laporan presus epilepsi dan ppi
DESCRIPTION
epilepsi dan ppiTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
Partus prematurus adalah dimulainya kontraksi uterus yang disertai dengan
perdarahan dan dilatasi serviks serta turunnya kepala bayi pada wanita hamil yang
lama kehamilannya kurang dari 37 minggu. Persalinan premature dapat
meningkatkan kematian perinatal sekitar 65-67 %, umumnya berkaitan dengan
berat badan lahir rendah.
Partus prematurus imminens (PPI) merupakan salah satu penyebab terjadinya
mortalitas dan morbiditas perinatal diseluruh dunia, angka kejadian PPI sekitar 6 %
sampai 15 % dari seluruh persalinan. Di Amerika Serikat, PPI menyebabkan 75 %
kematian neonatal dan 50 % terjadi gangguan neurologis jangka panjang pada anak.
Angka kejadian PPI di Indonesia sekitar 19 % dan merupakan penyebab utama
kejadian perinatal.
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang (lebih
dari satu episode). Kehamilan pada wanita penyandang epilepsi sampai saat ini
masih dianggap sebagai kehamilan resiko tinggi, dikarenakan adanya pengaruh
yang kurang baik dari epilepsi terhadap kehamilan dan sebaliknya serta pengaruh
obat anti epilepsi terhadap janin. Sekitar 25%-33,3% serangan epilepsi akan
meningkat selama hamil, dengan beberapa kemungkinan komplikasi-komplikasi
pada saat kehamilan, persalinan dan pada janin.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS PASIEN
a. Nama : Ny. Atikah Febriana
b. Usia : 21 tahun
c. Alamat : Rejasari RT ¼ Purwokerto Barat
d. Waktu datang : 2 Juni 2015 (pukul 20.10)
2.2 ANAMNESIS
a. Keluhan utama
Kenceng-kenceng sejak pukul 17.00 (2 Juni 2015).
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang sendiri ke VK IGD RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo
Purwokerto dengan kenceng-kenceng jarang sejak pukul 17.00 (2 Juni
2015), lendir/darah (-), pengeluaran air (-), HPHT 06/10/14, HPL 13/7/15,
usia kehamilan 34 minggu, riwayat ANC rutin di bidan, riwayat haid teratur
(6 hari), riwayat nikah 1x selama 8 bulan, riwayat KB (-), riwayat obstetri
G1POA0.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat hipertensi : disangkal
2. Riwayat asma : disangkal
3. Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat kencing manis : disangkal
5. Riwayat penyakit jantung : disangkal
6. Riwayat penyakit paru : disangkal
7. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
8. Riwayat penyakit lain : Epilepsi sejak 6 tahun yang lalu,
rutin berobat di RSMS dengan penitoin tablet, terakhir kambuh 9 bulan
yang lalu, selama hamil tidak kambuh
3
d. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat hipertensi : disangkal
2. Riwayat asma : disangkal
3. Riwayat kencing manis : disangkal
4. Riwayat penyakit jantung : disangkal
5. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
6. Riwayat penyakit kandungan : disangkal
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan umum : Compos Mentis
b. Vital sign
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 96x/menit
Respiratory Rate : 20x/menit
Suhu : 36,50C
c. Pemeriksaan kepala
Mata : Ca (-/-) Si (-/-)
Hidung : disch (-/-) nch (-/-)
Mulut : Sian (-)
d. Pemeriksaan leher
Thyroid : tak ada kelainan
e. Pemeriksaan dada
Cor : S1>S2, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Suara Dasar Vesikuler (+/+), Wheezing (-/-), Rhonki (-/-)
Dinding dada : Simetris
f. Pemeriksaan abdomen
Dinding perut : cembung gravid
Hepar/lien : tak ada kelainan
Usus : Bising Usus (+) Normal
g. Pemeriksaan punggung : tak ada kelainan
h. Pemeriksaan coxae : tak ada kelainan
4
i. Pemeriksaan genitalia eksterna : tak ada kelainan
j. Pemeriksaan ekstremitas :
Edema
k. Pemeriksaan limphonodi: tak ada kelainan
l. Pemeriksaan reflek : tak ada kelainan
m. Pemeriksaan turgor kulit: cpc < 2 detik
n. Pemeriksaan akral : hangat
2.4 PEMERIKSAAN LOKAL
a. Status lokalis abdomen
1. Inspeksi : cembung gravid
2. Auskultasi : BU (+) Normal ; DJJ 146x/menit
3. Perkusi : pekak janin
4. Palpasi :
a) TFU : 26 cm
b) L1 : bokong
c) L2 : punggung kanan
d) L3 : kepala
e) L4 : konvergen
b. Status Genitalia Eksterna
Perdarahan Per Vaginam (-)
Fluor Albus (-)
2.5 PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tabel 1. Pemeriksaan Darah dan Urin
PEMERIKSAAN DARAH HASIL NILAI NORMAL SATUAN
Darah Lengkap
Hemoglobin 10,9 12,0-16,0 g/dL
Leukosit 13680 4800-10800 U/L
Hematokrit 30 37-47 δ
Eritrosit 3,4 4,2-8,4 10^6/Ul
5
Trombosit 306.000 150.000-450.000 /uL
MCV 88,7 79,0-99,0 fL
MCH 32,3 27,0-31,0 pg
MCHC 36,5 33,0-37,0 δ
RDW 12,4 11,5-14,5 δ
MPV 8,7 7,2-11,1 fL
Hitung Jenis
Basofil 0,4 0.0-1,0 %
Eosinofil 0,9 2,0-4,0 %
Batang 1,7 2,0-5,0 %
Segmen 71,4 40,0-70,0 %
Limfosit 16,5 25,0-40,0 %
Monosit 9,1 2,0-8,0 %
PT 8,5 9,9-11,4 detik
APTT 28,7 29,0-40,2 detik
2.6 DIAGNOSA KLINIK DI VK IGD
G1P0A0 usia 21 tahun Hamil 34 minggu dengan Partus Prematorus
Imminens (PPI) dan riwayat epilepsi dalam pengobatan
2.7 TINDAKAN DAN TERAPI
a. Instruksi dr Adityono, Sp.OG (tanggal 2 Juni 2015 pukul 21.30)
1) Injeksi Dexamethason 2 x 1 Ampul (diberikan tanggal 3 Juni 2015
pukul 09.00)
2) Provenid sup
3) Dilanjut Nifedipine 3 x 10 mg (diberi tanggal 3 Juni 2015 pukul 05.00)
4) Konsul saraf jam kerja
b. Instruksi dr Yuanita, Sp.S ( tanggal 3 Juni 2015 pukul 14.30)
1) Fenitoin 2 x 100 mg
2) Bila saat inpartu kejang
Bolus diazepam 2 amp habis dalam 2 menit tunggu 5 menit
masih kejang bolus diazepam 10 mg 2 amp dalam 2 menit tunggu
5 menit masih kejang drip phenitoin 1000 mg (tanpa diencerkan)
dalam syring pump kecepatan 40 mg/mnt tunggu 5 menit
dilanjutkan 1x masih kejang rawat ICU (beri midazolam)
6
c. Instruksi residen (tanggal 4 Juni 2015 pukul 17.30)
Pasien dikirim ke radiologi untuk USG
2.8 FOLLOW UP BANGSAL FLAMBOYAN
Tabel 2. Catatan Perkembangan Pasien di Bangsal Flamboyan
Tanggal S O A P
3/6/2015
- KU/ Kes: cemas/
compos mentis
TD: 110/70
N: 80x/mnt
RR: 20x/mnt
S: 36,5 Celcius
Status Generalis
Mata: CA +/+ SI -/-
Thoraks:
P/ SD ves +/+, ST -/-
C/ S1>S2, reg, ST –
Status Lok. Abd.
I: cembung gravid
A : BU (+) Normal
Per: pekak janin
Pal: supel
TFU = 26cm
Status GE:
PPV (-)
FA (-)
Status Vegetatif : BAB
(+) BAK (-) FL (-)
G1P0A0 usia 21
tahun Hamil 34+1
minggu dengan
Partus
Prematorus
Imminens dan
riwayat epilepsi
dalam
pengobatan
USG
Injeksi
Deksametason 2x1
ampul
4/6/2015 kenceng-
kenceng
KU/Kes : baik/compos
mentis
TD: 110/70
N: 80x/mnt
RR: 20x/mnt
S: 36,5 Celcius
Status Generalis
Mata: CA +/+ SI -/-
Thoraks:
P/ SD ves +/+, ST -/-
C/ S1>S2, reg, ST –
Status Lok. Abd.
I: cembung gravid
A : BU (+) Normal
Per: pekak janin
Pal: supel
G1P0A0 usia 21
tahun Hamil 34+2
minggu dengan
Partus
Prematorus
Imminens dan
riwayat epilepsi
dalam
pengobatan
Residen:
Phenitoin tab
100mg/12 jam
Asam folat 1 tab
Inj dexamethasone
2 x 1 gr (IV)
USG
7
TFU : 26cm
Status GE:
PPV (-)
FA (-)
5/6/2015 Kenceng-
kenceng
KU: sedang
Kes: compos mentis
TD: 100/60
N: 84x/mnt
RR: 20x/mnt
S: 36,4 Celcius
Status Generalis
Mata: CA +/+ SI -/-
Thoraks:
P/ SD ves +/+, ST -/-
C/ S1>S2, reg, ST –
Status Lok. Abd.
