konversi enzimatis pati onggok menjadi glukosa …digilib.unila.ac.id/37181/3/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
KONVERSI ENZIMATIS PATI ONGGOK MENJADI GLUKOSA
MENGGUNAKAN ENZIM -AMILASE DARI
Bacillus subtilis ITBCCB148 YANG DIAMOBILISASI
DENGAN ZEOLIT ALAM UNTUK PRODUKSI BIOETANOL
(Skripsi)
Oleh
RIZA MUFARIDA AKHSIN
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
ABSTRACT
ENZYMATIC CONVERSION OF ONGGOK STARCH INTO GLUCOSE
USING α-AMILASE FROM Bacillus subtilis ITBCCB148
IMMOBILIZED BY NATURAL ZEOLITE
FOR BIOETANOL PRODUCTION
By
Riza Mufarida Akhsin
The demand of fuel energy are increasing time by time, but the stock of fossil fuel
are decreasing. Nowadays renewable energy as an alternative sources are needed,
such as bioethanol. Study about bioethanol production including the enzyme
systems are required. The objective of this study is to determine the effect of
immobilization on the stability of enzymes. The immobilized of α-amylase
enzyme is used to convert onggok starch into glucose for bioethanol production.
The steps of this study includes production process, isolation, purification,
immobilization, characterization, enzymatic conversion, and fermentation. Our
observation showed that the specific activity of purified enzyme by dialysis was
10,318.898 U/mg and its purity increased 13 times than the crude ones. The
purified enzyme has an optimum temperature of 55oC, KM = 7.31 mg/mL
substrate, Vmax = 90.91 μmol/mL.min, moreover the immobilized enzyme has an
optimum temperature of 70oC, KM = 14.78 mg/mL substrate, Vmax = 36.9
μmol/mL.min. The residual activity of the purified and immobilized enzyme on
thermal stability were 18 and 87% respectively. The kinetic study of the purified
enzyme obtained ki = 0.0226 min-1
, ΔGi = 92.364 kJ/mol, and t1/2 = 30.664 min,
moreover the immobilized enzyme obtained ki = 0.0013 min-1
, ΔGi = 111.607
kJ/mol, and t1/2 = 533.077 minutes. Our Investigation suggests that
immobilization with natural zeolite can improve the stability of enzymes. The
bioethanol that obtained from fermentation process using Saccharomyces
sereviciae and yeast were 0.14 and 0.30% respectively.
Keywords : α-amylase, Bacillus subtilis ITBCCB148, immobilization, natural
zeolite, onggok starch, bioethanol.
ABSTRAK
KONVERSI ENZIMATIS PATI ONGGOK MENJADI GLUKOSA
MENGGUNAKAN ENZIM α-AMILASE DARI Bacillus subtilis ITBCCB148
YANG DIAMOBILISASI DENGAN ZEOLIT ALAM
UNTUK PRODUKSI BIOETANOL
Oleh
Riza Mufarida Akhsin
Kebutuhan terhadap energi semakin meningkat namun ketersediaan bahan bakar
fosil semakin menurun. Energi terbarukan dibutuhkan sebagai sumber alternatif,
salah satunya adalah bioetanol. Penelitian mengenai produksi bioetanol oleh
enzim sangatlah dibutuhkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
amobilisasi terhadap kestabilan enzim. Enzim α-amilase hasil amobilisasi
digunakan untuk mengonversi pati onggok menjadi glukosa untuk produksi
bioetanol. Tahap penelitian ini meliputi proses produksi, isolasi, pemurnian,
amobilisasi, karakterisasi, konversi enzimatis, dan fermentasi. Hasil penelitian
menunjukkan aktivitas spesifik enzim hasil pemurnian sebesar 10.318,898 U/mg
dan kemurniannya meningkat 13 kali dibandingkan ekstrak kasarnya. Enzim hasil
pemurnian memiliki suhu optimum 55oC, KM = 7,31 mg/mL substrat, Vmaks =
90,91 µmol/mL.menit, sedangkan enzim hasil amobilisasi memiliki suhu optimum
70oC, KM = 14,78 mg/mL substrat, Vmaks = 36,9 µmol/mL.menit. Aktivitas sisa
dari enzim hasil pemurnian dan hasil amobilisasi pada uji stabilitas termal
berturut-turut sebesar 18 dan 87%. Data kinetika enzim hasil pemurnian
diperoleh nilai ki = 0,0226 menit-1
, ∆Gi = 92,364 kJ/mol, dan t1/2 = 30,664 menit,
sedangkan enzim hasil amobilisasi diperoleh nilai ki = 0,0013 menit-1
, ∆Gi =
111,607 kJ/mol, dan t1/2 = 533,077 menit. Data tersebut menunjukkan bahwa
amobilisasi dengan zeolit alam dapat meningkatkan kestabilan enzim. Kadar
bioetanol yang diperoleh dari proses fermentasi menggunakan Saccharomyces
sereviciae dan ragi berturut-turut sebesar 0,14 dan 0,30%.
Kata kunci : α-amilase, Bacillus subtilis ITBCCB148, amobilisasi, zeolit alam,
pati onggok, bioetanol.
KONVERSI ENZIMATIS PATI ONGGOK MENJADI GLUKOSA
MENGGUNAKAN ENZIM α-AMILASE DARI
Bacillus subtilis ITBCCB148 YANG DIAMOBILISASI
DENGAN ZEOLIT ALAM UNTUK PRODUKSI BIOETANOL
Oleh
RIZA MUFARIDA AKHSIN
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
SARJANA SAINS
Pada
Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ambarawa pada tanggal 07 Juni 1996, sebagai anak pertama
dari empat bersaudara, yang merupakan putri dari Bapak Iskandar Muhammad
Nawawi dan Ibu Wasini.
Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Aisyiyah Bustanul
Alfa Waringinsari Barat pada tahun 2002, Sekolah Dasar di SD Muhammadiyah
Waringinsari Barat pada tahun 2008, Sekolah Menengah Pertama di MTsN 1
Pringsewu pada tahun 2011, dan Sekolah Menengah Atas di MAN 1 Bandar
Lampung pada tahun 2014. Pada tahun yang sama, penulis terdaftar sebagai
mahasiswa Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SBMPTN).
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten praktikum Biokimia I
untuk Jurusan Kimia pada semester ganjil dan genap Tahun Ajaran 2017/2018.
Selain itu, penulis menjadi salah satu penerima Beasiswa Peningkatan Potensi
Akademik (PPA) Kemenristekdikti pada Tahun Ajaran 2016/2017 dan 2017/2018.
Pada Tahun Ajaran 2015/2016 dan 2016/2017, penulis bergabung dalam
Himpunan Mahasiswa Kimia (Himaki) sebagai anggota bidang Sains dan
Penalaran Ilmu Kimia (SPIK).
Pada tahun 2016, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di
Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia FMIPA Unila. Pada tahun 2017, penulis
melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang bekerjasama dengan Kementrian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di desa Muaradua, Kecamatan
Ulubelu, Kabupaten Tanggamus.
MOTTO
Orang yang paling merugi adalah orang yang menunda kebaikan dalam hidupnya
(Ali bin Abi Thalib)
“…. dan berbuat baiklah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik”
(Q.S. Al-Baqarah : 195)
The woman who doesn’t require validation from anyone is the most feared
individual on the planet
(Mohadesa Najumi)
Just because you failed at something, it doesn’t mean you are a failure
(Hujan Tanda Tanya)
Stop acting so small, you are the universe in ecstatic motion
(Jalaluddin Rumi)
PERSEMBAHAN
Atas rahmat Allah subhanahu wata’ala, kupersembahkan karya sederhana ini
untuk kedua orang tuaku yang telah memberikan kasih sayang, do’a, dan
dukungan.
Untuk dosen pembimbingku, Prof. Dr. Ir. Yandri A.S., M.S., yang selalu
membimbingku selama penelitian.
Untuk seluruh dosen yang selalu membagikan ilmu pengetahuan, motivasi, dan
pengalaman-pengalaman yang menginspirasi.
Untuk seluruh sahabat yang selalu berbagi kebahagiaan dan memberiku semangat.
Untuk rekan-rekan penelitian Laboratorium Biokimia FMIPA Unila.
Untuk rekan seperjuanganku, Kimia 2014.
Untuk almamaterku, Jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung.
SANWACANA
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji hanya milik Allah subhanahu wata’ala,
Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada suri
tauladan ummat yaitu Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wassalam. Rasa syukur
penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala yang telah memberikan
kelancaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Konversi
Enzimatis Pati Onggok menjadi Glukosa menggunakan Enzim α-amilase dari
Bacillus subtilis ITBCCB148 yang Diamobilisasi dengan Zeolit Alam untuk
Produksi Bioetanol”.
Dalam menyelesaikan pendidikan dan skripsi ini, penulis tidak luput dari bantuan,
dukungan, serta motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Abi, umi, serta adik-adik tercinta dan tersayang yang tiada henti
memberikan kasih sayang, do’a, perhatian, kepercayaan, serta senantiasa
mendukung dalam keadaan apapun.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Yandri A.S., M.S., selaku dosen pembimbing I yang
senantiasa memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan, gagasan, arahan,
saran serta solusi terbaik kepada penulis dalam proses perencanaan,
pelaksanaan, dan penyelesain skripsi ini.
3. Bapak Dr. Eng. Heri Satria, S.Si., M.Si., selaku dosen pembimbing II yang
senantiasa memberikan bimbingan, gagasan, dan arahan sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Prof. Sutopo Hadi, M.Sc., Ph.D., selaku dosen pembahas atas
ketersediaannya memberikan arahan, koreksi, serta saran demi kemajuan
penulis.
5. Ibu Dr. Nurhasanah, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik atas segala
bimbingan, dukungan, motivasi, informasi, dan saran yang bermanfaat
kepada penulis.
6. Bapak Dr. Eng. Suripto Dwi Yuwono, M.T., selaku Ketua Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
7. Bapak Prof. Warsito, S.Si., D.E.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
8. Bapak/Ibu dosen Jurusan Kimia yang telah memberikan bekal ilmu
pengetahuan, wawasan, motivasi, serta pengalaman yang menginspirasi.
9. Sahabat-sahabat tercinta dan tersayang : Rizky, Khumil, Ufi, Ella, Mba
Liana, dan Widia yang senantiasa menasehatiku dalam kebaikan.
Terimakasih telah berbagi kebahagiaan dan keceriaan kepada penulis.
10. Sahabat-sahabat terbaik dan tersayang : Bunga Lantri Dwinta dan Ni Putu
Rahma Agustina. Terimakasih telah setia menemani dan selalu memberi
semangat kepada penulis.
11. Sahabat-sahabat terbaik : Rizka, Erika, Bidari, Diva, Dhia, Kartika, Uci,
Rica. Terimakasih atas segala bantuan, dan kebaikannya.
12. Sahabat-sahabat terbaikku saat lalu hingga kini ; Mayang, Indri, Desi, Devi,
dik Indah, Nana, Abi. Terimakasih atas kenangan indah dan kebaikan yang
telah diberikan kepada penulis.
13. Rekan seperjuangan saat KKN, khususnya Dhian dan Triana. Terimakasih
atas kenangan indah saat KKN yang penuh drama.
14. Rekan-rekan seperjuangan Laboratorium Biokimia ; mba Sur, mba Melia,
mba Monic, mba Meta, mba Ayu, mba Sinta, Uni, Asrul, Agung, kak Riyan,
Luthfi, Ayuning, Hesti, dan teman-teman serta adik-adik di Lab Biokim.
Terimakasih atas kebaikan dan keramahannya.
15. Rekan-rekan seperjuangan Kimia 2014. Terimakasih atas kebaikannya.
16. Pak Jon, terimakasih atas kesabaran dan kebaikannya.
17. Seluruh karyawan Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
18. Semua pihak yang telah memberikan bantuan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Terimakasih atas segala bantuan dan dukungan dari seluruh pihak yang tidak
dapat disebutkan satu persatu, dan semoga Allah subhanahu wata’ala membalas
semua kebaikan yang telah mereka berikan kepada penulis. Penulis menyadari
bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun terbesit sedikit harapan,
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Aamiin.
Bandar Lampung, 29 Agustus 2018
Penulis,
Riza Mufarida Akhsin
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI …………………………………………………………... i
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………….. v
DAFTAR TABEL ……………………………………………………... vii
I. PENDAHULUAN ……………………………………………….. 1
A. Latar Belakang ………………………………………………. 1
B. Tujuan Penelitian ……………………………………………. 4
C. Manfaat Penelitian …………………………………………... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………… 5
A. Enzim ………………………………………………………... 5
B. Enzim α-amilase ……………………………………………... 11
C. Bacillus subtilis ……………………………………………… 13
D. Pati …………………………………………………………... 14
E. Onggok ………………………………………………………. 15
F. Isolasi dan Pemurnian Enzim ………………………………... 16
1. Lisis dinding sel …………………………………………... 16
2. Sentrifugasi ……………………………………………….. 17
3. Fraksinasi menggunakan ammonium sulfat
[(NH4)2SO4] ……………………………………………….
