loneliness -...

26
2 Memiliki relasi adalah hal yang penting bagi setiap manusia. Adanya relasi, menurut „need to belong theory‟ (Baumeister & Leary, 1995), merupakan sebuah kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan hal negatif, seperti depresi, kecemasan dan rasa kesendirian (loneliness). Namun sebaliknya, ketika kebutuhan untuk berelasi ini terpenuhi, maka orang akan menjadi bahagia. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan Newcomb & Bagwell (1996) bahwa anak yang tidak memiliki teman akan memiliki kompetensi sosial dan penyesuaian diri yang rendah serta terlihat lebih agresif dibandingkan anak-anak yang memiliki teman. French, Jansen, Riansari, & Setiono (2003) juga menemukan bahwa anak-anak yang tidak memiliki teman untuk selalu bersama (mutual friends) berperilaku yang lebih agresif, lebih senang untuk menyendiri, dan memiliki prestasi akademik yang rendah. Hal ini terlihat pada salah satu kasus di lapangan saat penulis menjalani Praktik Kerja Profesi. Klien hampir tidak pernah diajak berbicara oleh teman sekelasnya., bahkan dihindari oleh teman sekelasnya. Hal ini membuat remaja ini merasa kesepian, cemas, selalu memandang dirinya buruk (low self-esteem) dan sering merasa sedih. Ia selalu menganggap dirinya bodoh dan teman-temannya lebih cepat menangkap pelajaran dibandingkan dirinya. Relasi merupakan hubungan interdependensi dengan orang lain sehingga kesulitan yang dialami akan menjadi lingkaran atau timbal balik. Dengan minimnya teman yang dimiliki, ia tidak memiliki lahan untuk belajar dan mengembangkan keterampilan sosial dalam mengelola interdependen dengan temannya. Ia menjadi tidak tahu bagaimana mengelola perbedaan ekspetasi dan bagaimana menyesuaikan diri

Upload: vudung

Post on 15-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

2

Memiliki relasi adalah hal yang penting bagi setiap manusia. Adanya

relasi, menurut „need to belong theory‟ (Baumeister & Leary, 1995), merupakan

sebuah kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan hal

negatif, seperti depresi, kecemasan dan rasa kesendirian (loneliness). Namun

sebaliknya, ketika kebutuhan untuk berelasi ini terpenuhi, maka orang akan

menjadi bahagia. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan

Newcomb & Bagwell (1996) bahwa anak yang tidak memiliki teman akan

memiliki kompetensi sosial dan penyesuaian diri yang rendah serta terlihat lebih

agresif dibandingkan anak-anak yang memiliki teman. French, Jansen, Riansari,

& Setiono (2003) juga menemukan bahwa anak-anak yang tidak memiliki teman

untuk selalu bersama (mutual friends) berperilaku yang lebih agresif, lebih senang

untuk menyendiri, dan memiliki prestasi akademik yang rendah.

Hal ini terlihat pada salah satu kasus di lapangan saat penulis menjalani

Praktik Kerja Profesi. Klien hampir tidak pernah diajak berbicara oleh teman

sekelasnya., bahkan dihindari oleh teman sekelasnya. Hal ini membuat remaja ini

merasa kesepian, cemas, selalu memandang dirinya buruk (low self-esteem) dan

sering merasa sedih. Ia selalu menganggap dirinya bodoh dan teman-temannya

lebih cepat menangkap pelajaran dibandingkan dirinya. Relasi merupakan

hubungan interdependensi dengan orang lain sehingga kesulitan yang dialami

akan menjadi lingkaran atau timbal balik. Dengan minimnya teman yang dimiliki,

ia tidak memiliki lahan untuk belajar dan mengembangkan keterampilan sosial

dalam mengelola interdependen dengan temannya. Ia menjadi tidak tahu

bagaimana mengelola perbedaan ekspetasi dan bagaimana menyesuaikan diri

Page 2: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

3

dengan berbagai ekspektasi yang berbeda dalam sebuah pertemanan (Collins &

Madsen, 2006). Dengan proses yang ia alami, ketika terdapat konflik, ia hanya

menghindar sehingga tidak ada teman yang mau berteman dengan dirinya karena

merasa ia tidak mau untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan teman-temannya.

Keberadaan teman dianggap penting, baik untuk perkembangan

kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam

kasus kelompok yang dilakukan oleh penulis saat melakukan konseling kelompok

dalam Praktik Kerja Profesi di SMA, diketahui bahwa para siswa juga

memasukkan pertimbangan teman termasuk dalam pertimbangan yang cukup

berpengaruh dalam memilih jurusan pendidikan tingkat tinggi. Pertimbangan

teman muncul setelah adanya pertimbangan orang tua dan saudara. Teman juga

dianggap sebagai sumber informasi maupun pendukung saat seseorang memilih

sebuah jurusan. Di samping itu, keberadaan teman juga terkadang menjadi

pengaruh yang negatif, seperti mengajak teman yang lain agar tidak mengerjakan

tugas atau bersama-sama dalam mencontek tugas sekolah saat guru tidak masuk

kelas, maupun sama-sama ke kantin saat guru tidak masuk ke kelas.

Relasi merupakan hubungan saling mempengaruhi terhadap orang lain,

sehingga perubahan terhadap satu orang akan mempengaruhi yang lain, atau

sebaliknya (Kelley, dalam Perlman & Vangelisti, 2006). Dalam definisi ini

dijelaskan bahwa sebuah relasi memiliki ketergantungan (interdependency).

Interdependensi ini dapat berupa afeksi, kognisi dan perilaku (aksi) yang

memberikan pengaruh pada teman. Namun, bentuk relasi pertemanan menjadi

berbeda dengan relasi lainnya, karena karakteristik lain seperti (a) posisi yang

Page 3: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

4

sederajat (b) adanya kenyamanan satu sama lain (c) rasa percaya (d) saling

memberikan dukungan (e) saling menerima (f) saling menghormati (g)

kebersamaan (h) saling memahami dan (i) saling menunjukkan keintiman atau

saling berbagi (David dan Todd, 1985). Selain itu, bentuk relasi pertemanan

merupakan sebuah relasi yang sukarela (voluntary) terjalin, tidak termasuk relasi

yang given. Para siswa memiliki pilihan untuk memilih yang akan menjadi teman

mereka, sehingga variasi interaksi yang terjadi akan beragam (VanLear, Koerner,

& Allen, 2006).

