laporan kasus mata

Upload: keyko-septiyanti

Post on 04-Oct-2015

186 views

Category:

Documents


22 download

DESCRIPTION

lapkas koas mata

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUSPERDARAHAN SUBKONJUNGTIVA

Pembimbing:dr. Agah Gadjali, SpMdr. Hermansyah, SpMdr. Gartati Ismail, SpMdr. Mustafa K. Shahab, SpMdr. Henry A. W, SpM

Disusun oleh:Keyko Septiyanti Widodo1102010143

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATARUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. 1 RADEN SAID SUKANTOPERIODE 5 JANUARI 2015 9 FEBRUARI 2015 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSILAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIENNama: An. YosephineJenis kelamin: PerempuanUsia: 6 tahunAgama: KristenPendidikan: belum sekolahPekerjaan: -Suku bangsa: JakartaAlamat: Jl. Ali no. 62 RT: 2 RW: 1 Cipayung, Jakarta TimurNo. Rekam medik: 740393Tanggal pemeriksaan: 14 Januari 2015

II. ANAMNESISKeluhan utama:Mata kanan merah sejak 2 minggu yang lalu.

Keluhan tambahan:Tidak ada.

Riwayat penyakit sekarang:Pasien diantar oleh ibunya datang ke Poliklinik Mata RS Polri dengan keluhan mata kanan merah sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasien batuk rejan sejak 3 minggu yang lalu. Mata merah secara bertahap dari bagian atas lalu turun kebagian bawah. Sebelum ke dokter, ibu pasien sudah memberikan obat tetes mata cendo xitrol tetapi pasien tidak merasakan adanya perbaikan. Pasien menyangkal adanya nyeri, gatal dan berair pada mata kanannya. Pasien juga tidak mengeluhkan penglihatan tidak jelas serta silau pada matanya.Riwayat penyakit dahulu: Riwayat mengalami benturan atau trauma benda lain disangkal Riwayat penyakit diabetes melitus disangkal Riwayat penyakit hipertensi disangkal Riwayat menggunakan kacamata disangkal Riwayat sakit serupa disangkal Riwayat operasi pada mata disangkal Riwayat alergi makanan disangkal Riwayat alergi obat disangkal

Riwayat penyakit keluarga: Riwayat keluarga dengan sakit yang sama disangkal Riwayat penyakit diabetes melitus disangkal Riwayat penyakit hipertensi disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIKStatus generalis Keadaan umum: tampak baik Kesadaran: compos mentis Tanda vital Tekanan darah: - Nadi: 80x/menit RR: 19x/menit Suhu: afebris

IV. STATUS OFTALMOLOGI

ODOS

Visus 5/7.55/6

Posisi HirschbergOrtoforia

Gerakan bola mata

Palpebra superior Edema (-), benjolan (-), hiperemis (-), nyeri tekan (-), hematom (-)Edema (-), benjolan (-), hiperemis (-), nyeri tekan (-), hematom (-)

Palpebra inferior Edema (-), benjolan (-), hiperemis (-), nyeri tekan (-), hematom (-)Edema (-), benjolan (-), hiperemis (-), nyeri tekan (-), hematom (-)

Konjungtiva tarsalis superior Hiperemis (-), papil (-), edema (-)Hiperemis (-), papil (-), edema (-)

Konjungtiva tarsalis inferior Hiperemis (-), papil (-), edema (-)Hiperemis (-), papil (-), edema (-)

Konjungtiva bulbiInjeksi siliar (-), injeksi konjungtiva (-), perdarahan subkonjungtiva (+)Injeksi siliar (-), injeksi konjungtiva (-), perdarahan subkonjungtiva (-)

Kornea Jernih, ulkus (-), infiltrat (-), sikatriks (-)Jernih, ulkus (-), infiltrat (-), sikatriks (-)

Bilik mata depan Dalam, jernih,

Dalam, jernih,

Iriskripte (+), sinekia (-)

kripte (+), sinekia (-)

Pupil Reguler, RL (+), RTL (+)Reguler, RL (+), RTL (+)

