kiai suko dan berdirinya desa sekaran
TRANSCRIPT
1
KIAI SUKO DAN BERDIRINYA DESA SEKARAN
PADA ABAD KE-17
Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Historiografi Dosen Pengampu Dr. Suyatno Kartodirdjo
Oleh TSABIT AZINAR AHMAD
S860209113
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2009
2
KIAI SUKO DAN BERDIRINYA DESA SEKARAN PADA ABAD KE-17
Tsabit Azinar Ahmad
A. Pendahuluan
Secara administratif, Sekaran merupakan sebuah kelurahan yang
terletak di Kecamatan Gunungpati Kota Semarang. Sekaran terletak di
bagian bagian selatan Kota Semarang yang didominasi oleh kawasan
pertanian karena terletak di kawasan Semarang atas yang dekat dengan
Kabupaten Semarang. Sekaran pada saat ini merupakan kelurahan yang
tengah berkembang dengan pesat. Keberadaan Sekaran pada saat ini
menjadi sangat penting karena Sekaran merupakan pusat pengembangan
pendidikan dengan dibangunnya Universitas Negeri Semarang di kawasan
Sekaran.
Kelurahan Sekaran Luas Wilayah memiliki luas 490.718 ha.yang
terbagi atas 26 Rukun Tetangga (RT) dan tujuh Rukun Warga (RW).
Berdasarkan data pada tahun 2008, jumlah penduduk Sekaran adalah
6.057 jiwa. Jumlah penduduk ini merupakan jumlah yang paling banyak di
Kecamatan Gunungpati. Sekaran terbagi atas empat dukuh, yakni Dukuh
Sekaran, Dukuh Banaran, Dukuh Bantar Dowo, dan Dukuh Persen.
Kelurahan Sekaran berbatasan dengan Kelurahan Sukorejo di sebelah
utara. Di sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Srondol Kulon. Di
sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Patemon, dan di sebelah
barat berbatasan dengan Kelurahan Kalisegoro.
3
Perkembangan yang pesat ini telah menunjukkan tanda-tanda
perkembangan menjadi kawasan kota dengan penduduk yang heterogen,
dihuni secara padat oleh penduduk yang beraneka ragam dari segi
pekerjaan, pendidikan, dan gaya hidup, ketersediaan berbagai fasilitas
yang memudahkan masyarkat dalam memenuhi kebutuhan, dan
sebagainya. Perkembangan Sekaran menuju sifat-sifat kota disebabkan
adanya Universitas Negeri Semarang yang didirikan di kawasan tersebut
pada sekitar tahun 1990-an. Namun demikian, pada dasarnya sebelum
berdirinya Universitas Negeri Semarang yang banyak memberikan
perubahan dalam kehidupan masyarakat Sekaran, di kawasan tersebut
telah berkembang masyarakat yang telah hidup selama ratusan tahun
secara turun temurun dan memiliki tradisi yang erat dipegang oleh
masyarakat.
Keberadaan Sekaran sebagai wilayah yang telah dihuni selama
ratusan tahun kira-kira sejak abad ke-17 tidak lepas dari peran Kiai Suko
sebagai tokoh yang berada di belakang munculnya Sekaran. Kiai Suko
merupakan sosok yang berjasa dalam membuka kawasan untuk dijadikan
permukiman masyarakat sekaligus sebagai tempat bercocok tanam. Ia
bersama istrinya merupakan tokoh yang dianggap oleh warga Sekaran
sebagai pendiri sekaligus lurah pertama di Sekaran. Keberadaannya oleh
masyarakat sekaran pada saat ini dikeramatkan. Hal ini tampak dari
adanya pembuatan pagar khusus oleh masyarakat di pemakaman Kiai
Suko dan istrinya. Ini merupakan satu bentuk penghormatan masyarakat
4
Sekaran terhadap leluhurnya sekaligus upaya untuk mempertahankan
tradisi lokal yang saat ini tengah tergerus oleh perkembangan zaman.
Secara ringkas tulisan ini berupaya untuk mengangkat sosok dari
Kiai Suko sebagai pendiri Sekaran sekaligus melakukan telaah kritis
tentang perannya dalam proses pendirian Sekaran.
