kurikulum sekolah

Upload: lily-thamzil-thahir

Post on 02-Mar-2016

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Kurikulum Berubah, Begini Ceritanya

Nur Laely Basir, S.Pd., M.Ed. (TESOL Int.)Pengawas Sekolah Dinas Pendidikan Kota Makassar

AKHIRNYA terpaksa melirik juga kepada tingginya rating lengkingan pro-kontra berita mengenai perubahan kurikulum sekolah formal di koran-koran online. Hasil penelusuran tulisan pro-kontra Kurikulum 2013 (K-13) melalui search engine mencapai angka 319.000 postingan per 13 Juli 2013 pukul 13:22 siang. Apalagi per tanggal 15 Juli (hari ini) diberlakukan di 6300 sekolah di wilayah Indonesia. Di Makassar sendiri untuk SMA hanya 4 SMA (SMAN 17, SMAN 1, SMAN 15, dan SMA Islam Athirah).Jika selama ini penulis tak geming dengan ratusan ribu teriakan perubahan kurikulum yang bikin kuping jadi pekak, tentu ada alasan. Sederhana saja, mengapa harus teriak? Diamlah, ini kan hanya rutinitas, hanya satu dari puluhan agenda perubahan arah pendidikan per-sepuluh-tahunan di Indonesia. Kurikulum dalam teorinya memang perlu berubah dan bahkan HARUS berubah. Perubahan biasakah? Jawabnya: BUKAN. Tentu maksudnya pembaharuan. Kata orang pintar, itu inovasi. Dan, inilah yang semestinya dibagi kepada orang tua dan masyarakat umum. Lalu mengapa harus dibaharui? Banyak alasan yang mendasari dilakukannya sebentuk perubahan. Kalau saja ini ruang tamu di rumah kita atau di kantor, alasan utamanya mungkin bosan atau perabotannya sudah out-of-date. Solusinya cukup mudah, kosongi ruang lalu ganti perabotan sesuai keinginan.Boleh jadi perubahan KTSP 2006 ke K-13 juga mengadopsi alasan serupa. Sayangnya ruang kurikulum bukan ruang hampa. Juga bukan ruang tamu yang semudah itu dikosongkan lalu diisi sekehendak hati. Semua butuh proses. Wajar tentunya jika orangtua dan masyarakat kemudian berpikir sesederhana itu. Yang parah dan nave, justru mereka yang merasa ahli kurikulum tapi tidak berusaha menjadi perantara antara pengembang kurikulum dengan implementer utama kurikulum. Sudahlah!Lantas, bagaimana ceritanya? Penulis yakin, tanyaan inilah yang perlu dijawab. Pemahaman yang bengkok, perlu diluruskan. Ceritanya berawal dari keresahan orangtua yang anak atau cucunya masih mengenakan seragam putih-merah membawa tas sekolah disesaki dengan buku teks, LKS, lembar soal jawab, hasil ulangan, dan buku tulis yang jumlahnya mencapai angka lebih dari 20. Ini fakta! Buku-buku dan LKS serta kertas-kertas ulangan dipapar lalu dicoba telaah isinya. Beberapa temuan memang cukup mencengangkan. Sebagai contoh, materi IPS yang memuat konten pemahaman konsep Hak dan Kewajiban dijelaskan dengan bahasa yang cukup mendewasa. Kertas ulangan untuk murid kelas 1 SD dengan bentuk isian bertulis, Hak adalah ..; Kewajiban adalah , dst. Penulis bergidik membaca soal ulangan yang diambil dari lembar-lembar LKS muatan IPS. Bagian ini, tidak perlu kita lanjutkan pembahasannya sebab murid-murid itu juga mungkin sudah lupa apa itu hak dan kewajiban. Lekak-lekuk materi ajar yang meliuk dalam 10 jenis mata pelajaran ditambah Muatan Lokal dan Pengembangan Diri di SD dan SMP tertata rapi dalam buku-buku teks. Buku-buku itu ada yang murni bantuan rakyat, namun ada juga yang berasal dari penerbit kerjasama dengan koperasi sekolah untuk penyediaannya yang sifatnya pilihan. Tidak ada paksaan. Hanya saja, jika siswa tidak memiliki buku itu, mereka akan kesulitan mengerjakan PR-PR yang rujukannya dari buku tersebut.Buku-buku paket yang dibeli hingga 400 ribu rupiah ditambah LKS yang harganya rata-rata 10-ribuan, itulah yang memberatkan punggung si kecil sekaligus melahap isi kantong orangtua yang awalnya