17
4. Dialisis ……………………………………………………. 18
G. Pengujian Aktivitas Enzim α-amilase ……………………….. 19
1. Metode Fuwa ……………………………………………... 20
2. Metode Mandels ………………………………………….. 21
H. Penentuan Kadar Protein …………………………………….. 21
ii
I. Kinetika Reaksi Enzim ………………………………………. 22
J. Kestabilan Enzim ……………………………………………. 23
K. Amobilisasi Enzim …………………………………………... 24
L. Zeolit ………………………………………………………… 28
M. Bioetanol …………………………………………………….. 30
N. Fermentasi …………………………………………………… 31
O. Saccharomyces cerevisiae …………………………………… 34
P. Analisis Kadar Bioetanol dengan Kromatografi Gas ………... 34
III. METODE PENELITIAN ……………………………………….. 36
A. Waktu dan Tempat Penelitian ……………………………….. 36
B. Alat dan Bahan ………………………………………………. 36
C. Prosedur Penelitian ………………………………………….. 37
1. Pembiakan Bacillus subtilis ITBCCB148 ………………... 37
2. Pembuatan Media Inokulum dan Media Fermentasi ……... 37
3. Produksi dan Isolasi Enzim α-amilase …………………… 38
a. Produksi Enzim α-amilase …………………………….. 38
b. Isolasi Enzim α-amilase ……………………………….. 38
4. Uji Aktivitas α-amilase dan Penentuan Kadar Potein ……. 39
a. Metode Fuwa ………………………………………….. 39
a) Pembuatan pereaksi ………………………………. 39
b) Uji aktivitas unit enzim α-amilase ………………... 39
b. Metode Mandels ………………………………………. 40
a) Pembuatan pereaksi ………………………………. 40
b) Uji aktivitas unit enzim α-amilase ………………... 40
c. Metode Lowry ………………………………………… 41
a) Pembuatan pereaksi ………………………………. 41
b) Penetuan kadar protein enzim α-amilase …………. 41
5. Pemurnian Enzim α-amilase ……………………………… 41
a. Fraksinasi menggunakan ammonium sulfat
[(NH4)2SO4] ……………………………………………
41
b. Dialisis ………………………………………………… 43
6. Amobilisasi Enzim α-amilase Hasil Pemurnian
dengan Zeolit Alam ……………………………………….
44
a. Aktivasi matriks zeolit ………………………………… 44
iii
b. Penentuan pH pengikatan enzim α-amilase pada
matriks zeolit …………………………………………..
44
c. Amobilisasi enzim α-amilase ………………………….. 45
7. Karakterisasi Enzim α-amilase Murni dan Amobil ………. 45
a. Penentuan suhu optimum enzim hasil amobilisasi ……. 45
b. Pemakaian berulang enzim hasil amobilisasi …………. 45
c. Penentuan data kinetika enzim hasil amobilisasi ……… 46
d. Uji stabilitas termal …………………………………… 46
e. Penentuan waktu paruh (t1/2), konstanta inaktivasi
termal (ki), dan perubahan energi akibat
denaturasi (∆Gi) ………………………………………..
46
8. Konversi Enzimatis Pati Onggok menjadi Glukosa ……… 47
a. Pembuatan bubur onggok ……………………………... 47
b. Konversi pati onggok menjadi glukosa ……………….. 47
c. Penentuan kadar glukosa dari hasil konversi enzimatis
pati onggok ……………………………………………. 48
9. Fermentasi ………………………………………………... 48
a. Pembiakan Saccharomyces cerevisiae ………………... 48
b. Pembuatan inokulum ………………………………….. 49
c. Fermentasi …………………………………………….. 49
10. Analisis Kadar Bioetanol …………………………………. 49
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………….. 51
A. Produksi dan Isolasi Enzim α-amilase dari Bacillus subtilis
ITBCCB148 ………………………………………………….
51
B. Pemurnian Enzim α-amilase ………………………………… 52
1. Fraksinasi menggunakan ammonium sulfat
[(NH4)2SO4] ……………………………………………….
52
2. Dialisis ……………………………………………………. 54
C. Amobilisasi Enzim α-amilase ……………………………….. 56
D. Karakterisasi Enzim α-amilase Hasil Pemurnian dan Hasil
Amobilisasi …………………………………………………..
57
1. Penentuan suhu optimum ………………………………... 57
2. Penentuan stabilitas termal ………………………………. 58
3. Penentuan KM dan Vmaks …………………………………. 59
4. Pemakaian berulang enzim hasil amobilisasi ……………. 62
iv
E. Konstanta Laju Inaktivasi Termal (ki), Waktu Paruh (t1/2), dan
Perubahan Energi Akibat Denaturasi (∆Gi) Enzim α-amilase
Hasil Pemurnian dan Hasil Amobilisasi ……………………..
63
F. Konversi Enzimatis Pati Onggok ……………………………. 65
G. Fermentasi …………………………………………………… 67
V. SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………... 70
A. Simpulan …………………………………………………… 70
B. Saran ……………………………………………………….. 71
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………. 72
LAMPIRAN ……………………………………………………………
79
5
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Hubungan antara suhu dengan aktivitas enzim …………………..... 7
2. Hubungan antara pH dengan aktivitas enzim ……………………… 7
3. Hubungan antara laju reaksi dengan konsentrasi enzim …………… 8
4. Hubungan antara laju reaksi dengan konsentrasi substrat ……..…... 9
5. Teori kunci gembok dan kecocokan induksi ……………………..... 10
6. Struktur amilosa ………………………………………………….… 15
7. Struktur amilopektin …………………………………………….…. 15
8. Grafik persamaan Lineweaver-Burk ………………………………. 22
9. Ilustrasi metode carrier-binding …………………………………… 27
10. Ilustrasi metode cross-linking ……………………………………… 27
11. Ilustrasi metode entrapment ……………………………………….. 28
12. Struktur zeolit ……………………………………………………… 29
13. Mekanisme pembentukkan etanol …………………………………. 32
14. Skema fraksinasi bertingkat dengan ammonium sulfat ……………. 42
15. Skema prosedur penelitian ………………………………………… 50
16. Hubungan antara fraksi enzim pada berbagai tingkat kejenuhan
ammonium sulfat dengan aktivitas unit enzim α-amilase Bacillus
subtilis ITBCCB148 ………………………………………………..
53
17. Hubungan antara fraksi enzim pada 2 tingkat kejenuhan ammonium
sulfat dengan aktivitas spesifik enzim α-amilase dari Bacillus
subtilis ITBCCB148 .……………………………………………….
54
vi
18. Hubungan antara aktivitas unit (U/mL) enzim α-amilase pada
berbagai pH pengikatan matriks zeolit alam ……………………….
56
19. Suhu optimum enzim α-amilase hasil pemurnian dan hasil
amobilisasi …………………………………………………………
57
20. Stabilitas termal enzim α-amilase hasil pemurnian dan hasil
amobilisasi …………………………………………………………
59
21. Grafik Lineweaver-Burk enzim α-amilase hasil pemurnian dan
hasil amobilisasi ……………………………………………………
60
22. Pemakaian berulang enzim α-amilase hasil amobilisasi …………... 62
23. Hubungan antara variasi konsentrasi pati onggok dengan kadar
glukosa ……………………………………………………………...
67
24. Hubungan antara variasi waktu inkubasi dengan kadar glukosa …... 67
25. Kromatogram hasil fermentasi menggunakan Saccharomyces
sereviciae …………………………………………………………...
68
26. Kromatogram hasil fermentasi menggunakan ragi ………………… 69
27. Grafik ln (Ei/E0) enzim α-amilase hasil pemurnian dan hasil
amobilisasi ………………………………………………………….
86
28. Kurva standar BSA ………………………………………………… 89
29. Kurva standar Glukosa …………………………………………….. 90
30. Kromatogram larutan standar etanol 0,5% ………………………… 91
31. Kromatogram larutan standar etanol 1% …………………………... 91
32. Kromatogram larutan standar etanol 2% …………………………... 92
33. Kromatogram larutan standar etanol 3% …………………………... 92
34. Kurva standar etanol ……………………………………………….. 93
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Hasil pengukuran aktivitas ekstrak kasar enzim α-amilase, enzim
hasil fraksinasi 20-80%, dan enzim hasil dialisis …………………..
55
2. Nilai KM dan Vmaks enzim hasil pemurnian dan hasil
amobilisasi ………………………………………………………….
61
3. Nilai ki, t1/2, dan ∆Gi enzim α-amilase hasil pemurnian dan hasil
amobilisasi ………………………………………………………….
63
4. Kadar glukosa hasil konversi enzimatis …………………………… 67
5. Kadar glukosa hasil fermentasi …………………………………….. 68
6. Contoh data perhitungan aktivitas unit metode Fuwa ……………... 79
7. Hubungan antara aktivitas unit enzim α-amilase pada berbagai
tingkat kejenuhan ammonium sulfat ………………………………..
80
8. Hubungan antara aktivitas spesifik enzim α-amilase pada 2 tingkat
kejenuhan ammonium sulfat ………………………………………..
80
9. Hubungan antara pH dengan aktivitas unit enzim α-amilase hasil
amobilisasi ………………………………………………………….
81
10. Hubungan antara suhu dengan aktivitas sisa (%) enzim α-amilase
hasil pemurnian ……………………………………………………..
82
11. Hubungan antara suhu dengan aktivitas sisa (%) enzim α-amilase
hasil amobilisasi ……………………………………………………
82
12. Hubungan waktu inkubasi dengan aktivitas sisa (%) enzim
α-amilase hasil pemurnian ………………………………………….
83
13. Hubungan waktu dengan aktivitas sisa (%) enzim α-amilase
hasil amobilisasi ……………………………………………………
83
viii
14. Data penentuan KM dan Vmaks enzim α-amilase hasil pemurnian
berdasarkan persamaan Lineweaver-Burk ………………………….
84
15. Data penentuan KM dan Vmaks enzim α-amilase hasil amobilisasi
berdasarkan persamaan Lineweaver-Burk ………………………….
84
16. Hubungan aktivitas enzim α-amilase hasil amobilisasi pada
berbagai pemakaian berulang ………………………………………
85
17. Penentuan ki enzim α-amilase hasil pemurnian pada suhu 60oC …... 86
18. Penentuan ki enzim α-amilase hasil amobilisasi pada suhu 60oC …. 86
19. Absorbansi BSA pada berbagai konsentrasi ……………………….. 90
20. Absorbansi glukosa pada berbagai konsentrasi ……………………. 91
21. Luas puncak etanol pada variasi konsentrasi etanol ……………….. 94
22. Luas puncak pada sampel Saccharomyces sereviciae dan ragi ……. 95
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Energi merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia.
Seiring dengan berkembangannya zaman, kebutuhan manusia terhadap energi
semakin meningkat. Sumber energi terbesar yang digunakan saat ini berasal dari
bahan bakar fosil, namun energi dari bakar fosil tidak dapat diharapkan untuk
jangka waku yang panjang karena sifatnya tidak dapat diperbaharui. Untuk
memenuhi kebutuhan energi, maka dibutuhkan sumber energi alternatif sehingga
dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil yang ketersediaanya
terus berkurang.
Salah satu sumber energi alternatif yang dapat menggantikan sumber energi fosil
adalah bioetanol. Bioetanol merupakan etanol hasil fermentasi glukosa. Glukosa
dapat diperoleh dari proses hidrolisis pati. Salah satu bahan baku yang
mengandung pati untuk produksi bioetanol berasal dari onggok. Onggok
merupakan limbah hasil industri tepung tapioka yang berbahan dasar singkong.
Meskipun termasuk limbah, tetapi kandungan pati dalam onggok masih tinggi
yaitu mencapai 63-68% (Prasetyana, 2009). Penggunaan onggok sebagai bahan
baku pembuatan bioetanol diharapkan dapat mengurangi limbah yang
2
mengganggu lingkungan karena menimbulkan bau tidak sedap serta untuk
mengurangi pemanfaatan bahan pangan sebagai bahan baku energi, hal ini
dianggap kurang baik karena berkompetisi dengan bahan pangan yang merupakan
kebutuhan primer manusia. Hidrolisis onggok menjadi glukosa sebagai bahan
baku bioetanol dilakukan dengan bantuan enzim α-amilase, sedangkan proses
fermentasinya menggunakan bantuan Saccharomyces cerevisiae dan ragi.
Pemilihan enzim α-amilase untuk memecah pati onggok menjadi glukosa
didasarkan pada sifat enzim α-amilase yang dapat menghidrolisis ikatan α-1,4-
glikosidik dan bersifat endoamilase, yaitu enzim yang memecah pati secara acak
dari tengah atau bagian dalam molekul (Poedjiadi, 1994). Enzim dapat dihasilkan
oleh semua makhluk hidup, baik tanaman, hewan, dan mikroorganisme. Namun
untuk dikembangkan pada skala industri, enzim yang berasal dari mikroorganisme
lebih menguntungkan karena mikroorganisme lebih mudah dikembangkan, tidak
memerlukan tempat yang luas dan waktu yang lama (Wang et al., 1979). Bacillus
subtilis banyak digunakan karena mudah ditumbuhkan pada media sederhana,
dapat tumbuh pada suhu yang sedikit tinggi, dan tidak bersifat patogen.
Enzim bebas memiliki sifat tidak stabil terhadap lingkungan sehingga stabilitas
enzim perlu ditingkatkan. Terdapat tiga cara untuk meningkatkan stabilitas enzim
yaitu amobilisasi, modifikasi kimia, dan mutagenensis langsung (Mozhaev et al.,
1988). Saat ini, metode yang banyak digunakan untuk meningkatkan stabilitas
enzim dalam proses industri adalah amobilisasi karena memiliki keunggulan,
yaitu enzim dapat dipisahkan di akhir reaksi tanpa mengkontaminasi hasil reaksi
sehingga dapat digunakan kembali untuk reaksi selanjutnya (Wardoyo dan
Kartika, 2017). Amobilisasi enzim dapat dilakukan dengan metode pengikatan
3
(carrier-binding), metode ikatan silang (cross linking), dan metode penjebakan
(entrapment). Salah satu metode pengikatan (carrier-binding) yang paling
sederhana adalah dengan cara adsorpsi pada suatu padatan pendukung. Cara
adsorpsi memiliki beberapa kelebihan yaitu ekonomis, mudah dilakukan, tidak
merusak konformasi enzim, serta menyebabkan sedikit penurunan aktivitas enzim.
Padatan pendukung yang digunakan pada penelitian ini adalah zeolit alam. Zeolit
alam diplih karena murah dan banyak tersedia di alam. Namun, zeolit alam
memiliki kekurangan karena mengandung banyak pengotor sehingga perlu
dilakukan aktivasi terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai matriks
pengamobil. Zeolit memiliki pori-pori atau situs aktif sehingga memiliki
kemampuan dalam mengadsorbsi (Sutarti dan Rachmawati, 1994). Pemanfaatan
zeolit alam sebagai media pendukung amobilisasi enzim sebelumnya telah
dilakukan oleh Hasanah (2017), penggunaan zeolit alam terbukti dapat
meningkatkan stabilitas enzim protease. Enzim protease hasil pemurnian
memiliki nilai ki = 0,065 menit-1
, t1/2 = 10,661 menit, dan ∆Gi = 97,667 kJ mol-1
.
