lap bpfr lamtoro
DESCRIPTION
laporan bpfrTRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM
BAHAN PAKAN DAN FORMULASI RANSUM
Disusun oleh :
Nama : Fauzan Rifqi Giska Putra
NIM :12/334520/PT/06382
Kelompok : XXVI
Asisten : Santika A.
LABORATORIUM TEKNOLOGI MAKANAN TERNAKBAGIAN NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK
FAKULTAS PETERNAKANUNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA2014
TINJAUAN PUSTAKA
Lamtoro atau dalam bahasa latin disebut leucaena leucocephala
adalah sejenis perdu dari suku Fabaceae yang kerap digunakan dalam
penghijauan lahan atau pencegahan erosi. Berasal dari Amerika tropis,
tumbuhan ini sudah ratusan tahun diperkenalkan ke Jawa untuk
kepentingan pertanian dan kehutanan dan kemudian menyebar pula ke
pulau-pulau yang lain di Indonesia. Tujuan penanaman lamtoro pada
mulanya untuk penghijauan, mencegah erosi dan mencegah penduduk
mengambil kayu bakar dari hutan. Dengan adanya lamtoro, penduduk
dapat mengambil kayunya untuk kayu bakar sehingga penebangan liar di
hutan oleh penduduk dapat dicegah (Tangendjaja et al., 1992).
Domba dan kambing akan tumbuh lebih baik bila disuplementasi
dengan lamtoro dibandingkan bila hanya diberi rumput. Sebelum diberikan
untuk pakan ternak sebaiknya daun lamtoro dikeringkan terlebih dahulu.
Proses pengeringan yang kurang memberikan efek negatif yaitu
pengeringan secara anaerobik atau tanpa oksigen tetapi dalam
pelaksanaannya hal ini sangat sukar dilakukan (Palmer et al., 2000). Bila
kaliandra dijadikan silase yaitu dengan menyimpannya dalam kantong
plastik hitam selama beberapa minggu maka nilai nutrisi kaliandra dapat
dipertahankan dan ini terbukti dengan tidak adanya perbedaan dalam PBB
domba yang diperoleh dengan membandingkan antara pemberian lamtoro
segar dengan silase lamtoro.
Kandungan mimosin dalam daun lamtoro merupakan salah satu
yang tertinggi dibandingkan dengan daun legum lain seperti putri malu.
Kandungan mimosin ini dapat dikurangi dengan beberapa cara, dan cara
yang paling populer dan sering digunakan oleh peternak adalah dengan
cara dijemur di sinar matahari agar kandungan mimosinnya dapat
berkurang. Sehingga kandungan protein dalam daun lamtoro dapat
dimanfaatkan oleh ternak dengan baik. Biasanya kecernaan DM dan
protein lamtoro meningkat drastis (Wina et al., 2000).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan Fisik
Hasil pengamatan fisik pada sampel pakan ternak adalah sebagai
berikut :
Tabel 1 Data Hasil Pengamatan Sampel Bahan Pakan
Parameter PengamatanTeksturWarnaBauRasa (Bila perlu)
HalusHijauApekHambar
Berdasarkan pengamatan fisik yang telah dilakukan didapatkan
hasil sampel mempunyai tekstur halus, warna hijau, bau apek, dan rasa
hambar. Berdasarkan pengamatan fisik di atas dapat diprediksi bahwa
bahan pakan yang digunakan untuk sampel yaitu lamtoro (Leucaena
leucocephala).
Lamtoro (Leucaena leucocephala) termasuk jenis tanaman
leguminosa pohon daerah tropis yang dapat tumbuh dengan cepat. Di
Indonesia tanaman lamtoro ini bisa tumbuh subur hingga bisa tumbuh di
berbagai daerah di indonesia. Jenis tanaman tersebut tersebar luas
dibeberapa daerah, di introduksikan oleh Departeman Kehutanan untuk
penghijauan/reboisasi. Lamtoro (Leucaena leucocephala) dapat tumbuh
pada tanah yang kurang subur dan pada daratan rendah hingga 1500m
dari permukaan laut (BP4K, 2012).
Lamtoro (Leucaena leucocephala) mengandung zat anti nutrisi
mimosin dalam jumlah yang tinggi sehingga dapat berpengaruh
terhadap tingkat pemanfaatan pakan oleh ternak (Tangendjaja dan
Wina, 2000). Fungsi dan manfaat lamtoro sebagai tanaman penghijauan /
reboisasi, tanaman peneduh dan pelindung, penyubur tanah, pakan ternak
dan penahan erosi (BP4K, 2012).
