laporan kasus rhd

46
SKILL LAB disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya SMF/Lab. Ilmu Penyakit Dalam RSD dr. Soebandi Jember Disusun oleh: Putu Yos Mulyadi NIM 14710039 Pembimbing dr. Sugeng, Sp.PD

Upload: putuyos

Post on 12-Jan-2016

221 views

Category:

Documents


26 download

DESCRIPTION

lapsus RHD

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Kasus RHD

SKILL LAB

disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya

SMF/Lab. Ilmu Penyakit Dalam RSD dr. Soebandi Jember

Disusun oleh:

Putu Yos Mulyadi

NIM 14710039

Pembimbing

dr. Sugeng, Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA

SURABAYA

SMF/LAB. ILMU PENYAKIT DALAM

RSD dr. SOEBANDI JEMBER

2015

Page 2: Laporan Kasus RHD

BAB 1PENDAHULUAN

Demam rematik merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non

supuratif yang digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan jaringan

ikat. Proses rematik ini merupakan reaksi peradangan yang dapat mengenai

banyak organ tubuh terutama jantung, sendi dan sistem saraf pusat. Demam

rematik akut adalah sinonim dari demam rematik dengan penekanan akut,

sedangkan yang dimasuk demam rematik inaktif adalah pasien-pasien dengan

demam rematik tanpa tanda-tanda radang.

Penyakit demam rematik dan gejala sisanya, yaitu penyakit jantung

rematik, merupakan jenis penyakit jantung didapat yang paling banyak dijumpai

pada populasi anak-anak dan dewasa muda. Puncak insiden demam rematik

terdapat pada kelompok 5-15 tahun; penyakit ini jarang dijumpai pada anak

dibawah usia 4 tahun dan penduduk di atas 50 tahun. Prevalensi demam rematik

atau penyakit jantung rematik yang diperoleh dan penelitian WHO mulai tahun

1984 di 16 negara sedang berkembang di Afrika, Amerika Latin, Timur Jauh,

Asia Tenggara dan Pasifik Barat berkisar 0,1 sampai 12,6 per 1.000 anak sekolah,

dengan prevalensi rata-rata sebesar 2,2 per 1.000 anak sekolah.

Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober–1

November 2001 yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per

100.000 penduduk di Negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara

berkembang di daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000 penduduk.

Diperkirakan sekitar 2.000-332.000 penduduk yang meninggal diseluruh dunia

akibat penyakit tersebut.

Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti,

meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa

prevalensi penyakit jantung rematik berkisar antara 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak

Page 3: Laporan Kasus RHD

sekolah. Dengan demikian, secara kasar dapat diperkirakan bahwa prevalensi

demam rematik di Indonesia pasti lebih tinggi dari angka tersebut, mengingat

penyakit jantung rematik merupakan akibat dari demam rematik.

BAB 2. LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

– Nama : Tn.EA

– Umur : 14 th

– Jenis kelamin : Perempuan

– Alamat : Lumajang

– Suku : Jawa

– Agama : Islam

– Tanggal MRS : 24 Juni 2015

– Tanggal KRS : 30 Juni 2015

– No. RM : 083224

2.2.1 Keluhan utama

Sesak nafas

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluhkan sesak nafas sejak 1 minggu yang lalu. sesak

nafas dirasakan saat aktifitas dan memberat saat malam hari. Sesak nafas

memberat sejak kemarin. Pasien juga mengeluh batuk, sejak 1 minggu yang

lalu. Setiap batuk sesak terasa semakin memberat. Saat sesak timbul pasien

merasa nyaman saat dia duduk. Pasien sudah mengalami penyakit jantung

sejak 3 bulan yang lalu. pasien mengkonsumsi obat batuk, sehabis minum

obat batuk, pasien merasa mual dan muntah. Keluhan disertai demam yang

dirasakan naik turun sejak 2 minggu yang lalu. Pasien sudah mengalami

penyakit jantung sejak 3 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluh badan sakit

semua, lemah terutama anggota gerak bawah pada sendinya. Pasien masuk

Page 4: Laporan Kasus RHD

RS di Lumajang dan dikarenakan sesak yang semakin memberat akhirnya

dirujuk ke RSD dr. Soebandi. BAK (+) normal dan BAB (+) normal

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

Penyakit jantung

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit keluarga disangkal.

2.2.5 Riwayat Pengobatan

Riwayat minum obat batuk

2.2.6 Anamnesis Sistem

a. Sistem Serebrospinal : Penurunan kesadaran (-), Demam (+), Kejang (-),

Nyeri kepala (-).

b. Sistem Kardiovaskuler : Palpitasi (+), Hipertensi (-), Nyeri dada (-).

c. Sistem Pernafasan : Epistaksis (-), Dyspneau (+), Batuk(+), Pilek (-),

Pernafasan cuping hidung (-), Retraksi dinding dada

(-), dan tidak ada ketertinggalan gerak.

d. Sistem Gastrointestinal : Nafsu makan menurun, BAB kehitaman (-)

e. Sistem Urogenital : BAK lancar dan tidak nyeri, serta berwarna kuning

jernih.

f. Sistem Muskuloskeletal : Tidak artrofi, tidak ada deformitas.

g. Sistem Integumentum : Bengkak (-), Ikterik (-), Ptechiae (-), Purpura(-),

Ekimosis (-)

Kesan: Terdapat gangguan di sistem serebrospinal, kardiovaskuler,

pernapasan dan gastrointestinal.

