kecap ikan_arief wiyarta_13.70.0045_d2_unika soegijapranata
DESCRIPTION
Dalam praktikum ini dilakukan proses pembuatan kecap ikan dan kemudian dilakukan analisa sensori (warna, rasa, dan bau) dan salinitas.TRANSCRIPT
Acara III
KECAP IKAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI PENGOLAHAN LAUT
Disusun oleh:
Nama : Arief Wiyarta Prakarsa
NIM : 13.70.0045
Kelompok : D2
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
1
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil Pengamatan Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim Papain dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim Papain
Kel. Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas (%)
D1 Enzim papain 0,2% ++++ +++++ ++ +++++ 4,00
D2 Enzim papain 0,4% +++++ ++++ ++ ++++ 3,00
D3 Enzim papain 0,6% +++ ++++ ++ +++ 3,00
D4 Enzim papain 0,8% +++ ++ ++++ + 2,50
D5 Enzim papain 1% +++ +++++ +++ + 3,50
Keterangan:
Warna : Aroma
+ : tidak coklat gelap + : sangat tidak tajam
++ : kurang coklat gelap ++ : kurang tajam
+++ : agak coklat gelap +++ : agak tajam
++++ : coklat gelap ++++ : tajam
+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat tajam
Rasa Penampakan
+ : sangat tidak asin + : sangat cair
++ : kurang asin ++ : cair
+++ : agak asin +++ : agak kental
++++ : asin ++++ : kental
+++++ : sangat asin +++++ : sangat kental
Dari tabel 1 diperoleh data bahwa kelompok D2 memiliki warna sangat coklat gelap,
kemudian untuk segi rasa kelompok D1 dan D5 memiliki rasa yang sangat asin. Dari
segi aroma, kelompok D5 memiliki aroma yang sangat tajam jika dibandingkan dengan
kelompok lain, dan dari segi penampakan kelompok D1 memiliki penampakan yang
sangat kental. Salinitas tertinggi diperoleh kelompok D1 dengan nilai sebesar 4%.
2
2. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini membahas tentang proses pembuatan kecap ikan. Menurut
Kanlayakrit & Boonpan (2007) kecap ikan merupakan cairan coklat bening yang
memiliki aroma dan rasa yang khas. Kecap ikan diproduksi melalui proses fermentasi
dimana biasanya digunakan di negara bagian Asia timur dan Asia selatan. Kualitas
kecap ikan dapat dilihat dari aroma dan rasa (tingkat keasinannya). Hajalmarsson et al
(2007) juga menambahkan bahwa kecap ikan biasanya digunakan untuk pengganti
garam dalam proses memasak. Kecap ikan biasanya terbuat dari ikan-ikan kecil dengan
ekonomi yang rendah dan nilai konsumsi yang rendah. Kadar garam yang tinggi dalam
kecap ikan dapat dimanfaatkan untuk mencegah tumbuhnya bakteri patogen sehingga
umur simpan dari kecap menjadi lebih lama (Olubunmi et al, 2010).
Bahan utama yang digunakan pada praktikum kali ini adalah ikan dan garam, dimana
rasio perbandingan yang digunakan 1:6 hingga 1:2 (Lopetcharat & Park, 2002).
Pembuatan kecap ikan biasanya dibuat dari sari ikan yang dibuat secara khusus. Kecap
ikan juga bisa dihasilkan dari hasil samping pembuatan surimi, seperti sisa dari kepala,
ekor, sirip, dan tulang ikan (Sangjindavong et al, 2009). Pada praktikum kali ini
digunakan ikan bawal sebagai bahan utama pembuatan dari kecap ikan. Sebenarnya
pada proses pembuatan kecap ikan tidak diperlukan jenis ikan tertentu, hanya saja
dibutuhkan ikan yang masih segar dikarenakan kandungan protein yang masih tinggi
dan masih belum terjadi denaturasi. Protein ikan sendiri memiliki kandungan protein
yang sangat tinggi, yaitu sekitar 98% (Moeljanto, 1992). Berdasarkan proses
produksinya, kecap ikan dibagi menjadi 3 jenis, yaitu pure fish sauce yang terbuat dari
ikan dan residu ikan, kecap ikan campuran yang terbuat dari penambah rasa dan
penambahan bahan additive, dan kecap ikan yang dibuat melalui proses fermentasi
(Ritthiruangdej & Suwonsichon, 2006).