Karakteristik relasi pertemanan dapat dijelaskan dengan cara melihat

norma komunal dan norma exchange. Dalam penjelasan Clark & Mills (2011),

close relationship (relasi dekat) didominasi oleh norma komunal dan norma

exchange tidak cocok diterapkan pada close relationship. Pada norma komunal,

setiap manfaat yang diberikan oleh orang lain memiliki motif untuk meningkatkan

kesejahteraan temannya. Orang yang memberikan manfaat (donor) tidak memiliki

ekspektasi bahwa orang yang menerima manfaat (recipient) akan membalas atau

mengembalikan manfaat atau berlaku yang sama terhadapnya. Terdapat harapan

apabila donor membutuhkan sesuatu, recipient akan membantu donor walaupun

dalam bentuk yang berbeda. Namun, dalam norma exchange, recipient memiliki

kewajiban untuk mengembalikan manfaat yang diberikan oleh donor. Dalam

penelitian Miller, et al.(2014) mengenai relasi pertemanan pada populasi India

dan Amerika, diketahui bahwa tidak semua close relationship menggunakan

communal norm. Populasi India memiliki relasi pertemanan yang lebih kental

dengan communal norm dibanding relasi pertemanan pada populasi Amerika.

Page 4: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

5

Namun, relasi pertemanan pada populasi Amerika lebih cocok dengan exchange

norm.

French, Pidada, & Victor (2005) melakukan penelitian untuk

membandingkan beberapa aspek pertemanan di Indonesia dan Amerika. Mereka

membandingkan empat dimensi pertemanan seperti friendship closeness,

enhancement of worth, instrumental aid, dan extensivity dan exclusivity. Keempat

aspek ini dilihat dengan menggunakan kuesioner Modified-Friendship Quality

Questionnaire. Dari penelitian tersebut, remaja Indonesia memiliki kedekatan

dalam pertemanan yang lebih rendah, tidak terlalu fokus pada peningkatan rasa

berharga, lebih fokus pada dukungan instrumental dan lebih ekstensif

dibandingkan remaja Amerika. Untuk menjelaskan gambaran relasi pertemanan

menjadi lebih jelas, French, Bae, Pidada, & Lee (2006) melanjutkan penelitian

tersebut dengan hipotesis bahwa negara Indonesia dan Korea Selatan merupakan

negara kolektivisme. Namun dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa yang

konsisten dengan hipotesis Triandis mengenai budaya kolektivisme adalah negara

Korea Selatan, sedangkan negara Indonesia tidak sesuai dengan budaya

kolektivisme yang dibahas Triandis. Remaja Indonesia menunjukkan intimasi

yang terbatas pada teman dekatnya dan memiliki karakter ekstensif dalam kontak

sosial, dibandingkan remaja di Korea Selatan. Adanya perbandingan-

perbandingan aspek antar berbagai budaya, dapat menjelaskan pola interaksi

sosial, namun hanya sebagian/parsial. Pemaknaan yang dibangun dari aspek-aspek

tersebut bisa jadi tidak menyeluruh dan tidak menggambarkan apa yang terjadi

pada interaksi sosial pertemanan remaja di Indonesia.

Page 5: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

6

Konteks pertemanan menjadi sangat penting dalam perkembangan remaja.

Menurut John Hill (dalam Steinberg, 2011) terdapat tiga komponen besar yang

terjadi pada masa remaja dan komponen tersebut saling mempengaruhi

perkembangan remaja. Tiga komponen tersebut adalah perubahan fundamental

remaja (meliputi transisi biologis, transisi kognitif, transisi sosial), konteks remaja

( meliputi keluarga, teman sebaya, sekolah, dan pekerjaan, waktu luang serta

media sosial ) dan psikososial remaja (meliputi identitas, autonomi, keintiman,

seksualitas, achievement, dan permasalahan psikososial). Transisi biologis,

kognitif, dan sosial akan selalu terjadi pada setiap remaja namun tidak selalu

menghasilkan perkembangan psikososial yang sama, terdapat variasi pada setiap

remaja. Perbedaan atau variasi perkembangan psikososial remaja ini dipengaruhi

oleh konteks remaja tersebut berkembang. Apakah selama masa remaja, mereka

memiliki teman dekat? Sampai titik manakah hubungan pertemanan yang

diperoleh? Penelitian ini ingin melihat konteks relasi pertemanan remaja sebagai

sebuah konteks tempat remaja berkembang dalam memenuhi perkembangan

psikososial.

Dengan adanya kerangka berfikir yang disampaikan oleh John Hill (dalam

Steinberg, 2011) penelitian ini melihat relasi pertemanan sebagai sebuah konteks

untuk mencapai perkembangan psikososial. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa

konteks pertemanan menjadi sebuah fasilitas perkembangan psikososial di saat

konteks kehidupan yang lain tidak mampu mendukung perkembangan psikososial

remaja.

Page 6: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

7

1. Transisi Biologis

2. Transisi Kognitif

3. Transisi Sosial

Gambar 1. Kerangka berfikir perkembangan remaja (Hill, dalam Steinberg, 2011)

Ketika melihat relasi pertemanan siswa SMA, tidak terlepas dari usia

mereka yang menginjak masa remaja. Larson & Richard (1991) mengatakan

bahwa para remaja memang tinggal di rumah orang tuanya, namun sedikit

menghabiskan waktu bersama dengan orang tua. Sebagian peneliti mengatakan

bahwa sedikitnya waktu bersama merupakan meningkatnya autonomi

(kemandirian) remaja, namun menurut Steinberg dan Silverberg (1986) perilaku

ini dikarenakan adanya perpindahan ketergantungan dari orang tua ke teman

sebaya mereka.

Pada setiap jenjang tahapan perkembangan, terdapat aspek tertentu yang

berkembang dalam relasi pertemanan. Pada masa remaja, aspek seperti keintiman,

mutuality, dan keterbukaan menjadi lebih terlihat dibandingkan masa-masa

sebelumnya (Furman & Buhrmester, 1992). Keintiman memiliki kaitan yang erat

dengan kepuasan dalam pertemanan saat awal dan pertengahan masa remaja

Konteks Remaja

(Lingkungan)

1. Keluarga

2. Kelompok Teman

Sebaya (Peer

Groups)

3. Sekolah

4. Pekerjaan, Waktu

Luang, dan Media

Sosial

1. Identitas

2. Autonomi

3. Intimacy

4. Sexuality

5. Achievement

6. Psychososial

Problems

Perubahan Fundamental

pada Remaja

Perkembangan Psikososial

Remaja

Page 7: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

8

(Hartup, 1996). Selain itu, aspek sosial-kognitif pada masa remaja sudah sangat

terlihat dalam relasi pertemanan. Contohnya, remaja lebih mampu untuk melihat

perilaku dan emosi temannya sebagai sebuah kesatuan dari aspek historis,

biologis, dan sosial, bukan sekedar persoalan individu dan temannya. Sehingga,

ketika seorang remaja memiliki konflik dengan temannya, maka akan

membutuhkan waktu berhari-hari untuk meredakan amarah. Hal ini berbeda, saat

anak kecil bermain dan berantem dengan temannya, sesaat setelah proses meminta

maaf, mereka akan dapat bermain dengan senang kembali.