Tabel 2 Kandungan Nutrisi tepung lamtoro (Leucaena leucocephala)
Parameter NilaiProtein Kasar (%)Serat Kasar (%)Lemak Kasar (%)
Abu (%)Ekstrak tanpa nitrogen (%)
23,7 %18 %5,8 %9,73 %
36,08 %
(Hartadi, 2005)
Daun lamtoro (Leucaena leucocephala) memiliki kandungan protein
yang lebih dari 20% sehingga penggunaannya dalam pakan dapat
digunakan sebagai sumber protein nabati (Aminah dan widyaningsih,
1999 dalam Benyamin 2002). Dilihat dari kandungan tersebut daun
lamtoro berpeluang untuk dimanfaatkan sebagai bahan campuran pakan.
Analisis Proksimat
Analisis proksimat atau analisis Weende dikerjakan dari Weende
Experiment Station Jerman. Dikatakan analisis proksimat karena nilai
yang diperoleh hanya mendekati nilai komposisi yang sebenarnya, oleh
karena itu untuk menunjukkan nilai dari sistem analisis proksimat selalu
dilengkapi dengan istilah minimum (>) dan maksimum (<) sesuai dengan
manfaat fraksi tersebut (Kamal, 1994).
Cara ini dikembangkan oleh Henneberg dan Stockman pada tahun
1865, dengan menggolongkan komponen yang ada pada pakan. Dari
sistem analisis proksimat dapat diketahui adanya 6 macam fraksi, yaitu (1)
air; (2) abu; (3) protein kasar; (4) lemak kasar; (5) serat kasar dan (6)
Ekstrak tanpa nitrogen (Utomo dan Soejono, 1999).
Tabel 3 Data Hasil Analisis Proksimat Sampel Bahan Pakan
Parameter NilaiBahan Kering (%)Protein Kasar (%)Serat Kasar (%)Lemak Kasar (%)
Abu (%)BETN
25,03 %27,457 %16,478 %
4,03 %16,91 %
35,125 %Penetapan kadar air. Penentuan kadar air merupakan hal yang
tersulit dalam analisis proksimat (Tilman, et al., 1998). Penentuan kadar
air dalam analisis proksimat, menggunakan bahan yaitu tepung daun
lamtoro, dalam keadaan kering udara (DW). Bahan tersebut, kemudian
dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105 sampai 110°C selama 1
jam. Menggunakan suhu 105 sampai 110°C karena cairan akan menguap
pada suhu tersebut. Penentuan bobot bahan kering sangat penting karena
bobot bahan kering akan digunakan sebagai standar bobot untuk
penentuan kadar fraksi lainnya (Kamal, 1994). Dry Weight (DW)
merupakan bahan yang dipanaskan dengan sinar matahari sampai kering
atau dengan dioven suhu 55 °C, sedangkan Dry Matter (DM) adalah
bahan pakan yang dipanaskan pada suhu 105-110 °C.
Proses penentuan kadar air dengan menggunakan gelas timbang
atau silica disk yang sebelumnya telah dilakukan proses pengeringan
oven selama 1 jam. Kemudian, silica disk dimasukkan dalam desikator
untuk mendapatkan berat tetap agar gelas timbang dalam keadaan stabil.
Proses penentuan kadar air dengan menimbang bahan pakan, kemudian
diletakkan dalam cawan khusus (silica disk). Bahan pakan yang sudah
ditimbang kemudian dipanaskan dalam oven dengan suhu 105°C.
Pemanasan berjalan sampai sampel dalam keadaan tidak mengalami
penurunan berat atau berat kering. Proses ini dilakukan agar kadar air
dalam bahan pakan menguap.
Hasil pengurangan antara berat awal pakan dengan bahan kering
inilah nilai persen air atau kadar air (Tillman, 1998), bahan selama
pendinginan sebelum ditimbang dimasukkan desikator karena bersifat
higroskopis yaitu menyerap air dengan bantuan silica gell. (Sudarmaji,
1996).
Alat yang digunakan antara lain adalah gelas timbang untuk
menimbang sampel pakan, Silika disk sebagai tempat sampel pakan yang
akan dioven. Fungsi dari desikator adalah untuk menstabilkan suhu
supaya tidak terjadi kontaminasi atau sebagai pendingin.