Pembuatan kecap ikan dapat dibuat melalui proses fermentasi, baik secara enzimatis
maupun menggunakan garam. Fermentasi adalah proses penguraian senyawa kompleks
menjadi lebih sederhana. Penguraian tersebut dapat terjadi karena adanya penambahan
3
enzim maupun enzim yang berada di dalam tubuh ikan itu sendiri, atau mikroorganisme
yang tumbuh karena adanya kondisi tertentu (Astawan & Astawan, 1988). Enzim yang
biasanya digunakan untuk fermentasi adalah enzim proteolitik, dimana memiliki
kemampuan untuk memecah protein (Afrianto & Liviawaty, 1989). Proses fermentasi
dapat dipercepat dengan penambahan mikroorganisme seperti Staphylococcus xylosus.
Dengan adanya penambahan mikroba, dapat juga memberikan aroma kecap ikan yang
diinginkan (Rodtong et al, 2007).
Proses fermentasi secara enzimatis pada pembuatan kecap ikan memiliki beberapa
kelebihan dan kekurangan. Kelebihan fermentasi secara enzimatis adalah waktu yang
lebih singkat dan kandungan proteinnya dapat dipertahankan. Terkadang justru dengan
penggunaan enzim tertentu dapat meningkatkan kadar protein dari kecap ikan (Astawan
& Astawan, 1988). Salah satu contoh enzim protease yang sering digunakan adalah
bromelin dan papain. Kedua enzim ini akan mempercepat penguraian protein sehingga
pembuatan kecap ikan hanya membutuhkan waktu sekitar 3 hari (Afrianto & Liviawaty,
1989). Sedangkan kekurangan dari proses fermentasi secara enzimatis adalah rasa dan
aroma yang kurang khas (Astawan & Astawan, 1988). Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, bahwa proses penguraian protein dengan bantuan enzim protease akan
menyebabkan terbentuknya senyawa peptida dan menimbulkan rasa pahit dan bau yang
kurang sedap (Afrianto & Liviawaty, 1989). Beberapa faktor yang mempengaruhi
aktivitas enzim adalah pH, kemurnian, suhu, dan konsentrasi protease yang
ditambahkan. Keempat faktor itulah yang mempengaruhi daya pemecahan protein pada
proses pembuatan kecap ikan (Sjaifullah, 1996).
Selain penambahan enzim, pembuatan kecap ikan dapat juga menggunakan metode
fermentasi garam atau dengan penambahan larutan garam. Penambahan garam yang
ditambahkan akan mempengaruhi jumlah air yang akan tertarik keluar dari tubuh ikan.
Hal ini terjadi karena adanya tekanan osmotic yang tinggi, sehingga air yang berada
dalam tubuh ikan akan keluar. Air yang keluar mengaundung protein dan mineral yang
tinggi. Garam juga dapat berfungsi sebagai pelindung ikan dari cemaran
mikroorganisme dan bakteri pembusuk (Astawan & Astawan, 1988). Kelebihan dari
proses fermentasi dengan garam adalah cairan kecap ikan memiliki kandungan nitrogen
4
laut, dimana meningkatkan umur simpan. Nitrogen larut terdiri dari protein, peptida,
dan asam amino yang dihasilkan dari proses hidrolisis sehingga menghasilkan aroma
dan flavor yang khas (Shih et al, 2003). Penambahan garam akan menurunkan Aw,
menurunkan kelarutan oksigen, dan menganggu keseimbangan ionik (Desrosier &
Desrosier, 1977). Namun kelemahan dari metode ini adalah waktu yang dibutuhkan
untuk membuat kecap ikan cenderung lama, sekitar 7 bulan bahkan lebih (Astawan &
Astawan, 1988).