B. Jalan Hidup Kiai Suko
Tidak ada sumber yang pasti yang menjelaskan tentang awal
kehidupan Kiai Suko sebagai pendiri Desa Sekaran. Hal ini karena tidak
ada peninggalan tertulis tentang pendirian Desa Sekaran, sehingga
sumber yang digunakan untuk melakukan rekonstruksi sosok Kiai Suko
hanya berasal dari tradisi lisan yang berkembang di kalangan masyarakat
Sekaran. Berdasarkan penuturan dari Moh. Sakur selaku sesepuh desa,
Kiai Suko hidup sekitar abad ke-17. Lebih lanjut lagi dinyatakan bahwa
Kiai Sekaran hidup setelah sejarah Semarang.
Sejarah berdirinya Semarang sendiri bermula pada akhir abad ke-
15 M ketika ada seseorang ditempatkan oleh Kerajaan Demak, dikenal
sebagai Pangeran Made Pandan, untuk menyebarkan agama Islam dari
perbukitan Pragota. Dari waktu ke waktu daerah itu semakin subur, dari
sela-sela kesuburan itu muncullah pohon asam yang arang atau jarang,
sehingga memberikan gelar atau nama daerah itu menjadi Semarang.
Sebagai pendiri desa, kemudian menjadi kepala daerah setempat,
dengan gelar Kyai Ageng Pandan Arang I. Sepeninggalnya, pimpinan
daerah dipegang oleh putranya yang bergelar Pandan Arang II atau Sunan
5
Bayat. Di bawah pimpinan Pandan Arang II, daerah Semarang semakin
menunjukkan pertumbuhannya yang meningkat, sehingga menarik
perhatian Sultan Hadiwijaya dari Pajang. Karena persyaratan peningkatan
daerah dapat dipenuhi, maka diputuskan untuk menjadikan Semarang
setingkat dengan Kabupaten. Pada tanggal 2 Mei 1547 bertepatan
dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 rabiul awal
tahun 954 H disahkan oleh Sultan Hadiwijaya setelah berkonsultasi
dengan Sunan Kalijaga. Dengan demikian, Kiai Suko melakukan
pembabatan di kawasan Kadipaten Semarang, karena pada saat itu telah
berdiri Kadipaten Semarang.
Kiai Suko sebelum membabat daerah yang kemudian disebut
Sekaran adalah seorang punggawa dari Surakarta. Namun demikian,
ketika ditelusuri lebih mendalam tidak diketahui apa jabatan yang diampu
oleh Kiai Suko dalam struktur birokrasi. Permasalahan ini muncul karena
sampai sekarang belum ditemukan sumber tertulis tentang sejarah
berdirinya Desa Sekaran. Cerita yang berkembang pada saat ini hanya
berasal dari tradisi lisan yang turun temurun diwariskan kepada
masyarakat di desa sekaran tentang bagaimana peran Kiai Suko dan
proses pembabatan hutan yang kemudian menjadi kawasan yang disebut
dengan Sekaran.
Kiai Suko kemudian mendapatkan tugas untuk membuka lahan
baru di sebuah kawasan Semarang bagian selatan. Bersama isterinya
yang bernama Nyai Tanjung ia kemudian memimpin pembukaan sebuah
kawasan permukiman dan daerah pertanian baru di selatan Semarang.
6
Setelah berhasil dalam mendapatkan lahan perukiman dan pertanian
baru ia kemudian bertindak sebagai bêkêl. Secara tidak langsung ia juga
berperan sebagai pemimpin desa. Sebagai seorang bêkêl, Kiai Suko
bertindak pula sebagai kepala desa atau kepala dukuh yang bertanggung
jawab pula dalam bidang ketertiban dan keamanan desa. Sebagai bêkêl ia
membawahi sekitar 100 cacah. Diketahuinya jumlah cacah yang dibawahi
adalah dari jabatannya sebagai penatus yang artinya membawahi sekitar
seratus cacah.
Sebagai pembuka lahan, Kiai Suko memilki tugas untuk membagi-
bagi tanah desa untuk calon penggarap. Ia kemudian disebut kepala desa.
Ia merupakan seorang yang bertugas sebagai penebas pajak. Sedikit demi
sedikit Kiai Suko sebagai bêkêl diberi kekuasaan sebagai kepala desa,
sehingga ia kemudian peranannya berubah dari penebas pajak menjadi
pemegang kekuasaan desa atau menjadi lurah, sebagai pemimpin resmi
sekaligus birokrat desa yang menghubungkan antara rakyat dengan
birokrasi di atasnya.
