kesetaraan gender dalam pembangunan … · produksi dan urusan kemasyarakatan bersifat politik. (2)...

191
KESETARAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN PERIKANAN PANTAI: KASUS KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT SRI MURNI SOENARNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Upload: doanmien

Post on 11-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KESETARAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN PERIKANAN PANTAI: KASUS KABUPATEN SUBANG,

JAWA BARAT

SRI MURNI SOENARNO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi KESETARAAN GENDER DALAM

PEMBANGUNAN PERIKANAN PANTAI: KASUS KABUPATEN SUBANG,

JAWA BARAT adalah karya saya sendiri dengan arahan pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain yang telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Oktober 2007

Sri Murni Soenarno

P. 062024051

RINGKASAN SRI MURNI SOENARNO. Kesetaraan Gender dalam Pembangunan Perikanan Pantai: Kasus Kabupaten Subang, Jawa Barat. Dibimbing oleh DANIEL R. MONINTJA, RUDY C. TARUMINGKENG dan AIDA VITAYALA S. HUBEIS.

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, di mana 65 persen penduduknya, termasuk nelayan, hidup di wilayah pesisir. Perbandingan persentase penduduk perempuan dan lelaki hampir sama, maka potensi perempuan dapat dijadikan modal pembangunan. Perempuan banyak berperan dalam kegiatan perikanan, seperti pedagang ikan, pengolah ikan dan pengelola keuangan, tetapi peran perempuan belum terdokumentasikan sehingga mereka tidak dilibatkan dalam pembangunan perikanan.

Produksi perikanan Kabupaten Subang yang berasal dari laut adalah lima puluh persen dari jumlah total produksi perikanan. Pendaratan ikan laut tangkapan banyak dilakukan di dua pelabuhan perikanan pantai (PPP) yang terletak di Kecamatan Blanakan yaitu PPP Blanakan dan PPP Ciasem.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis kesetaraan gender dalam pelaksanaan program pembangunan kelautan dan perikanan Kabupaten Subang saat ini, (2) menganalisis sikap masyarakat pesisir terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai, dan (3) menyusun alternatif program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. Analisis data yang digunakan adalah kombinasi analisis gender (Gender Analysis Pathway dan analisis Moser), analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats (SWOT) dan pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP).

Kesimpulan yang diperoleh adalah (1) Pelaksanaan program pembangunan kelautan dan perikanan Kabupaten Subang saat ini belum responsif gender. Dalam lingkup keluarga, istri bertanggungjawab dan lebih dominan sebagai pengambil keputusan dalam urusan rumahtangga dan keluarga serta keuangan. Suami bertanggungjawab dan pengambil keputusan yang dominan dalam kegiatan produksi dan urusan kemasyarakatan bersifat politik. (2) Sikap masyarakat pesisir terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai dipengaruhi oleh faktor ekonomi berupa adanya peluang kerja dan faktor budaya berupa sosialisasi gender melalui pendidikan keluarga. (3) Program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender dan yang paling berpeluang serta dianggap penting oleh pelaku (Pemda, KUD Mina dan nelayan) untuk dilaksanakan adalah program pengembangan sumberdaya manusia (SDM) masyarakat lelaki dan perempuan. Kata kunci: Perikanan pantai, gender, Kabupaten Subang

ABSTRACT SRI MURNI SOENARNO. Gender Equality in Coastal Fisheries Development:

The case of Subang District, West Jawa. Under the direction of DANIEL R. MONINTJA, RUDY C. TARUMINGKENG and AIDA VITAYALA S. HUBEIS.

Indonesia is the biggest archipelagic state in the world where about 65 percent of their population, including fishermen, lives in the coastal area. The percentage ratio between male and female population is almost equal, so women can be a potential capital for development. Women play multiple roles in fishery activities, such as fish-trader, fish-processor, and financial administrator. However, their roles are not well documented. Fifty percent of Subang fisheries come from the sea. The most of fishes have been landed at Blanakan and Ciasem coastal port.

This research is aimed at: (1) Analyzing gender responsive of the Subang District marine and fishery programs; (2) Analyzing the attitude of coastal community toward gender equality in coastal fisheries; and (3) Developing alternative programs for coastal fishery to be gender responsive. The data analyses used the combination of gender analysis (Gender Analysis Pathway and Moser Analysis), Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats (SWOT) analysis and Analytical Hierarchy Process (AHP) approach.

The results of the research conclude that: (1) Marine and fishery programs of Subang District have not yet been gender responsive. In a family, wife responsible and becomes a dominant decision maker in domestic and social activities and as a financial administrator. On the other hand, husband responsible and becomes a dominant decision maker in production activities and political decision. (2) The community attitude may be influenced by work opportunity and culture through family education. (3) The coastal fishery development program which is gender responsive has the most chance and is considered important by stakeholders (local government, Mina Village Unit Cooperative, and fishermen) to be implemented is human resource development program for male and female.

Key words: Coastal fisheries, gender, Subang District

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007.

Hak cipta dilindungi undang-undang.

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya

ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

KESETARAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN

PERIKANAN PANTAI: KASUS KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT

OLEH: SRI MURNI SOENARNO

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr.Ir. Titik Sumarti Penguji pada Ujian Terbuka : Prof.Dr. Meutia Hatta-Swasono Prof.Dr.Ir. Tb. Sjafri Mangkuprawira

Judul Disertasi : Kesetaraan Gender Dalam Pembangunan Perikanan Pantai:

Kasus Kabupaten Subang, Jawa Barat

Nama Mahasiswa : Sri Murni Soenarno

Nomor Pokok : P. 062024051

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir. Daniel R. Monintja Ketua

Prof. Dr.Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF Dr.Ir. Aida Vitayala S. Hubeis

Anggota Anggota

Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan Prof.Dr.Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal ujian: 4 Oktober 2007 Tanggal lulus: ……………………

PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga disertasi ini dapat tersusun sesuai jadwal yang direncanakan. Disertasi dengan judul “Kesetaraan Gender Dalam Pembangunan Perikanan Pantai: Kasus Kabupaten Subang, Jawa Barat” ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan akademis pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Prof.Dr.Ir. Daniel R. Monintja, Prof.Dr.Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF dan Dr.Ir. Aida Vitayala S. Hubeis selaku Komisi Pembimbing yang telah memberi bekal yang memadai sampai tersusunnya disertasi ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Dr. Titik Sumarti selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup serta kepada Prof.Dr Meutia Hatta Swasono dan Prof.Dr.Ir. Tb. Sjafri Mangkuprawira yang telah bertindak sebagai Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka.

Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada pihak-pihak yang membantu kelancaran penelitian lapangan yaitu pejabat di Dinas Kelautan Dan Perikanan dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, aparat di Kantor Desa Blanakan dan Desa Muara, pengurus KUD Fajar Sidik dan KUD Mina Bahari, serta pihak-pihak lainnya yang tidak tersebutkan namanya di Kabupaten Subang.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada jajaran Pengurus, Pembina dan Pengawas serta kolega di The Indonesian Wildlife-Conservation Foundation (IWF), yaitu Ir. Soedjadi Hartono, Prof.Dr. Abdul Bari, Drs. Ismu S. Suwelo, Ir. Koes Saparjadi, MF, Sukandi, SH., Prof.Dr. Dedi Sudharma, Drs. Djoko Setiono, Ir. Ervizal A.M. Zuhud, serta staf lainnya, atas bantuan beasiswa dan dukungannya. Terima kasih yang tak terucapkan kepada almarhum Prof.Dr. Rubini Atmawidjaja, dan almarhum Burhanuddin, BcKN atas dukungan yang pernah diberikan, serta kepada almarhum Prof.Dr. Kasijan Romimohtarto, MSc atas wawasan awal tentang peran perempuan pesisir di bidang perikanan.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada suami, Ir. Muhammad Ikhsan, MSi atas dukungan semangat, waktu, doa, kesabaran dan materi sejak awal perkuliahan hingga kelulusan penulis, serta kepada putrinda Astari Miranti dan Irena Ganesha atas dukungan semangat dan doa serta kesabarannya. Terakhir terima kasih kepada ayahanda, Ir. Soenarno Josodarsono (alm) atas didikan tentang pentingnya memiliki semangat juang, dan kepada ibunda, Siti Moersijam Prodjosoewito atas informasi awal tentang masalah gender.

Penulis memohon maaf kepada semua pihak jika ada kesalahan baik perkataan dan perilaku yang sengaja maupun tidak sengaja telah dilakukan oleh penulis selama masa perkuliahan, penelitian hingga lulus.

Bogor, Oktober 2007

Sri Murni Soenarno

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 9 Juni 1963 sebagai anak ketiga dari empat anak pasangan Ir. Soenarno Josodarsono (alm) dan Siti Moersijam Projosoewito. Pendidikan sarjana (S1) ditempuh di Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta, UNJ), lulus pada tahun 1987. Pada tahun 1984, penulis terpilih menjadi Mahasiswa Teladan II IKIP Jakarta, saat menjabat sebagai Ketua Sub Unit Karawitan IKIP Jakarta. Setelah lulus S1, pada tahun 1987, penulis diterima di Program Studi S2 Ilmu Lingkungan–Ekologi Manusia (ILEM) pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) dan menamatkannya sebagai Magister Sains (MSi) pada tahun 1990. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor (S3) Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor (IPB) diperoleh pada tahun 2003. Biaya kuliah diperoleh dari instansi kerja penulis yaitu The Indonesian Wildlife-Conservation Foundation, IWF (Yayasan Pelestarian Alam dan Kehidupan Liar Indonesia).

Penulis bekerja sebagai konsultan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sejak tahun 1990. Pada tahun 1992 sampai 1997, penulis bekerja sebagai konsultan di PT. Selaras Rona Consultant, Jakarta.

Penulis bekerja di IWF sejak tahun 1990 hingga sekarang. Saat ini, penulis adalah anggota pengurus dan berkedudukan sebagai Sekretaris Yayasan IWF serta sebagai Pimpinan Redaksi WARTA IWF, terbitan berkala IWF. Bidang tugas kekhususan yang menjadi tanggung jawab penulis saat ini adalah pusat informasi dan pangkalan data.

Makalah ilmiah yang berjudul “Pemberdayaan Wanita Nelayan Dalam Pemanfaatan Sumber Daya Alam Secara Lestari” telah disajikan pada Lokakarya Nasional “Optimalisasi Peran Wanita Nelayan di Pesisir Pantai” yang diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis Universitas Hang Tuah Surabaya ke 16 pada tgl 24 April 2003 di Surabaya. Artikel berjudul ”Analisis Gender Terhadap Kegiatan Perikanan Pantai: Kasus Kabupaten Subang, Jawa Barat” dimuat pada Buletin PSP Volume XVI Nomer 1 April 2007, yaitu jurnal terakreditasi dari Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (Departemen PSP) Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan (FPIK) IPB. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.

Penulis menikah dengan Ir. Muhammad Ikhsan, MSi pada tahun 1990 dan dikaruniai dua puteri yaitu Astari Miranti (lahir tahun 1991) dan Irena Ganesha (lahir tahun 1993).

Penulis dinyatakan lulus dalam Ujian Doktor Terbuka pada hari Kamis tanggal 4 Oktober 2007.

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL xiii DAFTAR GAMBAR xvi DAFTAR LAMPIRAN xvii DAFTAR SINGKATAN xviii DAFTAR ISTILAH xix

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Perumusan Masalah 3 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 5 1.3.1 Tujuan penelitian 5 1.3.2 Manfaat penelitian 5 1.4 Hipotesis 6 1.5 Kerangka Pemikiran Penelitian 6 1.6 Penelitian Yang Pernah Dilakukan 8 1.7 Novelty 12 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan 14 2.2 Pembangunan Perikanan Pantai 23 2.2.1 Kebijakan dan program pembangunan perikanan

Indonesia 23

2.2.2 Peran perempuan dalam komunitas pesisir 24 2.2.3 Perikanan pantai 27 2.3 Sikap dan Pengambilan Keputusan 31 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 34 3.2 Metode Penelitian 34 3.2.1 Rancangan penelitian 34 3.2.2 Pelaksanaan penelitian 36 3.3 Analisis Data 39 3.3.1 Analisis gender 40 3.3.2 Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities and

Threats (SWOT) 42

3.3.3 Pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) 43 3.4 Definisi Operasional 43 4 KONDISI UMUM 4.1 Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Subang 45

xii

Halaman 4.2 Kondisi Kependudukan Kabupaten Subang 47 4.2.1 Distribusi penduduk 47 4.2.2 Pendidikan 51 4.2.3 Kesehatan 52 4.2.4 Kegiatan ekonomi 54 4.3 Perikanan Kabupaten Subang 56 4.3.1 Ekosistem pesisir Kabupaten Subang 56 4.3.2 Kegiatan dan hasil perikanan laut 57 4.3.3 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang 58 4.4 Pengarusutamaan Gender di Kabupaten Subang 60 4.4.1 Landasan hukum 60 4.4.2 Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD)

Kabupaten Subang 63

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Masyarakat Umum Kecamatan Blanakan 66 5.1.1 Karakteristik sosial budaya 66 5.1.2 Kegiatan ekonomi di bidang perikanan laut 71 5.1.3 Rona lingkungan hidup 84 5.2 Pengarusutamaan Gender Dalam Perikanan Pantai 87 5.3 Sikap Terhadap Kesetaraan Gender Dalam Kegiatan

Perikanan Pantai 115

5.4 Pembangunan Perikanan Pantai Yang Responsif Gender 124 5.4.1 Strategi pembangunan perikanan pantai berbasis

kesetaraan gender 124

5.4.2 Prioritas untuk pembangunan perikanan pantai yang responsif gender

126

5.6 Pembahasan Umum 136 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 146 6.2 Saran 148 DAFTAR PUSTAKA 150 LAMPIRAN 159

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Metode penelitian untuk pengumpulan data dan analisis data

sesuai tujuan penelitian di Desa Blanakan dan Desa Muara, Kabupaten Subang, tahun 2006

39

2 Perbandingan distribusi penduduk Indonesia, Kabupaten Subang dan Kecamatan Blanakan tahun 2005

48

3 Jumlah penduduk lahir, mati, datang dan pindah menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang dan Kecamatan Blanakan tahun 2005

48

4 Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2005

49

5 Jumlah penduduk kelompok umur produktif dan kelompok umur tidak produktif menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2005

49

6 Status perkawinan menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2000-2004

50

7 Persentase perempuan pernah kawin menurut umur perkawinan pertama di Kabupaten Subang tahun 1998-2003

50

8 Persentase penduduk berumur 10 tahun keatas yang buta huruf menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 1999-2004

51

9 Angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 1999-2004

51

10 Persentase pendidikan tertinggi yang ditamatkan menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2003-2004

52

11 Jumlah dan rasio fasilitas kesehatan di Kabupaten Subang tahun 2003

53

12 Persentase penduduk menurut jenis pengobatan dan jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2003

53

13 Persentase balita menurut status gizi di Kabupaten Subang tahun 1999-2005

53

14 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan Tingkat Pengangguran Terbuka menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2002-2004

54

15 Rasio pekerja menurut lapangan pekerjaan utama menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2003-2004

55

16 Persentase penduduk berumur 10 tahun keatas yang bekerja menurut sektor, status pekerjaan dan jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2002-2004

55

17 Produksi sub sektor perikanan laut menurut tempat pendaratan ikan Kabupaten Subang tahun 2005

57

18 Pendidikan terakhir responden menurut jenis kelamin di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2005

69

19 Sekolah di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2005 70

xiv

Halaman

20 Perahu/kapal motor yang mendaratkan ikan di PPP Blanakan dan PPP Muara Ciasem Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2005

72

21 Produksi KUD/TPI Fajar Sidik dan KUD/TPI Mina Bahari di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2005

72

22 Visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan dan program pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang tahun anggaran 2005-2009

88

23 Program, tujuan umum, indikasi, kegiatan dan sasaran kegiatan pembangunan kelautan dan perikanan Kabupaten Subang tahun 2005-2009

90

24 Bentuk dan sumber data serta jumlah pekerja di bidang kelautan dan perikanan menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2005

91

25 Kegiatan dan alokasi waktu dalam satu hari menurut musim ikan dan jenis kelamin pada rumahtangga komunitas di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006

97

26 Pembagian tugas dalam rumahtangga menurut jenis kelamin di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006

100

27 Pola pengambilan keputusan dalam keluarga menurut kegiatan di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006

103

28 Unsur kesetaraan gender dalam pembangunan pada komunitas perikanan laut di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006

107

29 Analisis akses, kontrol, partisipasi dan manfaat bagi lelaki dan perempuan dalam program dan kegiatan bidang kelautan dan perikanan Kabupaten Subang tahun 2005-2009

108

30 Faktor kesenjangan gender berdasarkan akses, kontrol, partisipasi dan manfaat dalam program kelautan dan perikanan Kabupaten Subang tahun 2005-2009

109

31 Faktor penyebab dari masalah kesenjangan gender dan isu gender di bidang perikanan dan kelautan di Kabupaten Subang tahun 2006

110

32 Reformulasi kebijakan dan kegiatan berdasarkan isu gender pada pembangunan kelautan dan perikanan pantai Kabupaten Subang

112

33 Rekapitulasi analisis gender dan rencana aksis pembangunan perikanan pantai yang responsif gender di Kabupaten Subang

113

34 Sikap responden terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai menurut jenis kelamin di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006

119

35 Bobot, peringkat dan skor dari faktor internal pembangunan perikanan pantai yang responsif gender di Kabupaten Subang tahun 2006

125

36 Bobot, peringkat dan skor dari faktor eksternal pembangunan perikanan pantai yang responsif gender di Kabupaten Subang tahun 2006

125

xv

Halaman

37 Kepentingan faktor untuk pembangunan perikanan pantai yang responsif gender menurut pelaku

129

38 Program terpenting pembangunan perikanan pantai yang responsif gender berdasarkan faktor penting dan menurut aparat Pemda

132

39 Program terpenting pembangunan perikanan pantai yang responsif gender berdasarkan faktor penting dan menurut pengurus KUD Mina

134

40 Rekapitulasi urutan program terpenting dalam pelaksanaan pembangunan perikanan pantai yang responsif gender menurut pelaku di Kabupaten Subang

135

41 Rekapitulasi alternatif program dan kegiatan pembangunan perikanan pantai yang responsif gender berdasarkan aspek pembangunan perikanan berkelanjutan di Kabupaten Subang

145

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian 82 Kerangka sistem perikanan berkelanjutan (Charles 2001) 303 Kerangka kerja KIE (modifikasi DENR et al. 2001) 334 Posisi pembangunan perikanan pantai saat ini dengan analisis

SWOT 126

5 Hirarki pembangunan perikanan pantai yang responsif gender 128

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Peta Kecamatan Blanakan 1592 Rencana kegiatan pembangunan kelautan dan perikanan

Kabupaten Subang tahun 2005-2009 160

3 Kuesioner sikap terhadap pengelolaan perikanan dan kesetaraan gender

163

4 Skor-T dari sikap responden terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai

164

5 Hasil pengolahan data dengan SPSS 1666 Strategi SWOT untuk pembangunan perikanan pantai di

Kabupaten Subang 168

7 Hasil pengolahan data AHP 170

xviii

DAFTAR SINGKATAN AHP : Analytical Hierarchy Process

BPMD : Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa

Dislutkan : Dinas Kelautan dan Perikanan

DKP : Departemen Kelautan dan Perikanan

GAP : Gender Analysis Pathway

GDI : Gender-related Development Index

GEM : Gender Empowerment Measured

HDI : Human Development Index

IPM : Indeks Pembangunan Masyarakat

KUD : Koperasi Unit Desa

MDGs : Millennium Development Goals

PPP : Pelabuhan Perikanan Pantai

PUG : Pengarusutamaan Gender

RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

SDM : Sumberdaya Manusia

SWOT : Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats

TPI : Tempat Pelelangan Ikan

xix

DAFTAR ISTILAH

Bias gender : Pandangan dan sikap yang lebih mengutamakan salah satu jenis kelamin daripada jenis kelamin lainnya sebagai akibat pengaturan dan kepercayaan budaya yang lebih berpihak kepada jenis kelamin tertentu, misalnya, lebih berpihak kepada lelaki daripada kepada perempuan atau sebaliknya.

Data terpilah menurut jenis kelamin

: Informasi statistik yang membedakan perempuan dan lelaki, misalnya, ‘prosentase perempuan dan lelaki dalam angkatan kerja” bukan “jumlah penduduk dalam angkatan kerja”

Isu gender : Isu-isu dan permasalahan yang disebabkan oleh ketimpangan gender. Bagian dari permasalahan adalah diskriminasi terhadap perempuan, terutama dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-sumber kehidupan, kesempatan, status, peran, hak, dan penghargaan.

Keadilan gender : Adalah proses yang adil bagi perempuan dan laki-laki. Agar proses yang adil bagi perempuan dan laki-laki terwujud, diperlukan langkah-langkah untuk menghentikan berbagai hal yang secara sosial dan menurut sejarah telah menghambat perempuan dan laki-laki untuk bisa berperan dan menikmati hasil dari peran yang dimainkannya. Keadilan gender mengantar ke kesetaraan gender.

Kesetaraan gender Berarti perempuan dan laki-laki menikmati status yang sama dan memiliki kondisi yang sama untuk menggunakan hak-haknya dan kemampuannya secara penuh dalam memberikan kontribusinya kepada pembangunan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan demikian, kesetaraan gender merupakan penilaian yang sama yang diberikan masyarakat atas kesamaan dan perbedaan antara perempuan dan laki-laki, dan atas berbagai peran yang mereka lakukan.

Kesenjangan gender : Suatu istilah yang mengacu kepada perbedaan-perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam akses ke dan kontrol atas sumber-smber daya penting, perbedaan dalam pekerjaan dan upah dimana laki-laki menerima lebih banyak dibandingkan permepuan. Selain itu terkandung juga dalam kesenjangan gender ini yaitu ketidak-seimbangan hubungan antara perempuan dan laki-laki di dalam proses pembangunan, dimana perempuan tidak berpartisipasi dalam proses pembangunan (merencanakan, memutuskan, melaksanakan, memonitor dan mengevaluasi). Kesenjangan gender dapat diidentifikasi melalui analisis gender.

xx

Pengarusutamaan gender

: Adalah suatu strategi untuk mencapai kesetaraan gender melalui kebijakan publik. Selain itu, ia juga merupakan suatu pendekatan untuk mengembangkan kebijakan yang memasukkan pengalaman-pengalaman dan permasalahan-permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program dalam bidang-bidang politik, ekonomi, dan kemasyarakatan. Tujuan pengarusutamaan gender adalah untuk memastikan apakah perempuan dan laki-laki sama-sama menikmati manfaat pembangunan sehingga kesenjangan gender tidak ada lagi).

Perencanaan yang responsif gender

: Perencanaan yang responsif gender adalah penggunaan dan pengintegrasian kerangka gender dan Pembangunan ke dalam keseluruhan siklus perencanaan pembangunan dari suatu proyek.Siklus suatu proyek yaitu perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dimana ditiap tahap tersebut partisipasi yang setara antara perempuan dan laki-laki terjadi sehingga kebutuhan-kebutuhan dan potensi-potensi mereka yang berbeda diperhatikan.

Perspektif gender : Menggunakan aspek gender untuk membahas atau menganalisis isu-isu di dalam bidang-bidang: politik, ekonomi, sosial, hukum, budaya, agama, psikologi untuk memahami bagaimana aspek gender tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan, program, proyek, dan kegiatan-kegiatan. Dalam pembahasan tersebut dipelajari bagaimana faktor gender menumbuhkan diskriminasi dan menjadi perintang bagi kesempatan dan pengembangan diri seseorang.

Responsif gender : Perhatian yang konsisten dan sistematis terhadap perbedaan-perbedaan perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat yang disertai upaya menghapus hambatan-hambatan struktural dalam mencapai kesetaraan.

Sensitif gender : Adalah kemampuan untuk mengenali kesenjangan hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki di dalam keluarga dan di dalam komunitas; dampak pembagian kerja berdasarkan gender terhadap perempuan dan laki-laki; bahwa pengalaman, permasalahan, kebutuhan, kepentingan, aspirasi perempuan dan laki-laki juga berbeda. Kesadaran ini membawanya kepada kepekaan gender yang artinya selalu mempertanyakan apakah suatu kebijakan, program, proyek, kegiatan adalah adil dan berdampak sama terhadap perempuan dan laki-laki dan hasilnya juga sama-sama dinikmati oleh perempuan dan laki-laki.

Sumber: www.menegpp.go.id

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di

dunia. Hal itu dikarenakan Indonesia memiliki sekitar 17.500 pulau besar dan

kecil, dengan garis panjang pantai lebih kurang 81.000 km dan luas laut sekitar

3,1 juta km2 yang terdiri dari 0,3 juta km2 Perairan Teritorial dan 2,8 juta km2

Perairan Nusantara. Pesisir dan laut Indonesia banyak mengandung kekayaan

sumberdaya alam, seperti keanekaragaman hayati laut, baik flora dan fauna,

ekosistem, dan kandungan bahan mineral seperti minyak dan gas bumi.

Sumberdaya alam (SDA) tersebut dimanfaatkan oleh berbagai pihak, mulai dari

pemerintah, swasta hingga masyarakat didalam menyokong keberlangsungan

hidup dan pembangunan. Sekitar 65 persen penduduk Indonesia hidup di sekitar

wilayah pesisir (Nontji 1993; Dahuri et al. 2001). Penduduk pesisir yang

berprofesi sebagai nelayan kecil sekitar 90 persen dari total nelayan Indonesia

(Murdiyanto 2004) dan jumlah nelayan Indonesia pada tahun 2004 adalah 3,4 juta

orang (DKP 2006).

Permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia sebagaimana

tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 antara lain

adalah: (1) adanya kegiatan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan

yang merusak lingkungan, meningkatnya kerusakan dan pencemaran lingkungan

di kawasan pesisir yang menurunkan kemampuan daya dukung lingkungan serta

tidak menyatunya kegiatan perlindungan fungsi lingkungan hidup dengan

kegiatan pemanfaatan SDA; (2) rendahnya kesejahteraan dan relatif tingginya

tingkat kemiskinan nelayan; dan (3) kualitas SDM Indonesia masih rendah.

Pembangunan pendidikan belum merata, masih terdapat disparitas tingkat

pendidikan yang cukup tinggi antara penduduk lelaki dan perempuan. Dalam

pembangunan pemberdayaan perempuan, masalah mendasarnya antara lain adalah

rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan, adanya bentuk praktik

diskriminasi terhadap perempuan, rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan,

serta rendahnya angka GDI dan GEM (RI 2005).

2

Berdasarkan Human Development Report 2006, angka HDI (Human

Development Index) Indonesia adalah 0,711 yang menempati peringkat ke 108

dari 177 negara. Angka GDI (Gender-related Development Index) Indonesia

adalah 0,704 yang menempati peringkat 81 dari 140 negara (UNDP 2006). Angka

GDI yang lebih rendah dari angka HDI menunjukkan masih adanya kesenjangan

gender di Indonesia. Berdasarkan Indonesia Human Development Report 2004,

angka GEM (Gender Empowerment Measured) Indonesia adalah 0,546 yang

menempati peringkat ke 33 dari 71 negara yang diukur (BPS, Bappenas & UNDP

2004). Data tersebut menunjukkan bahwa potensi perempuan di Indonesia belum

sepenuhnya diberdayakan dalam arus pembangunan ataupun dalam memutuskan

kebijakan, walaupun perbandingan populasinya hampir seimbang. Menurut data

BPS (2006), persentase penduduk Indonesia adalah 49,9 persen perempuan

banding 50,1 persen lelaki dari jumlah penduduk sekitar 219,205 juta jiwa. Rasio

jenis kelamin (sex ratio) penduduk Indonesia adalah 100,4 yang berarti dari 100

penduduk perempuan terdapat 101 penduduk lelaki. Menurut Moerpratomo

(1999), perempuan memiliki potensi yang dapat menjadi salah satu modal dasar

pembangunan dan dapat dikembangkan sebagai tenaga produktif. Tanpa

pengembangan secara berencana, jumlah yang besar itu dapat berubah menjadi

beban nasional.

Kiprah perempuan Indonesia dalam pembangunan tidaklah sedikit.

Kontribusi ekonomi mereka banyak diwujudkan dalam kegiatan di sektor informal

seperti menjadi pedagang, buruh, pekerja rumahan dan pekerja keluarga, demikian

halnya dengan kegiatan masyarakat pesisir yang menampakkan kerjasama antara

kaum lelaki dan perempuan. Menurut Sharma (2003) dan Kumar (2004),

perempuan nelayan memainkan peran penting di bidang perikanan dan dalam

memelihara struktur sosial dari rumahtangga dan komunitas mereka, tetapi

kontribusi ekonomi mereka tetap tidak dikenali dan peran mereka pun tidak

terdokumentasikan.

Peran perempuan pada masyarakat pesisir di Indonesia, khususnya pada

masyarakat nelayan, selain sebagai pengelola rumahtangga yang mengerjakan

pekerjaan domestik, juga sebagai mitra kerja suami dalam melakukan pekerjaan

produktif seperti pengumpul kerang atau nener, pengolah ikan hasil tangkapan

3

dan pedagang ikan. Waktu kerja nelayan tergantung jarak melautnya, sehingga

dapat dikategorikan dua macam nelayan yaitu yang melaut harian dan yang

melaut lebih dari satu hari bahkan hingga mingguan untuk satu kali perjalanan

(trip). Istri nelayan yang suaminya harus melaut dalam jangka waktu lama dapat

digolongkan sebagai kepala rumahtangga (KRT) perempuan sementara

(temporer). Mereka harus dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga sendirian

dan akibatnya beban yang ditanggung pun semakin berat. KRT perempuan harus

bertanggungjawab terhadap urusan rumahtangga dan sekaligus bekerja mencari

nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan Hasil Survei Sosial

Ekonomi Nasional (Susenas) 2002, persentase penduduk perempuan Indonesia

yang menjadi kepala rumahtangga (KRT) adalah 12,44 persen dibandingkan 87,56

persen KRT lelaki (BPS 2003). Namun demikian, kaum perempuan di komunitas

pesisir jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan di bidang pengelolaan

perikanan karena dianggap bukan kepala keluarga dan juga bukan nelayan yang

sesungguhnya. Menurut Dwi et al. (2002), program pemerintah di wilayah pesisir

belum berhasil membangun kesetaraan perempuan pada sektor ekonomi, sosial

dan perencanaan pengelolaan sumberdaya pesisir.

Minimnya data kuantitatif yang terpilah jenis kelamin dalam dokumen atau

data statistik perikanan di Indonesia menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan

di dalam pembangunan perikanan pantai belum banyak terdokumentasikan.

Dalam rangka mencapai tujuan dari pembangunan perikanan berkelanjutan yaitu

peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemanfaatan sumberdaya ikan (SDI)

secara berkelanjutan, diperlukan keterlibatan semua pemangku kepentingan di

bidang perikanan, termasuk kaum perempuan. Diperkirakan jika keterlibatan

kaum perempuan dalam pembangunan perikanan dan mutu sumberdaya manusia

(SDM) perempuan dapat lebih ditingkatkan maka akan dapat membantu

pencapaian tujuan pembangunan perikanan berkelanjutan dengan suatu asumsi

bahwa kemampuan SDM perempuan dan lelaki dapat saling melengkapi. Hal

inilah yang melatarbelakangi perlunya dilakukan penelitian ini.

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia dalam rangka Revitalisasi

Pertanian sebagaimana tercantum dalam Perpres No 7 Tahun 2005 yang terkait

4

dengan komunitas nelayan adalah (1) rendahnya kesejahteraan dan relatif

tingginya tingkat kemiskinan nelayan; (2) terbatasnya akses ke sumberdaya

produktif, terutama akses terhadap sumber permodalan yang diiringi dengan

rendahnya kualitas SDM; dan (3) penguasaan teknologi masih rendah. Arah

kebijakan pemerintah yang dilaksanakan oleh Departemen Kelautan dan

Perikanan (DKP) antara lain ditempuh melalui (1) peningkatan kemampuan

nelayan dan pembudidaya ikan serta penguatan lembaga pendukungnya; dan (2)

peningkatan produktivitas, produksi, daya saing dan nilai tambah produk

perikanan dengan tetap memperhatikan kesetaraan gender dan kepentingan

pembangunan berkelanjutan (RI 2005).

Terkait dengan kesetaraan gender, komitmen DKP dalam upaya

pemberdayaan perempuan sudah tampak dari adanya program Pemberdayaan

Perempuan Nelayan, yang merupakan bagian dari proyek Pemberdayaan

Masyarakat Pesisir. Program Pemberdayaan Perempuan Nelayan ini ditujukan

untuk meningkatkan keterampilan dan keahlian sumberdaya perempuan dalam hal

teknis produksi, kewirausahaan, pengelolaan usaha dan pengambilan keputusan,

serta meningkatkan akses pada informasi dan sumberdaya perikanan (DKP

2005b).

Upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan sudah dilakukan,

tetapi kondisi komunitas nelayan belum berubah, maka perlu adanya alternatif

dalam kebijakan pengembangannya. Selama ini kontribusi ekonomi kaum

perempuan pada komunitas nelayan belum dicatat dan belum ada pelibatan kaum

perempuan dalam pembangunan, oleh karena itu penelitian yang menyangkut

pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan perikanan pantai menjadi

penting untuk dilakukan mengingat Indonesia adalah negara maritim dan kondisi

kesejahteraan komunitas nelayannya masih rendah dan belum berubah, dengan

tetap memperhatikan pemanfaatan SDI yang berkelanjutan. PUG sudah tercantum

dalam arahan kebijakan pemerintah di bidang perikanan, dimana.definisi PUG

menurut Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pedoman PUG dalam Pembangunan

Nasional adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi

satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan

evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional.

5

Pertanyaan penelitian (research question) yang diajukan adalah

bagaimanakah program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender di

mana terdapat partisipasi yang setara antara lelaki dan perempuan selaku

pemangku kepentingan perikanan pantai dengan memperhatikan kebutuhan dan

potensi mereka yang berbeda? Pertanyaan rinci yang diajukan dalam penelitian

adalah sebagai berikut

(1) Dalam rangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsi institusi teknis perikanan,

apakah perempuan sudah dilibatkan? Apakah pencatatan pelaku kegiatan di

bidang perikanan sudah terpilah berdasarkan jenis kelamin? Bagaimana lelaki

dan perempuan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di bidang

perikanan?

(2) Bagaimanakah sikap komunitas pesisir terhadap kesetaraan gender dalam

perikanan pantai?

(3) Bagaimanakah program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender

sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kebijakan pemerintah?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun program pembangunan perikanan

pantai yang responsif gender yang memperhatikan kebutuhan dan potensi berbeda

dari pemangku kepentingan, lelaki dan perempuan. Tujuan penelitian tersebut

akan dicapai melalui tujuan-tujuan antara yang meliputi kegiatan

(1) Melakukan analisis responsif gender dalam pelaksanaan program

pembangunan kelautan dan perikanan saat ini.

(2) Menganalisis sikap komunitas pesisir terhadap kesetaraan gender dalam

perikanan pantai.

(3) Menyusun akternatif program bagi pembangunan perikanan pantai yang

responsif gender.

1.3.2 Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

(1) Ilmu pengetahuan, di dalam menambah wawasan kesetaraan gender dan

ekologi manusia.

6

(2) Pemerintah, baik tingkat daerah maupun pusat, sebagai pengambil keputusan

di bidang perikanan, berupa acuan dalam membuat kebijakan yang berkaitan

dengan pembangunan bidang perikanan pantai yang responsif gender.

1.4 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

(1) Pelaksanaan program pembangunan kelautan dan perikanan saat ini belum

responsif gender.

(2) Sikap pelaku perikanan pantai terhadap pembangunan perikanan pantai

berbasis kesetaraan gender memiliki hubungan dengan latar belakang sosial-

ekonomi-budaya, dengan anak hipotesis sebagai berikut

(a) Terdapat hubungan antara sikap pelaku perikanan pantai terhadap

kesetaraan gender dalam perikanan pantai dan tingkat pendidikan formal

terakhir.

(b) Terdapat hubungan antara sikap pelaku perikanan pantai terhadap

kesetaraan gender dalam perikanan pantai dan matapencaharian.

(c) Terdapat hubungan antara sikap pelaku perikanan pantai terhadap

kesetaraan gender dalam perikanan pantai dan status pekerja.

(d) Terdapat hubungan antara sikap pelaku perikanan pantai terhadap

kesetaraan gender dalam perikanan pantai dan pendapatan.

1.5 Kerangka Pemikiran

Perhatian utama dari pengelolaan perikanan ditujukan pada hubungan antara

sumberdaya ikan (SDI) dengan kesejahteraan manusia dan konservasi sumberdaya

untuk digunakan oleh generasi mendatang (Pomeroy 1995). Menurut Charles

(2001), pembangunan perikanan yang berkelanjutan tergantung empat aspek yaitu

berkelanjutan dari aspek sosio-ekonomi, komunitas, kelembagaan dan ekologi.

Perikanan dipandang sebagai suatu sistem yang terintegrasi antara komponen

ekologi, biofisik, ekonomi, sosial dan budaya, setiap komponen tersebut saling

berkaitan dan tidak berdiri sendiri. Dengan demikian, pembangunan perikanan

berkelanjutan tidak hanya bertujuan melindungi stok ikan saja, tetapi juga

meliputi pengelolaan semua aspek dari perikanan.

Menurut Simatauw et al. (2001), gender sangat berhubungan dengan

penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam, karena di dalamnya terkait

7

persoalan hubungan kuasa (kontrol) dan peran antara lelaki dan perempuan dalam

menjadikan alam sebagai sumber kehidupan. Menurut Depdagri dan BCEOM

(1998), keterlibatan pengguna atau pemangku kepentingan dalam proses

perencanaan merupakan hal kritis bagi keberhasilan rencana pengelolaan

perikanan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keterlibatan dan peranserta

pengguna atau masyarakat umum dalam perencanaan pengelolaan perikanan

adalah merupakan suatu tantangan.

Kerangka pemikiran penelitian ini adalah sebagai berikut: Kondisi

perikanan pantai di Indonesia saat ini dipengaruhi oleh kegiatan pemanfaatan

sumberdaya ikan dengan cara yang merusak, kerusakan dan pencemaran

lingkungan, tidak menyatunya kegiatan perlindungan dan pemanfaatan

sumberdaya alam serta kesejahteraan masyarakat pesisir yang masih rendah. Oleh

karena itu, perlu dilakukan pembangunan perikanan pantai yang bertujuan untuk

pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat pesisir. Keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan

perikanan pantai membutuhkan partisipasi dari pemangku kepentingan, baik lelaki

dan perempuan. Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimanakah program

pembangunan perikanan pantai yang responsif gender dengan memperhatikan

kebutuhan dan potensi pemangku kepentingan, lelaki dan perempuan, agar

tercapai tujuan pembangunan perikanan pantai. Untuk menjawab pertanyaan

penelitian tersebut dilakukan analisis gender di tingkat kebijakan dan masyarakat

serta analisis sikap masyarakat terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai

untuk mengetahui kecenderungan pengambilan keputusan. Setelah itu, dilakukan

penyusunan strategi dan program pembangunan perikanan pantai yang responsif

gender serta skala prioritas pelaksanaan program. Pelaksanaan program-program

pembangunan perikanan pantai yang responsif gender ini diharapkan dapat

meningkatkan kesetaraan gender dalam pembangunan perikanan pantai, dengan

demikian tujuan pembangunan perikanan pantai yaitu pemanfaatan sumberdaya

alam yang berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat

tercapai. Kerangka pemikiran penelitian tampak pada Gambar 1.

8

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

1.6 Penelitian Yang Pernah Dilakukan

Penelitian tentang peran dan partisipasi perempuan nelayan serta yang

terkait gender di bidang perikanan laut dan pantai yang sudah pernah dilakukan

oleh berbagai peneliti, yaitu antara lain

Kondisi perikanan pantai saat ini

- Pemanfaatan SDA berkelanjutan - Peningkatan kesejahteraan masyarakat

Kesetaraan gender dalam pembangunan perikanan pantai

Kesejahteraan masyarakat rendah

- Kegiatan pemanfaatan yg merusak - Kerusakan & pencemaran lingkungan - Kegiatan perlindungan dan pemanfaatan yang tidak menyatu

Pembangunan perikanan pantai

Partisipasi pemangku kepentingan, lelaki dan perempuan

Analisis gender Analisis sikap

Analisis kebijakan Analisis relasi gender dalam

komunitas

Strategi dan program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender

Skala Likert

GAP

Moser

Prioritas program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender

SWOT

AHP

= lingkup penelitian

9

(1) “Determinan-determinan Peranan Wanita Nelayan Dalam Meningkatkan

Kesejahteraan Rumahtangga. Studi Kasus Di Desa Haria, Kecamatan Saparua,

Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku” adalah judul tesis Demianus

Resusun, Fakultas Pascasarjana IPB, tahun 1985. Tujuan penelitiannya adalah

mengkaji pengaruh nilai sosial budaya, faktor pendidikan, bentuk dan sifat

usaha serta pola hubungan kerja nelayan yang diduga mempengaruhi status

dan peranan perempuan nelayan dalam berbagai aktivitas. Penelitiannya

bersifat deskriptif dan eksplanatoris, dengan wawancara dan kuesioner.

Hasilnya yaitu: (a) Peranan perempuan nelayan pada umumnya menonjolkan

kegiatan rumahtangga dan sosial dibanding lelaki. Perempuan dari golongan

rumahtangga menengah dan kurang mampu ternyata turut menyumbang

pendapatan tambahan bagi rumahtangga dibanding perempuan dari strata

mampu. (b) Peranan perempuan dalam pengambilan keputusan rumahtangga

lebih menonjol pada bidang pengeluaran kebutuhan pokok, sedangkan bidang

lain seperti produksi, pembentukan dan pembinaan rumahtangga serta sosial

berlaku tipe keputusan bersama dan setara.

(2) “Kehidupan Wanita Dalam Rumahtangga Miskin Di Desa Pantai. Studi Kasus

Kegiatan Sosial Ekonomi Istri Nelayan Di Desa Samudera Jaya Bekasi”

adalah judul tesis Masngudin, Program Pascasarjana UI, tahun 1997. Tujuan

penelitiannya adalah mengkaji bagaimana pengaruh kebudayaan kemiskinan

dan kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat Jawa dan Sunda yang

telah mantap terhadap posisi atau derajat istri nelayan dalam rumahtangganya.

Metode penelitiannya adalah pengamatan dan wawancara. Hasilnya adalah:

(a) Sosialisasi dalam hal pekerjaan yaitu ayah mengarahkan anak lelakinya

untuk menjadi nelayan, dan ibu mengarahkan anak perempuan untuk

mengerjakan pekerjaan rumahtangga dan bekerja sebagai buruh tani; (b) Dari

pengerahan tenaga kerja anggota rumahtangga dalam menanggulangi

kebutuhannya, memperlihatkan adanya keseimbangan derajat atau posisi

suami istri atau lelaki perempuan dalam rumahtangga nelayan miskin. Namun

pengaruh kebudayaan yang telah mantap dalam masyarakat tetap

membedakan derajat atau posisi antara suami istri dalam keluarga.

10

(3) “Studi Rekayasa Model Pembinaan Kelompok Masyarakat Nelayan Miskin Di

Pedesaan Pantai Jawa Timur” adalah judul penelitian yang dilakukan oleh A.

Qoid, H. Nursyam, P. Purwanti dan Soemarno dimuat dalam Jurnal Penelitian

Ilmu-ilmu Sosial Vol. 12 No. 1 Februari 2000. Tujuan penelitian adalah

melakukan rekayasa sosial dan kelembagaan. Metode penelitiannya adalah

kaji tindak, yaitu pengujian terhadap rancangan model. Hasilnya menunjukkan

bahwa strategi pola pembinaan kelompok nelayan miskin di perdesaan pantai

perlu dilakukan melalui penerapan lima unsur pembinaan: pertama, yaitu dua

unsur pokok yang mencakup industrialisasi perdesaan pantai dan inovasi

teknologi penangkapan, dan kedua adalah tiga unsur penunjang yaitu

pembenahan kelembagaan keuangan dan perkreditan bagi hasil, renovasi

sistem pemasaran komoditi perikanan dan pembinaan perilaku masyarakat

perdesaan pantai diarahkan kepada perilaku yang lebih produktif.

(4) “Gender, Work, And Household Survival In South Indian Fishing

Communities: A Preliminary Analysis” adalah judul penelitian yang dilakukan

oleh H.M. Hapke dimuat dalam The Professional Geographer Vol 53 No 3

tahun 2001. Tujuan penelitian adalah mempelajari saling mempengaruhi

antara gender, agama dan kasta, serta formasi strategi mempertahankan hidup

keluarga antara masyarakat nelayan Islam dan Kristen di India Selatan.

Metode yang digunakan adalah survei terhadap pola kerja lelaki dan

perempuan di dua desa. Hasil penelitian menunjukkan bagaimana ideologi

gender dan pekerjaan tertentu terkait dengan komunitas agama dan kasta yang

berbeda akan mempengaruhi pengadopsian atau pemakaian strategi

rumahtangga individual yang berbeda pula.

(5) “Community Formation And Fisheries Conservation In Southern Thailand”

adalah judul penelitian oleh C. Johnson yang dimuat dalam Development And

Change Vol 32 tahun 2001. Penelitian ini mengeksplorasi teori komunitas,

milik umum (common property) dan aksi kolektif melalui pemikiran pada

pengelolaan dan pemagaran dari perikanan pantai di Thailand Selatan. Tujuan

penelitian adalah (a) mengeksplorasi insentif yang memotivasi penduduk desa

untuk mendukung dan menjalankan common property regime (CPR); (b)

mempertimbangkan isu kepemimpinan, mengidentifikasi alasan perorangan

11

berminat untuk berhubungan dengan perikanan yang mahal; dan (c) menguji

cara-cara dimana agama dan identitas suku membantu menempa

penggambaran komunitas yang dapat mendorong aksi kolektif. Hasilnya

menunjukkan bahwa usia, gender dan kelas masyarakat memiliki dampak

yang besar pada keinginan perorangan untuk ikutserta dalam kegiatan sosio-

politik penting ini. Dalam melakukannya, digambarkan cara yang dinamis

dimana kekuasaan, struktur dan sejarah hubungan sosial dapat membentuk

komunitas, milik umum dan aksi kolektif.

(6) “Peranan Istri Nelayan Dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Rumahtangga

Nelayan Di Pedesaan Pantai Pondokdadap Malang Selatan” adalah judul

penelitian yang dilakukan oleh D. Arfiati, P. Purwanti dan A. Tumulyadi

dimuat dalam Jurnal Ilmu-ilmu Sosial (Social Sciences) Vol. 13 No. 2 Agustus

2001. Tujuan penelitian adalah mempelajari seluruh waktu istri nelayan yang

tersedia dan jenis pekerjaan yang dilakukan wanita nelayan. Metode yang

digunakan adalah metode survei. Dari analisis diperoleh hasil: (a) Waktu yang

dialokasikan untuk kegiatan produksi rumahtangga (memasak, mencuci,

membersihkan rumah, mengasuh anak dan menyiapkan makan) dalam sehari

rataan sebesar 26,47 persen, untuk kegiatan pada pasar tenaga kerja (sebagai

buruh atau penjual) sebesar 46,26 persen, dan penggunaan waktu luang

sebesar 46,22 persen (bersantai, makan, tidur, ibadah dan kegiatan sosial); (b)

Keputusan untuk bekerja dan mengikuti kegiatan sosial kemasyarakatan

ditentukan oleh wanita itu sendiri dan suami memberikan dukungan.

(7) “Curahan Waktu Dan Produktivitas Kerja Wanita Nelayan Di Pedesaan Pantai

Kabupaten Pasuruan” adalah judul penelitian yang dilakukan oleh P. Purwanti,

E.Y. Herawati dan A.R. Dani dari Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya

dimuat dalam Jurnal Ilmu-ilmu Sosial (Social Sciences) Vol. 16 No. 1

Februari 2004. Tujuan penelitian adalah menelaah seluruh waktu istri nelayan

yang tersedia serta produktivitas kerja wanita nelayan, mempelajari faktor-

faktor yang mempengaruhi curahan kerja wanita nelayan. Metode yang

digunakan adalah metode survei. Hasil penelitiannya adalah: (a) Waktu yang

dihabiskan oleh perempuan untuk kegiatan produksi pasar tenaga kerja adalah

4-7 jam, untuk kegiatan produksi rumahtangga adalah 4 jam, dan sisanya

12

sekitar 13-16 jam untuk penggunaan waktu luang; (b) Curahan kerja wanita

nelayan secara bersama-sama dipengaruhi oleh upah, banyaknya anak, umur,

pendidikan, dan status pekerjaan; (c) Wanita nelayan pengolah ikan kering

memiliki produktivitas yang paling tinggi dibandingkan dengan jenis usaha

lainnya; (d) Keputusan untuk bekerja adalah atas kemauan sendiri.

(8) “Women And Natural Resource Management: Illustrations From India And

Nepal” adalah judul penelitian yang dilakukan oleh B. Upadhyay dari

International Water Management Institute (IWMI) Gujarat dimuat dalam

Natural Resources Forum Vol. 29 tahun 2005. Tujuan penelitian adalah untuk

menggambarkan peran perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam

(SDA) dengan penekanan peran mereka dalam pengelolaan air, pertanian,

peternakan, kehutanan dan perikanan. Teknik yang digunakan adalah

partisipasi dengan menggunakan in-depth survey, focus group discussion dan

observasi–partisipasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perempuan

mengalahkan lelaki dalam hal keterlibatan mereka memanfaatkan dan

mengelola semua sektor yang diteliti. Namun, mereka menghadapi pengabaian

dan penolakan pembagian yang sama dari keuntungan yang diperoleh dari

SDA tersebut.

Hasil-hasil penelitian yang terdahulu menunjukkan bahwa kaum perempuan dari

komunitas nelayan banyak berperan di kegiatan domestik. Namun demikian,

perempuan dari keluarga nelayan miskin juga terlibat dalam berbagai kegiatan

produktif dalam rangka menambah pendapatan rumahtangga.

1.7 Novelty

Kebaruan (novelty) dari penelitian ini terletak pada

(1) Penggunaan kombinasi analisis gender (GAP dan Moser), analisis Strengths,

Weaknesses, Opportunities and Threats (SWOT) dan pendekatan Analytical

Hierarchy Process (AHP).

(a) Gender Analysis Pathway (GAP) merupakan alat analisis

pengarusutamaan gender (PUG) di tingkat kebijakan dan program

pembangunan kelautan dan perikanan di Dinas Kelautan dan Perikanan

(Dislutkan) Kabupaten Subang;

13

(b) Analisis Moser merupakan alat analisis untuk perencanaan program

pembangunan dengan menganalisis masalah dan isu gender di tingkat

rumahtangga komunitas perikanan;

(c) Analisis SWOT untuk menyusun strategi pembangunan perikanan pantai

yang responsif gender.

(d) Pendekatan AHP untuk membuat urutan prioritas program pembangunan

perikanan pantai yang responsif gender.

Secara bersama-sama kombinasi analisis ini akan menjawab pertanyaan

tentang bagaimanakah program pembangunan perikanan pantai yang

mengintegrasikan aspirasi, pengalaman dan masalah lelaki dan perempuan

selaku pemangku kepentingan perikanan, dan selanjutnya akan menyusun

alternatif program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender.

(2) Pengembangan konsep pembangunan perikanan pantai yang dilandaskan atas

prinsip kesetaraan gender yang melibatkan pemangku kepentingan, lelaki dan

perempuan.

