laporan pemisahan karbon tidak terbakar dari abu terbang dengan menggunakan sistem dissolved air...
TRANSCRIPT
SKRIPSI
PEMISAHAN KARBON TIDAK TERBAKAR DARI ABU TERBANG
DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM DISSOLVED AIR FLOTATION
(DAF) UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS ABU TERBANG
O l e h :
Winandyo Mangkoto NIM L2C009013
Vherlly Surjaatmadja NIM L2C009069
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2013
ii
HALAMAN PENGESAHAN
SKRIPSI
Nama / NIM : Winandyo Mangkoto / L2C009013
Nama / NIM : Vherlly Surjaatmaja / L2C009069
Judul Penelitian : Pemisahan Karbon Tidak Terbakar dari Abu Terbang
dengan menggunakan Sistem Dissolved Air Flotation
(DAF) untuk Meningkatkan Kualitas Abu Terbang.
Semarang, 14 Mei 2013
Telah menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Setia Budi Sasongko, DEA
NIP. 19611226 198803 1001
iii
RINGKASAN
Abu terbang merupakan limbah padat yang dihasilkan dari pembakaran batubara
yang digunakan sebagai bahan bakar di PLTU. Abu terbang digunakan sebagai
bahan campuran dalam semen, akan tetapi kandungan karbon yang tidak
terbakar dalam abu terbang membuat warna dan kualitas dari semen menurun
(Miura, K 2010) , oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk memisahkan
kandungan karbon tersebut dalam abu terbang menggunakan sistem DAF
(Dissolved Air Flotation). Selain memisahkan karbon dari abu terbang, penelitian
ini juga menghitung massa karbon yang tidak terbakar tersebut dengan
menggunakan tes LOI (Lost On Ignition). Ini dilakukan dengan tujuan dengan
diketahuinya jumlah karbon yang tidak terbakar tersebut diharapkan potensi
energi yang dihasilkan dari recycle abu terbang tersebut bisa diketahui. Variable
yang digunakan adalah waktu flotasi (15, 25, 35, 45, dan 55) menit serta
konsentrasi umpan (10, 20, 30, 40,dan 50) gram/liter . Hasil yang didapatkan
rata-rata % penurunan LOI paling besar didapat pada variable waktu 55 menit
yaitu 55.1782%. Pada variable konsentrasi abu terbang tidak ada perbedaan
yang cukup signifikan karena rata-rata % perbedaannya adalah 7.5395%. Oleh
karena itu variable yang paling efektif dalam penelitian ini adalah konsentrasi 50
gram/liter dan waktu flotasi 55 menit.
Kata kunci: abu terbang, semen, karbon, DAF, LOI.
iv
SUMMARY
Fly ash is a solid waste product of coals combustion. Potential areas for the
utilization of fly ash is in cement production, but the unburned carbon in fly ash
adversely affects the quality of final product (Miura, K 2010), and this research is
a way to separate unburned carbon from fly ash using a flotation column with
DAF system (Dissolved Air Flotation). This research is also aim to calculate the
unburned carbon using LOI test (Lost On Ignition). This method, used to
calculate unburned carbon content, will estimate energy potential from fly ash
recycles.The variable that used in this research is flotation times (15, 25, 35, 45,
and 55) minutes and feed concentrations (10, 20, 30, 40, 50) gram/liter. The
result shows that the biggest of average % reduction of LOI is 55.1782% at 55
minutes of time variable. For concentration variable there is no significant
differences because the average % differences is 7.5395%. Therefore the most
effective variable in this research is 50 gram/liter of concentrations and 55
minutes of flotation times.
Keywords: fly ash, cement, unburned carbon, DAF, LOI.
v
PRAKATA
Puji syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan segala nikmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini berhasil
diselesaikan. Judul skripsi ini adalah “Pemisahan Karbon Tidak Terbakar dari
Abu Terbang dengan menggunakan Sistem Dissolved Air Flotation (Daf) untuk
Meningkatkan Kualitas Abu Terbang”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan akademis
Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro. Kami juga mengucapkan
terimakasih kepada beberapa pihak yang membantu penyelesaian skripsi ini:
1. Dr. Ir. Setia Budi Sasongko, DEA selaku dosen pembimbing proposal
penelitian dan penelitian.
2. Semua civitas akademika Teknik Kimia Universitas Diponegoro
3. Orang tua yang selalu mendoakan dan memberikan yang terbaik untuk kami.
4. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Skripsi ini merupakan tulisan yang dibuat berdasarkan percobaan yang telah
dilakukan. Tentu ada kelemahan dalam teknik pelaksanaan maupun dalam tata
penulisan skripsi ini. Maka kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan
dalam tujuan menemukan refleksi untuk peningkatan mutu dari skripsi serupa di
masa mendatang. Akhir kata, selamat membaca dan terima kasih.
