kualitas kecernaan rumput brachiaria decumbens yang tumbuh dibawah naungan_setiawan

13
Bioproses Laktasi Ilmu dan Teknologi Peternakan Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor 2013 KECERNAAN RUMPUT SIGNAL (Brachiaria decumbens) YANG TUMBUH DIBAWAH NAUNGAN SETIAWAN PUTRA SYAH D161130041 PS Ilmu dan Teknologi Peternakan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor PENDAHULUAN Latar Belakang Kendala yang sering dihadapi peternak di Indonesia dalam upaya peningkatan produksi khususnya ternak ruminansia adalah tersedianya hijauan pakan sebagai sumber pakan ternak sebagai akibat dari semakin berkurangnya lahan sumber hijauan pakan karena pembagunan perumahan yang begitu pesat. Salah satu teknologi yang dapat dilakukan dalam upaya pemebuhan hijauan pakan adalah sistem pertanian capuran atau sering dikenal sebagai sistem integrasi tanaman ternak. Sistem pertanian campuran atau sistem integrasi ternak dengan tanaman telah dikenal di Indonesia sejak tahun 1970-an yang pada awalnya hanya integrasi dengan tanaman pangan kemudian dikembangkan lebih luas ke kehutanan dan perkebunan, sebagai contoh adalah kebun pisang, sawit, karet, sengon, jati, dll, yang di integrasikan dengan ternak ruminansia. Hijauan pakan ternak yang berupa rumput dan leguminosa merupakan hal penting bagi produksi dan perkembangan ternak ruminansia. Hijauan merupakan jenis pakan yang terpenting karena merupakan pakan utama bagi ternak ruminansia. Sekitar 70 % dari makan ternak ruminansia adalah hijauan (Nitis et al. 1992), sehingga ketersediaanya harus selalu diperhatikan baik dari segi kuantitas, dan kualitas. Pertumbuhan hijauan khususnya hijauan rumput pada area dengan sistem integrasi akan memberikan pengaruh terhadap kualitas dan kuantias rumput yang dihasilkan karena adanya naungan dari pohon di lokasi perkebunan. Naungan mengakibatkan terjadinya pengurangan intensitas cahaya yang sampai pada tanaman. Naungan tidak hanya menurunkan intensitas cahaya matahari, akan tetapi juga berpengaruh terhadap unsur-unsur iklim mikro lainnya. Struik dan Deinum (1982) dalam Sirait (2006) menyatakan bahwa naungan akan mempengaruhi proses-proses biokimia yang terjadi didalam tanaman seperti respirasi, trasnpirasi, sintesis protein, produksi hormon, translokasi, dan penuaan. Naungan juga dapat menurunkan reaksi gelap, kerapatan stomata, titik jenuh dan titik kompensasi cahaya serta bobot kering tanaman. Beberapa rumput unggul yang biasa digunakan sebagai pakan yang banyak tumbuh dibawah naungan adalah rumput Benggala (Panicum maximum) (Sirait 2006), dan rumput Signal (Brachiaria decumbens) (Mansyur et al. 2006), lebih lanjut ditambahkan oleh Masyur et al. (2007) bahwa dibawah naungan pohon pisang dapat ditanami

Upload: putra-syah

Post on 28-Dec-2015

440 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kualitas Kecernaan Rumput Brachiaria Decumbens Yang Tumbuh Dibawah Naungan_Setiawan

Bioproses Laktasi Ilmu dan Teknologi Peternakan

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

2013

KECERNAAN RUMPUT SIGNAL

(Brachiaria decumbens) YANG TUMBUH DIBAWAH NAUNGAN

SETIAWAN PUTRA SYAH

D161130041

PS Ilmu dan Teknologi Peternakan

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kendala yang sering dihadapi peternak di Indonesia dalam upaya

peningkatan produksi khususnya ternak ruminansia adalah tersedianya hijauan

pakan sebagai sumber pakan ternak sebagai akibat dari semakin berkurangnya

lahan sumber hijauan pakan karena pembagunan perumahan yang begitu pesat.

Salah satu teknologi yang dapat dilakukan dalam upaya pemebuhan hijauan pakan

adalah sistem pertanian capuran atau sering dikenal sebagai sistem integrasi

tanaman – ternak. Sistem pertanian campuran atau sistem integrasi ternak dengan

tanaman telah dikenal di Indonesia sejak tahun 1970-an yang pada awalnya hanya

integrasi dengan tanaman pangan kemudian dikembangkan lebih luas ke

kehutanan dan perkebunan, sebagai contoh adalah kebun pisang, sawit, karet,

sengon, jati, dll, yang di integrasikan dengan ternak ruminansia. Hijauan pakan

ternak yang berupa rumput dan leguminosa merupakan hal penting bagi produksi

dan perkembangan ternak ruminansia. Hijauan merupakan jenis pakan yang

terpenting karena merupakan pakan utama bagi ternak ruminansia. Sekitar 70 %

dari makan ternak ruminansia adalah hijauan (Nitis et al. 1992), sehingga

ketersediaanya harus selalu diperhatikan baik dari segi kuantitas, dan kualitas.

