kecap ikan_fiorency santoso_13.70.0082_a2_unika soegijapranata
DESCRIPTION
kecap ikan menggunakan bahan baku limbah ikan patin. fermentasi dilakukan selama 4 hari. asisten dosen yang mengampu adalah Michelle DarmawanTRANSCRIPT
1
KECAP IKAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh :Fiorency Santoso
13.70.0082Kelompok A2
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
1. MATERI METODE
1.1. Materi
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum kecap ikan yaitu biomasa tulang an
kepala ikan, enzim papain komersial, gula kelapa, bawang putih, chopper, pisau, toples,
panci, kain saring, pengaduk kayu, dan hand refractometer.
1.2. Metode
1
Sebanyak 50 gram bahan dimasukkan ke dalam toples berisi 250 ml air
Enzim papain ditambahkan ke dalam toples dengan konsentrasi 0,2% (kelompok A1), konsentrasi 0,4% (kelompok A2), konsentrasi 0,6% (kelompok A3), konsentrasi 0,8%
(kelompok A4); konsentrasi 1% (kelompok A5)
Tulang dan kepala ikan dihancurkan
2
Toples diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari
Hasil fermentasi disaring
Filtrat direbus sampai mendididh selama 30 menit
3
Setelah filtrat mendidih, ditambahkan 50 gram bawang putih, 50 gram garam, dan 3 butir gula kelapa. Filtrat tetap diaduk diatas kompor selama 30 menit.
Setelah dingin hasil perebusan disaring
4
Dilakukan pengamatan uji sensori berupa warna, rasa, aroma, penampakan kecap, serta uji salinitas kecap ikan dengan menggunakan hand refractometer.
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan praktikum kecap ikan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Tabel Pengamatan Kecap Ikan
Kel Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas %
A1 Enzim papain 0,2 % ++++ ++++ +++ ++++ -
A2 Enzim papain 0,4 % ++++ +++++ +++ ++++ -
A3 Enzim papain 0,6 % ++++ +++++ +++ ++++ -
A4 Enzim papain 0,8 % ++++ ++++ ++ ++++ -
A5 Enzim papain 1 % ++++ ++++ +++++ +++ -
Keterangan:Warna Rasa Aroma+ : tidak coklat gelap + : sangat tidak asin + : sangat tidak tajam++ : kurang coklat gelap ++ : kurang asin ++ : kurang tajam+++ : agak coklat gelap +++ : agak asin +++ : agak tajam++++ : coklat gelap ++++ : asin ++++ : tajam+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat asin +++++ : sangat tajam
Penampakan+ : sangat cair++ : cair+++ : agak kental++++ : kental+++++ : sangat kental
Dari hasil pengamatan di atas, konsentrasi enzim papain yang digunakan setiap
kelompok berbeda-beda. Walaupun begitu, warna kecap ikan yang didapatkan semua
kelompok adalah samma yaitu berwarna coklat gelap. Pada parameter rasa, kelompok
A1, A4, dan A5 menghasilkan kecap ikan dengan rasa asin, sedangkan kelompok A2
dan A3 menghasilkan kecap ikan dengan rasa sangat asin. Pada parameter aroma,
kelompok A1,A2,A3 beraroma agak tajam sedangkan kelompok A4 kurang tajam dan
aroma pada kelompok A5 sangat tajam. Kecap ikan pada kelompok A1-A4 memiliki
penampakan yang kental sedangkan kelompok A5 tampak agak kental. Pada parameter
salinitas, semua kelompok tidak mendapatkan hasil.
5
3. PEMBAHASAN
Menurut Fakunle et al (2013), kecap ikan merupakan cairan berwarna jernih yang
berasal dari ekstraksi daging ikan yang ditambah dengan garam dan yang telah
mengalami proses fermentasi. Kecap ikan memiliki nama yang berbeda di setiap daerah
(budu di Malaysia, patis di Filipina, nampla di Thailand, pissala di Perancis, yessui di
Hong Kong, nuoc-nam di Asia Selatan). Astawan & Astawan (1988) menambahkan
bahwa kecap ikan merupakan produk hasil hidrolisa ikan, baik secara fermentasi dengan
garam, enzimatis, maupun kimiawi yang berwarna coklat jernih dan cair.