Sedangkan enzim hasil amobilisasi memiliki nilai ki = 0,026 menit-1
, t1/2 = 26,653
menit, dan ∆Gi = 101,685 kJ mol-1
. Berdasarkan penurunan nilai ki dan
peningkatan nilai t1/2 dan ∆Gi, enzim protease hasil amobilisasi lebih stabil
dibandingkan enzim hasil pemurnian.
Produksi bioetanol dari pati onggok sebelumnya pernah dilakukan oleh
Widyasmara (2018). Hidrolisis pati onggok dilakukan dengan menggunakan
enzim α-amilase dari Bacillus subtilis ITBCCB148 yang telah diamobilisasi
menggunakan kitosan, glukosa yang diperoleh sebesar 0,7945 mg/mL. Glukosa
hasil hidrolisis onggok difermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae
4
menghasilkan bioetanol sebesar 0,129%, kadar bioetanol ini tergolong rendah.
Penelitian dengan menggunakan enzim amobil untuk menghidrolisis onggok
menjadi glukosa dalam produksi bioetanol belum banyak dilakukan. Berdasarkan
permasalahan di atas mengenai penelitian yang belum banyak dilakukan serta
produk bioetanol yang rendah, maka penelitian ini perlu dilakukan.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengisolasi enzim α-amilase dari Bacillus subtilis ITBCCB148.
2. Melakukan pemurnian enzim α-amilase yang diperoleh dan
mengkarakterisasi enzim hasil pemurnian tersebut.
3. Melakukan amobilisasi enzim α-amilase hasil pemurnian dan
mengkarakterisasi enzim hasil amobilisasi tersebut.
4. Menghidrolisis pati onggok menjadi glukosa menggunakan enzim α-
amilase amobil.
5. Mengubah glukosa hasil hidrolisis pati onggok menjadi bioetanol.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kemampuan
zeolit alam sebagai zat pengamobil enzim, serta memberikan informasi mengenai
produksi bioetanol dari glukosa hasil hidrolisis enzimatis pati onggok.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Enzim
Enzim adalah biomolekul berupa protein berbentuk globular (bulat) yang tersusun
dari satu atau lebih rantai polipeptida (Wirahadikusumah, 2001). Enzim berfungsi
sebagai biokatalisator yang diproduksi oleh jaringan hidup dan enzim dapat
meningkatkan laju reaksi. Bila enzim tidak ada, maka reaksi-reaksi yang
menopang kehidupan akan berjalan sangat lambat atau reaksi-reaksi tersebut akan
memerlukan kondisi non-fisiologis. Enzim mempunyai berat molekul beraneka
ragam berkisar 104
- 107 KDa (Dryer, 1993). Enzim dapat mengkatalisis reaksi
biokimia yang terjadi di dalam sel ataupun di luar sel. Seperti katalis lainnya,
enzim dapat menurunkan energi aktivasi suatu reaksi kimia. Enzim dapat
mempercepat reaksi kimia dengan kecepatan 108 sampai 10
11 kali lebih cepat
daripada reaksi yang dilakukan tanpa katalis (Poedjiadi, 1994).
Pada reaksi katalitiknya, enzim bekerja secara spesifik karena enzim hanya dapat
bekerja pada substrat dan bentuk reaksi tertentu (Girindra, 1986). Hal ini
disebabkan karena bentuknya unik dan adanya gugus-gugus polar atau non-polar
dalam strukturnya (Fessenden dan Fessenden, 1982). Enzim memiliki beberapa
fungsi khusus yaitu menurunkan energi aktivasi, mengendalikan reaksi, dan
6
mempercepat reaksi pada suhu dan tekanan tetap tanpa mengubah besarnya
tetapan seimbangnya (Page, 1997).
Kelebihan enzim sebagai katalisator antara lain memiliki spesifisitas tinggi,
mempercepat reaksi kimiawi spesifik tanpa pembentukan senyawa samping,
produktivitas tinggi, dan produk akhir tidak terkontaminasi sehingga mengurangi
biaya purifikasi dan efek kerusakan terhadap lingkungan (Chaplin and Bucke,
1990). Peranan enzim sebagai biokatalisator diaplikasikan secara komersil untuk
proses industri, seperti industri pangan, medis, kimia, dan farmasi (Junita, 2002).
Setiap enzim dapat bekerja pada kondisi optimum yang berbeda-beda, karena
enzim merupakan protein yang mudah mengalami perubahan bentuk apabila
terjadi perubahan suhu dan pH. Jika enzim tidak berada pada kondisi optimum
maka enzim tidak dapat bekerja secara maksimal, bahkan dapat menyebabkan
hilangnya fungsi katalitik karena struktur protein enzimnya rusak (Maton et al.,
1993).
Kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Suhu
Sebagai biokatalisator, enzim dapat mempercepat terjadinya reaksi kimia
pada suatu sel hidup. Pada batas suhu tertentu, kecepatan reaksi yang
dikatalisis enzim akan naik apabila suhunya naik. Reaksi yang paling cepat,
terjadi pada suhu optimum (Rodwell et al., 2015). Jika suhu terlalu tinggi
maka dapat menyebabkan enzim terdenaturasi (Poedjiadi, 1994). Namun
pada suhu 0oC enzim menjadi tidak aktif (tidak rusak) dan dapat kembali
7
aktif pada suhu normal (Lay dan Sugyo, 1992). Hubungan antara suhu
dengan aktivitas enzim ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Hubungan antara suhu dengan aktivitas enzim (Rodwell et al.,
2015).
2. pH
Pada umumnya, enzim bersifat amfolitik yaitu enzim mempunyai konstanta
disosiasi pada gugus asam maupun gugus basanya, terutama pada gugus
residu terminal karboksil dan gugus terminal aminonya, sehingga enzim
dapat berbentuk ion positif dan negatif (zwiter ion). Perubahan kereaktifan
enzim diperkirakan akibat perubahan pH lingkungan. Perubahan pH akan
mempengaruhi efektivitas bagian aktif enzim dalam membentuk kompleks
enzim-substrat. Nilai pH tinggi dapat menyebabkan terjadinya denaturasi
sehingga aktivitas enzim menurun (Winarno, 1986). Hubungan antara pH
dengan aktivitas enzim ditunjukkan pada Gambar 2.
pH optimum
aktivitas
enzim
Gambar 2. Hubungan antara pH dengan aktivitas enzim (Rodwell et al.,
2015).
rendah tinggi
8
3. Konsentrasi enzim
Konsentrasi enzim mempengaruhi kecepatan suatu reaksi yang dikatalisis
enzim. Penambahan konsentasi enzim dapat meningkatkan kecepatan reaksi
apabila substrat tersedia berlebih (Wirahadikusumah, 2001). Hasil
hidrolisisnya akan konstan dengan naiknya konsentrasi enzim. Apabila
semua substrat sudah habis dihidrolisis maka penambahan enzim sudah
tidak efektif lagi. Semakin tinggi konsentrasi enzim maka kecepatan
reaksinya akan semakin meningkat sampai batas konsentrasi tertentu (Reed,
1975). Hubungan antara laju reaksi dengan konsentrasi enzim ditunjukkan
pada Gambar 3.
Gambar 3. Hubungan antara laju reaksi dengan konsentrasi enzim (Reed,
1975).
4. Konsentasi substrat
Pada umumnya, kecepatan reksi enzimatis bergantung pada konsentrasi
substrat. Kecepatan reaksi dapat meningkat apabila konsentrasi substrat
meningkat. Peningkatan kecepatan reaksi ini akan semakin kecil hingga
tercapai suatu titik batas yang pada akhirnya penambahan konsentrasi
substrat hanya akan sedikit meningkatkan kecepatan reaksi (Lehninger,
2005). Bila konsentrasi enzim cukup besar maka konsentrasi substrat perlu
9
disesuaikan agar semua enzim dapat terikat pada substrat dalam bentuk
kompleks enzim-substrat (Wirahadikusumah, 2001). Hubungan antara
kecepatan reaksi dengan konsentrasi substrat ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Hubungan antara laju reaksi dengan konsentrasi substrat
(Rodwell et al., 2015).
5. Aktivator dan inhibitor
Aktivator adalah senyawa atau ion yang dapat meningkatkan kecepatan
reaksi enzimatis. Beberapa enzim memerlukan aktivator dalam reaksi
katalisnya. Aktivator dapat berupa kofaktor dan koenzim. Kofaktor dapat
berupa ion-ion anorganik seperti Zn, Fe, Ca, Mn, Cu, dan Mg. Sedangkan
Koenzim berupa molekul organik kompleks (Martoharsono dan Soeharsono,
2006).
Inhibitor merupakan senyawa atau ion yang dapat menghambat aktivitas
enzim, baik secara reversible maupun irreversible (Wirahadikusumah,
2001). Inhibitor bekerja dengan menyerang sisi aktif enzim sehingga enzim
tidak dapat berikatan dengan substrat yang menyebabkan fungsi katalitik
enzim akan terganggu (Winarno, 1986).
10
Menurut Shahib (2005) terdapat dua teori pembentukkan kompleks enzim-
substrat, yaitu :
1. Teori Kunci Gembok (Lock and Key)
Pada teori ini, Emil Fisher menyatakan bahwa kerja enzim seperti kunci dan
anak kunci. Reaksi antara substrat dengan enzim dapat terjadi karena
adanya kesesuaian bentuk ruang antara substrat dengan sisi aktif enzim,
namun sisi aktif enzim cenderung kaku. Substrat berperan sebagai kunci
(key) dan sisi aktif enzim berperan sebagai gembok (lock). Substrat masuk
ke dalam sisi aktif enzim sehingga terbentuk kompleks enzim-substrat.
Ikatan yang terbentuk pada kompleks enzim-substrat merupakan ikatan yang
lemah, sehingga saat ikatan kompleks enzim-substrat terputus maka produk
hasil reaksi akan terlepas dan enzim akan kembali pada konfigurasi semula.
2. Teori Kecocokan Induksi (Induced fit)
Pada teori ini, Daniel Koshland menyatakan bahwa sisi aktif bersifat kaku
tetapi lebih fleksibel. Sisi aktif dapat terus menerus berubah bentuk sesuai
dengan interaksi antara enzim dan substrat. Saat substrat memasuki sisi
aktif enzim maka bentuk sisi aktif enzim akan berubah menyesuaikan
bentuk substrat sampai terbentuk kompleks enzim-substrat. Teori kunci
gembok dan kecocokan induksi ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Teori kunci gembok dan kecocokan induksi.
11
Dalam International Union of Biochemistry (IUB), enzim memiliki nama unik
dan nomor kode untuk mengidentifikasi jenis reaksi yang dikatalisis dan substrat
yang terlibat. Menurut Rodwell et al. (2015), enzim dapat dikelompokkan
menjadi 6 kelompok, yaitu :
1. Oksidoreduktase, enzim yang dapat mengkatalisis reaksi oksidasi dan
reduksi.
2. Transferase, enzim yang dapat mengkatalisis reaksi transfer gugus tertentu.
3. Hidrolase, enzim yang mengkatalisis reaksi hidrolisis.
4. Lisis, enzim yang dapat mengkatalisis reaksi adisi atau pemecahan ikatan
rangkap dua.
5. Isomerase, enzim yang dapat mengkatalisis reaksi isomerisasi.
6. Ligase, enzim yang dapat mengkatalisis reaksi pembentukkan ikatan dengan
bantuan pemecahan ikatan dalam ATP.
B. Enzim α-Amilase
Enzim α-amilase EC 3.2.1.1 adalah enzim endoamilase yang berperan dalam
memecah pati secara acak dari tengah atau bagian dalam molekul dengan
menghidrolisis ikatan α-1,4-glikosidik sehingga menghasilkan produk berupa gula
yang lebih sederhana seperti glukosa. Enzim ini dibutuhkan dalam bidang
industri dan diperjualbelikan sekitar 25% dari seluruh enzim di pasaran dunia.
Industri yang menggunakan enzim α-amilase antara lain industri pengolahan pati,
makanan, detergen, tekstil, dan kertas. Dalam aplikasi industri, enzim α-amilase
disyaratkan pada sifatnya yang khas terkait dengan spesifisitas, stabilitas, dan
12
pengaruh suhu serta pH terhadap aktivitasnya (Poedjiadi, 1994; Pandey et al.,
2000; Ginting, 2009).
Proses hidrolisis amilosa oleh enzim α-amilase terjadi melalui dua tahap. Tahap
pertama adalah mendegradasi amilosa menjadi dekstrin, degradasi ini terjadi
secara acak dan prosesnya sangat cepat yang ditandai dengan menurunnya
viskositas secara cepat. Tahap kedua adalah pembentukkan glukosa dan maltosa
sebagai hasil akhir, tahap ini terjadi relatif lambat (Suhartono, 1989).
Enzim amilase dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti hewan, tumbuhan,
dan mikroorganisme. Namun untuk dikembangkan dalam skala industri, enzim
yang dihasilkan oleh mikroorganisme lebih menguntungkan karena
mikroorganisme lebih mudah dikembangkan, mudah tumbuh, tidak memerlukan
tempat yang luas dan waktu yang lama, cepat menghasilkan enzim yang
diinginkan, dan kondisi lingkungan hidup mikroorganisme dapat dikendalikan
(Wang et al., 1979; Biogen, 2008 dalam Sundari 2011).
Aktivitas enzim α-amilase dapat diukur berdasarkan terbentuknya produk berupa
gula pereduksi (Judoamidjojo dkk., 1989). Secara kimiawi, pati dapat bereaksi
dengan iodin yang ditandai terlihatnya warna biru-kehitaman. Warna ini
terbentuk apabila molekul iodium masuk ke dalam bagian kosong yang berbentuk
spiral pada molekul pati. Namun apabila pati telah diuraikan oleh enzim α-
amilase menjadi gula pereduksi berupa glukosa maupun maltosa, maka warna biru
tidak terbentuk karena tidak adanya bentuk spiral pada produk tersebut (Lay dan
Sugyo, 1992).
