lap bpfr lamtoro

20
LAPORAN PRAKTIKUM BAHAN PAKAN DAN FORMULASI RANSUM Disusun oleh : Nama : Fauzan Rifqi Giska Putra NIM :12/334520/PT/06382 Kelompok : XXVI Asisten : Santika A. LABORATORIUM TEKNOLOGI MAKANAN TERNAK BAGIAN NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS GADJAH MADA

Upload: ahmad-fajri

Post on 22-Jun-2015

114 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

laporan bpfr

TRANSCRIPT

Page 1: Lap Bpfr Lamtoro

LAPORAN PRAKTIKUM

BAHAN PAKAN DAN FORMULASI RANSUM

Disusun oleh :

Nama : Fauzan Rifqi Giska Putra

NIM :12/334520/PT/06382

Kelompok : XXVI

Asisten : Santika A.

LABORATORIUM TEKNOLOGI MAKANAN TERNAKBAGIAN NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK

FAKULTAS PETERNAKANUNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA2014

Page 2: Lap Bpfr Lamtoro

TINJAUAN PUSTAKA

Lamtoro atau dalam bahasa latin disebut leucaena leucocephala

adalah sejenis perdu dari suku Fabaceae yang kerap digunakan dalam

penghijauan lahan atau pencegahan erosi. Berasal dari Amerika tropis,

tumbuhan ini sudah ratusan tahun diperkenalkan ke Jawa untuk

kepentingan pertanian dan kehutanan dan kemudian menyebar pula ke

pulau-pulau yang lain di Indonesia. Tujuan penanaman lamtoro pada

mulanya untuk penghijauan, mencegah erosi dan mencegah penduduk

mengambil kayu bakar dari hutan. Dengan adanya lamtoro, penduduk

dapat mengambil kayunya untuk kayu bakar sehingga penebangan liar di

hutan oleh penduduk dapat dicegah (Tangendjaja et al., 1992).

Domba dan kambing akan tumbuh lebih baik bila disuplementasi

dengan lamtoro dibandingkan bila hanya diberi rumput. Sebelum diberikan

untuk pakan ternak sebaiknya daun lamtoro dikeringkan terlebih dahulu.

Proses pengeringan yang kurang memberikan efek negatif yaitu

pengeringan secara anaerobik atau tanpa oksigen tetapi dalam

pelaksanaannya hal ini sangat sukar dilakukan (Palmer et al., 2000). Bila

kaliandra dijadikan silase yaitu dengan menyimpannya dalam kantong

plastik hitam selama beberapa minggu maka nilai nutrisi kaliandra dapat

dipertahankan dan ini terbukti dengan tidak adanya perbedaan dalam PBB

domba yang diperoleh dengan membandingkan antara pemberian lamtoro

segar dengan silase lamtoro.

Kandungan mimosin dalam daun lamtoro merupakan salah satu

yang tertinggi dibandingkan dengan daun legum lain seperti putri malu.

Kandungan mimosin ini dapat dikurangi dengan beberapa cara, dan cara

yang paling populer dan sering digunakan oleh peternak adalah dengan

cara dijemur di sinar matahari agar kandungan mimosinnya dapat

berkurang. Sehingga kandungan protein dalam daun lamtoro dapat

dimanfaatkan oleh ternak dengan baik. Biasanya kecernaan DM dan

protein lamtoro meningkat drastis (Wina et al., 2000).

Page 3: Lap Bpfr Lamtoro

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Fisik

Hasil pengamatan fisik pada sampel pakan ternak adalah sebagai

berikut :

Tabel 1 Data Hasil Pengamatan Sampel Bahan Pakan

Parameter PengamatanTeksturWarnaBauRasa (Bila perlu)

HalusHijauApekHambar

Berdasarkan pengamatan fisik yang telah dilakukan didapatkan

hasil sampel mempunyai tekstur halus, warna hijau, bau apek, dan rasa

hambar. Berdasarkan pengamatan fisik di atas dapat diprediksi bahwa

bahan pakan yang digunakan untuk sampel yaitu lamtoro (Leucaena

leucocephala).

