kti sukorame c21 tbc

113
HASIL PENELITIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS SUKORAME KOTA KEDIRI Pembimbing: dr. Gita Sekar Prihatini, MPd.Ked Dr. Djaka Handaya, MPH dr. Hj. Purnanti Kipnandari dr. Melda Nisrina dr. Imro’atus Solikhah Oleh: DOKTER MUDA C-21 KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

Upload: rezki-widiansyah

Post on 14-Dec-2015

227 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

tt

TRANSCRIPT

Page 1: Kti Sukorame c21 Tbc

HASIL PENELITIAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI

PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS SUKORAME

KOTA KEDIRI

Pembimbing:

dr. Gita Sekar Prihatini, MPd.Ked

Dr. Djaka Handaya, MPH

dr. Hj. Purnanti Kipnandari

dr. Melda Nisrina

dr. Imro’atus Solikhah

Oleh:

DOKTER MUDA C-21

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

2015

Page 2: Kti Sukorame c21 Tbc

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis, yaitu kuman aerob yang mudah mati dan didapat terutama di paru

atau berbagai organ tubuh lainnya yang mempunyai tekanan parsial O2 yang

tinggi (Depkes, 2007). TB Paru adalah penyakit sosial dengan implikasi medis.

Penyakit ini sering terjadi pada populasi yang kurang beruntung seperti: miskin,

tidak memiliki tempat tinggal, kekurangan gizi, buruknya sanitasi dan

kepadatan penduduk (Suparman, 2011). Gejala utama penderita TB Paru adalah

batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala

tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas,

nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari

tanpa kegiatan fisik, d a n demam meriang lebih dari satu bulan (Depkes,

2007).

Di Indonesia, TB Paru masih menjadi salah satu penyakit yang menimbulkan

masalah kesehatan di masyarakat. Penderita TB Paru di Indonesia merupakan

urutan ke-3 terbanyak di dunia setelah India d a n Cina dengan jumlah pasien,

sekitar 10% dari total jumlah pasien TB Paru di dunia. Diperkirakan pada tahun

2004, ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insiden kasus TB

Paru BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk (Depkes, 2007).

Berdasarkan data Surkesnas (Survei Kesehatan Nasional) tahun 2013, prevalensi

penyakit TB Paru berdasarkan pemeriksaan smear sputum pada populasi usia

Page 3: Kti Sukorame c21 Tbc

lebih dari 15 tahun adalah 340 per 200.000 penduduk pada tahun 2013. Di

Provinsi Jawa Timur memiliki kasus TB terbanyak kedua setelah Provinsi

Jawa Barat (Kemenkes, 2011). Jumlah kasus baru TB di Kota Kediri pada

tahun 2012 berjumlah 531 kasus (Dinkes, 2013). Sedangkan jumlah penderita

TB di wilayah kerja Puskesmas Sukorame mengalami penurunan dari tahun

2013 yang berjumlah 40 menjadi 36 penderita pada tahun 2014 (Puskesmas

Sukorame, 2015).

Menurut Binongko (2012) dalam Maksalmina (2013), salah satu faktor yang

mempengaruhi penyakit TB Paru adalah status gizi. Status gizi adalah salah satu

faktor terpenting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi. Pada keadaan gizi

yang buruk, maka reaksi kekebalan tubuh akan melemah sehingga kemampuan

dalam mempertahankan diri terhadap infeksi menjadi menurun.

Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan

lain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan

terhadap penyakit termasuk TB Paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang

berpengaruh di negara miskin maupun berkembang, baik pada orang dewasa

maupun anak-anak (Manalu,2010). Orang dengan TB Paru aktif sering

kekurangan gizi dan mengalami defisiensi makronutrien serta penurunan berat

badan dan penurunan nafsu makan (WHO, 2012). Beberapa hasil penelitian yang

berkaitan dengan masalah TB Paru dan malnutrisi telah dilakukan antara lain:

pemberian diit Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) dan obat TB pada penderita

TB yang di rawat di rumah sakit akan menghasilkan perbaikan secara klinis

berupa peningkatan berat badan (Binongko, 2012).

Page 4: Kti Sukorame c21 Tbc

Adapun faktor-faktor lain yang mempengaruhi status gizi pasien TB Paru adalah

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), lama pengobatan, tingkat pendapatan, dan

tingkat pendidikan. Berdasarkan hasil penelitian Pertiwi (2012), sebagian besar

para penderita TB Paru mempunyai kebiasaan atau perilaku yang tidak sehat,

seperti membuang dahak di sembarangan tempat dan tidak menutup mulut saat

batuk. Hasil penelitian Jayanti (2011) juga menunjukkan bahwa PHBS dalam

lingkungan keluarga berkorelasi positif dengan status gizi. Pengaruh lama

pengobatan juga terdapat pada penelitian Soemirat (2000), yaitu 15% pasien TB

memiliki status gizi buruk pada saat awal diagnosis dan setelah menjalani

pengobatan intensif selama dua bulan jumlah pasien yang mengalami gizi buruk

turun menjadi 8%. Menurut Soemirat (2000), faktor lain yang mempengaruhi

status gizi seseorang adalah tingkat pendapatan. Pendapatan per kapita pasien TB

Paru menjadi salah faktor yang berhubungan dengan status gizi pada pasien TB

Paru (Patiung, 2014). Tingkat pendidikan juga mempunyai hubungan yang

eksponensial dengan tingkat kesehatan. Semakin tinggi pendidikan semakin

mudah menerima konsep hidup sehat secara mandiri, kreatif, dan

berkesinambungan (Kartikasari, 2011).

Berdasarkan data di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi pasien Tuberkulosis Paru

di Puskesmas Sukorame Kota Kediri.

1.2 Rumusan Masalah

Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi pasien Tuberkulosis

Paru di Puskesmas Sukorame Kota Kediri

Page 5: Kti Sukorame c21 Tbc

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi pasien

Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sukorame Kota Kediri.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mendiskripsikan asupan energi, asupan makronutrien (karbohidrat dan

protein), lama pengobatan, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, perilaku

hidup bersih dan sehat (kebiasaan merokok, menutup mulut ketika batuk,

dan membuang ludah), serta status gizi pasien Tuberkulosis Paru di

Puskesmas Sukorame Kota Kediri.

2. Menganalisis hubungan asupan energi dan asupan makronutrien

(karbohidrat dan protein) dengan status gizi pasien Tuberkulosis Paru di

Puskesmas Sukorame Kota Kediri.

2. Menganalisis hubungan lama pengobatan dengan status gizi pasien

Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sukorame Kota Kediri.

3. Menganalisis hubungan tingkat pendidikan dengan status gizi pasien

Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sukorame Kota Kediri.

4. Menganalisis hubungan tingkat pendapatan dengan status gizi pasien

Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sukorame Kota Kediri.

5. Menganalisis hubungan perilaku hidup bersih dan sehat (kebiasaan

merokok, menutup mulut ketika batuk, dan membuang ludah) dengan status

gizi pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sukorame Kota Kediri.

Page 6: Kti Sukorame c21 Tbc

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademik

Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang upaya

mencegah penularan dan penanganan penyakit TB Paru, serta dapat menjadi

tambahan referensi bagi peneliti lain dalam melakukan penelitian yang sejenis.

1.4.2 Manfaat Instansi

Puskesmas Sukorame dan Dinas Kesehatan Kota Kediri mendapat tambahan

informasi dan sebagai bahan masukan bagi perencanaan program serta kebijakan

dalam penanggulangan dan penanganan Tuberkulosis Paru.

1.4.3 Manfaat Bagi Masyarakat

Memberikan informasi kepada masyarakat tentang perilaku yang baik untuk

mencegah penularan TB Paru.

Page 7: Kti Sukorame c21 Tbc

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

2.1.1 Pengertian Tuberkulosis

Tuberkulosis yang dulunya disingkat menjadi TBC karena berasal dari

kata tuberkulosis, namun saat ini lazim disingkat dengan TB saja. Tuberkulosis

adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium

tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga

mengenai organ tubuh lainnya seperti kulit, ginjal, usus, tulang, selaput otak, dan

lain-lain. Semua jenis tuberkulosis ini sama-sama disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis dan obatnya pun pada dasarnya sama. Namun

Tuberkulosis paling sering ditemui terjadi di paru. Hal ini terjadi karena penularan

penyakit ini terutama terjadi melalui udara (Aditama, 1994)

2.1.2 Kuman Tuberkulosis

Kuman ini mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada

pewarnaan. Oleh karenanya disebut pula Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini

berbentuk batang, kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi

dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam

jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant (tertidur lama) selama beberapa tahun

(Depkes RI, 2002 )

Mycobacterium tuberculosis mendapat energi dari oksidasi berbagai senyawa

karbon sederhana. Kenaikan tekanan CO2 memperbesar pertumbuhan. Ativitas

biokomia tidak khas dan laju pertumbuhan lebih lambat dari pada kebanyakan.

Page 8: Kti Sukorame c21 Tbc

Waktu penggadaan basil tuberkel adalah 12 jam atau lebih. Bentuk saprofit

cenderung tumbuh lebih cepat, berpoliferasi dengan baik pada suhu 22°C,

menghasilkan lebih banyak pigmen, dan kurang tahan asam dari pada bentuk

pathogen (E.Jawetz,dkk,1982)

2.1.3 Gejala-Gejala Tuberkulosis

Gejala klinis pasien TB adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih .

Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk

darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, malaise, keringat

malam hari tanpa kegiatan fisik, dan demam meriang lebih satu bulan

(Depkes,2006)

Gejala-gejala tersebut di atas dijumpai pula pada penyakit paru selain

tuberkulosis. Oleh sebab itu setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan

dengan gejala terebut di atas, harus dianggap sebagai seorang suspek Tuberkulosis

atau tersangka penderita TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara

mikroskopis langsung.

2.1.4 Mekanisme Terjadinya Penyakit TB Paru

Mekanisme penularan TB Paru dimulai dengan penderita TB Paru BTA (+)

mengeluarkan dahak berupa droplet nuklei ke lingkungan udara sebagai

aerosol (partikel yang sangat kecil sekali) yang mengandung kuman TB Paru.

Parikel aerosol ini terhirup melalui saluran pernafasan mulai dari hidung menuju

ke paru-paru tepatnya ke alveoli paru. Pada alveoli paru kuman TB Paru

mengalami pertumbuhan dan perkembangbiakan yang akan mengakibatkan

terjadinya destruksi paru. Bagian paru yang telah dirusak atau dihancurkan ini

akan berupa jaringan/sel-sel mati yang oleh karenanya akan diupayakan oleh paru

Page 9: Kti Sukorame c21 Tbc

untuk dikeluarkan dengan reflek batuk. Oleh karena itu pada umumnya batuk

karena TB adalah produktif, artinya berdahak. Dahaknya dengan demikian

menjadi khas, yaitu mengandung zat-zat kekuning-kuningan berbentuk butir-

butir/gumpalan dengan banyak basil TB di dalamnnya. (Danusantoso, 2001)

Kadang-kadang proses destruksi paru dapat berjalan dengan sempurna

sampai sebagian paru berubah menjadi sebuah lubang (kavitas) yang dapat

bervariasi besarnya dari kecil (1-3 cm) sampai besar (>3 cm) dan besar sekali

yang pada foto rontgen paru kelihatan seperti flek pada paru.

Respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan. Dalam

proses ini bahan cair akan dibuang ke bronkus dan menimbulkan suatu

rongga. Bahan tuberkel yang dikeluarkan dari dinding rongga akan masuk ke

dalam percabangan trakea bronchial. Proses ini mungkin akan terulang

kembali dibagian lain dari paru-paru dan menjadi tempat peradangan aktif.

Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah.

Organisme yang melewati kelenjar getah bening dalam jumlah kecil akan

mencapai aliran darah yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada

berbagai organ. Jenis penyebaran ini dikenal dengan nama penyebaran

limphohematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Jenis penyebaran hematogen

yang lain adalah fenomena akut yang biasanya menyebabkan Tuberkulosis

Milier. Ini terjadi apabila focus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga

banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskuler dan tersebar ke organ-organ

tubuh.

Page 10: Kti Sukorame c21 Tbc

2.1.5 Sumber dan Cara Penularan

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif, yang dapat menularkan

kepada orang yang berada di sekelilingnya, terutama kontak erat. Penderita

menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet) pada saat

penderita itu batuk atau bersin. Kuman yang disebarkan lewat droplet bisa

bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang lain dapat

terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Kuman TB

yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, dapat menyebar ke

bagian tubuh lain melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran

nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.

