kuliah umum bagaimana arkeolog berpikir dan bekerja

27
BAGAIMANA ARKEOLOG BERPIKIR DAN BEKERJA 1 Mundardjito 2 1. Pengantar Kenyataan menunjukkan bahwa hingga kini banyak museum di berbagai bagian dunia menyimpan sejumlah artefak yang dalam daftar koleksi biasa disebut ‘unidentified’ atau tidak dapat diidentifikasi. Hal ini mungkin disebabkan antara lain: (1) bendanya tidak utuh dan fragmentaris, sehinggakita tidak dapat memperkirakan bentuk utuhnya; (2) bendanya utuh, tetapi kita tidak mengenalnya, karena kurangnya pengetahuan mengenai keanekaragaman artefak yang dibuat masyarakat masa lalu. Akibatnya kita tidak dapat menjawab pertanyaan sederhana antara lain seperti benda apakah itu, digunakan untuk apa, bagaimana dibuatnya, peralatan dan perlengkapan apa yang diperlukan dan bagaimana digunakannya. Pengalaman semacam ini tidak hanya terdapat di museum, tetapi juga di lapangan ketika arkeolog harus berupaya mengenali benda yang tidak dikenal dan mendeskripsikannya. Meskipun telah dikumpulkan temuan artefak dalam jumlah cukup besar dan beberapa di antaranya masih ada yang utuh, namun jika hanya menggunakan metode analisis spesifik (specific analysis) terhadap ciri-ciri fisiknya,dan dengan metode analisis konteks dari artefaknya (contextual analysis), dalam kenyataanya arkeolog 1 Makalah untuk Kuliah Umum Bagaimana Arkeolog Berpikir dan Bekerja, Serambi Salihara, 21 Januari 2014, 19:00 WIB. Sebagian dari makalah ini dikutip dari makalah "Wadah Pelebur Logam dari Ekskavasi Banten 1976", yang disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi I, Jakarta, 1977. Makalah ini tidak disunting. 2 Mundardjito adalah arkeolog yang telah melakukan sejumlah penelitian arkeologi di Indonesia, di antaranya mengenai situs kerajaan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur, dan Candi Muaro Jambi. Ia juga menulis sejumlah artikel dan buku tentang arkeologi, di antaranya, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Sistem dan Teknologi (2009) dan Pertimbangan Ekologis Penempatan Situs Masa Hindu-Buddha di Daerah Yogyakarta (2002). 1

Upload: vuongdiep

Post on 31-Dec-2016

316 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kuliah Umum Bagaimana Arkeolog Berpikir dan Bekerja

BAGAIMANA ARKEOLOG BERPIKIR DAN BEKERJA1

Mundardjito2

1. Pengantar

Kenyataan menunjukkan bahwa hingga kini banyak museum di berbagai bagian dunia menyimpan sejumlah artefak yang dalam daftar koleksi biasa disebut ‘unidentified’ atau tidak dapat diidentifikasi. Hal ini mungkin disebabkan antara lain: (1) bendanya tidak utuh dan fragmentaris, sehinggakita tidak dapat memperkirakan bentuk utuhnya; (2) bendanya utuh, tetapi kita tidak mengenalnya, karena kurangnya pengetahuan mengenai keanekaragaman artefak yang dibuat masyarakat masa lalu. Akibatnya kita tidak dapat menjawab pertanyaan sederhana antara lain seperti benda apakah itu, digunakan untuk apa, bagaimana dibuatnya, peralatan dan perlengkapan apa yang diperlukan dan bagaimana digunakannya. Pengalaman semacam ini tidak hanya terdapat di museum, tetapi juga di lapangan ketika arkeolog harus berupaya mengenali benda yang tidak dikenal dan mendeskripsikannya.

Meskipun telah dikumpulkan temuan artefak dalam jumlah cukup besar dan beberapa di antaranya masih ada yang utuh, namun jika hanya menggunakan metode analisis spesifik (specific analysis) terhadap ciri-ciri fisiknya,dan dengan metode analisis konteks dari artefaknya (contextual analysis), dalam kenyataanya arkeolog tidak berhasil mendapatkan keterangan yang dapat diyakini.Baru setelah menggunakan metodeanalogi etnografi (ethnographical analogy) di beberapa tempat yang masih mempunyai artefak yang tak dikenal itu, danmetode eksperimen peniruan (imitative experiment), baik yang dilakukan di tempat pembuatan gamelan di Tihingan (Bali) maupun di laboratorium3, hasilnya cukup memuaskan.

2. Artefak Tak Dikenal

Dalam ekskavasi tahun 1976 di situs Banten Lama ditemukan 762 artefak (di antara keseluruhan 40.000 temuan) yang bentuknya belum pernah dikenal oleh para arkeolog yang menggali ketika itu.Jenis artefakini pertama kali ditemukan dalam bentuk pecahan dalam survei-permukaan beberapa hari sebelum ekskavasi dimulai.Temuan ini mudah sekali diamati dan amat mencolok di sela-sela gumpalan tanah ladang penduduk karena warnanya yang merah dan berkilau.Selain itu ditemukanpula partikel-partikel dari bahan tembaga atau perunggu yang

1Makalah untuk Kuliah Umum Bagaimana Arkeolog Berpikir dan Bekerja, Serambi Salihara, 21 Januari 2014, 19:00 WIB. Sebagian dari makalah ini dikutip dari makalah "Wadah Pelebur Logam dari Ekskavasi Banten 1976", yang disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi I, Jakarta, 1977. Makalah ini tidak disunting.

2Mundardjito adalah arkeolog yang telah melakukan sejumlah penelitian arkeologi di Indonesia, di antaranya mengenai situs kerajaan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur, dan Candi Muaro Jambi. Ia juga menulis sejumlah artikel dan buku tentang arkeologi, di antaranya, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Sistem dan Teknologi (2009) dan Pertimbangan Ekologis Penempatan Situs Masa Hindu-Buddha di Daerah Yogyakarta (2002).

3Percobaan-peniruan telah dilakukan oleh Sdr. Samidi, Kepala Sektor Kemiko Arkeologi, dan pemeriksaan laboratoris dikerjakan oleh anggota staf pada Laboratorium Kemiko Arkeologi, Proyek Pemugaran Candi Borobudur (Laporan Khusus nomor 618/E.2/BB.1976).