Lamtoro (Leucaena leucocephala) termasuk jenis tanaman

leguminosa pohon daerah tropis yang dapat tumbuh dengan cepat. Di

Indonesia tanaman lamtoro ini bisa tumbuh subur hingga bisa tumbuh di

berbagai daerah di indonesia. Jenis tanaman tersebut tersebar luas

dibeberapa daerah, di introduksikan oleh Departeman Kehutanan untuk

penghijauan/reboisasi. Lamtoro (Leucaena leucocephala) dapat tumbuh

pada tanah yang kurang subur dan pada daratan rendah hingga 1500m

dari permukaan laut (BP4K, 2012).

Lamtoro (Leucaena leucocephala) mengandung zat anti nutrisi

mimosin dalam jumlah yang tinggi sehingga dapat berpengaruh

terhadap tingkat pemanfaatan pakan oleh ternak (Tangendjaja dan

Wina, 2000). Fungsi dan manfaat lamtoro sebagai tanaman penghijauan /

reboisasi, tanaman peneduh dan pelindung, penyubur tanah, pakan ternak

dan penahan erosi (BP4K, 2012).

Page 4: Lap Bpfr Lamtoro

Tabel 2 Kandungan Nutrisi tepung lamtoro (Leucaena leucocephala)

Parameter NilaiProtein Kasar (%)Serat Kasar (%)Lemak Kasar (%)

Abu (%)Ekstrak tanpa nitrogen (%)

23,7 %18 %5,8 %9,73 %

36,08 %

(Hartadi, 2005)

Daun lamtoro (Leucaena leucocephala) memiliki kandungan protein

yang lebih dari 20% sehingga penggunaannya dalam pakan dapat

digunakan sebagai sumber protein nabati (Aminah dan widyaningsih,

1999 dalam Benyamin 2002). Dilihat dari kandungan tersebut daun

lamtoro berpeluang untuk dimanfaatkan sebagai bahan campuran pakan.

Analisis Proksimat

Analisis proksimat atau analisis Weende dikerjakan dari Weende

Experiment Station Jerman. Dikatakan analisis proksimat karena nilai

yang diperoleh hanya mendekati nilai komposisi yang sebenarnya, oleh

karena itu untuk menunjukkan nilai dari sistem analisis proksimat selalu

dilengkapi dengan istilah minimum (>) dan maksimum (<) sesuai dengan

manfaat fraksi tersebut (Kamal, 1994).

Cara ini dikembangkan oleh Henneberg dan Stockman pada tahun

1865, dengan menggolongkan komponen yang ada pada pakan. Dari

sistem analisis proksimat dapat diketahui adanya 6 macam fraksi, yaitu (1)

air; (2) abu; (3) protein kasar; (4) lemak kasar; (5) serat kasar dan (6)

Ekstrak tanpa nitrogen (Utomo dan Soejono, 1999).

Page 5: Lap Bpfr Lamtoro

Tabel 3 Data Hasil Analisis Proksimat Sampel Bahan Pakan

Parameter NilaiBahan Kering (%)Protein Kasar (%)Serat Kasar (%)Lemak Kasar (%)

Abu (%)BETN

25,03 %27,457 %16,478 %

4,03 %16,91 %

35,125 %Penetapan kadar air. Penentuan kadar air merupakan hal yang

tersulit dalam analisis proksimat (Tilman, et al., 1998). Penentuan kadar

air dalam analisis proksimat, menggunakan bahan yaitu tepung daun

lamtoro, dalam keadaan kering udara (DW). Bahan tersebut, kemudian

dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105 sampai 110°C selama 1

jam. Menggunakan suhu 105 sampai 110°C karena cairan akan menguap

pada suhu tersebut. Penentuan bobot bahan kering sangat penting karena

bobot bahan kering akan digunakan sebagai standar bobot untuk

penentuan kadar fraksi lainnya (Kamal, 1994). Dry Weight (DW)

merupakan bahan yang dipanaskan dengan sinar matahari sampai kering

atau dengan dioven suhu 55 °C, sedangkan Dry Matter (DM) adalah

bahan pakan yang dipanaskan pada suhu 105-110 °C.