I: cembung gravid
A : BU (+) Normal
Per: pekak janin
Pal: supel
TFU : 26cm
Status GE:
PPV (-)
FA (-)
G1P0A0 usia 21
tahun Hamil 34+3
minggu dengan
Partus
Prematorus
Imminens dan
riwayat epilepsi
dalam
pengobatan Boleh pulang jika
masalah teratasi
Fenitoin tab 2x100
Asam Folat 1x1
2.9 DIAGNOSA AKHIR
G1P0A0 usia 21 tahun Hamil 34+3 minggu dengan Partus Prematorus Imminens
(PPI) dan riwayat epilepsi dalam pengobatan
2.10 PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
8
BAB III
MASALAH DAN PEMBAHASAN
Diagnosis awal kasus saat di VK IGD adalah Gravida 1 Para 0 Abortus 0
usia 21 tahun Hamil 34 minggu dengan Partus Prematorus Imminens dan riwayat
epilepsi dalam pengobatan., datang karena merasakan kenceng-kenceng sejak
pukul 17.00 (2 Juni 2015). Beberapa hal yang perlu dibahas berkaitan dengan
diagnosis ini antara lain :
a. Riwayat obstetri G1P0A0 : Primigravida, seorang wanita yang hamil untuk
pertama kali (Cunningham et al, 2012).
b. Pasien berusia 21 tahun
Ancaman terkait kehamilan pada wanita dengan epilepsi adalah
meningkatnya frekuensi kejang dan risiko malformasi kongenital pada janin.
Meningkatnya frekuensi kejang sering berkaitan dengan kadar obat anti
konvulsan subterapetik, penurunan ambang kejang, atau keduanya. Rata-rata
7% anak dari wanita pengidap epilepsi menderita malformasi kongenital mayor
dibandingkan dengan 3% pada populasi umum. Sebagian dari gangguan kejang
bersifat herediter, dan hampir 10% anak mengalami gangguan kejang pada
tahap kehidupan selanjutnya (Cunningham et al, 2012).
c. Partus Prematorus Imminens
Partus Prematorus Imminens (PPI) merupakan suatu ancaman persalinan
dimana bayi yang lahir hidup dengan berat badan 2500 gram atau kurang dan
usia gestasi 37 minggu atau kurang (Cunningham et al, 2012).
d. Epilepsi
Epilepsi adalah suatu gangguan kronik yang ditandai dengan adanya
bangkitan epileptik berulang sebagai akibat gangguan fungsi otak secara
intermiten yang terjadi oleh lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara
paroksismal, akibat berbagai etiologi. Hal ini disebabkan oleh hiperaktivitas
listrik sekelompok sel saraf di otak yang disebabkan bukan karena penyakit otak
akut (Dyatmoko, 2014).
9
e. Follow up saat di bangsal
Keadaan umum pasien tampak cemas, tetapi tanda-tanda vital pasien dalam
batas normal. Pasien mengeluh kenceng-kenceng kembali pada tanggal 4 Juni
2015 sehingga pasien diberikan phenitoin 100mg/12 jam secara oral, asam folat
1 tablet, dan injeksi deksamethasone 2 x 1 gram secara intravena, serta
dilakukan USG untuk melakukan pemantauan terhadap janin. Hari berikutnya
(5 Juni 2015) pasien mengeluhkan kenceng-kenceng sudah mulai berkurang dan
keadaan umum mulai membaik sehingga pasien dipersiapkan untuk pulang,
tetapi harus tetap kontrol ke poli kandungan dan poli saraf.
10
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 EPILEPSI
a. Definisi
Epilepsi, didefinisikan sebagai kejang berulang tanpa alasan,
mempengaruhi 1-2% dari populasi seluruh dunia dan peringkat kedua di
seluruh dunia di antara semua gangguan neurologis (Rakhade dan Jensen,
2009). Gangguan kognitif, terutama gangguan memori, adalah komplikasi
utama epilepsi. Epilepsy juga dapat mempengaruhi fungsi sensorik,
motorik, atau fungsi otonom (Berg et al, 2010).
b. Epidemiologi
Epilepsi maternal berhubungan dengan meningkatnya resiko
malformasi janin, yang semakin meningkat jika ibu mengkonsumsi obat
antiepilepsi. Pada pasien wanita hamil dengan epilepsi sangat sulit
menduga terjadinya kejang berulang. Terjadinya suatu bangkitan sangat
berbahaya baik untuk ibu maupun fetus yang akan berdampak pada detak
jantung janin selama proses persalinan.
Frekuensi kejang selama kehamilan meningkat pada 35 %,
berkurang pada 15 %, dan tidak berubah pada 50 % wanita. Meningkatnya
frekuensi kejang sering berkaitan dengan kadar antikonvulsan yang
subterapeutik, penurunan ambang kejang atau keduanya. Kadar
subterapeutik disebabkan oleh berbagai faktor yang berkaitan dengan
adaptasi ibu terhadap kehamilan. Perubahan normal pada kehamilan ini
sedikit banyak diimbangi dengan menurunnya pengikatan protein
meningkatkan kadar obat bebas. Ambang kejang juga dapat dipengaruhi
oelh keadaan kurang tidur dan hiperventilasi selama persalinan. Wanita
dengan epilepsi berat lebih rentan terhadap peningkatan frekuensi kejang
selama kehamilan.
11
c. Faktor resiko
Gangguan stabilitas neuron – neuron otak yang dapat terjadi saat
epilepsi, dapat terjadi pada saat :
1. Pre Natal
a) Umur ibu saat hamil terlalu muda (<20 tahun) atau terlalu tua (>35
tahun)
b) Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi
c) Kehamilan primipara atau multipara
d) Pemakaian bahan toksik
2. Natal
a) Asfiksia
b) Bayi dengan berat badan lahir rendah (<2500 gram)
c) Kelahiran prematur atau postmatur
d) Partus lama
3. Post Natal
a) Kejang demam
b) Trauma kepala
c) Infeksi SSP
d) Gangguan metabolik
d. Epigenetik
Epigenetik adalah perubahan ekspresi gen pada suatu individu tanpa
perubahan sekuens atau urutan DNA (Gehring et al, 2004). Epigenetik
dipengaruhi oleh lingkungan dan memiliki peran dalam semua aspek fungsi
saraf, dari embriogenesis dan perkembangan otak awal untuk ekspresi gen
spesifik jaringan. Disregulasi epigenetik akan memiliki peran penting
dalam gangguan neuropsikiatri seperti stroke iskemik dan epilepsi (Graff
et al, 2011).
Genom manusia mempunyai lebih dari 3 miliar pasang basa DNA
yang berisi kurang lebih 24000 gen pengkode protein. Pada manusia 50%
DNA genom ditranskripsikan menjadi RNA messenger (mRNA).
Sebanyak 2% mRNA ditranslasikan menjadi protein, dan sisanya 98%
12
menjadi ncRNAs. Mayoritas transkripsi RNA pada manusia bukan coding
protein RNA, melainkan non coding RNA (ncRNAs) (98%), hal ini yang
menjadi dasar pada epigenetik.
Gambar 1. Transkripsi DNA
Epigenetik didefinisikan sebagai sebuah perubahan pada sifat gen
yang dapat diturunkan tanpa perubahan pada rangkaian DNA itu sendiri
dan termasuk metilasi DNA, modifikasi histon, reposisi nukleosom, dan
pasca transkripsi regulasi gen oleh mikro RNA (miRNAs). Saat ini
ditemukan bahwa metilasi DNA dan modifikasi histon sangat erat
kaitannya. Keseluruhan keadaan epigenetik (misalnya, metilasi DNA,
modifikasi histon, dan sifat miRNA) sesuai dengan sel fenotipe tertentu
yang sekarang disebut sebagai epigenom.
Metilasi DNA merupakan alat kunci sinyal epigenetik yang
digunakan oleh sel untuk mengunci gen dalam posisi 'off '. Metilasi DNA
sangat penting untuk perkembangan normal otak dan fungsi normal dari
organisme dewasa. Metilasi DNA memberikan tanda pengindeksan stabil
yang lebih memperluas domain kromosom yang panjang, sehingga
menimbulkan 'hafal' negara ekspresi gen yang dapat diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya sel.
13
Gambar 2. Metilasi DNA, modifikasi histon, dan transkripsi
mRNA
Metilasi DNA
Metilasi DNA mamalia dikatalisis oleh methyltransferases DNA
(DNMTs), protein kromatin memodifikasi dan memelihara pola metilasi
DNA yang unik dalam sel yang berbeda dalam konteks yang berbeda. Tiga
anggota aktif dari DNMT (DNMT1, DNMT3a, dan DNMT3b). Meskipun
DNMT1 memastikan pemeliharaan metilasi DNA, DNMT3a dan
DNMT3b penting untuk de novo DNA metilasi. Sementara itu, metilasi
DNA pada promotor gen biasanya terkait dengan transkripsi represi,
metilasi DNA pada tubuh gen biasanya terkait dengan transkripsi gen aktif.
