lap lapan zona pesisir potensi ikan
TRANSCRIPT
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Perlunya pemanfaatan Wilayah Pesisir
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, dimana
wilayahnya terdiri dari sekitar 18.000 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km
yang membentang luas dari Sabang (Sumatera) sampai Merauke (Irian Jaya). Luas
wilayah perairan Indonesia meliputi sekitar 62% dari luas teritorial, serta memiliki potensi
dan keanekaragaman jenis hayati maupun plasma nuftah yang sangat besar, sehingga
merupakan wilayah yang sangat produktif. Produktivitas primer di wilayah pesisir (biasa
disebut coastal zone yang meliputi wilayah darat dan wilayah perairan di dekat pantai),
seperti estuari, mangrove, padang lamun, dan terumbu karang, dapat mencapai lebih dari
10.000 grC/m2/th, sedangkan produktivitas primer rata-rata wilayah pesisir dapat
mencapai lebih dari 500 grC/m2/th (Supriharyono. 2000). Nilai produktivitas primer di
wilayah pesisir ini sangat tinggi dibandingkan dengan produktivitas primer di wilayah
perairan laut lepas (offshore). Dengan alasan tersebut, sudah sepantasnya Pemerintah
Indonesia mengambil kebijakan yang strategis terhadap pemanfaatan wilayah pesisir
tersebut.
Dahuri et al. (2000) menyatakan 4 alasan pokok Pemerintah Indonesia menjadikan
pembangunan sumber daya laut sebagai kebijakan strategis, yaitu :
1) Fakta fisik bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang
terdiri dari 18.108 pulau (Kompas, 17 Februari 2003) dengan garis pantai sepanjang
81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta km2 atau 62% dari luas teritorialnya.
2) Semakin meningkatnya kegiatan pembangunan dan jumlah penduduk serta semakin
menipisnya sumberdaya alam di daratan.
3) Pergeseran konsentrasi kegiatan ekonomi global dari poros Eropa-Atlantik menjadi
poros Asia Pasifik yang diikuti perdagangan bebas dunia pada tahun 2020 menjadikan
kekayaan laut Indonesia menjadi aset nasional.
4) Dalam menuju era industrialisasi, wilayah pesisir dan lautan termasuk prioritas utama
untuk pusat pengembangan kegiatan industri, pariwisata, agrobisnis, agroinduistri,
permukiman, transportasi dan pelabuhan.
Untuk Bidang Perikanan,Total nilai ekonomi potensi sumber daya perikanan
Indonesia diperkirakan mencapai US$ 82.06 Milyar (DKP, 2003), belum termasuk potensi
yang dapat dikembangkan dari sektor pariwisata bahari maupun perhubungan laut.
Secara lebih rinci potensi ekonomi perikanan disajikan pada Tabel 1-1 berikut :
1
Tabel 1-1 Potensi Ekonomi sumberdaya Perikanan Indonesia.
Komoditas Potensi maksimum
lestari (1000 ton) Perkiraan Nilai (US$ Miliar)
Perikanan Tangkap 5.006 15,10
Perairan Umum 356 1,07
Budidaya Laut 46.700 46,70
Budidaya Tambak 1.000 10,00
Budidaya Air Tawar 1.039 5,19
Bioteknologi Kelautan - 4,00
Jumlah 82,06
Sumber: DKP (2003).
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai institusi pusat yang berwenang
dalam hal pengelolaan wilayah pesisir dan lautan pada tahun 2003 telah mencanangkan
program Gerakan Nasional Pembangunan (Gerbang) Mina Bahari dengan target produksi
perikanan tahun 2006 sebesar 9,5 juta ton, kontribusi terhadap PDB sebesar 10 %,
pencapaian devisa dari ekspor sebesar US$ 10 Milyar, penyerapan tenaga kerja 7,4 juta
orang dan tingkat konsumsi ikan 30 kg/kapita/tahun.
Sumber daya wilayah pesisir lainnya adalah bidang Pariwisata bahari. Pada tahun
2002 pemerintah telah mencanangkan program ekowisata dan tahun 2003 ditetapkan
sebagai tahun wisata bahari. Direktorat Diversifikasi Produk Pariwisata Bahari-Sub
Direktorat Pengembangan Pariwisata (2002) menyatakan bahwa realisasi tahun wisata
bahari adalah berupa pengembangan objek-obkek wisata bahari baru dalam bentuk
pengembangan wisata dengan ketertarikan khusus seperti menyelam (diving), snorkling
dan surfing. Dengan modal keindahan alam dan keragaman flora/fauna yang sangat khas
dan tak dimiliki oleh negara lain. Maka pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal
Pariwisata menargetkan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia pada
tahun 2003 adalah sebesar 6,3 juta orang, dan dari sektor ini diharapkan dapat meraup
devisa sebesar 6,3 milyar dollar AS (Kompas, 2002).
1.2. Potensi wilayah Pesisir Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo 1.2.1. Kabupaten Banyuwangi
Banyuwangi, sebuah kabupaten paling ujung timur propinsi Jawa Timur dengan
posisi geografis 7o40’ – 8o46’ LS dan 113o 53’ – 114o38’ BT, memiliki luas wilayah 5.782,50
2
km2 dengan panjang garis pantai 291,5 km dan menyimpan potensi sumber daya pesisir
yang cukup besar dan beragam sehingga pihak pemerintah pusat melalui Badan
Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) tahun 2001 memberikan arahan prioritas
pengembangan kawasan laut dan pesisir Banyuwangi dan sekitarnya menjadi 3 (tiga)
sektor unggulan, yaitu perikanan, pertambangan dan pariwisata dengan kota Banyuwangi
sebagai main project nya.
Bagi Kabupaten Banyuwangi, Otonomi Daerah (Otoda) adalah kata yang
diterjemahkan menjadi pembentukan sikap mandiri yang mengacu kepada dua hal, yaitu
pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Seiring kewenangan
daerah mengelola keuangan sendiri, Banyuwangi juga tak ketinggalan memacu
pendapatan asli daerah (PAD). Kenaikan PAD yang cukup besar yang “hanya” dari Rp.9,9
milyar pada tahun 2000 menjadi Rp.35 Milyar pada tahun 2003 di capai melalui
pembangunan kawasan berbasis maritim melalui kegiatan proyek pembuatan terumbu
karang, pengembangan pantai, dan pengelolaan perikanan dengan melibatkan
masyarakat pesisir pantai Kabupaten Banyuwangi.
1.2.2. Kabupaten Situbondo
Kabupaten Situbondo yang daerah fisiknya memanjang dari barat ke timur
sepanjang pantai Selat Madura dengan panjang ±150 km, dan kedalaman wilayahnya
dari pantai rata-rata 11 m, secara geografis sangat potensial untuk usaha budidaya
perikanan pantai. Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah
memberikan peluang kepada Kabupaten Situbondo untuk mengelola sumberdaya
kelautan sepanjang 4 mil. Pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Situbondo menjadi
lokasi budidaya perikanan diharapkan akan memberikan kontribusi yang nyata bagi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Situbondo (Pemerintah Kabupaten Situbondo,
2001).
Program Pembangunan Kelautan dan Perikanan di daerah Kabupaten Situbondo
menempati urutan prioritas program kedua setelah Program Pengembangan Agribisnis
dan Ketahanan Pangan. Program Kelautan dan Perikanan tersebut bertujuan
memberdayakan masyarakat wilayah pesisir pantai dengan meningkatkan produksi
kelautan dan perikanan di seluruh wilayah pantai Kabupaten Situbondo. Dalam hal itu,
Kabupaten Situbondo menargetkan peningkatan produksi perikanan mencapai sebesar
17.353 ton dengan perkiraaan nilai produksi perikanan laut sebesar 62.685.000 rupiah
pada tahun 2005 (Pemerintah Kabupaten Situbondo, 2001).
3
1.3. Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh berbasis satelit untuk Indentifikasi Potensi Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan
Teknologi Penginderaan Jauh (Remote sensing) sering diartikan sebagai teknologi
untuk mengidentifikasi suatu objek di permukaan bumi tanpa melalui kontak langsung
dengan objek tersebut. Saat ini teknologi penginderaan jauh berbasis satelit menjadi
sangat populer dan digunakan untuk berbagai tujuan kegiatan, salah satunya untuk
mengidentifikasi potensi sumber daya wilayah pesisir dan lautan. Hal ini disebabkan
teknologi ini memiliki beberapa kelebihan, seperti: harganya yang relatif murah dan
mudah didapat, adanya resolusi temporal (perulangan) sehingga dapat digunakan untuk
keperluan monitoring, cakupannya yang luas dan mampu menjangkau daerah yang
terpencil, bentuk datanya digital sehingga dapat digunakan untuk berbagai keperluan dan
ditampilkan sesuai keinginan.
Pemanfaatan data penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) telah
banyak dilakukan dalam kaitannya dengan kebutuhan pengembangan wilayah pesisir dan
lautan. Penelitian dilakukan mulai dari pengembangan model parameter fisik perairan
(suhu permukaan laut, Klorofil, Muatan Padat Tersuspensi, Kecerahan perairan dll)
wilayah pesisir sampai dengan kegiatan yang bersifat aplikasi seperti monitoring dan
penentuan zona potensi pengembangan dan pemanfaatan wilayah pesisir.
Beberapa contoh hasil penelitian yang berkaitan dengan pengembangan model
untuk penentuan distribusi parameter fisik perairan adalah sebagai berikut: Pembangunan
model algoritma Suhu Permukaan Laut dan Klorofil (indikasi kesuburan perairan) untuk
berbagai wilayah perairan menggunakan data satelit resolusi moderat dan resolusi tinggi,
seperti: satelit NOAA, SeaWiFS, IRS, Modis. J.W. Chipman et. al. (2004) membangun
algoritma kecerahan perairan dengan model Seichi Disk Transparency (DSP)
menggunakan data satelit Landsat multi temporal untuk sebagian besar danau wilayah
Amerika Serikat. Budhiman (2004) menggunakan beberapa data satelit meliputi Landsat
TM dan ETM, Aster dan SeaWiFS untuk memperoleh model algoritma dalam penentuan
Muatan Padat Tersuspensi di perairan Delta Mahakam,
Penelitian yang berkaitan dengan kegiatan monitoring dan pengembangan wilayah
pesisir adalah sebagai berikut: Ratnasermpong (1996) mengkaji peranan penginderaan
jauh untuk pemantauan hutan mangrove dan tambak udang di Thailand; Ramesh dan
Rajkumar (1996) mengkaji penggunaan data penginderaan jauh dan SIG untuk
perencanaan penentuan lokasi budidaya perikanan pantai di Tamil Nadu, India; Winarso
et al. (1999) melakukan analisis geomorfologi untuk studi kesesuaian lahan tambak udang
di Ketapang, Sulawesi Selatan; Niendyawati (1999) memanfaatkan data penginderaaan
4
jauh dan SIG untuk penentuan lokasi tambak udang di pantai timur Lampung; Riqqi dan
Nganro (2002) memanfaatkan SIG untuk menentukan prototipe pemanfaatan dan
pengelolaan kawasan Tambak di Serang (Banten), LAPAN (2002) memanfaatkan data
penginderaan Jauh dan SIG untuk inventarisasi potensi pariwisata bahari di Propinsi
Nusa Tenggara Timur dan Gorontalo, Bambang et. al.(2003) memanfaatkan data
penginderaan jauh dan SIG untuk analisa kesesuaian kegiatan budidaya laut dan
pariwisata bahari untuk propinsi Nusa Tenggara Barat.