Pada praktikum kali ini dilakukan dengan bahan utama yaitu ikan bawal, yang diambil
bagian kepala, ekor, dan tulang ikan. Setelah itu bagian ikan yang sudah dikumpulkan
dihancurkan hingga diperoleh bahan sebanyak 50 gram dan dimasukkan ke dalam
wadah toples. Proses penghancuran dilakukan dengan menggunakan blender. Tujuannya
adalah untuk memperluas luas permukaan pada bahan, yaitu ikan sehingga bahan
tercampur lebih merata dan enzim yang nantinya ditambahkan dapat bekerja secara
optimal. Selain itu penghancuran juga membuat massa adonan menjadi lebih homogeny
dan merata (Lay, 1994).
Setelah itu pada masing-masing kelompok ditambahkan enzim papain dengan
konsentrasi yang berbeda. Pada kelompk D1 menggunakan enzim papain dengan
kosentrasi 0,2%, kelompok D2 dengan konsentrasi 0,4%, kelompok D3 dengan
konsentrasi 0,6%, kelompok D4 dengan konsentrasi 0,8%, dan kelompok D5 dengan
konsentrasi 1%. Penambahan enzim bertujuan untuk membantu proses fermentasi,
dimana biasnya dilakukan penambahan enzim protease, seperti enzim papain dan
bromelin. Enzim papain dapat mempercepat proses fermentasi, dimana pada saat
dilakukan penambahan enzim maka proses hidrolisis protein akan semakin cepat. Hal
ini menyebabkan semakin banyak jumlah asam amino bebas yang dihasilkan karena
adanya aktivitas enzim yang memutus ikatan peptida (Astawan & Astawan, 1988).
Kemudian setelah dilakukan penambahan enzim, larutan akan diinkubasi pada suhu
ruang selama 4 hari. Menurut Astawan & Astawan (1991) waktu inkubasi sangat
mempengaruhi hasil akhir dari kecap ikan. Semakin lama inkubasi yang dilakukan,
maka aroma, warna, dan rasa kecap ikan akan semakin khas. Telah kita ketahui bahwa
fermentasi kecap ikan secara enzimatis dibutuhkan waktu kurang lebih 3 hari. Apabila
5
proses fermentasi semakin cepat dapat mengakibatkan kerja dari enzim papain tidak
maksimal dan komponen-komponen penting tidak dihasilkan. Namun apabila terlalu
lama, juga dapat menyebabkan beberapa protein terpecah terlalu sederhana, sehingga
dapat mempengaruhi cita rasa dari kecap yang dihasilkan.
Sebelum dilakukan inkubasi, wadah harus dipastikan sudah ditutup dan diisolasi secara
sempurna. Hal ini dikarenakan proses fermentasi lebih cepat dalam kondisi anaerob.
Selain itu penutupan yang benar akan mencegah terjadinya kontaminasi dari luar
(Lisdiana & Soemardi, 1997). Setelah proses inkubasi selesai selama 3 hari,
ditambahkan 300 ml air dan diaduk. Penambahan air bertujuan untuk melarutkan cairan
hasil fermentasi, dimana dengan adanya pengadukan dapat melarutkan cairan secara
sempurna. Kemudian larutan akan disaring, setelah itu filtrat diambil dan direbus
selama 15 menit. Penyaringan yang dilakukan bertujuan untuk memisahkan cairan dan
padatan, dimana nantinya akan diperoleh filtrat yang akan diproses kembali untuk
menghasilkan kecap ikan.
Kemudian selama proses perebusan ditambahkan bumbu-bumbu ke dalam larutan, yaitu
50 gram garam, 50 gram bawang putih yang sudah dihancurkan, dan 50 gram gula
kelapa.