Seorang penderita mempunyai daya penularan yang ditentukan oleh

banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif

hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Jika hasil

pemeriksaan dahak negatif, maka penderita tersebut tidak menular. Banyak

dijumpai pada penderita awam dengan kebiasaan meludah sembarangan. Ludah

yang didalamnya terdapat kuman tuberkulosa akan menyebar melalui media

udara. Peristiwa ini sangat potensial menimbulkan terinfeksinya orang lain yang

ada di sekitar sehingga menjadi penderita baru. Perilaku yang baik seperti

kepatuhan untuk kebiasaan menjemur perlengkapan tidur seminggu sekali dan

kepatuhan untuk berobat akan menuntun penderita ke arah pencegahan

penularan (Depkes,2000).

Resiko penularan dengan arti sebesar 1%, berarti setiap tahun diantara 1000

penduduk, 10 (sepuluh) orang terinfeksi. Dapat diperkirakan bahwa pada daerah

faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TBC

Page 11: Kti Sukorame c21 Tbc

adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya karena gizi buruk atau

HIV/AIDS ( Depkes, 2000)

Menurut WHO, riwayat terjadinya Tuberkulosis terbagi menjadi dua

bagian, yaitu: (Depkes, 2000)

a. Infeksi Primer

Pada saat orang pertama kali terpapar dengan kuman Tuberkulosis (TB) maka

itu dinamakan infeksi primer. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,

sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilierbronkus, dan terus berjalan

sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB

berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang

menyebabkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa

kuman TB ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai

kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks

primer adalah sekitar 4–6 minggu.

Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi dari

banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas

seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan

perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan

menetap sebagai kuman persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya

tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam

beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita TB. Masa inkubasi

untuk penyakit ini sekitar 6 bulan.

Page 12: Kti Sukorame c21 Tbc

b. Post Primary Tuberculosis

Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau

tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun,

misalnya akibat infeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari

tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya

kapitas atau efusi pleura. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas system daya

tahan tubuh seluler (cellular imunity), sehingga bila terjadi infeksi oportunistik,

seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan

bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka

jumlah penderita TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di

masyarakat akan meningkat pula.

2.1.6 Kontak Erat

Kontak yang relatif erat antara penderita TB Paru BTA (+) dengan orang-

orang sehat yang ada disekitarnya akan mempercepat adanya penularan, sehingga

hal ini menjadi factor risiko terjadinya TB Paru yang penting, terutama jika

sumber ini tidak diobati. Penderita TB Paru yang tidak diobati, menurut

pernyataan WHO 50% akan meninggal setelah lima tahun, 25% akan sembuh

dengan sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, 25% akan menjadi penderita

kronik sebagai carier (Depkes, 2000).

Banyak dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa kontak diinfeksi oleh

kasus indeks sebelum kasus itu didiagnosa dan diobati (Feigin dan Cherry, 1992).

Sedangkan menurut Schlessberg (1983) dalam Sularso (1994), berpendapat

bahwa ada beberapa factor yang mempengaruhi terjadinya infeksi pada orang

yang pernah kontak dengan penderita TB Paru, yakni:

Page 13: Kti Sukorame c21 Tbc

a. Diketahuinya reaksi tes kulit positif pada penderita TB Paru sebelum kontak

dengan orang sehat akan mengurangi resiko keterpajanan.

b. Infeksi akan terjadi lebih besar jika hubungan kontak dengan penderita TB Paru

meningkat.

c. Infeksi akan mungkin terjadi karena adanya hubungan yang erat antara

penderita dengan kontak

2.1.7 Penemuan Penderita TB

1. Penemuan penderita tuberkulosis pada orang dewasa.

Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif (pasif promotif case finding), yaitu

menjaring tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang dating ke Unit

Pelayanan Kesehatan (UPK). Penemuan secara pasif didukung dengan

penyuluhan secara aktif oleh petugas kesehatan maupun oleh masyarakat untuk

meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Selain itu semua kontak

penderita TB Paru BTA positif dengan gejala yang sama, harus diperiksa

dahaknya.

2. Penemuan penderita tuberkulosis pada anak

Penemuan penderita tuberkulosis pada anak merupakan hal yang sulit, sebagian

besar diagnosis tuberkulosis anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran

radiologis dan uji tuberkulin.

2.2 Klasifikasi Penyakit TB berdasarkan Hasil Dahak Mikroskopis

Menurut Depkes RI, 2005, Klasifikasi penyakit TB dibagi dalam :

A. Tuberkulosis paru BTA Positif

1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA Positif.

Page 14: Kti Sukorame c21 Tbc

2. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukan gambaran tuberkulosis

3. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif

4. Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen

dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasil BTA negatif dan tidak ada

perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT

B. Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB Paru BTA positif. Kriteria

diagnosis TB Paru BTA negatif harus meliputi :

1. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

2. Foto toraks abnormal menunjukan gambaran tuberkulosis

3. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT

4. Ditentukan( (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

2.2.1 Tipe Penderita

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada

beberapa tipe penderita yaitu :

1. Kasus baru, adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau

sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 hari).

2. Kambuh (relaps), adalah tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapatkan

pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,

kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

3. Pindah (Transfe in), adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di

suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita

pindah tersebut harus membawa surat rujukan/pindah

Page 15: Kti Sukorame c21 Tbc

4. Kasus berobat setelah lalai (pengobatan setelah default/drop out), adalah

penderita yang kembali berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif

setelah berobat (drop out) 2 bulan atau lebih.

5. Gagal, adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali

menjadi positif pada akhir bulan ke 5 atau lebih, atau penderita BTA negatif

rontgen positif yang menjadi BTA positif setelah menyelesaikan pengobatan

ulang dengan kategori 2.

2.2.2 Prognosis TB Paru

Pasien yang tidak diobati, setelah 5 tahun akan (Depkes, 2005) :

1. 50% meninggal

2. 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi

3. 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular.

2.2.3 Pelayanan Kesehatan

Perawatan di rumah sakit bukanlah suatu keharusan bagi penderita TB Paru

untuk sembuh dari penyakitnya, kecuali terdapat komplikasi. Waktu pengobatan

relatif akan berjalan lama yaitu sekurang-kurangnya 6 bulan dan bisa sembuh

dengan kepatuhan menjalankan nasihat dokter atau petugas kesehatan terlatih dan

teratur meminum obat sesuai petunjuk. Tempat pelayanan dapat berupa balai

pengobatan, Puskesmas, dan Rumah Sakit yang memberikan pelayanan dengan

tujuan a). membuat penderita sembuh, b) mencegah kematian kepada

penderita, c) agar tidak kambuh, dan d) untuk menurunkan resiko penularan

(Depkes, 2000).

Upaya pelayanan untuk mencegah timbulnya penyakit Tuberkulosis dapat

dilakukan pada usia dini yaitu dengan pemberian imunisasi pasa anak usia mulai 0

Page 16: Kti Sukorame c21 Tbc

bulan atau anak usia 6 tahun dan efek imunitasnya hanya berlangsung 6 tahun

atau kurang. Anak yang sejak usia 1 bulan mendapat suntikan imunisasi BCG

dapat meninggikan daya tahan tubuh terhadap kuman tuberkulosis yang virulen

(Depkes,2000). Strategi DOTS merupakan upaya penanggulangan TB Paru saat

ini. Program ini belum dapat menjangkau seluruh puskesmas, rumah sakit

pemerintah ataupun swasta dan unit pelayanan kesehatan lainnya.

2.3. Faktor Resiko Terjadinya Tuberkulosis

Faktor resiko yaitu semua variabel yang berperan timbulnya kejadian

penyakit. Pada dasarnya berbagai faktor resiko TB saling berkaitan satu sama

lain. Faktor resiko dapat dikelompokan dalam 2 kelompok yaitu faktor

kependudukan dan faktor resiko lingkungan. Faktor kependudukan terdiri dari

faktor karakteristik individu dan faktor sosial ekonomi sedangkan faktor resiko

lingkungan terdiri dari faktor fisik rumah dan faktor ketinggian wilayah

2.3.1 Faktor Karakteristik Responden

a. Umur

Tuberkulosis dapat menyebabkan kematian pada kelompok anak-anak dan

pada usia remaja. Kejadian infeksi Tuberkulosis pada anak usia dibawah 5 tahun

mempunyai risiko 5 kali dibandingkan anak usia 5-14 tahun. Infeksi dapat

dilawan dengan pertahanan tubuh dengan tujuan mencegah perkembangan

organisme kuman. Peristiwa ini tergantung dengan umur orang yang terinfeksi

dengan status nutrisinya dan keberadaan infeksi lain. Pertahanan tubuh sangat

lemah pada awal kelahiran dan akan meningkat secara perlahan-lahan pada usia

10 tahun pertama masa hidupnya (Crofton, 1992).

Page 17: Kti Sukorame c21 Tbc

Berdasarkan hasil penelitian di Singapura tahun 1987 menyatakan bahwa

sebanyak 31,1% penderita Tuberkulosis Paru berada pada usia 60 tahun atau

lebih dan 19,17% berada pada usia antara 40-59 tahun. Sedangkan hasil penelitian

di Brunei Darussalam tahun 1985 sebanyak 23,85% penderita TB berusia 60

tahun atau lebih dan 73,85% penderita berusia antara 15-69 tahun (Aditama,

1990). Penderita TB, 75% merupakan kelompok usia produktif antara usia

15-50 tahun (Depkes, 2000)

b. Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian di Singapura menyatakan bahwa sekitar 70%

penderita TB adalah laki-laki. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian di Brunei

Darussalam tahun 1985 sebanyak 72,11% penderita TB Paru adalah perempuan

dan 27,98 % penderita TB Paru adalah laki-laki (Aditama,1990). Pada

Negara maju angka kematian akibat Tuberkulosis pada kelompok umur 15-44

tahun tenyata lebih tinggi pada perempuan ketimbng laki-laki. Dipihak lain,

kemungkinan mendapat penularan ternyata lebih besar pada laki-laki dan

perempuan, bahkan mungkin perempuan lebih sering. Sementara itu dinegara

berkembang diperkirakan penderita TB laki-laki sama banyaknya dengan

perempuan, kendati data belumlah memadai (Aditama,2000)

c. Status Gizi

Status gizi perorangan akan juga berpengaruh dalam kejadian Tuberkulosis.

Upaya untuk menjaga, melindungi dan meningkatkan kesehatan dengan asupan

gizi yang memadai akan sangat bermakna agar dapat terhindar dari penularan TB

dan mempercepat kesembuhannya. Namun demikian untuk hal ini akan

Page 18: Kti Sukorame c21 Tbc

dipengaruhi juga dengan kemampuan secara ekonomi dari masing-masing

keluarga dan individu masing-masing (http://www.gizikesehatan.com).

d. Kondisi Sosial Ekonomi

WHO (2003) menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok

sosial ekonomi lemah/miskin. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri mungkin

tidak hanya berhubungan erat secara langsung, namun dapat merupakan penyebab

tidak langsung seperti adanya kondisi gizi buruk serta perumahan yang tidak

sehat dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya.

Menurut perhitungan rata-rata penderita TB kehilangan 3-4 bulan waktu kerja

dalam setahun. Secara total mencapai 30% dari pendapatan rumah tangga

(Achmadi, 2005)

2.3.2 Faktor Kuman Penyebab

Kuman penyebab tuberculosis paru adalah Mycobacterium tuberculosis.

Kuman berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam

dan pewarnaan. Sehingga disebut sebagai basil tahan asam (BTA). Dalam

jaringan kuman dapat tertidur lama (dorman) selama beberapa tahun dan tumbuh

secara optimal pada suhu sekitar 37°C, sesuai dengan suhu tubuh manusia.

2.3.3 Faktor Lingkungan Fisik Rumah

Lingkungan yang kurang baik sebagai salah satu reservoir atau tempat yang

baik dalam menularkan penyakit menular seperti penyakit Tuberkulosis.Faktor

lingkungan erat kaitannya dalam penularan penyakit seperti lingkungan fisik,

biologi, ekonomi, social dan budaya (Soemirat, 2000).

