kewenangan peradilan agama mengadili perkara kewarisan
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
UNDANG-UNDANG PENGADILAN AGAMA DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Hukum Waris Islam
Oleh
YANELS GARSIONE DAMANIK 115010107111103
ADITYA WARDANA 115010107111102
RICKY WICAKSONO 115010107111085
REEZKY TIMBUL MARPAUNG 105010107111016
DIPO MUHAMMAD 0910110187
DEDY KRISTANTO ERMAWAN 09101103011
ENDROE WIRYANTO 115010107111209
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
adalah muthlak adanya satu hukum nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan perwujudan kesadaran
hukum masyarakat dan bangsa Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang NO 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lingkungan
peradilan yang lainnya sebagai peradilan negara.
Hukum materiil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah hukum
Islam yang pada garis besarnya meliputi bidang-bidang hukum perkawinan, hukum
kewarisan, dan hukum perwkwfan.
Berdasarkan Surat Editor Biro Peradilan Agama tanggal 18 Februari 1958 Nomor
B/I/735 hukum materiil yang dijadikan pedoman dalam bidang-bidang hukum tersebut di
atas adalah bersumber pada 13 buah kitab yang kesemuanya bermazhab Syafi’i.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP.
No 28 Tahun 1977 tantang perwakafan tanah milik, maka kebutuhan hukum masyarakat
semakin berkembang sehingga kitab-kitab tersebut perlu pula untuk diperluas baik dengan
menambahkan kitab-kitab dari mazhab yang lain, memperluas penafsiran terhadap
ketentuan didalmnya membandingkannya dengan yurisprudensi Peradilan Agama, fatwa
para ulama, maupun perbandingan di negara-negara lain.
Dalam menyelesaikan masalah perkara-perkara yang diajukan kepadanya wajib
memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat,
sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.
B. RUMUSAN MASALAH
Melalu paper ini kami akan membahas tentang :
1. Bagaimanakah pengertian, sejarah, serta kewenangan Peradilan Agama sesuai
dengan Undang-Undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam sebagai ilmu
terapannya?
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Peradilan Agama
1Peradilan Agama adalah terjemahan dari Godsdienstige Rechtspraak (Bahasa Belanda),
berasal dari kata godsdienst yang berarti agama; ibadat; keagamaan dan kata rechtspraak
berarti peradilan , yaitu daya upaya mencari keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum
yang dilakukan menurut peraturan-peraturan dan dalam lembaga-lembaga tertentu dalam
pengadilan. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa yang
dimaksud Peradilan Agama dalam undang-undang ini adalah peradilan bagi orang-orang
yang beragama Islam. Sedangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
menyatakan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini.
Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Peradilan Agama adalah suatu
daya upaya yang dilakukan untuk mencari keadilan atau menyelesaikan perkara-perkara
tertentu bagi orang-orang yang beragama Islam melalui lembaga-lembaga yang berfungsi
untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung adalah badan peradilan dalam lingkungan Peradilan
Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer dan lingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara.
SEJARAH PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
1 http://tugasmakalahmuamalat.blogspot.com/2012/12/produk-peradilan-agama.html diakses pada tanggal 18 september 2013
Pengadilan Agama Pada Masa Penjajahan Sampai Dengan Masa Kemeredekaan
2Di Hindia Belanda pada masa penjajahan, terdapat lima macam peradilan, yaitu sebagai
berikut.
1. Peradilan Gubernemen yang tersebar di seluruh Hindia Belanda.
2. Peradilan Pribumi yang tersebar diluar Jawa, Madura, yaitu wilayah Sumatra,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Lombok, dan Bali.
3. Peradilan Swapraja, yang tersebar didaerah Swapraja, kecuali di Pakualam dan
Pontianak.
4. Peradilan Agama, yang tersebar didaerah-daerah tempat Peradilan Gubernemen,
didaerah-daerah dan menjadi bagian dari Peradilan Swapraja
5. Peradilan Desa tersebar di daerah-daerah tempat berkedudukan Peradilan
Gubernemen. Peradilan Desa juga ada yang merupakan bagian dari Peradilan
Pribumi dan peradilan Swapraja.