Lalu, ditambahkan kedalamnya bumbu-bumbu yang telah dihaluskan, yaitu 50 gram
bawang putih yang telah dihancurkan, 50 gram garam, dan 50 gram gula jawa.
Perebusan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan cita rasa, menguapkan
sebagian air sehingga dihasilkan kecap yang lebih kental, dan membunuh
mikroorganisme yang terdapat dalam larutan. Kombinasi antara pengadukan dan
pemanasan dapat membuat bumbu-bumbu yang ditambahkan tercampur merata
(Moeljanto, 1992).
Bumbu yang ditambahkan pada larutan juga memiliki fungsi yang berbeda-beda. Pada
dasarnya ketiga bumbu tersebut digunakan untuk menambahkan rasa dan sebagai bahan
pengawet pada kecap ikan (Kiline et al, 2006). Gula jawa merupakan bahan yang dapat
memberikan rasa lembut pada kecap, memberikan aroma dan warna yang khas, serta
memberikan cita rasa (umami taste). Selain itu, gula juga dapat dimanfaatkan sebagai
6
bahan pengawet dan membuat warna kecap menjadi lebih kecoklatan karena adanya
proses karamelisasi (Kasmidjo, 1990). Sedangkan bawang putih merupakan bahan
pengawet dan bahan penyedap pada bahan pangan. Bawang putih juga memiliki
kandungan allicin, dimana berfungsi sebagai zat antimikrobial yang mampu membunuh
bakteri (Santoso, 1994). Bahan terakhir yang digunakan adalah garam. Garam dapat
dimanfaatkan untuk pemberi rasa pada kecap (rasa asin) dan sebagai bahan pengawet.
Garam dapat mengurangi kadar air dan dapat mengganggu keseimbangan ionik sel,
sehingga mikroorganisme tidak mudah tumbuh pada kecap ikan (Desrosier & Desrosier,
1977). Setelah perebusan, kecap ikan ditunggu agak dingin dan disaring. Kemudian
dilakukan pengamatan secara sensori yang meliputi warna, rasa, dan aroma, serta
analisa alinitas menggunakan hand refraktometer.
Pada hasil percobaan diperoleh data bahwa pada masing-masing kelompok
mendapatkan hasil yang berbeda-beda, baik pada warna, rasa, aroma, penampakan, dan
salinitas. Hal ini dikarenakan adanya penambahan kadar enzim papain yang berbeda
dapat mempengaruhi kecap ikan yang dihasilkan. Pada kelompok D1 dengan
penambahan enzim papain 0,2% dihasilkan kecap ikan yang memiliki warna coklat
gelap, rasa yang sangat asin, aroma yang kurang tajam, dan penampakannya yang
sangat kental. Pada kelompok D2 dengan penambahan enzim papain 0,4% dihasilkan
kecap ikan yang memiliki warna sangat coklat gelap, rasa yang asin, aroma yang kurang
tajam, dan penampakannya yang kental. Pada kelompok D3 dengan penambahan enzim
papain 0,6% dihasilkan kecap ikan yang memiliki warna agak coklat gelap, rasa yang
asin, aroma yang kurang tajam, dan penampakannya yang agak kental. Pada kelompok
D4 dengan penambahan enzim papain 0,8% dihasilkan kecap ikan yang memiliki warna
agak coklat gelap, rasa yang kurang asin, aroma yang tajam, dan penampakannya yang
sangat cair. Dan pada kelompok D5 dengan penambahan enzim papain 1% dihasilkan
kecap ikan yang memiliki warna agak coklat gelap, rasa yang sangat asin, aroma yang
agak tajam, dan penampakannya yang sangat cair. Untuk tingkat salinitas tertinggi
diperoleh kelompok D1 dengan nilai sebesar 4%, sedangkan untuk salinitas terendah
diperoleh kelompok D4 dengan nilai sebesar 2,5%.
