kontribusi empati terhadap perilaku altruisme pada siswa siswi sma
TRANSCRIPT
KONTRIBUSI EMPATI TERHADAP PERILAKU ALTRUISME PADA
SISWA SISWI SMA NEGERI 1 SETU BEKASI
AGUSTIN PUJIYANTI
Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk menguji secara empiris kontribusi empati terhadap perilaku altruisme pada siswa siswi SMA negeri 1 Setu Bekasi. Variabel Independent dalam penelitian ini adalah empati, sedangkan variabel Dependent adalah altruisme. Penelitian ini melibatkan 70 orang siswa siswi SMA kelas 1 dan kelas 2 yang berusia antara 14 sampai dengan 17 tahun. Mereka diminta untuk mengisi skala empati dan skala altruisme. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan teknik regresi sederhana yaitu menganalisa kontribusi empati terhadap perilaku altruisme pada siswa siswi dengan menggunakan program SPSS versi 13,0 for windows.
Dari hasil perhitungan diperoleh nilai F sebesar 69,183 dan p = 0,000 dimana p < 0,05. Nilai R diperoleh sebesar 0,710 dan R square sebesar 0,504. Dengan demikian, dapat disimpulkan adanya kontribusi empati secara signifikan terhadap perilaku altruisme pada siswa siswi, dan empati memberikan kontribusi terhadap altruisme sebesar 50,4 %. Adapun 49,6 % altruisme kemungkinan dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya seperti suasana hati, menyakini keadilan dunia dan faktor sosiobiologis. Secara umum, empati dan perilaku altruisme pada subjek tergolong tinggi ke arah positif.
Kata Kunci :Empati, Altruisme, Siswa siswi SMA
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Masa remaja merupakan periode
transisi antara masa kanak-kanak dan masa
dewasa. Batasan usianya tidak ditentukan
dengan jelas, tetapi kira-kira berawal dari
usia 12 sampai akhir usia belasan, saat
pertumbuhan fisik hampir lengkap
(Atkinson dkk, 1993).
Masa remaja tidak hanya ditandai
dengan perubahan-perubahan fisik tetapi
juga dengan timbulnya perubahan-
perubahan psikis. Perubahan-perubahan
psikis mengenai tiga hal, pertama perubahan
emosional yaitu suatu masa dimana
1
ketegangan emosi meninggi sebagai akibat
dari perubahan fisik dan kelenjar, kedua
keinginan dan kemampuan untuk berdiri
sendiri tambah besar dan ketiga mulai
merencanakan tujuan hidup yang ideal bagi
dirinya ( Knys, 1986 ).
Dengan meluasnya kesempatan
untuk melibatkan diri dalam berbagai
kegiatan sosial maka wawasan sosial
semakin membaik pada remaja yang lebih
besar. Sekarang remaja dapat menilai teman-
temannya dengan lebih baik, sehingga
penyesuaian diri dalam situasi sosial
bertambah baik dan pertengkaran menjadi
berkurang ( Hurlock, 1994 ).
Menurut Erikson ( dalam Santrock,
2003 ) selama masa remaja, individu
melakukan pencarian identitas. Bila remaja
dikecewakan dalam hal keyakinan moral dan
keagamaan yang mereka peroleh selama
masa kanak-kanak, mereka cenderung
merasa kehilangan tujuan dan merasa hidup
mereka kosong, setidaknya untuk sementara.
Hal ini dapat membawa remaja ke usaha
mencari ideologi yang akan memberikan
tujuan dalam hidup mereka.
Hoffman ( dalam Goleman, 2002 )
melihat adanya proses alamiah empati sejak
bayi dan masa-masa selanjutnya. Pada umur
satu tahun, anak-anak merasakan sakit pada
dirinya apabila melihat anak lain jatuh dan
menangis, perasaannya sedemikian kuat dan
mengikat sehingga ia menaruh ibu jarinya di
mulut dan membenamkan kepalanya di
pangkuan ibunya, seolah-olah ia sendiri
terluka. Setelah tahun pertama, ketika bayi
sudah lebih menyadari bahwa mereka
berbeda dari orang lain, mereka secara aktif
mencoba menghibur bayi lain yang
menangis, misalnya dengan menawarkan
boneka beruang miliknya. Pada awal usia
dua tahun, anak-anak mulai memahami
bahwa perasaan orang lain berbeda dengan
perasaannya, sehingga mereka lebih peka
terhadap isyarat-isyarat yang
mengungkapkan perasaan orang lain.
Pada akhir masa kanak-kanak,
tingkat empati paling akhir muncul ketika
anak-anak sudah sanggup memahami
kesulitan yang ada dibalik situasi yang
tampak dan menyadari bahwa situasi atau
status seseorang dalam kehidupan dapat
menjadi sumber beban stres kronis. Pada
tahap ini, mereka dapat merasakan
kesengsaraan suatu golongan, misalnya
kaum miskin, kaum tertindas, mereka yang
terkucil dari masyarakat. Pemahaman itu,
dalam masa remaja dapat mendorong
keyakinan moral yang berpusat pada
kemauan untuk meringankan
ketidakberuntungan dan ketidakadilan (
Goleman, 2002 ).
Perasaan positif, seperti empati
memberikan kontribusi pada perkembangan
moral remaja. Walaupun empati dianggap
sebagai keadaan emosional, sering kali
empati memiliki komponen kognitif yaitu
kemampuan melihat keadaan psikologis
dalam diri orang lain, atau yang disebut
dengan mengambil perspektif orang lain.
Pada usia 10 sampai 12 tahun, individu
membentuk empati terhadap orang lain yang
hidup dalam kondisi yang tidak
menguntungkan contohnya orang miskin,
2
orang cacat dan orang-orang yang
dikucilkan. Kepekaan ini membantu anak-
anak yang lebih tua untuk bertingkah laku
altruistik dan pada akhirnya memunculkan
rasa kemanusiaan pada perkembangan
pandangan ideologis dan politik pada remaja
( Santrock, 2003 ).
Menolong orang lain dan ditolong
oleh orang lain jelas meningkatkan
kesempatan bagi orang untuk dapat bertahan
dan bereproduksi. Komponen afektif dari
empati juga termasuk merasa simpatik tidak
hanya merasakan penderitaan orang lain
tetapi juga mengekspresikan kepedulian dan
mencoba melakukan sesuatu untuk
meringankan penderitaan mereka misalnya,
individu yang memiliki empati tinggi lebih
termotivasi untuk menolong seseorang
teman daripada mereka yang memiliki
empati rendah. Komponen kognitif dari
empati tampaknya merupakan kualitas unik
manusia yang berkembang hanya setelah
individu melewati masa bayi, kognisi yang
relevan termasuk kemampuan untuk
mempertimbangkan sudut pandang orang
lain, kadang-kadang disebut sebagai
mengambil perspektif ( perspective taking )
yaitu mampu untuk menempatkan diri dalam
posisi orang lain ( Schlenker & Britt dalam
Baron & Byrne, 2005 ).
