laporan pengelolaan sekber dak tahun 2014
DESCRIPTION
Kegiatan Sekber DAK 2014TRANSCRIPT
LAPORAN EVALUASI PENGELOLAAN SEKRETARIAT BERSAMA (SEKBER)
DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) TAHUN ANGGARAN 2014
(KOMPONEN: DITJEN BINA PEMBANGUNAN DAERAH)
I. PENDAHULUAN
Sejak diperkenalkan tahun 2003, sebelum pemberlakuan efektif Undang-
Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No.
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah, DAK telah mengalami perkembangan, baik dari nilai alokasi
dan jumlah bidang kegiatan. Perkembangan dari nilai alokasi, transfer alokasi DAK
ke daerah dari tahun 2003 hingga tahun 2014 mengalami peningkatan yang cukup
besar yakni 13 kali lipat. Sementara itu, perkembangan jumlah bidang kegiatan
DAK juga mengalami penambahan dari 5 bidang, yakni bidang Pendidikan,
Kesehatan, Infrastruktur Jalan dan Irigasi, serta bidang Prasarana Pemerintahan
pada tahun 2003, menjadi 19 Bidang DAK di TA 2014. Perkembangan jumlah bidang
kegiatan DAK tersebut sangat erat kaitannya dengan dinamika pencapaian prioritas
nasional yang diseleraskan dengan pengembangan potensi di daerah
Secara umum, Kementerian Dalam Negeri mempunyai peran yang cukup
penting dalam memantapkan pengelolaan DAK di daerah, utamanya di bidang
perencanaan dan penganggarannya dalam APBD, serta pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan, yang dapat diuraikan dalam beberapa poin sebagai berikut :
1. Pada aspek perencanaan, Menteri Dalam Negeri bersama-sama dengan
Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Kepala Bappenas melaksanakan
koordinasi secara terpadu terhadap setiap usulan Bidang DAK dari
Kementerian/Lembaga (K/L) teknis (Pasal 52 (2), PP No. 55 Tahun 2005);
2. Pada aspek penganggaran, Menteri Dalam Negeri (Ditjen Keuda) telah
mengkoordinasikan penyusunan petunjuk teknis (juknis) yang disusun
oleh K/L, yang akan dijadikan pedoman oleh daerah dalam perencanaan,
penganggaran, dan pelaksanaan DAK (Pasal 59 (2), PP No. 55 Tahun
2005). Terkait dengan penganggaran DAK dalam APBD, Menteri Dalam
Negeri (Ditjen Keuda) telah menerbitkan Pedoman Pengelolaan Keuangan
DAK dalam APBD (Permendagri No. 20 Tahun 2009);
3. Pada aspek pemantauan, evaluasi dan pelaporan, Kemendagri (Ditjen
Bina Bangda) menerima laporan Triwulan dari Daerah serta laporan Akhir
dari K/L pembina DAK (Pasal 63 (1) dan (4), PP No. 55 Tahun 2005). Lebih
lanjut, Ditjen Bina Bangda bertanggungjawab dalam melakukan
pemantauan teknis pelaksanaan dan evaluasi pemanfaatan DAK dari
aspek pelaksanaan, administrasi keuangan, dan kepatuhan daerah dalam
pelaporan DAK (SEB 3 Menteri).
Guna mendukung pelaksanaan pemantauan pelaksanaan dan evaluasi
sebagaimana dimaksud dalam poin 3, maka Ditjen Bina Bangda membentuk
Sekretariat Bersama (Sekber) DAK sebagai wadah konsultansi dan koordinasi antara
Kementerian Dalam Negeri dengan Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian
Keuangan, serta Kementerian dan Lembaga (K/L) pembina DAK. Selain itu, setiap
tahunnya, Ditjen Bina Bangda menyelenggarakan pelaksanaan pemantauan teknis
dan evaluasi pemanfaatan DAK secara terpadu bersama-sama Menteri PPN/Kepala
Bappenas, Kemenkeu, dan K/L teknis ke seluruh provinsi untuk memperoleh
gambaran secara menyeluruh dan utuh terhadap kinerja pengelolaan 19 Bidang
DAK, beserta sub-bidangnya.
II. GAMBARAN UMUM KEGIATAN SEKBER DAK
Dukungan pengelolaan Sekber Pengendalian dan Pelaporan DAK terbagi atas 2
aspek, yakni aspek Sumber Daya Manusia (SDM) dan aspek Pendanaan. Pada sisi
SDM, saat ini Sekber DAK didukung oleh sekitar 8 personil, yang bertugas
menginput laporan DAK dari daerah serta sebagai penghubung Ditjen Bina Bangda
dengan K/L pembina DAK di Tingkat Pusat (lihat Tabel 1).
Tabel 1 : Tugas Personil SEKBER DAK
No Nama Koordinator Bidang Koordinator Region
1 Siti Pradesti Air Minum dan Sanitasi Jawa Tengah, DIY, dan
Bali
2 Dimas Ayu Pratiwi Kehutanan dan Lingkungan
Hidup
NTT, NTB, Sulsel, dan
Sulbar
3 Dian Darmayanti Keselamatan Transportasi Riau, Babel, Jambi,
Darat dan Energi
Perdesaan
Kaltara, dan Kalsel
4 Soetan Deriansyah Kesehatan, Infrastruktur
Jalan, dan Praspem
Aceh, Sumbar, Sumsel,
dan Jabar
5 Marlina Theresia Transportasi Perdesaan
dan Perdagangan
Banten, Bengkulu, Sulut,
dan Maluku
6 Destiana Kelautan dan Perikanan,
serta Pertanian
Lampung, Gorontalo,
Kaltim dan Kalbar
7 Hafidzyanis KB dan Irigasi, serta
Perumahan dan
Permukiman
Sumut, Kepri, Papuan,
Papua Barat, dan Maluku
Utara
8 Tarwanto Pendidikan, Kawasan
Daerah Tertinggal, dan
Kawasan Perbatasan
Sulteng, Kalteng, Jatim,
dan Sultra
Total 19 Bidang DAK 33 Provinsi
Secara umum, struktur kelembagaan Sekber Pengendalian dan Pelaporan DAK,
Ditjen Bina Bangda dijelaskan dalam Diagram 1 dibawah, dimana Sekretaris Ditjen
Bina Bangda bertindak sebagai Penanggungjawab, sedangkan Kabagren Ditjen Bina
Bangda berfungsi sebagai pelaksana harian. Dalam membantu pelaksana harian,
ditunjuklah koordinator yang mengawasi pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan Sekber
DAK T.A. 2014. Pada prinsipnya, hasil input dari para personil Sekber DAK kemudian
dianalisa oleh Tenaga Ahli (TA) sesuai dengan kebutuhan dan bidang masing-
masing, yang mencakup :
a. Kebijakan Publik;
b. Ekonomi Pembangunan;
c. Perencanaan Wilayah;
d. Hukum dan Tata Negara.
