laporan kasus anestesi
TRANSCRIPT
Laporan Kasus
TOTAL INTRAVENA ANESTESI (TIVA) PADA MAMMAE ABERRANTS
Oleh
Muhammad Kabir, S. Ked090610053
Pembimbingdr. Kurnian, Sp.An
BAGIAN/ SMF ANESTESIOLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA ACEH UTARA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi sebagai salah satu cabang ilmu kedokteran sangat berperan dalam
mewujudkan tugas profesi dokter tersebut karena dapat mengurangi nyeri dan
memberikan bantuan hidup. Anestesi adalah cabang ilmu kedokteran
yang mendasari berbagai tindakan yang meliputi pemberian anestesi, penjagaan
keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup
dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi, dan penanggulangan
nyeri menahun.1
Anestetik intravena (TIVA) selain untuk induksi juga dapat digunakan
untuk rumatan anestesia, tambahan pada analgesia regional atau untuk
membantu prosedur diagnostic misalnya thiopental, ketamin, dan propofol.
Untuk anestesia intravena total biasanya menggunakan propofol.2
Mammae aberrants merupakan hasil dari kegagalan regresi jaringan
payudara selama embriogenesis. Hal ini dapat hadir di mana saja sepanjang garis
susu (milk line), dari regio aksila ke inguinal. Insiden Mamma Abberans tidak
pasti, tetapi umumnya diyakini menjadi sekitar 1% dalam suatu populasi. Mamma
Abberans tanpa kehadiran puting terletak di luar pinggiran kelenjar didefinisikan
sebagai jaringan payudara menyimpang dan sering “misdiagosed” sebagai,
subkutan lesion. Sehingga sebagai dokter umum untuk membedakannya dari
penyakit lain yang berhubungan dengan payudara, dibutuhkan pengetahuan
tentang Mammae aberrants itu sendiri dan kemampuan untuk mediagnosa serta
penatalaksanaan awal dengan baik penyakit tersebut.3
1
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. MY
Umur : 28 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Matang Kuli, Aceh Utara
Agama : Islam
Suku : Aceh
Status : Menikah
No. RM : 36.84.63
II. ANAMNESIS
Keluhan utama: Terdapat benjolan yang menyerupai payudara di bawah ketiak
kanan, sejak ± 1 tahun yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Sejak ± 1 tahun SMRS, penderita mengaku teraba benjolan di bawah
ketiak kanan sebesar telur puyuh, benjolan dapat digerakkan, nyeri (-), merah (-).
Sejak ± 8 bulan SMRS, penderita mengaku muncul benjolan kecil yang
menyerupai puting di atas benjolan yang sebelumnya, nyeri (-), merah (-),
mengeluarkan cairan (-).
Sejak ± 1 bulan SMRS penderita mengaku benjolan semakin membesar,
nyeri (+), merah (-), mengeluarkan cairan (-). Penderita mengeluhkan benjolan
terasa semakin kencang dan nyeri menjelang mensturasi.
2
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat sakit sepeti ini sebelumnya disangkal. Pasien belum pernah
menjalani operasi. Riwayat alergi obat disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Dalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit yang sama. Riwayat
penyakit jantung, DM, asma dan penyakit keturunan disangkal.