Berdasarkan dari praktikum yang dilakukan pada penentuan kadar
air pada tepung daun kalindra bobot sampel awal pada kelompok 25
1,0068 gram dan kelompok 26 1,0103 gram dengan bobot silika disk
kelompok 25 20,4243 gram dan kelompok 26 21,5640 gram sehingga
bobot sampel dan silika disk sebelum di oven di peroleh 21,4311 gram
pada kelompok 25 dan 22,5743 gram pada kelompok 26. Setelah
dilakukan pengovenan dengan suhu 105°C diperoleh bobot 21,3590 gram
pada kelompok 25 dan 22,4971 gram dari kelompok 26. Sehingga kadar
air yang di peroleh dari tepung daun lamtoro dari kelompok 25 adalah
3,697% dengan bahan kering 38,17% dan dari kelompok 26 kadar airnya
74,97% dengan nilai bahan kering 25,03%. Hasil yang di peroleh dari
kedua kelompok memiliki kandungan bahan kering yang sama. Menurut
Hartadi (2005), kandungan bahan kering pada tepung daun kaliandra
sebesar 29,5%. Hal ini menunjukkan bahwa bahan kering pada tepung
daun lamtoro tidak sesuai dengan literatur yang ada.
Penetapan kadar abu. Praktikum pengujian kadar abu
menggunakan sampel daun lamtoro dalam keadaan kering udara (DW).
Bahan tersebut kemudian ditanur pada suhu 550 sampai 600°C. Hal ini
dikarenakan abu akan dihasilkan apabila bahan dibakar sempurna pada
suhu 550 sampai 600°C selama 12 jam. Senyawa organik yang
terkandung akan terbakar menjadi CO2 dan H2O dan gas lain yang
menguap, sedang sisanya yang tidak menguap adalah abu (Kamal, 1994).
Penentuan kadar abu harus menggunakan silica disk, tidak dapat
menggunakan vochdoos karena akan lebur jika ditanur pada suhu 550
sampai 6000C. Tujuan sampel ditanur pada suhu 550 sampai 6000C untuk
mengoksidasi semua zat organik kemudian dimasukkan kedalam
desikator. Fungsi sampel dimasukkan kedalam desikator adalah untuk
menghindari terkontaminasinya sampel oleh udara luar dan untuk
menstabilkan suhu.
Berdasarkan dari praktikum yang dilakukan pada penentuan kadar
abu pada tepung daun lamtoro bobot sampel awal pada kelompok 25
0,9347 gram dan kelompok 26 0,9331 gram dengan bobot silika disk
kelompok 25 20,4243 gram dan kelompok 26 21,5640 gram sehingga
bobot sampel dan silika disk sebelum di tanur dengan suhu 550-600°C di
peroleh 21,3590 gram pada kelompok 25 dan 22,4971 gram pada
kelompok 26. Setelah dilakukan penanuran dengan suhu 550-600°C
selama 2 jam diperoleh bobot 20,5828 gram pada kelompok 25 dan
21,7218 gram dari kelompok 26. Sehingga kadar abu (dalam BK) yang di
peroleh dari tepung daun lamtoro dari kelompok 25 adalah 16,9% dan
16,91% dari kelompok 26. Hasil yang di peroleh dari kedua kelompok
memiliki kandungan bahan kering yang hampir sama. Menurut Hartadi
(2005), kandungan kadar abu pada tepung kalinadra sebesar 8,2%. Hal ini
menunjukkan bahwa kadar abu pada tepung daun lamtoro terlalu tinggi
sehingga tidak sesuai dengan literatur yang ada. Hal ini di sebabkan
karena dalam proses penanuran kurang sempurna.
Penetapan kadar serat kasar. Penetapan kadar serat kasar
dimulai dengan menimbang cuplikan bahan jagung giling sebanyak 0,5
gram kemudian dimasukkan ke dalam beaker glass 600 ml, ditambahkan
200 ml H2SO4 1,25% kemudian dipanaskan sampai mendidih (30 menit).
Penambahan H2SO4 1,25% dimaksudkan agar karbohidrat dan protein
terhidrolisis, selain itu juga bertujuan untuk disesuaikan dengan proses
pencernaan di dalam tubuh ternak monogastrik yaitu pencernaan pada
lambung yang bersifat asam.
