, when it undertakes an inspection pursuant to
paragraph 13 above, to submit promptly an initial written report to the Committee
containing, in particular, explanation of the grounds for the inspection, the results of
such inspection, and whether or not cooperation was provided, and, if prohibited
items for transfer are found, further requires such Member States to submit to the
Committee, at a later stage, a subsequent written report containing relevant details
on the inspection, seizure, and disposal, and relevant details of the transfer,
including a description of the items, their origin and intended destination, if this
information is not in the initial report;
16. Deplores the continuing flows of mercenaries into the Libyan Arab
Jamahiriya and calls upon all Member States to comply strictly with their
obligations under paragraph 9 of resolution 1970 (2011) to prevent the provision of
armed mercenary personnel to the Libyan Arab Jamahiriya;
S/RES/1973 (2011) S/RES/1973 (2011)
4 11-26839 11-26839 7
Ban on flights
17. Decides that all States shall deny permission to any aircraft registered in
the Libyan Arab Jamahiriya or owned or operated by Libyan nationals or companies
to take off from, land in or overfly their territory unless the particular flight has
been approved in advance by the Committee, or in the case of an emergency
landing;
18. Decides that all States shall deny permission to any aircraft to take off
from, land in or overfly their territory, if they have information that provides
reasonable grounds to believe that the aircraft contains items the supply, sale,
transfer, or export of which is prohibited by paragraphs 9 and 10 of resolution 1970
(2011) as modified by this resolution, including the provision of armed mercenary
personnel, except in the case of an emergency landing;
Asset freeze
19. Decides that the asset freeze imposed by paragraph 17, 19, 20 and 21 of
resolution 1970 (2011) shall apply to all funds, other financial assets and economic
resources which are on their territories, which are owned or controlled, directly or
indirectly, by the Libyan authorities, as designated by the Committee, or by
individuals or entities acting on their behalf or at their direction, or by entities
owned or controlled by them, as designated by the Committee, and decides further
that all States shall ensure that any funds, financial assets or economic resources are
prevented from being made available by their nationals or by any individuals or
entities within their territories, to or for the benefit of the Libyan authorities, as
designated by the Committee, or individuals or entities acting on their behalf or at
their direction, or entities owned or controlled by them, as designated by the
Committee, and directs the Committee to designate such Libyan authorities,
individuals or entities within 30 days of the date of the adoption of this resolution
and as appropriate thereafter;
20. Affirms its determination to ensure that assets frozen pursuant to
paragraph 17 of resolution 1970 (2011) shall, at a later stage, as soon as possible be
made available to and for the benefit of the people of the Libyan Arab Jamahiriya;
21. Decides that all States shall require their nationals, persons subject to
their jurisdiction and firms incorporated in their territory or subject to their
jurisdiction to exercise vigilance when doing business with entities incorporated in
the Libyan Arab Jamahiriya or subject to its jurisdiction, and any individuals or
entities acting on their behalf or at their direction, and entities owned or controlled
by them, if the States have information that provides reasonable grounds to believe
that such business could contribute to violence and use of force against civilians;
Designations
22. Decides that the individuals listed in Annex I shall be subject to the
travel restrictions imposed in paragraphs 15 and 16 of resolution 1970 (2011), and
decides further that the individuals and entities listed in Annex II shall be subject to
the asset freeze imposed in paragraphs 17, 19, 20 and 21 of resolution 1970 (2011);
23. Decides that the measures specified in paragraphs 15, 16, 17, 19, 20 and
S/RES/1973 (2011) S/RES/1973 (2011)
4 11-26839 11-26839 8
21 of resolution 1970 (2011) shall apply also to individuals and entities determined
by the Council or the Committee to have violated the provisions of resolution 1970
S/RES/1973 (2011) S/RES/1973 (2011)
6 11-26839 11-26839 9
(2011), particularly paragraphs 9 and 10 thereof, or to have assisted others in doing
so;
Panel of Experts
24. Requests the Secretary-General to create for an initial period of one year,
in consultation with the Committee, a group of up to eight experts (“Panel of