Anamnesis Sistem:
- Sistem saraf pusat : nyeri kepala (-)
- Sistem kardiovaskular : nyeri dada (-) berdebar (-)
- Sistem respirasi : sesak napas (-), batuk (-) hidung berair (-)
- Sistem gastrointestinal : mual (-) muntah (-) BAB (N)
- Sistem urogenital : tidak ada gangguan BAK
- Sistem muskuloskeletal : gerakan bebas
- Sistem integumentum : sianosis(-), ikterik (-)
III. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Present
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : compos mentis, GCS: E4M6V5
Vital Sign :
TD : 120/80 mmHg
HR : 80 kali/menit
RR : 20 kali/menit
Temp : 36,8 °C
Berat badan : 65 kg
Tinggi badan : 157 cm
3
b. Status Generalis
1. Kepala
Bentuk kepala : simetris, deformitas (-), tanda trauma (-)
Rambut : hitam, distribusi rata, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), radang (-/-)
Hidung : simetris, deformitas (-), sekret (-), darah (-)
Mulut : tidak ada gangguan dalam membuka rahang, tampak arkus faring,
uvula dan palatum molle, Tonsil T1/T1, darah (-), susunan gigi
baik, gigi palsu (-)
Telinga : nyeri tekan tragus (-), serumen (-)
2. Leher
Simetris, deviasi trakea(-), pembesaran KGB (-)
3. Thoraks
a. Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di SIC V linea midclavicula sinistra
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1-S2 reguler, bising (-)
b. Pulmo
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kiri kanan
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+) normal, suara tambahan (-)
4
4. Abdomen
Inspeksi : kulit abdomen intak, jejas (-), sikatrik (-)
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Palpasi : nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani
5. Genital
Tidak dilakukan pemeriksaan genital
6. Ekstremitas
Superior : tanda trauma (-/-), deformitas (-/-), keterbatasan gerak (-/-), hangat
(+/+) pucat (-/-)
Inferior : tanda trauma (-/-), deformitas (-/-), keterbatasan gerak (-/-), hangat
(+/+), pucat (-/-)
c. Status Lokalis
Regio Aksilaris Dekstra
Inspeksi : ukuran ± 5 x 4 cm, sewarna kulit, permukaan rata, terdapat
benjolan kecil seperti puting di atas benjolan dengan ukuran
sekitar 0,5 x 0,5 cm, retraksi (-), edema (-), discharge (-).
Palpasi : konsistensi kenyal, batas tegas, mobile, nyeri tekan (-)
IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hb : 12,9 gr/dL
LED : -
Eritrosit : 4,6 x 106/mm3
Leukosit : 10,5 x 103/mm3
Hematokrit : 39,7 %
Trombosit : 404 x 103/mm3
5
Gol.darah : B
CT : 8’
BT : 3’
V. DIAGNOSIS KERJA
- Mammae aberrants Aksilaris Dekstra
- Status ASA I dengan general anestesi (TIVA)
VI. LAPORAN ANESTESI
Preoperatif
Pasien menjalani program puasa selama kurang lebih 8 jam sebelum
operasi dimulai. Keadaan pasien tenang, kooperatif, nadi 80 x/menit, RR 18
x/menit, suhu 36,8 OC.
Jenis operasi : Ekstirpasi
Jenis anestesi : Anestesi General
Premedikasi : Pethidine 2,5 cc (25 mg)
Medikasi : Sulfas Atropin 1 amp (0,25 mg)
Sedacum ½ amp (2,5 mg)
Pethidine 2,5 cc (25 mg)
Ketalar 50 mg
Ranitidine 1 amp (25 mg)
Ondancetron 1 amp (4 mg)
Ketorolac 1 amp (30 mg)
Teknik anestesi : Total Intra Vena Anestesi (TIVA)
Respirasi : Spontan
Posisi : Terlentang (supine)
6
Cairan : infus RL ± 1000 ml
Keadaan akhir pembedahan :
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan umum : Baik
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Frekuensi nafas : 20x/menit
Frekuensi nadi : 80x/menit
Suhu : 36,5 °C
Pemantauan Selama Anestesi
O2 : 2 liter
SpO2 : 98-100%
Mulai anestesi : 11.20 WIB
Mulai operasi : 11.30 WIB
Tekanan Darah dan Frekuensi Nadi
Pukul (WIB) Tekanan darah (mmHg) Nadi (kali/menit)
11.20 130/100 80
11.30 145/90 78
11.35 135/100 76
11.40 127/83 78
11.45 125/82 82
11.50 126/80 82
11.55 123/82 80
12.00 120/80 80
7
Recovery
Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ke recovery room dan
diobservasi berdasarkan Aldrete Score. Jika Aldrete Score ≥ 8 dan tanpa ada nilai
0 atau Aldrete Score > 9, maka pasien dapat dipindahkan ke bangsal.
