laporan biokimia enzim.docx
TRANSCRIPT
laporan biokimia
BAB IPENDAHULUANI.1 LATAR BELAKANG Enzim adalah golongan protein yang paling banyak terdapat dalam sel hidup. Sekarang, kira-kira lebih dari 2.000 enzim telah teridentifikasi, yang masing-masing berfungsi sebagai biokatalisator reaksi kimia dalam sistem hidup. Sintesis enzim terjadi dalam sel dan sebagai besar enzim dapat diperoleh dengan ekstrasi dari jaringan tanpa merusak fungsinya (Sirajuddin,2011). Sebagai katalisator, enzim berbeda dengan katalisator anorganik dan organik sederhana yang umumnya dapat mengatalisis berbagai reaksi kimia. Enzim mempunyai spesifitas yang sangat tinggi, baik terhadap reaktan (substrat) maupun jenis reaksi yang dikatalisiskan. Pada umumnya, suatu enzim hanya mengatalisis satu jenis reaksi dan bekerja pada suatu substrat tertentu. Kemudian, enzim dapat meningkatkan laju reaksi yang luar biasa tanpa pembentukan produk samping dan molekul berfungsi dalam larutan encer pada keadaan biasa (fisiologis) tekanan, suhu, dan pH normal. Hanya sedikit katalisator nonbiologi yang dilengkapi sifat-sifat demikian (Sirajuddin,2011). Enzim merupakan unit fungsional dari metabolisme sel. Enzim bekerja dengan urutan-urutan yang teratur dan mengkatalisis ratusan reaksi dari reaksi yang sederhana seperti replikasi kromosom sampai reaksi yang sangat rumit, misalnya reaksi yang menguraikan molekul nutrient; menyimpang; dan mengubah energi kimiawi. Masing-masing reaksi dikatalisis oleh sejenis enzim tertentu. Diantara sejumlah enzim tersebut, ada sekelompok enzim yang disebut enzim pengatur. Enzim dapat mengenali berbagai isyarat metabolis yang diterima. Melalui aktivitasnya, enzim pengatur mengkoordinasikan sistem enzim dengan baik, sehingga menghasilkan hubungan harmonis diantara sejumlah aktivitas metabolis yang berbeda (Sirajuddin,2011). Pada keadaan abnormal atau aktivitas berlebihan suatu enzim dapat menimbulkan penyakit. Analisis enzim dalam serum dapat digunakan untuk diagnosis penyakit,seperti : infarktus otot jantung, prostate, hepatitis, dan lain-lain (Sirajuddin,2011). Berdasarkan penjelasan diatas, maka dilakukanlah percobaan terhadap Enzim.
I.2 TUJUAN PERCOBAANI.2.1 TUJUAN UMUM1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim.2. Membuktikan adanya enzim dalam suatu bahan.3. Mengetahui aktivitas enzim dalam mengkatalisis substrat.4. Mengetahui sifat dan susunan empedu.
I.2.2 TUJUAN KHUSUS1. Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas EnzimMengetahui suhu terhadap aktivitas enzim.2. Pengaruh pH Terhadap aktivitas enzimMembuktikan bahwa derajat keasaman (pH) mempengaruhi aktivitas enzim.3. Pengaruh Konsentrasi enzim terhadap aktivitas enzimMengetahui pengaruh konsentrasi enzim terhadap perombakan suatu substrat (amilum).4. Pengaruh Konsentrasi Subtrat terhadap aktivitas enzim
Mengetahui pengaruh konsentrasi substrat terhadap aktivitas enzim.
I.3 PRINSIP PERCOBAAN1. Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Enzim Pada suhu sangat rendah, aktivitas enzim dapat terhenti secara reversible. Kenaikan suhu lingkungan akan meningkatkan energi kinetik enzim dan frekuensi tumbukan antara molekul enzim dan substrat, sehingga enzim menjadi aktif. Pada suhu dimana enzim masih aktif, umumnya kenaikan suhu 100C menyebabkan kecepatan reaksi enzimatis bertambah 1,1 hingga 3,0 kali lebih besar. Pada suhu optimum, kecepatan reaksi enzimatis berlangsung maksimal. Bila suhu ditingkatkan terus, maka enzim akan mengalami denaturasi, sehingga aktivitas katalitiknya terhenti. Sebagian besar enzim memiliki suhu optimum 300C sampai 400C dan mengalami denaturasi secara irreversible pada pemanasan di atas suhu 600C. 2. Pengaruh pH Terhadap aktivitas enzim Enzim bekerja pada kisaran pH tertentu dan umumnya tergantung pada pH lingkungan. Enzim menunjukkan aktivitas maksimal pada pH optimum, umumnya antara pH 6-0,8. Jika pH rendah atau tingggi, maka dapat menyebabkan enzim mengalami denaturasi, sehingga menurunkan aktivitasnya. Terjadinya penurunan aktivitas enzim dapat dilihat dari hasil hidrolisis substrat yang dikatalisis. Misalnya, amilum terhidrolisis menjadi maltosa dan glukosa. Hasil hidrolisis dapat dibuktikan dengan uji benedict. Bila positif, bererti amilum terhidrolisis, sehingga dapat diasumsikan enzim memiliki aktivitas tingggi. Sebaliknya, bila hasilnya negatif, berarti amilum tidak terhidrolisis karena enzim tidak aktif atau mengalami penurunan aktivitas.3. Pengaruh Konsentrasi enzim terhadap aktivitas enzim Pada konsentrasi substrat tertentu, bertambahnya konsentrasi enzim secara bertingkat akan menaikkan kecepatan reaksi enzimatis. Dengan kata lain, semakin besar volume atau konsentrasi enzim, semakin tinggi pula aktivitas enzim dalam memecah substrat yang dikatalisis. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan warna yang terjadi melalui uji iodium atau adanya endapan yang terbentuk melalui uji benedict.
4. Pengaruh Subtrat terhadap aktivitas enzim Pada konsetrasi enzim yang tetap, penambahan konsentrasi substrat akan menaikkan kecepatan reaksi enzimatis sampai mencapai kecepatan maksimum yang tetap. Penambahan substrat setelah kecepatan maksimum tidak berpengaruh lagi, sebab telah melampaui titik jenuh enzim.