Pertumbuhan hijauan khususnya hijauan rumput pada area dengan sistem integrasi

akan memberikan pengaruh terhadap kualitas dan kuantias rumput yang

dihasilkan karena adanya naungan dari pohon di lokasi perkebunan.

Naungan mengakibatkan terjadinya pengurangan intensitas cahaya yang

sampai pada tanaman. Naungan tidak hanya menurunkan intensitas cahaya

matahari, akan tetapi juga berpengaruh terhadap unsur-unsur iklim mikro lainnya.

Struik dan Deinum (1982) dalam Sirait (2006) menyatakan bahwa naungan akan

mempengaruhi proses-proses biokimia yang terjadi didalam tanaman seperti

respirasi, trasnpirasi, sintesis protein, produksi hormon, translokasi, dan penuaan.

Naungan juga dapat menurunkan reaksi gelap, kerapatan stomata, titik jenuh dan

titik kompensasi cahaya serta bobot kering tanaman. Beberapa rumput unggul

yang biasa digunakan sebagai pakan yang banyak tumbuh dibawah naungan

adalah rumput Benggala (Panicum maximum) (Sirait 2006), dan rumput Signal

(Brachiaria decumbens) (Mansyur et al. 2006), lebih lanjut ditambahkan oleh

Masyur et al. (2007) bahwa dibawah naungan pohon pisang dapat ditanami

Page 2: Kualitas Kecernaan Rumput Brachiaria Decumbens Yang Tumbuh Dibawah Naungan_Setiawan

2 Syah SP 2013

beberapa rumput unggul seperi rumput Gajah (Pennisetum purpureum), rumput

Signal (Brachiaria decumbens), rumput Koronovia (Brachiaria humidicola), dan

rumput Setaria (Setaria sphacelata).

Rumput Brachiaria decumbens adalah salah satu rumput gembala yang

memiliki produksi lebih baik jika dibandingkan dengan rumput lapangan,

memiliki nilai nutrisi yang tinggi, lebih tahan pada musim kemarau dan cocok

untuk daerah tropis. Rumput Signal banyak ditemukan tumbuh dibawah naugan

baik itu pohon karet, sengon, kelapa, maupun pohon pisang. Naungan dapat

mempengaruhi kualitas rumput yang tumbuh dibawahnya karena kurangnya

suplai cahaya yang diperoleh oleh rumput, akibatnya dapat mempengaruhi

kualitas nutrisi dari rumput, termasuk diantaranya yaitu dari segi kecernaannya.

oleh karena itu perlu dikaji mengenai pengaruh intensitas cahaya terhadap

kecenaan rumput Signal. Pada makalah ini akan dibahas mengenai kecernaan dari

rumput Signal (Brachiari decumbens) yang tumbuh dibawah naungan.

Tujuan

Pada makalah ini akan dibahas mengenai perbedaan kualitas kecernaan dari

rumput Signal (Brachiaria decumbens) di bawah naungan yang mendapat

intensitas cahaya matahari yang berbeda.

PEMBAHASAN

I. Rumput Signal (Brachiaria decumbens)

Brachiaria decumbens disebut rumput Signal, rumput Bede (jawa barat)

Jukut Inggris (Sunda), palisade grass, para grass, buffalo grass, water grass, ruzi

grass (Inggris). Berasal dari AFRIKA Timur (Uganda, Rwanda, Tanzania dll),

telah menyebar di Asia Tenggara dan Pasifik serta ke berbagai daerah termasuk ke

daerah Asia dan pasifik dan mulai di introduksikan ke Indonesia tahun 1958

(Siregar dan Djajanegara 1971). Mempunyai ciri-ciri, tinggi tanaman 30 – 45 cm,

daun kaku dan pendek, berbulu dan berwarna hijau gelap ujung daun meruncing.

Mudah berbunga, bunga tersusun dalam malai yang menyerupai bendera, dan

tumbuh baik pada kondisi curah hujan 1000 – 1500 mm/tahun. Tumbuh menjalar

dengan stolon membentuk hamparan yang lebat yang tingginya sekitar 80 – 150

cm dan dapat digunakan sebagai rumput penggembalaan dan rumput potong,

merupakan jenis rumput penggembalaan terbaik di Kango. Tumbuh pada

ketinggian 1.200 – 1.750 m dpl. Dapat tumbuh pada curah hujan 1500 mm/tahun.

Toleran terhadap jenis tanah dengan kisaran cukup luas, mulai dari berstruktur

Page 3: Kualitas Kecernaan Rumput Brachiaria Decumbens Yang Tumbuh Dibawah Naungan_Setiawan

3 Syah SP 2013

ringan sampai berat dengan pH 6 – 7. Tahan terhadap kekeringan selama 6 bulan,

dan terhadap cuaca dingin. Sangat rensponsif terhadap pemupukan nitrogen.

