kebijakan outsourcing
DESCRIPTION
outsourcingTRANSCRIPT
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini masyarakat kapitalis umumnya ditandai oleh terciptanya polarisasi
sosial diantara para pemilik kapital dengan pekerja. (Revrisond Bawsir, 1999 : 4).
Kebebasan kaum kapitalis adalah kebebasan yang ditopang oleh penguasaan fakor-faktor
produksi, dengan faktor-faktor produksi kaum kapitalis memiliki kemampuan untuk
memanipulasi dan membeli kebebasan yang dimiliki komponen masyarakat lainnya.
Termasuk kebebasan yang dimiliki oleh para pejabat negara.
Kondisi dunia yang telah dihegemoni oleh kekuatan kapitalisme global
mencengkram seluruh sendi-sendi kehidupan. Dua sifat utama dari kapitalisme yaitu
eksploitatif dan ekspansif. Kedua wajah kapitalisme ini berjalan beriringan sehingga
pencapaian tujuan kapitalisme untuk meningkatkan akumulasi modal semakin masive.
Menurut Tabb dalam Susetiawan (2009 : 6), bahwa konstruksi kelembagaan untuk
mengatur tata dunia dilakukan melalui organisasi atau agen-agen internasional antara lain
WTO (World Trade Organization), GATT (General Agreement on Trade and Tariff), Bank
Dunia (World Bank), IMF (International Monetary Fund) dan berbagai lembaga lainnya.
Globalisasi memperluas pergerakan modal dan memberi tempat yang makin
penting bagi korporasi besar dunia (MNCs). Di Indonesia kita menyaksikan sebuah
pergeseran yang menandai makin kuatnya ekspansi kapitalis global. Hingga mencengkram
seluruh basis perekonomian nasional, dari perekonomian skala besar sampai perekonomian
rakyat kecil. Ekspansi besar-besaran perusahaan multi nasional disertai juga dengan
tuntutan mekanisme kerja baru yang memperkenalkan sistem hubungan kerja yang
fleksibel dalam bentuk outsourcing dan kerja kontrak.
Semua mekanisme kerja dimaksudkan untuk meraih keuntungan yang lebih besar
dengan mengurangi tanggung jawab pemilik modal atau pengusaha terhadap masa depan
pekerjaannya. Kata kunci yang selalu mereka ungkapkan yaitu efisiensi yang hampir
identik dengan kue keuntungan yang makin besar (Rekson Silaban, 2009:4).
Indonesia pasca reformasi setelah tumbangnya rezim diktator, terbukanya alam
kebebasan memberikan efek positif bagi setiap warga negara untuk berserikat dalam
organisasi-organisasi masyarakat. Begitu juga kelompok buruh semakin tergorganisir
dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Walaupun demikian belumlah selesai masalah
perburuhan dinegeri ini.
Outsourcing merupakan bentuk nyata dari prinsip fleksibelitas pasar kerja dan dapat
ditemukan dihampir seluruh bagian dalam rangkaian proses produksi (Rekson Silaban,
2009 : 71). Selain itu outsoursing juga didefinisikan sebagai pengalihan sebagian atau
seluruh pekerjaan dan atau wewenang kepada pihak lain guna mendukung strategi
pemakaian jasa outsourcing baik pribadi, perusahaan divisi atau pun sebuah unit dalam
perusahaan (Komang Priamda, 2008 : 12).
Outsourcing memiliki dua jenis pertama, outsourcing pekerjaan yang berkaitan
dengan pemborongan pekerjaan pada pihak lain, kedua, outsourcing manusia. Tipe
outsourcing yang kedua merupakan praktek yang memberikan efisiensi pada tingkat
tertentu dalam operasional bisnis, namun merugikan secara serius kepentingan buruh
dipihak lain. Praktek inilah yang ditentang oleh gerakan buruh di Indonesia khususnya.
Apalagi setelah disahkannya UU No. 13 Tahun 2003, praktek sistem kerja kontrak
merajarela bagaikan jamur di musim hujan. Nyaris semua perusahaan memberlakukannya
dalam bentuk kontrak kerja yang pendek dan outsourcing.
Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 adalah landasan hukum bagi perusahaan
outsourcing dan pengusaha berkonspirasi mempraktekkan outsourcing. Bunyinya sebagai
berikut : "Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa
pekerja atau buruh yang dibuat secara tertulis". Berdasarkan pasal inilah pemerintah telah
mengakui pemberlakuan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang dahulu kala merupakan
salah satu bentuk penjajahan koloni asing atas Indonesia di perusahaan-perusahaan
perkebunan yang ada di Indonesia.
Dari uraian diatas yang menjadi permasalahan utama paper ini yaitu bagaimana
mekanisme outsourcing menjadi sebuah sistem perburuhan yang mengingkari hak-hak
buruh, dengan persfektif teori alienasi dan nilai surplus Karl Marx. Dan menganalisis
keterkaitan hubungan perburuhan dalam sistem outsourcing, yaitu bagaimana posisi buruh,
perusahaan outsourcing dan perusahaan pengguna outsourcing. Selain itu akan ditampilkan
data-data gejolak-gejolak yang muncul dari sistem outsourcing.
PEMBAHASAN
A. DefinisiDalam era globalisasi dan tuntutan persaingan dunia usaha yang ketat saat ini, maka
perusahaan dituntut untuk berusaha meningkatkan kinerja usahanya melalui pengelolaan
organisasi yang efektif dan efisien. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan
mempekerjakan tenaga kerja seminimal mungkin untuk dapat memberi kontribusi
maksimal sesuai sasaran perusahaan. Untuk itu perusahaan berupaya fokus menangani
pekerjaan yang menjadi bisnis inti (core business), sedangkan pekerjaan penunjang
diserahkan kepada pihak lain. Proses kegiatan ini dikenal dengan istilah “outsourcing.”