Proses penentuan kadar air dengan menggunakan gelas timbang

atau silica disk yang sebelumnya telah dilakukan proses pengeringan

oven selama 1 jam. Kemudian, silica disk dimasukkan dalam desikator

untuk mendapatkan berat tetap agar gelas timbang dalam keadaan stabil.

Proses penentuan kadar air dengan menimbang bahan pakan, kemudian

diletakkan dalam cawan khusus (silica disk). Bahan pakan yang sudah

ditimbang kemudian dipanaskan dalam oven dengan suhu 105°C.

Pemanasan berjalan sampai sampel dalam keadaan tidak mengalami

penurunan berat atau berat kering. Proses ini dilakukan agar kadar air

dalam bahan pakan menguap.

Page 6: Lap Bpfr Lamtoro

Hasil pengurangan antara berat awal pakan dengan bahan kering

inilah nilai persen air atau kadar air (Tillman, 1998), bahan selama

pendinginan sebelum ditimbang dimasukkan desikator karena bersifat

higroskopis yaitu menyerap air dengan bantuan silica gell. (Sudarmaji,

1996).

Alat yang digunakan antara lain adalah gelas timbang untuk

menimbang sampel pakan, Silika disk sebagai tempat sampel pakan yang

akan dioven. Fungsi dari desikator adalah untuk menstabilkan suhu

supaya tidak terjadi kontaminasi atau sebagai pendingin.

Berdasarkan dari praktikum yang dilakukan pada penentuan kadar

air pada tepung daun kalindra bobot sampel awal pada kelompok 25

1,0068 gram dan kelompok 26 1,0103 gram dengan bobot silika disk

kelompok 25 20,4243 gram dan kelompok 26 21,5640 gram sehingga

bobot sampel dan silika disk sebelum di oven di peroleh 21,4311 gram

pada kelompok 25 dan 22,5743 gram pada kelompok 26. Setelah

dilakukan pengovenan dengan suhu 105°C diperoleh bobot 21,3590 gram

pada kelompok 25 dan 22,4971 gram dari kelompok 26. Sehingga kadar

air yang di peroleh dari tepung daun lamtoro dari kelompok 25 adalah

3,697% dengan bahan kering 38,17% dan dari kelompok 26 kadar airnya

74,97% dengan nilai bahan kering 25,03%. Hasil yang di peroleh dari

kedua kelompok memiliki kandungan bahan kering yang sama. Menurut

Hartadi (2005), kandungan bahan kering pada tepung daun kaliandra

sebesar 29,5%. Hal ini menunjukkan bahwa bahan kering pada tepung

daun lamtoro tidak sesuai dengan literatur yang ada.

Penetapan kadar abu. Praktikum pengujian kadar abu

menggunakan sampel daun lamtoro dalam keadaan kering udara (DW).

Bahan tersebut kemudian ditanur pada suhu 550 sampai 600°C. Hal ini

dikarenakan abu akan dihasilkan apabila bahan dibakar sempurna pada

suhu 550 sampai 600°C selama 12 jam. Senyawa organik yang

terkandung akan terbakar menjadi CO2 dan H2O dan gas lain yang

menguap, sedang sisanya yang tidak menguap adalah abu (Kamal, 1994).

Page 7: Lap Bpfr Lamtoro

Penentuan kadar abu harus menggunakan silica disk, tidak dapat

menggunakan vochdoos karena akan lebur jika ditanur pada suhu 550

sampai 6000C. Tujuan sampel ditanur pada suhu 550 sampai 6000C untuk

mengoksidasi semua zat organik kemudian dimasukkan kedalam

desikator. Fungsi sampel dimasukkan kedalam desikator adalah untuk

menghindari terkontaminasinya sampel oleh udara luar dan untuk

menstabilkan suhu.