tekanan darah : 125/82 mmHg
nadi : 82 kali/menit
saturasi oksigen : 99%
observasi dengan Aldrete Score : 10
Kesadaran : sadar, orientasi baik (2)
Pernapasan : napas dalam, teratur (2)
Sirkulasi : baik (2)
Warna : merah muda, SpO2 > 92% (2)
Aktivitas : 4 ekstremitas dapat digerakkan (2)
Program post operasi :
- Awasi vital sign dan kesadaran
- Posisi tidur terlentang tanpa bantal sampai sadar
- Sadar penuh boleh minum secara bertahap
- Instruksi lain-lain sesuai dokter bedah
- Emergensi lapor dokter anestesi.
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Mammae aberrants
3.1.1 Definisi
Mammae aberrants adalah terdapatnya payudara atau papillae mamma yang
lebih dari dua. Letaknya pada garis susu (milk lines) dari axilla sampai ke inguinal
tapi kebanyakan di axilla.3
Gambar A : Mammae aberrants pada axilla Gambar B. milk lines
3.1.2 Etiologi dan Epidemiologi Mammae aberrants
Downer menemukan dari kepustakaan ± 430 kasus. Menurut Haagensen
insidensi anomali ini 1-2 % pada wanita kulit putih. Tetapi penduduk Asia
agaknya lebih banyak. Iwai menemukan 1,88 % pada pria dan 5,19 % pada
wanita. Taheya menemukan 3,8 % pada pria Tionghoa.4
Menurut Haagensen Mammae aberrants ditemukan 2 kali lebih banyak
pada wanita dari pada laki-laki, yang ditemukan di Bandung hampir selalu pada
9
wanita. Anomalis tersebut ada hubungannya dengan keturunan. Terdapat pada
keluarga - keluarga tertentu.4
3.1.3 Patofisiologi Mammae aberrants
Pada minggu ke lima atau enam embrional kehamilan, terdapat dua ventral
band dari penebalan ektoderm (mammary ridges, milk lines). Pada mammalia,
penebalan ini terbentang bilateral dari axila ke vulva.3
Pada minggu kesembilan, mammary ridges ini menjadi atrofi, kecuali di
daerah pectoralis. Disepanjang milk lines terdapat rudimen multipel untuk
perkembangan payudara dikemudian hari. Rudimen multiple tersebut akan
berkembang dikemudian hari jika terdapat pengaruh hormonal baik pada masa
pubertas ataupun kehamilan. Hasil kegagalan regresi mammary ridges pada
mammae aberrants memiliki berbagai tingkat ekspresi klinis termasuk jaringan
payudara dengan puting tanpa memiliki areola, jaringan kelenjar dengan areola
tapi tanpa puting, atau hanya dengan jaringan payudara bukan merupakan areola
atau nipple. Terjadinya jaringan payudara menyimpang yang paling sering terjadi
di kawasan aksila.5
3.1.4 Klasifikasi Mammae aberrants
Mammae aberrants memiliki beberapa bentuk dan telah diklasifikasikan
oleh Kajava sebagai berikut :
a. payudara lengkap dengan puting, areola, dan jaringan kelenjar,
b. jaringan payudara tanpa areola tapi dengan puting dan jaringan kelenjar,
c. payudara tanpa puting tapi dengan jaringan areola dan kelenjar,
d. payudara tanpa puting atau areola,
10
e. pseudomamma dengan puting dan areola tapi tanpa kelenjar jaringan
(jaringan payudara digantikan oleh lemak),
f. polythelia (Adanya puting saja);
g. polythelia areolaris (keberadaan dari areola saja),
h. polythelia pilosa (kehadiran hanya sepetak rambut) 6
3.1.5 Manifestasi Klinis Mammae aberrants
Ectopic breast tissue mungkin muncul sebagai sesuatu dari jaringan
subkutan dan memiliki fungsi penuh. Secara histologi, supernumerary breast
mungkin memiliki sistem duktal yang terorganisir pada kulit eksternal, sedangkan