1

Page 2: Kuliah Umum Bagaimana Arkeolog Berpikir dan Bekerja

berwarna hijau cerah bersama-sama butir-butir arang berwarna hitam pekat.Daerah sebarannya di situs Sukadiri (SKD), kira-kira 300 meter di sebelah baratdaya Mesjid Agung Banten atau di sebelah barat Keraton Surosowan.Dari hasil penggalian dapat dikumpulkan 762 pecahan dan utuhan berupa wadah dari tanah liat sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Sebaran Temuan Wadah X di Kotak Gali

No. Kotak Gali Pecahan Utuh Jumlah01. SKD VII 343 6 34902. SKD XIII 227 9 23603. SKD VI 140 2 14204. SKD V 28 1 2905. SKD XII 5 0 506. SKD XV 1 0 107. SKD IX 0 0 008. SKD XIV 0 0 0

Jumlah 744 18 762

3. Analisis Bentuk

Pada tahap pertama, artefak tersebut dianalisis ciri-ciri khususnya berdasarkan metode specific analysissehingga dapat diperoleh keterangan rinci mengenai wujudnya yaitu: berupa wadah atau cawan-dalam, terbuat dari bahan utama tanah liat dengan campuran sekam padi, dan tingginya antara 10--14 cm.Dindingnya relatif tebal (terutama jika dibandingkan dengan ketebalan wadah tembikar yang biasa ditemukan), dan permukaan keseluruhandinding-luarnya tidak rata melainkanberceruk-ceruk kecil (amorf), berlapisan lelehan cairan mineral yang telah

2

Page 3: Kuliah Umum Bagaimana Arkeolog Berpikir dan Bekerja

membeku, berwarna merah tua campur hitam, dan mengkilap. Pada tepian wadah (rim)4 terdapat ‘mulut wadah’ atau saluran (bhs. Jawa, cucuk) yang terbuka.Berseberangan dengan itu terdapat satu tonjolan semacam pegangan wadah.Bagian dasar wadah tidak rata, sehingga tidak mungkin dapat diberdirikan pada tempat yang datar.Pada semua dasar wadah terdapat bekuan mineral yang melelehatau menggantung seperti stalagmitdan meruncing.Berbeda dengan dinding luar, pada permukaan dinding bagian dalamwadah warnanya kehitamandan permukaannya relatif rata, kecuali di beberapa tempat terlihattanda-tanda yang diduga bekas tekanan jari-jari tangan pembuatnya.

Ditilik dari bentuknya yang cekung seperti gelas, dapat diduga bahwa wadah ini dipakai untuk menempatkan benda cair.Kegunaan benda ini makin jelas karena pada tepian wadah terdapat sebuah saluran penuang cairan dan juga semacam pegangan yang diduga untuk memudahkan pelaksanaan penuangan itu.Selain itu karena wadah ini terdiri atas beberapa ukuran (yaitu (1) tipe besar, berukuran tinggi 20 cm, diameter 15 cm, dan tebal 3 cm; (2) tipe sedang, berukuran 15, 10, dan 2 cm; dan (3) tipe kecil, berukuran 15, 8, dan 1 cm), maka kita dapat menduganya bahwa wadah ini digunakan untuk cairan dalam volume yang berbeda-benda pula. Fungsinya mungkin semacam

gelas-ukur di laboratorium.Tanda-tanda bekas terbakar yang terdapat pada dinding luar dan dinding dalam wadah seringkali juga dijumpaiarang yang menempel pada badannya.Wadah ini mungkin digunakan untuk mendidihkan benda cair pada tungku semacam perapian.Bentuk tungku ini harus sedemikian rupa sehingga wadah ini dapat berdiri tegak, mengingat dasar wadah berbentuk cembung dan sering merupakan tempat berkumpulnya bekuan bahan cairan tertentu.Hampir seluruh badan wadah dilapisi bahan cairan panas yang kemudian membeku dan membentuk kerut-kerut, ceruk-ceruk, dan tonjolan-tonjolan yang amat tidak teratur.Lapisan luar yang terdapat pada permukaan badan wadah ini lebih banyak menunjukkan warna merah tua dan berkilau jika kena cahaya, serta di beberapa tempat seringkali berwarna hijau kehitaman.

Dari sudut teknik pembuatannya dapat diamati bahwa wadah itu dibentuk dengan tangan (hand moulding), tidak dengan teknik roda-putar (turntable)5. Kesimpulan ini didasarkan atas: (1) permukaan dinding-dalam yang berlekuk-lekuk atau bergelombang menunjukkan lekukan bekas tekanan oleh jari tangan pembuatnya; (2) permukaan dinding-dalam tidak menampakkan pola garis-garis sejajar bekas putaran roda-putar (striation), dan tidak konsentris jika dilihat dari keseluruhan bentuk wadah. Dari permukaan dinding-dalam dapat pula diamati bahwa dalam proses pembuatannya tidak menggunakan pelandas (anvil) dan alat tatap (paddle) untuk memadatkan keseluruhan badan wadah. Dinding wadah yang dibuat tebal dan banyak pori memungkinkan daya muainya lebih lentur yang dibutuhkan pada saat wadah berada dalam proses pemanasan tinggi ketika dalam proses meleburkan logam. Kesimpulannya situs SKD VII

4Istilah ‘tepian’ adalah pengganti istilah rim (bhs. Inggris) seperti disebut dalam kamus arkeologi; dan kami bedakan dengan istilah ‘bibir’ untuk mengganti kata lip (bhs.Inggris) yang juga dikenal dalam terminologi pottery.5Istilah "roda putar" mungkin dirasakan kurang tepat, sama halnya dengan istilah yang juga kurang tepat: potter's wheel, tetapi amat umum digunakan di kalangan arkeolog. Dalam kepustakaan arkeologi dikenal pula tournette, selain turntable.Sementara istilah lokalnya (Jawa atau Sunda) ialah perabot atau perbot.

3

Page 4: Kuliah Umum Bagaimana Arkeolog Berpikir dan Bekerja

adalah bengkel kerja pandai logam, di mana dahulu dilakukan pekerjaan pandai-tempa maupun pandai-tuang.

Semua keterangan tersebut di atas membawa kita kepada anggapan bahwa wadah yang volumenya berbeda itu dipakai untuk memanaskan cairan berwarna merah dan diletakkan di atas perapian penuh dengan arang.Bekuan warna merah yang meleleh dan menempel pada dinding luar mungkin merupakan limpahan cairan merah dari dalam wadah pada saat pemanasan dilakukan.Berdasarkan peta Serrurier tahun 19006, situs yang digali bisa termasuk daerah Pajantran (tempat membuat kain tenun), tetapi bisa juga termasuk daerah Kapandean (tempat pembuatan alat logam).

4. Analisis Konteks

Pada tahap kedua, analisis wadah diarahkan pada konteksnya (contextual analysis) dengan memperhatikan hubungan wadah-wadah itu dengan temuan-temuan lainnya.Kedekatan hubungan antartemuan itu dapat dijadikan bahan interpretasi fungsi wadah itu.Himpunan temuan7

yang menghasilkan keterangantentang fungsinya itu terletak di kotak-gali SKD VII yang terdiri dari konsentrasi wadah, struktur lantai bata seluas kira-kira 2 x 2 meter, satu hamparan cairan perunggu yang membeku sekitar 1.5 x 0.5 meter, sejumlah besar partikel perunggu, benda-benda kerak besi dan kerak perunggu8, fragmen alat-alat besi, dan lain-lain. Semua artefak itu ditemukan dalam kotak-gali yang tanahnya gembur, berwarna kehitaman bercampur arang kayu dan bambu.

Keberadaan wadah-wadah itu dalam konteks bersama struktur bata berbentuk tungku, hamparan perunggu, kerak logam, fragmen alat besi dan tanahnya yang hitam, agaknya memberi petunjuk yang jelas bahwa wadah itu terkait erat dengan kegiatan pengerjaan benda logam. Jadi jika harus dijatuhkan pilihan, maka kita akan cenderung memilih hubungannya dengan kegiatan memandai logam di Kapandean daripada dengan kegiatan menenun di Pajantran. Melalui dua macam analisis yaitu analisis spesifik dan analisis-konteks, kita dapat menarik kesimpulan bahwa situs SKD VII pada khususnya adalah lokasi bengkel kerja para pandai logam, baikpandai-tempa maupun pandai-tuang.