Lensa JernihJernih

Vitreus Tidak dievaluasiTidak dievaluasi

Fundus Tidak dapat dievaluasiTidak dievaluasi

V. RESUMEPasien perempuan usia 6 tahun diantar oleh ibunya datang ke Poliklinik Mata RS Polri dengan keluhan mata kanan merah sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasien batuk rejan sejak 3 minggu yang lalu. Mata merah secara bertahap dari bagian atas lalu turun kebagian bawah. Sebelum ke dokter, ibu pasien sudah memberikan obat tetes mata cendo xitrol tetapi pasien tidak merasakan adanya perbaikan. Pasien menyangkal adanya nyeri, gatal dan berair pada mata kanannya. Pasien juga tidak mengeluhkan penglihatan tidak jelas serta silau pada matanya.

VI. DIAGNOSISPerdarahan subkonjungtiva e.c batuk

VII. PENATALAKSANAANTerapi yang diberikan: Kompres air dingin selama 1-2 hari, lalu sesudah 1 minggu kompres dingin ditambah kompres air hangat Polynel 3 tetes 1 hari

VIII. PROGNOSIS Quo Ad Vitam: Ad Bonam Quo Ad Fungsionam: Dubia Ad Bonam Quo Ad Sanactionam: Dubia Ad bonam Quo Ad Cosmetican: Ad Bonam

TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI

Orbita

Rongga orbita secara skematis digambarkan sebagai piramida dengan 4 dinding mengerucut ke posterior. Dinding medial orbita kiri dan kanan terletak paralel dan dipisahkan oleh hidung. Pada setiap orbita, dinding lateral dan medialnya membentuk sudut 45 derajat, menghasilkan sudut siku antara keduan dinding lateral. Diameter lingkar anterior sedikit lebih kecil daripada diameter region di bagian bawah tepian sehingga terbentuk bingkai pelindung yang kokoh.

Volume orbita dewasa kira-kira 30 ml dan bola mata hanya menempati sekita 1/5 bagian rongga. Lemak dan otot menempati bagian terbesarnya. Batas anterior rongga orbita adalah septum orbitale, yang berfungsi sebagai pemisah antara palpebra dan orbita. Orbita berhubungan dengan sinus frontalis frontalis di atas, sinus maksilaris di bawah, serat sinus ethmoidalis dan sphenoidalis di medial. Dasar orbita yang tipis mudah rusak oleh trauma langsung pada bola mata, mengakibatkan timbulnya fraktur blowout dengan herniasi isi orbita ke dalam antrm maksilaris

Dinding Orbita

Atap orbita terutama terdiri atas pars orbitalis ossis frontalis. Kelenjar lakrimal terletak di dalam fossa glandulae lacrimalis di bagian anterior lateral atap. Ala minor ossis sphenoidalis yang mengandung kanalis optikus melengkapi bagian atap di posterior.

Dinding lateral dipisahkan bagiankan dari bagian atap oleh fissure orbitalis superior, yang memisahkan ala minor dan ala major ossis sphenoidalis. Bagian anterior dinding lateral dibentuk oleh facies orbitalis ossis zygomaticus (malar). Inilah bagian terkuat dari tulang-tulang orbita. Ligamentum suspensorium, tendo palpebralis lateralis dan ligamentum check mempunyai jaringan ikat yang melekat pada tuberkulum orbitale lateral.

Dasar orbita dipisahkan dari dinding lateral oleh fissure orbitalis inferior. Pars orbitalis maxilla membentuk daerah sentral yang luas bagian dasar orbita dan merupakan tempat tersering terjadinya fraktur blowout. Processus frontalis maxilla di medial dan os zygomaticus di lateral melengkapi tepi inferior orbita. Processus orbitalis ossis palatine membentuk daerah segitiga kecil pada dasar posterior.

Batas-batas dinding medial rongga orbita tidak terlalu jelas. Os. Ethoidale tipis seperti kertas, tetapi menebal ke arah anterior saat bertemu dengan os lacrimale. Corpus ossis sphenoidalis membentuk bagian paling posterior dinding medial dan processus angularis ossis frontalis membentuk bagian atas crista lacrimalis posterior. Bagian bawah crista lacrimalis posterior dibentuk oleh os lacrimalis. Crista lacrimalis anterior teraba dengan mudah melalui palpebra dan terdiri atas processus frontalis maxilla. Sulcus lacrimalis terletak diantara kedua crista.