Page 19: Kti Sukorame c21 Tbc

Suatu permukiman/perumahan sangat berhubungan dengan kondisi ekonomi,

sosial, tradisi/kebiasaan, suku, geografi dan kondisi lokal. Selain itu lingkungan

perumahan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat menentukan kulitas

lingkungan perumahan tersebut, antara lain fasilitas kesehatan, perlengkapan,

peralatan yang dapat menunjang terselenggaranya kesehatan fisik, kesehatan

mental, kesehatan sosial bagi individu dan keluarganya.

2.3.4 Perilaku

Perilaku penderita merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabakan

timbulnya masalah penyebaran Tuberkulosis. Seorang penderita rata-rata dapat

menulari 2-3 orang anggota keluaganya. Namun demikian pengetahuan dan

perilaku penderita dalam mencegah agar anggota keluarga tidak tertular

berpengaruh besar dalam upaya kesembuhan dan pencegahan penyakit

Tuberkulosis (Sukana, 1999). Perilaku manusia sangat berpengaruh dalam

menularkan penyakit menular terutama perilaku yang tidak positif, sehingga

lingkungan dapat berubah sedemikian rupa menjadi tempat yang ideal sebagai

tempat penularan penyakit. Perilaku penderita TB Paru BTA positif yang tidur

bersama-sama dalam satu tempat tidur/kamar dengan istri, suami, anak, dan

anggota keluarga lainnya dapat menularkan penyakit TB Paru sebanyak 68%

(Suhrjo, et al.1993).

Selama sakitnya, penderita Tuberkulosis dengan sputum BTA positif bisa

menularkan berpuluh-puluh orang sampai beratus-ratus oaring tetapi bisa juga

hanya 1-2 orang saja atau nihil. Untuk mempertahankan keadaan seimbang atau

agar prevalensi tetap sama, seorang penderita Tuberkulosis dengan sputum BTA

positif hanya perlu menulari 20 orang sehat, yang kemudian diantaranya satu

Page 20: Kti Sukorame c21 Tbc

orang akan menjadi pengganti sebagai sumber penularan baru setelah lama

menjadi sembuh/mati (Peetosutan,1996 ).

2.3.5 Kemiskinan

Penderita TB yang hidup di daerah urban dengan lingkungan sosial ekonomi

yang rendah/miskin mempunyai masalah dengan keuangan karena kehilangan

pekerjaan, pendapatan, dan mengeluarkan biaya transport untuk pengobatannya.

Tidak dapat bekerja karena penyakitnya sehingga tidak mempunyai penghasilan.

Sehingga TB memicu terjadinya kemiskinan atau sebaliknya kemiskinan

merupakan faktor yang berkontribusi untuk terjadinya TB Paru ( Karyadi, Elvina,

2001).

2.4 Tinjauan Umum Tentang Pola Konsumsi

Pola konsumsi atau disebut juga dengan pola makan adalah berbagai

informasi yang menggambarkan mengenai macam dan jumlah bahan makanan

yang dimakan tiap hari oleh satu orang yang merupakan ciri khas untuk suatu

kelompok masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan kebiasaan makan

adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi

kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan, dan pemilihan

makanan. Sikap orang terhadap makanan dapat bersifat positif atau negatif. Sifat

positif atau negatif terhadap makanan bersumber pada nilai-nilai affectif yang

berasal dari lingkungan (alam, budaya, sosial, ekonomi) dimana manusia atau

kelompok manusia itu berada.

Page 21: Kti Sukorame c21 Tbc

Kebiasaan makan dalam kelompok memberikan dampak pada distribusi

makanan antar anggota hampir selalu didasarkan pada status hubungan antar

anggota, bukan atas dasar-dasar pertimbangan-pertimbangan gizi. Pendidikan

gizi merupakan salah satu unsur penting dalam meningkatkan status gizi

masyarakat untuk jangka panjang. Melalui sosialisasi dan penyampaian pesan

gizi yang praktis akan membentuk suatu kesimbangan bangsa antara gaya

hidup dengan pola konsumsi masyarakat. Pengembangan pedoman gizi

seimbang adalah salah satu strategi dalam pencapaian perubahan pola konsumsi

makanan yang ada di masyarakat dengan tujuan akhir yaitu tercapainya status

gizi masyarakat yang baik.

Pedoman umum gizi seimbang (PUGS) adalah pedoman dasar tentang gizi

seimbang yang disusun sebagai penuntun pada perilaku konsumsi makanan di

masyarakat secara baik dan benar. PUGS digambarkan dalam logo berbentuk

kerucut. Dalam logo tersebut, bahan makanan dikelompokkan berdasarkan tiga

fungsi utama zat gizi, yaitu (Almatsier, 2006) :

1. Sumber energi atau tenaga, yaitu padi-padia atau serealia seperti beras,

jagung, dan gandum ; sagu; umbi-umbian seperti ubi, singkong dan talas; serta

hasil olahannya seperti tepung-tepungan, mie, roti, macaroni, havermout, dan

bihun.

2. Sumber protein, yaitu sumber protein hewani, seperti daging, ayam, telur,

susu, dan keju; serta sumber protein nabati seperti kacang-kacangan berupa

kacang kedelai, kacang tanah, kacang hijau, kacang merah, dan kacang tolo;

serta hasil olahanya seperti tempe, tahu, susu kedelai, dan oncom.

Page 22: Kti Sukorame c21 Tbc

3. Sumber zat pengatur berupa sayuran dan buah. Sayuran diutamakan yang

warna hijau dan kuning jingga, seperti bayam, daun singkong, daun katuk,

kangkung, wortel, dan tomat; serta sayur kacang-kacangan, seperti kacang

panjang, buncis, dan kecipir. Buah-buahan yang diutamakan yang berwarna

kuning jingga, kaya serat dan berasa asam, seperti papaya, mangga, nenas,

nagka masak, jambu biji, apel, sirsak, dan jeruk.

Angka Kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) atau Recomended

Dietary Allowances (RDA) adalah tingkat konsumsi zat-zat gizi esensial yang

dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi hampir semua orang sehat di

suatu negara (Almatsier, 2009). Tujuannya adalah untuk acuan perencanaan

makanan dan menilai tingkat konsumsi makanan individu/masyarakat

(Azwar, 2002). AKG untuk Indonesia didasarkan atas patokan berat badan untuk

masing- masing kelompok umur, gender, dan aktivitas fisik yang ditetapkan

secara berkala melalui survey penduduk. AKG digunakan sebagai standar untuk

mencapai status gizi optimal bagi penduduk dalam hal penyediaan pangan

secara nasional dan regional serta penilaian kecukupan.

Untuk mengatahui kebiasaan atau pola konsumsi dari individu atau

perorangan, maka dapat digunakan metode food recall 24 jam (Supariasa,

2002). Prinsip dari metode recall 24 jam, dilakukan dengan mencatat jenis dan

jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Dalam

metode ini, responden disuruh menceritakan semua yang dimakan dan diminum

selama 24 jam yang lalu (kemarin). Biasanya dimulai sejak ia bangun pagi

kemarin sampai dia istirahat tidur malam harinya, atau dapat juga dimulai dari

waktu saat dilakukan wawancara mundur ke belakang sampai 24 jam penuh.

Page 23: Kti Sukorame c21 Tbc

Wawancara dilakukan oleh petugas yang sudah terlatih dengan menggunakan

kuesioner terstrukur. Hal penting yang perlu diketahui adalah bahwa dengan

recall 24 jam data yang diperoleh cenderung lebih bersifat kualitatif. Oleh

karena itu, untuk mendapatkan data kuantitatif, maka jumlah konsumsi makanan

individu ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat ukuran URT (sendok,

piring, gelas, dan lain-lain) atau ukuran lainnya yang biasa dipergunakan sehari-

hari. karena itu, recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya

tidak berturut-turut. Kelebihan metode ini adalah, karena yang menyiapkan

model makanan dan mencatat adalah pewawancara, responden tidak dituntut

harus melek huruf. Hal yang mungkin menjadi sumber kesalahan, antara lain, (1)

orang tidak dapat mengingat dengan tepat, (2) makanan yang disantap kemarin

mungkin bukan makanan yang biasa disantap, (3) orang tidak sering melaporkan

makanan yang dapat memalukan, misalnya petai, atau alkohol, di samping

terlalu berlebihan dalam menyebutkan makanan yang mereka ketahui sebagai

makanan sehat, dan (4) wawasan pangan pewawancara tidak luas. Keberhasilan

menjaring informasi dengan cara ini bergantung pada daya ingat responden,

kemampuan responden dalam memperkirakan ukuran makanan yang telah

disantap (Arisman, 2007).

2.5 Tinjauan Umum Tentang Penilaian Status Gizi

Status gizi adalah keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang

yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi

tertentu (Supariasa, 2002). Gizi yang kurang menurunkan kekebalan tubuh pada

seseorang, sehingga akan mudah terjadi penyakit. Kekurangan protein dan kalori

serta zat besi, dapat meningkatkan resiko TB Paru. Daya tahan tubuh akan

Page 24: Kti Sukorame c21 Tbc

berfungsi dengan berfungsi dengan baik apabila pemenuhan gizi dan

makanan tercukupi dengan baik. Dalam hal ini perlu diperhatikan adalah

kualitas konsumsi makanan yang ditentukan oleh komposisi jenis pangan.

Keadaan nutrisi yang buruk dapat menurunkan resistensi terhadap tuberkulosis

baik pada penderita dewasa maupun anak-anak (Depkes, 2007).

Keadaan tubuh sangat dipengaruhi oleh komsumsi, penyerapan, dan

penggunaan makanan, oleh sebab itu susunan makanan yang memenuhi

kebutuhan gizi tubuh umumnya dapat menciptakan status gizi yang memuaskan,

hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya di Tanzania yaitu dari 499 pasien

TB diberikan asupanzat gizi (zink dan vitamin A) telah mengalami

peningkatan berat badan 0,8 Kg (Nyayogsa Range dkk, 2002).

2.8.1 Penilaian Status Gizi

Ada tiga cara yang dapat digunakan untuk menilai status gizi yitu survei

konsumsi pangan, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.

1. Survei Konsumsi

Konsumsi pangan adalah indikator pola pangan yang baik, dan tidak mengukur

status gizi dengan cara yang tepat dan ;angsung. Akan tetapi, suatu studi

komsumsi lebih sering digunakan hanya sebagai salah satu teknik untuk

menunjukkan tingkat keadaan gizi dari dipakai sebagai salah satu pengukur.

2. Pemeriksaan Fisik

Penilaian antropometri yang meliputi pengukuran tinggi badan, berat badan,

tebal lipatan kulit dan lingkar lengan merupakan teknik yang berharga untuk

digunakan sehubungan dengan pemeriksaan fisik guna menyaring individu

Page 25: Kti Sukorame c21 Tbc

untuk penilaian tersebut. Cara ini sangat mudah dilakukan sehingga biasanya

dicantumkan dalam semua macam penilaian.

3. Pemeriksaan Laboratorium

Cara pemeriksaan yang digunakan dalam penilaian status gizi, mempunyai

kemampuan untuk memberikan cara yang lebih tepat dan obyektif untuk menilai

status gizi. Teknik laboratorium yang paling sering digunakan adalah teknik

yang mengukur kandungan berbagai zat gizi dalam darah dan air seni.

Ada beberapa cara yang digunakan dalam pengukuran status gizi seseorang

terutama dalam menentukan berat badan ideal, salah satunya menggunakan

Indeks Massa Tubuh (IMT). Pengukuran antropometri yang paling mudah dan

paling sering dihubungkan dengan komposisi tubuh adalah Indek Massa Tubuh

(IMT). Perhitungan ini digunakan komposisi pada mereka dengan golongan usia

18 tahun atau lebih.

IMT = BB dalam kg / TB (dalam m2)

Tabel 2.1 Klasifikasi IMT Orang Dewasa Menurut WHO (2000)

Tabel 2.2 Batas Ambang IMT di Indonesia

Page 26: Kti Sukorame c21 Tbc

2.6 Hubungan Kebutuhan Gizi Dengan Tuberkulosis

Pada orang terinfeksi kuman Mycobacterium tuberculosis terjadi

gangguan sistem kekebalan pada tubuh. Gangguan sistem kekebalan tubuh pada

kondisi yang parah akan menyebabkan penurunan status gizi yang dapat

disebabkan oleh karena kurangnya asupan makanan yang disebabkan oleh

anoreksia, malabsorpsi, dan meningkatnya penggunaan zat gizi dalam tubuh.

Status gizi yang menurun sering dijumpai pada pasien Tuberkulosis termasuk

kehilangan lean body mass yang ditandai dengan penurunan berat badan.