Pada kegiatan ini, data satelit beresolusi tinggi dan moderat (Landsat, NOAA dan
Fengyun) dan data sekunder dimanfaatkan untuk mengamati parameter fisik perairan
(Bathimetri, SPL, MPT, Kecerahan), parameter fisik daratan (Landuse, DEM, sungai,
slope dan bentuk pantai), sumberdaya alam (terumbu karang, pasir, mangrove, lamun)
dan parameter sosek (sarana/prasarana) di wilayah pesisir. Kemudian dengan
menggunakan model pembobotan dan analisa spasial, akan dicoba untuk menilai potensi
wilayah pesisir sebagai informasi awal berbasis teknologi penginderaan jauh bagi
pengembangan budidaya ikan karang menggunakan keramba jaring apung dan
pariwisata bahari di wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo. Untuk
mempertinggi tingkat kepercayaan dan memaksimalkan penggunaan teknologi
penginderaan jauh, dilakukan koreksi (geometrik, radiometrik dan atmosferik), perbaikan
metoda dan penggunaan algoritma yang berbasiskan nilai reflektansi.
1.4. Tujuan, Sasaran, Ruang lingkup dan Output dari Kegiatan
Tujuan dari kegiatan ini adalah mengidentifikasikan kawasan berpotensi untuk
pengembangan wilayah pesisir, khususnya kegiatan budidaya laut dan pariwisata bahari
di Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo dengan menggunakan informasi penginderaan
inderaja dan SIG. Sasarannya adalah tersedianya informasi kondisi fisik perairan wilayah
pesisir, informasi sumberdaya alam dan informasi spasial zona potensi budidaya laut dan
pariwisata bahari wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo, yang diharapkan
dapat bahan pertimbangan (early information) bagi pemerintah Kabupaten Banyuwangi
dan Situbondo dalam pengembangan budidaya laut dan pariwisata bahari.
Ruang lingkup dari kegiatan ini adalah sebagai berikut:
Melakukan identifikasi parameter fisik perairan di wilayah pesisir Banyuwangi dan
Situbondo,
•
•
•
Melakukan identifikasi potensi sumberdaya alam di wilayah pesisir Banyuwangi dan
Situbondo,
Melakukan analisis pengembangan budidaya laut di wilayah pesisir Banyuwangi.
5
Melakukan analisis pengembangan pariwisata bahari di wilayah pesisir Situbondo. •
Output yang diharapkan berupa:
Informasi spasial parameter fisik perairan wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi
dan Situbondo,
Informasi spasial sumberdaya alam wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi dan
Situbondo
Informasi spasial wilayah perairan untuk budidaya perikanan karang wilayah pesisir
Kabupaten Banyuwangi,
Informasi spasial wilayah perairan untuk pariwisata bahari wilayah pesisir Kabupaten
Banyuwangi dan Situbondo.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Penataan ruang yang baik dalam pemanfaatan wilayah pesisir adalah mutlak
diperlukan. Salah satu cara untuk mendapatkan tata ruang yang baik adalah dengan
melakukan evaluasi lahan dan klasifikasi kesesuaian lahan yang dalam kegiatan ini
berhubungan dengan pengembangan budidaya perikanan dan pariwisata di wilayah pesisir.
Salah satu komponen dasar dalam pengelolaan perikanan dan pariwisata adalah
inventarisasi sumberdaya alam di wilayah pesisir. Kegiatan tersebut adalah vital bagi
pengelola untuk mengetahui kualitas dan keberadaan dari sumberdaya pesisir, terutama
sumberdaya yang penting bagi industri perikanan pantai dan pariwisata sekaligus sebagai
pengatur lingkungan (Martin, 1993). Oleh karena itu perlu dipahami pengetahuan mengenai
karakteristik wilayah pesisir dan sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya.
2.1. Wilayah Pesisir dan Potensinya
Menurut Dirjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (2001), ada 3 batasan pendekatan untuk
mendefinisikan wilayah pesisir yaitu:
1. Pendekatan ekologis: wilayah pesisir merupakan kawasan daratan yang masih
dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, seperti pasang surut dan intrusi air laut; dan
kawasan laut yang masih diengaruhi oleh proses-proses daratan seperti sedimentasi dan
pencemaran.
2. Pendekatan administrasi: wilayah pesisir adalah wilayah yang secara administrasi
pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau kabupaten
atau kota yang mempunyai laut dan kearah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk
propinsi atau sepertiganya untuk kabupaten atau kota.
3. Pendekatan perencanaan: wilayah pesisir merupakan wilayah perencanaan pengelolaan
sumber daya yang difokuskan pada penanganan isu yang akan dikelola secara
bertanggung jawab.
Gambar 2-1, meperlihatkan batas-batas fisik wilayah pesisir (Brahtz, 1972; dalam
Supriharyono, 2000). Dimana wilayah pesisir (Coastal area) terdiri dari wilayah yang meliputi
lahan pesisir (Coast), pantai (Shore) dan perairan dangkal (Nearshore).
Keunikan wilayah pesisir serta beragamnya sumberdaya yang ada, mengisyaratkan
pentingnya pengelolaan wilayah tersebut secara terpadu bukan secara sektoral. Menurut
Dahuri (2000) lima alasan mengapa wilayah pesisir perlu dikelola secara terpadu:
1) Secara empiris, terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar
ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas
dan laut lepas. Dengan demikian perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem, cepat
7
atau lambat akan mempengaruhi ekosistem yang lainnya.
2) Dalam suatu kawasan pesisir biasanya terdapat lebih dari dua macam sumberdaya
alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan,
3) Dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok
masyarakat (orang) yang memiliki ketrampilan/keahlian dan kesenangan (preference)
bekerja yang berbeda. Padahal sangat sukar untuk mengubah profesi seseorang yang
sudah mentradisi menekuni suatu bidang pekerjaan,
4) Baik secara ekologis maupun ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara
monokultur (single use) adalah sangat rentan terhadap perubahan intemal maupun
ekstemal yang menjurus kepada kegagalan usaha,
5) Kawasan pesisir pada umumnya adalah merupakan sumberdaya milik bersama
(common property resources) yang dapat dimanfaatakn oleh semua orang (open acces).
Padahal setiap pengguna sumberdaya pesisir biasanya berprinsip memaksimalkan
keuntungan
.
Gambar 2-1 Batas-Batas Fisik Wilayah Pesisir
Potensi sumber daya wilayah pesisir sangat beragam, Dirjen Pesisir dan Pulau-pulau
kecil (2001) membagi potensi tersebut menjadi 2 bagian, yaitu:
1. Sumber daya hayati
Seperti: bermacam jenis ikan, udang, rumput laut, mangrove, terumbu karang
2. Sumber daya non hayati
Seperti: bermacam jenis mineral, pertambangan dan energi (gas dan minyak)
Selain itu bentuk kekayaan alam yang indah, kondisi perairan dan keanekaragaman flora
fauna di wilayah pesisir dapat dimanfaatkan untuk tujuan pariwisata. Misalnya
memanfaatkan kawasan terumbu karang yang mempunyai berbagai macam jenis ikan
8
karang dan ikan hias, memanfaakan kawasan magrove dimana Indonesia merupakan
tempat komunitas magrove terluas di dunia. Sampai akhir tahun 2002, terdapat 241 daerah
kabupaten atau kota yang memiliki wilayah pesisir (Sapta Putra, Pers.comm 2000). Dengan
demikian Indonesia memiliki lokasi obyek wisata bahari yang cukup besar dibandingkan
negara manapun.
2.2. Budaya Ikan Kerapu Menggunakan Keramba Jaring Apung 2.2.1. Ikan Kerapu
Dalam pergaulan internasional kerapu dikenal dengan nama grouper atau trout,
mempunyai sekitar 46 spesies yang tersebar di berbagai jenis habitat. Dari semua spesies
tersebut, bisa dikelompokkan ke dalam 7 genus meskipun hanya 3 genus yang sudah
dibudidayakan dan menjadi jenis komersial yaitu genus Chromileptes, Plectropomus, dan
Epinephelus.
Spesies kerapu komersial Chromileptes altivelis merupakan jenis kerapu yang saat ini
paling mahal. Jenis kerapu ini disebut juga polka dot grouper atau hump backed rocked atau
dalam bahasa lokal sering disebut ikan kerapu bebek/tikus. Ciri-ciri tubuh adalah berwarna
dasar abu-abu dengan bintik hitam. Ikan yang muda merupakan ikan hias laut yang
mempunyai bintik lebih besar serta lebih sedikit dibandingkan ikan yang lebih tua (Gambar 2-2(a)). Daerah habitatnya meliputi Kep. Seribu, Kep. Riau, Bangka, Lampung dan kawasan
perairan terumbu karang.
Kerapu s
ditemukan hid
disebut juga
Mempunyai b
Gambar 2-2. Jenis Ikan Kerapu Yang Telah Dibudidayakan.
unuk (Plectropomus maculatus) yang dikenal sebagai coral trout sering
up di perairan berkarang. Warna tubuh merah atau kecoklatan sehingga
kerapu merah, yang warnanya bisa berubah apabila dalam kondisi stress.
intik-bintik biru bertepi warna lebih gelap (Gambar 2-2(c)). Daerah habitat
9
tersebar di perairan Kep. Karimanjawa, Kep. Seribu, Lampung Selatan, Kep. Riau, Bangka
Selatan, dan perairan terumbu karang.
Kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) mempunyai warna dasar hitam
berbintik-bintik rapat yang berwarna gelap sehingga disebut juga kerapu hitam, sirip dada
kerapu macan berwarna kemerahan, sedangkan bagian pinggir sirip-sirip lainnya berwarna
cokelat kemerahan (Gambar 2-2(b)). Sedangkan Kerapu Lumpur atau estuary grouper
(Epinephelus suillus) mempunyai warna dasar abu-abu muda dengan bintik coklat dan
mempunyai lima pita vertikal berwarna gelap (Gambar 2-2(d)). Kedua spesies ini paling
banyak dikenal dan dibudidayakan karena laju pertumbuhannya yang cepat dan benih relatif
lebih banyak ditemukan. Daerah habitat banyak ditemukan di Teluk Banten, Segara Anakan,
Kep. Seribu, Lampung, dan daerah muara sungai (Sunyoto P., 2000).
2.2.2. Keramba Jaring Apung (KJA)
Pengembangan budidaya ikan kerapu dengan karamba jaring apung (KJA) merupakan
salah satu alternatif untuk mengatasi kendala peningkatan produksi perikanan laut. Hal ini
dikarenakan teknologi KJA ini mempunyai banyak keuntungan dibandingkan cara
pemeliharaan dan penangkapan ikan secara konvensional seperti yang telah diuraikan di
bab 1 pendahuluan. Gambar 2-3 memperlihatkan salah satu bentuk karamba jaring apung di
laut.
Gambar 2-3 Karamba Jaring Apung di Laut
Berdasarkan laporan evaluasi pembangunan kelautan dan perikanan tahun 2001 oleh
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo, Tempat kegiatan budidaya ikan kerapu
dengan menggunakan KJA di Kabupaten Situbondo adalah di perairan Klatakan kecamatan
Kendit dengan jumlah KJA 18 unit (69 petak jaring), perairan Gelung kecamatan Panarukan
dengan jumlah KJA 11 unit (39 petak jaring) dan perairan Sumberwaru kecamatan
10
Banyuputih dengan jumlah KJA 8 unit (32 petak jaring). Jenis ikan yang dipelihara di KJA
tersebut terdiri dari: Ikan kerapu tikus, kerapu macan, kerapu lumpur, kerapu sunu dan
kerapu sumay. Ukuran benih sebar bervariasi antara 20-300 gram/ekor, sedangkan lama
pemeliharaan 7-12 bulan bergantung kepada jenis ikan dan ukuran benih sebar. Semakin
besar ukuran benih sebar semakin cepat waktu pemeliharaan.