6Lihat Peta sketsa Banten Lama yang dibuat oleh K. Serrurier, TBG, XLV, 1902.7Himpunan temuan atau himpunan adalah istilah yang diberikan untuk pengertian assemblage, sedangkan untuk istilah aggregatediganti menjadi kumpulan temuan atau kumpulan (Lihat Childe 1956:31).8‘Kerak besi’adalah terjemahan dari kata ‘iron-slag’, sedangkan kerak perunggu untuk istilah bronze-slag. Ciri-cirinya ialah: berbentuk gumpalan tidak teratur sampai sebesar kepal tangan, permukaannya tidak rata, banyak lekukan dan lubang pori-pori, berwarna coklat kekuning-kuningan karena berkarat, di beberapa tempat kelihatan ada arang, bagian dalam berwarna antara abu-abu sampai hitam, timbangannya berat. Orang sering mengumpulkannya untuk campuran bahan bangunan, atau meleburnya lagi jika kadar besi atau perunggunya masih cukup banyak. Bagi arkeologi, ini penting diperhatikan karena benda-benda sisa pengerjaan logam ini menjadi salah satu indikator penting untuk mengetahui jenis situs (yaitu situs perbengkelan), jenis komunitas (yaitu komunitas industri), dan lain-lain. Kerak besi ditemukan juga di situs Bukit Patenggeng, Subang (Mundardjito dkk. 1973:33--34), di situs Ratu Baka (Teguh Asmar dkk. 1973:33), di situs Bowongan (Laporan Penataran Metode Arkeologi 1976:66), di situs Pasir Pasarean di dataran tinggi Bandung (benda-bendanya dipamerkan di Museum Geologi Bandung), dan di situs halaman bawah Candi Borobudur sebelah baratdaya.

4

Page 5: Kuliah Umum Bagaimana Arkeolog Berpikir dan Bekerja

5. Analogi Etnografi

Pada tahap ketiga, fokus perhatian diarahkan pada kegiatan di tempat-tempat pembuatan benda logam dari perunggu atau besi secara tradisional (terutama di Bogor dan di Bali) untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang cara membuat benda logam, jumlah dan jenis peralatan membuat benda, perlengkapan bahan yang diperlukan, jumlah dan jenis limbah produksi dan sebagainya. Hasil pengamatan dan wawancara dengan para pembuat benda logam di Tihingan (Bali) dapat digunakan untuk menambah bahaninterpretasi berdasarkan metode analogi etnografi (ethnographical analogy) terhadap hasil ekskavasi di Banten.Disadari bahwapenerapan cara kerja ini hanya dapat dilakukan pada daerah-daerah tertentu, di mana berbagai kebiasaan dan tingkah laku komunitimasih memroduksi barang-barang logam secara tradisional.

Sampai di sini diperoleh kesimpulan bahwa wadah pelebur Banten itu dipakai untuk tempat melebur tembaga campur timah dalam proses menghasilkan alat musik gamelan dari perunggu. Berdasarkan peta Serrurier tahun 1900, situs yang digali para peneliti bisa termasuk daerah Pajantran (tempat membuat kain tenun), tetapi bisa juga termasuk daerah Kapandean (tempat pembuatan alat logam).Jika temuan wadah ini dikaitkan dengan lokasi yang dikenal masyarakat bernama Pajantran, maka kita dapat menduga bahwa wadah-wadah ini digunakan untuk memasak cairan tertentu guna memberi warna kain tenun yang diproduksi di daerah ini.Dengan demikian warna merah pada dinding wadah adalah tumpahan benda cair dari dalam. Tetapi pendapat ini menimbulkan pertanyaan berikutnya: apakah semua kain tenun yang dikerjakan di sini hanya menggunakanbahan pewarna merah.Sebaliknya jika wadah itu dikaitkan dengan dengan Kapandean, kita dapat manafsirkan bahwa wadah tersebut dimaksudkan untuk mencairkan logam. Jenis logam apa yang membuat warna merah pada dinding luarnya dan mengapa pada dinding dalam tidak berwarna serupa itu, semua ini adalah pertanyaan yang mungkin dapat dijawab melalui analisis-khusus di laboratorium. Namun, dari data analisis-kontekstual sebagaimana yang akandiuraikan di bawah nanti, para arkeolog cenderung menjatuhkan pada pilihan kedua.

Menyadari masih kurangnya informasi untuk menafsirkan wadah dari Banten, maka peneliti mengamati satu bengkel kerja yang dimiliki dan dipimpin oleh Sukarna. Diberitakan bahwa bengkel Sukarna di Pancasan (Bogor) merupakan satu-satunya tempat di Jawa Barat yang masih membuat instrumen musik gong dan alat gamelan lain.9Di tempat inilah dapat dilihat proses pembuatan gong dari mulai saat melebur dan mencampur tembaga dengan timah di dalam wadah yang disebut kowi, mencetaknya dalam cetakan dari tanah liat, menempanya setelah dipanaskan dalam bara api, sampai terbentuk sebuah gong berdiameter 90 cm. Yang penting ialah di sini dapat dilihat sejumlah wadah pelebur logam yang sudah tidak dapat dipakai lagi, tergeletak dan terlena di sudut-sudut bengkel. Beberapa di antaranya masih utuh, tetapi kebanyakan sudah pecah.Seluruh situasi dapat direkam dengan mudah karena keterbukaan

9Menurut Isobel Shaw pada tahun 1945 ada 20 ahli pembuat gong yang bekerja di Jawa Barat.Dikatakannya juga bahwa sekarang hanya tinggal dua yang giat bekerja di seluruh Jawa, yaitu Bpk. Resowiguno di Solo dan Bpk. Sukarna di Bogor.

5

Page 6: Kuliah Umum Bagaimana Arkeolog Berpikir dan Bekerja

pemilik yang mempunyai keahlian turun-temurun.10

Di tempat ini dapat dilihat konteks dari wadah pelebur logam dengan amat jelas, serta fungsinya di dalam seluruh kegiatan. Konteks itu ialah: (1) sebaran arang di seluruh ruangan sehingga lantai tanah berwarna hitam, (2) tempat-tempat perapian berbentuk cekungan-cekungan di lantai tanah dalam berbagai ukuran dan penuh terisi arang dan abu, (3) bak air untuk mendinginkan logam membara yang sedang dalam proses pembentukan, (4) batu pipih pada lantai tanah untuk digunakan sebagai landasan penempaan, (5) alat penghembus udara dari kulit kambing (skin bellows)11 yang diperlengkapi dengan pipa saluran angin, (6) cetakan-cetakan terbuat dari tanah liat dalam berbagai bentuk dan ukuran, (7) alat-alat dari besi, seperti bermacam-macam palu bergagang kayu yang mempunyai guna dan nama sendiri, berbagai bentuk alat pencapit, serta alat-alat pencungkil bergagang kayu dengan ukuran panjangnya antara 1 sampai 2 meter. Para peneliti diberi kesempatan khusus untuk melihat bahan perunggu yang dilebur dalam wadah di atas tumpukan arang di perapian yang memungkinkan wadah yang dasarnya tidak rata dapat berdiri tegak.Hal yang belum mendapat jawaban ialah mengapa permukaan dinding-luar wadah berkerut-kerut setelah digunakan dengan suhu tinggi,sedangkan dinding bagian dalam tidak demikian.