I.4 MANFAAT PERCOBAAN1. Untuk mengetahui suhu terhadap aktivitas enzim.2. Untuk membuktikan bahwa derajat keasaman (pH) mempengaruhi aktivitas enzim.3. Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi enzim terhadap perombakan suatu substrat (amilum).4. Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi substrat terhadap aktivitas enzim.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA Enzim adalah sekelompok protein yang berfungsi sebagai katalisator untuk berbagai reaksi kimia dalam sistem biologik. Hampir tiap reaksi kimia dalam sistem biologis dikatalisis oleh enzim. Sintesis enzim terjadi didalam sel dan sebagian besar enzim dapat diekstraksi dari sel tanpa merusak fungsinya (Sadikin, 2001). Kepentingan medis enzim. Enzim terdistribusi di tempat-tempat tertentu didalam sel, kurang lebih sesuai dengan golongan dan fungsinya. Sebagai contoh, enzim-enzim yang berperan dalam sintesis dan reparasi DNA terdapat di dalam inti sel yang mengkatalisasi berbagai reaksi yang menghasilkan energi secara aerob terletak di dalam mitokondria. Enzim yang berhubungan dengan biosintesis protein berada bersama ribosom. Dengan demikian reaksi kimia dalam sel berjalan sangat terarah dan efisien (Sadikin, 2001). Ada penyakit yang disebabkan oleh abnormalitas sintesis enzim tertentu, misalnya pada efisiensi enzim glukosa 6/fosfat dehidrogenase (G6PDH/G6PD). Sel darah merah penderita defisiensi G6PDH ini sangat rentang terhadap pembebanan oksidatif, misalnya pada pemakian obat analgetik tertentu dan obat anti/malaria. Pada pemakaian obat-obatan tersebut dapat terjadi hemolisis intrafaskuler (Sadikin, 2001). Analisis enzim dalam serum pada dasarnya dapat dipakai untuk diaknosis berbagai penyakit. Dasar penggunaan enzim sebagai penunjang diaknosis ialah bahwa pada hakekatnya, sebagian besar enzim terdapat dan bekerja dalam sel dan bahwa enzim tertentu dibuat dalam jumlah besar oleh jaringan tertentu. Karena itu enzim intrasel seharusnya tidak ditemukan dalam serum dan bila ditemukan, berarti sel yang membuatnya mengalami disentegrasi. Bila enzim diukur dalam serum terutama di buat oleh jaringan atau organ tertentu, maka peningkatan aktivitas dalam serum menunujukkan adanya kerusakan pada jaringan atau organ tersebut (Sadikin, 2001). Semua enzim pada hakikatnya adalah protein. Beberapa diantaranya mempunyai struktur yang sederhana, sedangkan sebagaian besar lainnya memiliki strruktur rumit. Namun, kebanyakan enzim baru berfungsi sebagai katalis apabila disertai zat yang bukan protein, yang disebut kofator. Suatu kafator dapat berupa ion logam sederhana seperti Fe2+ atau Cu2+, tetapi
dapat pula berupa molekul organik kompleks yang disebut koenzim. Bagian protein dari enzim disebut apoenzim. Kemudian, gabungan apoenzim dan kofaktornya sehingga enzim menjadi aktif disebut holoenzim (Sirajuddin, 2011). Sebagian besar protein dicerna menjadi asam amino, selebihnya menjadi tripeptida dan dipeptida. Pencernaan atau hidrolisis protein di mulai di dalam lambung. Asam klorida lambung membuka gulungan protein (proses denaturasi), sehingga enzim pencernaan dapat memecah ikatan peptida. Asam klorida mengubah enzim pepsinogen tidak aktif yang dikeluarkan oleh mukosa lambung menjadi bentuk aktif pepsin. Makanan hanya sebentar berada di dalam lambung, pencernaan protein hanya terjadi hingga di bentuknya campuran polipeptida, protese dan pepton (Yuniastuti, 2007). Ludah adalah cairan kental yang diproduksi oleh kelenjar ludah. Kelenjar-kelenjar ludah tersebut terletak di bawah lidah, daerah otot pipi dan di daerah dekat langit-langit. Air ludah 99,5% terdiri dari air. Sisanya bermacam-macam. Ada zat-zat seperti kalsium ( zat kapur), fosfor, natrium, magnesium dan lain-lain. Di samping itu juga terdapat mucin, amylase, enzim-enzim, bahkan golongan darah, lemak, zat tepung, vitamin juga dan sebagainya (Machfoedz, 2008). Mucin adalah bahan yang dapat menyebabkan sifat air menjadikental, licin. Amilase adalah enzim yang dapat memecah (mencerna) zat tepung hidro karbon (nasi, roti, singkong, jagung, terigu, sagu, dan lain-lain) menjadi zat tepung lain yang lebih halus dengan tujuan mencernanya, sehingga nantinya dapat diserap oleh dinding usus halus. Hidro karbon seperti nasi, roti, singkong, jagung, terigu, sagu, dan lain-lain itu dalam ilmu kimia susunannya disebut polisakarida. Setelah dicerna oleh amilase akan berubah manjadi disakarida, yakni zat tepung yang susunan kimianya lebih sederhana. Bila masuk lambung dan usus akan dicerna lagi menjadi lebih sederhana lagi, menjadi monosakarida, yakni glukosa atau zat gula darah. Itulah sebabnya jika kita makan singkong, dikunya agak lama, akan terasa manis. Hal ini disebabkan karena zat tepung bila dicerna oleh amilase akan menjadi zat yang makin manis rasanya (Machfoedz, 2008). Enzim adalah bahan yang dapat atau memang bertugas untuk mempercepat suatu reaksi bahan seperti halnya memecah bahan tertentu menjadi bahan lain secara kimia, sedangkan enzim itu sendiri tidak berubah dari aslinya. Enzim-enzim lainnya adalah lisozime, lipase, esterase, dan lain-lain. Istimewa lisozime dapat membunuh kuman, sebab enzim ini akan memecah atau merusak dinding sel bakteri atau kuman itu, sehingga dinding sel itu mengalami lisis atau hancur (Machfoedz, 2008). Pencernaan protein dilanjutkan di dalam usus halus oleh campuran enzim protase. Pankreas mengeluarkan cairan yang bersifat sedikit basa dan mengandung berbagai prekursor protase, seperti tripsinogen, kimotripsinogen, prokarboksipeptidase, dan proelastase. Enzim-enzim ini menghidrolisis ikatan peptida tertentu. Sentuhan kimus terhadap mukosa usus halus merangsang dikeluarkannya enzim enterokinase yang mengubah tripsinogen tidak aktif yang berasal dari pankreas menjadi tripsin aktif. Perubahan ini juga dilakukan oleh tripsin sendiri secara otokatalitik. Di samping itu tripsin dapat mengaktifkan enzim-enzim proteolitik lain berasal dari pankreas. Kimotripsinogen diubah menjadi beberapa jenis kimotripsin aktif, prokarboksipeptidase dan proelastase diubah menjadi karboksipeptidase dan elastase aktif. Enzim-enzim pankreas ini memecah protein dari polipeptida menjadi peptida lebih pendek, yaitu tripeptida, dipeptida, dan sebagian menjadi asam amino (Yuniastuti, 2007). Fungsi suatu enzim adalah sebagai katalis untuk proses biokimia yang terjadi dalam sel maupun di luar sel. Suatu enzim dapat mempercepat reaksi 108 sampai 1011 kali lebih cepat