Menurut majalah Trubus (Redaksi Trubus, 2000), Kontruksi KJA yang terbaik adalah
terdiri dari karamba-karamba jaring yang dipasangkan pada rakit terapung. Untuk membuat
KJA, pertama adalah pembuatan rakit apung yang bahan bakunya bisa dari kayu, bambu,
pipa besi atau paralon dan dilengkapi pelampung untuk mengapungkannya. Pelampung
yang digunakan biasanya adalah: drum plastik, drum oli atau pelampung stereofoam. Ukuran
rakit bervariasi, umumnya dibuat 8 m × 8 m per unit dengan 4 petak karamba jaring
berukuran 3 m × 3 m × 3 m dibawahnya. Dalam satu lokasi biasanya terpasang
beberapa unit rakit, dimana salah satunya dilengkapi rumah jaga untuk memudahkan
pekerjaan perawatan dan pengawasan di lokasi. Yang kedua pembuatan dan penyiapan 3
macam karamba jaring, yaitu untuk Pendederan (pemeliharaan yang dimulai saat benih ikan
kerapu berukuran 2–3 cm dengan bobot rata-rata 1,2 gram), Penggelondongan (dimulai saat
ukuran mencapai 25 – 50 gram/ekor) dan Pembesaran (dimulai saat ukuran mencapai 75 –
100 gram/ekor).
2.2.3. Peluang Pasar - Pasar Ekspor
Perkembangan ekspor Ikan, khususnya produksi perikanan laut termasuk ikan kerapu
budidaya Kajapung dan hasil penangkapan para nelayan, dari Indonesia menunjukkan
peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1995 Indonesia mengekspor hasil produksi
perikanan (belum termasuk komoditas udang) sebesar 25.000 ton dengan nilai US
$ 65.326.000, kemudian meningkat menjadi 27.000 ton dengan nilai US $ 64.058.000 pada
tahun 1996, dan meningkat pesat pada tahun 1998 menjadi 708.000 ton dengan nilai US
$ 680.639.000 (http://www.bi.go.id).
Permintaan terhadap ikan kerapu sangat besar, sebagian besar dari produksi ikan
kerapu (baik budidaya maupun hasil tangkapan nelayan) diekspor ke luar negeri dalam
bentuk ikan fresh, ikan olahan setengah jadi (fillet, sashimi, dan sebagainya) serta ikan
hidup, dengan tujuan negara-negara utama seperti Jepang, Hongkong, Taiwan, Singapura,
Malaysia dan AS. Selain itu, ditinjau dari segi harga jual (khususnya untuk ekspor) ternyata,
komoditi ikan kerapu menunjukkan trend harga yang baik dan terus meningkat dari tahun
ketahun seperti ditunjukkan di Table 1-3.
11
- Pasar Dalam Negeri/Lokal Meskipun usaha budidaya ikan kerapu dengan menggunakan KJA ini orientasi
pemasarannya adalah untuk tujuan ekspor, namun sebagian dari hasil produksi
diharapkan dapat dipasarkan pula untuk konsumsi dalam negeri. Dengan pertimbangan
untuk memenuhi peningkatan kebutuhan gizi masyarakat, juga untuk melayani permintaan
dari restoran-restoran besar dan hotel-hotel berbintang, yang pada umumnya
mencantumkan menu sea food di mana ikan kerapu menjadi salah satu menu primadona.
Sedangkan untuk menguji seberapa besar permintaan dalam negeri memang agak sulit,
karena data statistik memang tidak ada. Akan tetapi, peluang pemasaran dalam negeri
untuk komoditi perikanan laut, pada umumnya tidak terlalu menjadi masalah, apalagi bagi
jenis-jenis hasil laut yang telah populer dan menjadi menu utama pada restoran atau
hotel-hotel berbintang, seperti ikan kakap, ikan kerapu, lobster, dan berbagai jenis udang.
Pada kenyataannya, produsen hasil laut pada umumnya sangat kewalahan untuk memenuhi
permintaan dalam negeri.
2.3. Parameter Fisik Perairan a. Kecepatan dan Arah Arus
Kecepatan arus dan arah arus dari suatu badan air sangat berpengaruh terhadap kemampuan badan air untuk mengeliminasi dan mengangkut bahan pencemar serta
perkiraan pergerakan bahan pencemar mencapai lokasi tertentu. Satuan kecepatan arus
adalah meter per detik (m/s).
Jika air tidak mengalir akan berakibat de-oksigenasi (kekurangan oksigen terlarut),
timbulnya serangan penyakit, tertimbunnya hasil pembusukan dan menyebabkan air jadi
kotor, dan endapan menebal. Tetapi, dalam budidaya ikan perlu diperhatikan pula arah dan
kekuatan arus air, dimana arus yang kuat akan menimbulkan gelombang yang tinggi yang
akan menganggu dam merusak karamba jaring yang dipakai. Oleh karena itu jumlah dan
peletakkan karamba jaring di suatu wilayah perairan berhubungan dengan dengan kondisi
aliran air laut.
b. Kedalaman
Pada budidaya ikan kerapu kedalaman wilayah perairan yang paling ideal adalah 7-15
meter pada saat air surut paling rendah. Kedalaman perairan merupakan faktor yang sangat
penting untuk kemudahan pemasangan dan penempatan keramba jaring dan membantu
proses budidaya yang akan dilakukan. Perairan yang curam dan dalam sangat menyulitkan
untuk penempatan keramba jaring apung, terutama untuk menentukan panjang jangkar yang
dibutuhkan.
c. Suhu Permukaan Laut
Suhu permukaan air laut dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari
12
permukaan laut (altitude), waktu dalam satu hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran
serta kedalaman dari badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia,
dan biologi badan air. Suhu biasanya dinyatakan dalam satuan derajat Celsius (oC) atau
derajat Fahrenheit (oF).
Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan
volatilisasi. Selain itu peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam
air seperti: gas-gas O2, CO2, N2, CH4 dan sebagainya. Kecepatan metabolisme dan respirasi
organisme air juga memperlihatkan peningkatan dengan naiknya suhu yang selanjutnya
mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan 10 oC suhu perairan
meningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Peningkatan
suhu ini dibarengi dengan menurunnya kadar oksigen terlarut di perairan, sehingga
keberadaan oksigen di perairan kadangkala tak mampu memenuhi peningkatan oksigen
yang dibutuhkan oleh organisme akuatik untuk metabolisme dan respirasi. Dekomposisi
bahan organik oleh mikroba juga menunjukkan peningkatan dengan semakin meningkatnya
suhu. Kisaran suhu yang optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah sekitar
20 - 30 oC (Effendi, 2000).
d. Kecerahan dan Kekeruhan air laut.
Kecerahan air bergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan adalah ukuran
transparansi perairan, ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk yang
pertama kali dikembangkan oleh Profesor Secchi sekitar abad XIX. Pada penggunaan secchi
disk ini beliau berusaha mengkuantitatifkan kekeruhan air dalam suatu nilai dikenal dengan
kecerahan secchi disk (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2000). Nilai kecerahan yang
diungkapkan dengan satuan meter sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu
pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi serta ketelitian orang yang melakukan
pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah.
Kekeruhan menggambarkan suatu sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air.
Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan anorganik baik tersuspensi maupun terlarut
seperti lumpur, pasir halus, bahan anorganik dan bahan organik seperti plankton dan
mikroorganisme lainnya (APHA, 1976; Davis dan Cornwell, 1991 dalam Effendi, 2000).
Satuan kekeruhan adalah unit turbiditas setara dengan 1 mg/l SiO2. Satuan kekeruhan
dengan metode Nephelometric adalah NTU (Nephelometric Turbidity Unit).
Kekeruhan yang tinggi dan kecerahan yang rendah dapat menghambat penetrasi cahaya
ke dalam air dan mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis.
e. Klorofil-A
Klorofil-A merupakan salah satu dari parameter yang sangat menentukan produktivitas
primer di perairan pantai atau laut. Klorofil-A merupakan suatu pigmen yang didapatkan
13
dalam fitoplankton, dan mempunyai fungsi sebagai mediator dalam proses fotosintesis
(Wyrtki, 1961). Oleh karena itu kandungan klorofil-A dalam perairan merupakan salah satu
indikator tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton atau tingkat kesuburan suatu perairan
(Yamaji, 1966 dan Anonim, 1985). Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-A
sangat terkait dengan kondisi oseanografis suatu perairan. Beberapa parameter fisik-kimia
yang mengontrol dan mempengaruhi sebaran klorofil-A, adalah intensitas cahaya, nutrien
(terutama nitrat, fosfat dan silikat).
f. Padatan Terlarut dan Padatan Tersuspensi
Padatan yang terdapat di perairan diklasifikasikan berdasarkan ukuran diameter partikel
seperti pada Tabel 2-1.
Tabel 2-1. Klasifikasi padatan berdasarkan ukuran diameter (Effendi, 2000)
Klasifikasi padatan Ukuran Diameter (µm) Ukuran Diameter (mm)
1. Padatan terlarut < 10-3 < 10-6
2. Koloid 10-3 - 1 10-6 - 10-3
3. Padatan tersuspensi > 1 > 10-3
Massa Padatan Tersuspensi (MPT) atau dikenal juga sebagai Total Suspended Solid
(TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1µm) yang tertahan pada saringan
milipore dengan diameter pori 0.45 µm. MPT terdiri dari Lumpur dan pasir halus serta
jasad-jasad renik. Penyebab nilai MPT yang utama adalah kikisan tanah atau erosi tanah
yang terbawa ke badan air. Nilai TSS bila berlebih akan menghambat penetrasi cahaya ke
dalam air dan mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis.
Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid/TDS) adalah bahan-bahan terlarut (diameter
< 10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 - 10-3 mm) berupa senyawa-senyawa kimia dan
bahan-bahan lainnya yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0.45 µm.
Penyebab TDS biasanya bahan anorganik berupa ion-ion umum dijumpai di perairan. Air laut
memiliki nilai TDS yang tinggi karena banyak mengandung senyawa kimia yang juga
mengakibatkan tingginya nilai salinitas dan daya hantar listrik. Nilai TDS perairan sangat
dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik
(berupa limbah domestik dan industri.
2.4. Penilaian Kesesuaian Lahan
Hasil proses penilaian kesesuaian lahan diwujudkan dalam bentuk sistem klasifikasi
kesesuaian lahan. Menurut FAO (1983), sistem klasifikasi kesesuaian lahan dibedakan
dalam tiga kategori, yaitu: Order, Kelas dan Sub Kelas. Kesesuaian tingkat order
mengidentifikasikan apakah lahan tersebut sesuai (S) atau tidak sesuai (N) untuk suatu
14
penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tingkat kelas merupakan pembagian lebih lanjut dari
order dan menggambarkan tingkatan-tingkatan order. Secara hirarki kelas-kelas kesesuaian
lahan adalah sebagai berikut :
(1) Kelas sangat sesuai (S1). Lahan ini tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti
untuk penggunaan terhadap suatu tujuan secara berkelanjutan atau hanya sedikit faktor
pembatas yang tidak akan mengurangi produktivitas atau keuntungan terhadap lahan
tersebut.
(2) Kelas cukup sesuai (S2). Lahan ini mempunyai faktor pembatas yang berat untuk
penggunaan secara berkelanjutan dan dapat menurunkan produktivitas atau
keuntungan terhadap lahan ini.
(3) Kelas hampir sesuai (S3). Lahan ini mempunyai faktor pembatas yang sangat berat
untuk penggunaan secara berkelanjutan dan akan mengurangi produktivitas dan
keuntungan terhadap pemanfaatannya.