ectopic breast tissue sendiri tidak memiliki perkembangan duktus tersebut dan
tidak terhubung ke payudara ipsilateral. Jaringan ini mengikuti kontrol hormon
normal dan dapat menjadi klinis yang jelas saat perempuan memasuki masa puber
atau selama kehamilan. Payudara ektopik dengan kompleks areolar lengkap akan
berfungsi sebagai payudara normal, termasuk menyusui. Gejala pada jaringan
11
payudara aksila dilaporkan memburuk dengan kehamilan berikutnya,
menyebabkan rasa sakit meningkat dan iritasi lokal. Namun, beberapa studi
menunjukkan bahwa jaringan mungkin tanpa gejala.5,6
Polythelia dihubungkan dengan kelainan pada saluran kemih. Kelainan
ginjal tersebut termasuk kegagalan pembentukan ginjal dan karsinoma ginjal.
Hubungan polythelia dan anomali ginjal tidak begitu kuat tetapi sangat didukung
oleh beberapa studi. Sebuah studi dari Israel melaporkan 40% dari anak-anak
dengan polythelia memiliki anomali ginjal obstruktif atau duplikasi dari sistem
ekskretoris. Kehadiran puting ekstra pada anak-anak harus meningkatkan
kecurigaan klinisi anomali ginjal. 6
Umumnya, mammae aberrants terjadi secara sporadis, tetapi kasus-kasus
familial dilaporkan. Dalam keluarga, mammae aberrants dapat dilihat pada
saudara kandung. Toumbis-Ioannou dan Cohen menggambarkan seorang wanita
dengan sisi kiri polythelia dan ginjal kanan ektopik. Kakaknya memiliki sisi kiri
polythelia, dan kakaknya memiliki payudara supernumerary lengkap di sisi
kirinya. 6
3.1.6 Diagnosis Klinis Mammae aberrants
Untuk mendiagnosis suatu benjolan / massa, baik itu yang terdapat di regio
aksilaris ataupun regio mammaria, ada beberapa hal yang harus kita pikirkan.
Apakah benjolan merupakan suatu anomali, tumor jinak, keganasan atau
merupakan suatu infeksi baik itu spesifik maupun non spesifik. Hal tersebut dapat
kita bedakan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan
penunjang jika dibutuhkan. 3,5
12
Untuk suatu benjolan atau massa apapun, diagnosis jaringan diperlukan.
Diagnosis dini karsinoma pada mammae aberrants memerlukan diagnosis jaringan
awal karena diagnosis klinis tidak dapat diandalkan. Jika ditemani oleh kompleks
puting-areolar, massa mungkin tidak salah didiagnosis sebagai lipoma, kelenjar
getah bening, kista sebasea, atau suppurativa hidradenitis. Mammae aberrants
berisiko untuk menjadi jinak ataupun ganas. Diagnosa dilaporkan termasuk
penyakit fibrokistik, mastitis, fibroadenoma, hiperplasia atipikal, dan karsinoma.
Penyakit keganasan yang paling sering dilaporkan adalah infiltrating ductal
carcinoma (79%), diikuti oleh meduler dan karsinoma lobular (9,5%). 5
Satu studi tentang mammae aberrants didiagnosis dengan aspirasi jarum
halus hanya ditemukan 2 kasus kemungkinan kanker dari 69 kasus, dan sebuah
studi terpisah dari jaringan payudara aksilaris menyimpang dihapus untuk tujuan
kosmetik menemukan kanker tidak ada dalam 28 kasus.6
3.1.7 Penatalaksanaan Mammae aberrants
Mammae aberrants untuk sebagian besar kasus hadir sebagai masalah
kosmetik dan mungkin pembedahan. Mereka juga dapat dibuang ketika
menyebabkan ketidaknyamanan karena terasa mengganjal , menseksresikan cairan
susu atau bahkan adanya kekuatiran bila terjadi karsinoma yang tidak mudah
diketahui. Dalam kasus mammae aberrants ektirpasi yang direkomendasikan.