7
Diketahui bahwa pada masing-masing kelompok menghasilkan kecap ikan yang
memiliki warna kecoklatan. Hal ini sesuai dengan teori Astawan & Astawan (1988)
yang mengatakan bahwa kecap ikan memiliki warna kecoklatan. Warna ini dihasilkan
karena adanya proses fermentasi kecap sehingga membuat warna menjadi lebih coklat.
Kemudian adanya penambahan gula jawa yang dilakukan juga dapat mempengaruhi
warna coklat dari kecap ikan itu sendiri. Reaksi mailard juga dapat terjadi pada proses
pembuatan kecap ini, hal ini dikarenakan adanya kandungan asam amino dan gula
reduksi, yang mana keduanya nanti akan bereaksi dan menghasilkan warna coklat
(Kasmidjo, 1990). Jika kita perhatikan lebih lanjut, diketahui bahwa penambahan enzim
papain dapat mempengaruhi warna yang dihasilkan. Menurut Astawan & Astawan
(1988) semakin banyak kandungan enzim papain yang ditambahkan, maka semakin
coklat warna yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan adanya penambahan enzim papain
yang semakin banyak, maka aktivitas dari enzim proteolitik akan semakin tinggi,
sehingga akan membuat kecap yang dihasilkan semakin gelap. Berdasarkan teori yang
ada, hasil percobaan yang dilakukan tidak sesuai dengan teori yang ada.
Ketidaksesuaian ini disebabkan oleh pengujian sensori dilakukan oleh beberapa panelis,
dimana penilaian panelis sangat bersifat subjektif. Selain itu adanya suhu pemasakan
yang digunakan masing-masing kelompok juga mempengaruhi warna pada kecap ikan.
Semakin tinggi suhu yang digunakan dan semakin lama waktu pemanasan akan
menyebabkan warna kecap semakin gelap (Petrucci, 1992).
Hasil pengamatan warna kecap ikan ini didapati hasilnya sangat fruktuatif. Seharusnya,
semakin banyak kandungan enzim papain dalam bahan semakin coklat warna yang
dihasilkan. Karena aktivitas enzim proteolitik akan menyebabkan cairan yang terbentuk
berwarna lebih gelap. Sehingga semakin banyak enzim papain yang ditambahkan, maka
aktivitas protease semakin tinggi, yang mana akan menggelapkan warna bahan,
menguatkan aroma dan rasa (Astawan & Astawan, 1988).
Dari segi rasa, hasil yang diperoleh pada masing-masing kelompok juga bervariasi.
Menurut Afrianto & Liviawaty (1989) kecap ikan yang baik memiliki rasa agak asin.
Dari keenam kelompok yang didapatkan, diperoleh data bahwa kelompok D1 dan D5
memiliki rasa yang sangat asin, kelompok D2 dan D3 memiliki rasa asin, dan kelompok
D4 memiliki rasa kurang asin. Berdasarkan teori yang ada, dapat dikatakan kelima
8
kelompok tidak menghasilkan kecap ikan yang tergolong baik. Afrianto & Liviawaty
(1989) juga menambahkan bahwa semakin tinggi kadar enzim papain yang
ditambahkan, akan menyebabkan rasa kecap asin semakin kuat. Jika kita sesuaikan
dengan teori, dapat diketahui bahwa hasil percobaan sudah sesuai dengan bahwa
penambahan enzim papain yang terbesar menghasilkan rasa yang sangat asin. Tingkat
salinitas pada kecap ikan menunjukan tingkat keasinannya. Semakin tinggi salinitasnya,
maka semakin asin kecap ikan yang dihasilkan dan semakin tinggi konsentrasi enzim
papain yang ditambahkan (Afrianto & Liviawaty, 1989). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa kelompok D5 memiliki rasa dan salinitas yang paling tinggi, diikuti
dengan kelompok D4,D3,D2, dan D1. Kesalahan hasil praktikum disebabkan oleh
adanya penilaian yang subjektif dari beberapa panelis. Selain itu adanya kesalahan
penggunaan brix refraktometer dan kesalahan pembacaan juga mempengaruhi hasil
yang didapatkan (Sutrisno, 1984).
