konsep dan teori belajar dalam proses belajar mengajar2
TRANSCRIPT
1
KONSEP DAN TEORI BELAJAR DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR
I. HAKEKAT DAN PROSES BELAJAR
A. Hakekat belajar
Sebagian orang berpendapat bahwa belajar merupakan aktivitas yang hanya
merupakan kegiatan dilakukan oleh pelajar. Baik yang bersangkutan berstatus siswa di
Sekolah Dasar, siswa di Sekolah Menengah maupun mahasiswa di Perguruan Tinggi.
Atau setidaknya oleh seseorang yang sedang mengikuti kursus, penataran, pendidikan
dan latihan, bimbingan tes, les privat dan sejenisnya.
Pendapat demikian sebenarnya kurang tepat karena belajar itu merupakan
aktivitas yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan perubahan dalam dirinya
melalui latihan-latihan atau pengalaman-pengalaman. Dengan demikian tampak jelas
bahwa belajar dilakukan oleh setiap manusia dalam hidupnya. Kita lihat seorang petani
mendengarkan “temu wicara” , kegiatan ini dilakukan dengan penuh kesadaran dan
setelah selesai mengikuti acara ini petani tersebut berubah pengetahuannya. Seorang
pedagang berdialog dengan temannya mengenai cara-cara memasarkan barang
dagangannya. Setelah selesai berdialog pedagang tersebut juga berubah
pengetahuannya. Ibu rumah tangga yang mengikuti acara peragaan atau demonstrasi
cara memasak kue pastel, juga berubah pengetahuannya setelah mengikuti acara itu.
Agung dan Anam keduanya mencoba-coba mengendarai sepeda dengan jatuh bangun,
setelah beberapa kali jatuh ia dapat berubah ketrampilannya yakni menjadi agak bisa
mengendarai sepeda BMX-nya. Dari contoh-contoh di atas jelas bagi kita bahwa belajar
2
itu bukan hanya dilakukan oleh individu yang memiliki predikat atau status pelajar saja.
Petani, pedagang, ibu rumah tangga dan si Agung dan Anam kesemuanya melakukan
belajar meskipun mereka bukan tergolong berpredikat pelajar atau mahasiswa. Mereka
semuanya melakukan kegiatan yang dapat dikategorikan kedalam aktivitas belajar.
Melalui aktivitas belajar memungkinkan seseorang dapat memperoleh suatu
perrubahan dalam dirinya baik perubahan itu berupa perubahan pengetahuan
(kogniitif), sikap (afektif), maupun perubahan ketrampilan (psikomotor). Dengan
perubahan-perunbahan itu manusia dapat memenuhi kebutuhannya, menyesuaikan
dirinya dengan lingkungannya serta mampu memecahkan persoalan-persoalan dalam
hidupnya, dapat memenuhi cita-citanya. Atau dengan kata lain seseorang dapat survive
dalam hidupnya hanya melalui belajar. Perubahan-perubahan yang terjadi pada
manusia sebagai akibat belajar bisa perubahan ke arah positif tetapi bisa pula
perrubahan kea rah yang negatif.
1. Pengertian dan ciri-ciri belajar
Terdapat banyak definisi tentang belajar (learning) yang telah dikemukakan oleh para
ahli. Sekalipun mereka tidak sama persis dalam memberikan batasan akan tetapi
diantara mereka tetap ada kesamaan dalam hal-hal yang prinsip tentang belajar. Belajar
seringkali diartikan sebagai aktivias yang dilakukan seseorang dengan sengaja untuk
memperoleh perubahan melalui latihan-latihan maupun pengalaman-pengalaman
belajar lainnya.
3
Dari batasan di atas setidaknya ada tiga kata kunci yang menjadi prinsip dalam
belajar itu. Pertama, belajar itu dilakukan dengan sengaja. Hal ini berarti bahwa belajar
selalu dilakukan oleh seseorang dengan kesadaran atau dengan kesengajaan. Pada
individu yang sedang belajar ada target maupun sasaran tertentu yang ingin dicapainya.
Target atau sasaran itu mungkin bersifat eksplisit artinya dinyatakan secara terang-
terangan bahkan sampai berupa tujuan tertulis tetapi mungkin juga tidak secara terang-
terangan dan mungkin hanya tersirat dalam hati (implicit). Kedua, terjadi perubahan
pada individu yang belajar atau pebelajar (learner) dalam hal ini berarti bahwa dengan
aktivitas yang dilakukan itu akan diperoleh perubahan, baik perubahan dalam bentuk
pengetahuan, sikap, maupun ketrampilan. Ketiga, belajar dilakukan melalui latihan-
latihan maupun melalui pengalaman belajar lainnya. Latihan-latihan itu bisa berupa
mencoba-coba mengendarai sepeda seperti yang dilakukan Agung dan Anam seperti
dicontohkan di atas, latihan mengetik dengan program MS , latihan mengucapkan lafal
dalam bahasa Inggris. Sedangkan pengalaman belajar lainnya membaca media cetak,
berdiskusi atau dialog seperti yang dilakukan oleh pedagang dalam contoh di atas.
Mengamati demonstrasi memasak, mengikuti “temu wicara” juga tergolong aktivitas
belajar.
Atas dasar pengertian belajar seperrti diuraikan di atas maka dapat dikatakan ciri-ciri
aktivitas belajar ialah:
1. Belajar adalah aktivitas yang dilakukan manusia dengan sengaja. Setiap individu yang
belajar selalu memiliki target, sasaran bahkan tujuan tertentu. Tujuan-tujuan itu
4
kadang-kadang bersifat eksplisit atau tersurat namun adakalanya hanya bersifat
tersirat dalam benak saja (implicit). Tujuan belajar para pelajar di sekolah lebih
terencana dan tertentu sifatnya akan tetapi belajar yang dilakukan oleh manusia
awam (di luar pelajar) seringkali bersifat umum kurang spesifik.
2. Belajar ditandai oleh adanya perubahan-perubahan pada individu. Perubahan itu
adakalanya berupa perubahan pengetahuan, sikap dan bisa juga perubahan
ketrampilan. Perubahan-perubahan itu misalnya dari tidak tahu manfaat reboisasi
menjadi tahu manfaat reboisasi setelah individu itu mengikuti “temu wicara”.
Perubahan sikap yang terjadi misalnya dari acuh takacuh terhadap reboisasi menjadi
peduli (concern) terhadap reboisasi setelah mengikuti panel diskusi. Perubahan
ketrampilan misalnya dari tidak bisa mengendarai sepeda menjadi bisa mengendarai
sepeda setelah mencoba beberapa kali.
3. Belajar dilakukan melalui latihan-latihan atau pengalaman-pengalaman lainnya.
Bentuk belajar itu ialah berupa aktivitas latihan misalnya latihan mengetik computer
dengan program MS, latihan bercakap dalam bahasa Inggris, latihan mengoprasikan
rumus-rumus matematika. Sedangkan belajar melalui pengalaman belajar lainnya
misalnya berdiskusi, membaca buku/majalah, mengamati cara kerja mesin
penggiling padi, tanya-jawab dengan teman.
4. Perubahan perilaku (pengetahuan, sikap dan ketrampilan) yang ada pada seseorang
relatif bersifat permanen. Hal ini berarti perubahan itu tidak akan cepat hilang
karena perubahan itu didapat melalui latihan, namun demikian pengetahuan, sikap
5
dan ketrampilan itu juga tidak menetap selamanya pada seseorang tersebut. Pada
saat tertentu atau dalam keadaan tertentu bisa juga perubahan yang telah dimiliki
menjadi hilang. Misalnya karena lama tidak dipergunakan atau telah lama tidak
dipelajarinya lagi, karena lupa atau sebab adanya gangguan-gangguan lainnya.
Perubahan yang bukan hasil belajar dipastikan hanya bersifat sementara saja
misalnya perubahan akibat kematangan, pengaruh obat, kelelahan maupun karena
sakit.
5. Perubahan perilaku tidak selalu segera tampak begitu selesai melangsungkan
kegiatan belajar. Kadang-kadang perubahan itu baru kelihatan setelah beberapa kal
ibelajar atau setelah beberpa lama belajar. Hal ini biasanya terjadi pada perubahan
sikap dan ketrampilan, sedangkan perubahan pengetahuan umumnya lebih cepat
kelihatan hasilnya. Perubahan itu dikatakan terjadi dapat teramati bila perubahanan
itu sudah cukup banyak, namun bila perubahan itu baru sedikit belum bisa diamati.