berharap dari dana Pendidikan Gratis atau dana BOS. Sebetulnya ini rahasia kecil, jadi tolong jangan bilang siapa-siapa.Jika fenomena semacam itu terjadi di SD, hal serupa juga dapat dengan mudah ditemukan di tingkat SMP dan SMA. Konsepnya lebih pada berapa persen rabat atau potongan harga yang penerbit mampu sediakan untuk mereka yang mau menjual buku ajar dan LKS. Bagi penerbit, hal ini tentu saja tidak salah. Mereka berdagang. Mereka berbisnis. Mereka mencari keuntungan. Itu bisnis legal. Lalu apanya yang keliru? Pembaca tolonglah jawab sendiri terutama orangtua yang punya anak di SD, SMP, dan SMA.Setelah lelah kerja PR dalam LKS yang dibebankan kepada siswa dan mungkin lebih banyak dikerjakan oleh orangtua siswa (apalagi di musim liburan), lembar feedback nyaris hampa. Kalaupun ada angka yang mengindikasikan nilai perolehan, orang tua tidak mendapatkan penjelasan mengapa 75 atau 50 atau 98. Apa interpretasinya? Apa kriteria penilaiannya? Orang tua hanya tahu anaknya naik kelas, nilai mata pelajaran tertentu tidak boleh di bawah 80. Kalau ada, SMP unggul ogah menerima mereka. Atur saja sama gurunya, itu yang kerap terjadi. Kata daeng Nai, Kalau mauji siatoro saja, enakji. Tapi pake tompi amplop kodong.Jika yang ditanya guru, jawaban mereka juga rasional. Guru mengajar 24 jam sesuai tuntutan untuk memperoleh tunjangan sertifikasi. Itu mengajar dari pagi hingga sore dan dalam sepekan mungkin setiap hari. Lalu waktu untuk memeriksa dan memberi feedback pada tugas-tugas siswa kapan? Di KTSP, guru dituntut berbuat banyak. Antara lain, di awal tahun pembelajaran, guru-guru disibukkan dengan penyusunan KTSP berdasarkan EDS, RKS dan RKAS, lalu menyusun silabus, ditambah dengan menyusun RPP. Proses itu jika dilakukan secara professional akan makan waktu sekitar 2 bulan. Belum lagi tugas menyusun soal-soal ulangan untuk setiap KD, memeriksa hasil ulangan, mengelola dan mengolah nilai, menyusun program remedial dan pengayaan, dst. Bahkan yang paling inovatif, guru diminta membuat sendiri bahan ajarnya. Kreativitas guru sangat dituntut dalam KTSP. Masalahnya, lagi-lagi terkendala pada kemampuan SDM dan ketersediaan waktu luang.Itu baru yang kognitif. Bagaimana dengan sisi afektif dan psikomotorik siswa? Lain kali sajalah. Atau kalau tidak mau repot, hitung saja kehadirannya dan cek siswa itu nakal atau tidak. Nah lho? Itu baru dua contoh kasus yang rupanya cukup fenomenal dan kejadiannya hampir merata di semua sekolah. Kalau ragu, silakan tanya anak kita yang masih sekolah. Ketika proses pembelajaran akan berlangsung, jam mengajar tidak cukup karena jumlah guru yang overload di suatu tempat ditambah beban belajar siswa untuk mata pelajaran tertentu juga rendah SKS nya. Untuk mengejar tunjangan sertifikasi, mau tidak mau, guru-guru harus mencari tambahan jam di sekolah lain, terutama di sekolah-sekolah swasta. Jika sudah seperti itu keadaannya, mungkin pada akhirnya guru perlu manajer pribadi untuk mengatur waktunya. Untuk professional, memang harus repot. Pemerataan guru, itu juga yang menjadi salah satu kata kunci sertifikasi. Jadi guru yang tersertifikasi tidak otomatis menerima tunjangan. Syarat dan ketentuan berlaku. Jika mau, cari sekolah ke gunung atau ke pulau, atau ke sekolah yang memang kekurangan guru. Persoalannya, dalam banyak kasus, guru-guru mencari tambahan jam di sekolah swasta yang notabene kekurangan siswa. Kalau siswanya kurang, katakanlah hanya 20 orang setiap tahunnya, lalu jam mengajarnya mungut di mana? Memangnya sekolah swasta tidak punya guru? Logikanya, mereka saja kekurangan jam, mengapa pula guru di sekolah negeri yang siswanya sangat banyak harus ke sana?