(4) Kelas tidak sesuai saat ini (N). Lahan ini mempunyai faktor pembatas yang sangat berat
untuk penggunaan secara berkelanjutan sehingga menghambat dan menghalangi
beberapa kemungkinan untuk pemanfaatannya. Tetapi hambatan itu masih dapat diatasi
atau diperbaiki dengan tingkat pengelolaan tertentu.
(5) Kelas tidak sesuai selamanya (N2). Lahan ini tidak sesuai selamanya, karena jenis
faktor penghambat yang permanen.
Beberapa contoh studi kesesuaian lahan telah dilakukan untuk kesesuaian lahan untuk
budidaya laut (ikan karang) menggunakan keramba jaring apung, yaitu untuk budidaya ikan
kakap putih di Nusa Tenggara Timur (Dewayani, 2000) dan ikan kerapu di Nusa Tenggara
Barat (Bambang et al, 2003). Pada studi tersebut kelas kesesuaian lahan dibagi menjadi 4
kelas kesesuaian yaitu: Sangat sesuai (S1), Sesuai (S2), Sesuai bersyarat (S3) dan Tidak
sesuai (N).
2.5. Penginderaan Jauh dan SIG
Penginderaan jauh adalah ilmu memperoleh informasi tentang objek, daerah atau
fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung
dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Caranya
dengan mendeteksi gelombang elektromagnetik yang datang dari obyek tersebut, baik yang
dipantulkan, diemisikan maupun dihambur balik.
Sistem penginderaan jauh satelit secara umum terdiri dari objek permukaan bumi yang
diindera atau diamati menggunakan sensor pengamat yang diletakkan pada wahana satelit
yang bergerak pada orbitnya dengan pengamatan yang berulang dan liputan yang luas.
Banyak satelit yang digunakan untuk memantau objek-objek di permukaan bumi yang
disesuaikan dengan informasi yang dibutuhkan pengguna, salah satunya adalah satelit
Landsat ETM 7 yang mempunyai 8 kanal spektral seperti tercantum pada Tabel 2-2 berikut
15
(Thomas M.L.,2000).
Burough (1986) dalam Baba dan U.S. Wiradisastra (1996), mengidentifikasikan sistem
informasi geografis (SIG) sebagai suatu perangkat alat untuk mengoreksi, menyimpan,
menggali kembali, mentransformasi dan menyajikan data spasial dari aspek-aspek
permukaan bumi. Dalam SIG tidak hanya data yang berbeda yang dapat diintegrasikan,
prosedur yang berbeda juga dapat dipadukan. Dengan demikian, pemakai menjadi lebih
banyak memperoleh infomasi baru dan dapat menganalisisnya sesuai dengan spesifikasi
yang dibutuhkan.
Tabel 2-2. Karakteristik data Landsat-7 ETM
Satelit/
Sensor Kanal spectral
Resolusi
Spasial
Luasan
Cakupan satuan
Citra (km)
Waktu liputan
ulang (resolusi
temporal)
Kanal 1 : 0.45 - 0.52 nm 30 m x 30 m
Kanal 2: 0.52 - 0.61 nm 30 m x 30 m
Kanal 3: 0.63 - 0.69 nm 30 m x 30 m
Kanal 4: 0.76 - 0. 90 nm 30 m x 30 m
Kanal 5: 1.55 - 1.75 nm 30 m x 30 m
Kanal 6:10.40 - 12.50 nm 30 m x 30 m
Kanal 7: 2.09 - 2.35 nm 60 m x 60 m
Landsat 7/
ETM
Kanal 8: 0.52 – 0.90 nm 15 m x 15 m
185 x 185 16 hari
Dalam penentuan kesesuaian lahan untuk budidaya perikanan dan pariwisata,
penggunaan teknologi penginderaan jauh dan SIG memiliki beberapa macam kelebihan
dibandingkan dengan penentuan kesesuaian lahan secara manual (survei langsung ke
lapangan) yang membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tinggi. Dengan
menggunakan penginderaan jauh dan SIG, objek yang diamati (lahan pesisir) di permukaan
bumi dapat dilakukan dengan cepat, akurat dan dalam cakupan yang luas.
16
BAB III INVENTARISASI MASALAH
Berdasarkan hasil evaluasi pada kegiatan tahun 2003 yang bertemakan
“Pengelolaan Potensi Wilayah Pesisir Nusa Tenggara Barat”, beberapa hal yang
berhubungan dengan metoda penelitian memerlukan perbaikan. Hal tersebut adalah
sebagai berikut:
• Koreksi radiometrik dan atmosferik
• Model algoritma parameter fisik perairan
• Ketelitian peta bathimetri
• Analisis wilayah pesisir menggunakan DEM
Koreksi radiometrik dan atmosferik Penggunaan citra dengan basis digital number (DN) mempunyai kesalahan yang
belum terkoreksi, yaitu kesalahan radiometrik dan atmosferik. Kesalahan radiometrik
disebabkan karena pengaruh sudut elevasi matahari (sun elevation) dan jarak
matahari-bumi. Tidak terkoreksinya citra secara radiometrik mengakibatkan metoda yang
dipakai untuk menganalisis citra (sebagai contoh adalah model algoritma yang dibuat)
tidak dapat diterapkan pada citra pada tanggal atau tempat yang berlainan. Oleh karena
itu diperlukan koreksi radiometrik untuk menstandarkan kondisi sudut elevasi matahari
dan jarak matahari-bumi pada citra yang diterima pada waktu atau tempat yang berbeda,
dengan kata lain mengurangi atau mengeliminasi kesalahan radiometric
����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
Absorpsi Hamburan
Hamburan
Absorpsi
Absorpsi
Hamburan
Path radiansi
RadiansiIrradiansi
Satelit
Matahari
Objek di bumi
Atmosfir
����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
Absorpsi Hamburan
Hamburan
Absorpsi
Absorpsi
Hamburan
Path radiansi
RadiansiIrradiansi
Satelit
Matahari
Objek di bumi
Atmosfir
Gambar 3-1 Memperlihatkan Perjalanan Gelombang Elektromagnet Ke Sensor Satelit
17
Kesalahan lainnya yang perlu dikoreksi adalah kesalahan atmosferik. Kesalahan
atmosferik biasanya disebabkan oleh adanya path radiansi (gelombang elektro magnetik
yang dihamburkan/pantulkan oleh atmosfir ke sensor satelit), penyerapan (absorption)
gas dan hamburan aerosol di atmosfir. Dengan melakukan koreksi atmoferik diharapkan
noise dapat dikurangi atau di eliminasi. Gambar 3-1 memperlihatkan perjalanan
gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh matahari sampai ke sensor satelit,
dimana keberadaan atmosfir sangat mempengaruhi intensitas energi gelombang
elektromagnet yang sampai ke sensor satelit. Pada kegiatan ini dilakukan koreksi
radiometrik berdasarkan buku manual satelit Landsat 7 ETM dan koreksi atmosferik
sistematis untuk menghilangkan path radiansi.
Model Algoritma Parameter Fisik Perairan Pada program Bina Usaha, kegiatan yang dilakukan bersifat operasional dimana
suatu kegiatan lebih diarahkan untuk menggunakan model atau formula yang sudah baku
dari penelitian-penelitian sebelumnya untuk menghasilkan produk akhir (untuk
disosialisasikan pada departemen/pemerintah daerah terkait). Permasalahan yang
dihadapi adalah tidak adanya model standard atau model yang siap digunakan untuk
kajian wilayah kegiatan (Perairan Indonesia). Pada umumnya model-model yang pernah
dikaji untuk perairan Indonesia menggunakan hubungan regresi digital number dengan
data insitu yang bersifat lokal sehingga hasil yang diperoleh umumnya berlaku sesaat
(hanya untuk data yang dikaji) dan lokal pada wilayah tertentu. Pada kegiatan
sebelumnya telah digunakan model-model dengan berbasis digital number, tetapi hasil
yang diperoleh masih jauh dari sempurna dan mengundang pertanyaan berkaitan dengan
tingkat keakurasian.
Perbaikan model algoritma untuk deteksi parameter fisik perairan dilakukan dengan
membangun model dan mengumpulkan model algoritma yang berbasiskan nilai
reflektansi yang telah terkoreksi radiometrik dan atmosferik. Disebabkan tidak adanya
data insitu sebagai pembanding data citra, maka model dibangun dengan menggunakan
pendekatan citra dengan citra satelit yang berlainan. Sebagai contoh model algoritma
SPL untuk satelit Landsat dibangun dengan membandingkan nilai SPL yang diperoleh
dengan nilai SPL dari satelit NOAA yang diasumsikan telah mempunyai formula yang
valid. Perbandingan dilakukan dengan menggunakan data temporal yang diwakili dengan
data musim barat, musim timur dan lokasi yang berlainan.
Sedangkan parameter yang tidak ada data pembandingnya akan menggunakan model
algoritma pada penelitian sebelumnya yang berbasiskan nilai reflektansi terkoreksi.
18
Ketelitian Peta Bathimetri Permasalahan yang terjadi pada peta bathimetri adalah adalah tidak adanya peta
bathimetri yang berskala besar (ketelitian tinggi) untuk suatu areal yang luas seperti
kabupaten atau propinsi, pada umumnya peta bathimetri berskala lebih besar dari
1:200.000. Hal ini mengakibatkan model interpolasi kontur kedalaman yang diperoleh
bersifat global dan mempunyai keakurasian yang rendah untuk wilayah perairan dangkal
atau perairan wilayah pesisir. Permasalahan yang lain adalah berbedanya kondisi garis
pantai antara data citra (kondisi aktual saat ini) dengan garis pantai dari peta bathimetri
(dibuat lebih dari 20 tahun yang lalu), hal ini mengakibatkan tidak akuratnya informasi
kedalaman untuk wilayah sekitar pantai.
Usaha yang akan dilakukan adalah mencoba menurunkan titik kedalaman dengan
menggunakan data citra (Landsat) menggunakan model Depth of Penetration Zone (Jupp
(1988) dalam A.J. Edwards (1999)). Model ini mengunakan perbedaan kemampuan
penetrasi setiap band di dalam air sehingga diperoleh suatu daerah kedalaman yang
dibatasi oleh kedalaman penetrasi 2 band. Model ini hanya dapat menurunkan kedalaman
pada daerah yang dangkal atau terumbu karang dengan kondisi air yang jernih. Titik
kedalaman yang diperoleh akan ditambahkan pada titik kedalaman yang didijit dari peta
bathimetri, sehingga kontur kedalaman untuk perairan wilayah pesisir dapat menjadi lebih
halus dan teliti.
Analisis Wilayah Pesisir Menggunakan DEM Analisis bentuk pantai, slope (kemiringan) daratan sangat penting untuk mengetahui
potensi suatu daerah bagi pengembangan kegiatan di wilayah pesisir. Bentuk pantai yang
terjal dengan slope yang besar sangat menyulitkan untuk kepentingan aksesibilitas dan
pembangunan sarana/prasarana yang mendukung bagi pengembangan potensi wilayah
tersebut.
Pembuatan DEM dapat membantu untuk keperluan ini, DEM akan dibuat dengan
melakukan interpolasi data kontur daratan dari peta rupa bumi 1:25.000. Data ini
memberikan informasi setiap ketinggian 12.5 meter dan sangat penting untuk analisa
wilayah yang mempunyai slope yang besar (daerah terjal). Untuk daerah yang cenderung
datar akan sangat bermanfaat menggunakan DEM dari stereo data, dimana informasi
pada setiap luasan tertentu berdasarkan resolusi spasial dari citra yang digunakan.