Metilasi DNA terlibat dalam berbagai penyakit manusia, termasuk
kanker, penyakit ketidakstabilan neurobehavioral seperti sindrom Fragile
X, penyakit saraf degeneratif seperti penyakit Alzheimer, penyakit
Parkinson, dan gangguan seperti stroke iskemik dan epilepsy.
Modifikasi Histon dan transkipsi regulasi
Setiap histone memiliki domain pusat dan tidak terstruktur dari
beberapa potensi terjadinya modifikasi pasca translasi termasuk asetilasi,
metilasi, fosforilasi, ubiquitination, SUMOylation, dan ribosylation ADP.
14
Tanda-tanda ini ditambahkan atau dihapus oleh serangkaian kromatin
tertentu untuk memodifikasi enzim. Berbeda dengan modifikasi histon yang
bertindak secara berurutan atau dalam kombinasi untuk membentuk 'kode
histon' oleh protein lainyang pada gilirannya memediasi transkripsi gen
aktif atau represi.
Histon Acetyltransferase memberi gugus asetil ke lisin dan arginin
residu di protein histon inti. Asetilasi struktur kromatin memungkinkan
transkripsi untuk mengakses sinyal awal dari transkripsi. Histon
Acetyltransferase tidak hanya memodifikasi histon, tetapi juga sebagai
substrat lain seperti faktor transkripsi dan karena itu juga disebut sebagai
lisin acetyltransferases untuk mencerminkan susunan target. Meskipun
Histon acetyltransferase dapat mempengaruhi ekspresi gen global dengan
acetylating pada daerah kromatin, termasuk coding dan daerah non
promotor, mereka juga dapat bertindak dengan cara tertentu gen oleh
acetylating histon inti di promotor gen tertentu.
Asetilasi histon memiliki peran penting dalam memori dan fungsi
sinaps serta disregulasi yang terkait dengan penyakit saraf. Misalnya, mutasi
pada gen yang mengkode salah satu dari dua histon acetyltransferase
terkenal, CBP dan p300.
Kontrol histon asetilasi tergantung pada keseimbangan antara dua
set kromatin memodifikasi enzim, histon acetyltransferase dan deacetylases
histon (HDAC). The HDAC terdiri dari empat kelas (kelas I, II, III, IV),
dengan kelas I dan II yang paling dipelajari dengan ekspresi yang menonjol
di otak. HDAC menghapus kelompok asetil dari protein inti histon,
sehingga kondensasi kromatin dan menekan transkripsi. HDAC juga
menghapus gugus asetil dari protein lain seperti faktor transkripsi dan
dengan demikian mengubah fungsi selular. HDAC tidak mengikat DNA
secara langsung, melainkan berfungsi sebagai bagian dari kompleks multi
protein untuk mengenali faktor-faktor lain seperti aktivator transkripsi dan
represi, yang mengarahkan mereka untuk target gen mereka.
15
Metilasi terjadi tidak hanya pada sitosin pada DNA, tetapi juga pada
lisin dan arginin residu di histon protein. Dampak dari tanda metilasi
ditentukan secara spesifik dan dengan jumlah tanda metilasi yang diberikan
pada residu tertentu. Dampak metilasi spesifik, karena dapat
mempromosikan aktivasi gen baik atau represi gen, tergantung pada lisin
yang tepat atau arginin yang ditandai. Aktivasi ditandai dengan metilasi
lysines 4, 36, dan 79 pada histon 3 (H3K4, H3K36, H3K79) dan represi
ditandai dengan metilasi lysines 9 dan 27 pada histon 3 dan lisin 20 pada
histon 4 (H3K9, H3K27, H4K20) Tanda metilasi yang reversibel dihapus
oleh demethylases histone seperti lisin-spesifik demethylase 1 (LSD1)
daripada mengubah struktur kromatin langsung, fungsi utama metilasi
adalah untuk menarik protein yang dapat memodifikasi kromatin. Metilasi
juga penting dalam fungsi kognitif dan cacat intelektual Selain itu,
demethylases histone yang terlibat dalam penyakit seperti kanker, autisme,
keterbelakangan mental dan skizofrenia (Hwang et al., 2013).
e. Epigenetik dan epilepsi
1. Regulasi Transkripsional oleh REST pada Epilepsi
Hasil penelitian oleh Timmusk et al. terkait kejang dengan
remodeling epigenetik pada protein sinaptik menunjukkan bahwa
kejang menginduksi kainate pada tikus, dan pada model hewan dengan
SE, menginduksi ekspresi mRNA REST secara cepat (<3 jam setelah
onset kejang)pada hippocampal CA3. Sebuah studi lanjut oleh
Dingledine et al. menggunakan model hewan dengan status SE,
menunjukkan bahwa kejang menyebabkan deasetilasi inti histon
protein H4 (penanda represi gen) di lokasi RE1 dari promotr gria2
(pengkodean gen AMPAR subunit GluA2), sementara pada promotor
Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF) terjadi peningkatan
asetilasi H4 (tanda kromatin terbika dan transkripsi gen aktif).
Meskipun ekspresi GluA2 menurun, menyebabkan peningkatan pada
GluA2-lacking, Ca2+-permeable AMPARs pada sinaps CA3 dan
kematian neuronal diCA3, ekspresi BDNF meningkat. Perubahan
16
ekspresi protein ini berkontribusi pada patofisiologi kejang berulang.
HDAC menghambat TSA pada tikus sebelum induksi kejang dicegah
dan dibalikan secara cepat dengan terjadinya peningkatan deasetilasi
histon pada promotor gria2 dan downregulation of GluA2. Penemuan
ini menghubungkan remodeling epigenetic dengan kejang diinduksi
silencing GluA2 dan secara tidaklangsung kejang diinduksikematian
neuronal.karena gria2 adalah targer REST, temuan ini juga
berimplikasi pada remodeling epigenetic tergantung REST pada
GluA2 dalam respon kejang (Gambar 3) (Hwang et al., 2013).
Gambar 3. Gambaran remodeling epigenetic bergantung
REST pada promotor gria2 dalam respon kejang. REST berikatan
dengan elemen RE1 dalam promotor gen target gria2 dan merekrut
mSin3A dan CoREST, HDACs-1/2, G9a dan MeCP2. REST-
corepressor complex mempromosikan remodeling epigenetik pada
core histone proteins di promotor gria2. Pada gilirannya,
merepresikan ekspresi GluA2, yang mengarah ke pembentukan
GluA2-lacking, Ca2+-permeable AMPARs (Hwang et al., 2013).
Target REST lain yang terlibat dalam epilepsy adalah
hiperpolarisasi diaktifkan cyclic adenosine monophosphate-gated
channel type 1 (HCN1). Pada otak normal, HCN 1 memediasi l(h) saat
ini dan menjaga rangsangan intrinsic dendrit sel pyramidal pada
17
korteks enthorinal dan hippocampus. Dengan demikian, HCN1
menunjukkan peningkatan rangsangan dendritic dan kerentanan
terhadap kejang pada model epilepsy lobus temporal. Penelitian baru
menunjukkan bahwa kejang mempromosikan peningkatan ekspresi
REST, pengayaan REST di promotr HCN1, dimetilasi lisin 9 pada core
histone protein H3 (H3K9), sebuah penanda epigenetic represi gen,
dan silencing gen HCN1. Dengan demikian, remodeling epigenetic
bergantung REST merepresi ekspresi HCN1 dan l(h) saat ini,
menyebabkan peningkatan rangsangan dendritic dan aktivitas
epileptiform. Gangguan REST mengikat promotor HCN1 dengan cara
oligodeoxynucleotides dicegah oleh represi HCN1 dan dikembalikan
kemampuannya untuk mempertahankan tingkatnormal rangsangan
dendritic. Secara kolektif, penelitian tersebut menunjukkan bahwa
REST sebagai penyebab yang berkaitan dengan represi HCN1,
penurunan rangsang dendritik, dan peningkatan aktivitas epileptiform
pada lapisan korteks III neuron pyramidal (Gambar 3) (Hwang et al.,
2013).
2. Metilasi DNA pada Epilepsi
Penelitian terbaru memberikan bukti bahwa penyimpangan metilasi
DNA berperan pada patofisiologi epilepsy. Pada otak manusia dewasa
protein matriks selular Reelin penting bagi plastisitas sinaptik normal,
morfologi dendritic, dan fungsi kognitif. Pada perkembangan otak,
Reelin membantu mempertahankan struktur laminar sel granul di
dentate gyrus (DG). Specimen otak manusia terdiagnosis epilepsy
lobus temporal sering menunjukkan penyebaran sel granula, sebuat ciri
anatomi epilepsy, dan defisiensi ekspresi Reelin (Hwang et al., 2013).