Page 5: Laporan Kasus RHD

2.3 Pemeriksaan Fisik

2.3.1 Pemeriksaan Fisik Umum

a. Keadaan umum : Lemah

b. Kesadaran : Compos mentis

c. Vital Sign :

1) TD : 110/50 mmHg

2) Nadi : 120 x/mnt

3) RR : 28 x/mnt

4) Suhu Axilla : 38,1 ˚ C

d. Kulit : Ikterus (-), Ptechiae (-), Purpura (-), Ekimosis (-)

e. Kelenjar limfe : Ditemukan pembesaran pada limfonodi leher.

f. Otot : Kekuatan otot normal, artrofi (-)

g. Tulang : Tidak ada deformitas.

h. Status Gizi :

1) Berat badan : 45 kg

2) Tinggi badan : 150 cm

3) IMT : 20 %

Kesan : Didapatkan takikardi, takipneu, peningkatan suhu tubuh dan status

gizi cukup

2.3.2 Pemeriksaan Fisik Khusus

a. Kepala

1) Bentuk : Bulat

2) Rambut : Hitam, keriting

3) Mata : Konjungtiva anemis +/+

Sklera ikterus -/-

Oedem palpebra -/-

Reflek cahaya +/+

4) Hidung : Sekret (-), Bau (-), Perdarahan (-), Pernafasan cuping

hidung (-)

5) Telinga : Sekret (-), Bau (-), Perdarahan (-)

Page 6: Laporan Kasus RHD

6) Mulut : Sianosis (+), Bau (-)

b. Leher :

1) Kelenjar limfe : Ada pembesaran pada limfonodi leher

2) Tiroid : Tidak ada pembesaran

3) Kaku kuduk : (-)

4) JVP : tidak meningkat

5) Tidak tampak retraksi suprasternal dan kontraksi M. sternocleidomastoideus

c. Thorax

1) Cor

a) Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

b) Palpasi : Ictus cordis teraba

c) Perkusi : Redup di ICS IV parasternal dextra sampai ICS V

midclavicula sinistra

d) Auskultasi : S1/S2 tunggal, reguler, ekstra sistole (-), gallop (-),

murmur (+)

2) Pulmo

Aspectus Ventralis Aspectus Dorsalis

Ins Bentuk dada normal

Simetris

Retraksi (-)

Gerak nafas tertinggal (-)

Bentuk dada normal

Simetris

Retraksi (-)

Gerak nafas tertinggal (-)

Per Nyeri tekan (-)

Fremitus raba

N N

N N

N N

Nyeri tekan (-)

Fremitus raba

N N

N N

N N

Page 7: Laporan Kasus RHD

Pal Sonor-RedupS S

S S

S S

S R

S S R R

S R

Sonor-RedupS S

S S

S S

R S

R R S S

R S

Aus Suara DasarBV BV

BV BV

V V

V V

V V V V

V V

Wheezing- -

+ +

+ +

+ +

- - - -

- -

Rhonki- -

- -

- -

- -

- - - -

- -

Suara DasarBV BV

BV BV

V V

V V

V V V V

V V

Wheezing- -

+ +

+ +

+ +

- - - -

- -

Rhonki- -

- -

- -

- -

- - - -

- -

Page 8: Laporan Kasus RHD

d. Abdomen

1) Inspeksi : Cembung

2) Auskultasi : Bising usus (+) 10x/menit

3) Perkusi : Tympani-redup

4) Palpasi : Soepel, Nyeri tekan (-), Hepatomegali (-),

Splenomegali (-)

e. Ekstermitas

1) Superior : Akral hangat +/+, oedem -/-

2) Inferior : Akral hangat +/+, oedem +/+

2.4 Pemeriksaan Penunjang

2.4.1 Pemeriksaan Laboraturium

Tanggal 24 Juni 2015

Jenis pemeriksaan Hasil pemeriksaan Nilai normal

HEMATOLOGI

Hemoglobin 11,4 12-16 gr/dL

Leukosit 30,9 4.5-13 109/L

Hematokrit 33,4% 36-46 %

Trombosit 250 150-450 109/L

FAAL HATI

SGOT 881 10-31

SGPT 325 9-36

Albumin 3,4 3,4-4,8

GULA DARAH

Glukosa Sewaktu 118 stik <200 mg/dL

Page 9: Laporan Kasus RHD

ELEKTROLIT

Natrium 130,3 135-155

Kalium 4,26 3,5-5,0

Chlorida 95,8 90-110

Calsium 2,12 2,15-2,57

FAAL GINJAL

Kreatinin Serum 1.2 0.5-1.1 mg/Dl

BUN 48 6-20 mg/dL

Urea 103 26-43 gr/24 h

2.4.2 Pemeriksaan EKG

1). Tanggal 24 Juni 2015

Page 10: Laporan Kasus RHD

2). Tanggal 25 Juni 2015

Page 11: Laporan Kasus RHD

3). Tanggal 26 Juni 2015

2.4.3 Pemeriksaan Echocardiografi

Page 12: Laporan Kasus RHD
Page 13: Laporan Kasus RHD

Kesan: RHD MR Berat AR berat PR berat dengan hipertensi arteri pulmonalis

berat serta vegetasi di AML

2.5 Resume

Pasien mengeluhkan sesak nafas sejak 1 minggu yang lalu. sesak nafas

dirasakan saat aktifitas dan memberat saat malam hari. Sesak nafas memberat

sejak kemarin. Pasien juga mengeluh batuk, sejak 1 minggu yang lalu. Setiap

batuk sesak terasa semakin memberat. Pasien sudah mengalami penyakit jantung

sejak 3 bulan yang lalu. pasien mengkonsumsi obat batuk, sehabis minum obat

batuk, pasien merasa mual dan muntah. Keluhan disertai demam yang dirasakan

naik turun sejak 2 minggu yang lalu. Pasien sudah mengalami penyakit jantung

sejak 3 bulan yang lalu. Pasien masuk RS di Lumajang dan dikarenakan sesak

yang semakin memberat akhirnya dirujuk ke RSD dr. Soebandi. BAK (+) normal

dan BAB (+) normal.

Page 14: Laporan Kasus RHD

Riwayat Penyakit Dahulu: penyakit jantung. Riwayat Pengobatan: obat

batuk. Riwayat Penyakit Keluarga (-). Riwayat alergi (-). Riwayat sosioekonomi

dan lingkungan cukup baik.

Keadaan umum lemah, komposmentis. Status gizi baik, IMT: normal.

Pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, takikardi, takipneu,

peningkatan suhu tubuh, terdapat suara bising jantung murmur, wheezing, dan

oedem pada ekstremitas bawah. Pemeriksaan Laboratorium: anemia, leukositosis,

gangguan faal hati dan gangguan faal ginjal. Pemeriksaan EKG terdapat sinus

takikardi dan pemeriksaan ekocardiography RHD MR Berat AR berat PR berat

dengan hipertensi arteri pulmonalis berat serta vegetasi di AML.