Berdasarkan dari praktikum yang dilakukan pada penentuan kadar

abu pada tepung daun lamtoro bobot sampel awal pada kelompok 25

0,9347 gram dan kelompok 26 0,9331 gram dengan bobot silika disk

kelompok 25 20,4243 gram dan kelompok 26 21,5640 gram sehingga

bobot sampel dan silika disk sebelum di tanur dengan suhu 550-600°C di

peroleh 21,3590 gram pada kelompok 25 dan 22,4971 gram pada

kelompok 26. Setelah dilakukan penanuran dengan suhu 550-600°C

selama 2 jam diperoleh bobot 20,5828 gram pada kelompok 25 dan

21,7218 gram dari kelompok 26. Sehingga kadar abu (dalam BK) yang di

peroleh dari tepung daun lamtoro dari kelompok 25 adalah 16,9% dan

16,91% dari kelompok 26. Hasil yang di peroleh dari kedua kelompok

memiliki kandungan bahan kering yang hampir sama. Menurut Hartadi

(2005), kandungan kadar abu pada tepung kalinadra sebesar 8,2%. Hal ini

menunjukkan bahwa kadar abu pada tepung daun lamtoro terlalu tinggi

sehingga tidak sesuai dengan literatur yang ada. Hal ini di sebabkan

karena dalam proses penanuran kurang sempurna.

Penetapan kadar serat kasar. Penetapan kadar serat kasar

dimulai dengan menimbang cuplikan bahan jagung giling sebanyak 0,5

gram kemudian dimasukkan ke dalam beaker glass 600 ml, ditambahkan

200 ml H2SO4 1,25% kemudian dipanaskan sampai mendidih (30 menit).

Penambahan H2SO4 1,25% dimaksudkan agar karbohidrat dan protein

terhidrolisis, selain itu juga bertujuan untuk disesuaikan dengan proses

pencernaan di dalam tubuh ternak monogastrik yaitu pencernaan pada

lambung yang bersifat asam.

Page 8: Lap Bpfr Lamtoro

Kemudian hasil perebusan disaring menggunakan kain linen

dengan menggunakan corong yang dibantu menggunakan pompa vacum

yang sebelumnya dinyalakan pada saat kain linen dan corong disiapakn,

hal ini dimakasudkan agar pori-pori pada kain linen terbuka sehingga

memudahkan dalam penyaringan. Ditambahkan 200 ml NaOH 1,25%

yang dimaksudkan untuk penyabunan lemak serta untuk menyesuaikan

proses pencernaan dalam tubuh ternak (usus). Setelah direbus dan

disaring kembali dengan menggunakan crucibel ditambahkan ethyl alkohol

95% dimaksudkan untuk menghidrolisis lemak yang kemungkinan masih

terkandung dalam serat kasar kemudian dioven, didesikator dan terakhir

dapat ditentukan kadar serat kasar dengan menggunakan persamaan.

Sampel bahan pakan dibungkus dengan kertas minyak yang

berfungsi melindungi sampel dari kontaminasi lingkungan luar. Fungsi

perebusan dengan larutan asam terlebih dahulu baru kemudian larutan

basa karena disesuaikan dengan sistem pencernaan pada hewan

monogastrik yang tidak bisa mencerna serat kasar sehingga dapat

diketahui serat kasarnya. Ethyl alkohol ditambahkan untuk mencuci

ampas agar terbebas dari lemak. Penyaringan menggunakan pompa

vacum. Kain linen sebelum digunakan untuk menyaring dicuci terlebih

dahulu menggunakan air panas yang berfungsi membuka pori-pori kain

sehingga berfungsi maksimum pada saat penyaringan. Penyaringan

terakhir menggunakan crussible yang dilapisi dengan glass wool.