Experts”), under the direction of the Committee to carry out the following tasks:
(a) Assist the Committee in carrying out its mandate as specified in
paragraph 24 of resolution 1970 (2011) and this resolution;
(b) Gather, examine and analyse information from States, relevant United
Nations bodies, regional organisations and other interested parties regarding the
implementation of the measures decided in resolution 1970 (2011) and this
resolution, in particular incidents of non-compliance;
(c) Make recommendations on actions the Council, or the Committee or
State, may consider to improve implementation of the relevant measures;
(d) Provide to the Council an interim report on its work no later than 90 days
after the Panel’s appointment, and a final report to the Council no later than 30 days
prior to the termination of its mandate with its findings and recommendations;
25. Urges all States, relevant United Nations bodies and other interested
parties, to cooperate fully with the Committee and the Panel of Experts, in particular
by supplying any information at their disposal on the implementation of the
measures decided in resolution 1970 (2011) and this resolution, in particular
incidents of non-compliance;
26. Decides that the mandate of the Committee as set out in paragraph 24 of
resolution 1970 (2011) shall also apply to the measures decided in this resolution;
27. Decides that all States, including the Libyan Arab Jamahiriya, shall take
the necessary measures to ensure that no claim shall lie at the instance of the Libyan
authorities, or of any person or body in the Libyan Arab Jamahiriya, or of any
person claiming through or for the benefit of any such person or body, in connection
with any contract or other transaction where its performance was affected by reason
of the measures taken by the Security Council in resolution 1970 (2011), this
resolution and related resolutions;
28. Reaffirms its intention to keep the actions of the Libyan authorities under
continuous review and underlines its readiness to review at any time the measures
imposed by this resolution and resolution 1970 (2011), including by strengthening,
suspending or lifting those measures, as appropriate, based on compliance by the
Libyan authorities with this resolution and resolution 1970 (2011).
29. Decides to remain actively seized of the matter.
S/RES/1973 (2011) S/RES/1973 (2011)
6 11-26839 11-26839 10
Libya: UNSCR proposed designations
Number Name Justification Identifiers
Annex I: Travel Ban
1 QUREN SALIH QUREN
AL QADHAFI
Libyan Ambassador to Chad. Has
left Chad for Sabha. Involved
directly in recruiting and
coordinating mercenaries for the
regime.
2 Colonel AMID HUSAIN
AL KUNI
Governor of Ghat (South Libya).
Directly involved in recruiting
mercenaries.
Number Name Justification Identifiers
Annex II: Asset Freeze
1 Dorda, Abu Zayd Umar Position: Director, External
Security Organisation
2 Jabir, Major General Abu
Bakr Yunis
Position: Defence Minister Title: Major General DOB: --/--/1952.
POB: Jalo, Libya
3 Matuq, Matuq
Mohammed
Position: Secretary for Utilities DOB: --/--/1956. POB: Khoms
4 Qadhafi, Mohammed
Muammar
Son of Muammar Qadhafi.
Closeness of association with
regime
DOB: --/--/1970. POB: Tripoli, Libya
5 Qadhafi, Saadi Commander Special Forces. Son
of Muammar Qadhafi. Closeness
of association with regime.
Command of military units
involved in repression of
demonstrations
DOB: 25/05/1973. POB: Tripoli, Libya
6 Qadhafi, Saif al-Arab Son of Muammar Qadhafi.
Closeness of association with
regime
DOB: --/--/1982. POB: Tripoli, Libya
7 Al-Senussi, Colonel
Abdullah
Position: Director Military
Intelligence
Title: Colonel DOB: --/--/1949.
POB: Sudan
Entities
S/RES/1973 (2011) S/RES/1973 (2011)
6 11-26839 11-26839 11
1 Central Bank of Libya Under control of Muammar
Qadhafi and his family, and
potential source of funding for
his regime.
S/RES/1973 (2011) S/RES/1973 (2011)
8 11-26839
Number Name Justification Identifiers
2
Libyan Investment
Authority
Under control of Muammar
Qadhafi and his family, and
potential source of funding for
his regime.
a.k.a: Libyan Arab Foreign Investment
Company (LAFICO) Address: 1 Fateh
Tower Office, No 99 22nd Floor,
Borgaida Street, Tripoli, Libya, 1103
3 Libyan Foreign Bank Under control of Muammar
Qadhafi and his family and a
potential source of funding for
his regime.
4 Libyan Africa
Investment Portfolio
Under control of Muammar
Qadhafi and his family, and
potential source of funding for
his regime.
Address: Jamahiriya Street, LAP
Building, PO Box 91330, Tripoli, Libya
5 Libyan National Oil
Corporation
Under control of Muammar
Qadhafi and his family, and
potential source of funding for
his regime.
Address: Bashir Saadwi Street, Tripoli,
Tarabulus, Libya