Penyakit Tuberkulosis biasanya berhubungan dengan rendahnya kadar

mikronutrient serum seperti Zinc, Vitamin A, Vitamin C, Vitamin D, Vitamin E

(Kemenkes, 2014).

2.6.1 Kurang Energi Dan Zat Gizi Makro

Kurang energi dan zat gizi makro (protein dan karbohidrat) merupakan faktor

risiko berkembangnya Tuberkulosis Laten menjadi Tuberkulosis Aktif yang

berkaitan dengan sistem imunitas tubuh dan status gizi, serta mempermudah

terjadinya infeksi Tuberkulosis Primer/baru. Beberapa tanda dan gejala utama

antara lain kelaparan, anemia, hilangnya protein dan jaringan otot serta lemak

tubuh. Anoreksia, kaheksia dan tubuh yang lemah dapat meningkatkan risiko

Tuberkulosis dan sebaliknya Tuberkulosis dapat memperburuk status gizi. Pada

pasien dengan TB-HIV sering disertai diare yang dapat menyebabkan

kehilangan zat gizi makro dan mikro. Kurang energi dan protein akan

menurunkan imunitas sehingga dapat merusak efektivitas protektif vaksin BCG

(Kemenkes, 2014).

2.6.2 Kurang Zat Gizi Mikro

Page 27: Kti Sukorame c21 Tbc

Kekurangan energi dan zat gizi makro menyebabkan defisiensi Zinc, vitamin

A, vitamin C, vitamin D, dan Fe, serta mengakibatkan kerusakan imunitas sel

yang sangat kritis untuk melawan Tuberkulosis. Zat gizi mikro tersebut juga

sangat penting pada pencegahan resistensi OAT.

Pada pasien Tuberkulosis umumnya ditemukan gejala anemia, namun

pemberian Fe tidak dianjurkan. Beberapa penelitian melaporkan bahwa

pemberian Fe dapat menyebabkan multiplikasi kuman Tuberkulosis, sehingga

memperberat penyakit (Kemenkes, 2014).

2.7 Hubungan Lama Pengobatan Dengan Status Gizi Pasien Tuberkulosis Paru

Pengobatan Tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)

dan fase lanjutan (4-7 bulan). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa

ada hubungan antara lama sakit dengan ketidakpatuhan berobat pada penderita TB

Paru. Dimana juga terdapat hubungan antara ketidakpatuhan berobat dengan status

gizi pasien TB Paru. Penelitian pada pasien TB dengan usia ≥18tahun

menunjukkan 15% pasien TB memiliki status gizi buruk pada saat awal diagnosis

dan setelah menjalani pengobatan intensif selama dua bulan jumlah pasien yang

mengalami gizi buruk turun menjadi 8%. Penelitian yang dilakukan pada anak

berusia kurang dari lima tahun menunjukkan bahwa keberhasilan pengobatan

merupakan salah satu faktor yang mendukung terhadap peningkatan status gizi

(Soemirat, 2000).

2.8 Hubungan Status Sosial Eknomi Dengan Status Gizi Pasien Tuberkulosis Paru

WHO (2003) menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok

sosial ekonomi lemah/miskin. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri mungkin

tidak hanya berhubungan erat secara langsung, namun dapat merupakan penyebab

Page 28: Kti Sukorame c21 Tbc

tidak langsung seperti adanya kondisi gizi buruk serta perumahan yang tidak

sehat dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya.

Menurut Soemirat (2000), faktor lain yang mempengaruhi status gizi

seseorang adalah tingkat pendapatan. Pendapatan per kapita pasien TB Paru

menjadi salah faktor yang berhubungan dengan status gizi pada pasien TB Paru

(Patiung, 2014). Pendapatan keluarga dipengaruhi oleh jenis pekerjaan seseorang

yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantaranya

konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi

terhadap kepemilikan rumah (Rohman, 2012) Tingkat pendidikan juga

mempunyai hubungan yang eksponensial dengan tingkat kesehatan. Semakin

tinggi pendidikan semakin mudah menerima konsep hidup sehat secara mandiri,

kreatif, dan berkesinambungan (Kartikasari, 2011). Latar belakang pendidikan

seseorang berhubungan dengan tingkat pengetahuan, jika tingkat pengetahuan gizi

seseorang baik maka diharapkan asuapan makan baik sehingga status gizinya juga

menjadi baik (Kartikasari, 2011).

2.9 Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Dengan Status Gizi Pasien

Tuberkulosis Paru

Faktor yang berpengaruh dalam penyebaran TB Paru dari kegagalan dalam

pengobatan secara tuntas adalah perilaku masyarakat sehingga setiap tahun selalu

ada kasus baru yang tercatat (Tobing, 2009). Menurut Suptriasa (2002), salah satu

yang mempengaruhi kesehatan adalah perilaku hidup bersih dan sehat, sehingga

jika seseorang memiliki perilaku hidup yang tidak sehat maka dapat terkena

penyakit infeksi dan terjadi penurunan status gizi. Berdasarkan hasil penelitian

Pertiwi (2012), sebagian besar para penderita TB Paru mempunyai kebiasaan atau

Page 29: Kti Sukorame c21 Tbc

perilaku yang tidak sehat, seperti kebiasaan merokok, membuang dahak di

sembarangan tempat, dan tidak menutup mulut saat batuk. Hasil penelitian

Jayanti (2011) juga menunjukkan bahwa perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)

dalam lingkungan keluarga berkorelasi positif dengan status gizi.

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

POLA KONSUMSI: - ASUPAN ENERGI- ASUPAN KARBOHIDRAT - ASUPAN PROTEIN

STATUS GIZI PASIEN TB PARU

FAKTOR EKONOMI: TINGKAT

PENDAPATAN

PERILAKU:- KEBIASAAN MEROKOK- KEBIASAAN MELUDAH- MENUTUP MULUT KETIKA BATUK

KARAKTERISTIK RESPONDEN:

- PENDIDIKAN- LAMA PENGOBATAN

Keterangan:

Menyebabkan

Diteliti

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual

Page 30: Kti Sukorame c21 Tbc

Status gizi adalah keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang

yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi

tertentu (Supariasa, 2002). Gizi yang kurang menurunkan kekebalan tubuh pada

seseorang, sehingga akan mudah terjadi penyakit. Pada orang terinfeksi kuman

Mycobacterium tuberculosis terjadi gangguan sistem kekebalan pada tubuh.

Gangguan sistem kekebalan tubuh pada kondisi yang parah akan menyebabkan

penurunan status gizi yang dapat disebabkan oleh karena kurangnya asupan

makanan yang disebabkan oleh anoreksia, malabsorpsi, dan meningkatnya

penggunaan zat gizi dalam tubuh.

Kurang energi dan zat gizi makro (protein dan karbohidrat) merupakan faktor

risiko berkembangnya Tuberkulosis Laten menjadi Tuberkulosis Aktif yang

berkaitan dengan sistem imunitas tubuh dan status gizi, serta mempermudah

terjadinya infeksi Tuberkulosis Primer/baru.

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ada hubungan antara lama

sakit dengan ketidakpatuhan berobat pada penderita TB Paru. Dimana juga

terdapat hubungan antara ketidakpatuhan berobat dengan status gizi pasien TB

Paru.

Menurut Soemirat (2000), faktor lain yang mempengaruhi status gizi

seseorang adalah tingkat pendapatan. Pendapatan per kapita pasien TB Paru

menjadi salah faktor yang berhubungan dengan status gizi pada pasien TB Paru

Page 31: Kti Sukorame c21 Tbc

(Patiung, 2014). Tingkat pendidikan juga mempunyai hubungan yang

eksponensial dengan tingkat kesehatan. Semakin tinggi pendidikan semakin

mudah menerima konsep hidup sehat secara mandiri, kreatif, dan

berkesinambungan (Kartikasari, 2011).

Menurut Suptriasa (2002), salah satu yang mempengaruhi kesehatan adalah

perilaku hidup bersih dan sehat, sehingga jika seseorang memiliki perilaku hidup

yang tidak sehat maka dapat terkena penyakit infeksi dan terjadi penurunan status

gizi. Berdasarkan hasil penelitian Pertiwi (2012), sebagian besar para penderita

TB Paru mempunyai kebiasaan atau perilaku yang tidak sehat, seperti kebiasaan

merokok, membuang dahak di sembarangan tempat, dan tidak menutup mulut

saat batuk. Hasil penelitian Jayanti (2011) juga menunjukkan bahwa perilaku

hidup bersih dan sehat (PHBS) dalam lingkungan keluarga berkorelasi positif

dengan status gizi.

3.2 Hipotesis Penelitian

3.2.1 Hipotesis Mayor

Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi pasien TB Paru di Puskesmas

Sukorame Kota Kediri diantaranya: asupan energi, asupan makronutrien

(karbohidrat dan protein), lama pengobatan, tingkat pendidikan, tingkat

pendapatan, perilaku hidup bersih dan sehat (kebiasaan merokok, menutup mulut

ketika batuk, dan membuang ludah).

3.2.2 Hipotesis Minor

1. Terdapat hubungan antara asupan energi dan makronutrien (karbohidrat dan

protein) dengan status gizi pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sukorame

Kota Kediri.

Page 32: Kti Sukorame c21 Tbc

2. Terdapat hubungan antara lama pengobatan dengan status gizi pasien

Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sukorame Kota Kediri.

3. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan status gizi pasien

Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sukorame Kota Kediri.

4. Terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan status gizi pasien

Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sukorame Kota Kediri.

5. Terdapat hubungan antara perilaku hidup bersih dan sehat (kebiasaan merokok,

menutup mulut ketika batuk, dan membuang ludah) dengan status gizi pasien

Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sukorame Kota Kediri.

Page 33: Kti Sukorame c21 Tbc

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan rancangan

penelitian kasus kontrol (case control study), merupakan penelitian epidemiologi

analitik observasional yang berusaha melihat ke belakang, artinya pengumpulan

data dimulai dari efek atau akibat yang telah terjadi (kasus), kemudian dari efek

tersebut ditelusuri ke belakang tentang penyebabnya atau variabel yang

mempengaruhi akibat tersebut (kontrol) (Albiner, 2010).

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Sukorame. Penelitian ini

berlangsung pada tanggal 27 Juli sampai dengan 19 Agustus 2015.

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi Kasus

Semua orang sakit berusia ≥15 tahun yang berkunjung ke Puskesmas

Sukorame dengan diagnosis TB Paru (+) yang tercatat dalam catatan rekam medis

dan berobat di Puskesmas Sukorame, yang berdomisili di Kota Kediri, dan

berobat pada bulan Januari - Agustus 2015, yaitu sejumlah 20 orang.

4.3.1 Populasi Kontrol

Page 34: Kti Sukorame c21 Tbc

Semua orang berusia ≥15 tahun yang berkunjung ke Puskesmas Sukorame

dengan diagnosis TB Paru (-) yang tercatat dalam catatan rekam medis dan

berobat di Puskesmas Sukorame, yang berdomisili di Kota Kediri, dan berobat

pada bulan Januari-Agustus 2015, yaitu sejumlah 20 orang.

4.3.2 Karakteristik Sampel Penelitian

4.3.2.1 Sampel Kasus

1. Kriteria Inklusi

- Semua orang sakit berusia ≥15 tahun yang berkunjung ke Puskesmas

Sukorame dengan gejala klinis TB Paru (+), pemeriksaan BTA (+), dan

Rontgen (+) yang tercatat dalam catatan rekam medis dan berobat di

Puskesmas Sukorame, yang berdomisili di Kota Kediri , dan berobat pada

bulan Januari - Agustus 2015, yaitu sejumlah 20 orang

- Bersedia mengisi kuesioner

2. Kriteria Eksklusi

- Penderita berusia <15 tahun

- Penderita menolak mengikuti penelitian

4.3.2.2 Sampel Kontrol

1. Kriteria Inklusi

- Semua orang sakit berusia ≥15 tahun yang berkunjung ke Puskesmas

Sukorame dengan gejala klinis TB Paru (-), pemeriksaan BTA (-), dan

Rontgen (-) yang tercatat dalam catatan rekam medis dan berobat di

Puskesmas Sukorame, yang berdomisili di Kota Kediri, dan berobat pada

bulan Januari sampai Agustus 2015, yaitu sejumlah 20 orang

- Bersedia mengisi kuesioner

Page 35: Kti Sukorame c21 Tbc

2. Kriteria Eksklusi

- Penderita berusia tahun <15 tahun.