Relasi pertemanan di sekolah memiliki dua fokus besar, yaitu pemenuhan

kompetensi sosial dan fungsi akademis. Wetnzel & Looney (2007) melihat bahwa

relasi pertemanan dapat mempromosikan perilaku positif dan motivasi terhadap

akademis. Dalam mensosialisasikan hal tersebut Wetnzel dan Looney (2007)

melihat bahwa relasi sosial dapat mempengaruhi perkembangan kompetensi

melalui tiga cara, yaitu (1) interaksi sosial tersebut mengajarkan siswa mengenai

hal yang dibutuhkan untuk menjadi anggota masyarakat yang diterima dan

kompeten dalam dunia sosial, (2). Hubungan yang terbangun adalah hubungan

yang mendukung untuk memotivasi siswa dalam beradaptasi dan

menginternalisasi tujuan (goals) sebagai standar mereka, (3). Orang dewasa

memberikan intruksi secara langsung dan pelatihan pada keterampilan tertentu.

Namun, dalam konteks relasi pertemanan hal ini bisa terpenuhi melalui proses

pengaruh terhadap standar dan ekspektasi terhadap bidang akademis. Siswa akan

cenderung berusaha untuk menyamakan ekspektasi atau standar-standar yang

dimiliki teman. Saat pertemanan yang memiliki norma injuctive lebih kuat, maka

Page 8: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

9

kelompok teman sebaya akan berusaha untuk meningkatkan perihal akademis

(Hamm, Schmid, Farmer, & Locke, 2011). Dukungan afeksi dari teman akan

membantu proses adaptasi pencapaian target dan standar akademis. Di sekolah,

guru memegang peranan penting dalam fungsi pedagogis, namun saat siswa

beranjak remaja dukungan instrumental yang diberikan teman sebaya, lebih besar

dari dukungan yang diberikan oleh guru (Lempers & Clark-Lempers, 1992).

Selain itu, dengan adanya teman, siswa akan merasa aman dan nyaman ketika

bersekolah, dan hal ini memiliki dampak yang signifikan pada konsep diri

akademik dan fungsi emosional siswa (Buhs, 2005).

Kaitan antara interaksi sosial dan fungsi akademis, dibahas oleh Wentzel

(2009) dengan melihat dua bentuk interaksi sosial dalam proses belajar.

Penjelasan mengenai interaksti positif dengan teman sebaya dan fungsi intelektual

dijelaskan dari teori Piaget. Piaget melihat bahwa diskusi dengan teman sebaya,

belajar dari sudut pandang orang lain, dan resolusi konflik dengan teman sebaya

dapat memotivasi siswa untuk mengakomodasi pendekatan baru dalam

penyelesaian masalah. Dalam konsep Piaget terdapat proses akomodasi dan

asimilasi. Kedua proses ini berguna untuk mencapai equilibrium. Disequlibrium

akan terjadi apabila pengetahuan yang sebelumnya tidak mampu dicerna oleh

individu karena tidak sesuai dengan pengetahuan sebelumnya. Untuk menjadikan

seorang individu mampu memasukkan pengetahuan yang baru, maka pengetahuan

yang disediakan oleh lingkungan harus berupa pengetahuan yang diketahui

individu dan pengetahuan yang tidak diketahui individu. Proses seperti ini akan

membuat seorang individu belajar dan kondisi disequilbrium yang ada dalam

Page 9: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

10

individu akan berubah menjadi equilibrium. Dalam kondisi yang nyata,

equlibrium diperoleh dengan adanya interaksi antara individu dengan

lingkungannya (fisik maupun sosial). Selain Piaget, Vygostky juga melihat

adanya peran teman sebaya dalam penguasaan akademis. Dalam konsep ini,

interaksi sosial sebagai penyangga (scaffolder) menyediakan makna bagi individu

untuk mencapai Zone of Proximal Development (ZPD).

Relasi pertemanan menjadi sebuah support system bagi remaja, disebut

juga sebagai Relationship Provision (Sullivan dalam Bukowski, Motzoi, &

Meyer, 2009). Relationship Provision mengacu pada pengalaman, kesempatan

dan kemampuan dalam relasi. Sebagai contoh, companionship (persahabatan),

keintiman dan konflik selalu muncul dalam pertemanan dan memberikan manfaat

yang langsung, dan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi sosial.

Namun, pada relasi masa kanak-kanak, relasi pertemanan yang dicari merupakan

relasi yang memberikan dukungan tertentu, seperti kelekatan (afeksi, keamaan,

dan kedekatan yang intim), kepercayaan, yang mampu meningkatkan rasa

berharga, persahabatan, bimbingan dan dukungan dengan pola pengasuhan. Di

samping itu, ada yang mengatakan bahwa Relation Provision dibedakan

berdasarkan situasi yang terjadi, yaitu situasi yang membuat stres dan situasi yang

tidak membuat stres (Vaux dalam Wills & Shinar,2000) . Saat situasi stres, relasi

yan diharapkan adalah untuk memberikan bantuan secara langsung (direct

assistence), bimbingan / arahan (guidance), membantu seseorang untuk

meregulasi emosi. Sedangkan saat situasi biasa, relasi diharapkan berperan untuk

memenuhi keintiman, persahabatan, pemenuhan kebutuhan sense of belonging,

Page 10: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

11

percakapan yang mampu membangun harga diri, kesempatan untuk role-play,

serta mendukung kemauan/cita-cita/ambisi individu.

Demikian pentingnya memiliki dan mempertahankan relasi, sehingga

Havighurst memasukkannya dalam salah satu tugas perkembangan remaja.

