kebijakan pemerintahan sby-boediono

3
Reshuffle Kabinet dan 2 Tahun Kepemimpinan SBY-Boediono RESHUFFLE Kabinet Indonesia Bersatu jilid II merupakan kado ulang tahun kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono yang genap 2 tahun memimpin negeri ini pada 20 Oktober 2011. Sepertinya SBY tidak mau kecolongan, sebelum kepemimpinannya dievaluasi oleh "rakyat", dia terlebih dahulu mengevaluasi para menterinya yang dinilai tidak mampu bekerja dan menjalankan program-program pemerintah. Evaluasi yang dilakukan SBY-Boediono terhadap kepemimpinannya hanya dengan melakukan perombakan para menteri. Seolah-olah yang salah menjalankan pemerintahan selama ini adalah para menteri. Belum lagi, proses yang panjang ditunjukkan oleh SBY sebelum melakukan reposisi para menterinya. Proses itu diawali dengan pengangkatan para wakil-wakil menteri, pemanggilan ketua-ketua partai politik, dan prosesi selanjutnya adalah memanggil para calon menteri untuk dilakukan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan). Dalam rentang waktu yang panjang itu pula muncul berbagai wacana dan pandangan masyarakat. Pro dan kontra sepertinya sengaja diciptakan. Padahal perombakan kabinet adalah otoritas penuh presiden, tidak musti dihebohkan. Lalu seberapa pentingkah SBY merombak kabinetnya terhadap perubahan wajah negeri ini. Akankah perombakan itu akan berimplikasi langsung terhadap kepentingan publik ?. Kepala Pusat Penelitian LIPI, Syamsuddin Haris (Kompas, 18 Oktober) menyatakan, salah satu perbedaan mendasar antara sistem presidensial dan parlementer terletak pada "locus" tanggung jawab kebijakan. Dalam skema presidensial, tanggung jawab kebijakan di pundak presiden, bukan pada menteri-menteri negara. Amanat konstitusi juga menggarisbawahi hal itu dengan menyatakan bahwa "para menteri negara adalah pembantu presiden". Sebaliknya, dalam skema parlementer, para menteri yang mewakili partai politik yang berkuasa memikul tanggung jawab kebijakan karena memang "locus" kekuasaan berada di tangan kabinet. Jika dilihat, apa yang dilakukan SBY dalam merombak kabinetnya seolah-olah kinerja pemerintahan menjadi tanggung jawab para menteri. Baik buruknya kebijakan pemerintah seakan-akan menjadi tanggung jawab anggota kabinet, padahal keputusan akhir suatu kebijakan seharusnya berada di tangan presiden. Karena itu pula kegagalan para menteri

Upload: ilyas-rangga-ramadhan

Post on 25-Oct-2015

69 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kebijakan Pemerintahan Sby-boediono

Reshuffle Kabinet dan 2 Tahun Kepemimpinan SBY-Boediono

RESHUFFLE Kabinet Indonesia Bersatu jilid II merupakan kado ulang tahun kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono yang genap 2 tahun memimpin negeri ini pada 20 Oktober 2011. Sepertinya SBY tidak mau kecolongan, sebelum kepemimpinannya dievaluasi oleh "rakyat", dia terlebih dahulu mengevaluasi para menterinya yang dinilai tidak mampu bekerja dan menjalankan program-program pemerintah. Evaluasi yang dilakukan SBY-Boediono terhadap kepemimpinannya hanya dengan melakukan perombakan para menteri. Seolah-olah yang salah menjalankan pemerintahan selama ini adalah para menteri.

Belum lagi, proses yang panjang ditunjukkan oleh SBY sebelum melakukan reposisi para menterinya. Proses itu diawali dengan pengangkatan para wakil-wakil menteri, pemanggilan ketua-ketua partai politik, dan prosesi selanjutnya adalah memanggil para calon menteri untuk dilakukan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan). Dalam rentang waktu yang panjang itu pula muncul berbagai wacana dan pandangan masyarakat. Pro dan kontra sepertinya sengaja diciptakan. Padahal perombakan kabinet adalah otoritas penuh presiden, tidak musti dihebohkan.