Apeks Orbita

Apeks orbita adalah tempat masuk semua saraf dan pembuluh ke mata dan tempat asal semua otot ekstraokular, kecuali obliqus inferior. Fissure orbitalis superior terletak di antara corpus serta ala major dan minor ossis sphenoidalis. Vena opthalmica superior dan vervus lacrimalis, frontalis dan trochlearis berjalan melalui bagian lateral fissure yang terletak di luar anulus zinn. Ramus superior dan inferior nervus occulomotorius serta nervus abducent dan nasociliaris berjalan memlalui bagian medial fissure di dalam anulus Zinn. Nervus optikus dan arteri ophtalmica berjalan melalui kanalis optikus yang juga terletak di dalam anulus Zinn. Vena opthalmica inferior dapat melalui bagian yang bersebelahan dengan corpus ossis sphenoidalis yang terletak di sebelah inferomedial anulus Zinn. Vena opthalmica inferior sering bergabung dengan vena opthalmica superior sebelum keluar dari orbita.

Perdarahan

Pemasok arteri utama orbita dan bagian-bagiannya berasal dari arteri ophtalmica, yaitu cabang besar pertama arteri carotis interna bagian intracranial. Cabang ini berjalan dibawah nervus opticus dan bersamanya melewati kanalis optikus menuju orbita. Cabang intraorbital pertama adalah arteri centralis retinae, yang memasuki nervus opticus sekitar 8-15 mm di belakang bola mata. Cabang-cabang lain arteri opthalmica adalah arteri lacrimalis, yang mendarahi glandula lacrimalis dan kelopak mata atas; cabang-cabang muskularis ke berbagai otot orbita; arteri ciliaris posterior longus dan brevis; arteriae palpebra medialis ke kedua kelopak mata; dan arteri supraorbitalis serta supratrochlearis. Arteri ciliaris posterior brevis mendarahi koroid dan bagian-bagian nervus optikus. Kedua arteri cilliaris posterior longus mendarahi corpus cilliaris, beranastomosis satu dengan yang lainnya, dan bersama arteri cilliaris anterior membentuk circulus arteriosus major iris. Arteri cilliaris anterior berasal dari cabang-cabang muskularis dan menuju musculi recti. Arteri memasok darah ke sklera, episklera, limbus dan konjungtiva, serta ikut membentuk circulus arterialis major iris. Cabang-cabang arteri ophtalmica yang paling anterior mebentuk aliran-aliran arteri yang berkelok-kelok di kelopak mata, yang membuat anastomosis dengan sirkulasi karotis eksterna melalu arteri facialis.

Drainase vena-vena di orbita terutama melalui vena opthalmica superior dan inferior, yang juga menampung darah dari vena vorticosa, vena ciliaris anterior dan vena centralis retina. Vena opthalmica berhubungan dengan sinus cavernosus melalui fissure orbitalis superior dan dengan pleksus venosus pterigoideus melali fissure orbitalis inferior. Vena opthalmica superior mula-mula terbentuk dari vena supraorbitalis dan supratrcochlearis serta dari satu cabang vena angularis; ketiga vena tersebut mengalrikan darah dari kulit di daerah periorbita. Vena ini membentuk hubungan langsung antara kulit wajah dan sinus cavernosus sehingga dapat menimbulkan trombosis sinus cavernosus yang fatak pada infeksi superfisial di kulit periorbita.

Bola Mata

Bola mata orang dewasa normal hampir bulat, dengan diameter anteroposterior sekitar 24,2 mm.

Konjungtiva (anatomi)

Secara anatomis konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebral (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus. Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbital di forniks dan melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. (Duktus-duktus kelenjar lakrimal bermuara ke forniks temporal superior). Konjungtiva bulbaris melekat longgar pada kapsul tenon dan sclera di bawahnya, kecuali di limbus (tempat kapsul tenon dan konjungtiva menyatu sepanjang 3 mm).