Semarang,14 Mei 2012
Penyusun
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAAN....................................................................... ii
RINGKASAN.................................................................................................. iii
SUMMARY..................................................................................................... iv
PRAKATA....................................................................................................... v
DAFTAR ISI.................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... vii
DAFTAR TABEL............................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang............................................................................. 1
I.2. Rumusan Masalah........................................................................ 1
I.3. Tujuan Penelitian......................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Abu Terbang (Fly Ash)............................................................... 3
II.2. Dissolved Air Flotation (DAF)................................................... 9
II.3. Loss On Ignition (LOI)............................................................... 11
BAB III METODE PENELITIAN
III.1. Rancangan percobaan................................................................ 12
III.2. Bahan dan alat yang digunakan................................................ 12
III.3. Gambar rangkaian alat.............................................................. 13
III.4. Variabel Percobaan…………………………………………... 13
III.5. Prosedur.................................................................................... 14
BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN
IV.1. Hasil Percobaan......................................................................... 16
IV.2. Pembahasan............................................................................... 19
BAB V PENUTUP
V.1. Kesimpulan................................................................................. 23
V.2. Saran........................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Bubuk abu terbang…………...…………………………..……... 4
Gambar 2.2. Rangkaian alat DAF……...…………………………………….. 9
Gambar 2.3. Skema konfigurasi DAF…...…………………………..……….. 10
Gambar 3.1. Oven………………………………...………………………….. 13
Gambar 3.2. Furnace…………..……..………………………………………. 13
Gambar 3.3. Unit alat flotasi……….………………………………………… 13
Gambar 4.1. Grafik Waktu Flotasi vs %LOI (Konsentrasi 10 gr/lt)….……… 16
Gambar 4.2. Grafik Waktu Flotasi vs %LOI (Konsentrasi 20 gr/lt)….……… 17
Gambar 4.3. Grafik Waktu Flotasi vs %LOI (Konsentrasi 30 gr/lt)….……… 18
Gambar 4.4. Grafik Waktu Flotasi vs %LOI (Konsentrasi 40 gr/lt)….……… 18
Gambar 4.5. Grafik Waktu Flotasi vs %LOI (Konsentrasi 50 gr/lt)….……… 19
Gambar 4.6. (1) Abu terbang mula-mula,(2) Abu terbang setelah flotasi, (3)
Semen…………………………………………………………………………
20
Gambar 4.7. Skala gradasi warna…………………………………………….. 20
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Komposisi dan Klasifikasi Abu terbang…………………….…… 4
Tabel 3.1 Spesifikasi fly ash PLTU Tanjung Jati……………………….….. 12
Tabel 3.2. Variabel berubah yang digunakann……………………………... 13
Tabel 4.1. Perhitungan massa karbon sebelum flotasi……………………… 16
Tabel 4.2. Perhitungan massa karbon setelah flotasi konsentrasi 10 gr/lt….. 16
Tabel 4.3. Perhitungan massa karbon setelah flotasi konsentrasi 20 gr/lt….. 17
Tabel 4.4. Perhitungan massa karbon setelah flotasi konsentrasi 30 gr/lt….. 17
Tabel 4.5. Perhitungan massa karbon setelah flotasi konsentrasi 40 gr/lt….. 18
Tabel 4.6. Perhitungan massa karbon setelah flotasi konsentrasi 50 gr/lt….. 19
Tabel 4.7. %LOI untuk masing-masing konsentrasi tiap satuan waktu….…. 21
Tabel 4.8. %LOI untuk konsentrasi 10 gr/lt dan 50 gr/lt tiap satuan waktu... 21
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Semakin berkembangnya industri yang ada sekarang ini tidak
hanya memberikan keuntungan dalam hal peningkatan kualitas hidup
manusia, tetapi juga meninggalkan kerugian terhadap kehidupan di bumi
ini yaitu pencemaran lingkungan. Pada umumnya semua jenis pencemaran
lingkungan berbahaya terhadap kehidupan manusia, akan tetapi
pencemaran udara dikategorikan sebagai pencemaran lingkungan sangat
berbahaya. Hal ini dikarenakan partikel polutan dari pencemaran ini sangat
kecil sehingga tanpa disadari setiap hari polutan tersebut masuk ke dalam
tubuh manusia melalui sistem pernafasan.
Salah satu jenis partikel polutan berupa debu yang dapat
menyebabkan pencemaran udara adalah abu terbang (fly ash). Abu terbang
adalah limbah padat dari pembakaran batubara pada pembangkit tenaga
listrik. Semakin meningkatnya jumlah PLTU berbahan bakar batubara
yang ada di Indonesia maka jumlah limbah abu terbang yang dihasilkan
juga semakin meningkat.
Khusus di PLTU Tanjung Jati B pada tahun 2010 abu terbang yang
dihasilkan sekitar 18 juta ton per bulan. Jika abu terbang tersebut tidak
dimanfaatkan tentu akan terjadi akumulasi jumlah abu terbang sebesar 216
juta ton setiap tahunnya. Maka diperlukan pengolahan lebih lanjut
terhadap limbah abu terbang tersebut. Penelitian terdahulu telah
membuktikan bahwa abu terbang ternyata memiliki banyak kegunaan
khususnya dalam bidang pembangunan sipil.
I.2. Rumusan Masalah
Abu terbang adalah limbah yang dihasilkan dari PLTU dengan
bahan bakar batubara, ternyata bisa dijadikan sebagai bahan campuran
semen dalam pembuatan beton. Akan tetapi tidak semua abu terbang
memenuhi kriteria untuk menjadi bahan campuran semen dan beton.