Pada aspek kebijakan publik, data pelaporan DAK yang telah dirangkum dapat
digunakan untuk memetakan permasalahan DAK dari segi kelembagaan dalam
pemantauan dan evaluasi. Sementara itu, pada aspek ekonomi pembangunan,
kompilasi data pelaporan DAK dapat digunakan sebagai acuan dalam menilai
permasalahan DAK dari aspek pelaksanaan dan penganggaran. Sedangkan pada
aspek perencanaan wilayah, pelaporan DAK dapat digunakan untuk memetakan
permasalahan DAK dari segi perencanaan. Hasil analisa dari 3 TA tersebut
kemudian digunakan sebagai masukan dalam penyusunan norma, standar,
prosedur, dan kriteria (NSPK) yang disusun oleh TA Hukum dan Tata Negara.
Diagram 1 : Kelembagaan SEKBER DAK Ditjen Bina Bangda
Disisi lain, guna mendukung tupoksi Sekber Pengendalian dan Pelaporan DAK,
Ditjen Bina Bangda mengalokasikan anggaran yang memadai guna mendukung
beberapa sub-kegiatan mencakup :
a. Penyelenggaraan Rapat Koordinasi;
b. Kajian penyusunan desain e-reporting DAK;
c. Pelaksanaan Monev DAK secara terpadu.
III. KEMAJUAN PELAKSANAAN
Terkait dengan pelaporan DAK, secara keseluruhan pelaporan DAK baru
mencapai 50 %, dengan realisasi keuangan dan fisik, masing – masing mencapai
10,06 % dan 9,23 %. Beberapa daerah yang belum melaporkan pemanfaatan DAK
hingga Triwulan III secara lengkap adalah Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan
Utara, Maluku, Papua, dan Papua Barat (lihat Tabel II).
Tabel II : Progress Pelaporan DAK
NO DATA DAERAH
%DAERAH YG MELAPORKAN
%ALOKASI
YANG DILAPORKA
N
%DANA
PENDAMPING
%REALISASI KEUANGAN
% REALISASI
FISIK
I II III IV
1 Aceh 33,33 33,33 33,33 - 57,05 5,90 4,72 2,45
2 Sumatera Utara
8,82 11,76 - - 6,05 0,67 0,29 0,04
3 Sumatera Barat
60,00 85,00 - - 102,53 11,25 5,68 8,23
4 Sumatera Selatan
88,89 22,22 11,11 - 104,51 8,48 2,26 2,37
5 Riau 7,69 7,69 7,69 - 3,65 0,90 57,10 0
6 Kepulauan Riau
87,50 87,50 87,50 - 112,43 14,77 10,97 17,04
7 Jambi 91,67 91,67 25,00 - 94,46 12,72 15,01 13,81
8 Bangka Belitung
87,50 87,50 25,00 - 65,02 9,50 24,38 14,62
9 Bengkulu 100,00
90,91 - - 71,47 7,64 7,58 3,68
10 Lampung 43,75 93,75 6,25 - 114,87 11,83 6,53 4,44
11 Jawa Barat 78,57 85,71 3,57 - 150,91 10,75 1,94 4,00
12 Jawa Tengah 100,00
100,00
61,11 - 104,27 11,90 10,18 26,44
13 Banten 11,11 100,00
- - 111,40 10,07 8,62 4,05
14 DIY 100,00
100,00
100,00
- 99,93 13,47 28,23 29,93
15 Jawa Timur 5,13 12,82 5,13 - 10,25 1,00 13,86 1,78
16 Bali 100,00
100,00
100,00
- 103,56 13,00 21,49 29,30
17 Kalimantan Barat
33,33 100,00
26,67 - 80,23 10,08 10,15 12,75
18 Kalimantan Tengah
86,67 100,00
86,67 - 100,09 16,92 30,15 27,87
19 Kalimantan Selatan
100,00
78,57 78,57 - 110,36 14,11 25,55 22,69
21 Kalimantan Timur
- - - - - 0,00 0,00 0,00
23 Kalimantan Utara
- - - - - 0,00 0,00 0,00
22 Sulawesi Utara
50,00 50,00 - - 38,36 5,03 3,30 0,24
23 Sulawesi Tengah
71,43 92,86 35,71 - 66,41 27,41 13,28 7,08
24 Sulawesi Selatan
64,00 96,00 8,00 - 102,20 10,34 7,44 6,91
25 Sulawesi Barat
85,71 85,71 - - 106,93 10,32 2,93 4,18
26 Sulawesi Tenggara
80,00 80,00 80,00 - 117,09 12,52 28,85 31,27
27 Gorontalo 100,00
100,00
- - 56,84 5,32 11,92 6,02
28 Nusa Tenggara Barat
100,00
90,91 18,18 - 115,30 11,16 16,19 15,47
29 Nusa Tenggara Timur
95,65 95,65 34,78 - 101,27 9,32 5,84 0,00
30 Maluku 33,33 - - - 27,65 1,75 0,94 0,03
31 Maluku Utara 36,36 63,64 18,18 9,09 54,33 5,10 13,39 7,83
32 Papua - - - - - 0,00 0,00 0,00
33 Papua Barat - - - - - 0,00 0,00 0,00
TOTAL 54,07
60,00
22,96
0,19
69,71 8,58 10,06
9,23
Sumber : Sekber DAK, 1 Desember 2014
Pada prinsipnya kepatuhan pelaporan, tidak hanya diukur melalui melalui
kelengkapan pelaporan, tetapi juga diukur melalui ketertiban pelaporan (tertib
melaporkan DAK secara tepat waktu). Tabel III menjelaskan bahwa kinerja
pelaporan DAK di setiap daerah, dimana Provinsi DIY tampil sebagai terbaik, diikuti
oleh Provinsi Bali, Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan. Sedangkan, Provinsi
Banten, Kalimantan Timur, Kalimanta Utara, Papua, dan Papua Barat perlu
memperbaiki kinerja dan memantabkan koordinasi antar SKPD.