Kecap yang dihasilkan dari bahan nabati memiliki 2 jenis, yaitu kecap manis dan kecap
asin, sedangkan kecap yang berasal dari bahan hewani (kecap ikan) hanya memiliki 1
jenis, yaitu kecap asin. Kecap asin yang dihasilkan dari bahan hewani tidak memiliki
warna merah kecoklatan, namun berwarna kekuningan, coklat hingga coklat muda.
Selain itu, dari segi rasa, kecap ikan juga memiliki rasa yang berbeda dengan kecap
yang dihasilkan dari fermentasi bahan nabati. Kecap ikan yang dihasilkan biasanya
memiliki rasa yang sedikit asin dan banyak mengandung senyawa nitrogen. Kualitas
kecap ikan yang dihasilkan ditentukan oleh jumlah garam yang digunakan dan lamanya
proses fermentasi (Afrianto & Liviawaty, 1989).
3.1. Cara Kerja
Moeljanto (1992) menjelaskan bahwa kecap ikan tidak membutuhkan jenis ikan
tertentu, bahkan ikan yang sudah tidak bernilai ekonomis masih dapat digunakan untuk
dijadikan bahan pembuatan kecap ikan. Pernyataan ini didukung dengan jurnal yang
ditulis Fakunle et al (2013) bahwa di pasaran ikan yang berbentuk buruk atau tidak
terlalu banyak dikonsumsi masyarakat akan dihargai dengan harga yang murah. Hal ini
menjadi kerugian bagi para nelayan. Oleh karena itu, di dalam jurnal tersebut dijelaskan
bahwa ikan yang tidak memiliki nilai ekonomis tinggi dapat dimanfaatkan menjadi
kecap ikan, sehingga diharapkan mampu meningkatkan makanan bergizi bagi
masyarakat serta mampu membantu perekonomian nelayan. Ikan yang digunakan dalam
praktikum kecap ikan adalah limbah dari ikan patin. Ikan patin merupakan jenis catfish
yang memiliki daging berwarna putih, banyak mengandung banyak asam amino
6
7
esensial (8-13%), mineral, dan kadar lemak rendah, lebih rendah dibandingkan daging
ayam dan sapi. Kadar lemak ikan patin berkisar antara 1-6% (Dwi et al., 2014).
Mula-mula sebanyak 50 gram tulang dan kepala ikan dihancurkan dengan chopper dan
dimasukkan ke dalam wadah fermentasi yang sudah beirsi 250 ml air. Menurut Astawan
& Astawan (1988), isi perut, kepala ikan serta tulang ikan merupakan limbah ikan yang
digunakan sebagai bahan utama pembuatan kecap ikan. Penghancuran dengan chopper
bertujuan untuk merusak sel dan jaringan ikan sehingga senyawa flavor dapat keluar
dan untuk meningkatkan efektivitas ekstraksi (Saleh, et al.,1996). Setelah itu,
ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi yang berbeda-beda setiap kelompok.
Afrianto & Liviawaty (1989) mengatakan bahwa pada proses pembuatan kecap ikan
secara enzimatis biasanya ditambahkan enzim dengan perbandingan antara daging ikan
dengan cairan ekstrak enzim protease sebesar 1 : 5. Namun di dalam praktikum
penambahan enzim papain sebesar 0,2%, 0,4%, 0,6%, 0,8%, dan 1% dari 50 gram berat
limbah ikan. Enzim papain merupakan jenis enzim protease yang berasal dari getah
pepaya. Enzim ini mampu menguraikan protein menjadi beberapa komponen seperti
peptida, peptone, dan asam amino yang saling berinteraksi dan menciptakan rasa yang
khas, sehingga tujuan dari penambahan enzim kali ini adalah untuk menghidrolisis
protein melalui aktivitas proteolitik dan mempercepat proses fermentasi (Lay, 1994).