13
C. Bacillus subtilis
Menurut Hadioetomo (1993), Bacillus memiliki klasifikasi genus sebagai berikut :
Kingdom : Procaryotae
Divisi : Bacteria
Kelas : Schizomycetes
Ordo : Eubacteriales
Family : Bacillaceae
Genus : Bacillus
Bacillus merupakan bakteri gram positif yang berbentuk batang (basil).
Beberapa spesies dari Bacillus bersifat aerob obligat dan bersifat anaerobik
fakultatif, serta memiliki endospora sebagai struktur pelindung saat kondisi
lingkungan tidak mendukung. Beberapa spesies dari jenis Bacillus bersifat
mesofilik misalnya Bacillus subtilis (Jawetz dkk., 2005). Bacillus subtilis
merupakan bakteri yang memiliki spora berbentuk oval, lebar spora tidak
melebihi dari sel induknya. Bacillus subtilis bersifat gram positif dan juga
bersifat aerob (Schelegel dan Schmidt, 1994). Mikroorganisme ini berbentuk
batang lurus berukuran 1,5 x 4,5 µm, tersusun sendiri-sendiri atau dalam
bentuk rantai, bergerak, dan tidak bersimpai (Gupte, 1990).
Menurut Oyekele et al. (2011) aktivitas enzim α-amilase yang dihasilkan oleh
Bacillus subtilis lebih tinggi dibandingkan yang dihasilkan oleh Aspergilus
niger. Secara umum, enzim α-amilase yang diisolasi dari bakteri dapat stabil
pada pH 5,5 – 8,0 dengan aktivitas optimum berada pada pH 4,8 – 6,5.
Berdasarkan penelitian Yandri et al. (2010) produksi α-amilase dari Bacillus
14
subtilis yang optimum berlangsung pada pH 6,0 dan suhu 60oC.
D. Pati
Pati termasuk karbohidrat golongan polisakarida yang tersusun lebih dari delapan
satuan monosakarida. Pati berperan sebagai substrat yang akan dipecah oleh
enzim α-amilase menjadi gula yang lebih sederhana. Pati juga berperan sebagai
penghasil sumber karbon bagi pertumbuhan mikroorganisme, khususnya
mikroorganisme penghasil enzim α-amilase. Pati merupakan polimer yang
tersusun dari monomer α-D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-1,4-
glikosidik dan ikatan α-1,6-glikosidik pada percabangan rantainya (Fessenden dan
Fessenden, 1982).
Pati tersusun dari amilosa, amilopektin, protein dan lemak dengan kandungan
amilosa sebanyak 15-30%, amilopektin sebanyak 70-85%, dan 5-10% merupakan
material antara. Material antara dalam pati memiliki struktur dan jenis yang
berbeda tergantung pada sifat botani dari sumber patinya (Greenwood, 1975).
Amilosa memiliki sifat yang tidak mudah larut dalam air dingin karena
terbentuknya ikatan hidrogen antar gugus-OH dari molekul amilosa yang
berdekatan, namun kelarutannya dapat ditingkatkan dengan cara pemanasan.
Sedangkan amilopektin lebih stabil dan tidak membentuk ikatan hidrogen antar
gugus-OH saat dilarutkan dalam air dingin, sehingga untuk melarutkan
amilopektin tidak memerlukan pemanasan. Pada air panas, amilopektin tidak
dapat larut (Fessenden and Fessenden, 1982). Sebagian besar pati dapat diperoleh
15
dari tumbuhan, seperti padi, kentang, ubi jalar, singkong, dan lain sebagainya.
Struktur amilosa dan amilopekstin dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7.
Gambar 6. Struktur amilosa (Fessenden and Fessenden, 1982).
Gambar 7. Struktur amilopektin (Fessenden and Fessenden, 1982).
E. Onggok
Onggok merupakan limbah dari industri tapioka yang berbentuk padat.
Komponen penting yang terdapat dalam onggok adalah pati dan serat kasar. Pati
dan serat kasar dapat diuraikan secara enzimatis sebagai bahan baku bioetanol.
Kandungan ini berbeda untuk setiap daerah tempat tumbuh, jenis dan mutu ubi
kayu, teknologi yang digunakan, serta proses penanganan ampas tersebut.
Komposisi kimia (%) pada onggok menurut Hendri (1999) terdiri dari 14,32% air;
0,8 % protein; 0,25% lemak; 21,29% serat; dan 60,6% pati. Menurut Tjiptadi
(1982) kandungan onggok yaitu 16,86% air; 6,42 % protein; 0,25% lemak; 8,5%
abu; 8,14% serat; dan 62,97% pati.
16
Menurut Kementrian Lingkungan Hidup (2009), industri tapioka skala besar
umumnya dengan kapasitas 700 ton per hari dapat menghasilkan tapioka sebanyak
140 ton per hari dan onggok yang dihasilkan sejumlah 175 ton per hari.
Berdasarkan jumlah dan kandungannya, onggok mempunyai potensi yang besar
untuk dimanfaatkan menjadi produk yang lebih bernilai, salah satunya diproduksi
sebagai bioetanol.
F. Isolasi dan Pemurnian Enzim
Isolasi merupakan tahap yang dilakukan untuk memisahkan enzim dari
sumbernya, sedangkan pemurnian merupakan tahap yang dilakukan untuk
memisahkan enzim dari protein lain dengan tujuan untuk meningkatkan aktivitas
enzim. Tahapan proses isolasi dan pemurnian enzim menurut Judoamidjojo dkk.
(1989) adalah sebagai berikut :
1. Lisis dinding sel
Cara yang dapat dilakukan untuk melisis dinding sel adalah dengan
homogenasi menggunakan alat homogenisator seperti lumpang dan blender.
Proses homogenasi bertujuan untuk mengeluarkan enzim dari sel. Proses
lisis hanya berlaku untuk isolasi enzim intraseluler. Enzim intraseluler
langsung digunakan di dalam sel dan sering ditemukan pada bagian
membran dari sebuah organel sel. Sedangkan enzim ekstraseluler dilepas
dari sel ke lingkungan untuk menghidrolisis polimer di lingkungan (Maier
et al., 2000). Adapun enzim α-amilase merupakan enzim ektraseluler yang
17
dapat dikeluarkan dari sel bakteri dengan cara sentrifugasi, tanpa melalui
proses lisis dinding sel.
2. Sentrifugasi
Sentrifugasi bertujuan untuk memisahkan enzim ektraseluler dari sisa-sisa
sel. Prinsip sentrifugasi adalah memisahkan substansi berdasarkan berat
jenis molekul dengan cara memberikan gaya sentrifugal, sehingga substansi
yang lebih berat akan berada di ujung dasar tabung, sedangkan substansi
yang lebih ringan akan berada di atas. Hasil sentrifugasi diperoleh
supernatan (ekstrak kasar enzim) dan pellet (endapan pengotor). Sel-sel
mikroba biasanya mengalami sedimentasi pada kecepatan 5000 rpm selama
15 menit. Sentrifugasi dilakukan pada suhu dingin yaitu sekitar 2 - 4oC
untuk mencegah denaturasi enzim karena proses sentrifugasi akan
melepaskan panas (Suhartono, 1989; Faatih, 2009; Santos et al., 2015).
3. Fraksinasi menggunakan ammonium sulfat [(NH4)2SO4]
Fraksinasi merupakan proses pemurnian enzim yang bertujuan untuk
memisahkan enzim yang dikehendaki dari protein (enzim) lain yang tidak
diinginkan dengan cara mengendapan protein (enzim) melalui penambahan
senyawa elektrolit seperti garam ammonium sulfat, natrium klorida, atau
natrium sulfat. Menurut Suhartono (1989), penambahan senyawa elektrolit
dapat menurunkan kelarutan protein karena kelarutannya dipengarui oleh
kekuatan ion. Apabila kekuatan ion meningkat, maka kelarutan enzim akan
semakin besar, peristiwa ini disebut dengan istilah salting in. Setelah
mencapai suatu titik tertentu, kelarutan enzim akan semakin menurun,
peristiwa ini disebut dengan istilah salting out. Peristiwa salting out terjadi
18
saat konsentrasi garam lebih tinggi, akibatnya kelarutan enzim dalam air
menjadi lebih rendah. Kekuatan ion garam yang lebih tinggi menghasilkan
muatan yang dapat membentuk ikatan kovalen dengan air. Sebagian air
yang menghidrasi molekul enzim akan tertarik oleh garam sehingga enzim
akan mengendap (Wirahadikusumah, 2001).
Senyawa elektrolit yang sering digunakan adalah ammonium sulfat.
Menurut Scopes (1994) ammonium sulfat memiliki beberapa keunggulan
yaitu memiki kelarutan yang tinggi dalam air; tidak mempengaruhi
aktivitas enzim; mempunyai molaritas tinggi dalam keadaan jenuh sehingga
daya pengendapannya efektif; memiliki efek penstabil pada kebanyakan
enzim; dapat digunakan pada berbagai pH; dalam larutan ammonium sulfat
sebagian besar protein terlindungi dari denaturasi; serta larutan pekatnya
dapat mencegah pertumbuhan bakteri.
4. Dialisis
Dialisis bertujuan untuk memurnikan enzim berdasarkan difusi ion-ion
garam yang berlangsung dalam membran semipermeabel berupa kantong
selofan. Proses terjadi karena adanya perbedaan tekanan osmotik antara
cairan yang ada di dalam dan di luar membran. Ion-ion garam yang
memiliki tekanan osmotik lebih tinggi akan menuju luar membran,
sedangkan molekul H+
dari buffer yang memiliki tekanan osmotik lebih
rendah akan masuk ke dalam membran. Enzim yang memiliki berat
molekul lebih besar akan tertahan di dalam membran, sedangkan ion-ion
garam yang kecil akan keluar melalui pori-pori membran. Proses dialisis
dilakukan pada suhu dingin karena sebagian besar protein dan enzim stabil
19
pada suhu 2 - 4oC yang dapat mencegah terjadinya denaturasi enzim
(Suhartono, 1989).
Untuk mencapai keseimbangan osmotik dan juga mempercepat pergerakan
molekul, maka perlu dilakukan beberapa cara yaitu :
a. Gunakan larutan buffer dengan konsentrasi rendah dan lakukan
pergantian larutan buffer secara kontinu pada selang waktu tertentu
sampai ion-ion garam dalam membran dapat diabaikan (Lehninger,
2005).
b. Luas permukaan membran dibuat sebesar mungkin, misalnya
dengan menambah panjang kantong selofan (Nopiani, 2015).
c. Mengubah lapisan larutan yang berhubungan langsung dengan
membran secara terus menerus dengan cara mengaduk larutan
buffer menggunakan magnetic stirrer (Nopiani, 2015).
G. Pengujian Aktivitas Enzim α-amilase
Pengujian aktivitas α-amilase dilakukan dengan metode Fuwa dan metode
Mandels. Aktivitas enzim dihitung sebagai fungsi absorbansi menggunakan
spektrofotometer UV-Vis. Aktivitas enzim dinyatakan dalam aktivitas unit (AU)
enzim, yaitu jumlah enzim yang menyebabkan transformasi substrat 1
µmol/menit dalam keadaan optimum. Kemurnian enzim dinyatakan dalam
aktivitas spesifik (AS) yaitu jumlah unit aktivitas (AU) per miligram protein.
20
1. Metode Fuwa
Metode Fuwa didasarkan pada pengurangan substrat berupa pati yang
terhidrolisis sehingga menghasilkan warna kuning setelah penambahan
iodin. Pati dapat bereaksi dengan iodin menghasilkan warna biru. Warna
biru tersebut akan menyerap cahaya monokromatis pada λmaks 610 nm
(Fuwa, 1954; Fessenden dan Fessenden, 1982).
Berikut ini adalah ilustrasi reaksi enzimatik pada metode Fuwa :
10 menit S
Kontrol : E + HCl E-Cl + H
E + S-I2 α-amilase 60
oC KI/I2 (biru)
10 menit HCl 1 N
Sampel : E + S FS E + P α-amilase pati 60
oC KI/I2 glukosa (kuning)
Pada kontrol, iodin (I2) terperangkap dalam rantai spiral substrat (pati)
menghasilkan larutan berwarna biru. Enzim diinaktivasi sejak awal oleh
HCl sehingga substrat tetap utuh karena substrat tidak dihidrolisis oleh
enzim, maka larutan akan tetap berwarna biru. Pada sampel, enzim akan
mengikat substrat membentuk kompleks enzim-substrat. Kompleks
tersebut akan bereaksi dengan larutan iodin membentuk larutan berwarna
kuning. Semakin banyak substrat yang dihidrolisis oleh enzim, maka
warna larutan akan semakin kuning bening. Hal ini dikarenakan substrat
pati yang berikatan dengan iodin sehingga pati semakin berkurang dan
membentuk produk berupa glukosa. Selain itu, enzim melepas ikatan spiral
antara iodin dan substrat sehingga warna menjadi kuning bening (Fuwa,
1954). Metode Fuwa digunakan untuk menentukan aktivitas enzim α-
amilase pada tahap isolasi dan pemurnian (Feraliana, 2011).
21
2. Metode Mandels
Metode Mandels didasarkan pada pembentukan produk (glukosa) hasil
hidrolisis substrat pati yang akan mengalami oksidasi setelah penambahan
reagen DNS menghasilkan larutan berwarna merah. Warna tersebut akan
menyerap cahaya monokromatis pada λmaks 510 nm. Kadar glukosa yang
terbentuk ditentukan menggunakan kurva standar glukosa (Mandels et al.,
2009). Metode Mandels digunakan dalam penentuan data kinetika enzim
α-amilase yaitu nilai KM, Vmaks, t1/2, ki, dan ΔGi (Feraliana, 2011).