2
Permasalahan yang sering dihadapi adalah adanya karbon yang tidak
terbakar (unburned carbon). Adanya kandungan karbon yang tidak
terbakar ini menghambat pergerakan udara saat abu terbang diolah
menjadi semen atau membentuk gumpalan pada campuran beton, serta
menghambat fluidisasi campuran beton, dan warna semen yang dihasilkan
menjadi hitam sehingga menurunkan minat konsumen.
Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk memisahkan karbon
tidak terbakar dari abu terbang dan untuk mengetahui kadar karbon tidak
terbakar dalam abu terbang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah DAF (Dissolved Air Flotation) untuk memisahkan karbon tidak
terbakar dan menghitung LOI (Lost On Ignition) untuk menentukan kadar
dari karbon tidak terbakar.
I.3. Tujuan Penelitian
Memisahkan karbon tidak terbakar yang terkandung dalam abu
terbang dengan metode DAF.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Abu Terbang
II.1.1. Pengertian Abu Terbang
Abu terbang (fly ash) diperoleh dari hasil residu PLTU.
Material ini berupa butiran halus ringan, bundar, tidak porous,
mempunyai kadar bahan semen yang tinggi dan mempunyai sifat
pozzolanik, yaitu dapat bereaksi dengan kapur bebas yang
dilepaskan semen saat proses hidrasi dan membentuk senyawa
yang bersifat mengikat pada temperatur normal dengan adanya air
(M. Ahmaruzzaman., 2010).
Menurut the U.S. Environmental Protection Agency (EPA)
abu terbang diklasifikasikan sebagai limbah “non-hazardous.” dan
abu terbang tidak menyebabkan pencemaran pada air. Abu
terbang telah banyak digunakan di banyak Negara dan tidak
menyebabkan problem kesehatan pada masyarakat. Adapun salah
satu pencemaran yang sering terjadi dan dapat mengganggu
kesehatan adalah pencemaran udara (Sri Prabandiyani R. W.,
2008).
II.1.2. Sifat Fisik Abu Terbang
Abu terbang batubara terdiri dari butiran halus yang
umumnya berbentuk bola padat atau berongga. Ukuran partikel
abu terbang hasil pembakaran batubara bituminous lebih kecil
dari 0,075 mm atau ayakan No. 200 pada sieving. Massa jenis dari
abu terbang biasanya 2.1 sampai 3.0 dan luas area spesifiknya
antara 170 sampai 1000 m2/kg. Warna abu terbang bervariasi dari
warna tan, abu-abu, hingga hitam tergantung kandungan karbon
tidak terbakar di dalamnya (M. Ahmaruzzaman, 2010).
4
Gambar 2.1. Bubuk abu terbang
II.1.3. Sifat Kimia Abu Terbang
Kandungan mineral yang terkandung dalam abu terbang
bisa berbeda-beda tergantung dari jenis batubara yang digunakan.
Pada intinya mineral yang terkandung dalam abu terbang terdiri
dari silika, alumina, besi oksida, dan kalsium, dengan kandungan
karbon yang berbeda. Karbon tersebut bisa ditentukan dengan tes
Loss On Ignition (LOI). (M. Ahmaruzzaman, 2010).
Untuk lebih jelasnya perbedaan komposisi dari abu terbang
dengan jenis batubara yang berbeda bisa dilihat pada tabel
dibawah ini :
Tabel 2.1. Komposisi dan Klasifikasi Abu Terbang
Komponen
(% berat) Bituminus Subbituminus Lignit
SiO2 20 - 60 40 - 60 15 - 45
Al2O3 5 - 35 20 - 30 20 - 25
Fe2O3 10 - 40 4 – 10 4 - 15
CaO 1 - 12 5 – 30 15 - 40
MgO 0 - 5 1 – 6 3 - 10
SO3 0 - 4 0 – 2 0 - 10
Na2O 0 - 4 0 – 2 0 - 6
K2O 0 - 3 0 – 4 0 - 4
LOI 0 - 15 0 – 3 0 - 5
Sumber : (M. Ahmaruzzaman., 2010).
5
II.1.4. Klasifikasi Abu terbang
Berdasarkan American Society for Testing Materials
(ASTM C618) abu terbang yang mengandung SiO2 - Al2O3 -
Fe2O3 lebih dari 70% berat dan memiliki kadar lime yang rendah
dikategorikan ke dalam abu terbang kelas F. Sedangkan abu
terbang yang mengandung SiO2 - Al2O3 - Fe2O3 antara 50 – 70%
berat dan memiliki kadar lime yang tinggi dikategorikan ke dalam
abu terbang kelas C. Abu terbang kelas C didapatkan dari
pembakaran batubara kualitas rendah (lignit atau sub-bituminus)
dan memiliki sifat cementitious yaitu kemampuan untuk
mengeras jika bereaksi dengan air. Abu terbang kelas F
didapatkan dari pembakaran batubara kualitas tinggi (bituminus
atau antrasit) yang merepukan pozzolan dalam alam, mengeras
jika direaksikan dengan Ca(OH)2 dan air (M. Ahmaruzzaman,
2010).
Perbedaan utama antara abu terbang kelas C dan kelas F
adalah kandungan kalsium, silika, besi, dan alumina yang
terkandung di dalamnya. Abu terbang kelas F memiliki
kandungan kalsium antara 1 – 12%. Sementara abu terbang kelas
C memiliki kandungan kalsium yang lebih tinggi yaitu 30 – 40%.