Studi terbaru mengungkapkan bahwa hipermetilasi di promotor
Reelin, menunjukkan bahwa penyimpangan metilasi DNA berkaitan
dengan rendahnya tingkat Reelin pada DG dan berhubungan dengan
patofisiologi epilepsy pada manusia. Studi terbaru lain berupa studi
genomewide berisi metilasi DNA pada sampel jaringan dari CA3
18
sebagai control, toleransi epilepsy dan SE pada tikus. Tolerasi epilepsy
merupakan sebuah bentuk evolusi pengembangan platisitas otak
dimana periode singkat kejang “epileptic preconditioning” terjadi
toleransi sementara untuk terjadi kejang berikutnya. Sebanyak 321 gen
menunjukan metilasi DNA berubah pada hewan yang mengalami SE
atau epileptic preconditioning. Dari jumlah tersebut 293 gen
menunjukkan penurunan metilasi DNA (hipometilasi). Hanya 15 gen
yang terkait dengan fungsi nuclear seperti pengikatan DNA dan
regulasi transkripsional yang menjadihipermetilasi. Hal terpenting
yaitu pada studi tersebut mengungkapkan bahwa adanya peningkatan
regulasi gen baru, yang sebelumnya tidak terkait dengan epilepsy,
seperti kelompok protein polycomb. Protein polycomb bertindak
melalui mekanisme epigenetik untuk mendiamkan mediator yang
potensial dalam kematian neuronal yang memungkinkan neuron
dewasa bertahan dari kerusakan (Hwang et al., 2013).
3. Modifikasi Histon dan Regulasi Transkripsional pada Epilepsi
Penyimpangan modifikasi histon dan perubahan ekspreksi gen
merupakan ciri khas dari hewan dengan SE dan manusia dengan
epilepsy lobus temporal. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa SE
pada tikus mempromosikan hiperasetilasi dari H4 dan fosforilasi H3
(tanda transkripsi aktif) pada c-fos, c-jun, dan promotor CBP dan
meningkatkan c-fos, c0jun, dan ekspresi CBP. C-fos dan c-jun adalah
gen awal yang diaktifkan secara cepat dan sementara dalam
menanggapi rangsan selular dan mempromosikan pertumbuhan sel,
pembelahan, dan kelangsungan hidup neuron. CBP adalah Histone
acetyltransferase (HAT) koaktivator penting dari transkripsi
prosurvival faktor CREB. Pra terapi tikus dengan curcumin, komponen
aktif dari kunyit dengan antioksidan, antiinflamasi, dan
neuroprotektiv, dan sebuah penghambat HAT, modifikasihiston
dilemahkan, ekspresi gen awal c-fos dan c-jun, dan keparahan SE. Data
ini menunjukkan bahwa modifikasi histon seperti asetilasi dan
19
fosfolirasi memiliki peran penting dalam regulasi gen yang terlibat
dalam kelangsungan hidup neuronal (Hwang et al., 2013).
Studi lain menunjukkan bahwa HDAC2 terlibat dalam
perkembangan otak, yang diregulasi pada manusia dengan epilepsy
lobus temporal dan pada model hewan dengan SE. hal ini penting bagi
HDAC2 yang merupakan regulator negative dari fungsi kognitif.
Dengan demikian, HDAC2 merepresi gen yang terkait dengan
plastisitas sinaps dan pembentukan memori (erg1, creb1, bdnf, NMDA
receptor subunits, grin1, grin2a, grin2b, dan c-fos). Temuan ini
melibatkan peningkatan regulasi dari HDAC2 pada gangguan kognitif
yang berhubungan dengan epilepsy lobus temporal (Hwang et al.,
2013).
Metilasi residu lisin dalam N-terminal histone tail diatur secara
dinamis dengan tindakan yang berlawanan dari methyltransferase
seperti G9a dan histone demethylase seperti LSD 1 danKDM5C
(SMCX). KDM5C menghilangkan tanda di dan trimetil dari lisin 4 H3
dan merepresi transkripsi gen. Mutasi pada histone demethylase
KDM5C terkait dengan keterbelakangan mental dan epilepsi. Efek
KDM5C pada remodeling epigenetik dan penonaktifan gen dengan
menyusun transkripsional represor REST dan korepresornya
(CoREST, HDAC1 dan -2, dan G9a). KDMC5 mempromosikan
represi bergantung REST darisubset gen target seperti BDNF fan
sodium channel tipe 2A (SCN2A). Gen-gen ini menyebabkan
peningkatan aktivitas mereka yang terlibat dalam patofisiologi
epilepsy. Menonaktifkan mutasi pada KDM5C merusak penonaktifan
REST dependent dari gen neuronal seperti BDNF dan SCN2A,
sehingga mengintensifkan kejang dan berkontribusi terhadap
keterbelakangan mental (Hwang et al., 2013).
f. Peran microRNAs pada Epilepsi
Kemampuan SE untuk mengubah profil ekspresi pada hippocampus
CA3 yang selektif dievaluasi dengan analisis microRNA, pendekatan
20
epigenome-wide digunakan untuk mendeteksi perubahan pada ekspresi
microRNA. Pada penelitian tersebut, miR-123 yang terlihat diregulasi di
CA3 hippocampal setelah SE. miR-24, miR-29a, miR-99a, mir-134 dan
miR-357 meningkat, microRNA diatur dalam respon kejang (Hwang et al.,
2013).
Perubahan ekspresi microRNAs diindetifikasi dalam array analysis
(miR-132, miR-let-7, miR-23a/b, miR-34a, miR-22, miR-125a, miR-21)
telah divalidasi. miR-123 terbukti meningkat di CA3 pada hewan dengan
SE. Peran fungsional miR-132 sebagai anti inflamasi telah diidentifikasi.
Sejak inflamasi dan pembukaan sawar darah otak yang terlibat dalam
epileptogenesis, diperkirakan bahwa peningkatan miR-132 berperan pada
epileptogenesis. Selain itu, miR-146, pada proses peradangan lain yang
berhubungan dengan microRNA, meningkat pada astrosit reaktif. Micro-
RNAs tidak hanya terlibat dalam pengaturan di saraf, tetapi juga pada
astroglia (Hwang et al., 2013).
Studi pada model hewan epilepsi menunjukkan bahwa microRNA
tertentu dapat berfungi sebagai biomarker potensial untuk terjadinya
gangguan neurologis ini. Profil ekspresi microRNA pada hippocampus dan
darah hewan 24 jam setelah mengalami SE yang diinduksi asam kainic
menunjukkan bahwa pada microRNA tertentu berubah setidaknya dua kali
lipat dalam merespon kerusakan neuronal. Setelah epilepsi terdapat empat
microRNA yang menurunkan regulasi pada darah dan otak, yaitu miR-29c,
miR-34b-3p, miR-98, miR-122. Data ini mendukung kemungkinan bahwa
microRNA berguna sebagai biomarker dalam darah yang berkorelasi
dengan tingkat perlukaan hippocampus (Hwang et al., 2013; Roopra et al.,
2012).
g. Peran REST pada Epilepsi
Kejang yang berkepanjangan pada status epilepticus (SE) di manusia
dan hewan pengerat memicu serangkaian proses molecular dan selular yang
akhirnya memuncak menjadi kejang spontan, yaitu epilepsy. Peristiwa ini
meliputi degenerasi neuronal selektif, reaksi inflamasi yang melibatkan
21
reaktif mikroglia dan astroglia, pertumbuhan aksonal selektif dengan
pembentukan sinaps baru, neurogenesis, dan perubahan efikasi sinaptik di
hippocampus. Luasnya konsekuensi fenotipik pada SE meningkatkan
kemungkinan satu atau lebih regulator ekspresi gen dapat berperan banyak
dari konsekuensi ini (Roopra et al., 2012).
Gambar 4. Tranksripsi
Gambar 5. Peran REST dalam Modifikasi Histon
Seperti dijelaskan pada gambar 5, REST adalah sebuah reseptor
transkripsi yang merekrut histone deacetylase, demethylase, dan
methyltransferase yang menyebabkan remodeling epigenetik pada susunan
kromatin sekitar gen target REST. Modifikasi terjadi pada H3K4 dan H3K9
(Gambar 4) (Roopra et al., 2012).
22
REST sangat kuat diinduksi dalam piramidal hippocampal dan neuron
granula dentate setelah SE disebabkan oleh kainate atau pilokarpin. Lebih
dari 1.300 gen atau sekitar 5% dari protein encoding genome telah
dikonfirmasi sebagai target REST, termasuk gen yang diketahui terlibat
dalam eksitabilitas neuronal, membuat REST menjadi faktor transkripsi
yang bagus untuk memediasi kejang yang disebabkan perubahan luas
dalam ekspreksi gen (Roopra et al., 2012).