2.6 Diagnosis Kerja

Etiologi : Demam Reuma, infektif endokarditis,

Anatomis : Mitral regurgitasi, aorta regurgitasi

Fungsional : DCFC II

Sekunder: hipertensi arteri pulmonalis, Gangguan Faal Hati, Gangguan faal Ginjal

2.7 Planning

2.7.1 Planning Terapi

O2 3 lpm

Infus PZ : Comafucin 7 tpm

Injeksi Cefotaxim 3x1 gr

Gentamycin 2x40 mg

Injeksi ranitidin 2x1 amp

Injeksi furosemide 1x1 amp

p/o Spironolacton 25 mg 1-0-0

p/o concor 2,5 0-0-1/2

p/o ibuprofen 3x200 mg

2.7.2 Planing diagnostik

Page 15: Laporan Kasus RHD

ASTO titer

2.7.3 Planing Monitoring

1. EKG

2. Vital sign

2.7.4 Planning operatif

- Valvuloplasti

- Mitral valve replacement

- Bioprotese

- Katup mekanik byork Shiley, st Judge

-

2.7.5 Planning edukasi

• Menjelaskan tentang penyakit, pemeriksaan yang perlu dilakukan dan

tindakan medis kepada pasien serta keluarga.

• Menjelaskan kemungkinan komplikasi dan prognosis kepada pasien dan

keluarga

• Menjelaskan tentang faktor risiko yang perlu dihindari nantinya

2.8 Prognosis

Dubia ad malam

Page 16: Laporan Kasus RHD

2.9 Follow up

25 Juni 2015 26 Mei 2015 29 Mei 2015

S KU: sesak batuk KU: sesak batuk KU: nyeri perut

O KU: lemah

Kes: compos mentis

TD: 115/50 mmHg

N: 110x/mnt

RR: 30x/mnt

Tax: 36,7oC

K/L:a/i/c/d:+/-/+/-

Thorax: cor: bising

murmur; pulmo:

wheezing

Abd: cembung, BU (+)

N, timpani, soepel

Ext: AH di keempat

akral, ada oedem ext

inferior

KU: cukup

Kes: compos mentis

TD: 100/40mmHg

N: 120x/mnt

RR: 35x/mnt

Tax: 36,5oC

K/L:a/i/c/d:+/-/-/+

Thorax: cor: bising

murmur; pulmo:

wheezing

Abd: cembung, BU (+)

N, timpani, soepel,

Ext: AH di keempat

akral, ada oedem ext

inferior

KU: lemah

Kes: compos mentis

TD: 100/70 mmHg

N: 96x/mnt

RR: 24x/mnt

Tax: 36,4 oC

K/L:a/i/c/d:+/-/-/-

Thorax: cor: bising

murmur; pulmo: wheezing

Abd: cembung, BU (+) N,

timpani, soepel,

Ext: AH di keempat akral,

tak ada oedem

A RHD MR + DCFC II +

Susp IE

RHD MR + AR+ PR +

PHT berat + IE

RHD MR + AR+ PR +

PHT berat + IE

P O2 3 lpm

Infus PZ :

Comafucin 7 tpm

Injeksi Cefotaxim

3x1 gr

Injeksi ranitidin 2x1

amp

Injeksi furosemide

1x1 amp

p/o Spironolacton 25

O2 3 lpm

Infus PZ :

Comafucin 7 tpm

Injeksi Cefotaxim

3x1 gr

Injeksi ranitidin 2x1

amp

Injeksi furosemide

1x1 amp

p/o Spironolacton

O2 3 lpm

Infus PZ : Comafucin

7 tpm

Injeksi Cefotaxim

3x1 gr

Injeksi ranitidin 2x1

amp

Injeksi furosemide

1x1 amp

p/o Spironolacton 25

Page 17: Laporan Kasus RHD

mg 1-0-0

p/o concor 2,5 0-0-

1/2

p/o ibuprofen 3x200

mg

Diet TKTP

25 mg 1-0-0

p/o concor 2,5 0-0-

1/2

p/o ibuprofen 3x200

mg

gentamicyn 2x40

mg

Diet TKTP

mg 1-0-0

p/o concor 2,5 0-0-

1/2

p/o ibuprofen 3x200

mg

gentamicyn 2x40 mg

Diet TKTP

BAB 4 TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease)Definisi

Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease) merupakan penyakit

jantung didapat yang sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung reumatik

merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat demam reumatik akut

sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang

mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit

jantung reumatik dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau keduanya. 5,8

Terkenanya katup dan endokardium adalah manifestasi paling penting dari

demam rematik. Lesi pada katup berawal dari verrucae kecil yang terdiri dari

fibrin dan sel-sel darah di sepanjang perbatasan dari satu atau lebih katup jantung.

Katup mitral paling sering terkena, selanjutnya diikuti oleh katup aorta;