Batson ( dalam Sarwono, 2002 )
mengatakan bahwa egoisme dan simpati
berfungsi bersama-sama dalam perilaku
menolong dari segi egoisme, perilaku
menolong dapat mengurangi ketegangan diri
sendiri, sedangkan dari segi simpati,
perilaku menolong itu dapat mengurangi
penderitaan orang lain. Gabungan dari
keduanya dapat menjadi empati, yaitu ikut
merasakan penderitaan orang lain sebagai
penderitaannya sendiri.
Adanya empati memungkinkan
seseorang dapat memotivasi orang lain
sehingga dapat bekerja dengan baik. Setiap
orang dapat meningkatkan kepekaan
perasaan sehingga memiliki tenggang rasa
yang tinggi, yakni dengan membayangkan
suatu keadaan dilihat dari sudut pandang
orang lain. Dengan jalan demikian orang
akan menjadi lebih peka terhadap reaksi
orang lain, dapat merasakan apa yang
dirasakan oleh orang lain, akibat selanjutnya
orang tersebut dapat lebih memahami orang
lain dan dapat memotivasinya untuk
melakukan yang terbaik ( Zuchdi, 2003 ).
Hurlock ( 1988 ) mengemukakan
empati adalah kemampuan untuk
menempatkan diri sendiri dalam keadaan
psikologis orang lain dan untuk melihat
suatu situasi dari sudut pandang orang lain.
Johnson dkk (dalam Sari dkk, 2003)
mengemukakan bahwa empati adalah
kecenderungan untuk memahami kondisi
atau keadaan pikiran orang lain. Seorang
yang empati digambarkan sebagai seorang
yang toleran yang mampu mengendalikan
diri, ramah, mempunyai pengaruh, serta
bersifat humanistik.
Menurut Batson ( dalam Saraswati,
2008 ) dengan empati yaitu pengalaman
menempatkan diri pada keadaan emosi
orang lain seolah-olah mengalaminya
sendiri. Empati inilah yang menurut Batson
akan mendorong orang untuk melakukan
3
pertolongan altruistis. Untuk menguji
pandangan altruistik dari perilaku menolong,
Batson dkk ( dalam Baron dan Byrne, 2005 )
merancang prosedur penelitian di mana
individu meningkatkan empati bystander
dengan menggambarkan dirinya sebagai
salah satunya, mirip atau tidak mirip dengan
korban. Bystander kemudian dihadapkan
pada suatu kesempatan untuk menolong.
Setiap mahasiswa partisipan penelitian
diberikan peran sebagai “observer” yang
melihat “teman mahasiswa” dalam monitor
televisi ketika mahasiswa partisipan
melakukan suatu tugas selagi ( kelihatannya
) menerima kejutan listrik secara acak.
Teman mahasiswa ini sebenarnya asisten
peneliti yang direkam pada video. Setelah
tugas dilaksanakan, asisten itu berkata
bahwa asisten kesakitan dan mengaku
bahwa saat anak-anak dahulu mempunyai
pengalaman traumatik dengan listrik.
Asisten menyetujui untuk melanjutkan jika
dibutuhkan tetapi peneliti bertanya apakah
observer bersedia berganti tempat
dengannya atau mereka harus menghentikan
eksperimen tersebut. Ketika empati kurang
(korban dan partisipan tidak mirip),
partisipan memilih untuk mengakhiri
eksperimen daripada terlibat dalam tingkah
laku prososial yang menyakitkan. Ketika
empati tinggi (korban dan partisipan mirip),
partisipan setuju untuk menggantikan
korban dan menerima kejutan listrik.
Tampak bahwa tindakan altruistik ini
dimotivasi hanya oleh perasaan empatik
untuk korban.
Cialdini dkk ( dalam Baron &
Byrne, 2005 ) menyetujui bahwa empati
menimbulkan perilaku altruistik tetapi
berpendapat bahwa ini hanya terjadi ketika
partisipan mempersepsikan suatu tumpang
tindih antara self dengan orang lain. Jika
orang lain mempunyai tumpang tindih
dengan dirinya maka sebagai akibatnya, hal
ini menjadi bagian dari self concept di mana
partisipan yang membantu sebenarnya
sedang menolong dirinya sendiri.
Altruisme adalah tindakan sukarela
untuk menolong orang lain tanpa
mengharapkan imbalan dalam bentuk
apapun atau disebut juga sebagai tindakan
tanpa pamrih ( Sears dalam Adi, 2007 ).
Menurut Myers ( dalam Sarwono, 2002 )
altruisme didefinisikan sebagai hasrat untuk
menolong orang lain tanpa memikirkan
kepentingan sendiri.
Altruistic as behaviour,
pemahamannya adalah menolong orang lain,
membuat orang lain senang. Tetapi
membuat orang lain senang didasari oleh
dua faktor. Yang pertama bila individu tidak
peduli siapa yang ditolong, darimana
asalnya, individu hanya sekedar menolong
saja. Hal ini muncul ketika individu melihat
orang lain tidak nyaman, maka individu
tersebut menolongnya, hal ini disebut
eksosentris. Kedua adalah apabila individu
yang menolong mendapatkan keuntungan
dari individu yang ditolong, hal ini
dinamakan endosentris (Pelokang, 2008).
Walaupun remaja sering kali
digambarkan sebagai seseorang yang
egosentris dan egois atau mementingkan diri
4
sendiri, tingkah laku altruisme pada remaja
juga terhitung cukup banyak seperti remaja
yang bekerja keras, remaja-remaja yang
melakukan acara mencuci mobil, menjual
kue, mengadakan konser mengumpulkan
uang untuk orang-orang yang kelaparan dan
menolong anak-anak yang menderita
keterbelakangan mental dan ada pula remaja
yang mengambil dan merawat kucing yang
terluka ( Santrock, 2003 ).
Perilaku menolong ini nantinya
akan meningkatkan kesadaran pada diri si
penolong ( White & Gerstain dalam
Sarwono, 2002 ). Individu dengan kesadaran
sosial yang tinggi dan rasa kemanuasiaan
yang besar akan lebih mementingkan
kepentingan orang lain, dan karenanya
mereka akan menolong tanpa memikirkan
kepentingan sendiri dan pertolongan yang
diberikan pun cenderung ikhlas dan tanpa
pamrih. Hal ini dilakukan dengan tulus dan
ikhlas karena dapat memberikan kepuasan
dan kesenangan psikologis tersendiri bagi si
penolong.
Timbal balik dan pertukaran
merupakan bagian dari altruisme ( Brown
dalam Santrock, 2003 ). Timbal balik dapat
ditemukan pada seluruh manusia di muka
bumi ini. Timbal balik mendorong remaja
melakukan hal yang ingin orang lain juga
melakukannya terhadap dirinya. Perasaan
bersalah muncul bila remaja tidak
memberikan balasan. Perasaan marah akan
muncul bila orang lain yang tidak
memberikan balasan. Tidak semua altruisme
pada remaja dimotivasi oleh timbal balik
dan pertukaran, tetapi interaksi dan
hubungan antara dirinya sendiri dengan
orang lain membantu individu memahami
sifat dasar altruisme. Kondisi yang biasanya
melibatkan altruisme oleh remaja adalah
emosi empati atau simpati terhadap orang
lain yang membutuhkan atau adanya
hubungan yang dekat antara si pemberi dan
si penerima ( Clark dkk dalam Santrock,
2003 ). Altruisme muncul lebih sering di
masa remaja daripada masa kanak-kanak,
walaupun contoh-contoh seperti menyayangi
orang lain dan menenangkan orang lain yang
sedang merasa tertekan juga dapat muncul
selama masa prasekolah ( eisenberg dalam
Santrock, 2003 ).