Repressor element 1-silencing transcription factor (REST) merupakan
sebuah reseptor transkripsional yang berfungsi membatasi transkripsi dari
gen target. REST berikatan dengan elemen 17-33 bp yang disebut RE1
(Repressor Element-1) site atau juga disebut NRSE (Neuron Restrictive
Silencing Element) melalui pengikatan DNA. Setelah mengikat RE1 site,
REST mengambil sejumlah corepressor complexes yang tidak dapat
berikatan dengan DNA secara langsung dan tidak memiliki urutan
spesifitas. Corepressor complexes terdiri dari sejumlah protein dan enzim
yang mengkatalisis modifikasi posttranslasional dari histon serta mobilisasi
seluruh nukleosom. REST memiliki tiga domain represi yang memediasi
pengambilan corepressor, yaitu N-terminal domain (NTD), C-terminal
domain (CTD), dan DNA binding domain (DBD), yang juga berfungsi
sebagai represi domain (Gambar 5) (Roopra et al., 2012).
Kerjasama antara beberapa enzim modifikasi histon yang direkrut oleh
REST menunjukkan bahwa efek utama pada transkripsi dapat bergantung
pada sel. Sebagai contoh, meskipun REST dikenal sebagai represor
transkripsi, dalam beberapa kasus ada bukti kredibel bahwa REST4,
mungkin bertindak sebagai penggerak ekspresi gen. Hal demikian muncul
dari REST protein complexes bekerja sama untuk menentukan sel yang
spesifik dan aktivitas yang bergantung profil ekspresi gen, pada gilirannya,
mendorong beragam proses biologis. REST merekrut setidaknya tiga kelas
enzim pengubah epigenetik (Gbr. 4), beberapa di antaranya mungkin
memiliki efek mempromosikan dan yang lainnya menentang
epileptogenesis. Saat ini, efek REST dimediasi perubahan dalam ekspresi
23
gen mempromosikan atau menentang epileptogenesis masih kontroversial
(Roopra et al., 2012).
Beberapa ion channel genes yang keduanya diatur secara epigenetic
dan ditekan setelah kejang termasuk Gria2, yang mengkode GluA2, dan
HCN1. HCN1 (hyperpolarization-activated cyclic nucleotide-regulated
cation channel) berfungsi untuk meredam rangsangan pada neuron
kortikal. HCN1 down-regulation menyebabkan beberapa kejang yang
berkontribusi pada perkembangan penyakit. McClelland et al (2011)
menunjukkan bahwa REST mengikat unsur Re1 di promotor HCN1 di
hippocampus dan pemberian intraventrikular dari oligodeoxynucleotides
ditargetkan untuk HCN1-Re1 keduanya dapat mengganggu ikatan REST
ke promotor HCN1 dan mencegah down-regulasi protein HCN1 (Roopra
et al., 2012).
Peran ekspresi REST pada neuronal di epilepsi menunjukkan bahwa
REST dapat berfungsi untuk menentang epileptogenesis. Sebuah peran
potensial REST dalam terapi diet ketogenik untuk epilepsi telah dilaporkan.
Garriga-Canut et al. (2006) beralasan bahwa, karena diet ketogenik adalah
diet tinggi lemak dan karbohidrat rendah, penghambatan glikolitik
disebabkan 2-deoxyglucose (2-DG) mungkin meniru efek antikonvulsan
diet. Mereka menguji hipotesis ini dan menemukan bahwa pemberian
secara sistemik dari 2-DG dapat menghambat perkembangan intensitas
kejang. Selain itu, mereka menemukan bahwa pengobatan 2-DG
menyebabkan penurunan ekspresi brain-derived neurotrophic factor
(BDNF) dan tirosin reseptor kinase B (TrkB). Hasil ini sesuai dengan
pengamatan bahwa knockout dari TrkB atau BDNF menunjukkan
penurunan atau tidak terjadinya epileptogenesis pada epilepsy lobus
temporal. Penurunan BDNF dan TrkB didampingi deasetilasi dan metilasi
lisin 9 pada H3 terkait dengan unsur BDNF Re1 yang merupakan tempat
pengikatan untuk REST. Transcriptional corepressor CtBP (Gbr. 5), yang
diatur oleh NADH, ditunjukkan untuk memediasi pembentukan lingkungan
kromatin represif di pengobatan 2-DG pada hewan. Setelah penelitian ini,
24
efek antiepilepsi dari 2-DG, menunjukkan bahwa ekspresi REST di neuron
glutamatergic pada otak depan diperlukan untuk efek antiepilepsi 2-DG.
Yang menarik, efek antiepilepsi dari diet ketogenik sendiri, menunjuk
manfaat dari diet tinggi lemak yang tidak bergantung pada penghambatan
glikolitik (Roopra et al., 2012).
h. Hubungan Kejang dengan Neurogenesis dan Peran REST
Selain segudang perubahan seluler yang memicu terjadinya SE,
aktivitas kejang secara cepat dan potent meningkatkan produksi neuron
baru, baik pada zona hippocampal subgranular (SGZ) dan ventrikel lateral
zona subventricular (SVZ). Dalam beberapa hari pertama setelah SE ada
kematian sel di daerah hilus dan lapisan molekul hippocampus. Ini diikuti
dengan proliferasi kuat transit-amplifying progenitors (type 2 cells) dan
peningkatan aktivitas proliferasi doublecortin-positive cells dalam SGZ di
1 minggu setelah SE. Antara 7 dan 21 hari setelah SE, kejang disebabkan
penyimpangan neurogenesis, seperti mossy fiber sprouting, dendrit basal
hilar, dan sel-sel granula ektopik, yang dapat berkontribusi terhadap
kejadian kejang berulang spontan. Karena neuron granul dewasa yang
dihasilkan penting untuk memori dan kontrol suasana hati, ada
kemungkinan bahwa kejang yang disebabkan neurogenesis berkontribusi
menyebabkan defisit kognitif dalam pembelajaran dan memori yang
berhubungan dengan SE (Roopra et al., 2012).
Sejauh mana neuron diubah jika berada dalam lingkungan patologis
dan berkontribusi pada pengembangan epilepsi belum diketahui.
Pengetahuan ini diperlukan untuk mengevaluasi kesesuaian strategi
penggantian sel setelah apakah neuron baru berkontribusi pada pemulihan
fungsional di otak terluka. Untuk memahami peran kejang diinduksi neuron
pada epileptogenesis, sangat penting untuk memahami kaskade regulasi
pengendalian neural stem cells (NSCs) (Roopra et al., 2012).
Transkrip REST diinduksi cepat dalam hippocampus setelah kejang.
Selain perannya dalam neuron dewasa, REST juga memainkan peran kunci
dalam kompartemen sel induk atau progenitor. Dalam perkembangannya,
25
mekanisme ganda pengaturan REST, pada tingkat mRNA dan protein,
penting dalam hal transisi antara embryonic stem (ES) cells dan neural
progenitors. Gen REST ditranskripsikan aktif dalam ES dan sel-sel saraf
progenitor. Namun, ketika sel-sel ES keluar dari siklus sel dan
berdiferensiasi menjadi neuron dewasa, REST ditekan oleh unliganded
retinoic acid receptor (RAR). REST juga terdegradasi pascatranslasi ketika
ES sel transisi menjadi sel progenitor saraf. Selama neurogenesis kortikal,
pelepasan REST dan kompleks corepressor dari kromatin neuron
berhubungan dengan diferensiasi progenitor menjadi neuron kortikal, dan
Re1 yang mengandung gen target menjadi aktif, sesuai dengan REST
menjadi represor transkripsional (Roopra et al., 2012).
Sebuah penelitian menunjukkan peran penting REST pada
neurogenesis hippocampal dewasa (Gao et al., 2011). Penghapusan
bersyarat REST dalam nestin-expressing stem cells (type 1 cells) dan
keturunan mereka mengakibatkan peningkatan sementara neurogenesis
hippocampal dewasa, diikuti oleh deplesi perkembangan tipe 1 sel dari
waktu ke waktu. REST dan ko-represor CoREST dan mSin3A diambil
untuk mengendalikan ekspresi gen neuronal tahap tertentu seperti Ascl1
dan NeuroD1, yang menahan program neurogenik. Hasil ini menunjukkan
bahwa REST tidak hanya penting dalam mencegah diferensiasi neuron
dewasa sebelum waktunya, tetapi juga diperlukan untuk menjaga populasi
NSCs dewasa, yang memiliki implikasi potensial dalam perbaikan otak
setelah cedera atau selama penuaan (Roopra et al., 2012).
Salah satu pertanyaan kunci adalah peran REST dalam kejang
diinduksi neurogenesis, seperti dalam neurogenesis basal. Selain itu, apa
yang membedakan kejang yang disebabkan neurogenesis dari neurogenesis
fisiologis? Untuk menguji ini, sebelumnya dilaporkan bahwa asam valproik
antiepilepsi (VPA) memblokir kejang yang disebabkan penyimpangan
neurogenesis, yang tampaknya dimediasi dengan menghambat histone
deacetylases (HDAC) dan REST mengatur ekspresi gen secara normal
dalam gyrus dentata epilepsi. Selain itu, pengobatan VPA melindungi tikus
26
epilepsi dari penurunan kognitif bergantung hippocampus setelah kejang
diinduksi asam kainic (Roopra et al., 2012).
i. MeCP2 dan CREB Kontrol BDNF
Aktivitas neuron (melalui influks Ca2+) memicu transkripsi dan
perubahan epigenetik, yang merupakan aspek penting dalam
pengembangan dan fungsi sistem saraf. Meskipun, aktivitas neuron yang
disebabkan oleh kejang juga menyebabkan ekspresi cepat kegiatan
diinduksi gen, seperti BDNF. BDNF adalah suatu neurotropin yang
berperan dalam perkembangan sinap, plastisitas sinap dan fungsi kognitif.