(Sumber : http://ariswan.wordpress.com/2008/05/23/outsourcing-sebagai-solusi-dunia)
“Outsourcing is subcontracting a process, such as product design or manufacturing,
to a third-party company. The decision to outsource is often made in the interest of
lowering firm costs, redirecting or conserving energy directed at the competencies of a
particular business, or to make more efficient use of land, labor, capital, (information)
technology and resources. Outsourcing became part of the business lexicon during the
1980s.“ (Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Outsourcing)
Atau dengan kata lain outsourcing atau alih daya merupakan proses pemindahan
tanggung jawab tenaga kerja dari perusahaan induk ke perusahaan lain diluar perusahaan
induk. Perusahaan diluar perusahaan induk bisa berupa vendor, koperasi ataupun instansi
lain yang diatur dalam suatu kesepakatan tertentu. Outsourcing dalam regulasi
ketenagakerjaan bisa hanya mencakup tenaga kerja pada proses pendukung (non--core
business unit) atau secara praktek semua lini kerja bisa dialihkan sebagai unit outsourcing.
(Sumber : “Seputar Tentang Tenaga Outsourcing”, http://malangnet.wordpress.com)
Outsourcing menjadi masalah tersendiri bagi perusahaan khususnya bagi tenaga
kerja. Oleh sebab itu terdapat pro dan kontra terhadap penggunaan outsourcing, berikut
beberapa penjabarannya dalam tabel 1.
TABEL 1Pro – Kontra Penggunaan Outsourcing
PRO OUTSOURCING KONTRA OUTSOURCING
- Business owner bisa fokus pada core business.
- Cost reduction.
- Biaya investasi berubah menjadi biaya belanja.
- Tidak lagi dipusingkan dengan oleh turn over tenaga kerja.
- Bagian dari modenisasi dunia usaha (Sumber : Pekerjaan Waktu Tertentu dan “Outsourcing, www.sinarharapan.co.id)
- Ketidakpastian status ketenagakerjaan dan ancaman PHK bagi tenaga kerja. (Sumber: www.hukumonline.com)
- Perbedaan perlakuan Compensation and Benefit antara karyawan internal dengan karyawan outsource. (Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” http://recruitmentindonesia.wordpress.com)
- Career Path di outsourcing seringkali kurang terencana dan terarah. (Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” http://recruitmentindonesia.wordpress.com)
- Perusahaan pengguna jasa sangat mungkin memutuskan hubungan kerjasama dengan outsourcing provider dan mengakibatkan ketidakjelasan status kerja buruh. (Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” http://recruitmentindonesia.wordpress.com)
- Eksploitasi manusia (Sumber : Pekerjaan Waktu Tertentu dan “Outsourcing, www.sinarharapan.co.id)
(Informasi dari berbagai sumber hasil browsing di internet)
B. Masalah Umum Yang Terjadi Dalam Penggunaan Outsourcing
1. Penentuan partner outsourcing.
Hal ini menjadi sangat krusial karena partner outsourcing harus mengetahui apa
yang menjadi kebutuhan perusahaan serta menjaga hubungan baik dengan partner
outsourcing.
2. Perusahaan outsourcing harus berbadan hukum.
Hal ini bertujuan untuk melindungi hak-hak tenaga outsource, sehingga mereka
memiliki kepastian hukum.
3. Pelanggaran ketentuan outsourcing.
Demi mengurangi biaya produksi, perusahaan terkadang melanggar ketentuan-
ketentuan yang berlaku. Akibat yang terjadi adalah demonstrasi buruh yang
menuntut hak-haknya. Hal ini menjadi salah satu perhatian bagi investor asing
untuk mendirikan usaha di Indonesia.
4. Perusahan outsourcing memotong gaji tenaga kerja tanpa ada batasan sehingga,
yang mereka terima, berkurang lebih banyak. (Sumber: “Sistem Outsourcing
Banyak Disalahgunakan”, www.fpks-dpr.or.id)
C. Mekanisme Outsourcing Dalam Industri Di Indonesia.
Perkembangan kapitalisme di era modern telah mencapai pada puncaknya
menghegemoni dunia. Kondisi ini didukung oleh kemajuan teknologi informasi dan
transportasi yang berkembang cukup pesat. Batas-batas Negara menjadi tidak penting lagi,
hanya batas formalitas teritorial yang ada, tetapi tidak mampu membendung pernyebaran
ide-ide, inovasi, teknologi sehingga dunia menjadi sebuah kampung global. Menurut James
J (2003 : 174), globalisasi merupakan pengintegrasian internasional individu-individu
dengan jaringan-jaringan informasi serta institusi ekonomi, sosial, dan politik yang terjadi
secara cepat dan mendalam, dalam takaran yang belum dialami sejarah dunia sebelumnya.
Outsourcing merupakan turunan dari kapitalisme global. Dikatakan juga sebagai
anak kandung yang lahir dari rahim kapitalis, kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari sifat
dasar kapitalis yaitu eksploitatif dan ekspansif. Perusahaan-perusahaan transnasional dan
multi nasional, semakin kuat mengcengkram Negara-negara yang sedang berkembang.
Ekspansi dan eksploitasi yang besar-besaran dilakukan demi akumulasi modal. Sebagai
contoh perusahaan NIKE selama periode 1989-1994 membuka lokasi pabrik baru di Cina,
Indonesia dan Thailand dimana upah sangat rendah.
Ekspansi besar-besaran perusahaan transnasional diiringi juga dengan model dan
format kerja yang mereka persiapkan (outsourcing), untuk diterapkan di wilayah
pengembangan perusahaan. Ini merupakan implementasi dari ciri globalisasi dimana
perusahaan transnasional melakukan peningkatan konsentrasi dan monopoli berbagai
sumberdaya dan kekuatan ekonomi (Martin Khor, 2001 : 12). Karena itu globalisasi adalah
proses yang tidak adil dengan distribusi-distribusi keuntungan maupun kerugian yang juga
tidak seimbang.