Misalnya belajar bahasa Inggris biasanya baru tampak perubahannya setelah belajar
berkali-kali dan setelah sekian lama belajar. Individu yang baru sekali belajar selama
90 menit belajar bahasa Inggris mustahil telah tampak berubah. Perubahan yang
masih sedikit seringkali belum dapat diamati sehingga seolah-olah tidak ada
perubahan.
2. Beberapa aktivitas belajar
Manusia melakukan kegiatan belajar melalui pengamatannya. Oleh karena itu
maka untuk melakukan belajar persyaratan-persyaratan dalam pengamatan berlaku.
6
Diantara aktivitas pengamatan yang banyak berfungsi untuk belajar ialah melihat dan
mendengar, meskipun aktivitas pengamatan yang lain seringkali juga tampak digunakan,
seperti meraba, mencium dan mencecap.
Belajar melalui melihat, seperti membaca buku/majalah maupun media cetak
lainnya, melihat peragaan cara membuat pupuk kompos, melihat bagian-bagian yang
ada pada sepeda pada saat anak belajar mengendarai sepeda, melihat cara kerja mesin
penggiling padi. Dalam belajar melalui melihat stimulus pokok yang diperlukan ialah
cahaya, warna dan bentuk. Sedangkan organ yang diperlukan ialah mata, urat syaraf
sensoris-motoris dan otak.
Aktivitas mendengar sebagai saran a belajar, misalnya mendengarkan ceramah,
penjelasan, panel diskusi, tanya jawab, seminar dan sejenisnya. Stimulus yang
diperlukan dalam mendengarkan ialah suara, baik suara manusia secara langsung
maupun berupa rekaman elektronik. Organ yang diperlukan ialah telinga, urat syaraf
sensoris-motoris dan otak.
Pengamatan lain seperti meraba, mencium, dan mencecap bisa juga digunakan
belajar misalnya seorang tuna netra membaca huruf Braille, seseorang mencium bau
sedap-tak sedap, dan mencecap rasa pahit-manis. Dari aktivitas meraba, mencium dan
mencecap itu seseorang dapat memperoleh perubahan seperti melakukan pengamatan
lainnya.
Belajar melalui pengamatan seperti disebutkan di atas tidak selalu hanya
pengamatan tunggal misalnya hanya melalui melihat, mendengar, meraba, mencium,
7
dan mencecap saja. Bisa juga pengamatan itu secara bersama misalnya melihat bersama
dengan mendengar, melihat bersama meraba dan seterusnya. Belajar yang dilakukan
melalui berbagai aktivitas pengamatan akan membuat penguasaan pengetahuan, sikap
maupun ketrampilan menjadi lebih kuat tidak mudah hilang dibandingkan belajar hanya
melalui satu macam pengamatan.
Khusus mengenai aktivitas belajar di sekolah yang dilakukan siswa Sardiman
(2000) menggolongkannya sebagai berikut:
1. Visual activities, yang termasuk didalamnya misalnya, membaca,
memperhatikan gambardemonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain.
2. Oral activities, seperti: menyatakan, merumuskan, bertanyamemberi saran,
mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, interupsi.
3. Listening activities, sebagai contoh, mendengarkan: uraian, percakapan,
diskusi, music, piano.
4. Writing activities, seperti misalnya menulis cerita, karangan, laporan, angket,
menyalin.
5. Drawing activities, misalnya: menggambar, membuat grafik, peta, diagram.
6. Motor activities, yang termasuk didalamnya antara lain: melakukan
percobaan, membuat konstruksi, model mereparasi, bermain, berkebun,
beternak.
8
7. Mental activities, sebagai contoh misalnya: menanggap, mengingat,
memecahkan soal, menganalisa, melihat hubungan, mengambil keputusan.
8. Emotional activities, seperti misalnya: menaruh minat, merasa bosan,
gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, gugup.
Dengan memperhatikan berbagai aktivitas belajar yang dilakukan siswa di
sekolah itu nampak jelas bahwa aktivitas belajar disekolah itu begitu komplek. Hal ini
menjadi suatu tantangan tersendiri bagi para guru menciptakan pembelajaran yang
dapat memenuhi kebutuhan belajar para siswanya. Jika para guru mampu menciptakan
pembelajaran yang bervariasi maka dipastikan situasi belajar dan mengajar akan lebih
dinamis. Sebaliknya jika kebutuhan belajar siswa tidak terpenuhi karena guru
menggunakan pembelajaran yang monoton maka siswa akan bosan dan kurang tertarik
terhadap proses belajar mengajar di kelas.
B. Proses Belajar
Proses belajar adalah serangkaian aktivitas yang diduga terjadi pada diri
seseorang dalam pusat urat syaraf saat individu belajar. Proses belajar belangsung
secara abstrak karena terjadi secara mental dan tidak bisa diamati. Karena itulah maka
disini digunakan istilah “diduga” karena secara konkrit memang tidak bisa diketahui.
Proses belajar terutama proses belajar yang terjadi di kelas melalui tahap-tahap
atau fase-fase motivasi, konsentrasi, mengolah, menyimpan, menggali (1) menggali (2),
9
prestasi, dan fase umpan balik. Fase-fase ini terjadi secara berurutan antara yang satu
dengan lainnya.
Fase motivasi, ialah saat siswa bangkit motivasi dan keinginnya untuk melakukan
kegiatan belajar. Misalnya siswa tertarik untuk memperhatikan apa yang akan
dipelajarinya, melihat gurunya datang, melihat apa yang ditunjukkan guru (buku, alat
peraga), mendengarkan apa yang diucapkan guru, pendeknya memperhatikan semua
hal yang berkaitan dengan pelajaran yang akan berlangsung.
Fase konsentrasi, yaitu saat siswa harus memusatkan perhatian yang telah
muncul pada fase motivasiuntuk tertuju pada hal-hal yang relevan dengan apa yang
akan dipelajari. Pada fase ini mungkin perhatian siswa tertuju kepada penampilan guru
(pakaian, sisiran rambutnya, sepatu yang dipakainya), tas atau map yang di bawa guru,
semua buku yang dibawa guru tetapi dalam fase konsentrasi perhatian siswa tidak
demikian lagi. Perhatian sudah spesifik tertuju kepada hal-hal yang relevan dengan apa
yang akan dipelajari. Memperhatiakan alat peraga yang ditunjukkan guru,
mendengarkan penjelasan guru tentang pelajaran yang akan diberikan.
Fase mengolah, siswa menahan informasi yang diterima dari guru dalam Short
Term Memory (STM) atau gudang ingatan jangka pendek kemudian mengolah informasi-
informasi untuk diberi makna (meaning) berupa sandi-sandi sesuai dengan
penangkapannya masing-masing. Hasil olahan itu berupa simbol-simbol khusus yang
antara satu siswa dengan yang lainnya berbeda. Simbol hasil olahan bergantung dari
pengetahuan dan pengalaman sebelumnya serta kejelasanan penangkapan siswa.
10
Karena itu tidaklah merupakan hal yang aneh jika setiap siswa akan berbeda
penangkapannya terhadap hal yang sama meskipun diberikan oleh seorang guru yang
sama.
Fase menyimpan, yaitu siswa menyimpan simbol-simbol hasil olahan yang telah
diberi makna ke dalam Long Term Meory (LTM) atau gudang ingatan jangka panjang.
Pada fase ini hasil belajar sudah diperoleh baik baru sebagian maupun keseluruhan.
Perubahan-perubahan sudah terhadi baik perubahan pengetahuan, sikap, maupun
ketrampilan. Namun harus diakui memang perubahan pengetahuan lebih segera
kelihatan dibandingkan perubahan sikap dan ketrampilan. Untuk perubahan sikap dan
ketrampilan seringkali diperlukan belajar yang tidak hanya sekali saja melainkan harus
beberapa kali baru tampak perubahannya. Setelah fase menyimpan kegiatan belajar
berhenti mungkin dilanjutkan esok atau lusa.