Tabel III : Kinerja Pelaporan DAK
Data Daerah Index Provinsi
Index Kabupaten
Total Index Rank
D.I Yogyakarta 56,00 12,60 34,30 1Bali 45,00 22,44 33,72 2
Jawa Tengah 55,00 2,83 28,91 3Kalimantan Selatan 36,00 12,77 24,38 4
Bangka Belitung 30,00 14,43 22,21 5Kalimantan Tengah 42,00 1,07 21,54 6
Kepulauan Riau 40,00 2,29 21,14 7Sulawesi Tenggara 39,00 1,79 20,39 8
Aceh 34,00 2,57 18,28 9Sulawesi Utara 36,00 - 18,00 10
Nusa Tenggara Barat 36,00 - 18,00 10Kalimantan Barat 28,00 7,79 17,89 12
Maluku Utara 32,00 3,60 17,80 13Sulawesi Selatan 25,00 9,50 17,25 14Nusa Tenggara
Timur30,00 - 15,00 15
Jawa Barat 23,00 3,56 13,28 16Lampung 15,00 7,73 11,37 17
Sumatera Barat 20,00 1,68 10,84 18Jambi 10,00 10,55 10,27 19
Sulawesi Barat 20,00 - 10,00 20Bengkulu 19,00 - 9,50 21Gorontalo 10,00 - 5,00 22
Sumatera Selatan - 7,88 3,94 23Maluku 5,00 2,45 3,73 24
Riau - 4,00 2,00 25Sulawesi Tengah - 3,85 1,92 26
Jawa Timur - 3,34 1,67 27Sumatera Utara - 2,64 1,32 28
Banten - - - 29Kalimantan Timur - - - 29Kalimantan Utara - - - 29
Papua - - - 29Papua Barat - - - 29
Sumber : Sekber DAK, 1 Desember 2014
IV. PERMASALAHAN
A. DUKUNGAN KEGIATAN PENGELOLAAN SEKBER DAK T.A. 2014
Kegiatan dukungan pengelolaan Sekber DAK T.A. 2014 secara umum sudah
terlaksana dengan baik. Namun, secara substantif maupun teknis, terdapat
beberapa catatan dalam pelaksanaan kegiatan, antara lain :
1. Minimnya kehadiran K/L pembina DAK dalam rapat koordinasi Sekber DAK
di Tingkat Pusat. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, seperti jadwal
pelaksanaan rapat yang berbenturan dengan agenda K/L dan atau K/L
pembina DAK masih belum menganggap penting (urgensi) dari rapat yang
diadakan;
2. Kajian yang disusun oleh Pihak Ketiga belum dapat menguraikan berbagai
aspek pengelolaan DAK secara menyeluruh, terutama terkait dengan
pemantauan dan evaluasi, dimana penyatuan format pelaporan DAK,
mekanisme e-reporting, serta peningkatan peran Gubernur sebagai co-
manager dalam pengelolaan DAK menjadi sangat penting di era yang
menuntut transparansi dan akuntabilitas pada dana transfer;
3. Pelaksanaan monev terpadu masih berjalan parsial atau sendiri-sendiri
karena setiap K/L pembina DAK di tingkat pusat merasa mempunyai
kondisi, potensi, serta permasalahan yang berbeda-beda atas bidang DAK
yang dikelolanya. Disamping itu, Jadwal monev yang tidak match dengan
dukungan pendanaan pada masing-masing K/L juga menjadi persoalan
tersendiri;
4. Penyusunan produk hukum terkait pemantauan teknis pelaksanaan dan
evaluasi pemanfaatan DAK terkendala dengan arah kebijakan pengelolaan
DAK dalam revisi UU No. 33 Tahun 2004, yang saat ini masih dibahas
dengan DPR.
B. PENGELOLAAN DAK T.A. 2014
Berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan oleh Sekretariat Bersama
Pengendalian dan Pelaporan DAK, Ditjen Bina Pembangunan Daerah, terdapat
beberapa permasalahan terkait perencanaan. Secara keseluruhan, terdapat
beberapa hal yang dapat dicatat mengenai penetapan formula DAK.
Pertama, tiga kriteria —umum, khusus, dan teknis— di tataran implementasi
tidak diintepretasi sebagai instrumen penyaringan, akan tetapi kriteria – kriteria
yang saling menutupi satu sama lain. Suatu daerah yang tidak layak dalam
perspektif kriteria umum —artinya tidak layak secara fiskal— masih dapat
diloloskan dalam perspektif kriteria khusus. Demikian juga ketika suatu daerah
tidak layak menurut kriteria khusus —artinya daerah itu tidak memiliki karakteristik
wilayah tertentu— tetap dapat diloloskan dari sudut pandang kriteria teknis.
Dengan kata lain, satu kriteria tidak diperlakukan sebagai penunjang atas kriteria
yang lain. Sehingga, suatu daerah cukup memenuhi salah satu kriteria, tidak perlu
keseluruhan, untuk dapat memperoleh DAK.
Kedua, formula-formula ini sangatlah kompleks untuk diterapkan mengingat
panjangnya proses penghitungan dan rentannya kebutuhan data untuk keseluruhan
kriteria, tak terkecuali kriteria teknis yang semata-mata bergantung dari distribusi
data daerah. Sementara itu, di dalam praktek, karena ini menyangkut
penganggaran yang juga merupakan hak DPR, hasil akhir formula-formula ini murni
berbobot politis.