Meskipun sekarang makin menjadi jelas fungsi dari wadah yang semula dianggap ‘unidentified’, namun masih ada beberapa soal yang perlu mendapat jawaban. Pengamatan berikutnya dilakukan di desa Tihingan, dekat Klungkung, kira-kira 40 kilometer dari Denpasar, Bali.Tihingan dikenal sebagai satu-satunya desa di Bali yang masih giat membuat alat-alat musik gamelan. Menurut I Wayan Sandia12, di desa ini terdapat 20 rumah yang memiliki tungku atau perapen; 4 buah di antaranya merupakan perapen besar yang dapat membuat satu set lengkap gamelan Bali. Terdapat 25 orang ahli, termasuk Wayan Sandia, 75 orang setengah atau kurang ahli, dan kira-kira 100 orang pembantu tukang. Pengamatan langsung dilakukan di sebuah perapen besar, satu perapen kecil yang sedang bekerja, satu perapen kecil yang sedang tidak bekerja13, dan sebuah perapen kecil yang diminta khusus untuk membuatkan wadah pelebur 10Menurut Sukarna sendiri, yang mendapat pengetahuan dari ayahnya (almarhum), anaknya tidak berkeinginan melanjutkan pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus ini.Dengan demikian Sukarna adalah ahli pembuat gong yang terakhir di wilayah Jawa Barat.11Kalau di Bogor orang menggunakan kulit kambing utuh untuk alat penghembus udara ke dalam perapian (skin bellows), di Tihingan, seperti juga yang ada di Jawa dan Sumatera, menggunakan sepasang batang pohon kayu berbentuk silindrik (cylinder bellows). Masih ada satu bentuk lagi yang disebut drum bellows, seperti dikemukakan oleh Henry Hodges (1971b:67--68).12I Wayan Sandia adalah seorang ahli yang cukup berpengaruh di desa itu, sudah lebih dari 15 tahun bekerja.Ia pernah menemui ayah dari Sukarna di Bogor untuk memperoleh pengetahuan mencampur timah dan tembaga menjadi perunggu, sedangkan kunjungannya ke Sumatera ialah untuk melaras gong. Umumnya pada usia 50 tahun, mereka sudah tidak bekerja lagi, karena keadaan kesehatan amat menurun. Keluhan yang paling utama ialah sakit dada dan sakit mata. Kedua penyakit ini mungkin disebabkan karena aktivitas menempa dengan palu-palu besar sambil membungkuk dan sinar api dari arang dan perunggu membara yang amat menyilaukan mata. Anjuran untuk menggunakan kacamata hitam pada waktu bekerja tidak diperhatikan, karena alasan dengan kacamata hitam mereka tidak dapat melihat warna api dan logam membara secara tepat. Justru warna api ini yang menjadi petunjuk apakah proses menempa masih harus dilanjutkan atau berhenti, untuk kemudian dibakar lagi dalam perapian.13Selain melihat kegiatan bekerja, yang tentu juga bermanfaat, arkeolog sering merasa lebih bermanfaat untuk melakukan pengamatan sendiri secara langsung terhadap sisa-sisa kegiatan para pekerja.Pengamatan atas sisa-sisa yang tidak bergerak ini (fossilized behavior) tak ubahnya seperti ahli arkeologi mengamati situs arkeologi yang sedang ditelitinya.Seringkali jika wawancara dilakukan, arkeolog dapat terpengaruh oleh keterangan dari wawancara

6

Page 7: Kuliah Umum Bagaimana Arkeolog Berpikir dan Bekerja

logam yang dibuat dari tanah liat sampai kepada tahap peleburan di dalam tungku dan penuangan cairan perunggu ke dalam dalam cetakan14. Seperti juga di bengkel kerja Sukarna di Bogor, pada umumnyaserupa

dengan di Tihingan. Tebaran arang ada di mana-mana, tempat perapian lebih dari satu,15 bak air pendingin logam yang membara, batu pelandas tempa berbentuk persegi panjang, alat penghembus udara (ububan),16 cetakan-cetakan yang mencetak alat-alat musik dari berbagai

ukuran, serta beraneka bentuk dan ukuran peralatan tempa, capit dan cukil.17Dan sudah tentu yang paling penting ialah sejumlah wadah pelebur logam yang sudah dipakai melebur, dalam bentuk utuh atau pecahan, bertebaran di sudut-sudut ruangan, bertumpuk di dekat tungku, 18 atau di tempat pembuangan sampah.

Pertanyaan mengenai apa sebabnya terdapat hamparan perunggu di SKD VII, agaknya dapat terjawab oleh kenyataan-kenyataan yang sering dialami para pandai di Tihingan. Jika pada proses sedang melebur logam, musa di dalam tungku pecah, maka cairan perunggu akan tertumpah ke dasar tungku atau perapen dan akan membentuk hamparan perunggu. Itulah sebabnya para pandai di Tihingan membuat konstruksi tungku sedemikian rupa terbuka pada dindingnya sehingga cairan perunggu yang tertumpah dapat diambil lagi.itu.14Orang yang membuat wadah pelebur ialah Bpk. Sukerti, yang bekerja pada seorang ahli bernama Pan Perapti.Para pelebur perunggu adalah Made Degdeg dan Nyoman Sumerta.Sementara itu yang menjalankan ububan adalah Ktut Sumanti dan Wayan Puniasiti.15Banyak perapen yang mempunyai ububan lebih dari satu.Dalam prasasti Jawa Kuno dinyatakan bahwa seorang pandai logam yang memiliki ububan lebih dari tiga pasang, harus membayar pajak (Buchari 1976:7).16Semua perapen di desa ini menggunakan ububan tipe silinder (Lihat catatan nomor 22).17I Wayan Sandia memiliki alat-alat tidak kurang dari 30 macam.18Tungku di Tihingan merupakan satu bangunan struktur, yang dibuat sedemikian rupa sehingga bahan bakar arang dapat dihemat.Sementara itu tungku di Borobudur hanya berbentuk sebuah cekungan lebar dengan garis tengah sampai 2 meter dan seluruh cekungan ditimbuni arang bakar.