Kecap kemudian diinkubasi selama 4 hari. Tahapan ini disebut sebagai tahapan
fermentasi. Menurut Astawan & Astawan (1988) bahwa tahap perlakuan fermentasi
pada pembuatan kecap adalah 1-4 hari dan apabila fermentasi dilakukan terlalu cepat,
maka aktivitas enzim dalam menghasilkan komponen tidak dapat terlaksana, sehingga
reaksi pun tidak berlangsung, namun jika waktu fermentasi terlalu lama, maka semakin
banyak enzim yang dihasilkan, sehingga cita rasa yang terjadi menjadi kurang baik.
Proses fermentasi harus dilakukan secara anaerob, kondisi toples harus tertutup rapat
ntuk menghindari kontaminasi dari mikroorganisme sekitar, dan agar proses fermentasi
berjalan optimal. Tujuan fermentasi adalah untuk memperpanjang umur simpan, serta
meningkatkan flavor dan kualitas nutrisi pada produk (Lisdiana & Soemardi, 1997).
Setelah 4 hari, hasil fermentasi disaring. Penyaringan bertujuan untuk memisahkan
8
cairan yang terbentuk dari hasil fermentasi dengan padatan atau kotoran yang ada
(Moeljanto,1992).
Setelah disaring, kecap kemudian direbus selama 30 menit. Selama perebusan,
dilakukan penambahan 50 gram bawang putih, 50 gram garam, dan 3 butir gula kelapa.
Penambahan garam berfungsi untuk memberi rasa asin, menguatkan rasa, dan memberi
efek pengawetan karena garam dapat digunakan untuk menurunkan Aw serta
menghambat mikroba perusak. Penggunaan bawang putih yang mengandung zat allicin
bertujuan untuk membantu proses pengawetan terhadap produk karena zat allicin efektif
untuk membunuh bakteri. Sedangkan gula jawa bertujuan untuk mengurangi rasa asin
yang berlebihan, memberikan rasa lembut pada produk, dan meningkatkan cita rasa,
aroma, dan warna produk. Warna coklat pada kecap ikan disebabkan karena adanya
reaksi pencoklatan antara gula jawa dengan beberapa komponen pembentuk cita rasa
dan proses pemanasan yang menyebabkan reaksi Maillard (Fachruddin. 1997).
Setelah mendidih, dilakukan penyaringan yang kedua. Penyaringan ini ditujukan untuk
membersihkan kotoran yang berasal dari bumbu dan ampas-ampas yang lain, sehingga
didapatkan kecap ikan yang benar-benar bersih (Moeljanto,1992). Filtrat yang
dihasilkan lalu dilakukan pengujian secara sensoris (warna, rasa, aroma, penampakan)
dan uji salinitas dengan menggunakan hand refractometer
Menurut Astawan & Astawan (1988) pada proses pembuatannya, kecap ikan dapat
dibuat dengan 2 cara fermentasi, yaitu fermentasi dengan menggunakan garam dan
fermentasi dengan menggunakan enzim (secara enzimatis). Fermentasi dengan garam
biasa disebut juga dengan fermentasi tradisional. Fermentasi secara tradisional ini
membutuhkan waktu fermentasi yang sangat lama, yaitu lebih dari 7 bulan. Fermentasi
secara enzimatis dilakukan dengan adanya penambahan enzim. Pada fermentasi
biasanya dilakukan penambahan enzim protease seperti enzim bromelin yang berasal
dari parutan buah nanas muda ataupun enzim papain yang dihasilkan dari getah buah
pepaya muda. Kedua jenis enzim protease tersebut memiliki fungsi untuk menguraikan
protein yang ada pada bahan baku pembuatan kecap menjadi beberapa komponen
seperti peptida, pepton, dan asam amino lainnya yang akan saling berinteraksi dan
9
menghasilkan rasa kecap yang khas. Proses fermentasi secara enzimatis dapat dibuat
dengan waktu yang lebih singkat dengan nilai kandungan protein yang lebih tinggi pula.