Jika semata-mata proses teknokratis yang terjadi, hasil akhir formula-formula
ini secara teoritis bisa diprediksi. Pada kenyataannya, dalam perspektif daerah, DAK
sukar diprediksi. Dalam sejumlah kasus, alokasi dan lokasi DAK tahun sebelumnya
bahkan tidak dapat diandalkan sebagai alat prediksi bagi alokasi dan lokasi DAK
tahun berikutnya. Kondisi ini menyebabkan beberapa hal dimana alokasi DAK yang
acapkali tidak sesuai dengan kebutuhan daerah serta daerah kehilangan rujukan
bagi perencanaan APBD setiap tahun.
Terkait dengan poin perencanaan, sejauh ini perencanaan dan pengambilan
keputusan pengalokasian DAK kepada daerah-daerah dilakukan secara top-down.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) sebagai institusi perencanaan
di kabupaten/kota tidak terlibat dalam perencanaan program/kegiatan-kegiatan
yang akan didanai dengan DAK. Demikian pula, Pemerintah Propinsi khususnya
Gubernur sebagai wakil Pemerintah, tidak jelas peranannya dalam pengelolaan
DAK. Dengan kata lain, perencanaan DAK kurang terintegrasi ke dalam siklus dan
mekanisme perencanaan pembangunan nasional dan daerah.
Dari aspek penganggaran, permasalahan masih terkait dengan ketentuan
besaran dana pendamping DAK. Ketentuan dana pendamping 10% di satu sisi
mendorong komitmen daerah, namun di sisi lain menjadi disinsentif bagi daerah
dengan kapasitas fiskal rendah untuk menyediakan dana pendamping. Disamping
itu, besaran alokasi DAK relatif kecil dan ruang lingkup kegiatan DAK seringkali
tidak sesuai kondisi, potensi, dan kebutuhan daerah sehingga daerah penerima DAK
tidak dapat melaksanakan pembangunan fisik secara terencana dan terpadu. Juga,
pagu alokasi definitif DAK per daerah ditetapkan dan diinformasikan kepada daerah
pada saat pembahasan akhir RAPBD sehingga sulit bagi daerah untuk menjaga
konsistensi antara KUA dan PPAS dengan RAPBD. Hal ini diperparah dengan Juknis
DAK bidang yang terlambat diterima daerah sehingga proses penyusunan RKA-
SKPD berpedoman pada juknis yang lama, yang seringkali tidak relevan dengan
juknis yang baru.
Pada aspek pelaksanaan, permasalahan terkait dengan pergantian Juknis pada
periode pelaksanaan dan Juknis yang memuat unit cost yang tidak sesuai dengan
unit cost di daerah. Hal ini diperparah dengan daerah yang terlambat melakukan
penyerapan DAK baik Tahap I s/d III sehingga pencairan dana tahap I s/d III
terlambat. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keterlambatan
penyaluran DAK dari Pusat ke Daerah, antara lain : 1). Gagal lelang akibat faktor
teknis (kesalahan aparat daerah dalam merancang spesifikasi lelang sehingga
perusahaan peserta tidak mampu memenuhi keinginan Pemerintah Daerah, serta
ketiadaan SDM yang memiliki kompetensi dalam hal pelelangan) dan faktor non
teknis (keinginan kontraktor untuk menerima seluruh pembayaran di akhir proyek,
sehingga pengajuan SP2D diakumulasi pada akhir tahun); 2). Jumlah perusahaan
yang mengikuti lelang sangatlah terbatas/langka sehingga perusahaan yang terpilih
dalam proses lelang akan mengutamakan proyek-proyek dengan nilai besar terlebih
dahulu; 3). Faktor cuaca, keamanan, hingga ketiadaan pekerja juga turut
berpengaruh dalam pelaksanaan pembangunan di daerah, sehingga kontraktor
memilih untuk menunda pengajuan Surat Perintah Membayar (SPM).
Dari sisi monitoring dan evaluasi, petunjuk pelaporan DAK yang diterbitkan
secara sektoral tidak saja kaku dan terlalu fokus pada proses, tetapi juga sangat
membebani daerah. Dengan ketiadaan instrument monitoring yang fleksibel dan
efektif, institusi – institusi pusat dan daerah tidak dapat berkoordinasi dan
melaksanakan monitoring secara aktif. Pelaporan pelaksanaan DAK dari daerah pun
juga sering terlambat dikarenakan belum adanya ketegasan terkait penunjukan
koordinator pemantauan dan evaluasi DAK di daerah. Di sisi lain, sasaran DAK yang
akan diukur pencapaiannya seringkali tidak jelas. Oleh sebab itu, sistem monitoring
DAK yang sentralistis menjadi tidak efektif. Beberapa studi menyatakan bahwa
keterbatasan kapasitas SDM dan keuangan baik di pusat maupun daerah, termasuk
faktor kunci yang membuat aspek pengendalian tidak efektif. Lebih jauh lagi,
terungkap bahwa meskipun daerah – daerah telah mengirim laporan DAK secara
berkala, mereka tidak pernah menerima tanggapan (feedbacks) dari pusat secara
cepat, sehingga mempengaruhi proses pelaksanaan dan penyerapan DAK.
V. PENUTUP
A. DUKUNGAN PENGELOLAAN KEGIATAN SEKBER DAK T.A. 2014
Dalam kebijakan pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK), Kementerian Dalam
Negeri (Ditjen Bina Bangda dan Ditjen Keuda) mempunyai peran yang cukup
penting dalam memantapkan pengelolaan DAK di daerah, utamanya di bidang
perencanaan dan penganggarannya dalam APBD, serta pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan.