Perbedaan lainnya adalah kandungan alkali dalam abu terbang
dimana abu tebang kelas C jauh lebih tinggi kadar alkalinya
dibandingkan abu terbang kelas F (M. Ahmaruzzaman, 2010).
II.1.5. Manfaat Abu terbang
Salah satu penanganan lingkungan yang dapat diterapkan
adalah memanfaatkan limbah abu terbang untuk keperluan bahan
bangunan teknik sipil.
6
Pemanfaatan abu terbang untuk pembangunan sipil di antaranya
adalah :
1. Portland Cement
Abu terbang digunakan untuk pengganti portland cement
pada beton karena mempunyai sifat pozzolanic. Sebagai
pozzoland sangat besar meningkatkan strength, durabilitas dari
beton. Penggunaan abu terbang dapat dikatakan sebagai faktor
kunci pada pemeliharaan beton tersebut. Penggunaan abu
terbang sebagai pengganti sebagian berat semen pada
umumnya terbatas pada abu terbang kelas F. Abu terbang
tersebut dapat menggantikan semen sampai 30% berat semen
yang dipergunakan dan dapat menambah daya tahan dan
ketahanan terhadap bahan kimia. Baru baru ini telah
dikembangkan penggunaan penggantian portland cement
dengan prosentase volume abu terbang yang tinggi (50%) pada
perencanaan campuran beton, bahkan untuk ”Roller
Compacted Concrete Dam” penggantian tersebut mencapai 70
% telah dicapai dengan Pozzocrete (abu terbang yang diproses)
pada ”The Ghatghar Dam Project” di Maharashtra India. Abu
terbang juga dapat meningkatkan workability dari semen
dengan berkurangnya pemakaian air. Produksi semen dunia
pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 2 milyard ton, di mana
penggantian dengan abu terbang dapat mengurangi emisi gas
carbon secara dramatis (Sri Prabandiyani R. W., 2008).
2. Batu Bata
Batu bata dari ash telah digunakan untuk konstruksi rumah
di Windhoek, Nambia sejak tahun 1970, akan tetapi batu bata
tersebut akan cenderung untuk gagal atau menghasilkan bentuk
yang tidak teratur. Hal ini terjadi ketika batu bata tersebut
kontak dengan air dan reaksi kimia yang terjadi menyebabkan
batu bata tersebut memuai.
7
Pada Mei 2007, Henry Liu pensiunan Insinyur Sipil dari
Amerika mengumumkan bahwa dia menemukan sesuatu yang
baru terdiri dari fly ash dan air. Dipadatkan pada 4000 psi dan
diperam 24 jam pada temperatur 668°C steam bath, kemudian
dikeraskan dengan bahan air entrainment, batu bata berakhir
untuk lebih dari 100 freeze-thaw cycle. Metode pembuatan
batu bata ini dapat dikatakan menghemat energi, mengurangi
polusi mercuri dan biayanya 20% lebih hemat dari pembuatan
batu bata tradisional dari lempung. Batu bata dari fly ash kelas
C dan di press dengan mesin Baldwin Hydraulic (Sri
Prabandiyani R. W., 2008).
3. Beton Ringan
Beton ringan dapat diproduksi langsung di tempat proyek,
menggunakan peralatan dan mould seperti beton konvensional.
Density yang direkomendasikan 1.000 kg /m³ (kering oven)
Tipikal campuran untuk menghasilkan 1 m3 dengan density
1.000 kg/m³ adalah sebagai berikut:
- Cement (Portland): 190 kg = 61 liters
- Sand (0 - 2 mm or finer): 430 kg = 164 liters
- Fly-Ash: 309 kg = 100 liters (approx)
- Air: 250 kg = 250 liters
- Foam (neopor-600): 423 liters
- Wet density 1.179 kg/m3
(Sri Prabandiyani R. W., 2008).
4. Material Konstruksi Jalan dan Pekerjaan Tanah
Fly ash kelas F dan kelas C keduanya dapat digunakan
sebagai mineral filler untuk pengisi void dan memberikan
kontak point antara partikel agregat yang lebih besar pada
campuran aspalt concrete. Aplikasi ini digunakan sebagai
pengganti portland cement atau hydrated lime. Untuk
penggunaan perkerasan aspal, fly ash harus memenuhi
8
spesifikasi filler mineral yang ada di ASTM. Sifat hydrophobic
dari fly ash memberikan daya tahan yang lebih baik untuk
perkerasan dan tahan terhadap stripping. Fly ash juga dapat
meningkatkan stiffness dari matrix aspalt, meningkatkan daya
tahan terhadap rutting dan meningkatkan durability campuran
(Sri Prabandiyani R. W., 2008).
Fly ash dapat efektif digunakan untuk bahan timbunan
(embankment) atau bahan perkuatan. Fly ash mempunyai
koefisien keseragaman yang besar, terdiri dari partikel ukuran
lanau. Sifat-sifat teknik yang akan mempengaruhi penggunaan
fly ash pada embankment adalah termasuk distribusi butiran,
karakteristik pemadatan, shear strength, compressibility dan
permeability. Hampir semua Fly ash yang digunakan untuk
embankment adalah fly ash kelas F (Sri Prabandiyani R. W.,
2008).