Namun, hasil fermentasi secara enzimatis mempunyai aroma dan rasa yang masih
kurang disukai oleh konsumen. Berdasarkan teori tersebut, proses pembuatan kecap
ikan yang dilakukan pada saat praktikum merupakan proses fermentasi enzimatis.
Menurut jurnal yang ditulis Mehdi et al (2012) adalah pembuatan kecap ikan bersifat
tradisional karena daging ikan dimasukan ke dalam wadah dan ditambahkan garam dan
air, kemudian tempat ini diletakkan di tempat yang memungkinkan sinar matahari dan
disimpan selama 25-30 hari. Campuran ini kemudian dihancurkan dan ditambahkan
mustard dan beberapa bumbu. Setelah ditambahkan, ikan difermentasi kembali selama
10-15 hari untuk mendapatkan rasa dan aroma yang sesuai. Metode tradisional tidak
dilakukan dalam praktikum, karena membutuhkan waktu yang sangat lama.
3.2. Hasil Pengamatan
Pengujian yang pertama dilakukan adalah uji sensoris yang meliputi warna, rasa, aroma,
dan penampakan kecap ikan. Pada parameter warna, menurut Fachruddin (1997) kecap
ikan berwarna coklat karena adanya reaksi pencoklatan antara gula jawa dengan
beberapa komponen pembentuk cita rasa. Lees & Jackson (1973) menambahkan bahwa
pemanasan menyebabkan reaksi Maillard, reaksi yang terjadi antara gugus asam amino
dengan gula pereduksi, sehingga produk kecap berwarna coklat. Berdasarkan hasil
pengamatan, seluruh kelompok menghasilkan kecap ikan yang berwarna coklat gelap.
Hal ini sudah sesuai dengan teori yang ada. Astawan & Astawan (1988) menambahkan
adanya aktivitas enzim proteolitik pada bahan ikan akan menyebabkan cairan yang
terbentuk lebih berwarna coklat, sehingga semakin banyak enzim yang ditambahkan,
maka warna akhirnya akan semakin coklat gelap. Teori ini tidak sesuai dengan hasil
pengamatan karena pada penambahan konsentrasi enzim yang berbeda-beda, warna
yang dihasilkan adalah sama yaitu cokelat gelap. Kesalahan ini dapat terjadi karena
beberapa hal seperti pada saat proses perebusan dan penambahan bumbu yang kurang
seragam, suhu dan waktu pemanasan dan berat bumbu atau enzim yang tidak sesuai.
Selain itu menurut Merit et al., (1982) kelemahan dari metode sensori secara
organoleptik oleh panelis adalah analisa yang dilakukan bersifat subjektif .
10
Parameter yang kedua adalah pengamatan terhadap rasa. Menurut Afrianto & Liviawaty
(1989) kecap yang berasal dari bahan hewani (kecap ikan) hanya memiliki 1 rasa, yaitu
asin. Astawan & Astawan (1988) menambahkan bahwa dengan adanya penambahan
enzim papain akan mengakibatkan protein terurai menjadi peptida, pepton, dan asam
amino lainnya, dimana komponen-komponen tersebut akan memberikan rasa yang khas
pada kecap ikan, yaitu rasa asin..Teori ini sudah sesuai dengan kelompok A1, A3, dan
A5 karena kecap ikan yang dihasilkan terasa asin. Sedangkan pada kelompok A2 dan
A4 rasa kecap ikan sangat asin. Penambahan enzim papain yang lebih tinggi seharusnya
menyebabkan rasa yang semakin asin. Hal ini juga tidak sesuai dengan teori karena
pada kelompok A5 dengan penambahan enzim 1%, rasa yang dihasilkan hanya asin.
Perbedaan rasa ini dapat dipengaruhi oleh proses penguraian protein, lama fermentasi
sehingga terbentuk senyawa peptida tertentu yang dapat menimbulkan rasa yang sangat
asin atau bahkan pahit (Afrianto & Liviawaty, 1989).