7

Page 8: Kuliah Umum Bagaimana Arkeolog Berpikir dan Bekerja

Para peneliti telah melihat sendiri bagaimana wadah pelebur logam atau musa (bhs Bali) di Tihingan dibuat.Bahannya hanya terdiri dari tanah liat dan kulit padi yang telah dibakar.Setelah kedua bahan itu dicampur hingga padu, mulailah bahan campuran itu dibentuk dengan tangan,19 hingga membentuk musa.Wadah pelebur logam ini yang masih basah ini kemudian dianginkan di bawah atap rumah supaya musa menjadi agak kering (istilah bhs. Inggris: hard leather). Sesudah itu dijemur di halaman rumah di bawah terik matahari. Selanjutnya musa diletakkan di dekat tungku api beberapa waktu lamanya, sehingga dianggap cukup kering dan cukup tahan untuk dipakai melebur perunggu dengan panas bersuhu tinggi (kira-kira 1.100o C). Setelah dipakai melebur ternyata dinding-luar musa menjadi berkerut-kerut dan berwarna merah kilap kaca, sedangkan dinding dalamnya tidak demikian, hanya berwarna agak merah kehitaman saja.Semua data ini tentu amat bermanfaat untuk interpretasi wadah yang sebelumnya tidak dikenal. Yang belum dapat dimengerti oleh para peneliti ialah mengapa permukaan dinding luar menjadi berkerut-kerut, padahal tidak ada bahan apapun yang dilapiskan pada dinding-luarnya. Pengamatan terus-menerus selama proses peleburan sama sekali tidak menunjukkan adanya luapan cairan perunggu, yang semula diduga menyebabkan keadaan fisik musa yang berkerut-kerut itu.

6. Analogi Eksperimental

Menyadari perlunya penjelasan ilmiah mengenai hal ini, maka sampel Tihingan dikirim ke laboratorium di Candi Borobudur disertai dengan berbagai data dan sejumlah pertanyaan.Pertanyaan-pertanyaan ini diajukan sedemikian rupa sehingga maksudnya mudah diketahui oleh para spesialis yang bukan arkeolog. Dan data yang diharapkan akan dapat diperoleh ialah yang mungkin dapat digiring kepada masalah-masalah yang dihadapi. Demikianlah suatu percobaan-peniruan (imitative experiment) diselenggarakan sebagai bahan interpretasi, khususnya untuk ‘kowi’ Banten.

Pertimbangan teoritis untuk menggunakan metode ini sama seperti analogi-etnografi, yaitu uniformitarianism. Dengan cara seakan-akan melakukan kegiatan seperti manusia pada masa lalu, maka dapatlah diamati gejala-gejala tertentu. Demikian misalnya Iversen, mengadakan percobaan-peniruan dengan menggunakan kapak batu untuk memotong sebatang pohon,20

Outwater mencoba memotong dan menyerut kayu dengan alat batu yang lebih kecil21, melubangi manik-manik batu oleh Haury22, menggali dengan alat batu oleh Sonnenfeld,23 atau mengadakan eksperimen untuk melihat perbedaan antara batu hasil tingkah laku manusia dengan hasil kegiatan alam oleh Harner.24 Demikian pula telah dilakukan peniruan membakar barang tanah

19Di Bali teknik pembuatan musa dengan tangan disebut calcalan.20Lihat Iversen 1959.21Lihat Outwater 1957.22Periksa artikel Haury 1931.23Periksa artikel Sonnenfeld 1962.

8

Page 9: Kuliah Umum Bagaimana Arkeolog Berpikir dan Bekerja

liat oleh Mayes,25 menggunakan tungku tanah liat oleh O'Kelly,26 menggambar lukisan pada dinding gua untuk menghasilkan garis-garis dan warna di permukaannya oleh Johnson,27 sampai kepada suatu eksperimen peniruan terkenal yang dilakukan oleh sarjana Heyerdhal untuk menirukan kemampuan orang masa lalu berlayar dari Amerika Selatan ke Polynesia.28

Percobaan-peniruan disertai dengan pemeriksaan laboratoris terhadap sampel Tihingan yang diselenggarakan oleh laboratorium kemiko-arkeologi di Candi Borobudur, telah menghasilkan data sebagai berikut:

1 Guna memenuhi titik lebur perunggu (sekitar 1.100o C), wadah pelebur harus dipanaskan lebih tinggi, sekurang-kurangnya 100o C lebih; ini berarti suhu api di luar wadah lebih panas daripada di dalam wadah.

2 Dalam proses peleburan perunggu, unsur mineral dalam wadah yaitu besi (Fe) dan kaca (Si) akan ikut mencair, tetapi hal itu hanya terjadi pada dinding-luar saja.

3 Setelah pemanasan berhenti, cairan Fe dan Si akan membeku dan membentuk sejumlah benjolan (amorf) dan beberapa retakan kecil pada dinding-luar wadah karena perubahan suhu yang mendadak.

4 Warna merah-tua kehijauan pada dinding-luar disebabkan karena oksidasi dari Fe, sedangkan kilap kaca yang tembus cahaya disebabkan karena silikanya.

5 Suhu di dalam wadah tidak sepanas di luar, karena itu unsur mineral wadah tidak ikut mencair, sehingga meskipun sama-sama mengalami perubahan temperatur yang mendadak, tetapi tidak menghasilkan benjolan merah kilap kaca pada dinding-dalam wadah.

6 Selain dari faktor ekonomis yang tidak diinginkan, cairan perunggu tidak akan tumpah karena pemanasan tidak akan mencapai titik didihnya, yaitu 2.336o C, tetapi cukup dapat melebur Fe yang titik-leburnya 1.535o C dan titik-lebur Si 1.414o C.

Pertimbangan teoritis yang melandasi penggunaan analogi-etnografi dalam interpretasi arkeologi sebagaimana dikemukakan di atas telah menarik perhatian para ahli arkeologi dan antropologi sejak 50 tahun terakhir ini.29Landasan konsepsional dari penggunaan persejajaran ini ialah pandangan uniformitarianism dari gejala-gejala alam dan tingkah laku manusia.30Gejala alam pada masa lalu yang berkenaan dengan stratifikasi tanah, erosi, gerakan tektonis dan sebagainya, dapat ditafsirkan melalui studi mengenai gejala-gejala serupa pada masa kini.Tingkah laku manusia dalam penciptaan dan penggunaan sistem peralatan untuk

24Lihat artikel Harner 1956.25Periksa karangan Mayes 1961 dan 1962.26Lihat artikel O'Kelley 1954.27Periksa artikel Johnson 1957.28Lihat artikel Heyerdhal, 1950.29 Lihat karangan-karangan Robert Ascher 1961 dan 1962; Lewis R. Binford 1967 dan 1968; Chang 1967; Leslie Freeman 1968.30Periksa Watson dkk. 1971:49

9

Page 10: Kuliah Umum Bagaimana Arkeolog Berpikir dan Bekerja

menanggapi lingkungan alam pada masa lampau, dapat dipelajari melalui studi etnografi dari berbagai masyarakat sekarang yang belum banyak mengalami perubahan budaya. Pengalaman telah membuktikan bahwa sukar bagi kita untuk melakukan interpretasi arkeologi sebelum kita melihat dan mengenal gejala-gejala yang sama yang terdapat dalam suatu masyarakat yang masih hidup. Alat batu yang semula dianggap sebagai gejala alam (gigi gledek), baru dapat diketahui sebagai alat kerja manusia setelah Mercati pada abad XVI mengenal fungsi alat itu dalam masyarakat yang belum dijamah oleh Revolusi Industri.31Baru jauh sesudah itu, yaitu setelah 300 tahun, kapak batu yang masih dipasang pada gagangnya dapat ditemukan di Swiss.