Dari segi aroma, diperoleh data bahwa pada kelompok D1, D2, dan D3 memiliki aroma
yang kurang tajam, kelompok D4 memiliki aroma yang tajam, dan kelompok D5
memiliki aroma agak tajam. Berdasarkan teori Astawan & Astawan (1988) diketahui
bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim maka aroma yang dihasilkan semakin tajam
dan semakin khas. Hal ini dikarenakan adanya aktivitas hidrolisa yang semakin tinggi
akan menyebabkan adanya beberapa komponen penyusun aroma yang terbentuk
sehingga aroma kecap ikan semakin tajam. Berdasarkan teori yang ada jika kita
bandingkan dengan hasil percobaan, diketahui bahwa hasil yang didapatkan tidak sesuai
dengan teori yang ada. Seharusnya pada kelompok D5 diperoleh aroma yang sangat
tajam. Namun pada kelompok D1 diperoleh data yang sesuai teori yang ada, bahwa
aroma yang didapatkan memiliki aromayang kurang tajam. Kesalahan yang dilakukan
dapat disebabkan oleh pembuatan kecap ikan, penyaringan, penghancuran bahan, dan
penambahan bahan-bahan lain. Selain itu adanya kesalahan pengamatan yang dilakukan
dan penilaian secara subjektif dari panelis menyebabkan adanya ketidaksesuaian teori
dengan hasil percobaan.
Komponen dari aroma pada kecap ikan ini ditentukan dari komponen nitrogennya, yaitu
kadaverin, putresin, arginin, histidin dan amonia. Flavor kecap yang khas sendiri
9
dihasilkan dari senyawa hasil penguraian protein, yaitu asam glutamat (Armstrong,
1995).
Uji terakhir yang dihasilkan, yaitu uji penampakan diperoleh data bahwa penampakan
kecap ikan kelompok D1 memiliki penampakan yang sangat kental, D2 memiliki
penampakan yang kental, D3 memiliki penampakan yang agak kental, dan kelompok
D4 dan D5 memiliki penampakan yang sangat cair. Berdasarkan teori Kasmidjo (1990)
mengatakan bahwa kecap ikan yang baik dan normal memiliki penampakan yang cair.
Jika kita bandingkan antara hasil percobaan dan teori diperoleh data bahwa kelima hasil
percobaan dapat dikatakan tidak memiliki kualitas kecap ikan yang baik. Beberapa
faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan kecap ikan adalah ketepatan
metode yang digunakan, jumlah garam yang ditambahkan, waktu inkubasi dan
penggunaan bumbu-bumbu yang tepat (Kasmidjo, 1990). Olubunmi et al (2010) juga
menambahkan bahwa proses fermentasi, suhu pemanasan, dan pH juga mempengaruhi
hasil pembuatan kecap ikan.
10
3. KESIMPULAN
Kecap ikan adalah cairan coklat bening yang memiliki aroma dan rasa yang
khas.
Kecap ikan dibuat dengan cara fermentasi limbah ikan, berupa kepala, sirip, ekor
dan tulang ikan.
Penambahan enzim proteolitik berfungsi untuk mempercepat proses fermentasi.
Contoh enzim proteolitik yang digunakan pada praktikum kali ini adalah enzim
papain dan bromelin.
Dengan penambahan enzim proteolitik, proses fermentasi berjalan selama 3 hari.
Penambahan enzim akan mempengaruhi warna, aroma, dan rasa dari kecap ikan
yang dihasilkan.
Semakin banyak konsentrasi enzim proteolitik yang ditambahkan, maka aroma,
rasa, dan warna kecap ikan semakin baik.
Semakin tinggi salinitas, maka rasa dari kecap asin akan semakin asin.
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan kecap ikan adalah
ketepatan metode, jumlah garam, waktu inkubasi dan bumbu-bumbu.