Parameter ketiga adalah aroma. Menurut Armstrong (1995), aroma pada kecap ikan
akan menentukan kualitas dari kecap ikan itu sendiri. Ditinjau dari segi aroma dan
flavor, aroma dari kecap ikan sendiri ditentukan oleh komponen nitrogen pendukung
seperti misalnya kadaverin, putresin, arginin, histidin dan ammonia. Selain itu, menurut
Afrianto & Liviawaty (1989) proses penguraian protein dengan bantuan enzim protease
akan membentuk komponen peptida, pepton, dan asam amino yang saling berinteraksi
menciptakan aroma yang khas. Sehingga semakin banyaknya konsentrasi dari enzim,
maka aroma amis dari ikan akan semakin kuat / tajam yang menyebabkan aroma kecap
ikan yang dihasilkan juga semakin tajam. Dasar teori sudah tepat pada hasil pengamatan
kelompok A5. Namun, pada kelompok A1-A3 aroma yang dihasilkan kurang tajam dan
pada kelompok A4 aroma yang terbentuk kurang tajam. Ketidaksesuaian ini disebabkan
karena pembuatan kecap ikan dilakukan secara enzimatis. Fermentasi enzimatis hanya
membutuhkan waktu yang singkat, namun mutu kecap ikan yang meliputi rasa dan
aroma yang dihasilkan fermentasi enzimatis jauh lebih rendah dibandingkan kecap yang
dibuat secara tradisional (Astawan & Astawan, 1988).
11
Dari segi penampakan terlihat bahwa kecap ikan dengan penambahan enzim terbanyak
(1%) menghasilkan penampakan kecap ikan yang agak kental, sedangkan kecap ikan
pada konsentrasi enzim 0,2%, 0,4%, 0,6%, dan 0,8% tampak kental. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Astawan & Astawan (1988) yang menyatakan bahwa enzim papain
akan menguraikan protein menjadi peptida, pepton, dan asam amino, dimana proses
penguraian akan menurunkan viskositas, sehingga kecap ikan menjadi lebih cair. Lees
& Jackson (1973) menambahkan bahwa gula jawa dapat gula reduksi akan bereaksi
dengan asam amino dan menyebabkan warna menjadi semakin coklat dan akan
meningkatkan viskositas atau semakin kental. Penyebab kecap ikan kental adalah proses
penambahan gula dan proses pemanasan yang menyebabkan uap air hilang sehingga
kecap ikan semakin kental.
Menurut Arpah (1993), hand refractometer digunakan untuk mengukur kandungan total
padatan terlarut (TPT). Padatan terlarut biasanya ditentukan dengan menggunakan
refraktometer pada suhu 2000C tanpa koreksi untuk keasaman. Padatan terlarut ini
dapat berupa gula, garam, dan protein. Prinsip kerja alat ini adalah dengan
menggunakan refraksi cahaya, sehingga saat pengujian dibutuhkan cahaya untuk
melihat hasilnya. Uji salinitas kecap ikan pada semua kelompok dengan hand
refractometer tidak dapat terdeteksi karena kecap yang dihasilkan terlalu kental.
Penyebab kecap ikan sangat kental adalah proses penambahan gula yang banyak dan
proses pemanasan yang menyebabkan uap air hilang sehingga kecap ikan semakin
kental. Pada saat praktikum, gula jawa yang ditambahkan sebanyak 3 butir sehingga
semakin banyak gula reduksi yang bereaksi dengan asam amino, dimana reaksi ini
menyebabkan viskositas meningkat (Lees & Jackson, 1973). Seharusnya penambahan
konsentrasi enzim papain yang semakin tinggi menyebabkan kadar salinitas juga
semakin tinggi (Astawan & Astawan,1988).
3.3. Faktor yang Mempengaruhi Hasil
Menurut Astawan & Astawan (1988), terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi
kualitas kecap ikan, yaitu :
12
1. Enzim papain. Semakin banyaknya jumlah enzim papain yang ditambahkan maka
protein yang terhidrolisa akan semakin tinggi pula sehingga komponen penyusun
aroma yang dihasilkan akan semakin banyak.