Operasi tersebut harus dilakukan dengan tenang dan sebaliknya dengan narkose
agar yang dianggap benar-benar jaringan kelenjar payudara yang dimaksud, bukan
jaringan lemak subkutan.5
13
3.1.8 Komplikasi Mammae aberrants
Seperti disebutkan, jaringan mammae aberrants dapat menjalani perubahan
patologis yang sama seperti payudara normal. Kasus mammae aberrants dengan
perubahan kistik jinak, tumor jinak (adenoma dan fibroadenoma), dan karsinoma
telah dilaporkan. Ketika massa terletak di sepanjang “milk lines”, kemungkinan
adanya jaringan payudara harus dipertimbangkan. Massa tersebut, misalnya di
ketiak, mungkin pada pemeriksaan awal keliru untuk kelenjar getah bening yang
membesar. Sejumlah kasus kanker payudara yang timbul pada jaringan payudara
ektopik telah dilaporkan. Kasus tersebut dapat menyajikan sebuah tantangan
untuk kedua dokter dan ahli patologi dalam membuat diagnosis yang benar.5
3.2 TOTAL INTRAVENA ANESTESI (TIVA)
TIVA adalah teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan obat-obat
anestesi yang dimasukkan lewat jalur intravena tanpa penggunaan anestesi
inhalasi termasuk N2O. TIVA digunakan buat mencapai 4 komponen penting
dalam anestesi yang menurut Woodbridge (1957) yaitu blok mental, refleks,
sensoris dan motorik. 1
Kelebihan TIVA:
1. Kombinasi obat-obat intravena secara terpisah dapat di titrasi dalam
dosis yang lebih akurat sesuai yang dibutuhkan.
2. Tidak menganggu jalan nafas dan pernafasan pasien terutama pada
operasi sekitar jalan nafas atau paru-paru.
3. Anestesi yang mudah dan tidak memerlukan alat-alat atau mesin yang
khusus.1
14
3.2.1 Definisi Anestesi Intravena
Teknik anestesi intravena merupakan suatu teknik pembiusan dengan
memasukkan obat langsung ke dalam pembuluh darah secara parenteral, obat-obat
tersebut digunakan untuk premedikasi seperti diazepam dan analgetik narkotik.
Induksi anestesi seperti misalnya tiopenton yang juga digunakan sebagai
pemeliharaan dan juga sebagai tambahan pada tindakan analgesia regional. Dalam
perkembangan selanjutnya terdapat beberapa jenis obat-obat anestesi dan yang
digunakan di indonesia hanya beberapa jenis obat saja seperti, Tiopenton,
Diazepam , Dehidrobenzoperidol, Fentanil, Ketamin dan Propofol.2
3.2.2 Indikasi Anestesi Intravena
1. Obat induksi anesthesia umum
2. Obat tunggal untuk anestesi pembedahan singkat
3. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat
4. Obat tambahan anestesi regional
5. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP (SSP sedasi). 2
3.2.3 Cara Pemberian
1. Sebagai obat tunggal :
Induksi anestesi
Operasi singkat: cabut gigi
2. Suntikan berulang sesuai kebutuhan : curetase
3. Diteteskan lewat infus : Menambah kekuatan anestesi. 2
2.3.4 Tahapan Anestesi
15
a. Stadium 1 (analgesia)
Penderita mengalami analgesi,
Rasa nyeri hilang,
Kesadaran berkurang
b. Stadium II (delirium/eksitasi)
Penderita tampak gelisah dan kehilangan kesadaran
Penderita mengalami gerakan yang tidak menurut kehendak (tertawa,
berteriak, menangis, menyanyi)
Volume dan kecepatan pernapasan tidak teratur
Dapat terjadi mual dan muntah
Inkontinensia urin dan defekasi sering terjadi
Midriasis, hipertensi
c. Stadium III (anestesia,pembedahan/operasi)
Pernapasan menjadi dangkal, cepat, dan teratur, seperti pada keadaan tidur
(pernapasan perut)
Gerakan mata dan refleks mata hilang / gerakan bola mata tidak menurut
kehendak
Otot menjadi lemas, misal; kepala dapat digerakkan ke kanan dan ke kiri
dengan bebas; lengan diangkat lalu dilepaskan akan jatuh bebas tanpa
ditahan
d. Stadium IV (paralisis medula oblongata)
Kegiatan jantung dan pernapasan spontan terhenti.