- Penderita menolak mengikuti penelitian

4.3.3 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan total sampling

yaitu teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi

(Soekidjo, 2002:85). Alasan mengambil total sampling karena menurut Soekidjo

(2002) jumlah populasi yang kurang dari 100, sehingga seluruh populasi dijadikan

sampel penelitian semuanya

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah asupan energi, asupan

makronutrien (karbohidrat dan protein), lama pengobatan, tingkat pendidikan,

tingkat pendapatan, status pekerjaan, serta perilaku hidup bersih dan sehat

(kebiasaan merokok, menutup mulut ketika batuk, dan membuang ludah).

4.4.2 Variabel Terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah status gizi pasien Tuberkulosa Paru.

4.5 Definisi Operasional

Tabel 4.1 Definisi OperasionalNo.

VariabelDefinisi

OperasionalCara

PengukuranSkala Kategori

1 Pendidikan Tingkat pendidikan formal terakhir yang diselesaikan.

Kuisioner Ordinal 0. Rendah (SD dan SMP)

1. Tinggi (SMA ke atas)

2. Tingkat pendapatan

Rata-rata jumlah pendapatan

Kuesioner Ordinal 0. Pendapatan rendah (<Rp.1.500.000/

Page 36: Kti Sukorame c21 Tbc

keluarga yang diperoleh tiap bulan

bulan)1. Pendapatan

tinggi (≥Rp.1.500.000/ bulan)

3. Status Gizi Keadaan penderita dengan melihat indeks masa tubuh

Kuesioner Ordinal 0. Kurang jika IMT < 18,5

1. cukup jika IMT≥18,5

4. Lama Pengobatan

Lama pasien menjalani pengobatan TB

Rekam medis Ordinal 0. <6 bulan1. ≥6 bulan

5. Asupan energi

Asupan energi yang diperoleh dengan metode food recall 3x24 jam terakhir dan hasilnya dinyatakan dalam % terhadap AKG

Form Food Recall 3x24 jam

Ordinal 0. Kurang <80% AKG

1. Baik ≥80% AKG

4. Asupan gizi makronutrient

Asupan protein dan karbohidrat yang diperoleh dengan metode food recall 3x24 jam terakhir dan hasilnya dinyatakan dalam % terhadap AKG.

Form Food Recall 3x24 jam

Ordinal 0. Kurang <80% AKG

1. Baik ≥80% AKG

5 Perilaku merokok

Kebiasaan merokok (Kegiatan responden dalam menghisap rokok yang dilakukan setiap hari dalam kurun waktu setahun)

Kuesioner Nominal 0. Merokok1. Tidak merokok

6. Perilaku membuang dahak

Kebiasaan membuang dahak yang dilakukan responden

Kuesioner Nominal 0. Buruk,membuang ludah selain wadah tertutup dan desinfektan

1. Baik, membuang ludah pada

Page 37: Kti Sukorame c21 Tbc

wadah tertutup dengan desinfektan

7 Perilaku menutup mulut ketika batuk

Kebiasaan menutup mulut ketika batuk

Kuesioner Nominal 0. Buruk, tidak menutup mulut ketika batuk

1. Baik, menutup mulut ketika batuk

4.6 Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian ini adalah peneliti mengumpulkan data dari laporan

penemuan pasien TB Paru mengenai jumlah kasus TB Paru di wilayah kerja

Puskesmas Sukorame pada periode Januari – Agustus 2015. Peneliti selanjutnya

melakukan persiapan mengenai perizinan penelitian ke Dinas Kesehatan Kota

Kediri dan Puskesmas Sukorame. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini

menggunakan pengambilan data primer melalui pengukuran antropometri (tinggi

badan dan berat badan), kuesioner, dan form food recall 3x24 jam yang telah

disiapkan dan data sekunder berupa catatan rekam medis yang ada di Puskesmas

Sukorame (periode Januari-Agustus 2015). Responden diberitahukan mengenai

tujuan dari penelitian ini sebelum dilakukan pengambilan data dan responden

menyatakan kesediannya dengan mengisi lembar inform consent. Setelah data

terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data untuk selanjutnya dilakukan

analisis data dan pembahasan.

4.7 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan pengambilan

data primer melalui pengukuran antropometri (tinggi badan dan berat badan),

kuesioner, dan form food recall 3x24 jam yang telah disiapkan dan data sekunder

Page 38: Kti Sukorame c21 Tbc

berupa catatan rekam medis yang ada di Puskesmas Sukorame (periode Januari-

Agustus 2015).

4.8 Pengolahan Data

1. Editing

Memeriksa kembali semua data yang telah dikumpulkan dengan tujuan

mengecek apakah hasilnya sudah sesuai dengan rencana atau tujuan yang

hendak dicapai.

2. Scoring

Peneliti melakukan pemberian skor pada tiap-tiap item jawaban.

3. Coding

Merupakan kegiatan pengubahan data lebih ringkas dengan menggunakan

kode yang dirumuskan untuk mempermudah dalam melakukan tabulasi dan

analisis data. Metode ini mengkonversikan data yang dikumpulkan selama

penelitian ke dalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis terhadap

pertanyaan dan jawaban yang dianjurkan, sehingga dalam pengelolaan data

ini peneliti melakukan pemberian kode berupa angka untuk dimasukkan

pada tabel kerja untuk mempermudah pembacaan. Kemudian dari skor yang

didapatkan dapat dimasukkan ke dalam kategori yang sudah ditentukan.

4. Entry

Setelah semua kuisioner terisi penuh dan dilakukan pengkodean, maka

langkah selanjutnya adalah memproses data agar dapat dianalisis.

Page 39: Kti Sukorame c21 Tbc

Pemrosesan data dilakukan dengan cara memasukkan data dari kuisioner ke

program komputer.

5. Tabulating

Setelah entry data kemudian data tersebut dikelompokkan dan ditabulasikan

sehingga diperoleh frekuensi dari masing-masing variabel.

4.9 Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah:

a. Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk menjabarkan secara deskriptif frekuensi

dan proporsi masing-masing variabel yang diteliti, baik variabel bebas maupun

variabel terikat.

b. Analisis Bivariat

Dilakukan untuk menganalisis hubungan antara asupan gizi, asupan

makronutrien (karbohidrat dan protein), lama pengobatan, tingkat pendidikan,

tingkat pendapatan, status pekerjaan, perilaku hidup sehat dengan status gizi

pasien TB Paru di Puskesmas Sukorame Kota Kediri, dengan menggunakan uji

Chi square dengan tabel kontingensi 2×2, pada tingkat kepercayaan 95% (α=

0,05), dengan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

Χ 2 = nilai chi-kuadrat

Oij = nilai hasil observasi

Eij = nilai harapan

Dasar pengambilan keputusan penelitian hipotesis (Budiarto, 2002):

Page 40: Kti Sukorame c21 Tbc

1) H0 diterima jika Χ2hitung

≤ Χ2tabel atau p value ≥ (α = 0,05)

2) H0 ditolak jika Χ2hitung

> Χ2tabel

atau p value < (α = 0,05 )

c. Analisis Multivariat

Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel bebas dengan

variabel terikat yang mempunyai kemaknaan statistik pada analisis bivariat,

melalui analisis regresi logistik berganda untuk mencari faktor risiko yang paling

dominan pada beberapa variabel yang dilakukan secara bersama-sama terhadap

status gizi pasien TB Paru (Budiarto, 2002).

Page 41: Kti Sukorame c21 Tbc

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

Penelitian kasus kontrol (case control study) ini dilakukan di wilayah kerja

Puskesmas Sukorame tanggal 27 Juli sampai dengan 19 Agustus 2015. Sampel

kasus yang digunakan adalah semua orang berusia ≥15 tahun yang berkunjung ke

Puskesmas Sukorame dengan dengan gejala klinis TB Paru (+), pemeriksaan BTA

(+), dan Rontgen (+) yang tercatat dalam catatan rekam medis dan berobat di

Puskesmas Sukorame pada bulan Januari-Agustus 2015 serta berdomisili di Kota

Kediri. Sedangkan sampel kontrol yang digunakan adalah semua orang berusia

≥15 tahun yang berkunjung ke Puskesmas Sukorame dengan dengan gejala klinis

TB Paru (-), pemeriksaan BTA (-), dan Rontgen (-) yang tercatat dalam catatan

rekam medis dan berobat di Puskesmas Sukorame pada bulan Januari-Agustus

2015 serta berdomisili di Kota Kediri. Jumlah masing-masing sampel adalah 20

orang, sehingga total 40 orang (1 : 1), dengan teknik pengambilan sampel secara

total sampling.

5.1 Analisis Univariat

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh distribusi frekuensi

karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin dan faktor-faktor resiko

Page 42: Kti Sukorame c21 Tbc

yang mempengaruhi status gizi pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sukorame

Kota Kediri.

(Sumber: data primer 2015) Gambar 5.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia

(Sumber: data primer 2015)Gambar 5.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin

Page 43: Kti Sukorame c21 Tbc

(Sumber: data primer 2015)Gambar 5.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Asupan Energi

(Sumber: data primer 2015)

Gambar 5.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Asupan Karbohidra

(Sumber: data primer 2015)Gambar 5.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Asupan Protein

Page 44: Kti Sukorame c21 Tbc

(Sumber: data primer 2015)Gambar 5.6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status Gizi

(Sumber: data primer 2015)Gambar 5.7 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Pendidikan

(Sumber: data primer 2015)

Page 45: Kti Sukorame c21 Tbc

Gambar 5.8 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Pendapatan

(Sumber: data primer 2015) Gambar 5.9 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kebiasaan Merokok

(Sumber: data primer 2015)Gambar 5.10 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kebiasaan Menutup Mulut Ketika Batuk

(Sumber: data primer 2015)Gambar 5.11 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kebiasaan Membuang Ludah

Page 46: Kti Sukorame c21 Tbc

(Sumber: data primer 2015)

Gambar 5.12 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Lama Pengobatan

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden

VariabelKontrol Kasus Total

N % N % N %

Usia

< 20 tahun 0 0 2 100 2 100

> 20 tahun 20 52,6 18 47,4 38 100

Jenis kelamin

Laki-laki 11 44,0 14 56,0 25 100

Perempuan 9 60,0 6 40,0 15 100

Lama berobat

0 bulan 20 100 0 0 20 100

1 bulan 0 0 1 100 1 100

2 bulan 0 0 2 100 2 100

3 bulan 0 0 3 100 3 100

4 bulan 0 0 3 100 3 100

5 bulan 0 0 4 100 4 100

6 bulan 0 0 2 100 2 100

7 bulan 0 0 5 100 5 100

Page 47: Kti Sukorame c21 Tbc

VariabelKontrol Kasus Total

N % N % N %

Asupan Energi

Kurang 4 26,7 11 73,3 15 100

Baik 16 64,0 9 36,0 25 100

Asupan Karbohidrat

Kurang 9 37,5 15 62,5 24 100

Baik 11 68,8 5 31,2 16 100

Asupan Protein

Kurang 1 6,2 15 93,8 16 100

Baik 19 79,2 5 20,8 24 100

Status Gizi

Kurang 0 0 7 100 7 100

Cukup 20 60,6 13 39,4 33 100

Pendidikan

Rendah 18 54,5 15 45,5 33 100

Tinggi 2 28,6 5 71,4 7 100

Pendapatan

Rendah 14 48,3 15 51,7 29 100

Tinggi 6 54,5 5 45,5 11 100

Merokok

Tidak 15 45,5 18 54,5 33 100

Ya 5 71,4 2 28,6 7 100

Menutup mulut ketika batuk

Tidak 14 73,7 5 26,3 19 100

Ya 6 28,6 15 71,4 21 100

Membuang ludah

Buruk 10 58,8 7 41,2 17 100

Baik 10 43,5 13 56,5 23 100

Total 20 50,0 20 50,0 40 100

(Sumber:data primer 2015)

Page 48: Kti Sukorame c21 Tbc

Berdasarkan tabel 1 dari 40 sampel, sebagian besar sampel berumur lebih dari

20 tahun. Jenis kelamin sampel pasien TB Paru terdiri dari 14 laki-laki dan 6

perempuan. Sedangkan pada sampel yang bukan penderita Tuberkulosis Paru,

terdiri dari 11 laki-laki dan 9 perempuan. Lama pengobatan bagi penderita

Tuberkulosis Paru berkisar antara 1 hingga 7 bulan. Sebagian besar dari pasien ini

sudah melakukan pengobatan selama 7 bulan.