Pengajar dan buku yang masalah, mengapa kurikulum yang diubah? Sepintas, sepertinya soal buku dan standar tenaga pendidik yang bermasalah. Jika memang hanya itu yang bermasalah, mengapa justru kurikulum yang harus diubah? Ini tanyaan dan kegalauan yang banyak kita dengar dan kita baca dari berbagai media oleh orangtua dan masyarakat. Dalam analisa penulis, tanyaan itu wajar saja. Yang aneh justru praktisi pendidikan dan beberapa pakar juga ikut-ikutan menanyakan. Jika tanyaannya mengapa kurikulum yang harus diubah, maka jawabannya juga dengan satu tanyaan balik. Sudah pernakah kita melihat wujud KTSP selama ini dan menelaah isinya? KTSP bukan kurikulum seragam, melainkan produk desentralisasi yang menghendaki keberagaman. Setiap sekolah dipercayakan oleh pemerintah mendesain sendiri kurikulumnya setiap tahun sejak 2006 atau paling telat tahun 2009. Hal itu karena pemerintah percaya bahwa manajer sekolah mampu menggerakkan SDM sekolah untuk melakukan itu. Jadi kalau ada empat juta sekolah di Indonesia, maka ragam KTSP juga sebanyak itu. Tapi apa yang terjadi? Dinas Pendidikan sebagai perpanjangtanganan pemerintah mengurus pendidikan menemukan kasus-kasus yang cenderung seragam. KTSP yang sedianya disusun di sekolah berdasarkan 8 SNP dengan juknis yang diatur oleh BSNP, malah diunduh dari internet. Buku-buku ajar yang dihasilkan oleh berbagai penerbitan dianggap mendasarkan diri pada KTSP. Lalu KTSP sekolah mana yang dirujuk? Ini kan aneh. Beberapa guru bahkan menyangka bahwa KTSP itu wujudnya silabus dan yang lebih parah karena ada juga yang mengaggap KTSP itu yang ada pada Lampiran SK Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 yang salah satu isinya adalah Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK/KD). Untuk lebih jelasnya, apabila masyarakat dan orangtua ingin tahu bagaimana wujud dan apa isi KTSP 2006, berkunjunglah ke sekolah dan minta kepada sekolah menunjukkan Buku 1. Sederhananya begini, jika KTSP ternyata belum sepenuhnya mampu disusun dengan benar (untuk tidak mengatakannya tidak tahu) oleh pengelola sekolah, termasuk guru-guru dan tim penyusun kurikulum, maka tentu dibutuhkan waktu yang panjang untuk membenahi mutu tenaga pendidik yang ikut berperan dalam penyusunan KTSP. Sudah berapa banyak uang rakyat yang dihabiskan dari mulai sosialisasi KTSP hingga workshops dan pendampingan penyusunan KTSP? Silakan gunakan kalkulator masing-masing. Akhirnya, pemerintah membuat telaah. Keluhan orangtua, siswa, dan guru-guru ditampung. Kurikulum dievaluasi. Pendapat dan pandangan para pakar pendidikan diapresiasi. Simpulannya, kita belum siap dengan KTSP yang terdesentralisasi. Kita terpaksa harus mengembalikan mandat pemerintah yang diwakilkan implementasinya kepada BSNP. Kita memang masih harus menerima model sentralisasi. Sekolah-sekolah dan guru-guru selayaknya berlapang dada menerima perubahan itu, dan bahkan sebagian harus mengakui ketidakmapannya. Jika ada pihak yang merasa dirugikan dengan K-13, pemerintah tentu terbuka dengan kritik dan saran untuk kemaslahatan anak cucu kita untuk waktu 10 tahun ke depan.Lalu, apa yang baru di K-13? Perubahan mendasar dalam Kurikulum 2013 adalah penetapan Kompetensi Inti dan Subkompetensi yang sama pada setiap kelas. Jika memang seperti ini perubahan yang dimaksud dalam Kurikulum 2013, maka hal terbaik yang selayaknya dilakukan adalah menghindari persepsi dan asumsi yang berujung pada stigma dan prasangka. Kurangi kadar kecenderungan berpikir negatif, hindari rasa cemas yang berlebihan hingga pantang mengambil resiko, sukanya bermain di zona aman dan nyaman, hingga resisten terhadap semua bentuk perubahan.Bagi sekolah-sekolah yang dipercayakan menggunakan K-13 mulai hari ini, selamat memasuki era baru pendidikan dan persekolahan Indonesia. Selamat juga buat semua guru yang tidak lagi dibebani dengan tugas penyusunan kurikulum, silabus, dan bahan ajar. Beban makin ringan tentunya. Namun, bagi sekolah yang belum terpilih menggunakan K-13, selamat menyusun EDS, RKS, RKAS dan tetap semangat menyusun KTSP 2006 [,]