Havighurst (dalam Nurmi, 2004) menjelaskan bahwa setiap umur memiliki tugas

perkembangannya sendiri. Ketika tugas perkembangan ini mampu dipenuhi, maka

akan memunculkan kebahagiaan dan mendorong kesuksesan pada tugas

perkembangan selanjutnya, namun ketika gagal maka akan mengakibatkan rasa

tidak bahagia, terkucil dari masyarakat dan mengalami kesulitan untuk memenuhi

tugas perkembangan selanjutnya. Tugas perkembangan remaja meliputi mencapai

kematangan relasi pertemanan dan memiliki identitas diri, menyiapkan

pernikahan dan kehidupan berkeluarga, memiliki kemandirian dari orang tua, dan

menyiapkan karir termasuk merencanakan pendidikan.

Relasi pertemanan pada usia remaja merupakan pembahasan yang sangat

kompleks, namun dapat dijadikan beberapa pembahasan besar, yaitu (1)

Karakteristik individu, (2) Karakteristik teman, (3) Karakteristik relasi, (4)

Dinamika relasi.

Karakteristik individu yang mempengaruhi interaksi dalam relasi

pertemanan meliputi karakteristik demografi seperti gender, etnis, latar belakang

ekonomi dan sosial, termasuk keterampilan sosial yang terlihat dalam perilaku

seperti agresi dan sifat malu. Penemuan yang menarik mengenai karakteristik

adalah bahwa tingginya agresi pada seseorang menjadikan seseorang sangat

populer atau sangat tidak populer di antara teman-temannya, dibandingkan dengan

Page 11: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

12

masa sekolah dasar, teman yang memiliki sifat agresif berkaitan dengan

penolakan dari teman-temannya. Penelitian Liu & Chen (2003) menunjukkan

bahwa remaja yang memiliki sifat agresif pada awalnya akan ditolak oleh teman-

temannya, namun kemudian mereka akan mencari teman yang memiliki kesamaan

sifat agresif seperti mereka. Di negara China, prestasi akademik merupakan hal

yang sudah mengakar di budaya mereka sehingga sangat sulit untuk mencari

teman apabila mereka memiliki pretasi akademik yang rendah atau mengalami

kegagalan dalam hal akademik. Mereka akan sulit untuk masuk ke dalam

kelompok teman sebaya dengan prestasi akademik yang baik .

Karakteristik individu yang juga sering mendapat perhatian adalah

perbedaan jenis kelamin dan umur pada setiap penelitian relasi pertemanan. Salah

satunya adalah Jones & Costin (1995) melihat perbedaan dari jenis kelamin dan

berbagai aspek relasi lebih konsisten dibandingkan perbedaan umur. Perempuan

memiliki sifat yang lebih ekpresif dalam menjalankan relasi pertemanan dan lebih

dekat pada orientasi komunal. Selain itu, remaja perempuan lebih rendah pada

aitem instrumentality (dimana ada pertukaran sesuatu yang nyata) dan orientasi

pertukaran.

Karakteristik individu yang meliputi grade atau peringkat seseorang dalam

kelas menjadi salah satu contoh konkrit karakteristik individu yang termasuk

dalam konteks pendidikan. Siswa yang termasuk dalam kategori high-achiever

akan memiliki teman sebaya yang terkategori pada high-achiever juga. Siswa

dengan high-achiever tidak merasa kehilangan waktu bersama dengan teman-

temannya karena teman sebayanya tidak akan bermain atau pun jalan-jalan di

Page 12: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

13

waktu hari aktif belajar. Dengan aktivitas mereka yang cenderung sama, konflik

mengenai waktu senanggang akan minimal untuk terjadi (Witkow, 2009).

Karakteristik teman dalam relasi juga seringkali menjadi pembahasan

berbagai peneliti. Karakteristik yang dimaksud adalah usia teman, hingga sikap

dan perilaku teman. Brendgen, Vitaro, dan Bukowski (2000a) mendapatkan

informasi bahwa tingkat perilaku menyimpang seorang teman berkaitan dengan

perilaku externalizing dan internalizing pada masa remaja awal. Berndt & Keefe

(1995) melakukan penelitian dengan memberikan kuesioner untuk mengetahui

keterlibatan dan perilaku mengganggu anak di dalam kelas, kemudian mereka

menyebutkan 3 nama teman dekat mereka dan menceritakan mengenai

keterlibatan serta perilaku mengganggu temannya di dalam kelas. Selain itu,

responden juga mengisi 20 aitem kuesioner mengenai pertemanan mereka, 12

aitem melihat gambaran positif dari pertemanan (intimate self-disclosure, pro-

social behavior, dan self-esteem support) dan bentuk negatif (conflict dan rivalry).

Guru juga dilibatkan dalam penelitian ini untuk memberikan rating kepada setiap

anak untuk mengetahui keterlibatannya dan perilaku mengganggu di dalam kelas.

Penelitian ini menemukan bahwa perilaku mengganggu pada remaja di dalam

kelas dipengaruhi oleh teman dekat mereka. Ketika dilihat dari gender pun, anak

perempuan (yang dapat dipengaruhi oleh teman laki-laki untuk ikut mengganggu

kelas) melakukan perbuatan mengganggu di dalam kelas karena dipengaruhi oleh

teman dekatnya. Cillessen, Jiang, West, & Laszkowski (2005) melihat bahwa

pengaruh perilaku mengganggu akan lebih mudah „menular‟ ke temannya saat

kualitas pertemanan mereka baik.

Page 13: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

14

Penelitian banyak juga yang membahas mengenai karakteristik relasi.

Beberapa peneliti telah memiliki poin-poin karakteristik yang bisa didefinisikan,

atau digambarkan dan menggambarkan kualitasnya (Berndt, 1996 ; Hartup, 1993).

Sehingga karakteristik menjadi patokan atau standar seberapa sehat dan baik relasi

pertemanan yang dimiliki seseorang. Salah satunya penelitian Dishion, Andrews,

& Crosby (1995) yang melihat bentuk pertemanan dengan perilaku menyimpang

para remaja. Ternyata, remaja dengan perilaku yang menyimpang memiliki

bentuk pertemanan yang positif, namun memang terdapat beberapa hal yang

negatif dibandingkan pertemanan pada remaja yang tidak berperilaku

menyimpang (Dishion, Andrews, & Crosby, 1995). Adanya reciprocity (sifat

timbal-balik) pada pertemanan dapat memperburuk keadaan, ketika timbal balik

dalam pertemanan menjadi tinggi, norma negatif semakin mudah masuk, seperti

perilaku membohong dan tidak taat kepada peraturan (Ciairano, Rabaglietti,

Roggero, Bonino, & Beyers, 2007).