H. Penentuan Kadar Protein
Penentuan kadar protein bertujuan untuk mengetahui bahwa protein (enzim)
masih terdapat pada tiap fraksi pemurnian dengan aktivitas yang tetap baik
(Feraliana, 2011). Metode yang digunakan untuk menentukkan kadar protein
enzim adalah metode Lowry. Pada metode Lowry, ion Cu (II) bereaksi dengan
ikatan peptida pada protein (enzim) membentuk senyawa kompleks. Kompleks
Cu2+
akan tereduksi menjadi Cu+
pada kondisi basa. Cu+
yang terikat pada rantai
samping tirosin, triptofan, atau sistein dari protein (enzim) akan bereaksi dengan
reagen folin- ciocelteau. Reaksi ini secara perlahan akan mereduksi reagen
tersebut menjadi heteromolibdenum menghasilkan warna hijau-kebiruan yang
akan menyerap cahaya monokromatis pada λmaks 750 nm. Intensitas warna yang
dihasilkan tergantung pada kandungan triptofan dan tirosin pada protein (enzim)
(Lowry et al., 1951). Pengukuran didasarkan pada kurva standar BSA sebagai
protein standar yang mengandung asam amino tirosin dan triptofan. Asam amino
22
tersebut memiliki ikatan konjugasi yang mengalami transisi elektronik pada λmaks
280 nm (Boyer, 2012).
I. Kinetika Reaksi Enzim
Pada kinetika reaksi enzim, parameter yang digunakan adalah konstanta
Michaelis-Menten (KM) dan laju reaksi maksimum (Vmaks). KM merupakan
konstanta yang menunjukkan afinitas enzim terhadap substrat. Semakin kecil
nilai KM maka interaksi enzim dan substrat sangat baik dengan afinitas yang tinggi
dan laju reaksinya semakin cepat, sedangkan jika nilai KM suatu enzim besar
maka enzim tersebut memiliki afinitas rendah terhadap substrat Bila konsentrasi
substrat cukup besar sehingga semua enzim dapat terikat membentuk kompleks
enzim-substrat, maka akan didapat laju reaksi maksimum (Vmaks) (Page, 1997;
Wirahadikusumah, 2001). Nilai KM didefinisikan sebagai konsentrasi substrat
tertentu pada saat enzim mencapai setengah kecepatan maksimum. Setiap enzim
memiliki nilai KM dan Vmaks yang khas dengan substrat spesifik pada suhu dan pH
tertentu (Kamelia dkk., 2005). Nilai KM suatu enzim dapat ditentukan dengan
mengekstrapolasikan data eksperimental ke dalam grafik persamaan Lineweaver-
Burk, seperti Gambar 8.
Gambar 8. Grafik persamaan Lineweaver-Burk (Rodwell et al., 2015).
23
Persamaan Lineweaver-Burk merupakan persamaan kebalikan berganda yang
linier dari persamaan Michaelis-Menten.
Persamaan Michaelis-Menten, V0 =
Persamaan Lineweaver-Burk,
=
+
(Wirahadikusumah, 2001).
J. Kestabilan Enzim
Stabilitas enzim dapat diartikan sebagai kestabilan aktivitas enzim selama
penggunaan dan penyimpanan, serta kestabilan terhadap pengaruh kondisi non-
fisiologis dan juga terhadap senyawa yang bersifat merusak seperti pelarut
tertentu (Kazan et al., 1997). Faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas enzim
antara lain pH, suhu, kofaktor, dan kehadiran surfaktan (Eijsink et al., 2005).
Kestabilan ini sangat penting terutama saat aplikasi dalam industri yang bekerja
pada pH dan suhu ekstrim. Biasanya industri menginginkan penggunaan suhu
dan pH ekstrim dengan tujuan agar laju reaksi lebih tinggi, mengurangi
kontaminan, serta mengurangi masalah viskositas. Kestabilan enzim meliputi
kestabilan termal dan kestabilan pH.
1. Stabilitas Termal
Suhu yang tinggi dapat meningkatkan laju reaksi. Sama halnya dengan
reaksi enzimatik, kenaikan suhu akan mempercepat laju reaksi, namun
hanya pada batas suhu tertentu. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan
enzim terdenaturasi. Hal ini menyebabkan laju enzimatik menurun.
24
2. Stabilitas pH
Enzim yang aktif pada pH netral menandakan enzim mempunyai konstanta
disosiasi pada gugus asam maupun gugus basanya, terutama pada gugus
residu terminal karboksil dan gugus terminal aminonya. Enzim memiliki
aktivitas maksimum pada kisaran pH optimum, yaitu antara pH 4,5 - 8,0. Di
sekitar pH optimum, enzim mempunyai stabilitas yang tinggi. Perubahan
pH lingkungan dapat mempengaruhi keaktifan enzim akibat terjadinya
perubahan ionisasi enzim, substrat, atau kompleks enzim substrat (Winarno,
1986).
K. Amobilisasi Enzim
Amobilisasi enzim adalah proses pengikatan enzim secara fisik pada suatu
matriks tertentu yang tidak larut dalam air (Sirisha et al., 2016). Amobilisasi
bertujuan untuk meningkatkan stabilitas enzim, karena enzim bebas mempunyai
sifat tidak stabil terhadap lingkungan (Mozhaev et al., 1988). Keuntungan teknik
amobilisasi yaitu dapat meningkatkan stabilitas enzim, memudahkan
pengendalian kondisi reaksi, enzim dapat digunakan berulang, dan kemurnian
enzim maupun produk lebih tinggi. Namun, teknik amobilisasi memiliki
kekurangan yaitu terjadinya penurunan aktivitas katalitik enzim dan terjadinya
pergeseran pH atau suhu optimum dari enzim pada beberapa kasus (Sirisha et al.,
2016).
Dalam bidang industri, penggunaan enzim amobil sangat menguntungkan.
Menurut Payne et al. (1992) dan Wang et al. (1979), keunggulannya yaitu dapat
25
digunakan berulang, dapat mengurangi biaya, produk tidak dipengaruhi oleh
enzim, memudahkan pengendalian enzim, tahan kondisi ekstrim, dapat
digunakan untuk uji analisis, serta meningkatkan daya guna.
Terdapat beberapa cara untuk mengamobilisasi enzim antara lain dengan cara
fisik yang meliputi teknik penjebakan mikro kapsul, dan cara kimia yang meliputi
teknik pengikatan (absorbansi) pada bahan pendukung atau dengan teknik ikatan
silang. Metode yang banyak digunakan adalah metode amobilisasi secara fisik
karena memiliki kelebihan yaitu aktivitas dari enzim tetap tinggi (tidak terjadi
perubahan konformasi enzim) dan media dapat diregenerasi (Susanto dkk., 2003).
Amobilisasi dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu :
1. Metode pengikatan (carrier-binding) didasarkan pada pengikatan enzim
dengan matriks yang tidak larut dalam air. Aktivitas enzim amobil
dipengaruhi oleh ukuran partikel dan luas permukaan matriks. Pengikatan
dapat dilakukan dengan cara :
a. Adsorpsi fisik yaitu enzim diadsorpsi pada permukaan matriks melalui
ikatan hidrofobik, ikatan hidrogen, dan gaya Van der Waals. Metode ini
mudah dilakukan, ekonomis, tidak merusak konformasi enzim, dan
penurunan aktivitas enzim cenderung rendah. Namun, kekuatan ikatan
antara enzim dan matriks cukup lemah dan rentan terhadap perubahan
pH. Jika pH atau kekuatan ion berubah, maka akan terjadi kebocoran
matriks. Matriks yang dapat digunakan berupa bentonit, silika gel,
zeolit, kitosan, dan alumina. Enzim dan matriks dapat dipisahkan
kembali melalui filtrasi maupun sentrifugasi (Suhartono, 1989).
26
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sejati (2017), enzim α-amilase
hasil pemurnian memiliki nilai ki = 0,023 menit-1
, t1/2 = 30 menit, dan
∆Gi = 103,65 kJ mol-1
. Sedangkan enzim hasil amobilisasi memiliki
nilai ki = 0,014 menit-1
, t1/2 = 49 menit, dan ∆Gi = 105,03 kJ mol-1
.
Berdasarkan penurunan nilai ki, t1/2, dan ∆Gi, enzim α-amilase hasil
amobilisasi lebih stabil dibandingkan enzim hasil pemurnian.
Amobilisasi enzim α-amilase menggunakan bentonit yang dilakukan
oleh Tiarsa (2017) juga dapat meningkatkan kestabilan enzim ditandai
dengan penurunan nilai ki, t1/2, dan ∆Gi. Enzim α-amilase hasil
pemurnian memiliki nilai ki = 0,0165 menit-1
, t1/2 = 42,00 menit, dan ∆Gi
= 104,57 kJ mol-1
. Sedangkan enzim hasil amobilisasi memiliki nilai ki
= 0,0078 menit-1
, t1/2 = 88,85 menit, dan ∆Gi = 106,65 kJ mol-1
.
b. Ikatan kovalen antara gugus fungsi enzim yaitu α atau β-amino, α, β,
atau γ-karboksil, sulfohidril, hidroksil, imidazole, dan fenolik dengan
matriks yang mengandung gugus reaktif seperti diazonium, asam azida,
isosianat, dan halida. Ikatan yang terbentuk cukup kuat dalam
mencegah kebocoran matriks. Namun, jika konformasi berubah maka
aktivitas enzim akan hilang. Matriks yang digunakan pun sulit
diregenerasi.
c. Ikatan ionik antara gugus karboksil enzim bermuatan negatif dengan
gugus amina suatu matriks bermuatan positif pada matriks yang tidak
larut dalam air. Kelebihan dan kekurangan cara ini sama dengan cara
adsorpsi fisik.
27
Gambar 9. Ilustrasi metode carrier-binding.
2. Metode ikatan silang (cross-linking) antara molekul enzim dengan
pereaksi bergugus fungsi ganda. Kedua gugus fungsi tersebut akan
mengikat molekul enzim. Pereaksi yang biasa digunakan yaitu
glutaraldehid. Pada umumnya, metode ini dapat dipadukan dengan
metode adsorpsi untuk meningkatkan stabilitas enzim, metode ini
umumnya dipadukan dengan metode adsorpsi. Berdasarkan penelitian
Laila dkk. (2007), enzim amilase yang diamobilisasi menggunakan
matriks kitosan yang terikat oleh glutaraldehid, dapat digunakan berulang
hingga tiga kali dengan penurunan aktivitas 50%.
Gambar 10. Ilustrasi metode cross-linking.
3. Metode penjebakan (entrapment) yaitu penggabungan enzim ke dalam
kisi-kisi gel maupun polimer semipermeabel (mikrokapsul). Matriks
gel yang dapat digunakan berupa poliakrilamida, κ-karagenan, dan
alginat. Polimer yang umum digunakan yaitu selulosa asetat dan
amilum. Keunggulan metode ini yaitu tidak terjadinya perubahan
28
konformasi dan inaktivasi enzim karena enzim tidak berikatan dengan
matriks gel. Namun, kemampuan pembentukan kompleks enzim-
substrat cukup rendah apalagi jika berat molekul terlalu besar karena
terhalang kisi gel (Sirisha et al., 2016).
a). Tipe kisi b) Tipe mikrokapsul
Gambar 11. Ilustrasi metode entrapment.
L. Zeolit
Zeolit merupakan material yang memiliki bentuk kristal sangat teratur dengan
rongga yang saling berhubungan ke segala arah dan menjadikan luas permukaan
zeolit sangat besar sehingga sangat baik digunakan sebagai adsorben (Suardana,
2008). Zeolit terdiri senyawa aluminosilikat yang mempunyai struktur kerangka
tiga dimensi dengan rongga didalamnya. Kerangka zeolit tersusun atas unit-unit
tetrahedral (AlO4)-5
dan (SiO4)-4
yang saling berikatan melalui atom oksigen
membentuk pori-pori zeolit. Ion silikon bervalensi 4, sedangkan aluminium
bervalensi 3. Hal ini menyebabkan struktur zeolit kelebihan muatan negatif,
namun dapat diseimbangkan oleh kation-kation logam alkali atau alkali tanah
seperti Na+, K
+, Ca
+ atau Sr
+ maupun kation-kation lainnya. Kation-kation
tersebut terletak diluar tetrahedral, dapat bergerak bebas dalam rongga-rongga
zeolit dan bertindak sebagai counter ion yang dapat dipertukarkan dengan kation-
kation lainnya. Sifat inilah yang mendasari zeolit sehingga dapat digunakan
29
sebagai penukar kation. Berdasarkan sifat fisika dan sifat kimia tersebut, zeolit
dapat dimanfaatkan sebagai penukar ion, penyaring molekul, adsorben dan katalis
(Senda, 2005).
Gambar 12. Struktur zeolit.
Menurut proses pembentukannya, zeolit dibagi 2 jenis yaitu zeolit alam dan
zeolit sintetik. Zeolit alam biasanya mengandung kation-kation K+
, Na+, Ca
2+
atau Mg2+
sedangkan zeolit sintetik biasanya hanya mengandung kation-kation
K+
atau Na+. Pada zeolit alam, adanya molekul air dalam pori dan oksida bebas
di permukaan seperti Al2O3, SiO2, CaO, MgO, Na2O, K2O dapat menutupi pori-
pori atau situs aktif dari zeolit sehingga dapat menurunkan kapasitas adsorpsi
maupun sifat katalisis dari zeolit tersebut, sehingga zeolit alam perlu diaktivasi
terlebih dahulu sebelum digunakan. Aktivasi zeolit alam dapat dilakukan secara
fisika maupun kimia. Secara fisika, aktivasi dapat dilakukan dengan pemanasan
pada suhu 300 - 400ºC dengan udara panas atau dengan sistem vakum untuk
melepaskan molekul air. Sedangkan aktivasi secara kimia dilakukan melalui
pencucian zeolit dengan larutan Na2EDTA atau asam-asam anorganik seperti HF,
HCl dan H2SO4 untuk menghilangkan oksida-oksida pengotor yang menutupi
permukaan pori (Sutarti dan Rachmawati, 1994).