(3) Obyek penelitian yang bersifat holistik mencakup masyarakat pesisir,

kelembagaan pemerintah daerah (Dislutkan, Badan Pemberdayaan

Masyarakat Desa/koordinator Forum Komunikasi, Konsultasi dan Koordinasi

Gender Kabupaten Subang) dan kelembagaan ekonomi (KUD Mina, Bakul

Ikan) di Kabupaten Subang.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan

Dalam Perpres No 7 Tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009 tercantum

bahwa salah satu permasalahan yang menyangkut pembangunan sumberdaya

manusia (SDM) yang dihadapi Indonesia adalah kesenjangan pencapaian

pembangunan antara lelaki dan perempuan (RI 2005). Kondisi perempuan

Indonesia dibandingkan dengan lelaki pada tahun 2002 berdasarkan Hasil Survei

Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2002 (BPS 2003) antara lain adalah sebagai

berikut:

• Angka Partisipasi Sekolah penduduk (APS) usia sekolah 7-18 tahun adalah

80,67 persen perempuan banding 80,53 persen lelaki.

• Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang buta huruf: 12,69 persen

perempuan banding 5,85 persen lelaki.

• Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) penduduk usia 15 tahun ke atas:

50,20 persen perempuan banding 85,60 persen lelaki.

• Persentase penduduk perempuan yang menjadi kepala rumahtangga (KRT):

12,44 persen perempuan banding 87,56 persen lelaki.

Alat ukur yang digunakan dalam pembangunan SDM adalah HDI (Human

Development Index) atau IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dan GDI (Gender-

related Development Index). HDI dan GDI mengukur pencapaian pembangunan

manusia dari dimensi dan indikator yang sama, tetapi GDI memperhitungkan

kesenjangan pencapaian antara lelaki dan perempuan. Selisih yang semakin kecil

antara angka GDI dan HDI menyatakan semakin kecilnya kesenjangan gender.

Dimensi dari pengukuran GDI dan HDI adalah kesehatan (indikatornya usia

harapan hidup), pendidikan (indikatornya melek aksara dan lamanya mengikuti

pendidikan formal) dan standar hidup layak (Pendapatan Domestik Bruto per

kapita). Berdasarkan Human Development Report 2006, angka HDI Indonesia

adalah 0,711 yang menempati peringkat ke 108 dari 177 negara. Angka GDI

Indonesia adalah 0,704 yang menempati peringkat 81 dari 140 negara (UNDP

2006). Angka GDI yang lebih rendah dari angka HDI menunjukkan adanya

kesenjangan gender.

15

Ukuran lain dalam pembangunan pemberdayaan gender, disamping GDI,

adalah GEM (Gender Empowerment Measured). Berdasarkan Indonesia Human

Development Report 2004, angka GEM untuk Indonesia adalah 0,546 yang

menempati peringkat ke 33 dari 71 negara yang diukur. Dimensi dari pengukuran

GEM adalah partisipasi dan pengambilan keputusan di bidang politik

(indikatornya partisipasi perempuan di parlemen), partisipasi dan pengambilan

keputusan di bidang ekonomi (indikatornya perempuan berposisi sebagai

legislator, pejabat tinggi, manajer, pekerja teknis dan profesional), dan kekuatan

terhadap sumberdaya ekonomi (indikatornya perempuan dalam angkatan kerja

dan rata-rata upah di sektor non-pertanian) (BPS-Bappenas-UNDP, 2004).

Menurut Johansson (2004), “While GDI shows women’s capabilities, GEM shows

womens opportunities in economic and political life”.

Pengertian gender adalah pembagian peran dan tanggungjawab antara lelaki

dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat (KPP 2002a).

Jika pembagian peran lebih banyak merugikan salah satu pihak, maka akan timbul

masalah gender. Dalam ruang lingkup pembangunan, kaum perempuan banyak

yang belum mendapat kesempatan untuk berpartisipasi seperti dalam kegiatan

pembinaan untuk pengembangan sumberdaya manusia (SDM) atau pengambilan

keputusan. Menurut KPP (2002b), kesenjangan gender merupakan hambatan

utama bagi peningkatan kualitas SDM, perwujudan hak asasi manusia,

pengembangan pembinaan demokrasi dan pertumbuhan ekonomi dengan

pemerataan. Semua ini merupakan kunci peningkatan posisi perempuan dalam

keluarga dan masyarakat serta peranannya dalam pembangunan dan pemanfaatan

serta penikmat hasil pembangunan.

Gender, menurut Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang

Pedoman Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, adalah

konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab lelaki dan

perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan

budaya masyarakat (RI 2000). Gender bukanlah kodrat dari ketentuan Tuhan.

Gender ini berkaitan dengan keyakinan bagaimana seharusnya lelaki dan

perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur,

ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada (KPP 2002b).

16

Peran terkait dengan status yang keduanya merupakan konsep pokok dalam

struktur sosial. Status adalah kedudukan sosial seseorang dalam kelompok dan

dalam masyarakat (Popenoe 1989) atau sekumpulan hak dan kewajiban (Sunarto

2004). Status dibagi menjadi dua yaitu status yang tergariskan (ascribed status)

dan status yang diperoleh dengan usaha sengaja (achieved status). Status

tergariskan adalah status yang diberikan kepada seseorang atas dasar keturunan

atau yang dibawa sejak lahir, seperti jenis kelamin, tingkat umur dan kelahiran

dalam kelompok khusus; sedangkan status yang diperoleh adalah status yang

diberikan kepada seseorang atas dari kemampuan atau prestasi (Koentjaraningrat

1986; Abdulsyani 1994; Sunarto 2004).

Peran adalah tingkah laku yang diharapkan dari seseorang terkait dengan

kedudukannya (Popenoe 1989; Abdulsyani 1994) atau suatu perbuatan seseorang

dengan cara tertentu dalam usaha menjalankan hak dan kewajibannya sesuai

dengan status yang dimilikinya (Abdulsyani 1994). Peran adalah aspek dinamis

dari status (Abdulsyani 1994; Sunarto 2004). Berkembangnya suatu masyarakat

dan lancarnya roda kehidupan masyarakat karena anggota masyarakat tidak

bertindak melampaui batas-batas peranannya; sebaliknya, kehidupan masyarakat

akan rusak jika anggota masyarakat berbuat melampaui atas peranannya atau tidak

menyadari akan peranannya (Kartasapoetra dan Kreimers 1987). Peran gender

adalah peran sosial yang dihubungkan dengan keadaan lelaki atau perempuan.

Peran gender yang diharapkan ini diajarkan dan diperkuat melalui sosialisasi sejak

lahir (Popenoe 1989). Dalam sosialisasi gender, agen penting yang berperan

adalah keluarga, kelompok bermain (teman bergaul), sekolah dan media massa

(Popenoe 1989; Sunarto 2004).

Berbagai pembedaan peran dan kedudukan (status) antara lelaki dan

perempuan baik langsung berupa perlakuan atau sikap maupun tidak langsung

berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah

menimbulkan berbagai ketidakadilan yang telah berakar dalam sejarah, adat,

norma ataupun struktur masyarakat. Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat

diskriminasi gender itu (KPP 2002c; Fakih 2004) meliputi

(1) Marjinalisasi perempuan yang mendeskripsikan rendahnya status dan akses serta penguasaan seseorang terhadap sumberdaya ekonomi dan politik. Contoh: tidak adanya hak waris untuk kaum perempuan di beberapa suku di Indonesia.

17

(2) Subordinasi yaitu keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau utama dibanding lainnya. Contoh: anggapan bahwa perempuan itu emosional sehingga perempuan tidak dapat memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.

(3) Pandangan stereotipi (pelabelan) yaitu citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum melahirkan ketidakadilan. Contoh: anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami, sehingga pendidikan kaum perempuan dinomorduakan.

(4) Kekerasan yang merupakan suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang bersifat individu di lingkungan rumahtangga atau tempat umum, juga dalam masyarakat. Contoh: pelecehan seksual yang bersifat non fisik hingga penyiksaan yang bersifat fisik.

(5) Beban kerja yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kelamin tertentu. Hampir 90 persen pekerjaan dalam rumahtangga dikerjakan oleh perempuan, sehingga bagi perempuan yang bekerja akan memikul beban kerja ganda, di rumah dan di tempat kerja. Pekerjaan domestik adalah jenis “pekerjaan perempuan” dan dikategorikan “pekerjaan bukan produktif” sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara.

Istilah gender terkait dengan istilah feminisme. Feminisme adalah suatu

kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan, di tempat kerja

dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk

mengubah keadaan tersebut (Bhasin dan Khan 1995; Fakih 2004). Fakih (2004)

membagi aliran feminisme menjadi dua aliran besar dalam ilmu sosial yakni aliran

fungsionalisme dan aliran konflik, sebagai berikut

(1) Aliran fungsionalisme atau fungsionalisme struktural. Teori ini meyakini

bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang

saling berkaitan dan masing-masing bagian secara terus-menerus mencari

keseimbangan dan harmoni. Konflik dalam suatu masyarakat dilihat sebagai

tidak berfungsinya integrasi sosial dan keseimbangan. Teori ini mempengaruhi

pemikiran feminisme liberal dan pengaruh feminisme liberal terwujud dalam

program Women In Development (WID). Dasar pemikiran feminisme liberal

(Umar 2001; Fakih 2004; lihat Ritzer dan Goodman 2003) adalah semua

manusia, lelaki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya

tidak terjadi penindasan antara satu dengan lainnya. Kelompok ini

18

menghendaki agar perempuan terintegrasikan secara total di dalam semua

peran, sehingga tidak ada kelompok gender yang lebih dominan.

(2) Aliran konflik. Menurut Fakih (2004), teori konflik meyakini bahwa setiap

kelompok masyarakat memiliki kepentingan dan kekuasaan yang merupakan

pusat dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan lelaki dan perempuan.

Perubahan akan terjadi melalui konflik yang akhirnya akan mengubah posisi

dan hubungan. Teori ini dianut oleh feminisme marxis, feminisme sosialis dan

feminisme radikal. Feminisme marxis memandang bahwa penindasan

perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi.

Persoalan perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme,

dan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Feminisme sosialis

berusaha memerangi konstruksi visi dan ideologi masyarakat serta struktur

dan sistem yang tidak adil yang dibangun atas bias gender. Feminisme sosialis

(Ritzer dan Goodman 2003) mendeskripsikan penindasan gender sebagai

sesuatu yang muncul dari usaha sistem patriarki dan kapitalis untuk

mengontrol produksi dan reproduksi sosial. Menurut Umar (2001), kelompok

feminisme radikal memandang perempuan tidak harus bergantung kepada

lelaki. Aliran ini mengupayakan pembenaran rasional bahwa lelaki adalah

masalah bagi perempuan.

Dalam rangka menghapuskan berbagai bentuk diskriminasi kepada kaum

perempuan karena tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945, Pemerintah Indonesia mengeluarkan regulasi pertama yang menyangkut

kesetaraan dan keadilan gender yaitu Undang-undang (UU) No. 7 Tahun 1984

tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention On The Elimination Of All Forms

Of Discrimination Against Women, CEDAW), selanjutnya Inpres No. 9 Tahun

2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional diterbitkan dalam rangka

mengimplementasikan UU No. 7 Tahun 1984 tersebut dan Beijing Platform for

Action (BPFA). BPFA merupakan hasil dari Konperensi Internasional Perempuan

Keempat yang diselenggarakan oleh PBB pada tahun 1995 di Beijing. Salah satu

hasil dari BPFA adalah pentingnya untuk mendisain, menerapkan dan memantau

kebijakan dan program pembangunan yang sensitif gender pada semua tingkatan

yang akan membantu pemberdayaan dan kemajuan perempuan (KPP 2002a;

19

Handayani dan Sugiarti 2002). Saat ini yang menjadi landasan pokok untuk

meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan adalah

Peraturan Presiden (Perpres) No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009.

Belenggu budaya patriarkhi telah mengakibatkan perempuan tidak

menyadari proses diskriminasi dan subordinasi yang selama ini terjadi di

masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan proses pewacanaan konsep

kesetaraan dan keadilan gender pada semua warga, baik lelaki dan perempuan

(Dwi et al. 2002; Subhan 2002). Berdasarkan Inpres No. 9 Tahun 2000,

kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi lelaki dan perempuan untuk

memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan

dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan

keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan;

sedangkan keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap lelaki

dan perempuan (RI 2000).

Untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender maka perlu

dikembangkan kebijakan pembangunan yang responsif gender, yaitu kebijakan

yang memberikan perhatian yang konsisten dan sistematis terhadap perbedaan

lelaki dan perempuan dalam masyarakat yang disertai upaya menghapus hambatan

struktural dalam mencapai kesetaraan. Sesuai amanat Inpres No. 9 Tahun 2000

maka pembangunan di semua sektor perlu mengintegrasikan pendekatan gender

dalam kebijakan dan programnya dengan melalui strategi Pengarusutamaan

Gender (PUG). PUG adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan

gender menjadi suatu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan,

pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan

nasional. Tujuan PUG adalah untuk terselenggaranya perencanaan, penyusunan,

pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan

nasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan

keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara (RI 2000). Dengan demikian, melalui strategi PUG dapat

dikembangkan kebijakan dan program yang responsif gender. Untuk

pembangunan di daerah, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Keputusan

No. 132 (Kepmendagri No. 132 Tahun 2003) tentang Pedoman Umum

20

Pelaksanaan PUG Dalam Pembangunan Di Daerah (Depdagri 2003; Depdagri

2004). Kepmendagri No. 132 Tahun 2003 mengatur tentang pembentukan

organisasi pelaksanaan PUG yaitu koordinator pelaksana, kelompok kerja dan

focal point PUG serta pembiayaan untuk pelaksanaan PUG sebesar lima persen

dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di wilayah masing-

masing.

Faktor empiris menunjukkan masih adanya kelemahan dalam perencanaan

pembangunan yang belum mengakomodasi kepentingan dan aspirasi perempuan

secara seimbang sehingga mengakibatkan potensi, posisi, peran, dan kedudukan

perempuan sering diabaikan dalam pelaksanaan dan pemanfaatan hasil-hasil

pembangunan (KPP 2002b). Penyebab perempuan terisolir dari proses

pembangunan adalah karena: (1) beban ganda dimana perempuan melakukan

pekerjaan domestik dan sekaligus mencari nafkah; dan (2) kebijakan

pembangunan tidak diperuntukkan bagi kaum perempuan. Kaum lelaki dianggap

sebagai kepala rumahtangga dan berhak untuk jadi wakil dalam komunitas yang

lebih luas (Krisnawaty 1993). Oleh karena itu, dibutuhkan perencanaan

pembangunan berperspektif gender yang merupakan suatu upaya untuk

mentransformasikan PUG kedalam kegiatan nyata institusi sektor. Intinya adalah

mengintegrasikan permasalahan diskriminasi terhadap lelaki dan perempuan

kedalam seluruh komponen perencanaan pembangunan yaitu kebijakan, program

dan kegiatan, sehingga kepentingan, aspirasi dan kebutuhan peningkatan peran

dan partisipasi perempuan dan lelaki dalam pembangunan dapat diakomodasikan

secara proporsional kedalam kepentingan dan tujuan pembangunan pada institusi

sektor (KPP 2002d). Hal ini sesuai dengan pendapat Moser (1993), “The goal of

gender planning is the emancipation of women from their subordination, and their

achievement of equality, equity and empowerment”.

Perencana kebijakan menggunakan analisis gender untuk menilai dampak

kebijakan bagi perempuan dan lelaki atas program dan atau peraturan yang

diusulkan dan dilaksanakan. Analisis gender mengakui bahwa realitas kehidupan

perempuan dan lelaki adalah berbeda, sedangkan kesempatan yang sama tidak

harus berarti menghasilkan output yang sama (KPP 2002b; Handayani dan

Sugiarti 2002). Analisis gender mengidentifikasi isu gender yang disebabkan oleh

adanya perbedaan antara lelaki dan perempuan dalam:

21

(1) memperoleh akses dan kontrol terhadap sumberdaya; (2) berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya pada pengambilan

keputusan; dan (3) memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung dari

kebijakan, program maupun kegiatan pembangunan (KPP 2002d).

Metode analisis gender yang disebut dalam Kepmendagri No. 132 Tahun

2003 adalah Gender Analysis Pathway (GAP). GAP ini digunakan untuk

membantu perencana dalam melakukan PUG dalam perencanaan kebijakan,

program, dan kegiatan pembangunan (Depdagri 2003). GAP adalah suatu metode

analisis untuk mengetahui kesenjangan gender dengan melihat aspek akses,

kontrol, partisipasi dan manfaat yang diperoleh lelaki dan perempuan dalam

program pembangunan (KPP 2003).

Metode analisis gender lainnya adalah Model Moser atau Teknik Analisis

Moser yang dibuat oleh Caroline O.N. Moser. Model Moser adalah suatu teknik

analisis yang membantu perencana atau peneliti dalam menilai, mengevaluasi,

merumuskan usulan dalam tingkat kebijakan, program dan kegiatan yang lebih

peka gender, dengan menggunakan pendekatan terhadap persoalan perempuan,

identifikasi terhadap peranan gender perempuan (produktif, reproduktif dan sosial

kemasyarakatan) dan identifikasi kebutuhan praktis-strategis gender (Moser 1993;

Handayani dan Sugiarti 2002; KPP 2003).

Regulasi di Indonesia sudah banyak yang mengarusutamakan gender dalam

pembangunan, namun regulasi saja tidak cukup, diperlukan komitmen untuk

pelaksanaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bemmelen (1995) yang

menyatakan bahwa persamaan hak di depan hukum jelas tidak menjamin

kesetaraan de facto. Oleh karena itu, menurut Aguilar dan Castaneda (2001),

untuk mengejar tujuan pembangunan yang berkelanjutan, tiap orang mempunyai

tanggungjawab dan kewajiban, dengan melakukan bersama semua tindakan yang

akan memungkinkan realisasi ubahan yang diusulkan. Jika orang yang

berpartisipasi berada pada posisi yang subordinasi dan tertindas (dipandang dari

sudut gender, usia, etnis, kelas atau kondisi sosial-ekonomi, agama, politik), hal

ini akan sulit untuk mencapai persetujuan minimum yang dibutuhkan untuk

membawa mereka mengakui satu sama lain sebagai setara yaitu sebagai orang

dengan kewajiban yang akan dibagi dan yang dapat dipercayai.

22

Program pembangunan secara formal seringkali dikuasai oleh lelaki dan

karena sumberdaya yang penting dalam kehidupan suatu masyarakat hampir

selalu dikuasai oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan sosial, ekonomi dan

politik yang lebih kuat maka adanya marjinalisasi terhadap peran perempuan

dalam pengambilan keputusan sering diabaikan. Hal ini terjadi karena perempuan

memang jarang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang bersifat

formal. Pelibatan perempuan ke dalam wacana yang bersifat pengaturan

sumberdaya kolektif di tingkat komunitas (lokal) masih belum banyak dibahas

dalam pendekatan pembangunan. Padahal, isu pengaturan sumberdaya di tingkat

komunitas merupakan isu penting yang terkait langsung dengan kehidupan

perempuan miskin (Anonim, 2003).

Menurut Soetrisno (1993), kemiskinan dari sudut pandang perempuan

berarti tidak hanya kekurangan ekonomis, tetapi juga penderitaan fisik maupun

pengorbanan dari kehormatannya sebagai perempuan seperti menjual dirinya

sebagai perempuan. Menurut Hubeis (2004)

“Kombinasi kendala ketiadaan akses pada unsur ekonomi, sosial, dan kekuasaan yang dihadapi oleh perempuan (miskin) menyebabkan terjadinya peningkatan feminization of poverty. Sejak tahun 1970-an, jumlah perempuan di dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan telah meningkat menjadi 50 persen dibanding dengan 30 persen lelaki. Lebih dari 70 persen dari 1.300 juta orang miskin saat kini adalah perempuan. Untuk kasus Indonesia, keadaan tersebut tak jauh beda.”

Rumahtangga dalam isu gender dan kemiskinan merupakan salah satu sumber

diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan. Ketidaksetaraan di dalam

alokasi sumberdaya dalam rumahtangga memperlihatkan lelaki dan perempuan

mengalami bentuk kemiskinan yang berbeda (Anonim 2003).

Pada tingkat dunia sudah ada satu komitmen internasional yang terkait

dengan persoalan perempuan, kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan yaitu

The Millennium Development Goals (MDGs). MDGs merupakan hasil komitmen

The Millenium Declaration, yaitu suatu konsensus global dari 189 negara anggota

PBB (termasuk Indonesia) yang lahir pada tahun 2000. Delapan komitmen kunci

yang dikemukakan dalam MDGs (UNIFEM and BMZ 2004) sebagai berikut

(1) Eradicate extreme poverty and hunger (2) Achieve universal primary education (3) Promote gender equality and women’s empowerment (4) Reduce child mortality

23

(5) Improve maternal health (6) Combat HIV/AIDS, malaria and other diseases (7) Ensure environmental sustainability (8) Develop a global partnership for development.

Dari delapan komitmen MDGs, enam komitmen pertama berhubungan langsung

dengan kondisi dan kebutuhan perempuan yang perlu ditangani serta memberikan

berbagai bentuk partisipasi kepada perempuan untuk berkiprah dalam

pembangunan, sedangkan dua komitmen lainnya terkait dengan pembangunan

berkelanjutan. Menurut OECD (1996), perempuan termasuk pelaku kunci dalam

pengelolaan lingkungan yang terkait dengan peran mereka yang menonjol sebagai

pengguna utama sumberdaya untuk keperluan rumahtangga mereka. Penguatan

posisi perempuan melalui intervensi pembangunan dapat membawa kemajuan

pembangunan yang lebih berkesetaraan dan pada gilirannya mempertinggi

harapan untuk menyuarakan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.

2.2 Pembangunan Perikanan Pantai

2.2.1 Kebijakan dan program pembangunan perikanan Indonesia

Dalam Perpres No. 7 Tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, salah satu

sasaran pokok dari Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat Indonesia adalah

untuk menurunkan jumlah penduduk miskin melalui upaya meningkatkan

pertumbuhan ekonomi Indonesia; terkait dengan sasaran pokok tersebut terdapat

prioritas untuk Revitalisasi Pertanian. Permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia

dalam rangka Revitalisasi Pertanian yang terkait dengan komunitas nelayan

adalah (1) rendahnya kesejahteraan dan relatif tingginya tingkat kemiskinan

nelayan; (2) terbatasnya akses ke sumberdaya produktif, terutama akses terhadap

sumber permodalan yang diiringi dengan rendahnya kualitas SDM; (3)

penguasaan teknologi masih rendah; dan (4) belum optimalnya pengelolaan

sumberdaya perikanan. Arah kebijakan pemerintah yang dilaksanakan oleh

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) ditempuh dengan tiga langkah pokok

yaitu (1) peningkatan kemampuan nelayan dan pembudidaya ikan serta penguatan

lembaga pendukungnya; (2) pengamanan ketahanan pangan (termasuk

ketersediaan ikan dari dalam negeri); dan (3) peningkatan produktivitas, produksi,

daya saing dan nilai tambah produk perikanan dengan tetap memperhatikan

kesetaraan gender dan kepentingan pembangunan berkelanjutan (RI 2005).

24

Program pembangunan yang terkait dengan bidang perikanan dalam Perpres

No. 7 Tahun 2005 yaitu Program Pengembangan Sumberdaya Perikanan. Program

ini bertujuan untuk mengelola, mengembangkan, dan memanfaatkan sumberdaya

perikanan secara optimal, adil, dan berkelanjutan dalam rangka peningkatan

devisa, nilai tambah hasil perikanan, serta pendapatan nelayan dan masyarakat

pesisir lainnya. Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini meliputi unsur

berikut.

(1) Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir. (2) Pembangunan dan rehabilitasi sarana dan prasarana perikanan. (3) Peningkatan usaha perikanan skala kecil. (4) Pengendalian dan peningkatan pelayanan perizinan usaha. (5) Penyusunan kebijakan dan perencanaan pengelolaan perikanan

untuk setiap kawasan. (6) Peningkatan pemasaran, standar mutu, dan nilai tambah produk

perikanan. (7) Penguatan kelembagaan dan tata laksana kelembagaan. (8) Pengembangan iptek (ilmu pengetahuan) dan peningkatan riset

perikanan. (9) Pengembangan sistem data, statistik dan informasi perikanan. (10) Peningkatan sumberdaya manusia (nelayan, penyuluh dan

pendamping perikanan). (11) Peningkatan profesionalisme perencanaan dan pengawasan

pembangunan perikanan (RI 2005).

Institusi pemerintah yang berwenang untuk mengelola sektor kelautan dan

perikanan adalah Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Pada saat ini upaya

pemberdayaan perempuan yang sudah dilakukan oleh DKP adalah program

Pemberdayaan Perempuan Pesisir yang merupakan salah satu kelompok sasaran

dari Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, yang merupakan bagian dari

proyek Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir. Program ini berada di

bawah wewenang Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Direktorat

Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Program ini ditujukan untuk

meningkatkan keterampilan dan keahlian sumberdaya wanita pesisir dalam hal

teknis produksi, kewirausahaan, pengelolaan usaha dan pengambilan keputusan,

serta meningkatkan akses pada informasi dan sumberdaya perikanan (DKP,

2005b).

2.2.2 Peran perempuan dalam komunitas pesisir

Wilayah pesisir ialah jalur saling pengaruh antara darat dan laut,

mempunyai ciri geosfer khusus; ke arah darat dibatasi oleh pengaruh sifat fisik

25

laut dan sosial ekonomi bahari, sedangkan ke arah laut dibatasi oleh proses serta

akibat kegiatan manusia terhadap lingkungan darat (Sumawidjaya et al. 2000).

Dengan demikian, masyarakat yang hidup dan menetap di wilayah pesisir disebut

masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir umumnya mencari nafkah atau bekerja di

bidang perikanan, baik sebagai nelayan, pembudidaya ikan, pengolah hasil

perikanan atau pedagang ikan.

Menurut Satria (2002), untuk membangun masyarakat pesisir diperlukan

pemahaman sosiologis tentang masyarakat pesisir. Kajian sosiologis masyarakat

pesisir bersumber pada aktivitas masyarakat yang terkait dengan sumberdaya

perikanan. Menurut Kusumastanto (2003), sifat dan karakteristik masyarakat

pesisir dipengaruhi oleh aspek sosial budaya (seperti pendidikan dan mentalitas)

dan jenis kegiatan usaha (seperti perikanan tangkap, perikanan tambak dan

pengolahan hasil perikanan).

Komunitas nelayan mempunyai jam kerja yang tidak tetap. Banyak nelayan

yang pergi melaut pada malam hari, bahkan ada yang melaut lebih dari satu hari

dan jauh dari rumah atau keluarga, dengan demikian bila sudah berada di laut

nelayan tidak dapat melakukan pekerjaan lainnya. Akibatnya waktu untuk

melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan di darat pun relatif kurang,

komunikasi kurang dan informasi yang diterimanya pun kurang. Bagi mereka pun

akan sulit untuk memisahkan waktu untuk berpartisipasi dalam program

penyuluhan yang berhubungan dengan perikanan. Akibat dari aktivitas nelayan

yang sedemikian rupa maka peran mereka sebagai kepala rumahtangga atau

kepala keluarga menjadi minim dan kegiatan sosial kemasyarakatan di darat pada

umumnya dilakukan oleh pihak perempuan atau istri. Menurut Satria (2002),

akibat sedikitnya waktu dan kesempatan nelayan untuk berinteraksi dengan

masyarakat lain, maka posisi sosial nelayan dapat dikategorikan rendah. Hal ini

menyebabkan ketiadaan kemampuan nelayan untuk mempengaruhi kebijakan

publik.

Perempuan nelayan adalah perempuan yang bergerak di bidang perikanan,

baik sebagai bakul ikan, pengolah hasil perikanan atau pengumpul biota laut, yang

umumnya suami atau ayahnya berprofesi sebagai nelayan (DKP 2001). Peran

perempuan nelayan (Aguilar and Castaneda 2001; Sharma 2003; Murdiyanto

2004) adalah melalui kegiatan penangkapan langsung (mengumpulkan ikan dari

26

terumbu karang atau menggunakan jaring tarik dari pantai), pengolahan,

perdagangan dan pendistribusian ikan kepada sanak famili yang merupakan

bentuk tanggungjawab kepada komunitas.

Berdasarkan laporan pengamatan Ikhsan (2003) terhadap kegiatan

perempuan di bidang perikanan di Pulau Jawa diketahui bahwa ada beberapa

tingkatan peran perempuan di bidang perikanan sebagai berikut.

(1) Peran sebagai istri yang mengurus anak dan suami, termasuk membantu membersihkan jaring, menyulam jaring, mengelola hasil tangkapan agar siap dipasarkan sampai dengan menjual hasil tangkapan ikan oleh suami.

(2) Sebagai pekerja hasil laut rumahan (seperti: fillet atau pemotong ikan, picker atau pengupas kulit rajungan, kerang, keong dan udang, perebus kerang atau keong).

(3) Sebagai pekerja pabrik perikanan (seperti: fillet, pembekuan ikan atau udang, pengepak dan pemberi label).

(4) Menjadi bakul yang memasok hasil tangkapan nelayan atau panen ikan kepada para supplier atau pabrik.

(5) Menjadi bendahara (pemegang keuangan) dari perusahaan keluarga (supplier).

(6) Menjadi Supplier yang memasok bahan baku ke pabrik. (7) Menjadi Quality Control pabrik. (8) Menjadi eksportir perikanan ke mancanegara.

Menurut Sharma (2003), peran perempuan di bidang perikanan di Asia ada

empat yaitu: (1) sebagai pekerja di bidang perikanan (dibayar atau tidak dibayar);

(2) sebagai pekerja di pemrosesan ikan (penuh atau paro-waktu); (3) orang yang

bertanggungjawab terhadap keluarga dan komunitas; dan (4) sebagai pekerja di

luar bidang perikanan (seperti pedagang warung). Pekerjaan yang dilakukan

perempuan ini jarang dianggap sebagai pekerjaan produktif, umumnya dianggap

sebagai perpanjangan dari pekerjaan domestik. Nilai sosial rendah dilekatkan

kepada pekerjaan domestik dan komunitas yang dilakukan oleh perempuan.

Dalam hal partisipasi perempuan nelayan dalam proses pengambilan

keputusan, menurut Kumar (2004), perempuan nelayan umumnya tidak

terorganisir dengan baik dan kurang efektif sebagai kekuatan politik dibandingkan

dengan lelaki. Ketika perempuan diberi tempat dalam suatu organisasi dan proses

pengambilan keputusan, maka mereka akan membawa suatu perspektif yang

meletakkan peningkatan kualitas hidup dan matapencaharian berbasis perikanan

sebagai suatu hal yang mendasar.

27

Dalam dokumen FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries No.

10 Increasing the contribution of small-scale fisheries to poverty alleviation and

food security (2005) ditegaskan bahwa untuk mengembangkan dan

mengimplementasikan suatu sistem pengelolaan sumberdaya perikanan perlu

diadopsi perspektif kesetaraan gender dan pengakuan terhadap posisi perempuan

dalam komunitas dan dalam sektor perikanan. Menurut panduan FAO, “How

small-scale fishers are defined in legislation is important, and has potentially

significant gender impacts. For example, processing and marketing activities

where typically women are more active, in addition to capture fisheries”.

2.2.3 Perikanan pantai

Perikanan pantai (coastal fishery) yang dimaksud dalam tulisan ini adalah

kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan di perairan tepi laut, dekat atau sekitar

pantai. Menurut UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,

“Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan atau mengawetkannya.”;

sedangkan definisi perikanan (UU No. 31 Tahun 2004) adalah sebagai berikut:

“semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.”.

Perikanan pantai dikenal juga sebagai perikanan rakyat dan subsisten atau

perikanan artisanal (berskala kecil). Perikanan pantai meliputi hampir lebih dari

90 persen nelayan Indonesia. Lebih dari 10 juta nelayan kecil dapat mendaratkan

20 juta ton ikan per tahun (Murdiyanto 2004). Sebagian besar nelayan artisanal

tersebut tergolong miskin. Karakteristik nelayan kecil (small-scale fishermen)

adalah sebagai berikut: memiliki kapasitas teknologi yang masih sederhana,

jumlah armada yang sedikit, biasanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan

hidup sehari-hari (subsisten) jadi bukan untuk diinvestasikan kembali untuk

pengembangan skala usaha, cenderung menggunakan sistem pembagian hasil

penjualan tangkapan ikan antara pemilik perahu dan nelayan yang melaut.

Komunitas nelayan kecil sangat rentan secara ekonomi terhadap timbulnya

28

ketidakpastian yang berkaitan dengan musim-musim produksi (Charles 2001;

Satria et al. 2002; DKP 2005c).

Bagi mayoritas rumahtangga di negara berkembang yang terlibat dalam

kegiatan perikanan (nelayan penuh atau temporer), kegiatan menangkap ikan

tidak mendatangkan penghasilan tinggi tetapi dapat menolong mereka untuk

mempertahankan hidup dan mencegah mereka jatuh ke situasi yang lebih buruk.

Nelayan miskin sangat mengandalkan sektor pascapanen dimana perempuan

merupakan mayoritas pekerjanya. Sektor pascapanen memberikan penghasilan

yang nyata dan peluang kerja bagi perempuan yang memiliki keterbatasan pilihan,

khususnya di lokasi perdesaan yang terpencil. Sektor pascapanen perikanan

menawarkan kontribusi yang sangat potensial untuk pengentasan kemiskinan

(FAO 2005).

The FAO’s Advisory Committee on Fishery Research (ACFR) Working

Group on Small-Scale Fisheries (FAO 2005) memberikan satu pernyataan tentang

visi perikanan skala kecil sebagai berikut

The vision for small-scale fisheries is one in which their contribution to sustainable development is fully realized. It is a vision where: • they are not marginalized and their contribution to national

economies and food security is recognized, valued and enhanced; • fishers, fish workers and other stakeholders have the ability to

participate in decision-making, are empowered to do so, and have increased capability and human capacity, thereby achieving dignity and respect; and

• poverty and food insecurity do not persist; and where the social, economic and ecological systems are managed in an integrated and sustainable manner, thereby reducing conflict.

Menurut Kusnadi (2002, 2004), faktor kelangkaan sumberdaya perikanan

dan kemiskinan memiliki kontribusi dalam peningkatan intensitas konflik. Untuk

meminimalisasi konflik tersebut diperlukan peraturan daerah tentang pengelolaan

sumberdaya perikanan lokal dan pemberdayaan masyarakat itu sendiri.

Untuk membantu nelayan pantai yang tergolong nelayan kecil ini, maka

dilakukan pengelolaan sumberdaya perikanan pantai. Tujuan dari pelaksanaan

pengelolaan sumberdaya perikanan pantai (Murdiyanto 2004) adalah untuk:

(1) mempertahankan kelestarian sumberdaya ikan dan kelanjutan kegiatan produksi ikan melalui pemanfaatan sumberdaya pantai sebagai matapencaharian masyarakat pantai yang bersangkutan,

29

(2) meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial nelayan pantai, dan

(3) menjamin upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat dan industri terhadap sumber makanan dari perikanan pantai.

Kemitraan (co-management) antara pemangku kepentingan utama

(pemerintah dan masyarakat) dalam pengelolaan wilayah pesisir merupakan hal

yang penting untuk mencapai pengelolaan dan pemanfaatan yang berkelanjutan.

Tanpa dukungan kebijakan dan peraturan pemerintah, sistem pengelolaan yang

dihasilkan tidak akan memiliki kekuatan hukum (Savitri dan Khazali 1999).

Pengelolaan perikanan (fisheries management) merupakan upaya penting

dalam menjaga kesinambungan sumberdaya. Hal ini dimaksudkan agar generasi

sekarang dan generasi mendatang dapat menikmati kekayaan sumberdaya

perikanan (Satria, 2002). Menurut Fauzi dan Anna (2005), apabila kaidah-kaidah

pembangunan berkelanjutan dan holistik tidak dipenuhi, pembangunan perikanan

akan mengarah ke degradasi lingkungan, eksploitasi-lebih dan praktik perikanan

yang destruktif. Hal ini sesuai dengan definisi pengelolaan perikanan (UU No. 31

Tahun 2004) yaitu:

“semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati”.

Dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) harus

ada pemaduan dan keseimbangan antara pembangunan dan konservasi alam,

karena dengan mengkonservasi alam maka pembangunan dapat berkelanjutan

(KLH dan UNDP 2000). Menurut UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup, “Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan

hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup,

termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin

kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa

depan” (RI 1997).

Menurut Charles (2001), konsep pembangunan perikanan yang

berkelanjutan mengandung empat aspek berikut.

30

(1) Ecological sustainability (ekologi berkelanjutan) memberi perhatian utama terhadap memelihara stok atau biomassa sehingga tidak melewati daya dukungnya dan meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem.

(2) Socioeconomic sustainability (sosio-ekonomi berkelanjutan) mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan berkelanjutan kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu.

(3) Community sustainability (komunitas berkelanjutan) mengandung makna bahwa kesejahteraan dari sisi masyarakat harus menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan.

(4) Institutional sustainability (kelembagaan berkelanjutan) menyangkut pemeliharaan aspek finansial, administrasi dan organisasi yang sehat yang merupakan prasyarat ketiga pembangunan berkelanjutan lainnya.

Dalam konsep sistem perikanan berkelanjutan (sustainable fishery system),

perikanan adalah suatu jaringan dari komponen ekologi, biofisik, ekonomi, sosial

dan budaya yang saling terkait dan berinteraksi (Charles 2001). Kerangka yang

menggambarkan interaksi dari empat aspek tersebut dilukiskan pada Gambar 2.

Gambar 2 Kerangka Sistem Perikanan Berkelanjutan (Charles 2001)

Sistem perikanan berkelanjutan (sustainable fishery system) merupakan

konsep baru sebagai pengganti konsep lama yaitu hasil yang berkelanjutan

(sustainable yield). Fokus dari sustainable fishery system adalah sistem perikanan

yang memperhatikan ekosistem dan masyarakat; sedangkan sustainable yield

berfokus pada output fisik yaitu hasil perolehan ikan yang berkelanjutan (Charles

2001). Perubahan pola pikir ini terjadi karena penghitungan fisik dari stok ikan

saja dianggap tidak menjamin hasil tangkapan yang berkelanjutan karena

Ecological sustainability

Socioeconomic sustainability

Community sustainability

Institusional sustainability

31

perikanan berkelanjutan banyak tergantung kepada perilaku dan pengambilan

keputusan dari pemangku kepentingan di bidang perikanan.

2.3 Sikap dan Pengambilan Keputusan

Dalam kehidupan sehari-hari banyak pengambilan keputusan dilandaskan

intuisi, padahal dengan intuisi banyak kemungkinan untuk keliru. Untuk

mengatasinya kemudian dikembangkan sistematika baru yaitu analisis keputusan

yang diharapkan dapat memperoleh keputusan yang berlandaskan logika. Tiga

aspek yang berperan dalam analisis keputusan adalah kecerdasan, persepsi dan

falsafah (Marimin 2004).

Pengambilan keputusan adalah suatu proses kognitif yang mengarahkan ke

pemilihan suatu aksi diantara berbagai pilihan. Proses kognitif rutin seperti

ingatan, pemikiran atau pertimbangan dan formasi konsep pada diri individu

memainkan peranan penting dalam pengambilan keputusan (TIP 2006).

Tindakan pengambilan keputusan seseorang akan dilandasi oleh motif orang

tersebut. Menurut Gerungan (2004), motif adalah semua penggerak, alasan atau

dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Motif

memberikan tujuan dan arah kepada tingkah laku manusia. Upaya pendidikan

motif diarahkan untuk membentuk kerangka pengertian dan kesadaran pada

seseorang yang dapat merangsangnya untuk menggunakan potensi diri secara

konstruktif dan produktif bagi seluruh masyarakat.

Motivasi seseorang terkait dengan sikap orang tersebut terhadap suatu

obyek. Menurut Gerungan (2004), sikap senantiasa terarah kepada suatu obyek,

jadi tidak ada sikap tanpa ada obyeknya. Sikap terhadap sesuatu obyek, gagasan

atau orang tertentu adalah suatu sistem yang berlangsung terus yang mengandung

komponen kognitif, komponen afektif dan kecenderungan untuk bertindak.

Komponen kognitif menyangkut kepercayaan atau keyakinan terhadap obyek

sikap; komponen afektif menyangkut perasaan emosional yang terkait dengan

keyakinan tersebut; dan kecenderungan untuk bertindak adalah kesiapan untuk

merespon dengan cara yang tertentu. (Freedman et al. 1978; Azwar 1988).

Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh

individu. Dalam interaksi sosial, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu

terhadap berbagai obyek psikologis yang dihadapinya. Faktor-faktor yang

mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang

32

lain yang dianggap penting, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga

agama serta faktor emosi dalam diri individu (seperti prasangka) (Azwar 1988).

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan berarti ikut sertanya masyarakat

dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan pembangunan, dan ikut serta

memanfaatkan dan menikmati hasil pembangunan. Tanpa partisipasi masyarakat

dalam memanfaatkan (hasil) pembangunan berarti tingkat hidup atau tingkat

kesejahteraan masyarakat tidak naik. Keberhasilan pembangunan nasional

ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat, baik dalam menyumbangkan

asupan maupun menikmati hasil pembangunan (Slamet 2003).

Terkait dengan pembangunan perdesaan, hasil penelitian Prawoto (2001)

menyimpulkan bahwa pembangunan masyarakat desa perlu didorong dengan

proses motivasi, peningkatan partisipasi, serta memperhatikan dan

mempertimbangkan inspirasi dan aspirasi masyarakat yang bersangkutan.

Sarannya adalah bahwa dalam proses pembuatan keputusan desa, diharapkan

melibatkan secara aktif partisipasi masyarakat. Untuk itu pemimpin formal

(kepala desa) maupun informal (ulama dan guru) sangat dibutuhkan untuk

memberikan motivasi kepada masyarakat desa.

Peran dari masyarakat dalam pengelolaan pesisir luas jangkauannya dan

tergantung pada banyak faktor seperti isu-isu yang terlibat, konteks pemerintahan,

motivasi dan kemampuan masyarakat serta proses kebijakan. Masyarakat

mempunyai beberapa peran penting dan potensial yang memberikan sumbangan

kepada perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir (Cicin-Sain and Knecht

1998; Kay and Alder 1999).

Sehubungan dengan peranserta masyarakat dalam pengelolaan pesisir,

Pollnac et al. (2003) melakukan evaluasi tentang faktor yang mempengaruhi

keberlanjutan proyek pengelolaan wilayah pesisir terpadu di Jawa Tengah dan

Sulawesi Utara. Hasil temuannya adalah faktor yang paling penting

mempengaruhi keberlanjutan proyek pengelolaan wilayah pesisir tersebut adalah

partisipasi individual dan komunitas dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek.

Partisipasi atau peranserta masyarakat tersebut dipengaruhi oleh keuntungan

(manfaat) yang dirasakan masyarakat.

Menurut DENR et al. (2001) isu lingkungan di wilayah pesisir umumnya

kompleks. Untuk melibatkan masyarakat tersebut maka kesadaran mereka

33

terhadap lingkungannya perlu ditingkatkan. Pendidikan lingkungan atau

komponen kesadaran masyarakat dari program pengelolaan wilayah pesisir (PWP)

memerlukan pendekatan komprehensif dan holistik untuk tahap komunikasi pada

tingkat komunitas, sehingga diperlukan pendekatan melalui upaya komunikasi,

informasi dan edukasi (KIE). Kerangka kerja KIE ini terlukis pada Gambar 3.

Gambar 3 Kerangka Kerja KIE (modifikasi DENR et al. 2001)

Upaya KIE juga digunakan dalam PUG sebagaimana tercantum dalam

Kepmendagri No. 132 Tahun 2003. Dalam Pasal 3 Bab Pelaksanaan PUG

Kepmendagri No. 132 Tahun 2003 tercantum bahwa Pemerintah Daerah

(Provinsi, Kabupaten dan Kota) perlu meningkatkan upaya Komunikasi,

Informasi dan Edukasi (KIE) melalui sosialisasi, penyuluhan, advokasi,

pendidikan dan pelatihan tentang pengarusutamaan gender kepada seluruh

aparatur pemerintah dan seluruh komponen masyarakat (Depdagri 2003). Melalui

upaya KIE ini diharapkan terbentuk sikap baru masyarakat terhadap kesetaraan

gender dan pengelolaan perikanan berkelanjutan.

Etika lingkungan Nilai

sosial

Perubahan perilaku

Aksi/advokasi lingkungan

Melek lingkungan

Pendidikan lingkungan

PWP

3 METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Subang. Alasan

penetapannya karena di kabupaten ini terdapat dua pelabuhan perikanan pantai

(PPP) yang dilengkapi oleh tempat pelelangan ikan (TPI) yang dikelola oleh

koperasi unit desa (KUD) bidang bahari (Mina) yang sudah maju yaitu KUD

Mandiri Inti Fajar Sidik yang mengelola TPI di Desa Blanakan dan KUD Mandiri

Mina Bahari yang mengelola TPI di Desa Muara Ciasem, keduanya terletak di

Kecamatan Blanakan (lihat Lampiran 1).

Penelitian lapangan dilakukan dalam rentang waktu 8 (delapan) bulan, mulai

pada bulan Januari 2006 hingga Agustus 2006. Kegiatan penelitian lapangan ini

meliputi pengumpulan data primer dan sekunder.

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Rancangan penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yang

digabungkan dengan penelitian kuantitatif. Data dikumpulkan dengan wawancara

mendalam dan observasi serta diperkuat dengan kuesioner (Moleong 1994;

Singarimbun 1989). Subyek dari penelitian ini adalah pelaku di bidang perikanan

pantai, baik lelaki dan perempuan. Desain penelitian ini adalah desain penelitian

analitis. Menurut Nazir (1999), tujuan studi analitis untuk menguji hipotesis dan

mengadakan interpretasi yang lebih mendalam tentang hubungan atau proses.

Penelitian ini dilakukan dengan metode survei dan in-depth study (studi

mendalam). Penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu

populasi dengan menggunakan alat pengumpulan data kuesioner dan wawancara

(Singarimbun 1989; Vredenbregt 1984). Tujuan penelitian survei ini adalah untuk

mencari data seluas mungkin dalam rangka mempelajari kondisi sosial dari suatu

kelompok manusia, hubungan antar-manusia, dan juga pola kelakuan manusia

(Vredenbregt 1984; Faisal 2003). In-depth study digunakan untuk memperdalam

informasi dari data yang diperoleh dari metode survei dan in-depth interview

(wawancara mendalam).

35

Alat pengumpulan data adalah dengan menggunakan kuesioner dan

pedoman wawancara yang digunakan untuk memperoleh data primer. Kuesioner

memuat pertanyaan yang bersifat tertutup dan terbuka. Kuesioner ditujukan ke

responden masyarakat perikanan pantai, lelaki dan perempuan. Pedoman

wawancara digunakan untuk mewawancarai informan. Informan yang terkait

dengan kehidupan masyarakat pesisir di Kecamatan Blanakan ini adalah guru,

pemuka agama, pamong desa dan pegawai Puskesmas. Menurut Koentjaraningrat

(1989), informasi mengenai profil masyarakat pesisir dapat diperoleh melalui

wawancara dengan informan.

Teknik pengumpulan data adalah dengan wawancara, observasi dan Focus

Group Discussion (FGD). Metode wawancara digunakan untuk mengumpulkan

informasi yang terkait dengan data pribadi, sikap dan pengetahuan tentang kondisi

sosial setempat. Metode observasi digunakan untuk memperoleh data mengenai

gejala nyata di lapangan. FGD (DENR et al. 2001) adalah diskusi kecil mengenai

isu tertentu yang digunakan untuk memperoleh informasi, menjernihkan persepsi

dan membangun konsensus. Topik FGD dalam penelitian ini adalah peran dan

partisipasi perempuan dalam perikanan pantai serta relasi gender dalam

masyarakat setempat.

Unit penelitiannya adalah pengambil keputusan (decision-makers) dan

pelaku di bidang perikanan pantai. Responden dibagi menjadi dua tingkatan yaitu

tingkat instansi beserta penunjang perikanan dan tingkat rumahtangga: responden

di tingkat instansi dan penunjangnya yang terkait kebijakan dan program adalah

pejabat Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) Kabupaten Subang, pejabat

Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Kabupaten Subang yang

membidangi urusan pemberdayaan perempuan, pengurus Koperasi Unit Desa

(KUD) Mina; responden di tingkat rumahtangga masyarakat pesisir adalah

nelayan, pengolah ikan serta pedagang (Bakul) ikan, lelaki dan perempuan. Jika

yang terlibat dalam usaha perikanan tersebut adalah suami-istri, keduanya menjadi

obyek penelitian ini. Menurut Hubeis (2001), pada umumnya perempuan (istri)

berkedudukan sebagai pengelola di usaha keluarga tersebut.

Penentuan responden dilakukan secara purposive sampling. Menurut

Nasution (1982) dan Lynn (2002), purposive sampling merupakan teknik

36

pengambilan sampel dengan cara sampel dipilih oleh peneliti sehingga relevan

dengan desain penelitian. Responden diambil dari Desa Blanakan dan Desa Muara

Ciasem di Kecamatan Blanakan dengan alasan pelabuhan perikanan pantai (PPP)

Kabupaten Subang terletak di dua desa ini. Secara spesifik, responden dipilih dari

mereka yang memiliki matapencaharian di bidang perikanan yaitu nelayan,

pengolah ikan dan Bakul Ikan. Responden diambil sebanyak 60 orang yang terdiri

dari 30 orang lelaki dan 30 orang perempuan.

3.2.2 Pelaksanaan penelitian

(1) Data primer

Data primer dikumpulkan dengan kuesioner, wawancara mendalam, FGD

dan observasi. Data yang menyangkut kebijakan dan program dikumpulkan

dengan wawancara mendalam untuk menjawab tujuan tentang pelaksanaan

pembangunan kelautan dan perikanan di Kabupaten Subang sudah responsif

gender atau belum. Data yang dikumpulkan adalah:

i. Pelaksanaan pengarusutamaan gender (PUG) di Kabupaten Subang yang

mencakup kegiatan yang dilaksanakan, struktur organisasi, hambatan,

anggaran dan pembinaan yang dilakukan.

ii. Pelaksanaan Perikanan Pantai di Kabupaten Subang yang mencakup

tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) serta rencana strategis (Renstra)

Dislutkan.

Data primer yang menyangkut rumahtangga yang merupakan kombinasi

data kualitatif dan kuantitatif dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner,

wawancara mendalam dan observasi. Data ini untuk mencari profil gender di

dalam rumahtangga dan pengetahuan tentang lingkungan di sekitar rumahtangga.

Cakupan data yang menyangkut profil rumahtangga sebagai berikut:

i. Profil sosial-ekonomi-budaya keluarga mencakup:

• data karakteristik sosial ekonomi keluarga yang meliputi umur,

jumlah anggota keluarga, status pernikahan, pekerjaan pokok dan

sampingan, pendapatan dan belanja keluarga, dan kegiatan yang

dilakukan sehari-hari, dan

37

• data karakteristik sosial budaya yang meliputi asal suku, agama yang

dianut, adat istiadat yang masih dilakukan, pendidikan dan

penyuluhan yang pernah diikuti.

ii. Analisis gender di lingkungan tempat kerja dan rumahtangga meliputi

akses, kontrol, partisipasi, manfaat yang diterima, pengambilan

keputusan, pembagian kerja dan alokasi waktu (lihat Sayogyo 1981,

Hubeis 1985).

iii. Pengetahuan responden tentang pemanfaatan sumberdaya perikanan

pantai dan lingkungan hidup mencakup:

• kualitas keseluruhan dari sumberdaya pesisir saat ini,

• kepatuhan terhadap peraturan sumberdaya pesisir dan perikanan,

• penyelesaian konflik komunitas pada isu-isu yang berhubungan

dengan sumberdaya pesisir dan perikanan,

• keterlibatan masyarakat dalam kegiatan perikanan, dan

• masalah lingkungan hidup setempat seperti pendangkalan sungai,

pengalihan fungsi kawasan hutan menjadi kawasan budidaya,

pencemaran lingkungan.