Karakteristik relasi pertemanan sangat bervariasi dan berdampak pada

kualitas pertemanan. Berikut ini, merupakan beberapa penelitian yang dilakukan

untuk melihat aspek yang terlihat dalam relasi pertemanan. Penelitian Cillessen,

Jiang, West, & Laszkowski (2005) menggunakan lima dimensi untuk menentukan

kualitas pertemanan yaitu melihat frekuensi konflik, kedekatan, persahabatan,

saling membantu, dan rasa aman yang dilihat dari self-report dan laporan dari

teman sebaya mengenai agresi, perilaku prososial. Dari penelitian ini ditemukan

bahwa karakter teman yang agresif memiliki bentuk pertemanan yang banyak

konflik dan rendah pada aspek positif pertemanan (kedekatan, persahabatan,

Page 14: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

15

saling membantu, dan memunculkan rasa aman). Sedangkan teman yang memiliki

perilaku prososial memiliki sedikit konflik dalam pertemanan dan memiliki aspek

positif pertemanan yang tinggi.

Pada penelitian Meurling, Ray, & Lobello (1999) menggunakan 7 dimensi

dalam menjelaskan kualitas pertemanan. Dimensi tersebut adalah caring

(menyayangi – „membuat saya merasa baik mengenai ide yang saya berikan,

mengatakan bahwa aku hebat, membuat aku merasa penting dan spesial‟), conflict

resolution („mudah reda ketika memiliki konflik dengan teman, dapat

menyelesaikan argumen dengan cepat, dan saling membicarakan mengenai apa

yang membuat marah satu sama lain), conflict/betrayal ( memiliki argumentasi

yang sulit diselesaikan, seringkali mudah marah, seringkali berantem),

help/guidance (membantu sehingga dapat menyelesaikan pekerjaan dengan cepat,

saling membantu satu sama lain mengenai tugas sekolah, memberikan saran untuk

menyelesaikan suatu hal), companionship (sering duduk bersama saat makan

siang, selalu menjemput satu sama lain, selalu bermain bersama saat jam

istirahat), intimacy (selalu mengatakan permasalahan pribadi masing-masing,

akan berbicara mengenai hal-hal yang membuat diri sendiri sedih, membicarakan

kejadian yang membuat marah), exclusivity (aku menyukainya lebih dari yang lain

di dalam kelas, lebih sering bermain dengan dia, lebih menyukai dia daripada

temanku yang lain).

Semua aspek yang telah dijelaskan di atas berasal dari aktivitas-aktivitas

yang dilakukan teman secara bersama-sama dan dikelompokkan menjadi aspek

tertentu. Kegiatan yang dilakukan dalam pertemanan biasanya meliputi kegiatan

Page 15: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

16

yang mengandung kesenangan, a sense of belonging, adanya kesempatan untuk

memberikan instruksi dan belajar bersama, serta aktivitas eksploratif (Hartup,

1992). Aktivitas tersebut akan mendorong individu untuk mengetahui kesukaan

temannya; keterbukaan terhadap pemikiran yang bersifat privasi; terbuka

mengenai kompetensi akademik, sosial dan olahraga serta membangun relasi

sosial (Larson, 2001). Marthur & Berndt (2006) menemukan bahwa terdapat 40

aktivitas yang dapat dilakukan seorang remaja bersama dengan teman-temannya.

Penelitian ini melihat aktivitas yang dilakukan remaja umur 9 dan 14 tahun.

Remaja usia 14 tahun berpartisipasi lebih banyak pada aktivitas yang berkaitan

dengan sekolah, kegiatan mendekatkan kebersamaan dengan satu sama lain /

maintenance (makan bersama, jalan ke mall, membeli permen ke toko, berkeliling

di seputaran rumah), media dan sosialisasi. Siswa yang lebih banyak melakukan

kegiatan sosialisasi, sekolah dan aktivitas maintenance memiliki bentuk

pertemanan yang lebih positif (keintiman, interaksi prososial, dan peningkatan

harga diri). Ketika aktivitas pertemanan pada kedua umur tersebut dibandingkan,

aktivitas yang berkaitan dengan sekolah meningkat dari umur 9 ke umur 14.

Marthur dan Berndt (2006) menjelaskan bahwa perubahan tersebut merupakan

bagian dari tugas sekolah. Di masa Sekolah Menengah Atas, lebih banyak tugas-

tugas yang dikerjakan berkelompok sehingga dapat diselesaikan dengan teman

dan menjadi aktivitas bersama. Di samping itu, aktivitas bermain merupakan

aktivitas yang sangat penting bagi pertemanan di usia 9 tahun, dan kemudian

menurun saat usia 14 tahun.

Page 16: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

17

Banyak aktivitas dan aspek yang berpengaruh dalam relasi pertemanan,

namun dalam penelitian Faturochman (2014) mengenai relasi pertemanan terlihat

bahwa komponen relasi yang menonjol adalah kecocokan, kebersamaan, dan

dukungan. Kecocokan merupakan adanya kesamaan karakteristik individu dan

karakteristik teman dan bisa menjadi sebuah syarat relasi pertemanan atau

merupakan hasil relasi pertemanan (pengaruh).

Kebersamaan/persahabatan/companionship. Kebersamaan yang begitu

sering menjadi prediktor adanya companionship (persahabatan) dalam relasi

pertemanan. Parker & Asher (1993) menjelaskan bahwa persahabatan dalam

pertemanan menggambarkan kuantitas dan kualitas waktu yang dihabiskan

bersama dengan teman dekatnya. Kebersamaan yang dilakukan dalam relasi

pertemanan akan membuka zona nyaman sehingga muncul kedekatan emosional.

Dengan terbukanya zona nyaman, seseorang dapat mengeksplor dan memvalidasi

mengenai identitas dirinya (Call & Mortimer, 2001).