Konjungtiva (histologi)

Secara histologis, lapisan sel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal (Asbury, 2007). Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus yang diperlukan untuk dispersi air mata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan dapat mengandung pigmen.

Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisialis) dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus dan tersusun longgar pada mata.

Konjungtiva (perdarahan, limfatik dan persarafan)

Arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe kelopak mata hingga membentukpleksus limfatikus yang kaya. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan (oftalmik) pertama nervus V. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.

II. PERDARAHAN SUBCONJUNGTIVA

Definisi

Perdarahan subkonjungtiva terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang terdapat pada atau di bawah konjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri episklera Pecahnya pembuluh darah ini dapat disebabkan batuk rejan, trauma tumpul basis kranii atau pada keadaan pembuluh darah yang rentan dan mudah pecah seperti pada usia lanjut, hipertensi, arteriosclerosis, anemia, dan obat-obat tertentu.

Epidemiologi

Dari segi usia, perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi di semua kelompok umur, namun hal ini dapat meningkat kejadiannya sesuai dengan pertambahan umur (Graham, 2009). Penelitian epidemiologi di Kongo rata rata usia yang mengalami perdarahan subkonjungtiva adalah usia 30.7 tahun (Kaimbo, 2008). Perdarahan subkonjungtiva sebagian besar terjadi unilateral (90%).

Pada perdarahan subkonjungtiva tipe spontan tidak ditemukan hubungan yang jelas dengan suatu kondisi keadaan tertentu (64.3%). Kondisi hipertensi memiliki hubungan yang cukup tinggi dengan angka terjadinya perdarahan subkonjungtiva (14.3%). Kondisi lainnya namun jarang adalah muntah, bersin, malaria, penyakit sickle cell dan melahirkan.

Pada kasus melahirkan, telah dilakukan penelitian oleh oleh Stolp W dkk pada 354 pasien postpartum dengan perdarahan subkonjungtiva. Bahwa kehamilan dan proses persalinan dapat mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva.

Etiologi

1) Idiopatik, suatu penelitian oleh Parmeggiani F dkk di Universitas Ferara Italia mengenai kaitan genetik polimorfisme faktor XIII Val34Leu dengan terjadinya perdarahan subkonjungtiva didapatkan kesimpulan baik homozigot maupun heterozigot faktor XIII Val34Leu merupakan faktor predisposisi dari perdarahan subkonjungtiva spontan, alel Leu34 diturunkan secara genetiksebagai faktor resiko perdarahan subkonjungtiva terutama pada kasus yang sering mengalami kekambuhan. Mutasi pada faktor XIII Val34Leu mungkin sangat berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya episode perdarahan subkonjungtiva.2) Manuver Valsalva (seperti batuk, tegang, muntah, muntah, bersin).3) Traumatik (terpisah atau berhubungan dengan perdarahan retrobulbar atau ruptur bola mata)4) Hipertensi5) Gangguan perdarahan (jika terjadi berulang pada pasien usia muda tanpa adanya riwayat trauma atau infeksi), termasuk penyakit hati atau hematologik,diabetes, SLE, parasit dan defisisensi vitamin C.6) Berbagai antibiotik, obat NSAID, steroid, kontrasepsi dan vitamin A dan D yang telah mempunyai hubungan dengan terjadinya perdarahan subkonjungtiva, penggunaan warfarin.7) Sequele normal pada operasi mata sekalipun tidak terdapat insisi pada konjungtiva. 8) Beberapa infeksi sistemik dapat menyebabkan perdarahan subkonjungtiva, termasuk septikemia, demam tifoid, kolera, riketsia, malaria, dan virus (influenza, smallpox, measles dll).9) Perdarahan subkonjungtiva telah dilaporkan merupakan akibat emboli dari patahan tulang panjang, kompresi dada, angiografi jantung, operasi bedahjantung.10) Penggunaan lensa kontak, faktor resiko mayor perdarahan subkonjungtiva yang diinduksi oleh penggunaan lensa kontak adalah konjungtiva khalasis dan pinguecula.11) Konjungtivokhalasis merupakan salah satu faktor resiko yang memainkan peranan penting pada patomekanisme terjadinya perdarahan subkonjungtiva.