5. Grouting
Fly ash ditambahkan pada grouting dengan semen untuk
meningkatkan kemudahan pencampuran, mengurangi biaya,
dan meningkatkan daya tahan terhadap sulfat (Sri Prabandiyani
R. W., 2008).
6. Stabilisasi Tanah
Hasil penelitian dengan simulasi rainfall runoff yang
dilakukan oleh Paul Bloom dan Hero Gollany yang bertujuan
untuk mengevaluasi potensi pelepasan bahan inorganik
termasuk mercury dan arsenic di lingkungan daerah stabilisasi
tanah dengan fly ash, menunjukkan bahwa runoff untuk
stabilisasi tanah dengan fly ash memberikan jumlah endapan
yang paling sedikit dibandingkan dengan stabilisasi tanah
dengan kapur dan tanah tanpa distabilisasi (Sri Prabandiyani
R. W., 2008).
9
II.1. Dissolved Air Flotation (DAF)
Dissolved Air Flotation (DAF) adalah proses yang biasa digunakan
untuk memisahkan koloid dan padatan yang terlarut dalam air dengan
cara flotasi. Sistem DAF di bagi menjadi empat komponen utama.
Komponen tersebut adalah kompresor, pressurizing pump, retention
tank, ruang flotasi. Kompresor berfungsi sebagai penyedia udara,
pressurizing pump untuk mengalirkan dan menaikkan tekanan udara,
retention tank tempat penjenuhan udara di dalam air, dan ruang flotasi
adalah tempat terjadinya proses flotasi (Handbook of Environmental
Engineering, Volume 3: Physicochemical Treatment Processes Edited
by: L. K. Wang, Y.-T. Hung, and N. K. Shammas).
Gambar 2.2. Rangkaian alat DAF
Secara umum ada tiga konfigurasi sistem DAF, diantaranya full
flow pressurization, partial flow pressurization without effluent recycle,
recycle flow pressurization. Full flow pressurization adalah konfigurasi
DAF dimana seluruh umpan dipompa dan dijenuhkan di dalam
retention tank, bisa digunakan untuk umpan dengan konsentrasi padatan
yang terlarut 800 mg/L. Partial flow pressurization adalah konfigurasi
DAF dimana hanya 30% – 50% dari umpan yang dipompa dan
dimasukkan dalam retention tank, material dengan specific grafity
rendah bisa dipisahkan dengan konfigurasi ini. Recycle flow
pressurization adalah konfigurasi DAF dimana 15% - 50% dari
10
keluaran ruang flotasi di-recycle di pompa kembali dan dijenuhkan
dalam retention tank, biasa digunakan untuk padatan yang terlarut
dengan konsentrasi yang rendah.
Gambar 2.3. Skema Konfigurasi DAF
(Handbook of Environmental Engineering, Volume 3: Physicochemical
Treatment Processes Edited by: L. K. Wang, Y.-T. Hung, and N. K.
Shammas).
Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem DAF adalah :
1. Sifat alami dari partikel.
Spesifik gravity adalah karakteristik dari partikel atau cairan agar
bisa dipisahkan.
2. Ukuran dari partikel.
Umumnya floatability meningkat dengan ukuran partikel.
3. Dispersing agents.
4. Komposisi dan sifat alami dari umpan.
Komposisi umpan mempengaruhi kinerja dari unit DAF.
5. Arus cairan.
Diatur saat kita merancang unit DAF.
11
6. Perbandingan udara dan padatan (A/S)
Ditentukan saat kita merancang sistem DAF. Untuk meningkatkan
kinerja dari DAF dengan meningkatkan rasio dari A/S.
7. Penghilangan material yang terapung
Beberapa hal yang harus dipertinbangkan dalam desain sisten ini
adalah kedalaman scoopin material yang terapung dan kecepatan
operasinya.
(Handbook of Environmental Engineering, Volume 3:
Physicochemical Treatment Processes Edited by: L. K. Wang, Y.-T.
Hung, and N. K. Shammas).
II.2. Lost On Ignition (LOI)
Dalam kandungan fly ash terdapat kandungan unburned carbon
atau karbon yang tidak terbakar di dalamnya. Untuk mengetahui kadar
massa dari karbon tersebut kita bisa menngekuivalensikannya dengan
menghitung kadar LOI dari fly ash tersebut. LOI sendiri adalah tes yang
biasa digunakan untuk analisa kandungan mineral dari suatu bahan
kimia. Cara dari metode LOI ini adalah sample yang sudah bebas dari
kandungan air dipanaskan dalam furnace dengan suhu tinggi, sehingga
zat-zat volatil akan terlepas dan terjadi perubahan massa.
Rumus mencari % LOI adalah :
–
(N. Emre Altun et al. / Fuel Processing Technology 90 (2009) 1464–
1470).
Dan rumus untuk konversi % LOI menjadi massa karbon bisa
digunakan rumus :
(Heiri, O., Andre F. Lotter, Gerry Lemcke. 2001. Loss on Ignition as a
method for estimating organic and carbonat content in sediments:
reproducibility and comparability of results. J. Paleolim. 25:101-110.)