daripada apabila reaksi tersebut dilakukan tanpa katalis. Jadi enzim dapat berfungsi sebagai katalis yang sangat efisien, di samping itu mempunyai derajat kekhasan yang tinggi.seperti juga katalis lainnya, maka enzim dapat menurunkan energi aktivitas suatu reaksi kimia. Reaksi kimia ada yang membutuhkan energi (reaksi endergonik) dan ada pula yang menghasilkan energi atau mengeluarkan energi (eksergonik) (Poedjiadi, 1994). Telah dijelaskan bahwa enzim mepunyai kekhasan yaitu hanya bekerja pada satu reaksi saja. Untuk dapat bekerja terhadap suatu zat atau substrat harus ada hubungan atau kontak anatara enzim dengan substrat. Suatu enzim mempunyai ukuran yang lebih besar daripada substrat. Oleh karena itu tidak seluruh bagian enzim dapat berhubungan dengan substrat. Hubungan antara substrat dengan enzim hanya terjadi pada bagian atau tempat tertentu saja. Tempat atau bagian enzim yang mengadakan hubungan atau kontak dengan substrat dinamai bagian aktif (active site). Hubungan hanya mungkin terjadi apabila bagian aktif mempunyai ruang yang tepat dapat menampung substrat. Apabila substrat mempunyaibentuk atau konfirmasi lain, maka tidak dapat ditampung pada bagian aktif suatu enzim. Dalam hal ini enzim itu tidak dapat berfungsi terhadap substrat. Ini adalah penjelasan mengapa tiap enzim mempunyai kekhasan terhadap substrat tertentu (Poedjiadi, 1994). Hubungan atau kontak antara enzim dengan substrat menyebabkan terjadinya kompleks enzim-substrat. Kompleks ini merupakan kompleks yang aktif, yang bersifat sementara dan akan terurai lagi apabila reaksi yang diinginkan telah terjadi (Poedjiadi, 1994). Pada suatu percobaan hidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa oleh enzim, ternyatra bahwa pada konsentrasi sukrosa. Namun pada konsentrasi tinggi, kecepatan reaksinya tidak lagi tergantung pada konsentrasi sukrosa. Jadi pada konsentarsi tinggi, kecepatan reaksi tidak dipengaruhi lagi oleh pertambahan konsentrasi. Ini menunjukkan bahwa enzim seolah-oleh telah jenuh dengan substrat, artinya tidak dapat lagi menampung substrat. Untuk menerangkan keadaan ini Leonor Michaelis dan Maude Menten pada tahun 1913 mengajukan suatu hipotesis bahwa dalam reaksi enzim terjadi lebih dahulu kompleks enzim substrat yang kemudian menghasilkan hasil reaksi dan enzim kembali (Poedjiadi, 1994). Setiap enzim mempunyai suhu optimum, yaitu suhu di mana enzim memiliki aktivitas maksimal. Enzim di dalam tubuh manusia mempunyai suhu optimal sekitar 370C. di bawah atau di atas suhu optimum, aktivitas enzim menurun. Suhu mendekati titik beku tidak merusak enzim, tetapi enzim tidak aktif. Jika suhu di naikkan, maka aktivitas enzim meningkat. Namun, kenaikan suhu yang cukup beasr dapat menyebabkan enzim mengalami denaturasi dan mematikan aktivitas katalisisnya. Sebagian besar enzim mengalami denaturasi pada suhu di atas 600C (Sirajuddin, 2011). Pada konsentrasi substrat tertentu, bertambahnya konsentrasi enzim akan meningkatkan kecepatan reaksi enzimatis. Dengan kata lain, kecepatan reaksi enzimatis (V) berbanding lurus dengan konsentrasi enzim (E) sampai batas tertentu, sehingga reaksi mengalami kesetimbangan. Pada saat setimbang, peningkatan konsentrasi enzim sudah tidak berpengaruh (Sirajuddin, 2011). Pada konsentarsi enzim yang tetap, peningkatan konsentarsi substrat akan menaikkan kecepatan reaksi enzimatis sampai mencapai kecepatan maksimum (Vmaks) yang tetap. Pada titik maksimum, semua enzim telah jenuh dengan substrat, sehingga penambahan substrat sudah tidak akan meningkatkan kecepatan reaksi enzimatis (Sirajuddin, 2011). Penggolongan enzim. Hal yang sangat penting bagi enzim adalah kerjanya yang sangat spesifik. Suatu enzim dapat mengkatalisis satu atau beberapa reaksi saja. Meskipun jumlah enzim ada ribuan yang bersumber dari makhluk hidup, reaksi-reaksi yang dikatalisis oleh enzim-enzim ini ternyata dapat digolongkan ke dalam 6 macam reaksi saja. Berdasarkan itu, para ahli
telah menggolongkan enzim ke dalam 6 golongan, sesuai dengan jenis reaksi yang dikatalisis yaitu (Sadikin, 2001): 1. Oksidoreduktase. Kelompok enzim ini mengkatalisis reaksi-reaksi oksidasi reduksi.2. Transferase. Kelompok enzim ini mengkatalisis reaksi pemindahan berbagai gugus seperti amina, karboksil, karbonil, metil, asil, glikolisis atau fosforil. 3. Hidrolase. Kelompok enzim ini mengkatalisis pemutusan ikatan kovalen sambil mengikat air.4. Liase. Kelompok enzim ini mengkatalisis reaksi pemecahan ikatan kovalen tanpa mengikat air.5. Isomerase. Kelompok enzim ini mengkatalisis reaksi isomerisasi.6. Ligase (sintetase). Kelompok enzim ini mengkatalisis pembentukan ikatan kovalen. Kespesifikan enzim dibedakan dalam kespesifikan optik dan gugus. Kespesifikan optik tampak pada enzim-enzim yang bekerja terhadap karbohidrat. Umumnya enzim-enzim ini hanya bekerja terhadap karbohidrat isomer D dan bukan L. sebaliknya enzim-enzim yang bekerja terhadap asam amino dan protein hanya bekerja pada asam amino L dan bukan pada isomer D.kespesifikan gugus menunjukkan bahwa enzim hanya dapat bekerja terhadap gugus tertentu. Enzim alkohol dehidrogenase tidak dapat mengkatalisis reaksi dehidrogenasi pada senyawa bukan alkohol (Sadikin, 2001).
BAB IIIMETODOLOGI PERCOBAANIII.1 Alat dan Bahan1. Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Enzim
Adapun alat yang digunakan pada percobaan ini ialah tabung reaksi, pipet ukur, pipet tetes, gelas kimia, alat pemanas, pendingin, penjepit tabung, sikat tabung, kertas lebel, dan rak tabung. Adapun bahan yang digunakan ialah larutan amilum 2%, enzim amilase (saliva), larutan iodium, pereaksi benedict, tissu roll, dan sunlight.2. Pengaruh pH Terhadap Aktivitas Enzim Adapun alat yang digunakan pada percobaan ini ialah tabung reaksi, pipet ukur, gelas kimia, alat pemanas, penjepit tabung, rak tabung, sikat tabung, dan kertas lebel. Adapun bahan yang digunakan larutan amilum 2%, enzim amilase (saliva), larutan HCl 0,4% pH=1, aquades pH=7, larutan Na2CO3 pH=9, pereaksi benedict, larutan iodium, tissu roll, dan sunlight.3. Pengaruh Konsentrasi Enzim Terhadap Aktivitas Enzim Adapun alat yang digunakan pada percobaan ini ialah tabung reaksi, pipet ukur, pipet tetes, gelas kimia, alat pemanas, penjepit tabung, sikat tabung, kertas lebel, dan rak tabung. Adapun bahan yang digunakan ialah larutan amilum 2%, enzim amilase (saliva), larutan iodium, pereaksi benedict, tissu roll, dan sunlight.4. Pengaruh Konsentrasi Substrat Terhadap Aktivitas Enzim Adapun alat yang digunakan pada percobaan ini ialah tabung reaksi, pipet ukur, pipet tetes, gelas kimia, alat pemanas, penjepit tabung, sikat tabung, kertas lebel, dan rak tabung. Adapun bahan yang digunakan ialah larutan amilum 2%, enzim amilase (saliva), larutan iodium, pereaksi benedict, tissu roll, dan sunlight.