Lebih lanjut lagi Moh. Sakur menjelaskan bahwa setelah menjabat
sebagai bêkêl, Kiai Suko kemudian menjadi seorang lurah. Ketika ia
menjadi lurah, ia telah membawahi sekitar 1000 cacah. Hal ini karena ia
memiliki jabatan sebagai penewu, yang artinya sebagai pengelola seribu
orang pekerja. Ia merupakan lurah pertama di Sekaran. Dengan
diangkatnya Kiai Suko sebagai lurah di Sekaran, berarti Sekaran telah
berubah status menjadi bagian yang resmi dalam Kadipaten Semarang.
Ini artinya telah ada pengakuan dari kadipaten tentang keberadaan
7
Sekaran sebagai permukiman dan daerah pertanian baru. Perkembangan
sekaran menjadi sebuah desa yang diakui dalam struktur birokrasi di
kadipaten Semarang disebabkan oleh perkembangan penduduk yang
semakin banyak pada saat itu. Dengan jumlah penduduk yang semakin
bertambah, maka sekaran menjadi kawasan yang banyak dihuni dan
memiliki banyak cacah, sehingga terjadilah perubahan status menajdi
desa dan terjadi pengangakatan Kiai Suko menjadi seorang lurah. Kiai
Suko sampai meninggalnya masih menjabat sebagai lurah dan
dimakamkan di pemakaman Sitanjung di timur laut dusun Sekaran.
Setelah meninggal oleh masyarakat, Kiai Suko kemudian disebut sebagai
Kiai Sekar.
Nama makam si tanjung tersebut berasal dari nama isteri Kiai Suko
yang bernama Nyai Tanjung. Sampai sekarang keberadaan makam
tersebut masih ada dan dipergunakan oleh masyarakat untuk
menguburkan anggota masyarakat Sekaran yang meninggal. Sampai
sekarang, ada dua jalan menuju makam, yang satu dinamai jalan
Sitanjung, yang satu dinamai jalan Kiai Sekar. Dinamainya jalan tersebut
oleh masyarakat merupakan sebuah penghirmatan atas peran serta dan
jasa dari kedua tokoh yang membabat alas sehingga muncul daerah yang
disebut Sekaran.
Dari penjelasan yang diutarakan oleh Moh. Sukur penulis mencoba
melakukan rekonstruksi tentang kapan pastinya Kiai Suko hidup dan
memimpin sekaran. Oleh sesepuh desa, dijelaskan bahwa Kiai Sekar
hidup pada sekitar abad ke-17. Ia adalah seorang punggawa dari Kraton
8
Surakarta. Ia juga adalah seorang bêkêl. Dari keterangan tersebut, Kiai
Suko diperkirakan hidup pada masa Mataram. Hal ini karena pada abad
ke-17 kawasan Semarang masih berada di bawah kekuasaan Mataram.
Dari data tersebut Kiai Suto diperkirakan memimpin Sekaran
setelah terjadi peristiwa proses pemindahan kekuasaan dari Plered ke
Kartasura. Pemindahan ini dilakukan oleh Amangkurat II setelah tahun
1677. Dengan demikian Kiai Suko memimpin Sekaran setelah tahun
1677 sampai sekitar tahun 1705. Batas tahun 1677 adalah ketika
kekuasaan telah berpindah di Kartasura dan pada tahun 1705
Susuhunan Pakubuwono I menyerahkan Semarang kepada VOC sebagai
bagian dari perjanjiannya karena telah dibantu untuk merebut Kartasura.
Sejak saat itu Semarang resmi menjadi kota milik VOC dan kemudian
Pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa
Kiai Suko pada dasarnya tidak menjadi punggawa kraton secara langsung,
tetapi dimungkinkan sebagai punggawa di Kadipaten Semarang, yang
pada saat itu merupakan bagian dari kekuasaan kraton. Kemudian kraton
yang disebut oleh Moh. Sakur mungkin akan lebih cocok ketika disebut
sebagai Kraton Kartasura daripada Kraton Surakarta. Hal ini karena
Kraton Surakarta baru ada sekitar pertengahan abad ke-18 akibat Geger
Pecinan, sehingga hal ini tidak cocok dengan masa hidup dari Kiai Suko.