Data primer tentang sikap pelaku perikanan terhadap kesetaraan gender

dalam perikanan pantai dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dengan

skala Likert. Data ini untuk menjawab pertanyaan tentang sikap masyarakat

terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai. Jawabannya tersusun atas

lima kategori (Azwar 1988, 2003) yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), antara

setuju dan tidak (N), tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS).

Focus Group Discussion (FGD) digunakan untuk memperoleh informasi

dan menyamakan persepsi tentang peran dan partisipasi perempuan di bidang

perikanan pantai dan relasi gender dalam masyarakat setempat. Peserta FGD

adalah aparat Pemda (Dislutkan dan BPMD), pegawai KUD Mina, nelayan dan

perempuan nelayan. FGD di kalangan masyarakat dilaksanakan secara terpisah

antara lelaki dan perempuan.

Data primer yang menyangkut profil masyarakat pesisir dikumpulkan

dengan melakukan wawancara terhadap tokoh masyarakat, antara lain guru,

38

tenaga medis, pemuka agama, dan pamong desa. Data tersebut meliputi

pendidikan, kesehatan, kondisi religius, kehidupan sehari-hari dan perekonomian.

(2) Data sekunder

Sumber data sekunder adalah laporan, hasil penelitian, data statistik institusi

dan literatur. Data sekunder yang dikumpulkan dari dokumentasi dan arsip berupa

fotokopi dan file komputer, antara lain adalah sebagai berikut.

i. Kebijakan dan program PUG di Kabupaten Subang.

ii. Kebijakan dan program perikanan pantai di Kabupaten Subang.

iii. Data statistik perikanan tangkap dari TPI setempat sebagai berikut:

• jumlah dan jenis kapal atau perahu yang berlabuh,

• jumlah dan jenis ikan yang dilabuhkan,

• jumlah nelayan pemilik perahu dan nelayan buruh,

• jumlah peserta lelang di TPI,

• jumlah dan kondisi sarana-prasarana perikanan yang tersedia,

• penyaluran kredit perikanan, dan

• pemasaran hasil.

iv. Data statistik pengolahan hasil perikanan sebagai berikut:

• jumlah pengolah hasil perikanan,

• jenis produk pengolahan,

• teknologi yang digunakan, dan

• pemasaran hasil.

v. Data profil masyarakat yang diambil sebagai berikut:

• struktur penduduk menurut kelompok umur, jenis kelamin,

matapencaharian, pendidikan, agama, tingkat kepadatan serta

pertumbuhan penduduk (tingkat kelahiran dan kematian),

• ketenagakerjaan,

• perekonomian lokal meliputi sarana perekonomian, kegiatan

ekonomi,

• kesehatan masyarakat meliputi sarana layanan kesehatan, pengobatan

dan status gizi balita,

• pendidikan meliputi tingkat partisipasi sekolah, angka buta huruf,

pendidikan tertinggi yang ditamatkan, dan

39

• perkawinan dan perceraian.

Metode pengumpulan data, data yang dibutuhkan dan analisis data yang

disesuaikan dengan tujuan penelitian direkapitulasi pada Tabel 1.

Tabel 1 Metode penelitian untuk pengumpulan data dan analisis data sesuai tujuan penelitian di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang, tahun 2006

No Tujuan penelitian Data yang dibutuhkan

Metode pengumpulan data Responden Analisis data

1

Analisis responsif gender terhadap pelaksanaan program pembangunan kelautan dan perikanan

Kebijakan tentang perikanan pantai dan PUG

Wawancara, data sekunder Dislutkan, BPMD

Analisis dokumen, GAP

Profil relasi gender dalam masyarakat

Wawancara dan kuesioner, FGD

Komunitas pesisir Analisis Moser

2 Analisis sikap terhadap kesetaraan gender di perikanan pantai

Sikap masyarakat terhadap kesetaraan gender

Kuesioner skala Likert

Komunitas pesisir Skor T

3

Penyusunan program yang responsif gender

Kondisi internal dan eksternal pelaksanaan perikanan pantai

Data sekunder, FGD Aparat Pemda SWOT

Pemrioritasan pelaksanaan program

Program yang responsif gender Hasil SWOT

Aparat Pemda, KUD Mina, nelayan

AHP

3.3 Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dengan bantuan analisis statistik dan analisis

deskriptif. Analisis statistik merupakan bentuk analisis kuantitatif. Data yang

dikumpulkan dengan kuesioner dianalisis dengan tabulasi silang. Selanjutnya,

dilakukan pengujian hipotesis yang telah disusun dengan menggunakan uji

korelasi untuk mencari hubungan antara skor sikap dan aspek pendidikan formal,

jenis pekerjaan, pendapatan dan status pekerja.

Analisis deskriptif merupakan penganalisisan secara kualitatif dimana

semua data yang tersedia dari berbagai sumber ditelaah dan kemudian dilakukan

reduksi data, sesuai dengan tujuan penelitian. Langkah selanjutnya adalah

menyusun dalam satuan yang kemudian dikategorisasi sambil membuat koding.

Tahap akhir adalah pemeriksaan keabsahan data, setelah itu dilakukan tahap

penafsiran data (Moleong 1994). Data kualitatif hasil wawancara mendalam

dianalisis secara deskriptif.

Hasil perhitungan dari kuesioner skala Likert merupakan skor mentah, oleh

karena itu perlu penginterpretasian skor lebih lanjut. Menurut Azwar (1988), suatu

40

cara untuk memberi interpretasi terhadap skoring individual adalah dengan

membandingkannya dengan harga rataan (mean) skor kelompok dimana subyek

itu termasuk. Hasil dari perbandingan ini merupakan interpretasi skor individual

sebagai lebih atau kurang favorable (mendukung) dibandingkan dengan rataan

kelompoknya. Skor standar dalam skala model Likert adalah skor-T, yaitu:

T = 50 + 10 [ XX− ] s

dimana

X = skor individual yang diperoleh dari skor total pada skala sikap, X = mean skor kelompok, dan s = deviasi standar skor kelompok

3.3.1 Analisis gender

Teknik analisis gender adalah satu teknik yang dapat memberikan gambaran

tentang adanya perbedaan maupun saling ketergantungan antara lelaki dan

perempuan dalam proses pembangunan, serta adanya perbedaan tingkat manfaat

yang diperoleh lelaki dan perempuan dari hasil pembangunan. Sebagai suatu alat,

analisis gender ini tidak hanya melihat peran, aktivitas, tetapi juga hubungan yang

meliputi: siapa yang membuat keputusan, siapa yang memperoleh keuntungan,

siapa yang menggunakan sumberdaya pembangunan (seperti tanah, kredit), siapa

yang menguasai sumberdaya pembangunan, faktor-faktor apa (hukum, ekonomi

atau sosial) yang mempengaruhi hubungan tersebut (Handayani dan Sugiarti

2002). Dalam penelitian ini analisis gender yang digunakan adalah Gender

Analysis Pathway (GAP) dan Moser.

(1) Gender Analysis Pathway (GAP)

GAP digunakan untuk menganalisis data tentang tingkat responsif gender di

program kelautan dan perikanan saat ini dengan responden dari instansi di bidang

perikanan yaitu Dinas Perikanan dan Kelautan (Dislutkan) Kabupaten Subang.

GAP terdiri dari tiga tahap, yaitu: tahap pertama, adalah menganalisis kebijakan

kelautan dan perikanan apakah sudah responsif gender atau belum; tahap kedua,

yaitu merumuskan kembali atau reformulasi kebijakan tersebut hingga responsif

gender; tahap ketiga, adalah menyusun rencana kegiatan yang sudah responsif

gender (KPP 2003). Alur kerja GAP (KPP 2002d) sebagai berikut.

41

i. Identifikasi tujuan umum dari kebijakan dan program yang ada, apakah

sudah terformulasi bahwa hasilnya bermanfaat bagi lelaki dan

perempuan.

ii. Penyajian data kualitatif dan kuantitatif yang diuraikan menurut jenis

kelamin sebagai pembuka wawasan guna mengungkap dampak

perbedaan kebijakan dan program terhadap perempuan dan lelaki.

iii. Menganalisis faktor penyebab terjadinya kesenjangan gender.

iv. Merumuskan isu gender yang terjadi pada langkah ketiga.

v. Merumuskan kembali langkah program atau kegiatan sehingga

menghasilkan rumusan program dan kegiatan yang responsif gender.

vi. Mengidentifikasi indikator gender dari hasil rumusan langkah kelima.

vii. Menyusun rencana aksi yang dapat mengatasi kesenjangan antara

perempuan dan lelaki.

viii. Identifikasi sasaran program atau kegiatan.

(2) Analisis Moser

Analisis gender di tingkat rumahtangga masyarakat nelayan dilakukan

dengan menggunakan analisis Moser. Dalam penelitian ini yang dianalisis

menggunakan teknik Moser yaitu identifikasi peran gender, pengambilan

keputusan dan penilaian kebutuhan gender.

Pengidentifikasian peran gender dilakukan dengan penyusunan pembagian

kerja gender atau pemetaan kegiatan atau pembagian tugas lelaki dan perempuan

dalam rumahtangga selama 24 jam (KPP 2003). Metode yang digunakan untuk

keperluan ini adalah dengan wawancara mendalam. Metode yang digunakan

adalah dengan recall period method. Metode recall pendek digunakan untuk

mengetahui kegiatan rutin sehari-hari, sedangkan recall panjang untuk

mengetahui kegiatan insidentil responden satu bulan terakhir (Handayani dan

Sugiarti 2002).

Analisis pengambilan keputusan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

pola pengambilan keputusan dalam keluarga, antara suami dan istri, dan dalam

kehidupan sehari-hari. Analisis ini menggunakan pembagian yang telah dilakukan

oleh Sayogyo (1981), yaitu keputusan istri atau suami sendiri, dan keputusan

42

bersama (dengan posisi istri atau suami dominan, dan setara antara suami-istri).

Metode yang digunakan adalah dengan melakukan wawancara mendalam.

Penilaian kebutuhan gender dibedakan menjadi kebutuhan praktis dan

strategis gender. Kebutuhan praktis gender (KPG) menyangkut kebutuhan untuk

memperbaiki kondisi perempuan, sedangkan kebutuhan strategis gender (KSG)

menyangkut kebutuhan untuk memperbaiki posisi perempuan (KPP 2003).

Penilaian kebutuhan gender dilakukan dengan wawancara mendalam.

3.3.2 Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats (SWOT)

Teknik SWOT merupakan suatu analisis manajemen dengan cara

mengidentifikasi secara internal mengenai kekuatan dan kelemahan dan secara

eksternal mengenai peluang dan ancaman. Aspek internal dan eksternal ini

dipertimbangkan dalam rangka menyusun program aksi, tindakan untuk mencapai

sasaran dan tujuan kebijakan atau kegiatan (Rangkuti 1999). Analisis SWOT ini

dilaksanakan setelah analisis data lainnya selesai dilakukan dengan tujuan mencari

alternatif strategi pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. Langkah

SWOT yang dilakukan (Rangkuti 1999; KPP 2003) sebagai berikut:

i. mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan (internal),

ii. mengidentifikasi peluang dan ancaman (eksternal),

iii. analisis keterhubungan kunci internal dan eksternal, dan

iv. menyusun rencana aksi yang responsif gender.

Pembobotan dan penetapan peringkat dalam analisis dilakukan setelah

berdiskusi dengan para pemangku kepentingan perikanan laut dan pantai. Jumlah

total semua bobot adalah 1, dimana rentangnya adalah bobot 1 (sangat penting)

hingga bobot 0 (tidak penting). Nilai peringkat peluang dan kekuatan yang

tertinggi adalah 4, sedangkan yang terendah adalah 1; sebaliknya, ancaman dan

kelemahan yang terbesar diberi nilai -1, sedangkan yang terkecil adalah -4.

Evaluasi lingkungan internal dilakukan untuk mengetahui kekuatan dan

kelemahan untuk melaksanakan pembangunan perikanan pantai yang responsif

gender. Evaluasi internal tersebut disusun dalam matriks IFAS (Internal Strategic

Factors Analysis Summary). Evaluasi lingkungan eksternal dilakukan untuk

mengetahui berbagai kemungkinan peluang dan ancaman dalam melaksanakan

pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. Evaluasi disusun dalam

43

matriks EFAS (External Strategic Factors Analysis Summary). Dari hasil IFAS

dan EFAS dapat diketahui posisi pembangunan perikanan pantai saat ini.

3.3.3 Pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP)

AHP merupakan suatu pendekatan untuk pengambilan keputusan dengan

menstruktur masalah dalam bentuk hirarki dan memasukkan berbagai

pertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif (Saaty 1991; Saaty and

Vargas 1994). AHP dilakukan setelah diperoleh hasil analisis SWOT yaitu untuk

membuat urutan prioritas program pembangunan perikanan pantai yang responsif

gender dengan bantuan program komputer Super Decisions. Respondennya adalah

adalah pejabat Dislutkan, pejabat BPMD, pengurus KUD Mina serta ketua

kelompok nelayan. Prinsip kerja AHP (Marimin 2004) sebagai berikut.

i. Penyusunan hirarki yang terdiri dari unsur kriteria dan alternatif.

ii. Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan (pairwise

comparation).

iii. Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan

peringkat relatif dari seluruh alternatif.

iv. Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara

konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis.

3.4 Definisi Operasional

1) Data pembuka wawasan adalah data yang terpilah menurut jenis kelamin yang

bertujuan untuk mengungkapkan apakah terdapat perbedaan yang cukup

berarti antara lelaki dan perempuan dalam program atau kegiatan

pembangunan. Data ini terdiri dari data kuantitatif dan kualitatif.

2) Identifikasi peran gender adalah mengidentifikasi kegiatan yang dilakukan

oleh individu lelaki dan perempuan dalam rumahtangga dalam 24 jam.

Kegiatan tersebut meliputi: pekerjaan produktif (pekerjaan yang menghasilkan

uang atau barang), pekerjaan reproduktif (untuk kelangsungan hidup individu

dan keluarga, seperti mengasuh anak, memasak, mencuci, membersihkan

rumah), waktu luang atau bersantai (termasuk bertandang ke rumah tetangga

menonton televisi, melakukan kegiatan kemasyarakatan) dan tidur.

3) Isu gender adalah suatu kondisi yang menunjukkan kesenjangan laki-laki dan

perempuan atau ketimpangan gender, yaitu adanya kesenjangan antara kondisi

44

sebagaimana yang dicita-citakan (kondisi normatif) dengan kondisi gender

sebagaimana adanya (kondisi obyektif).

4) Kesenjangan gender mengidentifikasikan suatu ketidaksamaan dalam

hubungan antara lelaki dan perempuan dalam proses pembangunan.

Kesenjangan gender didasarkan pada empat faktor yaitu akses, kontrol,

partisipasi dan manfaat yang dirasakan oleh lelaki dan perempuan.

5) Pembagian tugas dalam keluarga adalah pembagian tugas dalam keluarga baik

di lingkungan rumah maupun di luar rumah oleh individu lelaki dan

perempuan. Pembagian tersebut meliputi: kegiatan produktif (kegiatan yang

menyumbang pendapatan keluarga dalam bentuk uang atau barang), kegiatan

reproduktif (kegiatan yang menjamin kelangsungan hidup manusia dan

keluarga), dan kegiatan sosial kemasyarakatan (kegiatan yang menyangkut

masyarakat).

6) Responsif gender adalah memberikan perhatian yang konsisten dan sistematis

terhadap perbedaan-perbedaan antara perempuan dan lelaki dalam masyarakat

dengan suatu pandangan yang ditujukan kepada keterbatasan-keterbatasan dari

keadilan.

BAB 4 KONDISI UMUM

4.1 Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Subang

Menurut Indonesia Human Development Report 2004 (BPS, Bappenas dan

UNDP 2004), angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human

Development Index (HDI) Kabupaten Subang pada tahun 2002 adalah 0,630 dan

sedikit menurun dibandingkan HDI pada tahun 1999 yaitu 0,631. Penurunan ini

disebabkan adanya penurunan angka pada aspek pendidikan, meskipun juga

terjadi sedikit peningkatan di aspek kesehatan dan ekonomi.

Pada komponen usia harapan hidup yang terkait dengan aspek kesehatan,

terjadi sedikit peningkatan. Pada tahun 1999, angka usia harapan hidup adalah 65

tahun, sedangkan pada tahun 2002 angka tersebut naik menjadi 65,6 tahun (BPS,

Bappenas dan UNDP 2004).

Pada aspek pendidikan, komponen melek huruf orang dewasa, terjadi

penurunan persentase: pada tahun 1999, angka melek huruf adalah 86,2 persen,

sedangkan pada tahun 2002 persentase melek huruf turun dua persen menjadi 84,2

persen. Demikian halnya dengan komponen rataan lama bersekolah yang juga

terjadi penurunan angka. Pada tahun 1999, rataan lama bersekolah adalah 5,4

tahun dan pada tahun 2002 turun sedikit menjadi 5,3 tahun (BPS, Bappenas dan

UNDP 2004).

Pada aspek ekonomi terjadi peningkatan nilai pada komponen belanja per

kapita riil. Pada tahun 1999, nilai belanja per kapita riil adalah Rp.591.000,00,

sedangkan pada tahun 2002 terjadi peningkatan sedikit menjadi Rp.591.300,00

(BPS, Bappenas dan UNDP 2004).

Terjadinya lebih banyak penurunan angka dibandingkan angka yang

meningkat pada komponen-komponen HDI maka wajarlah jika angka HDI

Kabupaten Subang menurun. Peringkat HDI Kabupaten Subang diantara

kabupaten/kota se-Indonesia juga mengalami penurunan. Pada tahun 1999,

peringkat Kabupaten Subang adalah 182, pada tahun 2002 turun sebesar 88

tingkat menjadi peringkat 270 (BPS, Bappenas dan UNDP 2004).

Dilihat dari Gender-related Development Index (GDI), angka GDI

Kabupaten Subang pada tahun 1999 adalah 0,557, sedangkan pada tahun 2002

46

angka GDI turun menjadi 0,530 (BPS, Bappenas dan UNDP 2004). Hal ini

menunjukkan adanya angka GDI tahun 2002 mengalami penurunan sebesar 0,027

dibandingkan angka tahun 1999.

Pada komponen usia harapan hidup, pada tahun 1999 perempuan

mempunyai harapan hidup sampai usia 66,9 tahun, sedangkan lelaki memiliki

harapan hidup hingga usia 63,1 tahun. Pada tahun 2002, perempuan memiliki usia

harapan hidup 67,5 tahun, sedangkan lelaki mempunyai usia harapan hidup 63,6

tahun. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan usia harapan hidup penduduk

Kabupaten Subang, baik lelaki maupun perempuan, meskipun sedikit. Namun

demikian, usia harapan hidup perempuan (sekitar 67 tahun) masih tetap lebih

panjang daripada usia harapan hidup lelaki (sekitar 63 tahun).

Pada komponen melek huruf orang dewasa, pada tahun 1999 persentase

perempuan yang melek huruf (80,6%) lebih rendah dibandingkan lelaki yang

melek huruf (91,9%). Pada tahun 2002 persentase penduduk dewasa baik

perempuan dan lelaki yang melek huruf menurun. Persentase perempuan yang

melek huruf turun 1,6 persen menjadi 79 persen, dan persentase lelaki yang melek

huruf turun 2,3 persen menjadi 89,6 persen. Berarti, penurunan persentase lelaki

yang melek huruf lebih besar dibandingkan penurunan persentase perempuan

melek huruf. Demikian halnya dengan komponen rataan lama bersekolah, sedikit

terjadi penurunan angka. Pada tahun 1999 perempuan bersekolah rataan 4,7 tahun,

sedangkan lelaki bersekolah rataan 6 tahun. Pada tahun 2002, lama rataan

bersekolah perempuan tidak mengalami kenaikan yaitu tetap 4,7 tahun, tetapi

lama rataan bersekolah lelaki mengalami sedikit penurunan 0,1 tahun yaitu

menjadi 5,9 tahun (BPS, Bappenas dan UNDP 2004).

Terkait dengan aspek ekonomi, pada tahun 1999 perempuan yang termasuk

tenaga kerja adalah 33,8 persen, yang kemudian turun menjadi 33,7 persen di

tahun 2002. Pada tahun 2002, andil perempuan dalam memperoleh pendapatan

adalah 27,4 persen, sedangkan andil lelaki 72,6 persen (BPS, Bappenas dan

UNDP 2004). Hal ini menunjukkan bahwa lelaki di Kabupaten Subang masih

merupakan pencari nafkah utama jika dilihat dari perbedaan persentase yang

tinggi antara lelaki dan perempuan dalam hal ketenagakerjaan tersebut.

47

Berbeda dengan angka HDI dan GDI yang turun pada tahun 2002

dibandingkan angka pada tahun 1999, sebaliknya angka Gender Empowerment

Measured (GEM) Kabupaten Subang pada tahun 2002 meningkat dibandingkan

pada tahun 1999. Dalam hal pemberdayaan perempuan, Kabupaten Subang

mempunyai angka GEM pada tahun 1999 adalah 0,501, yang naik 0,022 menjadi

0,523 pada tahun 2002 (BPS, Bappenas dan UNDP 2004).

Persentase partisipasi perempuan dalam parlemen di tahun 1999 sebesar 6,7

persen, yang meningkat menjadi 11,1 persen di tahun 2002. Perempuan yang

menduduki posisi sebagai pegawai senior sebesar 37,9 persen di tahun 1999;

sedangkan pada tahun 2002 tidak diperoleh data yang tertulis. Rataan upah kerja

non-pertanian yang diterima perempuan di tahun 1999 sebesar Rp.207.102,00 dan

lelaki menerima Rp.247.476,00. Pada tahun 2002, rataan upah kerja non-pertanian

yang diterima perempuan sebesar Rp.354.000,00 dan lelaki menerima

Rp.474.900,00 (BPS, Bappenas dan UNDP 2004). Dalam hal rataan upah ini

terjadi peningkatan besaran upah, yaitu upah perempuan naik Rp.146.898,00 atau

sekitar 71 persen, sedangkan upah lelaki naik Rp.227.424,00 atau sekitar 92

persen. Hal ini menunjukkan bahwa rataan upah lelaki naik lebih besar daripada

kenaikan upah yang diterima oleh perempuan selain upah yang diterima oleh

lelaki juga lebih besar dibanding upah yang diterima oleh perempuan.

4.2 Kondisi Kependudukan Kabupaten Subang

4.2.1 Distribusi penduduk

Berdasarkan data statistik kependudukan Kabupaten Subang tahun 2005

(BPS Subang 2006), jumlah penduduk Kabupaten Subang adalah 1.391.997 jiwa.

Dari jumlah tersebut, jumlah penduduk lelaki adalah 699.783 jiwa dan perempuan

692.214 jiwa, dengan demikian sex ratio-nya sebesar 101,09. Keseluruhan jumlah

rumahtangga adalah 398.031 dan dengan rataan penduduk per rumahtangga

adalah 3,50. Luas wilayah Kabupaten Subang adalah 205.177 ha atau 2051,77

km2, maka kepadatan penduduk per km2 adalah 678,44 jiwa.

Jumlah penduduk Kecamatan Blanakan akhir tahun 2005 adalah 60.268

jiwa. Dari jumlah tersebut, jumlah penduduk lelaki adalah 30.145 jiwa dan

perempuan 30.123 jiwa, dengan demikian sex ratio-nya sebesar 100,07.

Keseluruhan jumlah rumahtangga adalah 18.057 maka rataan penduduk per

48

rumahtangga adalah 3,34 jiwa. Luas wilayah Kecamatan Blanakan adalah 96,60

km2, maka kepadatan penduduk per km2 adalah 620,36 jiwa (BPS Subang 2006).

Dari data kependudukan Kabupaten Subang dan Kecamatan Blanakan itu,

kemudian dibandingkan dengan data kependudukan Indonesia untuk indikator

yang sama (Tabel 2). Tabel 2 menunjukkan bahwa distribusi penduduk Indonesia,

Kabupaten Subang dan Kecamatan Blanakan tidak terlalu berbeda dilihat dari sex

ratio dan rataan penduduk per rumahtangga. Perbedaan menyolok terdapat pada

kepadatan penduduk per km2. Kabupaten Subang dan Kecamatan Blanakan

terletak di Pulau Jawa yang merupakan pulau yang terpadat penduduknya di

Indonesia, sehingga adalah hal yang wajar jika angka kepadatan penduduknya

lebih tinggi daripada kepadatan penduduk Indonesia.

Tabel 2 Perbandingan distribusi penduduk Indonesia, Kabupaten Subang dan Kecamatan Blanakan tahun 2005

Indikator Indonesia Kabupaten Subang Kecamatan Blanakan Sex ratio 100,40 101,09 100,07 Rataan per rumahtangga (jiwa/RT) 3,70 3,50 3,34 Kepadatan penduduk (jiwa/km2) 116,00 678,44 620,36 Sumber: BPS 2006; BPS Subang 2006

Dinamika kependudukan Kabupaten Subang dan Kecamatan Blanakan

dapat dilihat dari jumlah penduduk yang lahir, mati, datang dan pindah (Tabel 3).

Persentase kelahiran bayi perempuan di Kabupaten Subang lebih tinggi daripada

lelaki, tetapi di Kecamatan Blanakan lebih banyak lahir bayi lelaki daripada

perempuan. Sebaliknya, persentase penduduk lelaki yang mati di Kabupaten

Subang dan Kecamatan Blanakan lebih besar daripada penduduk perempuan.

Mobilitas penduduk yang datang dan pindah di Kabupaten Subang dan

Kecamatan Blanakan adalah serupa yaitu lebih besar penduduk perempuan yang

melakukan mobilitas dibandingkan penduduk lelaki (BPS Subang 2006).

Tabel 3 Jumlah penduduk lahir, mati, datang dan pindah menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang dan Kecamatan Blanakan tahun 2005

Kabupaten Subang Kecamatan Blanakan Kondisi Lelaki Perempuan Jumlah Lelaki Perempuan Jumlah Jiwa % Jiwa % Jiwa % Jiwa % Jiwa % Jiwa % Lahir 4.781 49,5 4.883 50,5 118.664 100 233 52,4 212 47,6 445 100 Mati 3.106 53,1 2.744 46,9 114.850 100 148 52,9 132 47,1 280 100 Datang 1.102 47,5 1.219 52,5 111.321 100 15 41,6 21 58,4 36 100 Pindah 1.153 49,9 1.156 50,1 111.309 100 10 45,4 12 54,6 22 100 Sumber: Diolah dari BPS Subang 2006

49

Tabel 4 menyajikan distribusi penduduk Kabupaten Subang menurut

kelompok umur dan jenis kelamin pada akhir tahun 2005. Penduduk kelompok

umur 0-19 tahun lebih banyak lelaki daripada perempuan, sedangkan kelompok

umur 20-44 lebih banyak perempuan daripada lelaki, selanjutnya kelompok umur

45-59 lebih banyak lelaki daripada perempuan. Kelompok umur di atas 60 tahun

lebih banyak perempuan dibanding lelaki, hal ini menunjukkan bahwa harapan

hidup perempuan lebih tinggi daripada lelaki (BPS Subang 2006).

Tabel 4 Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2005

Kelompok Umur Lelaki (jiwa) Perempuan (jiwa) Jumlah (jiwa) 0 – 4 65.491 62.542 128.033 5 – 9 66.948 63.378 130.326

10 – 14 62.722 60.470 123.192 15- 19 58.148 53.470 111.618 20 – 24 63.024 64.501 127.525 25 – 29 56.376 59.525 115.901 30 – 34 59.548 60.756 120.304 35 – 39 52.840 54.393 107.233 40 – 44 48.871 49.490 98.361 45 – 49 40.518 38.648 79.166 50 – 54 36.909 32.449 69.358 55 – 59 22.139 22.008 44.147

60 + 66.249 70.584 136.833 Jumlah 699.783 692.214 1.391.997

Sumber: BPS Subang 2006

Tabel 5 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kabupaten Subang yang

produktif (15-54 tahun) lebih banyak berjenis kelamin lelaki (416.234 jiwa)

daripada perempuan (413.232 jiwa). Disamping itu, jumlah penduduk kelompok

umur produktif (829.466 jiwa) lebih besar daripada jumlah penduduk kelompok

umur tidak produktif (562.531 jiwa).

Tabel 5 Jumlah penduduk kelompok umur produktif dan kelompok umur tidak produktif menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2005

Kelompok Umur Lelaki (jiwa) Perempuan (jiwa) Jumlah (jiwa) Produktif

15- 54 416.234 413.232 829.466 Tidak produktif

0-14 195.161 186.390 381.551 55+ 88.388 92.592 180.980

Total tidak produktif 283.549 278.982 562.531 Jumlah 699.783 692.214 1.391.997

Sumber: Diolah dari BPS Subang 2006

50

Distribusi penduduk Kabupaten Subang menurut status perkawinan

disajikan pada Tabel 6. Perbedaan yang mencolok antara perempuan dan lelaki

terletak pada status perkawinan cerai, baik cerai mati maupun cerai hidup. Lebih

banyak persentase perempuan berstatus cerai dibanding dengan lelaki berstatus

cerai, perbedaannya lebih dari dua kali lipat. Menurut Bapeda (2005), penyebab

persentase penduduk perempuan berstatus cerai lebih tinggi daripada lelaki karena

masa trauma pada perempuan terhadap perceraian baik karena cerai mati atau

cerai hidup, sehingga perempuan cenderung lebih berhati-hati untuk menikah lagi;

dan adanya keterbatasan untuk segera menikah lagi dengan adanya masa iddah

(saat penungguan bagi istri yang dicerai atau ditinggal mati suami, apakah dia

hamil atau tidak) bagi penganut agama Islam.

Tabel 6 Status perkawinan menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2000-2004

Status Jenis Tahun Perkawinan kelamin 2000 2001 2002 2003 2004

Belum kawin Lelaki (%) 33,09 30,95 27,75 29,53 40,69 Perempuan (%) 23,64 21,62 22,51 21,49 33,33 Kawin Lelaki (%) 63,03 66,10 68,20 66,98 56,95 Perempuan (%) 61,54 66,07 64,91 65,28 56,78 Cerai hidup Lelaki (%) 2,24 1,40 1,83 1,76 1,02 Perempuan (%) 4,48 3,44 3,53 4,31 3,51 Cerai mati Lelaki (%) 1,61 1,55 2,22 1,73 1,34 Perempuan (%) 10,42 9,23 9,05 8,93 6,38 Sumber: Bapeda Subang 2006

Terkait dengan status perkawinan adalah umur perkawinan pertama

perempuan. Hal ini berkaitan dengan kematangan emosi dan fisik perempuan

untuk menjadi seorang ibu. Tabel 7 menyajikan persentase penduduk perempuan

menurut umur perkawinan pertama. Menurut Bapeda (2005), penyebab

perempuan cepat menikah dibandingkan lelaki antara lain: (1) tingkat pendidikan

yang masih rendah mempengaruhi keputusan menikah; (2) budaya malu jika anak

perempuan yang memasuki usia remaja belum menikah; dan (3) perempuan cukup

menjadi ibu rumahtangga saja.

Tabel 7 Persentase perempuan pernah kawin menurut umur perkawinan pertama di Kabupaten Subang tahun 1998-2003

Umur perkawinan Tahun pertama (tahun) 1998 1999 2000 2001 2002 2003

Kurang dari 16 (%) 41,37 40,44 47,03 39,04 46,50 40,81 17-18 (%) 29,53 33,86 31,11 34,26 31,40 36,48 19-24 (%) 27,74 24,67 19,84 25,81 20,44 21,63 Lebih dari 25 (%) 1,36 1,04 2,03 0,89 1,67 1,08 Sumber: Bapeda Subang 2005

51

4.2.2 Pendidikan

Salah satu ukuran dari tingkat pendidikan adalah kemampuan membaca dan

menulis. Penduduk Kabupaten Subang yang berumur di atas 10 tahun yang buta

huruf lebih banyak berjenis kelamin perempuan dibandingkan lelaki. Perbedaan

persentasenya cukup nyata, yaitu perempuan yang buta huruf di atas 10 persen,

sedangkan lelaki yang buta huruf di bawah 10 persen, bahkan perbedaan antara

lelaki dan perempuan itu mencapai dua kali lipat. Tabel 8 menyajikan persentase

penduduk Kabupaten Subang berumur 10 tahun keatas yang buta huruf pada tahun

1999-2004.

Tabel 8 Persentase penduduk berumur 10 tahun keatas yang buta huruf menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 1999-2004

Tahun Buta huruf Lelaki (%) Perempuan (%)

1999 7,23 17,28 2000 8,74 19,49 2001 8,38 16,81 2002 9,39 18,70 2003 7,58 16,78 2004 7,98 16,36

Sumber: Bapeda Subang 2006

Ukuran untuk tingkat pendidikan lainnya adalah angka partisipasi sekolah.

Tabel 9 menyajikan angka partisipasi sekolah (APS) menurut kelompok umur dan

jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 1999-2004.

Tabel 9 Angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 1999-2004

Kelompok Jenis Angka partisipasi sekolah umur kelamin 1999 2000 2001 2002 2003 2004 7-12 Lelaki 98,38 92,02 93,89 95,94 96,82 98,45

Perempuan 98,27 95,93 97,09 95,67 97,78 97,13 13-15 Lelaki 67,92 68,60 73,80 79,28 76,18 85,44

Perempuan 72,94 81,20 87,67 87,04 84,42 78,88 16-18 Lelaki 38,28 25,51 36,08 49,79 47,41 48,65

Perempuan 35,58 37,32 29,53 49,06 25,70 45,22 19-24 Lelaki 6,58 6,32 8,72 3,15 2,70 10,34

Perempuan 1,01 3,94 0,80 2,05 8,02 5,66 Sumber: Bapeda Subang 2006

Tabel 9 menunjukkan bahwa pada umumnya APS dari perempuan lebih

rendah dibanding dengan lelaki. Pada tingkat pendidikan dasar (kelompok umur

7-12), APS lelaki dan perempuan cukup tinggi, diatas angka 90. Namun dengan

pertambahan usia dan tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan maka

APS pun semakin menurun, baik bagi lelaki dan perempuan. APS lelaki pun tetap

52

lebih tinggi daripada APS perempuan. Menurut Bapeda Subang (2006), penyebab

rendahnya APS perempuan diduga adanya budaya yang lebih banyak memberikan

kesempatan bersekolah kepada anak lelaki dibanding dengan perempuan;

disamping itu keberadaan sekolah di suatu wilayah tertentu menyebabkan

orangtua lebih memilih mengirimkan anak lelakinya ke sekolah yang relatif lebih

jauh daripada anak perempuannya.

Dilihat dari tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan, persentase

pencapaian pendidikan perempuan lebih rendah dibanding dengan lelaki (Tabel

10). Pada tingkat pendidikan dasar, pencapaian lelaki dan perempuan hampir

sama, tetapi semakin meningkat tingkat pendidikannya maka persentase

pencapaian perempuan pun lebih rendah dibandingkan lelaki. Menurut Bapeda

(2006), penyebab perbedaan yang mencolok ini diduga karena adanya budaya

yang menyatakan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada

akhirnya akan bekerja di dapur dan hanya akan mengurus anak saja.

Tabel 10 Persentase pendidikan tertinggi yang ditamatkan menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2003-2004

Tingkat Tahun 2003 Tahun 2004 Pendidikan Lelaki (%) Perempuan (%) Lelaki (%) Perempuan (%)

Tidak tamat SD/ belum sekolah

34,54 42,52 30,03 40,67

SD sederajat 39,01 39,16 35,32 37,24 SLTP sederajat 13,96 11,44 22,23 15,87 SLTA sederajat 10,28 5,48 10,62 5,19 Perguruan tinggi 2,21 1,40 1,80 1,03 Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: Bapeda Subang 2006

4.2.3 Kesehatan

Ketersediaan dan keterjangkauan fasilitas kesehatan dapat menentukan

tingkat pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Rasio antara ketersediaan

fasilitas kesehatan dan jumlah penduduk Kabupaten Subang umumnya tinggi

menunjukkan masih kurangnya ketersediaan fasilitas kesehatan bagi masyarakat.

Tabel 11 menampilkan ketersediaan fasilitas kesehatan di Kabupaten Subang dan

rasio dengan jumlah penduduk.

53

Tabel 11 Jumlah dan rasio fasilitas kesehatan di Kabupaten Subang tahun 2003 Fasilitas kesehatan Jumlah Rasio fasilitas-penduduk

Rumah sakit (RS) 3 449.038 Rumah bersalin (RB) 3 449.038 Poliklinik 116 11.613 Puskesmas 39 34.541 Puskesmas pembantu 72 18.710 Balai pengobatan (BP) 116 11.613 Tempat praktek dokter (TPD) 140 9.622 Tempat praktek bidan (TPB) 116 11.613 Posyandu 1.605 839 Polindes 107 12.590 Apotik 51 26.414 Pos obat desa (POD) 37 36.408 Toko obat 54 24.947 Sumber: Bapeda Subang 2005

Jika penduduk Kabupaten Subang mengalami gangguan kesehatan, tindakan

yang mereka lakukan adalah mengobati sendiri atau berobat jalan ke paramedis.

Pengobatan sendiri ini dilakukan dengan mencari dan membeli obat tanpa

konsultasi ke paramedis, baik dengan obat modern atau obat tradisional. Hal ini

dilakukan karena menurut mereka (penduduk) pengobatan ke paramedis mahal.

Tabel 12 menunjukkan bahwa persentase penduduk yang melakukan pengobatan

sendiri lebih banyak daripada dengan berobat jalan, dilakukan baik oleh penduduk

lelaki dan perempuan.

Tabel 12 Persentase penduduk menurut jenis pengobatan dan jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2003 Jenis pengobatan Lelaki (%) Perempuan (%)

Berobat sendiri 81,19 81,93 Berobat jalan 18,81 18,07 Jumlah 100,00 100,00 Sumber: Bapeda Subang 2005

Status gizi balita terkait dengan kondisi kesehatan dan kesejahteraan

masyarakat. Balita dengan status gizi baik di Kabupaten Subang sudah diatas 80

persen. Hal ini menunjukkan bahwa orangtua sudah memberikan makanan yang

bergizi kepada anak mereka (Tabel 13).

Tabel 13 Persentase balita menurut status gizi di Kabupaten Subang tahun 1999-2005

Tahun Status gizi Baik (%) Kurang (%) Buruk (%)

1999 83,16 13,66 2,97 2000 87,33 11,82 0,80 2001 89,25 10,07 0,68 2002 88,09 9,92 0,71 2003 86,42 11,26 0,71 2004 89,76 9,57 0,67 2005 91,92 7,47 0,61

Sumber: Bapeda Subang 2005, BPS 2006

54

4.2.4 Kegiatan ekonomi

Keterlibatan penduduk dalam kegiatan ekonomi diukur dengan porsi

penduduk yang masuk dalam pasar kerja (bekerja atau mencari kerja), yang

disebut Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Tabel 14 menyajikan TPAK

dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kabupaten Subang. Tabel 14

menunjukkan bahwa angka TPAK lelaki lebih stabil daripada TPAK perempuan,

angka TPAK perempuan dalam tiga tahun tersebut naik turun cukup nyata. Akan

tetapi, TPT lelaki dan perempuan dalam tiga tahun tersebut cenderung meningkat.

Menurut Bapeda (2006), peningkatan TPT perempuan diduga karena tenaga kerja

perempuan lebih banyak diserap oleh pekerjaan di sektor informal; sedangkan

peningkatan TPT lelaki meningkat diduga karena adanya kecenderungan lelaki

untuk memilih jenis pekerjaan, baik dilihat dari sifat dan besar penghasilannya.

Tabel 14 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan Tingkat Pengangguran Terbuka menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2002-2004

Indikator 2002 2003 2004 Lelaki Perempuan Lelaki Perempuan Lelaki Perempuan

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

77,28 38,18 78,06 57,99 77,69 29,40

Tingkat Pengangguran Terbuka

4,04 4,92 7,00 12,25 9,04 14,78

Sumber: Bapeda Subang 2006

Lapangan pekerjaan utama di Kabupaten Subang yang banyak menyerap

tenaga kerja adalah di sektor pertanian dan sektor perdagangan. Lapangan

pekerjaan ketiga yang banyak menyerap tenaga kerja pada tahun 2003 adalah

sektor jasa, namun pada tahun 2004 terjadi perubahan menjadi sektor keuangan

yang menggantikan sektor jasa dalam hal penyerapan tenaga kerja. Hal ini pun

tampak dari rasio pekerjanya; rasio pekerja adalah perbandingan banyaknya

perempuan yang bekerja untuk setiap 100 lelaki yang bekerja (Tabel 15). Pada

tahun 2003 rasio pekerja terbesar adalah di sektor perdagangan, pertanian dan

jasa; sedangkan pada tahun 2004 rasio pekerja terbesar adalah di sektor

perdagangan, pertanian dan keuangan.

55

Tabel 15 Rasio pekerja menurut lapangan pekerjaan utama menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2003-2004

Lapangan 2003 2004 pekerjaan utama Lelaki

(jiwa) Perempuan

(jiwa) Rasio

pekerja Lelaki (jiwa)

Perempuan (jiwa)

Rasio pekerja

Pertanian 231.154 120.287 52,04 206.535 83.515 57,40 Pertambangan 1.082 0 0,00 • • 0,00 Industri 28.587 3.204 11,21 12.620 3.835 30,39Listrik, gas, air 1.126 0 0,00 • • 0,00 Bangunan 23.128 519 2,24 34.035 • 0,00 Perdagangan 60.711 55.765 91,85 53.730 47.735 88,84Angkutan 41.529 519 1,25 70.845 550 0,78 Keuangan 2.597 520 20,02 1.095 545 49,77 Jasa 25.433 11.613 45,66 29.580 9.305 31,46

Total 415.347 192.427 46,33 408.440 145.485 35,62 Sumber: Bapeda Subang 2006 Catatan: • = Ukuran sampel tidak cukup menggambarkan sektor lapangan pekerjaan

Menurut Bapeda (2006), penyebab perempuan banyak bekerja di sektor

perdagangan karena di sektor ini tidak memerlukan keahlian yang tinggi dan dapat

dilakukan bersamaan dengan mengurus rumahtangga. Lapangan pekerjaan yang

memiliki rasio paling rendah yaitu sektor angkutan (0,78), yang berarti hanya ada

satu pekerja perempuan di antara 100 pekerja lelaki. Hal ini menunjukkan masih

adanya pandangan yang berbeda antara lelaki dan perempuan dalam hal jenis

pekerjaan yang dilakukannya.

Penduduk lelaki berumur 10 tahun keatas yang bekerja paling banyak

berstatus sebagai buruh di sektor formal atau berwirausaha di sektor informal.

Penduduk perempuannya banyak menjadi buruh di sektor formal, tetapi di sektor

informal mereka banyak menjadi pekerja tak dibayar atau pekerja keluarga (Tabel

16). Menurut Bapeda (2006), hal ini terkait dengan kondisi perekonomian

Kabupaten Subang yang masih didominasi oleh sektor pertanian sehingga

lapangan kerja yang tercipta sebagian besar merupakan pekerjaan informal.

Tabel 16 Persentase penduduk berumur 10 tahun keatas yang bekerja menurut sektor, status pekerjaan dan jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2002-2004

Sektor Status 2002 2003 2004 pekerjaan Lelaki Perempuan Lelaki Perempuan Lelaki Perempuan

Formal Berusaha dibantu pekerja dibayar

3,37 1,66 3,09 0,83 4,97 1,51

Buruh/ karyawan 30,89 28,46 36,56 33,20 29,44 40,76 Informal Berusaha sendiri 28,61 15,91 28,75 15,17 36,28 17,72 Berusaha dibantu pekerja

tak dibayar 34,01 28,82 29,30 21,05 27,56 12,45

Pekerja tak dibayar/ pekerja keluarga

3,13 31,15 2,30 29,75 1,75 27,56

Sumber: Bapeda Subang 2006

56

4.3 Perikanan Kabupaten Subang

4.3.1 Ekosistem pesisir Kabupaten Subang

Kabupaten Subang berjarak 58 kilometer dari Bandung, ibukota Jawa Barat

dan 161 kilometer dari Jakarta, ibukota negara serta terletak di jalur pantai utara

Jawa yang merupakan jalur transportasi angkutan darat. Kabupaten ini memiliki

pantai sepanjang 68 km dengan wilayah laut yang dapat dimanfaatkan sekitar

empat mil dari garis pantai ke arah laut (Dislutkan dan IPB 2003). Kecamatan

Blanakan yang merupakan daerah penelitian terletak di pesisir Kabupaten Subang.

Kecamatan ini mempunyai luas wilayah 96,60 km2 yang terdiri atas sembilan

desa, diantaranya dua desa pesisir yang menjadi lokasi penelitian yaitu Desa

Blanakan dan Desa Muara (BPS dan Bapeda 2005) (Lampiran 1).

Ekosistem di wilayah pesisir Kabupaten Subang terdiri dari ekosistem

mangrove, terumbu karang dan padang lamun. Hutan mangrove ini merupakan

hutan mangrove binaan yang berada dibawah otoritas pengelola Perum Perhutani

Unit III Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Purwakarta Bagian Kesatuan

Pemangkuan Hutan (BKPH) Ciasem–Pamanukan. Pada periode 1988-1992 terjadi

pengurangan luasan dari 2.087,7 ha pada tahun 1988 turun menjadi 1.729,9 ha

pada tahun 1990 dan akhirnya menjadi 958,2 ha pada tahun 1992. Pengurangan

ini diakibatkan oleh kegiatan konversi lahan. Pada tahun 1992-1995 terjadi

penambahan luas hutan mangrove menjadi 3.074,3 ha melalui program

perhutanan sosial yang dilakukan melalui tambak tumpangsari yang melibatkan

masyarakat yang tinggal di daerah pesisir (BPLHD Jabar dan ITB 2001; Dislutkan

dan IPB 2003).

Daerah perairan pesisir Kabupaten Subang memiliki kondisi oseanografis

yang memungkinkan tumbuhnya ekosistem terumbu karang. Kondisi ekosistem

terumbu karang sudah kurang bagus akibat banyaknya muara sungai yang

membawa muatan sedimen dan diperburuk lagi oleh aktivitas intensif penduduk

dalam hal pemanfaatan lahan pertanian dan tambak. Terumbu karang tersebar dari

perairan Kecamatan Blanakan sampai perairan Kecamatan Legonkulon (Dislutkan

dan IPB 2003). Upaya pengadaan terumbu karang buatan telah dilakukan oleh

Dislutkan dengan Terumbu Karang Buatan (TKB) ban mobil (BPLHD Jabar dan

ITB 2001).

57

Kondisi jumlah dan luasan ekosistem terumbu karang yang tinggal sedikit

mengakibatkan jumlah dan luasan ekosistem padang lamun juga tinggal sedikit,

karena ekosistem terumbu karang merupakan pelindung dari ekosistem padang

lamun dari hempasan arus dan gelombang. Tingginya laju sedimentasi dan

masuknya zat pencemar yang berasal dari rumahtangga dan industri juga

menghambat perkembangan ekosistem padang lamun di Kabupaten Subang

(Dislutkan dan IPB 2003).

4.3.2 Kegiatan dan hasil perikanan laut

Jumlah seluruh produksi kelautan dan perikanan Kabupaten Subang pada

tahun 2005 mencapai 36.001,3 ton. Total produksi ini meningkat sebesar 0,19

persen (68,2 ton) dibandingkan dengan produksi tahun 2004 (BPS Subang 2006).

Pada tahun 2004, total produksi sektor kelautan dan perikanan sebesar 35.933,1

ton dan hasil penangkapan ikan di laut sebesar 17.967,5 ton. Dengan demikian,

dapat dikatakan bahwa dari total produksi perikanan Kabupaten Subang pada

tahun 2004, 50 persen produksi berasal dari tangkapan ikan laut (Dislutkan 2006).

Pada tahun 2005, produksi perikanan laut masih merupakan produksi terbesar

dibandingkan yang lainnya yaitu sebesar 48,74 persen dengan jumlah produksi

sebesar 17.552,1 ton, yang berarti turun sebesar 415,4 ton (BPS Subang 2006).

Produksi sub sektor perikanan laut menurut tempat pendaratan ikan dapat dilihat

pada Tabel 17.

Tabel 17 Produksi sub sektor perikanan laut menurut tempat pendaratan ikan Kabupaten Subang tahun 2005

Kecamatan/tempat pendaratan ikan Produksi (ton) Nilai produksi (Rp) A. Kecamatan Blanakan 1. Cilamaya Girang 662,1 5.776.882.500 2. Rawameneng 311,2 2.715.220.000 3. Blanakan 9.947,2 86.789.320.000 4. Muara 3.559,8 31.059.255.000 5. Tanjungtiga 259,8 2.266.755.000B. Kecamatan Legonkulon 1. Pangarengan 390,3 3.405.367.500 2. Tegalurung 194,2 1.694.395.000 3. Mayangan 361,9 3.157.577.500 4. Patimban 1.865,6 16.277.360.000Kabupaten Subang 17.552,1 153.142.132.500Sumber: BPS Subang 2006

Penyerapan tenaga kerja pada sektor penangkapan di laut atau nelayan pada

tahun 2005 meningkat sebesar 0,5 persen yaitu 4.483 orang dibandingkan pada

58

tahun 2004 sebanyak 4.461 orang (Dislutkan 2006). Hal ini menunjukkan bahwa

sektor penangkapan di laut masih dapat diandalkan sebagai mata pencaharian

penduduk.

Penyerapan tenaga kerja pada sektor pengolahan hasil perikanan pada tahun

2005 meningkat sebesar lima persen yaitu 1.003 orang dibanding pada tahun 2004

sebanyak 955 orang (Dislutkan 2006). Jenis hasil pengolahan ikan laut di

Kabupaten Subang adalah ikan asin, pindang dan terasi.

4.3.3 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang disingkat dengan

Dislutkan. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Subang No. 23 Tahun 2002

tentang Tugas Pokok Dan Fungsi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten

Subang, Dislutkan mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian kewenangan

Pemerintah Daerah di bidang kelautan dan perikanan serta tugas pembantuan yang

diberikan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Dislutkan

mempunyai fungsi untuk:

(1) perumusan kebijakan teknis di bidang kelautan dan perikanan; (2) pelaksanaan sebagian kewenangan Pemerintah Daerah di bidang

kelautan dan perikanan sesuai dengan kebijakan Bupati; (3) pemberian perijinan dan rekomendasi dalam rangka pelaksanaan

pelayanan umum di bidang kelautan dan perikanan; (4) penyelenggaraan pembinaan di bidang kelautan dan perikanan

yang meliputi program perikanan tangkap dan budidaya, pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, usaha serta unit pelaksana teknis dinas; dan

(5) pengelolaan administrasi umum, meliputi urusan umum, urusan keuangan, urusan kepegawaian dan perlengkapan dinas.

Visi dari Dislutkan adalah terwujudnya agribisnis, industri kelautan dan

perikanan yang berwawasan lingkungan serta berdaya-saing melalui

pemberdayaan masyarakat yang berbasis gotong royong. Untuk mendukung visi

tersebut, maka misi yang diembannya, adalah:

(1) meningkatkan SDM kelautan dan perikanan yang maju, mandiri dan tangguh;

(2) memanfaatkan dan mengembangkan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang berorientasi pasar serta berwawasan lingkungan;

(3) menjaga dan melindungi sumberdaya kelautan dan perikanan; dan (4) penerapan dan pengembangan teknologi tepat guna bidang

kelautan dan perikanan yang ramah lingkungan.