III.2 Prosedur Kerja1. Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Enzim1. Disediakan 5 tabung reaksi yang bersih dan kering, masing-masing diisilah dengan 2 ml larutan amilum.2. Ditambahkan 1 ml enzim amilase pada setiap tabung.3. Tabung 1, dimasukkan ke dalam gelas kimia yang berisi es.Tabung 2, disimpan pada suhu kamar.Tabung 3, dimasukkan ke dalam penangas air dengan suhu 37-400C.Tabung 4, dimasukkan ke dalam penangas air dengan suhu 75-800C.Tabung 5, dimasukkan ke dalam penangas air mendidih.4. Dibiarkan masing-masing tabung pada tempatnya selama 15 menit.5. Selanjutnya, diuji dengan larutan iodium.6. Diuji pula dengan pereaksi benedict.7. Dicatat dan diamati perubahan warna yang terjadi.2. Pengaruh pH Terhadap Aktivitas Enzim1. Disediakan 3 tabung reaksi yang bersih, kemudian diisilah tabung pertama dengan 2 ml larutan HCl 0,4%; tabung kedua dengan 2 ml aquades; dan tabung ketiga dengan 2 ml Na2CO3 1%.2. Ke dalam tiap tabung, ditambahkan 2 ml larutan amilum dan 1 ml enzim.3. Dicampurlah sampai homogen, kemudian dibiarkan selama 15 menit.4. Selanjutnya, diuji dengan larutan iodium dan pereaksi benedict.5. Diamati dan dicatat perubahan warna yang terjadi.3. Pengaruh Konsentrasi Enzim Terhadap Aktivitas Enzim1. Disiapkan 3 tabung reaksi yang bersih, kemudian pada tabung 1, 2, dan 3 berturut-turutdiisilah dengan amilase: 0,5 ml; 1,0 ml; dan 1,5 ml.
2. Ke dalam tiap tabung, ditambahkan larutan amilum 2 ml.3. Dicampurlah dengan baik, kemudian dibiarkan selama 15 menit.4. Selanjutnya, diujilah dengan larutan iodium dan pereaksi benedict.5. Dicatat dan diamati perubahan yang terjadi.4. Pengaruh Konsentrasi Substrat Terhadap Aktivitas Enzim1. Disiapkan 4 tabung reaksi bersih, kemudian diisilah berturut-turut dengan larutan amilum: 1 ml, 2 ml, 4 ml, dan 6 ml.2. Ke dalam tiap tabung, ditambahkan enzim amilase 1 ml.3. Dicampurlah dengan baik, kemudian dibiarkan selama 15 menit.4. Selanjutnya, diujilah dengan larutan iodium dan pereaksi benedict.5. Diamati dan dicatat perubahan yang terjadi.
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASANIV.1 Hasil Percobaan1. Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas EnzimNo tabung Suhu (0C) Perubahan warna Uji iodium Uji benedict1 0 Kuning Endapan merah bata2 25-30 Kuning Endapan merah bata3 37-40 Kuning Kuning pucat4 75-80 Kuning-coklat Biru5 100 Endapan hitam Coklat
2. Pengaruh pH Terhadap Aktivitas EnzimNo tabung Suhu (0C) Perubahan warna Uji iodium Uji benedict1 1,0 Jingga Endapan hijau muda2 7,0 Kuning keruh Endapan orange tua3 9,0 Kuning bening Endapan orange
3. Pengaruh Konsentrasi Enzim Terhadap Aktivitas EnzimNo Konsentrasi substrat Konsentrasi enzim Perubahan warna Uji iodium Uji benedict1 Amilum 2 ml Amilase 0,5 ml Kuning Merah bata2 Amilum 2 ml Amilase 1,0 ml Kuning pekat Orange3 Amilum 2 ml Amilase 1,5 ml Kuning bening Hijau
4. Pengaruh Konsentrasi Substrat Terhadap Aktivitas EnzimNo Konsentrasi substrat Konsentrasi enzim Perubahan warna Uji iodium Uji benedict1 Amilum 1 ml Amilase 1 ml Kuning Merah bata2 Amilum 2 ml Amilase 1 ml Kuning Merah bata3 Amilum 4 ml Amilase 1 ml Kuning Merah bata4 Amilum 6 ml Amilase 1 ml Kuning Merah bata
IV.2 PEMBAHASAN 1. Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Enzim Dari hasil percobaan kelompok kami, pada tabung pertama tabung dengan menyimpang digelas kimia yang berisikan dengan es tidak terjadi perubahan warna pada uji iodium dan uji benedict. Hal ini disebabkan oleh enzim yang dalam keadaan suhu rendah terhenti secara reversible sehingga tidak terjadinya proses hidrolisis pada amilum sehingga tidak terjadi perubahaan warna. Pada tabung kedua yang disimpang pada suhu kamar terjadi perubahan warna pada kedua uji. Hal ini terjadi karena pada suhu kamar kenaikan suhu lingkungan akan meningkatakan energi kinetik enzim dan frekuensi tumbukan antara molekul enzim dan substrat, sehingga enzim aktif dan keaktifan ini yang menyebabkan amilum dapat terhidrolisis sehingga terjadi perubahan warna pada kedua uji. Pada tabung ketiga yang dimasukkan kepenangan air yang bersuhu 37-400C juga terjadi perubahan warna pada kedua uji. Hal ini di sebabkan enzim memiliki suhu optimal 30-400C sehingga pada suhu ini aktivitas enzim berjalan maksimal sehingga dapat menghidrolisis amilum yang membuat pada kedua uji terjadi perubahan warna. Pada tabung keempat dimasukkan kedalam kepenangan air yang bersuhu 75-800C yang mana kedua uji mengalami perubahan warna. Hal ini terjadi pada suhu demikian enzim mengalami denaturasi irreversible yang pada suhu awal mengalami perubahan kenaikan suhu sebelum terjadinya prosesdenaturasi dapat menaikkan kecepatan reaksi, namun kenaikan suhu pada saat mulai terjadinya proses denaturasi akan mengurangi kecepatan reaksi. Hal ini juga terjadi pada tabung kelima.2. Pengaruh pH Tehadap Aktivitas Enzim Dari hasil percobaan kelompok kami, pada tabung pertama dengan penambahan HCl yang
berpH 1 setelah diuji dengan larutan iodium terjadi perubahan warna menjadi jingga, kuning keruh, kuning bening dan dengan uji benedict terbentuk endapan hijau mudah, pada tabung kedua dengan penambahan aquades yang berpH 7 setalah diuji dengan larutan iodium terjadi perubahan warna menjadi orange tua dan uji benedict terbentuk kompleks warna biru bening, sedangkan pada tabung ketiga dengan penambahan Na2CO3 yang berpH 9 setelah diuji dengan larutan iodium terbentuk kompleks orange tua dan uji benedict terbentuk endapan berwarna orange. Disini kelompok kami mengalami kesalahan dalam jumlah larutan yang kurang. Dalam percobaan ini seharusnya pada tabung kedua terbentuk kompleks berwarna biru dengan uji larutan iodium karena enzim menunjukkan aktivitas saat maksimal pada pH optimum, umumnya antara pH 6-8,0 membentuk kompleks biru akan terbentuk karena terjadinya hidrolisis pada amilum dan pada uji benedict akan terbentuk endapan merah bata karena ini disebabakan karena aldosa atau ketosa dalam bentuk siklik, artinya bentuk ini berada dalam kesetimbangannya dengan sejumlah kecil aldehida atau keton rantai terbuka, oleh karena itu gugus aldehida atau keton ini