Dilihat dari masa hidupnya, Kiai Suko hidup pada masa
pemerintahan Mas Tumenggung Alap-alap (1670-1674) atau pada masa
pemerintahan Kyai Adipati Suromenggolo (1674 -1701). Kedua adipati
9
tersebut diperkirakan menjadi atasan dari Kiai Suko sebagai lurah
Sekaran.
C. Kiai Suko dan Berdirinya Sekaran
Sebelum dibuka oleh Kiai Suko, kawasan Sekaran masih berupa
hutan. Menurut penuturan dari Moh. Sakur, sebelum adanya sekrna
daerah tersebut masih wang-wung atau kawasan belantara dan daerah
yang banyak ditumbuhi semak belukar dan alang-alang.
Munculnya Sekaran erat kaitannya dengan perlombaan perolehan
lahan. Oleh Moh. Sakur diceritakan bahwa sebelum ada upaya pencarian
daerah permukiman baru terjadi beberapa kerusuhan yang menyebabkan
masyarakat terpaksa mencari kawasan baru yang lebih aman. Kiai Suko
berpandangan bahwa untuk mendapatkan lahan yang luas perlu adanya
pembagian tugas. Maka Kiai Suko mendapatkan bagian untuk membabat
hutan dan Nyai Tanjung, istrinya, bertugas membakar hasil babatan.
Dari proses pembakaran hasil babatan hutan inilah nama sekaran
ditemukan, yakni berasal dari kata bakaran yang berarti hasil
pembakaran. Lambat laun daerah ini disebut sebagai Sekaran.
Sebagai daerah permukiman dan pertanian yang baru, daerah ini
kemudian berkembang menjadi desa dengan Kiai Suko yang menjabat
sebagai lurah yang pertama. Dengan demikian, peran Kiai Suko sangat
besar dalam proses perkembangan Desa Sekaran. Hal ini karena dialah
yang pertama-tama melakukan upaya pembabatan hutan untuk dijadikan
kawasan permukiman. Kemudian setelah penduduk bertambah banyak, ia
10
diangkat menjadi lurah. Ini menandakan bahwa ia bertindak sebagai
tokoh birokrat yang memiliki kewenangan administratif dalam mengatur
tatanan sosial masyarakat di Sekaran.
D. Penutup
Sekaran pada saat ini telah berkembang sebagai kawasan
permukiman yang telah banyak mengalami kemajuan, bahkan saat ini
telah menunjukkan ciri-ciri sebuah kota dengan beragamnya penduduk,
adanya fasilitas yang bermacam-macam dan sebagai salah satu pusat
pendidikan di Jawa Tengah. Keberadaan Sekaran sebagai sebuah
kawasan tidak lepas dari peran serta para tokoh yang jauh selama
ratusan tahun yang lalu mengembangkan sekaran sebagai cikal bakal
permukiman masyarakat.
Satu tokoh yang memiliki peran penting dalam perkembangan desa
sekaran adalah Kiai Suko yang oleh masyarakat kemudian lebih dikenal
sebagai Kiai Sekar. Kiai Suko diperkirakan hidup pada masa
pemerintahan Amangkurat II. Ia mulai membabat hutan dan kemudian
memimpin daerah Sekaran setelah tahun 1677 sampai sekitar tahun
1705 atau pada masa pemerintahan Mas Tumenggung Alap-alap (1670-
1674) atau pada masa pemerintahan Kyai Adipati Suromenggolo (1674 -
1701) sebagai adipati di Semarang.
Kiai Suko merupakan tokoh yang pertama kali membabat hutan di
kawasan Semarang bagian selatan untuk dijadikan sebagai permukiman
baru yang disebut dengan Sekaran. Ia adalah tokoh yang berperan
11
sebagai pemimpin di desa Sekaran sampai kemudian lambat laun
diangkat sebagai seorang lurah. Oleh masarakat di sekaran sampai
sekarang keberadaan Kiai Suko atau Kiai Sekar masih sangat dihormati.
Hal ini terlihat dari makamnya yang masih terawat, bahkan dibuatkan
bangunan khusus agar keberadaan makamnya tetap lestari, sehingga
masih dapat diingat oleh generasi-generasi penerus di Sekaran untuk
selalu mengenang jasa dan peran serta yang amat besar dari Kiai Suko
dalam mendirikan Sekaran.