7. Penutup

Dengan berusaha mengumpulkan berbagai data yang telah dicapai melalui beberapa metode analisis seperti dikemukakan di atas, maka dapatlah kiranya kita sekarang memberi penjelasan yang dapat diterima akal sehat mengenai temuan wadah yang semula tak dikenal arkeolog penggali.Artefak wadah semacam itu adalah wadah yang dibuat dari tanah liat untuk melebur tembaga dan timah menjadi perunggu dalam rangkaian pekerjaan membuat alat (alat music gamelan atau lainnya).

Bahan perunggu di dalam wadah dicairkan dengan suhu yang tinggi, untuk selanjutnya dituangkan ke dalam cetakan terbuka melalui saluran pada tepian wadah, dengan bantuan alat pencapit panjang yang dicapitkan pada semacam pegangan wadah. Wadah pelebur dengan ukuran tertentu dipakai sesuai dengan jumlah cairan perunggu yang dibutuhkan untuk membentuk alat gamelan dengan ukuran tertentu pula.Wadah pelebur yang berukuran besar dipakai untuk membuat benda besar, wadah kecil untuk benda kecil.Wadah pelebur dikerjakan dengan teknik tangan tanpa roda-putar.Letak bengkel kerja ini berada tidak jauh dari rumah tinggal para pekerja dan setidak-tidaknya mereka melakukan kegiatan itu di Banten (SKD VII) sampai tahun 1770, berdasarkan sejumlah temuan mata uang VOC.32

Kita tahu bahwa dari masa prasejarah Indonesia sudah banyak ditemukan alat-alat perunggu, seperti: nekara, aneka jenis kapak, bejana, senjata, perhiasan, boneka, dan sebagainya. Bahkan kita dapat menemukan di Manuaba33 sisa-sisa dari proses pengerjaan berupa cetakan-cetakan dari tanah liat, yang merupakan petunjuk adanya situs perbengkelan atau situs industri. Dari masa Indonesia-Hindu kita pun menemukan banyak artefak perunggu seperti: arca, genta, lampu, talam, kendi, periuk, dan prasasti. Bahkan dari prasasti Jawa Kuno, kita mengenal bermacam-macam pandai di antara kelompok pedagang (masamwyawahara), yaitu pandai mas (pandai mas), pandai besi (pandai wsi), pandai tembaga (pandai tamra), dan pandai perunggu

31 Lihat Childe 1956:48.32Di antara 29 mata uang logam yang ditemukan di seluruh kotak-kotak ekskavasi di SKD ada 13 buah yang telah dapat diketahui. Dua mata uang berasal dari Banten sendiri (sebuah di antaranya bertuliskan "Pangeran Ratu ing Banten", sehingga mungkin pangeran yang dimaksud ialah Sultan Maulana Hasanuddin sekitar tahun 1580); 10 mata uang VOC dari berbagai tahun (mulai dari 1724 hingga 1792); dan sebuah lagi mata uang Republiek Batavia dari tahun 1808. Di SKD VII, dua mata uang VOC yang ditemukan bersama-sama dengan wadah pelebur ialah dari tahun 1769 dan 1770. Lihat juga catatan nomor 15.33Lihat Soejono 1975:241.

10

Page 11: Kuliah Umum Bagaimana Arkeolog Berpikir dan Bekerja

(pandai gansa).34 Dari prasasti, kita mengetahui bahwa jika sebuah bengkel memiliki ububan lebih dari 3 pasang, pemilik-pemilik bengkel tersebut akan dikenakan pajak. Ini mungkin dapat memberi petunjuk bahwa ukuran normal dari sebuah bengkel logam pada masa itu mempunyai 3 pasang ububan, dan lebih dari itu dianggap berlebihan dan harus dikenakan pajak.

Dari masa ini kita juga mengenal relief, yaitu di Candi Sukuh (abad ke-15 M), menggambarkan adegan di sebuah tempat pembuatan keris. Di dalam sebuah rumah bertiang 4 dan beratap kayu (sirap), seorang pandai logam dengan pembantunya sedang bekerja dengan berbagai alat perlengkapannya dan hasil produksinya.Tampak sepasang ububan silindrik yang sedang dipompa oleh seorang pembantu. Di sini tidak tampak alat-alat besar seperti yang terdapat pada bengkel gamelan, sehingga mungkin benar dugaan Bernet Kempers35 bahwa adegan ini menggambarkan pandai keris. Kalau kita perhatikan memang pada relief tersebut tergambar semacam keris. Dari masa Indonesia-Hindu yang belum ditemukan mungkin justru situs perbengkelan dari keempat macam pandai.36Mungkinkah kita dapat menemukannya?

Strategi untuk penelitian situs serupa ini bisa bermacam-macam, tetapi kami kira dengan bekerja mundur dari situs Arkeologi Islam yang termuda kepada situs-situs arkeologi dari masa yang lebih tua, dapatlah diperoleh keterangan dengan lebih cepat.Cara pendekatan serupa ini (direct-historical approach)37 banyak dilakukan oleh para ahli arkeologi dengan hasil yang cukup memuaskan.38

Mengenai metode analisis yang dipakai dalam kasus wadah pelebur Banten Lama, ternyata bahwa keempatnya saling mendukung.Ternyata keempat metode yang digunakan saling mendukung yang justru ingin dikemukakan di sini ialah bahwa analogi-etnografi dalam kenyataannya dapat memberikan sumbangan data yang cukup bermanfaat bagi terbentuknya hipotesis mengenai pokok masalah. Dengan pendapat yang dikemukakan di sini kami tidak mempunyai maksud untuk menolak sama sekali pandangan yang dikenal sebagai cultural-relativist39 (dari mazhab sejarah Amerika). Menurut pendapat Smit misalnya dinyatakan bahwa

34Lihat karangan Buchari 1976.35Lihat AJ Bernet Kempers 1959:103 dan gambar 334.36 Sebagai perbandingan, di salah satu kuburan Mesir dari tahun 1500 s.M. terdapat gambar yang melukiskan 2 pekerja sedang melebur logam dalam wadah pelebur di atas tungku api yang sedang menyala. Bentuk wadah pelebur ini seperti cawan lebar atau mangkuk, dan untuk meletakkan dan mengangkatnya dari api digunakan 2 batang ranting kayu yang dijepitkan pada permukaan atas dan dasar wadah. Dapat dilihat pula 2 pekerja yang sedang aktif menggerakkan ububan tipe drum bellows, seperti yang masih digunakan di Rhodesia. Dua pekerja lain sedang menuangkan cairan logam ke dalam cawan-cawan atau gelas-gelas kecil yang terletak berjajaran di meja kerja; sedangkan pekerja lain sedang membenahi hasil kerjanya, ialah pintu dari perunggu (Hodges 1971a:121).37Di Amerika cara ini dikenal dengan direct historical approach, sedangkan di Eropa umumnya disebut folk culture approach.38James N. Hill telah berhasil menentukan variabel tipe ruangan-ruangan dalam bangunan di situs yang dikenal dengan nama Broken K. Pueblo di Arizona, dengan menggunakan analogi etnografi dari masyarakat Pueblo yang masih hidup. Lihat James N. Hill 1970.39Kaum cultural-relativist berpendapat bahwa setiap kebudayaan adalah sejumlah ide dan sifat yang disusun secara unik dan tidak ada dua kebudayaan yang dapat dibandingkan.Mereka beranggapan bahwa semua interpretasi arkeologi melalui analogi adalah suatu pertahanan diri yang tidak dapat dibuktikan.Itulah sebabnya arkeologi harus meninggalkan analogi sepenuhnya; para arkeolog hanya melaporkan fakta yang dilihat saja.Sementara itu kaum