Kemudian hasil perebusan disaring menggunakan kain linen
dengan menggunakan corong yang dibantu menggunakan pompa vacum
yang sebelumnya dinyalakan pada saat kain linen dan corong disiapakn,
hal ini dimakasudkan agar pori-pori pada kain linen terbuka sehingga
memudahkan dalam penyaringan. Ditambahkan 200 ml NaOH 1,25%
yang dimaksudkan untuk penyabunan lemak serta untuk menyesuaikan
proses pencernaan dalam tubuh ternak (usus). Setelah direbus dan
disaring kembali dengan menggunakan crucibel ditambahkan ethyl alkohol
95% dimaksudkan untuk menghidrolisis lemak yang kemungkinan masih
terkandung dalam serat kasar kemudian dioven, didesikator dan terakhir
dapat ditentukan kadar serat kasar dengan menggunakan persamaan.
Sampel bahan pakan dibungkus dengan kertas minyak yang
berfungsi melindungi sampel dari kontaminasi lingkungan luar. Fungsi
perebusan dengan larutan asam terlebih dahulu baru kemudian larutan
basa karena disesuaikan dengan sistem pencernaan pada hewan
monogastrik yang tidak bisa mencerna serat kasar sehingga dapat
diketahui serat kasarnya. Ethyl alkohol ditambahkan untuk mencuci
ampas agar terbebas dari lemak. Penyaringan menggunakan pompa
vacum. Kain linen sebelum digunakan untuk menyaring dicuci terlebih
dahulu menggunakan air panas yang berfungsi membuka pori-pori kain
sehingga berfungsi maksimum pada saat penyaringan. Penyaringan
terakhir menggunakan crussible yang dilapisi dengan glass wool.
Crussible digunakan karena mempunyai dasar yang berlubang-lubang
sehingga dapat digunakan untuk menyaring dan sekaligus untuk menanur
karena mempunyai titik leleh tinggi sehingga tahan terhadap suhu ketika
ditanur. Crussible harus dilapisi glass wool pada saat penyaringan agar
sampel tidak ikut terbuang ketika penyaringan karena lubang penyaringan
pada crussible yang terlalu besar (Kamal, 1994).
Berdasarkan dari praktikum yang dilakukan pada penentuan kadar
serat kasar pada tepung daun lamtoro bobot sampel awal pada kelompok
25 1,0046 gram dan kelompok 26 1,0017 gram dengan bobot sampel,
crusible, dan glasswool setelah di oven dengan suhu 105°C kelompok 25
21,6291 gram dan kelompok 26 22,1480 gram sehingga bobot sampel,
crusible, dan glasswool setelah di tanur dengan suhu 550-600°C di
peroleh 21,4802 gram pada kelompok 25 dan 21,9955 gram pada
kelompok 26. Sehingga kadar serat kasar (dalam BK) yang di peroleh dari
tepung daun lamtoro dari kelompok 25 adalah 15,96% dan 16,478% dari
kelompok 26. Hasil yang di peroleh dari kedua kelompok memiliki
kandungan bahan kering yang hampir sama. Menurut Hartadi (2005),
kadar serat kasar pada tepung daun kaliandra sebesar 18%. Hal ini
menunjukkan bahwa hasil dari praktikum hampir sesuai dengan literatur
yang ada.
Penetapan kadar protein kasar. Prinsip penentuan protein kasar
yaitu asam sulfat pekat (H2SO4 pekat) dengan katalisator CuSO4 dan
K2SO4 dapat memecah senyawa nitrogen dan selanjutnya berubah
menjadi (NH4)2SO4 kecuali nitrat dan nitrit. Ammonium sulfat ((NH4)2SO4)
dalam suasana alkalis akan melepaskan ammonia (NH3) yang selanjutnya
ditampung di dalam asam sulfat standar (H2SO4 0,1 N) atau asam borax
standar (H3BO3 0,1 N). Penampung dan blanko dititrasi dengan NaOH 0,1
N atau HCl 0,1 N, dengan demikian dapat diketahui jumlah ammonianya
yang berarti juga dapat diketahui jumlah nitrogennya dan akhirnya dapat
dihitung kadar protein kasarnya (Kamal, 1994).
Sampel bahan pakan dibungkus kertas saring bebas lemak yang
berfungsi melindungi sampel dari kontaminasi lingkungan luar karena
kertas saring bebas lemak mempunyai sifat semi permeable yang selektif.