59

Rencana Kegiatan Pembangunan Kelautan dan Perikanan Kabupaten

Subang Tahun 2005-2009 tercantum dalam Rencana Strategis (Renstra) Dislutkan

(Lampiran 2). Program strategisnya yaitu:

(1) program peningkatan SDM perikanan, (2) program pengembangan sumberdaya kelautan, (3) program pengembangan sumberdaya perikanan, (4) program konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan, (5) program rehabilitasi sumberdaya kelautan dan perikanan, (6) program pengendalian hama dan penyakit ikan, dan (7) program riset dan pengembangan teknologi tepat guna.

Dislutkan Kabupaten Subang memiliki pegawai berjumlah 95 orang mulai

dari Kepala Dinas hingga staf. Dari jumlah tersebut, 77 pegawai adalah lelaki dan

18 pegawai adalah perempuan. Dari 18 pegawai perempuan tersebut yang

menjabat tingkat Kepala Seksi (Kasie) atau Kepala Cabang Dinas di tingkat

kecamatan (KCD) ada tiga orang (7,9%) dari 38 posisi jabatan. Tenaga fungsional

yang mempunyai tugas pokok melaksanakan kegiatan dinas secara profesional

sesuai kebutuhan yang ada di Dislutkan baru satu orang yaitu arsiparis. Tenaga

fungsional yang dibutuhkan oleh Dislutkan adalah penyuluh perikanan dan

kelautan, penyidik PNS dan petugas pengendalian penyakit ikan (Dislutkan 2006).

Selama tahun anggaran 2005, jumlah nelayan dan pembudidaya yang telah

mengikuti pelatihan, kursus dan magang terdiri atas 615 nelayan dan 4.080

pembudidaya ikan. Salah satu dari Program Pengembangan Sumberdaya Kelautan

dilaksanakan melalui pembinaan kepada anggota Himpunan Nelayan Seluruh

Indonesia (HNSI) yaitu nelayan, pembudidaya ikan dan pengurus KUD Mina.

Materi utama pembinaan tersebut adalah peningkatan pendapatan nelayan dan

pembudidaya yang disertai peningkatan ketaatan terhadap peraturan, terutama

yang berkaitan dangan kewajiban pajak dan retribusi. Metode pembinaan adalah

dengan diskusi, temu wicara dan ceramah yang dilaksanakan langsung oleh

pengurus HNSI Kabupaten Subang didampingi tim teknis dari Dislutkan

(Dislutkan 2006).

Kegiatan lain dari Program Pengembangan Sumberdaya Kelautan adalah

bantuan alat tangkap jaring rampus untuk kelompok nelayan. Kegiatan ini baru

tersalurkan kepada Kelompok Nelayan Cinta Bahari Desa Muara Kecamatan

Blanakan. Hasil dari kegiatan ini adalah berkurangnya jumlah nelayan yang

60

menggunakan jaring yang dilarang yaitu jaring arad sehingga jenis ikan hasil

tangkapan dapat dikendalikan yaitu hanya ikan yang berukuran layak tangkap

saja. Dampak yang diharapkan dari kegiatan ini adalah terjaganya kelestarian

sumberdaya ikan dan produksi pun tetap stabil (Dislutkan 2006).

Dislutkan juga melaksanakan kegiatan pembinaan kepada pengolah ikan

laut. Pembinaan tersebut berbentuk penyuluhan dan pelatihan. Pembinaan

dilakukan dalam rangka peningkatan mutu hasil olahan dan peningkatan nilai

komoditi, seperti penyuluhan tentang bahan pengawet yang berbahaya untuk

kesehatan, pemasaran produk, pelatihan tentang jenis baru olahan ikan. Peserta

pembinaan adalah pengolah ikan baik lelaki dan perempuan. Lokasi

penyelenggaraan pembinaan (penyuluhan atau pelatihan) tergantung pihak

penyelenggara. Jika penyelenggara adalah Dislutkan maka pelaksanaannya

berlokasi di lingkungan kerja (kecamatan); jika penyelenggara adalah Dinas

Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Barat maka pelaksanaannya berlokasi di

Bandung; dan jika Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang

menyelenggarakan maka berlokasi di Tegal, Jawa Tengah (Dislutkan 2006).

4.4 Pengarusutamaan Gender Di Kabupaten Subang

4.4.1 Landasan hukum

Pelaksanaan pemberdayaan perempuan di Kabupaten Subang belum berada

di bawah wewenang instansi atau unit yang khusus. Upaya pemberdayaan

perempuan dan pengarusutamaan gender tersebut tidak berada pada satu sektor,

pelaksanaannya terdapat di berbagai sektor, tergantung subtansinya.

Landasan hukum dari upaya pemberdayaan perempuan dan PUG di

Kabupaten Subang adalah Surat Keputusan (SK) Bupati Subang No. 21 Tahun

2003 tentang Tim Koordinasi Pemberdayaan Perempuan dan SK No.

147.143/Kep.789-BPMD/2004 tentang Pembentukan Forum Komunikasi

Konsultasi dan Koordinasi Gender Kabupaten Subang. Landasan hukum dari

keputusan Bupati Subang tersebut adalah UU No 7 Tahun 1984 tentang

Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

terhadap Perempuan dan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam

Pembangunan.

61

SK Bupati Subang No. 21 Tahun 2003 tentang Tim Koordinasi

Pemberdayaan Perempuan ditandatangani oleh Bupati H. Rohimat pada tanggal 2

September 2003. Menurut SK ini, tim koordinasi adalah lembaga non struktural

dan merupakan unsur pelaksana yang berada di bawah dan bertanggungjawab

kepada Bupati. Tim mempunyai tugas pokok membantu semua instansi, dinas,

badan, lembaga serta organisasi perempuan dalam rangka penanganan

pemberdayaan perempuan di daerah. Tim mempunyai fungsi:

(1) pengkoordinasian perumusan kebijakan pemerintah daerah dalam rangka penyusunan program Pemberdayaan Perempuan dalam Pembangunan Daerah,

(2) pengkoordinasian pelaksanaan kebijakan pemerintah di bidang Pemberdayaan Perempuan dalam Pembangunan Daerah,

(3) pengkoordinasian kegiatan instansi, dinas, badan, lembaga serta organisasi perempuan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, monitoring dan evaluasi program-program dalam kegiatan Pemberdayaan Perempuan di Daerah, dan

(4) peningkatan partisipasi masyarakat dalam upaya Pemberdayaan Perempuan di Daerah.

Pembiayaan yang diperlukan dalam penyelenggaraan tugas pokok dan

fungsi (Tupoksi) tim dibebankan kepada: (1) Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) Kabupaten Subang; (2) Dana swadaya masyarakat; dan (3)

Sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

Susunan organisasi dari tim terdiri dari:

• Ketua : Wakil Bupati Kabupaten Subang • Ketua Harian : Sekretaris Daerah Kabupaten Subang • Koordinator :

- Kepala Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Subang - Ketua Tim Pengelola Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) Kabupaten

Subang - Kepala Dinas Sosial Kabupaten Subang - Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Subang - Kepala Dinas Kependudukan dan Keluarga Berencana Kabupaten

Subang - Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Subang - Ketua Komisi E DPRD Kabupaten Subang - Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Kabupaten Subang - Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Subang - Ketua Gabungan Organisasi Wanita (GOW) Kabupaten Subang

• Kepala Sekretariat : Asisten Sekretaris Daerah I Kabupaten Subang • Kelompok-kelompok kerja (Pokja) terdiri dari:

- Pokja PUG,

62

- Pokja Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan, - Pokja Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak, dan - Pokja Peningkatan Peran Perempuan Menuju Keluarga Sehat Sejahtera.

Pada tanggal 7 Desember 2004 dikeluarkan SK No. 147.143/Kep.789-

BPMD/2004 tentang Pembentukan Forum Komunikasi Konsultasi dan Koordinasi

Gender Kabupaten Subang, yang kemudian disebut dengan Forkom Gender, yang

ditandatangani oleh Bupati Eep Hidayat. Pada saat ini kegiatan Forkom Gender

masih berjalan.

Forkom Gender memiliki tugas pokok untuk membantu Bupati dalam

menyelenggarakan koordinasi, komunikasi, konsultasi dan layanan fasilitasi di

bidang kesetaraan dan keadilan gender, tindakan kekerasan terhadap perempuan,

dan peningkatan kemandirian lembaga dan organisasi perempuan dengan

dinas/badan/lembaga teknis terkait, perguruan tinggi, LSM yang mempunyai

minat terhadap pemberdayaan perempuan. Untuk melaksanakan tugas pokok

tersebut, Forkom Gender mempunyai fungsi:

(1) pelaksanaan koordinasi layanan konsultasi dan fasilitasi di bidang kesetaraan dan keadilan gender, tindakan kekerasan terhadap perempuan, dan peningkatan kemandirian lembaga dan organisasi perempuan dengan dinas/badan/lembaga teknis terkait, perguruan tinggi, LSM yang mempunyai minat terhadap pemberdayaan perempuan,

(2) penyusunan rencana operasional Forum Komunikasi Gender yang bersifat regional sebagai implementasi kebijakan pemerintah pusat di bidang Pemberdayaan Perempuan,

(3) pemberian fasilitasi dan dukungan terbentuknya Forum Komunikasi di Kabupaten Subang,

(4) pelaksanaan sosialiasi kebijakan pemerintah mengenai Pengarusutamaan Gender (PUG), dan

(5) pelaksanaan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Forum Komunikasi Gender.

Biaya untuk pelaksanaan tugas Forkom Gender Kabupaten Subang

dibebankan kepada APBD II, anggaran sektor-sektor yang bersangkutan dan

anggaran swadaya dari Organisasi Perempuan LSM serta usaha atau bantuan yang

tidak mengikat dan sesuai ketentuan yang berlaku.

Susunan organisasi dari tim terdiri dari:

• Ketua : Sekretaris Daerah Kabupaten Subang • Ketua Harian : Asisten Sekretaris Daerah I Kabupaten Subang • Wakil Ketua Harian : Kepala BPMD Kabupaten Subang

63

• Sekretaris : Kepala Bagian Sosial Setda Kabupaten Subang • Kepala Sekretariat : Kepala Bidang Ketahanan Masyarakat Desa (KMD) –

BPMD Kabupaten Subang • Anggota :

- Kasubagian Pemuda Olahraga dan Peranan Wanita (POPW) Setda Kabupaten Subang

- Kasubidang Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Desa/Kelurahan BPMD Kabupaten Subang

- Kasi Pengembangan Ketahanan Keluarga dan Peningkatan Kualitas Lingkungan Keluarga Dinas Kependudukan dan KB

- Kasubidang Pembinaan dan Peningkatan Kinerja Kader Pembangunan Desa/Kelurahan BPMD Kabupaten Subang

- Tiga orang pelaksana pada Bidang KMD BPMD Kabupaten Subang • Komisi-komisi terdiri dari:

- Komisi Kesetaraan dan Keadilan Gender - Komisi Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan, dan - Komisi Pemampuan dan Peningkatan Kemandirian Lembaga Dan

Organisasi Perempuan.

4.4.2 Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Kabupaten Subang

Sesuai SK Bupati Subang No. 147.143/Kep.789-BPMD/2004, Wakil Ketua

Harian Forkom Gender di Kabupaten Subang adalah Kepala BPMD dengan

Kepala Sekretariat Forkom Gender yang merupakan pelaksana harian PUG dan

pemberdayaan perempuan berada di bawah wewenang Kepala Bidang Ketahanan

Masyarakat Desa (KMD) dengan anggota jajaran di bawahnya.

BPMD melalui Bidang KMD merupakan pelaksana sosialisasi dan

penyuluhan di bidang pemberdayaan perempuan dan PUG di Kabupaten Subang.

Biaya penyelenggaraan kegiatan tersebut berasal dari APBD tingkat I, APBD

tingkat II atau bantuan luar negeri (misal dari United Nations Population Fund,

UNFPA). Tema program yang dibiayai oleh APBD I disesuaikan dengan

kebijakan dan program propinsi. Program yang dibiayai oleh APBD II, temanya

disesuaikan dengan kebijakan dan program dari instansi yang bersangkutan yaitu

BPMD Kabupaten Subang. Umumnya penentuan program dari instansi yang

bersangkutan dilaksanakan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan

(Musrenbang) yang melibatkan pihak-pihak yang terkait atau pemangku

kepentingan dari program pembangunan terkait. Program yang akan dibiayai oleh

APBD II dilaksanakan berdasarkan skala prioritas, disesuaikan dengan sumber

dana yang dimiliki. Program yang dibiayai oleh bantuan luar negeri umumnya

merupakan program Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pemberdayaan

64

Perempuan (KPP), dengan demikian tema program disesuaikan dengan program

KPP.

Pada tahun 2004, BPMD telah menyelenggarakan 14 kegiatan yang

berhubungan dengan pemberdayaan perempuan dan PUG dari jumlah keseluruhan

23 kegiatan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah daerah. Dari jumlah

tersebut, Dislutkan menyelenggarakan satu kegiatan yaitu “Penyuluhan

Pemanfaatan Lahan Pekarangan, Cara Memilih Ikan Yang Baik, Manfaat Omega-

3 Pada Ikan Dan Kesehatan” yang ditujukan kepada keluarga binaan di lokasi

P2W-KSS (Peningkatan Peranan Wanita Menuju Keluarga Sehat Sejahtera).

Pada tahun 2005, BPMD menyelenggarakan “Workshop Penyusunan Dan

Penyajian Program Sektoral Yang Responsif Gender Di Kabupaten Subang”

sebanyak tiga tahap dengan masing-masing tahap selama dua hari. Peserta

workshop berjumlah 30 orang berasal dari 17 instansi pemerintah daerah. Setiap

instansi mengirimkan antara satu hingga tiga pegawainya, Dislutkan mengirim

satu pegawai sebagai peserta. Biaya penyelenggaraan workshop berasal dari

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan United Nations Population

Fund (UNFPA). Disamping itu, BPMD juga telah menyelenggarakan enam

kegiatan yang berhubungan dengan pemberdayaan perempuan dan PUG dari

jumlah keseluruhan 32 kegiatan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah

daerah; sedangkan Dislutkan sama sekali tidak menyelenggarakan kegiatan

sejenis.

Pada tahun 2006, BPMD menyelenggarakan delapan kegiatan yang

berhubungan dengan pemberdayaan perempuan dan PUG dari jumlah keseluruhan

14 kegiatan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah daerah. Pada tahun

yang sama Dislutkan menyelenggarakan “Pelatihan Sumberdaya Perikanan dan

Kelautan” yang ditujukan kepada 40 orang lelaki pembudidaya ikan dan nelayan

serta 40 perempuan pengolah ikan.

Pada tahun 2007, BPMD menyelenggarakan lima kegiatan terkait

pemberdayaan perempuan dan PUG. Lima kegiatan tersebut adalah sebagai

berikut:

• Sosialisasi tentang Pengarusutamaan Gender

• Sosialisasi tentang Pemberantasan Buta Aksara Bagi Perempuan

65

• Sosialisasi tentang Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA)

• Sosialisasi tentang Peningkatan Peranan Wanita Menuju Keluarga Sehat

Sejahtera (P2WKSS), dan

• Sosialisasi tentang Ibu dan Anak.

Salah satu sasaran pemberdayaan perempuan adalah terhadap perempuan

kepala keluarga. Proyek percontohan pemberdayaan perempuan kepala keluarga

(PEKKA) di Kabupaten Subang dilaksanakan di Kecamatan Tanjungsiang yang

meliputi delapan desa. Anggota kelompok PEKKA pada akhir tahun 2005 ini

berjumlah 13 kelompok yang terdiri dari 283 orang. Anggota PEKKA umumnya

berumur antara 41-50 tahun dan menanggung beban sekitar satu anggota keluarga.

Sebagian besar dari mereka menjadi kepala keluarga karena suami meninggal

dunia.

Tujuan dari PEKKA adalah menumbuhkan rasa kebersamaan antar anggota

untuk dapat mengembangkan kemandirian mereka sehingga dapat memperbaiki

taraf hidup mereka sendiri. Pencapaian tujuan ini melalui berbagai kegiatan yang

meliputi pelaksanaan pelatihan dan lembaga keuangan mikro (LKM).

Tema pelatihan yang telah dilaksanakan adalah kewirausahaan, pemasaran,

dan kepemimpinan. Pelatihan kewirausahaan dan pemasaran ditujukan kepada

anggota PEKKA, sedangkan pelatihan kepemimpinan ditujukan kepada pimpinan

kelompok PEKKA untuk kaderisasi.

Lembaga keuangan mikro dari kelompok PEKKA Kecamatan Tanjungsiang

bernama LKM Harapan Perempuan. Anggota LKM ini telah diajarkan oleh

pendamping lapang (PL) mengenai neraca pembukuan kas masuk dan kas keluar,

sehingga dapat dikerjakan sendiri oleh ibu-ibu anggota kelompok PEKKA. LKM

ini pun menangani simpan-pinjam anggota PEKKA. Nilai total modal simpanan

kelompok LKM Harapan Perempuan pada tahun 2005 adalah Rp.242.056.700;

sedangkan kumulatif pinjaman pada tahun 2005 adalah Rp.14.819.950. Fasilitas

pinjaman dari LKM ini dimanfaatkan oleh anggota kelompok PEKKA untuk

modal kerja mereka. Usaha yang telah mereka lakukan antara lain adalah

membuat keripik tempe dan sapu ijuk serta berdagang. Umumnya para anggota

kelompok ini berusaha untuk membayar kembali pinjaman mereka kepada LKM

agar dapat meminjam kembali di kemudian hari (PEKKA 2006).

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Masyarakat Kecamatan Blanakan

5.1.1 Karakteristik sosial budaya

Data karakteristik sosial budaya penduduk di lokasi penelitian diperoleh

melalui wawancara dengan responden dan informan serta diperkuat melalui

pengamatan terhadap perilaku dan kegiatan sehari-hari yang mereka lakukan.

Disamping itu, data diolah dari data sekunder berupa Profil Kecamatan dan Profil

Kabupaten.

(1) Struktur sosial

Struktur sosial dalam komunitas menunjukkan bahwa status lelaki yang

menikah adalah menjadi suami yang merangkap kepala keluarga, sedangkan

status perempuan yang menikah adalah istri. Status suami, sang kepala keluarga,

mewajibkan lelaki untuk mencari nafkah guna membiayai keluarga, disamping itu

dia berhak atas kepatuhan istri. Sebaliknya, perempuan berstatus istri wajib

mengurus rumahtangga dan berhak dinafkahi oleh suami. Pernyataan responden

bapak S dan ibu C sebagai berikut:

“Suami kan cari uang buat keluarga, istri yang urus rumah (rumahtangga), jadi istri harus patuh pada suami. Urusan luar rumah biar suami saja.”

Meskipun demikian, pada umumnya istri bekerja untuk mencari nafkah guna

menambah uang belanja. Menurut ibu M dan ibu C:

“Wajar, kalau istri juga kerja jika penghasilan suami sedikit. Itu (penghasilan istri) dapat menambah uang dapur (uang belanja). Kalau tidak begitu, keluarga bisa tidak makan. Hasil dari melaut tidak tentu.”

Dua pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pembagian peran terkait dengan

status suami-istri pada komunitas setempat tidak berlaku secara ketat. Dengan

kata lain, meskipun mencari nafkah adalah tugas utama suami, tetapi mereka tidak

berkeberatan jika istri juga bekerja mencari nafkah.

Dalam kegiatan sehari-hari, lelaki bekerja di luar rumah, sedangkan

perempuan mengurus rumah dan dapat bekerja di luar rumah. Di TPI dan di

pengolahan ikan banyak dijumpai perempuan yang bekerja. Dalam lingkungan

keluarga, anak lelaki yang sudah lulus SD, usia di atas 13 tahun, banyak yang

membantu pekerjaan ayahnya, sedangkan anak perempuan yang berusia lulus SD

67

membantu ibu mengurus rumah, bahkan mulai bekerja di industri pengolahan

ikan. Pendapat yang serupa dari beberapa responden lelaki dan perempuan di

lokasi penelitian tentang anak yang ikut bekerja sebagai berikut:

“Saya dulu juga begitu. Awalnya, saya membantu orangtua (lelaki ikut melaut atau perempuan ikut mengolah ikan) dulu, baru bekerja sendiri. Anak saya pun begitu (melakukan hal yang sama). Jadi mereka terbiasa bekerja.”

Dari sejak dini dan dalam lingkungan keluarga, orangtua sudah membiasakan

anak mereka bekerja sesuai dengan jenis kelaminnya, yaitu anak perempuan

dididik oleh ibunya untuk melakukan pekerjaan domestik, sedangkan anak lelaki

dididik oleh ayahnya untuk melakukan pekerjaan produktif (nelayan). Anak

perempuan dari ibu yang bekerja di luar rumah juga dididik melakukan pekerjaan

yang sama, misal mengolah ikan atau berjualan, tetapi anak lelaki tidak dilibatkan

dalam melakukan pekerjaan domestik seperti membersihkan rumah, mencuci

piring, belanja. Hal ini menunjukkan bahwa adanya sosialisasi gender di

lingkungan keluarga dari usia dini dan berlangsung turun temurun sebagaimana

diutarakan oleh beberapa responden di lokasi penelitian:

“Saya ajari anak saya seperti orangtua saya mengajar saya. Anak perempuan diajar oleh ibunya, anak lelaki diajar oleh bapaknya. Jadi anak perempuan membantu ibunya mengurus rumah, (sedangkan) anak lelaki bekerja seperti bapaknya.”

(2) Sosial budaya

Penduduk yang tinggal dekat dengan daerah pesisir umumnya merupakan

pendatang yang sudah hidup turun-temurun bertempattinggal di lokasi tersebut.

Daerah asal orangtua mereka antara lain dari pesisir pantai utara Pulau Jawa

seperti Indramayu, Cirebon, Brebes dan Tegal. Penyebab mereka berpindah dari

tempat asal mereka ke pesisir Subang adalah mencari lokasi penangkapan ikan

yang lebih baik bagi mereka, karena pada umumnya matapencaharian utama

mereka adalah sebagai nelayan, yang bersifat turun-temurun.

Bahasa sehari-hari yang digunakan oleh penduduk di lokasi penelitian

adalah bahasa Jawa pesisir utara, bercampur bahasa Indonesia. Logat bicara

mereka masih mirip dengan logat Jawa pesisir utara. Dalam kehidupan sehari-hari

adat istiadat yang masih digunakan umumnya adalah untuk keperluan pernikahan.

Adat istiadat perkawinan yang digunakan adalah adat Jawa Tengah pesisir, yang

68

meliputi pemakaian busana pengantin dan orangtua pengantin, penyelenggaraan

acara siraman dan midodareni yang merupakan acara adat yang dilaksanakan

sehari sebelum acara pokok pernikahan, yaitu acara ijab kabul secara agama

Islam.

Penduduk di lokasi penelitian mayoritas (99,97%) menganut agama Islam

(BPS dan Bapeda Subang 2005). Masyarakat di dua desa tersebut aktif

menghadiri acara pengajian mingguan (minggonan) atau Majelis Taklim, baik

lelaki maupun perempuan. Pengajian perempuan banyak dilaksanakan di rumah,

sedangkan pengajian lelaki banyak dilakukan di masjid. Hari besar Islam seperti

Maulid Nabi, Isra Mi’raj, Idul Fitri dan Idul ’Adha diperingati dengan meriah

secara bersama-sama oleh kaum lelaki dan perempuan. Perayaan tersebut berupa

pengajian dan ceramah yang banyak dihadiri oleh penduduk setempat. Perayaan

hari raya Idul Fitri lebih meriah daripada hari raya Idul ’Adha. Pada saat Idul Fitri

terjadi tradisi mudik atau pulang kampung yang umumnya hanya dilakukan oleh

nelayan pendatang dan pekerja pendatang lainnya, sedangkan penduduk setempat

yang sudah hidup turun-temurun di desa tersebut merayakan hari raya di desa

mereka.

Setiap hari Jum’at kegiatan nelayan lokal banyak yang berhenti atau libur

melaut. Alasan libur adalah untuk beribadah sekaligus beristirahat. Waktu istirahat

seperti di tempat pelelangan ikan (TPI) dan pengolahan ikan dilakukan lebih lama

(pukul 11.00-14.00) dibanding hari lainnya (pukul 12.00-13.00). Alasan

penetapan waktu istirahat yang lebih panjang tersebut adalah untuk memberikan

waktu untuk beribadah yang lebih panjang (sholat Jum’at) kepada pelaku

perikanan.

Tempat ibadah yang terdapat di lokasi penelitian terdiri dari 42 mesjid dan

121 musholla (BPS dan Bapeda Subang 2005). Pada umumnya tempat ibadah

tersebut mudah dijumpai dan mudah didatangi. Selain untuk keperluan ibadah,

masjid dan musholla juga dimanfaatkan untuk pendidikan agama. Menurut

responden, mereka menyekolahkan anak usia SD ke TPA (Tempat Pendidikan Al

Qur’an) atau mengikutsertakannya pada pengajian di mesjid atau musholla. Hal

ini menunjukkan bahwa penduduk setempat memberi perhatian yang lebih

terhadap pendidikan agama anak mereka.

69

Dari hasil survei dan wawancara, diketahui bahwa perempuan memiliki

tingkat pendidikan formal terakhir yang lebih rendah dibanding lelaki. Hal

tersebut tampak dari persentase pencapaian pendidikan terakhir responden (Tabel

18) yang menunjukkan bahwa perempuan yang bersekolah hingga tingkat SD

sebanyak 76,67 persen, sedangkan lelaki sebanyak 83,34 persen. Demikian halnya

dengan persentase responden yang tidak sekolah yaitu perempuan tidak sekolah

sebanyak 16,67 persen sedangkan lelaki sebanyak 10 persen.

Tabel 18 Pendidikan terakhir responden menurut jenis kelamin di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006

Pendidikan akhir Lelaki Perempuan Jumlah (jiwa) Persentase (%) Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Tidak sekolah 3 10,00 5 16,67 Tidak lulus SD 16 53,34 15 50,00 Lulus SD 9 30,00 8 26,67 Tidak lulus SMP 0 0,00 2 6,67 Lulus SLTP 1 3,33 0 0,00 Tidak lulus SLTA 1 3,33 0 0,00

Total 30 100,00 30 100,00

Penyebab rendahnya pendidikan formal pada responden perempuan

umumnya karena mereka tidak didorong untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang

yang lebih tinggi, disamping orangtua mereka tidak mempunyai cukup uang untuk

menyekolahkan mereka, sehingga mereka cenderung untuk menikah dalam usia

muda. Sebaliknya, responden lelaki banyak yang memilih berhenti sekolah karena

ingin bekerja. Menurut responden lelaki, bekerja (seperti melaut) akan

menghasilkan uang, sebaliknya sekolah harus mengeluarkan uang, dan mereka

lebih memilih untuk bekerja.

Pada saat ini umumnya anak-anak dari keluarga nelayan bersekolah hingga

lulus SD, tetapi tidak selalu melanjutkan sekolah ke tingkat SLTP. Jika ada anak

yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTP, menurut informan belum tentu

mereka lulus sekolah, karena pengaruh lingkungan di pesisir yang lebih menarik

minat mereka untuk bekerja dibanding bersekolah. Orangtuapun, umumnya, tidak

mendorong anaknya belajar lebih lanjut, mereka menyerahkan pengambilan

keputusan untuk melanjutkan sekolah atau tidak kepada anaknya. Bahkan ada

responden yang mengatakan bahwa sekolah tinggi-tinggi (sampai ke tingkat

perguruan tinggi) hanya menghabiskan uang dan waktu. Bahkan kalau sudah

luluspun terkadang sulit mencari kerja atau menganggur

70

Diantara responden ada yang menyekolahkan anak ke jenjang pendidikan

yang lebih tinggi (SLTP ke atas). Mereka menyekolahkan anak ke luar wilayah

kecamatan, meskipun di Kecamatan Blanakan sudah ada sekolah menengah

pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) (lihat Tabel 19). Alasan

mereka adalah karena lingkungan di wilayah pesisir cenderung lebih

mengutamakan bekerja akan menghambat minat anak untuk bersekolah ke jenjang

lebih tinggi.

Tabel 19 Sekolah di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2005 Sekolah Jumlah

Taman kanak-kanak 1 SD/sederajat 29 SLTP/sederajat 2 SLTA/sederajat 1 Sumber: BPS Subang 2006

Sarana komunikasi yang umum tersedia di lokasi penelitian adalah televisi

dan radio serta telepon. Secara rinci, jumlah televisi sebanyak 7.916 buah, jumlah

radio sebanyak 10.163 buah dan telpon sebanyak 238 buah (BPS dan Bapeda

Subang 2005). Menurut responden, mereka menonton televisi pada saat santai.

Acara televisi yang diminati oleh perempuan adalah yang bersifat hiburan seperti

sinetron, Hal ini diungkapkan oleh beberapa perempuan nelayan di lokasi

penelitian sebagai berikut:

“Saya nonton TV saat menganggur, biasanya pagi hari setelah selesai mengurus rumah dan belanja, sambil menunggu suami pulang dari melaut. Biasanya nonton lagi setelah makan malam. Kalau siang, nonton acara Buser, Patroli. Kalau malam, nonton sinetron.”

Acara yang diminati oleh lelaki adalah acara berita dan olahraga khususnya

sepakbola. Kadangkala nelayan dan istri nelayan menonton TV sambil

memperbaiki jaring. Hal ini diutarakan oleh beberapa nelayan di lokasi penelitian

sebagai berikut:

“Saya nonton TV setelah makan malam atau setelah maghrib. Kadang-kadang nonton sambil memperbaiki jaring. Acara yang ditonton biasanya berita, kalau ada bola (pertandingan sepakbola) pasti nonton.”

Radio sebagai sumber infomasi juga dimiliki oleh penduduk setempat dan

nelayan yang tinggal di perahu. Menurut responden, hiburan bagi nelayan saat

melaut adalah radio dan tape recorder, oleh karena itu umumnya di perahu

nelayan tersedia radio-tape recorder. Umumnya acara radio yang didengar

71

responden adalah acara hiburan dan berita. Hal ini diungkapkan oleh beberapa

nelayan sebagai berikut:

“Sambil menunggu jaring diangkat lagi (setelah ditebar), saya tidur-tiduran atau mendengar lagu-lagu (dari radio atau tape) juga kadang berita dari radio.”

Prasarana telepon terbagi menjadi dua yaitu telepon publik dan telepon

pribadi. Telepon publik yang tersedia berupa telepon umum dan warung telepon

(Wartel), sedangkan yang tergolong telepon pribadi berupa telepon rumah

(jaringan Telkom) maupun telepon seluler (handphone). Jaringan telepon seluler

yang terjangkau di lokasi penelitian adalah jaringan Telkomsel dan Indosat.

Banyak aparat desa, pengurus KUD, pedagang ikan, pengolah ikan dan nelayan

yang sudah memiliki telepon seluler dan dimanfaatkan untuk keperluan

perdagangan ikan, seperti memantau harga terakhir dan keperluan pemesanan

komoditas ikan. Bakul ikan bapak J mengungkapkan sebagai berikut:

“HP (handphone atau telpon seluler) sangat berguna untuk mengecek harga-harga ikan di pedagang besar. Jadi bisa mengurangi kerugian.”

Sumber informasi lain, seperti suratkabar dan majalah jarang dijumpai di

lokasi penelitian. Selama penelitian dilakukan, di rumah-rumah responden jarang

dijumpai suratkabar baru yang sengaja dibeli untuk dibaca. Pada umumnya

mereka membeli atau mencari suratkabar bekas untuk penggunaan keperluan

produksi yaitu peng-es-an atau pengepakan ikan.

5.1.2 Kegiatan ekonomi di bidang perikanan laut

Kabupaten Subang memiliki dua pelabuhan perikanan pantai (PPP) yang

keduanya berlokasi di Kecamatan Blanakan. Kegiatan di bidang perikanan laut

dan permukiman nelayan terpusat di dekat atau di sekitar PPP yang terletak di

pinggir sungai Ciasem (Desa Muara Ciasem) dan sungai Blanakan (Desa

Blanakan). Keberadaan PPP di lokasi penelitian telah dilengkapi dengan Tempat

Pelelangan Ikan (TPI). PPP dan TPI ini dikelola oleh Koperasi Unit Desa (KUD)

Mina.

Keberadaan PPP/TPI di Desa Blanakan dan Desa Muara Ciasem ini

menunjang aktivitas perekonomian bidang perikanan di dua desa tersebut seperti

perdagangan ikan basah dan pengolahan ikan laut, disamping itu juga telah

72

membangkitkan usaha ekonomi lainnya seperti pusat perdagangan baik sandang

dan pangan, serta bidang telekomunikasi seperti warung telekomunikasi (wartel).

(1) Koperasi Unit Desa (KUD) Mina

Pelabuhan Blanakan dan Muara Ciasem termasuk pelabuhan perikanan

pantai (PPP), yaitu pelabuhan yang dirancang untuk melayani kapal perikanan

berukuran 5-15 GT dan kapal ikan yang beroperasi di perairan pantai (PIPP 2006).

Tabel 20 menunjukkan perahu atau kapal motor yang mendaratkan ikan di dua

PPP di Kecamatan Blanakan.

Tabel 20 Perahu/kapal motor yang mendaratkan ikan di PPP Blanakan dan PPP Muara Ciasem Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2005

Ukuran perahu/kapal motor Jumlah perahu/kapal motor (buah) (Gross Ton/GT) PPP Blanakan PPP Muara

< 5 37 78 5 - 9,99 198 47 10 - 15 29 59 Total 264 184 Sumber: Fajar Sidik 2005, Mina Bahari 2005

Pengelola Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan pelabuhan perikanan pantai

(PPP) di lokasi penelitian adalah KUD (Koperasi Unit Desa) Mina Mandiri, yaitu

KUD Mandiri Mina Fajar Sidik yang mengelola TPI Blanakan dan KUD Mandiri

Mina Bahari yang mengelola TPI Muara. PPP di lokasi penelitian tergolong maju,

karena sudah dilengkapi dengan TPI, dermaga, listrik, dan air tawar. Bahkan PPP

di Desa Blanakan sudah memiliki perumahan nelayan tipe RSS (Rumah Sangat

Sederhana) dan stasiun penyediaan solar untuk nelayan atau SPDN (Solar Packed

Dealer Nelayan).

Hasil total produksi dua KUD/TPI tersebut menempati peringkat pertama

dan kedua untuk semua KUD/TPI di Kabupaten Subang (lihat Tabel 17 di Bab 4)

dengan total produksi sebesar 76,95 persen dari total produksi perikanan laut

Kabupaten Subang. Hasil pelelangan ikan atau produksi dari KUD/TPI Fajar

Sidik dan KUD/TPI Mina Bahari dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21 Produksi KUD/TPI Fajar Sidik dan KUD/TPI Mina Bahari di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2005

KUD/TPI Volume produksi (ton) Nilai produksi (Rp) Fajar Sidik 9.947,2 86.789.320.000

Mina Bahari 3.559,8 31.059.255.000 Total 13.507,0 117.848.575.000

Sumber: BPS 2006

73

KUD/TPI Fajar Sidik dan KUD/TPI Mina Bahari terletak di wilayah

kecamatan yang sama dan merupakan pesaing satu sama lain, disamping itu

sistem honorarium pengurus dan pegawai KUD/TPI tergantung nilai pelelangan

ikan. Oleh karena itu, masing-masing KUD berusaha untuk memberikan

pelayanan yang memuaskan bagi pembeli dan pemasok ikan, khususnya nelayan

dari luar daerah yang mempunyai armada perikanan yang lebih besar dan lebih

moderen dibanding nelayan lokal yang masih menggunakan perahu sope. Inilah

yang menyebabkan para pengurus KUD selalu berusaha untuk menarik minat

nelayan dari luar wilayah Kabupaten Subang untuk menjadi anggota KUD

setempat dan melelang ikan hasil tangkapannya di TPI yang mereka kelola.

Berbagai cara dilakukan untuk melayani nelayan tersebut, antara lain dengan

menyediakan kemudahan dalam memperoleh keperluan melaut seperti BBM, es

balok, air tawar, dan bahan pangan; harga lelang ikan yang lebih tinggi daripada

harga di TPI lain; adanya kepastian bahwa ikan tangkapan akan habis terjual di

tempat pelelangan; pembayaran tunai bagi nelayan yang melelang ikan; dan

keamanan saat perahu atau kapal bersandar untuk mendaratkan ikan.

Dua KUD Mina ini juga mengelola berbagai bidang usaha lain disamping

mengelola TPI dan PPP. KUD Mina Fajar Sidik di Desa Blanakan mempunyai

lima unit usaha, yaitu unit TPI, unit pabrik es, unit simpan pinjam, unit warung

telekomunikasi (Wartel) dan unit SPDN (Fajar Sidik 2005). KUD Mina Bahari di

Desa Muara Ciasem mempunyai lima unit usaha, yaitu unit TPI, unit simpan

pinjam, unit warung serba ada (Waserda), unit kios pembayaran listrik PLN (unit

listrik) dan unit kios telekomunikasi (Kiostel) (Mina Bahari 2005).

Unit simpan-pinjam di dua KUD hanya melayani anggota KUD yang aktif.

Yang disebut anggota aktif yaitu aktif dalam hal (i) menyimpan uang di KUD; dan

(ii) ikut lelang dan melelang ikan di TPI yang dikelola KUD yang bersangkutan.

Nelayan atau pedagang ikan yang tidak menjadi anggota KUD dan tidak aktif

terlibat dalam pelelangan ikan serta nilai simpanan lebih rendah daripada nilai

pinjamannya maka dia tidak dapat meminjam uang karena dana simpanan

berfungsi sebagai agunan.

TPI merupakan tempat pertemuan antara nelayan yang memasok ikan dan

pembeli ikan, pedagang ikan segar atau pengolah ikan. Jadi TPI sekaligus

74

berfungsi sebagai tempat usaha penyedia jasa. Adanya Perda Propinsi Jawa Barat

No 5 Tahun 2005 tentang retribusi dan penyelenggaraan TPI yang mewajibkan

penjualan hasil ikan tangkapan dilakukan di TPI menyebabkan nelayan harus

menjual ikan secara lelang di TPI dan tidak menjual ke Bakul Ikan. Dengan

demikian, para Bakul Ikan harus membeli ikan melalui sistem lelang di TPI. Biaya

untuk lelang yang dikenakan kepada nelayan sebesar dua persen, sedangkan

kepada bakul (pembeli) sebesar tiga persen dan dari hasil pemotongan untuk biaya

lelang tersebut, Pemda memperoleh 1,6 persen.

Melelang ikan hasil tangkapan di TPI ada keuntungan. Keuntungan nelayan

menjual ikan di TPI adalah: (i) hasil ikan tangkapan pasti terjual, karena pihak

KUD dapat memaksa pedagang besar atau pembeli yang bermodal besar untuk

membeli ikan tangkapan tersebut, (ii) adanya peluang ikan akan dapat terjual

dengan harga cukup tinggi dengan adanya sistem lelang yang mengharuskan

pembeli bertarung harga untuk mendapatkan ikan. Kerugian nelayan dari menjual

ikan di TPI adalah: (i) adanya pemotongan dari TPI terhadap hasil lelang tersebut

dengan besaran yang bervariasi yaitu 7 persen di TPI Fajar Sidik dan 11 persen di

TPI Mina Bahari, (ii) sistem antrian dalam keikutsertaan pelelangan yang cukup

melelahkan bagi nelayan sepulang melaut, apalagi bagi mereka yang memperoleh

hasil tangkapan ikan sedikit. Hal ini dialami oleh nelayan Desa Muara yang harus

menjual hasilnya sendiri dan bukan dibantu oleh istri seperti nelayan di Desa

Blanakan, (iii) penjualan ikan dengan cara pemajangan ikan kurang memuaskan

nelayan karena adanya penaksiran berat ikan yang berbeda antara nelayan dengan

yang terlelang; (iv) sulitnya meminjam uang untuk keperluan perbaikan mesin

atau pembelian perbekalan melaut, walau dengan besaran berkisar antara 100-200

ribu rupiah saja, akibat nilai simpanan di KUD lebih rendah dari nilai pinjaman.

Harga pelelangan ikan tidak dapat dipastikan, sewaktu-waktu dapat naik dan

kapan saja dapat turun, tergantung pasokan. Pada saat paceklik, harga ikan

cenderung tinggi akibat pasokan yang sedikit. Sebaliknya, pada saat panen, harga

ikan turun karena banyaknya ikan yang dilelang. Menurut nelayan, pada musim

paceklik, harga ikan pada saat pelelangan pagi atau siang hari lebih rendah

daripada harga pelelangan sore hari dimana para pembeli harus bertarung untuk

dapat membeli ikan dan akibatnya harga lelang ikan dapat meningkat sekitar 30

75

persen. Sebaliknya, pada musim panen, harga ikan pada saat pelelangan pagi hari

lebih tinggi daripada harga pelelangan sore hari, karena mutu ikan lebih baik dan

pembeli pun bersaing ketat untuk mendapatkan ikan segar, perbedaan harga dapat

mencapai 50 persen.

Kantor KUD Fajar Sidik di Desa Blanakan dan juga KUD Mina Bahari di

Desa Muara Ciasem sering digunakan sebagai tempat penyelenggaraan

pembinaan bidang perikanan laut untuk tingkat kecamatan oleh Dislutkan dan

perguruan tinggi seperti Institut Pertanian Bogor (IPB). Pembinaan tersebut

umumnya berupa penyuluhan dan pelatihan. Penyuluhan yang pernah

diselenggarakan di kantor KUD tersebut antara lain tentang sosialisasi Peraturan

Daerah (Perda) Propinsi Jawa Barat No 5 Tahun 2005 tentang Retribusi dan

Penyelenggaraan TPI, sosialisasi tentang hukum laut dan navigasi, pelatihan

tentang perbaikan mesin dan alat tangkap yang kesemuanya ditujukan kepada

nelayan. Pembinaan kepada pengolah ikan yang pernah diselenggarakan berupa

pelatihan tentang teknologi pengolahan ikan dan sosialisasi tentang mutu olahan

ikan dipandang dari segi kesehatan manusia, seperti larangan penggunaan

formalin sebagai bahan pengawet ikan.

Karyawan di KUD Fajar Sidik berjumlah 50 orang dengan komposisi 43

lelaki dan 7 perempuan. Karyawan di KUD Mina Bahari berjumlah 26 orang

dengan komposisi 24 lelaki dan dua perempuan. Karyawan perempuan umumnya

bertugas di bagian administrasi dan kerumahtanggaan. Petugas di TPI umumnya

adalah lelaki, alasan yang dikemukakan oleh bapak S sebagai berikut:

“Kerja di pelelangan ikan itu berat, jadi dikerjakan oleh lelaki. Perempuan tidak kuat kerja berdiri dan berteriak seharian untuk melelang ikan.”

(2) Komunitas perikanan laut

Pelaku yang terkait dengan kegiatan ekonomi di bidang perikanan laut ini

adalah (i) nelayan, (ii) pedagang ikan, dan (iii) pengolah ikan.

(i) Nelayan

Nelayan lokal, sebagai nelayan kecil, umumnya memiliki perahu motor

tempel (PMT) yang disebut perahu sope yang menggunakan satu mesin motor.

Perahu sope berukuran dibawah 5 GT, dengan jenis alat tangkap ikannya (jaring)

adalah jaring rampus, jaring udang, jaring kada dan jaring arad. Wilayah tangkap

76

ikan nelayan lokal adalah di sekitar pantai. Jenis ikan yang dapat ditangkap oleh

nelayan yang menggunakan jenis jaring tersebut adalah sebagai berikut: ikan

kembung, ikan kurau, ikan blanak, ikan tigawaja, ikan petek, udang dogol, dan

rebon. Harga ikan yang tergolong mahal dari tangkapan nelayan kecil tersebut

adalah udang dogol, ikan kurau, ikan kembung, ikan blanak dan ikan tiga waja,

sedangkan ikan yang tergolong harga murah adalah ikan petek dan rebon. Pada

saat panen ikan kembung, nelayan akan mendapat uang banyak yang disebut

dengan along.

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di akhir tahun 2005

menyebabkan banyak nelayan yang berhenti melaut, sehingga produksi menurun.

Pada saat musim paceklik ikan yang ditambah dengan kenaikan harga BBM yang

meningkat tajam maka banyak nelayan yang memilih untuk tidak melaut daripada

merugi besar. Pada saat wawancara dengan nelayan dan istri nelayan, tercetus

keluhan dari mereka tentang kenaikan harga solar per liter dari Rp.2.100 menjadi

Rp.4.300 yang menyebabkan pendapatan mereka menjadi sangat menurun karena

meningkatnya ongkos melaut, sedangkan harga ikan tidak meningkat karena

dipengaruhi oleh harga pasar. Tingginya komponen bahan bakar dan

ketidakpastian memperoleh hasil tangkapan ikan jelas akan sangat merugikan dan

meningkatkan jumlah hutang para nelayan. Untuk menyiasati tingginya harga

solar, mereka mengganti bahan bakar perahu dengan minyak tanah dengan harga

eceran per liter sebesar Rp.3.000. Ungkapan responden di lokasi penelitian

mengenai kenaikan harga BBM adalah sebagai berikut:

“Itu (harga solar naik) sih ganti harga, bukan kenaikan harga. Bikin nelayan tambah susah. Harga ikan tidak pasti, tapi belanja minyak (solar) sudah pasti banyak. Biar ada kelebihan hasil (uang penjualan ikan), solar diganti minyak tanah.”

Pada awalnya, untuk melumasi mesin perahu agar bekerja dengan mulus,

nelayan mencampur (meng-oplos) 20 liter minyak tanah dengan satu liter oli

motor bekas. Perkembangan selanjutnya (saat penelitian dilakukan April 2006),

nelayan di dua desa sudah tidak lagi mencampur oli bekas dengan minyak tanah

karena mereka beranggapan bahwa mesin perahu sudah dapat beradaptasi dengan

minyak tanah. Menurut nelayan, bapak K:

77

“Awalnya sih, minyak tanah dicampur oli bekas untuk ganti solar. Sekarang mesin perahu sudah biasa dengan minyak tanah saja, jadi tak perlu ditambah oli bekas.”

Menurut nelayan, biaya kerusakan mesin (sparepart) akibat penggunaan minyak

tanah masih lebih rendah daripada hasil penjualan tangkapan ikan, sehingga

mereka lebih memilih untuk menggunakan minyak tanah daripada solar sebagai

bahan bakar mesin perahu. Pada umumnya mesin perahu sope yang digunakan

nelayan adalah mesin buatan Cina yang disebut mesin dompleng yang

memungkinkan terjadinya penggantian penggunaan jenis bahan bakar yang tidak

mempengaruhi kerja mesin kapal motor. Nelayan yang menggunakan kapal motor

besar (bukan perahu sope) dengan penggunaan mesin sejenis Kubota sangat

dipengaruhi oleh harga solar yang tinggi sebagai bahan bakar mesin dan tidak

dapat diganti dengan minyak tanah.

Di PPP (pelabuhan perikanan pantai) Blanakan sudah ada fasilitas SPDN

(Solar Packed Dealer Nelayan) yang menjual solar dengan harga yang telah

ditetapkan oleh Pertamina (yaitu Rp.4.300/liter). PPP di Desa Muara belum

memiliki SPDN sehingga nelayan setempat harus membeli solar secara eceran

dengan harga yang lebih tinggi yaitu antara Rp.4.700 sampai Rp.5.000. Hal ini

menunjukkan bahwa kemudahan mendapat pasokan BBM sesuai harga pasar juga

mempengaruhi besarnya biaya untuk melaut. Disamping itu, kelangkaan atau

keterlambatan pemasokan BBM juga mempengaruhi kinerja nelayan yang tidak

dapat berangkat melaut.

Nelayan di Desa Muara Ciasem yang membutuhkan BBM juga perlu

menjaga hubungan baik dengan penjual BBM tersebut. Adanya konflik antara

pembeli (nelayan) dengan penjual BBM dapat menghambat pasokan BBM,

sehingga nelayan harus membeli BBM ke luar desa yang membutuhkan biaya

transportasi tambahan untuk membawa BBM tersebut ke perahu yang disandarkan

di tepi sungai Ciasem. Hal ini berarti adanya biaya tambahan untuk mendapatkan

pasokan BBM.

Kebutuhan akan bahan bakar menentukan lamanya nelayan melaut yaitu

semakin jauh jarak melaut dan semakin lama di laut maka bahan bakar yang

dibutuhkan juga semakin banyak. Biaya pengadaan bahan bakar merupakan

komponen terbesar (50-60%) dari keseluruhan biaya perbekalan melaut,

78

disamping konsumsi dan rokok. Rincian biaya operasional nelayan perahu sope

melaut selama satu hari dan dengan dua atau tiga orang awak perahu (1 Jurumudi

dan 1-2 Bidak) adalah BBM (minyak tanah) 10 liter @ Rp.3.000, 2-3 bungkus

rokok @ Rp.2.500, 2-3 bungkus nasi @ Rp.5.000, dan 2-6 bungkus mi instant @

Rp.1.000. Total pengeluaran adalah sebesar Rp.47.000-58.500. Pada musim

paceklik, biaya melaut dapat ditekan melalui pengurangan biaya untuk komponen

konsumsi.

Istri nelayan memegang peranan penting dalam pengaturan keuangan usaha

perikanan. Istri yang membagikan uang hasil penjualan ikan kepada jurumudi dan

Bidak yang melaut, karena istri yang menjual ikan ke TPI dan yang menerima

uang. Pembagian uang hasil penjualan ikan yang umum dilakukan di lokasi

penelitian adalah sebagai berikut: 50 persen untuk Juragan dan 50 persen lainnya

untuk Jurumudi dan Bidak, dengan demikian semakin banyak awak perahu yang

melaut akan semakin sedikit uang yang diperoleh. Oleh karena biaya pembelian

perbekalan melaut ditanggung oleh pihak Juragan, maka Juragan memperoleh

bagian yang lebih besar. Temuan ini membuktikan bahwa perempuan nelayan

berperan dalam pengelolaan usaha keluarga sesuai pendapat Hubeis (2001).

Pengelolaan keuangan rumahtangga umumnya dilakukan oleh istri atau

kaum perempuan. Pengelolaan keuangan oleh perempuan di daerah didasarkan

persepsi masyarakat bahwa kaum perempuan lebih hati-hati dalam mengatur

keuangan baik keluarga atau usaha dibandingkan dengan kaum lelaki. Disamping

itu, pelabelan negatif (stereotipi) yang umum dan terkait dengan pengelolaan

keuangan dalam komunitas pesisir adalah kaum perempuan itu pelit dan pintar

mengurus uang, sedangkan kaum lelaki itu boros dan tak dapat mengurus uang.

Hal ini diungkapkan oleh bapak S, ibu M, bapak M, dan ibu C:

“Perempuan itu pelit, maka pintar simpan uang. Lelaki itu boros, enggak (tidak) bisa simpan uang.”

Pendapat yang senada diutarakan oleh bapak C, ibu M, bapak S dan ibu C sebagai

berikut:

“Kalau laki (suami) pegang uang, dalam sekejab uang habis. Biar istri saja yang pegang (mengelola) uang. Suami tinggal terima uang rokok.”

79

Stereotipi ini yang menyebabkan kaum perempuan dianggap sesuai sebagai

pengelola keuangan. Pada saat along (panen ikan) terjadi peningkatan biaya

belanja untuk keperluan makan keluarga dan jajan anak serta investasi berupa

pembelian perhiasan emas yang kelak dapat dijual lagi saat paceklik.

Pengaturan yang dilakukan oleh istri pada saat memiliki banyak uang dari

hasil melaut, yaitu dengan cara (a) dengan membayar utang-utang yang dilakukan

pada saat musim paceklik, (b) menabung mengikuti arisan yang dibayar harian

dan akan diundi (dikocok) setiap 10 hari; semakin banyak peserta maka semakin

besar jumlah uang arisan yang akan diperoleh dan bagi keluarga nelayan berfungsi

sebagai tabungan, dan (c) membeli perhiasan emas yang dijual lagi pada saat

musim paceklik.