Cialdini dan Kenrick ( dalam Adi,
2007 ) telah mengadakan penelitian tentang
motivasi untuk menolong. Partisipan di bagi
menjadi 2 kelompok, kelompok pertama
anak usia 6-8 tahun dan kelompok kedua
remaja berusia 15-18 tahun. Kedua
kelompok mendapat perlakuan yang sama
yaitu setengah dari partisipan diminta untuk
berpikir tentang masa lalunya yang
menyedihkan, sedangkan setengah yang lain
memikirkan masa lalunya yang netral.
Kedua kelompok diberi kesempatan untuk
menolong orang lain yang tidak dikenal
dengan memberikan beberapa kupon yang
telah mereka menangkan dalam suatu
permainan. Hasilnya anak yang dikondisikan
dalam keadaan sedih tidak lebih termotivasi
untuk menolong dibanding dalam keadaaan
netral. Sebaliknya, remaja yang
dikondisikan dalam keadaan sedih lebih
termotivasi untuk menolong dibanding
dalam keadaan netral.
5
Banyak ahli perkembangan percaya
bahwa baik perasaan positif, seperti empati,
simpati, kekaguman dan harga diri maupun
perasaan negatif seperti kemarahan,
kekejaman, rasa malu dan rasa bersalah
memberikan kontribusi pada perkembangan
moral remaja ( Damon dalam Santrock,
2003 ). Jika pengalaman emosi tersebut
dirasakan secara kuat, emosi tersebut dapat
menyebabkan remaja bertindak sesuai
dengan standar akan mana yang benar dan
salah. Emosi seperti empati, rasa malu, rasa
bersalah, dan rasa cemas akan pelanggaran
terhadap standar yang dilakukan oleh orang
lain dapat ditemui di tahap awal
perkembangan dan mengalami perubahan
selama masa kanak-kanak dan remaja.
Emosi seperti ini memberikan dasar yang
alamiah bagi remaja untuk memperoleh
nilai-nilai moral dan juga mengarahkan
remaja terhadap peristiwa moral dan
memotivasi remaja untuk lebih memberikan
perhatian terhadap peristiwa tersebut. Emosi
moral tidak terlepas dari suatu jalinan antara
aspek kognitif dan sosial dalam
perkembangan remaja. Jaringan perasaan,
kognisi dan tingkah laku sosial juga dialami
dalam altruisme yang merupakan salah satu
aspek perkembangan moral remaja.
Manusia pada dasarnya adalah
makhluk sosial dan mampu berempati.
Ketika orang-orang berinteraksi satu sama
lain dalam hubungan sosial, “mereka selalu
prososial, biasanya menolong, dan sering
sekali altruistik” ( Fiske dalam Wangmuba,
2009 )
Berdasarkan uraian diatas maka
peneliti tertarik untuk menguji kontribusi
empati terhadap perilaku altruisme pada
remaja maka penelitian ini mengambil judul
kontribusi empati terhadap perilaku
altruisme pada siswa siswi SMA Negeri 1
Setu Bekasi.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menguji kontribusi empati terhadap
perilaku altruisme pada siswa siswi SMA
Negeri 1 Setu Bekasi.
Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat kontribusi empati secara
signifikan terhadap altruisme pada siswa
siswi sebesar 50,4 %. Maka penelitian ini
diharapkan dapat memperkaya khasanah
ilmu pengetahuan khususnya dibidang
ilmu psikologi, khususnya psikologi
perkembangan dan sosial dengan cara
memberi tambahan data empiris yang
sudah teruji secara ilmiah.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa empati yang tinggi dapat
menyebabkan altruisme dan sebaliknya.
Diharapkan dapat memberikan manfaat
serta masukan kepada siswa SMA
tentang pentingnya pengembangan
empati yang tinggi dan juga diharapkan
masyarakat dapat memahami tentang
pentingnya empati yang dapat
mempengaruhi altruisme disertai
kesadaran untuk
mengimplementasikannya dalam
6
kehidupan sehari-hari agar dapat
bermuara pada terciptanya hubungan
sosial yang lebih manusiawi.
TINJAUAN PUSTAKA
Empati
Empati adalah kemampuan untuk
menempatkan diri sendiri dalam keadaan
psikologis orang lain dan untuk melihat
suatu situasi dari sudut pandang orang lain (
Hurlock, 1988 ).
Stein ( dalam Ibrahim, 2003 )
mengatakan empati adalah “menyelaraskan
diri” ( peka ) terhadap apa, bagaimana dan
latar belakang perasaan dan pikiran orang
lain sebagaimana orang tersebut merasakan
dan memikirkannya.
Titchener ( dalam Goleman, 2002 )
menyatakan bahwa empati berasal dari
semacam peniruan secara fisik atas beban
orang lain, yang kemudian menimbulkan
perasaan yang serupa dalam diri seseorang.
Johnson ( dalam Sari dkk, 2003 )
mengemukakan bahwa empati adalah
kecenderungan untuk memahami kondisi
atau keadaan pikiran orang lain. Seseorang
yang berempati digambarkan sebagai
seorang yang toleran, mampu
mengendalikan diri, ramah, mempunyai
pengaruh serta bersifat humanistik.
Merasakan empati berarti bereaksi
terhadap perasaan orang lain dengan respon
emosional yang sama dengan respon orang
lain tersebut (Damon dalam Santrock, 2003).
Batson dan Coke ( dalam Sari dkk,
2003 ) mendefinisikan empati sebagai suatu
keadaan emosional yang dimiliki oleh
seseorang yang sesuai dengan apa yang
dirasakan oleh orang lain
Berdasarkan definisi tersebut
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
empati adalah suatu keadaan emosional yang
dimiliki oleh seseorang untuk memahami
kondisi, perasaan atau keadaan pikiran orang
lain, sehingga dapat merasakan sebagaimana
yang dirasakan dan dipikirkan orang lain.
Komponen Empati
Menurut Mayroff (dalam Zuchdi, 2003),
empati terdiri atas perpaduan tiga
komponen, yakni:
a. Pemahaman terhadap orang lain dengan
sensitif dan tepat, namun tetap menjaga
keterpisahan dari orang lain tersebut.
b. Pemahaman keadaan yang mendorong
munculnya perasaan tersebut.
c. Cara berkomunikasi dengan orang lain
yang membuat orang lain merasa
diterima dan dipahami.
Altruisme
Altruisme dapat didefinisikan
sebagai hasrat untuk menolong orang lain
tanpa memikirkan kepentingan sendiri
(Myers dalam Sarwono, 2002). Altruisme
adalah minat yang tidak mementingkan diri
sendiri untuk menolong orang lain
(Santrock, 2003).
Altruisme adalah tindakan sukarela
yang dilakukan seseorang atau sekelompok
orang untuk menolong orang lain tanpa
mengharapkan imbalan apapun, kecuali
telah memberikan suatu kebaikan ( Sears
dkk dalam Riyanti & Prabowo, 1998 ).