11

Page 12: Kuliah Umum Bagaimana Arkeolog Berpikir dan Bekerja

sebaiknya kita harus meninggalkan analogi sepenuhnya dan hanya melaporkan apa yang kita temukan. Demikian misalnya sebuah serpih batu kecil dan tajam tidak dapat dikatakan mata panah karena kita tidak tahu benar apakah benda itu digunakan untuk mata panah; mungkin untuk tujuan lain. Namun kami juga tidak setuju dengan pandangan beberapa arkeolog masa lalu yang dalam melakukan analogi terlalu dipengaruhi oleh ideologi evolusioner yang klasik, yang kadangkala menggunakan analogi secara kurang hati-hati. Para arkeolog masa kini sadar sepenuhnya akan segala keterbatasan analogi. Dalam melaksankan analogi, panjang dan luasnya dimensi ruang dan waktu agaknya perlu dipertimbangkan. Demikian misalnya Gordon Childe menyatakan bahwa suatu analogi "...drawn from the same region or ecological province is likely to give the most reliable hints..."40

Pemikiran kaum cultural-relativistlain, misalnya Chang, cenderung untuk membatasi penggunaan analogi dalam arkeologi hanya kepada masalah teknologis,41 sedangkan masalah yang berkenaan dengan ide, kepercayaan, dan kebiasaan, tidak mungkin diolah melalui analogi. Bahkan Thompson telah mengemukakannya secara eksplisit dalam karangannya.Kesimpulan-kesimpulan arkeolog pertama-tama harus didasarkan atas generalisasi teknologis, dan di luar itu semuanya subyektif sepenuhnya dan tergantung kepada kemampuan dan kompetensi arkeolog.42Sementara Julian Steward43 misalnya, memberi kemungkinan digunakannya analogi dengan caradirect-historical approach seperti yang telah dikemukakan di atas.

Memang mengadakan persejajaran begitu saja tanpa memperhitungkan perbedaan-perbedaan dalam wilayah budaya tertentu, tentu akan menjerumuskan hasil interpretasi. Demikian pula melalui analogi tidak akan dicapai hasil seperti yang dikehendaki arkeolog, jika tidak secara terus-menerus diuji dengan data arkeologi yang sebanyak mungkin harus dikumpulkan. Untuk kasus Banten, menurut hemat kami, wajar digarap dengan analogi, karena (1) artefak yang dianalisis adalah artefak technomic44 yang sifatnya universal; (2) jarak waktu antara Banten dan Tihingan tidak besar; (3) perubahan-perubahan hebat dalam hal teknologi agaknya tidak terjadi di Tihingan, bahkan sebaliknya menunjukkan gejala-gejala persamaan tertentu dengan Banten; dan (4) kedua daerah itu masih dalam satu wilayah budaya Indonesia.

Apa yang diutarakan dalam makalah ini tidak lain merupakan satu bukti tambahan lagi bahwa para ahli arkeologi senantiasa dihadapkan pada berbagai masalah yang hanya dapat diusahakan jalan pemecahannya dengan cara-cara yang dipertimbangkan. Ini semua adalah akibat dari sifat data arkeologi yang serba terbatas dalam hal kuantitas dan kualitas.45 Meskipun mungkin ada anggapan bahwa analogi bukan jalan yang terbaik untuk interpretasi arkeologi,

unilinear evolusionist berpendapat bahwa suku bangsa yang masih hidup dan masih mempertahankan tradisi, merupakan contoh baik untuk menunjukkan tingkat-tingkat perkembangan kebudayaan.40Periksa Childe 1956:51.41Lihat Chang 1967.42Periksa Thompson 1956.43Lihat Steward 1942:56. 44Lihat Binford 1962. Lebih sulit lagi untuk menggarap sosiotechnic artifacts dan ideotechnic artifacts.45Lihat makalah Mundardjito dalam Seminar Arkeologi tahun 1976 di Cibulan.

12

Page 13: Kuliah Umum Bagaimana Arkeolog Berpikir dan Bekerja

tetapi kami berpendapat jika arkeolog sama sekali tidak dapat menggunakan analogi, 46 maka kami kira habislah riwayat arkeologi. Dan kita dengan demikian tidak akan dapat menjalankan tugas yang dibebankan untuk "piecing together the past". Puluhan karangan telah membicarakan dan melaporkan hasil pelaksanaan eksperimen arkeologi yang diselenggarakan di berbagai negara maju, tetapi mungkin sedikit sekali yang telah dilakukan di negara kita.Jika arkeologi-percobaan (experimental archaeology) tidak mulai digunakan secara efektif dan terkendali, mungkin kemajuan kita untuk menyelesaikan berbagai masalah arkeologi di Indonesia agak terhambat.

Dengan kasus wadah pelebur logam dari Ekskavasi Banten 1976, maka sebenarnya telah dapat dijawab pertanyaan Frederick Matson: "Have crucible fragments been found in sufficient quantities in archaeological contexts to be of use in tracing developments in metallurgical practices?47

DAFTAR PUSTAKAAscher, Robert1961a "Analogy in Archaeological Interpretation", dalam Southwestern

Journal of Anthropology 17:317--325.1961b "Experimental Archaeology", dalam American Anthropologist 63:793--

816.

Binford, Lewis R.1962 "Archaeology as Anthropology", dalam American Antiquity 28:217--

225.1967 "Smudge Pits and Hide Smoking: The Use of Analogy in

Archaeological Reasoning", dalam American Antiquity 32 (1):1--12.1968 "Methodological Considerations of the Archaeological Use of

Ethnographic Data", dalam Man the Hunter, Chicago: R.B. Lee & Ide Vora, hlm. 268---273.

Boechari1976 "Some Considerations of the Problem of the Shift of Mataram's Center

of Goverment from Central to East Java in the 10th Century A.D.", dalam Bulletin of the Research Centre of Archaeology of Indonesia No. 10, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Brothwell, Don dan Eric Higgs

46Tentu yang kami maksudkan ialah analogi dengan memperhatikan semua limitasi, dan diuji terus-menerus oleh data arkeologi yang harus sebanyak mungkin dikumpulkan untuk tujuan ini.Analogi seperti ini dalam kepustakaan sering disebut sebagai "new analogy".Guna kepentingan komunikasi dengan mahasiswa kami biasa menggantikan istilah ini dengan "analogi terbatas" atau "analogi terkendali".47Lihat Frederick Matson, "Ceramic Queries" dalam Matson 1965:261.

13

Page 14: Kuliah Umum Bagaimana Arkeolog Berpikir dan Bekerja

1971 Science in Archaeology: A Survey of Progress and Research, Revised and Enlarged Edition, London: Thames & Hudson

Chang, Kwang Chih1966 Rethinking Archaeology, New York: Aldine Publ. Co.1967 "Mayor Aspects of the Interrelationship of Archaeology and

Ethnology", dalam Current Anthropology 8 (34):227-243.