Crussible digunakan karena mempunyai dasar yang berlubang-lubang

sehingga dapat digunakan untuk menyaring dan sekaligus untuk menanur

karena mempunyai titik leleh tinggi sehingga tahan terhadap suhu ketika

ditanur. Crussible harus dilapisi glass wool pada saat penyaringan agar

sampel tidak ikut terbuang ketika penyaringan karena lubang penyaringan

pada crussible yang terlalu besar (Kamal, 1994).

Berdasarkan dari praktikum yang dilakukan pada penentuan kadar

serat kasar pada tepung daun lamtoro bobot sampel awal pada kelompok

25 1,0046 gram dan kelompok 26 1,0017 gram dengan bobot sampel,

Page 9: Lap Bpfr Lamtoro

crusible, dan glasswool setelah di oven dengan suhu 105°C kelompok 25

21,6291 gram dan kelompok 26 22,1480 gram sehingga bobot sampel,

crusible, dan glasswool setelah di tanur dengan suhu 550-600°C di

peroleh 21,4802 gram pada kelompok 25 dan 21,9955 gram pada

kelompok 26. Sehingga kadar serat kasar (dalam BK) yang di peroleh dari

tepung daun lamtoro dari kelompok 25 adalah 15,96% dan 16,478% dari

kelompok 26. Hasil yang di peroleh dari kedua kelompok memiliki

kandungan bahan kering yang hampir sama. Menurut Hartadi (2005),

kadar serat kasar pada tepung daun kaliandra sebesar 18%. Hal ini

menunjukkan bahwa hasil dari praktikum hampir sesuai dengan literatur

yang ada.

Penetapan kadar protein kasar. Prinsip penentuan protein kasar

yaitu asam sulfat pekat (H2SO4 pekat) dengan katalisator CuSO4 dan

K2SO4 dapat memecah senyawa nitrogen dan selanjutnya berubah

menjadi (NH4)2SO4 kecuali nitrat dan nitrit. Ammonium sulfat ((NH4)2SO4)

dalam suasana alkalis akan melepaskan ammonia (NH3) yang selanjutnya

ditampung di dalam asam sulfat standar (H2SO4 0,1 N) atau asam borax

standar (H3BO3 0,1 N). Penampung dan blanko dititrasi dengan NaOH 0,1

N atau HCl 0,1 N, dengan demikian dapat diketahui jumlah ammonianya

yang berarti juga dapat diketahui jumlah nitrogennya dan akhirnya dapat

dihitung kadar protein kasarnya (Kamal, 1994).

Sampel bahan pakan dibungkus kertas saring bebas lemak yang

berfungsi melindungi sampel dari kontaminasi lingkungan luar karena

kertas saring bebas lemak mempunyai sifat semi permeable yang selektif.

Penetapan kadar protein kasar melalui tiga tahap yaitu destruksi, destilasi,

dan titrasi. Destruksi yaitu melepaskan N organik sampel dengan

penambahan H2SO4 pekat yang berfungsi memecah ikatan N organik dan

membentuk (NH4)2SO4. Pada tahap ini menggunakan katalisator tablet

kjeltab yang berfungsi mempercepat reaksi. Destilasi yaitu melepaskan

NH3 yang kemudian ditangkap oleh H3BO3 dengan bantuan NaOH sebagai

pensuasana basa. Titrasi yaitu mengetahui jumlah N yang terdestilasi

Page 10: Lap Bpfr Lamtoro

menggunakan larutan HCl dan indikator mix sebagai indikator perubahan

warna.