manifestasi ke jantung-kanan jarang ditemukan. Sejalan dengan berkurangnya

peradangan, verrucae akan menghilang dan meninggalkan jaringan parut. Dengan

serangan berulang dari demam rematik, verrucae baru terbentuk di bekas tempat

tumbuhnya verrucae sebelumnya dan endokardium mural dan korda tendinea

menjadi terkena.8

Page 18: Laporan Kasus RHD

Gambar 2.5 Vegetasi pada katup jantung

2.2.2 Patofisiologi

Demam reumatik merupakan kelanjutan dari infeksi faring yang

disebabkan Streptokokus beta hemolitik grup A. Reaksi autoimun terhadap infeksi

Streptokokus secara hipotetif akan menyebabkan kerusakan jaringan atau

manifestasi demam reumatik, sebagai berikut (1) Streptokokus grup A akan

menyebabkan infeksi pada faring, (2) antigen Streptokokus akan menyebabkan

pembentukan antibodi pada hospes yang hiperimun, (3) antibodi akan bereaksi

dengan antigen Streptokokus, dan dengan jaringan hospes yang secara antigenik

sama seperti Streptokokus ( dengan kata lain antibodi tidak dapat membedakan

antara antigen Streptokokus dengan antigen jaringan jantung), (4) autoantibodi

tesebut bereaksi dengan jaringan hospes sehingga mengakibatkan kerusakan

jaringan. 5

Page 19: Laporan Kasus RHD

Gambar 2.3 Patofisiologi penyakit jantung rematik

Adapun kerusakan jaringan ini akan menyebabkan peradangan pada

lapisan jantung khususnya mengenai endotel katup, yang mengakibatkan

pembengkakan daun katup dan erosi pinggir daun katup. Hal ini mengakibatkan

tidak sempurnanya daun katup mitral menutup pada saat sistolik sehingga

mengakibatkan penurunan suplai darah ke aorta dan aliran darah balik dari

ventrikel kiri ke atrium kiri, hal ini mengakibatkan penurunan curah sekuncup

ventrikel sehingga jantung berkompensasi dengan dilatasi ventrikel kiri,

peningkatan kontraksi miokardium, hipertrofi dinding ventrikel dan dinding

atrium sehingga terjadi penurunan kemampuan atrium kiri untuk memompa darah

hal ini mengakibatkan kongesti vena pulmonalis dan darah kembali ke paru-paru

mengakibatkan terjadi edema intertisial paru, hipertensi arteri pulmonalis,

hipertensi ventrikel kanan sehingga dapat mengakibatkan gagal jantung kanan.5,7

2.2.3 Pola Kelainan Katup

1. Insufisiensi mitral

Insufisiensi mitral merupakan akibat dari perubahan struktural yang

biasanya meliputi kehilangan beberapa komponen katup dan pemendekan serta

penebalan korda tendineae. Selama demam rematik akut dengan karditis berat,

gagal jantung disebabkan oleh kombinasi dari insufisiensi mitral yang

berpasangan dengan peradangan pada perikardium, miokardium, endokardium

dan epikardium. Oleh karena tingginya volume pengisian dan proses peradangan,

ventrikel kiri mengalami pembesaran. Atrium kiri berdilatasi saat darah yang

mengalami regurgitasi ke dalam atrium. Peningkatan tekanan atrium kiri

menyebabkan kongesti pulmonalis dan gejala gagal jantung kiri. 8,10

Perbaikan spontan biasanya terjadi sejalan dengan waktu, bahkan pada

pasien dengan insufisensi mitral yang keadaannya berat pada saat onset. Lebih

dari separuh pasien dengan insufisiensi mitral akut tidak lagi mempunyai murmur

mitral setelah 1 tahun. Pada pasien dengan insufisiensi mitral kronik yang berat,

Page 20: Laporan Kasus RHD

tekanan arteri pulmonalis meningkat, ventrikel kanan dan atrium membesar, dan

berkembang menjadi gagal jantung kanan. Insufisiensi mitral berat dapat

berakibat gagal jantung yang dicetuskan oleh proses rematik yang progresif, onset

dari fibrilasi atrium, atau endokarditis infekstif. 8,9

2. Stenosis Mitral

Stenosis mitral pada penyakit jantung rematik disebabkan adanya fibrosis

pada cincin mitral, adhesi komisura, dan kontraktur dari katup, korda dan

muskulus papilaris. Stenosis mitral yang signifikan menyebabkan peningkatan

tekanan dan pembesaran serta hipertrofi atrium kiri, hipertensi vena pulmonalis,

peningkatan rersistensi vaskuler di paru, serta hipertensi pulmonal. Terjadi dilatasi

serta hipertrofi atrium dan ventrikel kanan yang kemudian diikuti gagal jantung

kanan.8

3. Insufisiensi Aorta

Pada insufisiensi aorta akibat proses rematik kronik dan sklerosis katup

aorta menyebabkan distorsi dan retraksi dari daun katup. Regurgitasi dari darah

menyebabkan volume overload dengan dilatasi dan hipertrofi ventrikel kiri.

Kombinasi insufisiensi mitral dengan insufisiensi aorta lebih sering terjadi

daripada insufisiensi aorta saja. Tekanan darah sistolik meningkat, sedangkan

tekanan diastolik semakin rendah. Pada insufisiensi aorta berat, jantung membesar

dengan apeks ventrikel kiri terangkat.Murmur timbul segera bersamaan dengan

bunyi jantung kedua dan berlanjut hingga akhir diastolik. Murmur tipe ejeksi

sistolik sering terdengar karena adanya peningkatan stroke volume. 8

4. Kelainan Katup Trikuspid

Kelainan katup trikuspid sangat jarang terjadi setelah demam rematik akut.

Insufisiensi trikuspid lebih sering timbul sekunder akibat dilatasi ventrikel kanan.

Gejala klinis yang disebabkan oleh insufisiensi trikuspid meliputi pulsasi vena

jugularis yang jelas terlihat, pulsasi sistolik dari hepar, dan murmur holosistolik

yang meningkat selama inspirasi. 8,10

Page 21: Laporan Kasus RHD

5. Kelainan Katup Pulmonal

Insufisiensi pulmonal sering timbul pada hipertensi pulmonal dan

merupakan temuan terakhir pada kasus stenosis mitral berat. Murmur Graham

Steell hampir sama dengan insufisiensi aorta, tetapi tanda-tanda arteri perifer tidak

ditemukan. Diagnosis pasti dikonfirmasi oleh pemeriksaan ekhokardiografi dua

dimensi serta Doppler.8

2.2.4 Penatalaksanaan Operatif

a. Mitral stenosis

—Prinsip dasar pengelolaan adalah melebarkan lubang katup mitral yang

menyempit, tetapi indikasi intervensi ini hanya untuk penderita kelas fungsional

III ke atas. Intervensi dapat bersifat bedah (valvulotomi, rekonstruksi aparat sub

valvular, kommisurotomi atau penggantian katup.8

b.  Insufisiensi Mitral

Penentuan waktu yang tepat untuk melakukan pembedahan katup pada

penderita insufisiensi mitral masih banyak diperdebatkan. Namun kebanyakan ahli

sepakat bahwa tindakan bedah hendaknya dilakukan sebelum timbul disfungsi

ventrikel kiri. Jika mobilitas katup masih baik, mungkin bisa dilakukan perbaikan