Mampu tumbuh pada lereng terjal. Tidak tahan genangan air (Prawiradiputra et al.

2012).

Rumput Signal merupakan rumput yang mempunyai potensi produksi yang

relative tinggi, sering digunakan sebagai sumber hijauan baik untuk

penggembalaan permanen maupun sistem potong angkut. Merupakan salah satu

rumput gembala yang memiliki produksi lebih baik jika dibandingkan dengan

rumput lapangan, memiliki nilai nutrisi yang tinggi, lebih tahan pada musim

kemarau dan cocok untuk daerah tropis (Fanindi dan Prawiradiputra 2005). Dapat

digunakan untuk pencegah erosi, dan relative tahan naungan sehingga dapat

dijadikan tanaman penutup tanah pada perkebunan. Menurut Masyur et al. (2007)

rumput Signal pada naungan perkebunan pisang dapat tumbuh dengan baik dan

tahan kekeringan yang panjang.

Gambar 1. Rumput Signal (Brachiaria decumbens) (Indonesia Tropical

Forages 2013)

Rumput Signal merupakan rumput unggul yang memiliki daya saing hidup

yang tinggi. Pertumbuhannya sangat pesat dan dapat menekan pertumbuhan

gulma. Rumput Signal sangat potensial sebagai rumput penggembalaan sapi

karena tahan renggutan dan tahan injakan. Bahar (2008) melaporkan bahwa

Page 4: Kualitas Kecernaan Rumput Brachiaria Decumbens Yang Tumbuh Dibawah Naungan_Setiawan

4 Syah SP 2013

rumput Signal dapat tumbuh dengan baik bersama dengan gulma dan leguminosa

Arachis pintoi dengan total produksi bahan kering hijauan mencapai 30.56 ton/ha,

ditanam dengan leguminosa Centrosoma pascourum diperoleh total produksi

bahan kering 20.24 ton/ha.

Penanaman rumput Signal dapat dilakukan dengan biji atau pols.

Pemanenan pertama adalah pada umur 60 hari setelah tanam. Pada musim hujan

interval panen 40 hari dan musim kemarau 50 – 60 hari. Tinggi pemotongan 5 –

10 cm dari permukaan tanah. Kandungan protein 8 – 10% tergantung kultivar.

Dengan produksi berat segar 100 sampai 150 ton/ha per tahun atau sekitar 12.5 –

18.75 ton satu kali pemotongan (Prawiradiputra et al. 2012). Hasil penelitian Bulo

et al. (1994) melaporkan bahwa produksi bahan kering rumput Signal sekali

panen adalah 5.8 ton/ha, lebih lanjut dilaporkan oleh Bahar (2008) bahwa total

produksi bahan kering hijauan rumput Signal di padang penggembalaan dengan

intensitas sinar matahari penuh (100%) adalah 24.42 ton/ha. Hal tersebut

menunjukkkan bahwa produksi rumput Signal sekali panen dapat mencukupi

kebutuhan untuk 9 – 16 ekor sapi dengan berat badan 300 kg.

II. Pengaruh Cahaya Terhadap Pertumbuhan Rumput Signal

Cahaya merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat berpegaruh

terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Cahaya matahari merupakan

faktor makro yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman selain suhu,

kelembaban, awan, angin , dan pencemaran udara. Sedangkan faktor mikro yang

mempengaruhi pertumbuhan tanamana meliputi media tumbuh dan kadungan O2

serta CO2 yang ada di udara (Suryowinoto 1988). Kualitas dan intensitas cahaya

mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Intensitas cahaya adalah banyaknya energi

yang diterima oleh suatu tanaman per satuan luas dan per satuan waktu

(kal/cm2/hari). Pada dasarnya intensitas cahaya matahari akan berpengaruh nyata

terhadap sifat morfologi tanaman karena intensitas cahaya matahari dibutuhkan

untuk berlangsungnya penyatuan CO2 dan air (H2O) untuk membentuk

karbohidrat (Indrianingsih 2004).

Tidak semua radiasi matahari mampu diserap tanaman. Tanaman dapat

menyerap cahaya tampak dengan panjang gelombang 400 – 700 nm. Tanaman

merespon panjang gelombang cahaya biru, merah, dan merah jauh dari matahari.

Setiap panjang gelombang diterima oleh tanaman dengan sistem fotosensor yang

berbeda terantung pada panjang gelombangnya. Cahaya yang diserap daun

sebesar 1 – 5 % untuk fotosintesis dan 75 – 85% untuk memanaskan daun dan

transpirasi (Indrianingsih 2004).

Cahaya matahari mempunyai peranan besar dalam proses fisiologi tanaman

seperti fotosintesis, respirasi, pertumbuhan dan perkembangan, menutup dan

membukanya stomata, dan perkecambahan tanaman, metabolisme tanaman hijau,

Page 5: Kualitas Kecernaan Rumput Brachiaria Decumbens Yang Tumbuh Dibawah Naungan_Setiawan

5 Syah SP 2013

sehingga ketersediaan cahaya matahari menentukan tingkat produksi tanaman.