Dari penjelasan diatas dapat diasumsikan bahwa perkembangan outsourcing di
Indonesai sebagai salah satu negara berkembang merupakan imbas dari hegemoni kapitalis.
Outsourcing di Indonesia sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1980-an, model kerja ini
disahkan keberlakuannya melalui keputusan Menteri Perdagangan RI No. 264/KP/1989
Tentang Pekerjaan Sub-kontrak Perusahaan Pengelola di Kawasan Berikat.
Industri awal yang bersentuhan dengan outsource adalah industri perminyakan.
Bahan bakar yang dimanfaakan oleh konsumen akhir, mengalami proses panjang dan
melalui berbagai perusahaan outsourcing. Dimulai dari pemilik konsesi lahan, eksplorasi
hingga produksi, transportasi, semuanya dilakukan oleh perusahaan yang berbeda (Komang
Priambada, 2008 : 21).
Dewasa ini hampir seluruh industri baik kecil maupun skala besar yang dimiliki
oleh para kapitalis melalukan praktek outsourcing. Ada beberapa alasan industri melakukan
outsourcing yaitu pertama, efisiensi kerja dimana perusahaan produksi dapat melimpahkan
kerja-kerja operasional kepada perusahaan outsourcing; kedua, resiko operasional
perusahaan dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Sehingga pemanfaatan faktor produksi
bisa dimaksimalkan dengan menekan resiko sekecil mungkin; ketiga, sumber daya
perusahaan yang ada dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan lain yang lebih fokus dalam
meningkatkan produksi; keempat, mengurangi biaya pengeluaran (capital expenditure)
karena dana yang sebelumnya untuk investasi dapat digunakan untuk biaya operasional;
kelima perusahaan dapat mempekerjakan tenaga kerja yang terampil dan murah; keenam,
mekanisme kontrol terhadap buruh menjadi lebih baik.
Pengesahan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, merupakan
landasan hukum bagi pelegalan sistem outsourcing yang menguntungkan pihak penguasa
modal dan sebaliknya merugikan kaum buruh. Berbagai aksi protes menentang sistem
outsourcing merupakan salah satu bentuk dari resistensi terhadap kepitalisme. Dalam
persfektif buruh, outsorcing menjadi sebuah batu penghalang bagi peningkatan kelayakan
hidup bagi mereka. Upah yang murah, tidak adanya jaminan sosial dan lain sebagainya
adalah indikasi dari pengingkaran kapitalisme terhadap hak-hak buruh yang mencederai
human rigth.
Untuk mempertegas mengenai mekanisme tersebut berikut uraian mengenai
hubungan buruh dan kedudukan buruh dalam model kerja outsourcing :
a. Hubungan Buruh
Hubungan industrial di Indonesia sepanjang perjalanannya sering menunjukkan
bahwa buruh ditempatkan sebagai faktor produksi mirip sebagai faktor produksi yang
dikonstruksikan Karl Marx. Outsourcing didefinisikan sebagai model kerja yang
menambahkan unsur 'pelaksana perkerjaan' diantara relasi buruh dan modal (Rita Olivia,
2008 : 9). Kondisi tersebut menjadikan hubungan perburuhan semakin kabur, dan
memperlemah bergaining position buruh terhadap pemilik modal.
Dalam model kerja outsourcing adanya pergeseran ruang lingkup hubungan
industrial. Awalnya yang terkenal dengan istilah tripartit atau hubungan antara buruh,
pengusaha dan pemerintah (Susetiawan, 2000:173). Dalam model outsourcing menjadi
empat lingkaran hubungan yaitu buruh, perantara atau broker (perusahaan oustsourcing),
perusahaan inti (pemilik modal) dan pemerintah. Outsourcing sebagai sebuah model
perburuhan baru, melalui beberapa tahapan dalam perekrutan. Ketersediaan tenaga kerja
yang tinggi di pasar tenaga kerja mengakibatkan turunnya harga buruh. Menurut Marx
tersedianya tentara-tentara cadangan yang banyak mengakibatkan terjadinya penindasan
terhadap hak-hak buruh. Eksploitasi, PHK dan lain sebagainya diputuskan secara sepihak
oleh pemilik modal.
Hubungan industrial dalam model kerja outsourcing, menjadikan buruh tidak
mempunyai kejelasan dalam hubungan, berimbas pada tidak jelasnya posisi buruh
bagaimana mereka menuntut hak-haknya. Buruh dituntut untuk memenuhi persyaratan
dalam outsourcing, jam kerja yang padat, upah yang tidak seimbang, tidak adanya
kesempatan untuk bergabung dalam organisasi buruh, karena waktu yang habis dalam
kontrak kerja. Pelanggaran terhadap perjanjian akan langsung berakibat pada
pemberhantian secara langsung oleh manajemen perusahaan outsourcing. Dan digantikan
oleh tenaga-tenaga outsourcing lainnya sebagai tentara-tentara cadangan.
Kondisi ini membebaskan industri-industri pengguna dari kewajiban-kewajiban
terhadap buruh kecuali hanya memberikan upah dari kerja buruh. Menurut Komang
Priambada (2008 : 31), pihak pengusaha berpendapat bahwa "Dari mana pekerja itu
direkrut, bagaimana datangnya dan lain-lain adalah bukan urusan kita sebagai pemakai".
Inilah satu kondisi yang memperlihatkan bahwa pekerja adalah barang dagangan dan
outsourcing tidak lain hanyalah triffiking yang dilegalkan.
Hubungan yang terjadi antara buruh dengan perusahaan outsourcing dan
perusahaan pengguna (pemilik modal), adalah hubungan ketergantungan. Tentunya tipe
ketergantungan (dependensi) yang terjadi yaitu ketergantungan yang tidak seimbang. Eggi
Sudjana (2001 : 27), menjelaskan bahwa kekuasaan yang menumpuk di tangan kelompok
pemberi upah atau borjuis dalam mengelola dan menguasai sumber-sumber daya yang
terbatas. Sehingga dalam prakteknya hubungan ketergantungan ini berjalan dengan berat
sebelah, karena prinsip para kapitalis yaitu memaksimalkan keuntungan yang menekankan
pada efisiensi dan produktivitas, sehingga buruh sering dieksploitasi.