Menurut beberapa aparat Pemda, masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai

nelayan cenderung hidup boros. Pernyataan mereka adalah sebagai berikut

“Pengelola uang keluarga dan usaha (perikanan) adalah istri atau perempuan. Kebanyakan nelayan masih berorientasi pada hidup hari ini dan jarang yang memikirkan hari esok, sehingga pendapatan tinggi pada saat panen ikan juga dibarengi dengan pengeluaran konsumtif yang tinggi. Tabungan yang mereka miliki umumnya berupa perhiasan emas sehingga mudah untuk dijual kembali pada saat paceklik. Dari perhiasan emas yang dipakai mereka dapat dijadikan ukuran untuk menentukan apakah keluarga tersebut sedang memiliki uang atau tidak.”

Di sebelah utara komplek TPI terdapat warung remang-remang atau daerah

prostitusi. Pada saat nelayan memperoleh uang banyak atau along, daerah utara ini

ramai dikunjungi oleh nelayan pendatang atau nelayan lokal bujangan. Istilah

setempat untuk menyebut orang yang pergi berfoya-foya di daerah utara adalah

ngalor. Selain Pekerja Seks Komersial (PSK), di lokasi tersebut juga terdapat

tempat hiburan cafe yang menjual minuman keras (miras). Miras inilah yang

menjadi penyebab timbulnya gangguan atau kerawanan keamanan setempat

karena timbulnya perkelahian antar-nelayan ketika mereka mabuk.

(ii) Pedagang ikan

Di sekitar PPP Desa Muara Ciasem, masih dapat dijumpai pedagang ikan

yang dikenal dengan Bakul Ikan yang menerima penjualan ikan dari nelayan

secara langsung. Pada umumnya bakul ikan ini adalah lelaki, dalam pelaksanaan

usaha dibantu oleh istri dan anak atau menantu. Bakul Ikan seperti ini tidak dapat

80

dijumpai di Desa Blanakan karena penjualan ikan hasil tangkapan nelayan harus

dilakukan melalui lelang di TPI Blanakan. Pengawasan oleh pihak berwenang di

Desa Blanakan terhadap praktik Bakul Ikan sedemikian ketatnya sehingga Bakul

Ikan tidak dapat beroperasi di desa tersebut.

Hubungan jual-beli langsung tersebut terjadi karena nelayan Muara dapat

meminjam uang (berhutang) kepada Bakul Ikan untuk berbagai keperluan seperti

memperbaiki mesin atau membeli perbekalan. Selanjutnya, nelayan akan menjual

hasil ikan tangkapannya kepada Bakul Ikan tersebut sebagai pembayaran hutang.

Jika nelayan tidak menjual ikannya kepada Bakul Ikan yang bersangkutan, maka

Bakul dapat menagih hutang nelayan yang bersangkutan dalam bentuk uang.

Selain uang, Bakul Ikan di Muara juga menyediakan berbagai fasilitas kepada

nelayan pendatang seperti tempat tinggal sementara sebagai pengikat bagi nelayan

tersebut. Hubungan nelayan dan bakul ini diakui oleh pegawai Dislutkan masih

tetap ada, karena:

“Bakul ikan selalu siap membantu jika nelayan membutuhkan uang. Hal ini sulit terpenuhi oleh Dinas (Dislutkan), maka bakul ikan masih tetap dapat dijumpai di daerah nelayan.”

Sistem pembelian ikan di Bakul Ikan adalah dengan menggunakan

timbangan, berbeda dengan di TPI yang menggunakan cara taksir berat ikan

berdasarkan besar ikan yang dipajang. Penjualan ini memberikan kepastian

berdasarkan berat ikan jualan bagi nelayan, ditambah lagi Bakul Ikan dapat

menerima ikan dari nelayan, kapan saja karena mereka banyak yang berlokasi di

pinggir sungai Ciasem, berbeda dengan TPI yang sudah tutup sore hari jika

penjualan ikan sedikit. Umumnya ikan yang dijual ke Bakul Ikan adalah ikan

berkualitas ekspor dan berharga mahal seperti jenis udang besar, ikan bawal,

sedangkan ikan yang harganya murah dijual ke TPI. Bagi nelayan kecil yang

memperoleh tangkapan yang sedikit, penjualan ikan ke TPI dengan sistem antrian

juga melelahkan bagi mereka, sehingga mereka menjual ikan ke Bakul Ikan yang

tidak perlu antri panjang, apalagi setelah lelah melaut nelayan ingin cepat pulang

dengan membawa uang hasil penjualan. Ibu D mengungkapkan keluhannya

tentang lelahnya mengantri melelang ikan di TPI:

“Di TPI kadang-kadang capek menunggu antrian ikan yang dilelang. Ikan yang dijual tak seberapa (tidak banyak), nunggu gilirannya lama,

81

hasil yang didapat sedikit lagi. Enakan (lebih enak) jual di Bakul, cepat selesai.”

Kerugian bagi nelayan jika menjual ke Bakul Ikan adalah dari segi harga

karena ditetapkan oleh Bakul secara sepihak. Namun demikian, bagi nelayan yang

tidak ada utang kepada Bakul, dia dapat menjual ikannya kepada Bakul siapa saja

secara bebas. Oleh karena itu, Bakul berusaha untuk memberikan ikatan kepada

nelayan agar nelayan tetap menjual ikan kepada mereka, apalagi masih banyak

bakul lain sebagai pesaing mereka. Menurut bapak J tentang ikatan ini sebagai

berikut

“Untuk mendapatkan ikan, Bakul perlu memberi ikatan uang dan servis (seperti menyediakan tempat untuk tinggal, minuman kopi, rokok tambahan). Kalau tidak (beri), tak ada yang mau jual ke saya (Bakul).”

Pada bulan Mei 2006, terjadi penggerebekan Bakul Ikan di Desa Muara oleh

pihak berwenang menyusul pemberlakuan Perda No 5 Tahun 2005, karena praktik

Bakul Ikan dinilai merugikan TPI, sehingga pemasukan dana hasil retribusi

pelelangan ikan ke Pemda pun menurun. Bakul Ikan pun menghilang dari tepi

Sungai Ciasem, tetapi beberapa Bakul masih menerima kiriman ikan secara diam-

diam, yaitu pada saat sebelum pagi, sehingga sering disebut dengan “Serangan

Fajar” dan dilakukan di tempat yang tersembunyi. Transaksi ini dapat terjadi

karena nelayan masih membutuhkan jasa Bakul ini baik dari segi dana berupa

pinjaman modal dan harga ikan yang dianggap lebih tinggi daripada dijual melalui

lelang. Namun pada akhir Agustus 2006, praktik Bakul Ikan ini mulai beroperasi

dengan terang-terangan lagi, setelah tidak ada lagi pengawasan ketat dari pihak

yang berwenang.

Pada umumnya Bakul Ikan di Desa Muara adalah lelaki, tetapi dalam

pelaksanaan kerja sehari-hari Bakul dibantu oleh istrinya. Jika sang Bakul lelaki

ikut proses pelelangan ikan, istri menggantikan tugas di rumahnya, karena pada

umumnya transaksi terjadi di rumah Bakul Ikan. Dengan demikian, istri Bakul

Ikan juga terlibat dalam proses perdagangan, termasuk mengetahui informasi

harga ikan yang diperdagangkan, dan pengelolaan keuangannya.

(iii) Pengolahan ikan

Usaha pengolahan ikan laut yang banyak dijumpai di lokasi penelitian

adalah pengolahan ikan asin. Disamping itu juga terdapat usaha fillet ikan yang

82

merupakan bahan baku untuk kerupuk, baso ikan, serta olahan lanjutan lainnya.

Usaha pengolahan ikan ini mudah dijumpai di dekat tepi sungai Ciasem dan kali

Blanakan serta di sepanjang jalan raya menuju TPI, karena umumnya sumber ikan

yang menjadi bahan baku diperoleh dari pelelangan di TPI. Tempat pengolahan

ikan asin tersebut mudah ditemukan dengan melihat banyaknya tempat

penjemuran hasil olahan. Jika tidak ada ikan yang dilelang di TPI maka tempat

pengolahan sepi dari kegiatan dan akibatnya desa-desa tersebut pun menjadi sepi.

Pengolahan ikan asin di lokasi penelitian ada dua jenis yaitu ikan asin

rendaman dan ikan asin rebusan. Perbedaan tersebut terletak pada teknik

pengolahan, hasil akhir dan pangsa pasar. Rinciannya sebagai berikut: (i)

Pengolahan ikan asin rendaman dimulai dengan penyiangan dan pembelahan ikan

menjadi dua, sehingga sering disebut juga belekan (istilah Bahasa Jawa untuk

belah). Proses pembelahan ini umumnya dilakukan oleh kaum perempuan; tetapi

kaum lelaki di Desa Blanakan banyak juga yang bekerja sebagai buruh

pembelahan ikan dan fillet. Selanjutnya, ikan belahan tersebut direndam air garam

yang kemudian dijemur hingga kering dan siap untuk dipasarkan. Pemasaran ikan

asin rendaman adalah ke wilayah Propinsi Jawa Barat seperti Cianjur, Sukabumi

hingga ke wilayah Propinsi Banten seperti Serang. (ii) Pengolahan ikan asin

rebusan tanpa melalui proses penyiangan dan pembelahan. Ikan utuh tersebut

langsung direbus dalam air yang bergaram dengan menggunakan kompor minyak

tanah. Setelah perebusan selesai kemudian ikan asin dijemur. Pekerja di

pengolahan ikan rebusan ini adalah lelaki karena diperlukan kekuatan fisik untuk

mengangkat bakul ikan rebusan. Pemasaran ikan asin rebusan ini adalah ke

wilayah Propinsi Lampung.

Pengusaha ikan asin rebusan umumnya adalah kaum lelaki, sedangkan

pengusaha ikan asin rendaman dan fillet baik lelaki maupun perempuan.

Pembagian tugas antara anggota keluarga lelaki dan perempuan di usaha

pengolahan ikan yaitu kaum lelaki ikut pelelangan ikan, sedangkan kaum

perempuan sebagai pengelola keuangan usaha. Namun ada istri yang menangani

pengiriman barang dan pemasaran, karena sang suami harus tetap hadir sebagai

peserta lelang. Reputasi pengusaha juga mempengaruhi kesempatan untuk

83

menang dalam lelang. Bapak C dan Ibu K mengungkapkan alasan mengapa lelaki

yang ikut lelang ikan di TPI:

“Yang ikut lelang di TPI itu kebanyakan laki. Mereka harus tarung (berusaha keras) untuk mendapatkan ikan. Kalau tidak tarung, tidak dapat uang. Di TPI tak kenal saudara. Sesama saudara yang jadi pengolah ikan, ya ... tetap tarung juga.”

Usaha pengolahan ikan di lokasi penelitian tergantung dari ada-tidaknya

ikan yang dilelang di TPI. PPP Blanakan dan PPP Muara Ciasem sering

disinggahi oleh perahu atau kapal motor besar yang menangkap ikan dari berbagai

wilayah yang kadangkala jauh dari wilayah Kabupaten Subang, bahkan hingga

laut di sekitar Propinsi Jawa Timur dan Lampung. Dua TPI ini dapat melelang

ikan dengan harga yang cukup tinggi sehingga disukai oleh nelayan luar. Kendala

yang dihadapi oleh TPI Desa Muara Ciasem adalah adanya pendangkalan sungai

Ciasem yang menghambat kapal motor merapat di PPP, sehingga sering kalah

bersaing dengan TPI Desa Blanakan. Hal ini menyebabkan pengolahan ikan di

Desa Blanakan terus beroperasi karena adanya pasokan ikan di TPI. Dengan

demikian, kesinambungan pasokan bahan baku pengolahan ikan sangat penting

untuk menunjang usaha pengolahan ikan tetap dapat beroperasi. Hal ini akan

menguntungkan bagi pengusaha serta buruh pengolahan yang bekerja tergantung

dari ada-tidaknya ikan sebagai bahan baku.

Pengusaha pengolahan ikan yang tergolong besar dan kuat mendapat

insentif dari KUD pada saat panen ikan. Pada saat panen ikan, TPI berusaha agar

semua ikan yang masuk harus terjual, maka pihak KUD memberikan kemudahan

berupa penundaan pembayaran kepada pengusaha pengolahan ikan dan pedagang

ikan yang tergolong besar agar dapat membeli ikan. Hal ini dikarenakan jika ikan

yang masuk ke TPI tidak terjual, maka nelayan dikhawatirkan akan enggan

menjual ikannya ke TPI tersebut dan pindah ke TPI lainnya, lalu akan merugikan

pihak KUD dan industri pengolahan ikan lainnya, akhirnya akan merugikan

perekonomian desa setempat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada

keterkaitan yang erat antara nelayan khususnya nelayan pendatang, KUD/TPI

Mina, industri pengolahan ikan laut dan masyarakat setempat.

84

5.1.3 Rona lingkungan hidup

Untuk mengetahui rona lingkungan hidup di lokasi penelitian dilakukan

dengan wawancara yang kemudian diperkuat dengan pengamatan. Rona

lingkungan hidup ini diperlukan untuk mengetahui kondisi lingkungan hidup

terkini (pada saat penelitian) di wilayah pesisir tersebut terkait dengan asepek

berkelanjutannya usaha perikanan pantai setempat. Responden yang diwawancarai

adalah masyarakat pesisir yang meliputi nelayan, pedagang ikan dan pengolah

ikan, baik lelaki dan perempuan. Pertanyaan yang diajukan meliputi cara

pemanfaatan sumberdaya perikanan laut dan pantai, pengetahuan responden

tentang lingkungan hidup sekitar mereka baik darat dan laut, pendangkalan

sungai, pengalihan fungsi lahan dan pencemaran lingkungan.

Salah satu alat tangkap ikan yang digunakan oleh nelayan kecil setempat

adalah jaring arad yaitu sejenis jaring trawl kecil. Penggunaan jaring arad

sesungguhnya telah dilarang oleh pemerintah, karena dapat merusak habitat laut

karena semua biota laut, baik yang berukuran kecil hingga besar dapat ikut

terseret dan terjaring. Walaupun nelayan sudah mengetahui hal ini dari sosialisasi

yang dilakukan oleh Dislutkan tentang pelarangan penggunaan jaring arad,

ternyata masih banyak nelayan lokal yang tetap menggunakannya. Bahkan

menurut pengakuan responden, lelaki dan perempuan hampir semua nelayan di

lokasi penelitian masih mempunyai jaring arad ini. Pengakuan ibu E dan bapak

M:

“Pakai (menggunakan) jaring arad, nelayan sudah pasti akan mendapat ikan (tangkapan) tapi hasil penjualannya lebih kecil (rendah) daripada hasil tangkapan dengan menggunakan jenis jaring lain. Yang jelas, pakai (jaring) arad pasti dapat ikan.”

Dengan penggunaan jaring arad, kualitas ikan tangkapan yang diperoleh rendah

jika dibandingkan dengan kualitas ikan tangkapan dengan menggunakan jaring

rampus dan jaring udang (jaring kantong). Kualitas ikan tersebut dilihat dari jenis

ikan dan ukuran ikan yang ditangkap. Jaring arad termasuk jaring yang non

selektif, jadi semua jenis biota dengan ukuran berapapun yang mampu ditampung

akan terjaring.

Pada tahun 2005 di Desa Muara Ciasem sudah pernah ada pelaksanaan

program pemerintah daerah berupa penggantian jaring arad dengan jaring yang

85

ramah lingkungan yaitu jaring rampus termodifikasi (rampus sirang). Jaring arad

memiliki ukuran petak jaring 1x1 inci, jaring rampus memiliki ukuran petak

jaring 2x2 inci, sedangkan jaring rampus termodifikasi memiliki ukuran petak

jaring 1,75x1,75 inci. Hasil yang diperoleh nelayan dengan jaring rampus

termodifikasi relatif banyak dan dengan kualitas tangkapan ikan yang juga baik

sehingga dapat dijual ke TPI dengan harga yang cukup tinggi, selain itu jaring ini

bersifat ramah lingkungan karena tidak merusak habitat laut. Sayangnya, program

Pemda Kabupaten Subang hanya mengganti sebagian dari jumlah jaring arad yang

dimiliki nelayan. Kekecewaan diutarakan oleh bapak M:

“Pemerintah hanya ganti lima pis jaring arad saja, padahal nelayan butuh 40 pis untuk menangkap ikan, jelas tidak cukup. Dari mana uang untuk ganti 35 pis lainnya? Nelayan balik (kembali) pakai jaring arad.”

Bantuan jaring rampus sebanyak lima pis (pieces) untuk tiap Juragan perahu yang

menjadi anggota KUD atau kelompok nelayan, sedangkan jumlah yang

dibutuhkan oleh nelayan adalah sebanyak 40 pis. Dengan demikian, nelayan

masih memerlukan tambahan modal untuk memenuhi kebutuhan jaring, sekitar

Rp.5.000.000 hingga Rp.6.000.000 untuk pembelian 35 pis jaring. Nelayan yang

menjadi anggota KUD dapat memperoleh pinjaman dana dari KUD untuk

pembelian jaring tersebut, tetapi akibat penghasilan yang sedikit dari penjualan

ikan tangkapannya maka nelayan tidak dapat meminjam uang sesuai kebutuhan,

akibatnya nelayan masih tetap menggunakan jaring arad sebagai alat penangkap

ikan.

Saat diwawancarai mengenai kondisi lingkungan hidup setempat, responden

yang berprofesi sebagai nelayan menyatakan bahwa sepanjang pantai masih

banyak dijumpai hutan mangrove. Pengutaraan bapak K dan bapak D sebagai

berikut:

“Pantai di daerah sini (wilayah Blanakan) masih banyak bakau-nya. Dulu pernah ada yang babat, tetapi sekarang sudah rimbun lagi.”

Memang pernah terjadi pembabatan hutan mangove menjadi tambak, tetapi

kemudian dilakukan penanaman bakau kembali oleh pemerintah. Kawasan

mangove tersebut yang sekarang telah menjadi jalur hijau (green belt) bagi pesisir

setempat. Adanya hutan mangrove ini menjadi lokasi pemijahan hewan laut

86

sehingga biota laut akan mudah dijumpai dan akan menguntungkan untuk

perikanan pantai.

Di wilayah kecamatan ini banyak terjadi tanah timbul akibat pendangkalan

dari sungai besar yang mengalir ke laut. Daerah tanah timbul ini banyak yang

ditumbuhi oleh tumbuhan mangrove, hutan mangrove ini banyak yang dibabat

dan dijadikan tambak. Selain itu, daerah tanah timbul ini juga digunakan sebagai

daerah permukiman nelayan dan pembuangan sampah padat. Bapak R dan bapak J

menyatakan:

“Tanah timbul ada yang dipakai buat (lokasi) bangun (mendirikan) rumah, ada yang dibuat tambak ikan bandeng, ada yang dibiarkan kosong bisa untuk buang sampah.”

Adanya tanah timbul ini menyebabkan adanya konflik pemilikan antara

pemerintah dan masyarakat. Menurut Dislutkan dan IPB (2003), di sekitar pantai

Blanakan proses sedimentasi menyebabkan adanya tanah timbul seluas 400 ha

dan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai lahan untuk

pertambakan. Disamping itu, sedimentasi mengganggu aktivitas perikanan

tangkap, salah satunya adalah mengakibatkan adanya pendangkalan di sekitar

muara sungai yang dapat menghambat jalur transportasi kapal atau

perahu. Menurut BPLHD Jabar dan ITB (2001), pendangkalan yang terjadi karena

adanya banjir rutin dengan frekwensi yang cukup tinggi menghasilkan endapan

limbah banjir tahun demi tahun dan berkembangnya muara-muara sungai yang

cukup jauh ke arah laut. Menurut responden, banjir yang terjadi hampir setiap

tahun ini sangat mengganggu mereka, karena dapat menghentikan kegiatan

perikanan setempat apalagi kemudian disusul oleh pendangkalan sungai. Kapal

motor dan perahu motor berukuran besar akan mengalami kesulitan untuk

memasuki sungai Ciasem dan kali Blanakan akibat pendangkalan sungai.

Di lokasi penelitian tidak ada tempat pembuangan sampah padat yang tetap.

Menurut responden, sampah padat umumnya dibuang ke sungai atau tambak dan

dikumpul pada tanah kosong untuk kemudian dibakar. Ibu C dan ibu K

menyatakan:

“Buang sampah ke tanah kosong, tambak atau ke kali (sungai). Tak tempat pembuangan khusus.”

87

Sampah yang dibuang ke badan air berupa sampah domestik atau limbah

padat olahan ikan, disamping itu nelayan juga membuang sampah dari atas

perahunya. Pembuangan sampah ke badan air ini mengganggu pelayaran di

perairan sungai yang menuju ke laut akibat sampah yang menyangkut di kipas

mesin perahu dan menyangkut pada jaring ikan.

Salah satu wilayah penangkapan ikan baru adalah di wilayah kerja

Pertamina. Menurut beberapa responden yang berprofesi sebagai nelayan,

“Saya melaut sampai ke daerah Pertamina. Dulu di situ jarang ada ikan, tetapi sekarang banyak, setelah bangunan Pertamina itu ada. Hasilnya lumayan banyak.”.

Di perairan laut antara wilayah Kabupaten Karawang dan Kabupaten Subang

terdapat pengeboran minyak lepas pantai (off-shore) yang dikelola Pertamina.

Adanya bangunan eksploitasi minyak (platform) ini menguntungkan bagi nelayan,

karena perairan di bawah platform ini menjadi habitat ikan sehingga daerah itu

menjadi wilayah penangkapan ikan baru bagi nelayan lokal, memang sebelum

platform dibangun, daerah tersebut bukan daerah wilayah penangkapan karena

jarang dijumpai ikan di sana.

5.2 Pengarusutamaan Gender Dalam Perikanan Pantai

Tujuan antara yang pertama dari penelitian ini adalah menganalisis

pelaksanaan program pembangunan kelautan dan perikanan pada saat ini apakah

sudah responsif gender atau belum. Hipotesis pertama penelitian adalah

pelaksanaan program pembangunan kelautan dan perikanan saat ini belum

responsif gender.

(1) Pengaruh pengarusutamaan gender di tingkat kebijakan

Analisis kebijakan responsif gender dilakukan terhadap Rencana Strategis

(Renstra) Pembangunan Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) Kabupaten Subang

Tahun 2005-2009 dengan menggunakan Gender Analysis Pathway (GAP).

Langkah pertama dari GAP adalah pemaparan tujuan umum dari kebijakan dan

program yang ada saat ini. Visi, misi dan strategi pembangunan Dislutkan

Kabupaten Subang tahun 2005-2009 tersaji pada Tabel 22.

88

Tabel 22 Visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan dan program pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang tahun anggaran 2005-2009

Visi Misi Tujuan Sasaran Kebijakan Program

Terwujudnya agribisnis,

industri kelautan dan

perikanan yang

berwawasan lingkungan

serta berdaya-

saing melalui pemberda-

yaan masyarakat

yang berbasis gotong royong

1. Meningkatkan sumberdaya manusia (SDM) kelautan dan perikanan yang maju, mandiri dan tangguh

Meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM kelautan dan perikanan yang maju, mandiri dan tangguh

SDM sebagai pelaku usaha kelautan dan perikanan meningkat secara perorangan maupun secara berkelompok

Peningkatan kemampuan SDM kelautan dan perikanan yang maju, mandiri dan tangguh

Peningkatan SDM perikanan

2. Memanfaatkan dan mengem-bangkan potensi sumbedaya kelautan dan perikanan yang berorientasi pasar serta berwawasan lingkungan

Mengembangkan dan meningkatkan potensi sumbedaya kelautan dan perikanan yang berorientasi pasar serta berwawasan lingkungan

1. Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan dapat ditingkatkan, baik potensi yang ada di laut maupun di daratan

Pengembangan, pemeliharaan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berorientasi pasar serta berwawasan lingkungan

1. Pengem-bangan sumberdaya kelautan

2. Pengem-bangan sumberdaya perikanan

3. Konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan

4. Rehabilitasi sumberdaya kelautan dan perikanan

2. Kelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan dapat terjaga baik yang ada di laut, perairan umum, pantai maupun di daratan

3. Menjaga dan melindungi sumberdaya perikanan dari serangan hama penyakit

Meningkatkan kelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan melalui rehabilitasi sumberdaya kelautan dan perikanan

1. Kelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan dapat terjaga baik yang ada di laut, perairan umum, pantai maupun di daratan

Peningkatan sanitasi lingkungan dan pemberantasan hama dan penyakit ikan

Pengendalian hama penyakit ikan

2. Ekosistem lingkungan kelautan dan perikanan dapat terjaga

4. Penerapan dan pengembangan teknologi tepat guna bidang kelautan dan perikanan yang ramah lingkungan

Meningkatkan dan mengembangkan teknologi tepat guna bidang kelautan dan perikanan yang ramah lingkungan

1. Meningkatnya kualitas produk perikanan

2. Teknologi tepat guna bidang kelautan dan perikanan meningkat dan berkembang

Peningkatan penerapan dan melaksanakan teknologi tepat guna bidang kelautan dan perikanan yang ramah lingkungan

Riset dan pengembangan teknologi tepat guna

Sumber: Dislutkan 2004

Tabel 22 menunjukkan bahwa program-program Dislutkan sesuai Renstra

2005-2009 adalah sebagai berikut.

89

1. Program peningkatan SDM perikanan 2. Program pengembangan sumberdaya kelautan 3. Program pengembangan sumberdaya perikanan 4. Program konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan 5. Program rehabilitasi sumberdaya kelautan dan perikanan 6. Program pengendalian hama dan penyakit ikan 7. Program riset dan pengembangan teknologi tepat guna

Untuk kebutuhan penelitian yang berhubungan dengan pembangunan perikanan

pantai serta masyarakat nelayan maka dilakukan pemilahan dari tujuh program

tersebut berdasarkan kegiatan yang akan dilakukan (Lihat Lampiran 2) sehingga

akhirnya diperoleh dua program yang terkait dengan perikanan laut dan pantai

yaitu Program Peningkatan SDM Perikanan dan Program Pengembangan

Sumberdaya Kelautan. Lima program lainnya memiliki kegiatan-kegiatan yang

lebih ditekankan pada sektor perikanan budidaya dan perikanan darat, sehingga

tidak dianalisis dalam penelitian ini.

Pelaksanaan dua program tersebut kemudian dijabarkan dalam kegiatan dan

sasaran kegiatan (Tabel 23). Tabel 23 menunjukkan bahwa peserta yang dijadikan

sasaran kegiatan Dislutkan ternyata belum dipilah berdasarkan jenis kelamin,

yaitu lelaki dan perempuan. Perorangan atau kelompok yang dijadikan sasaran

kegiatan hanya disebutkan profesinya saja.

90

Tabel 23 Program, tujuan umum, indikasi, kegiatan dan sasaran kegiatan pembangunan kelautan dan perikanan Kabupaten Subang tahun 2005-2009

No Program Tujuan umum Indikasi Kegiatan Sasaran kegiatan 1 Peningkatan

sumberdaya manusia perikanan

Meningkatkan sumberdaya manusia masyarakat di bidang kelautan dan perikanan

1. Peningkatan keterampilan sumberdaya manusia

2. Peningkatan informasi perkembangan teknologi kelautan dan perikanan

3. Peningkatan gizi masyarakat

1. Pelatihan sumberdaya manusia penangkapan ikan

2. Pelatihan sumberdaya manusia pengolahan hasil

3. Pelatihan

penerapan teknologi tepat guna

1. Nelayan 2. Pengolah ikan 3. Masyarakat

perikanan

2 Pengem-bangan sumberdaya kelautan

Meningkatkan sumberdaya, sarana dan prasarana kelautan

Pengembangan usaha dan peningkatan sarana dan prasarana kelautan

1. Pengembangan usaha penangkapan ikan di laut

2. Pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan

3. Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir

4. Pengembangan pemasaran ikan

5. Pemberdayaan usaha budidaya laut

1. Nelayan 2. Pengolah ikan 3. Masyarakat

pesisir 4. Pedagang ikan 5. Masyarakat

pesisir

Sumber: Dislutkan 2004

Langkah selanjutnya adalah pemaparan data pembuka wawasan yang

menyajikan data kuantitatif dan kualitatif yang terpilah berdasarkan jenis kelamin.

Pada Tabel 24, data kuantitatif yang bersumber dari dokumen Dislutkan

menunjukkan bahwa pelaku di kegiatan perikanan belum dipilah menurut jenis

kelamin. Pada tahun 2005, sasaran pembinaan yang dilakukan oleh Dislutkan

adalah nelayan (615 orang) dan pembudidaya ikan (4.080 orang) (Dislutkan

2006). Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan jumlah lelaki dan perempuan

dalam pembinaan pun belum dicatat.

Berdasar pengamatan di lapangan yang tersaji dalam data kualitatif pada

Tabel 24, di tempat pelelangan ikan (TPI) banyak dijumpai perempuan yang ikut

terlibat dalam pelelangan ikan, baik sebagai penjual maupun sebagai pembeli. Hal

ini menunjukkan bahwa peran perempuan di kegiatan perikanan laut pada

91

kegiatan pemasaran termasuk pelelangan ikan dan pengolahan ikan cukup

menonjol, selain di bidang pengolahan ikan.

Tabel 24 Bentuk dan sumber data serta jumlah pekerja di bidang kelautan dan perikanan menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2005

Bentuk Data Sumber data Pekerjaan (orang) Nelayan Pengolah ikan Bakul ikan

Kuantitatif Evaluasi Dislutkan (2006)

4.483 1.003 835 Pembinaan dari Dislutkan kepada 615 nelayan

Kualitatif

- Pengamatan di lapangan - Evaluasi Dislutkan (2006)

Perempuan ada yang melaut menangkap ikan

Lelaki dan perempuan banyak terlibat di usaha pengolahan ikan. Partisipasi dalam pembinaan tidak terpilah gender, jumlah peserta lelaki dan perempuan tidak tercatat.

Lelaki dan perempuan banyak terlibat di kegiatan pelelangan dan perdagangan ikan

Hal ini menunjukkan bahwa pencatatan peran dan jumlah pelaku di bidang

kelautan dan perikanan belum terinci lebih mendalam berdasar fakta lapangan

dan hanya pada pencatatan peran yang dianggap biasa dilakukan oleh nelayan,

lelaki dan perempuan. Hal ini ditegaskan oleh pegawai Dislutkan sebagai berikut:

“Penentuan jenis kelamin tidak perlu. Dari jenis pekerjaan dan kegiatan sudah dapat diketahui jenis kelaminnya. Nelayan adalah lelaki, pekerja pengolah ikan rebusan adalah lelaki. Memang pekerja pengolah ikan rendaman bisa lelaki, bisa perempuan. Yang penting adalah orang tersebut memang pekerja di bidang tersebut.”.

(2) Pengaruh pengarusutamaan gender di lapangan

Dalam hal peran perempuan pesisir di bidang perikanan laut dan pantai, dari

hasil FGD, aparat Pemda dari Dislutkan dan BPMD menyatakan:

“Perempuan pesisir sangat berperan dalam kegiatan ekonomi sehari-hari. Jarang ada perempuan dewasa yang menganggur di rumah saja. Mereka bekerja membantu suami untuk menunjang ekonomi keluarga. Pekerjaan yang dilakukan umumnya (berlokasi) tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Pekerjaan tersebut umumnya di bidang perikanan laut, seperti menjadi buruh di usaha pengolahan ikan laut, pedagang ikan atau penjual makanan olahan ikan laut; ada juga yang membuka usaha warung di rumah masing-masing.”.

Menurut mereka, pembagian tugas antara lelaki dan perempuan sudah nyata di

bidang perikanan laut dan pantai yang terwujud dalam pekerjaan di bidang

pengolahan ikan dan perdagangan ikan. Upaya pemberdayaan perempuan melalui

92

pembinaan pernah dilakukan terhadap Kelompok Wanita Nelayan. Tema

pembinaan terkait dengan kesehatan masyarakat dan makanan olahan yang berasal

dari laut. Disamping itu, Dislutkan telah menyelenggarakan pelatihan bagi

pengolah ikan, tetapi pembinaan ini tidak dikhususkan kepada perempuan, juga

kepada pengolah ikan atau buruh lelaki. Peran dan partisipasi perempuan di

bidang lainnya seperti pemasaran dan pengelolaan keuangan belum diperhatikan

untuk mendapatkan pembinaan.

Beberapa perempuan nelayan ikut melaut untuk menangkap ikan atas

keinginannya sendiri. Hal ini banyak terjadi akibat kemiskinan yang mereka derita

sehingga mereka ingin mendapatkan uang lebih untuk keluarga, uang hasil

penjualan ikan tangkapan tidak perlu dibagi dengan orang di luar keluarga.

Menurut ibu D yang sudah lebih dari lima tahun menjadi bidak:

“Daripada saya nganggur di rumah, saya ikut suami melaut. Uang penjualan ikan untuk sendiri, jadi dapatnya lebih banyak. Apalagi waktu paceklik, tak ada bidak yang mau melaut, nanti suami juga tidak melaut, berarti tak ada uang dapur (uang belanja), lebih baik saya ikut saja. Awalnya sih mabuk (laut), sekarang sudah biasa.”.

Alasan ketidakadanya bidak lelaki yang bersedia membantu Juragan perahu untuk

melaut sehingga istri Juragan tersebut harus ikut melaut ini dibenarkan dan

diperkuat oleh beberapa istri nelayan lainnya. Perempuan nelayan ini tetap

melakukan kegiatan reproduktif yang dilakukan, seperti memasak, mencuci

pakaian atau alat dapur serta membersihkan rumah, sebelum dan atau sesudah

melaut, tergantung kapan waktu berangkat melautnya, jadi sesempat mereka untuk

melakukannya. Hal ini menunjukkan perempuan nelayan tersebut menanggung

beban ganda yaitu melakukan kegiatan reproduktif di darat dan kegiatan produktif

di laut.

Persepsi masyarakat tentang perempuan yang pergi melaut berbeda-beda

sesuai dengan profesi responden. Lelaki nelayan melihat fenomena ini sebagai

bentuk bantuan istri kepada suami pada saat sulit, lagi pula pergi melautnya tidak

jauh ke tengah laut, hanya sekitar pesisir. Lelaki yang berprofesi selain nelayan

tidak mudah menerima fenomena ini, menurut mereka perempuan tidak kuat

menjadi nelayan karena pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan berat secara

fisik, mulai dari langsung terkena panasnya sinar matahari hingga beratnya

pekerjaan untuk menebar dan menarik jaring ikan.

93

Persepsi aparat Pemda tak jauh berbeda. Pada umumnya aparat mengatakan

bahwa nelayan itu adalah lelaki. Pada saat diutarakan bahwa diketemukan

beberapa perempuan menjadi Bidak di lokasi penelitian, kesan yang timbul dari

mereka adalah kagum atau tidak percaya. Persepsi aparat Pemda terhadap bidak

perempuan yang ditampilkan dari kesan spontan dan jawaban mereka adalah

sebagai berikut.

(i) Persepsi positif. Persepsi positif ini muncul dari aparat yang memang

berkecimpung dalam program pemberdayaan masyarakat dan kesetaraan

gender yaitu pegawai BPMD. Pendapat mereka adalah sebagai berikut:

”Itu menunjukkan bahwa sudah terjadi kesetaraan gender pada masyarakat nelayan. Meskipun pekerjaan melaut berat, tetapi ada perempuan yang mau dan mampu melakukannya.”.

(ii) Persepsi negatif. Persepsi negatif banyak muncul dari aparat dari Dislutkan

dan aparat desa setempat. Menurut mereka:

“Tak mungkinlah ada perempuan yang mampu pergi melaut mencari ikan. Paling-paling (mungkin) perempuan itu melaut hanya untuk sekedar berekreasi saja, bukan bekerja yang sesungguhnya pekerjaan. Jikalau memang benar ada perempuan yang melakukannya maka jarak melautnya pun hanya sekitar pantai. Pekerjaan sebagai nelayan adalah berat sehingga tidak mungkin dilakukan oleh perempuan; bekerja di tengah laut berarti bekerja di bawah terik matahari dan membutuhkan kekuatan fisik karena harus kuat menarik jaring ikan.”

Dalam hal ini tampak bahwa masih adanya bias gender dari pihak lelaki yaitu

pekerjaan untuk kaum perempuan adalah pekerjaan yang ringan dan tidak

memerlukan kekuatan fisik. Meskipun pada kenyataannya, dapat dijumpai

perempuan nelayan yang kuat pergi melaut sebagai bidak perahu yang

dikemudikan oleh sang suami, meski dalam jumlah sedikit. Temuan ini tidak

berbeda dengan pendapat Sharma (2003) bahwa pekerjaan yang dilakukan

perempuan ini dianggap sebagai perpanjangan dari pekerjaan domestik, yaitu

untuk menunjang kelangsungan hidup keluarga.

Penelitian kemudian dilanjutkan ke tingkat komunitas, yaitu untuk lebih

mendalami mengenai relasi gender dalam rumahtangga komunitas pesisir dengan

menggunakan analisis gender yang dikembangkan oleh Caroline Moser. Analisis

Moser digunakan untuk mengetahui identifikasi peran gender dalam rumahtangga

dan pola pengambilan keputusan dalam keluarga komunitas pesisir baik yang

94

berprofesi sebagai nelayan dan yang bukan nelayan (pengolah dan pedagang

ikan), kemudian dilakukan penilaian kebutuhan gender praktis dan strategis.

(i) Peran gender dalam rumahtangga

Identifikasi peran gender dilakukan melalui pembagian tugas dan alokasi

waktu sehari-hari yang rutin dilakukan dalam keluarga yang digunakan dengan

recall method jangka pendek. Di lokasi penelitian kaum lelaki mengerjakan

kegiatan produktif sedangkan kaum perempuan mengerjakan kegiatan reproduktif

ditambah membantu suami dalam mengerjakan pekerjaan produktif. Dengan

demikian, kaum perempuan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk

melakukan peran reproduktif dan produktif dibandingkan dengan kaum lelaki.

Lelaki yang bermatapencaharian sebagai nelayan menghabiskan sebagian

besar waktunya di laut. Pada saat nelayan berada di darat, waktunya dihabiskan

untuk istirahat dan memperbaiki jaring (ngiteng) di rumah atau di perahu,

sedangkan urusan yang menyangkut rumahtangga diselesaikan oleh istri atau

anggota keluarga perempuan lainnya. Hal serupa dilakukan oleh lelaki yang

bekerja sebagai bakul atau pengolah ikan, mereka menghabiskan waktu di rumah

untuk beristirahat.

Musim panen atau paceklik ikan memberi pengaruh besar karena pekerjaan

melaut atau menjual ikan atau mengolah ikan akan tergantung dari banyaknya

ikan yang dapat ditangkap. Menurut nelayan di lokasi penelitian, musim panen

ikan yang terbanyak disebut timuran selama empat bulan yaitu sekitar Juni-

September. Pada saat itu angin bertiup dari timur dengan membawa ombak tetapi

sedikit angin dan jarang hujan dan laut agak keruh, dan ikan mudah dijumpai dan

ditangkap. Dua bulan selanjutnya (sekitar Oktober–November) yaitu saat angin

bertiup dari selatan atau daratan disebut masa teduh dimana angin tidak membawa

ombak dan laut pun bening, pada saat ini ikan agak sulit diperoleh sehingga

disebut masa paceklik. Musim panen yang lebih sedikit dibanding timuran disebut

baratan yaitu saat bertiupnya angin dari arah barat yang kencang selama empat

bulan (sekitar Desember-Maret). Saat ini ombak banyak, tetapi hujan dan

anginnya pun banyak sehingga jumlah hasil tangkapan ikan lebih sedikit

dibanding musim timuran. Pada musim baratan ikan cukup banyak tetapi karena

banyak hujan nelayan tidak banyak yang melaut. Masa selanjutnya adalah masa

95

teduh yaitu masa transisi dari baratan ke timuran sekitar dua bulan (April–Mei).

Keputusan nelayan untuk melaut atau tidak lebih banyak ditentukan oleh kencang

atau lembutnya angin bertiup hari itu dan sehari sebelumnya, jika tiupan angin

kencang nelayan tidak melaut, dan sebaliknya.

Pada saat musim panen ikan, nelayan banyak menghabiskan waktunya di

laut untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya yang disebut dengan along

(booming). Hampir setiap hari nelayan lokal berangkat melaut karena mereka

umumnya adalah nelayan kecil yang melaut pulang-pergi dalam satu hari atau dua

hari. Dalam satu bulan nelayan dapat pergi melaut antara 25-30 kali jika perahu

tidak mengalami kerusakan mesin, sehingga mereka jarang berada di rumah.

Sebaliknya, pada saat paceklik, dalam satu minggu nelayan pergi melaut satu–dua

kali sehingga dalam satu bulan hanya melaut sekitar lima kali. Pada saat paceklik

ini pun kaum lelaki tetap tidak banyak terlibat dalam kegiatan rumahtangga dan

yang umum mereka lakukan adalah memperbaiki jaring (ngiteng) atau membuat

jaring (ngirad), memperbaiki perahu atau melakukan pekerjaan lainnya seperti

memancing di tambak.

Istri dari anak buah nelayan (Bidak) banyak yang menjadi buruh pengolahan

ikan asin atau fillet adalah untuk menambah penghasilan keluarga. Istri Juragan

yang menjadi buruh pengolahan ikan bertujuan untuk mengisi waktu dan

sekaligus menambah penghasilan keluarga. Istri yang tidak bekerja umumnya

menggunakan waktunya untuk mengurus anak yang masih kecil dan mengurus

rumah.

Tugas buruh pengolahan ikan adalah menggesek ikan yaitu menyiangi ikan

dan membuang tulangnya. Jam kerja di pengolahan ikan adalah mulai pukul

08.00-17.00 WIB yang berarti mereka lebih banyak menghabiskan waktu di luar

rumah. Jika sedang booming, kadangkala diteruskan sampai jam 22.00. Jika

perempuan yang bekerja masih mempunyai anak kecil, biasanya si anak dibawa

ke tempat kerja atau dititipkan ke sanak keluarga. Perempuan pekerja ini

menyelesaikan semua pekerjaan rumahtangganya mulai dari membersihkan

rumah, mencuci pakaian, memasak hingga mencuci peralatan dapur sebelum

berangkat ke tempat kerja, jadi mereka melakukan pekerjaan reproduktif setelah

96

selesai sholat subuh sampai jam 07.30 WIB yaitu saat menjelang berangkat ke

tempat kerja.

Pada saat paceklik, Bidak sering mencari pekerjaan lainnya seperti

memancing, sedangkan juragan perahu memperbaiki perahu dan jaring atau

membuat jaring yang kadangkala dikerjakan bersama istri. Pada saat menganggur,

istri atau perempuan setempat umumnya bertandang ke rumah tetangga atau

menonton TV, sedangkan ibu yang masih mempunyai anak kecil menggunakan

waktunya untuk mengurus atau bermain dengan anaknya.

Pekerjaan Bakul Ikan dan pengolah ikan tergantung pada pasokan ikan laut,

jika tidak ada pasokan ikan mereka akan menganggur. PPP-TPI Blanakan banyak

dilabuhi oleh perahu atau kapal ikan besar seperti purse seine, cantrang, krakat

yang berasal dari luar wilayah Blanakan, selain perahu kecil jenis sope yang

dimiliki oleh nelayan lokal. PPP-TPI Muara pun juga disinggahi oleh nelayan

pendatang tetapi tidak seramai di Blanakan, hal ini disebabkan oleh pendangkalan

sungai Ciasem lebih sering terjadi dibandingkan pendangkalan kali Blanakan.

Pendangkalan ini yang menghambat masuknya perahu atau kapal besar

(berukuran lebih dari 5 GT) berlabuh ke PPP-TPI Muara. Keramaian pendaratan

ikan menyebabkan jumlah dan jenis ikan yang dilelang pun bertambah banyak. Di

TPI Blanakan pelelangan menjadi ramai pada saat timuran atau baratan

disebabkan banyak perahu atau kapal luar yang masuk dengan membawa ikan

tangkapan dari wilayah barat seperti pulau Sumatera atau wilayah timur seperti

Karimunjawa. Adanya pasokan ikan tersebut menghidupkan kegiatan pengolahan

ikan di wilayah Blanakan. Sebaliknya PPP-TPI Muara sepi dilabuhi perahu atau

kapal besar saat masa teduh, sehingga kegiatan Bakul Ikan dan pengolahan ikan

pun jadi terhenti, apalagi saat sungai Ciasem mengalami pendangkalan. Oleh

karena itu, Pemerintah Kabupaten Subang menyediakan kapal pengerukan untuk

membantu meningkatkan kelancaran lalulintas sungai.

Alokasi (pemanfaatan) waktu dalam rumahtangga dibuat berdasarkan

persentase penggunaan waktu sehari-hari oleh lelaki dan perempuan anggota

rumahtangga. Kegiatan sehari-hari yang dilakukan digolongkan dalam empat

kategori yaitu kegiatan produktif, kegiatan reproduktif, bersantai dan tidur.

Kegiatan produktif yang dimaksud adalah melakukan pekerjaan yang

97

mendatangkan uang atau barang; kegiatan reproduktif adalah melakukan

pekerjaan yang berhubungan dengan rumahtangga dan keluarga; yang dimaksud

dengan bersantai adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu luang

seperti bertandang ke rumah tetangga, menonton TV atau pelesiran, termasuk

melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan; dan tidur dalam arti sesungguhnya

yang dilakukan di rumah. Alokasi waktu dalam satu hari (24 jam) pada

rumahtangga komunitas pesisir tersaji pada Tabel 25.

Tabel 25 Kegiatan dan alokasi waktu dalam satu hari menurut musim ikan dan jenis kelamin pada rumahtangga komunitas di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006

Kegiatan

Alokasi waktu dalam satu hari Musim panen Musim paceklik

Lelaki Perempuan Lelaki Perempuan Jam (%) Jam (%) Jam (%) Jam (%)

Kerja produktif 14 58,34 7 29,17 10 41,67 6 25,00 Kerja reproduktif - 0.00 7 29,17 - 0,00 8 33,33 Bersantai 5 20,83 5 20.83 8 33,33 5 20,83 Tidur 5 20,83 5 20,83 6 25,00 5 20,83 Total 24 100,00 24 100,00 24 100,00 24 100,00

Tabel 25 menunjukkan bahwa kaum perempuan di lokasi penelitian lebih

banyak menghabiskan waktunya dibanding kaum lelaki dalam hal pemanfaatan

waktu dalam urusan rumahtangga. Dalam satu hari (24 jam) perempuan

melakukan empat jenis kegiatan yaitu mengerjakan pekerjaan reproduktif berkisar

selama 7-8 jam dengan rataan 7,5 jam, pekerjaan produktif berkisar selama 6-7

jam dengan rataan 6,5 jam, bersantai berkisar selama 5 jam dan tidur berkisar

selama 5 jam. Sebaliknya, lelaki hanya melakukan tiga jenis kegiatan yaitu

mengerjakan pekerjaan produktif berkisar selama 10-14 jam dengan rataan 12

jam, bersantai berkisar selama 5-8 jam dengan rataan 6,5 jam dan tidur berkisar

selama 5-6 jam dengan rataan 5,5 jam. Bahkan pada musim paceklik, saat ikan

sedikit, kaum lelaki tetap jarang melakukan pekerjaan domestik untuk membantu

pekerjaan domestik kecuali memperbaiki rumah jika ada yang rusak. Umumnya

mereka mencari atau melakukan pekerjaan sambilan seperti memancing,

memperbaiki perahu atau jaring dan membuat jaring. Temuan tentang penggunaan

waktu sehari-hari oleh perempuan tidak banyak berbeda dengan hasil penelitian

yang dilakukan oleh Arfiati et al. (2001) dan Purwanti et al. (2004) terhadap

rumahtangga nelayan di Jawa Timur (Lihat Subbab 1.6).

98

Dalam mengetahui kegiatan dan alokasi waktu responden di bidang sosial

kemasyarakatan, dilakukan dengan recall method satu minggu terakhir (jangka

pendek) untuk mengetahui kegiatan rutin dan satu bulan terakhir (jangka panjang)

untuk mengetahui kegiatan insidentil responden. Kegiatan sosial kemasyarakatan

umumnya dilakukan oleh masyarakat pada saat waktu luang (bersantai), yaitu

pada siang hari bagi kaum perempuan dan pada malam hari bagi kaum lelaki.

Kegiatan rutin yang dilakukan responden adalah pengajian dan arisan.

Pengajian rutin dilakukan oleh kaum lelaki dan perempuan umumnya selama 1-

1,5 jam per minggu, yaitu pengajian malam untuk lelaki dan pengajian siang

untuk perempuan. Kegiatan rutin lainnya adalah arisan yang dilakukan oleh kaum

perempuan setiap 10 hari sekali. Arisan ini umumnya dilaksanakan pada saat

banyak ikan tangkapan (musim panen), maka pada saat musim paceklik tidak ada

penyelengggaraan arisan. Uang arisan diambil setiap hari oleh bendahara ke

tempat bekerja (tempat pengolahan ikan) atau ke rumah peserta. Pengocokan

arisan umumnya dilaksanakan pada saat istirahat kerja atau saat bersantai dan

selama 15-30 menit serta berlokasi di sekitar tempat kerja mereka.

Pada saat penelitian dilaksanakan, kegiatan insidentil satu bulan terakhir

hanya ada satu yaitu perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Perayaan Maulid

Nabi yang merupakan kegiatan agama Islam ini diisi dengan acara ceramah di

mesjid-mesjid. Perayaan yang dilakukan pada siang hari umumnya dihadiri oleh

kaum perempuan, sedangkan kaum lelaki banyak menghadiri perayaan yang

dilaksanakan pada malam hari.

Kaum perempuan banyak melakukan kegiatan produktif, reproduktif dan

sosial di sekitar lingkungan rumah. Tingginya pemanfaatan waktu perempuan di

sekitar lingkungan rumah menunjukkan bahwa masih kuatnya persepsi lelaki

terhadap peran perempuan yaitu keberadaan dan kegiatan perempuan dilakukan di

sekitar keluarga dan rumah. Hal ini dikarenakan kaum perempuan tetap harus

melakukan pekerjaan reproduktif meskipun dia juga bekerja untuk mencari uang

guna menambah pendapatan keluarga.

Pada masyarakat nelayan, pekerjaan produktif yang dilakukan di darat

umumnya dikerjakan oleh kaum perempuan seperti pekerjaan menyortir dan

menjual ikan di TPI, atau belanja perbekalan melaut. Tugas nelayan adalah

99

melaut, sehingga mereka jarang terlibat dalam pekerjaan rumahtangga, bahkan

tugas memperbaiki rumah kadangkala yang dilakukan oleh perempuan.

Disamping mengerjakan urusan rumahtangga, perempuan nelayan banyak yang

membantu suami membuat jaring (ngirad) khususnya jaring udang atau

memperbaiki jaring (ngiteng) (lihat Tabel 26).

100

Tabel 26 Pembagian tugas dalam rumahtangga menurut jenis kelamin di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006

Kegiatan Pembagian tugas Lelaki Perempuan

1. Reproduktif Memasak - v Menjaga anak - v Memandikan anak - v Menyuapi anak - v Mendidik anak v v Membersihkan rumah - v Belanja rumahtangga - v Menyediakan air - v Mencuci baju - v Setrika baju - v Mencuci piring/peralatan masak - v Mengantar anak # v Memperbaiki rumah v v 2. Produktif Nelayan

Melaut v # Memperbaiki jaring v v Membersihkan perahu v # Belanja perbekalan v # Balanja BBM/solar v - Menyortir ikan v v Menjual hasil v v Mengurus keuangan - v

Pengolahan ikan Membersihkan tempat kerja v v Mencuci peralatan v v Belanja ikan/ ikut lelang v - Belanja bahan lainnya v - Mengolah ikan v v Menjual hasil olahan v v Mengurus keuangan - v

Bakul ikan Belanja ikan/ ikut lelang v v Menjual ikan v v Mengurus keuangan - v

3. Kemasyarakatan Pengajian v v Arisan v v Distribusi ikan kepada keluarga - v Kelompok nelayan/KTN/HNSI v - Kerja bakti v - Acara adat/ruwatan/pesta laut v - Keagamaan v v PKK - v Posyandu - v Koperasi v # Kematian v v Perkawinan v v Penyuluhan v # Rapat desa v # Keterangan: (v) = yang melakukan; (-) = tidak melakukan; (#) = kadang-kadang melakukan

101

Tabel 26 menunjukkan bahwa kaum perempuan melakukan tugas lebih

banyak dibandingkan dengan kaum lelaki dalam rumahtangga di lokasi penelitian.