Childe, V. Gordon1956 Piecing Together the Past: The Interpretation of Archaeological Data.

New York.

Clark, John Grahame Douglas1952 "Archaeological Theories and Interpretation: Old World", dalam A.L.

Kroeber (ed.), Anthropology Today, Chicago.

Clarke, David L.1968 Analytical Archaeology, London.

Daniel, Glyn E.1967 The Origins and Growth of Archaeology, Harmondsworth: Pelican

Books.

Deetz, James1967 Invitation to Archaeology, New York: Museum Science Book.1970 "Archaeology as Social Science", dalam Current Directions in

Anthropology: 115--125, American Anthropological Association from Bulletins, vol. III, No. 3 (2).

Geetz, Clifford1964 "Tihingan: Sebuah Desa di Bali", dalam Koentjaraningrat (ed.),

Masyarakat Desa di Indonesia Masa Ini, Djakarta, hlm. 169--199.

Goodyear, F.H.1971 Archaeological Site Science. London.

Harner, M.J.1956 "Thermo-facts vs Artifacts: An Experimental Study of the Malpais

Industry", University of California Archaeological Survey, Reports 33:39--43.

Haury, E.W.

14

Page 15: Kuliah Umum Bagaimana Arkeolog Berpikir dan Bekerja

1931 "Minute Beads from Prehistoric Pueblos", dalam American Anthropologist 33:80--87.

Hawkes, Christoper1954 "Archaeological Theory and Method: Some Suggestions from the Old

World", dalam American Anthropologist 56:155--168.

Heyerdhal, T.1950 The Kon Tiki Expedition by Raft Across the South Seas. Diterjemahkan

oleh F.H. Lyon. London.

Hill, J.N.1970 "Broken K. Pueblo: Prehistoric Social Organization in the American

Southwest", dalam Anthropological Papers, University of Arizona, No. 18.

Hodges, Henry1971a Technology in the Ancient World. Harmondsworth: Penguin Book.1971b Artifacts: An Introduction to Early Materials and Technology. London.

Hole, Frank dan Robert F. Heizer1969 An Introduction to Prehistoric Archaeology. Cetakan ke-2. New York.

Hume, Ivor Noel1969 Historical Archaeology. New York.

Iversen, J.1959 "Forest Clearance in the Stone Age", Scientific American 194:36--41.

Jasper, J.E. dan Mas Pirngadie1927 "De Goud en Zilversmeedkunst", dalam De Inlandsche Kunstnijverheid

in Netherlandsch Indie IV. 's-Gravenhage.

Johnson, T.1957 "An Experiment with Cave-printing Media", dalam South African

Archaeological Bulletin 47:98--101.

Kempers, Bernet1959 Ancient Indonesian Art. Amsterdam.

Laboratorium Kemiko Arkeologi, Proyek Pemugaran Candi Borobudur1976 Laporan Khusus Nomor 618/E.2/BB.1976.

15

Page 16: Kuliah Umum Bagaimana Arkeolog Berpikir dan Bekerja

Leone, Mark P. (ed.)1975 Contemporary Archaeology: A Guide to Theory and Contributions.

Cetakan ke-3, Southern Illinois University Press.

Longacre, William A.1970 Archaeology as Anthropology: A Case Study, Anthropological Papers of

the University of Arizona No. 17: The University of Arizona Press.

Matson, Frederick R.1965 Ceramic and Man. Chicago.

Mayes, P.dkk.1962 "The Firing of a Second Pottery Kiln of Romano-British Type at

Boston, Lincs", dalam Archaeometry 5:80--107.

Mayes, P. et al.1961 "The Firing of a Pottery Kiln of Romano-British Type at Boston,

Lincs", dalam Archaeometry 4:4--30.

Mundardjito1972 “Arkeologi Masa Kini: Segi Metode dan Teknik”, makalah pada

Penataran Ahli Arkeologi di Borobudur, Sub-Konsorsium Sastra dan Filsafat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

1973 Laporan Penggalian Percobaan di Bukit Patenggeng, Subang, (tidak diterbitkan) Jakarta.

1974 "Penyelenggaraan Kuliah Metode Arkeologi: Pentingnya dalam Pendidikan", dalam Hasil-hasil Lokakarya Pengajaran Arkeologi, Denpasar. Sub-Konsorsium sastra dan Fislafat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

1976 "Pengembangan Teknik Modern untuk Arkeologi Indonesia", dalam Indonesian Magazine, 37:43--51. (Pertamakali dibawakan dalam Seminar Arkeologi di Cibulan tahun 1976).

O'Kelly, M.J.1954 "Excavation and Experiment in Ancient Irish Cooking-places", dalam

Journal of Royal Society of Antiquaries of Ireland 84:105--155.

Outwater, J.O.1957 "Pre-Columbian Wood-cutting Techniques", dalam American Antiquity

22:410--411.

Serrurier, L.1902 (Peta Sketsa Kota Banten Lama) dalam TBG XLV.

16

Page 17: Kuliah Umum Bagaimana Arkeolog Berpikir dan Bekerja

Shaw, Isobel1976 "The Last Gong Smith in West Java", dalam The Indonesia Time,

tanggal 9 Maret 1976.

Smith, M.A.1955 "The Limitations of Inference in Archaeology", dalam Archaeological

Newsletter 6:3--7.

Soejono, R.P.1975 Sejarah Nasional Indonesia I, Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Spaulding, Albert C.1960 "The Dimensions of Archaeology", dalam G.E. Dole dan R.L. Carneiro

(ed.), Essay in the Science of Culture: In Honour of Leslie A. White. New York.

Sonnenfeld, J.1962 "Interpreting the Function of Primitive Implement: The Celt and The

Hoe", dalam American Antiquity 28:56--65.

Steward, Julian H.1942 "The Direct Historical Approach to Archaeology", dalam American

Antiquity 7:337--343.

Subkonsorsium Sastra dan Filsafat, Departemen P dan K1976 Laporan Penataran Metode Arkeologi: Laporan Kerja Lapangan,

Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Taylor, Walter W.1948 "A Study of Archaeology", dalam Memoirs of the American

Anthropological Association, No. 9. Menasha.

Teguh Asmar dan Bennet Bronson1973 Laporan Ekskavasi Ratu Baka, Jakarta: Lembaga Purbakala dan

Peninggalan Nasional.1975 Laporan Penelitian Rembang, Jakarta: Lembaga Purbakala dan

Peninggalan Nasional.

Thompson, R.H.1956 "The Subjective Element in Archaeological Inference", dalam

Southwestern Journal of Anthropology 12 (3):327--332.

17

Page 18: Kuliah Umum Bagaimana Arkeolog Berpikir dan Bekerja

Tylecote, R.F.1962 Metallurgy in Archaeology. London.

Uka Tjandrasasmita1976 Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Watson, Patty Jo et al.1971 Explanation in Archaeology: An Explicitly Scientific Approach. London.

Willey, Gordon R.1952 "Archaeological Theories and Interpretation: New World", dalam A.L.

Kroeber (ed.), Anthropology Today. Chicago.

1970Method and Theory in American Archaeology, cetakan ke-7. Chicago: University of Chicago Press.

18