2. Tingkat kesegaran ikan yang digunakan sebagai bahan baku. Ikan yang segar dapat
menghasilkan rasa dan warna yang semakin kuat karena kandungan asam amino
yang dihasilkan dari hidrolisa ikan
3. Lama proses fermentasi. Proses fermentasi yang semakin lama menyebabkan
semakin banyak asam amino yang terpecah sehingga rasa dan aroma yang
dihasilkan semakin kuat.
4. Bumbu-bumbu yang ditambahkan. Penambahan bumbu-bumbu bertujuan untuk
memberikan efek pengawetan, dan memperkuat rasa kecap ikan yang dihasilkan.
5. Kebersihan. Alat yang digunakan selama proses fermentasi harus bersih. Alat yang
tidak bersih dapat dengan mudah dicemari kontaminan, yang menyebabkan aktivitas
fermentatif dari mikroorganisme yang diinginkan terhambat karena terjadinya
perebutan substrat dengan mikroorganisme kontaminan.
Menurut jurnal Ng Y.F et al (2013) faktor utama yang mempengaruhi hasil kualitas
kecap ikan adalah jenis ikan yang digunakan sebagai bahan baku. Bila ikan yang
digunakan merupakan ikan dengan kualitas baik akan dihasilkan rasa dan aroma kecap
ikan yang sesuai dengan persepsi konsumen, dan kandungan protein lebih tinggi.
Sedangkan bila ikan dengan kualitas buruk atau memiliki nilai ekonomis rendah
digunakan sebagai bahan baku, maka kecap ikan yang dihasilkan cenderung bersifat
cair.
3.4. Jurnal
Menurut jurnal yang berjudul Characteristics and Sensory Analysis of Ketchup and
Sauce Products from "Bibisan" Fish Hydrolyzate karya Yuli et al (2014) pembuatan
kecap ikan menggunakan bahan baku ikan bibisan. Ikan bibisan merupakan ikan yang
banyak dijumpai di laut Madura, Indonesia. Ikan bibisan dapat digunakan sebagai flavor
pada makanan. Metode ekstraksi flavor yang cocvok adalah cara hidrolisis dengan
enzim. Hidrolisis dengan enzim merupakan metode yang paling aman dan cepat karena
enzim dapat membebaskan asam amino bebas dan memecahnya menjadi rantai peptide
13
yang lebih pendek. Enzim protease yang digunakan diambil dari tanaman biduri.
Tanaman biduri memiliki komponen eksopeptidase yang dapat digunakan sebagai
hidrolisis protein sehingga dapat meningkatkan flavor. Hidrolisis ikan bibisan dengan
tanaman biduri ini dapat dijadikan sebagai produk kecap dan saus. Karena hidrolisa dari
kedua bahan ini mampu menghasilkan rasa umami dan dapat menjadi sumber flavor.
Dalam jurnal yang ditulis Mehdi et al (2012). Mahyavesh merupakan kecap ikan hasil
fermentasi tradisional yang biasanya dikonsumsi masyarakat Iran. Mahyavesh biasanya
menggunakan bahan baku ikan sarden, garam, mustard, dan air. Pada seluruh sampel
kecap ikan ditemukan bahwa produk mengandung senyawa histamin yang tinggi,
dimana keberadaan senyawa ini berkaitan dengan pertumbuhan bakteri terutama jenis
enterobacteriaceae dan bakteri asam laktat. Bakteri jenis tersebut mampu memproduksi
senyawa histamin yang berbahaya dalam waktu yang singkat. Walaupun kandungan
histamin pada produk kecap ikan tinggi, hal ini tidak menyebabkan kasus keracunan
karena kecap ikan tidak digunakan sebagai bahan utama msyarakat Iran sehingga
konsumsi kecap ikan masih dianggap rendah.