Asupan energi, karbohidrat maupun protein pada kelompok kontrol

cenderung lebih baik daripada kelompok kasus. Status gizi pada pasien kelompok

kontrol adalah cukup. Sedangkan status gizi pada pasien kasus sebagian besar

adalah cukup akan tetapi masih ada beberapa pasien yang berada pada kategori

kurang yaitu sebanyak 7 orang.

Tingkat pendidikan pada kelompok kontrol dan kasus sebagian besar adalah

rendah. Begitu pula dengan tingkat pendapatan masih tergolong rendah baik pada

kelompok kontrol maupun kasus. Baik pada kelompok kontrol maupun kasus,

sebagian besar sampel tidak merokok.

Pada saat batuk, sampel kelompok kontrol cenderung tidak menutup

mulutnya sedangkan pada kelompok kasus, pasien cenderung menutup mulutnya.

Pasien pada kelompok kasus cenderung membuang ludah pada wadah tertutup

meskipun masih ada beberapa yang membuang ludah tidak pada wadah tertutup.

Demikian pula pada kelompok kontrol, sebagian membuang ludah pada wadah

tertutup dan sebagian lagi tidak membuang ludah pada wadah tertutup.

5.2 Analisis Bivariat

Page 49: Kti Sukorame c21 Tbc

Analisis bivariat yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaruh

antara variabel terikat yaitu status gizi pasien TB Paru dengan variable bebas yaitu

asupan energi, asupan makronutrien (karbohidrat, dan protein), lama pengobatan,

tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, serta perilaku hidup bersih dan sehat

(kebiasaan merokok, menutup mulut ketika batuk, dan membuang ludah)

Berikut ini akan dijabarkan hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi

status gizi pasien TB Paru di Puskesmas Sukorame Kota Kediri.

5.2.1 Hubungan Asupan Energi dengan Status Gizi Pasien TB Paru

Tabel 5.2 Hubungan Asupan Energi dengan Status Gizi Pasien TB Paru

Variabel

Status giziTotal PR

(95% CI)

p-value

Kurang Cukup

N % N % N %

Asupan Energi

5,750

(0,950 – 34,787)

0,055Kurang 5 33,3 10 66,7 15 100

Baik 2 8,0 23 92,0 25 100

Total 7 17,5 33 82,5 40 100

(Sumber: data primer 2015)

Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,055 artinya p> alpha (0,05) sehingga

dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara

asupan energi dengan status gizi pasien TB Paru.

5.2.2 Hubungan Asupan Karbohidrat dengan Status Gizi Pasien TB Paru

Tabel 5.3 Hubungan Asupan Karbohidrat dengan Status Gizi Pasien TB ParuVariabel Status gizi Total PR p-

Page 50: Kti Sukorame c21 Tbc

(95% CI)value

Kurang Cukup

N % N % N %

Asupan Karbohidrat

5,000

(0,540 – 46,274)

0,134Kurang 6 25,0 18 75,0 24 100

Baik 1 6,2 15 93,8 16 100

Total 7 17,5 33 82,5 40 100

(Sumber: data primer 2015)

Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,134 artinya p> alpha (0,05) sehingga

dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara

asupan karbohidrat dengan status gizi pasien TB Paru.

5.2.3 Hubungan Asupan Protein dengan Status Gizi Pasien TB Paru

Tabel 5.4 Hubungan Asupan Protein dengan Status Gizi Pasien TB Paru

Variabel

Status giziTotal PR

(95% CI)

p-value

Kurang Cukup

N % N % N %

Asupan Protein

13,800

(1,464 – 130,070)

0,111Kurang 6 37,5 10 62,5 16 100

Baik 1 4,2 23 95,8 24 100

Total 7 17,5 33 82,5 40 100

(Sumber: data primer 2015)

Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,111 artinya p> alpha (0,05) sehingga

dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara

asupan protein dengan status gizi pasien TB Paru.

5.2.4 Hubungan Lama Pengobatan dengan Status Gizi Pasien TB Paru

Tabel 5.5 Hubungan Lama Pengobatan dengan Status Gizi Pasien TB Paru

Page 51: Kti Sukorame c21 Tbc

Variabel

Status giziTotal PR

(95% CI)

p-value

Kurang Cukup

N % N % N %

Lama berobat

1,563

(0,215 – 11,366)

0,526< 6 bulan 5 38,5 8 61,5 13 100

≥ 6 bulan 2 28,6 5 71,4 7 100

(Sumber: data primer 2015)

Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,526 artinya p> alpha (0,05) sehingga

dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara

lama pengobatan dengan status gizi pasien TB Paru.

5.2.5 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Status Gizi Pasien TB Paru

Tabel 5.6 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Status Gizi Pasien TB Paru

Variabel

Status giziTotal PR

(95% CI)

p-value

Kurang Cukup

N % N % N %

Pendidikan

1,333

(0,134 – 13,225)

0,645Rendah 6 18,2 27 81,8 33 100

Tinggi 1 14,3 6 85,7 7 100

Total 7 17,5 33 82,5 40 100

(Sumber: data primer 2015)

Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,645 artinya p> alpha (0,05) sehingga

dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara

tingkat pendidikan dengan status gizi pasien TB Paru.

5.2.6 Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Status Gizi Pasien TB Paru

Page 52: Kti Sukorame c21 Tbc

Tabel 5.7 Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Status Gizi Pasien TB Paru

Variabel

Status giziTotal PR

(95% CI)

p-value

Kurang Cukup

N % N % N %

Pendapatan

2,609

(0,277 – 24,588)

0,364Rendah 6 20,7 23 79,3 29 100

Tinggi 1 9,1 10 90,9 11 100

Total 7 17,5 33 82,5 40 100

(Sumber: data primer 2015)

Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,364 artinya p> alpha (0,05) sehingga

dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara

tingkat pendapatan dengan status gizi pasien TB Paru.

5.2.7 Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Status Gizi Pasien TB Paru

Tabel 5.8 Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Status Gizi Pasien TB Paru

Variabel

Status giziTotal PR

(95% CI)

p-value

Kurang Cukup

N % N % N %

Merokok

0,446

(0,067 – 2,973)

0,355Tidak 5 15,2 28 84,8 33 100

Ya 2 28,6 5 71,4 7 100

Total 7 17,5 33 82,5 40 100

(Sumber: data primer 2015)

Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,355 artinya p> alpha (0,05) sehingga

dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara

tingkat kebiasaan merokok dengan status gizi pasien TB Paru.

Page 53: Kti Sukorame c21 Tbc

5.2.8 Hubungan Kebiasaan Menutup Mulut Ketika Batuk dengan Status Gizi

Pasien TB Paru

Tabel 5.9 Hubungan Kebiasaan Menutup Mulut Ketika Batuk dengan Status Gizi Pasien TB Paru

Variabel

Status giziTotal PR

(95% CI)

p-value

Kurang Cukup

N % N % N %

Menutup mulut ketika batuk

0,797

(0,154 – 4,130)

0,559Tidak 3 15,8 16 84,2 19 100

Ya 4 19,0 17 81,0 21 100

Total 7 17,5 33 82,5 40 100

(Sumber: data primer 2015)

Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,559 artinya p> alpha (0,05) sehingga

dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara

tingkat kebiasaan menutup mulut ketika batuk dengan status gizi pasien TB Paru.

5.2.9 Hubungan Kebiasaan Membuang Ludah dengan Status Gizi Pasien TB

Paru

Tabel 5.10 Hubungan Kebiasaan Membuang Ludah dengan Status Gizi Pasien TB Paru

Variabel

Status giziTotal PR

(95% CI)

p-value

Kurang Cukup

N % N % N %

Membuang ludah

1,018

(0,196 – 5,292)

0,649Buruk 3 17,6 14 82,4 17 100

Baik 4 17,4 19 82,6 23 100

Total 7 17,5 33 82,5 40 100

(Sumber: data primer 2015)

Page 54: Kti Sukorame c21 Tbc

Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,649 artinya p> alpha (0,05) sehingga

dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara

tingkat kebiasaan membuang ludah dengan status gizi pasien TB Paru.

Tabel 5.11 Resume Hubungan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Pasien TB Paru Di Puskesmas Sukorame Kota Kediri

Variabel

Status giziTotal PR

(95% CI)

p-value

Kurang Cukup

N % N % N %

Asupan Energi

5,750

(0,950 – 34,787)

0,055Kurang 5 33,3 10 66,7 15 100

Baik 2 8,0 23 92,0 25 100

Asupan Karbohidrat

5,000

(0,540 – 46,274)

0,134Kurang 6 25,0 18 75,0 24 100

Baik 1 6,2 15 93,8 16 100

Asupan Protein 0,011

Page 55: Kti Sukorame c21 Tbc

13,800

(1,464 – 130,070)

Kurang 6 37,5 10 62,5 16 100

Baik 1 4,2 23 95,8 24 100

Lama Pengobatan TB

< 6 bulan 5 38,5 8 61,5 13 100 1,563(0,215 – 11,366)

0,526

≥ 6 bulan 2 28,6 5 71,4 7 100Pendidikan

1,333

(0,134 – 13,225)

0,645A Rendah 6 18,2 27 81,8 33 100

Tinggi 1 14,3 6 85,7 7 100

Pendapatan

2,609

(0,277 – 24,588)

0,364Rendah 6 20,7 23 79,3 29 100

Tinggi 1 9,1 10 90,9 11 100

Merokok

0,446

(0,067 – 2,973)

0,355Tidak 5 15,2 28 84,8 33 100

Ya 2 28,6 5 71,4 7 100

Menutup mulut ketika batuk

0,797

(0,154 – 4,130)

0,559Tidak 3 15,8 16 84,2 19 100

Ya 4 19,0 17 81,0 21 100

Membuang ludah

1,018

(0,196 – 5,292)

0,649Buruk 3 17,6 14 82,4 17 100

Baik 4 17,4 19 82,6 23 100

Berdasarkan analisis bivariat didapatkan bahwa pasien yang asupan

energinya baik cenderung memiliki status gizi yang cukup dengan peluang

sebesar 5,750 kali lebih besar daripada pasien yang asupan energinya kurang.

Peluang ini tidak bermakna secara statistik (p>0,05). Demikian pula dengan

asupan karbohidrat, pasien yang asupan karbohidratnya baik cenderung memiliki

status gizi yang cukup dengan peluang sebesar 5,000 kali lebih besar daripada

pasien yang asupan energinya kurang. Peluang ini tidak bermakna secara statistik

(p>0,05). Pada asupan protein, pasien dengan asupan protein yang baik cenderung

memiliki status gizi yang cukup dengan peluang sebesar 13,800. Peluang ini

bermakna secara statistik (p<0,05).

(Sumber:data primer 2015)

Page 56: Kti Sukorame c21 Tbc

Lama pengobatan TB ≥6 bulan juga cenderung memiliki status gizi yang

cukup dengan peluang sebesar 1,563 kali lebih besar daripada pasien yang lama

pengobatan TB <6 bulan. Peluang ini tidak bermakna secara statistik (p>0,05).

Tingkat pendidikan pasien yang tinggi cenderung memiliki status gizi yang cukup

dengan peluang sebesar 1,333 lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat

pendidikan pasien yang rendah. Peluang ini tidak bermakna secara statistik

(p>0,05). Pada tingkat pendapatan, tingkat pendapatan pasien yang tinggi

cenderung memiliki status gizi yang cukup dengan peluang sebesar 2,609 lebih

tinggi dibandingkan dengan tingkat pendapatan pasien yang rendah. Peluang ini

tidak bermakna secara statistik (p>0,05)

Perilaku merokok pasien akan mengakibatkan kecenderungan berkurangnya

status gizi. Pasien yang merokok akan cenderung memiliki status gizi cukup

dengan peluang sebesar 0,446 kali lebih rendah daripada pasien yang tidak

merokok. Peluang ini tidak bermakna secara statistik (p>0,05).

Perilaku tidak menutup mulut pasien saat batuk akan mengakibatkan

kecenderungan berkurangnya status gizi. Pasien yang menutup mulut saat batuk

cenderung memiliki status gizi cukup dengan peluang sebesar 0,797 kali lebih

tinggi daripada pasien yang tidak menutup mulut saat batuk. Peluang ini tidak

bermakna secara statistik (p>0,05).