Hubungan peruburuhan dalam sistem oousourcing sebagimana yang telah
disebutkan diatas sangat merugikan kaum buruh. Penolakan dan terjadinya konflik
perbruhan merupakan sebauh kegagalan poduk hukum dalam menampung dan
mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada mereka. Terjadilah hubungan yang tidak
sehat disatu sisi pengusaha diuntungkan dan dilain sisi buruh dirugikan. Inilah gambaran
hubungan buruh dalam sistem outsourcing.
b. Kedudukan Buruh
Buruh dalam model kerja outsourcing menjadi sosok barang yang diperjualbelikan
dengan harga murah, tidak harus menunggu rongsok dan bisa langsung mengganti dengan
barang yang lain, dengan kualitas yang lebih bagus dan harga yang murah. Buruh adalah
alat atau faktor produksi setelah modal, signifikannya peran buruh sehingga ketidakhadiran
buruh, berakibat pada tidak akan tercipta akumulasi modal (capital). Idealnya buruh
ditempatkan ditempat yang layak dan dihargai dengan nilai yang tinggi, kerena merakalah
yang turut langsung menciptakan produk yang akan dikonsumsi konsumen.
Kenyataannya bahwa buruh selalu dikebiri disubordinatkan dan gerakan-
gerakannya selalu dilemahkan, karena dianggap akan membahayakan pemilik modal.
Inilah wajah kapitaslime, wajah penindasan terhadap hak-hak buruh. Outsourcing adalah
model kerja yang mencederai makna HAM dan Demokrasi. Celia Mather, (2008 : 28)
mengungkapkan bahwa outsourcing mengakibatkan tiga masalah utama yaitu pertama,
tersingkirnya buruh dari meja atau kesepakatan negosiasi; kedua, tidak adanya tanggung
jawab hukum perusahaan terhadap buruh; ketiga berkurangnya buruh tetap sehingga semua
buruh masuk kedalam outsourcing, kondisi buruh dalam ketidakpastian. Menurut Celia
Mather (2008 : 37), perusahaan inti melalui kontrator penyedia jasa memberikan upah yang
jauh lebih rendah daripada buruh tetap, mereka terhindar dari penyediaan tunjangan-
tunjangan seperti pensiun, asuransi kesehatan, kematian atau kecelakaan, sakit dibayar, cuti
dibayar, tunjangan melahirkan. Berikut dalam Tabel 1 Gambaran perbandingan hak buruh
tetap (Permanent), dan buruh kontrak (Outsorcing) :
Tabel. 1
Gambaran Perbandingan Hak Buruh Tetap (Permanent)
dan Buruh Kontrak (Outsorcing)
Hak-hak Buruh Buruh Tetap Buruh Kontrak
Upah Pokok (UP) Minimal UMK
Tunjangan Masa Kerja
(TMK)
UP=UMK+TMK
Hanya UMK
Premi kehadiran Dapat Tidak dapat
Tunjangan Jabatan Pada posisi tertentu ada Tidak dapat
Jaminan Sosial
Tenaga Kerja
Dapat Tidak dapat
Jaminan Kecelakaan
Kerja
Jaminan Kematian
Jaminan Hari Tua
Jaminan Kesehatan
(Bagi buruh dan
Keluarga)
Uang Makan dan
Transport
Dapat Tidak dapat (Termasuk di
dalam upah pokok)
Hak Cuti:
Tahunan, Haid, dan
cuti hamil
Dapat, untuk buruh
perempuan yang hamil
mendapat cuti 3 bulan
dengan dibayar
upahnya
Tidak dapat, buruh
perempuan ketika hamil
diputus kontraknya.
Tunjangan Hari Raya Dapat Tidak Dapat
Pesangon Dapat (dilindungi oleh
Undang-Undang)
Tidak Dapat
Kebebasan berserikat Ada dan dapat
dijalankan
Buruh takut berserikat
karena langsung dapat
diputus hubungan kerjanya
Perjanjian Kerja atau
Kesepakatan Kerja
Kolektif melalui PKB Individu yang ditandatangani
di awal
Sumber : Position paper KBC (Komite Buruh Cisadane), April 2004, hasil pendataan terhadap 150 perusahaan di
Tangerang 2003-2004.
Keberadaan buruh berstatus outsorcing pada gilirannya akan melemahkan perjuangan
kolektif buruh melalui serikat buruh, sebagai elemen pemaksa bagi terpenuhinya hak-hak buruh.
Sebab, buruh outsourcing bergerak sebagai individu yang mengadakan hubungan kerja dengan
perusahaan secara langsung, atau buruh yang disalurkan oleh lembaga outsourcing (jasa penyalur
tenaga kerja), kepada perusahaan, para pihak yang terlibat dalam perjanjian dalam hal ini adalah
jasa penyalur tenaga kerja dan perusahaan, sementara buruh outsorcing sendiri berada di bawah
kendali jasa penyalur.
B. Indikasi Pengingkaran Hak-Hak Buruh Dalam Sistem Outsourcing
Pengingkaran hak-hak buruh dalam model kerja outsourcing, sebagian telah
dijelaskan dalam pembahasan terdahulu. Indikasi pelanggaran kapitalis (pemilik modal)
dapat dilihat dari laporan Organisai Nirlaba "Global Alliance for Workers and
Communities" mengenai kondisi kerja di sembilan Perusahaan NIKE. Hasil laporan dari
wawancara dengan 4.450 buruh, bahwa terjadi penyiksaan dan perlakuan tidak sewajarnya
oleh pekerja kontrak (outsourcing), sejumlah 30 persen buruh mengaku pernah melihat
atau mengalami pelecehan atau penyiksaan baik secara verbal maupun fisik, termasuk
pelecehan seksual (Sri Haryani, 2002 : 45). Laporan tersebut merupakan sebagian kecil
dari gambaran bagaimana kondisi buruh dalam sistem outsouring. Untuk memperjelas
mengenai indikasi tersebut disini akan digunakan persfektif alienasi dan nilai surplus Karl
Marx.