Jurnal diatas juga didukung dengan jurnal yang berjudul Occurrence of Biogenic
Amines and Amines Degrading Bacteria in Fish Sauce karya Muhammad et al (2010)
bahwa dalam produk fermentasi kecap ikan mengandung senyawa amina yang
merupakan komponen nitrogen dengan berat molekul rendah. Kehadiran senyawa ini
tidak diinginkan karena memiliki efek toksik pada tubuh seperti hipertensi, pusin, diare,
dan inflamasi. Senyawa amina yang paling dominan di dalam kecap adalah histamine,
putrescine, cadaverine, dan tyramine. Histamine merupakan senyawa yang paling aktif
dari amina dimana senyawa ini bersifat toksik. Sedangkan putrescine dan cadaverine
meningkatkan kandungan amina pada produk pangan. Senyawa ini tidak dapat
dihilangkan dengan pemanasan suhu tinggi. Bakteri flora di dalam kecap ikan
merupakan bakteri yang memiliki kemampuan terbesar dalam memproduksi histamine,
putrescine, dan cadaverine. Namun bakteri Bacillus dan Staphylococcus merupakan
bakteri yang mampu mendegradasi senyawa amina tersebut. Menurut US FDA senyawa
histamine yang diizinkan berada di dalam kecap ikan adalah 50 ppm, sedangkan
kandungan histamine yang terdapat pada kecap ikan masih dikatakan bersifat aman.
14
Di dalam penelitian yang dilakukan Fakunle et al (2013) dilakukan analisa karakteristik
dari fermentasi kecap ikan dari bahan baku ikan yang ditambahkan garam dan ikan yang
tidak ditambahkan apa pun. Fermentasi dilakukan selama 3 bulan. Kandungan garam
yang tinggi pada ikan terdegradasi menjadi asam amino bebas dan nitogen selama
proses fermentasi. Hal ini disebabkan karena aktivitas enzim proteolitik dan
mikroorganisme yang tumbuh pada lingkungan dengan kadar garam tinggi. Dari kedua
kecap ikan yang dibuat, kecap ikan dengan penambahan garam dan di fermentasi
selama 3 bulan mampu menghasilkan karakteristik dan rasa yang lebih baik.
Pada jurnal jurnal Ng Y.F et al (2013) pembuatan “Budu” atau kecap ikan yang
diproduksi di Malaysia biasanya menggunakan bahan baku ikan teri yang dicampur
dengan garam dan dibiarkan selama 6-12 bulan. Cairan hasil fermentasi kemudian
ditambahkan dengan asam, gula kelapa, MSG, dan penambah rasa. Sedangkan
“nampla” atau kecap ikan yang diproduksi Thailand merupakan kecap ikan yang paling
terkenal di dunia. Bahan baku kecap ikan ini adalah ikan teri (Stolephorus spp.),
mackerel (Ristrelliger spp.) dan herring (Clupea spp.) Faktor yang mempengaruhi
komposisi dan nutrisi dari kecap ikan adalah jumlah garam yang ditambahkan, suhu
fermentasi, jenis ikan, dan bahan –bahan tambahan. Di dalam jurnal ini, bahan baku
yang digunakan untuk kecap ikan adalah jenis ikan teri (, Ilisha melastoma) dan ikan
yang kurang banyak dimanfaatkan Valamugil seheli. Kecap ikan yang terbuat dari I.
melastoma memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan kecap ikan dari
V. seheli. Selain itu I. melastoma lebih cocok digunakan untuk produksi kecap ikan
karena kecap ikan dari V. seheli menghasilkan kecap ikan dengan banyak cairan.
4. KESIMPULAN
Kecap ikan merupakan produk hasil hidrolisa ikan, baik secara fermentasi dengan
garam, enzimatis, maupun kimiawi yang berwarna coklat jernih dan cair.
Tujuan fermentasi adalah untuk memperpanjang umur simpan, serta meningkatkan
flavor dan kualitas nutrisi pada produk.
Garam berfungsi untuk memberi rasa asin, menguatkan rasa, sebagai pengawet.
Bawang putih sebagai pengawet karena senyawa allicin bersifat antibakteri.