3Peradilan dalam bentuknya yang sederhana berupa tahkim (lembaga penyelesaian
segketa antara orang-orang Islam yang dilakukan oleh para ahli agama), telah lama ada
dalam masyarakat Indonesia, yakni sejak agama Islam masuk ke Indonesia. Lembaga
tahkim ini berkemban seiring dengan perkembangan masyarakat Muslim dikepulauan
nusantara. Keberadaan Peradilan Agama baru diakui secara resmi oleh pemerintah Belanda
pada tahun 1882, yaitu ketika diresmikannya Pengadilan Agama di Jawa dan Madura
berdasarkan Stbl. 1882 No. 152 (Amrullah Ahmad, 1996: 4).
Dengan keberadaan lembaga semisal Peradilan Agama tersebut Pemerintah Belanda
merasa bahwa hukum Islam benar-benar telah diberlakukan oleh umat Islam di Indonesia.
Karena itulah, pemerintah Belanda berusaha untuk menghalangi berlakunya hukum islam
lebuh luas lagi. Atas nasehat C. Snouck Hurgronje pemerintah belanda memeberlakukan
teori receptie yang memberlakukan hukum Islam apabila sudah diterima oleh hukum adat
(Mohammad Daud Ali, 1996: 218). Teori receptie ini diberlakukan dalam rangka menentang
berlakunya teori receptio in complexu yang dikemukan oleh LWC van den Berg yang
mengakui berlakunya hukum Islam di Indonesia sejak umat Islam ada disitu.
Dengan diberlakukannya teori receptie pemerintah Belanda mulai mengganti undang-
undang yang diberlakukan di Indonesia. Tahun 1919, misalnya, pemerintah Belanda
mengganti undang-undang dari Regeeringsreglement (RR) menjadi Indische Staatsregeling
2 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, hlm.109.3http://staff.uny.ac.id/system/files/penelitian/Marzuki,%20Dr.%20M.Ag./23.%20Peradilan%20Agama %20Sebagai%20Institusi%20Penegak%20Hukum%20Islam%20di%20Indonesia.pdf diakses pada tanggal 18 september 2013
(IS). Tahun 1937 keluar Stbl. 1937 No. 116 yang membatasi wewenang Peradilan Agama
hanya pada masalah perkawinan. Sedangkan masalah waris diserahkan kepada Pengadilan
Umum (Sjadzali, 1991:46).
Perubahan tatanan peradilan nasional, khususnya Peradilan Agama, mulai berubah
setelah Indonesia merdeka. Perubahaan ini bertitik tolak pada ketentuan konstitusi
disamping memperhatikan perkembagan aspirasi dan tatanan masyarakat secara luas.
Sedangkan perkembangan aspirasi masyarakat tercermin dalam artikulasi politik dari
berbagai kekuatan politik melalui infrastruktur dan supra truktur politik dalam mewujudkan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pembinaan Peradilan Agama yang semula berada di tangan Kementrian Kehakiman
diserahkan kepada Departemen Agama melalui PP No. 5/SD/1946. Tahun 1948 keluar
Undang-Undang No.19 yang memasukan Peradilan Agama ke Peradilan Umum (Peradilan
Negeri). Namun, undang-undang ini tidak pernah berlaku, karena tidak sesuai dengan
kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Tahun 1951 pemerintah memberlakukan Undang-
Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 yang tetap mempertahankan eksistensi Peradilan Agama
dan mengahpus Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat. Sebagai kelanjutannya pemerintah
memberlakukan Undang-Undang No. 45 Tahun 1957 yang mengatur pembentukan
Peradilan Agama di luar Jawa dan Kalimantan Selatan. Selanjutnya tahun 1946 keluar
Undang-Undang No. 19 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Tahun 1979 Undang-
Undang No. 19/1964 tersebut diganti denga Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undag ini megakui eksistensi
Peradilan Agama sejajar dengan ketiga lembaga peradilan lainnya di Indonesia.
KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENGADILI PERKARA KEWARISAN
4Pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan diundangkan Undang-Undang tentang
Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1989 Nomor 49. Dengan lahirnya UU ini sekaligus mempertegas kedudukan dan
kekuasaan bagi Peradilan Agama sebagai kekuasaan kehakiman dengan sesuai dengan
lembaga peradilan lainnya.
Tegasnya kedudukan Peradilan Agama ini jelas diungkapkan dalam konsideran undang-
undang tersebut seperti dirumuskan dalam huruf c, yang dikemukakan bahwa salah satu
upaya untukmenegakan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepatian hukum tersebut
4 Suhrawardi K. Lubis, S.H. – Komis Simanjuntak, S.H. , Hukum Waris Islam (lengkap dan praktis) edisi kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 13.
adalah melalui Peradilan Agama sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Bertitik tolak dari penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1970, bahwa
lingkungan Peradilan Agama adalah merupakan salah satu lingkungan Perdilan Khusus
(termasuk juga Lingkungan Peradilan Militer dan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara)
yang berhadapan dengan Lingkungan Peradilan Umum.
Dengan demikian (sebagai Lembaga Peradilan Khusus) maka Peradilan Agama hanya
berwenang mengadili perkara tertentu dan golongan rakyat tertentu.
Sekarang timbul pertanyaan, perkara tertentu dan golongan rakyat tertentu yang
manakah yang dimaksud? Untuk menjawab pertanyaan ini dapat dicari jawabannya dalam
ketentuan yang termaktub dalam Pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut:
“Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara tertentu yang diatur
dalam undang-undang ini”.
Kewenangan Relatif Peradilan Agama
5Yang dimaksud dengan kekuasaan relatif (relative competentie) adalah pembagian
kewenangan atau kekuasaan mengadili antar Pengadilan Negeri. Atau dengan kata lain
Pengadilan Negeri mana yang berwenang memeriksa dan memutus perkara. Pengertian
lain dari kewenangan relatif adalah kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan,
dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan tingkatan.
Misalnya antara Pengadilan Negeri Bogor dan Pengadilan Negeri Subang, Pengadilan
Agama Muara Enim dengan Pengadilan Agama Baturaja.
Dari pengertian di atas maka pengertian kewenangan relatif adalah kekuasaan atau
wewenang yang diberikan kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama jenis
dan tingkatan yang berhubungan dengan wilayah hukum Pengadilan dan wilayah tempat
tinggal/tempat kediaman atau domisili pihak yang berperkara
Kewenangan Absolut Peradilan Agama
5 http://tugasmakalahmuamalat.blogspot.com/2012/12/produk-peradilan-agama.html diakses pada tanggal 18 september 2013
6Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang berhubungan
dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di
lingkungan Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama
Islam. 7Lebih lanjut yang dimaksud dengan perkara-perkara tertentu dalam Pasal 2 ini
kembali ditegaskan dalam Pasal 49 yang berbunyi sebagai berikut.
1) Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dibidang:
a. Perkawinan;
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c. Wakaf dan shdaqah
2) Bidang perkawinan sebagaiman yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal
yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang menegenai perkawinan yang
berlaku
3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah
penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli
waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
Lebih lanjut dapat juga ditegaskan bahwa apabila terjadi sengketa tentang objek hak
milik dan bidang keperdataan lainnya haruslah terlebih dahulu diputus oleh lingkunga
Peradilan Umum, hal ini secara tegas dikemukakan dalam Pasal 50 yang berbunyi sebagai
berikut.
“Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-
perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus menegenai objek yang
menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam Lingkungan
Peradilan Umum”.
8Persoalan yang kemudian dihadapi oleh Peradilan Agama adalah tentang Hukum
Materiil atau hukum terapannya, yakni hukum positif yang harus diterapkan oleh Peradilan
Agama untuk menyelesaikan kasus-kasus yang diajukan kepadanya. Hukum materiil
tersebut adalah hukum Islam. Yang disebut oleh Hakim Agung pada Mahkamah Agung
6 http://tugasmakalahmuamalat.blogspot.com/2012/12/produk-peradilan-agama.html diakses pada tanggal 18 september 20137 Suhrawardi K. Lubis, S.H. – Komis Simanjuntak, S.H. , Hukum Waris Islam (lengkap & praktis) edisi kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm: 14.8 Drs. H. Moh. Muhibbin, S.H., M.Hum. – Drs. H. Abdul Wahid S. H., M.A. , Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm.170.