Fase menggali (1), yaitu siswa menggali informasi yang telah disimpan dalam
LTM ke STM untuk dikaitkan dengan informasi baru yang ia terima. ( Ini terjadi pada
pelajaran waktu berikutnya yang merupakan kelanjutan pelajaran sebelumnya).
Penggalian ini diperlukan agar apa yang telah dikuasai menjadi kesatuan dengan yang
akan diterima, sehingga bukan menjadi informasi yang lepas-lepas satu sama lain.
Setelah penggalian informasi dan dikaitkan dengan informasi baru maka terjadi lagi
pengolahan informasi untuk diberi makna seperti halnya dalam fase mengolah untuk
selanjutnya disimpan dalam LTM lagi.
11
Fase manggali (2), siswa menggali informasi yang telah tersimpan dalam LTM
untuk persiapan fase prestasi, baik langsung maupun melalui STM. Fase menggali (2)
diperlukan untuk kepentingan unjuk kerja, menyelesaikan tugas, menjawab soal,
maupun mengerjakan latihan.
Fase prestasi, informasi yang telah tergali dalam fase sebelumnya digunakan
untuk menunjukkan prestasi yang merupakan hasil blajar. Hasil belajar itu misalnya
berupa ketrampilan mengerjakan sesuatu, kemampuan menjawab soal, menyelesaikan
tugas.
Fase umpan balik, siswa memperoleh penguatan (konfirmasi) yaitu perasaan
puas atas prestasi yang dicapainya. Hal ini terjadi jika pestasinya baik, tetapi sebaliknya
siswa akan tidak senang jika prestasinya jelek. Perasaan puas maupun rasa tidak puas itu
bisa saja diperoleh dari luar yaitu dari gurunya (eksternal) dan bisa pula diperoleh dari
dalam diri siswa sendiri (internal).
Rangkaian fase-fase dalam proses belajar di kelas dapat digambarkan seperti
berikut:
12
BAGAN PROSES BELAJAR SISWA DI KELAS
(disarikan dari tulisan Winkel W.S. : Psikologi Pengajaran 1989)
Motivasi
Konsentrasi
Mengolah/STM
Menyimpan/LTM
Menggali (2)
Prestasi
Umpan balik
Menggali (1)
13
C. Tipe-tipe Belajar
Tipe belajar dapat dilihat dari dua segi yakni dari segi proses dan dari segi hasil.
Dari segi proses artinya tipe itu dilihat dari bagaimana proses belajar itu terjadi.
Sedangkan dari segi hasil berarti tipe itu dilihat dari segi bentuk perubahan apa yang
ada setelah individu itu belajar.
Menurut Robert M. Gagne tipe belajar dilihat dari segi proses belajar yakni
bagaimana belajar berlangsung pada individu, tipe belajar dibedakan:
1. Belajar Isyarat (Signal Learning), yakni memberikan respon terhadap stimulus ( S – R).
tipe ini mirip dengan teori Pavlov. Misalnya mendengar bunyi bel – keluar air liur,
melihat kilat – jantung berdebar-debar. Respon berujud keluar air liur dan jantung
berdebar-debar merupakan respon yang telah dikondisi terhadap stimulus bunyi bel dan
kilat.
2. Belajar Stimulus – Respons dengan Penguatan (Stimulus – Respons Learning). Belajar
tipe ini dilakukan dengan memberikan respon terhadap stimulus disertai dengan
penguatan. Misalnya setiap bertemu gurunya memberikan salam. Memberikan salam
merupakan respon yang diulang-ulang oleh siswa (setiap memberi salam gurunya
tersenyum). Memberi salam merupakan respon yang diulang-ulang karena anak
memperoleh penguatan yakni tersenyum dari gurunya. Demikian juga burung beo selalu
mengucapkan “selamat pagi non” kepada anak tuannya. Ucapan selamat pagi
merupakan respon yang diulang-ulang, karena setiap mengucapkan kata itu si beo
memperoleh penguatan yakni makanan kesukaannya.
14
3. Belajar Rangkaian (Chaining Learning). Rangkaian dalam chaining merupakan rangkaian
berbagai S – R yang bersifat segera. Hal ini merupakan rangkaian gerakan motorik.
Misalnya datang dari sekolah: meletakkan tas, membuka sepatu, menaruh sepatu, ganti
baju, membasuh tangan, lalu makan. Rangkaian gerakan motorik ini terjadi secara
otomatis bila satu gerakan selesai dikerjakan.
4. Belajar Asosiasi Verbal (Verbal Assosiation), yakni memberikan reaksi verbal dalam
bentuk kata, kalimat atau bahasa. Anak ditunjukkan gambar kursi: kemudian kepadanya
diajukan pertanyaan: “gambar apa ini?”, lalu amenjawab: “itu gambar kursi”. Demikian
juga pertanyaan: “Siapa namamu?”, anak menjawab: “nama saya Prima”.
5. Belajar Membedakan (Discrimination Learning). Tipe belajar ini seseorang membedakan
rangsang yang hampir mirip. Seperti membedakan nama binatang yang berkaki empat,
nama bangun seperrti kubus, limas, balok. Nama-nama itu bisa disebutkan dengan
benar jika seseorang telah dapat membedakan dengan tepat antara yang satu dengan
yang lainnya.
6. Belajar Konsep (Concept Learning), yakni menempatkan obyek ke dalam klasifikasi
tertentu misalnya binatang dikelompokkan menjadi vertebrata, reptilia,”ikan-ikanan”,
amphibia. Seseorang dapat mengklasifikasi demikian setelah mengetahui cirri-ciri yang
ada pada setiap binatang tersebut.
7. Belajar Aturan (Rule Learning). Belajar berdasar kaidah atau dalil yang ada. Misalnya
semua logam dipanasi memuai, besarnya sudut sebuah segitiga 180 derajat, air
mengalir dari tempat yang tinggi menuju ke tempat yang rendah.
15
8. Belajar Pemecahan Masalah (Problem Solving), yakni memecahkan masalah dilakukan
dengan cara menggabungkan beberapa kaidah, konsep dan aturan-aturan yang telah
dikuasai. Pemecahan masalah memerlukan pemikiran dengan cara melihat unsur-unsur,
menghubungkan beberapa pengalaman.
Tipe-tipe belajar yang diuraikan di atas bersifat hierarkis antara yang satu dengan yang
lainnya. Artinya tipe belajar yang dibawah merupakan prasyarat bagi tipe belajar di atasnya,
tetapi tidak sebaliknya. Misalnya tipe belajar pemecahan masalah mempersyaratkan
penguasaan tipe belajar aturan, tipe belajar aturan mempersyaratkan tipe belajar konsep.
Sedangkan tipe belajar aturan tidak mempersyaratkan tipe belajar pemecahan masalah.
Tipe belajar bagian bawah seperti belajar isyarat, belajar stimulus-respon, belajar
rangkaian barangkali sepertinya kurang relevan untuk belajar di sekolah namun demikian bukan
berarti tidak dipakai sama sekali. Sedangkan tipe belajar asosiasi verbal, belajar membedakan,
belajar konsep, belajar aturan, dan belajar pemecahan masalah jelas merupakan tipe belajar
yang banyak digunakan untuk belajar di sekolah.
Dilihat dari hasil belajar menurut Bloom tipe belajar dibedakan menjadi tipe belajar
kognitif, afektif, dan tipe belajar psikomotor.
1. Tipe Belajar Kognitif. Bentuk belajar kognitif ialah hasil belajar yang berupa perubahan
segi intelektual. Perubahan itu berupa perubahan pengetahuan hafalan (knowledge),
pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisis, sintesis dan evaluasi.
Perubahan-perubahan itu berjenjang artinya yang disebutkan terdahulu lebih rendah
tingkatannya dibandingkanyang disebutkan kemudian. Misalnya perubahan
16
pengetahuan hafalan lebih rendah tingkatannya dibandingkan denganperubahan
pemahaman, perubahan pemahaman lebih rendah dibandingkan dengan penerapan.
2. Tipe Belajar Afektif, yakni merupakan hasil belajaryang berupa perubahan sikap
seseorang. Misalnya dari sikap masa bodoh tentang reboisasi, setelah belajar tentang
hal itu (mengikuti “temu wicara”) seorang petani sikapnya berubah menjadi peduli
terhadap reboisasi. Perubahan sikap terjadi sudah barang tentu didahului oleh adanya
perubahan pengetahuan.