Gula jawa bertujuan untuk mengurangi rasa asin yang berlebihan, memberikan rasa
lembut, dan meningkatkan cita rasa, aroma, warna produk.
Fermentasi tradisional membutuhkan waktu yang sangat lama, yaitu lebih dari 7
bulan.
Fermentasi enzim dilakukan penambahan enzim protease seperti enzim bromelin
(nanas) atauenzim papain (pepaya).
Enzim protease bertujuan untuk menguraikan protein menjadi peptida, pepton, dan
asam amino.
Fermentasi enzimatis membutuhkan waktu singkat, protein tinggi, namun memiliki
rasa dan aroma yang kurang disukai.
Enzim papain mengakibatkan protein terurai menjadi peptida, pepton, dan asam
amino lainnya, dimana komponen-komponen tersebut akan memberikan rasa yang
khas (asin), warna gelap, aroma tajam, menurunkan viskositas (encer).
Penyebab kecap ikan sangat kental adalah proses penambahan gula yang banyak dan
proses pemanasan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas kecap ikan diantaranya banyaknya
penambahan enzim, tingkat kesegaran ikan, lama fermentasi, bumbu, kebersihan,
jenis ikan.
Semarang, 25 September 2015Praktikan, Asisten Praktikum
- Michelle Darmawan
Fiorency Santoso13.70.0082
15
5. DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan Dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Amstrong, S.B. (1995). Buku Ajar Biokimia Edisi Ketiga. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Arpah, M. (1993). Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.
Astawan, M. W. & M. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV Akademika Pressindo. Jakarta.
Dwi Suryaningrum, Suryanti & Ijah Muljanah. (2014). Membuat Fillet Ikan Patin. Penebar Swadaya. Jakarta.
Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Selai. Kanisius. Yogyakarta.
Fakunle Olubunmi, Sadiku Suleman, Ibanga Uche, & Babinisi Olumide. (2013). Preliminary Production Of Sauce From Clupeids. New York Science Journal. Vol 3 (3): page 45-49. Nigeria.
Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Lees, R. & E. B. Jackson. (1973). Sugar Confectionery and Chocolate Manufacture. Leonard Hill. Glasgow.
Lisdiana & W. Soemadi. (1997). Budidaya Nanas: Pengantar dan Pemasaran. CV Aneka. Solo.
Mehdi Zarei, Hossein Najafzadeh, Mohammad Hadi Eskandari, Marzieh Pashmforoush, Ala Enayati, Dariush Gharibi, & Ali Fazlara. (2012). Chemical and microbial properties of mahyaveh, a traditional Iranian fish sauce. Journal of Food Control. Vol 23: page 511-514. Iran.
Merit, J. H, M. L. Windsor, A. Aitken, dan I. M. Mackie. (1982). Fish Handling and Processing Second Edition. Her Majesty’s Stationery Office. Edinburgh.
Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
16
17
Muhammad Z.Z, Fatimah A.B, Jinap S. & Jamilah Bakar. (2010). Occurrence of Biogenic Amines and Amines Degrading Bacteria in Fish Sauce. Journal of Food Science. Vol 28 (5): page 440-449. Malaysia.
Ng, Y.F., Afiza T.S., Lim, Y.K., Muhammad Afif, A.G., Liong, M.T., Rosma, A. & Wan Nadiah,W.A. (2011). Proteolytic action in Valamugil seheli and Ilisha melastoma for fish sauce productions. Asian Journal of Food and Agro-Industry. Vol 4 (4): page 247-254. Malaysia.
Saleh, M; A. Ahyar; Murdinah & N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.
Yuli Witono, Wiwik Siti Windrati, Iwan Taruna, Asmak Afriliana & Ahib Assadam. (2014). Characteristics and Sensory Analysis of Ketchup and Sauce Products from "Bibisan" Fish Hydrolyzate. American Journal of Food Science and Technology. Vol 2 (6) : page 203-208. Indonesia.
18
6. LAMPIRAN
6.1. Laporan Sementara
6.2. Diagram Alir
6.3. Abstrak Jurnal