1. Alienasi Buruh Dalam Sistem Outsourcing
Manusia merupakan mahluk produktif yang mampu menggunakan
seperangkat kemampuannya untuk bekerja. Kerja adalah sebuah proses dimana
manusia dan alam terlibat dalam sebuah kegiatan produktif. Manusia mempunyai
kemampauan untuk mengatur, memulai, dan mengontrol reakasi-reaksi material
antara dirinya dan alam.
Marx dalam teori alienasi mengungkapkan empat bentuk alienasi, dalam
menganalisis buruh dan perkembangan buruh pada masa kapitalisme awal.
Perkembangan kapitalisme dan juga perangkat-perangkat pendukungnya semakin
menguatkan eksploitasi dan ekspansi. Buruh outsourcing baik secara struktural
maupun fungsional teralienasi. Sistem outsourcing yang melibatkan broker sebagai
pihak perantara penyedia buruh, dan juga perusahaan inti yang memanfaatkan
buruh telah melakukan praktek alienasi yang tidak bisa ditolerir. Praktik ini
sesungguhnya mirip "jual beli manusia" (human trafficking) yang dilegalisasi oleh
negara.
Beberapa indikator dari alienasi buruh dalam sistem kerja outsourcing yaitu,
pertama; buruh kehilangan kesempatan untuk menyalurkan dan mengontrol sendiri
hasilnya kerjanya. Dalam bahasa Marx, buruh teralienasi dari aktivitas produktif,
dalam pengertian bahwa buruh tidak bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka,
melainkan mereka bekerja untuk kapitalis (Ritzer, 2008 : 56)
Buruh dicetak dan dibentuk seperti mesin yang bekerja untuk pemilik
mesin. Buruh kehilangan kreativitas dan kemampuan dasarnya sebagai mahluk
produktif untuk mencukupi kebutuhan sendiri. Mereka telah kehilangan hak-hak
untuk menciptakan produk sesuai dengan keinginan dan untuk kebutuhan mereka
sendiri. Outsourcing melanggengkan perangkap terhadap buruh yang sudah lama
terbentuk. Kondisi ini juga didukung dengan kuatnya penguasaan broker dan
perusahaan inti terhadap buruh. Senada dengan gambaran diatas dalam kongres
ICEM menyatakan bahwa kami memandang outsourcing sebagai bentuk dari
perbudakan dan ketidakadilan bagi kemanusiaan (Celia Mather, 2008 : 39).
Kedua, buruh teralienasi dari produk hasil kerja mereka. Buruh tidak
memiliki hak untuk memiliki produk hasil produksi mereka, karena produk tersebut
hak milik kapitalis. Asumsi ini masih dalam satu rangkaian dengan tipe aleinasi
yang pertama. Buruh diposisikan sebagai faktor produksi yang memproduksi
barang untuk kepentingan kapitali dan akan mereka jual dipasar. Sebagai contoh
buruh outsourcing di perusahan Nike, tidak dapat serta merta dapat memiliki hasil
dari kerjanya. Meraka bisa memiliknya ketika mereka membeli produk itu dipasar
tetapi harganya tidak bakanlan terjangkau oleh mereka.
Ketiga, buruh teralienasi dari sesama pekerja. Fenomena ini sebenarnya
telah lama terjadi, tetapi dalam kasus kerja outsourcing ada varian lain, tidak seperti
yang ditemukan pada kapitalisme awal, dimana hubungan buruh hanya antara kelas
borjuis dan proletar (buruh). Keterasingan pekerja sesama pekerja outsourcing
mencapai pada puncaknya, mereka menjadi aktor yang harus loyal karena
perjanjian outsourcing telah mereka sepakati. Persyarakatan yang memberatkan
pihak buruh sehingga pelanggaran terhadap perjanjian akan mengakibatkan
pemecatan. Struktur yang dibangun benar-benar menjadi kekautan yang
menghegemoni buruh untuk tunduk. Sehingga berimplikasi mereka tidak tidak
dapat berinteraksi dengan buruh-buruh yang lain. Selain itu ada juga kecenderungan
buruh outsourcing tidak dapat masuk kedalam serikat-serikat buruh karena waktu
kontrak yang terbatas, dan terjadi hambatan untuk merekrut buruh kedalam serikat
buruh yang akan memperjaungkan hak-hak dasar mereka.
Keempat, buruh tealienasi dari kemanusiaan mereka sendiri, hal ini
dikarenakan kerja tidak lagi menjadi transformasi dan pemenuhan sifat dasar
manusia. Kondisi ini juga terjadi dalam sistem kerja outsourcing, regulasi-regulasi
yang cukup kuat mencengkram buruh menjadikan buruh tidak merdeka
sepenuhnya. Buruh hanya menerima gaji yang minimum dengan pengerukan tenaga
dan usaha yang maksimum. Outsourcing atau kerja kontrak memposisikan buruh
dalam keadaan yang sangat sulit, tidak mempunyai posisi tawar yang memadai,
sehingga penindasan terhadap hak-hak buruh menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam sistem tersebut.
2. Nilai Surplus Dalam Sistem outsourcing
Buruh outsoursing sangat rentan dengan eksploitasi secara besar-besaran
oleh pemilik modal atau kapitalisme. Sistem outsourcing mengakibatkan buruh
bena-benar berada pada titik kulminasi, tidak mampu berbuat apapun demikian juga
untuk membela hak-haknya. Penerapan outsourcing yang dilegalkan dengan adanya
undang-udang memberikan landasan hukum dibolehkannya praktek pengingkaran
terhadap hak-hak buruh oleh negara.