16
Terjadi depresi berat pusat pernapasan di medulla oblongata dan pusat
vasomotor. Tanpa bantuan respirator dan sirkulasi, penderita akan
cepat meninggal. Maka taraf ini sedapat mungkin dihindarkan.
Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesia
dengan tujuan untuk :
a. Meredakan kecemasan dan ketakutan
b. Memperlancar induksi anestesia
c. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat anestesia
e. Mengurangi mual muntah pasca bedah
f. Menciptakan amnesia
g. Mengurangi cairan lambung
h. Mengurangi refleks yang tidak diinginkan
Obat – obat Premedikasi
a. Sulfas atropin 0,25 mg : Antikolinergik
Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan utama
untuk mengurangi efek bronchial dan kardial yang berasal dari perangsangan
parasimpatis, baik akibat obat atau anestesikum maupun tindakan lain dalam
operasi. Disamping itu efek lainnya adalah melemaskan tonus otot polos organ-
organ dan menurunkan spasme gastrointestinal. Atropin tersedia dalam bentuk
atropin sulfat dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg. Diberikan secara suntikan
subkutis, intramuscular atau intravena dengan dosis 0,5-1 mg untuk dewasa dan
0,015 mg/kgBB untuk anak-anak.
17
b. Petidin
Petidin merupakan narkotika sintetik derivat fenilpiperidinan dan terutama
berefek terhadap susunan saraf pusat. Mekanisme kerja petidin menghambat kerja
asetilkolin (senyawa yang berperan dalam munculnya rasa nyeri) yaitu pada
sistem saraf serta dapat mengaktifkan reseptor,
Sediaan : dalam ampul 100 mg/2cc
Dosis : 1 mg/kgbb
Pemberian : IV, IM
Induksi
a. Recofol 80 mg (Propofol)
Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan
karakter recovery anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual. Propofol
merupakan cairan emulsi minyak-air yang berwarna putih yang bersifat isotonik
dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg) dan mudah larut dalam lemak. Profopol
menghambat transmisi neuron yang dihantarkan oleh GABA. Propofol adalah
obat anestesi umum yang bekerja cepat yang efek kerjanya dicapai dalam waktu
30 detik.
Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit infuse.
Dosis sedasi 25-100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yang berumur diatas 55
tahun dosis untuk induksi maupun maintanance anestesi itu lebih kecil dari dosis
yang diberikan untuk pasien dewasa dibawah umur 55 tahun. Cara pemberian bisa
secara suntikan bolus intravena atau secara kontinu melalui infus, namun
kecepatan pemberian harus lebih lambat daripada cara pemberian pada oranag
dewasa di bawah umur 55 tahun.
18
Pemeliharaan
a. Dinitrogen Oksida (N2O/ gas gelak)
N2O merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis, tidak iritatif,
tidak berasa, lebih berat dari pada udara, tidak mudah terbakar/meledak dan tidak
bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Penggunaan dalam anestesi
umumnya dipakai dalam kombinasi N2O:O2 yaitu 60%:40%, 70%:30%, dan
50%:50%. Dosis untuk mendapatkan efek analgesik digunakan dengan
perbandingan 20%;80%, untuk induksi 80%:20%, dan pemeliharaan 70%:30%.