Pada masa perkembangan otak, BDNF memiliki peran meregulasi cell
survival dan proses apoptosis. BDNF berperan pada fungsi fisiologis SSP
dan perkembangan maturasi korteks dan plastisitas sinaps (Widyanto & TJ,
2013). BDNF mensekresi protein yang mengikat reseptor TrkB dan P75.
Ekspresi BDNF mRNA spasial dan temporal dikendalikan oleh aktivitas
neuron. Salah satu regulator BDNF adalah represor transkripsi metil-CpG
berikatan dengan protein 2 (MECP2) yang, ketika bermutasi, menyebabkan
sindrom Rett, gangguan neurologis autisme spektrum utama (Roopra et al.,
2012).
Regulasi dinamis MECP2 oleh influx Ca2+ memainkan peran
penting dalam mengatur program khusus dari kegiatan yang bergantung
pada transkripsi gen yang penting untuk fungsi sistem saraf. Kejang yang
disebabkan oleh asam kainic atau metrazole adalah mediator ampuh dari
fosforilasi selektif MECP2 dalam otak. Gangguan program gen diatur oleh
aktivitas neuron mungkin mendasari patologi sindrom Rett dan epilepsi
(Roopra et al., 2012).
Membran depolarisasi neuron menyebabkan produksi migrasi
lambat, bentuk terfosforilasi dari MECP2, mengurangi ikatan ke
methylated DNA dan berkorelasi dengan induksi transkripsi dari kegiatan
yang diatur gen. Dalam sebuah penelitian, aktivitas neuron dilaporkan
menginduksi fosforilasi MECP2 di S421, yang diduga mengendalikan
kegiatan yang bergantung ekspresi gen dan pematangan saraf spinal. Selain
27
fosforilasi pada S421 (dan S424), aktivitas neuron dipicu defosforilasi di
S80 dari MECP2 pada otak normal dan epilepsy (Roopra et al., 2012).
Li et al. (2011) mengungkapkan bahwa hilangnya aktivitas yang
diinduksi fosforilasi MECP2 meningkatkan rangsang synaptogenesis,
potensiasi hippocampal jangka panjang, dan memori spasial. Pentingnya
fosforilasi MECP2 sebagai saklar molekuler untuk mengatur transkripsi
gen BDNF dan aktivitas gen lainnya (Roopra et al., 2012).
Selain MECP2, beberapa regulator lainnya Ca2+ tergantung regulasi
promotor BDNF IV telah diidentifikasi, termasuk studi klasik yang
menggambarkan cAMP response element binding protein (CREB)
berikatan dengan cAMP/ Ca2+ response element (CRE). Mutasi salah satu
CREB-response elements CaRE3/CRE (CREm) di endogen BDNF
promotor IV mengakibatkan aktivitas neuronal yang bergantung pada
komponen transkripsi BDNF di korteks terganggu. CREm knock
mengakibatkan pengurangan jumlah penghambatan sinaps dari neuron
kortikal in vitro dan in vivo. Secara keseluruhan, Pentingnya kegiatan
neuronal sebagai media mekanisme epigenetic dalam mengatur
perkembangan penghambatan, yang mungkin penting untuk keseimbangan
rangsangan dan hambatan untuk fisiologi dan fungsi otak normal (Roopra
et al., 2012).
j. Penatalaksanaan
1. Penyuluhan Prekonsepsi
Wanita epilepsi yang hamil harus diberitahu tentang resiko hamil
yang berhubungan dengan penggunaan obat anti epilepsy dan serangan
epileptik dapat membahayakan kandungan dan diri sendiri. Namun
demikian, mereka harus mengetahui bahwa resiko dapat diperkecil
dengan tindakan pencegahan. Terapi yang dianjurkan ialah
penggunaan monoterapi dengan dosis serendah mungkin pada tahap
pertama kehamilan. Dosis dapat dinaikkan pada trisemester ketiga
kehamilan. Pada tahap lanjut dapat diberikan juga vitamin K
(20mg/hari) untuk mencegah perdarahan neonatal
28
2. Perawatan Prenatal
Tujuan utama penatalaksanaan kehamilan adalah menjaga agar
wanita yang bersangkutan bebas dari kejang. Pemeriksaan ultrasound
pada pertengahan kehamilan dapat mendeteksi anomali janin.
Pemeriksaan ini diindikasikan jika terjadi gangguan pertumbuhan
janin, kejang yang kurang terkendali, atau kondisi ibu dengan penyakit
penyerta.
3. Perawatan Pasca Partum
Pemberian bersama kontrasepsi oral dan antikonvulsan seperti
fenobarbital, primidon, fenitoin, dan karbamazepin dapat
menyebabkan perdarahan diantaranya masa menstruasi dan kegagalan
kontrasepsi karena obat antikejang menginduksi system enzim
mikrosom hati P450 yang dapat meningkatkan metabolism estrogen.
4. Penggunaan Obat Anti Epilepsi Pada Kehamilan
Pemilihan obat antiepilepsi untuk wanita hamil dengan epilepsi
membutuhkan penilaian keseimbangan antara risiko teratogenitas
dengan pengontrolan kejang. Selama kehamilan, risiko utama pada ibu
dan anak adalah oleh tidak terkontrolnya kejang di satu sisi, dan
peningkatan risiko malformasi kongenital yang berhubungan dengan
obat antiepilepsi di sisi lain. Kebanyakan kehamilan pada wanita
dengan epilepsi memiliki luaran yang baik, dan tidak seharusnya tidak
didukung untuk hamil.
Pedoman terbaru American Academy of Neurology dan American
Epilepsy Society menyebutkan bahwa wanita dengan epilepsi relatif
aman untuk hamil, tetapi harus waspada dan hati-hati, termasuk
menghindari obat epilepsi tertentu yang dapat menyebabkan cacat
kongenital. Untuk kebanyakan wanita hamil dengan epilepsi,
penghentian OAE tidak beralasan atau bukan pilihan aman karena
kejang atau kejadian yang terkait dengan serangan dapat menyebabkan
ibu dan janin terpajan perlukaan fisik. Jika memungkinkan, obat
antiepilepsi pada wanita usia subur diganti dengan yang kurang
29
teratogenik. Asam valproat, meskipun efektif, merupakan obat
antiepilepsi yang tercatat paling berhubungan dengan risiko
malformasi pada pajanan in utero. Mengganti asam valproat dengan
obat antiepilepsi lain seharusnya dilakukan sebelum kehamilan untuk
memastikan bahwa terapi yang baru dapat mencegah serangan secara
adekuat. Mengganti obat antiepilepsi selama kehamilan menimbulkan
risiko alergi, reaksi efek samping serius lain, dan pajanan terhadap
politerapi. Mengganti asam valproat dalam beberapa minggu umur
kehamilan tidak akan menghindari risiko malformasi karena
malformasi berkembang sangat awal pada kehamilan.
Terdapat bukti cukup kuat bahwa valproat berhubungan dengan
peningkatan risiko malformasi fetal dan mengurangi kemampuan
berpikir anak-anak, baik digunakan sendiri maupun bersama obat lain.
Karena itu, jika masih dapat diganti dengan karbamazepin (Level A).
Pajanan karbamazepin mungkin kurang menyebabkan gangguan
kognitif maupun malformasi pada keturunan wanita dengan epilepsy.
Alternatif untuk pasien dengan epilepsy umum lebih terbatas karena
valproat lebih efektif dibanding lamotrigin atau topiramat. Lamotrigin
sulit digunakan pada kehamilan karena perubahan farmakokinetik dan
risiko kambuh. Keamanan topiramat, levetirasetam, dan obat
antiepilepsi generasi baru lain belum cukup dinilai sehingga belum
digunakan selama kehamilan. Valproat dosis rendah masih merupakan
pilihan jika kejang tidak dapat dikontrol dengan obat lain. Dosis di
bawah 800 mg per hari mungkin tidak berhubungan dengan risiko fetal
yang lebih besar dibandingkan dengan risiko yang berhubungan
dengan penggunaan obat antiepilepsi lain (Indrawati, 2012).
30
4.2 PARTUS PREMATORUS IMMINENS (PPI)
a. Definisi
Partus prematorus merupakan proses dimulainya kontraksi uterus
yang disertai dengan perdarahan dan dilatasi serviks serta turunnya kepala
bayi pada wanita hamil yang lama kehamilannya kurang dari 37 minggu
(Oxorn, 2003).
b. Epidemiologi
Persalinan prematur berpotensi meningkatkan kematian perinatal
sekitar 65-67%, umumnya berkaitan dengan berat badan lahir rendah.