dapat mereduksi berbagai macam reduktor yang berarti amilum terhidrolisis. Sedangkan tabung pertama dan ketiga negatif karena enzim mengalami denaturasi pada pH yang rendah atau tinggi, yang menyebabkan menurunnya kerja enzim. Maka pada uji dengan larutan iodium dan pereaksi benedict tidak akan menghasilkan hasil positif karena tidak terjadinya proses hidrolisis.3. Pengaruh Konsentrasi Enzim Terhadap Kerja Enzim Dari hasil percobaan kelompok kami, pada tabung pertama dengan konsentrasi enzim 0,5 ml diuji dengan larutan iodium warna larutan kuning dan dengan uji benedict terbentuk endapan merah bata, pada tabung kedua dengan konsentrasi enzim 1 ml diuji dengan larutan iodium warna larutan luning pekat dan uji beneditc terbentuk endapan yang banyak daripada tabung pertama, sedangakan pada tabung ketiga dengan konsentrasi enzim 1,5 ml diuji dengan larutan iodium warna kuning bening dan uji benendict terbentuk endapan yang lebih banyak dari pada tabung kedua. Dari perubahan warna dan terbentuknya endapan yang diketahui bahwa terjadi hidrolisis pada amilum sehingga dapat diketahui bahwa bertambahnya konsentrasi enzim secara bertingkat akan menaikkan kecepatan reaksi enzimatis. Dengan kata lain, semakin bersar volume atau konsentrasi enzim, semakin tinggi pula aktivitas enzim dalam memecah substrat yang dikatalisis. Pada percobaan ini yang memiliki konsentrasi enzim optimum adalah 0,5 ml dan yang memiliki konsentrasi enzim yang minimum adalah 1,5 ml.4. Pengaruh Konsentrasi Substrat Terhadap Aktivitas Enzim Dari hasil percobaan kelompok kami, pada tabung pertama dengan penambahan konsentrasi substrat 1 ml diperoleh hasil dengan uji iodium kuning dan uji benedict terhadap endapan merah bata, pada tabung kedua penambahan substrat 5 ml diperoleh hasil dengan uji iodium kuning dan uji benedict terdapat endapan merah bata, pada tabung keempat penambahan konsentrasi substrat 7 ml memperoleh hasil dengan iodium kuning dengan uji benedict terdapat endapan yang lebih banyak dari tabung sebelumnya. Dan perubahan warna dan terbentunya endapan yang diketahui bahwa terjadinya hidrolisis pada amilum sehingga dapat diketahui bahwa bertambahnya konsentrasi substrat secara bertingkat menaikkan reaksi enzimatis sampai mencapai kecepatan maksimum yang tetap. Tetapi setelah enzim mencapai kecepatan maksimum substrat tidak berpengaruh lagi sebab telah melampaui titik jenuh enzim. Pada percobaan ini enzim yang mempunyai konsentrasi substrak yang optimum ialah 1 ml.
BAB VPENUTUPV.1 Kesimpulan1. Suhu optimal enzim 370C mendekati 600C enzim meningkat selanjutnya enzim akan mengalami denaturasi sedangkan mendekati titik beku enzim tidak aktif.2. Pengaruh pH dapat diketahui dengan terbentuknya endapan dengan penambahan pereaksi benedict. pH optimum enzim tergantung pada pH jaringan sekitar enzim terdapat. Tapi pada umumnya pH enzim sekitar 6-8. 3. Pengaruh konsentrasi enzim dapat dilihat dari jumlah endapan setelah perubahan pereaksi benedict. Semakin besar konsentrasi enzim semakin tinggi pula aktivitas enzim dalam memecah substrat yang dikatalisis. Pada percobaan ini yang mempunyai konsentrasi enzim yang paling optimum ialah 0,5 ml. 4. Pengaruh konsentrasi substrat dapat dilihat dengan terbentuknya endapan setelah penambahan pereaksi benedict. Konsentrasi substrat berbanding lurus dengan kecepatan reaksi sampai batas maksimum yang tetap. Jika melewati batas maksimum penambahan substrat tidak berpengaruh. Pada percobaan ini enzim yang mempunyai konsentrasi substrak yang optimum ialah 1 ml.
V.2 Saran1. Kepada asisten diharapkan agar memberikan penjelasan sejelas mungkin.2. Di harapkan untuk melengkapi sarana dan prasarana untuk kebutuhan praktikum karena ketidaklengkapan sarana dan prasarana dalam laboratorium dapat menghambat praktikum sehingga praktikum tidak berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKASirajuddin, Saifuddin. 2011. Penuntun Pratikum Biokimia. UNHAS, Makassar.Yuniastuti, Ari. 2007. Gizi dan Kesehatan. Graha Ilmu, Yogyakarta. Sadikin, Mohammad, dkk. 2001. Biokimia Eksperimen Laboratorium. Widya Medika, jakarta.
Poedjiadi, A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. UI-Prees, jakarta.Machfoedz, Ircham. 2008. Gigi dan Mulut. Fitramaya, yogyakarta.
1. PENDAHULUAN
1.1. Tinjauan Pustaka
Metabolisme merupakan salah satu ciri kehidupan yang merupakan bentuk transformasi tenaga atau
pertukaran zat melalui serangkaian reaksi biokimia. Dalam mahkluk hidup, reaksi metabolisme
berlangsung dengan melibatkan suatu senyawa protein yang disebut enzim. Enzim merupakan protein
yang khusus disintesis oleh sel hidup untuk mengkatalisis reaksi yang berlangsung di dalamnya. Fungsi
khusus dari enzim adalah untuk menurunkan energi aktivasi, mempercepat reaksi pada suhu dan
tekanan yang tetap tanpa mengubah besarnya tetapan keseimbangan dan sebagai pengendali reaksinya
(Martoharsono, 1994).
Enzim adalah substansi yang dihasilkan oleh sel-sel hidup dan berperan sebagai katalisator pada reaksi
kimia yang berlangsung dalam organisme. Katalisator adalah substansi yang mempercepat reaksi tetapi
pada hasil reaksi, substansi tersebut tidak berubah. Enzim mempunyai ciri dimana kerjanya dipengaruhi
oleh lingkungan. Salah satu lingkungan yang berpengaruh terhadap kerja enzim adalah pH. pH optimal
enzim adalah sekitar pH 7 (netral) dan jika medium menjadi sangat asam atau sangat alkalis enzim
mengalami inaktivasi (Gaman & Sherrington, 1994).
Suasana yang terlalu asam atau alkalis menyebabkan denaturasi protein dan hilangnya secara total
aktivitas enzim. Pada sel hidup, perubahan pH sangat kecil. Enzim hanya aktif pada kisaran pH yang
sempit. Oleh karena itu media harus benar-benar dipelihara dengan menggunakan buffer (larutan
penyangga). Jika enzim memiliki lebih dari satu substrat, maka pH optimumnya akan berbeda pada
suatu substrat (Tranggono & Sutardi, 1990). Tiap enzim memiliki karakteristik pH optimal dan aktif
dalam range pH yang relatif kecil, dalam banyak kasus, bentuk kurva menandakan dari keaktifan enzim
berbanding pH yang terkandung di dalamnya (Almet & Trevor, 1991).