Menurut Macaulay dan Berkowitz
(dalam Schroeder, 1995) altruisme adalah
7
pertolongan yang diberikan seseorang
kepada orang lain tanpa mengharapkan
rewards dari sumber-sumber luar.
Altruisme merupakan perilaku yang
dikendalikan oleh perasaan bertanggung
jawab terhadap orang lain, misalnya
menolong dan berbagi (Kail & Cavanough,
2000 ).
Berdasarkan definisi yang
dijelaskan, maka dapat disimpulkan bahwa
altruisme adalah tindakan sukarela yang
dilakukan seseorang untuk menolong orang
lain tanpa mengharapkan rewards atau
imbalan.
Komponen Perilaku Altruisme
Menurut Einsberg dan Mussen
(dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) hal-
hal yang termasuk dalam komponen
altruisme adalah sebagai berikut:
a. Sharing ( memberi )
Individu yang sering berperilaku altruis
biasanya sering memberikan sesuatu
bantuan kepada orang lain yang lebih
membutuhkan dari pada dirinya.
b. Cooperative ( kerja sama )
Individu yang memiliki sifat altruis lebih
senang melakukan suatu pekerjaan secara
bersama-sama, karena mereka berfikir
dengan berkerja sama tersebut mereka
dapat lebih bersosialisasi dengan sesama
manusia dan dapat mempercepat
pekerjaanya.
c. Donating ( menyumbang )
Individu yang memiliki sifat altruis
senang memberikan sesuatu atau suatu
bantuan kepada orang lain tanpa
mengharapkan imbalan dari orang yang
ditolongnya.
d. Helping ( menolong )
Individu yang memiliki sifat altruis
senang membantu orang lain dan
memberikan apa-apa yang berguna ketika
orang lain dalam kesusahan karena hal
tersebut dapat menimbulkan perasaan
positif dalam diri si penolong.
e. Honesty ( kejujuran )
Individu yang memiliki sifat altruis
memiliki suatu sikap yang lurus hati,
tulus serta tidak curang, mereka
mengutamakan nilai kejujuran dalam
dirinya
f. Generosity ( kedermawanan )
Individu yang memiliki sifat altruis
memiliki sikap dari orang yang suka
beramal, suka memberi derma atau
pemurah hati kepada orang lain yang
membutuhkan pertolongannya tanpa
mengharapkan imbalan apapun dari orang
yang ditolongnya.
g.Mempertimbangkan hak dan
kesejahteraan orang lain
Individu yang memiliki sifat altruis selalu
berusaha untuk mempertimbangkan hak
dan kesejahteraan orang lain, mereka
selalu berusaha agar orang lain tidak
mengalami kesusahan.
Remaja
Remaja adalah suatu masa
peralihan antara akil balik ( puberty ) dan
dewasa, suatu masa pancaroba dalam
perkembangan fisik, kognitif ( cognitive )
emosi dan sosial, juga merupakan suatu
masa transisi dari masa kanak-kanak
8
menjadi dewasa ( Tjokrohusada dalam
Sampoerno dan Azwar, 1987 ).
Masa remaja merupakan masa
transisi dari masa kanak-kanak menuju masa
dewasa. Banyak perubahan-perubahan yang
terjadi dalam masa remaja ini satu
diantaranya adalah perubahan-perubahan
fisik. Percepatan yang berlipat ganda dalam
pertumbuhan fisik seperti tinggi badan,
perubahan bentuk tubuh, perubahan suara
dan sebagainya ( Prawiratirta dalam
Gunarsa, 1983 ).
Remaja adalah seorang yang pada
jenjang waktu tertentu dalam tumbuh
kembangnya antara anak dan tingkat
dewasa. Remaja ini telah melewati masa
anak sekolah dasar, tetapi belum sampai
pada ambang pintu untuk memasuki alam
kedewasaan ( Wirowidjojo dalam Sarwono,
1984 ).
Istilah masa remaja digunakan
untuk menunjukkan masa peralihan dari
ketergantungan dan perlindungan orang
dewasa pada ketergantungan terhadap diri
sendiri dan penentuan diri sendiri. Masa
remaja ditandai dengan munculnya
serangkaian perubahan fisiologis yang kritis,
yang membawa individu pada kematangan
fisik dan biologis ( Semiun, 2006 ).
Masa remaja dimaksudkan sebagai
periode transisi antara masa kanak-kanak
dan masa dewasa batasan usianya tidak
ditentukan dengan jelas, tetapi kira-kira
berawal dari usia 12 sampai akhir usia
belasan, saat pertumbuhan fisik hampir
lengkap ( Atkinson dkk, 1993 ).
Berdasarkan definisi yang
dijelaskan, maka dapat disimpulkan bahwa
remaja adalah masa transisi dari masa
kanak-kanak menuju masa dewasa,
menunjukkan masa peralihan dari
ketergantungan dan perlindungan orang
dewasa pada ketergantungan terhadap diri
sendiri dan penentuan diri sendiri.
Kontribusi Empati Terhadap Perilaku
Altruisme Pada Siswa Siswi SMA Negeri
1 Setu Bekasi
Menurut Erikson ( dalam Santrock,
2003 ) selama masa remaja, individu
melakukan pencarian identitas. Bila remaja
dikecewakan dalam hal keyakinan moral dan
keagamaan yang mereka peroleh selama
masa kanak-kanak, mereka cenderung
merasa kehilangan tujuan dan merasa hidup
mereka kosong, setidaknya untuk sementara.
Hal ini dapat membawa remaja ke usaha
mencari ideologi yang akan memberikan
tujuan dalam hidup mereka.
Pada akhir masa kanak-kanak,
tingkat empati paling akhir muncul ketika
anak-anak sudah sanggup memahami
kesulitan yang ada dibalik situasi yang
tampak dan menyadari bahwa situasi atau
status seseorang dalam kehidupan dapat
menjadi sumber beban stres kronis. Pada
tahap ini, mereka dapat merasakan
kesengsaraan suatu golongan, misalnya
kaum miskin, kaum tertindas, mereka yang
terkucil dari masyarakat. Pemahaman itu,
dalam masa remaja dapat mendorong
keyakinan moral yang berpusat pada
kemauan untuk meringankan
9
ketidakberuntungan dan ketidakadilan (
Goleman, 2002 ).
Menurut Cialdini ( dalam Adi, 2007
) anak adalah individu yang berusia antara
10-12 tahun, yang merupakan masa
peralihan antara tahapan presosialization
(tahap dimana anak tidak peduli pada orang
lain, anak hanya akan menolong apabila
diminta atau ditawari sesuatu agar mau
melakukannya,tapi menolong itu tidak
membawa dampak positif bagi anak), tahap
awareness ( tahap dimana anak belajar
bahwa anggota masyarakat di lingkungan
tempat tinggal mereka saling membantu,
mengakibatkan individu menjadi lebih
sensitif terhadap norma sosial dan tingkah
laku prososial ), dan tahap internalization
(15-16 tahun). Pada tahap ini perilaku
menolong bisa memberikan kepuasan secara
intrinsik dan membuat orang merasa
nyaman. Norma eksternal yang memotivasi
menolong selama tahap kedua sudah
diinternalisasi. Dan pada usia 10 sampai 12
tahun ini juga individu membentuk empati
terhadap orang lain yang hidup dalam
kondisi yang tidak menguntungkan,
contohnya orang miskin, orang cacat dan
orang-orang yang dikucilkan ( Santrock,
2003 ). Berdasarkan tahapan-tahapan dan
pernyataan di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa remaja memiliki kepekaan untuk
bertingkah laku alturistik dan pada akhirnya
memunculkan rasa kemanusiaan.