Patofisiologi

Konjungtiva adalah selaput tipis transparan yangmelapisi bagian putih dari bola mata (sklera) danbagian dalam kelopak mata. Konjungtiva merupakanlapisan pelindung terluar dari bola mata. Konjungtiva mengandung serabut saraf dan sejumlahbesar pembuluh darah yang halus. Pembuluh-pembuluhdarah ini umumnya tidak terlihat secara kasat matakecuali bila mata mengalami peradangan. Pembuluh-pembuluh darah di konjungtiva cukup rapuh dandindingnya mudah pecah sehingga mengakibatkanterjadinya perdarahan subkonjungtiva. Perdarahansubkonjungtiva tampak berupa bercak berwarna merahterang di sklera.

Konjungtiva mengandung banyak pembuluh darah kecil dan rapuh yang mudah pecah atau rusak. Ketika hal ini terjadi, darah bocor ke dalam ruang antara konjungtiva dan sklera. Pendarahan berkembang secara akut, dan biasanya menyebabkan kekhawatiran, meskipun sebenarnya tidak berbahaya. Apabila tidak ada kondisi trauma mata terkait, ketajaman visual tidak berubah karena perdarahan terjadi murni secara ekstraokulaer, dan tidak disertai rasa sakit.

Dapat terjadi pada keadaan-keadaan dimana pembuluh darah rapuh. Dapat juga terjadi karena trauma langsung maupun tidak langsung, yang kadang-kadang menutupi perforasi jaringan bola mata. Pada fraktur basis cranii akan terlihat hematom kacamata karena berbentuk kacamat biru pada kedua mata. Manuver valsava sebelumnya (seperti mengejan, batuk, tegang, muntah-muntah) juga bisa menjadi penyebabnya. Penyebab lain meliputi hipertensi, gangguan fungsi koagulan dan infeksi umum (demam, defisiensi vit.C).

Perdarahan subkonjungtiva juga telah dilaporkan sebagai akibat emboli dari patah tulang panjang, kompresi dada, angiografi jantung, dan operasi lainnya.

Klasifikasi

Berdasarkan mekanismenya, perdarahan subkonjungtiva dibagi menjadi dua, yaitu :1. Perdarahan subkonjungtiva tipe spontanSesuai namanya perdarahan subkonjungtiva ini adalah terjadi secara tiba tiba (spontan). Perdarahan tipe ini diakibatkan oleh menurunnya fungsi endotel sehingga pembuluh darah rapuh dan mudah pecah. Keadaan yang dapat menyebabkan pembuluh darah menjadi rapuh adalah umur, hipertensi, arterisklerosis, konjungtivitis hemoragik, anemia, pemakaian antikoagulan dan batuk rejan. Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan ini biasanya terjadi unilateral. Namun pada keadaan tertentu dapat menjadi bilateral atau kambuh kembali; untuk kasus seperti ini kemungkinan diskrasia darah (gangguan hemolitik) harus disingkirkan terlebih dahulu.

2. Perdarahan subkonjungtiva tipe traumatikDari anamnesis didapatkan bahwa pasien sebelumnya mengalami trauma di mata langsung atau tidak langsung yang mengenai kepala daerah orbita. Perdarahan yang terjadi kadang kadang menutupi perforasi jaringan bola mata yang terjadi. Pada fraktur basis cranii akan terlihat hematoma kacamata (raccoon eyes).

Manifestasi klinis

Sebagian besar tidak ada gejala simptomatis yang berhubungan dengan perdarahan subkonjungtiva selain terlihat darah pada bagian sklera:

Sangat jarang mengalami nyeri ketika terjadi perdarahan subkonjungtiva pada permulaan. Ketika perdarahan terjadi pertama kali, akan terasa tidak nyaman, terasa ada yang mengganjal dan penuh di mata. Tampak adanya perdarahan di sklera dengan warna merah terang (tipis) atau merah tua (tebal). Jika mengusap tissue ke bola mata tidak akan di dapati darah pada tissue tersebut. Tidak ada tanda peradangan, kalaupun adanya biasanya peradangan yang ringan. Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama setelah itu kemudian akan berkurang perlahan ukurannya karena diabsorpsi, karena struktur konjungtiva yang halus, sedikit darah dapat menyebar difus di jaringan ikat subkonjungtiva dan menyebabkan eritema difus.