Kaum perempuan mengerjakan kegiatan rumahtangga, kegiatan produktif di luar

rumah untuk membantu suami dan kegiatan sosial kemasyarakatan. Sebaliknya,

suami atau kaum lelaki hanya mengerjakan kegiatan produktif dan kegiatan sosial

kemasyarakatan. Pada saat suami berhalangan hadir dalam kegiatan sosial

kemasyarakatan seperti rapat desa atau acara koperasi karena sedang melaut maka

istri yang menghadiri acara tersebut sebagai wakil suami sehingga tugas istri

bertambah. Pada saat di darat, umumnya nelayan banyak beristirahat, setelah

bekerja sekian lama di laut, hal ini diutarakan oleh bapak M dan bapak S:

“Setelah capek (be-)kerja di laut, di darat ya...istirahat, kalau tidak, ya... mbetulin (memperbaiki) jaring yang rusak”.

Di TPI Blanakan banyak dijumpai perempuan nelayan yang menyortir dan

menjual ikan tangkapan, sedangkan perempuan nelayan di Desa Muara Ciasem

tidak banyak terlibat dalam penyortiran dan penjualan ikan di TPI Muara, oleh

karena itu banyak perempuan nelayan di Desa Muara Ciasem yang menganggur

dan menjadi buruh pengolahan ikan. Perbedaan ini terjadi karena letak TPI jauh

atau dekat dengan permukiman nelayan. Di Desa Blanakan, lokasi TPI dekat

dengan permukiman nelayan, sedangkan TPI Desa Muara yang jauh dari

permukiman nelayan sehingga nelayan membutuhkan biaya tambahan berupa

ongkos angkut jika ikan tangkapan didaratkan di dekat rumah mereka.

Perempuan yang menyortir dan menjual ikan hasil tangkapan di TPI tidak

selalu mendapat upah kerja, tergantung status dalam keluarga: Jika perempuan

tersebut adalah anak atau menantu, mereka kadangkala memperoleh upah kerja,

tergantung besarnya hasil penjualan ikan. Sebaliknya, istri yang menjadi

pengelola keuangan keluarga tidak mendapat upah kerja. Mereka berpendapat

bahwa istri yang mengelola keuangan keluarga dan usaha, maka istri yang

menentukan keperluan belanja keluarga, termasuk untuk keperluan pribadi istri.

(ii) Pola pengambilan keputusan dalam keluarga

Pola pengambilan keputusan dalam rumahtangga komunitas di lokasi

penelitian, umumnya mencontoh dari kehidupan rumahtangga orangtua mereka:

suami merupakan pengambil keputusan yang dominan dalam urusan pekerjaan

produktif dan kemasyarakatan bersifat politik seperti rapat desa, penyuluhan,

102

koperasi dan kelompok nelayan, sedangkan istri lebih dominan sebagai pengambil

keputusan dalam urusan rumahtangga dan keluarga, termasuk PKK dan Posyandu.

Dalam hal keuangan, istri sedikit lebih dominan dalam pengambilan keputusan,

baik untuk keperluan belanja hidup sehari-hari, usaha dan arisan. Arisan ini

merupakan suatu bentuk tabungan dan modal usaha agar pendapatan mereka tidak

langsung habis untuk belanja sehari-hari.

Istri merupakan pengambil keputusan utama di lingkup rumahtangga, mulai

dari jenis makanan yang disajikan, pelayanan kesehatan dan KB serta keperluan

belanja sehari-hari lainnya. Hal ini menunjukkan keputusan di bidang kesehatan

yaitu gizi makanan, pemilihan layanan kesehatan jika sakit dan keikutsertaan

dalam program KB termasuk jenis alat kontrasepsi yang digunakan sepenuhnya

tergantung pilihan sang istri. Sang istri adalah pengelola keuangan rumahtangga

sehingga dia yang memutuskan secara rinci keperluan keluarga yang disesuaikan

dengan anggaran yang dimiliki. Pola pengambilan keputusan dalam keluarga di

lokasi penelitian mengikuti pola pemikiran Sayogyo (1981); lihat Bab 3, dapat

dilihat pada Tabel 27.

103

Tabel 27 Pola pengambilan keputusan dalam keluarga menurut kegiatan di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006

Kegiatan

Pengambilan keputusan Istri

sendiri Keputusan bersama Suami

sendiri Istri dominan Setara Suami dominan 1. Reproduktif

Jenis makanan v - - - - Pendidikan anak - - v - - Belanja rumahtangga v - - - - Pelayanan kesehatan v - - - - Keluarga berencana/KB v - - - - Memperbaiki rumah - - - v -

2. Produktif Nelayan

Waktu melaut - - - - v Pembuatan/belanja jaring - - - - v Perbaikan perahu - - - - V Tenaga kerja - - - - V Belanja perbekalan - - - - v Belanja BBM/solar - - - - v Menyortir ikan - - V - - Menjual hasil tangkapan - - V - - Mengurus keuangan - v - - -

Pengolahan ikan Jenis olahan ikan - - - - v Belanja ikan/ikut lelang - - - - v Tenaga kerja - - - - v Penjualan hasil olahan - - - v - Mengurus keuangan - v - - -

Bakul ikan Belanja ikan/ikut lelang - - - - v Penjualan ikan - - - - v Mengurus keuangan - v - - -

3. Kemasyarakatan:

Pengajian/keagamaan - - v - - Arisan - v - - - Distribusi ikan kepada keluarga - - v - - Kelompok nelayan - - - - v Kerja bakti - - v - - Acara adat/pesta laut - - - - v PKK v - - - - Posyandu v - - - - Koperasi - - - - v Kematian - - v - - Perkawinan - - v - - Penyuluhan - - - - v Rapat desa - - - - v

Keterangan: tanda (v) = yang melakukan (-) = tidak melakukan

Hal yang menonjol di lokasi penelitian ini adalah dalam hal KB, perempuan

menikah sudah sadar akan perlunya mengikuti program keluarga berencana

sebagai akseptor KB. Pada umumnya mereka menggunakan metode suntik KB

atau pil KB dan mereka secara aktif mendatangi bidan untuk keperluan KB.

Kesertaan dalam program KB ini didasarkan atas keputusan sang istri yang

didukung oleh suami. Keluarga muda di masyarakat nelayan rata-rata memiliki

104

anak sebanyak dua orang. Kondisi ini sesuai dengan pendapat Dwi et al. (2002),

bahwa program pemerintah di wilayah pesisir pantai lebih banyak terpolarisasi

dengan program keluarga berencana, sehingga rata-rata tingkat kelahiran dapat

diturunkan.

Suami dan istri bersama-sama menjadi pengambil keputusan dan saling

berembug dalam hal pendidikan anak, baik dalam hal pendidikan formal maupun

non formal seperti pengajian. Namun demikian, jika anak ingin berhenti sekolah

atas kehendak sendiri, kadangkala orangtua mengikuti keinginan tersebut, kecuali

untuk beberapa responden yang mengirimkan anak mereka mengikuti pendidikan

di sekolah berasrama yang jauh dari rumah.

Keputusan untuk memperbaiki rumah tergantung kepada sang suami,

khususnya untuk perbaikan yang membutuhkan biaya besar dan tenaga kerja

terampil. Kerusakan rumah yang tergolong kecil kadangkala ditangani sendiri

oleh istri, mengingat suami jarang di rumah karena pergi bekerja untuk melaut

atau untuk kegiatan pemasaran, terutama dalam hal pengaturan keuangan untuk

keperluan perbaikan rumah.

Dalam urusan pekerjaan, suami atau kaum lelaki adalah pengambil

keputusan utama dalam hal produksi maupun pemilihan tenaga kerja. Dalam hal

penjualan ikan atau olahan ikan, istri ikut terlibat dalam pengambilan keputusan

karena umumnya mereka yang menjualkan ikan atau hasil olahan tersebut. Istri

merupakan pengambil keputusan yang cukup dominan dalam hal keuangan,

karena pengelolaan keuangan usaha telah disepakati oleh suami untuk diatur oleh

istri.

Keterlibatan istri dalam kegiatan sosial kemasyarakatan cukup menonjol dan

dalam pengambil keputusan mereka pun setara dengan suami. Kegiatan sosial

yang banyak melibatkan suami istri adalah acara keagamaan atau pengajian,

pendistribusian ikan hasil tangkapan nelayan kepada keluarga, acara pernikahan

dan kematian warga serta kerja bakti. Pada umumnya di lokasi penelitian masih

ada kerjasama dan gotong royong antar-warga. Untuk urusan kemasyarakatan

yang bersifat politik, pada umumnya istri mengikuti keputusan suami.

Pada kegiatan politik seperti Pilkades (Pemilihan Kepala Desa), Pilkada

(Pemilihan Kepala Daerah) dan Pemilu (Pemilihan Umum), semua penduduk di

105

lokasi penelitian, lelaki dan perempuan, ikut berpartisipasi. Namun demikian,

tidak semua istri bebas memilih (men-coblos) pilihannya sendiri, ada responden

yang memilih sesuai dengan pilihan suami, khususnya istri yang tidak pernah

bersekolah atau berpendidikan lebih rendah daripada suami.

Istri yang berstatus sebagai pengolah ikan akan ikutserta dalam kegiatan

penyuluhan jika tempat penyelenggaraan berlokasi di sekitar tempat tinggal. Jika

penyuluhan dilakukan jauh dari rumah, umumnya pesertanya adalah lelaki, karena

pekerja perempuan dilarang oleh suami atau keluarga pergi jauh dari rumah.

Keterangan ini diperoleh dari hasil wawancara dengan pegawai Dislutkan dan

beberapa responden. Dahulu di lokasi penelitian pernah ada Kelompok Wanita

Nelayan dengan berbagai kegiatan di bidang pengolahan ikan, tetapi sekarang

kelompok tersebut sudah tidak aktif lagi, karena tidak ada dana atau anggaran.

Menurut responden perempuan, pada umumnya perempuan pesisir akan aktif

dalam suatu kegiatan jika kegiatan tersebut akan langsung menghasilkan uang.

Partisipasi atau peranserta masyarakat pesisir dalam proses pengambilan

keputusan dipengaruhi oleh keuntungan (manfaat) yang mereka rasakan. Nelayan

akan hadir dalam acara pembinaan dari pemerintah jika berhubungan langsung

dengan pekerjaannya, perempuan nelayan pun demikian. Oleh karena itu,

Kelompok Wanita Nelayan di lokasi penelitian tidak berkembang bahkan

berhenti karena dianggap tidak mendatangkan keuntungan finansial bagi

perempuan nelayan. Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Pollnac et al.

(2003) yaitu kesertaan masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir dipengaruhi

oleh manfaat yang dirasa oleh masyarakat.

(iii) Penilaian kebutuhan gender

Penilaian kebutuhan gender praktis dan strategis pada responden perempuan

di komunitas pesisir ini dilandaskan pada pendapat mereka saat dilakukan

wawancara mendalam. Sikap yang ditunjukkan oleh responden terhadap

kesetaraan gender dalam kegiatan perikanan pantai dapat digunakan untuk menilai

kebutuhan gender menurut analisis Moser, apakah kebutuhan praktis untuk

perbaikan kondisi atau kebutuhan strategis untuk perbaikan posisi perempuan di

masyarakat.

106

Sikap responden di lokasi penelitian mengungkapkan bahwa perempuan

masih mementingkan perbaikan kondisi mereka dibandingkan posisi mereka di

masyarakat. Terkait dengan lapangan pekerjaan baru, pendapat yang diutarakan

oleh ibu M, ibu C dan ibu K adalah sebagai berikut:

“Yang dibutuhkan perempuan adalah pekerjaan baru, juga buat laki-laki apalagi waktu paceklik. Biar ada uang dapur.”

Menurut bapak R dan bapak J:

“Waktu paceklik di sini nggak (tidak) ada kerjaan. Jadi kalau ada pekerjaan baru, akan lebih baik.”

Terkait dengan pembinaan dari pemerintah daerah, pendapat yang

diutarakan oleh ibu W dan ibu K sebagai berikut:

“Perempuan jarang terima penyuluhan, yang sering (menjadi peserta penyuluhan adalah) nelayan.”

Dengan demikian, kebutuhan mereka saat ini masih berkisar di pemenuhan

kebutuhan praktis gender, belum mementingkan kebutuhan strategis mereka. Hal

ini tampak dari sikap menerima mereka akan posisi perempuan saat ini, yaitu di

satu pihak mereka tidak perlu banyak terlibat dalam kegiatan politik

kemasyarakatan, di lain pihak mereka memegang kontrol dalam hal keuangan.

Hal ini diutarakan oleh ibu E, bapak S, ibu D dan bapak T:

“Kalau ada rapat desa yang datang (hadir) laki (suami) saja. Istri tidak datang, juga tak apa. Istri mengurus rumah dan uang.”

Dari hasil analisis Moser diketahui bahwa perempuan nelayan di lokasi

penelitian dalam aspek akses dan kontrol telah mengalami kesetaraan gender,

tetapi dari aspek partisipasi dan manfaat belum mengalami kesetaraan. Analisis

gender dari unsur-unsur kesetaraan gender yaitu aspek akses, kontrol, partisipasi

dan manfaat pembangunan bagi komunitas perikanan di lokasi penelitian, hasil

dari wawancara, observasi dan olahan kuesioner, direkapitulasi pada Tabel 28.

107

Tabel 28 Unsur kesetaraan gender dalam pembangunan pada komunitas perikanan laut di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006

Unsur kesetaraan gender dalam pembangunan Lelaki Perempuan

Akses

Mempunyai akses dalam kegiatan penangkapan, pascatangkap, perdagangan dan pengolahan hasil tangkapan.

Mempunyai akses dalam kegiatan pascatangkap, perdagangan dan pengolahan hasil tangkapan.

Kontrol Kontrol dalam pengelolaan keuangan bersama istri, dan kontrol dalam penentuan tenaga kerja dan produk

Kontrol dalam pengelolaan keuangan bersama suami.

Partisipasi

Lelaki banyak menjadi anggota KUD Mina, baik nelayan, pedagang dan pengolah ikan. Mereka terlibat dalam proses pengambilan keputusan di bidang perikanan.

Perempuan nelayan jarang menjadi anggota KUD Mina. Perempuan pedagang yang menjadi anggota KUD untuk persyaratan ikut lelang. Perempuan jarang ikut proses pengambilan keputusan.

Manfaat

Pembinaan banyak dituju-kan kepada lelaki (nelayan) dan banyak diikuti oleh lelaki (pengolah ikan).

Perempuan belum merasakan manfaat pembangunan bidang perikanan, karena tidak banyak dilibatkan dalam program pemerintah.

Tabel 28 menjadi sumber data bagi analisis program dan kegiatan

pembangunan kelautan dan perikanan Kabupaten Subang berdasarkan aspek

akses, kontrol, partisipasi dan manfaat bagi lelaki dan perempuan pelaku kegiatan.

Tabel 29 menunjukkan bahwa program dan kegiatan yang ada saat ini belum

banyak memberikan keuntungan bagi perempuan, pelaksanaan program dan

kegiatan lebih banyak ditujukan kepada lelaki, dengan demikian dapat dikatakan

masih terdapat kesenjangan gender.

108

Tabel 29 Analisis akses, kontrol, partisipasi dan manfaat bagi lelaki dan perempuan dalam program dan kegiatan bidang kelautan dan perikanan Kabupaten Subang tahun 2005-2009

Program dan kegiatan

Akses Kontrol Partisipasi Manfaat Sumber data Lelaki Perempuan Lelaki Perempuan Lelaki Perempuan Lelaki Perempuan

Program peningkatan sumberdaya manusia perikanan

Wawancara dengan pimpinan Dislutkan; Renstra Dislutkan; wawancara dengan komunitas perikanan laut

1. Pelatihan sumberdaya manusia penangkapan ikan

++ - ++ - ++ - ++ -

2. Pelatihan sumberdaya manusia pengolahan hasil

++ + ++ + ++ + ++ ++

3. Pelatihan penerapan teknologi tepat guna

++ - ++ - ++ - ++ -

Program pengembangan sumberdaya kelautan

1. Pengembangan usaha penangkapan ikan di laut

++ - ++ - ++ - ++ -

2. Pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan

++ + ++ + ++ + ++ ++

3. Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir

++ + ++ + ++ + ++ +

4. Pengembangan pemasaran ikan

++ + ++ + ++ + ++ +

5. Pemberdayaan usaha budidaya laut

++ + ++ - ++ + ++ +

Keterangan: tanda (-) berarti tidak ada; (+) berarti ada; (++ ) berarti banyak

Tabel 29 menunjukkan masih adanya kesenjangan gender di dalam program

dan kegiatan pembangunan kelautan dan perikanan di Kabupaten Subang.

Analisis lebih rinci pada Tabel 30. Ditinjau dari aspek akses, peluang lelaki lebih

banyak daripada perempuan, karena ruang gerak untuk perempuan lebih terbatas

dibandingkan dengan lelaki: Nelayan lelaki dapat pergi bekerja atau pergi melaut

dalam jangka waktu lama dan jarak yang jauh dari rumah, sebaliknya perempuan

dibatasi oleh waktu dan dalam jarak yang tidak terlalu jauh dari lingkungan

rumahnya. Ditinjau dari aspek kontrol, kekuasaan lelaki lebih besar daripada

perempuan, apalagi dalam urusan pekerjaan dan kemasyarakatan. Lelaki masih

dianggap sebagai pengambil keputusan karena mereka dianggap sebagai pelaku

utama dalam kegiatan kelautan dan perikanan. Ditinjau dari aspek partisipasi,

109

peranserta lelaki dalam proses pengambilan keputusan lebih besar daripada

perempuan, karena lelaki adalah pelaku utama kegiatan. Ditinjau dari aspek

manfaat, lelaki juga yang menerima banyak manfaat dari pelaksanaan program

kelautan dan perikanan karena merupakan pelaku utama kegiatan. Akibat dari

peran perempuan dalam kegiatan kelautan yang tidak tercatat dan tidak

didokumentasikan kaum perempuan jarang dilibatkan dalam program pemerintah,

apalagi yang dianggap sebagai pelaku utama atau pemangku kepentingan dalam

kegiatan perikanan adalah kaum lelaki.

Tabel 30 Faktor kesenjangan gender berdasarkan akses, kontrol, partisipasi dan manfaat dalam program kelautan dan perikanan Kabupaten Subang tahun 2005-2009

Program Faktor kesenjangan gender Kesenjangan Akses Kontrol Partisipasi Manfaat

Peningkatan sumberdaya manusia perikanan; dan Pengembangan sumberdaya kelautan

Peluang lelaki lebih banyak daripada perempuan karena perempuan lebih banyak bekerja di sekitar keluarga dan rumah

Lelaki mempunyai kekuasaan lebih besar daripada perempuan dalam urusan pekerjaan dan kemasyarakatan

Lelaki lebih berpartisipasi daripada perempuan dalam pengambilan keputusan di pekerjaan dan kemasyarakatan

Lelaki lebih banyak menerima manfaat daripada perempuan karena merupakan pelaku utama kegiatan

Peran perempuan dalam kegiatan kelautan dan perikanan tidak dicatat yang mengakibatkan perempuan jarang dilibatkan dalam program pemerintah

Masalah kesenjangan gender berupa tidak tercatatnya peran perempuan di

bidang kelautan dan perikanan (Tabel 30) kemudian dianalisis faktor

penyebabnya. Dilihat dari faktor sosial budaya (sosbud), ruang gerak perempuan

memang dibatasi di sekitar rumah dan keluarga. Kaum perempuan tidak mudah

untuk diijinkan bepergian jauh tanpa maksud yang jelas, apalagi sendirian,

sehingga harus didampingi. Dilihat dari faktor agama, mayoritas penduduk lokasi

penelitian adalah penganut agama Islam. Menurut ajaran Islam, suami adalah

kepala keluarga sehingga pencari nafkah utama adalah suami atau kaum lelaki.

Oleh karena itu, pekerjaan perempuan dianggap sebagai tambahan. Dilihat dari

faktor ekonomi, peluang kerja yang tersedia di bidang kelautan dan perikanan

lebih banyak berlokasi di laut, selain di bidang pengolahan ikan dan pemasaran

ikan. Oleh karena orang yang membutuhkan pekerjaan banyak, maka yang

umumnya didahulukan adalah penggunaan tenaga kerja lelaki dibanding tenaga

kerja perempuan, kecuali jika terjadi kekurangan tenaga kerja maka barulah

perempuan dipekerjakan. Faktor lain yang menimbulkan masalah kesenjangan

110

gender adalah rendahnya mutu sumberdaya manusia perempuan dibandingkan

lelaki, baik dari segi keterampilan untuk pekerjaan di bidang kelautan dan

perikanan. Ditinjau dari faktor-faktor penyebab tersebut, kesenjangan gender

terjadi karena pengabaian peran produktif dalam pengelolaan perikanan pada

tahap pra dan pasca-penangkapan ikan seperti persiapan perbekalan, penyortiran

dan penjualan ikan serta pengelolaan keuangan. Padahal, pada tahap-tahap

tersebut justru peran perempuan menonjol. Dengan demikian, isu gender yang

timbul dalam hal ini adalah adanya bias gender dalam proses pencatatan peran

produktif di kalangan masyarakat nelayan dan dalam partisipasi masyarakat pada

proses pengambilan keputusan (lihat Tabel 31).

Tabel 31 Faktor penyebab dari masalah kesenjangan gender dan isu gender di bidang perikanan dan kelautan di Kabupaten Subang tahun 2006

Masalah kesenjangan

gender

Penyebab Klasifikasi kesenjangan

Isu gender Faktor sosbud

Faktor agama

Faktor ekonomi

Lain-lain

Peran perempuan dalam kegiatan kelautan dan perikanan tidak tercatat mengakibatkan perempuan jarang dilibatkan dalam program pemerintah

Ruang gerak perempuan terbatas di lingkungan rumah dan keluarga

Suami sebagai kepala keluarga

Sempitnya lapangan kerja yang tersedia. Perempuan hanya menjadi pembantu suami

Perempuan memiliki kekurangan dalam hal ketrampilan

Adanya pengabaian peran perempuan nelayan dalam tahapan pra- dan pasca- tangkap: penyiapan perbekalan, penyortiran, pemasaran dan pengelolaan keuangan

Bias gender dalam: - Proses

pencatatan peran produktif

- Partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan

Hasil analisis kebijakan dan analisis Moser terbukti bahwa kebijakan dan

program pembangunan kelautan dan perikanan di Kabupaten Subang saat ini

belum responsif gender, maka hipotesis pertama penelitian ini diterima. Oleh

karena itu, untuk dapat membuat pembangunan perikanan pantai berbasis

kesetaraan gender diperlukan reformulasi kebijakan dan program di bidang

pembangunan kelautan dan perikanan.

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Republik Indonesia telah

melaksanakan Program Pemberdayaan Wanita Pesisir (lihat Subbab 1.2). Namun,

program ini belum tercantum dalam program kerja bahkan Renstra Pembangunan

Kelautan dan Perikanan Dislutkan Kabupaten Subang. Hal ini lebih memperkuat

hasil analisis kebijakan GAP dan analisis Moser yang menyimpulkan kebijakan

dan program Dislutkan Kabupaten Subang saat ini belum responsif gender.

111

Peraturan perundang-undangan Republik Indonesia yang mengatur

perikanan yaitu UU No. 31 Tahun 2004 sudah mencantumkan adanya kegiatan

pengolahan dan pengawetan ikan dalam definisi penangkapan ikan, tetapi

kegiatan pemasaran ikan belum tercantum, padahal peran perempuan sangat

menonjol pada tiga kegiatan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa UU Perikanan

belum secara tegas melibatkan peran perempuan dalam kegiatan penangkapan

ikan karena belum ada pemilahan pemangku kepentingan perikanan berdasarkan

jenis kelamin. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa UU No. 31 Tahun 2004

juga belum responsif gender. FAO (2005) menyarankan agar kegiatan pengolahan

ikan dan pemasaran ikan dimasukkan ke dalam kegiatan penangkapan ikan,

dengan demikian peraturan perundang-undangan akan lebih bersifat responsif

gender. Jikalau peraturan perundang-undangan belum responsif gender, kebijakan

dan program di tingkat teknis akan sulit untuk mengimplementasikan program

yang responsif gender.

Hasil wawancara dengan aparat Pemda dan anggota komunitas perikanan

laut menunjukkan bahwa peran perempuan dalam kegiatan kelautan dan perikanan

sangat menonjol. Mengingat ruang gerak perempuan terbatas di sekitar rumah

sehingga tidak memungkinkan melakukan perjalanan yang lebih dari satu hari

maka perlu penegasan wilayah kegiatan perikanan yang mencakup wilayah pantai,

di mana peran dan partisipasi perempuan sangat menonjol. Pembatasan wilayah

laut untuk istilah perikanan akan mempersempit ruang gerak perempuan, karena

istilah laut selalu dikaitkan dengan wilayah kerja yang luas dan jauh dari daratan

yang umumnya sulit dijangkau oleh kaum perempuan. Perempuan yang menjadi

Bidak nelayan pun pada umumnya hanya melaut di sekitar pantai dengan rentang

waktu satu hari (daily fishing). Selain menangkap ikan dan mengumpulkan biota

laut lainnya, kegiatan perikanan pantai yang dapat melibatkan peran kaum

perempuan adalah budidaya laut.

(3) Reformulasi kebijakan pembangunan perikanan pantai

Isu gender dalam program Dislutkan (lihat Tabel 31) yaitu adanya bias

gender dalam pencatatan peran produktif dan partisipasi masyarakat pada proses

pengambilan keputusan dari pemangku kepentingan kegiatan kelautan dan

perikanan. Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa ruang gerak perempuan

112

adalah di sekitar rumah dan keluarga, sehingga menyebabkan wilayah kegiatan

mereka pun hanya di sekitar pantai, oleh karena itu perlu dilakukan reformulasi

wilayah kegiatan perikanan dengan memperluas wilayah menjadi wilayah laut dan

pantai. Berdasar isu gender tersebut dan pengembangan wilayah kegiatan yaitu

wilayah pantai, kemudian dilakukan reformulasi kebijakan dan kegiatan pada

pembangunan perikanan pantai seperti tercantum pada Tabel 32.

Tabel 32 Reformulasi kebijakan dan kegiatan berdasarkan isu gender pada pembangunan kelautan dan perikanan pantai Kabupaten Subang

No Isu gender Reformulasi kebijakan Rincian kegiatan 1 Bias gender dalam proses

pencatatan peran produktif Pencatatan kembali data pemangku kepentingan di bidang perikanan laut dan pantai, terpilah lelaki dan perempuan

Sensus pelaku di bidang perikanan laut dan pantai terpilah, lelaki dan perempuan

2 Bias gender dalam partisipasi masyarakat pada proses pengambilan keputusan

Pemetaan kembali kegiatan di bidang perikanan laut dan pantai sesuai dengan kebutuhan pemangku kepentingan, lelaki dan perempuan

Pengembangan sumberdaya manusia pelaku perikanan laut dan pantai, lelaki dan perempuan

Berdasarkan reformulasi kebijakan dan kegiatan pada Tabel 32 kemudian

dilakukan reformulasi program, tujuan, indikator serta rencana aksi dari

pembangunan perikanan pantai yang responsif gender Dislutkan yang tersaji pada

Tabel 33. Reformulasi program yang diajukan akan lebih responsif gender setelah

adanya pemilahan gender dari pemangku kepentingan di bidang kelautan dan

perikanan pantai serta melihat kebutuhan gender komunitas saat ini yang lebih

ditekankan kepada kebutuhan praktis gender. Dengan demikian, peran dan

partisipasi perempuan tidak akan terabaikan lagi dalam pembangunan kelautan

dan perikanan Kabupaten Subang.

113

Tabel 33 Rekapitulasi analisis gender dan rencana aksi pembangunan perikanan pantai yang responsif di Kabupaten Subang Data

pembuka wawasan

Masalah kesenjangan

Isu gender

Kondisi saat ini Reformulasi Rencana aksi Indikator

gender Sasaran Kebijakan Program Tujuan Kebijakan Program Tujuan (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12)

- Data kuantitatif kurang mencer-minkan kenyataan di lapangan.

- Keterli-batan perem-puan di perda-gangan dan pengo-lahan ikan, belum dicatat.

Peran perempuan di kelautan dan perikanan tidak tercatat yang mengakibatkan perempuan jarang dilibatkan dalam program pemerintah

Bias gender dalam: - Proses

penca-tatan peran produktif

- Partisi-pasi masya-rakat l dalam proses pengam-bilan kepu-tusan

Peningkatan kemampuan SDM kelautan dan perikanan yang maju, mandiri dan tangguh.

Peningkatan sumberdaya manusia perikanan

Meningkatkan sumberdaya manusia masyarakat di bidang perikanan

Peningkatan kemampuan SDM kelautan dan perikanan yang maju, mandiri dan tangguh dengan pencatatan kembali pemangku kepentingan di bidang perikanan laut dan pantai terpilah lelaki-perempuan

Peningkatan sumberdaya manusia perikanan bagi pelaku lelaki dan perempuan

Meningkatkan sumberdaya manusia masyarakat, lelaki dan perempuan di bidang perikanan

- Sensus pelaku di bidang perikanan laut dan pantai terpilah lelaki dan perempuan.

- Tersedianya data kuantitatif terpilah gender tentang pelaku perikanan pantai.

Komunitas perikanan laut dan pantai, pegawai Dislutkan, pengurus KUD Mina, lelaki dan perempuan

- Perem-puan jarang diibatkan dalam pembinaan dan pengam-bilan keputusan.

- Pengem-bangan sumberdaya manusia pelaku perikanan laut dan pantai, lelaki dan perempuan

- Peningkatan peserta, lelaki dan perempuan, dalam pembinaan

114

Tabel 33 (Sambungan)

Data

pembuka wawasan

Masalah kesenjangan

Isu gender

Kondisi saat ini Reformulasi Rencana aksi Indikator

gender Sasaran Kebijakan Program Tujuan Kebijakan Program Tujuan

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) - seperti di

atas - - seperti di

atas - - seperti di

atas - Pengembangan, pemeliharaan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berorientasi pasar serta berwawasan lingkungan

Pengembangan sumberdaya kelautan

Meningkatkan sumberdaya, sarana dan prasarana kelautan

Pemetaan kembali kegiatan di bidang perikanan laut dan pantai sesuai dengan kebutuhan pemangku kepentingan lelaki-perempuan dalam rangka pengembangan, pemeliharaan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berorientasi pasar serta berwawasan lingkungan

Pengembangan sumberdaya kelautan dan pantai bagi pelaku lelaki dan perempuan

Meningkatkan sumberdaya, sarana dan prasarana kelautan dan pantai dengan melibatkan pelaku lelaki dan perempuan

- Peningkatan partisipasi pelaku perikanan pantai, lelaki dan perempuan dalam pengambilan keputusan

- Perluasan

lapangan kerja bagi perempuan dan lelaki

- Peningkatan jumlah partisipan, lelaki dan perempuan, yang terlibat dalam pengam-bilan keputusan.

- Tersedianya

lapangan kerja mandiri bagi perempuan seimbang dengan lelaki

Komunitas perikanan laut dan pantai, lelaki dan perempuan

115

Secara keseluruhan, baik dari hasil GAP dan analisis Moser, perempuan

terabaikan dari proses pembangunan karena: (1) kebijakan pembangunan tidak

diperuntukkan bagi kaum perempuan. Kaum lelaki dianggap sebagai kepala

rumahtangga dan berhak untuk jadi wakil dalam komunitas yang lebih luas; dan

(2) menanggung beban ganda. Perempuan melakukan pekerjaan reproduktif dan

sekaligus mencari nafkah. Hasil penelitian ini mendukung pendapat Krisnawaty

(1993). Namun demikian, dengan melakukan reformulasi kebijakan dengan

melihat kebutuhan masyarakat pesisir baik lelaki dan perempuan maka dapat

dilakukan program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender.

5.3 Sikap Terhadap Kesetaraan Gender Dalam Kegiatan Perikanan Pantai

Tujuan antara yang kedua dari penelitian ini adalah menganalisis sikap

komunitas pesisir terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai. Untuk

mengukur sikap responden terhadap pembangunan perikanan pantai dan

kesetaraan gender digunakan kuesioner dengan rskala Likert (lihat Lampiran 3).

Skor mentah dari skala Likert kemudian diubah menjadi skor T dan

diinterpretasikan menjadi kategori sikap setuju (sikap positif) atau tidak setuju

(sikap negatif) terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai (Lampiran 4).

Hipotesis kedua dari penelitian ini yaitu sikap pelaku perikanan pantai

terhadap pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan gender memiliki

hubungan dengan latar belakang sosial-ekonomi-budaya. Untuk menguji hipotesis

tersebut dilakukan uji korelasi antara sikap responden terhadap kesetaraan gender

dalam perikanan dengan beberapa variabel sosial budaya dan sosial ekonomi.

Hasil uji korelasi (hasil olah data dengan software SPSS versi 11.5 pada Lampiran

5) adalah sebagai berikut.

(1) Analisis korelasi antara sikap dan tingkat pendidikan formal

Analisis korelasi Spearman digunakan untuk menganalisis hubungan antara

sikap dan tingkat pendidikan formal responden. Analisis korelasi Spearman

bertujuan untuk mengetahui korelasi atau hubungan antara dua variabel yang

mempunyai skala pengukuran ordinal. Tingkat pendidikan formal responden yang

paling rendah adalah tidak bersekolah, sedangkan yang paling tinggi adalah tidak

lulus SLTA. Hipotesis penelitiannya adalah terdapat hubungan yang signifikan

antara sikap dan tingkat pendidikan formal.

116

Hasil analisis menunjukkan bahwa korelasi antara sikap dan tingkat

pendidikan formal yaitu sebesar -0,063 dengan nilai signifikansi sebesar 0,633.

Oleh karena nilai signifikansi yang diperoleh lebih besar dari taraf signifikansi

yang ditetapkan yaitu sebesar 0,05 (5%) maka hipotesis ditolak, yang berarti tidak

terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dan tingkat pendidikan formal.

(2) Analisis korelasi antara sikap dan matapencaharian

Untuk menganalisis hubungan antara sikap dan matapencaharian responden,

digunakan uji Chi-Square. Uji Chi-Square bertujuan untuk mengetahui korelasi

atau hubungan antara dua variabel yang mempunyai skala pengukuran nominal

atau ordinal. Sikap mempunyai skala pengukuran ordinal, sedangkan

matapencaharian memiliki skala pengukuran nominal. Matapencaharian

dibedakan menjadi nelayan dan bukan nelayan. Hipotesisnya adalah terdapat

hubungan yang signifikan antara sikap dan matapencaharian.

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai statistik Chi-Square yang diperoleh

adalah sebesar 27,879 dengan nilai signifikansi sebesar 0,417. Oleh karena nilai

signifikansi yang diperoleh lebih besar dari taraf signifikansi yang ditetapkan

yaitu sebesar 0,05 (5%) maka hipotesis ditolak, yang berarti tidak terdapat

hubungan yang signifikan antara sikap dan matapencaharian.

(3) Analisis korelasi antara sikap dan status pekerja

Untuk menganalisis hubungan antara sikap dan status pekerja responden,

digunakan uji Chi Square. Sikap mempunyai skala pengukuran ordinal,

sedangkan status pekerja memiliki skala pengukuran nominal. Status pekerja

dibedakan antara juragan dan buruh (termasuk bidak). Hipotesisnya adalah

terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dengan status pekerja.

Hasil analisis hubungan dua variabel tersebut menunjukkan bahwa nilai

statistik Chi-Square yang diperoleh adalah sebesar 32,436 dengan nilai

signifikansi sebesar 0,216. Oleh karena nilai signifikansi yang diperoleh lebih

besar dari taraf signifikansi yang ditetapkan yaitu sebesar 0,05 (5%) maka

hipotesis ditolak, yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara

sikap dan status pekerja.

117

(4) Analisis korelasi antara sikap dan pendapatan

Untuk menganalisis hubungan antara sikap dan pendapatan responden, pada

saat panen dan paceklik, digunakan korelasi Spearman. Variabel sikap dan

pendapatan mempunyai skala pengukuran ordinal.

(i) Pendapatan saat panen

Hipotesis penelitian yang diuji adalah terdapat hubungan yang signifikan

antara sikap dan pendapatan pada saat panen. Hasil analisis menunjukkan bahwa

korelasi antara sikap dan pendapatan saat panen adalah sebesar -0,071 dengan

nilai signifikansi sebesar 0,591. Oleh karena nilai signifikansi yang diperoleh

lebih besar dari nilai taraf signifikansi yang ditetapkan yaitu sebesar 0,05 (5%)

maka hipotesis ditolak, yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara sikap dan pendapatan saat panen.

(ii) Pendapatan saat paceklik

Hipotesis penelitian yang diuji adalah terdapat hubungan yang signifikan

antara sikap dan pendapatan saat paceklik. Hasil analisis menunjukkan bahwa

korelasi antara sikap dan pendapatan saat paceklik yaitu sebesar -0,095 dengan

nilai signifikansi sebesar 0,470. Oleh karena nilai signifikansi yang diperoleh

lebih besar dari nilai taraf signifikansi yang ditetapkan yaitu sebesar 0,05 (5%)

maka hipotesis ditolak, yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara sikap dan pendapatan saat paceklik.

Hasil keseluruhan dari uji korelasi menunjukkan bahwa semua hipotesis

ditolak yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dan

pendidikan formal, pendapatan, matapencaharian dan status pekerja. Dengan

demikian, hipotesis kedua dari penelitian ini yaitu sikap pelaku perikanan pantai

terhadap pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan gender memiliki

hubungan dengan latar belakang sosial-ekonomi-budaya adalah ditolak. Akibat

hipotesis ditolak maka kemudian dilakukan analisis lebih lanjut untuk mencari

penyebabnya.

Dilihat dari aspek pendidikan formal, rataan pendidikan terakhir dari

responden, lelaki dan perempuan (lihat Tabel 18) dikategorikan rendah, yaitu

tingkat sekolah dasar. Ini menunjukkan mutu SDM baik lelaki dan perempuan

dalam komunitas setempat adalah sama-sama masih rendah, apalagi informasi

118

yang mereka terima umumnya hanya terkait dengan masalah perikanan saja,

sehingga mereka tidak banyak mengalami perubahan di bidang lainnya. Dengan

demikian adalah wajar jika tidak terdapat korelasi yang signifikan antara sikap

responden terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai dan pendidikan

formal.

Dalam hal pekerjaan, semua responden berkecimpung di bidang perikanan,

mulai dari nelayan sebagai penangkap ikan, pedagang ikan dan pengolah ikan

hasil tangkapan, disamping itu pekerjaan mereka tergantung dari pasokan ikan

laut hasil tangkapan yang tergantung pada musim. Pola kerjasama antara lelaki

dan perempuan dalam bidang pekerjaan tersebut tidak banyak berbeda. Tabel 26

menunjukkan bahwa pembagian tugas dalam rumahtangga baik nelayan maupun

bukan nelayan ternyata hampir sama, sama halnya dengan pengambilan keputusan

dalam keluarga (Tabel 27). Dilihat dari status pekerja pun, sikap Juragan dan

pekerjanya tidak banyak berbeda. Meskipun kedudukannya Juragan tetapi mereka

masih tetap melakukan pekerjaan yang sama dengan pekerja, apalagi asal usul

Juragan juga berasal dari pekerja. Dilihat dari pendapatan, Juragan nelayan kecil

tidak banyak berbeda dengan bidak-nya, mereka menanggung resiko lebih besar

daripada bidak, akibatnya Juragan masih harus pergi melaut untuk mengurangi

beban biaya melaut, sehingga mereka tidak sempat melakukan upaya

pengembangan diri diluar bidang perikanan. Demikian halnya dengan Juragan

pengolahan ikan, pendapatan mereka memang lebih besar daripada pekerjanya,

tetapi sikap mereka ternyata juga tidak berbeda dengan sikap pekerjanya, karena

mereka tidak melakukan pengembangan diri diluar bidang perikanan yang sudah

digelutinya. Dengan demikian dapat dikatakan wajar jika tidak terdapat korelasi

yang signifikan antara sikap responden terhadap kesetaraan gender dalam

perikanan dan status pekerja, matapencaharian serta pendapatan, akibat tidak

adanya upaya pengembangan diri diluar bidang perikanan melalui komunikasi,

informasi, dan edukasi.

Distribusi sikap setuju atau tidak setuju responden terhadap kesetaraan

gender dalam perikanan pantai dapat dilihat pada Tabel 34. Secara

keseluruhannya, responden yang setuju dan tidak setuju kesetaraan gender dalam

perikanan pantai adalah sama banyak, yaitu 30 orang (50%) berbanding 30 orang

119

(50%). Namun dari 30 responden yang setuju, lebih banyak lelaki berjumlah 18

orang (30%) dibandingkan dengan perempuan sebanyak 12 orang (20%).

Sebaliknya, perempuan lebih banyak tidak setuju kesetaraan gender dalam

perikanan (30%) dibandingkan dengan lelaki (20%).

Tabel 34 Sikap responden terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai menurut jenis kelamin di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006

Sikap terhadap Jumlah Total kesetaraan gender Lelaki Perempuan dalam perikanan pantai Orang % Orang % Orang %

Setuju 18 30 12 20 30 50 Tidak setuju 12 20 18 30 30 50 Jumlah 30 50 30 50 60 100

Perempuan lebih banyak tidak setuju dengan kesetaraan gender dalam

perikanan pantai dibandingkan dengan lelaki sungguh di luar dugaan. Pada saat

pengisian kuesioner, responden kadangkala memberikan komentar terhadap

penyataan dari Skala Likert. Pernyataan-pernyataan dalam kuesioner Skala Likert

(lihat Lampiran 3) yang mendapat banyak respon jawaban negatif atau tidak

setuju dari perempuan dan komentar dari responden adalah sebagai berikut:

o “Perempuan dapat mengambil kredit dari lembaga keuangan/bank untuk usaha

perikanan atas nama sendiri”. Menurut ibu M:

“Biar lelaki (suami) yang berhutang (mengambil kredit), sehingga dia akan bekerja (berusaha) untuk melunasinya. Jika perempuan yang ambil kredit, perempuan sendiri yang harus menanggung beban untuk melunasi hutang, sedangkan suami dapat berbuat seenaknya sendiri.”

Salah satu pengurus KUD Mina Bahari Desa Muara Ciasem menyatakan tentang keseriusan perempuan untuk membayar hutang, ungkapnya:

“Perempuan lebih serius membayar hutang mereka dibandingkan lelaki. Jarang ada kredit macet dari nasabah perempuan. Lebih banyak lelaki yang tidak mau bayar hutang mereka.”

Pada kenyataannya, memang kaum perempuan jarang mengambil kredit kepada

lembaga keuangan. Umumnya perempuan berutang untuk keperluan sehari-hari

seperti bahan pangan kepada pedagang kelontong setempat yang akan dibayar

saat along (musim panen ikan).

o “Lelaki dan perempuan mempunyai kemampuan yang sama untuk mengelola

keuangan usaha perikanan”. Ketidaksetujuan beberapa responden diungkapkan

sebagai berikut:

120

“Lelaki tidak dapat pegang uang. Jika sedang memiliki uang banyak, lelaki sering berfoya-foya.”

Pada komunitas tersebut masih terdapat stereotipi bahwa perempuan pelit dan

pandai mengatur keuangan, sebaliknya, lelaki boros dan tak dapat mengatur

keuangan.

o “Perempuan memperoleh upah langsung dari hasil kerjanya di usaha keluarga”.

Pernyataan ini juga mendapat komentar dari responden lelaki. Menurut

beberapa responden,

“Istri yang pegang uang (pengelola keuangan), jadi dia dapat mengatur keuangan (keluarga atau usaha) sesuai dengan kebutuhan, dia tidak perlu (men-)dapat upah langsung dari pekerjaannya.”

Hal ini terkait dengan stereotipi tentang pengelola keuangan pada komunitas

tersebut, sehingga mereka menganggap perempuan, khususnya istri, tak perlu

mendapat upah. Dengan demikian, sesungguhnya perempuan secara pribadi

tidak memperoleh materi apapun dari hasil kerjanya, karena uang keuntungan

atau hasil kerjanya tersebut digunakan untuk keperluan rumahtangga (disebut

juga uang dapur). Sebaliknya, lelaki masih mendapatkan hasil berupa uang

rokok yang besarnya tergantung besarnya pendapatan yang mereka peroleh.

o “Perempuan dapat menjadi wakil keluarga dalam pertemuan atau rapat warga

di kantor desa atau kecamatan”. Menurut beberapa responden, baik perempuan

dan lelaki:

“Urusan rapat di kantor desa adalah urusan lelaki. Kalau terpaksa, baru perempuan dapat wakili suami untuk hadir, tetapi jika tidak terpaksa, tidak perlu hadir atau menjadi wakil suami meskipun suami berhalangan hadir. “

Pada kenyataannya, kehadiran mereka baik lelaki atau perempuan pada

pertemuan, tergantung topik pertemuan. Jika topik dianggap tidak penting bagi

mereka, mereka pun tidak hadir pada pertemuan tersebut.

o “Suami-istri dapat terlibat dalam lembaga perdesaan mewakili kepentingan

kelompok masing-masing”. Menurut beberapa responden, baik lelaki dan

perempuan, jika suami-istri mewakili kelompoknya masing-masing dan terlibat

dalam lembaga perdesaan dapat menimbulkan pertengkaran, apalagi jika

pendapat mereka berbeda. Lebih baik dalam satu rumahtangga cukup satu

121

suara saja, agar tidak timbul konflik. Pengungkapan mereka adalah sebagai

berikut:

”Kalau suami dan istri beda pendapat di rapat desa bisa-bisa ribut di rumah. Mendingan (lebih baik) lelaki saja yang hadir.”

Hal ini menunjukkan bahwa jelas tampak pembagian peran dalam rumahtangga

pada komunitas tersebut terkait politik kemasyarakatan, khususnya pada proses

pengambilan keputusan.

o “Pemerintah telah membuat program di bidang perikanan yang dapat

membantu kemajuan perempuan”. Ketidaksetujuan beberapa responden

diutarakan dengan pendapat yang senada sebagai berikut:

“Program pemerintah lebih banyak (ditujukan kepada) untuk lelaki, untuk perempuan jarang.”

Jawaban ini menunjukkan bahwa program pemerintah lebih banyak ditujukan

kepada lelaki yang dianggap sebagai pelaku utama di bidang perikanan laut,

khususnya perikanan tangkap.

Analisis hasil wawancara menunjukkan bahwa faktor yang diduga

mempengaruhi terbentuknya sikap responden baik lelaki maupun perempuan

setuju atau tidak setuju dengan kesetaraan gender dalam kegiatan perikanan pantai

adalah faktor budaya dan faktor ekonomi. Secara rinci adalah sebagai berikut

(1) Sikap yang setuju atau sikap positif disebabkan oleh faktor ekonomi. Hal ini

ditunjukkan dari pernyataan bahwa perempuan akan dapat berbuat lebih

banyak lagi dibandingkan apa yang telah mereka perbuat saat ini, jika lebih

banyak terdapat peluang kerja atau usaha untuk mereka. Faktor ekonomi

berupa ada atau tidaknya peluang kerja atau usaha dapat mempengaruhi

terbentuknya sikap seseorang terhadap kesetaraan gender dalam kegiatan

perikanan pantai terkait dengan persaingan untuk mendapatkan pekerjaan.

Dari hasil pengamatan dan wawancara diketahui bahwa di sekitar PPP

Blanakan banyak dijumpai peluang kerja bagi perempuan yaitu di bidang

pengolahan ikan dan perdagangan ikan, sehingga kaum lelakinya banyak yang

setuju dengan program pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan

gender, karena akan lebih menguntungkan dari segi perekonomian bagi

mereka dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Disamping itu, motivasi

kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari cenderung

122

akan menimbulkan sikap positif perempuan terhadap kesetaraan gender dalam

perikanan pantai. Hal ini sudah terbukti dengan adanya bidak nelayan

perempuan di lokasi penelitian.

(2) Sikap yang tidak setuju atau sikap negatif dengan penyebab:

(i) faktor budaya. Hal ini ditunjukkan dari pernyataan bahwa status suami atau

kaum lelaki adalah pemimpin keluarga, dengan kata lain status suami

lebih tinggi daripada status istri. Oleh karena itu, pengambilan keputusan

terletak pada suami, maka istri harus patuh pada keputusan tersebut.

Menurut mereka, kondisi pada saat ini sudah baik; perempuan dapat

bekerja untuk membantu suami sambil mengurus keluarga. Dalam hal ini,

unsur budaya banyak mempengaruhi sikap responden baik lelaki dan

perempuan di dua desa.

(ii) faktor ekonomi. Semakin sedikit terdapat peluang kerja atau usaha maka

sikap negatif umumnya timbul dari kaum lelaki, karena adanya persaingan

antara lelaki dan perempuan dalam mendapatkan peluang tersebut.

Peluang kerja di sekitar PPP Muara Ciasem tidak terlalu banyak akibat

pengaruh pasokan ikan tangkapan yang tidak menentu, maka kaum

lelakinya cenderung tidak setuju dengan program pembangunan perikanan

pantai berbasis kesetaraan gender tersebut.

Unsur budaya dalam pembagian peran dan kedudukan (status) di lingkungan

rumahtangga dan keluarga memberi pengaruh terhadap kesetaraan gender. Status

suami memberikan memiliki kelebihan dibandingkan status istri, karena status

suami selaku kepala keluarga harus dipatuhi oleh istri dan anak-anak mereka,

disamping itu suami pun merupakan wakil keluarga dalam tingkat komunitas.

Dalam pembagian peran pun, suami lebih banyak berperan dalam kegiatan

produktif dan politik kemasyarakatan selaku pencari nafkah utama dan kepala

keluarga. Status anak lelaki juga demikian halnya, karena anak lelaki sudah

dipersiapkan untuk menjadi kepala keluarga, oleh karena itu mereka jarang

dilibatkan dalam kegiatan reproduktif di lingkungan rumahtangga. Sebaliknya,

anak perempuan sudah diarahkan untuk melakukan kegiatan reproduktif. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa status tergariskan (ascribed status) terkait dalam

123

pembagian peran dalam keluarga masih menonjol dalam komunitas lokasi

penelitian.

Sosialisasi gender tersebut melalui pendidikan informal dalam keluarga

yang dapat memberikan pengaruh kepada pembentukan sikap. Temuan dari

penelitian ini menunjukkan bahwa orang yang banyak memberikan pengaruh

terhadap sikap responden adalah orangtua dan atau suami bagi responden

perempuan. Responden mengatakan bahwa sejak kecil mereka sudah diajarkan

oleh orangtua mereka tentang pembagian tugas antara lelaki dan perempuan yang

kemudian diajarkan kepada anak-anak mereka. Di lokasi penelitian ini umum

terjadi dalam satu rumah tinggal hidup bersama tiga generasi yaitu kakek-nenek,

orangtua dan cucu, sehingga sosialisasi tentang peran gender semakin mudah

dilakukan. Tugas lelaki adalah mencari uang atau bekerja di luar rumah,

sedangkan tugas perempuan adalah mengurus rumahtangga dan keluarga.