3. Tipe Belajar Psikomotor, adalah hasil belajar yang berupa perubahan ketrampilan
seseorang. Sama halnya dengan perubahan sikap, perubahan ketrampilan juga lebih
dahulu diawali adanya perubahan pengetahuan, misalnya dari tidak bisa mengendarai
sepeda motor setelah belajar seseorang dapat mengendarai motor. Perubahan
ketrmpilan ini terjadi setelah yang bersangkutan mengetahui cara kerrja motor itu.
Persneleng untuk apa, cara menghidupkan dan mematikan mesin, cara memasukkan
gigi persneleng serta pengetahuan lainnya yang berhubungan dengan motor. Sebelum
ada perubahan itu mustahil dapat mengendarai motor.
D. Gaya Belajar
Gaya belajar merupakan cara yang cenderung dipilih seseorang untuk menerima
informasi dari lingkungan dan memproses informasi tersebut atau cara yang cenderung
dipilih seseorang untuk menerima informasi dari lingkungan dan memproses informasi
tersebut. Dengan demikian maka pada dasarnya setiap orang itu akan berbeda dalam
cara belajarnya, cara menangkap informasi, cara mengolah informasi itu untuk diberi
17
makna sesuai dengan persepsinya masing-masing. Hal ini memperkuat adanya
pandangan bahwa setiap orang itu berbeda dengan lainnya. Tentang gaya belajar ini
lebih lanjut dijelaskan oleh Nasution bahwa gaya belajar merupakan cara yang konsisten
yang dilakukan seseorang dalam menangkap stimulus atau informasi, cara mengingat,
berfikir, dan memecahkan soal. Tidak semua orang mengikuti cara yang sama, masing-
masing menunjukkan perbedaan. Gaya belajar seseorang berkaitan dengan kepribadian
seseorang, pengalaman, pengetahuan yang dimiliki, serta riwayat hidup orang yang
bersangkutan.
Gaya belajar setiap orang berbeda satu dengan lainnya. Hal ini berarti bahwa
sejumlah siswa akan sejumlah itu juga gaya belajar yang dimilikinya. Namun demikian
dari penelitian yang ada diketemukan adanya pola kesamaan yang dapat dikategorikan
sebagai berikut:
David Kolb (1981) mengemukakan adanya empat kutub kecenderungan
seseorang dalam proses belajar, kutub-kutub itu ialah:
a. Kutub Perasan/Feeling (Concrete Experience). Anak belajar melalui perasaan,
dengan menekankan segi-segi pengalaman konkrit, lebih mementingkan relasi
dengan sesama dan sensitivitas terhadap perasaan orang lain. Dalam proses
belajar, anak cenderung lebih terbuka dan mampu berdaptasi terhadap
perubahan yang dihadapinya.
b. Kutub Pemikiran/Thinking (Abstract Conceptualization). Anak belajar melalui
pemikiran dan lebih terfokus pada analogis dari ide-ide, perencanaan sistematis,
18
dan pemahaman intelektual dari situasi atau perkara yang dihadapi. Dalam
proses belajar, anak akan mengandalkan perencanaan sistematis serta
mengembangkan teori dan ide untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
c. Kutub Pengamatan/Watching (Reflective Observation). Anak belajar melalui
pengamatan, penekanannya mengamati sebelum menilai, menyimak suatu
perkara dari berbagai perspektif, dan selalu menyimak makna dari hal-hal yang
diamati. Dalam proses belajar, anak akan menggunakan pikiran dan perasaannya
untuk membentuk opini atau pendapat.
d. Kutub Tindakan/Doing (Active Experimentation). Anak belajar melalui tindakan,
cenderung kuat dalam segi kemampuan melaksanakan tugas, berani mngambil
resiko, dan mempengaruhi orang lain lewat perbuatannya. Dalam proses belajar,
anak akan menghargai keberhasilannya dalam menyelesaikan pekerjaan,
pengaruhnya pada orang lain, dan prestasinya.
Lebih lanjut Kolb menjelaskan bahwa seseorang dalam proses belajarnya tidak ada
yang murni tunggal mengikuti satu kutub tertentu, akan tetapi fakta yang ada
seseorang itu akan memiliki gaya belajar kombisasi satu kutub dengan kutub lainnya.
Atas dasar itulah maka gaya belajar seseoarang itu diklasifikasi menjadi empat
macam yakni:
a. Gaya Diverger, kombinasi dari perasaan dan pengamatan. Anak yang memilki
tipe ini unggul dalam melihat situasi konkrit dari banyak sudut pandang yang
berbeda. Pendekatannya pada setiap situasi adalah mengamati dan bukan
19
bertindak. Anak demikian menyukai tugas belajar yang menuntutnya untuk
menghasilkan die-ide, biasanya juga menyukai isu budaya serta suka sekali
mengumpulkan berbagai informasi.
b. Gaya Assimilator, kombinasi dari berfikir dan mengamati. Anak dengan gaya ini
memiliki kelebihan dalam memahami berbagai sajian informasi serta
merangkumnya dalam suatu format yang logis, singkat, dan jelas. Biasanya anak
tipe ini kurang perhatian pada orang lain dan lebih menyukai ide serta konsep
yang abstrak, mereka juga cenderung lebih teoritis.
c. Gaya Converger, kombinasi dari berfikir dan berbuat. Anak dengan tipe ini
unggul dalam menemukan fungsi praktis dari berbagai ide dan teori. Biasanya
mereka memiliki kemampuan yang baik dalam memecahkan masalah dan
pengambilan kepurtusan. Mereka juga cenderung lebih menyukai tugas-tugas
teknis (aplikatif) daripada masalah sosial atau hubungan antar pribadi.
d. Gaya Accomodator, merupakan kombinasi dari perasaan dan tindakan. Anak
dengan tipe ini memiliki kemampuan belajar yang baik dari hasil pengalaman
nyata yang dilakukannya sendiri. Mereka suka membuat rencana dan melibatkan
dirinya dalam berbagai pengalaman baru dan menantang. Mereka cenderung
untuk berrtindak berdasarkan intuisi atau dorongan hati daripada berdasarkan
analisa logis. Dalam usaha memecahkan masalah, mereka biasanya
mempertimbangkan faktor manusia (untuk mendapatkan masukan/inforamasi)
dibanding analisa teknis.
20
Susilo dalam bukunya Gaya Belajar Menjadikan makin Pintar , mengklasifikasi
gaya belajar yang ada pada seseoang itu sebagi berikut:
1. Kolaboratif – Indipenden. Seseorang yang merasa lebih mudah untuk belajar bisa
dilakukan bersama teman atau kelompok termasuk memiliki gaya kolaboratif, bisa
diterapkan pada mahasiswa yang mengambil jurusan manajemen, sastra, dan
perhotelan. Sebaliknya, gaya indipenden dimiliki oleh mereka yang lebih suka untuk
belajar sendiri, sesuai untuk diterapkan pada jurusan seni, desain, teknik sipil, teknik
asitektur.
2. Tactile – Verbal. Gaya belajar taktil menjadi ciri dari orang-orang yang suka
menggunakan gambar, diagram, hitungan, dan banyak praktek, antara lain menjadi
ciri khas mahasiswa jurusan teknik sipil, teknik arsitektur, desain, teknik mesin,
akutansi, teknik industri. Sedangkan mereka yang lebih suka belajar dengan
membaca atau menulis, mnganut gaya belajar yang bersifat verbal, misalnya terlihat
pada mahasiswa jurusan sastra, manajemen.
3. Persepsi Konkrit – Analisa Abstrak. Ada orang yang merasa lebih mudah
mempelajari sesuatu berdasarkan pengalaman-pengalaman yang nyata/konkrit,
disebut sebagai gaya belajar persepsi konkrit, seperti dengan cara menghafal atau
tinggal menerima saja suatu informasi. Sebaliknya adalah mereka yang lebih suka
menggunakan analisis abstrak, meliputi belajar dengan cara menggali sendiri dan
belajar dengan memfokuskan pada pemahaman/pengertian suatu makna.