Pada pasien tertentu, harus segera dikonsultasikan ke dokter spesialis mata, misalnya jika pasien merasa nyeri pada matanya, terjadi perubahan visus ( misalnya penglihatan kabur, penglihatan ganda, kesulitan melihat), terdapat edera atau trauma baru-baru ini, terdapat riwayat gangguan perdarahan atau riwayat tekanan darah tinggi.

Diagnosis dan pemeriksaan

Diagnosis dibuat secara klinis dan anamnesis tentang riwayat dapat membantu penegakan diagnosis dan terapi lebih lanjut. Ketika ditemukan adanya trauma, trauma dari bola mata atau orbita harus disingkirkan. Apabila perdarahan subkonjungtiva idiopatik terjadi untuk pertama kalinya, langkah-langkah diagnostik lebih lanjut biasanya tidak diperlukan. Dalam kejadian kekambuhan, hipertensi arteri dan kelainan koagulasi harus disingkirkan.Pemeriksaan fisik bisa dilakukan dengan memberi tetes mata proparacaine (topikal anestesi) jika pasien tidak dapat membuka mata karena sakit dan curiga etiologi lain jika nyeri terasa berat atau terdapat fotofobia. Memeriksa ketajaman visual juga diperlukan, terutama pada perdarahan subkonjungtiva traumatik. Pemeriksaan ketajaman visus merupakan hal yang wajib pada setiap trauma di mata sekalipun hanya didapat perdarahan subkonjungtiva tanpa ada trauma organ mata lainnya. Selanjutnya, periksa reaktivitas pupil dan mencari apakah ada defek pupil, bila perlu, lakukan pemeriksaan dengan slit lamp. Curigai ruptur bola mata jika perdarahan subkonjungtiva terjadi penuh pada 360. Jika pasien memiliki riwayat perdarahan subkonjungtiva berulang, pertimbangkan untuk memeriksa waktu pendarahan, waktu prothrombin, parsial tromboplastin, dan hitung darah lengkap dengan jumlah trombosit serta protein C dan SPasien dengan pendarahan berulang, tes laboratorium seperti protombin time (PT) yang merupakan protein yang diproduksi oleh hati dan tergantung vit.K serta fungsi PT untuk mengevaluasi faktor pembekuan ekstrinsik, active partial thromboplastin time (APTT) dan hitung darah lengkap harus diperiksa untuk menyingkirkan penyakit sistemik. Tes laboratorium penting juga untuk pasien yang menggunakan obat antikoagulan seperti heparin dan warfarin, hemofili, dan defisiensi vit. K.

Penatalaksanaan

Perdarahan subkonjungtiva biasanya tidak memerlukan pengobatan. Pengobatan dini pada perdarahan subkonjungtiva ialah dengan kompres dingin. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1- 2 minggu tanpa diobati.

Pada bentuk-bentuk berat yang menyebabkan kelainan dari kornea, dapat dilakukan sayatan dari konjungtiva untuk drainase dari perdarahan. Pemberian air mata buatan juga dapat membantu pada pasien yang simtomatis. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dicari penyebab utamanya, kemudian terapi dilakukan sesuai dengan penyebabnya.Tetapi untuk mencegah perdarahan yang semakin meluas beberapa dokter memberikan vasacon (vasokonstriktor) dan multivitamin. Air mata buatan untuk iritasi ringan dan mengobati faktor risikonya untuk mencegah risiko perdarahan berulang.

Komplikasi

Perdarahan subkonjungtiva akan diabsorpsi sendiri oleh tubuh dalam waktu 1 2 minggu, sehingga tidak ada komplikasi serius yang terjadi.

Pada perdarahan subkonjungtiva yang sifatnya menetap atau berulang (kambuhan) harus dipikirkan keadaan lain. Penelitian yang dilakukan oleh Hicks D dan Mick A mengenai perdarahan subkonjungtiva yang menetap atau mengalami kekambuhan didapatkan kesimpulan bahwa perdarahan subkonjungtiva yang menetap merupakan gejala awal dari limfoma adneksa okuler.