Berdasarkan dari praktikum yang dilakukan pada penentuan kadar

abu pada tepung daun lamtoro bobot sampel awal pada kelompok 25

0,5069 gram dan kelompok 26 0,5003 gram. Volume tritasi blanko 0,3 ml

dari kelompok 25 dan 26. Volume tritasi dari kelompok 25 15 ml dan

kelompok 26 volume tritasinya 14,8 ml, sehingga di peroleh hasil kadar

protein kasar (dalam BK) sebesar 25,37% dari kelompok 25 dan dari

kelompok 26 sebesar 27,457%. Hasil yang di peroleh dari kedua

kelompok memiliki kandungan bahan kering yang tidak berbeda jauh.

Meurut Hartadi (2005), kandungan protein kasar pada tepung daun

kaliandra 23,7%. Hal ini menunjukkan bahwa tepung daun lamtoro

berbeda tipis dengan literatur yang ada. Oleh karena itu, kandungan

protein kasar pada tepung daun kaliandra sesuai dengan literatur.

Penetapan kadar ekstrak eter. Prinsip penetapan kadar lemak

kasar yaitu penentuan lemak kasar dapat dikerjakan dengan jalan

ekstraksi menggunakan zat pelarut lemak menurut Soxhlet, apabila sudah

larut kemudian pelarut lemaknya diuapkan maka yang tertinggal adalah

lemak kasarnya (Kamal, 1994).

Cara kerjanya yaitu cuplikan bahan ditimbang sekitar 0,7 gram (X

gram) dan dibungkus dengan kertas saring bebas lemak sebanyak 3

bungkus, masing-masing bungkusan cuplikan dimasukkan ke dalam oven

pengering 105 sampai 1100C selama semalam, lalu ditimbang bungkusan

cuplikan tersebut dalam keadaan masih panas (Y gram), kemudian

bungkusan cuplikan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi Soxhlet. Labu

penampung diisi dengan petroleum benzen sekitar ½ volume labu

penampung, alat ekstraksi juga diisi sekitar ½ volume dengan petroleum

benzen. Lalu labu penampung dan tabung Soxhlet dipasang, pendingin

dan penangas dihidupkan. Ekstraksi selama sekitar 16 jam (sampai

petroleum benzen dalam alat ekstraksi berwarna jernih), kemudian

pemanas dimatikan, sampel diambil dan dipanaskan dalam oven

Page 11: Lap Bpfr Lamtoro

pengering 105 sampai 1100C semalaman, setelah itu masukkan dalam

desikator selama satu jam lalu ditimbang (Z gram).

Berdasarkan praktikum yang dilakukan menggunakan 3 sampel

yang memiliki berat yang sama dan sampel bahan yang sama. Sampel A

memiliki bobot sampel 0,7077. Berat bobot kertas saring dan sampel

sebelum ekstraksi 1,0725 gram, setelah dilakukan ekstraksi menjadi

1,0461 gram sehingga kadar ekstrak eter pada sampel A sebesar 4,038%.

Sampel B memiliki bobot sampel 0,7013. Berat bobot kertas saring dan

sampel 105°C sebelum ekstraksi 1,0631 gram, setelah dilakukan ekstraksi

menjadi 1,0374 gram sehingga kadar ekstrak eter pada sampel B sebesar

3,96%. Sampel C memiliki bobot sampel 0,7006. Berat bobot kertas saring

dan sampel 105°C sebelum ekstraksi 1,0784 gram, setelah dilakukan

ekstraksi menjadi 1,0519 gram sehingga kadar ekstrak eter pada sampel

A sebesar 4,09%. Ketiga hasil dari kadar ekstrak eter (dalam BK) di rata-

rata diperoleh 4,03%. Menurut Hartadi (2005), kadar ekstrak eter dalam

tepung daun lamtoro sebesar 5,8%. Hal ini menunjukkan bahwa hasil dari

praktikum tidak sesuai dengan literatur yang ada.