Perilaku membuang ludah pada wadah tertutup akan mengakibatkan

kecenderungan meningkatnya status gizi. Pasien yang mebuang ludah pada wadah

tertutup cenderung memiliki status gizi cukup dengan peluang sebesar 1,018 kali

lebih tinggi daripada pasien yang membuang ludah pada wadah tidak tertutup.

Peluang ini tidak bermakna secara statistik (p>0,05).

Page 57: Kti Sukorame c21 Tbc

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa, asupan energi, karbohidrat dan

protein yang semakin baik akan mampu meningkatkan status gizi penderita TB

Paru di Puskesmas Sukorame Kota Kediri. Selain itu, perilaku tidak merokok,

menutup mulut saat batuk dan membuang ludah pada wadah yang tertutup juga

mempu meningkatkan status gizi penderita TB Paru di Puskesmas Sukorame Kota

Kediri.

5.3 Analisis Multivariat

Analisis multivariat bertujuan untuk melihat pengaruh antara beberapa

variabel bebas terhadap variable terikat. Adapun hasil pengujian variabel-variabel

bebas tersebut dengan menggunakan uji regresi logistik tampak seperti tabel di

bawah ini.

Tabel 5.12 Analisis Multivariat Uji Regresi Logistik

Variabel β p

Energi -1,589 0,285

Karbohidrat -2,268 0,318

Protein -3,587 0,130

Pendidikan -2,458 0,608

Page 58: Kti Sukorame c21 Tbc

Pendapatan 1,313 0,771

Merokok 6,298 0,165

Menutup mulut saat batuk -2,747 0,193

Membuang ludah -1,213 0,554

Lama Pengobatan -1,077 0,133

Constant 8,677 0,093

Adjusted R square 0,616

(Sumber: data primer 2015)

Berdasarkan tabel di atas diketahui hasil uji regresi logistik menunjukkan

bahwa variabel angka kecukupan energi, angka kecukupan karbohidrat, angka

kecukupan protein, perilaku merokok, perilaku menutup mulut saat batuk, tingkat

pendidikan, tingkat pendapatan, serta perilaku membuang ludah, dan lama berobat

tidak berpengaruh signifikan terhadap status gizi pasien TB Paru di Puskesmas

Sukorame Kota Kediri. Berdasarkan nilai adjusted R square sebesar 0,616 dapat

diartikan bahwa sebesar 61,6% status gizi pasien TB Paru di Puskesmas

Sukorame Kota Kediri dipengaruhi oleh asupan energi, karbohidrat, protein,

perilaku merokok, menutup mulut saat batuk, tingkat pendidikan, tingkat

pendapatan, perilaku membuang ludah dan lama berobat. Sedangkan sisanya,

sebesar 38,4%, status gizi pasien TB Paru di Puskesmas Sukorame Kota Kediri

dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti pada penelitian ini. Faktor yang

paling dominan berpengaruh terhadap status gizi pasien TB Paru di Puskesmas

Sukorame Kota Kediri yaitu variabel yang memiliki nilai β tertinggi, yaitu

merokok dengan nilai β sebesar 6,298. Persamaan regresi yang terbentuk adalah

sebagai berikut:

Page 59: Kti Sukorame c21 Tbc

“Y = 8,677 – 1,589 energi – 2,268 karbohidrat – 3,587 protein – 2,458

pendidikan + 1,313 pendapatan + 6,298 merokok – 2,747 menutup mulut –

1,213 membuang ludah - 1,077 lama berobat“

BAB 6

PEMBAHASAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan

rancangan penelitian kasus kontrol (case control study). Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi pasien TB

Paru di Puskesmas Sukorame Kota Kediri diantaranya: asupan energi, asupan

makronutrien (karbohidrat dan protein), lama pengobatan, tingkat pendidikan,

Page 60: Kti Sukorame c21 Tbc

tingkat pendapatan, perilaku hidup bersih dan sehat (kebiasaan merokok,

menutup mulut ketika batuk, dan membuang ludah).

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Sukorame tanggal 27

Juli sampai dengan 19 Agustus 2015. Sampel kasus yang digunakan adalah semua

orang berusia ≥15 tahun yang berkunjung ke Puskesmas Sukorame dengan

dengan gejala klinis TB Paru (+), pemeriksaan BTA (+), dan Rontgen (+) yang

tercatat dalam catatan rekam medis dan berobat di Puskesmas Sukorame pada

bulan Januari-Agustus 2015 serta berdomisili di Kota Kediri. Sedangkan sampel

kontrol yang digunakan adalah semua orang berusia ≥15 tahun yang berkunjung

ke Puskesmas Sukorame dengan dengan gejala klinis TB Paru (-), pemeriksaan

BTA (-), dan Rontgen (-) yang tercatat dalam catatan rekam medis dan berobat di

Puskesmas Sukorame pada bulan Januari-Agustus 2015 serta berdomisili di Kota

Kediri. Jumlah masing-masing sampel adalah 20 orang, sehingga total 40 orang

(1 : 1), dengan teknik pengambilan sampel secara total sampling.

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan pengambilan

data primer melalui pengukuran antropometri (tinggi badan dan berat badan),

kuisioner, dan form food recall 3x24 jam yang telah disiapkan dan data sekunder

berupa catatan rekam medis yang ada di Puskesmas Sukorame (periode Januari-

Agustus 2015).

6.1 Hubungan Asupan Energi, Karbohidrat, dan Protein dengan Status Gizi Pasien

TB Paru

Berdasarkan analisis bivariat dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan

yang bermakna antara asupan energi, karbohidrat, dan protein dengan status gizi

pasien TB Paru. Dapat disimpulkan bahwa pasien yang asupan energinya baik

Page 61: Kti Sukorame c21 Tbc

cenderung memiliki status gizi yang cukup dengan peluang sebesar 5,750 kali

lebih besar daripada pasien yang asupan energinya kurang. Demikian pula dengan

asupan karbohidrat, pasien yang asupan karbohidratnya baik cenderung memiliki

status gizi yang cukup dengan peluang sebesar 5,000 kali lebih besar daripada

pasien yang asupan energinya kurang. Pada asupan protein, pasien dengan asupan

protein yang baik cenderung memiliki status gizi yang cukup dengan peluang

sebesar 13,800. Peluang ini bermakna secara statistik (p<0,05).

Tidak adanya hubungan antara asupan energi, karbohidrat, dan protein

dengan status gizi pasien TB Paru dapat disebabkan, (1) subjek tidak dapat

mengingat dengan tepat, (2) makanan yang disantap kemarin mungkin bukan

makanan yang biasa disantap, (3) subjek tidak sering melaporkan makanan yang

dapat memalukan, misalnya petai, atau alkohol, di samping terlalu berlebihan

dalam menyebutkan makanan yang mereka ketahui sebagai makanan sehat. Hal

ini merupakan kelemahan dari metode food recall, karena keberhasilan menjaring

informasi dengan cara ini bergantung pada daya ingat responden, kemampuan

responden dalam memperkirakan ukuran makanan yang telah disantap (Arisman,

2007).

Hal ini tidak sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa pada orang yang

terinfeksi kuman Mycobacterium tuberculosis telah terjadi gangguan sistem

kekebalan pada tubuh. Gangguan sistem kekebalan tubuh pada kondisi yang

parah akan menyebabkan penurunan status gizi yang dapat disebabkan oleh

karena kurangnya asupan makanan yang disebabkan oleh anoreksia, malabsorpsi,

dan meningkatnya penggunaan zat gizi dalam tubuh (Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia, 2014).

Page 62: Kti Sukorame c21 Tbc

Kurang energi dan zat gizi makro (protein dan karbohidrat) merupakan faktor

risiko berkembangnya Tuberkulosis Laten menjadi Tuberkulosis Aktif yang

berkaitan dengan sistem imunitas tubuh dan status gizi, serta mempermudah

terjadinya infeksi Tuberkulosis Primer/baru (Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia, 2014).

6.2 Hubungan Lama Pengobatan dengan Status Gizi Pasien TB Paru

Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,526 artinya p> alpha (0,05) sehingga

dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara

lama pengobatan dengan status gizi pasien TB Paru. Lama pengobatan TB ≥6

bulan juga cenderung memiliki status gizi yang cukup dengan peluang sebesar

1,563 kali lebih besar daripada pasien yang lama pengobatan TB <6 bulan.

Peluang ini tidak bermakna secara statistik (p>0,05).

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ada hubungan antara lama

sakit dengan ketidakpatuhan berobat pada penderita TB Paru. Dimana juga

terdapat hubungan antara ketidakpatuhan berobat dengan status gizi pasien TB

Paru. Penelitian pada pasien TB dengan usia ≥18tahun menunjukkan 15% pasien

TB memiliki status gizi buruk pada saat awal diagnosis dan setelah menjalani

pengobatan intensif selama dua bulan jumlah pasien yang mengalami gizi buruk

turun menjadi 8%. Penelitian yang dilakukan pada anak berusia kurang dari lima

tahun menunjukkan bahwa keberhasilan pengobatan merupakan salah satu faktor

yang mendukung terhadap peningkatan status gizi (Soemirat, 2000).

6.3 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Status Gizi Pasien TB Paru

Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,645 artinya p> alpha (0,05) sehingga

dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara

Page 63: Kti Sukorame c21 Tbc

tingkat pendidikan dengan status gizi pasien TB Paru. Tingkat pendidikan pasien

yang tinggi cenderung memiliki status gizi yang cukup dengan peluang sebesar

1,333 lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pendidikan pasien yang rendah.

Peluang ini tidak bermakna secara statistik (p>0,05).

Tidak adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan status gizi pasien

TB Paru dalam penelitian ini dapat disebabkan subjek penelitian ini merupakan

pasien rawat jalan yang telah menjalani pengobatan di Puskesmas Sukorame. Oleh

sebab itu, subjek penelitian memiliki wawasan yang baik sehingga pemilihan

makanan dan asupan makanan menjadi baik.

Hasil ini sesuai dengan penelitian Kartikasari (2011) yang menyatakan

bahwa tingkat pendidikan juga mempunyai hubungan yang eksponensial dengan

tingkat kesehatan. Semakin tinggi pendidikan semakin mudah menerima konsep

hidup sehat secara mandiri, kreatif, dan berkesinambungan. Latar belakang

pendidikan seseorang berhubungan dengan tingkat pengetahuan, jika tingkat

pengetahuan gizi seseorang baik maka diharapkan asuapan makan baik sehingga

status gizinya juga menjadi baik (Kartikasari, 2011).

6.4 Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Status Gizi Pasien TB Paru

Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,364 artinya p> alpha (0,05) sehingga

dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara

tingkat pendapatan dengan status gizi pasien TB Paru. Tetapi dapat disimpulkan

juga bahwa tingkat pendapatan pasien yang tinggi cenderung memiliki status gizi

yang cukup dengan peluang sebesar 2,609 lebih tinggi dibandingkan dengan

tingkat pendapatan pasien yang rendah. Peluang ini tidak bermakna secara

statistik (p>0,05).

Page 64: Kti Sukorame c21 Tbc

Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya, menurut Soemirat (2000), faktor

lain yang mempengaruhi status gizi seseorang adalah tingkat pendapatan.

Pendapatan per kapita pasien TB Paru menjadi salah faktor yang berhubungan

dengan status gizi pada pasien TB Paru (Patiung, 2014). Pendapatan keluarga

dipengaruhi oleh jenis pekerjaan seseorang yang akan mempunyai dampak

terhadap pola hidup sehari-hari diantaranya konsumsi makanan, pemeliharaan

kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah

(Rohman, 2012)

6.5 Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dengan Status Gizi Pasien TB

Paru

Berdasarkan analisis bivariat dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan

yang bermakna antara perilaku hidup bersih dan sehat (kebiasaan merokok,

menutup mulut ketika batuk, dan membuang ludah) dengan status gizi pasien TB

Paru. Tetapi dapat disimpulkan juga bahwa perilaku tidak menutup mulut pasien

saat batuk, kebiasaan merokok, dan membuang ludah akan mengakibatkan

kecenderungan berkurangnya status gizi, walaupun peluang ini tidak bermakna

secara statistik (p>0,05).