Proses fermenatasi, suhu pemanasan, dan pH mempengaruhi pembuatan kecap
ikan.
Semarang, 28 Oktober 2015
Asisten Dosen,
Arief Wiyarta Prakarsa Michelle Darmawan
13.70.0045
11
4. DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E. dan Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius.
Yogyakarta.
Amstrong, S.B. 1995. Buku Ajar Biokimia Edisi Ketiga. Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
Astawan, M.W. dan M. Astawan. 1991. Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat
Guna. CV Akademika Pressindo. Jakarta.
Astawan, M.W. dan M. Astawan. 1988. Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat
Guna. CV Akademika Pressindo. Jakarta.
Desrosier, N.W. and Desrosier. 1977. Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
Hajalmarsson, Helgi, G.; Park, J.W. and Kristbergsson, K. 2007. Seasonal effects on the
physicochemical characteristics of fish sauce made from capelin (Mallotus villosus).
International Journal Food Chemistry 495–504
Kanlayakrit, W. and Boonpan, A. (2007). Screening of halophilic lipase-producing
bacteria and characterization of enzyme for fish sauce quality improvement. Kasetsart J.
Nat. Sci. Vol. 41: 576-585.
Kasmidjo, R.B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta
Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
Kilinc, B.; Cakli, S.; Tolasa, S.; and Tolga, D. (2006). Chemical, microbiological and
sensory changes associated with fish sauce processing. Eur Food Res Technol. Vol 222:
604-613.
Lay, B. W. 1994. Analisa Mikroba dalam Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Lisdiana dan Soemardi, W. 1997. Budidaya Nanas: Pengantar dan Pemasaran.
CV.Aneka. Solo.
Lopetcharat, K. and Park, J.W. 2002. Characteristics of Fish Sauce Made from Pacific
Whiting and Surimi By-products During Fermentation Stage. International Journal of
Food Science 67(2).
12
Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Olubunmi, F.; Suleman, S.; Uche, I.; and Babinisi, O. (2010). Preliminary production of
sauce from clupeids. New York Science Journal. Vol. 3.
Petrucci, R. H. 1992. Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern. Erlangga. Jakarta.
Ritthiruangdej, P.; and Suwonsichon, T. (2006). Sensory properties of Thai sauces and
their categorization. Kasetsart J. Nat. Sci. Vol. 40: 181-191.
Rodtong, S.; Yongsawatdigui, F.; and N. Raksakulthai. (2007). Acceleration of Thai fish
sauce fermentation using proteinases and bacterial starter cultures. Journal of Food
Science. Vol. 72, No. 9:383-390.
Sangjindavong, M.; Mookdasanit, J.; Wilaipun, P.; Chuapoehuk, P. and Akkanvanitch,
C. 2009. Using Pineapple to Produce Fish Sauce from Surimi Waste. Kasetsart J.
International Journal of National Science 43 : 791 – 795.
Santoso, H.B. 1994. Kecap dan Taoco Kedelai. Kanisius. Yogyakarta.
Shih, I.L.; Chen, L.G.; Yu, T.S.; Chang, W.T. and Wang, S.L. 2003. Microbial
reclamation of fish processing wastes for the production of fish sauce. International
Journal of Enzyme and Microbial Technology 33 (2003) 154-162.
Sjaifullah. 1996. Petunjuk Memilih Buah Segar. PT Penebar Swadaya. Jakarta.
Sutrisno. 1984. Fisika Dasar II. Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik. Jakarta.
13
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Rumus:
( )
Kelompok D1
Hasil pengukuran = 40
( )
Gram Papain :
Kelompok D2
Hasil pengukuran = 30
( )
Gram Papain :
Kelompok D3
Hasil pengukuran = 30
( )
Gram Papain :
Kelompok D4
Hasil pengukuran = 25
( )
Gram Papain :
14
Kelompok D5
Hasil pengukuran = 35
( )
Gram Papain :
5.2. Diagram Alir
5.3. Laporan Sementara