12
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1. Rancangan percobaan
1. Menyiapkan alat flotasi
2. Menghitung LOI pada abu terbang
3. Melakukan flotasi dengan sistem DAF
4. Menghitung LOI pada abu terbang setelah proses flotasi
III.2. Bahan dan alat yang digunakan
a. Bahan
- Air
- Abu terbang dari PLTU Tanjung Djati
Tabel 3.1. Spesifikasi Fly Ash PLTU Tanjung Djati
b. Alat
- Oven
- Furnace
- Satu unit sistem DAF
13
III.3. Gambar rangkaian alat
Gambar 3.1. Oven
Gambar 3.3. Unit alat
flotasi
Gambar 3.2. Furnace
Ukuran tangki flotasi
Panjang = 76.5 cm, lebar = 24 cm, tinggi = 28 cm.
III.4. Variabel Percobaan
Variabel tetap :
- Volume air dalam tangki flotasi = 0.04 m3
- Suhu operasi = 30C
- Waktu penjenuhan = 3 menit
Variabel berubah :
Tabel 3.2. Variabel berubah yang digunakan
Konsentrasi (gr/liter) Waktu tinggal (menit)
10 15
20 25
30 35
40 45
50 55
14
III.5. Prosedur
1. Merangkai alat untuk flotasi
2. Menghitung LOI pada abu terbang
a. Menimbang abu terbang sebanyak 30 gram.
b. Memanaskan abu terbang dalam oven dengan suhu 100°C.
c. Menimbang abu terbang setiap 10 menit.
d. Melanjutkan proses pemanasan sampai diperoleh massa abu
terbang konstan.
e. Menyiapkan furnace hingga mencapai suhu 900°C.
f. Memasukkan sampel ke dalam furnace dan memanaskannya
selama 2 jam
g. Menurunkan suhu furnace hingga mencapai suhu kamar
h. Mengeluarkan sampel dari furnace dan menimbangnya
i. Menghitung LOI sesuai dengan rumus
–
3. Melakukan flotasi dengan sistem DAF
a. Memasukkan abu terbang sebanyak 400 gram ke dalam tangki
umpan yang sudah berisi air kemudian diaduk untuk
homogenisasi.
b. Mengalirkan umpan yang sudah homogen ke ruang flotasi.
c. Mengalirkan umpan ke dalam pressurizing pump.
d. Mengalirkan umpan ke dalam retention tank untuk dijenuhkan
oleh udara selama 3.0 menit.
e. Mengalirkan umpan ke dalam ruang flotasi untuk dipisahkan
komponen karbon tidak terbakar / unburned carbon selama 15
menit.
f. Setelah proses flotasi selesai, mengambil sampel sebanyak 30
gram untuk dihitung kadar LOI dalam abu terbang.
g. Mengulangi proses flotasi untuk variabel waktu proses flotasi
yang berbeda, yaitu 25, 35, 45 dan 55 menit.
15
h. Mengulangi proses flotasi untuk variabel massa abu terbang
dalam air yang berbeda, yaitu 20, 30, 40 dan 50 gram/liter.
4. Menghitung LOI pada abu terbang setelah proses flotasi
a. Menimbang abu terbang sebanyak 30 gram.
b. Memanaskan abu terbang dalam oven dengan suhu 100°C.
c. Menimbang abu terbang setiap 10 menit.
d. Melanjutkan proses pemanasan sampai diperoleh massa abu
terbang konstan.
e. Menyiapkan furnace hingga mencapai suhu 900°C.
f. Memasukkan sampel ke dalam furnace dan memanaskannya
selama 2 jam
g. Menurunkan suhu furnace hingga mencapai suhu kamar
h. Mengeluarkan sampel dari furnace dan menimbangnya
i. Menghitung LOI sesuai dengan rumus
–
16
BAB IV
HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN
IV.1. Hasil Percobaan
1. Perhitungan massa karbon sebelum flotasi
Tabel 4.1. Perhitungan massa karbon sebelum flotasi
2. Perhitungan massa karbon setelah flotasi
a. Konsentrasi 10 gr/lt
Tabel 4.2. Perhitungan massa karbon setelah flotasi konsentrasi 10 gr/lt
Berikut ini adalah grafik waktu flotasi vs %LOI
Gambar 4.1. Grafik Waktu Flotasi vs %LOI (Konsentrasi 10 gr/lt)
y = -0.0151x + 2.0485 R² = 0.8413
00.30.60.91.21.51.82.1
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
%LO
I
Waktu Flotasi (menit)
Grafik Waktu Flotasi vs %LOI (Konsentrasi 10 gr/lt)
W0 (gram) W1 (gram) %LOI Massa C hitung
63.33 61.85 2.336965 0.637354
Waktu(menit) W0 (gram) W1 (gram) %LOI Massa C hitung
15 47.85 46.94 1.901776 0.518666
25 47.08 46.37 1.508071 0.411292
35 46.55 45.82 1.568206 0.427693
45 51.14 50.4 1.447008 0.394639
55 56.86 56.19 1.178333 0.321363
17
b. Konsentrasi 20 gr/lt
Tabel 4.3. Perhitungan massa karbon setelah flotasi konsentrasi 20 gr/lt
Berikut ini adalah grafik waktu flotasi vs %LOI.