19
BAB IV METODOLOGI
4.1. Bahan dan alat Bahan dan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1) Data citra Landsat 7 ETM yang bebas tutupan awan untuk daerah Banyuwangi
dan Situbondo,
Banyuwangi (117/066) :
28 Mei 2002 (Musim barat) dan 3 Oktober 2002 (Musim timur)
Situbondo path/row (117/065 dan 118/065):
17 April 2002 dan 26 April 2002 (Musim barat)
29 Juni 2002 dan 6 Juli 2002 (Musim timur
2) Data temporal citra NOAA 2002 dan 2003 untuk analisis SPL di perairan
Banyuwangi dan Situbondo.
3) Peta rupa bumi 1:25.000 wilayah pesisir Banyuwangi dan Situbondo.
4) Peta informasi bathimetri 1:200.000 perairan Banyuwangi dan Situbondo.
5) Data Sekunder (Pasang surut, arus, angin, gelombang),
6) Data sosek wilayah pesisir Banyuwangi dan Situbondo.
Peralatan yang diperlukan untuk pengolahan data:
1) Hardware dan software untuk pengolahan data inderaja dan SIG yaitu digitizer,
imagine/ER. Mapper, Arc Info dan ArcView,
2) CD ROM, disket, alat tulis,
3) Alat dan bahan untuk pembuatan peta (Scanner, printer dan tinta).
4.2. Metode penelitian 4.2.1. Parameter-Parameter yang Diekstrak dari Teknologi Penginderaan Jauh
dan SIG
Pada kegiatan ini kami mencoba mengekstrak sebanyak mungkin parameter fisik
perairan dan parameter fisik daratan yang berkaitan erat dengan pengembangan potensi
wilayah pesisir, khususnya untuk pengembangan budidaya perikanan dan pariwisata
bahari.
Penentuan jenis parameter-parameter didasarkan pada 3 pertimbangan yaitu:
Parameter tersebut sangat diperlukan untuk pengembangan potensi wilayah
pesisir,
20
Parameter tersebut dapat diidentifikasi menggunakan penginderaan jauh,
Mempunyai metoda/model/algorithma dari penelitian-penelitian sebelumnya.
Flowchart metoda ekstraksi dan parameter fisik perairan dan fisik daratan yang
diperoleh diperlihatkan pada Gambar 4-1, Pembuatan DEM diperlihatkan pada Gambar 4-2 dan Pengolahan SPL menggunakan data NOAA diperlihatkan pada Gambar 4-3.
Landsat
Penggunaan model algorithmKlasifikasi dan digitasi
Titik kedalamanPerairan dangkal
Bathimetri
Titik kedalamanPerairan
Pengabungan dan interpolasiParameter fisik perairan
SPLKecerahan
TSMTerumbu karang
Parameter fisik daratan
MangrovePasir putih
Tutupan lahanSungaiJalan
Kedalaman perairan
Koreksi dan digitasi
Kedalaman
* Data pasut
Koreksi geometrik, radiometrik dan atmosferik
Gambar 4-1 Flowchart Metoda Ektraksi dan Parameter-parameter yang Diperoleh
Peta Rupa Bumi
Kontur
Citra Landsat 3 dimensi
Koreksi dan digitasi
Proses DEM
KelerenganBentuk pantai
Kontur 12.5 mSarana/prasarana
Pengabungan dengan Citra Landsat
Gambar 4-2 Flowchart Metoda Pembuatan DEM dan Informasi Yang Diperoleh
21
Data NOAA
Koreksi geometrikdan radiometrik
Model algorithm SPL
SPL harianSPL bulanan
Informasi sebaranSPL
Data temporal 1 bulanPengabungan
dan pengolahan
Nila rata-rata bulanan
Gambar 4-3 Flowchart Metoda Pembuatan Spl Mengunakan Data Temporal Noaa
Pengolahan data diawali dengan koreksi geometrik untuk mempersamakan posisi
pada citra dengan posisi pada peta, selanjutnya dilakukan koreksi radiometrik untuk
merubah nilai digital number suatu objek menjadi nilai refletansi objek tersebut. Yang
terakhir adalah melakukan koreksi atmosferik menggunakan model Dark Pixels
Subtracting Method.
Koreksi radiometrik dilakukan untuk menghilangkan kesalahan pada sudut elevasi
matahari dan jarak matahari-bumi akibat penerimaan data yang berbeda waktu.
Sedangkan koreksi atmosferik dilakukan untuk menghilangkan path radiance (noise
angkasa). Metoda koreksi radiometrik dilakukan berdasarkan “Landsat 7, Science Data
Users Handbook” dan A.J. Edwards (1999), yaitu dengan merubah digital number menjadi
nilai radiansi menggunakan “gain” dan “bias”, kemudian merubah nilai radiansi menjadi
nilai reflektansi menggunakan nilai solar irradiance, sudut elevasi matahari dan jarak
matahari-bumi.
Koreksi atmosferik menggunakan koreksi yang sederhana yaitu model Dark Pixels
Subtracting Method (A.J. Edwards, 2000), yaitu pengurangan nilai reflektansi dengan nilai
dari piksel gelap (asumsi bahwa ada objek yang menyerap gelombang elektro magnetik
secara sempurna sehingga tidak terjadi reflektansi, dengan kata lain nilai reflektansi pada
piksel objek tersebut adalah 0). Objek yang umumnya dianggap mempunyai piksel gelap
adalah lautan yang sangat dalam dan jernih atau bayangan awan yang sangat tebal.
Pada lokasi piksel gelap tersebut ditentukan nilai reflektansi minimum pada band 4
(near infrared, yang cenderung diserap secara sempurna oleh perairan), kemudian nilai
reflektansi minimum band 4 yang diperoleh dipakai untuk mengoreksi nilai reflektansi
22
pada band 1,2 dan 3 dengan membuat bi-plot antara band 4 dan masing-masing band
tersebut. Nilai reflektansi minimum yang diperoleh masing-masing band digunakan untuk
mengurangi nilai reflektansi pada seluruh piksel dari setiap band.
Parameter Fisik Perairan Gambar 4-1 memperlihatkan metoda ektraksi parameter fisik perairan, yaitu:
SPL, Kecerahan, TSM , Kedalaman dan Terumbu karang.
SPL (Suhu Permukaan Laut) Model algoritma SPL untuk data Landsat diperoleh dengan merubah nilai digital
number band 6 high ke nilai radiansi dan mengkonversi ke nilai suhu efektif (Suhu objek
yang dideteksi sensor setelah dikalibrasi dengan suhu referensi) “Landsat 7, Science
Data Users Handbook”. Kemudian nilai suhu efektif itu dibandingkan dengan nilai SPL
pada data NOAA. Perbandingan dilakukan untuk musim timur, musim barat dan pada
lokasi berbeda sehingga ditemukan nilai suhu koreksi.
Model algoritma SPL diperlihatkan dibawah:
C
LKKT −
+=
)11ln(
2 ………………………………………..(3-1)
Dimana,
T = Suhu efektif dalam oC
K2 = Konstanta kalibrasi 2, yaitu: 1282.71 Kelvin
K1 = Konstanta kalibrasi 1, yaitu: 666.09 (watts/m2 ster µm)
L = Spektral radiansi band 6 high (watts/m2 ster µm)
C = suhu koreksi dalam kelvin, yaitu: 277.5 oC
Selain itu sebagai pembanding, kami juga melakukan metoda lama menggunakan nilai
digital number untuk menentukan distribusi SPL (Lemigas,1997) menggunakan algoritma
seperti berikut:
Suhu (°C) = 16,32301 + 0,41632 b6 ……….……………...(3-2)
Dimana,
b6 = Digital number pada band 6
Kecerahan Perairan
23
Kecerahan perairan menggunakan model algoritma yang dibangun J.W. Chipman et.al.
(2004) untuk perairan danau di Wisconsin (USA), menggunakan perbandingan spektral
radiansi band 1 dan band 3. Pada model ini J.W. Chipman memberi istilah tingkat
kecerahan perairan sebagai SDT (Seichi Disk Transparency). Algoritmanya adalah
sebagai berikut:
193.331135.1)ln( −
=LLSDT …………………………….(3-3)
Dimana,
SDT = Kecerahan perairan dalam satuan meter
L1 = Spektral radiansi band 1
L2 = Spektral radiansi band 2
Selain itu sebagai pembanding, juga dilakukan metoda lama menggunakan nilai digital
number untuk menentukan distribusi Kecerahan (Lemigas,1997), menggunakan algoritma
seperti berikut:
Kecerahan (m) = 17,51427 - 0,10925 b1………………….…(3-4)
Dimana,
b1 = Digital number pada band 1 (Landsat-7/ETM+)
Total Suspended Material (TSM) TSM yang mengidentifikasi kondisi kekeruhan perairan menggunakan model
algoritma yang dibangun S. Budhiman (2004), model ini digunakan untuk identifikasi TSM
di perairan delta Mahakam. Algoritma yang diperuntukan untuk band 3 Landsat ETM
adalah sebagai berikut:
TSM = 8.1429 Exp(23.704*R(0-)) ………………………..(3-5)
Dimana,
TSM = Total suspended material (mg/l)
R(0-) = reflektansi di bawah permukaan air (subsurface iraradiance reflectance)
R(0-) ditentukan dengan melakukan koreksi kolom udara-air, dengan menggunakan
rumus dibawah:
24
QrRnRRrs ))0(1(
)0()1)(1(2 −−
−−−=
ρρ………………………………(3-6)
Dimana,
Q = Koefisien konversi = 3.5
ρ = reflektansi Fresnel = 0.029
r = Pantulan air-udara = 0.48
n = refractive index of water =1.33
Rrs = reflektansi terkoreksi
Selain itu sebagai pembanding, juga dilakukan metoda lama menggunakan nilai digital
number untuk menentukan distribusi TSM (Lemigas, 1997), menggunakan algoritma
seperti berikut:
TSM (mg/l) = 100.6678 + 5.5085 b3 + 0.4563 b32 + 0.9775 b2b3…………………(3-7)
Dimana,
b2, b3 = Digital number pada band 2, 3
Kedalaman Perairan Menggunakan Peta kedalaman Bathimetri
Untuk menurunkan parameter kedalaman perairan menggunakan peta bathimetri,
pertama-tama dilakukan koreksi geometrik dari peta kedalaman bathimetri yang dipunyai,
kemudian dilakukan pengabungan peta terkoreksi. Selanjutnya dilakukan proses digitasi
titik kedalaman, titik 0 (garis pantai) dan pemberian nilai kedalaman. Proses yang terakhir
adalah melakukan interpolasi dan pembuatan kontur untuk mendapatkan peta kontur
kedalaman.
Disebabkan peta kedalaman bathimetri mempunyai skala yang besar 1:200.000,
maka kontur kedalaman yang dihasilkan mempunyai keakuratan yang tidak terlalu tinggi
di perairan dangkal dekat wilayah pesisir, oleh sebab itu dilakukan metoda penambahan
informasi titik kedalaman menggunakan kemampuan penetrasi data Landsat kedalam air.