21
4. Auditori – Visual. Seorang siswa yang merasa lebih mudah mempelajari sesuatu bila
mendengarkan keterangan-keterangan dari guru, disebut memiliki gaya belajar
auditori. Adapun siswa yang merasa mudah untuk belajar bila dengan cara melihat
atau membaca bahan-bahan pelajaran, disebut memiliki gaya belajar visual.
5. Terstruktur – Tidak Terstruktur. Seseorang dengan gaya belajar terstruktur
cenderung membutuhkan petunjuk dan batasan yang jelas dalam mempelajari
sesuatu hal, misalnya nampak pada mahasiswa dari jurusan akutansi, teknik sipil.
Sebaliknya, mereka yang memiliki gaya belajar tidak terstruktur, lebih suka
menjabarkan dan menggali lebih dalam hal yang dipelajari, misalnya terlihat pada
mahasiswa dari jurusan seni, desain, teknik arsitektur, sastra.
6. Sprinter – Maraton. Gaya belajar sprinter dimiliki oleh orang-orang yang bisa
belajar lebih baik bila berada dalam suatu tekanan. Sebaliknya mereka yang
memerlukan persiapan lebih dahulu jauh-jauh untuk bisa mempelajari suatu
termasuk memiliki gaya belajar yang bersifat maraton.
Penelitian yang dilakukan oleh Witkin tentang Gaya Belajar yang dijelaskan oleh
Nasution, dikemukakan ada tiga klasifikasi gaya belajar yakni: filed dependent – field
independent, Impulsif – Reflektif, dan Preseptif – reseptif - Sistematis – Intuitif
1. Field Dependent – Field Independent. Karakteristik yang ada pada gaya field
dependent sangat dipengaruhi oleh lingkungan , banyak tergantung pendidikan masa
kecil. Dididik untuk selalu memperhatikan orang lain. Mengingat hal-hal dalam konteks
sosial, misalnya gadis, mengenakan rok menurut panjang yang lazim. Bicara lambat
22
agar dapat dipahami orang lain. Mempunyai hubungan sosial yang luas, cocok untuk
bekerja dalam bidang bimbingan dan konseling, pendidikan, dan sosial, atau lebih
cocok untuk memilih psikologi klinis. Lebih banyak terdapat pada kalangan wanita.
Lebih sukar memastikan bidang mayornya dan sering pindah jurusan. Tidak senang
pelajaran matematika, lebih menyukai bidang humaniora dan ilmu-ilmu sosial. Guru
yang field dependent cenderung diskusi, demonstrasi. Memerlukan petunjuk yang
lebih banyak untuk memahami sesuatu, bahan hendaknya tersusun langkah demi
langkah. Lebih peka akan kritik dan perlu mendapat dorongan, kritik jangan bersifat
pribadi. Sedangkan gaya belajar field independent memiliki spesifikasi kurang
dipengaruhi oleh lingkungan dan oleh pendidikan di masa lampau. Dididik untuk
berdiri sendiri dan mempunyai otonomi atas tindakannya, tidk peduli akan norma-
norma orang lain. Berbicara cepat tanpa menghiraukan daya tangkap orang lain.
Kurang mementingkan hubungan sosial, sesuai untuk jabatan dalam bidang
mamtematika, sains, teknik. Lebih sesuai memilih psikologi eksperimental. Di dominasi
oleh pria daripada wanita. Lebih mudah memilih bidang mayornya. Dapat juga
menghargai humaniora dan ilmu-ilmu soaial, akan tetapi lebih cenderung kepada
matematika dan ilmu pengetahuan alam. Guru yang field independent cenderung
memberikan kuliah, menyampaikan mata pelajaran dengan cara memberitahukannya.
Tidak memerlukan petunjuk yang rinci. Dapat menerima kritik demi perbaikan.
2. Impulsive – Reflektif. Orang yang impulsive mengambil keputusan dengan cepat
tanpa memikirkan secara mendalam. Sebaliknya orang yang reflektif
mempertimbangkan segala alternative sebelum mengambil keputusan dalam situasi
23
yang tidak mempunyai penyelesaian yang mudah. Jadi orng refelktif atau impulsive
bergantung pada kecenderungan untuk merfleksi atau memikirkan alternative-
alternatif kemungkinan pemecahan suatu masalah yang bertentangan dengan
kecenderungan untuk mengambil keputusan yang impulsive dalam menghadapi
masalah-masalah yang sangat tidak pasti jawabanannya.
3. Preseptif – Reseptif – Sistematis – Intuitif. Orang yang preseptif dalam
mengumpulkan informasi mencoba mengadakan organisai dalam hal-hal diterimanya,
ia menyaring informasi yang masuk dan memperhatikan hubungan-hubungan di
antaranya. Ia membentuk aturan yang membantunya dalam menerima informasi yang
sesuai dengan sistem atau konsep yang mereka gunakan agar informasi itu merupakan
kebulatan yang bertalian. Orang yang reseptif lebih memperhatikan detail atau rincian
informasi dan tidak berusaha untuk membulatkan atau mempertalikan informasi yang
satu dengan yang lain. Orang yang reseptif mengumpulkan banyak informasi akan
tetapi tidak melihat atau membentuknya menjadi kebulatan yang bermakna.
Sebaliknya yang preseptif cenderung untuk menyaring data atau informasi, dengan
kemungkinan mengabaikan detail yang mungkin ada maknanya bagi pemecahan suatu
masalah. Orang sistematis mencoba melihat struktur suatu masalah dan bekerja
sistematis dengan data atau informasi untuk memecahkan suatu persoalan. Orang
yang intuitif langsung mengemukakan jawaban tertentu tanpa menggunakan informasi
secara sistematis. Mereka lebih cenderung untuk memecahkan suatu persoalan
dengan jalan trial and error dan mudah melompat-lomapat dari cara penyelesaian
yang satu kepada lainnya. Dengan demikian maka dapat dirangkumkan seperti berikut
24
ini. Preseptif, (1) memperhatikan aturan, (2) memusatkan perhatian pada hubungan di
antara informasi atau data, (3) melompat dari data yang satu kepada data yang lain
untuk mendapatkan hubungannya. Reseptif, (1) memperhatikan detail, (2) menjauhi
bentuk konsep sebelum memperoleh suatu keterangan, (3) mendesak atau menuntut
segala keterangan sebelum mengambil kesimpulan. Intuitif, (1) memperhatikan
keseluruhan masalah, (2) mempercayai petunjuk atas perasaan, (3) melompat-lompat
jalan pikirannya, (4) sering merumuskan masalah itu kembali, (5) mempertahankan
jawabannya atas dasar cocoknya jawaban itu dengan hal-hal lain, jadi tidak
berdasarkan metode yang digunakannya. Sistematis, (1) mula-mula mencari suatu
metode pendekatan dan pemecahan, (2) menentukan jawaban berdasarkan suatu
metode, (3) segera meniadakan alternative yang tidak sesuai, (4) melakukan penelltian
dengan teratur untuk mendapatkan data yang lebih banyak, (5) menyelesaikan setiap
langkah sebelumnya sebelum meningkat kepada langkah berikutnya.
Cara-cara Mempengaruhi Gaya Belajar Siswa
Pendapat Mahlios dari hasil studinya yang dikemukan oleh Slameto menjelaskan
beberepa temuannya sebagai berikut:
1. Menempatkan siswa di dalam kelas yang berbeda berdasarkan gaya belajar mereka.
Melalui penempatan kelas yang terpisah, guru dapat memberikan pengajaran melalui
metode yang dianggap lebih efektif dan relevan bagi masing-masing gaya belajar. Untuk
tujuan ini, kesadaran guru akan pilihan gaya pengajarannya serta pengetahuannya
mengenai pilihan atau gaya belajar siswa merupakan praktek utama, agar pengajaran yang
25
lebih sesuai dapat diterapkan pada siswa. Siswa dengan gaya belajar field dependent (FD)
lebih cocok dengan metode pembelajaran discoverey atau proses penemuan, sedangkan
yang bergaya field independent (FDP) lebih sesuai dengan metode ekspository atau
ceramah.
2. Menempatkan siswa-siswa FD dan FDP di dalam kelas yang sama, dengan perbandingan
yang cukup seimbang. Dibandingkan dengan cara pertama, cara kedua ini lebih ekonomis.