Gambar 4.2. Grafik Waktu Flotasi vs %LOI (Konsentrasi 20 gr/lt)
c. Konsentrasi 30 gr/lt
Tabel 4.4. Perhitungan massa karbon setelah flotasi konsentrasi 30 gr/lt
y = -0.0254x + 2.3475 R² = 0.8142
00.30.60.91.21.51.82.1
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
%LO
I
Waktu Flotasi (menit)
Grafik Waktu Flotasi vs %LOI (Konsentrasi 20 gr/lt)
Waktu(menit) W0 (gram) W1 (gram) %LOI Massa C hitung
15 66.8 65.47 1.991018 0.543005
25 61.12 59.98 1.865183 0.508686
35 87.96 86.82 1.296044 0.353466
45 70.44 69.75 0.979557 0.267152
55 85.83 84.83 1.165094 0.317753
Waktu(menit) W0 (gram) W1 (gram) %LOI Massa C hitung
15 51.62 50.68 1.821 0.496636
25 58.08 57.06 1.756198 0.478963
35 46.35 45.39 2.071197 0.564872
45 42.27 41.62 1.537734 0.419382
55 52.53 51.97 1.066057 0.290743
18
Berikut ini adalah grafik waktu flotasi vs %LOI.
Gambar 4.3. Grafik Waktu Flotasi vs %LOI (Konsentrasi 30 gr/lt)
d. Konsentrasi 40 gr/lt
Tabel 4.5. Perhitungan massa karbon setelah flotasi konsentrasi 40 gr/lt
Berikut adalah grafik waktu vs %LOI.
Gambar 4.4. Grafik Waktu Flotasi vs %LOI (Konsentrasi 40 gr/lt)
y = -0.0173x + 2.2554 R² = 0.5227
00.30.60.91.21.51.82.12.4
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
%LO
I
Waktu Flotasi (menit)
Grafik Waktu Flotasi vs %LOI (Konsentrasi 30 gr/lt)
y = -0.0209x + 2.1148 R² = 0.6925
00.30.60.91.21.51.82.1
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
%LO
I
Waktu Flotasi (menit)
Grafik Waktu Flotasi vs %LOI (Konsentrasi 40 gr/lt)
Waktu(menit) W0 (gram) W1 (gram) %LOI Massa C hitung
15 58.78 57.82 1.633209 0.445421
25 64.16 62.98 1.839152 0.501587
35 56.8 56.01 1.390845 0.379321
45 72.8 72.01 1.085165 0.295954
55 80.06 79.45 0.761929 0.207799
19
e. Konsentrasi 50 gr/lt
Tabel 4.6. Perhitungan massa karbon setelah flotasi konsentrasi 50 gr/lt
Waktu(menit) W0 (gram) W1 (gram) %LOI Massa C hitung
15 65.17 64.07 1.687893 0.460335
25 55.93 55.04 1.591275 0.433984
35 40.37 39.8 1.41194 0.385074
45 52.06 51.28 1.498271 0.408619
55 52.53 51.97 1.066057 0.290743
Berikut ini adalah grafik waktu flotasi vs %LOI.
Gambar 4.5. Grafik Waktu Flotasi vs %LOI (Konsentrasi 50 gr/lt)
IV.2. Pembahasan
1. Kadar karbon dalam abu terbang berkurang setelah proses DAF
Dari hasil percobaan, dapat dilihat pada grafik waktu flotasi vs %LOI
untuk masing-masing konsentrasi bahwa %LOI menurun dari %LOI awal
yaitu 2.3369%. Dengan menurunnya %LOI ini menunjukkan adanya massa
karbon yang berkurang pada abu terbang. Hal ini sesuai dengan rumus
konversi %LOI menjadi massa karbon sebagai berikut:
y = -0.0134x + 1.9189 R² = 0.7845
0
0.3
0.6
0.9
1.2
1.5
1.8
2.1
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
%LO
I
Waktu Flotasi (menit)
Grafik Waktu Flotasi vs %LOI (Konsentrasi 50 gr/lt)
20
Dengan berkurangnya massa karbon ini maka proses flotasi terbukti dapat
mengurangi kadar karbon dalam abu terbang.
Berikut ini adalah foto abu terbang mula-mula, abu terbang setelah
proses flotasi, dan semen.
Gambar 4.6. (1) Abu terbang mula-mula,(2) Abu terbang setelah flotasi, (3)
Semen
Gambar 4.7. Skala gradasi warna.
Dari foto tersebut, dapat diketahui bahwa warna abu terbang mula-
mula (Gambar 1) cenderung berwarna hitam atau pada skala gradasi warna
termasuk dalam skala 0,9. Setelah dilakukan proses DAF/Dissolved Air
Flotation, abu terbang cenderung berwarna abu-abu (Gambar 2) jika dalam
skala gradasi warna masuk dalam skala 0,5. Hal ini disebabkan karena
kandungan karbon dalam abu terbang pada Gambar 1 lebih banyak daripada
Gambar 2. Oleh karena itu terbukti bahwa proses flotasi dapat mengurangi
kadar karbon dalam abu terbang.
Warna abu terbang pada Gambar 2 ini belum layak atau masih terlalu
hitam jika dicampurkan dalam semen. Oleh karena itu, abu terbang yang
telah mengalami proses DAF ini masih perlu diolah lagi supaya dapat
1 2 3
21
memenuhi standar warna campuran dan standar %LOI campuran abu
terbang dalam semen, yaitu 1.2 %LOI.