Zeolit alam yang digunakan pada penelitian ini berasal dari CV. Minatama,
komposisi mineralnya terdiri dari 43,27% klinoptilolit dan 56,73% mordenit.
30
M. Bioetanol
Bioetanol merupakan etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi. Bioetanol
dapat diproduksi dari bahan baku yang mengandung karbohidrat, gula, dan
selulosa dengan menggunakan bantuan dari aktivitas mikroorganisme. Bahan
baku yang dapat digunakan untuk memproduksi bioetanol antara lain seperti
jagung, singkong, tebu, ubi jalar, dan lain-lain. Dewasa ini, bioetanol sangat
penting untuk dikembangkan sebagai energi alternatif yang berguna sebagai
pengganti minyak bumi. Proses konversi enzimatis pati onggok menjadi glukosa
lebih ramah lingkungan dibanding dengan menggunakan katalis asam, glukosa
yang terbentuk akan dilanjutkan pada proses fermentasi sehingga menghasilkan
bioetanol (Retno dan Nuri, 2011; Richana, 2011).
Etanol adalah senyawa organik yang termasuk golongan alkohol primer. Pada
kondisi kamar, etanol berwujud cairan yang mudah menguap, mudah terbakar,
dan tak berwarna. Etanol merupakan merupakan nama IUPAC, sedangkan nama
trivial dari etanol adalah etil-alkohol. Rumus kimia etanol adalah C2H5OH.
Brazil merupakan negara yang sudah menggunakan etanol sebagai bahan bakar.
Etanol di Brazil diproduksi dari tetes tebu dengan proses fermentasi. Etanol
sering digunakan untuk membuat pelarut (40%), asetaldehid (36%), eter, glikol
eter, etil asetat, dan kloral (9%). Etanol dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
industri senyawa kimia, seperti industri farmasi, kosmetik, dan plastik. Selain itu,
etanol dimanfaatkan sebagai bahan desinfektan dan bioetanol sebagai energi
alternatif untuk kendaraan bermotor (Andaka, 2010; Anshory, 2004).
31
N. Fermentasi
Fermentasi adalah proses perubahan kimia suatu molekul organik yang
berlangsung karena adanya biokatalisator berupa enzim yang dihasilkan oleh
mikroorganisme. Agar fermentasi dapat berlangsung, maka mikroorganisme
perlu hidup dalam medium fermentasi yang mengandung nutrien untuk
pertumbuhannya (Rachman, 1989). Contoh proses fermentasi antara lain
pengasaman susu, pembuatan tampe, pembutan alkohol, dan lain-lain.
Mikroorganisme yang sering digunakan untuk fermentasi adalah bakteri, khamir,
dan kapang (Hidayat dkk., 2006). Fermentasi alkohol merupakan proses
anaerobik. Oleh karena itu, kadar oksigen perlu dikendalikan agar proses
berlangsung optimal (Subekti, 2006).
Dalam proses fermentasi alkohol, glukosa akan didegradasi menjadi etanol dan
CO2 melalui jalur glikolisis. Mekanisme pembentukkan glukosa melalui jalur
glikolisis dan diteruskan untuk pembentukkan etanol ditunjukkan pada Gambar
13.
32
C6H12O6 ATP, Mg ++
Glukosa 6-P
Glukosa Fosfo glukoisomerase
Fruktosa 6-P
Fosfo fruktokinase
Fruktosa 1,6-di P
Gliseraldehida 3-P Dihidroksiaseton fosfat
1,3-di P-gliserat
3-P-gliserat
2-P-glisertat
Fosfoenol piruvat CO2 NAD+
NADH + H+
Piruvat Asetaldehida Etanol
Piruvat dekarboksilase Alkoholdehidrogenase
Gambar 13. Mekanisme pembentukkan etanol (Wirahadikusumah, 1985).
Terdapat beberapa faktor yang dapat mengoptimalkan proses fermentasi yaitu
suhu, pH, oksigen, dan nutrisi (Subekti, 2006).
1. Suhu
Suhu pertumbuhan mikroorganisme yang digunakan dalam fermentasi
dipengaruhi oleh suhu pada saat proses fermentasi berlangsung. Secara
umum suhu optimal untuk proses fermentasi adalah 30 - 40 °C.
33
2. pH
Mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH tertentu yang sesuai untuk
pertumbuhannya. Saccharomyces cerevisiae memerlukan pH 4 - 5 agar dapat
tumbuh dengan baik.
3. Oksigen
Oksigen merupakan faktor utama dalam pengendalian fermentasi. Dalam
proses fermentasi, oksigen yang digunakan harus dalam tekanan yang
serendah mungkin, karena jika tekanan oksigen yang diberikan lebih besar,
maka pertumbuhan mikroorganisme semakin meningkat sedangkan produksi
etanol menurun.
4. Nutrisi
Dalam pertumbuhannya, mikroorganisme membutuhkan asupan makanan.
Makanan yang dibutuhkan mikroorganisme harus mengandung nutrisi dalam
porsi yang sesuai untuk pertumbuhannya.
Berdasarkan penelitian Retnowati dan Sutanti (2008), pembentukkan etanol dari
limbah padat ampas tapioka dipengaruhi oleh lamanya waktu fermentasi. Dalam
selang waktu 1 - 7 hari, kadar etanol dari limbah padat ampas tapioka terus
meningkat. Namun setelah 7 hari, kadar etanol dari limbah padat ampas tapioka
menurun. Hal ini dikarenakan semakin berkurangnya nutrisi dan substrat,
sehingga jumlah Saccharomyces cerevisiae akan semakin menurun dan tidak
mampu memproduksi alkohol.
34
Mikroorganisme yang umum digunakan dalam produksi bioetanol, antara lain
Zymomonas mobilis (Zhang and Feng, 2010), Aspergillus niger (Ado et al., 2009),
dan Saccharomyces cerevisiae (Hong et al., 2013).
O. Saccharomyces cerevisieae
Saccharomyces cerevisiae paling banyak digunakan untuk fermentasi alkohol
karena mampu menghasilkan etanol dengan rendemen yang lebih tinggi
dibandingkan jenis mikroorganisme lainnya. Mikroorganisme ini sangat mudah
ditumbuhkan, membutuhkan nutrisi yang sederhana, laju pertumbuhan yang cepat,
dan sangat stabil (Walker, 2011). Selain itu, Saccharomyces cerevisiae
mempunyai toleransi terhadap kadar alkohol yang tinggi. Pada kondisi optimum,
kadar alkohol yang dihasilkan sebesar 8-20% (Sudarmadji dkk., 1989).
Saccharomyces cerevisiae adalah khamir bertunas yang termasuk dalam filum
Ascomycota, dan paling umum digunakan dalam pembuatan roti dan fermentasi
bir. Mikroorganisme ini tumbuh dengan baik pada suhu 30oC dan pH 4,0 - 5,0.
Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae dipengaruhi oleh adanya penambahan
nutrisi yang mengandung karbon dan nitrogen, misalnya urea, ammonium dan
pepton, serta mineral dan vitamin (Ikram et al., 2003).
P. Analisis Kadar Bioetanol dengan Kromatografi Gas
Kromatografi gas merupakan metode analisis berdasarkan perbedaan waktu
retensi akibat perbedaan mobilitas analit melalui suatu kolom. Perbedaan
35
mobilitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain titik didih analit, gas, dan
interaksi dengan fase padat dalam kolom. Prinsip dasar kromatografi adalah
pemisahan senyawa-senyawa berdasarkan perbedaan distribusi fasa gerak dan fasa
diam. Dalam kromatografi gas, yang bertindak sebagai fasa gerak adalah gas
pembawa dan yang bertindak sebagai fasa diam adalah analit yang terdapat dalam
kolom.
Komponen dalam kromatografi gas terdiri dari gas pembawa, oven, pengatur
tekanan gas, pengontrol aliran pembawa, injektor, kolom, detektor, dan pencatat.
Gas pembawa yang sering digunakan pada GC adalah gas nitrogen, helium, argon,
hidrogen, dan karbon dioksida karena gas-gas tersebut tidak reaktif (inert)
(Ratnaningsih, 2000). Gas pembawa akan mengemulsi komponen-komponen dari
sampel melalui kolom yang mengandung fasa diam untuk proses pemisahan
kemudian jumlah komponen sampel yang berhasil dipisahkan oleh kolom
kromatografi gas akan dideteksi oleh detektor. Hasil kromatografi gas dapat
dilihat dalam bentuk kromatogram, untuk tujuan kualitatif dilihat berdasarkan
waktu retensinya sedangkan untuk tujuan kuantitatif dilihat berdasarkan luas
puncak kromatogram (Sanchez, 2003).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Septarini (2013) tentang hidrolisis onggok
dibawah pengaruh ultrasonifikasi yang dianalisis menggunakan GC-2010 AF
Shimadzu diperoleh kadar bioetanol hasil fermentasi dengan Saccharomyces
cerevisiae sebesar 0,17%. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan Sari (2013)
diperoleh kadar bioetanol sebesar 0,12% dari hasil fermentasi dengan
Saccharomyces cerevisiae yang dianalisis menggunakan GC.
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Januari – Juni 2018 di Laboratorium Biokimia
Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Lampung. Analisis spektofotometri UV-Vis dilakukan di Laboratorium Biokimia
Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Lampung. Analisis kromatografi gas dilakukan di Laboratorium Kimia Organik
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gajah Mada.
B. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain alat-alat gelas, jarum ose,
neraca analitik, mikropipet Eppendroff, pembakar spritus, pH meter, pH universal,
freezer, sentrifuga, tabung sentrifuga, autoclave model S-90N, Laminar Air Flow
(LAF) CRUMA model 9005-FL, shaker incubator, waterbath, oven, magnetic
stirrer, spektrofotometer UV-VIS Cary Win UV 32, dan kromatografi gas (GC).
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ekstrak ragi, pati,
Nutrient Agar (NA), Potato Dextrose Agar (PDA), MgSO4·7H2O, CaCl2,
37
KH2PO4, HCl 1 N, HCl 3 M, (NH4)2SO4, NaOH, Na2CO3, CuSO4·5H2O, I2, KI,
buffer fosfat (NaH2PO4·H2O dan Na2HPO4·2H2O), akuades, Na2SO3, alkohol,
fenol, Na-K tartarat, reagen folin ciocelteau, asam dinitrosalisilat (DNS), amilum,
glukosa, larutan Bovine Serum Albumin (BSA), kantong selofan, alumunium foil,
pati onggok, kertas saring, zeolit alam Lampung (100 mesh) yang diperoleh dari
CV. Minatama, Saccharomyces cerevisiae dan bakteri Bacillus subtilis
ITBCCB148 yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Teknik
Kimia, Institut Teknologi Bandung, serta ragi yang diperoleh dari pasar stasiun
Labuhan Ratu, Bandar Lampung.
C. Prosedur Penelitian
1. Pembiakan Bacillus subtilis ITBCCB148
Media agar miring dibuat dari 1 g NA dan 0,5 g pati yang dilarutkan dalam 50
mL akuades (Sarah dkk., 2010). Pembiakan dilakukan pada kondisi aseptis dalam
LAF. Setelah agar mengeras dan bebas kontaminan, diambil satu tarikan ose
biakan murni Bacillus subtilis ITBCCB148 lalu digoreskan secara zig-zag ke
permukaan media agar miring (Hadioetomo, 1993). Biakan Bacillus subtilis
ITBCCB148 ditumbuhkan dalam inkubator ±3 hari.
2. Pembuatan Media Inokulum dan Media Fermentasi
Media inokulum dan media fermentasi terbuat dari 0,5% pati, 0,5% ekstrak ragi,
0,02% MgSO4·7H2O, 0,01% CaCl2, dan 0,05% KH2PO4 yang dilarutkan dalam
buffer fosfat pH 6,5. Kemudian disterilisasi pada suhu 121oC, tekanan 1 atm
38
selama 15 menit dalam autoklaf, lalu didiamkan dalam kondisi aseptis ±12 jam
(Yandri et al., 2010; Tiarsa, 2017).
Larutan buffer fosfat pH 6,5 dibuat dengan mencampurkan stok A dan stok B
pada volume tertentu. Stok A dibuat dengan cara melarutkan NaH2PO4·H2O
sebanyak 31,970 g dalam 1000 mL akuades, lalu diaduk agar homogen. Stok B
dibuat dengan melarutkan Na2HPO4·2H2O sebanyak 35,63 g dalam 1000 mL
akuades, campuran diaduk agar homogen. Larutan buffer fosfat pH 6,5 dibuat
dengan mencampurkan stok A dan stok B dengan perbandingan volume stok A
sebanyak 68,5 % dan stok B 31,5%.
3. Produksi dan Isolasi Enzim α-amilase
a. Produksi Enzim α–amilase
Sebanyak 3 tarikan ose biakan Bacillus subtilis ITBCCB148 dari media
agar miring dipindahkan ke dalam media inokulum secara aseptis.
Kemudian dishaker selama 24 jam. Setelah itu, dipindahkan ke media
fermentasi sebanyak 2% dari volume media fermentasi. Lalu dikocok
dalam shaker incubator selama 72 jam (Yandri et al., 2010).
b. Isolasi Enzim α-amilase
Enzim α-amilase dalam media fermentasi dipisahkan dari sel bakteri lokal
Bacillus subtilis ITBCCB148 dengan sentrifuga selama 20 menit,
supernatan hasil sentrifuga disaring dengan kertas saring sehingga
diperoleh ekstrak kasar enzim (Yandri et al., 2010). Ekstrak kasar enzim
diuji aktivitas enzim α-amilase dengan metode Fuwa, metode Mandels
serta pengukuran kadar protein dengan metode Lowry.
39
4. Uji Aktivitas Enzim α-amilase dan Penentuan Kadar Protein
a. Metode Fuwa (Fuwa, 1954).
a) Pembuatan pereaksi
Pereaksi Iodin : Kedalam labu takar 100 mL, 2 KI dilarutkan
dalam 10 ml akuades. Lalu ditambahkan 0,2 g I2.