Penurunan titik kedalaman dengan Landsat (untuk wilayah terumbu karang/dangkal)
Band visibel (1,2 dan 3) dan NIR (4) mempunyai kemampuan untuk menembus
kolom air (penetrasi) dengan kemampuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, band 1
(biru) mempunyai kemampuan menembus kolom air yang terbesar (mencapai 20 m)
25
sedangkan band 4 hanya dapat menembus kolom air sedalam kira-kira 2 m.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Great Barrier reef (Jupp, 1999)
diperoleh bahwa band 1 mempunyai penetrasi sebesar 25 m, band 2 sebesar 15 m, band
3 sebesar 5 m dan band 1m. Berdasarkan pembuatan model yang dilakukan di penulis di
kepulauan Gili Indah di NTB diperoleh bahwa kemampuan penetrasi setiap band adalah
ditunjukkan pada Tabel 4-1, yaitu:
Tabel 4-1 Penetrasi kedalaman setiap band di perairan Gili Indah NTB
Penetrasi Band 1 Band 2 Band 3 Band 4 Band 5
Rata-rata - 14.785 5.729 3.023 0
Deviasi - 3.624 0.952 1.170 0
Nilai ini kemudian dipakai untuk mendeteksi kedalaman di perairan dangkal/terumbu
karang wilayah pesisir Banyuwangi dan Situbondo. Disebabkan model ini hanya dapat
memprediksi pada perairan yang jernih, maka pengolahan dilakukan dengan digunakan
data multi temporal untuk menghindari perairan yang keruh.
Data kedalaman yang diperoleh kemudian digabungkan dengan data kedalaman
yang telah di dijit dari peta bathimetri, kemudian dilakukan proses interpolasi dan
pembuatan kontur.
Terumbu Karang Penentuan terumbu karang dilakukan dengan menggunakan model transformasi
Lyzengga (1978). Lyzengga membangun persamaan dengan menggunakan 2 kanal sinar
tampak yaitu kanal 1 dan 2 dari citra Landsat-TM, dan diperoleh persamaan sebagai
berikut :
Y = ln (TM1) + ki/kj . ln (TM2) ..................................................(3-8)
di mana :
Y = Ekstraksi informasi dasar perairan
TM1 = Reflektansi pada kanal 1
TM2 = Reflektansi pada kanal 2
ki/kj = Rasio koefisien kanal 1 dan kanal 2
dimana,
ki/kj = a + √ (a2 + 1) .....................................................................(3-9)
dan
26
a = (var (TM1) – var (TM2)) / 2. cov (TM1 TM2)....................(3-10)
Pada metode ini, setiap piksel akan terkonversi menjadi indeks tipe dasar perairan
yang terbebas dari pengaruh kedalaman. Sehingga dengan metode diperoleh hasil
klasifikasi berupa kelas terumbu karang, padang lamun dan pasir yang terdapat di bawah
permukaan air. Selanjutnya dilakukan perhitungan luas dari setiap kelas tersebut.
Parameter Fisik Daratan Gambar 4-1 memperlihatkan metoda ektraksi parameter fisik daratan, yaitu:
Landuse, Mangrove, Pasir putih, Jalan dan Sungai.
Klasifikasi penutup lahan (Land cover)
Klasifikasi penutup lahan dilakukan dengan cara interpretasi visual yaitu dengan
cara mendelineasi kenampakan-kenampakan yang sama kedalam satu kelas
penggunaan atau penutup lahan dengan menggunakan data tutupan lahan yang sudah
ada dan dihasilkan oleh ISDAL.
Mangrove:
- Penyebaran hutan mangrove diperoleh dengan citra komposit RGB (Band 453),
hutan mangrove terlihat berwarna coklat kemerahan,
- Melakukan digitasi pada wilayah hutan mangrove,
- Menghitung luasan hutan magrove yang diperoleh dengan menghitung luas
polygon.
Pasir putih:
- Pasir putih di atas permukaan air diidentifikasi menggunakan citra komposit RGB
(Band 431), dimana pasir putih terlihat berwarna putih di sepanjang tepi pantai,
- Melakukan digitasi pada wilayah pasir putih,
- Menghitung luasan pasir putih yang diperoleh dengan menghitung luas polygon.
Sungai dan Jalan: - Menampilkan citra RGB (band 542) sehingga teridentifikasi secara jelas adanya
jalan dan sungai,
- Melakukan proses digitasi dan merubah menjadi data vektor.
Pembuatan DEM
27
Gambar 4-2 memperlihatkan metoda pembuatan DEM, peta rupa bumi dikoreksi
dan digabungkan untuk wilayah penelitian. Kemudian dilakukan digitasi informasi titik
ketinggian dari peta rupa bumi. Selanjutnya dilakukan interpolasi dan pembuatan kontur,
dan yang terakhir adalah mengabungkan dengan data Landsat RGB 542 untuk
memperoleh tampilan citra 3 dimensi.
Dari data kontur ketinggian ini dapat diturunkan pula informasi mengenai slope atau
kemiringan, dan arah kemiringan tersebut. Informasi ini akan dipakai dalam analisis
kondisi wilayah daratan dalam pengembangan budidaya dan pariwisata. Selain itu dari
peta rupa bumi dapat diturunkan pula ketersediaan sarana-prasarana di wilayah
penelitian.
Monitoring SPL Bulanan Menggunakan Data NOAA
Gambar 4-3 memperlihatkan metoda penurunan distribusi SPL menggunakan data
NOAA. Data SPL dikumpulkan sepanjang tahun 2002 dan 2003, kemudian dirata-rata
untuk melihat distribusi SPL setiap bulan yang bebas awan. Data ini digunakan untuk
melihat perubahan kondisi SPL setiap bulan sepanjang tahung 2002 dan 2003, informasi
yang diperoleh akan mendukung informasi yang dikeluarkan oleh data Landsat.
4.2.2 Pengolahan Lanjutan
Setelah seluruh parameter yang diperlukan diekstraksi dari data Lansat, NOAA dan
Peta, maka dilanjutkan dengan proses berikutnya yaitu; model pembobotan dan analisis.
Gambar 4-4 memperlihatkan flowchart analisis lanjutan untuk kegiatan pengembangan
wilayah pesisir.
28
KedalamanSPLKecerahanTSM
KecerahanTerumbu karangkedalaman
KedalamanKecerahanPasir putihTutupan lahan
Model Pembobotan
Kesesuaian budidaya& pariwisata(musim barat)
Budidaya laut Diving,snorkling Renang, rekreasi pantai
Kesesuaian budidaya& pariwisata (Musim timur)
Overlay
Keterlindungan (Teluk, T karang) Konservasi (Mangrove)Pencemaran (Sungai, tutupan lahan) Aksesibilitas (Jalan, prasarana,
bentuk pantai)Monitoring (kualitas air)
Analisa
Daerah potensiBudidaya laut
Daerah potensiPariwisata bahari
Gambar 4-4 Flowchart dari analisis lanjutan
Pada tahap awal dilakukan pembobotan terhadap beberapa parameter yang
berpengaruh terhadap pengembangan budidaya laut dan pariwisata bahari menggunakan
model pembobotan pada Tabel 4-1~4-3. Pembobotan dilakukan dengan metoda tree
decision atau overlay bertahap, dimana overlay dilakukan terlebih dahulu pada parameter
yang berbobot paling tinggi kemudian hasilnya dioverlay kembali dengan parameter yang
berbobot lebih rendah dan seterusnya.
29
Tabel 4-2 Model Pembobotan untuk Budidaya Perikanan Pantai
Sangat sesuai (S1) Sesuai (S2) Sesuai bersyarat (S3) Tidak sesuai (TS) No Parameter Bob-
ot Kriteria Skore Kriteria Skore Kriteria Skore Kriteria Skore
1 Kedalaman (m) 9 10≤S1≤15 4 15<S2≤20 5≤S3<10 3 20<S3≤25 2 TS>25
TS<5 1
2. Suhu Permukaan Laut (SPL) (0C)
7 28≤S1≤29 4 29<S2≤31 26≤S2<28 3 31<S3≤32
24≤S3<26 2 TS>35 TS<24 1
3. Kecerahan (m) 6 5 ≤ S1 4 3≤S2<5 3 0<S3≤3 2 TS = 0 1
4. MPT (mg/l) 5 S1≤ 25 4 25≤S2<80 3 80≤S3<400 2 TS>400 1
Sumber: Dewayani (2000) dan Syamsul (2001), Modifikasi
Tabel 4-3 Model Pembobotan untuk Pariwisata Bahari (Renang Dan Rekreasi Pantai) Sangat sesuai
(S1) Sesuai (S2) Sesuai bersyarat (S3) Tidak sesuai (TS)
No Parameter Bobot Kriteria Skore Kriteria Skore Kriteria Skore Kriteria Skore
1 Kontur kedalaman 10 Landai 4 Landai 3 Curam 2 Curam 1
2 Kecerahan Perairan 6 Sangat
cerah 4 Cerah 3 Kurang cerah 2 Tidak cerah 1
3 Pantai 6 Berpasir 4 Berpasir 3 Tidak berpasir 2 Tidak
berpasir 1
4 Penutup Lahan Pantai 6
Kelapa, lahan
terbuka 4
Semak Belukar rendah, Savana
3 Belukar Tinggi 2
Hutan Bakau,
Pemukiman, Pelabuhan
2
Sumber: BAKOSURTANAL (1996), Modifikasi
Tabel 4-4 Model Pembobotan untuk Pariwisata Bahari (Diving dan Snorckling)
Sangat sesuai (S1) Sesuai (S2) Sesuai bersyarat (S3)
Tidak sesuai (TS) No
Parameter
Bobot Kriteria Skore Kriteria Skore Kriteria Skore Kriteria Skore
1 Kecerahan 10 Sangat cerah 4 Cerah 3 Kurang
cerah 2 Tidak cerah 1
2 Wilayah Terumbu karang 8 Terumbu
Karang 4 -
Terumbu Karang
3 Tidak
ada karang
2 Tidak ada
karang 1
3 Kedalaman dasar laut (m) 6 10-25 4 5-10 3 2-5 2 <2 1
Sumber: BAKOSURTANAL (1996), Modifikasi
30
Pada kasus proses overlay untuk pariwisata bahari (renang dan rekreasi pantai)
yang mempunyai parameter di wilayah darat dan di wilayah perairan, model kesesuaian
dilakukan dengan membuat polygon penganti (perantara) yang berisi informasi parameter
yang diperlukan di wilayah darat dan perairan sehingga proses overlay dapat dilakukan. Proses pembobotan dilakukan untuk kondisi musim barat (musim penghujan) dan
musim timur (musim kemarau), ini dilakukan agar hasil akhir dapat mewakili 2 kondisi
musim. Kemudian hasil kesesuaian lahan yang diperoleh dioverlay (tumpang tindih) untuk
mendapatkan daerah kesesuaian pada kedua musim tersebut. Selanjutnya dilakukan analisa beberapa faktor yang mempengaruhi kesesuaian
lahan yang diperoleh, beberapa faktor yang akan dianalisa adalah:
Keterlindungan perairan
Memperhatikan keberadaan terumbu karang sebagai pelindung dan
pemecah ombak di perairan wilayah pesisir, daerah teluk dan perairan
yang terlindung pulau yang besar ombak dan arusnya relatif rendah dan
tenang.
Wilayah konservasi atau Jalur hijau pantai
Memperhatikan keberadaan hutan mangrove dan sumberdaya alam
pesisir lainnya yang perlu dilestarikan.
Masalah pencemaran
Memperhatikan daerah muara sungai, tutupan lahan, kemiringan lahan,
besarnya MPT (kekeruhan)
Aksesibilitas
Meperhatikan sarana/prasarana, jaringan jalan dan bentuk pantai
Monitoring
Menggunakan dalata multi temporal seperti NOAA dan Fengyun untuk
mengamati perubahan kualitas air di wilayah peneltian.
Hasil analisa ini akan digunakan sebagai bahan-bahan pertimbangan dalam
merekomendasikan daerah-daerah yang berpotensi untuk dikembangkan usaha budidaya
laut dan pariwisata bahari, juga menjadi suatu informasi yang sangat berguna untuk
diperhatikan dalam kegiatan pengembangan potensi wilayah pesisir.