Indonesia memiliki angka kejadian partus prematorus sekitar 19% dan
merupakan penyebab utama kematyian perinatal (Manuaba, 2007).
c. Etiologi
Beberapa penyebab partus prematorus adalah diantaranya
(Cunningham, et al., 2012):
1. Komplikasi medis dan obstetri
Kelahiran preterm diindikasikan disebabkan oleh preeklamsia,
gawat janin, pertumbuhan janin terhambat, ablasio plasenta, kematian
janin, persalinan preterm spontan dengan atau tanpa pecah ketuban.
2. Faktor gaya hidup
Perilaku seperti merokok, gizi buruk dan pnambahan berat badan
yang kurang baik selama kehamilan, serta penggunaan obat seperti
kokain atau alkohol mempunyai peranan penting pada kejadian
persalinan prematur. Ditemukan pula mengenai hubungan langsung
antara stress psikologis pada minggu gestasi ke 30 dan pelahiran
sebelum usia gestasi 37 minggu.
3. Faktor genetik
Persalinan prematur merupakan suatu kondisi yang terjadi secara
familial.
4. Infeksi cairan amnion dan korioamnion
31
Infeksi korioamnion yang disebabkan oleh berbagai
mikroorganisme telah muncul kemungkinan yang menjelaskan
berbagai kasus pecah ketuban
d. Diagnosis
Kriteria untuk mengetahui persalinan preterm pada usia gestasi
antara 20 dan 37 minggu adalah kontraksi yang terjadi dengan frekuensi
empat kali dalam 20 menit atau delapan kali dalam 60 menit plus perubahan
progresif pada serviks. Kedua adalah dilatasi serviks lebih dari 1 cm dan
yang ketiga adalah pendataran serviks sebesar 80 persen atau lebih
(Cunningham, et al., 2012)
e. Epigenetik dan PPI
Partus prematurus iminens (<37 minggu kehamilan) dikaitkan
dengan meningkatnya risiko kematian dan morbiditas dari lahir sampai
dewasa. Pola epigenetik yang berlangsung selama perkembangan fetus
dapat mempengaruhi ekspresi gen seumur hidup dan meningkatkan tingkat
kerentanan terhadap penyakit kronis. Konsekuensi dari kelahiran prematur
mempengaruhi seluruh pertumbuhan. Misalnya, anak yang lahir prematur
memiliki tingkat yang lebih tinggi kecacatan perkembangan saraf dan
peningkatan risiko masalah perilaku seperti Attention Deficit Hyperactivity
Disorder (Parets et al, 2014).
Kelahiran prematur juga meningkatkan risiko untuk
mengembangkan penyakit kronis seperti hipertensi, diabetes tipe 2,
penyakit jantung, obesitas dan gangguan kejiwaan. Secara kolektif, hal ini
mendukung hipotesis perkembangan kesehatan dan penyakit, yang secara
konseptual menghubungkan lingkungan postnatal prenatal dan
perkembangan awal untuk penyakit kronis (Parets et al, 2014). Selain itu,
lingkungan mempunyai pengaruh yang relevan terhadap terjadinya partus
prematurus, seperti nutrisi, perubahan temperatur, dan toksin (Crulckshank
et al, 2013).
Terdapat beberapa hipotesis mengenai mekanisme yang
menyebabkaan terjadinya PPI. Masa kehamilan rentan dengan keadaan
32
strees, selama hipotalamus pituitary adrenal (HPA) axis mengalami
perubahan secara luas. Corticotropin-releasing hormon (CRH) merupakan
pengatur utama pengeluaran adrenokortikotropik hormon (ACTH).
Sehingga ACTH menstimulasi pengeluaran glukokortikoid dari korteks
adrenal. Glukokortikoid mengirimn feedback negative ke HPA aksis dan
menginhibisi kadar hipotalamic dan pituitari (Parets et al, 2014).
Selama masa kehamilan, produksi glukokortikoid menstimulasi
pengeluaran CRH plasenta. CRH plasenta kemudian akan menstimulasi
HPA aksis maternal, sehingga meningkatkan kortisol total dan bebas
selama kehamilan. Selain itu HPA aksis juga mengatur aliran darah
placenta dan mempengaruhi proses kelahiran. CRH menstimulasi
pengeluaran ACTH baik yang berasal dari pituitary fetal dan plasenta
dimana dapat menyebabkan pengeluaran kortisol dari glandula adrenal
fetal. Aktivasi yang progresif ddari HP aaksis fetal merupakan hal yaang
penting untuk maturisasi dari organ-organ seperti paru (Parets et al, 2014).
Sistem neuroendokrin berperan penting dalam ketepatan waktu
partus. Oleh karena itu, regulasi yang tidak tepat dalam sistem
neuroendokrin dapat menyebabkan terjadinya PPI. Stress fisik dan
psikologi dapat mengaktifkan HPA aksis maternal dan fetal, dimana dapat
menyebabkan meningkatnya produksi CRH plasenta, hormon penting yang
berfungsi untuk maturasi fetal (Parets et al, 2014).
Kebanyakan penelitian tentang kelahiran prematur yang meneliti
metilasi DNA menggunakan darah karena aksesibilitasnya. Sebagai
contoh, sebuah studi menggunakan darah meneliti hubungan antara
metilasi DNA dari gen tercetak dan kedua kelahiran prematur dan status
infeksi. Evaluasi menyeluruh di Afrika dan Amerika oleh Parets dan
rekannya mengidentifikasi ribuan situs CpG seluruh genom yang
berhubungan dengan PTB dengan gen terkait. Penelitian yang dilakukan
oleh Parets dkk juga mengidentifikasi banyak situs CpG yang berkaitan
dengan PTB dan dengan usia kehamilan kelahiran. Replikasi
mengidentifikasikan perbedaan yang paling kuat dan penting yang dapat
33
ditargetkan untuk terapi. Sedangkan sebuah studi yang dilakukan oleh
Burris dan koleganya menguji metilasi LINE-1 dan menemukan bahwa
ternyata lebih termetilasi di dalam darah ibu pada awal kehamilan (Burris
et al, 2012). Mereka juga melaporkan bahwa LINE-1 yang lebih rendah
tingkat metilasi pada awal kehamilan dikaitkan dengan peningkatan risiko
PPI (Parets et al, 2014).
Analisis serum proteomik, yang terdiri dari pemisahan kromatografi
diikuti oleh massa spektrometri untuk mengidentifikasi peptida dan massa
protein, dapat memberikan inventarisasi luas peptida dan atau protein hadir
pada waktu tertentu. Penggunaan analisis proteomik untuk
mengidentifikasi karakteristik molekuler fenotip wanita yang mengalami
partus prematur iminens atau infeksi telah dicoba di sekresi cairan dan
serviks ketuban (Esplin, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Esplin dkk (2011), perbedaan proteomik terdapat di serum ibu beberapa
minggu sebelum timbulnya gejala klinis pada wanita sebelum terjadinya
PPI (Esplin, 2011)..
f. Pencegahan
Upaya menghindari persalinan ketika terjadi pecah ketuban preterm
adalah (Cunningham, et al., 2012):
1. Penatalaksanaan menunggu
2. Pemberian kortikosteroid dengan atau tanpa agen tokolitik untuk
menghentikan persalinan preterm supaya kortikosteroid mempunyai
cukup waktu untuk menginduksi pematangan janin
g. Penatalaksanaan
Pada kehamilan dengan penyulit ketuban pecah preterm ditangani
sebagai berikut (Cunningham, et al., 2012):
1. Pada wanita dengan kemungkinan pecah ketuban dilakukan
pemeriksaan dengan spekulum steril untuk menemukan cairan yang
berasal dari serviks atau yang mengenang di vagina. Cairan
menunjukkan pecah ketuban dan biasanya diikuti dengan pemeriksaan
ultrasonografi untuk mengidentifikasi oligiohidramnion
34
2. Jika usia gestasi kurang dari 34 minggu dan tidak ada indikasi ibu dan
janin untuk melakukan persalinan, maka ibu diawasi ketat.
Pemantauan denyut jantung janin kontinyu utnuk mencari bukti
kompresi tali pusat
3. Observasi ketat tanda-tanda persalinan, infeksi, atau bahaya pada janin
4. Jika usia gestasi di atas 34 minggu lengkap dan bila persalinan belum
mulai setelah pemeriksaan secukupnya, persalinan diinduksi dengan
oksitosin intravena bila tidak ada kontraindikasi. Jika induksi gagal,
dilakukan seksio sesarea.