Untuk cara ini, kesadaran guru akan gaya pengajaran yang dipilih penting sekali. Teknik
pengajaran yang dipakai harus secara selektif diberikan: (a) sebagai tahap pelaksanaan
pengajaran, pemberian kuliah sebagai metode pengajaran dapat dilakukan kemudian, (b)
diskuis-diskusi kelompok dapat dilakukan.
3. Cara lain yang dapat dilakukan untuk memperbaiki pengajaran ialah memberikan umpan
balik kepada pengajar sehubungan dengan pola-pola interaksi yang mereka gunakan
dengan siswa tertentu. Informasi atau umpan balik yang diterima diharapkan dapat
membantu pengajar untuk mengetahui bagaimana mereka dalam kenyataannya
berhubungan dengan siswa dalam hal cara pengajaran yang digunakan.
26
II. TEORI BELAJAR DAN KESULITAN BELAJAR
A. Teori Belajar
Proses belajar yang terjadi pada seseorang dapat dijelaskan menurut teori-teori
tertentu. Teori yang menerangkan bagaimana terjadinya proses belajar pada seseorang
itu disebut teori belajar. Untuk memberi sedikit gambaran tentang teori belajar berikut
disajikan secara singkat beberapa teori belajar yang popular dan sering dijumpai dalam
praktek penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran.
1. Teori koneksionisme (connectionism theory), teori ini dikemukakan oleh E.L. Thorndike.
Menurut teori ini belajar merupakan pembentukan hubungan antara stimulus (S)
dengan respon (R). Hubungan stimulus dengan respon itulah yang menentukan kuat
lemahnya tingkahlaku yang dibentuk. Bila hubungan itu kuat akan menjadi kebiasaan
tetapi jika sebaliknya hubungan itu lemah maka kebiasaan akan hilang. Karena teori ini
menekankan hubungan antara S – R maka teori ini disebut teori koneksionisme atau
teori bond (koneksi=bond=hubungan). Sebelum mengemukakan teori belajarnya
terlebih dahulu ia melakukan percobaan terhadap seekor kucing. Percobaan itu
dilakukan dengan cara memasukkan kucing ke dalam sangkar yang tertutup pintunya. Di
luar sangkar ditaruh daging yang merupakan makanan kesukaan kucing. Daging di sini
merupakan stimulus (S) bagi kucing. Melihat daging yang ada di luar sangkar kucing
berusaha memberi respon yakni dengan cara mencakar dan menubruk sangkar yang
tertutup itu. Respon itu diberikan berkali-kali (perbuatan ini disebut trial and error).
Setelah mencakar dan menubruk berkali-kali akhirnya si kucing dapat menyentuh pintu
27
dan keluar. Percobaan demikian dilakukan beberapa kali, ternyata trial yang dilakukan
oleh kucing makin lama makin sedikit, hubungan antara stimulus dengan respon
semakin kuat. Atas dasar percobaan itu E.L. Thorndike berkesimpulan, (a) belajar terjadi
pada seseorang dengan tanpa idea atau penalaran melainkan dilakukan dengan respon
instinktif. Kucing memberi respon dengan mencakar, menubruk sesuai dengan insting
naluriah yang dimilikinya. Seekor ayam dengan mematuk atau mencakar bila
memberikan respon, (b) belajar berlangsung secara bertahap (incremental) bukan
sekaligus (cramming). Artinya belajar itu dilakukan berkali-kali melalui trial and error, (c)
semua makhluk mamalia (termasuk manusia) memiliki kecenderungan cara belajar yang
sama. Karena itu dalam belajar berlaku hukum-hukum yang universal, berlaku untuk
semua makhluk mamalia tidak terkecuali juga manusia.
Dalam teori koneksionisme dikenal dengan hukum-hukum belajar yakni suatu
kecenderungan yang ada pada saat individu belajar. Hukum belajar yang utama atau
biasa disebut hukum belajar primer ialah the law of readiness, the law of exercise, dan
the law of effect.
a. The law of readiness, hokum ini menjelaskan bahwa hubungan antara stimulus
dengan respon akan cepat terjadi dan semakin kuat bila organism telah ada kesiapan
saat stimulus dimunculkan, namun jika organisme belum siap respon sulit terjadi
dan akan lemah. Menurutnya ada tiga suasana yang mungkin terjadi: (1) organisme
siap – diberikan stimulus – anak memberikan respon. Respon tingkahlaku anak akan
sepenuh hati sehingga memberikan kepuasan, (2) organisme siap – tidak diberi
28
stimulus – anak tidak memberi respon. Karena itu kemudian anak akan
bertingkahlaku lain untuk mengurangi ketidak puasannya, (3) organisme tidak siap –
diberi stimulus – anak memberikan respon dengan terpaksa. Dalam hal ini anak tidak
puas dan akan menampakkan tingkahlaku lain untuk menekan paksaan yang ada.
Suasana yang paling baik untuk keefektifan belajar ialah suasana yang pertama
yakni: anak siap – diberi stimulus –anak memberikan respon.
b. The law of exercise, menjelaskan hubungan antara stimulus dengan respon akan
menjadi kuat bila sering diadakan latihan (the law of use), tetapi sebaliknya akan
lemah jika jarang dilatihkan (the law of disuse). Jadi jika sering diberikan latihan
kepada anak maka respon akan mudah terjadi dan jika jarang dilatihkan maka
respon akan sulit terjadi.
c. The law ofeffect, menjelaskan bahwa efek/pengaruh/akibat ialah kuat tidaknya
hubungan antara stimulus dengan respon tergantung akibat yang dirasakan individu
setelah memberikan respon. Suatu respon yang membuat individu memperoleh
kepuasan maka akan memperkuat hubungan antara stimulus dengan respon, tetapi
jika anak setelah memberi respon menjadi kecewa maka akan memperlemah
hubungan antara stimulus dengan respon.
Hukum-hukum belajar ini akhirnya direvisi sendiri oleh E.L.Thorndike menjadi: the law of
exercise tidak lagi dibenarkan karena ternyata latihan saja tidak cukup membuat
kuatnya hubungan antara stimulus dengan respon. Hukum lain yang juga direvisi ialah
the law ofeffect, menurut penelitian selanjutnya ternyata hanya sebagian yang benar.
29
Yakni respon yang diikuti perasaan senang akan memperkuat hubungan antara stimulus
dengan respon, sedangkan respon yang diikuti perasaan tidak senang tidak otomatis
memperlemah hubungan antara stimulus dengan respon.
Konep lain yang dikemukakan oleh E.L.Thorndike ialah:
a. Multiple respons, yakni respon yang bermacam-macam atau bervarasi pada saat
permulaan indvidu mengalami proses belajar. Jika seseorang tidak dapat
memecahkan masalah dengan suatu respon maka dia akan mencoba dengan respon
lainnya sampai individu mendapatkan respon yang tepat.
b. Transfer of training, yakni pengalihan hasil belajar kepada pemecahan masalah atau
pnyelesaian tugas lain. Transfer of training akan terjadi jika situasi baru yang
dihadapinya banyak kemiripan dengan apa yang sudah dikuasai. Dengan demikian
respon yang dilakukan berdasarkan kesamaan respon yang pernah dilakukan
sebelumnya. Keadaan ini sering disebut response by analogy. Unsur-unsur yang ada
dalam stimulus baru ada kemiripan dengan unsur-unsur yang ada dalam stimulus
sebelumnya. Kesamaan unsur ini disebut identical elements. Konsep ini
mengisyaratkan bahwa pengajaran di sekolah seharusnya dibuat mirip dengan apa
yang terjadi di masyarakat agar nantinya pada anak mudah terjadi transfer of
training. Anak akan mampu memecahkan masalah-masalah di masyarakat meskipun
hal itu belum pernah dijumpai ketika di sekolah.
c. Associative chifting, konsep ini berhubungan dengan konsep identical elements pada
transfer of training yakni peralihan suatu situasi lama ke situasi baru. Caranya ialah
30
situasi lama sedikit demi sedikit ditambahkan unsur atau elemen baru maka dengan
demikian akan menimbulkan respon baru yang semula respon itu ditujukan kepada
situasi lama maka setahap demi setahap akan berupa respon baru sama sekali.
d. Prepotency of elements, yakni seseorang akan memberikan respon kepada stimulus
sesuai dengan persepsinya masing-masing. Jadi suatu stimulus tidak akan dilihat
secara keseluruhan malainkan akan dilihat sebagian yang mnjadi perhatiannya,
itulah yang akan diberi respon sedangkan lainnya tidak akan direspon.
e. Set and attitude, yakni situasi dan sikap seseorang mempengaruhi respon yang
diberrikannya. Situasi kejiwaan yang menyenangkan, sikap yang positif
mempengaruhi respon yang diberikan seseorang terhadap stimulus yang ada.