Penetapan kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen. Bahan ekstrak

tanpa nitrogen diperoleh dari hasil mengurangi sampel bahan kering

dengan semua komponen-komponen sesperti air, serat kasar, protein,

dan abu (Tillman, 1998). Berdasarkan hasil praktikum di peroleh kadar

BETN pada tepung daun lamtoro dengan cara mengurangi sampel bahan

kering dengan semua komponen kadar air, kadar serat kasar, kadar

ekstrak eter, dan kadar protein kasar. Hasil dari pengurangan tersebut di

peroleh hasil dari kelompok 25 sebesar 47,408% dan dari kelompok 26

sebesar 35,125%. Perbedaan kadar BETN ini dipengaruhi oleh faktor

spesies tanaman, umur tanaman, perbedaan bagian yang digunakan

untuk sampel, dan kesuburan tanah (Tillman et al., 1998).

Page 12: Lap Bpfr Lamtoro

KESIMPULAN

Bahan pakan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah

lamtoro, lamtoro dikelompokkan dalam bahan pakan sumber serat. Hasil

yang didapat dari praktikum ini, komposisi kimia dari tepung lamtoro

adalah sebagai berikut, kadar air 74,97%, dengan kandungan bahan

kering 25,03%, kadar abu 16,91%, kadar serat kasar 16,478%, kadar

protein kasar 27,457%, kadar lemak kasar rata-rata 4,03%, dan kadar

ekstrak tanpa nitrogen 35,125%. Adapun hal-hal yang mempengaruhi

kandungan nutrien dalam suatu bahan pakan adalah spesies tanaman,

umur tanaman, perbedaan bagian yang digunakan sebagi sampel,

pemupukan serta kesuburan tanah

Page 13: Lap Bpfr Lamtoro

DAFTAR PUSTAKA

Benyamin, B. 2002. Pengaruh Penggunaan Tepung Daun Kaliandra dalam

Pakan Buatan Terhadap Pertumbuhan Benih Bawal Air Tawar.

Fakultas Perikanan Universitas Padjajaran. Bandung.

BP4K. 2012. Lamtoro dan Kaliandra sebagai Pakan Ternak. BP4K

Kabupaten Sukabumi.

Hartadi, H., S. Reksohadiprojo, dan A.D. Tillman. 2005. Tabel Komposisi

Pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Kamal, M. 1994. Nutrisi Ternak I. Rangkuman. Lab. Makanan Ternak,

jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, UGM.

Yogyakarta.

Palmer, B., R. J. Jones, E. Wina and B. Tangendjaja. 2000. The effect of

sample drying conditions on estimated of condensed tannin and fibre

content, DM digestibility, nitrogen digestibility and PEG bidning of

Calliandra calothyrsus. Anim. Feed Sci. & Tech. (dalam publikasi).

Rukmana, H. R. 2005. Budi Daya Rumput Unggul Hijauan Makanan

Ternak. Yogyakarta: Kanisius

Sudarmaji, Slamet. 1996. Analisa Bahan Makanan Dan Pertanian. Liberty.

Yogyakarta.

Tangendjaja, B. and E. Wina. 2000. Tannins and ruminant production in

Indonesia. Dalam: Brooker, J. (ed.) Tannins in Livestock and human

nutrition. ACIAR Proceeding no 92: 40-43.

Taopikulah, T. 2007. Pengaruh Pemberian Daun Kaliandra (Calliandra

calothyrsus) Kering dalam Ransum Terhadap Perubahan Berat

Badan dan Jumlah Produksi Susu Sapi Perah Fries Holland. Fakultas

Peternakan Universitas Padjajaran. Bandung

Tillman.D.A, hari hartadi, Soedomo Reksohadiprojo, Soeharto

Prawirokusumo dan Soekanto Lebdosoekojo. 1991,1998. Ilmu

Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Fakultas

Peternakan UGM. Yogyakarta.

Page 14: Lap Bpfr Lamtoro

Utomo, R dan Soedjono, M. 1999. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum.

Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Wina, E., B. Tangendjaja and B. Palmer. 2000. Free and bound tannin

analysis in legume forage. In: Brooker, J. (ed). Tannins in livestock

and human nutrition. ACIAR Proceeding no 92: 82-85.