Terbukanya zona nyaman pada individu akan memudahkan seseorang

dalam membuka dirinya (self-disclosure). Self-disclosure akan membuat orang

lain memahami situasi, pemikiran, dan perasaan seseorang sehingga membentuk

alur tertentu dan relasi pertemanan menjadi intim (Fehr, 2004). Reis & Shaver

(1988) mengusulkan konsep, bahwa keintiman merupakan proses interpersonal

yang terjadi ketika seseorang dekat secara emosional dan mendengarkan

pengalaman orang lain, dengan menjadi pendengar yang responsif. Respons yang

diberikan oleh pendengar dan dukungan yang menimbulkan kepercayaan dan

mereka akan memvalidasi mengenai kedekatan. Dalam teman dekat, keterbukaan

Page 17: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

18

partisipan juga menjadi tanda bagi pendengar untuk menemui/menemukan

tingkatan yang sama mengenai bagaimana cara merespon dan menerima,

memberikan dukungan dan percaya pada keterbukaan lawan bicara. Saat

pertemanan sudah mencapai adanya self-disclosure dapat dikatakan bahwa

pertemanan tersebut sudah mulai intim (Hartup & Steven, 1997).

Dukungan (support). Dukungan merupakan salah satu hal yang paling

penting dalam menjalin relasi. Dukungan yang terjadi secara resiprokal (timbal

balik) menjadi salah satu ciri relasi pertemanan, yang membedakan relasi

pertemanan dengan relasi saudara (Buuk & Prins, 1998). Konten dukungan dari

relasi saudara dan teman pun berbeda, dalam relasi pertemanan, dukungan yang

diberikan adalah dukungan emosional, sedangkan pada saudara dukungan lebih

bersifat praktis (Voorpostel & Van Der Lippe, 2007). Walaupun berbeda bentuk

dukungan yang diberikan dari saudara dan teman, namun mekanisme dukungan

yang diberikan tidak terdapat perbedaan. Wellman & Wortley (1990) menjelaskan

bahwa dalam memberikan dukungan terdapat beberapa mekanisme seperti adanya

kecenderungan untuk mendukung, adanya kesamaan dan ketidaksamaan, akses

dan kekuatan. Kesamaan dan ketidaksamaan dapat meliputi identitas (jenis

kelamin) ataupun karakteristik lain yang menonjol. Akses berkaitan dengan

jangkauan geografis, apakah berada dalam satu kota atau tidak. Kekuatan

berkaitan dengan kedekatan teman secara emosional sehingga memudahkan

masuknya dukungan ke penerima dukungan.

Bokhorst, Sumter, dan Westernber (2010) melihat bahwa dukungan sosial

dari orang tua dan teman termasuk dukungan sosial yang sangat menonjol.

Page 18: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

19

Namun, pada usia 16-18 tahun, dukungan sosial teman melebihi dukungan yang

diberikan oleh orang tua. Dukungan dari guru berupa dukungan informasi dan

dukungan tersebut dirasakan menurun saat usia yang lebih dewasa, hal ini

berkaitan dengan masa transisi antara sekolah dasar dan secondary school. Untuk

melihat perbedaan jenis dukungan yang diberikan, Hombrados-Mendieta, Gomez-

Jacinto, Dominguez-Fuentes, Garcia-Leiva, & Castro-Trave (2012) mengadakan

penelitian dan melihat bahwa dukungan yang paling dirasakan oleh siswa adalah

ibu, ayah, teman dan guru. Urutan ini berlaku antara usia 12 hingga usia 14 tahun,

namun saat siswa mencapai 15 tahun dukungan dari teman dirasakan lebih besar

daripada dukungan yang diberikan oleh orang tua. Jenis dukungan yang diberikan

oleh sumber dukungan bermacam-macam, seperti dukungan emosional,

instrumental atau informasi. Dari penelitian yang dilakukan oleh Hombrados-

Mendieta,dkk (2012) dengan subjek berusia 12 hingga 18 tahun, dukungan yang

dirasakan dari teman adalah dukungan informasi dan emosional. Sedangkan

dalam penelitian French, Pidada, & Victor (2005) dengan subjek usia 17-22 tahun

, dukungan yang muncul dalam relasi pertemanan berupa dukungan instrumental.

Keempat, adalah dinamika relasi, yaitu mengenai apa yang terjadi selama

adanya interaksi. Pertemanan merupakan relasi yang dipenuhi ketergantungan

(interdependensi). Interdependence terjadi ketika perilaku atau apa yang dilakukan

oleh seseorang bergantung pada orang lain, dan sebaliknya. Terdapat dua bentuk

interdependensi, yaitu negative interdependence dan positive interdependence.

Ketika yang terjadi dalam sebuah relasi adalah positive interdependence,

kemudian akan muncul rasa saling membantu, rasa saling percaya, adanya

Page 19: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

20

pertukaran (exchange) mengenai beberapa hal yang dibutuhkan, komunikasi yang

efektif dan manajemen konflik yang membangun (Deutsch dalam Rusbult & Van

Lange, 2003).

Gambar 2. Bentuk interdependensi

Saat kualitas interaksi sudah mulai menjadi lebih erat, individu akan lebih

mudah terpengaruh. Misalnya, adanya interaksi dengan orang yang bermasalah

akan mempengaruhi perilaku seseorang dan mengarahkannya menjadi perilaku

antisosial (Wissink & Meijer, 2009) seperti saat berteman dengan orang yang

tidak taat kepada peraturan, maka teman lain akan terpengaruh (Haynie, 2001),

saat berteman dekat dengan orang yang merokok dan meminum alkohol maka

akan meningkatkan kecenderungan temannya untuk ikut merokok dan meminum

alkohol (Urberg, Degirmencioglu, & Colleen, 1997), memiliki teman dekat

dengan tingkat kesehatan mental yang rendah akan meningkatkan kecenderungan

seseorang untuk mengalami depresi dan marah serta memiliki resiliensi yang

rendah (Sameroff & Peck dalam Cook, Deng, & Morgano, 2007). Di sisi lain,

karakteristik positif juga berpengaruh pada pertemanan, seperti berteman dengan

seseorang yang memiliki orientasi terhadap akademik yang tingi akan

Page 20: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

21

meningkatkan kecenderungan untuk meningkatnya prestasi akademik di sekolah

(Crosnoe, Cavanagh, & Elder, 2003).

Bentuk interaksi antar komponen dapat bervariasi sesuai dengan bentuk

relasi. VanLear, Koemer, & Allen (2006) membedakan bentuk relasi sosial dan

personal berdasarkan pada keintiman, kedekatan dan interdependensi. Pada relasi

personal, pertemanan terasa lebih dekat, lebih intim dan saling mempengaruhi,

sedangkan pertemanan dalam relasi sosial memiliki keintiman, dan kedekatan

yang lebih terasa dangkal, atau tidak begitu mendalam. Dalam relasi pertemanan,

teman dekat (best/close friends) masuk ke dalam relasi personal, sedangkan teman

kelas (classroom friend/casual friends) dapat masuk ke dalam kategori relasi

sosial.