Penetapan kadar protein kasar melalui tiga tahap yaitu destruksi, destilasi,
dan titrasi. Destruksi yaitu melepaskan N organik sampel dengan
penambahan H2SO4 pekat yang berfungsi memecah ikatan N organik dan
membentuk (NH4)2SO4. Pada tahap ini menggunakan katalisator tablet
kjeltab yang berfungsi mempercepat reaksi. Destilasi yaitu melepaskan
NH3 yang kemudian ditangkap oleh H3BO3 dengan bantuan NaOH sebagai
pensuasana basa. Titrasi yaitu mengetahui jumlah N yang terdestilasi
menggunakan larutan HCl dan indikator mix sebagai indikator perubahan
warna.
Berdasarkan dari praktikum yang dilakukan pada penentuan kadar
abu pada tepung daun lamtoro bobot sampel awal pada kelompok 25
0,5069 gram dan kelompok 26 0,5003 gram. Volume tritasi blanko 0,3 ml
dari kelompok 25 dan 26. Volume tritasi dari kelompok 25 15 ml dan
kelompok 26 volume tritasinya 14,8 ml, sehingga di peroleh hasil kadar
protein kasar (dalam BK) sebesar 25,37% dari kelompok 25 dan dari
kelompok 26 sebesar 27,457%. Hasil yang di peroleh dari kedua
kelompok memiliki kandungan bahan kering yang tidak berbeda jauh.
Meurut Hartadi (2005), kandungan protein kasar pada tepung daun
kaliandra 23,7%. Hal ini menunjukkan bahwa tepung daun lamtoro
berbeda tipis dengan literatur yang ada. Oleh karena itu, kandungan
protein kasar pada tepung daun kaliandra sesuai dengan literatur.
Penetapan kadar ekstrak eter. Prinsip penetapan kadar lemak
kasar yaitu penentuan lemak kasar dapat dikerjakan dengan jalan
ekstraksi menggunakan zat pelarut lemak menurut Soxhlet, apabila sudah
larut kemudian pelarut lemaknya diuapkan maka yang tertinggal adalah
lemak kasarnya (Kamal, 1994).
Cara kerjanya yaitu cuplikan bahan ditimbang sekitar 0,7 gram (X
gram) dan dibungkus dengan kertas saring bebas lemak sebanyak 3
bungkus, masing-masing bungkusan cuplikan dimasukkan ke dalam oven
pengering 105 sampai 1100C selama semalam, lalu ditimbang bungkusan
cuplikan tersebut dalam keadaan masih panas (Y gram), kemudian
bungkusan cuplikan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi Soxhlet. Labu
penampung diisi dengan petroleum benzen sekitar ½ volume labu
penampung, alat ekstraksi juga diisi sekitar ½ volume dengan petroleum
benzen. Lalu labu penampung dan tabung Soxhlet dipasang, pendingin
dan penangas dihidupkan. Ekstraksi selama sekitar 16 jam (sampai
petroleum benzen dalam alat ekstraksi berwarna jernih), kemudian
pemanas dimatikan, sampel diambil dan dipanaskan dalam oven
pengering 105 sampai 1100C semalaman, setelah itu masukkan dalam
desikator selama satu jam lalu ditimbang (Z gram).
Berdasarkan praktikum yang dilakukan menggunakan 3 sampel
yang memiliki berat yang sama dan sampel bahan yang sama. Sampel A
memiliki bobot sampel 0,7077. Berat bobot kertas saring dan sampel
sebelum ekstraksi 1,0725 gram, setelah dilakukan ekstraksi menjadi
1,0461 gram sehingga kadar ekstrak eter pada sampel A sebesar 4,038%.
Sampel B memiliki bobot sampel 0,7013. Berat bobot kertas saring dan
sampel 105°C sebelum ekstraksi 1,0631 gram, setelah dilakukan ekstraksi
menjadi 1,0374 gram sehingga kadar ekstrak eter pada sampel B sebesar
3,96%. Sampel C memiliki bobot sampel 0,7006. Berat bobot kertas saring
dan sampel 105°C sebelum ekstraksi 1,0784 gram, setelah dilakukan
ekstraksi menjadi 1,0519 gram sehingga kadar ekstrak eter pada sampel
A sebesar 4,09%. Ketiga hasil dari kadar ekstrak eter (dalam BK) di rata-
rata diperoleh 4,03%. Menurut Hartadi (2005), kadar ekstrak eter dalam
tepung daun lamtoro sebesar 5,8%. Hal ini menunjukkan bahwa hasil dari
praktikum tidak sesuai dengan literatur yang ada.