Peran yang strategis ini dapat diperluas dalam beberapa aspek pengelolaan
DAK ke depan, antara lain :
1. Pada aspek perencanaan DAK, peran Kemendagri dapat ditingkatkan ke
arah pemantapan peran Gubernur sebagai co-manager dalam
perencanaan DAK di daerah. Pada tahap ini, Kemendagri dapat
memberdayakan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) di
tingkat Provinsi sebagai buffer sehingga kegiatan yang didanai oleh DAK
benar – benar menggambarkan kondisi, potensi, dan permasalahan di
daerah. Dengan kata lain, BAPPEDA juga diharapkan mampu
mengkoordinasikan perencanaan dan penyusunan anggaran program –
program, sesuai dengan kebutuhan di daerah sehingga mampu membuat
prioritas program;
2. Pada aspek penganggaran DAK, peran Kemendagri dapat ditingkatkan ke
arah reviewer Juknis DAK. Saat ini, Kemendagri hanya mengontrol aspek
ketepatan waktu Juknis sesuai dengan kaidah yang ditetapkan. Akan
tetapi, permasalahan DAK di daerah tidak hanya keterlambatan Juknis,
tetapi juga Juknis yang tidak bisa dilaksanakan oleh SKPD di daerah;
3. Pada aspek pemantauan dan evaluasi, peran Kemendagri sangatlah
penting dalam menyatukan format pelaporan di 19 Bidang DAK. Saat ini,
baru sekitar 10 Bidang DAK yang formatnya sesuai dengan SEB. K/L
pembina DAK yang lain menganggap bahwa format pelaporan SEB tidak
sesuai dengan kebutuhan teknis evaluasi dari bidang DAK yang dibina-nya.
B. PENGELOLAAN DAK T.A. 2014
Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana
pendapatan APBN yang dialokasikan pada daerah tertentu untuk membiayai
kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan Prioritas
Nasional. Pengelolaan DAK untuk tingkat Pusat dan daerah diatur dalam PP No 55
tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
Pada aspek perencanaan, permasalahan yang terjadi di antaranya adalah
ketidaksesuaian antara alokasi DAK dengan kebutuhan daerah, karena
perencanaan dan pengambilan keputusan pengalokasian DAK dilaksanakan secara
top down. Perencanaan DAK kurang terintegrasi ke dalam siklus dan mekanisme
perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Selain itu formulasi alokasi DAK
terlalu kompleks dan sulit diprediksi dalam proses penyusunan perencanaan.
Pada aspek penganggaran dan pelaksanaan, permasalahan yang saling terkait
dapat digambarkan sebagai berikut. Ketersediaan petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk teknis tahunan sering terlambat, berubah-ubah dan kurang
memperhatikan kebutuhan daerah karena kurangnya pemetaan/pemahaman
kekhususan/kebutuhan daerah. Petunjuk-petunjuk tersebut juga terlalu rinci
mengatur penggunaan input-input dan kaku. Ditambah dengan relatif kecilnya
pagu nasional DAK dibanding dengan kebutuhan dan dampak yang diharapkan
serta kewajiban daerah dalam menyediakan dana pendamping. Akibat
permasalahan tersebut, sebagian daerah kesulitan menyerap atau memanfaatkan
DAK sesuai sasaran-sasaran yang ditetapkan.
Pada aspek monitoring, evaluasi, dan pelaporan, masalah yang muncul adalah
masih belum efektifnya pemantauan dan evaluasi DAK di daerah yang faktor
penyebabnya di antaranya adalah belum adanya ketegasan terkait penunjukan
koordinator pemantauan dan evaluasi DAK di daerah dan petunjuk monitoring dan
pelaporan DAK yang diterbitkan secara sektoral yang kaku dan terlalu fokus pada
proses. Hal ini membebani daerah yang berimplikasi pada rendahnya pelaporan
DAK baik kepada Sekber DAK maupun K/L.
Guna memantabkan pengelolaan DAK ke depan, maka penetapan alokasi
definitif DAK T.A. 2015 dan seterusnya oleh Kementerian Keuangan dapat
diakomodir dalam Perda APBD (Induk) yang disesuaikan dengan waktu penyusunan
APBD, sehingga tidak menyebabkan adanya jeda waktu petetapan
program/kegiatan yang didanai oleh DAK, terutama dengan keharusan melakukan
perubahan APBD yang membutuhkan waktu yang cukup lama, yang akan berakibat
pada mundurnya pelaksanaan program/kegiatan yang didanai dengan DAK.
Disamping itu, petunjuk teknis (juknis) harus dibuat lebih fleksibel dan tidak
mencantumkan unit cost. Akan tetapi, jika dalam Juknis mencantumkan unit cost,
agar disesuaikan dengan berpedoman pada standar biaya dan/atau standar satuan
harga yang ditetapkan dalam Keputusan Kepala Daerah, dengan mengacu pada
harga satuan konstruksi bangunan (basic price) yang ditetapkan oleh instansi
terkait yang disesuaikan dengan harga yang berlaku setempat. Demikian pula
dengan percepatan proses penyusunan dan penetapan Juknis setiap tahun dapat
diakomodir dalam penyusunan APBD induk atau Juknis tidak mengalami perubahan
setiap tahun (Juknis berlaku multiyears).
Juga, persyaratan administratif yang ditentukan dalam PP 55/2005 tentang
kewajiban menyediakan dana pendamping fisik sebesar 10% dari besaran DAK yang
diterima perlu dikaji kembali karena memberatkan daerah. Disamping, perlunya
peningkatan pola koordinasi pengelolaan DAK di tingkat Pusat, termasuk di
dalamnya merevitalisasi peran kelembagaan Sekretariat Bersama DAK, agar
pengelolaan DAK dapat mencapai tujuan seperti yang diharapkan.
Terkait dengan monitoring dan evaluasi, diperlukan usaha – usaha untuk
meningkatkan kepatuhan daerah dalam menyampaikan pelaporan DAK per bidang
ke Sekber maupun K/L dengan menyederhanakan format (1 format pelaporan untuk
semua bidang) dan menetapkan e-reporting sebagai media dalam penyampaian
laporan. Terakhir, untuk kepentingan kemajuan pengelolaan DAK di masa
mendatang, agar tahap perencanaan dan penganggaran DAK tidak lagi bersifat
sentralistik/top down, namun secara optimal melibatkan seluruh pemangku
kepentingan, terutama pemerintah daerah yang mengetahui kondisi, potensi, serta
permasalahan di daerah. Pada tataran ini, Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (BAPPEDA) di tingkat Provinsi maupun di Kabupaten/Kota diharapkan
bertindak sebagai buffer sehingga kegiatan yang didanai oleh DAK benar-benar
menggambarkan kondisi, potensi, dan permasalahan di daerah. Dengan kata lain,
BAPPEDA juga diharapkan mampu mengkoordinasikan perencanaan dan
penyusunan anggaran program-program, sesuai dengan kebutuhan di daerah
sehingga mampu membuat prioritas program.