Post Anestesi
Stress pasca operasi sering terjadi gangguan nafas, kardiovaskular, mual-
muntah, menggigil, kadang-kadang perdarahan. Pasca operasi berada di ruang
recovery. Di unit ini pasien dinilai tingkat pulih sadarnya.
Observasi dan monitor tanda vital (nadi, tensi, respirasi)
Bila pasien gelisah harus diteliti apakah karena kesakitan (tekanan darah
dan nadi cepat) atau karena hipoksia (tekanan darah turun dan nadi
cepat) misal karena perdarahan (hipovolemia).
Bila kesakitan beri analgetik NSAID/Opioid.
Jika hipoksia cari sebabnya dan atasi penyebabnya (obstruksi jalan nafas)
karena secret/lender atau lidah jatuh ke hipofharing).
Oksigen via nasal kanul 3-4 liter, selama pasien belum sadar betul tetep
diberikan.
Pasien dapat dikirim kembali ke bangsal/ruangan setelah sadar, reflek
jalan nafas sudah aktif, tekanan darah dan nadi dalam batas-batas normal.
19
Pasien bisa diberi makan dan minum jika flatus sudah ada, itu bukti peristaltik
usus sudah normal.
3.2.5 Farmakologi TIVA
a) Tiopental
Thiopental (pentotal,tiopenton) dikemas dalam bentuk tepung atau bubuk
berwarna kuning, berbau belerang, biasanya dalam bentuk ampul 500 mg atau
1000 mg. Sebelum digunakan dilarutkan dalam aquades steril sampai kepekatan
2,5% (1 ml = 25 mg). Thiopental hanya boleh digunakan untuk intravena dengan
dosis 3-7 mg/kg disuntikkan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.
Larutan ini sangat alkalis dengan pH 10-11, sehingga suntikan keluar vena akan
menimbulkan nyeri hebat apalagi masuk ke arteri akan menyebabkan
vasokontriksi dan nekrosis jaringan sekitar. Kalau hal ini terjadi dianjurkan
memberikan suntikan infiltrasi lidokain. Bergantung dosis dan kecepatan suntikan
thiopental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis,
anestesia atau depresi nafas.
Thiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan
intracranial dan diduga dapat melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis
rendah bersifat anti-analgesi. Kontra indikasinya adalah status asmatikus, syok,
anemia, disfungsi hepar, dispnue berat, asma bronchial, versi ekstraksi, miastenia
gravis. Keuntungannya adalah induksi mudah dan cepat, tidak ada delirium, masa
pemulihan cepat, tidak ada iritasi mukosa jalan nafas, sedangkan kerugiannya
adalah dapat menyebabkan depresi pernafasan, depresi kardiovaskular, cenderung
menyebabkan spasme taring, relaksasi otot perut dan bukan analgetik.
20
Thiopental di dalam darah 70% diikat oleh albumin, sisanya 30% dalam
bentuk bebas, sehingga pada pasien dengan albumin rendah dosis harus dikurangi.
Thiopental dapat diberikan secara kontinyu pada kasus tertentu di unit perawatan
intensif, tetapi jarang digunakan untuk anestesia intavena total.
b) Propofol
Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi berisi 10%
minyak kedelai, 2,25% gliserol dan lesitin telur. Propofol menghambat transmisi
neuron yang dihantarkan oleh GABA. Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam
cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1%
(1 ml = 10 mg). Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa
detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus
untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untu anestesia intravena total 4-12
mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intesif 0,2 mg/kg. Pengenceran
propofol hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Pada manula dosis harus dikurangi,
pada anak < 3 tahun dan pada wanita hamil tidak dianjurkan. Sebaiknya
menyuntikkan obat anestetik ini pada vena besar karena dapat menimbulkan nyeri
pada pemberian intravena.
c) Ketamin
Ketamin adalah suatu rapid acting non barbiturate general anesthesia.