Perasaan positif, seperti empati
memberikan kontribusi pada perkembangan
moral remaja. Merasakan empati berarti
bereaksi terhadap perasaan orang lain
dengan respon emosional yang sama dengan
respon orang lain tersebut ( Damon dalam
Santrock, 2003 ).
Menurut Batson ( dalam Saraswati,
2008 ) dengan empati (pengalaman
menempatkan diri pada keadaan emosi
orang lain seolah-olah mengalaminya
sendiri). Empati inilah yang menurut Batson
akan mendorong orang untuk melakukan
pertolongan altruistis.
Menurut Cialdini dkk ( dalam
Baron & Byrne, 2005 ) menyetujui bahwa
empati menimbulkan perilaku altruistik
tetapi berpendapat bahwa ini hanya terjadi
ketika partisipan mempersepsikan suatu
tumpang tindih antara self dengan orang
lain. Jika orang lain mempunyai tumpang
tindih dengan dirinya maka sebagai
akibatnya, hal ini menjadi bagian dari self
concept dimana partisipan yang membantu
sebenarnya sedang menolong dirinya
sendiri. Peneliti-peneliti ini menunjukkan
bukti bahwa tanpa adanya perasaan empati
tidak mungkin meningkatkan pertolongan.
Lain hal menurut Batson ( dalam
Saraswati, 2008 ) orang yang empatik
menolong orang lain karena “rasanya
menyenangkan untuk berbuat baik”.
Berdasarkan pada asumsi ini, Batson dkk
(dalam Saraswati, 2008) mengajukan
hipotesis empati-altruisme ( empathy-
altruism hypothesis ). Mereka
mengungkapkan bahwa setidaknya beberapa
tingkah laku prososial hanya dimotivasi oleh
keinginan tidak egois untuk menolong
seseorang yang membutuhkan pertolongan
(Batson & Olesan dalam Baron & Byrne,
10
2005). Motivasi menolong ini dapat menjadi
sangat kuat sehingga individu yang memberi
pertolongan bersedia terlibat dalam aktivitas
yang tidak menyenangkan, berbahaya, dan
bahkan mengancam nyawa ( Batson, Batson
dkk dalam Baron & Byrne, 2005 ).
Menurut Sears dkk ( 1994 ) rasa
empatik hanya dapat dikurangi dengan
membantu orang yang berada dalam
kesulitan karena tujuan rasa empatik adalah
meningkatkan kesejahteraan orang lain, jelas
bahwa rasa empatik merupakan sumber
altruistik ( bukan kepentingan diri ) perilaku
membantu.
Ada tiga alasan utama mengapa
empati sangat berkaitan dengan altruisme (
Arlitt & Humphrey dalam Schroeder, 1995 )
yaitu: 1). Adanya hubungan yang sangat
subtansial dan penting antara kemampuan
untuk merasakan empati dan keinginan
untuk terlibat dalam perilaku altruis, 2). Ada
bagian spesifik pada otak manusia yang
memberikan kemampuan manusia secara
fisiologis dan neurologis untuk berempati
dengan orang lain dan 3). Empati merupakan
reaksi pada manusia yang dapat diobservasi
sejak usia dini. Beberapa puluh tahun yang
lalu para ahli sempat menemukan bahwa
bayi berusia 4 tahun dapat menangis ketika
mendengar bayi lain menangis.
Banyak ahli perkembangan percaya
bahwa baik perasaan positif, seperti empati,
simpati, kekaguman dan harga diri maupun
perasaan negatif seperti kemarahan,
kekejaman, rasa malu dan rasa bersalah
memberikan kontribusi pada perkembangan
moral remaja ( Damon dalam Santrock,
2003 ). Jika pengalaman emosi tersebut
dirasakan secara kuat, emosi tersebut dapat
menyebabkan remaja bertindak sesuai
dengan standar akan mana yang benar dan
salah. Emosi seperti empati, rasa malu, rasa
bersalah, dan rasa cemas akan pelanggaran
terhadap standar yang dilakukan oleh orang
lain dapat ditemui di tahap awal
perkembangan dan mengalami perubahan
selama masa kanak-kanak dan remaja.
Emosi seperti ini memberikan dasar yang
alamiah bagi remaja untuk memperoleh
nilai-nilai moral dan juga mengarahkan
remaja terhadap peristiwa moral dan
memotivasi remaja untuk lebih memberikan
perhatian terhadap peristiwa tersebut. Emosi
moral tidak terlepas dari suatu jalinan antara
aspek kognitif dan sosial dalam
perkembangan remaja. Jaringan perasaan,
kognisi dan tingkah laku sosial juga dialami
dalam altruisme yang merupakan salah satu
aspek perkembangan moral remaja.
Altruisme adalah tindakan sukarela
untuk menolong orang lain tanpa
mengharapkan imbalan dalam bentuk
apapun atau disebut juga sebagai tindakan
tanpa pamrih ( Sears dalam Adi, 2007 ).
Timbal balik dan pertukaran
merupakan bagian dari altruisme ( Brown
dalam Santrock, 2003 ). Timbal balik dapat
ditemukan pada seluruh manusia di muka
bumi ini. Timbal balik mendorong remaja
melakukan hal yang ingin orang lain juga
melakukannya terhadap dirinya. Perasaan
bersalah muncul bila remaja tidak
memberikan balasan. Perasaan marah akan
muncul bila orang lain yang tidak
11
memberikan balasan. Tidak semua altruisme
pada remaja dimotivasi oleh timbal balik
dan pertukaran, tetapi interaksi dan
hubungan antara dirinya sendiri dengan
orang lain membantu individu memahami
sifat dasar altruisme. Kondisi yang biasanya
melibatkan altruisme oleh remaja adalah
emosi empati atau simpati terhadap orang
lain yang membutuhkan atau adanya
hubungan yang dekat antara si pemberi dan
si penerima ( Clark dkk dalam Santrock,
2003 ). Altruisme muncul lebih sering di
masa remaja daripada masa kanak-kanak,
walaupun contoh-contoh seperti menyayangi
orang lain dan menenangkan orang lain yang
sedang merasa tertekan juga dapat muncul
selama masa prasekolah ( eisenberg dalam
Santrock, 2003 ).
Perilaku menolong ini nantinya
akan meningkatkan kesadaran pada diri si
penolong ( White & Gerstain dalam
Sarwono, 2002 ). Individu dengan kesadaran
sosial yang tinggi dan rasa kemanusiaan
yang besar akan lebih mementingkan
kepentingan orang lain, dan karenanya
mereka akan menolong tanpa memikirkan
kepentingan sendiri dan pertolongan yang
diberikan pun cenderung ikhlas dan tanpa
pamrih. Hal ini dilakukan dengan tulus dan
ikhlas karena dapat memberikan kepuasan
dan kesenangan psikologis tersendiri bagi si
penolong.