Kemudian ditambahkan akuades hingga batas
tera.
Larutan Pati : 0,1 g pati dilarutkan dalam 100 ml akuades dan
dipanaskan hingga larut.
Larutan HCl 1 N : Dihitung pengenceran HCl pekat 12 N menjadi 1 N.
b) Uji aktivitas unit enzim α-amilase
Metode ini berdasarkan pada pengurangan jumlah substrat (pati).
Sebanyak 0,25 mL enzim ditambahkan ke dalam 0,25 mL larutan pati
0,1% lalu diinkubasi pada suhu 60oC selama 10 menit. Selanjutnya
reaksi dihentikan dengan penambahan 0,25 ml HCl 1 N dan kemudian
ditambahkan 0,25 mL pereaksi iodin dan 4 ml akuades. Campuran
diaduk rata, lalu serapannya diukur menggunakan spektrofotometer UV-
VIS pada λ 600 nm.
Untuk kontrol, sebanyak 0,25 mL enzim diinkubasi pada suhu 60oC
selama 10 menit kemudian reaksi dihentikan dengan penambahan 0,25
HCl 1 N, lalu ditambahkan 0,25 mL larutan pati 1%, 0,25 mL iodin, dan
4 mL akuades. Campuran diaduk rata, dan diukur serapannya
menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada λ 600 nm.
40
b. Metode Mandels (Mandels et al., 2009).
a) Pembuatan pereaksi
Siapkan labu ukur 100 mL, masukkan 1 g DNS dan 1 g NaOH lalu
dikocok hingga larut. Selanjutnya ditambahkan 1 mL Na(K) tartarat
40%, 0,2 g fenol, dan 0,05 g Na2SO3 kemudian dilarutkan dengan
akuades hingga batas tera.
b) Uji Aktivitas unit enzim α-amilase
Metode ini berdasarkan glukosa yang terbentuk (Mandels et al., 2009).
Sebanyak 0,5 mL enzim ditambahkan 0,5 mL larutan pati 0,1%, lalu
diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60oC. Setelah itu, ditambahkan 2
mL pereaksi DNS. Kemudian dididihkan selama 10 menit pada penangas
air dan didinginkan. Setelah dingin, serapannya diukur menggunakan
spektrofotometer UV-VIS pada λ 510 nm.
Untuk kontrol, sebanyak 0,5 mL enzim diinkubasi pada suhu 60oC
selama 10 menit kemudian ditambahkan 0,5 mL larutan pati 0,1% dan 2
mL DNS. Lalu dididihkan selama 10 menit pada penangas air dan
didinginkan. Setelah dingin, serapannya diukur menggunakan
spektrofotometer UV-VIS pada λ 510 nm. Kadar glukosa yang terbentuk
ditentukan dengan menggunakan kurva standar glukosa. Uji ini
dilakukan pada tahap penentuan KM dan Vmaks.
41
c. Metode Lowry (Lowry et al., 1951).
a) Pembuatan pereaksi
Pereaksi A : 2 g Na2CO3 dilarutkan dalam 100 mL NaOH
0,1 N.
Pereaksi B : 5 mL larutan CuSO4·5H2O 1% ditambahkan
ke dalam 5 mL larutan Na(K) tartarat 1%.
Pereaksi C : 2 mL pereksi B ditambahkan 100 mL pereaksi A.
Pereaksi D : reagen folin ciocelteau diencerkan dengan akuades
dengan perbandingan 1:1.
Larutan standar : larutan BSA dengan kadar 0, 20, 40, 60, 80, 100,
120, dan 140 ppm.
b) Penentuan kadar protein enzim α-amilase
Larutan enzim sebanyak 0,1 mL ditambahkan 0,9 mL air dan 5 mL
pereaksi C, lalu dikocok dan didiamkan pada suhu kamar selama 10
menit. Setelah itu ditambahkan 0,5 mL pereaksi D, dikocok dan
didiamkan pada suhu kamar selama 30 menit. Kemudian serapannya
diukur pada λ 750 nm. Untuk kontrol, perlakuannya sama dengan
sampel namun 0,1 mL enzim diganti oleh 0,1 mL akuades. Untuk
menentukan konsentrasi protein enzim digunakan kurva standar BSA.
5. Pemurnian Enzim α-amilase
a. Fraksinasi menggunakan ammonium sulfat [(NH4)2SO4]
Ekstrak kasar enzim yang diperoleh dimurnikan dengan ammonium sulfat
pada 7 derajat kejenuhan yaitu (0-10)%; (10-25)%; (25-40)%; (40-55)%;
42
(55-70)%; (70-85); dan (85-100)%. Skema proses fraksinasi dapat dilihat
pada Gambar 14.
Ekstrak kasar enzim
(NH4)2SO4 (0-10%)
Endapan 1 (F1) Filtrat
(NH4)2SO4 (10-25%)
Endapan 2 (F2) Filtrat
(NH4)2SO4 (25-40%)
Endapan 3 (F3) Filtrat
(NH4)2SO4 (40-55%)
Endapan 4 (F4) Filtrat
(NH4)2SO4 (55-70%)
Endapan 5 (F5) Filtrat
(NH4)2SO4 (70-85%)
Endapan 6 (F6) Fitrat
(NH4)2SO4 (85-100%)
Endapan 7 (F7) Filtrat
Gambar 14. Skema fraksinasi bertingkat dengan ammonium sulfat.
43
Sejumlah ekstrak kasar enzim yang diperoleh ditambahkan garam amonium
sulfat secara perlahan sambil diaduk dengan magnetic stirrer. Endapan
protein enzim yang didapatkan pada tiap fraksi kejenuhan amonium sulfat
dipisahkan dari filtratnya dengan sentrifugasi selama 20 menit. Endapan
yang diperoleh dilarutkan dengan bufer fosfat 0,1 M pH 6,5 dan diuji
aktivitasnya dengan metode Fuwa, serta diukur kadar proteinnya dengan
metode Lowry (Scopes, 1994; Yandri et al., 2010).
b. Dialisis
Enzim hasil fraksinasi ammonium sulfat yang memiliki aktivitas tertinggi
dimurnikan dengan cara dialisis. Endapan enzim dimasukkan ke dalam
kantong selofan dan didialisis dengan buffer fosfat 0,01 M pH 6,5 selama 24
jam pada suhu dingin. Selama didialisis, dilakukan pergantian buffer selama
4 - 6 jam agar konsentrasi ion-ion di dalam kantong dialisis dapat dikurangi.
Proses dialisis dilakukan secara kontinu sampai ion-ion di dalam kantong
dialisis dapat diabaikan. Untuk mengetahui bahwa sudah tidak ada lagi ion-
ion garam dalam kantong, maka diuji dengan menambahkan larutan
Ba(OH)2 atau BaCl2. Bila masih ada ion sulfat dalam kantong, maka akan
terbentuk endapan putih BaSO4. Semakin banyak endapan yang terbentuk,
maka semakin banyak ion sulfat yang ada dalam kantong. Selanjutnya
dilakukan uji aktivitas dengan metode Fuwa dan diukur kadar proteinnya
dengan metode Lowry.
44
6. Amobilisasi Enzim α-amilase Hasil Pemurnian dengan Zeolit
a. Aktivasi matriks zeolit
Aktivasi dilakukan dengan cara mencampurkan 30 g serbuk zeolit alam
dengan 100 mL HCl 3 M. Campuran dipanaskan sambil diaduk pada suhu
90ºC selama 2 jam. Selanjutnya didinginkan, disaring, dan dicuci dengan
akuades sampai zeolit tidak berwarna kekuningan. Lalu dikeringkan dalam
oven pada suhu 105ºC selama 5 jam, dan disimpan dalam desikator (Septiani
dan Lisma, 2011).
b. Penentuan pH pengikatan enzim α-amilase pada matriks zeolit
0,25 g sebuk zeolit dimasukkan ke dalam tabung sentrifius kemudian
distabilkan dengan buffer fosfat 0,1 M pada variasi pH 5; 5,5; 6; 6,5; 7;
dan 7,5. Matriks disentrifugasi agar terpisah dari larutannya, lalu diisi
dengan 0,5 mL larutan enzim hasil pemurnian, lalu dielusi dengan 2 mL
buffer fosfat sesuai pH masing-masing. Campuran diaduk dan
disentrifugasi selama 20 menit. Supernatan didekantasi dan diuji aktivitas
enzimnya. Supernatan yang diperoleh dipipet sebanyak 0,5 mL sebagai
kontrol pengujian metode Mendels. Endapan enzim-zeolit ditambahkan
0,5 mL larutan pati 0,1% dan diinkubasi pada suhu 60oC selama 30 menit.
Kemudian campuran disentrifugasi. Supernatan yang diperoleh
ditentukan aktivitasnya dengan metode Mendels. pH buffer yang
memberi aktivitas tertinggi ditetapkan sebagai pH pengikatan optimum
(Sejati, 2017; Tiarsa, 2017; Widyasmara, 2018).
45
c. Amobilisasi enzim α-amilase
Enzim α-amilase sebanyak 0,5 mL diikatkan pada 0,25 g zeolit dan 2 mL
buffer yang sesuai. Campuran diaduk hingga rata dan disimpan dalam
freezer selama 10 menit, lalu disentrifugasi selama 20 menit. Supernatan
yang diperoleh didekantasi sebagai kontrol untuk diuji aktivitas
enzimnya. Endapan yang diperoleh ditambahkan dengan 0,5 mL substrat
pati 0,1% kemudian diaduk lalu diinkubasi pada suhu 60oC selama 30
menit. Setelah itu, enzim amobil dipisahkan dari matriksnya melalui
sentrifugasi selama 45 menit. Selanjutnya enzim amobil diuji
aktivitasnya dengan metode Mandels (Sejati, 2017; Tiarsa, 2017).
7. Karakterisasi Enzim α-amilase Murni dan Amobil
a. Penentuan suhu optimum enzim hasil pemurnian dan enzim hasil amobilisasi
Penentuan suhu optimum enzim α-amilase ditentukan dengan memvariasikan
suhu, yaitu 55; 60; 65; 70; 75; 80; 85 dan 90oC. Selanjutnya dilakukan
pengukuran aktivitas enzim dengan metode Mandels.
b. Pemakaian berulang enzim hasil amobilisasi
Enzim amobil yang telah dipakai (direaksikan dengan substrat) dicuci dengan
buffer fosfat 0,1 M pH pengikatan optimum kemudian disentrifugasi.
Endapan enzim amobil direaksikan dengan substrat baru. Selanjutnya diuji
dan dibandingkan aktivitas sisa (%) enzim amobil sebelum dan sesudah
pemakaian berulang menggunakan metode Mandels.
46
c. Penentuan data kinetika enzim hasil amobilisasi
Konstanta Michaelis-Menten (KM) dan laju reaksi maksimum (Vmaks) enzim
α-amilase ditentukan dengan memvariasikan konsentrasi substrat (larutan
pati) yaitu 0,1;0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1,0 % pada suhu 60oC selama 30 menit..
Kemudian dilakukan pengukuran dengan metode Mandels. Selanjutnya data
aktivitas enzim dengan konsentrasi substrat diplotkan ke dalam kurva
Lineweaver-Burk untuk penentuan KM dan Vmaks.
d. Uji stabilitas termal (Yang et al., 1996).
Penentuan stabilitas termal enzim dilakukan dengan variasi waktu inkubasi.
Waktu inkubasi dibutuhkan enzim untuk bereaksi dengan substrat secara
optimum. Pada penelitian ini, uji stabilitas termal enzim dilakukan dengan
variasi waktu inkubasi 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, dan 80 menit pada suhu
60oC. Lalu diukur aktivitas enzim dengan metode Mandels.
e. Penentuan waktu paruh (t1/2), konstanta laju inaktivasi (ki), dan perubahan
energi akibat denaturasi (∆Gi)
Penentuan nilai ki (konstanta laju inaktivasi termal) enzim α-amilase hasil
pemurnian dan hasil amobilisasi dilakukan dengan menggunakan persamaan
kinetika inaktivasi orde 1 (Kazan et al., 1997) dengan persamaan:
ln (Ei/E0) = - ki t (1)
Sedangkan untuk perubahan energi akibat denaturasi (∆Gi) enzim hasil
pemurnian dan hasil amobilisasi kimia dilakukan dengan menggunakan
persamaan (Kazan et al., 1997).
47
∆Gi = - RT ln (ki h/kB T)
Keterangan :
R = konstanta gas (8,315 J K-1
mol-1
)
T = suhu absolut (K)
ki = konstanta laju inaktivasi termal
h = konstanta Planck (6,63 x 10-34
J det)
kB= konstanta Boltzmann (1,381-23
x 10-1
JK )
8. Konversi Enzimatis Pati Onggok menjadi Glukosa
a. Pembuatan bubur onggok
Bubur onggok terbuat dari larutan onggok konsentrasi 10% (10 g onggok
dilarutkan dalam 100 mL akuades). Kemudian larutan onggok dipanaskan
sambil diaduk sampai semua onggok tercampur. Pemanasan dilakukan
selama 15 menit (Juariah dkk., 2004).
b. Konversi pati onggok menjadi glukosa
Enzim α-amilase divariasikan volumenya lalu diikatkan pada 5 g zeolit dan 2
mL buffer fosfat pH yang sesuai. Campuran diaduk hingga rata dan disimpan
dalam freezer selama 10 menit, lalu disentrifugasi selama 20 menit. Matriks
enzim-zeolit ditambahkan dengan 50 mL bubur onggok dan diinkubasi pada
suhu 75oC dengan variasi waktu inkubasi. Matriks enzim-zeolit dan filtrat
dipisahkan dengan sentrifugasi. Supernatan yang diperoleh disterilisasi
dengan autoklaf pada suhu 121oC, tekanan 1 atm, selama 15 menit.