Republik Indonesia, yakni M. Yahya Harahap mengatakan bahwa salah satu asas Peradilan
Agama yakni personalitas keislaman.
Khusus jangkauan Kewenangan Peradilan Agama dalam mengadili perkara kewarisan
lebih lanjut Yahya Harahap mengemukakan:
“Dengan mengaitkan asas personalitas keislamaan dengan ketentuaan Pasal 49 ayat (2)
huruf b, jo. Penjelasaan Umum angka 2 alinea kedua, yang menetukan salah satu bidang
perdata tertentu yang menjadi kewenangan mengadili Peradilan Agama, berarti asas
personalitas keislaman dalam sidang perdata warisan meliputi seluruh golongan rakyat
beragam Islam. Dengan kata lain, sengeketa perkara warisan yang terjadi bagi setiap orang
yang beragama Islam, kewenangan mengadilinya tunduk dan takluk ke dalam lingkungan
Peradilan Agama, bukan lingkungan Peradilan Umum”. (Yahya Harahap, 1990:147,148)
Kalo bertitik tolak dari ungkapan yang disampaikan diatas maka dapat dikemukakan,
bahwa persoalan-persoalan atau perkara-perkara kewarisan bagi masyarakat yang
beragama Islam mutlak merupakan kewenangan Peradilan Agama untuk mengadilinya.
Namun demikian, meskipun Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Nomor Tahun 1989 seolah-olah
telah menetapkan secara tegas bahwa bagi rakyat yang beragama Islam, lembaga peradilan
yang berwenang untuk memutus perkara warsnya hanyalah Pengadilam Agama tentunya
dengan memakai hukum waris Islam (kompetensi absolut), akan tetapi UU tersebut masih
membuka kemungkinan tentang hak opsi (hak para ahli waris untuk memilih hukum waris
mana yang mereka sukai untuk menyelesaikan perkara warisan mereka).
Untuk ini penulis berpendapat bahwa pembuat undang-undang ini sebenarnya masi ragu-
ragu (belum konsekuen), sebab dengan adanya ketentuan hak opsi ini, maka ketentuan
yang terdapat dalam pasal 49 ayat (2) huruf B tersebut telah di anulir.
Namun demikian, apabilah ditinjau dari sudut ilmu hukum hak opsi ini sebenarnya suda
tepat, sebab masalah kewarisan termasuk dalam lingkup hukum perdata (hukum privat)
sedangkan hukum privat itu selalu bersifat mengatur atau anvullenrecht.
Dalam rangka melaksanakan tugas pembagian harta peninggalan harta seseorang yang
beragama islam (perkara warisan) apabilah di lihat dari segi hukum formil dapat di lihat dari
dua sudut ketentuan (Yahya Harahap 1990: 151-152), yakni sebagai berikut.
1. PEMBAGIAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN
9Pembagian harta warisan berdasarkan kepada putusan pengadilan juga termasuk
fungsi kewenangan pengadilan agama dalam menjalan kan tugas eksekusi dengan
syarat :
1) Putusan yang bersangkutan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, atau
terhadap putusan tersebut tidak ada lagi (atau tidak dimungkinkan lagi) untuk
melakukan upaya hukum dalam bentuk banding atau kasasi. Atau bisa juga
perkara yang bersangkutan di putus dalam tingkat banding atau kasasi.
2) Putusan yang telah memiliki kekutan hukum tetap tersebut mengandung
“amar” atau “diktum” yang bersifat condemnatoir. adapun yang dimaksud
dengan amar yang bersifat condemnnatoir tersebut bahwa salah satu amar
putusan mengandung pernyataan menghukum para ahli waris melakukan
pembagian atau amar yang memerintahkan pembagian, dan bisa juga amar
yang melaksanakan pembagian. Dan hanya putusan yang seperti tersebut
dapat di eksekusi melalui kewenangan pengadilan (ketua pengadilan).