Lalu seberapa pentingkah SBY merombak kabinetnya terhadap perubahan wajah negeri ini. Akankah perombakan itu akan berimplikasi langsung terhadap kepentingan publik ?. Kepala Pusat Penelitian LIPI, Syamsuddin Haris (Kompas, 18 Oktober) menyatakan, salah satu perbedaan mendasar antara sistem presidensial dan parlementer terletak pada "locus" tanggung jawab kebijakan. Dalam skema presidensial, tanggung jawab kebijakan di pundak presiden, bukan pada menteri-menteri negara. Amanat konstitusi juga menggarisbawahi hal itu dengan menyatakan bahwa "para menteri negara adalah pembantu presiden". Sebaliknya, dalam skema parlementer, para menteri yang mewakili partai politik yang berkuasa memikul tanggung jawab kebijakan karena memang "locus" kekuasaan berada di tangan kabinet.

Jika dilihat, apa yang dilakukan SBY dalam merombak kabinetnya seolah-olah kinerja pemerintahan menjadi tanggung jawab para menteri. Baik buruknya kebijakan pemerintah seakan-akan menjadi tanggung jawab anggota kabinet, padahal keputusan akhir suatu kebijakan seharusnya berada di tangan presiden. Karena itu pula kegagalan para menteri negara dalam skema presidensial pada dasarnya adalah kegagalan presiden dalam mengarahkan, mengoordinasi, dan mengeksekusi kebijakan. Acuan para menteri dalam menjalankan kebijakan harus sejalan dengan arah kebijakan pemerintah. Tugas para menteri adalah mengimplementasikannya sesuai tugas dan tanggung jawab kementrian masing-masing. Pertanyaannya, apakah memang ada arah kebijakan presiden sebagai nakhoda Negara Kesatuan Republik Indonesia - Kalau memang ada, mengapa sering terjadi perbedaan penafsiran dalam menjalankan kebijakan itu ?

Kembali kepada evaluasi terhadap 2 tahun pemerintahan BY-Boediono. Kira-kira apa prestasi yang telah dicapai jika dinilai dari berbagai bidang. Sebagai pemimpin yang telah memiliki pengalamana tujuh tahun, karena SBY menjadi presiden sejak 2004, harusnya program-programnya langsung menyetuh kepada masyarakat. Dibidang hukum, semangat SBY untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai amanah reformasi masih jauh dari harapan. Hukum masih memihak kepada pejabat dan orang-orang berduit. Hukum hanya ditegakkan ketika berhadapan dengan orang-orang lemah. Buktinya, pelaku korupsi sebagai musuh utama bangsa ini, pemerintah malah memberi pengampunan dengan cara memberikan remisi.

Dibidang pendidikan, anggaran 20% yang dialokasikan APBN belum menyentuh kepada subtansi, yakni membebaskan biaya pendidikan bagi masyarakat miskin. Kenyataan yang ada kini muncul kesenjangan dan kualitas pendidikan. Politik anggaran pemerintah sangat kontraproduktif dengan semangat pemanfaatan anggaran pendidikan untuk pendidikan dasar 9 tahun gratis. Sebagian besar anggaran pendidikan malah dialokasikan untuk hal-hal yang bersifat rutin, dan tidak efektif untuk

Page 2: Kebijakan Pemerintahan Sby-boediono

meningkatkan semangat pendidikan dasar gratis. Masih banyak SD maupun SMP yang memungut iuran dari orangtua siswa, dengan atau bukan alasan SPP. Apalagi sekolah-sekolah bertaraf Rintisan Sekolah Berstandart Internasional (RSBI). Orang miskin tidak akan mampu belajar di sekolah "moderon" itu, karena harus membayar jutaan rupiah. Sistem ini terkesan anak buruh cuci dan orang-orang pinggiran hanya berhak memperoleh pendidikan dengan kualitas yang biasa-biasa saja.

Kendati demikian, ada beberapa kelebihan dari pemerintahan SBY-Boediono yang perlu dijadikan catatan. Dua pimpinan negara RI ini dianggap mampu membuka ruang-ruang demokrasi. Mudah-mudahan reshuffle yang dilakukan membawa makna pada perubahan yang lebih baik bagi negeri ini, dan menyentuh kepada kepentingan publik. Bukan malah menambah beban bagi keuangan negara, serta hanya menguatkan posisi politik saja. Masih tersisa tiga tahun bagi SBY-Boediono pada masa jabatannya untuk berbuat terbaik bagi negeri ini.