4.2.3 Analisis Ekonomi Sumberdaya Alam Wilayah Pesisir Pada bagian akhir dicoba menghitung potensi ekonomi wilayah pesisir Nusa Tenggara
Barat, metode penilaian ekonomi yang dilakukan adalah:
31
1. Menghitung nilai ekonomi total dari sumberdaya pesisir, yaitu
TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + EV
di mana,
TEV = Total Economic Value
UV = Use Value
NUV = Non Use Value
DUV = Direct Use Value
IUV = Indirect Use Value
OV = Option Value
EV = Existence Value
2. Penilaian alternatif alokasi pemanfaatan lahan pesisir. Pencarian alokasi
pemanfaatan sumberdaya lahan pesisir yang efisien dilakukan dengan menggunakan
cost benefit analysis (CBA). Kriteria-kriteria yang paling umum digunakan dalam
analisis manfaat biaya ini adalah sebagai berikut :
(1) Net Present Value (NPV)
NPV atau nilai sekarang bersih adalah jumlah nilai sekarang dari manfaat
bersih. Kriteria keputusan yang lebih baik adalah nilai NPV yang positif dan
alternatif yang mempunyai NPV tertinggi pada peringkat pertama. Net Present
Value dapat disajikan sebagai berikut :
NPV = B(Σ
n
i=1
i - 1+r)
i
(2) Benefit Cost Ratio (BCR)
Adalah rasio jumlah nilai sekarang dari manfaat dan biaya. Kriteria alternatif
yang layak adalah BCR > 1 dan kita meletakkan alternatif yang mempunyai BCR
tertinggi pada tingkat pertama. Secara matematis, BCR dapat disajikan sebagai
berikut:
Gross BCR=
Σ < 0
> 0B - C (1+r)C - B (1+r)
i
i n
i=1
32
di mana :
B= Manfaat per tahun r= Discount rate per Tahun
C= Biaya i= Jangka waktu perhitungan proyek
33
BAB V HASIL PELAKSANAAN KEGIATAN
Hasil yang dicapai meliputi ekstraksi parameter fisik daratan dan parameter fisik
perairan, pembuatan DEM dan monitoring SPL menggunakan NOAA. Disini hasil yang
dimasukkan adalah untuk wilayah Situbondo dengan pertimbangan untuk memudahkan
penyusunan, sedangkan hasil untuk wilayah Situbondo dimasukkan dalam lampiran.
5.1 Parameter Fisik Daratan Gambar 5-1 dan 5-2 memperlihatkan batas administrasi dan tutupan lahan untuk
Kabupaten Banyuwangi. Banyuwangi terbagi menjadi 23 kecamatan, dengan tutupan
lahan didominasi oleh hutan, sawah dan perkebunan. Terlihat bahwa lahan sawah
terdapat pada sebagian besar wilayah pesisir. Hutan mangrove juga terlihat dibeberapa
lokasi wilayah pesisir.
Gambar 5-1 Batas administrasi Kabupaten Banyuwangi
Kabupaten Banyuwangi memiliki akses jalan yang cukup baik, ini terlihat dari
Gambar 5-3. Akses jalan terutama di sekitar wilayah pesisir yang memiliki kelerengannya
cenderung rendah (datar), sementara di bagian atas (daerah dataran tinggi) dan
Kecamatan Tegaldlimo akses jalan masih kurang disebabkan tutupan lahanya sebagian
besar adalah hutan. Jumlah sungai cukup banyak yang mengalir dari bagian tengah yang
lebih tinggi dan bermuara ke Selat Bali dan Samudra Indonesia yang lebih rendah.
34
Gambar 5-2 Tutupan Lahan Kabupaten Banyuwangi (Hasil olahan ISDAL)
Jalan
Sungai
Gambar 5-3 Vektor Jalan dan Sungai di Kabupaten Banyuwangi
5.2 Parameter Fisik Perairan Gambar 5-4 memperlihatkan hasil kedalaman yang merupakan gabungan antara
titik kedalaman yang diturunkan dari data citra untuk daerah perairan terumbu karang dan
35
titik kedalaman hasil dari digitasi peta bathimetri. Gambar 5-5 memperlihatkan
perbandingan antara hasil interpolasi kedalaman dari data bathimetri dan dari gabungan
antara bathimetri dan landsat. Perbedaan tidak terlalu terlihat ini tetapi bila dilihat secara
mendetil, terlihat bahwa kontur gabungan mempunyai kontur yang lebih rapat di perairan
dekat pantai. Selain itu penambahan informasi kedalaman sangat berguna untuk
menambahkan informasi peta bathimetri yang sering tidak lengkap.
Gambar 5-4 Kedalaman gabungan antara Peta bathimetri dan data citra
Bathimetri
Gabungan
Gambar 5-5 Perbandingan antara Interpolasi bathimetri dan interpolasi gabungan
Gambar 5.6 memperlihatkan sebaran SPL untuk musim barat dan musim timur di
perairan Kabupaten Banyuwangi yang diturunkan dari model algoritma menggunakan
suhu efektif berbasiskan nilai radiansi. Di bagian utara (laut Jawa) suhu cenderung tinggi
36
dibandingkan pada bagian selatan (samudera Indonesia). Ini disebabkan samudera
Indonesia lebih dinamis sehingga mudah terjadi pencampuran massa air yang
mengakibatkan rendahnya nilai SPL. Pada musim timur nilai SPL di bagian selatan
mempunyai suhu sangat rendah yang terlihat dengan warna biru, ini disebabkan
terjadinya upwelling (di daerah ini upwelling terjadi sepanjang musim timur).
Musim Barat
Musim Timur
26.5 oC 34 oC
Gambar 5-6 Memperlihatkan distribusi SPL di perairan Banyuwangi menggunakan
model algoritma berbasiskan radiansi.
37
Gambar 5-7 Memperlihatkan Spl Musim Barat dengan basis Digital Number
Gambar 5-8 Memperlihatkan SPL Musim Timur Menggunakan Model Berbasis Digital
Number
Gambar 5-7 dan 5-8 memperlihatkan distribusi SPL berdasarkan model berbasis
digital number. Secara umum terlihat bahwa kedua model mempunyai kecenderungan
yang sama, yaitu terlihat bahwa bagian utara bersuhu lebih tinggi daripada bagian selatan,
dan musim timur bersuhu lebih rendah dibandingkan musim barat. Walaupun kedua
38
model ini memiliki range nilai SPL yang tidak terlalu berbeda, tetapi terlihat bahwa SPL
dengan model berbasiskan radiansi mempunyai pola yang lebih bervariasi dan halus,
Gambar 5-9 memperlihatkan distribusi kecerahan menggunakan model algoritma
SDT (Seichi Disk Transparency) berbasis nilai radiansi, terlihat perbedaan yang cukup
besar antara musim barat dan musim timur. Pada musim barat kecerahan sangat tinggi
mencapai lebih dari 25 meter, sedangkan pada musim timur berkisar kurang dari 12 meter.
Gambar 5-10 dan 5-11 memperlihatkan distribusi kecerahan pada musim barat dan
musim timur menggunakan model algoritma berbasis digital number. Range nilai
kecerahan yang diperoleh menggunakan model ini lebih mendekati kondisi real yaitu
berkisar antara 7 sampai 12 meter. Tetapi perlu diperhatikan bahwa kecerahan perairan
pada daerah terumbu karang yang diperkirakan tinggi, ternyata mempunyai tingkat
kecerahan yang paling rendah. Kedua model ini masih memerlukan kajian lebih lanjut
dengan membandingkan dengan data insitu atau perbaikan koreksi atmosferik. Pola
kecerahan juga direncanakan akan dimonitor mengunakan data Fengyun 1C, sehingga
dapat terlihat pola untuk jangka waktu tertentu seperti bulanan atau tahunan
Musim Barat
Musim Timur
1 meter 50 meter
Gambar 5-9 Memperlihatkan distribusi Kecerahan di perairan Banyuwangi
menggunakan
model algoritma berbasiskan reflektansi
39
er
Gambar 5-10 Memperlihatkan Kecerahan Pada Waktu Musim Barat Menggunakan
Model Berbasis Digital Numb
Gambar 5-11 Memperlihatkan Kecerahan Pada Musim Timur Menggunakan Model
Berbasis Digital Number
40
Gambar 5-12 memperlihatkan distribusi TSM (Total Suspended Matter) di perairan
Kabupaten Banyuwangi menggunakan model algoritma berbasis reflektansi dibawah
permukaan air (sub-surface irradiance reflectance). Hasil memperlihatkan bahwa pada
musim barat TSM cukup besar diperairan teluk Kabupaten Situbondo, tetapi perlu
diperhatikan bahwa warna merah di perairan dalam lingkaran hitam bukan merupakan
kekeruhan tapi disebabkan adanya ekosistem terumbu karang. Sementara musim timur
memperlihatkan warna merah yang sangat dominan di bagian sebelah kanan citra, ini
disebabkan adanya sunglint (pemantulan sinar matahari oleh permukaan air) sehingga
menghilangkan informasi di dalamnya.
Gambar 5-13 dan 5-14 memperlihatkan distribusi TSM untuk musim barat dan
musim timur di perairan Banyuwangi menggunakan algoritma berbasis digital number.
Nilai TSM diperairan ini sangat rendah berkisar sekitar 5 – 12 mg/l untuk kedua musim.
Kalau diperhatikan pada citra tampilan RGB terlihat bahwa daerah ini mempunyai jumlah
sungai yang cukup banyak dan pola kekeruhan yang jelas terlihat di sekitar perairan
wilayah pesisir. Pola kekeruhan dan TSM juga direncanakan akan dimonitor mengunakan
data Fengyun 1C, sehingga dapat terlihat pola untuk jangka waktu tertentu seperti
bulanan atau tahunan
Musim Barat
Musim Timur
0 mg/l 250 mg/l
Gambar 5-12 Memperlihatkan Distribusi Kecerahan Di Perairan Banyuwangi
Menggunakan Model Algoritma Berbasiskan Reflektansi
41
er
Gambar 5-13 Memperlihatkan Kecerahan Pada Waktu Musim Barat Menggunakan
Model Berbasis Digital Numb
Gambar 5-14 Memperlihatkan Kecerahan Pada Musim Timur Menggunakan Model
Berbasis Digital Number
42
Gambar 5-15 memperlihatkan pemetaan terumbu karang, pdang lamun dan pasir
dibawah permukaan laut menggunakan model Lyzengga berbasis nilai reflektansi.
Disebabkan identifikasi terumbu karang sangat peka akan adanya kekeruhan (kekeruhan
menghilangkan informasi adanya terumbu karang), sehingga dilakukan pengolahan
terhadap 2 data temporal Landsat 7 ETM untuk memetakan terumbu karang.
Darat
Karang
Lamun
Laut Pasir
Banyuwangi
Gambar 5-15 Pemetaan Terumbu Karang Di Perairan Banyuwangi
5.3 Monitoring SPL Menggunakan Data Multi Temporal NOAA Untuk mendukung informasi mengenai parameter fisik perairan yang dihasilkan data
Landsat yang masih diragukan dalam merekomendasikan wilayah berpotensi untuk
budidaya laut dan pariwisata bahari disebabkan kondisi laut yang dinamis, maka kami
mencoba menggunakan data multi temporal untuk monitoring distribusi dan konsentrasi
parameter fisik perairan dalam jangka waktu tertentu (bulanan atau tahunan).
Informasi SPL dari data NOAA cenderung bersifat global karena resolusi spasialnya
yang besar, tapi informasi ini dapat diperoleh setiap hari karena resolusi temporalnya
yang sangat tinggi. Pada kegiatan ini kami menurunkan informasi SPL harian untuk tahun
2002 dan 2003 (sebagain besar data diperoleh dari kegiatan ZPPI). Kemudian
menghitung nilai rata-rata untuk satu bulan, sehingga diperoleh rerata SPL untuk setiap
bulan.