Tanaman hijau memanfaatkan cahaya matahari melalui proses fotosintesis

(Salisbury dan Ross 1992). Chozin et al. (1998) dalam penelitiannya

menyebutkan bahwa intensitas cahaya matahari dibawah pohon karet dengan

umur dua tahun adalah 25 %, umur 3 tahun sebesar 50% dan dibawah pohon karet

dengan umur empat tahun sebesar >75%.

Tanaman yang mendapatkan cahaya matahari dengan intensitas yang tinggi

menyebabkan lilit batang tumbuh lebih cepat, susunan pembuluh kayu lebih

sempurna, internodia menjadi lebih pendek, daun lebih tebal tetapi ukurannya

lebih kecil dibanding dengan tanaman yang terlindung. Beberapa efek dari cahaya

matahari penuh yang melebihi kebutuhan optimum akan dapat menyebabkan layu,

fotosistesi lambat, laju respirasi meningkat tetapi kondisi tersebut cenderung

mempertinggi daya tahan tanaman. Respon pertumbuhan tanaman terhadap

cahaya yaitu : a). Cahaya meningkatkan pembukaan helai daun dan pemanjangan

tangkai daun, b). Cahaya meningkatkan pembentukan klorofil dan pembentukan

kloroplas, c). Tumbuhan yang tumbuh dibawah cahaya merah mempunyai daun

yang lebat dan mempunyai jumlah sel yang lebih banyak daripada daun yang

tumbuh ditempat gelap, d). Dengan adanya cahaya maka batang akan menjadi

lebih pendek dan kekar, pemberian cahaya pada malam hari menghambat

pembungaan tanaman hari pendek dan pembungaan pada tanaman hari panjang

(Indrianingsih 2004).

Rumput Signal dapat beradaptasi dengan baik dengan lingkungan dibawah

naungan dan dapat meningkatkan ketersediaan hijauan dengan kualitas yang lebih

baik sehingga rumput ini banyak ditemukan tumbuh dibawah naugan baik itu

pohon karet, sengon, kelapa, maupun pohon pisang. Rumput ini merupakan

golongan rumput dengan shade tolerance medium (Shelton et al. 1987). Rumput

Signal memiliki toleransi menengah terhadap naungan dan cocok untuk penutup

tanah di bawah perkebunan yang terbuka. Spesies umumnya tumbuh di bawah

kelapa dewasa (>60% intensitas cahaya), tapi kurang toleran terhadap

penggembalaan berat di bawah cahaya yang kurang daripada di bawah sinar

matahari penuh (Indonesia tropical forages 2013). Menurut Mansyur et al. (2007)

rumput Signal bila ditanam di bawah naungan kebun pisang dengan pemeliharaan

yang baik, dapat dipanen dengan interval pemotongan antara 30 – 40 hari.

Karakteristik botani yang lain, rumput ini mempunyai batang yang tidak terlalu

besar dan pipih sehingga apabila dikeringkan dapat lebih cepat.

Pertumbuhan rumput Signal dibawah naungan erat kaitannya dengan tingkat

adapatasi rumput ini terhadap perbaikan nitrogen dibawah naungan. Perbaikan

nitrogen di bawah naungan telah diketahui berkaitan dengan peningkatan

kerusakan bahan-bahan organik karena peningkatan kelembaban dibagian dasar

rumput dan peningkatan aktivitas oleh fauna tanah, efisiensi pemanfaatan cahaya

Page 6: Kualitas Kecernaan Rumput Brachiaria Decumbens Yang Tumbuh Dibawah Naungan_Setiawan

6 Syah SP 2013

di bawah naungan bervariasi pada spesies dan faktor-faktor lingkungan seperti

nitrogen dan kelembaban lingkungan (Mullen and Shelton 1995).

III. Kecernaan Pakan

Kecernaan pakan dapat dijadikan ukuran dalam menentukan kualitas bahan

pakan ternak. Menurut Susetyo (1980) faktor yang menetukan tingginya produksi

ternak adalah kecernaan pakan, nilai gizi bahan pakan dan konsumsi pakan.

Menurut Lubis (1963) salah satu faktor yang harus dipenuhi oleh bahan pakan

adalah tingginya daya cerna. Sejalan dengan itu Fick et al. (1979) menyatakan

bahwa nilai gizi hijauan pada ruminansia sebagian besar tergantung dari jumlah

hijauan yang dapat dikonsumsi dan daya cerna.

Pengukuran kecernaan bahan pakan pada dasarnya adalah usaha untuk

menetukan seberap besar zat pakan yang diserap oleh saluran pencernaan. Nilai

cerna dapat diukur dengan selisih antara zat-zat pakan yang terkandung dalam

pakan yang terkonsumsi dengan zat-zat pakan dalam feses (Anggorodi 1990).