Penetapan kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen. Bahan ekstrak
tanpa nitrogen diperoleh dari hasil mengurangi sampel bahan kering
dengan semua komponen-komponen sesperti air, serat kasar, protein,
dan abu (Tillman, 1998). Berdasarkan hasil praktikum di peroleh kadar
BETN pada tepung daun lamtoro dengan cara mengurangi sampel bahan
kering dengan semua komponen kadar air, kadar serat kasar, kadar
ekstrak eter, dan kadar protein kasar. Hasil dari pengurangan tersebut di
peroleh hasil dari kelompok 25 sebesar 47,408% dan dari kelompok 26
sebesar 35,125%. Perbedaan kadar BETN ini dipengaruhi oleh faktor
spesies tanaman, umur tanaman, perbedaan bagian yang digunakan
untuk sampel, dan kesuburan tanah (Tillman et al., 1998).
KESIMPULAN
Bahan pakan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah
lamtoro, lamtoro dikelompokkan dalam bahan pakan sumber serat. Hasil
yang didapat dari praktikum ini, komposisi kimia dari tepung lamtoro
adalah sebagai berikut, kadar air 74,97%, dengan kandungan bahan
kering 25,03%, kadar abu 16,91%, kadar serat kasar 16,478%, kadar
protein kasar 27,457%, kadar lemak kasar rata-rata 4,03%, dan kadar
ekstrak tanpa nitrogen 35,125%. Adapun hal-hal yang mempengaruhi
kandungan nutrien dalam suatu bahan pakan adalah spesies tanaman,
umur tanaman, perbedaan bagian yang digunakan sebagi sampel,
pemupukan serta kesuburan tanah
DAFTAR PUSTAKA
Benyamin, B. 2002. Pengaruh Penggunaan Tepung Daun Kaliandra dalam
Pakan Buatan Terhadap Pertumbuhan Benih Bawal Air Tawar.
Fakultas Perikanan Universitas Padjajaran. Bandung.
BP4K. 2012. Lamtoro dan Kaliandra sebagai Pakan Ternak. BP4K
Kabupaten Sukabumi.
Hartadi, H., S. Reksohadiprojo, dan A.D. Tillman. 2005. Tabel Komposisi
Pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Kamal, M. 1994. Nutrisi Ternak I. Rangkuman. Lab. Makanan Ternak,
jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, UGM.
Yogyakarta.
Palmer, B., R. J. Jones, E. Wina and B. Tangendjaja. 2000. The effect of
sample drying conditions on estimated of condensed tannin and fibre
content, DM digestibility, nitrogen digestibility and PEG bidning of
Calliandra calothyrsus. Anim. Feed Sci. & Tech. (dalam publikasi).
Rukmana, H. R. 2005. Budi Daya Rumput Unggul Hijauan Makanan
Ternak. Yogyakarta: Kanisius
Sudarmaji, Slamet. 1996. Analisa Bahan Makanan Dan Pertanian. Liberty.
Yogyakarta.
Tangendjaja, B. and E. Wina. 2000. Tannins and ruminant production in
Indonesia. Dalam: Brooker, J. (ed.) Tannins in Livestock and human
nutrition. ACIAR Proceeding no 92: 40-43.
Taopikulah, T. 2007. Pengaruh Pemberian Daun Kaliandra (Calliandra
calothyrsus) Kering dalam Ransum Terhadap Perubahan Berat
Badan dan Jumlah Produksi Susu Sapi Perah Fries Holland. Fakultas
Peternakan Universitas Padjajaran. Bandung
Tillman.D.A, hari hartadi, Soedomo Reksohadiprojo, Soeharto
Prawirokusumo dan Soekanto Lebdosoekojo. 1991,1998. Ilmu
Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Fakultas
Peternakan UGM. Yogyakarta.
Utomo, R dan Soedjono, M. 1999. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum.
Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.
Wina, E., B. Tangendjaja and B. Palmer. 2000. Free and bound tannin
analysis in legume forage. In: Brooker, J. (ed). Tannins in livestock
and human nutrition. ACIAR Proceeding no 92: 82-85.