Salah satu enzim yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah amilase. Amilase dapat diartikan
sebagai segolongan enzim yang merombak pati, glikogen dan polisakarida yang lain. Tumbuhan
mengandung α dan β amilase, hewan memiliki hanya α amilase, dijumpai dalam cairan pankreas
dan juga (pada manusia dan beberapa spesies lain) dalam ludah. Amilase memotong rantai
polisakarida yang panjang, menghasilkan campuran glukosa dan maltosa. Amilosa merupakan
polisakarida yang terdiri dari 100-1000 molekul glukosa yang saling berikatan membentuk rantai
lurus. Dalam air, amilosa bereaksi dengan iodin memberikan warna biru yang khas (Fox, 1991).
Ada beberapa faktor untuk menentukan aktivitas enzim berdasarkan efek katalisnya yaitu
persamaan reaksi yang dikatalis, kebutuhan kofaktor, pengaruh konsentrasi substrat dan
kofaktor, pH optimal, daerah temperatur, dan penentuan berkurangnya substrat atau
bertambahnya hasil reaksi. Penentuan ini biasa dilakukan di pH optimal dengan konsentrasi
substrat dan kofaktor berlebih, menjadikan laju reaksi yang terjadi merupakan tingkat ke 0 (zero
order reaction) terhadap substrat. Pengamatan reaksinya dengan berbagai cara kimia atau
spektrofotometri. Ada dua teori tentang mekanisme pengikatan substrat oleh enzim, yaitu teori
kunci dan anak kunci (lock and key) dan teori induced fit (Wirahadikusumah, 1989).
Enzim sebagai protein akan mengalami denaturasi jika suhunya dinaikkan. Akibatnya daya kerja enzim
menurun. Pada suhu 45°C efek predominanya masih memperlihatkan kenaikan aktivitas sebagaimana
dugaan dalam teori kinetik. Tetapi lebih dari 45°C menyebabkan denaturasi ternal lebih menonjol dan
menjelang suhu 55°C fungsi katalitik enzim menjadi punah (Gaman & Sherrington, 1994). Hal ini juga
terjadi karena semakin tinggi suhu semakin naik pula laju reaksi kimia baik yang dikatalisis maupun
tidak. Karena itu pada suhu 40oC, larutan tidak ada gumpalan, begitu juga pada suhu ruang, sedngkan
pada suhu 100oC masih ada gumpalan – gumpalan yang menunjukkan kalau enzim rusak. Pada suhu
ruang, enzim masih dapat bekerja dengan baik walaupun tidak optimum (Gaman & Sherrington, 1994).
Amilase adalah enzim pemecah karbohidrat dari bentuk mejemuk menjadi bentuk yang lebih
sederhana. Misalnya, pati dan glikogen dipecah menjadi maltosa, maltotriosa atau oligosakarida.
Enzim ini terdapat dalam air liur (ptialin) dan getah pankreas yang membantu pencernaan
karbohidrat dalam makanan. Darah normal juga mengandung sedikit amilase dari hasil
pemecahan sel yang berlangsung secara normal. Pada penyakit radang pankreas, gondongan,
kencing manis, kadarnya dalam darah meningkat. Sebaliknya pada penyakit hati, kadarnya
menurun (Anonim, 1990).
Sifat-sifat enzim antara lain :
1. Spesifitas
Aktivitas enzim sangat spesifik karena pada umumnya enzim tertentu hanya akan mengkatalisis satu
reaksi saja. Sebagai contoh, laktase menghidrolisis gula laktosa tetapi tidak berpengaruh terhadap
disakarida yang lain. Hanya molekul laktosa saja yang akan sesuai dalam sisi aktif molekul (Gaman &
Sherrington, 1994).
2. Pengaruh suhu
Aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh suhu. Untuk enzim hewan suhu optimal antara 35°C dan
40°C, yaitu suhu tubuh. Pada suhu di atas dan di bawah optimalnya, aktivitas enzim berkurang. Di
atas suhu 50°C enzim secara bertahap menjadi inaktif karena protein terdenaturasi. Pada suhu
100°C semua enzim rusak. Pada suhu yang sangat rendah, enzim tidak benar-benar rusak tetapi
aktivitasnya sangat banyak berkurang (Gaman & Sherrington, 1994). Enzim memiliki suhu optimum
yaitu sekitar 180-230C atau maksimal 400C karena pada suhu 450C enzim akan terdenaturasi karena
merupakan salah satu bentuk protein. (Tranggono & Setiadji, 1989).
Suhu yang tinggi akan menaikkan aktivitas enzim namun sebaliknya juga akan mendenaturasi enzim
(Martoharsono, 1994). Peningkatan temperatur dapat meningkatkan kecepatan reaksi karena
molekul atom mempunyai energi yang lebih besar dan mempunyai kecenderungan untuk
berpindah. Ketika temperatur meningkat, proses denaturasi juga mulai berlangsung dan
menghancurkan aktivitas molekul enzim. Hal ini dikarenakan adanya rantai protein yang tidak
terlipat setelah pemutusan ikatan yang lemah sehingga secara keseluruhan kecepatan reaksi akan
menurun (Lee, 1992).
3. Pengaruh pH
pH optimal enzim adalah sekitar pH 7 (netral) dan jika medium menjadi sangat asam atau sangat
alkalis enzim mengalami inaktivasi. Akan tetapi beberapa enzim hanya beroperasi dalam keadaan
asam atau alkalis. Sebagai contoh, pepsin, enzim yang dikeluarkan ke lambung, hanya dapat
berfungsi dalam kondisi asam, dengan pH optimal 2 (Gaman & Sherrington, 1994).
Enzim memiliki konstanta disosiasi pada gugus asam ataupun gugus basa terutama pada residu
terminal karboksil dan asam aminonya. Namun dalam suatu reaksi kimia, pH untuk suatu enzim
tidak boleh terlalu asam maupun terlalu basa karena akan menurunkan kecepatan reaksi dengan
terjadinya denaturasi. Sebenarnya enzim juga memiliki pH optimum tertentu, pada umumnya
sekitar 4,5–8, dan pada kisaran pH tersebut enzim mempunyai kestabilan yang tinggi (Williamson &
Fieser, 1992).
4. Ko-enzim dan aktovator
Ko-enzim adalah substansi bukan protein yang mengaktifkan enzim. Beberapa ion anorganik,
misalnya ion kalsium dan ion klorida, menaikkan aktivitas beberapa enzim dan dikenal sebagai
aktivator (Gaman & Sherrington, 1994).
Salah satu enzim yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah amilase, khususnya pada tanaman yang
mengandung banyak karbohidrat seperti pisang dan beberapa serealia serta bahan makanan pokok.
Dimana amilase ini akan mengkatalis hidrolisis karbohidrat yang berupa pati menjadi dekstrin dan
kemudian menjadi maltosa, yang terjadi saat perkecambahan serealia. Pati yang merupakan polisakarida
dan tidak larut dalam air dingin serta membentuk koloid pada air panas memiliki reaksi spesifik dengan
iodium. Poligalakturonase, peroksidase dan fosfatase semuanya merupakan enzim yang berfungsi
menguraikan komponen kompleks menjadi sederhana sehingga bisa dikonsumsi (Kartasapoetra, 1994).