Jadi dari penjelasan diatas, dapat
diambil kesimpulan bahwa empati
mempengaruhi kecenderungan perilaku
altruisme.
Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka di
atas, maka hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini yaitu ada kontribusi empati
terhadap perilaku altruisme pada siswa dan
siswi SMA Negeri 1 Setu Bekasi.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kuantitatif yang bersifat
hubungan, yaitu menghubungkan antara
variabel satu dengan yang lain.
Jumlah subjek dalam penelitian ini
adalah 70 subjek. Karakteristik subjek yang
dibutuhkan dalam penelitian ini adalah siswa siswi SMA Negeri Bekasi yang masih
aktif, kelas 1 dan kelas 2 yang berusia 14-17
tahun. Pengembilan sampel menggunakan
teknik Purposive Sampling.
Pada penelitian ini teknik
pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan teknik pengumpul data yaitu
dengan angket atau kuesioner. Untuk
variabel empati digunakan skala empati
yang berbentuk skala Likert dan untuk
variabel altruisme digunakan skala altruisme
yang berbentuk skala Likert.
Pengumpulan data yang digunakan
mengukur empati yaitu dengan menggunkan
Skala empati yang disusun berdasarkan
komponen-komponen empati dari Mayroff (
dalam Zuchdi, 2003 ), yaitu: pemahaman
terhadap orang lain dengan sensitif dan tepat
namun tetap menjaga keterpisahan dari
orang lain tersebut, pemahaman keadaan
yang mendorong munculnya perasaan
tersebut, cara berkomunikasi dengan orang
12
lain yang membuat orang lain merasa
diterima dan dipahami. Sedangkan
pengumpulan data yang digunakan untuk
mengukur altruisme yaitu dengan
menggunakan skala altruisme yang disusun
berdasarkan komponen-komponen altruisme
dari Einsberg & Mussen ( dalam Dayakisni
& Hudaniah, 2003 ), yaitu: sharing (
memberi ), cooperative ( kerja sama ),
donating ( menyumbang ), helping (
menolong ), honesty ( kejujuran ), generosity
( kedermawanan ), mempertimbangkan hak
dan kesejahteraan orang lain.
Uji validitas dalam penelitian ini
adalah dengan cara mengkorelasikan skor
tiap-tiap item dengan skor total dalam skala
dan menggunakan analisis product moment
dari pearson (Azwar, 2005) sedangkan Uji
reliabilitas dalam penelitian ini adalah
dengan menggunkan Teknik Alpha
Cronbach (Azwar, 2005).
Teknik analisis regresi sederhana
yaitu untuk mengetahui kontribusi empati
sebagai variabel Independent ( X ) terhadap
altruisme siswa dan siswi sebagai variable
Dependent ( Y ). Analisis ini dilakukan
dengan bantuan program komputer SPSS
Versi 13.0 for windows.
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dengan
mempersiapkan alat ukur yaitu penyusunan
dan uji coba skala empati dan skala
altruisme. Pada skala empati di persiapkan
70 item pernyataan, terdiri dari 35 item
favorabel dan 35 item Unfavorabel.
Sedangkan skala altruisme dipersiapkan 66
item pernyataan, terdiri dari 34 item
favorabel dan 32 item Unfavorabel.
Pengambilan data di SMA Negeri 1 Setu
Bekasi dilakukan pada hari Sabtu tanggal 28
Februari 2009, peneliti memberikan
kuesioner kepada 70 subjek penelitian untuk
pengambilan data.
Uji Validitas dan Reliabilitas Skala
Pada skala empati yang disusun
dengan menggunakan Skala Likert, dari 70
item yang digunakan, diperoleh 48 item
yang valid, sementara 22 item yang lain
dinyatakan gugur. Item valid memiliki nilai
korelasi antara 0,302 – 0,653, sedangkan
pada uji reliabilitas dilakukan dengan teknik
Alpha Cronbach diperoleh dengan nilai
alpha sebesar 0,925, pengujian validitas dan
reliabilitas ini dilakukan dengan bantuan
program SPSS for Windows versi. 13.0.
Pada skala altruisme yang disusun dengan
menggunakan Skala Likert, dari 66 item
yang digunakan, diperoleh 62 item yang
valid, sementara 4 item yang lain dinyatakan
gugur. Item valid memiliki nilai korelasi
antara 0,302 – 0,744, sedangkan pada uji
reliabilitas dilakukan dengan teknik Alpha
Cronbach diperoleh dengan nilai alpha
sebesar 0,950, pengujian validitas dan
reliabilitas ini dilakukan dengan bantuan
program SPSS for Windows versi. 13.0
Uji Normalitas
Untuk uji Normalitas digunakan
alat bantu program SPSS for Windows versi
13.0 yaitu uji Kolmogorov-Smirnov untuk
menguji normalitas sebaran skor.
Berdasarkan pengujian normalitas
pada variabel empati signifikansi sebesar
13
0,200 (p > 0,05) dan variabel altruisme
mempunyai signifikansi sebesar 0,091 (p >
0,05). Secara umum dikatakan bahwa
distribusi skor empati dan distribusi skor
altruisme pada sampel yang telah diambil
adalah normal.
Uji Linearitas dan Uji Hipotesis
Untuk uji linearitas pada variabel
empati dan altruisme menunjukkan hasil
yang linear dengan F = 69,183 nilai
signifikansinya sebesar 0,000 ( P < 0,05 ).
Dengan demikian dapat dikatakan ada
hubungan yang linear antara empati dengan
altruisme pada siswa siswi SMA Negeri 1
Setu Bekasi, sedangkan untuk uji hipotesis
Berdasarkan analisis data yang dilakukan
dengan menggunakan teknik analisi regresi
sederhana pada program SPSS Ver. 13.0 for
Windows diperoleh F= 69,183 dengan taraf
signifikansi 0,00 dimana p < 0,05. Hal ini
berarti terdapat kontribusi empati yang
signifikan terhadap perilaku altruisme pada
siswa siswi. Koefisien (R) yang diperoleh
sebesar 0,710 dan diperoleh R Square
sebesar 0,504 adapun besarnya kontribusi
adalah 50,4 %. Dengan demikian hipotesis
yang menyatakan bahwa terdapat kontribusi
empati terhadap perilaku altruisme pada
Siswa-Siswi SMA Negeri 1 Setu Bekasi
dapat diterima.
Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kontribusi empati terhadap
altruisme pada siswa siswi SMA Negeri 1
Setu Bekasi. Dari hasil penelitian diketahui
bahwa terdapat kontribusi empati secara
signifikan terhadap altruisme pada siswa
siswi sebesar 50,4 %. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa empati berpengaruh
terhadap altruisme. Hasil tersebut sesuai
dengan pendapat Batson (dalam Saraswati,
2008) yang mengatakan empati inilah yang
akan mendorong orang untuk melakukan
pertolongan altruistis karena dengan empati
( pengalaman menempatkan diri pada
keadaan emosi orang lain seolah-olah
mengalaminya sendiri ). Hal ini diperkuat
oleh pendapat Cialdini dkk 1997 ( dalam
Baron & Byrne, 2005 ) yang mengatakan
empati menimbulkan perilaku altruistik
tetapi berpendapat bahwa ini hanya terjadi
ketika partisipan mempersepsikan suatu
tumpang tindih antara self dengan orang
lain. Jika orang lain mempunyai tumpang
tindih dengan dirinya maka sebagai
akibatnya, hal ini menjadi bagian dari self
concept dimana partisipan yang membantu
sebenarnya sedang menolong dirinya
sendiri. Peneliti-peneliti ini menunjukkan
bukti bahwa tanpa adanya perasaan empati
tidak mungkin meningkatkan
pertolongan.Dari hasil penelitian dapat
ditarik kesimpulan empati memiliki
pengaruh yang cukup besar terhadap
altruisme meskipun demikian ada faktor-
faktor lain yang juga memiliki pengaruh
terhadap altruisme yaitu sebesar 49,6 %.
Faktor-faktor tersebut diantara lain: suasana
hati. Hal ini mungkin di karenakan jika
suasana hati sedang enak, orang juga akan
terdorong untuk memberikan pertolongan
lebih banyak. Menyakini keadilan dunia
juga mungkin mempengaruhi altruisme
dikarenakan menyakini keadilan dunia yaitu
14
keyakinan bahwa dalam jangka panjang
yang salah akan dihukum dan yang baik
akan dapat ganjaran. Menurut teori Melvin
Lerner ( dalam Saraswati, 2008 ), orang
yang keyakinannya kuat terhadap keadilan
dunia akan termotivasi untuk mencoba
memperbaiki keadaan ketika mereka melihat
orang yang tidak bersalah menderita. Maka
tanpa pikir panjang mereka segera bertindak
memberi pertolongan jika ada orang yang
kemalangan. Faktor sosiobiologis juga
mungkin karena ada proses adaptasi dengan
lingkungan terdekat, dalam hal ini orangtua.
Selain itu, meskipun minimal, ada pula
peran kontribusi unsur genetik.
Dari hasil penelitian diatas dapat diketahui
bahwa skor mean empirik empati sebesar
151,77 lebih tinggi dari skor mean hipotetik
yaitu 120, sedangkan skor mean empirik
altruisme sebesar 194,49 lebih tinggi dari
skor mean hipotetik yaitu 155. Maka
diketahui secara umum subjek penelitian
memiliki tingkat empati dan altruisme yang
tinggi. Tingginya empati dan altruisme pada
subjek mungkin dikarenakan subjek dapat
merasakan kesengsaraan suatu golongan,
misalnya kaum miskin, kaum tertindas atau
mereka yang terkucil dari masyarakat dan
dapat mendorong keyakinan moral remaja
yang berpusat pada kemauan untuk
meringankan ketidakberuntungan dan
ketidakadilan. Seperti halnya yang dikatakan
Goleman ( 2002 ) pada akhir masa kanak-
kanak, tingkat empati paling akhir muncul
ketika anak-anak sudah sanggup untuk
memahami kesulitan yang ada dibalik situasi
yang tampak dan menyadari bahwa situasi
atau status seseorang dalam kehidupan dapat
menjadi sumber beban stres kronis.
Selain perbandingan mean empirik
dan mean hipotetik diatas, peneliti juga akan
menyajikan mean perbandingan berdasarkan
perhitungan deskriptif berdasarkan usia
dapat diketahui subjek yang berusia 16 dan
17 tahun memiliki skor empati dan altruisme
tertinggi. Hal ini mungkin berkaitan dengan
masa perkembangan di tahap 4 ( 15 – 20
tahun). Pada masa ini individu mulai
menjadi matang secara emosional selama
masa ini, sifat mementingkan diri diganti
dengan minat pada orang lain. Nilai dan
moral juga tampil pada perkembangan ini
(Aristoteles dkk dalam Santrock, 2003).
Berdasarkan jenis kelamin diketahui bahwa
subjek perempuan memiliki skor empati dan
altruisme lebih tinggi dibandingkan dengan
subjek laki-laki. Menurut Trobst dkk 1994 (
dalam Baron & Byrne, 2005 ) wanita
mengekspresikan tingkat empati yang lebih
tinggi daripada pria, hal ini disebabkan baik
oleh perbedaan genetis atau perbedaan
pengalaman sosialisasi. Menurut pandangan
Miller 1986 (dalam Santrock, 2003)
perempuan dalam hidupnya sebagian besar
adalah berpatisipasi aktif pada
perkembangan orang lain, perempuan sering
mencoba berinteraksi dengan orang lain
dengan maksud membantu perkembangan
orang lain dalam berbagai dimensi secara
emosional, intelektual dan sosial.
Berdasarkan tingkat kelas sekolah subjek
diketahui bahwa siswa kelas 2 memiliki skor
empati dan altruisme yang tinggi daripada
kelas 1. Hal ini mungkin berkaitan dengan
15
usia siswa dimana kelas 2 rata-rata berumur
15-17 tahun. Dimana diusia tersebut siswa
berada dalam masa tahap internalization (
15-16 tahun ) yaitu pada tahap ini perilaku
menolong bisa memberikan kepuasan secara
intrinsik dan membuat orang merasa nyaman
(Cialdini dalam Adi, 2007). Menurut
Aristoteles dkk ( dalam Santrock, 2003 )
siswa juga berada dalam masa
perkembangan di tahap 4 ( 15 – 20 tahun )
yaitu pada masa ini individu mulai menjadi
matang secara emosional, sifat
mementingkan diri diganti dengan minat
pada orang lain. Nilai dan moral juga tampil
pada perkembangan ini.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dari
penelitian yang telah dilakukan di SMA 1
Setu Bekasi dapat ditarik kesimpulan bahwa
terdapat kontribusi empati yang signifikan
terhadap altruisme pada siswa siswi SMA
Negeri 1 Setu Bekasi. Empati memberikan
sumbangan terhadap altruisme sebesar 50,4
% sedangkan sisanya sebesar 49,6 %
kemungkinan dipengaruhi oleh faktor-faktor
lain seperti: suasana hati, menyakini
keadilan dunia dan faktor sosiobiologis.
Secara umum, subjek dalam penelitian ini
memiliki empati dan altruisme yang berada
dalam kategori tinggi ke arah positif.
Cenderung tingginya empati dan altruisme
yang dimiliki subjek penelitian
kemungkinan disebabkan subjek dapat
merasakan kesengsaraan suatu golongan,
misalnya kaum miskin, kaum tertindas atau
mereka yang terkucil dari masyarakat dan
dapat mendorong keyakinan moral remaja
yang berpusat pada kemauan untuk
meringankan ketidakberuntungan dan
ketidakadilan. Seperti halnya yang dikatakan
Goleman (2002) pada akhir masa kanak-
kanak, tingkat empati paling akhir muncul
ketika anak-anak sudah sanggup untuk
memahami kesulitan yang ada dibalik situasi
yang tampak dan menyadari bahwa situasi
atau status seseorang dalam kehidupan dapat
menjadi sumber beban stres kronis.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan, maka dapat dikemukakan
saran-saran sebagai berikut:
1. Saran untuk subjek penelitian
Bagi para subjek penelitian, di sarankan
untuk tetap mempertahankan empati dan
altruisme yang dimiliki dan diharapkan
untuk dapat diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari agar dapat
bermuara pada terciptanya hubungan
sosial yang lebih manusiawi.