Sejalan dengan hal tersebut Tillman et al. (1991) mengemukakan bahwa yang

dimaksud dengan kecernaan adalah bagian dari zat pakan yang tidak

diekskresikan dalam feses.Mc Donal et al. (1995) mendefinisikan kecernaan

sebagai proporsi pakan yang tidak dieksresikan di dalam feses dan diasumsikan

telah diabsorbsi oleh hewan.

Penentuan kecernaan pakan dapat diukur dengan metode koleksi total atau

indicator (metode langsung/ in vivo) dan dapat pula dengan metode in vitro (tidak

langsung) (Maynard et al. 1979). Koefisien cerna tidaklah tetap untuk setiap

bahan pakan ataupun untk setiap ekor ternak, akan tetapi dipegaruhi oleh beberapa

faktor diantaranya: jenis pakan, keadaan fisik bahan pakan, susunan kimia bahan

pakan, jenis hewan, dan umur hewan (Rajhan dan pathak 1979).

Van Soest (1994) menyatakan bahwa kecernaan hijauan tanaman tergantung

pada dapat dicernanya dinding sel tanaman tersebut yang tercermin pada tingkat

lignifikasi. Church dan Pond (1998) berpendapat bahwa terdapat korelasi yang

negatif antara kandungan lignin tanaman dengan kecernaannya. Hal ini diperkuat

oleh Flint dan Fosberg (1995) bahwa lignin yang terdapat pada pakan akan

mempengaruhi kecernaan organik.

Bahan kering hijauan kaya serat terdiri dari sekitar 20% isi sel dan 80%

dinding sel. Isi sel terdiri dari zat-zat yang mudah dicerna seperti protein,

karbohidrat, mineral dan lemak. Sedangkan dinding sel terdiri dari zat yang sulit

dicerna seperti selulosa, hemiselulosa, peptin, protein dinding sel, lignin dan silika

(Sutardi 1980). Kecernaan bahan pakan erat hubungannya dengan komposisi

kimia pakan terutama kandungan serat kasarnya. Serat kasar terdiri dari selulosa,

hemiselulosa, lignin dan silika. Proporsi serat kasar ditentukan oleh spesies, umur,

dan bagian tanaman. Semakin tua hijauan pakan maka kandungan serat kasarnya

akan semakin tinggi (Tillman et al. 1991). Semakin tinggi kandungan serat kasar

Page 7: Kualitas Kecernaan Rumput Brachiaria Decumbens Yang Tumbuh Dibawah Naungan_Setiawan

7 Syah SP 2013

dalam bahan pakan akan semakin tebal dan keras dinding selnya, akibatnya daya

cerna bahan pakan tersebut akan semakin rendah (Anggorodi 1990).

IV. Kecernaan Rumput Signal Tanpa Naungan dan Dibawah Naungan

Kecernaan bahan kering pada rumput pakan ternak telah dilaporkan oleh

beberapa peneliti, begitu pula kecernaan pada rumput Signal. Seperti yang telah

dilaporkan oleh Sitepu (2005) pada table Tabel 1. kecernaan bahan kering rumpu

Signal (KcBK) tanpa naungan (cahaya matahari 100%) dengan taraf pemupukan

fosfor 0% terlihat bahwa kadar kecernaan bahan kering dari rumput Signal

(Brachiaria decumbens) adalah 48,11% pada diploid dan 48,23% pada poliploid.

Sedangkan untuk kecernaan bahan organiknya (KcBO) 55.29% pada diploid dan

56.08 pada poliploid. Tingkat kecernaan rumput menjadi semakin meningkat

seiring dengan peningkatan dosis pemupukan.

Tabel 1. Kecernaan Bahan Kering (KcBK) dan Kecernaan Bahan Organik

(KcBO) pada rumput Signal (Brachiaria decumbens) Diploid dan

Poliploid pada Umur Potong 7 Minggu pada Berbagai Dosis

Pemupukan Fosfor (P).

Parameter Jenis Rumput

Dosis Pupuk P (kg/ha)

Rata-rata 0 50 75 100

-------------(%)-------------

KcBK Brachiaria decumbens (d) 48.11 45.83 49.13 50.48 48.39

Brachiaria decumbens (p) 48.23 50.67 50.88 51.73 50.38

KcBO Brachiaria decumbens (d) 55.29 56.45 59.55 60.52 57.95

Brachiaria decumbens (p) 56.08 58.74 55.02 59.86 57.43

Kecernaan yang tinggi dari rumput Signal disebabkan karena tingginya

proporsi daun yang dimiliki. Bagian helai daun juga umumnya mempunyai

konsentrasi fraksi serat yang rendah, dan protein yang lebih tinggi, serta total

karbohidrat nonstruktural yang lebih tinggi, sehingga pada akhirnya kecernaannya

pun lebih tinggi dibanding bagian lain tanaman (Smith et al. 1986).