Kerja buruh seharusnya di nilai dengan harga dan bayaran yang seimbang.
Idealnya begitu yang diharapkan oleh buruh baik secara personal maupun dalam
gerakan kolektif srikat buruh. Tuntutan akan pemenuhan hak-hak dasar menjadi
agenda utama dalam setiap aksi-aksi serikat buruh. Walaupun demikian tuntutan itu
belum terwujud hingga saat ini.
Salah satu tujuan outsourcing yaitu untuk efisiensi dan mengurangi biaya
produksi. Nilai surplus merupakan keuntungan yang telah dipersiapkan atau sudah
direkayasa dalam sistem outsouricing melalui perjanjian kerja. Ada kepentingan
pemilik modal yang mendominasi dalam mekanisme tersebut. Menarik lebih jauh
bahwa dibalik semua proses ini adalah wujud dari ketergantungan negara
berkembang (satelit) terhadap negara maju (metropolis). Menurut Frank kapitalisme
pada dasarnya ingin mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, kaum kapitalisme
dinegara-negara metropolis bekerjasama dengan pejabat pemerintah negara satelit.
Akibat dari kerjasama antara modal asing dan pemerintah muncullah kebijakan-
kebijakan pemerintah yang menguntungakan modal asing dan borjuasi lokal dengan
mengorbankan kepentingan rakyat banyak negara tersebut (Arief Budiman, 2000 :
66).
Nilai surplus yang diungkapkan Marx, mengasumsikan bahwa buruh berada
pada posisi yang dikeruk dan dieksploitasi secara maksimal oleh kapitalis. Buruh di
ingkari haknya, dijadikan mesin yang bekerja patuh dengan batas waktu yang tidak
tidak ditentukan. Sebagai contoh dalam waktu enam jam seorang buruh sudah
selesai dan mampu untuk melaksankan kewajiban dasar kerja mereka, tetapi lebih
dari waktunya masih diperas oleh kapitalisme untuk keuntungan mereka, inilah
bentuk dari nilai surplus. Marx menyebut rasio antara kerja yang diperlukan dan
kerja suplus sebagai tingkat nilai surplus atau tingkat pemerasan (Anthony Giddens,
2007 : 61).
Sistem outsourcing merupakan bentuk dari pemerasan terhadap nilai surplus
yang dihasilkan buruh. Pada masa kolonial pengambilan nilai surplus dilakukan
dengan perburuhan yang tidak manusiawi melalui kerja paksa, misal sistem pajak
dan penanaman tanaman wajib bagi para petani, sehingga eksploitasi massal terjadi
di berbagai tempat dan kapasitas.
Pada era ini negara memberikan kelonggaran kepada pihak kapitalis untuk
melanggengkan usahanya dengan sistem outsourcing yang dilindungi oleh undang-
undang. Lalu dimanakah peran negara dalam melindungi hak-hak buruh ini menjadi
permasalahan lain lagi dalam bingkai permasalahan perburuhan yang cukup luas.
Inilah yang selalu diperjuangkan oleh serikat-serikat buruh agak keadilan negara
didalam memberikan perlindungan dan memberikan hak-hak rakyat tercapai.
Dalam banyak kasus, kesempatan penulis wawancara dengan salah satu
buruh outsouring perusahaan Transnasional Philips di Batam. Informan merupakan
salah satu supervisor di perushaan tersebut, menurut dia bahwa mereka bekerja
dibawah tekanan, dimana tergetan-targetan harus dicapai secara maksimal. Ketika
tergetan tersebut belum tercapai maka dalam waktu 24 jam mereka harus lembur
untuk memproduksi barang yang di tergetkan tersebut, hari liburpun mereka tetap
masuk. dan bahkan ketika tergetan tersebut tercapai, saat pesanan atau order untuk
penjulan dipasar meningkat maka targetan-targetan tersebut semakin di persempit
dalam artian mereka harus menyelesaiakan tergartan dalam jangka waktu yang
lebih sedikit, kemudian lebih waktu tersebut di kuras lagi untuk mengerjakan
targetan yang berikutnya. Kerja seperti ini sudah menjadi rutinitas yang kami
lakukan, protes-protes tidak pernah dilakukan oleh karyawan disini (Informan
Buruh Outsourcing PT. Philips di Batam)
Inilah gambaran dari banyak kasus yang menimpa buruh, mereka dalam
ketidakberdayaan, kerja dalam tekanan dan kepatuhan yang luar biasa sehingga
kesadaran kelas sulit untuk tumbuh, hal ini karena mereka tidak mempunyai waktu
yang cukup untuk berinterkasi sesama pekerja apalagi dengan serikat-serikat buruh.
Sistem outsoursing adalah modela rekayasa kerja yang paling menguntungkan
pihak kapitalisme. Nilai surplus merupakan salah satu dari banyak keuntungan yang
diambil oleh pihak kapitalisme, melalui perusahaan-perusahaan mereka yang telah
mennyebar dan menjalar keseluruh negara khususnya negara-negara berkembang,
yang sekaligus dijadikan pasar, dan akumulasi modal mengalir keluar yaitu kepihak
kapitalis.
Hal ini senada dengan pendapat Paul Baran, bahwa munculnya kekuatan
ekonomi asing dalam bentuk modal kuat dari dunia barat ke negara-negara dunia
ketiga, membuat surplus yang terjadi disana, diambil alih oleh kaum pendatang,
melalui berbagai macam cara. Maka yang terjadi di negara-negara pinggiran
bukanlah akumulasi modal melainkan penyusutan modal (Arief Budiman, 2000 :
58).
C. Contoh kasus outsourcing di perusahaan
Salah Satu Contoh Kasus Outsoucing di indonesia adalah sebagai berikut:
Di JICT, Jangan Ada Pekerja “Outsourcing”
Rabu, 21 April 2010 | 20:43 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Manajemen Jakarta International Container
Terminal (JICT) diminta segera menyelesaikan nasib ribuan karyawan outsourcing di
terminalnya yang sampai sekarang masih terkatung-katung untuk mencegah hal-hal yang
tidak diinginkan.