Pendapat ini menunjukkan bahwa dalam belajar manusia tidak dipandang seperrti
mekanis atau mesin tetapi unsur kejiwaannya tetap mempengaruhi responnya.
2. Teori klasikal conditioning (classical conditioning theory), yakni merupakan teori belajar
yang dipelopori oleh Ivan Pavlov. Tokoh ini lebih dahulu melaksanakan eksperrimen
terhadap keluarnya air liur anjing sebagai respon terhadap stimulus yang diatur atau
dikondisi yaitu suara bel atau cahaya lampu yang disodorkan setelah stimulus daging
diberikan.
31
Unsur-unsur dalam eksperimen Pavlov ialah:
a. Unconditioned stimulus (UCS), yakni stimulus yang waja menimbulkan respon, dalam
hal ini ialah daging.
b. Unconditioned response (UCR), yaitu respon yang wajar timbul terhadap UCS, dalam
eksperimen ini ialah keluarnya air liur.
c. Conditioned stimulus (CS), yakni stimulus netral yang tidak menimbulkan respon
wajar, dalam eksperimen ini ialah cahaya lampu atau bunyi bel.
Bagan eksperimen Pavlov sebagai berikut:
Bunyi bel ----------------------------->daging---------------------------------------->air liur
(CS) (UCS) (UCR)
Percobaan ini dilakukan dengan cara membunyikan bel – menyodorkan daging – maka
akan keluar air liur. Air liur keluar merupakan respon yang wajar terhadap stimulus
daging. Demikian dilakukan beberapa kali, dan akhirnya setelah bel dibunyikan tidak lagi
disodori daging ternyata air liur tetap keluar. Dalam hal ini air liur ternyata bisa
merupakan respon terhadap bunyi bel (setelah lebih dahulu dikondisi), meskipun bunyi
bel sebenarnya merupakan stimulus yang netral. Jadi air liur merupakan respon
bersyarat terhadap bunyi bel, sehingga kemudian ditemukan:
Bunyi bel ------------------------------------------------------>air liur
(CS) (CR)
32
Dalam tahap ini air liur selalu keluar jika kepada anjing itu dibunyikan bel. Namun diakui
ternyata respon terhadap stimulus yang dikondisi demikian makin lama juga akan
berhenti juga, artinya air liur tidak lagi keluar meskipun disodorkan bunyi bel. Keadaan
demikian ini disebut experimental exitinction. Jika kemudian experimental exitinction
dihentikan sementara kemudian bunyi bel disodorkan lagi maka respon keluarnya air
liur akan terjadi lagi, hal ini disebut oleh Pavlov spontaneous recovery atau respon
“hidup kembali” secara spontan.
Inti pokok dari ajaran teori klasikal kondotioning ialah bahwa tingkahlaku dapat
dibentuk atau dirubah (merupakan hasil belajar) dengan mengkondisi stimulus. Respon
si belajar dapat diarahkan terhadap stimulus tertentu meskipun semula tidak
menimbulkan respon. Bunyi bel seperti dalam percobaan di atas semula bukan
merupakan stumulus bagi respon keluarnya air liur, tetapi karena dikondisi dengan
daging yang merupakan stimulus yang wajar (UCS) maka air liur menjadi respon bagi
bunyi bel.
Contoh kejadian di sekolah mengenai berlakunya teori klasikal conditioning:
Fisika -----------------------> guru yang ramah ---------------------------------->rasa senang
(CS) (UCS) (UCR)
Fisika ----------------------------------------------------------------------------------->rasa senang
(CS) (CR)
33
Fisika merupakan stimulus netral tetapi bisa menimbulkan rasa senang karena
telah dikondisi dengan stimulus guru yang ramah. Fisika merupakan CS, guru yang
ramah merupakan UCS dan rasa senang pada siswa semula merupakan UCR. Respon
rasa senang ditujukan kepada guru yang ramah, tetapi setelah itu rasa senang bisa
merupakan respon terhadap pelajaran fisika, disini rasa senang merupakan (CR)
terhadap pelajaran fisika (CS).
3. Teori Belajar Gestalt (Gestalt Theory). Tokoh penting dalam teori ini ialah Kohler, Koffka,
Wertheimer. Teori belajar ini dipengaruhi oleh aliran psikologi gestalt yang menyatakan
bahwa sistem kejiwaan seseorang merupakan kesatuan, unsur-unsur yang ada di
dalamnya tidak memiliki arti apa-apa di luar kesatuan. Jadi unsur-unsur itu baru
memiliki arti jikalau di dalam suatu kesatuan organisasi. Misalnya kita mengamati
manusia, maka kita akan mengamati manusia itu sebagai suatu kesatuan. Bagian-bagian
yang ada didalamnya diamati dalam konsteks kesatuan manusia yang bersangkutan
bukan dilihat secara terpisah-pisah. Dalam gambar berikut ini menunjukkan secara jelas
tentang psikologi gestalt.
Kesatuan unsur-unsur dalam kesatuan
34
Percobaan terhadap seekor simpanse yang dilakukan oleh Kohler memberi ilham
lahirnya Teori Belajar Gestalt. Seekor simpanse dimasukkan dalam sangkar yang di atasnya
digantungkan pisang, di dalam kandang itu dilengkapi beberapa balok yang dpat disusun ke
atas, serta beberapa tongkat yang juga dapat disambung-sambung. Dlam percobaan itu
simpanse berusaha untuk meraih pisang yang ditaruh di atasnya, untuk mencapainya ia
mengamati hal-hal yang ada di sekitarnya. Simpanse mengambil balok dan secara
bertahapd isusun setelah selesai kemudian dia naik di atas balok ternyata masih belum bisa
meraih pisang. Keadaan ini masih belum bisa memecahkan masalah untuk meraih pisang,
selanjutnya simpanse melihat ada tongkat. Secara bertahap tongkat disambung-sambung
dan pada akhirnya problem untuk meraih pisang dapat terpecahkan.
Prinsip pokok teori belajar Gestalt ialah belajar itu merupakan aktivitas untuk
memecahkan problem. Setiap menghadapi problem individu mengalami ketidak
seimbangan dalam kognisinya yang terus menerus. Keadaan ketidak seimbangan ini akan
menimbulkan motivasi bagi individu yang bersangkutan untuk mencari keseimbangan.
Individu akan mencari dan memikirkan hal-hal apa yang dapat memecahkan problem yang
sedang dihadapinya. Ia akan mencoba berfikir menghubungkan pengalaman-pengalaman
berbagai pengetahuan agar bisa memecahkan problem. Diketemukannya pemecahan
masalah itu secara tiba-tiba sebagai insight (pemahaman). Sebelum menemukan insight
lebih dahulu individu melakukan pra solution, yakni mencoba kemungkinan pemecahan
masalah yang tepat. Mencoba kemungkinan salah satu pemecahan. Jika pemecahan itu
diduga tidak berhasil maka akan dicoba kemungkinan pemecahan masalah lainnya sampai
akhirnya ditemukan pemecahan yang tepat. Dalam tahap ini apa yang dilakukan individu
35
seolah seperti trial and error dalam teori koneksionisme. Namun perlu diketahui bahwa
trial and error dalam belajar gestalt berlangsung secara mental sedangkan trial and error
dalam teori koneksionisme berlangsung secara instingtif. Misalnya melalui mencakar,
meunubruk seperti yang dilakukan oleh kucing atau mematuk seperti yang dilakukan oleh
ayam.
Belajar di sekolah menurut teori ini tidak ubahnya kepada siswa itu dihadapkan berbagai
problem belajar. Misalnya kepada siswa disodorkan informasi yang belum ia ketahui,
ditanamkan sikap yang belum ia miliki,dilatihkan ketrampilan yang belum ia kuasai.