2. Waktu dan Konsentrasi Efektif untuk Proses DAF
Berikut ini adalah tabel hasil percobaan yang menunjukkan besar
%LOI pada waktu 15 menit untuk setiap konsentrasi.
Tabel 4.7. %LOI untuk masing-masing konsentrasi tiap satuan waktu
Konsentrasi
(gram/liter)
%LOI
15 menit 25 menit 35 menit 45 menit 55 menit
10 1.9017 1.5080 1.5682 1.4470 1.1783
20 1.9910 1.8651 1.2960 0.9795 1.1650
30 1.8210 1.7561 2.0711 1.5377 1.0660
40 1.6332 1.8391 1.3908 1.0851 0.7619
50 1.6878 1.5912 1.4119 1.4982 1.0660
Rata-rata
%Penurunan 22.6779 26.6678 33.7755 43.7074 55.1782
Dari Tabel 4.7., dapat dilihat bahwa rata-rata %penurunan LOI
paling banyak ditunjukkan oleh kolom waktu operasi 55 menit.
Kecenderungan karbon dalam abu terbang untuk diangkat gelembung
mikro (micro bubble) ini semakin meningkat dengan waktu proses flotasi
yang lebih lama.
Dari tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan
yang signifikan antara %LOI pada konsentrasi 10 gram/liter dengan
konsentrasi 50 gram/liter untuk masing-masing waktu operasi.
Tabel 4.8. %LOI untuk konsentrasi 10 gr/lt dan 50 gr/lt tiap satuan waktu
Konsentrasi
(gram/liter)
%LOI
15 menit 25 menit 35 menit 45 menit 55 menit
10 1.9017 1.5080 1.5682 1.4470 1.1783
50 1.6878 1.5912 1.4119 1.4982 1.0660
%Perbedaan 11.2478 5.5172 9.9668 1.4353 9.5306
22
Rata-rata %perbedaannya adalah 7.5395%. Hal ini dikarenakan
kemampuan gelembung mikro (micro bubble) dalam mengangkat karbon
dalam abu terbang sudah mencapai titik maksimal atau jenuh, sehingga
dengan kenaikan konsentrasi tidak efektif untuk mengurangi massa
karbon dalam abu terbang.
Oleh karena itu, akan lebih efektif jika flotasi ini dilakukan pada
konsentrasi 50 gram/liter karena proses pengeringan abu terbang akan
membutuhkan waktu yang jauh lebih sedikit daripada pengeringan abu
terbang yang dilakukan pada konsentrasi 10 gram/liter. Hal ini berkaitan
dengan jumlah umpan/abu terbang yang dimasukkan tangki flotasi.
Jumlah umpan yang masuk untuk ditreatment dengan proses flotasi akan
menjadi lebih banyak jika dilakukan pada konsentrasi 50 gram/liter. Hal
ini akan banyak menguntungkan.
23
BAB V
PENUTUP
V.1. Kesimpulan
1. Karbon tidak terbakar dalam abu terbang dapat dipisahkan dengan
menggunakan Dissolve Air Flotation (DAF).
2. Rata-rata % penurunan LOI paling besar didapat pada variable waktu 55
menit yaitu 55.1782%.
3. Pada variable konsentrasi abu terbang tidak ada perbedaan yang cukup
signifikan karena rata-rata % perbedaannya adalah 7.5395%.
4. Variable yang paling efektif dalam penelitian ini adalah konsentrasi 50
gram/liter dan waktu flotasi 55 menit.
V.2. Saran
1. Jika dilakukan penelitian lebih lanjut sebaiknya menggunakan variable
yang berbeda agar semakin banyak fenomena yang didapatkan.
2. Jika dilakukan dalam skala besar gunakan konsentrasi abu terbang paling
efektif agar energi yang digunakan untuk pengeringan abu terbang efisien.
24
DAFTAR PUSTAKA
Altun, N., Chuangfu Xiao, Jiann-Yang Hwang. 2009. Separation of
Unburned Carbon from Fly Ash Using a Concurrent Flotation
Column. Fuel Processing Technology 90. 1464-1470.
Heiri, O., Andre F. Lotter, Gerry Lemcke. 2001. Loss on Ignition as a
method for estimating organic and carbonat content in sediments:
reproducibility and comparability of results. J. Paleolim. 25:101-
110.
L.K. Wang, Y.-T.Hung, N.K. Shammas. Handbook of Environment
Engineering, vol 3, The Humana Press Inc., Totowa, New Jersey.
Miura, K., Koji Takasu, Yasunori Matsufuji. 2010. Basic Study on
Removing Unburned carbon from Fly Ash by Ore Flotation to Use
as Concrete Admixture. In Proceedigs of Second International
Conference on Sustainable Construction Materials and
Technologies, Ancona, Italy, June 28-June 30, 2010.
Mulyadiarto. 2010. Study Potential Utiization of FGD Gypsum & FA ex
Tanjung Djati B. Holcim:13.
Wardhani, Sri Prabandiyani Retno. 2008. Pemanfaatan Limbah
Batubara (Fly Ash) untuk Stabilisasi Tanah Maupun Keperluan
Teknik Sipil lainnya dalam Mengurangi Pencemaran Lingkungan.
Dalam Upacara Penerimaan Guru Besar Fakultas Tekin Universitas
Diponegoro, 6 Desember 2008.