5. Deksametason, 5 mg intramuskular setiap 12 jam untuk 4 dosis,
diberikan untuk pematangan paru janin
6. Bila didiagnosis persalinan telah berlangsung, diberikan ampisilin 2
gram intravena setiap 6 jam sebelum persalinan untuk mencegah
infeksi streptokokus grup B pada neonatus
4.3 HUBUNGAN EPILEPSI DENGAN PARTUS PREMATORUS
IMMINENS (PPI)
Obat Anti Epilepsi (OAE) adalah terapi yang digunakan untuk pengobatan
epilepsi dan terapi berkelanjutan selama kehamilan yang penting untuk
sebagian besar wanita dengan epilepsi. OAE menembus plasenta melalui ibu
menuju fetus dan telah didokumentasikan bahwa akan terpapar pada dosis yang
berbeda untuk memicu risiko teratogenik, yang bergantung pada agen, dosis,
waktu pemaparan dan pengaruh genetik antara ibu dan fetus (Bromley, et al.,
2014). Berdasarkan penelitian kohort Bech et al (2014) dikatakan bahwa tidak
ada hubungan secara keseluruhan antara penggunaan OAE selama kehamilan
dengan kejadian abortus spontan dan stillbirth.
Klaim yang paling dipercaya adalah pengobatan menggunakan lamotrigin
dan telah direncanakan untuk mengalihkan pengobatan wanita usia subur
daripada carbamazepin, fenitoin atau natrium valproat. Tetapi pada dosis
lamotrigin lebih dari 200 mg per hari berhubungan dengan tingkat malformasi
kongenital yang signifikan pada bayi. International Lamotrigine Pregnancy
35
Registry memaparkan bahwa terjadi malformasi kongenital bayi pada
penggunaan kombinasi lamotrigin dengan valproat (12,5%), penggunaan
tunggal lamotrigin (2,9%) dan lamotrigin dikombinasikan dengan OAE lainnya
(6,6%). Mayoritas ibu dengan epilepsi melakukan pengobatan OAE tunggal.
Pada 239 wanita dengan epilepsi yang tidak diobati selama kehamilan,
didapatkan malformasi kelainan kongenital bayi mereka (3,5%) yang tidak jauh
berbeda dengan janin yang terpapar OAE monoterapi (3,7%). Risiko yang lebih
besar pada malformasi kelainan kongenital didapatkan pada pemberian
polfarmasi dan efek teratogenik natrium valproat telah dikonfirmasi.
Malformasi kelainan kongenital pada wanita yang mengonsumsi valproat lebih
dari 1000 mg per hari adalah dua kali lipat lebih besar daripada pada pasien
dengan dosis yang lebih rendah (Brodie, 2015).
36
BAB V
KESIMPULAN
1. Pada pasien ini didapatkan diagnosis akhir adalah G1P0A0 usia 21 tahun
Hamil 34+3 minggu dengan Partus Prematorus Imminens (PPI) dan riwayat
epilepsi dalam pengobatan.
2. Modifikasi epigenetik menghasilkan penyimpangan ekspresi gen melalui
metilasi DNA, modifikasi histon, dan regulasi gen pasca transkripsi oleh
mikro RNA (miRNAs).
3. REST menjadi faktor transkripsi untuk memediasi kejang yang disebabkan
perubahan luas dalam ekspreksi gen.
4. Salah satu regulator BDNF adalah represor transkripsi metil-CpG berikatan
dengan protein 2 (MECP2) yang, ketika bermutasi, menyebabkan sindrom
Rett dan gangguan neurologis.
5. Gangguan program gen diatur oleh aktivitas neuron mungkin mendasari
patologi sindrom Rett dan epilepsi.
6. Valproat dosis rendah masih merupakan pilihan obat anti epilepsi pada
kehamilan jika kejang tidak dapat dikontrol dengan obat lain.
7. Dosis valproat di bawah 800 mg per hari mungkin tidak berhubungan
dengan risiko fetal yang lebih besar dibandingkan dengan risiko yang
berhubungan dengan penggunaan obat antiepilepsi lain.
8. Mekanisme yang menyebabkaan terjadinya PPI yaitu adanya perubahan
pada hipotalamus pituitary adrenal (HPA) axis.
37
DAFTAR PUSTAKA
Bech, B.H., Kjaersgaard, M.I., Pedersen, H.S., Howards, PP., Sorensen, M.J., et al.
2014. Use of antiepileptic drugs during pregnancy and risk of spontaneous
abortion and stillbirt: population based cohort study. Denmark: Aarhus
University Hospital.
Berg AT, Berkovic SF, Brodie MJ, Buchhalter J, Cross JH, van Emde BW et al.
2010. Revised terminology and concepts for organization of seizures and
epilepsies: report of the ILAE commission on classification and
terminology, 2005–2009. Epilepsia, 51: 676–685.
Brodie, M.J. 2015. Major congenital malformations and antiepileptic drugs:
prospective observations. JNNP.
Bromley, R., Weston, J., Adab, N., Greenhalgh, J., Sanniti, A., et al. 2014.
Treatment for epilepsy in pregnancy: neurodevelopmental outcomes in the
child (review). The Cochrane Collaboration: John Wiley & Sons.
Burris, H.H.; Rifas-Shiman, S.L.; Baccarelli, A.; Tarantini, L.; Boeke, C.E.;
Kleinman, K.;Litonjua, A.A.; Rich-Edwards, J.W.; Gillman, M.W.
Associations of LINE-1 DNA methylation with preterm birth in a
prospective cohort study. J. Dev. Orig. Health Dis. 2012, 3, 173–181.
Cruickshank M.N., Oshlack A., Theda C., Davis P.G., Martino D., et al. 2013.
Analysis of Epigenetic Changes in Survivors of Preterm Birth Reveals The
Effect of Gestational Age and Evidence For A Long Term Legacy. Genome
Medicine 2013, 5:96. Australia: Murdoch Childrens Research Institute.
Cunningham F.G., Gant, N.F., Leveno, K.J., Gilstrap, L.C., Hauth, J.C., et al. 2012.
Obstetri Williams. Cetakan 23, EGC, Jakarta. pp.774-797.
Dyatmoko, B.S. 2014. Kuliah Epilepsi (Ayan). Purwokerto: UNSOED.
Esplin M.S., Merrel K., Goldenberg R., Lai Y., Iams J.D., et al. 2011. Proteomic
Identification of Serum Peptides Predicting Subsequent Spontaneous
Preterm Birth. Am J Obstet Gynecol 2011;204:391.e1-8. USA: National
Institute of Child Health and Human Development Maternal-Fetal Medicine
38
Gao Z, Ure K, Ding P, Nashaat M, Yuan L, Ma J, Hammer RE, Hsieh J. 2011. The
master negative regulator REST/NRSF controls adult neurogenesis by
restraining the neurogenic program in quiescent stem cells. J Neurosci,
31:9772–9786.
Garriga-Canut M, Schoenike B, Qazi R, Bergendahl K, Daley TJ, Pfender RM,
Morrison JF, Ockuly J, Stafstrom C, Sutula T, Roopra A. 2006. 2-Deoxy-
D-glucose reduces epilepsy progression by NRSFCtBP-dependent
metabolic regulation of chromatin structure. Nat Neurosci, 9:1382–1387.
Graff J, Rei D, Guan JS, Wang WY, Seo J, Hennig KM et al. 2012. An epigenetic
blockade of cognitive functions in the neurodegenerating brain. Nature.
483: 222–226.
Hwang, J.-Y., Aromolaran, K.A. & Zukin, R.S. 2013. Epigenetic Mechanisms in
Stroke and Epilepsy. Neuropsychopharmacology, (38), pp.167-82.
Indrawati, Lili. 2012. Penggunaan Obat Anti Epilepsi Pada Kehamilan. CDK Vol.
39 No. 12: 346-348
Li H, Zhong X, Chau KF, Williams EC, Chang Q. (2011) Loss of activity-induced
phosphorylation of MeCP2 enhances synaptogenesis, LTP and spatial
memory. Nat Neurosci, 14:1001–1008.
Manuaba, I.B.G., I.A. Chandranita Manuaba, dan I.B.G. Fajar Manuaba. 2007.
Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
McClelland S, Flynn C, Dube C, Richichi C, Zha Q, Ghestem A, Esclapez M,
Bernard C, Baram TZ. 2011. Neuron-restrictive silencer factor-mediated
hyperpolarization-activated cyclic nucleotide gated channelopathy in
experimental temporal lobe epilepsy. Ann Neurol, 70:454–464.
Oxorn, Harry. L990. 2003. Ilmu Kebidanan. Fisiologi dan Patologi Persalinan.
Yayasan Essentia Medica: Jakarta.
Parets S.E., Bedient C.E., Menon R., Smith A.K. 2014. Preterm Birth and Its Long-
Term Effects: Methylation to Mechanisms. Biology 2014, 3, 498-513.
Rakhade SN, Jensen FE. 2009. Epileptogenesis in the immature brain: emerging
mechanisms. Nat Rev Neurol, 5: 380–391.
39
Roopra, A., Dingledine, R. & Hsieh, J. 2012. Epigenetics and epilepsy. Epilepsia,
pp.2-10.
Widyanto, Tony & Hermanto, TJ. 2013. Perbandingan Kadar Brain Derived
Neurotrophic Factors (BDNF) Serum Darah Tali Pusat Bayi Baru Lahir
antara Ibu Hamil yang Mendapat DHA dengan Kombinasi DHA dan 11-14
Karya Mozart Selama Hamil. Majalah Obstetri & Ginekologi. Vol. 21 No.3
: 109-114