LAMPIRAN
- REKAP PERMASALAHAN PENGELOLAAN DAK PER DAERAH
A. Aspek Perencanaan DAK
Bidang DAK
Permasalahan Provinsi
Umum Kebijakan pengelolaan DAK cenderung bersifat top-down karena kurang memperhatikan aspirasi daerah. Akibatnya, DAK tidak masuk siklus perencanaan pembangunan di daerah dan penganggaran di APBD. Implikasinya, seringkali terdapat ketidaksesuaian antara alokasi DAK yang diperoleh dengan kondisi, potensi, dan permasalahan daerah. Terkait dengan hal tersebut, format I pada kolom 13 a dan 13 b dalam pelaporan DAK menjadi tidak relevan lagi karena kegiatan dalam RKPD tidak sesuai dengan sasaran dan lokasi dalam kegiatan DAK.
NTT, NTB, Kalsel
SEB sebagai acuan dalam perencanaan DAK tidak menunjukkan dengan pasti kedudukan dan peran Bappeda.
Sulteng, Sumbar, NTB
SKPD menyampaikan data teknis secara langsung kepada K/L teknis tanpa berkoordinasi dengan Bappeda. Bappeda hanya bertindak sebagai
Sumbar, NTB
koordinator/pengumpul data. SKPD kerap melakukan konsultasi
secara langsung kepada K/L teknis dan tidak melibatkan Bappeda.
Sulteng, Sumbar, NTB
Pendidikan Juknis tidak sesuai dengan kebutuhan di daerah.
Sumbar, kasus Solok dan Sultra kasus Kab Konawe Selatan
Kesehatan Tidak semua jenis obat yang dibutuhkan masuk dalam menu E-Catalog
Jabar
Kehutanan Dari sisi perencanaan, terdapat mismatch dalam pengalokasian DAK sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan daerah.
Jateng
Pertanian Pada kegiatan penanaman bibit tergantung pada musim penghujan.
Jateng
Kelautan Perikanan
Menu kegiatan setiap tahunnya digunakan untuk penyediaan kapal, padahal kebutuhan daerah adalah sarana perikanan.
Sumbar kasus Kab. Bukit Tinggi
LH Proses pengadaan mobil sangat memakan waktu karena harus menunggu persetujuan dari K/L dan BPRLH.
Riau kasus Kab. Pelalawan
B. Aspek Penganggaran DAK
Bidang DAK
Permasalahan Prov
Umum Pemerintah Daerah belum sepenuhnya memahami Permendagri Nomor 27 tahun 2013 yang mengatur tentang penganggaran DAK.
Kalsel, DIY
Masih terdapat juknis yang memuat kebijakan pengelolaan keuangan DAK yang tidak selaras dengan kebijakan pengelolaan keuangan daerah, yang menyebabkan penyerapan anggaran rendah.
NTT
Penentuan pagu alokasi masing-masing bidang DAK sering tidak sesuai dengan kebutuhan riil di daerah karena dibuat
Jateng
secara parsial oleh masing-masing SKPD dengan kementerian terkait serta tidak adanya revisi antarbidang DAK.
Pagu alokasi definitif DAK per daerah ditetapkan dan diinformasikan kepada daerah pada saat pembahasan akhir RAPBD sehingga sulit bagi daerah untuk menjaga konsistensi antara KUA dan PPAS dengan RAPBD.
Jabar, Papua, Kalbar, Sultra
Besaran alokasi DAK relatif kecil dan ruang lingkup kegiatan DAK seringkali tidak sesuai kondisi, potensi, dan kebutuhan daerah sehingga daerah penerima DAK tidak dapat melaksanakan pembangunan fisik secara terencana dan terpadu.
Jabar, Papua, Kalbar, Sultra, Aceh, Lampung, NTT, Sulut, Sumbar, Jateng
Pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang langsung diberikan ke Bendahara Kas daerah Kabupaten/Kota menyulitkan Bappeda Provinsi untuk melakukan pengawasan secara langsung mengenai penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Papua
Juknis terlambat diterima daerah sehingga proses penyusunan RKA-SKPD berpedoman pada juknis yang lama, yang seringkali tidak relevan dengan juknis yang baru.
Jabar, Papua, Kalbar, Sultra
Ketentuan dana pendamping 10% di satu sisi mendorong komitmen daerah, namun di sisi lain menjadi disinsentif bagi daerah dengan kapasitas fiskal rendah untuk menyediakan dana pendamping.
Jabar, Papua, Kalbar, Sultra, Aceh, Lampung, NTT, Sulut, Sumbar, Jateng
Beberapa daerah memasukkan dana penunjang/pendukung/sebutan lain, yang umumnya digunakan untuk kegiatan administrasi, perencanaan, dan pengawasan, menyatu di dalam DAK.
NTB
Pendidikan Juknis tidak mengatur secara rinci pengelolaan keuangan DAK dalam APBD.
Jabar
Pencantuman unit cost pembangunan sarana dalam Juknis tidak sesuai dengan kebutuhan di daerah.
Jabar
Kesehatan Juknis tidak mengatur secara rinci pengelolaan keuangan DAK dalam APBD.
Jabar
Kehutanan Walaupun Juknis sudah ditetapkan 5 hari setelah PMK Alokasi DAK ditetapkan, namun beberapa daerah penerima DAK masih belum menerima Juknis tersebut.
Jateng
Prosentase anggaran vegetatif dan sipil teknis menyulitkan pelaksanaan di daerah.
Jateng
Daerah keberatan dengan besaran dana penunjang sebagai pelengkap dana pendamping yang dipersyaratkan.
Jateng
Karena beberapa menu kegiatan dalam DAK bidang kehutanan melibatkan penyerahan kepada pihak ketiga, maka SKPD pelaksana di daerah mengikuti kaidah Permendagri No. 32 Tahun 2011, sesuai dengan arahan BAKD. Implikasinya, pelaksanaan DAK bidang Kehutanan menunggu perubahan APBD.
Jateng
Juknis tidak mengatur secara rinci pengelolaan keuangan DAK dalam APBD, seperti persyaratan minimal dana penunjang untuk kegiatan non fisik.