“Sistem outsourcing harus segera dihapus karena akan berdampak pada
implementasi International Ships and Port Security (ISPS) Code di Pelabuhan Tanjung
Priok. Pekerja outsourcing harus diangkat sebagai karyawan organik,” kata Koordinator
International Transport Worker’s Federation (ITF) di Indonesia, Hanafi Rustandi, dalam
siaran persnya di Jakarta, Rabu (21/4/2010).
Dikatakannya, ITF sangat prihatin dengan sikap manajemen JICT yang tidak peduli
dengan nasib pekerja dengan mengabaikan nota pemeriksaan dari Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) yang merekomendasikan agar para pekerja
outsourcing diangkat menjadi karyawan tetap.
Menurut Hanafi, untuk menyelesaikan tuntutan pekerja tersebut, Kemenakertrans
pada 31 Maret 2010 telah mengirim surat kepada manajemen JICT. Intinya, JICT diminta
melaksanakan UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan mengangkat pekerja
outsourcing menjadi karyawan organik. “Namun hingga saat ini permintaan
Kemenakertrans tersebut tidak digubris,” katanya.
Kasus ini mencuat setelah ribuan pekerja outsourcing di pelabuhan/terminal
petikemas itu menuntut diangkat menjadi karyawan tetap. Kontrak kerja outsourcing
ditandatangani oleh manajemen JICT dengan beberapa vendor, yakni PT Philia Mandiri
Sejahtera, Koperasi Pegawai Maritim, dan Koperasi Karyawan JICT.
Mereka antara lain bekerja sebagai operator rubber tired gantry crane, head truck,
quay crane, radio officer, dan maintenance. “Pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan inti
yang terkait langsung dalam proses produksi dan berada di lini satu pelabuhan/terminal peti
kemas,” kata Hanafi yang juga Presiden Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI).
Mereka rata-rata telah bekerja 20 tahun, namun statusnya tidak berubah. Gajinya
yang hanya Rp 1,3 juta per bulan, atau 15 persen dari gaji karyawan organik JICT. Kondisi
itu dinilai sebagai diskriminasi upah.
Akibat tuntutan tersebut, sekitar 300 pekerja outsourcing terkena PHK. Mereka
kemudian melakukan aksi mogok pada 1 Februari 2010 yang sempat melumpuhkan
kegiatan ekspor/impor di Pelabuhan Tanjung Priok. Unjuk rasa kemudian dilanjutkan di
Kemenakertrans, Kementerian Perhubungan dan BUMN. Namun hingga kini nasib pekerja
masih terkatung-katung.
Hanafi Rustandi yang juga Ketua ITF Asia Pasifik mengingatkan, mempekerjakan
karyawan dengan sistem outsourcing bertentangan dengan implementasi ISPS Code yang
harus dilaksanakan JICT.
Menurut Hanafi, ketentuan ISPS Code menyebutkan, area lini satu atau kegiatan
yang langsung berhubungan dengan proses ekspor/impor barang, dan loading/discharging
container, merupakan area tertutup yang tidak boleh dimasuki orang yang bukan pekerja
organik. “Jika, di area ini orang bebas masuk, termasuk pekerja outsourcing, validitas
keamanan pelabuhan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.
Untuk memenuhi implementasi ISPS Code sesuai aturan internasional, manajemen
JICT hendaknya menghapus sistem outsourcing dan mengangkat mereka sebagai karyawan
organik. Mereka juga wajib mendapat pengupahan sesuai standar hidup yang layak, untuk
mencegah terjadinya gejolak atau pemogokan yang bisa mengancam kegiatan di
pelabuhan.
Hasil Analisa dari kasus diatas adalah sebagai berikut:
Memang miris sekali mendengar dan melihat dikoran, ditelevisi yang menayangkan
tentang para pekerja keras yang hanya dipandang sebelah mata oleh pihak-pihak yang ingin
mengambil dan mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa melihat atau malah
menyadari bahwa dibelakang usahanya atau perusahaannya itu terdapat puluhan, ratusan,
bahkan ribuan pekerja kerjas (Outsoourcing) yang tak tentu hidupnya, mulai dari biaya,
jaminan entah itu jaminan kesehatan, dan para pekerja itu juga harus memikirkan nanti,
besok, atau lusa mereka akan diberhentikan dan harus mencari pekerjaan lagi untuk
sekedar menafkahi kehidupan sehari-hari keluarganya. Tidak ada yang beda antara para
pekerja laki-laki dan perempuan, mereka-mereka yang mempekerjakan para outsourcing
ini mencari sesuatu yang murah, tapi dilain sisi haruslah mempunyai sebuah kualitas dalam
bekerja, dan dengan upah yang minim tentu itu tidak adil untuk sebuah pekerjaan. Tapi
itulah kenyataan yang ada di Indonesia sekarang ini, seperti yang tertera dalam kasus
diatas. Kasus diatas merupakan salah satu dari kasus outsourcing yang terjadi di Indonesia,
dan masih banyak lagi kasus-kasus lain yang bahkan lebih parah dari kasus diatas.
Sekarang bisa dikatakan sedang tren-trennya tentang pegawai outsourcing yang ada
di Indonesia ini. kenapa? Karena bayak sekali para masyarakat yang berbondong-bondong
untuk ikut menjadi para pekerja outsourcing ini, katakanlah dalam dunia hiburan. Para
stasiun televisi sekarang menggunakan para pekerja outsourcing untuk mendongkrak
program hiburan misalnya saja hiburan tentang musik, komedi dan lain sebagainya yang itu
membutuhkan para pekerja outsourcing agar hiburannya itu laris katakanlah seperti itu.