Dengan demkian, apabila putusan tersebut hanya bersifat deklaratoir,
maka pengadilan tidak berwenang melakukan pembagian warisan melalui
tindakan eksekusi, sekalipun kekuatan hukum tersebut telah memiliki
kekuatan hukum tetap, misalnya putusan tersebut hanya menyatakan bahwa
warisan adalah harta peninggaln pewaris dan parah ahli waris berhak
mewarisinya, dalam putusan seperti ini tidak dapat dilakukan eksekusi.
2. PEMBAGIAN BERDASARKAN PERMOHONAN
10Maksudnya, bahwa pengadilan agama selain melakukan pembagian
berdasakan keputusan juga dapat melakukan pembagian berdasarkan keputusan
juga dapat melakukan pembagian berdasarkan berdasarkan atas permohonan
pertolongan dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Adapun yang menjadi dasar agar pembagian berdasarkan permohonan
pertolongan ini dapat dilakukan oleh pengadilan agama sesuai dengan ketentuan
pasal 236 a HIR haruslah memenuhi syarat dan tata cara berikut.
1) Harta warisan yang hendak dibagi diluar sengketa perkara pengadilan.
2) Ada permohonan minta tolong di lakukan pembagian dari seluruh ahli waris.
9 Suhrawardi K. Lubis, S.H. – Komis Simanjuntak, S.H. , Hukum Waris Islam (lengkap & praktis) edisi kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 16.
10 Suhrawardi K. Lubis, S.H. – Komis Simanjuntak, S.H. , Hukum Waris Islam (lengkap & praktis) edisi kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 17.
Apabila kedua syarat itu telah terpenuhi, selanjutnya pengadilan agama dapat
melakukan pembagian sesuai dengan ketentuan yang tedapat di dalam pasal 236 a
HIR. Dan seandainya permohonan minta tolong itu hanya dilakukan oleh sebagian
ahli waris saja (tidak seluruh ahli waris si mayit) maka pengadilan agama tidak dapat
melaksanakan pembagian dengan dalih/berdasarkan ketentuan pasal 236 a HIR.
11Berdasarkan amanat yang dikandung dalam Kompilasi Hukum Islam yang menjadi
salah satu rujukan dalam beracara, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
menyelesaikan masalah-masalah antara lain:
1. Anak dalam Kandungan
Sah/tidaknya kehamilan
Status anak dalam kandungan
Bagian warisan anak dalam kandungan
Kewajiban orang tua terhadap anak dalam kandungan.
2. Kelahiran
Penentuan/sah tidaknya anak
Penentuan asal/usul anak
Penentuan status anak/pengakuan anak
3. Pemeliharaan Anak
Perwalian terhadap anak,
Pencabutan kekuasaan orang tua,
Penunjukkan/ penggantian wali,
Pemecatan wali,
Kewajiban orang tua/wali terhadap anak,
Pengangkatan anak,
Sengketa hak pemeliharaan anak ,
Kewajiban orang tua angkat terhadap anak angkat
Pembatalan Pengangkatan anak
Penetapan bahwa ibu turut memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak
4. Perkawinan (Akad Nikah)
Sengketa pertunangan dan akibat hukumnya
11 http://solusihukumtepat.blogspot.com/2010/11/tugas-dan-wewenang-pengadilan-agama.html diakses pada tanggal 18 september 2013
Dispensasi kawin di bawah umur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi
wanita
Izin kawin dari orang tua bagi yang belum berumur 21 tahun
Wali Adhol (Permenag No. 2/1987)
Penolakan kawin oleh PPN
Pencegahan kawin
Izin beristri lebih dari seorang
Penetapan sahnya perkawinan
Pembatalan perkawinan
Penolakan izin perkawinan campuran oleh PPN
Penetapan sah/tidaknya rujuk
5. Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Penghidupan isteri (nafkah, kiswah, maskah, dsb)
Gugatan atas kelalaian suami terhadap isteri
Penetapan nusyuz
Perselisihan suami isteri