Jateng
Pertanian Alokasi DAK bidang Pertanian lebih kecil dibandingkan yang lainnya, padahal bidang tersebut merupakan sektor yang vital bagi sebagian besar daerah.
Sulteng
Kelautan Perikanan
Alokasi DAK bidang Pertanian lebih kecil dibandingkan yang lainnya, padahal bidang tersebut merupakan sektor yang vital bagi sebagian besar daerah.
Sulteng
C. Aspek Pelaksanaan DAK
Bidang DAK
Permasalahan Provinsi
Umum Pemahaman terhadap petunjuk teknis belum sama.
Bali
Sosialisasi juknis belum melibatkan semua stakeholder.
Jateng
Ketentuan dalam petunjuk teknis banyak yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah dalam pelaksanaan DAK.
Bali, Kalteng, Papua, Kepri
Ruang lingkup kegiatan yang berganti di tengah tahun membuat SKPD penanggung jawab kesulitan merealisasikan kegiatan fisik.
Bengkulu
Keterlambatan penerimaan informasi besaran DAK untuk jenis kegiatan yang direncanakan menyebabkan daerah kesulitan untuk menyesuaikannya pada pembahasan pencantuman DAK dalam APBD.
NTB, Maluku, Papua Barat, Sumsel, Kalbar, Bengkulu
Beberapa kab/kota belum berani melaksanakan kegiatan di tahun 2014 akibat juknis yang terlambat diterima, yang menyebabkan pelaksanaan DAK menunggu perubahan APBD.
Kalbar, Sultra, Sumbar, Kep.Riau, Aceh
Adanya perbedaan spesifikasi dan satuan harga antara DPA SKPD dengan juknis kementerian terkait, yang menyebabkan perlunya adanya perubahan anggaran di APBD perubahan.
Bengkulu
Gagal lelang Bali, Banten, Gorontalo, Jatim, Kaltim, Sulsel, Maluku, Papua Barat, Sumsel, Kalbar, Sumbar, Sultra, Kep. Riau
Rendahnya realisasi keuangan dan fisik pada beberapa bidang DAK tidak terlepas dari terlambatnya Juknis di beberapa bidang.
NTT, Kalsel, DIY, Bali, Banten, Gorontalo, Jatim, Kaltim, Sulsel, Maluku, Papua, Papua Barat, Sumsel, Sulsel
Keterlambatan pencairan dana. Gorontalo, Jatim, Kaltim, Sulsel
Syarat tahapan pencairan Tahap II dan III masing-masing 90% memberatkan
Jateng, Bengkulu
bagi daerah karena penyedia jasa banyak yang mengajukan pencairan pada akhir kegiatan.
Hangusnya dana pada beberapa bidang DAK terjadi karena keterlambatan pencairan dana pada setiap tahapan penyaluran DAK.
Jabar
Untuk luncuran tahun 2010, 2011, dan 2012 ada potensi tidak terserap 100%.
Jateng
KPA belum mempunyai sertifikat. Kalbar APBN-P 2014. Kalbar Kondisi cuaca yang kurang mendukung
yang dapat menyebabkan terlambatnya pekerjaan konstruksi.
Bengkulu
Salah satu alasan seringnya rotasi SKPD pengelola DAK di daerah adalah ketidakpahaman sumber daya manusia terkait program dan pelaksanaan DAK sehingga banyak SKPD mengundurkan diri sebagai pejabat pengelola dan pelaksana DAK.
Sumsel
Pendidikan Keterlambatan Juknis dan revisi yang berulang menghambat pelaksanaan DAK dan penyerapan anggaran.
Kalimantan Selatan, Jateng, Kalbar, Aceh, Riau, Bangka Belitung, Sulteng, Jabar
Pemahaman yang multitafsir terhadapu Juknis
Jateng
DAK Pendidikan SD agak terhambat pelaksanaannya karena adanya revisi Juknis pada bulan Juni akibat adanya perubahan kurikulum untuk tahun 2014.
Banten, Gorontalo, Jawa Timur, Kaltim, Sulsel, Maluku, Sumsel, Bali
DPA-SKPD yang sudah disusun tidak sesuai dengan arah pemanfaatan DAK dalam Juknis dikarenakan Juknis yang terlambat disosialisasikan kepada daerah. Pada dasarnya, sesuai dengan PMK No. 06/PMK. 07/2012, daerah dapat menyusun kegiatan dalam RKA-SKPD dan DPA-SKPD tahun berjalan dengan menggunakan juknis tahun sebelumnya. Akan tetapi ruang lingkup kegiatan yang berubah menyebabkan daerah harus
DIY, NTB, Sulut
menyusun RKA-SKPD dan DPA-SKPD baru melalui Perkada tentang Perubahan Penjabaran APBD, dengan memberitahukan kepada pimpinan DPRD.
Ruang lingkup Juknis terlalu rigid (seperti rehab hanya diperuntukkan bagi bangunan sekolah yang rusak berat, RKB hanya diperuntukkan bagi SMA, tidak ada kegiatan peningkatan kapasitas guru).
DIY, NTB, Sumbar, Riau, Sulteng, Jateng
Kegiatan DAK tumpang tindih dengan kegiatan bantuan sosial yang diluncurkan Kemendikbud. Sekolah akhirnya lebih memilih bantuan sosial ketimbang DAK.
DIY, Kalsel
IKK yang tercantum dalam Juknis tidak sesuai dengan IKK daerah setempat sehingga beberapa Kab/Kota memilih tidak melaksanakan atau melaksanakan sesuai dengan yang ditetapkan. Akibatnya, pembangunan gedung berjalan kurang maksimal.
Riau, Sultra, Sumbar, Bali, Kepri, Kalbar
Pelaksanaan kegiatan yang bersifat swakelola untuk DAK SD berjalan lambat karena secara administratif menyulitkan pihak sekolah.
Maluku, Papua, Barat, Gorontalo, Jawa Timur, Kaltim, bangkia Belitung
Adanya gagal lelang. Jateng Sisa tender belum dapat dioptimalkan
pada tahun berkenaan.Jateng
Adanya disharmoni regulasi terkait dengan pross pelaksanaan pengadaan barang/jasa sesuai dengan Peraturan Mendikbud yang bertentangan dengan Perpres No. 54 Tahun 1990, Perpres No. 70 Tahun 2012 dan Peraturan Mendagri No. 39 Tahun 2011 terkait dengan pelaksanaan hibah sehingga menimbulkan kekhawatiran dari pelaksana di daerah.