Informasiyang belum ia ketahui, sikap yang belum ia miliki dan ketrampilan yang belum
dikuasai itu merupakan problem yang harus dipecahkannya. Karena itu kemudian siswa
berusaha memecahkan problem melalui berbagai aktivitas belajar seperti mendengarkan
penjelasan guru, membaca literatur yang disarankan, berdiskusi dengan teman, melakukan
percobaan di laboratorium, berlatih melakukan kegiatan tertentu serta kegiatan-kegiatan
lain yang memungkinkan seseorang memperoleh pemecahan masalah. Belajar secara
gestalt disebut insightful learning.
Insidghtful learning mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Perpindahan dari fase pra solution ke fase solution adalah secara tiba-tiba
dan menyeluruh.
b. Penyelesian problem yang diperoleh melalui insight biasanya lancar dan
tanpa masalah.
36
c. Penyelesaian problem melalui insight biasanya diingat untuk jangka waktu
yang lama.
d. Prinsip-prinsip yang diperoleh melalui insight akan dengan mudah dikenakan
kepada problem-problem lain atau terjadi transfer of training.
Dalam teori belajar gestalt berlaku prinsip-prinsip belajar seperti berikut:
a. Belajar itu berdasar keseluruhan. Keseluruhan lebih berarti atau bermakna
bila dibandingkan dengan bagian-bagian. Karena bagian akan memiliki
makna bila ada hubungannya dengan keseluruhan. Misalnya kata-kata lepas
tidak mempunyai arti sebelum dirangkai ke dalam kalimat.
b. Si belajar (learner) merupakan keseluruhan. Individu yang belajar juga
merupakan keseluruhan aspek pribadinya, bukan hanya salah satu aspek
saja. Misalnya hanya aspek intelek saja, emosi saja. Hal ini terjadi karena jiwa
merupakan totalitas.
c. Belajar merupakan insight. Seseorang melakukan perbuatan belajar berkat
adanya insight, bukan semata-mata trial and error. Perbuatan belajar benar-
benar didasarkan pada pemahaman yang diperolehnya dengan jalan
menghubung-hubungkan pengalaman ke dalam berbagai situasi.
d. Belajar berdasarkan pengalaman. Insight akan mudah terjadi jika seseorang
memilikibanyak pengalaman yang relevan dengan problem yang dihadapi.
37
Hal ini terjadi karena makin banyak pengalaman yang relevan maka
memudahkan untuk menghubungkannya dengan situasi dan kondisi baru.
e. Belajar akan lebih berhasil jika dihubungkan dengan minat dan kebutuhan
siswa. Anak-anak akan lebih berhasil belajarnya jika apa yang dipelajari
sesuai dengan minat dan kebutuhan. Hal demikian akan menarik minat dan
perhatian siswa. Karena itu guru harus berusaha untuk selalu
menghubungkan pelajaran dengan kebutuhan siswa.
B. Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar atau learning difficulty ialah kondisi dalam proses belajar yang
ditandai adanya hambatan untuk mencapai hasil belajar. Hambatan-hambatan itu bisa
datang dari luar siswa bisa juga dari dalam siswa itu sendiri. Di samping itu hambatan
bisa terjadi pada salah satu fase dalam proses belajar. Learning difficulty meliputi
learning disorder, learning disabilities,learning disfunction, under achiever, slow learner
dan sebagainya. Learning disorder memiliki pengertian keacauan dalam belajar, apa
yang dipelajari kacau satu sama lain. Learning diasabilities ialah kurang ada kemampuan
belajar. Learning disfunction ialah kemampuan belajar tidak berfungsi dengan normal.
Under achiever ialah hasil belajar yang ada di bawah kemampuan dasarnya. Sedangkan
slow learner ialah individu yang mengalami kelambatan dalam belajar.
38
Gejala-gejala kesulitan belajar pada individu dapat dilihat pada tanda-tanda berikut ini:
1. Hasil belajar tidak memuaskan. Prestasi belajar yang dapat dilihat dari nilai yang
diperoleh siswa ketinggalan dari teman-temannya. Makin jauh ketinggalannya maka
menandakan makin parah kesulitannya.
2. Adanya tanda-tanda kelambatan dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik.
Mengumpulkan tugas, pekerjaan rumah, mengerjakan ulangan, melaksanakan perintah
sering terlambat. Kelambatan-kelambatan itu seolah tidak disengaja oleh individu yang
bersangkutan.
3. Adanya tingkahlaku negatif. Tingkah laku seperti sering membolos, menentang
guru,membuat kacau di kelas serta keonaran lainnya. Sifat-sifat negatif seperti itu
menggambarkan adanya kesulitan pada dirinya.
4. Adanya emosi yang tidak terkontrol. Siswa yang mengalami kesulitan belajar seringkali
menunjukkan tanda-tanda nervus, gelisah, cemas, kurang percaya diri, mudah
tersinggung.
39
III. APLIKASI TEORI BELAJAR DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR
Dalam melaksanakan proses belajar mengajar di kelas pengajar seharusnya berusaha
mengaplikasikan beberapa konsep dan teori belajar. Dengan mengaplikasikan konsep
maupun teori itu maka diharapkan proses belajar mngajar di kelas dapat berlangsung
secara efektif dan dapat mencapai sasaran.
Tahap-tahap dalam proses belajar mengajar dapat dikategorikan menjadi 5 tingkatan
yaitu: penetapan tujuan, penilaian kemampuan awal siswa, seleksi dan organisasi
pengalaman-pengalaman di dalam kelas, bimbingan pengalaman-pengalaman belajar di
kelas dan terakhir evaluasi.
Berikut ini akan diketengahkan beberapa contoh aplikasi konsep dan teori belajar ke
dalam tahapan proses belajar mengajar di atas.
Penetapan tujuan, dalam tahap ini yang dapat dilakukan guru ialah sedapat mungkin
memperhitungkan keadaan siswa dalam perumusan tujuan pengajaran. Dalam upaya
memperhitungkan kondisi siswa di sini guru haruslah dapat menentukan secara selektif
bagaimana keadaan siswa, kemampuan fisik maupun psikologisnya.
Penentuan kemampuan awal siswa, untuk menyampaikan materi kepada siswa maupun
dalam memberikan tugas-tugas guru harus berusaha mengetahui bagaimana kemampuan
awal yang telah dimiliki oleh siswa. Siswa yang telah memiliki kemampuan yang tinggi
materi maupun tugas yang akan diberikan pasti berbeda jika kemampuan siswa masih
40
rendah. Usaha pemahaman kemampuan siswa ini jelas memerlukan pengetahuan guru
tentang konsep dan teori psikologi khususnya psikologi belajar.
Seleksi dan organisasi pengalaman-pengalaman di dalam kelas, dalam tahap ini yang
dapat dilakukan oleh guru ialah mencoba mengorganisasikan pengalaman belajar yang
sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa, memperhatikan perbedaan individual. Tindakan
lain yang dapat dilakukan ialah pemilihan strategi belajar mengajar yang sesuai dengan
perhatian siswa.
Bimbingan pengalaman-pengalaman belajar di dalam kelas, tindakan yang dapat
dilakukan guru ialah menyajikan pelajaran sedapat mungkin yang menarik, memberikan
reinforcement positif kepada siswa yang menunjukkan sikap positif, memperhatikan
kemampuan setiap siswa, memberikan bimbingan kepada siswa yang mengalami kesulitan
dalam belajar.
Evaluasi, dalam tahap ini guru memberikan evaluasi dengan tujuan untuk memperbaiki
proses. Karena itu maka evaluasi yang kontinyu, menunjukkan hasil pekerjaan siswa,
bersifat obyektif sangatlah penting.
41
KEPUSTAKAAN
Hilgard E.R. 1948. Theories of Learning, New York: Apppleton Century Crofts.
Nasution, S. 1997. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi
Aksara.
Sardiman. 2000. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Rajawali.
Slameto. 1991. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta: Rineka Cipta.
Susilo, M.J. 2006. Gaya Belajar Menjadikan makin Pintar, Yogyakarta: PT Pinus.
Suryabrata, S. 1987. Psikolgi Pendidikan, Bandung: CV Rajawali.
Utoyo, Sutoyo Imam. 1987. Psikologi Belajar, Malang: FIP IKIP MALANG
Winkel, W.S. 1989. Psikologi Pengajaran, Jakarta: Gramedia