Lebih lanjut penelitian yang dilakukan oleh Chee dan Wong (1985) dalam

Fanindi dan Prawiradiputra (2005) meyebutkan bahwa kandungan kecernaan

bahan kering (KcBK) pada rumput Signal (intensitas cahaya 100%) adalah

mencapai 59.8%, dengan kompisis nutrisi adalah: protein kasar sebesar 10.6%,

nitrogen 1.69%, kalsium 1.30%, phospor 0.15%, Magnesium 0.19%, natrium

0.02%, dan kalium 1.35% (Tabel 2.).

Kecernaan bahan kering (KcBK) terendah diperoleh dari hasil penelitian

yang dilakukan oleh Gomariah (1986) dengan meggunakan sampel rumput Signal

(Brachiaria decumbens) yang diperoleh dari kebun koleksi rumput fakultas

Page 8: Kualitas Kecernaan Rumput Brachiaria Decumbens Yang Tumbuh Dibawah Naungan_Setiawan

8 Syah SP 2013

peternakan IPB (intensitas cahaya 100%) meggunakan metode in vitro. Hasil

KcBK yang diperoleh adalah sebesar 37.38% dengan kecepatan menyerap air

sebesar 113.7 ml/detik. Hasil KcBK yang diperoleh pada penelitian tersebut jauh

lebih rendah dari hasil pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 2. Kecernaan dan komposisi nutrisi rumput Signal (Brachiaria decumbens)

tanpa naungan.

Komponen Produksi/Kandungan Satuan

Protein Kasar (PK)a 10.6

Persen (%)

Nitrogen (N) a 1.69

Kalsium (Ca) a 0.30

Pospor (P) a 0.15

Magnesium a (Mg) 0.19

Kalium (K) a 1.35

Natrium (Na a) 0.02

KCBK a 59.8

Dilain sisi, penelitian yang dilakukan oleh Mansyur et al. (2008) yang

melakukan pengujian kecernaan pada rumput Signal yang tumbuh dibawah

Naungan pohon pisang. Kecernaan bahan kering dan bahan organik pada rumput

Signal meningkat sejalan dengan peningkatan umur tanaman (Gambar 1).

Kecernaan bahan kering (KcBK) pada rumput signal yang ternauni memiliki nilai

yang lebih tinggi (44.02%) jika dibandingkan dengan rumput Signal yang tidak

ternaungi (hasil penelitian Gomariah 1986) sebesar 37.38%, namun lebih rendah

dari hasil penelitian yang dilaporkan oleh Sitepu (2005) dan Chee dan Wong

(1985) dalam Fanindi dan Prawiradiputra (2005) dengan nilai berturut-turut

48.11% dan 59.8%.

Gambar 1. Kecernaan bahan kering dan bahan organik (in vitro) rumput

Signal pada berbagai umur pemotongan (Mansyur et al. 2008).

Page 9: Kualitas Kecernaan Rumput Brachiaria Decumbens Yang Tumbuh Dibawah Naungan_Setiawan

9 Syah SP 2013

Terdapat perbedaan anatara kecernaan bahan kering dan organik pada

rumput signal yang diperoleh di lapangan rumput dengan rumput signal yang

tumbuh dibawah naungan, dimana kecernaan rumput lebih tinggi dibawah

naungan pisang (44.02%) lebih tinggi dari di lapangan rumput (37.38%). Hal ini

berkaitan dengan kandungan fraksi serat (NDF, ADF), lignin, selulosa,

hemiselulosa. Rumput yang tumbuh pada daerah dengan intensitas cahaya

sempurna akan lebih pendek dan kekar dibandingkan yang mendapat naungan.

Hal ini diakibatkan karena tingkat lignifikasi dari rumput yang mendapat

intensitas cahaya matahari lebih tinggi dibandingkan dengan yang dibawah

naungan akibatnyadinding sel rumput akan semakin tebal dan keras, sehingga

rumput yang mendapat intensitas matahari sempurna (100%) kurang dapat

dicerna. Van Soest (1994) menyatakan bahwa kecernaan hijauan tanaman

tergantung pada dapat dicernanya dinding sel tanaman tersebut yang tercermin

pada tingkat lignifikasi Church dan Pond (1998) berpendapat bahwa terdapat

korelasi yang negatif antara kandungan lignin tanaman dengan kecernaannya. Hal

ini diperkuat oleh Flint dan Fosberg (1995) bahwa lignin yang terdapat pada

pakan akan mempengaruhi kecernaan organik.

Selain itu umur pemotongan juga mempengaruhi KcBK dan KcBO dari

rumput. Semakin tua umur pemotongan maka kadar KcBK akan semakin

menurun begitupula dengan KcBO yang dihasilkan. Hasil penelitian ini sama

dengan yang dilaporkan oleh Mansyur et al. (2005) kecernaan bahan kering

menurun sejalan dengan meningkatnya umur pemotongan. Begitu pula pada

kecernaan bahan organik, kecernaannya menurun sejalan dengan meningkatnya

umur pemotongan (Mansyur et al. 2005). Penurunan kecernaan bahan kering dan

bahan organik ini mempunyai hubungan yang jelas dengan terjadinya peningkatan

kandungan fraksi serat (NDF, neutral detergen fiber, dan ADF, acid detergen

fiber). Kandungan ADF dan NDF, lignin, selulosa, hemiselulosa, dan isi sel pada

rumput Signal yang tumbuh dibawah naungan pisang dapat dilihat pada Gambar 2

dan 3 (Mansyur 2007).