Indikasi pemakain ketamin adalah prosedur dengan pengendalian jalan nafas yang
sulit, prosedur diagnosis, tindakan ortopedi, pasien resiko tinggi, tindakan operasi
sibuk dan asma. Ketamin (ketalar) kurang digemari untuk induksi anestesia,
karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca
anestesia dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk.
21
Kalau harus diberikan sebaiknya diberikan midazolam (dormikum) atau
diazepam (vallum) terlebih dahulu dengan dosis 0,05-0,08 mg/kg intravena.
Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-
10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5%
(1 ml = 50 mg) dan 10% (1 ml = 100 mg).
d) Opioid
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis
tinggi. Opioid tidak menggangu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan
untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan
fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1
mg/kg/menit.
22
BAB IV
KESIMPULAN
Seorang perempuan berumur 28 tahun datang dengan diagnosa prabedah
mammae aberrant aksila dekstra pada tanggal 28 November 2013 dengan status
ASA 1 di kamar operasi. Dilakukan tindakan operasi ekstirpasi dengan teknik
anestesi total intravena anestesi. TIVA merupakan suatu teknik pembiusan dengan
memasukkan obat langsung ke dalam pembuluh darah secara parenteral. Anestesi
premedikasi dengan menggunakan petidin,sulfas atropin, sedacum, medikasi
dengan menggunakan ketalar dan untuk maintenance dengan oksigen 2
liter/menit. Untuk mengatasi mual muntah diberikan ranitidine 1 amp dan
ondancetron 1 amp. Monitoring secara elektronik membantu ahli anestesi
mengadakan observasi pasien lebih efisien secara terus menerus. Selama operasi
berlangsung juga tetap diberikan cairan intravena RL. Pasien dipindah ke ruang
pemulihan dan dilakukan observasi. Bila pasien tenang dan baik pasien dapat
dipindahkan ke bangsal. Pada kasus ini Aldrete Score-nya yaitu kesadaran 2
(orientasi baik), aktivitas motorik 2 (keempat ekstremitas dapat digerakkan),
pernapasan 2 (bernapas tanpa hambatan), sirkulasi 2 (tekanan darah dalam kisaran
<20% sebelum operasi), dan warna kulit 2 (merah muda). Jadi Aldrete Score pada
pasien ini adalah 10 sehingga layak untuk pindah ke bangsal. Perawatan post
operatif dilakukan dibangsal ruang rawatan.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief. 2007. Anestesiologi Edisi II. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
FKUI. Jakarta.
2. Katzung, Bertram G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik (Basic
Clinical Pharmacology). Alih Bahasa: Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Salemba Medika.
3. Shin SJ, Sheikh FS, Allenby PA, Rosen PP: Invasive secretory (juvenile)
carcinoma arising in ectopic breast tissue of the axilla. Arch Pathol Lab
Med, 125: 1372-1374, 2001.
4. Burdick AE, Thomas KA,Welsh E: Axillary polymastia. J Am Acad
Dermatol, 49: 1154-1156, 2003.
5. Alghamdi H: Accessory breasts: When to excise? Breast J, 11: 155-157,
2005.
6. Rho JY, Juhng SK, Yoon KJ: Carcinoma originating from aberrant breast
tissue of the right upper anterior chest wall. J Korean Med Sci, 16: 519-
521, 2001.
7. “Intravenous anesthesic” didapat dari
http://anesthesiologyinfo.com/intravenousanesthetic
8. Morgan GE, Mikhail MS, J.Murray M., Clinical Anesthesiology 4th
edition. McGraw Hill. New York. 2006.
9. Soerasdi E, Satriyanto M,D, Susanto E. 2010.Buku Saku Obat-Obat Anesthesia
Sehari-hari. Bandung.
10. Werth, M. 2010. Pokok-Pokok Anestesi. EGC. Jakarta.
24