Kecepatan reaksi enzim dipengaruhi oleh berbagai kondisi fisik dan kimia. Beberapa faktor penting yang
mempengaruhi kerja enzim adalah konsentrasi berbagai komponen (seperti substrat, produk, enzim,
kofaktor, dll), pH, temperatur, dan gaya irisan. Kecepatan reaksi enzim sangat dipengaruhi oleh pH
larutan baik secara in vivo maupun secara in vitro. Jenis hubungan antara kecepatan reaksi dan pH
ditunjukkan dengan kurva berbentuk lonceng. Setiap enzim mempunyai pH optimum yang berbeda–
beda (Lee, 1992).
Aktivitas enzim juga dipengaruhi oleh suhu. Untuk enzim, suhu optimal antara 35◦ C dan 40◦ C, yaitu suhu
tubuh. Pada suhu di atas dan di bawah optimalnya, aktifitas enzim akan berkurang. Di atas suhu 50 ◦ C
enzim secara bertahap menjadi inaktif karena protein terdenaturasi. Pada suhu 100◦ C semua enzim
rusak. Pada suhu yang sangat rendah, enzim tidak benar-benar rusak tetapi aktivasinya sangat banyak
berkurang (Gaman & Sherrington, 1994).
Kebanyakan enzim membutuhkan medium cair untuk mendukung aktivitas katalisasi air penting untuk
menyusun struktur enzim. Hasil dari protein dalam air terdiri dari 3 bagian:
Tipe I : molekul air mempunyai penyusun seperti larutan murni dan tidak memiliki interaksi dengan
protein.
Tipe II : molekul air tidak sepenuhnya terikat pada protein.
Tipe III : molekul air terikat kuat dengan protein menghasilkan bagian yang berkembang dalam struktur
protein (Fox, 1991).
Salah satu enzim yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah amilase. Amilase dapat diartikan sebagai
segolongan enzim yang merombak pati, glikogen, dan polisakarida yang lain. Tumbuhan mengandung α
dan ß amylase; hewan memiliki hanya α amylase, dijumpai dalam cairan pankreas dan juga (pada
manusia dan beberapa spesies lain) dalam ludah. Amilase memotong rantai polisakarida yang panjang,
menghasilkan campuran glukosa dan maltosa. Amilosa merupakan polisakarida yang terdiri dari 100-
1000 molekul glukosa yang saling berikatan membentuk rantai lurus. Dalam air, amilosa bereaksi dengan
iodine memberikan warna biru yang khas (Fox, 1991). Pada manusia, α amilase pada ludah dan pankreas
berguna dalam hidrolisis pati yang terkandung dalam makanan ke dalam bentuk aligosakarida, di mana
dalam perubahan tersebut dapat dihidrolisis oleh disakarida atau trisakarida dalam jumlah kecil.
Contohnya, α amilase pada mamalia memiliki pH optimum 6-7, bergantung pada ada atau tidaknya ion
halogen (Whitackr, 1994).
α amilase mempunyai beberapa sifat, antara lain :
a. Di dalam larutan pati, kehilangan daya viskositas yang lebih cepat.
b. Warna iodine akan lebih cepat hilang.
c. Proses produksi maltosa lebih lambat.
d. Tidak memproduksi glukosa.
e. Suhu tinggi konsentrasi α amylase akan mempercepat proses kerja dari viskositas dan perubahan
warna iodine (Whitackr, 1994).
Larutan buffer adalah larutan yang tahan terhadap perubahan pH dengan penambahan asam atau basa.
Larutan seperti itu digunakan dalam berbagai percobaan biokimia dimana dibutuhkan pH yang
terkontrol dan tepat ( Fardiaz, 1992 ). Larutan buffer bermanfaat untuk melarutkan kotoran yang masih
terikut di dalam endapan enzim tersebut sekaligus bisa mencegah enzim dari denaturasi dan kehilangan
fungsi biologisnya ( Fox, 1991 ). Buffer dapat mempertahankan kondisi enzim presipitat agar tidak terjadi
perubahan pH dan mencegah agar enzim tidak mengalami inaktivasi (Winarno, 1995 ).
1.2. Tujuan Praktikum
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui efek dari nilai pH yang berbeda dan
pemanasan terhadap aktivitas enzim.
2. MATERI DAN METODE
2.1. Materi
2.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam pratikum ini adalah water bath, spektofotometer, tabung reaksi, timbangan
analitik, penjepit, pipet volume, pompa, stopwatch, beaker glass, vortex, cawan dan batang porselin.
2.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah reagen Benedict, larutan Buffer pada pH 3,5,7,9,
larutan pati 1%, air destilasi, kacang hijau segar, kacang tanah segar, kecambah kacang hijau, kecambah
kacang tanah dan pepaya (menatah dan mendidih).
2.2. Metode
Kecambah dan buah ditimbang dalam beaker glass sebanyak 15 g. Setelah itu ditambahkan dengan 30
ml larutan buffer. Larutan campuran tersebut disaring dengan kain mori dan filtrat yang dihasilkan
ditampung. Larutan tersebut ada yang tidak dipanaskan(kelompok 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8) dan ada yang
dipanaskan (kelompok 9, 10, 11, 12, 13). Kemudian masing-masing tabung reaksi diberi label dan diisi
dengan 2 ml larutan pati dan ditambahkan pula ke dalamnya masing – masing tabung berbeda yaitu 1
ml aquadestilata, 1 ml buffer pH 3, 1 ml buffer pH 5, 1 ml buffer pH 7, dan 1 ml buffer pH 9 seperti tabel
di bawah ini :
Tabung
Larutan pati 2 2 2 2 2
Enzim = tidak dididihkan (setelah inkubasi 2 menit)
4 4 4 4 4
1 Aquades 2 - - - -
2 Buffer pH 3 - 2 - - -
3 Buffer pH 5 - - 2 - -
4 Buffer pH 7 - - - 2 -
5 Buffer pH 9 - - - - 2
Kelima tabung reaksi tersebut di-vortex. Kemudian di-inkubasi dalam waterbath 38oC selama 2 menit.
Setelah itu, 2 ml larutan enzim yang didinginkan atau dipanaskan tadi ditambahkan ke masing – masing
tabung reaksi dan di-vortex. Inkubasi selama 10 menit dilakukan kembali terhadap tabung–tabung reaksi
tersebut. Setelah itu, 0,5 ml larutan reagen Benedict ditambahkan ke setiap tabung reaksi dan diukur
besar OD ( Optical Density ) pada λ 620. Grafik hubungan antara nilai pH terhadap OD digambar.
3. HASIL PENGAMATAN
Hasil percobaan tentang pengaruh pH yang berbeda dan pemanasan terhadap aktivitas enzim, dapat
dilihat pada Tabel 1 dan Grafik 1.
Tabel 1. Pengamatan Nilai Absorbansi pada Larutan
Kel
Tabung
1
aquades
2
pH 3
3
pH 5
4
pH 7
5
pH 9
B1 + B2 0,9581 1,1245 0,8719 0,9199 0,9213
B3 + B4 1,3486 1,3844 1,2830 1,4868 1,4480
B5 + B6 0,2706 0,2289 0,1968 0,2388 0,2415
B7 + B8 0,8425 0,3041 0,5631 1,0240 1,1146
B9 + B10 0,1237 0,1879 0,1180 0,1219 0,1552
B11
B12
B13
0,9948
0,3391
0,4248
0,9458
0,2412
0,2143
0,8561
0,1957
0,5701
0,7878
0,2120
0,6078
0,9005
0,2080
0,6193
Kelompok B1-B8 mengalami perlakuan enzim tidak didihkan dan kelompok B9-B13 mengalami perlakuan
enzim didihkan. Dengan perincian kelompok B1 + B2 & B9 + B10 Kacang Hijau Segar, B3 + B4 & B11
Kecambah Kacang Hijau, B5 + B6 & B12 Pepaya Mentah, B7 + B8 & B13 Pepaya Matang.