Page 10: Kualitas Kecernaan Rumput Brachiaria Decumbens Yang Tumbuh Dibawah Naungan_Setiawan

10 Syah SP 2013

Gambar 2. Kandungan Isi sel, hemiselulosa, selulosa, dan lignin dari hijauan

rumput signal yang ditanam dibawah nuangan kebun pisang

(Mansyur 2007).

Gambar 3. Kandungan NDF dan ADF hijauan rumput signal yang ditanam

dibawah nuangan kebun pisang (Mansyur 2007).

Pada Gambar 2 dan 3 terlihat bahwa semakin tua umur pemotongan rumput

Signal maka kandungan lignin, selulosa, dan hemiselulosanya meningkat,

begitupula dengan kadar ADF dan NDF-nya. Serat kasar terdiri dari selulosa,

hemiselulosa, lignin dan silika. Semakin tua hijauan pakan maka kandungan serat

kasarnya akan semakin tinggi (Tillman et al. 1991). Semakin tinggi kandungan

serat kasar dalam bahan pakan akan semakin tebal dan keras dinding selnya,

43.48 41.37 38.65 37.68

2.93.71 3.51

28.5328.57 30.51 30.13

23.8627.16 27.12 28.68

4.12

0%

20%

40%

60%

80%

100%

30 hari 40 hari 50 hari 60 hari

Umur pemotongan

Kan

dung

an b

agia

n se

l hija

uan

Lignin

Hemiselulosa

Selulosa

Isi sel

56.5258.62

61.34 62.31

27.9930.06 30.83

32.18

0

10

20

30

40

50

60

70

30 hari 40 hari 50 hari 60 hari

Umur Pemotongan

Ka

nd

un

ga

n (

%)

NDF ADF

Page 11: Kualitas Kecernaan Rumput Brachiaria Decumbens Yang Tumbuh Dibawah Naungan_Setiawan

11 Syah SP 2013

akibatnya daya cerna bahan pakan tersebut akan semakin rendah (Anggorodi

1990).

KESIMPULAN

Rumput Signal yang ditaman dibawah naungan memiliki kecernaan yang

lebihbaik dari pada rumput Signal yang tumbuh di lapangan karena rumput Signal

yang tumbuh di lapangan mendapat matahari sempurna yang menyebabkan

dinding sel tanaman lebih kuat dan keras yang ditunjukkan dengan tingginya

komposisi dinding sel seperti selulosa, hemiselulosa, lignin, ADF dan NDF.

DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi R. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta (ID): PT. Gramedia.

Bahar S. 2008. Produktivitas hijauan pakan untuk produksi sapi potong di

Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Sapi Potong 2008. Palu (ID):

Balai Pengkajian Teknologi Sulawesi Selatan. hlm 233-237.

Bulo D, Blair GJ, Stur and W, Till AR. 1994. Yield and digestibility of forages in

east Indonesia, AJAS 7(3):325-333.

Chozin MA, Haris A, Las I, Soepandie D. 1998. Karekteristik ekositem tanaman

sela padi gogo dengan tanaman karet. Prosiding Seminar Peningkatan

Produksi Padi Nasional, Bandar Lampung (ID): 1:449-454.

Church DC, Pond WG. 1998. Basic Animal Nutrition and Feeding. 3th

ed. New

York (US): John Willey and Sons.

Fanindi A, Prawiradiputra BR. 2005. Karakterisasi dan pemanfaatan rumput

Brachiaria Sp. Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak 2005, Bogor

(ID): Balai Penelitian Ternak, hlm 155-16.

Fick KR, Ammeram CB, Mc Gowen CK, Loggins FE, Ornell JA. 1979. Influence

of supplement energy and biuret nitrogent onn utilization low quality

roughage by sheep. J Anim Sci 36:137.

Flint HJ, Fosberg CW. 1995. Polysacharida degradation in the rumen :

biochemistry and genetic. In : Engelhsrdt Leeonhard EV, Marek S, Greves

G, Giesecke D (Eds) Ruminant physiologi : digestion metabolishm, growth

Page 12: Kualitas Kecernaan Rumput Brachiaria Decumbens Yang Tumbuh Dibawah Naungan_Setiawan

12 Syah SP 2013

and reproduction. Proceeding of the Eight International Symposium or

Ruminant Physiology. P. 43 – 63.

Gomariah E. 1986. Kecepatan penyerapan air sebagai penduga koefisien cerna

hijauan makanan ternak ruminansia [tesis]. Bogor (ID): Sekolah

Pascasarjana IPB.