Gambar 5-16 dan 5-17 memperlihatkan rata-rata perbulan SPL untuk Maret -
Desember tahun 2002 dan Maret – November 2003 menggunakan data NOAA 12
43
AVHRR.
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
29oC
34oC
Gambar 5-16 Memperlihatkan Rata-Rata Bulanan Distribusi Spl Di Perairan
44
Banyuwangi dan Situbondo
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
24oC 34oC
45
Gambar 5-17 Memperlihatkan Rata-Rata Bulanan Distribusi Spl Di Perairan
Banyuwangi dan Situbondo
Nilai SPL tahun 2002 tidak terlalu berbeda dengan pada tahun 2003 (terjadi
perbedaan skala, dimana skala nilai SPL tahun tahun 2002 berkisar dari 29 oC - 34 oC,
sedangkan skala nilai SPL tahun 2003 berkisar antara 24 oC - 34 oC). Pola terlihat sama
bahwa hampir sepanjang tahun kondisi SPL perairan Banyuwangi (bagian selatan) sangat
rendah dibandingkan perairan Situbondo (bagian utara), kecuali pada bulan Desember –
Maret yang cenderung sama. Pada tahun 2002 Upwelling di perairan samudera Indonesia
terjadi sekitar bulan April sampai bulan Oktober. Informasi ini sangat penting untuk
mendukung pengembangan budidaya perikanan di Kabupaten Banyuwangi.
46
BAB VI PENUTUP
Kajian potensi ekonomi wilayah pesisir, khususnya pengembangan budidaya laut
dan pariwisata bahari, telah berjalan selama 1 semester. Cukup banyak hambatan yang
dihadapi sekaligus telah dilakukan beberapa usaha untuk menyelesaikan masalah
tersebut. Misalnya sedikitnya model algoritma untuk mendeteksi parameter perairan yang
sudah dikerjakan untuk wilayah Indonesia, kalaupun ada umumnya menggunakan model
berbasis digital number dan pengambilan data yang lokal sehinga besar kemungkinan
hanya berlaku untuk satu lokasi dan satu saat saja. Beberapa algoritma sudah
dikembangkan dengan berbasiskan nilai radiansi atau reflektansi, tetapi masih belum
diterapkan secara baik di daerah penelitian (Banyuwangi dan Situbondo), kemungkinan
disebabkan beberapa hal seperti perbedaan jenis kandungan material (organik atau
anorganik) yang terlarut di perairan, koreksi atmosferik yang belum dilakukan dengan
benar dll. Perbaikan model kedalaman dan SPL menggunakan Landsat telah dilakukan,
hasilnya memperlihatkan persamaan yang cukup baik dengan referensi yang digunakan
(seperti: peta bathimetri atau NOAA). Walaupun begitu permasalahan keakurasian masih
menjadi masalah disebabkan tidak adanya data lapangan untuk memverifikasi hasil
tersebut. Kegiatan Bina Usaha yang merupakan kegiatan hilir dan bersifat operasional
memang sangat menarik karena berusaha mengaplikasikan data penginderaan jauh
untuk dimanfaatkan bagi masyarakat luas, tetapi tidak adanya model yang siap dipakai
merupakan hambatan yang terbesar. Untuk itu sangat diperlukan adanya bidang
penelitian khusus untuk melakukan pembuatan model sehingga hasil yang dikeluarkan
Bina Usaha dapat lebih dipercaya.
Kegiatan ini sudah terselesaikan kira-kira 46 %, dimana kegiatan utama pada
semester 1 ini adalah perbaikan metoda dan menurunkan parameter-parameter fisik
perairan, fisik daratan, monitoring dan pembuatan DEM dengan menggunakan data-data
penginderaan jauh. Rencana selanjutnya adalah menyelesaikan beberapa parameter
yang belum dikerjakan, melakukan pembobotan dan analisa. Selain itu akan dicoba untuk
menggunakan data satelit beresolusi temporal tinggi seperti Fengyun 1C untuk monitoring
kekeruhan, dan menggunakan data resolusi spasial tinggi seperti SPOT untuk membantu
mengamati lokasi secara visual sekaligus sebagai alat verifikasi dari hasil pembobotan
dan analisa.
DAFTAR PUSTAKA
47
Anonimous. http://www.banyuwangi.go.id Anonimous. http://www.oseanologi-lipi.go.id Anonimous. http://www.BPS.go.id Asbar, 2002. Konsep Bio-Region Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir (suatu tinjauan
filosofi). IPB. Bogor. (makalah thesis). Bengen, D.G. 2000. Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah pesisir Terpadu.
PKSPL_IPB dan CRMP (prosiding). BPS, Situbondo Dalam Angka, 1994-2000, Situbondo BPS, Situbondo Dalam Angka, 2001, Situbondo BPS dan Bappekab Situbondo, 2000. Karakteristik Penduduk Kabupaten Situbondo Hasil
Sensus Penduduk 2000, Situbondo Budiman,S. 2004. Mapping TSM Concentrations from Multisensor Satellite Images in
Turbid Tropical Coastal Waters of Mahakam delta, Indonesia. Disertasi. ITC. Netherlands
Carolita,I., G.Winarso., M.Hartuti., B.Hasyim., W.Asrining., B.Irianto. 1999. Analisis
Kesesuaian Lahan Tambak Menggunakan Citra Landsat di Sulawesi Selatan.Prosiding pertemuan ilmiah tahunan ke-8 MAPIN. Jakarta 14-35 pp.
Chipman,J.W., Leale,J.E., Lillesand,T.M., Nordheim,M.J., Schmaltz,J.E. 2004. Mapping
Lake Water Clarity with Landsat Image in Wisconsin, USA Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.P., dan Sitepu, M.J. 1996. Pengelolaaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumber Daya Kelautan Untuk Kesejahteraan
Rakyat. Kumpulan pemikiran DR. Ir. Rokhmin Dahuri MS. LISPI. Jakarta. Dahyar,M. 1999. Penerapan Pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu dalam
Pembangunan Pariwisata di Kepulauan Derawan. Propinsi Kalimantan Timur (Thesis).Program Pasca Sarjana .IPB. Bogor. 171 hlm.
Dewayani S., 2000. Manfaat Inderaja SIG untuk Pengembangan Perikanan Laut: Potensi
Pengembangan Budidaya Ikan dalam Keramba Apung, pp.226-235. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 2001. Naskah Akademik Pengelolaan
Wilayah Pesisir. Jakarta. DKP,2003 dalam www.dkp.go.id Edward,A.J .1999. Applications of Satellite and Airborne Image Data To Coastal
Management. UNESCO,France. Effendi, H. 2000. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
48
Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.
Halim, A. 1998. Penentuan Lokasi Wisata Bahari Dengan Sistem Informasi Geografis di
Gili Indah Kabupaten Lombok Barat. Propinsi Nusa Tenggara Barat. (skripsi).FPIK.IPB.Bogor.110 hlm.
Hasyim, B., Dirgahayu, D., Farhan, M. 1997. Optimasi Penggunaan Data Inderaja dan
Sistem Informasi geografi Untuk Pengawasan Kualitas Lingkungan Pantai Akibat Limbah Industri. Laporan Riset Unggulan Terpadu Bidang Teknologi Perlindungan Lingkungan. Dewan Riset Nasional. Kantor Menteri Negera Riset dan Teknologi.
Kusumastanto, Tridoyo,. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Program Pasca Sarjana, IPB, 2000. LAPAN dan BAKOSURTANAL. 2001. Laporan Akhir Pekerjaan Inventarisasi Data
Penginderaan Jauh Wilayah Pesisir dan Laut. Jakarta. (tidak dipublikasikan). Lemigas. 1997. Evaluasi Penginderaan Jauh Untuk Studi Dasar Lingkungan Wilayah
Kerja Unocal Indonesia Company Kalimantan Timur. Laporan Akhir. Pusat penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi.
Martin, K.S. 1993. Applications in Coastal Zone Research and Management.
Explorations in Geographic Information Systems Technology. Vol. 3. UNITAR European Office. Geneva. Switzerland.
Niendyawati. (1999). Aplikasi Inderaja/SIG Untuk Penentuan Lokasi Tambak Udang
(Studi Kasus di Pantai Timur Lampung). Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-8 MAPIN, Jakarta 6-7 April 1999. Jakarta.
Pemerintah Kabupaten Situbondo. 2001. Program Pembangunan Daerah (PROPEDA)
Kabupaten Situbondo 2001-2005. Situbondo. Ratanasermpong, S. 1996. The Role of Remote Sensing in the Monitoring and Planning
of Thailand's Mangrove Forets and Shrimp Farms. Proceedings of the Regional Remote Sensing Seminar on Tropical Ecosystem Management, Fiji, 26-31 August 1996.
Ramesh, R., and Rajkumar, R. 1996. Coastal Aquaculture Site Selection and Planning
in Tamil Nadu Using Remote Sensing and GIS. ASIAN-PASIFIC Remote Sensing and GIS Journal. Vol. 9, Number 1. ESCAP Regional Space Applications Programme. Bangkok.
Riqqi, A dan Nganro, N.R. 2002. Prototipe Pemanfaatan SIG Untuk Pengelolaan
Kawasan Tambak (Studi Kasus: Kabupaten Serang). ITB. Bandung (makalah). Sandaya, N. 1996. Studi Pengamatan Pola Pergerakan Sedimen dan Perubahan Garis
Pantai di Sebelah Timur Teluk Jakarta Menggunakan Citra Landsat-TM. Skripsi (tidak dipublikasikan). Program Studi Ilmu dan Teknoknologi Kelautan. Fakulatas Perikanan Institut Pertanian Bogor.
Sunyoto, P., dan Mustahal. 2000. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis: Kerapu,
Kakap,Beronang. Penebar Swadaya. Jakarta.
49
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Thomas M.L., Ralph W.K., 2000, Remote Sensing dan Image Interpretation, John Willey
& Sons Inc. Trisakti, B. Syarif, B. Gathot, W. Ratna, S.D. dan Eddy, S. 2002. Pemanfaatan Data
Penginderaan Jauh Untuk Pengembangan Budidaya Perikanan Pantai. LAPAN. Jakarta (tidak dipublikasikan).
Trisakti, B. et al. 2003. Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Pengembangan
Budidaya Perikanan Pantai dan Pariwisata Bahari. Laporan Akhir Bina Usaha LAPAN. Jakarta
Trubus, 2000, Rahasia membesarkan Kerapu bebek, Majalah Trubus, Edisi. Januari
2000.
Winarso, G., Carolita, I., Asriningrum, W., dan Sariwulan, B. 1999. Analisis Geomorfologi
untuk Studi Kesesuaian Lahan Tambak Udang di Ketapang dan Sekitarnya Menggunakan Data Landsat-TM. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-8 MAPIN, Jakarta 6-7 April 1999. Jakarta
Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of The Southeast Asian Waters. Vol 2, Naga
report, University of California, San Diego. Yamaji, I. 1966. Illustrations of the Marine Plankton of Japan. Hoikusha, Osaka, Japan.
50
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tutupan Lahan Kecamatan Situbondo
Landcover Kecamatan Situbondo
51
Lampiran 2. Batas Administrasi Kecamatan Situbondo
Batas Admiministrasi Kecamatan Situbondo
52
Lampiran 3. Vektor Jalan dan Sungai Kecamatan Situbondo
Vektor Jalan Kecamatan Situbondo
Vektor Sungai Kecamatan Situbondo
53