Prognosis

Secara umum prognosis dari perdarahan subkonjungtiva adalah baik. Karena sifatnya yang dapat diabsorpsi sendiri oleh tubuh. Namun untuk keadaan tertentu seperti sering mengalami kekambuhan, persisten atau disertai gangguan pandangan maka dianjurkan untuk dievaluasi lebih lanjut lagi.

PEMBAHASAN

Pasien di diagnosis pendarahan subkonjungtiva karena pada anamnesis ditemukan:

Mata kanan merah sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasien batuk rejan sejak 3 minggu yang lalu. Mata merah secara bertahap dari bagian atas lalu turun kebagian bawah. menyangkal adanya nyeri, gatal dan berair pada mata kanannya. Pasien juga tidak mengeluhkan penglihatan tidak jelas serta silau pada matanya.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan: Visus OD: 5/6 Visus OS: 5/7.5

Konjungtiva bulbi ODPerdarahan subkonjungtiva (+)

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan diagnosis pasien adalah perdarahan subkonjungtiva. Pasien sudah dianjurkan mengkompres mata kanan dengan air dingin selama 1-2 hari lang seminggu kemudian ditambah kompres air hangat.

Prognosis pada pasien ini adalah baik, karena perdarahan tidak disebabkan oleh trauma. Dan pada kasus ini dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu 1-3 minggu.

DAFTAR PUSTAKA

Chern, K. C. Emergency Ophthalmology: A Rapid Treatment Guide. 1st ed. 2002. McGraw-Hill, Massachusetts.

Graham, R. K. Subconjuntival Hemorrhage. 1st Edition. 2009. Medscapes Continually Updated Clinical Reference. Diakses tanggal 17 Januari 2015, dari http://emedicine.medscape.com/article/1192122-overview

Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. 2008. FK UI. Jakarta

Incorvaia C et all. Recurrent episodes of spontaneous subconjunctival hemorrhage in patients with factor XIII Val34Leu mutation. Ferrara, Itali. Diakses pada tanggal 17 Januari 2015, dari http//pubmed.com/ac12/

K Lang, Gerhard. Opthalmology Hommoraghe. 1st Edition. 2009. Medscapes Continually Update Clinical Reference. Diakses pada tanggal 17 Januari 2015.

Kaimbo D, Kaimbo Wa. Epidemiology of traumatic and spontaneous subconjunctival haemorrhages in Congo. Congo. 2008. Diakses pada tanggal 17 Januari 2015, dari http//pubmed.com/ Epidemiology of traumatic and spontaneous subconjunctival haemorrhages in Congo/943iure

Leiker LL, Mehta BH, Pruchnicki MC, Rodis JL. Risk factors and complications of subconjunctival hemorrhages in patients taking warfarin. Kansan. USA. Diakses pada tanggal 17 Januari 2015, dari http//pubmed.com/ Risk factors and complications of subconjunctival hemorrhages in patients taking warfarin/3i2r43

Mimura T, Yamagami S et all. Contanc lens-Induced Subconjuntival Hemorrhage. 2010. Tokyo, japan. Diakses pada tanggal 17 Januari 2015, dari http//pubmed.com

Pitts JF, Jardine AG, Murray SB, Barker NH. Spontaneous subconjunctival haemorrhage--a sign of hypertension?. Western Infirmary, Glasgow. Diakses pada tanggal 17 Januari 2015, dari http//pubmed.com/aihds. Spontaneous subconjunctival haemorrhage--a sign of hypertension?.id

Schlote, Pocket Atlas of Ophthalmology. 2006. Jakarta: Airlangga.

Stolp W, Kamin W, Liedtke M, Borgmann H. [Eye diseases and control of labor. Studies of changes in the eye in labor exemplified by subconjunctival hemorrhage (hyposphagmas)] . Johanniter-Krankenhauses Bonn. Jerman. Diakses pada tanggal 17 Januari 2015

Vaughan, Daniel G. Oftalmologi Umum,2000. Widia Meka. Jakarta

16