Grafik 1. Grafik Pengamatan Nilai Absorbansi pada Larutan
Pada Tabel 1 dan Grafik 1 nilai absorbansi yang didapat oleh semua kelompok berbeda satu dengan yang
lain. Dapat dilihat bahwa nilai absorbansi pada kelompok B9-B13 (enzim mendidih) jika dibandingkan
dengan nilai absorbansi kelompom B1-B8 (enzim tidak mendidih) memiliki nilai yang jauh lebih rendah
pada bahan dan pH yang sama.
4. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan di atas, data dan grafik kelompok B1-B8 dengan kelompok B9-B13
tidaklah sama. Pada percobaan kelompok B1-B8 enzim tidak dididihkan sedangkan pada percobaan
kelompok B9-B13 enzim dididihkan dengan perlakuan pH yang sama dari percobaan tersebut terdapat
perbedaan hasil pengamatan. Pada enzim yang tidak dididihkan dihasilkan nilai OD berada ditingkat nilai
absorbansi yang lebih tinggi, sedangkan pada enzim yang dipanaskan cenderung nilai OD-nya berada
ditingkat absorbansi yang lebih rendah. Hal tersebut terlihat bahwa enzim dipengaruhi oleh panas atau
suhu, yang ditunjukkan dengan nilai absorbansinya. Semakin tinggi suhunya, nilai absorbansinya
semakin turun, karena enzim mengalami inaktivasi pada suhu tinggi. Enzim memiliki suhu optimum yaitu
sekitar 180-230C atau maksimal 400C karena pada suhu 450C enzim akan terdenaturasi karena
merupakan salah satu bentuk protein, pernyataan ini sesuai dengan Tranggono & Setiadji (1989). Pada
enzim yang dididihkan, enzim akan bertahap menjadi inaktif karena terjadi perubahan struktur enzim.
Sesuai dengan pernyataan Gaman & Sherrington (1994), bahwa suhu optimal enzim antara 35oC dan
40oC. Sehingga jika suhu berada di atas optimal, maka aktivitasnya akan berkurang yang terlihat dari
menurunnya nilai absorbansinya.
Sedangkan pada pengaruh pH didapatkan bahwa setiap bahan memiliki nilai pH optimum untuk
melakukan aktivitas enzimnya, yang dapat dilihat dari nilai absorbansinya. Pada bahan yang tidak
dipanaskan enzimnya dengan kacang hijau segar diperoleh bahwa nilai absorbansi tertinggi diperoleh
pada pemberian pH 3, pada kecambah kacang hijau pada pemberian pH 7, pada pepaya mentah pada
pemberian aquades dan pada pepaya matang pada pemberian pH 9. Sedangkan pada bahan yang
dipanaskan enzimnya dengan kacang hijau segar diperoleh bahwa nilai absorbansi tertinggi diperoleh
pada pemberian pH 3, pada kecambah kacang hijau pada pemberian aquades, pada pepaya mentah
pada pemberian aquades dan pada pepaya matang pada pemberian pH 9. Seharusnya, menurut Gaman
& Sherrington (1994) semakin besar atau basa pH yang digunakan maka semakin rendah nilai OD-nya
dikarenakan enzim mengalami denaturasi. Suhu yang tinggi akan menaikkan aktivitas enzim tapi suhu
yang terlalu tinggi pun dapat mendenaturasi enzim. Ketika temperatur meningkat, pH optimal enzim
adalah sekitar pH 7 (netral) dan jika medium menjadi sangat asam atau sangat alkalis enzim mengalami
inaktivasi. Akan tetapi beberapa enzim hanya beroperasi dalam keadaan asam atau alkalis, sedangkan
aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh suhu. Hal ini dapat terjadi karena terjadi kesalahan saat
praktikum saat pengukuran absorbasi atau mungkin juga setiap bahan yang berbeda memang memiliki
pH optimumnya masing-masing.
Untuk enzim hewan suhu optimal antara 35°C dan 40°C, yaitu suhu tubuh. Pada suhu di atas dan di
bawah optimalnya, aktivitas enzim berkurang. Di atas suhu 50°C enzim secara bertahap menjadi inaktif
karena protein terdenaturasi. Pada suhu 100°C semua enzim rusak. Pada suhu yang sangat rendah,
enzim tidak benar-benar rusak tetapi aktivitasnya sangat banyak berkurang, hal ini sesuai pernyataan
Gaman & Sherrington (1994). Enzim sebagai protein akan mengalami denaturasi jika suhunya dinaikkan.
Akibatnya daya kerja enzim menurun. Suasana yang terlalu asam atau alkalis menyebabkan denaturasi
protein dan hilangnya secara total aktivitas enzim. Larutan buffer adalah larutan yang tahan panas
terhadap perubahan pH dengan penambahan asam atau basa. Dengan menggunakan larutan buffer
inilah kita mendapatkan pH yang terkontrol dan tepat.
5. KESIMPULAN
· Enzim pada umumnya memiliki pH optimum 7 atau sekitarnya sehingga kerja enzim optimum,
karena suasana yang terlalu asam atau alkalis menyebabkan denaturasi protein dan
hilangnya secara total aktivitas enzim.
· Suhu optimum enzim yaitu 30-40oC, pada suhu 50oC enzim menjadi inaktif karena protein
terdenaturasi, dan pada suhu 100oC enzim rusak.
· Larutan Buffer digunakan untuk menjaga aktivitas enzim agar tidak rusak dan mengalami
aktivasi saat penambahan pH.
· Nilai absorbansi pada percobaan ini dapat menunjukkan nilai aktivitas enzim yang dipengaruhi
oleh pH dan suhu tertentu.
6. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (1990). Ensiklopedi Nasional Indonesia.PT Cipta Adi Pustaka. Jakarta.
Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka. Jakarta.
Fox, P.F. (1991). Food Enzymology Vol 2. Elsevier Applied Science. London.
Gaman, P.M & K.B. Sherrington. (1994). Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi.
Universitas Gadjah Mada press. Yogyakarta.
Kartasapoetra,A.G. (1994). Teknologi Penanganan Pasca Panen. Rineka Cipta. Jakarta.
Lee, J. M. (1992). Biochemical Engineering. Prentice Hall Inc. New Jersey.
Martoharsono, S. (1994). Biokimia jilid 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Tranggono,B.S. (1989). Petunjuk Laboratorium Biokimia Pangan. Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi. Yogyakarta.
Tranggono & Sutardi. (1990). Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. Gajah Mada university Press.
Yogyakarta.
Williamson,K.L & L.F.Fieser. (1992). Organic Experiment 7th Edition. D C Health ang
Company. United States of America.
Wirahadikusumah, M. (1989). Biokimia : protein, enzim, dan asam nukleat. Institut Teknologi Bandung.
Bandung.
6. LAMPIRAN
6.1. Laporan Sementara
6.2. Lampiran Artikel
0 komentar:
Poskan Komentar
Sabtu, 29 Januari 2011