Faktor yang berpengaruh dalam penyebaran TB Paru dari kegagalan dalam

pengobatan secara tuntas adalah perilaku masyarakat sehingga setiap tahun selalu

ada kasus baru yang tercatat (Tobing, 2009). Menurut Suptriasa (2002), salah satu

yang mempengaruhi kesehatan adalah perilaku hidup bersih dan sehat, sehingga

jika seseorang memiliki perilaku hidup yang tidak sehat maka dapat terkena

penyakit infeksi dan terjadi penurunan status gizi. Berdasarkan hasil penelitian

Pertiwi (2012), sebagian besar para penderita TB Paru mempunyai kebiasaan atau

Page 65: Kti Sukorame c21 Tbc

perilaku yang tidak sehat, seperti kebiasaan merokok, membuang dahak di

sembarangan tempat, dan tidak menutup mulut saat batuk. Hasil penelitian

Jayanti (2011) juga menunjukkan bahwa perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)

dalam lingkungan keluarga berkorelasi positif dengan status gizi.

Dukungan keluarga mempunyai hubungan yang signifikan dengan status gizi

Pasien TB dimana hal ini juga mempengaruhi kesembuhan pasien TB Paru.

Keluarga adalah orang terdekat dengan pasien, perilaku keluarga yang sehat

merupakan salah satu motivasi pencapaian keberhasilan dalam penyembuhan TB

Paru. Adapun dukungan keluarga seperti pengawas minum obat, menemani

anggota keluarga yang menderita TB Paru untuk melakukan pemeriksaan ulang,

memberikan semangat agar tidak putus menjalani pengobatan.

6.6 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian yang didapat selama pelaksanaan penelitian ini adalah

keterbatasan jumlah data. Hal ini dikarenakan belum tercapainya target cakupan

penderita TB paru di Puskesmas Sukorame. Sehingga jumlah data yang tersedia

sedikit untuk dilakukan penelitian. Jumlah data yang sedikit ini membuat peneliti

menggunakan seluruh populasi penderita TB Paru sebagai subjek penelitian

Keterbatasan lainnya adalah sebagian subjek penelitian yang diambil dari data

laporan penemuan TB tahun 2015 sudah tidak tinggal di alamat yang tercantum

dalam data Puskesmas.

Page 66: Kti Sukorame c21 Tbc

Dalam pelaksanaan penelitian ini, form food recall juga memiliki kelemahan

yaitu 1) subjek tidak dapat mengingat dengan tepat, (2) makanan yang disantap

kemarin mungkin bukan makanan yang biasa disantap, (3) subjek tidak sering

melaporkan makanan yang dapat memalukan, misalnya petai, atau alkohol, di

samping terlalu berlebihan dalam menyebutkan makanan yang mereka ketahui

sebagai makanan sehat. Hal ini merupakan kelemahan dari metode food recall,

karena keberhasilan menjaring informasi dengan cara ini bergantung pada daya

ingat responden, kemampuan responden dalam memperkirakan ukuran makanan

yang telah disantap.

BAB 7

KESIMPULAN

7.1 Kesimpulan

1. Tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan energi, karbohidrat, dan

protein dengan status gizi pasien TB Paru.

2. Tidak ada hubungan yang bermakna antara lama pengobatan dengan status

gizi pasien TB Paru.

Page 67: Kti Sukorame c21 Tbc

3. Tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan

status gizi pasien TB Paru.

4. Tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendapatan dengan

status gizi pasien TB Paru.

5. Tidak ada hubungan yang bermakna antara perilaku hidup bersih dan sehat

(kebiasaan merokok, menutup mulut ketika batuk, dan membuang ludah)

dengan status gizi pasien TB Paru.

6. Walaupun peluang ini tidak bermakna secara statistik, tetapi secara

keseluruhan dapat dikatakan bahwa, asupan energi, karbohidrat dan

protein yang semakin baik akan mampu meningkatkan status gizi

penderita TB Paru di Puskesmas Sukorame Kota Kediri. Selain itu, tingkat

pendidikan dan pendapatan yang tinggi, perilaku tidak merokok, menutup

mulut saat batuk, dan membuang ludah pada wadah yang tertutup juga

mempu meningkatkan status gizi penderita TB Paru di Puskesmas

Sukorame Kota Kediri.

7.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka peneliti memberikan

saran sebagai berikut:

1. Bagi Institusi Kesehatan

a. Perlu dilakukan penyuluhan kesehatan masyarakat secara

berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan

masyarakat mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan TB Paru.

Page 68: Kti Sukorame c21 Tbc

b. Perlu dilakukan penguatan fungsi PMO (Pengawas Minum Obat)

penderita TB selama masa pengobatan.

2. Bagi Penderita TB Paru

a. Penderita TB Paru melakukan tindakan pencegahan dengan menutup

mulut ketika batuk, ketika bersama orang lain, baik di dalam atau di luar

ruangan serta membuang ludah pada wadah tertutup dengan desinfektan.

Selain itu penderita TB Paru dapat menggunakan masker untuk

mencegah penularan orang lain

b. Hendaknya penderita selalu memperhatikan asupan gizi yang seimbang

sehingga kesehatan dapat terjaga dengan baik dan tidak mengalami

kekurangan gizi.

3. Bagi Peneliti Berikutnya

a. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk mengambil sampel

yang lebih banyak dikarenakan pasien TB di wilayah Puskesmas

Sukorame tidak mewakili secara keseluruhan angka prevalensi kasus

TB di wilayah kerja Puskesmas Sukorame.

b. Peneliti selanjutnya mungkin bisa melakukan penelitian dengan

mencari hubungan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi status

gizi pasien TB Paru, seperti asupan mikronutrien, pengaruh

lingkungan, dukungan keluarga, dan kepatuhan minum berobat.

c. Penelitian selanjutnya, mungkin bisa mengetahui pola konsumsi dari

individu atau perorangan dengan metode lain yang seperti frekuensi

makanan (food frequency) dan metode riwayat makan (dietary

history).

Page 69: Kti Sukorame c21 Tbc

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U.F., 2005, Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, PT. Kompas Media

Nusantara, Jakarta.

Aditama, T.Y., 2005, Tuberkulosis dan Kemiskinan, Majalah Kedokteran

Indonesia Vol. 55, No.2, Jakarta.

Page 70: Kti Sukorame c21 Tbc

Aditama, T.Y., 2000, Tuberkulosis, Diagnosis, Terapi dan Masalahnya,

Laboratorium Mikrobakteriologi RSUP Persahabatan/ WHO Colaborating

Center For Tuberculosis, edisi.III, Jakarta.

Aditama, T.Y., 1994, Tuberkulosis paru, masalah dan Penanggulangan, UI-Press,

Jakarta.

Almatsier, 2006, Penuntun Diet Edisi Baru. Jakarta: PT. Gramedia.

Anderson, Sylvia, 1984, Patofisiologi, Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit,

EGC, Jakarta.

Azwar, Asrul, 1990, Pengantar Ilmu Kesling, Edisi Kelima, Mutiara Sumber

Widya, Jakarta.

Bachtiar, H.A., Achmadi, H.K. & Hartiyanti, Y., 2000, Metodologi Penelitian

Kesahatan Masyarakat UI, Depok

Bahar, Asril, 1993, TB Paru, Ilmu Penyakit Dalam II, hal. 715-719. Gaya Baru,

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta.

Basuki, Bastaman, 2000, Aplikasi Metode Kasus-Kontrol. Bagian Ilmu

Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Dahlan, Ahmad, 2001, Faktor-Faktor Risiko Lingkungan yang Berhubungan

Dengan Kejadian Penyakit TB Paru BTA Positif (Sudi Kasus Kontrol) Di

Kota Jambi, Program studi Ilmu kesehatan Masyarakat, Program Pasca

Sarjana. Universitas Indonesia, Jakarta

Departemen Kesehatan RI, 2002, Prosedur kerja surveilans, faktor resiko

penyakit menular dalam intensifikasi pemberantasan penyakit Menular

Terpadu Berbasis Wabah, Jakarta.

Page 71: Kti Sukorame c21 Tbc

Departemen Kesehatan RI, 2002, Pedoman Pemberantasan Penyakit Saluran

Pernapasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita,

Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan

Lingkungan, Jakarta.

Departemen kesehatan RI, 2002, Pedoman Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis Paru, Cetakan ke-1, Depkes RI,Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 1999, SK Mentri Kesehatan No.

829/Menkes/SK/IIV/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan,

Depkes RI, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 1999, Pedoman Penanggulangan TB, Cetakan ke-4,

Jakarta.

Fx, Agus Budiyono , 2001, Faktor-Faktor Risiko Lingkungan yang Berhubungan

Dengan Kejadian Penyakit TB Paru BTA Positif (Sudi Kasus Kontrol) Di

Kota Tasikmalaya Jawa Barat, Program studi Ilmu kesehatan Masyarakat,

Program Pasca Sarjana. Universitas Indonesia, Jakarta.

Ganguly, NK et al, 2002, Tuberkulosis and Proverty. ICMR Bulletin, March

2002, Vol.32, 6 pages, New Delhi.

Hastono, S.P., 2007, Analisa Data Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat

UI , Jakarta.

Hermain, 2002, Faktor-Faktor Risiko Lingkungan yang Berhubungan Dengan

Kejadian Penyakit TB Paru BTA Positif (Sudi Kasus Kontrol) Di Kota

Jambi, Program studi Ilmu kesehatan Masyarakat, Program Pasca Sarjana.

Universitas Indonesia, Jakarta.

Page 72: Kti Sukorame c21 Tbc

Jawets, Melnick & Adelberg’s, 2005, Mikrobiologi Kedokteran, Salemba Medika,

Jakarta.

Jaya, 2000, Studi Kasus Kontrol Faktor Risiko Lingkungan terhadap Kejadian TB

Paru BTA (+) di Kabupaten Aceh Barat. Program Pasca Sarjana, Program

Stusi Ilmu Kesehatan Masyarakat Administrasi Dan Kebijakan Kesehatan,

Universitas Indonesia, Jakarta.

Jaryadi, 2001, Tuberculosis in Indonersia: Nutition, Immune, Response and Social

Aspect, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Bagian Pulmunologi,

Jakarta.

Kartikasari, 2011, Hubungan Pendidikan dan Pekerjaan Ibu dengan Status Gizi

Ibuh Hamil di Puskesmas Genuk Semarang. Fakultas Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Semarang.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014, Pedoman Pelayanan Gizi pada

Pasien Tuberkulosis, Jakarta.

Kusnoputranto, Dewi Susana, 2000, Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta.

Lemeshow, S.,1997, Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan, Gajah Mada,

University Press, Yogyakarta.

Mukono, H.,2000, Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan, AirLangga University,

Surabaya.

Notoatmodjo, Soekidjo, 2003, Promosi Kesehatan, Teori dan Aplikasinya, Rineka

Cipta, Jakarta.

Notoatmodjo, et al, 2001, Pendidikan, Promosi dan Perilaku Kesehatan, Program

Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan PKIP, UI, Jakarta.

Page 73: Kti Sukorame c21 Tbc

Notoatmodjo, Soekidjo, 1997, Pengantar Pendidikan Kesehatan Dan Ilmu

Perilakau, Andi Yogyakarta, Yogyakarta.

Peetosutan, Erwin, 1996, Rasional Pemeriksaan Bakteriologis Sputum Dalam

Penanggulangan Masalah Tuberkulosa, Majalah Kesehtan Masyarakat

Indonesia Tahun XXIV nomor 1, Jakarta.

Praktiknya, A.W., 2000, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran Dan

Kesehatan. Cetakan Ke 3, Rajawali , Jakarta.

Samik, A., Wahab, Dasar Biologis & Klinis Penayaki Infeksi, Edisi Ke 4, Gajah

Mada Universiti Press, Jogjakarta.

Sarwono, Solita, 1993, Sosiologi Kesehatan, Fakultas Kesehatan, Gajah Mada

Press

Soedarto, 1990, Penyakit-Penyakit Infeksi Di Indonesia, Cetakan Pertama, Widya

Medika, Jakarta.

Soemirat, 2000, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru di

Wilayah Puskesmas Grobogan, Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat

Universitas Muhammadiyah Semarang.

Supariasa, 2002, Bachyar & Ibnu, Penilaian Status Gizi. Jakarta : Penerbit

Buku Kedokteran.

Suharjo, et al 1993, Pengaruh Sikap dan Perilaku Penderita Dalam Penularan TB

Paru Di Lingkungan Keluarga, Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia,

tahun XXI, Nomor 3, Jakarta.

Tobing, 2009, Pengaruh Perilaku Penderita TB Paru dan Kondisi Rumah

Terhadap Pencegahan Potensi Penularan TB Paru Pada Keluarga di

Page 74: Kti Sukorame c21 Tbc

Kabupaten Tapanuli. Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara,

Medan.