Jateng
Kesehatan Juknis terlambat. Jabar Spesifikasi obat maupun harga obat
dalam e-catalogue tidak sesuai dengan kebutuhan daerah.
Sultra, Riau, NTT, Kalbar
DPA-SKPD yang telah disusun tidak sesuai dengan arah pemanfaatan DAK
Sulut
dalam Juknis dikarenakan juknis yang terlambat disosialisasikan kepada daerah.
Tidak adanya informasi yang jelas mengenai acuan standar harga dalam proses lelang apakah mengacu pada e-catalogue atau pada survey harga pasar.
DIY, Kalsel
Pelaksanaan terlambat khususnya dalam pengadaan obat karena harus menunggu katalog obat yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan.
Banten, Sulsel, Maluku, Sumsel, Papua Barat, DIY
Penerapan e-catalogue oleh Kemenkes terkendala dengan tidak tersedianya obat di daerah dan tidak adanya pihak ketiga yang mampu menyediakan obat dari e-catalogue.
DIY, Kalsel
Mengalami gagal lelang akibat ketiadaan perusahaan yang memenuhi kualifikasi tender
Sumbar
Perdagangan
Surat Edaran dari Itjen Kementerian Perdagangan kepada Bupati/Walikota penerima DAK (dengan tembusan kepada BPK) menetapkan bahwa SKPD pelaksana kegiatan pembangunan pasar adalah Dinas Perdagangan. Anggaran yang sudah terlanjur disusun oleh Dinas Pasar melalui DPA-SKPD cair, sehingga beberapa Kabupaten seperti Sleman dan Bantul memilih untuk menunda pelaksanaan pembangunan hingga tahun 2014, sementara Kabupaten/Kota yang lain memilih menunggu arahan dari Pusat.
DIY
Kehutanan Juknis terlambat disosialisasikan kepada daerah.
NTT, Jambi
Menu tumpang tinding antara Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dengan Pemerintah Kota Padang, akibatnya Pemerintah Kota Padang saja yang melaksanakan DAK bidang ini.
Sumbar
Juknis terlambat disosialisasikan kepada daerah dan mengalami masalah dalam kepemilikan lahan aset daerah (mana yang termasuk lahan provinsi dan mana
DIY
yang termasuk lahan kab/kota).Pertanian Juknis terlambat disosialisasikan kepada
daerah.NTT
Kegiatan jaringan air tanah dalam tidak ada penawar/gagal lelang.
Jawa Tengah
KPDT Juknis terlambat disosialisasikan kepada daerah.
NTT
Infrastruktur sanitasi
Pelaksanaan kegiatan yang bersifat swakelola berjalan sangat lambat.
Maluku, Papua Barat
Penyediaan lahan untuk lokasi pembangunan SLBM terhambat akibat penolakan dari masyarakat.
Jawa Tengah
Infrastruktur air minum
Pengeboran sumur sudah dilakukan sesuai teknis di lapangan akan tetapi air tidak keluar.
Jawa Tengah
Keselamatan transportasi darat
Gagal lelang yang disebabkan kebijakan kenaikan BBM.
Jawa Tengah
D. Aspek Monitoring dan Evaluasi DAK
Bidang DAK
Permasalahan Prov
Umum Sebagian besar daerah kabupaten/kota belum membentuk tim koordinasi pemantauan teknis pelaksanaan dan evaluasi pemanfaatan DAK dikarenakan keterbatasan dana.
NTT
Koordinasi pelaksanaan DAK antara Kabupaten/Kota dan Provinsi masih rendah, sehingga menyulitkan dari sisi pemantauan dan evaluasi.
DIY, Kalsel
Koordinasi yang kurang baik antara provinsi dan kabupaten serta Bappeda dan SKPD sehingga terjadi tumpang-tindih dalam hal pemantauan berdampak pada kurang baiknya pelaporan dari daerah-daerah terkait.
Kalbar, Bengkulu, Riau, Sultra
Baik Bappeda maupun Dinas Teknis Provinsi masih mengalami kesulitan dalam pengumpulan data dan informasi pelaporan DAK dari daerah Kabupaten/Kota. Oleh karena itu,
Sumsel
diperlukan adanya forum yang mengumpulkan SKPD Provinsi, Kabupaten, dan Kota untuk mengisi form pelaporan realisasi DAK
Lokasi/jarak yang terlalu jauh, keterbatasan komunikasi, gangguan jaringan listrik, dan realisasi yang masih 0% menghambat pelaporan kegiatan DAK oleh masing-masing SKPD.
Papua, Kalbar
Terbatasnya dana untuk perjalanan dinas Satker Dekon DAK ke tingkat pusat dalam rangka koordinasi.
NTT
Alokasi dana monev ke Kab/Kota yang masih minim.
Riau, Sultra
Terbatasnya sumberdaya manusia (SDM) yang menangani pelaporan DAK.
Kalteng
Belum adanya keseragaman persepsi pencantuman dana pendamping dalam laporan.
Jawa Tengah
Terdapat perbedaan format laporan antara SEB 3 Menteri dengan format laporan dari K/L sehingga menyulitkan daerah dalam penyusunan laporan.
DIY, Maluku, NTB, Sulut, Aceh, Papua, Riau, Sultra, Bali, Jambi, Sumbar, Jateng
Pelaporan yang disampaikan kepada berbagai pihak tidak satu pintu sehingga membebani daerah.
Lampung
Masih rendahnya tingkat pelaporan DAK.
NTT, Riau
Terdapat perbedaan data yang direkap oleh Pemerintah Provinsi terhadap data yang diolah oleh Sekretariat Bersama DAK Ditjen Bina Bangda.
NTB, NTT, Papua, Lampung
Pihak Ketiga menumpuk laporan di akhir tahun
Riau, Sultra
Mutasi Pejabat pengelola DAK di daerah Riau, SultraMasih lemahnya feedback dari
kementerian terhadap solusi yang diharapkan oleh daerah.
Bali