katup (valvuloplasti, anuloplasti). Bila daun katup kaku dan terdapat kalsifikasi

mungkin diperlukan penggantian katup (mitral valve replacement). Katup

biologik (bioprotese) digunakan terutama digunakan untuk anak dibawah umur 20

tahun, wanita muda yang masih menginginkan kehamilan dan penderita dengan

kontra indiksi pemakaian obat-obat antikoagulan. Katup mekanik misalnya Byork

Shiley, St.Judge dan lain-lain, digunakan untuk penderita lainnya dan diperlukan

antikoagulan untuk selamanya.5,8

c.  Stenosis Aorta

Page 22: Laporan Kasus RHD

Pasien dengan gejala-gejala akibat stenosis aorta membutuhkan tindakan

operatif. Pasien tanpa gejala membutuhkan penanganan yang sangat hati-hati serta

follow up untuk menentukan kapan tindakan bedah dilakukan. Penanganan

stenosis dengan pelebaran katup aorta memakai balon mai diteliti. Pasien-pasien

yang dipilih adalah pasien yang tidak memungkinkan dilakukan penggantian

katup karena usia, adanya penyakit lain yang berat, atau menunjukkan gejala yang

berat. Pasien-pasien dengan gradien sistolik 75 mmHg harus dioperasi walaupun

tanpa gejala. Pasien tanpa gejala tetapi perbedaan tekanan sistolik kurang dari 75

mmhg harus dikontrol setiap 6 bulan. Tindakan operatif harus dilaksanakan bila

pasien menunjukkan gejala terjadi pembesaran jantung, peningkatan tekanan

sistolik aorta yang diukur denagn teknik Doppler. Pada pasien muda bisa

dilakukan valvulotomi aorta sedangkan pada pasien tua membutuhkan

penggantian katup. Risiko operasi valvulotomi sangat kecil, 2% pada penggantian

katup dan risiko meningkat menjadi 4% bila disertai bedah pintas koroner. Pada

pembesaran jantung dengan gagal jantung, risiko naik jadi 4 sampai 8%. Pada

pasien muda yang tidak bisa dilakukan valvulotomi penggantian katup perlu

dilakukan memakai katup sintetis. Keuntungan katup jaringan ini adalah

kemungkinan tromboemboli jarang, tidak diperlukan antikoagulan, dan

perburukan biasanya lebih lambat bila dibandingkan dengan memakai katup

sintetis.5

d. Insufisiensi Aorta

Pilihan untuk katup buatan ditentukan berdasarkan umur, kebutuhan,

kontra indikasi untuk koagulan, serta lamanya umur katup. Penderita dengan

katup jaringan, baik porsin atau miokardial mungkin tidak membutuhkan

penggunaan antikoagulan jangka panjang. Risiko operasi kurang lebih 2% pada

penderita insufisiensi kronik sedang dengan arteri koroner normal. Sedangkan

risiko operasi pada penderita insufisiensi berta dengan gagal jantung, dan pada

penderita penyakit arteri, bervariasi antara 4  sampai 10%. Penderita dengan katup

buatan mekanis harus mendapat terapi antikoagulan jangka panjang.5,7

Page 23: Laporan Kasus RHD

2.2.5 Prognosis

Demam rematik tidak akan kambuh bila infeksi Streptokokus diatasi.

Prognosis sangat baik bila karditis sembuh pada permulaan serangan akut demam

rematik. Selama 5 tahun pertama perjalanan penyakit demam rematik dan

penyakit jantung rematik tidak membaik bila bising organik katup tidak

menghilang. Prognosis memburuk bila gejala karditisnya lebih berat, dan ternyata

demam rematik akut dengan payah jantung akan sembuh 30% pada 5 tahun

pertama dan 40% setelah 10 tahun. Dari data penyembuhan ini akan bertambah

bila pengobatan pencegahan sekunder dilakukan secara baik.

Endokarditis Infektif

Definisi

Endokarditis dibagi menjadi dua, yaitu endokarditis infektif dan

endokarditis non infektif. Endokarditis infektif (EI) merupakan penyakit yang

disebabkan oleh infeksi mikroba pada endokardium jantung atau pada endotel

pembuluh darah besar, yang ditandai oleh adanya vegetasi. Sedangkan

endokarditis non infektif disebabkan oleh faktor thrombosis yang disertai dengan

vegetasi. Endokarditis non infektif biasanya sering didapatkan pada pasien

stadium akhir penyakit keganasan. Infeksi biasanya terjadi pada katup jantung,

namun dapat juga terjadi pada lokasi defek septal,atau korda tendineaatau

endokardium mural.

Patologi

Patologi katup asli dapat lokal (kardiak) mencakup valvular dan

perivalvular atau distal (nonkardiak) karena perlekatan vegetasi septic dengan

emboli, infeksi metastatik dan septikemia. Vegetasi biasanya melekat pada aspek

atrial katup atrioventrikular dan sisi ventricular katup semilunar, predominan pada

garis penutupan katup. Pada katup prostetik, lokasi infeksi adalah perivalvular dan

komplikasi yang biasa adalah periprosthetic leaks dan dehiscence, abses cincin

dan fistula, disrupsi sistem konduksi dan perikarditis purulenta. Pada katup

bioprotese, elemen yang bergerak berasal dari jaringan, mungkin menjadi lokasi

Page 24: Laporan Kasus RHD

infeksi dan perforasi katup serta vegetasi.4

II. 7 Patofosiologi

Manifestasi klinis pada EI merupakan akibat dari beberapa mekanisme,

antara lain:

Efek destruksi lokal akibat infeksi intrakardiak. Koloni kuman pada katup

jantung dan jaringan sekitarnya dapat mengakibatkan kerusakan dan

kebocoran katup, terbentuk abses atau perluasan vegetasi ke perivalvular.

Vegetasi fragmen septik yang terlepas mengakibatkan tromboemboli,

mulai dari emboli paru (Vegetasi katup trikuspid) atau sampai emboli otak

(Vegatasi sisi kiri), yang merupakan emboli septik.