Indonesia Trofical Forages. 2013. Hijauan Tropis. http://indonesia.tropicalforages.

info/key/Forages/Media/Html/Brachiaria_decumbens.htm. Diakses pada [20

Sep 2013].

Indrianingsih C. 2004. Pengaruh perbedaan lama penambahan cahaya terhadap

pertumbuhan vegetatif tanaman krisan (Chrysanthemum indicum Cv. Town

talk) [skripsi]. Semarang (ID): Fakultas Pertanian, Universitas Diponegoro.

Lubis DA. 1963. Ilmu Makanan Ternak. Jakarta (ID): Yayasan Pembagunan.

Mansyur, Djuned H, Dhalika T, Hardjosoewignyo S, Abdullah L, 2005. Pengaruh

interval pemotongan dan invasi gulma Chromolaena odorata terhadap

produksi dan kualitas rumput Brachiaria humidicola. Media Peternakan 28

(2): 77 – 85.

Mansyur, Djuned H, Indrani NP, Ana, Tarmidi R, Dhalika T. 2008. Kecernaan

Rumput Signal (Brachiaria decumbens) yang ditanam di naungan

perkebunan pisang pada berbagai umur pemotongan. Seminar National

Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bandung (ID): Fakultas Peternakan,

Universitas Padjadjaran.

Mansyur, Indrani NP, Dhalika T, Tarmidi AR. 2007. Pengaruh kedewasaan

terhadap isi sel, dan fraksi serat rumput Signal (Brachiaria decumbens)

yang ditanam di bawah naungan perkebunan pisang. Jurnal Protein

15(1):54-59.

Maynard LA, Loosli JK, Hinz HF, Warner KG. 1979. Animal Nutrition. 7th

ed.

New York (US): Tata McGraw-Hill Company. Inc.

Mc Donal P, Edwards RA, Greenhalgh JFD, Morgan CA. 1995. Animal Nutrition.

5th

ed. Singapore (SIN): Logman Singapore Publisher (Pte) Ltd.

Mullen BF, Shelton HM. 1995. Integration of ruminants into plantation system in

Southeast Asia. Aciar Proceedings 1994, Australia (AUS). hlm 5.

Nitis IM, Lana K, Sudana LB, Sutji N. 1992. Pengaruh klasifikasi wilayah

terhadap komposisi botani hijauan yang diberikan pada kambing di Bali di

waktu musim kemerau. Prosiding Seminar Penelitian Peternakan, Bogor

(ID).

Page 13: Kualitas Kecernaan Rumput Brachiaria Decumbens Yang Tumbuh Dibawah Naungan_Setiawan

13 Syah SP 2013

Prawiradiputra BR, Sutedi E, Sajimin, Fanindi A. 2012. Hijauan Pakan Ternak

untuk Lahan Sub-Optimal. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Bogor (ID): IAARD Press.

Ranjhan SK, Pathak NN. 1979. Management and Feeding of Bufalloes. New

Delhi (IND): Vikas Publishing Hausa PVT Ltd.

Sallisbury FB, Ross CW. 1992. Plant Physiology. California (US): Wadsworth

Publishing.

Shelton HM, Humphreys LR, Batello, Caterina. 1987. Pastures in the plantations

of Asia and the Pacific: Performance and prospect. Tropical Grasslands

21:159-168.

Sirait J. 2006. Dinamika nitrogen dan produksi rumput Benggala (Panicum

maximum Cv Riversdale) pada tiga taraf naungan dan pemupukan. Seminar

Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006, Galang (ID) :Loka

Penelitian Kambing Potong. hlm 958-966.

Siregar ME, Djajanegara A, Harahap MH. 1973. Pengaruh tingkat pemupukan

TSP terhadap produksi segar rumput Setaria sp. Hacelata, Brachiaria

brizantha dan Digitaria decumbens. Buletin L.P.P. Bogor (ID): 11:1-7.

Sitepu H. 2005. Produksi dan kecernaan rumput unggul hasil poliploidasi akibat

pemupukan fosfor pada kondisi tercekam aluminium [tesis]. Semarang (ID):

Program Pascasarjana, Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro.

Smith D,Bulla RJ,Walgenbach RP. 1986. Forage Management. 5th

ed. Dubuque –

Iowa (US): Kendall/Hunt Publishing Company.

Suryowinoto M. 1988. Budidaya tanaman anggrek. Lab. Budidaya Jaringan.

Penelitian dan Pengembangan Anggrek. Jogjakarta (ID): Fakultas Biologi

UGM. hlm 22.

Susetyo SI, Kismono I, Suwandi B. 1981. Hijauan Makanan Ternak. Jakarta (ID):

Jendral Departemen Pertanian.

Sutardi. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi I. Bogor (ID): Departemen Ilmu Makanan

Ternak, Fakultas Peternakan, IPB.

Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekojo S.

1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. ed 5. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada

University Press.

Van Soest PJ. 1994. Nutrional Ecology of the Ruminant. 2nd

ed. Itacha and

London (ENG): Comstock Publishing Associates Cornell University Press.