Gugatan atas kelalaian isteri
Mut’ah
Nafkah iddah
Sengketa tempat kediaman bersama suami isteri
6. Harta Benda dalam Perkawinan
Penentuan status harta benda dalam perkawinan
Perjanjian harta benda dalam perkawinan
Pembagian harta benda dalam perkawinan
Sengketa pemeliharaan harta benda dalam perkawinan
Sita marital atas harta perkawinan
Sengketa hibah
Sengketa wakaf
Wasiat
Shodaqoh
Wasiat wajibah
Harta bawaan suami isteri
7. Putusnya Perkawinan
Penentuan putusnya perkawinan karena kematian
Perceraian atas kehendak suami (cerai talak)
Perceraian atas kehendak isteri (cerai gugat yang didalamnya meliputi
masalah tentang li’an, khusluk, fasakh, dsb)
Putusnya perkawinan karena sebab-sebab lain
8. Pemeliharaan Orang Tua
Kewajiban anak terhadap orang tua (Pasal 46 UUP)
Kewajiban anak angkat terhadap orang tua angkat
9. Kematian
Penetapan kematian secara yuridis,misalnay karena mafqud (Pasal 96 ayat
(2) KHI
Penetapan sah/tidaknya wasiat
10. Kewarisan
Penentuan ahli waris
Penentuan mengenai harta peninggalan
Penentuan bagian masing-masing ahli waris
Pembagian harta peninggalan
Penentuan kewajiban ahli waris terhadap pewaris
Pengangkatan wali bagi ahli waris yang tidak cakap bertindak
Baitul Mal
KOMPILASI HUKUM ISLAM INDONESIA MENGENAI KEWARISAN
12Pada tanggal 21 maret 1984 ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Mentri
Agama Republik Indonesia mengeluarkan surat keputusan bersama yang isinya membentuk
sebuah panitia untuk mengumpulkan bahan-bahan dan merancang kompilasi hukum islam
menyangkut hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan yang selanjutnya akan di
12Suhrawardi K. Lubis, S.H. – Komis Simanjuntak, S.H. , Hukum Waris Islam (lengkap & praktis) edisi kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 18-19.
pergunakan oleh pengadilan agama dalam rangka melaksanakan tugas dam wewenangnya.
Dalam melaksanakan tugasnya, panitia ini mempergunakan empat jalur, yaitu:
1. Pengkajian dalam kitab-kitab fikih dengan bantuan beberapa tenaga pengajar
fakultas syariah lain di selurun indonesia.
2. Menghimpun pendapat ulama fikih terkemuka di tanah air
3. Menghimpun yurisprudensi yang terhimpun dalam putusan-putusan pengadilan
agama seluruh indonesia sejak penjajahan belanda sampai dengan kompilasi ini
tersusun.
4. Mengadakan studi perbandingan menyangkut pelaksanaan dan penegakan hukum
islam di negara-negara muslim, terutama sekali di negara-negara tetangga yang
penduduknya beragama islam.
Setelah kempat jalur itu selesai dilaksanakan, selanjutnya panitia perumus menyusun
bahan-bahan di maksud secara logis dan sistematis dan seterusnya di tuangkan kedalam
pasal-pasal dengan bahasa perundang-undangan yang berlaku di indonesia.
Asas-Asas Dalam Hukum Kewarisan
13Dari rumusan-rumusan hukum yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam yang
kemudian dikembangkan oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, maka dapat disarikan
beberapa asas hukum kewarisan yaitu:
1. Asas Ijbari
2. Asas Bilateral
3. Asas Individual
4. Asas Warisan Terbuka Karena Kematian
5. Asas Personalitas keislaman
Lebih lanjut Wasit Aulawi menegemukakan bahwa Komplasi Hukum islam ini, mudah-
mudahan dapat:
1) Memenuhi asas manfaat dan keadilan berimbang yang terdapat dalam hukum Islam,
2) Mengatasi berbagai masalah khilafiah (perbedaan pendapat) untuk menjamin
kepastian hukum, dan
3) Mampu menjadi bahan baku dan berperan aktif dalam pembinaan hukum nasional.