Vegetasi melepas bakteri terus menerus kedalam sirkulasi, mengakibatkan

gejala konstitusional seperti demam, malaise, tidak nafsu makan,

penurunan berat badan dan sebagainya.

Respon antibodi humoral dan seluler terhadap infeksi mikroorganisme

dengan kerusakan jaringan akibat kompleks imun atau interaksi

komplemen-antibodi dengan antigen yang menetap dalam jaringan.4

8 Gejala Klinis

Sifat beragam dan epidemiologi yang berkembang dari infeksi

endokarditis memastikan penegakan diagnosis menjadi suatu tantangan.3 Riwayat

perjalanan penyakit infeksi endokarditis sangat bervariasi sesuai dengan

mikroorganisme penyebab dan ada atau tidak penyakit jantung sebelumnya.

Dengan demikian, infeksi endokarditis harus dicurigai pada beragam situasi klinis

yang sangat berbeda.

Infeksi endokarditis mungkin hadir sebagai penyakit akut dengan infeksi

progresif cepat, tetapi juga sebagai penyakit subakut atau kronis dengan demam

ringan dan gejala non-spesifik yang dapat membingungkan penilaian awal. Pasien

mungkin dating ke berbagai dokter spesialis yang mungkin mempertimbangkan

Page 25: Laporan Kasus RHD

berbagai diagnosis alternatif termasuk infeksi kronis, rheumatologikal dan

penyakit autoimun, atau keganasan.

Pada infeksi endokarditis akut gejala timbul lebih berat dalam waktu

singkat. Pasien kelihatan sakit, biasanya anemis, kurus dan pucat. Demam tidak

spesifik merupakan gejala paling umum. Demam mungkin tidak ditemukan atau

minimal pada pasien usia lanjut atau pada gagal jantung kronik dan jarang pada

infeksi endokarditis katup asli yang disebabkan stafilokokus koagulase positif.

Ditemukan murmur jantung pada 80-85% pasien infeksi endokarditis

katup asli, dan sering tidak terdengar. Pembesaran limpa ditemukan pada 15-50%

pasien dan lebih sering pada infeksi endokarditis subakut. Tanda karena kelainan

vaskuler seperti petekie, merupakan manifestasi perifer tersering, dapat ditemukan

pada konjungtiva palpebra, mukosa palatal, dan bukal, ektremitas dan tidak

spesifik pada infeksi endokarditis. Splinter atau subungual haemorrhage

merupakan gambaran merah gelap, linier atau jarang berupa flame shaped streak

pada dasar kuku atau jari, biasanya pada bagian proksimal. Osler nodes biasanya

berupa nodul subkutan kecil yang nyeri yang terdapat pada jari atau jarang pada

jari lebih proksimal dan menetap dalam beberapa jam atau hari, namun tidak

patognomonis untuk infeksi endokarditis. Janeway lesions berupa eritema kecil

atau makula hemoragis yang tidak nyeri pada tapak tangan atau kaki dan

merupakan akibat emboli septik. Roth spots, perdarahan retina oval dengan pusat

yang pucat, jarang ditemukan pada infeksi endokarditis. Gejala muskuloskeletal

sering ditemukan berupa artralgia, mialgia.

Infeksi endokarditis subakut setelah 2 minggu inkubasi, keluhan seperti

infeksi umum (demam tidak terlalu tinggi, sakit kepala, nafsu makan kurang,

lemas, berat badan turun).Timbulnya gejala komplikasi seperti gagal jantung,

gejala emboli pada organ, misalnya gejala neurologis, sakit dada, sakit perut kiri

atas, hematuria, tanda iskemia di ekstremitas.

Emboli septik merupakan sequellae klinis tersering infeksi endokarditis,

dapat terjadi sampai 40% pasien dan kejadiannya cenderung menurun selama

terapi antibiotik yang efektif. Gejala dan tanda neurologis terjadi pada 30-40%

pasien infeksi endokarditis dan dikaitkan dengan peningkatan mortalitas. Strok

Page 26: Laporan Kasus RHD

emboli merupakan manifestasi klinis tersering. Manifestasi klinis lain yaitu

perdarahan intrakranial yang berasal dari ruptur aneurisma mikotik, ruptur arteri

karena arteritis septik, kejang dan ensefalopati.4

Tabel 2. Gejala klinis enfeksi endokarditis3

Gejala klinis infeksi endokarditis

Infeksi endokarditis harus dicurigai pada keadaan berikut:

1. Murmur regurgitasi yang baru

2. Fenomena emboli tanpa sebab yang jelas

3. Sepsis tanpa penyebab yang jelas (terutama yang berhubungan dengan

organisme penyebab infeksi endokarditis)

4. Demam (Gejala infeksi endokarditis yang paling umum*)

Infeksi endokarditis harus dicurigai bila demam berhubungan dengan;

a. Material prostetik intrakardiak (seperti katup prostetik, pacemaker,

implan defibrillator)

b. Riwayat infeksi endokarditis sebelumnya

c. Riwayat penyakit katup atau penyakit jantung kongenital sebelumnya

d. Faktor predisposisi untuk terjadinya infeksi endokarditis

(immunocompromised, PNIV)

e. Faktor predisposisi dan adanya intervensi yang berhubungan dengan

bakteriemia

f. Tanda-tanda gagal jantung kongestif

g. Gangguan konduksi jantung yang baru

h. Kultur darah positif dengan bakteri tipikal penyebab infeksi

endokarditis atau serologi positif untuk demam Q kronik

i. Fenomena vaskular atau imunologis: fenomena emboli, splinter

haemorrages, Roth spots, Janeway lession, Osler’s nodes.

j. Tanda dan gejala neurologis non spesifik atau fokal

k. Tanda tanda adanya emboli paru

l. Abses perifer tanpa sebab yang jelas

Page 27: Laporan Kasus RHD

*demam mungkin tidak ditemukan pada lansia, setelah antibiotik pre

terapi, pasien immunocompromised, infeksi endokarditis yang

disebabkan organisme atipikal atau virulensi rendah.