48
c. Penentuan kadar glukosa dari hasil konversi enzimatis pati onggok
Sebanyak 0,5 mL sampel hasil konversi enzimatis dimasukkan kedalam
tabung reaksi, kemudian ditambahkan 2 mL reagen DNS. Lalu dididihkan
pada penangas air selama 10 menit. Setelah dingin, serapannya diukur
menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada λ 510 nm. Untuk blanko,
perlakuannya sama dengan sampel namun 0,5 mL sampel hasil konversi
diganti oleh 0,5 mL akuades. Kadar glukosa yang terbentuk ditentukan
dengan menggunakan kurva standar glukosa (Sari, 2013; Widyasmara, 2018).
9. Fermentasi
a. Pembiakan Saccharomyces cerevisiae
Media agar miring dibuat dari 3,9 g PDA dan 2 g glukosa yang dilarutkan
dalam 100 mL akuades lalu dipanaskan hingga mendidih. Setelahnya
dituangkan ke dalam tabung reaksi dan kemudian disterilisasi dalam autoklaf
pada suhu 121oC, tekanan 1 atm, selama 15 menit. Selanjutnya tabung reaksi
dimiringkan dan ditunggu hingga media agar mengeras. Setelah agar
mengeras dan bebas kontaminan, diambil satu tarikan ose biakan murni
Sacchamomyces cerevisiae, lalu digoreskan ke permukaan media agar miring.
Pembiakan dilakukan pada kondisi aseptis di dalam LAF. Biakan
Saccharomyces cerevisiae ditumbuhkan dalam incubator ±24 jam. Setelah
1 - 2 hari, maka biakan Saccharomyces cerevisiae dapat digunakan
(Hadioetomo, 1993; Nisa, 2014).
49
b. Pembuatan inokulum
Media inokulum untuk Saccharomyces cerevisiae dan ragi terbuat dari
glukosa 2%, (NH4)2SO4 0,2%, MgSO4·7H2O 0,1%, dan yeast extract 0,5%.
Kemudian disterilisasi pada suhu 121oC, tekanan 1 atm, selama 15 menit
dalam autoclave, lalu didiamkan dalam kondisi aseptis ±12 jam. Sebanyak 2
tarikan ose biakan Saccharomyces cerevisiae dari media agar miring
dipindahkan ke dalam media inokulum secara aseptis. Kemudian dikocok
dalam shaker incubator selama 24 jam (Yandri et al., 2010; Elevri dan
Putra, 2006).
c. Fermentasi
Larutan hasil konversi enzimatis digunakan untuk fermentasi. Sebanyak 10%
(dari volume media fermentasi) inokulum ditambahkan ke dalam media
fermentasi (Sutiyono dkk., 2013). Fermentasi dilakukan pada kondisi
anaerob selama 7 hari (Nisa, 2014). Selanjutnya dilakukan pemanenan
dengan sentrifugasi selama 20 menit. Hasil etanol dianalisis dengan GC.
10. Analisis Kadar Bioetanol
Kadar bietanol hasil fermentasi dianalisis menggunakan GC. Kadar bioetanol
hasil fermentasi ditentukan dengan menggunakan kurva standar etanol. Larutan
standar dibuat dengan konsentrasi sebesar 0,5; 1; 2; dan 3%. Luas puncak
etanol yang dihasilkan pada kromatogram dicatat lalu dibuat kurva standar etanol.
Persamaan yang diperoleh dari kurva standar digunakan untuk menghitung kadar
bioetanol hasil proses fermentasi.
50
Untuk mengetahui kadar bioetanol, luas puncak (intensitas) etanol pada
kromatogram disubstitusi ke dalam persamaan regresi linier yang dihasilkan dari
kurva standar etanol. Persamaan regresi linier yaitu y = ax + b , dimana y adalah
luas puncak (intensitas) dan x adalah kadar etanol (%).
Skema singkat mengenai prosedur penelitian yang akan dilakukan ditunjukkan
dalam Gambar 15.
Bacillus subtilis ITBCCB148
Ekstrak kasar enzim α-amilase Penentuan aktivitas
unit metode Fuwa
Fraksinasi dengan (NH4)2SO4 dan penentuan kadar
protein metode Lowry
Dialisis
Enzim α-amilase murni
Amobilisasi dengan zeolit alam
Enzim α-amilase amobil
Penentuan suhu optimum Konversi enzimatis
Penentuan KM dan Vmax pati onggok
Penentuan stabilitas termal
Pemakaian ulang enzim amobil Glukosa
Penentuan ki, t½, dan ∆Gi Fermentasi
Bioetanol
Penentuan aktivitas unit Penentuan kadar
Metode Mandels bioetanol dengan
kromatografi gas
Hasil
Gambar 15. Skema prosedur penelitian.
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa:
1. Aktivitas spesifik enzim α-amilase hasil pemurnian hingga tahap dialisis
adalah 10.318,898 U/mg dan kemurniannya meningkat hingga 13 kali
dibandingkan dengan ekstrak kasar enzim dengan perolehan 16%.
2. Enzim α-amilase hasil pemurnian memiliki suhu optimum 55oC, KM
=
7,31 mg/mL substrat, Vmaks = 90,91 µmol/mL.menit, dan aktivitas sisa
pada uji stabilitas termal dengan suhu 60oC selama 80 menit sebesar
18%.
3. Enzim α-amilase hasil amobilisasi memiliki suhu optimum 70oC, KM =
14,78 mg/mL substrat, Vmaks = 36,9 µmol/mL.menit, dan aktivitas sisa
pada uji stabilitas termal dengan suhu 60oC selama 80 menit sebesar
87%.
4. Enzim hasil amobilisasi dapat digunakan berulang lebih dari 8 kali
pengulangan.
5. Uji stabilitas enzim hasil pemurnian pada suhu 60oC memiliki nilai ki =
0,0226 menit-1
, ΔGi = 92,364 kJ mol-1
, dan t1/2 = 30,664 menit.
71
6. Uji stabilitas enzim hasil amobilisasi pada suhu 60oC memiliki nilai ki
= 0,0013 menit-1
, ΔGi = 11,607 kJ mol-1
, dan t1/2 = 533,077 menit.
7. Kadar bioetanol hasil fermentasi oleh Saccharomyces sereviciae pada
glukosa yang diperoleh dari hasil konversi enzimatis pati onggok
dengan enzim α-amilase sebesar 0,14%.
8. Kadar bioetanol hasil fermentasi oleh ragi pada glukosa yang diperoleh
dari hasil konversi enzimatis pati onggok dengan enzim α-amilase
sebesar 0,30%.
B. Saran
Dari hasil penelitian yang diperoleh, maka disarankan untuk melakukan
optimasi kondisi fermentasi meliputi pH fermentasi, suplemen dalam
media inokulum dan media fermentasi, konsentrasi substrat, banyaknya
inokulum yang ditambahkan, dan lama waktu fermentasi sehingga
diharapkan mendapat kadar etanol yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Ado, S.A., G.B. Olukotun, J.B. Ameh, and A. Yabaya. 2009. Bioconversion of
Cassava Starch to Ethanol in A Simultaneous Saccharification and
Fermentation Process by Co-Cultures of Aspergillus Niger and
Saccharomyces cerevisiae. Science World Journal. 4 (1): 19-22.
Anshory. 2004. Etanol sebagai Bahan Bakar Alternatif. Erlangga. Jakarta.
Andaka, G. 2010. Pemanfaatan Limbah Kulit Nanas untuk Pembuatan Bioetanol
dengan Proses Fermentasi. (Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains dan
Teknologi). Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta.
Yogyakarta.
Boyer, R.F. 2012. Biochemistry Laboratory: Modern Theory and Techniques
Second Edition. Pearson Education, Inc. USA : 67-69.
Chaplin, M.F. and Bucke. 1990. Enzyme Technology. Cambridge University
Press. Cambridge : 22-23.
Dryer, R.L. 1993. Biokimia Jilid 1. UGM-Press. Yogyakarta :180-181.
Eijnsink, G.H., G. Sirgit, V. Torben, and B. van de Burg. 2005. Directed
Evolution of Enzyme Stability. Biomolecular Engineering. Elsevier
Science Inc. New York. 23: 21-30.
Elevri, P.S. dan S.R. Putra. 2006. Produksi Etanol menggunakan Saccharomyces
cerevisiae yang Diamobilisasi dengan Agar Batang. Jurnal Akta Kimindo. 1
(2): 105-114.
Faatih, M. 2009. Isolasi dan digesti DNA kromosom. Jurnal Saintek. 10 (1): 61-
67.
Feraliana. 2011. Amobilisasi Enzim α-Amilase dari Bacillus subtilis ITBCCB148
dengan Menggunakan Karboksi Metil Sephadex C-50 (CM-Sephadex C-50).
(Skripsi). Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Lampung. Bandar
Lampung.
73
Fessenden, R.J. dan J.S. Fessenden. 1982. Kimia Organik Jilid II. Erlangga.
Jakarta : 354-355.
Fuwa, H. 1954. A New Method for Microdetermination of Amylase Activity by
The Use of Amylase As The Substrate. Journal of Biochemistry. 41 (5):
583-603.
Ginting, J. 2009. Isolasi Bakteri dan Uji Aktivitas Enzim Amilase Kasar
Thermofilik dari Sumber Air Panas Desa Semangat Gunung, Kabupaten
Karo, Sumatera Utara. (Tesis). USU. Medan.
Girindra, A. 1986. Biokimia I. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Greenwood, C.T. 1975. Observation on Structure of Starch Granule. Edinburgh
University. Edinburgh.
Gupte, S.1990. Mikrobiologi Dasar. Binarupa Aksara. Jakarta.
Hadioetomo, R.S. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek Teknik dan Prosedur
Dasar Laboratorium. Gramedia. Jakarta.
Hasanah, U. 2017. Peningkatan Kestabilan Enzim Protease dari Bacillus subtilis
ITBCCB148 dengan Amobilisasi Menggunakan Zeolit. (Skripsi). Jurusan
Kimia Fakultas MIPA Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Hendri, J. 1999. Kondisi Optimum Pembuatan Selulosa Nitrat dari Onggok.
Jurnal Sains dan Teknologi. 5 (1):5-10.
Hidayat, N., M. Padaga, dan S. Suhartini. 2006. Mikrobiologi Industri. Andi
Offset. Yogyakarta.
Hong, L.S., D. Ibrahim, and C.O. Omar. 2013. Effects of Physical Parameters on
Second Generation of Bioethanol Production from Oil Palm Frond by
Saccharomyces cerevisiae. Bioresources. 8 (1): 969-980.
Ikram, U., H. Ashraf, J. Iqbal, and M.A. Qadeer. 2003. Production of Alpha
Amylase by Bacillus Licheniformis using An Economical Medium.
Bioresource Technology. 87: 57–61.
Jawetz, E., J.L. Melnick, dan E.A Adelberg. 2005. Mikrobiologi Kedokteran
edisi 23 Alih Bahasa: Huriwati Hartanto dkk. Buku Kedokteran ECG.
Jakarta.
Juariah, S., A. Susilowati, dan R. Setyaningsih. 2004. Fermentasi Etanol dari
Limbah Padat Tapioka (Onggok) oleh Aspergilus niger dan Zymomonas
mobilis. Bioteknologi. 1 (1): 7-12.
74
Junita. 2002. Mempelajari Stabilitas Termal Enzim Protease dari Bacillus subtilis
stearothermophillus dalam Pelarut Heksana, Toluena, dan Benzena.
(Skripsi). IPB. Bogor.
Judoamidjojo, R.M., S.E. Gumbira, dan L. Hartoto. 1989. Biokonversi. Depdikbud
Dirjen Dikti. PAU Bioteknologi IPB. Bogor : 128-132.
Kamelia, R., S. Muliawati, dan N. Dessy. 2005. Isolasi dan Karakterisasi
Protease Intraseluler Termostabil dari Bakteri Bacillus stearothermophilus
RP1. (Seminar Nasional MIPA). Departemen Kimia IPB. Bogor.
Kazan, D., H. Ertan and A. Erarslan. 1997. Stabilization of Escherichia coli
Penicillin G Acylase Agains Thermal Inactivation by Cross-linking with
Dextran Dialdehyde Polymers. Applied Microbiology and Biotechnology.
48 (2): 191-197.
Kementrian Lingkungan Hidup. 2009. Pedoman Pengelolaan Limbah Industri
Pengolahan Tapioka. Kementrian Negara Lingkungan Hidup RI. Jakarta.
Laila, A., A. Fetra, J. Hendri, dan I.G. Suka. 2007. Peningkatan stabilitas
enzim amilase melalui amobilisasi pada polimer kitosan. Jurnal Sains
MIPA. 13 (2): 119-126.
Lay, B.W. dan H. Sugyo. 1992. Mikrobiologi. Rajawali Pers. Jakarta : 107-112.
Lehninger, A.L. 2005. Dasar-Dasar Biokimia Alih Bahasa oleh Maggy
Thenawidjaya. Erlangga. Jakarta : 255-257.
Lowry, O.H., N.J. Rosebrough, A.L. Farr, and R.J. Randall. 1951. Protein
Measurement with The Folin Phenol Reagent. Journal of Biological
Chemistry. 193 (1): 265-275.
Maier, R., I. Pepper, and C.P. Gerba. 2000. Environmental Microbiology.
Academic Press. London : 212-220.
Mandels, M., D.E. Eveleigh, R. Andreotti, and C. Roche. 2009. Measurement
of Saccharifying Cellulose. Biotechnology for Biofuels. 2 (21): 1-8.
Martoharsono dan Soeharsono. 2006. Biokimia jilid I. UGM-Press. Yogyakarta :
81-83.
Maton, A., H. Jean, D.L.C.W. McLaughlin, J. Susan, J.D. Wright and Q.W.
Maryanna. 1993. Human Biology and Health. Prentice Hall. Englewood
Cliffs, New Jersey, USA.
Mozhaev, V.V., I.V. Berezin, and K. Martinek. 1988. Structure-stability
Relationship in Proteins: New approaches to stabilizing enzymes. Enzyme
and Microbial Technology. 6 (2): 50-59.