Perbedaan dinamika relasi ini dapat disebabkan karena adanya perbedaan

karakteristik individu, misalnya perbandingan kegiatan yang dilakukan antara

remaja yang high-low achiever pada penelitian Witkow (2009). Siswa yang high-

achieve cenderung memiliki teman sebaya yang high achiever juga, dan mereka

memiliki keterikatan dengan kelompok teman sebaya yang memiliki ekspektasi

dan norma kelompok yang mengarah pada pembelajaran. Hal ini disebabkan

karena dengan pembentukan tersebut, tidak terdapat pengurangan waktu bersama

teman di dalam hari aktif (weekday) untuk melakukan aktivitas bersama teman.

Sehingga, konflik di antara individu high achiever dan teman-teman mereka tidak

terlalu tinggi untuk menentukan apakah mereka pergi bermain, atau belajar.

Berbeda dengan remaja low-achiever, remaja yang high achiever menghabiskan

waktu lebih banyak dengan teman mereka di saat akhir pekan dibandingkan ketika

Page 21: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

22

hari aktif. Remaja high-achiever akan mendapatkan indeks prestasi yang lebih

tinggi, dan akan menggunakan sedikit waktu untuk bersama dengan teman-teman

mereka. Namun, di saat tuntutan akademis tidak terlalu tinggi, mereka akan lebih

banyak menghabiskan waktu bersama dengan teman mereka. Adanya perubahan

tuntutan ini, tidak memiliki pengaruh pada pola aktivitas anak dengan low-

achiever.

Dari bentuk relasi pertemanan, dapat juga dilihat interaksi antar komponen

dari sudut pandang Teori model relasi Fiske (Fiske dalam Fiske & Haslam, 1997).

Fiske mengusulkan adanya empat model relasi yaitu Communal Sharing (CS),

Authority Ranking (AR), Equality Matching (EM), dan Market Pricing (MP).

Dalam relasi CS, orang merasa sepadan dan memiliki orientasi kesamaan, tidak

pada perbedaan. Partisipan dalam relasi CS meliputi perasaan „in-group’ dan

memiliki kebersamaan dan terlihat kompak dalam melakukan aktivitas sosial.

Relasi AR memiliki nilai yang terorganisirsebagai satu status hirarki yang linear

seperti rantai perintah, dimana hak istimewa dan tanggung jawab diurutkan

berdasarkan ranking. Dalam relasi EM, terdapat pertukaran bolak balik yang

untuk mendapatkan keseimbangan. Partisipan EM menerima dirinya sebagai

individu yang berelasi dengan orang lain secara sederajat. Relasi MP menekankan

pada makna rasio. Partisipan dalam relasi MP menganggap dirinya sebagai

individu yang memiliki potensi penilaian yang berbeda.

Penemuan bahwa pertemanan berkaitan dengan prestasi akademik menjadi

bukti bahwa teman dapat memfasilitasi penyesuaian akademis (Berndt, 1999).

Dalam penelitian French (French, Jansen, Riansari, & Setiono, 2003) ditemukan

Page 22: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

23

bahwa bentuk pertemanan yang sangat menonjol pada anak-anak Indonesia dan

Amerika adalah menyelesaikan tugas sekolah secara bersama-sama, sehingga

anak-anak yangtidak memiliki teman maka tidak akan mendapatkan bantuan

tersebut. Bukti ini menjadi jembatan dalam menjawab pertanyaan mengapa anak-

anak yang tidak disukai oleh teman mengalami penurunan akademis.

Melihat keterkaitan konteks pertemanan dengan bidang pendidikan,

Allison M. Ryan (2011) mencoba melihat relasi pertemanan dan penyesuaian

akademik pada anak awal remaja. Artikel dari Ryan (2011) ingin melihat

pembagian tipe relasi pertemanan dengan proses penyesuaian akademis di

sekolah, dan mempertimbangkan aspek penyesuaian akademis siswa di sekolah.

Ia meriviu beberapa penelitian yang menjelaskan relasi teman sebaya dan

kaitannya dengan penyesuaian diri di sekolah melalui motivasi akademis,

keterikatan dengan hal akademis dan prestasi akademis. Dari berbagai penelitian

yang menjadi pertimbangan, ia merasa adanya keterbatasan dalam jumlah

penelitian yang melihat kaitan antara relasi pertemanan yang berfokus pada fungsi

pembelajaran di dalam kelas.

Penelitian Molloy, Gest, & Rulison (2011) melihat tipe relasi pertemanan

dibedakan dari interaksi yang terjadi, seperti reciprocated friendships, frequent

interactions, dan shared group memberships. Penelitian Molloy, Gest, & Rulison

(2011) ingin melihat perbedaan tipe relasi pertemanan dengan konsep diri

akademik dan keterampilan akademis siswa. Namun ternyata, hasil dari penelitian

ini terlihat bahwa pembagian tipe relasi pertemanan ini overlap antar tipe relasi.

Hal ini sesuai dengan keinginan peneliti yang ingin melihat pengaruh pembagian

Page 23: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

24

tipe relasi ini secara natural, yaitu di lapangan tidak ada tipe relasi pertemanan

yang benar-benar membagi dengan jelas. Dari penelitian ini terlihat bahwa

perbedaan tipe relasi pertemanan penting untuk melihat perubahan pada

penyesuaian akademik, namun khusus pada tingkat 7.

Hamm, Schmid, Farmer, & Locke (2011) berusaha untuk menjelaskan

pengaruh teman sebaya dan penyesuaian akademis dengan membedakan tipe

norma kelompok teman sebaya dan relasinya dengan penyesuaian akademis. Tipe

norma kelompok tersebut dibagi menjadi dua, yaitu descriptive norm dimana

perilaku atau nilai yang menggambarkan kelompok, dan injuctive norm yaitu

persepsi individu mengenai perilaku dan nilai yang diperkirakan berada dalam

kelompok. Konsep descriptive dan injuctive juga dapat dijelaskan dengan konsep

ideal (injuctive) dan real (descriptive). Saat keadaan ideal yang dibayangkan

teman sebaya tidak sesuai dengan kondisi atau kenyataannya akan mempengaruhi

teman yang lain dalam keadaan yang seimbang. Dalam penelitian ini ditemukan

bahwa kelompok teman sebaya memiliki injuctive norm. Aspek usaha yang

dilakukan remaja awal, dan kecenderungan sekolah berkaitan secara positif

dengan injuctive norm kelompok teman sebaya. Penyesuaian akademis akan

meningkat ketika siswa dalam kelompok teman sebaya yang memiliki norma

injuctive yang lebih kuat dalam hal usaha akademis dan prestasi akademis

dibandingkan keseimbangan dalam norma deskriptif.