II. 9 Diagnosis

Diagnosi infeksi endokarditis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang

cermat, pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan laboratorium antara lain: kultur

darah dan pemeriksaan penunjang ekokardiografi. Investigasi diagnosis harus

dilakukan jika pasien demam disertai satu atau lebih gejala kardinal; ada

predisposisi lesi jantung atau pola lingkungan, bakteremia, fenomena emboli dan

bukti proses endokard aktif, serta pasien dengan katup prostetik.4

Pada anamnesis, keluhan tersering yang muncul adalah demam (80-85%),

kemudian keluhan lainnya yang muncul seperti menggigil, sesak napas, batuk,

nyeri dada, mual, muntah, penurunan berat badan dan nyeri otot atau sendi. 4

Pada pemeriksaan fisik yang cukup penting adalah ditemukannya murmur

pada katup yang terlibat (80-85%). Murmur yang khas adalah blowing

holosistolik pada garis sternal kiri bawah dan terdengar lebih jelas saat inspirasi

(Rivello-Carvallo maneuver). Sedangkan infeksi endokarditis pada katup jantung

kiri, murmur ditemukan pada lebih dari 90%. Tanda infeksi endokarditis pada

pemeriksaan fisik yang lain adalah tanda-tanda kelainan pada kulit antara lain

fenomena emboli, splenomegali, clubbing, petekie, splinter haemorrhage, osler

node, janeway lesions, roth spots .

Pada pemeriksaan laboratorium sering didapatkan hemoglobin rendah,

lekositosis, laju endap darah (LED) meningkat, analisis urin menunjukkan

hematuria dengan proteinuria. Pemeriksaan kultur darah untuk kuman baik aerob

maupun anaerob.

Kultur darah yang positif merupakan kriteria diagnostik utama dan

memberikan petunjuk sensitivitas antimikroba. Beberapa peneliti

merekomendasikan kultur darah diambil paad saat suhu tubuh tinggi. Dianjurkan

pengambilan darah kultur 3 kali, sekurang-kurangnya dengan interval 1 jam, dan

tidak melalui jalur infus. Pemeriksaan kultur darah terdiri atas satu botol untuk

Page 28: Laporan Kasus RHD

kuman aerob dan satu botol untuk kuman anaerob dan diencerkan sekurang

kurangnya 1;5 broth media. Minimal jumlah darah yang diambil 5 ml, lebih baik

10 ml pada orang dewasa. Jika kondisi pasien tidak akut, terapi antibiotika dapat

ditunda 2-4 hari.4

Ekokardiografi transtorakal dan transoesofageal (TTE / TEE) sekarang

sangat penting dalam menegakkan diagnosis, manajemen, dan tindak lanjut dari

infeksi endokarditis.70 Ekokardiografi harus dilakukan dengan segera, begitu

dicurigai adanya infeksi endokarditis. Deteksi ekokardiografi transtorakal (TTE)

pada pasien yang dicurigai infeksi endokarditis sekitar 50%. Pada katup asli

sekitar 20% TTE memperlihatkan kualitas suboptimal. Hanya 25% vegetasi

<5mm dapat diidentifikasi, persentase meningkat 70% pada vegetasi >6mm. Jika

bukti klinis ditemukan, ekokardiografi transesofageal (TEE) meningkatkan

sensitivitas kriteria Duke untuk diagnosis pasti infeksi endokarditis. Sensitivitas

TEE dilaporkan 88-100% dan spesifisitas 91-100%. Pada kasus yang dicurigai

terdapat komplikasi seperti pasien dengan katup prostetik dan kondisi tertentu

seperti penyakit paru obstruksi kronis, atau terdapat deformitas pada dinding dada,

ekokardiografi transesofageal lebih terpilih daripada trantorakal.4

Ekokardiografi dan kultur darah adalah landasan diagnosis infeksi

endokarditis. TTE harus dilakukan lebih dahulu, namun kedua TTE dan TEE pada

akhirnya harus dilakukan dalam sebagian besar kasus yang dicurigai atau pasti

infeksi endokarditis.

Kriteria Duke,3 berdasarkan gejala klinis, ekokardiografi, dan temuan

mikrobiologi memberikan sensitivitas tinggi dan spesifisitas 80% secara

keseluruhan untuk menegakkan diagnosis infeksi endokarditis. Panduan terakhir

mengenali peran Q-fever (penyakit zoonosis yang disebabkan oleh Coxiella

burnetii) prevalensi, peningkatan infeksi staphylococcal, dan penggunaan luas

TEE, dan kriteria Duke modifikasi sekarang direkomendasikan untuk klasifikasi

diagnostik.3

Page 29: Laporan Kasus RHD

Tabel 3. Kriteria Duke Modifikasi3

Kriteria Duke Modifikasi

Kriteria Mayor

Kultur darah positif untuk infeksi endokarditis

Mikroorganisme tipikal konsisten untuk infeksi endokarditis dari 2 kultur

darah yang terpisah, seperti dibawah ini

Streptococcus viridans, Streptococcus bovis, HACEK group,

Staphylococcus aureus, Community accuired enterococci, tanpa adanya

fokus primer

Atau

Mikroorganisme konsisten dengan infeksi endokarditis dengan kultur

darah yang positif secara persisten

Sekurang kurangnya terdapat 2 kultur darah positif dari 2 sampel darah

yang diambil terpisah dengan jarak >12 jam atau semua dari 3 kultur darah

positif atau mayoritas dari ≥ 4 sampel darah yang diambil terpisah (dengan

sampel darah pertama dan terakhir terpisah ≥ 1 jam)

Atau

Kultur darah positif tunggal untuk Coxiella burnetii atau fase 1 IgG titer

antibodi > 1:800

Bukti keterlibatan endokardial

Ekokardiografi positif untuk infeksi endokarditis

Vegetasi, abses, tonjolan baru dari katup prostetik

Regurgitasi valvular yang baru terjadi

Kriteria Minor

Predisposisi: Predisposisi kondisi jantung, pengguna obat intravena

Demam, suhu >38oC

Fenomena vaskular: Emboli arteri besar, infark pulmonal septik,

aneurisma mikotik, perdarahan intrakranial, perdarahan konjungtiva, lesi

Page 30: Laporan Kasus RHD

Janeway

Fenomena imunologis: glomerulonefritis, Osler’s nodes, Roth’s spots,

faktor reumatoid

Pemeriksaan mikrobiologi: Kultur darah positif namun tidak memenuhi

kriteria mayor atau pada pemeriksaan serologis di dapatkan infeksi aktif

oleh mikroorganisme konsisten dengan infeksi endokarditis.