Upah yang diberikan memang tidak begitu banyak, tetapi kebanyakan dari para pekerja
outsourcing dalam hal dunia hiburan ini semata-mata untuk kesenangan dan upah itu hanya
sekedar digunakan untuk uang “jajan”. Mereka-mereka yang direkrut untuk menjadi
pekerja outsourcing dalam dunia hiburan haruslah mempunyai kriteria tertentu, misalnya
haruslah muda, cantik, tampan, dan lain sebagainya. Tetapi kita lihat kembali kasus diatas,
mereka yang rata-rata telah bekerja selama kurang lebih 20 tahun, dengan upah yang tetap,
tanpa biaya dan jaminan kesehatan apa itu adil untuk mereka yang sudah berumah tangga
dan harus menafkahi keluarga yang ada dirumah mereka? Jelas dan tentu itu tidak adil
untuk para pekerja outsourcing tersebut. Para pekerja outsourcing itu yang bekerja keras
kemudian menuntut upah dan ingin diangkat menjadi karyawan tetap hanyalah sia-sia dan
tak didengar oleh perusahaan, malah perusahaan itu memecat sekitar 300 pekerja
outsourcing itu. Bekerja selama 20 tahun itu tidaklah sebentar, bayangkan selama 20 tahun
mereka bekerja dengan upah yang sama, bekerja sekuat tenaga meningkatkan perusahaan
menjadi perusahaan andalan adalah sesuatu yang sulit dan itu hanya dibayar secuil persen
saja dari kuntungan perusahaan. Pekerja outsourcing yang bekerja di inti yang terkait
langsung dalam proses produksi dan berada di lini satu pelabuhan atau terminal peti kemas
tetap dipandang sebelah mata, didiskriminasi dengan karyawan tetap disana. Dengan para
pendemo yang berjumlah ribuan itu perusahaan tetap tutup telinga untuk sekedar
mendengar aspirasi para pekerja outsourcing tersebut. “jika kamu tidak puas dengan
perjanjian atau upah yang kami berikan, silakan keluar dari sekarang, masih banyak para
pekerja yang membutuhkan pekerjaan diluar sana”, kata-kata seperti itu yang sering
digunakan oleh para jasa pekerja outsourcing. Dengan kata lain, para pekerja outsourcing
ini tutup mulut dan menerima dengan lapangan dada pekerjaan yang akan diterimanya
nanti. Walau dengan upah yang minim, tanpa jaminan sosial maupun kesehatan, mereka
akan menerimanya karna hanya itulah jalan untuk mendapat pekerjaan bagi para pekerja
outsourcing ini yang juga minim akan pendidikan.
Jika bicara solusi atau jalan keluar untuk masalah outsourcing ini, bisa dikatakan
cukup rumit. Karena memang sejak awal para pekerja outsourcing ini sudah melakukan
perjaanjian dengan para penyedia jasa, dan tertera tanda tangan dan itu sebagai bukti
bahwa mereka itu telah sepakat dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, dan jika
nantinya mereka ingin upah yang katakanlah ditingkatkan, ada jaminan sosial dan
kesehatan, bukti tanda tangan yang sah para pekerja ouusourcing cukup diperlihatkan
bahwa tuntutan para pekerja outsourcing ini tidak sesuai dengan persyaratan sejak awal.
Hanya perusahaan yang yang katakanlah benar-benar mempunyai hati nuranilah yang
mendengar dan menghargai sekaligus mengabulkan tuntutan para pekerja outsourcing ini.
Tapi inilah sebuah bisnis, tak ada perusahaan yang ingin rugi apalagi bangkrut hanya
karena masalah para pekerja outsourcing yang setiap saat dapat diganti jika para pekerja
outsourcing ini tidak puas, misalnya upah yang diberikan, dan lain sebagainya. Perusahaan
hanya menginginkan keuntungan dan laba yang sebesar-besarnya dan terus memperluas
agar dapat menguasai pasar dunia.
Demikian analisis mengenai salah kasus outsourcing yang terjadi di Indonesia.
Kesimpulan
Outsourcing merupakan perkembangan dari mekanisme perburuhan di era modern.
Sistem kerja tersebut merupakan penjelmaan dari sifat kapitalisme yaitu ekspansif dan
eksploitatif yang telah menghegemoni negara-nagara berkembang. Model kerja
outsourcing merupakan pencederaan dan pengabaian terhadap hak-hak dasar buruh, oleh
pihak kapitalis. Disyahkannya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, yang memperbolehkan makanisme kerja outsourcing, merupakan
landasan hukum formal bagi penindasan dan penghisapan hak-hak buruh. Selain itu sistem
tersebut sesungguhnya mirip "jual beli manusia" (human trafficking) yang dilegalisasi oleh
negara.
Ada beberapa indikator yang ditemui dalam sistem kerja outsourcing
Model kerja outsoursing sebagai anak kandung dari kapitalis, sebagai wujud
dari pengingkaran terhadap hak-hak buruh.
Model kerja tersebut mengabaikan hak-hak buruh, dalam hubungan,
kedudukan, terjadi alienasi dan pengurusan buruh (nilai surplus).
Model kerja outsourcing obnormal, tidak memanusiakan masusia,
mencederai hak azasi manusia (human right).
Saran
Dengan berbagai anomali-anomali dari model kerja tersebut, sehingga perlunya
penguatan organisasi buruh untuk menghadang laju outsourcing dan menjadikan
outsourcing sebagai isu sentral dalam perjuangan hak-hak buruh.
Sumber
http://blog.unsri.ac.id/revolusi_Jalanan/isu-perburuhan/outsourcing-sebuah-pengingkaran-
kapitalisme-terhadap-hak-hak-buruh/mrdetail/6616/
http://catatankecilrund.blogspot.co.id/2012/04/analisi-kebijakan-outsourcing.html
http://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=outsourcing+adalah&source=web&cd=2&ved=0CB
PELAPORAN KORPORAT
Kebijakan Outsourcing
Tugas Individu
Disusun oleh :
Peggy Anna Theodora Ambarita
(01044881517009)
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2016