Wilson, Karimpour, & Rodkin (2011) melakukan penelitian dengan

melihat struktur kelompok teman sebaya, relasinya dengan social centrality, dan

prestasi akademis. Mereka melihat dari dua dimensi struktur kelompok teman

Page 24: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

25

sebaya, yaitu : hierarcy dan cohesion. Hierarki melihat pada keseimbangan atau

ketidakseimbangan dalam kelompok, dan dapat digambarkan dengan sejauh mana

kelompok tersebut hirarki atau egaliter. Kohesif menggambarkan ikatan atau

hubungan antar anggota kelompok yang erat. Dari penelitian ini diperoleh

informasi bahwa kelompok teman sebaya dalam penelitian ini lebih mengarah

pada hierarki daripada berbentuk egalitarian. Pada penelitian ini, kelompok yang

bersifat hierarki memiliki pengaruh pada rendahnya prestasi akademik

matematika dan membaca; namun saat kelompok menjadi hierarki maka terdapat

pemusatan (centrality) dalam kelas. Anak dalam kelompok teman sebaya yang

hierarkis tidak akan terlalu saling merasa memiliki satu sama lain, dan terkadang

mereka tidak terlalu nyaman untuk berpartisipasi dalam kelas. Dengan begitu, saat

hal tersebut terjadi, beberapa peneliti mencoba untuk meningkatkan partisipasi

siswa yang lain sehingga mampu untuk meningkatkan motivasi belajar dan

berprestasi.

Veronneau & Dishion (2011) dalam penelitiannya melihat bagaimana

karakteristik teman dapat mempengaruhi prestasi akademis seseorang. Selain itu,

penelitian ini juga melihat perilaku sosial yang bermasalah lainnya dan perilaku

yang menunjukkan keterikatan anak dengan sekolah (school engagement) sebagai

prediktor. Penelitian ini menemukan ketika seorang siswa berteman dengan

karakteristik teman yang memiliki perilaku bermasalah, maka akan berpengaruh

pada menurunnya prestasi akademik siswa di sekolah. Ditambah lagi, apabila

interaksi dalam relasi pertemanan tersebut lebih sering. Menurunnya prestasi

akademik siswa di sekolah ini bisa dimediasi dengan adanya aktivitas yang tidak

Page 25: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

26

terikat dengan sekolah seperti mengerjakan pekerjaan rumah bersama. Di

peneletian yang lain, saat seseorang berteman dengan teman yang memiliki

perilaku bermasalah, akan lebih banyak bercakap-cakap mengenai hal-hal yang

tidak baik, dan akan meningkatkan perilaku bermasalah (Dishion & Nelson,

2007).

Pada penelitian Altermatt & Broady (2009), mereka membedakan dua

kelompok siswa berdasarkan konten percakapan yang terjadi dalam diskusi

setelah kegagalan yang dirasakan dalam menyelesaikan tugas. Penelitan ini

melihat apakah pengaruh anak yang melakukan off-task talk dan tidak melakukan

terdapat pengaruhnya pada respons selanjutnya. Dari penelitian Altermatt &

Broady diperoleh hasil bahwa anak yang membicarakan mengenai hal yang lain

(off-task talk) memiliki respons maladaptif terhadap kegagalan dibandingkan anak

yang melakukan off-task talk yang rendah. Hal ini sesuai dengan penggunaan

problem-focused coping (mencari tahu, mencari bantuan) berkaitan dengan

penyesuaian diri yang baik dibandingkan dengan emotion-focused coping strategy

(penolakan kognitif).

Pentingnya studi ini untuk membahas mengenai relasi pertemanan lebih

bervariasi saat memasukkan variabel konteks budaya. Ketika Doran C. French

(French, Pidada, & Victor, 2005; French, Bae, Pidada, & Lee, 2006) dengan

beberapa peneliti mulai untuk mencoba membandingkan gambaran relasi

pertemanan di Indonesia dengan Korea Selatan dan Amerika. Aspek-aspek yang

dilihat dalam penelitian tersebut adalah kedekatan, dukungan instrumental,

keintiman, dan peningkatan rasa berharga. Empat hal ini dilihat dengan

Page 26: loneliness - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88495/potongan/S2-2015... · kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus

27

menggunakan skala Modified-Friendship Quality Questionnaire, Social Network

Inventory, dan Rochester . Namun, dasar teori dari asesmen yang digunakan

masih menggunakan aspek berdasarkan relasi pertemanan yang terjadi dengan

budaya yang berbeda. Sehingga gambaran mengenai konteks di lapangan tidak

terbaca secara keseluruhan, melainkan hanya sebatas aspek yang dibandingkan

(parsial). Maka sangat penting untuk menemukan dahulu aspek-aspek yang terkait

dengan relasi pertemanan di Indonesia. Dalam penelitian tersebut telah dijelaskan

bahwa Indonesia menganut budaya yang menjunjung tinggi keharmonisan,

sehingga intimacy untuk setiap dyad (pasangan pertemanan) lebih rendah dari

intimacy pertemanan di Amerika dan Korea Selatan karena lebih mementingkan

keharmonisan dalam tataran komunitas.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka diperlukan penelitian indigenous

untuk mengungkap relasi pertemanan di Indonesia dengan pertanyaan penelitian

berupa 1. Bagaimana bentuk pertemanan di sekolah? 2. Apa saja aspek-aspek dari

pertemanan 3. Bagaimana dinamika relasi pertemanan yang terkait dalam

dinamika antar aspek pada relasi pertemanan, 4. Bagaimana hasil/ manfaat

pertemanan di sekolah, khususnya dalam pendidikan siswa?

Penelitian ini diharapkan dapat membantu sekolah untuk melihat

bagaimana bentuk relasi pertemanan di sekolah, dan beberapa dampaknya pada

perkembangan remaja terutama dalam penyesuaian dalam bidang akademis.

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah dapat memberikan pemetaan

yang jelas mengenai bentuk-bentuk relasi pertemanan remaja serta dinamika yang

terbentuk. Dinamika tersebut dapat menjadi gambaran bagi mahasiswa yang