Diagnosis infeksi endokarditis

‘definite’ bila ditemukan:

2 kriteria mayor, atau

1 kriteria mayor dan 3 kriteria minor,

atau

5 kriteria minor

Diagnosis infeksi endokarditis

‘possible’ bila ditemukan:

1 kriteria mayor dan 1 kriteria minor,

atau

3 kriteria minor

Karena infeksi endokarditis adalah penyakit yang heterogen dengan

presentasi klinis yang beragam, penggunaan kriteria diatas saja tidaklah cukup.

Penilaian klinis tetaplah penting pada evaluasi pasien yang dicurigai infeksi

endokarditis. Dokter dapat secara tepat dan bijak memutuskan untuk mengobati

atau tidak pasien, tanpa melihat apakah memenuhi atau gagal memenuhi kriteria

definite atau posible dari kriteria Duke.

Dalam praktek di lapangan kita sering mendapatkan kriteria yang tidak

memenuhi definite. Misalnya hanya ditemukan adanya riwayat PNIV (1 kriteria

minor), demam >38oC (1 kriteria minor) dan vegetasi katup jantung (1 kriteria

mayor). Berdasarkan kriteria Duke maka pasien hanya memenuhi kriteria

possible. Namun pertimbangan diagnosis klinis infeksi endokarditis dan

penatalaksanaannya tetap harus mempertimbangkan judgement klinis. Penelitian

terakhir menunjukkan bahwa kriteria Duke ini memiliki keterbatasan, khususnya

pada pasien PNIV yang sudah mendapat terapi antibiotika sering ditemukan kultur

darah yang negatif, kemungkinan lain adalah teknis pengambilan kultur darah

yang salah, sehingga diagnosis infeksi endokarditis definite sulit ditegakkan.

Kriteria Duke hanya merupakan petunjuk klinis untuk diagnosis infeksi

endokarditis tentunya tidak harus menggantikan judgement klinis.4

Page 31: Laporan Kasus RHD

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan kasus infeksi endokarditis biasanya berdasarkan terapi

empiris, sementara menunggu hasil kultur. Pemilihan antibiotika pada terapi

empiris ini dengan melihat kondisi pasien dalam keadaan akut atau subakut.

Faktor lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah riwayat penggunaan

antibiotika sebelumnya, infeksi di organ lain dan resistensi obat. Sebaiknya

antibiotika yang diberikan pada terapi empiris berdasarkan pola kuamn serta

resistensi obat pada daerah tertentu yang evidence based.

Pada keadaan infeksi endokarditis akut, antibiotika yang dipilih haruslah

yang mempunyai spektrum luas yang dapat mencakup S. Aureus, Streptokokus

dan basil gram negatif. Sedangkan pada keadaan infeksi endokarditis subakut

regimen terapi yang dipilih harus dapat membasmi streptokokus termasuk

E.faecalis.

Terapi empiris ini biasanya hanya diperlukan beberapa hari sambil

menunggu hasil tes sensitivitas yang akan menentukan modifikasi terapi.

Untuk memudahkan dalam penatalaksanaan infeksi endokarditis, telah

dikeluarkan beberapa guidelines (pedoman) yaitu: American Heart Association

(AHA) dan European Society of Cardiology (ESC). Rekomendasi yang

dianjurkan kedua pedoman ini pada prinsipnya hampir sama. Penelitian

menunjukkan bahwa terapi kombinasi penisilin ditambah aminoglikosida

membasmi kuman lebih cepat daripada penisilin saja.

Regimen terapi yang pernah diteliti antara lain; seftriakson 1 x 2 gram IV

selama 4 minggu, diberikan pada kasus infeksi endokarditis karena Streptococcus.

Pemberian regimen ini cukup efektif dan aman, praktis karena pemberiannya satu

kali sehari, dan dapat diberikan sebagai terapi rawat jalan.

Beberapa penelitian lain juga melaporkan efektivitas regimen terapi oral;

siprofloksasin 2 x 750 mg dan rifampisin 2 x 300 mg selama 4 minggu dan dapat

diberikan pada pasien rawat jalan.

Regimen terapi vankomisin merupakan terapi pilihan pada kasu infeksi

Page 32: Laporan Kasus RHD

endokarditis dengan methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA),

walaupun demikian respon klinis yang lambat masih cukup sering ditemukan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Affandi MB. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik: Diagnosis,

penatalaksanaan dan gambaran klinik pada pemeriksaan pertama di RSCM

Bagian 1K Anak, Jakarta 1978-1981. Maj Kes Mas 1986; XVI (4): 240-

48.

2. World Health Organization. WHO program for the prevention of

rheumatic fever/rheumatic heart disease in 16 developing countries: report

from Phase 1(1986-90). Bull WHO 1992; 70(2): 213-18

3. Stollerman GH. Rheumatic Fever. In: Braunwald, E. etal (eds). Harrison's

Principles of Internal Medicine. 16th. ed. Hamburg. McGraw-Hill Book.

2005 : 1977-79

4. Soeroso S dkk. Tinjauan Prevalensi Demam Rematik dan Penyakit

Jantung Rematik pada Anak di Indonesia. Dalam: Sastrosubroto H. dkk

(ed). Naskah Lengkap Simposium dan Seminar Kardiologi Anak.

Semarang. 27 September 1986: 1-11

5. Park M. Pediatric Cardiology for Practicioners. 5th ed. Philadelphia:

Mosby Elsevier. 2008

6. Kliegman R, Behrman R, Jenson H. Rheumatic Heart Disease in Nelson

Textbook of Pediatric. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007.

p.1961-63

7. Markum A.H. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1. Jakarta : FKUI,

2002. 599-613.

8. Price, Sylvia Anderson and Lorraine McCarty Wilson. 2005. Patofisiologi

Konsep Klinis Proses-proses penyakit. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran

EGC. p. 613-27