2. Saran untuk pihak sekolah
Untuk meningkatkan perkembangan
empati, salah satunya adalah peran dari
sekolah. Bagi pihak sekolah khususnya
para pengajar, disarankan untuk
mengembangkan empati kepada siswa
dengan mengembangkan program
pendidikan karakter untuk mengajarkan
anak-anak bersikap jujur, bertingkah
laku baik, menghargai orang lain dan
bertanggung jawab.
3. Saran untuk penelitian lebih lanjut
Dalam penelitian ini, peneliti hanya
menggunakan 70 siswa dan hanya
16
menggunakan salah satu SMA sebagai
sampelnya karena keterbatasan waktu
dan biaya. Maka diharapkan untuk
peneliti selanjutnya agar dapat
menambahkan jumlah sampel dari
beberapa SMA yang akan diteliti.
Sehingga diharapkan dengan banyaknya
jumlah sampel yang akan diteliti akan
lebih mempresentasikan dari
karakteriktik empati pada remaja dan
juga diharapkan bagi penelitian
selanjutnya dalam melakukan penelitian
ini untuk lebih memperhatikan dan
mengkaji variabel-variabel lain yang
berkaitan dengan empati, seperti
hubungan empati dengan perilaku
merokok di tempat umum.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, W. (2007). Altruisme : helping without selfish. http://72.14.235.132/search?q=cache:3BfS0M1rcvgJ:psychemate.blogspot.com/2007/12/altruisme-helping-without selfish.html+kecenderungan+altruisme+remaja&hl=id&ct=clnk&cd=4&gl=id. 14 Desember 2008
Anastasi, A & Urbina, S. ( 2003 ). Tes
psikologi. Alih Bahasa: Hariono Robertus & Imam S. Jakarta: Indeks Gramedia Group
Atkinson, R. L,. Atkinson, R. C., Smith, E.
E. & Bem, D. J. ( 1993 ). Pengantar psikologi. Ahli Bahasa: Widjaja Kusuma. Batam: Interaksara
Azwar, S. ( 2005 ). Tes prestasi: fungsi dan
pengembangan pengukuran prestasi belajar. Jakarta: Pustaka Pelajar
Baron & Byrne. ( 2005 ). Psikologi sosial. Alih Bahasa: Ratna Djuwita. Jakarta: Erlangga
Dayakisni, T & Hudaniah. ( 2003 ).
Psikologi sosial. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang
Goleman, D. ( 2002 ). Emotional
intelligence kecerdasan emosional mengapa EI lebih penting dari IQ. Alih Bahasa: T. Hermaya. Jakarta: Gramedia
Gunarsa, S. D & Gunarsa,Yulia. S. D. (
1983 ). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta: PT. BPK. Gunung Mulia
Hurlock, E. B. ( 1988 ). Perkembangan
anak. Alih Bahasa Meitasari Tjandrarasa & Mulichah Zarkasih. Jakarta: Erlangga
Hurlock, E. B. ( 1994 ). Psikologi
perkembangan: suatu pendidikan sepanjang rentang kehidupan. Alih Bahasa: Istiwidayanti & Soejarwo. Jakarta: Erlangga
Ibrahim, Y. ( 2003 ). Menumbuhkan rasa
empati pada anak-anak. Jurnal Ilmu Pendidikan. 1, 61-68
Kail, V & John, C. ( 2000 ). Developmental
psychology. USA: Thomson Learning
Knys, P. ( 1986 ). Problem yang di hadapi
muda mudi. Yogyakarta: Kanisius Mappiare, A. ( 1982 ). Psikologi remaja.
Surabaya: Usaha Nasional
Mustafa, A. J. (2003). Menumbuhkan empati. http://www.balipost.co.id/balipost cetak/ kell.html 26 Februari 2008
Mu’taddin. ( 2002 ). Mengembangkan
keterampilan sosial. http://www.e-psikologi.com/remaja/060802.html 26 Februari 2008
17
18
Pelokang, J. R. ( 2008 ). Altruisme tidak ada yang ambigu. http://72.14.235.104/search?q=cahce:GIMTCFGQr28J:dotadotkom.multiply.com/journal+altruisme+di+pemukiman+mewah&hl=id&ct=clnk&cd+2&gl=id 26 Februari 2008
Rifa’i, M. S. S. ( 1984 ). Psikologi
perkembangan remaja dari segi kehidupan sosial. Bandung: Bina Aksara
Riyanti, B. P. D & Prabowo, H. ( 1998 ).
Psikologi umum 2. Jakarta: Gunadarma
Sampoerno, D & Azwar, A. ( 1987 ).
Perkawinan dan kehamilan pada wanita muda usia. Jakarta: Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia
Santrock, J. W. ( 2003 ). Adolescence
perkembangan remaja. Alih Bahasa: Shinto B & Sherly S. Jakarta: Erlangga
Sari, T. O. Ramdhani, N & Eliza, M. ( 2003
). Empati dan perilaku merokok di tempat umum. Jurnal Psikologi. 2, 81-90
Saraswati, W. ( 2008 ). Altruisme, menolong
tanpa pamrih. http://72.14.234.104/search?q=cahce:wVmNMUxxEAMJ:klipingut.wordpress.com/2008/01/04/altruisme-menolong-tanpa pamrih/+altruisme&hl=id&ct=clnk&cd=6&gl=id 26 Februari 2008
Sarwono, S. W. ( 1984 ). Perkawinan
remaja. Jakarta: PT. Sinar Agape Press
Sarwono, S. W. ( 2002 ). Psikologi sosial
individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta: Balai Pustaka
Schroeder, D. A., Penner L. A., Dovidio, J.
F. & Piliavin, J. A. ( 1995 ). The psychology is kelping and altruism problems and puzzles. USA: Mc Graw Hill
Sears, D. O., Freedman, J. L. & Peplau, L.
A. ( 1994 ). Psikologi sosial. Alih Bahasa Michael Adryanto. Jakarta: Erlangga
Semiun, Y. ( 2006 ). Kesehatan mental 1.
Yogyakarta: Kanisius Tukan, T. B. ( 1994 ). Metoda pendidikan
seks, perkawinan dan keluarga. Jakarta: Erlangga
Verderber, K. S. & Verderber, R. F. ( 1977
). Interact: using interpersonal communication skills. California: Wadsworth Publishing Company.
Wangmuba. ( 2009 ). Tingkah laku sosial. http://72.14.235.132/search?q=cache:loL4iahiDxEJ:wangmuba.com/2009/02/17/tingkahlakuprososial/+komponen+empati&cd=12&hl=id&ct=clnk&gl=id 18 Maret 2009
Wiryanto. ( 2004 ). Pengantar ilmu komunikasi. Jakarta: Grasindo
Zuchdi, D. ( 2003 ). Empati dan ketrampilan
sosial. Jurnal Ilmiah Pendidikan. 1, 49-64.