Menurut mereka, seorang istri harus mematuhi suaminya sebagai pemimpin dalam

keluarga, demikian yang telah diajarkan dalam lingkungan keluarga secara turun-

temurun. Dengan demikian, keputusan apapun dari suami harus dituruti istri,

sehingga tidak akan ada perbedaan pendapat atau keputusan di lingkup luar

rumahtangga. Sosialisasi gender dari keluarga ini yang memberikan pengaruh

terhadap sikap kaum perempuan terhadap kesetaraan gender dalam perikanan

pantai.

Dalam lingkup keluarga, bentuk sosialisasi yang terkait pekerjaan yaitu

arahan sang ayah kepada anak lelakinya untuk menjadi nelayan, dan ibu

mengarahkan anak perempuannya untuk mengerjakan pekerjaan rumahtangga dan

bekerja sebagai buruh. Dari pengerahan tenaga kerja anggota rumahtangga dalam

menanggulangi kebutuhannya, terlihat adanya keseimbangan derajat atau posisi

suami istri atau lelaki perempuan dalam rumahtangga nelayan miskin. Namun

demikian, pengaruh kebudayaan yang telah mantap dalam masyarakat tetap

membedakan posisi antara suami istri. Hasil penelitian ini memperkuat hasil

penelitian Masngudin (1997) yaitu adanya sosialisasi dalam keluarga yang terkait

dengan peran gender.

Secara keseluruhan, dari hasil wawancara dan pengamatan diketahui bahwa

unsur ekonomi berupa adanya peluang kerja dan unsur budaya melalui pendidikan

124

informal dalam keluarga yang merupakan dapat mempengaruhi terbentuknya

sikap pesisir terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai. Sikap setuju atau

tidak setuju ini menjadi penting karena menyangkut partisipasi masyarakat dalam

pelaksanaan program pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan gender.

Sikap inilah yang melatarbelakangi kecenderungan bertindak dalam pengambilan

keputusan seseorang.

5.4 Pembangunan Perikanan Pantai Yang Responsif Gender

Tujuan antara yang ketiga dari penelitian ini adalah menyusun alternatif

program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. Berdasarkan hasil

analisis gender di tingkat program Dislutkan dan di tingkat rumahtangga

masyarakat pesisir, analisis sikap responden, FGD serta data sekunder, kemudian

dilakukan perumusan strategi pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan

gender dengan menggunakan analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities and

Threats (SWOT), yang kemudian dilanjutkan dengan penyusunan skala prioritas

untuk mencapai tujuan program pembangunan perikanan pantai yang responsif

gender dengan pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP).

5.4.1 Strategi pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan gender

Tujuan akhir dari analisis SWOT adalah untuk merumuskan strategi

pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan gender di Kabupaten Subang.

Analisis SWOT dilakukan terhadap pelaksanaan pembangunan perikanan pantai

di Kabupaten Subang saat ini yaitu dengan menganalisis faktor eksternal dan

faktor internal pelaksanaan pembangunan perikanan pantai.

Pembobotan dan penetapan peringkat dalam analisis dilakukan setelah

berdiskusi dengan para pemangku kepentingan perikanan laut dan pantai. Evaluasi

lingkungan internal dilakukan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan untuk

melaksanakan pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. Evaluasi

internal tersebut disusun dalam matriks IFAS (Internal Strategic Factors Analysis

Summary) seperti tercantum pada Tabel 35.

125

Tabel 35 Bobot, peringkat dan skor dari faktor internal pembangunan perikanan pantai yang responsif gender di Kabupaten Subang tahun 2006

Faktor internal Bobot Peringkat Skor (1) (2) (3)=(1)x(2)

Kekuatan (Strengths): - Potensi PAD (Pendapatan Asli Daerah) 0,100 4 0,400 - PPP dan TPI yang dikelola KUD mandiri 0,075 3 0,225 - Kesetaraan gender dalam kegiatan perikanan 0,100 3 0,300 - Membuka peluang industri baru perikanan 0,100 3 0,300 - Membuka lapangan kerja lainnya di pesisir 0,075 3 0,225 - Letak geografi yang strategis di pantura Jawa 0,025 2 0,050 - Tingginya aksesibilitas ke pasar 0,025 2 0,050 - Keuletan perempuan dalam berusaha 0,050 2 0,100 - Jumlah populasi perempuan-lelaki seimbang 0,050 2 0,100 Kelemahan (Weaknesses): - Kurangnya alokasi APBD bagi pembanguinan perikanan 0,100 -1 -0,100 - Tidak ada lembaga keuangan mikro untuk nelayan 0,100 -1 -0,100 - Rendahnya mutu SDM (pendidikan dan ketrampilan) 0,100 -1 -0,100 - Rendahnya tingkat kesejahteraan nelayan 0,025 -2 -0,050 - Rendahnya kesadaran akan lingkungan 0,025 -2 -0,050 - Kurangnya pembinaan tenaga kerja perempuan 0,025 -3 -0,750 Total skor kekuatan − kelemahan (x) 1,000 0,600

Evaluasi lingkungan eksternal dilakukan untuk mengetahui berbagai

kemungkinan peluang dan ancaman dalam melaksanakan pembangunan perikanan

pantai yang responsif gender. Evaluasi disusun dalam matriks EFAS (External

Strategic Factors Analysis Summary) seperti tercantum pada Tabel 36.

Tabel 36 Bobot, peringkat dan skor dari faktor eksternal pembangunan perikanan pantai yang responsif gender di Kabupaten Subang tahun 2006

Faktor eksternal Bobot Peringkat Skor (1) (2) (3)=(1)x(2)

Peluang (Opportunities): - Komitmen pemerintah terhadap kesetaraan gender 0,150 3 0,450 - Peningkatan konsumsi ikan per kapita per tahun 0,075 3 0,225 - Inovasi usaha perikanan 0,075 3 0,225 - Otonomi daerah dapat membuat perda perlindungan

lingkungan hidup 0,075 3 0,225

- Perkembangan teknologi dan informasi 0,050 2 0,100 - Peningkatan jumlah tenaga kerja 0,075 1 0,075 Ancaman (Threats): - Tingginya harga BBM 0,150 -1 -0,150 - Kerusakan lingkungan pesisir dan laut 0,075 -2 -0,150 - Pencemaran perairan sungai dan laut 0,050 -2 -0,100 - Harga ikan yang fluktuatif 0,050 -2 -0,100 - Perdagangan bebas dunia 0,075 -2 -0,150 - Pendangkalan sungai menghambat aksesibilitas 0,050 -3 -0,150 - Nelayan pendatang dengan peralatan lebih canggih 0,050 -3 -0,150 Total skor peluang – ancaman (y) 1,000 0,350

Dari matriks IFAS (Tabel 35) dan EFAS (Tabel 36) maka dapat diketahui bahwa

posisi internal dan eksternal pembangunan perikanan pantai adalah dalam kuadran

I pada titik X (0,600; 0,350) seperti tercantum pada Gambar 4.

126

Gambar 4 Posisi pembangunan perikanan pantai saat ini dengan analisis SWOT

Posisi pembangunan perikanan pantai saat ini yang terletak pada kuadran I

menunjukkan bahwa situasi pembangunan perikanan pantai saat ini sangat

menguntungkan. Strategi yang dapat diterapkan adalah strategi yang mendukung

kebijakan pertumbuhan yang agresif (growth oriented strategy), yaitu strategi

Strengths-Opportunities (SO). Keseluruhan strategi pembangunan perikanan

pantai yang terbagi atas strategi Strengths-Opportunities (SO), Weaknesses-

Opportunities (WO), Strengths-Threats (ST) dan Weaknesses-Threats (WT) dapat

dilihat pada Lampiran 6.

Posisi pembangunan perikanan pantai Kabupaten Subang saat ini terletak di

kuadran I yang berarti strategi SO adalah yang paling tepat untuk dilaksanakan,

dengan program-program berikut

(1) Pencatatan data kegiatan dan pelaku perikanan dipilah menurut jenis

kelamin.

(2) Pembinaan tentang perikanan pantai dan kelautan kepada masyarakat, lelaki

dan perempuan. Kegiatan pembinaan kepada masyarakat meliputi kegiatan

sosialisasi, penyuluhan dan pelatihan.

(3) Peningkatan partisipasi dalam pengambilan keputusan di bidang perikanan

pantai bagi masyarakat lelaki dan perempuan.

(4) Pengembangan teknologi perikanan pantai tepatguna berbasis lokal bagi

lelaki dan perempuan.

(5) Perluasan akses usaha terkait perikanan pantai bagi lelaki dan perempuan

5.4.2 Prioritas untuk pembangunan perikanan pantai yang responsif gender

Fokus dari penelitian ini adalah pembangunan perikanan pantai yang

responsif gender. Fokus ini diletakkan di puncak hirarki atau di tingkat pertama.

X (0,600, 0,35)

Threats

Strengths Weaknesses

Opportunities

127

Tingkat di bawahnya atau tingkat kedua adalah pelaksana atau pelaku yang dapat

mewujudkan pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. Pelaku ini

terdiri dari tiga unsur yaitu aparat pemerintah daerah (Pemda), pengurus KUD

Mina dan nelayan.

Tingkat ketiga dari hirarki ini adalah faktor penting yang diperlukan agar

program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender dapat tercapai.

Dalam pelaksanaan program, faktor-faktor penting yang perlu diperhatikan adalah

kebijakan (policy) yang melandasi pelaksanaan program, pendanaan untuk

pelaksanaan program, sarana-prasarana untuk pelaksanaan program dan

sumberdaya manusia (SDM) yang akan melaksanakan program tersebut.

Tingkat keempat atau yang paling bawah dari hirarki ini adalah program-

program yang perlu dilakukan untuk mencapai pembangunan perikanan pantai

yang responsif gender. Program tersebut merupakan hasil analis SWOT berupa

program-program untuk pelaksanaan pembangunan perikanan pantai yang

responsif gender di Kabupaten Subang kemudian dianalisis dengan AHP. Program

tersebut terkait langsung dengan pemangku kepentingan pembangunan perikanan

pantai yaitu pemerintah, KUD dan masyarakat perikanan laut (nelayan). Program

pencatatan atau inventarisasi kegiatan perikanan laut dan pelakunya yang

termasuk strategi SO, sudah dapat dilaksanakan bersamaan dengan inventarisasi

produksi perikanan laut lainnya, sehingga program tersebut tidak dimasukkan

dalam hirarki AHP. Mengingat tingkat SDM masyarakat nelayan dan penduduk

pesisir lainnya pada umumnya masih rendah (lihat Subbab 5.1.2), maka

diperlukan tambahan satu program untuk dilaksanakan yaitu pengembangan

sumberdaya manusia (SDM) masyarakat, lelaki dan perempuan, melalui

peningkatan pendidikan yang termasuk strategi WO. Peningkatan pendidikan ini

ditujukan untuk memberantas buta aksara bagi penduduk yang belum pernah

sekolah dan tidak lulus melalui Paket Kelompok Belajar (Kejar) A, sedangkan

penduduk yang tidak lulus SMP dapat mengikuti Paket Kejar B dan yang tidak

lulus SMA dapat mengikuti Paket Kejar C. Program peningkatan pendidikan

dimasukkan ke dalam hirarki AHP karena tinggi-rendahnya tingkat SDM dapat

mempengaruhi pelaksanaan program secara keseluruhan dan berkelanjutan.

128

Bentuk hirarki AHP untuk mencapai pembanguan perikanan pantai yang responsif

gender terlukis dalam Gambar 5.

Gambar 5 Hirarki Pembangunan Perikanan Pantai Yang Responsif Gender

(1) Analisis prioritas tingkat kepentingan pelaku

Hasil analisis AHP (lihat Lampiran 7) menunjukkan bahwa pencapaian

tujuan pembangunan perikanan pantai yang responsif gender (fokus yang terletak

pada tingkat satu), pelaku (terletak pada tingkat kedua) yang paling berperan

penting adalah Pemerintah Daerah (Pemda) dengan nilai prioritas 0,4679. Temuan

dari AHP ini memperkuat isi Inpres No. 9/2000 tentang PUG dan Kepmendagri

No 132 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan PUG Di Daerah bahwa

pengarusutamaan gender ke dalam seluruh proses pembangunan merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan fungsional semua instansi dan

lembaga pemerintahan di tingkat pusat dan daerah. Nelayan merupakan pelaku

kedua yang dianggap dapat berperan dalam membuat program pembangunan

perikanan pantai berbasis kesetaraan gender ini dapat terlaksana dengan nilai

prioritas 0,3227, dan yang tingkat ketiga yang berperan adalah KUD Mina dengan

nilai prioritas 0,2094.

Responden rata-rata berpendapat bahwa keberhasilan pembangunan

perikanan pantai yang responsif gender banyak tergantung kepada pemerintah,

namun program pemerintah yang bagus pun tidak akan berhasil tanpa peranserta

masyarakat perikanan laut yang bersangkutan yaitu nelayan. KUD Mina sebagai

pengelola PPP dan TPI yaitu lembaga penyedia jasa antara nelayan dan pembeli

Tingkat 1 : Fokus : Pembangunan perikanan pantai yang responsif gender Tingkat 2 : Pelaku: Pemda KUD Nelayan Tingkat 3 : Faktor: Kebijakan Sarana Pendanaan SDM Tingkat 4 : Program: Pembinaan Peningkatan Peningkatan Pengembangan Perluasan

masyarakat, pendidikan, partisipasi, teknologi akses lelaki- lelaki- lelaki- perikanan laut usaha, perempuan perempuan perempuan & pantai, lelaki- lelaki- perempuan perempuan

129

dan yang memperoleh keuntungan dari uang jasa lelang penjualan ikan hasil

tangkapan (Perda Propinsi Jawa Barat No. 5 Tahun 2005), sudah seharusnya

terlibat sepenuhnya dalam pembangunan perikanan pantai.

(2) Analisis prioritas tingkat kepentingan faktor pelaksanaan program

Tingkat ketiga hirarki adalah tentang faktor-faktor penting pelaksanaan

program. Pada tingkat ini, responden yang diwawancarai adalah aparat Pemda dan

pengurus KUD Mina, karena mereka merupakan lembaga yang terkait dengan

penyelenggaraan program pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan

gender. Menurut Pemda, faktor yang terpenting untuk melaksanakan suatu

program adalah adanya kebijakan yang melandasi pelaksanaan program (0,6042),

hal ini terkait kedudukan pemerintah adalah sebagai pembuat kebijakan (policy

maker). Menurut pengurus KUD Mina yang terpenting adalah ketersediaan SDM

(0,3700) yang akan melaksanakan program tersebut, hal ini disebabkan oleh

pelaksanaan program perikanan banyak diselenggarakan di lingkungan kerja

mereka. Hasil analisis berdasarkan kepentingan faktor untuk pembangunan

perikanan pantai menurut pelaku dapat dilihat pada Tabel 37.

Tabel 37 Kepentingan faktor untuk pembangunan perikanan pantai yang responsif gender menurut pelaku

Pelaku Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 Prioritas 4

Pemda Kebijakan (0,6042)

Sarana (0,2176)

Pendanaan (0,1064)

SDM (0.0718)

KUD Mina SDM (0,3700)

Pendanaan (0,2768)

Sarana (0,2317)

Kebijakan (0,1214)

Menurut aparat Pemda, faktor yang paling penting untuk pelaksanaan

program, adalah kebijakan. Penentuan kebijakan dilakukan sebelum

melaksanakan program untuk menentukan arah dan tujuannya program. Kebijakan

yang melandasi program pembangunan perikanan pantai berkelanjutan berbasis

kesetaraan gender adalah Inpres 9 Tahun 2000 tentang PUG, diperkuat oleh

Kepmendagri No. 132 Tahun 2003 tentang PUG Di Daerah yang diarahkan oleh

Perpres No. 7 Tahun 2005 tentang RPJMN 2005-2009, yaitu program perlu

memperhatikan kesetaraan gender dan untuk kepentingan pembangunan

berkelanjutan. Kebijakan yang bersifat nasional ini menjadi landasan untuk

program pembangunan perikanan pantai di daerah. Berdasarkan GAP (lihat

Subbab 5.2.2) telah diketahui bahwa program Dislutkan Kabupaten Subang belum

130

responsif gender, oleh karena itu untuk melaksanakan PUG dalam kebijakan

pembangunan kelautan dan perikanan maka diperlukan komitmen dari pimpinan

Dislutkan untuk membuat pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan

gender. Hal ini sesuai dengan pendapat Bemmelen (1995) yang menyatakan

bahwa untuk melaksanakan program yang responsif gender diperlukan peraturan

perundang-undangan dan komitmen dari pemerintah.

Faktor kedua yang terpenting menurut aparat Pemda adalah sarana

penunjang program. Setelah kebijakan ditentukan, apakah sudah tersedia sarana

penunjangnya? Jika sarana sudah tersedia, pelaksanaan pun akan lebih mudah

dilakukan. Dislutkan dapat menyediakan sarana untuk pelaksanaan program

pembangunan perikanan pantai yang responsif gender, tergantung kebijakan

Dislutkan sendiri. Sarana penunjang program dari segi PUG untuk pelaksanaan

pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan gender, menurut Kepmendagri

No 132 Tahun 2003, adalah pembentukan Kelompok Kerja PUG dan Focal Point

PUG. Kelompok Kerja PUG adalah wadah konsultasi bagi para pelaksana dan

penggerak PUG dari berbagai instansi/lembaga. Focal Point PUG adalah

individu-individu yang telah sensitif gender yang berasal dari

instansi/lembaga/organisasi yang mampu melaksanakan PUG ke dalam setiap

kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan di

wilayah masing-masing. Dislutkan Kabupaten Subang, pada saat penelitian

dilakukan, belum mempunyai Kelompok Kerja PUG, bahkan belum ada Focal

Point PUG-nya. Untuk mencapai tujuan pembangunan perikanan pantai yang

responsif gender, Dislutkan perlu mengadakan Kelompok Kerja PUG dan Focal

Point PUG.

Faktor ketiga yang terpenting untuk pelaksanaan pembangunan perikanan

pantai berbasis kesetaraan gender menurut aparat Pemda adalah pendanaan. Jika

kebijakan sudah ditentukan, sarana sudah mencukupi maka keperluan dana pun

dapat dihitung, dan jika dana memungkinkan maka program pun dilaksanakan.

Menurut Kepmendagri No. 132 Tahun 2003, pembiayaan untuk keperluan PUG di

daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masing-masing Propinsi,

Kabupaten dan Kota sekurang-kurangnya minimal sebesar 5 (lima) persen dari

131

APBD. Dalam hal ini, komitmen pimpinan Pemda untuk menyediakan biaya

untuk keperluan PUG menjadi penting, terkait dengan kebijakan yang telah

dibuat. Menurut responden dari BPMD, anggaran untuk PUG di Kabupaten

Subang belum mencapai lima persen sesuai Kepmendagri 132 Tahun 2003,

pembiayaan kegiatan dari APBD II didasarkan pada skala prioritas pembangunan

daserah. Menurut responden dari Dislutkan, anggaran untuk Dislutkan tidak

banyak dan tidak mencukupi untuk pelaksanaan semua program sesuai Renstra,

maka pembiayaan untuk pelaksanaan program disesuaikan dengan skala prioritas

kepentingan program tersebut.

Faktor keempat yang terpenting menurut aparat Pemda adalah SDM. Mutu

SDM yang telah dimiliki oleh BPMD untuk PUG sudah mencukupi, meskipun

dari segi kuantitas kurang, tetapi untuk pelaksanaan program sudah

memungkinkan. Namun SDM di Dislutkan yang pernah mengikuti sosialisasi

PUG baru satu orang dan bukan pengambil keputusan sehingga belum

memberikan pengaruh kepada proses perencanaan pembangunan yang responsif

gender. Oleh karena itu, Dislutkan perlu meningkatkan SDM pegawai agar

sensitif gender sehingga tujuan program pembangunan perikanan pantai yang

responsif gender dapat terlaksana.

Menurut pengurus KUD Mina, faktor SDM-lah yang paling penting atau

utama. Kemampuan SDM yang tinggi akan memperlancar pelaksanaan program,

tanpa SDM yang mampu maka pelaksanaan dapat tidak mencapai sasaran. Pada

saat ini, SDM dari KUD Mina masih perlu ditingkatkan, karena kekhususan

(spesialisasi) KUD Mina di bidang perikanan laut adalah pelelangan, sehingga

untuk perlu program pengembangan dari SDM KUD Mina sendiri sebelum

melaksanakan program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender.

Faktor terpenting kedua adalah pendanaan. Jika dana tersedia maka

pelaksanaan program pun lancar, dengan kata lain, ada dana maka ada kegiatan.

Dalam kondisi keuangan KUD Mina saat ini, penyisihan dana untuk pelaksanaan

pembangunan perikanan pantai yang responsif gender ini perlu dibuat skala

prioritas kegiatannya dahulu sesuai sumber dana yang ada.

Menurut pengurus KUD Mina, sarana pelaksanaan program merupakan

faktor ketiga terpenting karena ketersediaan sarana penunjang dapat membantu

132

terlaksananya program. Sarana yang dimiliki oleh KUD Mina untuk pelaksanaan

program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender saat ini adalah

terbatas, oleh karena perlu pengadaan sarana dan berarti perlu biaya

pengadaannya.

Faktor terpenting keempat adalah kebijakan. Jika faktor SDM yang

mencukupi, dana dan sarana tersedia, maka kebijakan pelaksanaan program akan

dibuat atau diputuskan. Hal ini merupakan kebalikan dari pendapat aparat Pemda,

dengan demikian komitmen dari KUD Mina baru akan dibuat setelah kebutuhan

fisik terpenuhi.

(3) Analisis prioritas tingkat kepentingan program

Tingkat keempat dari hirarki AHP adalah tingkatan kepentingan program

yang perlu dilaksanakan dalam mewujudkan tujuan pembangunan perikanan

pantai berbasis kesetaraan gender. Hasil analisis program terpenting berdasarkan

pelaku dan faktor untuk pelaksanaan pembangunan perikanan pantai yang

responsif gender dapat dilihat pada Tabel 38-39 (hasil analisis lengkap dapat

dilihat pada Lampiran 7).

Hasil analisis menunjukkan bahwa aparat Pemda memprioritaskan program

yang sama untuk semua faktor yang penting bagi pelaksanaan pembangunan

perikanan pantai yang responsif gender. Hasil dapat dilihat pada Tabel 38.

Tabel 38 Program terpenting pembangunan perikanan pantai yang responsif gender berdasarkan faktor penting dan menurut aparat Pemda

Faktor Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 Prioritas 4 Prioritas 5 Kebijakan Pembinaan

(0,3999) Pendidikan

(0,3108) Partisipasi (0,1349)

Teknologi (0,0954)

Akses (0,0591)

Pendanaan Pembinaan (0,3747)

Pendidikan (0,2388)

Partisipasi (0,1923)

Teknologi (0,1037)

Akses (0,0906)

Sarana Pembinaan (0,4233)

Pendidikan (0,2502)

Partisipasi (0,1628)

Teknologi (0,0947)

Akses (0,0689)

SDM Pembinaan (0,3783)

Pendidikan (0, 2599)

Partisipasi (0,1783)

Teknologi (0,0963)

Akses (0,0873)

Menurut aparat Pemda, program pembinaan kepada masyarakat baik lelaki

dan perempuan dan program peningkatan pendidikan bagi pemangku kepentingan

lelaki dan perempuan perlu didahulukan karena terkait dengan pengembangan

SDM baik melalui jalur pembinaan yaitu sosialisasi berbagai program pemerintah,

penyuluhan dan pelatihan yang digolongkan sebagai pendidikan non formal, juga

melalui program peningkatan pendidikan yang bersifat formal, seperti jalur

133

sekolah atau paket Kelompok Belajar (Kejar) A untuk setara tingkat SD dan paket

Kejar B setara tingkat SMP serta paket Kejar C setara tingkat SMA. Masyarakat

pesisir yang sudah berusia di atas 25 tahun pada umumnya tidak lulus SD,

sedangkan generasi yang lebih muda umumnya lulus SD tetapi tidak lanjut ke

SMP atau tidak lulus SMP. Oleh karena itu, untuk dapat mengubah pola pikir

masyarakat tersebut diutamakan program pembinaan dan pendidikan agar mereka

termotivasi untuk mengubah nasib mereka sendiri.

Program yang diprioritaskan pada tingkat ketiga untuk dilaksanakan adalah

peningkatan partisipasi pemangku kepentingan, lelaki dan perempuan. Menurut

aparat Pemda, tingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan

program pemerintah akan membantu keberhasilan program tersebut, jadi semakin

banyak anggota masyarakat yang terlibat akan menambah tingkat partisipasi

mereka.

Program keempat yang berpeluang untuk dilaksanakan adalah program

pengembangan teknologi perikanan laut dan pantai tepat guna berbasis lokal bagi

pemangku kepentingan lelaki dan perempuan. Menurut aparat Pemda, adanya

pengembangan teknologi baru berarti dapat membuat peluang baru yang berarti

meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir sehingga tidak terlalu hanya

tergantung kepada usaha menangkap ikan. Program ini berhubungan dengan

program perluasan akses usaha.

Program yang kelima adalah perluasan akses usaha yang terkait dengan

usaha perikanan laut dan pantai bagi lelaki dan perempuan. Program ini terkait

dengan usaha membangun kemandirian masyarakat sehingga mereka sendiri yang

termotivasi untuk memperbaiki nasibnya sendiri.

Menurut pengurus KUD Mina program yang paling berpeluang untuk

dilaksanakan adalah berdasarkan faktor kepentingan dari pelaksanaan program

yang bersangkutan. Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 39.

134

Tabel 39 Program terpenting pembangunan perikanan pantai yang responsif gender berdasarkan faktor penting dan menurut pengurus KUD Mina

Faktor Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 Prioritas 4 Prioritas 5 Kebijakan Teknologi

(0, 3175) Akses

(0,2412) Pembinaan

(0,1780) Partisipasi (0,1356)

Pendidikan (0,1276)

Pendanaan Pembinaan (0,3322)

Partisipasi (0,2815)

Pendidikan (0,1830)

Akses (0,1097)

Teknologi (0,0935)

Sarana Akses (0,3089)

Partisipasi (0,2311)

Teknologi (0,2167)

Pendidikan (0,1224)

Pembinaan (0,1210)

SDM Pembinaan (0,3360)

Pendidikan (0,2219)

Akses (0,1784)

Teknologi (0,1323)

Partisipasi (0,1313)

Dilihat dari faktor kebijakan, program pertama yang paling berpeluang

dilaksanakan adalah pengembangan teknologi perikanan laut dan pantai tepat

guna bagi lelaki dan perempuan. Menurut pengurus KUD Mina, pengembangan

teknologi perikanan ini mungkin dapat meningkatkan jumlah produksi perikanan,

sehingga dapat dilelang dengan harga yang lebih baik, selain itu dengan adanya

penjualan jenis baru olahan ikan akan meningkatkan pendapatan KUD.

Dilihat dari faktor pendanaan, program yang paling berpeluang untuk

dilaksanakan pertama adalah pembinaan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan

biaya pelaksanaan program pembinaan cukup rendah dibandingkan dengan

pelaksanaan program lainnya.

Dilihat dari faktor sarana, program yang paling berpeluang adalah perluasan

akses usaha. Hal ini dikarenakan sarana untuk menunjang program tersebut sudah

tersedia di dua KUD di lokasi penelitian, sehingga dapat mempermudah

pelaksanaan program.

Dilihat dari faktor SDM, program yang paling berpeluang adalah pembinaan

kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan SDM untuk pelaksanaan program

tersebut sudah ada.

Masyarakat perikanan laut yang umumnya nelayan berpendapat lain

mengenai program-program tersebut. Masyarakat nelayan adalah pelaku dari

kegiatan perikanan laut dan pantai. Menurut nelayan, faktor yang terpenting bagi

mereka adalah kemampuan SDM sebagai nelayan.

Program pembangunan perikanan pantai yang paling penting bagi nelayan

adalah pembinaan (seperti sosialisasi, pelatihan, penyuluhan) kepada masyarakat

lelaki dan perempuan (0,2722). Alasan mereka adalah program tersebut tidak

memerlukan waktu lama dan program tersebut sudah mempunyai tujuan yang

135

jelas untuk pengembangan SDM. Program kedua yang penting adalah

peningkatan pendidikan bagi lelaki dan perempuan (0,2291). Program ketiga

adalah perluasan akses usaha (0,1973), disusul dengan program keempat adalah

pengembangan teknologi tepat guna (0,1607), dan yang terakhir adalah

peningkatan partisipasi (0,1407).

Prioritas bagi nelayan yang diperlukan oleh mereka adalah pengembangan

SDM, pengembangan peluang usaha yang mencakup aspek, baik dari segi

teknologi dan diversitas usaha dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

hidup mereka. Program terakhir yang nelayan anggap penting adalah peningkatan

partisipasi mereka dalam pelaksanaan program karena menurut mereka

keikutsertaan mereka saat ini dalam pelaksanaan program pemerintah sudah

cukup baik.

Tiga pelaku dalam pembangunan perikanan pantai memiliki kepentingan

dan alasan masing-masing untuk memilih program yang sesuai dengan situasi dan

kondisi yang mereka miliki. Secara umum, hasil analisis menunjukkan bahwa

program yang paling banyak dipilih oleh tiga pelaku sebagai program yang paling

berpeluang dan penting untuk dilaksanakan lebih dahulu adalah program

pembinaan tentang perikanan pantai dan kelautan kepada masyarakat lelaki dan

perempuan (lihat Tabel 40). Saat ini program pembinaan sudah dilaksanakan

tetapi lebih banyak ditujukan kepada lelaki, sedangkan perempuan jarang

dilibatkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan reformulasi program-program agar

lebih responsif gender sehingga SDM perempuan pesisir dapat meningkat dan

kesejahteraan keluarga pun dapat meningkat, karena potensi semua anggota

keluarga, lelaki dan perempuan, termanfaatkan dengan optimal.

Tabel 40 Rekapitulasi urutan program terpenting dalam pelaksanaan pembangunan perikanan pantai yang responsif gender menurut pelaku di Kabupaten Subang

Urutan program yang terpenting

Program terpenting menurut pelaku Pemda KUD Mina Nelayan

Prioritas 1 Pembinaan Pembinaan Pembinaan Prioritas 2 Pendidikan Partisipasi Pendidikan Prioritas 3 Partisipasi Teknologi Akses Prioritas 4 Teknologi Pendidikan Teknologi Prioritas 5 Akses Akses Partisipasi

136

5.5 Pembahasan Umum

Guna mendukung pembangunan perikanan pantai yang responsif gender,

Dislutkan tidak harus bekerja sendiri tetapi perlu bekerjasama dengan sektor

lainnya, antar-sektoral. Kerjasama antar sektoral tersebut dapat terjalin antara

dinas teknis (Dislutkan) dengan instansi yang terkait dengan pemberdayaan

masyarakat yaitu BPMD (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa) Kabupaten

Subang yang menjadi koordinator Forkom Gender yang melaksanakan program

pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender, dan Dinas Pendidikan

Kabupaten Subang yang terkait dengan pengembangan SDM masyarakat. KUD

Mina yang mengelola TPI pun perlu dilibatkan dalam pelaksanaan program

karena KUD Mina juga memperoleh keuntungan dari jerih payah nelayan.

Disamping itu, KUD dapat mengembangkan usaha baru dari pemasaran produk

baru dari nelayan dan pengolah ikan, tidak seperti saat ini yang hanya

mengandalkan pelelangan ikan basah. Kerjasama terintegrasi ini diharapkan akan

dapat memberikan hasil yang tepat sasaran (efektif) dan menekan biaya (efisien),

karena program pengembangan SDM khususnya kepada masyarakat nelayan

berkaitan pada upaya mengubah pola pikir dan perilaku yang membutuhkan usaha

jangka panjang dan bersinambung. Hal ini sesuai dengan pernyataan FAO (2005)

dan Perpres No. 7 Tahun 2005 bahwa perencanaan dan proses kebijakan

terintegrasi antar sektoral akan berpengaruh untuk meningkatkan profil perikanan

skala kecil dalam arena kebijakan. Selama ini perikanan skala kecil sering

ditinggalkan dari mekanisme perencanaan nasional dan proses pengambilan

keputusan yang mengakibatkan perikanan skala kecil diabaikan dalam

pembangunan perdesaan atau program pengentasan kemiskinan.

Menurut Charles (2001), empat aspek pembangunan perikanan yang

berkelanjutan meliputi aspek sosio-ekonomi, komunitas, kelembagaan dan

ekologi. Tinjauan kesetaraan gender dalam pembangunan perikanan pantai juga

terkait dengan aspek pembangunan perikanan berkelanjutan menurut Charles,

namun karena aspek ekologi tidak terkait secara langsung dengan isu gender,

maka dalam penelitian ini tidak dilakukan analisis ekologi. Analisis gender terkait

langsung dengan aspek sosio-ekonomi, komunitas dan kelembagaan, sedangkan

137

dalam bahasan dalam aspek ekologi dikaitkan dengan perilaku nelayan sebagai

pemangku kepentingan dalam kegiatan perikanan pantai.

Masyarakat nelayan mengandalkan sumberdaya ikan sebagai sumber

matapencahariannya, oleh karena itu kelestarian sumberdaya ikan menjadi sangat

penting. Nelayan lokal melaut di wilayah pesisir utara Subang dan kadangkala

hingga ke pesisir Kabupaten Karawang, dengan waktu melaut satu hari masih

dapat menangkap ikan. Untuk saat ini kondisi ekologi setempat masih

memungkinkan untuk habitat ikan, tetapi penggunaan jaring arad yang merusak

lingkungan oleh nelayan lokal, cepat atau lambat, akan menghancurkan ekosistem

laut, yang berarti aspek ekologi yang berkelanjutan pun akan terancam. Untuk

menjamin aspek ekologi berkelanjutan maka program pemerintah berupa

penggantian jaring arad dengan jaring yang tidak merusak lingkungan laut (ramah

lingkungan) seperti jaring rampus modifikasi seyogyanya dilanjutkan dengan

berbagai kemudahan bagi nelayan kecil untuk memperolehnya, sesuai kebutuhan

untuk melaut. Sosialisasi tentang kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh

penggunaan jaring arad sudah pernah dilakukan kepada nelayan, tetapi kesulitan

memperoleh jaring pengganti menyebabkan jaring arad masih tetap digunakan

oleh para nelayan. Kesulitan memperoleh jaring yang ramah lingkungan dapat

dilakukan melalui pelatihan pembuatan jaring. Pelatihan ini ditujukan kepada

nelayan dan perempuan nelayan. Pada umumnya perempuan nelayan banyak

membantu suaminya untuk memperbaiki jaring yang rusak dan membuat jaring

baru. Pelatihan ini dapat menjadi salah satu upaya pengembangan SDM dan

perekonomian bagi keluarga nelayan. Keluarga nelayan yang mampu membuat

jaring yang ramah lingkungan, selain untuk memenuhi kebutuhan sendiri juga

dapat menjualnya. Dengan demikian, dapat menjadi sumber pendapatan baru bagi

keluarga nelayan.

Kaum perempuan yang memasarkan ikan mengetahui tentang mutu ikan

yang diminta oleh pasar serta harga jualnya. Melalui pengetahuan akan mutu ikan

ini, kaum perempuan akan mengingatkan kaum lelaki untuk menangkap ikan

secara selektif yaitu yang sesuai dengan permintaan pasar. Dengan demikian,

nelayan akan berhati-hati dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan, termasuk

dalam hal penggunaan jenis jaring ikan, mengingat hasil tangkapan ikan dengan

138

jaring ikan umumnya adalah ikan dengan mutu rendah yang dihargai rendah juga

oleh pasar. Aspek ekologi juga terkait dengan aspek sosio-ekonomi, khususnya

dalam hal penggunaan alat tangkap. Perempuan yang beran sebagai penjual ikan

merupakan pengambil keputusan dalam hal produksi dengan menentukan jenis

dan mutu ikan yang akan dijual.

Ancaman terhadap perairan laut juga datang dari pencemaran air akibat

pembuangan limbah. Pada umumnya masyarakat membuang sampah padat dan

limbah cair baik dari perumahan atau usaha perikanan ke sungai. Limbah ini dapat

merusak habitat ikan, khususnya yang terletak di dekat pantai. Sampai saat ini

belum ada tindakan untuk mengurangi pembuangan limbah ke perairan umum.

Dengan demikian, perlu ada pembinaan kepada masyarakat baik lelaki dan

perempuan tentang bahaya membuang limbah ke perairan lingkungan laut yang

dapat mengakibatkan rusaknya habitat ikan karena akan mengganggu stok ikan

yang hidup di perairan sekitar pantai dan akhirnya akan merugikan kaum nelayan

sendiri. Pembinaan kepada masyarakat baik lelaki dan perempuan tentang

lingkungan hidup diharapkan akan menumbuhkan kesadaran mereka terhadap

pemeliharaan lingkungan hidup dan mampu meningkatkan partisipasi dalam

bertindak dan mempertahankan ekologi agar berkelanjutan, karena mereka sendiri

yang akan terkena dampak. Pembinaan ini merupakan suatu upaya pendidikan

lingkungan hidup (PLH) kepada komunitas pesisir dan nelayan. Upaya pendidikan

lingkungan lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan Kerangka Kerja

Komunikasi, Informasi dan Edukasi atau KIE (lihat Subbab 2.3) disertai

sosialisasi kesetaraan gender. Dengan demikian, keterlibatan pemangku

kepentingan dalam pembangunan perikanan pantai secara nyata ditujukan kepada

komunitas pesisir, lelaki dan perempuan. Sikap dan perilaku komunitas pesisir

tidak akan dapat berubah tanpa adanya pembinaan dari pemerintah sebagai pihak

pengambil keputusan dan pemegang otoritas pengelolaan kelautan dan perikanan.

Hal ini memperkuat pernyataan OECD (1996) bahwa melalui intervensi

pembangunan maka posisi perempuan dapat diperkuat dan dapat membawa

kemajuan pembangunan yang lebih berkesetaraan dan pada gilirannya

mempertinggi harapan untuk menyuarakan pengelolaan lingkungan yang

berkelanjutan.

139

Ditinjau dari aspek sosio-ekonomi, bidang perikanan laut di Kabupaten

Subang cukup baik, 50 persen dari produksi perikanan pada tahun 2005 adalah

hasil penangkapan di laut. Pada tahun 2005 penyerapan tenaga kerja di bidang

penangkapan laut meningkat 0,5 persen dibanding tahun 2004, sedangkan

penyerapan tenaga kerja bidang pengolahan hasil perikanan pada tahun 2005

meningkat 5 persen dibanding tahun 2004 (lihat Subbab 4.2). Kaum nelayan

jarang yang beralih profesi dan meninggalkan pekerjaan sebagai nelayan. Jika ada

yang beralih profesi, lingkup pekerjaan barunya tidak jauh dari usaha perikanan

laut, seperti pedagang atau pengolah ikan. Dengan demikian, melihat

ketergantungan ini maka program pembangunan perikanan pantai seyogyanya

memperhatikan kesejahteraan pelaku perikanan.

Di lokasi penelitian tampak banyak orang yang mengandalkan hidup pada

kegiatan perikanan. Secara individual, nelayan lokal masih hidup secara subsisten.

Pendapatan sehari-hari mereka hanya cukup untuk makan. Untuk menambah

pendapatan keluarga, banyak perempuan nelayan yang menjadi buruh pengolahan

ikan. Pelatihan kepada perempuan nelayan dapat membantu meningkatkan SDM

mereka; pembinaan tersebut harus ada pendampingan baik oleh aparat Pemda atau

lembaga lain seperti KUD Mina, agar tujuan pembinaan tercapai. Pelatihan

tentang pengolahan ikan yang dapat dibarengi dengan pelatihan kewirausahaan.

Keterampilan yang diperoleh lewat pembinaan akan membuka kemungkinan bagi

mereka untuk dapat mengolah hasil tangkapan ikan suami sehingga hasil produksi

ikan yang dijual sudah mempunyai nilai tambah. Tujuan dari pengembangan

kewirausahaan adalah meningkatkan kesejahteraan keluarga nelayan yang

mungkin dapat menurunkan tekanan terhadap stok ikan dan mencegah kerusakan

lingkungan alam karena mereka sudah menyeleksi jenis ikan yang diperlukan

untuk diolah yang berarti mereka harus menggunakan alat tangkap yang tertentu

ukurannya dan yang dapat berarti alat tangkap ramah lingkungan. Namun kendala

yang mungkin dihadapi oleh pelaksana program adalah masyarakat pesisir

umumnya berorientasi “hari ini” yaitu mereka cukup puas dengan hasil yang

diperoleh hari ini dan tidak terlalu memikirkan hari esok. Oleh karena itu,

pembinaan tersebut perlu disertai oleh pendampingan karena pelaksanaannya

memerlukan waktu yang cukup lama dan bersinambung. Peran KUD Mina pun

140

menjadi penting, karena mereka harus mengembangkan usaha baru untuk menjual

hasil olahan ikan, tidak sekedar melelang ikan basah. SDM dari pengurus dan

pegawai KUD Mina pun perlu ditingkatkan untuk keperluan pengembangan usaha

baru ini agar KUD pun dapat memetik keuntungan dari diversifikasi usaha

mereka. Hal ini memperkuat pendapat Kusumastanto (2003) yang mengemukakan

bahwa di Indonesia sulit ditemukan koperasi yang sudah beroperasi pada

peningkatan mutu produk, pengolahan hasil, dan pemasaran.

Aspek komunitas ini terkait dengan aspek sosio-ekonomi, karena pelaku

kegiatan perikanan merupakan perseorangan yang menjadi anggota dari suatu

komunitas. Jika nelayan masih dapat hidup dari hasil menangkap ikan di laut

maka keberadaan komunitas nelayan pun akan tetap ada. Kegiatan perikanan laut

di lokasi penelitian tertolong dengan adanya nelayan pendatang dengan armada

perahu yang lebih moderen sehingga dapat menangkap ikan di wilayah yang jauh

dari pantai dan jauh dari wilayah Kabupaten Subang. Namun demikian, perlu

adanya inovasi usaha dan pengembangan teknologi tepat-guna di bidang

perikanan laut dan pantai agar nelayan lokal yang banyak menganggur di musim

paceklik ikan masih dapat menghidupi keluarganya, disamping itu waktu luang

tersebut dapat dimanfaatkan untuk penyelenggaraan acara pembinaan kepada

masyarakat, lelaki dan perempuan.

Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan perikanan yang berkelanjutan,

pembinaan kepada masyarakat pesisir bertujuan untuk meningkatkan partisipasi

mereka dalam melestarikan lingkungan karena kehidupan mereka banyak

tergantung pada sumberdaya ikan. Pembinaan kepada masyarakat harus

memperhatikan tiga unsur dalam pendidikan yaitu peningkatan pengetahuan

(kognitif), pengubahan sikap ke arah yang positif (afektif) dan pengubahan

perilaku ke arah yang lebih baik. Pembinaan masyarakat ini memerlukan waktu

yang cukup panjang dan perlu dilaksanakan secara berkesinambungan. Oleh

karena itu, pelibatan lintas instansi secara terkoordinasi lebih memungkinkan

untuk mencapai tujuan yang diinginkan yaitu perubahan perilaku masyarakat

pesisir. Pembinaan dan pengembangan SDM masyarakat pesisir, lelaki dan

perempuan sebagai pemangku kepentingan, dapat menggunakan upaya KIE atau

komunikasi, informasi dan edukasi.

141

Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pembinaan kepada masyarakat

nelayan dan pesisir, lelaki-perempuan, adalah sulitnya memotivasi mereka untuk

bersedia hadir sebagai peserta pembinaan. Masyarakat perlu dimotivasi bahwa

tujuan kegiatan pembinaan adalah untuk pengembangan diri mereka. Selama ini

ini masyarakat setempat banyak memperhitungkan keuntungan apa yang akan

diperoleh jika hadir dalam acara pembinaan dibanding dengan perolehan

pekerjaan mereka sebagai bakul atau pengolah ikan yang sehari-hari mereka

lakukan dan keuntungan tersebut langsung diperoleh atau tidak. Oleh karena itu,

penyelenggaraan pembinaan kepada masyarakat nelayan sebaiknya dilakukan

pada saat paceklik dimana mereka banyak menganggur sehingga mereka bersedia

hadir pada acara pembinaan tersebut. Selain itu, pembinaan kepada kaum

perempuan sebaiknya diselenggarakan tidak jauh dari tempat tinggal mereka,

karena umumnya para suami melarang istri mereka pergi jauh meninggalkan

keluarga dan rumah.

Media lain untuk pembinaan adalah melalui kegiatan keagamaan. Ketaatan

masyarakat dalam menjalankan perintah agama membuat mereka rajin menghadiri

pengajian atau majelis taklim setiap minggu. Untuk memotivasi masyarakat untuk

meningkatkan kemampuan diri sendiri, ustadz (guru lelaki) atau ustadzah (guru

perempuan) dapat berperan dalam penyampaian informasi atau pengetahuan

(knowledge) baru kepada masyarakat sehingga menimbulkan kesadaran atau sikap

(attitude) baru yang diharapkan dapat mengubah perilaku mereka yang

berorientasi hari ini menjadi berorientasi ke masa depan. Interaksi yang intensif

antara guru agama dengan muridnya melalui upaya KIE diharapkan akan dapat

memotivasi masyarakat untuk mengembangkan SDM mereka sendiri. Temuan ini

memperkuat hasil penelitian Prawoto (2001) yang menyatakan bahwa salah satu

motivator di perdesaan adalah ulama atau pemuka agama.

Usaha untuk meningkatkan pengembangan diri masyarakat, khususnya usia

dewasa, juga dapat dimulai dengan upaya KIE. Upaya KIE ini bertujuan untuk

menyadarkan mereka akan pentingnya pendidikan bagi pengembangan SDM,

sehingga mereka bersedia untuk mengikuti paket Kejar dan upaya pembinaan

lainnya serta dapat mendorong atau memotivasi anak-anak mereka untuk

melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi.

142

Ditinjau dari aspek kelembagaan, pengelolaan perikanan pantai di

Kabupaten Subang berada dalam kewewenangan Dinas Kelautan dan Perikanan

(Dislutkan). Oleh karena perempuan nelayan berperan aktif dalam kegiatan

perikanan laut dan pantai maka diperlukan reformulasi program dan kegiatan

Dislutkan agar lebih responsif gender.

Dalam rangka pembinaan kepada masyarakat, Dislutkan perlu

meningkatkan kemampuan SDM tenaga penyuluh kelautan dan perikanan baik

dari segi kualitas dan kuantitas (lihat Subbab 4.3.3), disamping itu petugas

lapangan pun perlu dipilah berdasarkan gender. Berhubung masyarakat pesisir

umumnya taat beragama maka akan lebih baik jika pengajar dari acara pembinaan

berjenis kelamin yang sama dengan peserta didiknya sehingga interaksi antara

pengajar dan peserta akan berlangsung dalam kondisi yang lebih kondusif atau

lebih santai dan terbuka.

Kerjasama antar-sektoral, seperti BPMD dan Dinas Pendidikan serta

lembaga lain seperti KUD Mina dan perguruan tinggi diperlukan untuk tujuan

pengembangan SDM masyarakat pesisir. Kerjasama ini disesuaikan dengan

kebutuhan di lapangan, sehingga dalam pelaksanaannya program dapat berjalan

efektif dan efisien. Kerjasama dengan BPMD dan Dinas Pendidikan banyak

terkait dengan upaya peningkatan pengetahuan, sehingga masyarakat termotivasi

untuk maju dan mensejahterakan diri. Dalam hal pengembangan teknologi

perikanan laut dan pantai berbasis lokal, Dislutkan dapat bekerjasama dengan

perguruan tinggi untuk mencari inovasi baru yang sesuai dengan kondisi

setempat, sehingga masyarakat bersedia ikut berpartisipasi melaksanakannya,

karena bermanfaat bagi mereka.

Partisipasi masyarakat nelayan, lelaki dan perempuan, dalam proses

pengambilan keputusan perlu ditingkatkan. Peningkatan tersebut dapat dilakukan

melalui pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan

program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. Dengan demikian,

program disusun berdasarkan kesepakatan antara kebijakan pengambil keputusan

yaitu pemerintah dan kebutuhan masyarakat pelaku lelaki dan perempuan,

sehingga masyarakat pun bersedia untuk berpartisipasi sehingga tujuan program

tercapai.

143

Dalam hal kelembagaan, KUD Mina juga memegang peranan penting dalam

membantu pelaksanaan program pemerintah yang terkait dengan pemberdayaan

masyarakat. KUD Mina di lokasi penelitian sampai saat ini baru menyediakan jasa

pelelangan ikan hasil tangkapan laut dan simpan pinjam uang untuk anggota.

Memang tidak dipungkiri bahwa keberadaan KUD Mina telah menghidupkan

kegiatan ekonomi di lokasi penelitian, sehingga pasokan ikan untuk dilelang di

TPI dapat berlangsung terus tanpa musim, karena ikan laut yang dilelang berasal

dari berbagai wilayah, termasuk dari luar wilayah Kabupaten Subang. KUD Mina

perlu melakukan pengembangan usaha untuk memajukan nelayan lokal agar lebih

sejahtera seperti pemasaran hasil olahan ikan produksi nelayan lokal.

Masalah yang umum dihadapi oleh nelayan kecil adalah modal kerja.

Keperluan memperoleh modal kerja bagi nelayan belum dapat dipenuhi

seluruhnya oleh KUD Mina. KUD Mina hanya dapat memberikan pinjaman dana

berdasarkan kemampuan nelayan memperoleh ikan yang dapat mereka jual ke

TPI. Oleh karena itu, di Desa Muara masih dapat dijumpai Bakul Ikan yang

memberi pinjaman uang dan fasilitas kepada nelayan dengan kompensasinya

adalah nelayan menjual ikan kepada Bakul Ikan tersebut. Di lokasi penelitian

sudah ada Bank Rakyat Indonesia (BRI), tetapi nelayan kecil tidak mampu

menyediakan agunan untuk permohonan kredit, sehingga jarang nelayan kecil

menjadi nasabah BRI. Selain itu, proses peminjaman yang memerlukan waktu

lama membuat nelayan terhambat untuk berangkat melaut karena tidak ada modal

kerja. Kekurangan modal kerja ini dapat mempengaruhi kinerja nelayan untuk

berangkat melaut.

Salah satu lembaga yang mungkin dapat memberi bantuan modal kerja

adalah lembaga keuangan mikro dan belum ada di lokasi penelitian. Salah satu

bentuk lembaga keuangan mikro adalah Baitul Maal wat Tamwil (BMT) yang

membantu nelayan kecil melalui program qardhul hasan (pinjaman tanpa bunga).

Disamping itu, BMT merupakan lembaga keuangan yang menggunakan prinsip

Islam, agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat setempat, dengan demikian

pemuka dan guru agama lokal dapat membantu terlibat dalam sosialisasi tentang

BMT kepada masyarakat. Kendala yang dihadapi oleh lembaga keuangan

umumnya adalah kredit macet, karena peminjam tidak dapat atau tidak mau

144

membayar hutangnya, padahal saat panen nelayan mendapat uang banyak, tetapi

kadangkala habis untuk berfoya-foya atau konsumerisme. Selain itu, perlu

penanaman prinsip keharusan untuk membayar hutang yang dipinjam kepada

nelayan atau kaum lelaki di pesisir melalui ajaran agama sebagai suatu prinsip

hidup. Selama ini yang cenderung rajin membayar hutang adalah kaum

perempuan, tetapi mereka enggan untuk mengambil kredit karena kuatir tidak

dapat membayar hutang tersebut. Oleh karena itu, KUD Mina dan Bakul Ikan

menetapkan kebijakan penjualan ikan sebagai kompensasi pemotongan hutang

dari nelayan, agar tidak terjadi kredit macet yang dapat merugikan KUD dan

Bakul Ikan.