(Wasit Aulawi, 1989 : 12)
13 Drs. H. M. Anshary MK, SH., MH., Hukum Kewarisan Islam Indonesia Dinamika Pemikiran Dari Fiqh Klasik Ke Fiqh Indonesia Modern (Bandung: 2013), hlm.20-28.
Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa Kompilasi Hukum Islam ini berisi 3 (tiga) buku,
dan masing-masing buku dibagi kedalam beberapa bab dan pasal, khusus bidang kewarisan
diletakan dalam buku II dengan judul Hukum Kewarisan, buku ini terdiri dari 6 bab dengan
44 pasal, untuk lebih jelasnya diuraikan berikut ini:
Bab I : ketentuan Umum, memuat penjelasaan singkat tentang kata-kata penting
yang dimuat oleh buku II (Pasal 171).
Bab II : Ahli Waris (Pasal 172 sampai dengan pasal 175).
Bab III : Besarnya Bagian (Pasal 176 sampai dengan Pasal 191).
Bab IV : Aul dan Rad (Pasal 192 sampai dengan 193).
Bab V : Wasiat (Pasal 194 sampai dengan Pasal 209).
Bab VI : Hibah (Pasal 210 sampai dengan Pasal 214).
Namun demikian, kalaupun Kompilasi Hukum Islam ini sudah diusahakan sedemikan
rupa agar benar-benar sederhana , mudah dipahami, jelas, dan singkat, namun layaknya
sebagai karya manusia tentunya disana-sini masih terdapat beberapa kekurangan terutama
sekali bila dikaitkan dengan kaidah-kaidah yang terdapat beberapa kekurangan terutama
sekali bila dikaitkan dengan kaidah-kaidah yang terdapat didalam ketentuan syar’iah Islam.
Untuk itu di masa yang akan datang tentunya masih diharapkan adanya penyempurnaan
terhadap Kompilasi Hukum Islam tersebut.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memeutus, dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragam islam dibidang
Perkawinan
Waris
Wasiat
Hibah
Wakaf
Zakat
Infaq
Shadaqah, dan
Ekonomi syariah
Didalam penejelasan khususnya Pasal 49 huruf b ditegaskan bahwa sidang kewarisan
adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta
peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian
harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang
tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli
waris.
Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak dapat mempertimbangkan untuk memilih
hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan. Kesimpulan dari
penjelasan tersebut, yakni menurut hukum positif (tata hukum) Indonesia, orang Islam tidak
harus tunduk pada hukum kewarisan Islam apabila mereka hendak membagi warisan.
Orang Islam boleh menggunakan pranata hukum lain (misalnya, hukum kewarisan adat atau
hukum kewarisan berdasarkan KUH Perdata) apabila hendak memebagi warisan.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur buku
Cik Hasan Bisri, 1996, Peradilan Agama di Indonesia, penerbit Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Drs. H. M. Anshary MK, SH., MH., 2013, Hukum Kewarisan Islam Indonesia Dinamika
Pemikiran Dari Fiqh Klasik Ke Fiqh Indonesia Modern, penerbit Mandar Maju, Bandung.
Drs. H. Moh. Muhibbin, S.H., M.Hum. – Drs. H. Abdul Wahid S. H., M.A., 2011, Hukum
Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, penerbit Sinar Grafika,
Jakarta.
Suhrawardi K. Lubis, S.H. – Komis Simanjuntak, S.H., 2013, Hukum Waris Islam (lengkap &
praktis) edisi kedua, penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Literatur Internet :
http://tugasmakalahmuamalat.blogspot.com/2012/12/produk-peradilan-agama.html diakses
pada tanggal 18 september 2013
http://staff.uny.ac.id/system/files/penelitian/Marzuki,%20Dr.%20M.Ag./23.%20Peradilan
%20Agama%20Sebagai%20Institusi%20Penegak%20Hukum%20Islam%20di
%20Indonesia.pdf diakses pada tanggal 18 september 2013
http://solusihukumtepat.blogspot.com/2010/11/tugas-dan-wewenang-pengadilan-agama.html
diakses pada tanggal 18 september 2013