Rekapitulasi dari kegiatan dari program untuk pembangunan perikanan

pantai yang responsif gender yang dikaitkan dengan aspek pembangunan

perikanan berkelanjutan dapat dilihat pada Tabel 41.

145

Tabel 41 Rekapitulasi alternatif program dan kegiatan pembangunan perikanan pantai yang responsif gender berdasarkan aspek pembangunan perikanan berkelanjutan di Kabupaten Subang

Aspek pembangunan perikanan yang berkelanjutan

Program dan kegiatan pembangunan perikanan pantai yang responsif gender

Ekologi Pembinaan kepada lelaki dan perempuan: sosialisasi tentang jaring yang merusak lingkungan, sosialisasi tentang pencemaran lingkungan, pelatihan pembuatan jaring yang ramah lingkungan.

Sosio-ekonomi

Pembinaan kepada lelaki dan perempuan: pelatihan tentang pengolahan ikan, pelatihan kewirausahaan Pengembangan teknologi yang tepat guna berbasis lokal bagi pengguna lelaki dan perempuan, termasuk budidaya pantai, pengolahan ikan. Pengembangan akses usaha atau bisnis bagi lelaki dan perempuan, termasuk kemudahan memperoleh modal kerja, pemasaran jaring ramah lingkungan buatan masyarakat lokal.

Komunitas Pembinaan kepada lelaki dan perempuan tentang motivasi diri atau pengembangan diri Peningkatan pendidikan kepada lelaki dan perempuan, seperti paket Kelompok Belajar (Kejar) A, B dan C Pengembangan teknologi yang tepat guna berbasis lokal bagi pengguna lelaki dan perempuan Pengembangan akses usaha atau bisnis bagi lelaki dan perempuan.

Kelembagaan Pembinaan kepada SDM Dislutkan dan KUD Mina, lelaki dan perempuan tentang pengarusutamaan gender Peningkatan partisipasi dalam pengambilan keputusan bagi lelaki dan perempuan Pengembangan teknologi yang tepat guna berbasis lokal bagi pengguna lelaki dan perempuan. Kerjasama Dislutkan dengan perguruan tinggi Pengembangan akses usaha bagi lelaki dan perempuan seperti pendirian lembaga keuangan mikro, pengembangan pemasaran dari KUD Mina dalam bentuk hasil olahan ikan.

6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Tujuan pertama dari penelitian ini adalah menganalisis pelaksanaan program

pembangunan kelautan dan perikanan pada saat ini apakah sudah responsif gender

atau belum. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan dan program

pembangunan kelautan dan perikanan di Kabupaten Subang belum responsif

gender. Kesenjangan gender yang terjadi adalah karena pengabaian pentingnya

kontribusi peran perempuan pada tahap pra- dan pasca penangkapan ikan seperti

persiapan perbekalan, penyortiran dan penjualan ikan dimana pada tahap-tahap

tersebut peran perempuan menonjol. Dalam hal pengelolaan keuangan, kontrol

perempuan lebih besar daripada lelaki, hal ini disebabkan oleh stereotipi dalam

komunitas setempat bahwa perempuan itu pelit dan pintar mengatur keuangan,

sebaliknya lelaki itu boros dan tak dapat mengatur keuangan. Hal ini

menunjukkan bahwa isu gender yang mengemuka adalah adanya bias gender

dalam proses pencatatan peran produktif di kalangan komunitas nelayan dan

dalam partisipasi masyarakat pada proses pengambilan keputusan yang tidak

dilakukan berdasar data terpilah menurut jenis kelamin.

Kaum perempuan menanggung beban lebih banyak dibandingkan dengan

kaum lelaki dalam rumahtangga di lokasi penelitian. Hal tersebut tampak dari

banyaknya tugas dan alokasi waktu yang harus disediakan kaum perempuan untuk

mengerjakan kegiatan dalam lingkup rumahtangga, kegiatan produktif dan

kegiatan kemasyarakatan. Namun dari segi pengambilan keputusan, suami

merupakan pengambil keputusan yang dominan dalam urusan pekerjaan produktif

dan kemasyarakatan yang bersifat politik, sedangkan istri lebih dominan sebagai

pengambil keputusan dalam urusan rumahtangga, termasuk mengelola keuangan.

Kebutuhan gender pada komunitas perikanan laut dan pantai saat ini masih

ditekankan pada kebutuhan praktis gender (KPG) yaitu memperbaiki kondisi

perempuan.

Secara keseluruhan, perempuan terabaikan dari proses pembangunan

karena: (1) kebijakan pembangunan tidak diperuntukkan bagi kaum perempuan.

Kaum lelaki dianggap sebagai kepala rumahtangga dan berhak untuk jadi wakil

147

dalam komunitas; dan (2) menanggung beban ganda. Perempuan melakukan

pekerjaan domestik dan sekaligus mencari nafkah.

Tujuan kedua dari penelitian ini adalah menganalisis sikap masyarakat

pesisir terhadap kesetaraan gender dalam kegiatan perikanan pantai. Hasil uji

korelasi antara sikap dengan pendidikan formal, pekerjaan, status pekerja dan

pendapatan menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan. Hal ini dapat

terjadi akibat mutu sumberdaya manusia (SDM) lelaki dan perempuan komunitas

pesisir yang relatif rendah (umumnya berpendidikan akhir sekolah dasar),

pekerjaan yang tergantung pada sumber yang sama yaitu perikanan laut dimana

adanya pasokan tergantung musim menyebabkan adanya kesamaan sikap terhadap

kesetaraan gender dalam kegiatan perikanan pantai. Hal-hal yang diduga dapat

memberi pengaruh terbentuknya sikap responden terhadap kesetaraan gender

dalam perikanan pantai adalah: (1) faktor budaya yang menekankan status suami

yang lebih tinggi dari istri dan harus dipatuhi oleh istri. Hal ini tersosialisasikan

melalui peran gender, dengan cara pendidikan informal dalam keluarga. Individu

meniru perilaku orangtua mereka dalam pembagian tugas di lingkup keluarga dan

rumahtangga. Sikap tidak setuju dari responden banyak dilatarbelakangi oleh

faktor budaya ini; dan (2) faktor ekonomi berupa ada-tidaknya peluang kerja bagi

lelaki dan perempuan. Semakin banyak tersedianya peluang kerja bagi lelaki dan

perempuan maka sikap individu cenderung setuju terhadap kesetaraan gender

dalam perikanan pantai. Sikap setuju dari responden banyak dilatarbelakangi oleh

faktor ekonomi ini.

Tujuan ketiga dari penelitian ini adalah menyusun alternatif program

pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. Kondisi pembangunan

perikanan pantai Kabupaten Subang saat ini ada pada posisi Strengths-

Opportunies, pada kondisi ini sudah dapat dikembangkan program pembangunan

perikanan pantai yang berbasis kesetaraan gender. Pelaku pembangunan perikanan

pantai yang berperan penting dalam melaksanakan pembangunan yang berbasis

kesetaraan gender adalah Pemda, disusul nelayan kemudian KUD Mina.

Pelaksana program pembangunan yaitu Pemda dan KUD Mina. Pemda

menekankan pentingya kebijakan yang berbasis kesetaraan gender untuk

ditetapkan dahulu; sebaliknya, KUD Mina menekankan pentingnya ketersediaan

148

SDM karena umumnya pelaksanaan program bertempat di lingkup KUD Mina

maka SDM pelaksana menjadi penting. Semua pelaku (aparat Pemda, pengurus

KUD Mina dan nelayan) memilih mengutamakan program yang terkait

pengembangan SDM masyarakat setempat yaitu: (1) program pembinaan kepada

masyarakat lelaki dan perempuan untuk dilakukan terlebih dahulu; kemudian

dilanjutkan dengan (2) program peningkatan pendidikan masyarakat lelaki dan

perempuan.

6.2 Saran

Dari hasil penelitian ini, disarankan kepada Dislutkan untuk melaksanakan

pengarusutamaan gender dalam pembangunan perikanan sebagaimana

diamanatkan oleh Perpres No. 7 Tahun 2005 tentang RPJMN, yaitu pembangunan

yang memperhatikan kesetaraan gender dan pembangunan yang berkelanjutan.

Langkah PUG tersebut mengikuti arahan dalam Kepmendagri No. 132 Tahun

2003 tentang Pelaksanaan PUG Di Daerah mengingat pemangku kepentingan di

bidang perikanan dan kelautan tidak saja lelaki tetapi juga perempuan yang

keduanya merupakan sumberdaya untuk pembangunan perikanan dan kelautan di

Kabupaten Subang yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

dan pemanfaatan SDI yang berkelanjutan.

Agar pembangunan perikanan pantai yang responsif gender dapat segera

terwujudkan, Dislutkan bekerjasama dengan BPMD Kabupaten Subang untuk

melakukan sosialisasi, penyuluhan, advokasi, pendidikan dan pelatihan tentang

PUG kepada seluruh pegawai Dislutkan, pengurus KUD dan komunitas

perikanan. Luaran (output) yang diharapkan adalah komunitas perikanan laut baik

lelaki dan perempuan dapat segera terlibat dalam proses pembangunan, mulai dari

perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Dengan demikian, tujuan

pembangunan perikanan pantai yang berkelanjutan dapat tercapai.

Untuk meningkatkan motivasi komunitas pesisir mengenai pentingnya

pengembangan diri melalui pendidikan dan partisipasi dalam pengambilan

keputusan baik kepada lelaki dan perempuan, disarankan melalui upaya

komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Peningkatan motivasi tersebut dapat

melibatkan guru agama setempat, mengingat komunitas pesisir masih rajin terlibat

149

dalam pengajian atau majelis taklim. Instansi Pemda perlu melakukan pembinaan

terlebih dahulu kepada para guru agama.

Disarankan adanya penelitian lebih lanjut tentang pengembangan teknologi

tepat guna berbasis lokal bagi lelaki dan perempuan, serta tentang pengembangan

akses usaha bagi lelaki dan perempuan mengingat komunitas nelayan sangat

tergantung pada musim panen atau paceklik ikan, sehingga mereka memerlukan

alternatif pekerjaan di saat paceklik dan tingkat kesejahteraan mereka umumnya

masih rendah. Penelitian tersebut terkait dengan aspek sosio-ekonomi dan

komunitas dari pembangunan perikanan pantai yang berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. 1994. Sosiologi. Skematika, Teori dan Terapan. Pnerbit Bumi Aksara. Jakarta.

Aguilar, L. and I. Castaneda. 2001. About Fishermen, Fisherwomen, Oceans And Tides: A Gender Perspective In Marine-Coastal Zone. IUCN. San Jose.

Anonim. 2003. Perempuan, Kemiskinan dan Pengambilan Keputusan. Jurnal Analisis Sosial. 8(2):v-xi.

Arfiati, D., P. Purwanti dan A. Tumulyadi. 2001. Peranan Istri Nelayan Dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Rumahtangga Nelayan Di Pedesaan Pantai Pondokdadap Malang Selatan. Jurnal Ilmu-ilmu Sosial (Social Sciences). 13(2):201-210.

Azwar, S. 1988. Sikap Manusia. Teori Dan Pengukurannya. Liberty. Yogyakarta.

Azwar, S. 2003. Penyusunan Skala Psikologi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Bainar dan A. Halik (Eds). 1999. Jagat Wanita Dalam Pandangan Para Tokoh Dunia. Pustaka Cidesindo. Jakarta.

[Bapeda Subang] Badan Perencanaan Daerah Subang. 2005. Analisis Indikator Gender Kabupaten Subang Tahun 2004. Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Subang. Subang.

[Bapeda Subang] Badan Perencanaan Daerah Subang. 2006. Pengarusutamaan Gender Dalam Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Subang Tahun 2005. Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Subang. Subang.

Bemmelen, S.van. 1995. Jender dan Pembangunan: Apakah Yang Baru? Di dalam Kajian Wanita Dalam Pembangunan. T.O. Ihromi (Ed). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hlm 175-226.

Bhasin, K dan N.S. Khan. 1995. Persoalan Pokok Mengenai Feminisme Dan Relevansinya. PT Gramedia Pustaka Utama-Kalyanamitra. Jakarta.

[BPLHD Jabar dan ITB] Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat dan Institut Teknologi Bandung. 2001. Atlas Pesisir Dan Laut Jawa Barat Bagian Utara. Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat dan Lembaga Penelitian Institut Teknologi Bandung. Bandung.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2003. Profil Wanita Indonesia. Profile of Indonesian Women 2002. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Indonesia 2005/2006. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

[BPS, Bappenas, and UNDP] BPS-Statistics Indonesia, Bappenas, and UNDP. 2004. Indonesia Human Development Report 2004. The Economics of Democracy. Financing Human Development in Indonesia. BPS, Bappenas and UNDP. Jakarta.

151

[BPS dan Bapeda Subang] Badan Pusat Statistik dan Bappeda Kabupaten Subang. 2005. Kecamatan Blanakan Dalam Angka Tahun 2004. Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Subang. Subang.

[BPS Subang] Badan Pusat Statistik. 2005. Profil Kabupaten Subang Tahun 2004. Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang. Subang.

[BPS Subang] Badan Pusat Statistik. 2006. Kabupaten Subang Dalam Angka Tahun 2005. Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang. Subang.

Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery System. Blackwell Science. Oxford.

Cicin-Sain, B. and R.W. Knecht. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management. Concept and Practices. Island Press. Washington D.C.

Dahuri, R., J. Rais., S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

[DENR, DA-BFAR, and DILG] Department of Environment and Natural Resources, Bureau of Fisheries and Aquatic Resources of the Department of Agriculture, and Department of the Interior and Local Government. 2001. Philippine Coastal Management Guidebook Series No. 4: Involving Communities In Coastal Management. Coastal Resource Management Project of the Department of Environment and Natural Resources. Cebu City.

[Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 2003. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Di Daerah.

[Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 2004. Perempuan Bukan Lagi Konco Wingking. http://www.depdagri.go.id dikunjungi 19 Mei 2005

[Depdagri dan BCEOM] Departemen Dalam Negeri dan BCEOM. 1998. Pedoman Perencanaan Dan Pengelolaan Zona Pesisir Terpadu. Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri dan BCEOM French Consulting Group. Jakarta.

[Dislutkan] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. 2004. Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun 2005-2009. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. Subang.

[Dislutkan] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. 2006. Evaluasi Program Pembangunan Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang Tahun 2005. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. Subang.

[Dislutkan dan IPB] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang dan Institut Pertanian Bogor. 2003. Pemetaan Potensi Kelautan dan Perikanan (ATLAS) Kabupaten Subang Jawa Barat. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang dan Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Subang.

Djuwansah, M.R., E.M. Arsadi, T.P. Sastramihardja, R.M. Delinom dan D. Marganingrum (Eds). 2000. Dinamika Kawasan Pesisir Wilayah Tropis

152

Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bandung.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2001. Petunjuk Teknis Pemberdayaan Wanita Nelayan. Bagian Proyek Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2005a. Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan Pada Acara Gelar Informasi dan Refleksi Pelaksanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun 2004 di Jakarta, 5 Januari 2005. http://www.dkp.go.id dikunjungi 20 Maret 2005.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2005b. Kiprah Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. http://www.dkp.go.id dikunjungi 12 Maret 2005.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2005c. Kemiskinan Nelayan: Permasalahan dan Upaya Penanggulangan. http://www.dkp.go.id dikunjungi 26 Oktober 2005.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2006. Pengkayaan Stok (Stock Enhancement) dalam Mewujudkan Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab. http://www.dkp.go.id dikunjungi 9 Agustus 2007.

Dwi, A., S.D. Rochimah, dan PATTIRO Surakarta. 2002. Kebijakan Publik dan Partisipasi Perempuan. Seri Forum Warga. PATTIRO dan The Asia Foundation. Jakarta.

Effendi, S. dan C. Manning. 1989. Prinsip-prinsip Analisa Data. Di dalam Metode Penelitian Survai. M. Singarimbun dan S. Effendi (Eds). LP3ES. Jakarta. Hlm 263-298.

Faisal, S. 2003. Format-format Penelitian Sosial. Dasar-dasar dan Aplikasi. Ed. 1. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Fajar Sidik, KUD. 2005. Laporan Rapat Anggota Tahunan Tahun Buku 2005. KUD Mandiri Mina Fajar Sidik. Blanakan, Subang.

Fakih, M. 2004. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2005. Increasing the contribution of small-scale fisheries to poverty alleviation and food security. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries No. 10. FAO. Rome

Fauzi, A dan S. Anna. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Freedman, J.L., D.O. Sears and J.M. Carlsmith. 1978. Social Psychology. 3rd Ed. Prentice-Hall Inc. New Jersey.

Gerungan, W.A. 2004. Psikologi Sosial. Ed Ketiga. Refika Adtama. Bandung.

153

Hagul, P., C. Manning, dan M. Singarimbun. 1989. Penentuan Variabel Penelitian dan Hubungan Antar Variabel. Di dalam Metode Penelitian Survai. M. Singarimbun dan S. Effendi (Eds). LP3ES. Jakarta. Hlm 48-69.

Handayani, T. dan Sugiarti. 2002. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Universitas Muhammadyah Malang Press. Malang.

Hapke, H.M. 2001. Gender, Work, And Household Survival In South Indian Fishing Communities: A Preliminary Analysis. The Professional Geographer 53(3):313-331.

Hubeis, A.V.S. 1985. Women, Food, Health and Development. A Case Study of Cipari Village in West Java, Indonesia (Dissertation). IPB. Bogor.

Hubeis, A.V. 2001. Gender Analysis Pathway (GAP) in Policy Outlook and Action Planning In Co-operative and Small-Medium Enterprises. Bureau of Women Empowerment National Planning Board (Bappenas) RI with Expansion Employment Opportunity for Women (EEOW) Project –ILO. Jakarta.

Hubeis, A.V. 2004. Pemiskinan Masyarakat Sekitar Hutan. Makalah pada Sarasehan dan Kongres LEI Menuju CBO: Sertifikasi Di Simpang Jalan: Politik Perdagangan, Kelestarian dan Pemberantasan Kemiskinan. Jakarta, 19-22 Oktober.

Ihromi, T.O (Ed). 1995. Kajian Wanita Dalam Pembangunan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Ikhsan, M. 2003. Laporan Pengamatan Peran Dan Kondisi Perempuan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Di Pulau Jawa. The Indonesian Wildlife Fund. Jakarta.

Johansson, C. 2004. Human Development Indices. Human Development Report Office. United Nations Development Program. http://hdr.undp.org dikunjungi 25 April 2005.

Johnson, C. 2001. Community Formation And Fisheries Conservation In Southern Thailand. Development And Change. Vol 32 :951-974.

Kartasapoetra, G. dan L.J.B.Kreimers 1987. Sosiologi Umum. Penerbit PT. Bina Aksara. Jakarta.

Kay, R. and J. Alder. 1999. Coastal Planning and Management. E & FN Spon. London.

[KLH dan UNDP] Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia dan United Nations Development Program. 2000. Agenda 21 Sektoral Buku 1 Seri Panduan Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan. Membuat Pembangunan Berlanjut. Upaya Mencapai Kehidupan Yang Makin Berkualitas. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia dan United Nations Development Program. Jakarta.

Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Penerbit Aksara Baru. Jakarta.

154

Koentjaraningrat. 1989. Metode-metode Penelitian Masyarakat. PT. Gramedia. Jakarta.

[KPP] Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. 2002a. Menyisir Cakrawala Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. Jakarta.

[KPP] Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. 2002b. Apa Itu Gender. Bahan Informasi Pengarusutamaan Gender Buku 1. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. Jakarta.

[KPP] Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. 2002c. Bagaimana Mengatasi Kesenjangan Gender. Bahan Informasi Pengarusutamaan Gender Buku 2. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. Jakarta.

[KPP] Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. 2002d. Panduan Perencanaan Berperspektif Gender. Bahan Informasi Pengarusutamaan Gender Buku 3. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. Jakarta.

[KPP] Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. 2003. Bahan Pembelajaran Analisis Gender Dalam Rangka Penyusunan Kebijakan, Program, Proyek Dan Kebijakan Yang Responsif Gender. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. Jakarta.

Krisnawaty, T. 1993. Peluang Kerja Perempuan Miskin dan Strategi Survive. Di dalam Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Rijal, F., L. Margiyani dan A.F. Husein (Eds). PT. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta. Hlm 159-166

Kumar, K.G (Ed). 2004. Gender Agenda. Women in Fisheries: A Collection of Articles From Samudra Report. International Collective in Support of Fishworkers (ICSF). Chennai.

Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan. Kemiskinan Dan Perebutan Sumber Daya Perikanan. Lkis. Yogyakarta.

Kusnadi. 2004. Polemik Kemiskinan Nelayan. Pondok Edukasi dan Pokja Pembaruan. Bantul.

Kusumastanto, T. 2003. Ocean Policy Dalam Membangun Negeri Bahari Di Era Otonomi Daerah. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Lynn, P. 2002. Principles of Sampling. In Research Methods for Postgraduates. T. Greenfield (Ed). Arnold. New York.

Marimin, 2004. Teknik Dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. PT. Grasindo. Jakarta.

Masngudin, H.M.S. 1997. Kehidupan Wanita Dalam Rumahtangga Miskin Di Desa Pantai. Studi Kasus Kegiatan Sosial Ekonomi Istri Nelayan Di Desa Samudera Jaya, Bekasi (Tesis). UI. Jakarta

Mina Bahari, KUD. 2005. Laporan Rapat Anggota Tahunan Tahun Buku 2005. KUD Mandiri Mina Bahari. Muara, Subang

155

Moerpratomo, A.S. 1999. Pembangunan Yang Berwawasan Kemitrasejajaran. Di dalam Jagat Wanita dalam Pandangan Para Tokoh Dunia. Bainar dan A. Halik (Eds). Pustaka Cidesindo. Jakarta. Hlm 3-19.

Moleong, L.J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Moser, C.O.N. 1993. Gender Planning and Development. Theory, Practice and Trainining. Routledge. London.

Murdiyanto, B. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai. Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Nasution, S. 1982. Metode Research. Penerbit Jemmars. Bandung.

Nazir, M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.

[OECD] Organisation for Economic Co-operation and Development. 1996. Capacity Development in Environment. Principles in Practice. Organisation for Economic Co-operation and Development. Paris.

PEKKA. 2006. Laporan Perkembangan Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga Kecamatan Tanjungsiang Subang 2005. PEKKA. Jakarta

[PIPP] Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan. 2006. Pelabuhan Perikanan Pantai. http://www.pipp.dkp.go.id/pipp2/pelabuhan_list.html?offset=15&pgnum=2&kls=C dikunjungi 14 Agustus 2007

Pollnac, R., R. Pomeroy, L. Bunce., Erwiantono, R. Kinseng, T. Kodiran, Paryono, F. Kaligis, J. Polii, J. Rangan, E. Sitanggang and S. Sondakh. 2003. Factors Influencing The Sustainability of Integrated Coastal Management Project in Central Java and North Sulawesi, Indonesia. Jurnal Pesisir & Lautan. Special Edition (1):24-33.

Pomeroy, R.S. 1995. Community-based and Co-management Institutions for Sustainable Coastal Fisheries Management in Southeast Asia. Ocean and Coastal Management. 27(3):143-162.

Popenoe, D. 1989. Sociology. 7th Ed. Prentice Hall, Englewood Cliffs. New Jersey.

Prawoto, R.B. 2001. Proses Pembuatan Keputusan Pembangunan Desa (Studi kasus di Desa Randu Agung Kecamatan Singosari Kabupaten Malang). Jurnal Ilmu-ilmu Sosial (Social Sciences). 13(2):237-246.

Purwanti, P., E.Y Herawati dan A.R Dani. 2004. Curahan Waktu dan Produktivitas Kerja Wanita Nelayan Di Pedesaan Pantai Kabupaten Pasuruan. Jurnal Ilmu-ilmu Sosial (Social Sciences). 16(1):1-10.

Rangkuti, F. 1999. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

156

Resusun, D. 1985. Determinan-determinan Peranan Wanita Nelayan Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Rumahtangga. Studi Kasus Di Desa Haria, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku (Tesis). IPB. Bogor.

[RI] Republik Indonesia. 1990. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Lembaran Negara RI Tahun 1990, No. 49. Sekretariat Negara Republik Indonesia. Jakarta.

[RI] Republik Indonesia. 1997. Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara RI Tahun 1997, No. 68. Sekretariat Negara Republik Indonesia. Jakarta.

[RI] Republik Indonesia. 2000. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 9 Tahun 2000 tentang Pedoman Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional.

[RI] Republik Indonesia. 2004. Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Lembaran Negara RI Tahun 2004, No. 118. Sekretariat Negara Republik Indonesia. Jakarta.

[RI] Republik Indonesia. 2005. Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004 – 2009. Sekretariat Negara Republik Indonesia. Jakarta.

Rijal, F., L. Margiyani, dan A.F. Husein (Eds). 1993. Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. PT. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta

Ritzer, G. dan D.J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Edisi 6. Prenada Media. Jakarta.

Saaty, T.L. 1991. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Proses Hirarki Analitik Untuk Pengambilan Keputusan Dalam Situasi Yang Kompleks. Seri Manajemen No. 134. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.

Saaty, T.L.and L.G. Vargas. 1994. Decision Making in Economic, Political, Social and Technological Environments with the Analytic Hierarchy Process. The Analytic Hierarchy Process Series Volume VII. University of Pittsburgh. Pittsburgh.

Satria, A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Cidesindo. Jakarta.

Satria, A., A. Umbari, A. Fauzi, A. Purbayanto, E. Sutarto, I. Muchsin, I. Muflikhati, M. Karim, S. Saad, W. Oktariza dan Z. Imran. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. Cidesindo, Pusat Kajian Agraria Institut Pertanian Bogor dan Partnership For Governance Reform in Indonesia. Jakarta.

Savitri, L.A dan M. Khazali. 1999. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir. Pengalaman Pelaksanaan Pengembangan Tambak Ramah Lingkungan dan Rehabilitasi Mangrove Di Indramayu. PKSPL IPB-Wetlands International Indonesia Programme-KNIP The Netherlands. Bogor.

Sayogyo, P. 1981. Peranan Wanita Dalam Keluarga, Rumahtangga Dan Masyarakat Yang Lebih Luas Di Pedesaan Jawa. Dua Kasus Penelitian Di

157

Kabupaten Sukabumi Dan Kabupaten Sumedang Di Jawa Barat (Disertasi). Universitas Indonesia. Jakarta.

Sharma. C. 2003. The Impact of Fisheries Development and Globalization Processes on Women of Fishing Communities in the Asian Region. APRN Journal Volume 8 June 2003. http://www.aprnet.org/journals/8/v8-2.htm dikunjungi 18 Juni 2005.

Simatauw, M., L. Simanjuntak dan P.T. Kuswardono. 2001. Gender dan Pengelolaan Sumber Daya Alam: Sebuah Panduan Analisis. Yayasan PIKUL. Kupang.

Singarimbun, M. 1989. Metode dan Proses Penelitian. Di dalam Metode Penelitian Survai. M. Singarimbun dan S. Effendi (Eds). LP3ES. Jakarta. Hlm 3-15

Singarimbun, M. dan S. Effendi (Eds). 1989. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta

Slamet, M. 2003. Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Perdesaan. Di dalam Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. I. Yustina dan A. Sudradjat (Eds). IPB Press. Bogor. Hlm 7-13

Soetrisno, L. 1993. Pokok-pokok Pikiran Tentang Kemiskinan Dari Perspektif Perempuan. Di dalam Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Rijal, F., L. Margiyani dan A.F. Husein (Eds). PT. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta. Hlm 155-157

Subhan, Z. 2002. Peningkatan Kesetaraan dan Keadilan Jender dalam Membangun Good Governance. Penerbit el-Kahfi. Jakarta.

Sumawidjaya, N, Tjiptasmara dan P. Hartanto. 2000. Pendahuluan. Di dalam Dinamika Kawasan Pesisir Wilayah Tropis Indonesia. M.R. Djuwansah, E.M. Arsadi, T.P. Sastramihardja, R.M. Delinom dan D. Marganingrum (Eds). Pusat Penelitian dan Pengembangan Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bandung. Hlm I.1-I.9

Sunarto, K. 2004. Pengantar Sosiologi. Edisi ketiga. Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

[TIP] The Theory Into Practice. 2006. Decision Making. The Theory Into Practice Database. http://tip.psychology.org/decision.htm dikunjungi 13 September 2006

Umar, N. 2001. Argumen Kesetaraan Jender. Perspektif Al Qur’an. Seri Disertasi. Penerbit Paramadina. Jakarta.

[UNDP] United Nations Development Programme. 2006. Human Development Report 2006. http://hdr.undp.org/hdr2006/Indonesia Human Development Report 2006.htm dikunjungi 15 Januari 2007

[UNIFEM and BMZ] United Nations Development Fund For Women and German Federal Ministry for Economic Cooperation and Development. 2004. Pathway To Gender Equality. UNIFEM (United Nations Development Fund For Women), German Federal Ministry for Economic Cooperation and

158

Development (BMZ), Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ). New York.

Upadhyay, B. 2005. Women And Natural Resource Management: Illustrations From India And Nepal. Natural Resources Forum 29 (2005):224-232

Vredenbregt, J. 1984. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. PT. Gramedia. Jakarta.

[WCC] World Coast Conference. 1993. Preparing To Meet The Coastal Challenges Of The 21st Century. Conference Report. The Netherlands. Noordwijk.

Yustina, I dan A. Sudradjat (Eds). 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. IPB Press. Bogor.

Lampiran 1 Peta lokasi penelitian

Gambar Peta Kabupaten Subang

Gambar Peta Kecamatan Blanakan

6°15'00'' LS

107°37'30'' BT

160

Lampiran 2 Rencana kegiatan pembangunan kelautan dan perikanan kabupaten subang tahun 2005-2009

NO PROGRAM TUJUAN SASARAN INDIKASI KEGIATAN SASARAN KEGIATAN

PROGRAM PROGRAM KEGIATAN 2005 2006 2007 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) 11

Strategi 1: Peningkatan kemampuan SDM kelautan dan perikanan yang maju, mandiri dan tangguh

1 Peningkatan SDM perikanan

Meningkatkan SDM masyarakat di bidang kelautan dan perikanan

Meningkatnya SDM masyarakat di bidang kelautan dan perikanan

1. Peningkatan gizi masyarakat

2. Peningkatan keterampilan SDM

3. Peningkatan informasi perkembangan teknologi kelautan dan perikanan

1. Pelatihan SDM Budidaya Perikanan

2. Pelatihan SDM Penangkapan Ikan 3. Pelatihan SDM Pengolahan hasil 4. Pelatihan Pengendalian Hama dan

Penyakit 5. Pelatihan Penerapan Teknologi

Tepat Guna

V

V V V

V

V

V V V

V

V

V V V

V

V

V V V

V

V

V V V

V

Strategi 2:

Pengembangan, pemeliharaan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang

berorientasi pasar serta berwawasan lingkungan

2 Program Pengembangan Sumber Daya Kelautan

Meningkatkan sumber daya, sarana dan prasarana kelautan

Meningkatnya sumber daya, sarana dan prasarana kelautan

Pengembangan usaha dan peningkatan sarana dan prasarana kelautan

1. Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan di Laut

2. Pengembangan Usaha Pengolahan Hasil Perikanan

3. Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir

4. Pembangunan dan Pelelangan Tempat Pelelangan Ikan

5. Pengembangan Pemasaran Ikan 6. Pemberdayaan Usaha Budidaya

Laut 7. Pengerukan Muara Sungai

V

V - - - - -

V

V

V - - -

V

V

V

V

V

V - -

V

V

V - - V

V

V

V

V

V - V -

161

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) 11 3 Program

Pengembangan Sumber Daya Perikanan

Meningkatkan sumber daya, sarana dan prasarana perikanan

Meningkatnya sumber daya, sarana dan prasarana perikanan

Pengembangan usaha dan peningkatan sarana dan prasarana perikanan

1. Pengembangan Usaha Budidaya Ikan Air Tawar

2. Pengembangan Usaha Budidaya Ikan Terintegrasi

3. Pengembangan Usaha Budidaya Ikan Hias

4. Pengembangan Usaha Ikan di Tambak

5. Pemberdayaan Budidaya Ikan di Pedesaan

6. Pembangunan dan Pengembangan Tempat Pelelangan Ikan Hasil Tambak

7. Pengembangan Sarana dan Prasarana Balai Benih Ikan

8. Normalisasi Saluran Tambak 9. Pengembangan Pemasaran Ikan 10. Pendampingan Program Inbud

V - -

V -

V

V

V - V

V

V

V

V

V -

V - V V

V

V

V

V

V

V -

V - V

V

V

V

V - - - - - V

V

V

V

V - -

V

V - V

4 Konservasi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan

Memelihara dan menjaga kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan

Terpelihara dan terjaganya kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan

Konservasi ekosistem laut dan tawar

Pengadaan Media Buatan sebagai Tempat Perlindungan Ikan

V V V V V

5. Rehabilitasi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan

Memperbaiki sumber daya kelautan dan perikanan yang mengalami kerusakan

Pulihnya kembali sumber daya kelautan dan perikanan yang telah rusak

Rehabilitasi kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan

1. Pengelolaan perikanan di perairan umum

2. Rehabilitasi sumber daya perikanan budidaya

3. Penangkaran jenis ikan langka 4. Pendampingan program

pengembangan produktivitas perikanan berwawasan lingkungan

V -

-- V

V

V

V V

V

V

V V

V

V - V

V

V - V

162

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) 11 Strategi 3:

Penigkatan Sanitasi Lingkungan dan Pemberantasan Hama Penyakit Ikan

6 Pengendalian hama dan penyakit ikan

Menanggulangi ikan dari serangan hama penyakit

Tertanggulanginya ikan dari serangan hama penyakit

Pemberantasan hama penyakit ikan

1. Penanggulangan hama penyakit ikan air tawar

2. Penanggulangan hama penyakit ikan air payau

3. Pengadaan sarana dan peralatan pengujian kesehatan ikan

V

V -

V

V -

V

V

V

V

V -

V

V -

Strategi 4: Pelaksanaan Teknologi Tepat Guna Bidang

Kelautan dan Perikanan

7 Riset dan pengembangan teknologi tepat guna

Menjalin kemitraan dengan lembaga perguruan tinggi/ penelitian dalam rangka meningkatkan usahanya

Meningkatnya produktivitas usaha ekonomi melalui teknologi tepat guna

1. Uji coba teknologi tepat guna

2. Penerapan teknologi informasi data

1. Uji coba budidaya rumput laut 2. Uji coba budidaya kerang hijau 3. Uji coba budidaya ikan jaring

apung di bekas galian C 4. Uji coba budidaya ikan sistem

Biosecurity 5. Pengembangan teknologi

informasi data kelautan dan perikanan

- - V - -

V - - -

V

- V - -

V

- - -

V -

- - - - -

Sumber: Dislutkan 2004

163

Lampiran 3 Kuesioner sikap terhadap pengelolaan perikanan dan kesetaraan gender

Nama: ………………. ID: ……………. Mohon berilah tanda X pada satu jawaban yang anda pilih yaitu: SS = Sangat Setuju S = Setuju N = Antara setuju dan tidak TS = Tidak Setuju STS = Sangat Tidak Setuju Akses

A1. Lelaki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama dalam bekerja di usaha perikanan. [STS] [TS] [N] [S] [SS]

A2. Anak-anak lelaki dan perempuan di bawah umur 15 tahun wajib bersekolah dan tidak bekerja. [STS] [TS] [N] [S] [SS]

A3. Perempuan dapat mengambil kredit dari lembaga keuangan/bank untuk usaha perikanan atas nama sendiri. [STS] [TS] [N] [S] [SS]

A4. Lelaki dan perempuan dapat mempunyai lahan untuk usaha perikanan. [STS] [TS] [N] [S] [SS]

A5. Perempuan memperoleh upah yang sama dengan lelaki untuk pekerjaan yang sama. [STS] [TS] [N] [S] [SS] Kekuasaan

K1. Lelaki dan perempuan secara bersama bertanggungjawab untuk menjaga kelestarian alam di lingkungan tempat tinggalnya. [STS] [TS] [N] [S] [SS]

K2. Lelaki dan perempuan mempunyai kemampuan yang sama untuk mengelola keuangan usaha perikanan. [STS] [TS] [N] [S] [SS]

K3. Pembagian tugas dan kekuasaan dalam usaha perikanan dapat dilakukan bersama antara lelaki dan perempuan. [STS] [TS] [N] [S] [SS]

K4. Perempuan memperoleh upah langsung dari hasil kerjanya di usaha keluarga. [STS] [TS] [N] [S] [SS]

K5. Pembagian tugas untuk produksi, pengolahan dan pemasaran hasil perikanan pada usaha keluarga diputuskan di antara suami istri. [STS] [TS] [N] [S] [SS] Partisipasi

P1. Lelaki dan perempuan dapat berperan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan bersama pemerintah. [STS] [TS] [N] [S] [SS]

P2. Perempuan dapat menjadi wakil keluarga dalam pertemuan/rapat warga di kantor desa/kecamatan. [STS] [TS] [N] [S] [SS]

P3. Lelaki dan perempuan mempunyai suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan di pengelolaan perikanan dan pesisir. [STS] [TS] [N] [S] [SS]

P4. Pembentukan kelompok perempuan nelayan/petani ikan berguna untuk meningkatkan keterlibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan di bidang perikanan. [STS] [TS] [N] [S] [SS]

P5. Suami istri dapat terlibat dalam lembaga perdesaan mewakili kepentingan kelompok masing-masing. [STS] [TS] [N] [S] [SS] Manfaat

M1. Pemerintah telah membuat program di bidang perikanan yang dapat membantu kemajuan perempuan. [STS] [TS] [N] [S] [SS]

M2. Peserta penyuluhan perikanan adalah lelaki dan perempuan yang bekerja di bidang perikanan. [STS] [TS] [N] [S] [SS]

M3. Penyuluhan usaha perikanan kepada perempuan dapat membantu kemampuan mereka dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga. [STS] [TS] [N] [S] [SS]

M4. TV dan radio memberikan informasi tentang pengembangan perikanan sama baik dengan penyuluhan dari petugas Dinas Perikanan. [STS] [TS] [N] [S] [SS]

M5. Kemudahan pemberian kredit usaha langsung kepada kaum perempuan akan membantu kemajuan usaha mereka. [STS] [TS] [N] [S] [SS]

Lampiran 4Skor-T dari sikap responden terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai

No ID Skor mentah (x) mean x SD Skor-T SikapBL01 56 55,73 3,33 50,80 SetujuBL02 51 55,73 3,33 35,79 Tidak setujuBL03 53 55,73 3,33 41,80 Tidak setujuBL04 59 55,73 3,33 59,81 SetujuBL05 51 55,73 3,33 35,79 Tidak setujuBL06 56 55,73 3,33 50,80 SetujuBL07 59 55,73 3,33 59,81 SetujuBL08 56 55,73 3,33 50,80 SetujuBL09 57 55,73 3,33 53,80 SetujuBL10 57 55,73 3,33 53,80 SetujuBL11 59 55,73 3,33 59,81 SetujuBL12 57 55,73 3,33 53,80 SetujuBL13 57 55,73 3,33 53,80 SetujuBL14 61 55,73 3,33 65,81 SetujuBL15 62 55,73 3,33 68,81 SetujuBP01 58 55,73 3,33 56,80 SetujuBP02 60 55,73 3,33 62,81 SetujuBP03 54 55,73 3,33 44,80 Tidak setujuBP04 48 55,73 3,33 26,79 Tidak setujuBP05 48 55,73 3,33 26,79 Tidak setujuBP06 56 55,73 3,33 50,80 SetujuBP07 54 55,73 3,33 44,80 Tidak setujuBP08 55 55,73 3,33 47,80 Tidak setujuBP09 54 55,73 3,33 44,80 Tidak setujuBP10 57 55,73 3,33 53,80 SetujuBP11 58 55,73 3,33 56,80 SetujuBP12 55 55,73 3,33 47,80 Tidak setujuBP13 54 55,73 3,33 44,80 Tidak setujuBP14 55 55,73 3,33 47,80 Tidak setujuBP15 55 55,73 3,33 47,80 Tidak setuju

Bersambung

164

Sambungan

No ID Skor mentah (x) mean x SD Skor-T SikapML01 50 51,10 6,42 48,29 Tidak setujuML02 55 51,10 6,42 56,08 SetujuML03 56 51,10 6,42 57,63 SetujuML04 44 51,10 6,42 38,94 Tidak setuju

ML05 60 51,10 6,42 63,87 SetujuML06 58 51,10 6,42 60,75 SetujuML07 55 51,10 6,42 56,08 SetujuML08 47 51,10 6,42 43,61 Tidak setujuML09 40 51,10 6,42 32,71 Tidak setujuML10 57 51,10 6,42 59,19 SetujuML11 31 51,10 6,42 18,68 Tidak setujuML12 58 51,10 6,42 60,75 SetujuML13 53 51,10 6,42 52,96 SetujuML14 56 51,10 6,42 57,63 SetujuML15 51 51,10 6,42 49,84 Tidak setujuMP01 51 51,10 6,42 49,84 Tidak setujuMP02 55 51,10 6,42 56,08 SetujuMP03 40 51,10 6,42 32,71 Tidak setujuMP04 51 51,10 6,42 49,84 Tidak setujuMP05 54 51,10 6,42 54,52 SetujuMP06 56 51,10 6,42 57,63 SetujuMP07 55 51,10 6,42 56,08 SetujuMP08 52 51,10 6,42 51,40 SetujuMP09 54 51,10 6,42 54,52 SetujuMP10 50 51,10 6,42 48,29 Tidak setujuMP11 41 51,10 6,42 34,26 Tidak setujuMP12 49 51,10 6,42 46,73 Tidak setujuMP13 50 51,10 6,42 48,29 Tidak setujuMP14 53 51,10 6,42 52,96 SetujuMP15 51 51,10 6,42 49,84 Tidak setuju

Keterangan: > 50 = memiliki sikap setuju< 50 = memiliki sikap tidak setuju50 = memiliki sikap antara setuju dan tidak setuju (netral)SD = standar deviasiL = Lelaki P = PerempuanB = Blanakan M = Muara Ciasem

165

166

Lampiran 5 Hasil pengolahan data dengan SPSS

(1) Analisis Hubungan antara Sikap dengan Tingkat Pendidikan H0 : Tidak terdapat hubungan antara Sikap dengan Tingkat Pendidikan H1: Terdapat hubungan yang signifikan antara Sikap dengan Tingkat Pendidikan Kriteria pengambilan keputusan untuk signifikansi adalah : Jika probabilitas (sig) < 0,05, Tolak H0 Jika probabilitas (sig) > 0,05, Terima H0

Correlations

1.000 -.063. .633

60 60-.063 1.000.633 .

60 60

Correlation CoefficientSig. (2-tailed)NCorrelation CoefficientSig. (2-tailed)N

Skor T

Pendidikan

Spearman's rhoSkor T Pendidikan

(2) Analisis Hubungan antara Sikap dengan Matapencaharian H0 : Tidak terdapat hubungan antara Sikap dengan Matapencaharian H1: Terdapat hubungan yang signifikan antara Sikap dengan Matapencaharian Kriteria pengambilan keputusan untuk Chi-Square adalah : Jika probabilitas (sig) < 0,05, Tolak H0 Jika probabilitas (sig) > 0,05, Terima H0

Chi-Square Tests

27.879a 27 .41737.030 27 .095

.817 1 .366

60

Pearson Chi-SquareLikelihood RatioLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases

Value dfAsymp. Sig.

(2-sided)

56 cells (100.0%) have expected count less than 5. Theminimum expected count is .45.

a.

(3) Analisis Hubungan antara Sikap dengan Pekerjaan H0 : Tidak terdapat hubungan antara Sikap dengan Pekerjaan H1: Terdapat hubungan yang signifikan antara Sikap dengan Pekerjaan

Chi-Square Tests

32.436a 27 .21643.110 27 .025

2.099 1 .147

60

Pearson Chi-SquareLikelihood RatioLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases

Value dfAsymp. Sig.

(2-sided)

56 cells (100.0%) have expected count less than 5. Theminimum expected count is .48.

a.

167

(4) Analisis Hubungan antara Sikap dengan Pendapatan a. Analisis Hubungan antara Sikap dengan Pendapatan Saat Panen H0 : Tidak terdapat hubungan antara Sikap dengan Pendapatan Saat Panen H1 : Terdapat hubungan yang signifikan antara Sikap dengan Pendapatan Saat

Panen Correlations

1.000 -.071. .591

60 60-.071 1.000.591 .

60 60

Correlation CoefficientSig. (2-tailed)NCorrelation CoefficientSig. (2-tailed)N

Skor T

Pendapatan saat panen

Spearman's rhoSkor T

Pendapatansaat panen

b. Analisis Hubungan antara Sikap dengan Pendapatan Saat Paceklik. H0 : Tidak terdapat hubungan antara Sikap dengan Pendapatan Saat Paceklik H1 : Terdapat hubungan yang signifikan antara Sikap dengan Pendapatan Saat

Paceklik Correlations

1.000 -.095. .470

60 60-.095 1.000.470 .

60 60

Correlation CoefficientSig. (2-tailed)NCorrelation CoefficientSig. (2-tailed)N

Skor T

Pendapatan saat paceklik

Spearman's rhoSkor T

Pendapatansaat paceklik

168

Lampiran 6 Strategi SWOT untuk pembangunan perikanan pantai di Kabupaten Subang

Strategi Strengths-Opportunities (SO) untuk pembangunan perikanan pantai di Kabupaten Subang

Strengths Opportunities Strategi SO o Potensi PAD o PPI dan TPI yang dikelola KUD

mandiri o Kesetaraan gender dalam

kegiatan perikanan o Membuka peluang industri baru

perikanan o Membuka lapangan kerja lainnya

di pesisir o Letak geografi yang strategis di

pantura Jawa o Tingginya aksesibilitas ke pasar o Keuletan perempuan dalam

berusaha o Jumlah populasi perempuan-lelaki

seimbang o Rajin beribadah

o Komitmen pemerintah terhadap kesetaraan gender

o Peningkatan konsumsi ikan per kapita per tahun

o Inovasi usaha perikanan o Perkembangan teknologi dan

informasi o Peningkatan jumlah tenaga

kerja

o Pencatatan kegiatan &danpelaksana dipilah menurut jenis kelamin

o Pembinaan kepada masyarakat, lelaki &danperempuan

o Peningkatan partisipasi masyarakat, lelaki dan perempuan

o Pengembangan teknologi tepatguna berbasis lokal

o Perluasan akses usaha terkait perikanan pantai

Strategi Weaknesses-Opportunities (WO) untuk pembangunan perikanan pantai di Kabupaten Subang

Weaknesses Opportunities Strategi WO o Kurangnya alokasi APBD bagi

PPP o Tidak adanya lembaga keuangan

mikro untuk nelayan o Rendahnya mutu SDM o Rendahnya tingkat

kesejahteraan nelayan o Rendahnya kesadaran akan

lingkungan o Kurangnya pembinaan tenaga

kerja perempuan

o Komitmen pemerintah terhadap kesetaraan gender

o Peningkatan konsumsi ikan per kapita per tahun

o Inovasi usaha perikanan o Perkembangan teknologi dan

informasi o Peningkatan jumlah tenaga kerja

o Sosialisasi tentang pengelolaan perikanan berkelanjutan kepada masyarakat, lelaki dan perempuan

o Pengembangan SDM masyarakat perikanan laut melalui Kelompok Belajar (Kejar A, B)

o Peningkatan keterlibatan masyarakat lokal, lelaki dan perempuan dalam KUD

o Mempercepat pengadaan lembaga keuangan mikro

o Pelibatan KUD dalam pembinaan masyarakat

169

Strategi Strengths-Threats (ST) untuk pembangunan perikanan pantai di Kabupaten Subang

Strengths Threats Strategi ST o Potensi PAD o PPI dan TPI yang dikelola KUD

mandiri o Kesetaraan gender dalam

kegiatan perikanan o Membuka peluang industri baru

perikanan o Membuka lapangan kerja lainnya

di pesisir o Letak geografi yang strategis di

pantura Jawa o Tingginya aksesibilitas ke pasar o Keuletan perempuan dalam

berusaha o Jumlah populasi perempuan-

lelaki seimbang o Rajin beribadah

o Tingginya harga BBM o Kerusakan lingkungan pesisir

dan laut o Pencemaran perairan sungai dan

laut o Harga ikan yang fluktuatif o Perdagangan bebas dunia o Pendangkalan sungai akibat

erosi o Nelayan pendatang dengan

peralatan lebih canggih

o Sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran lingkungan kepada masyarakat perikanan, lelaki dan perempuan

o Peningkatan kegiatan peduli lingkungan pada masyarakat perikanan, lelaki dan perempuan

o Mempercepat usaha penggantian jaring arad dengan jaring lain yang ramah lingkungan kepada nelayan

Strategi Weaknesses-Threats (WT) untuk pembangunan perikanan pantai di Kabupaten Subang

Weaknesses Threats Strategi WT o Kurangnya alokasi APBD bagi

PPP o Tidak adanya lembaga keuangan

mikro untuk nelayan o Rendahnya mutu SDM o Rendahnya tingkat

kesejahteraan nelayan o Rendahnya kesadaran

lingkungan o Kurangnya pembinaan tenaga

kerja perempuan

o Tingginya harga BBM o Kerusakan lingkungan pesisir

dan laut o Pencemaran perairan sungai dan

laut o Harga ikan yang fluktuatif o Perdagangan bebas dunia o Pendangkalan sungai akibat

erosi o Nelayan pendatang dengan

peralatan lebih canggih

o Membantu pendistribusian BBM kepada nelayan

o Membantu kelancaran pengadaan kebutuhan melaut seperti es

o Memperluas jaringan pemasaran ikan segar

o Pembinaan kepada nelayan lokal tentang teknologi perikanan moderen

170

Lampiran 7 Hasil pengolahan data AHP

Nilai prioritas program pembangunan perikanan pantai menurut tingkat hirarki AHP di

Kabupaten Subang tahun 2006

Tingkat 2 Tingkat 3 Tingkat 4 Nilai prioritas Pelaku Nilai prioritas Faktor Nilai prioritas Program

0.4679 PEMDA 0.6042 Kebijakan 0.0591 Akses 0.1349 Partisipasi 0.3999 Pembinaan 0.3108 Pendidikan 0.0954 Teknologi 0.1064 Pendanaan 0.0906 Akses 0.1923 Partisipasi 0.3747 Pembinaan 0.2388 Pendidikan 0.1037 Teknologi 0.2176 Sarana 0.0689 Akses 0.1628 Partisipasi 0.4233 Pembinaan 0.2502 Pendidikan 0.0947 Teknologi 0.0718 SDM 0.0873 Akses 0.1783 Partisipasi 0.3783 Pembinaan 0.2599 Pendidikan 0.0963 Teknologi

0.2094 KUD 0.1214 Kebijakan 0.2412 Akses 0.1356 Partisipasi 0.1780 Pembinaan 0.1276 Pendidikan 0.3175 Teknologi 0.2768 Pendanaan 0.1097 Akses 0.2815 Partisipasi 0.3322 Pembinaan 0.1830 Pendidikan 0.0935 Teknologi 0.2317 Sarana 0.3089 Akses 0.2311 Partisipasi 0.1210 Pembinaan 0.1224 Pendidikan 0.2167 Teknologi 0.3700 SDM 0.1784 Akses 0.1313 Partisipasi 0.3360 Pembinaan 0.2219 Pendidikan 0.1323 Teknologi

171

Sambungan Tingkat 2 Tingkat 3 Tingkat 4

Nilai prioritas Pelaku Nilai prioritas Faktor Nilai prioritas Program 0.3227 Nelayan 1.0000 SDM 0.1973 Akses

0.1407 Partisipasi 0.2722 Pembinaan 0.2291 Pendidikan 0.1607 Teknologi