lp pneumothoraks

30
PNEUMOTHORAX A. Definisi Pneumothorax adalah keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga pleura. Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga paru-paru dapat leluasa mengembang terhadap rongga dada. Rongga pleura adalah rongga yang terletak diantara selaput yang melapisi paru-paru dan rongga dada Pneumothorax adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru. Tersering disebabkan oleh ruptur spontan pleura visceralis yang menimbulkan kebocoran udarale rongga torak. Pnumotoraks dapat terjadi berulang kali. B. Klasifikasi Menurut penyebabnya, pnuemothoraks dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu : 1. Pnenumothoraks spontan Yaitu pnumothoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumothoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu : a. Pnumothoraks spontan primer, yaitu pnumothoraks yang terjadi secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya. b. Pneumothoraks spontan sekunder, yaitu pneumothoraks yang terjadi dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya, misalnya 1

Upload: dijhejeje

Post on 05-Dec-2014

239 views

Category:

Documents


43 download

TRANSCRIPT

PNEUMOTHORAX

A. Definisi

Pneumothorax adalah keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga

pleura. Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga paru-paru dapat

leluasa mengembang terhadap rongga dada.

Rongga pleura adalah rongga yang terletak diantara selaput yang melapisi

paru-paru dan rongga dada

Pneumothorax adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam

pleura yang menyebabkan kolapsnya paru. Tersering disebabkan oleh ruptur spontan

pleura visceralis yang menimbulkan kebocoran udarale rongga torak. Pnumotoraks

dapat terjadi berulang kali.

B. Klasifikasi

Menurut penyebabnya, pnuemothoraks dapat dikelompokkan menjadi dua

yaitu :

1. Pnenumothoraks spontan

Yaitu pnumothoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumothoraks tipe ini dapat

diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :

a. Pnumothoraks spontan primer, yaitu pnumothoraks yang terjadi secara tiba-tiba

tanpa diketahui sebabnya.

b. Pneumothoraks spontan sekunder, yaitu pneumothoraks yang terjadi dengan

didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya, misalnya

fibrosis kistik, penyakit paru obsrutruktiks kronis (PPOK), kanker paru-paru,

asma dan infeksi paru.

2. Pneumotoraks traumatik

Yaitu pneumothoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma baik trauma

penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada

maupun paru.

Pneumothoraks tipe ini dapat di klasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :

a. Pneumothoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumothoraks yang terjadi

karena bekas kecelakaan, misalnya bekas pada dinding dada, barotrauma.

1

b. Pneumothoraks traumatik iatrogenetik yaitu pneumothoraks yang terjadi akibat

komplikasi dari tindakan medis. Pneumothoraks jenis inipun masih dibedakan

menjadi dua yaitu :

1. Pneumothoraks traumatik iagtrogenik aksidental

Adalah suatu pneumothoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena

kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada

parasentesis dada, biopsi pleura.

2. Pneumothoraks traumatik iatrogenik artifisial (debiliberate)

Adalah suatu pneumothoraks yang sengaja dilakuakn dengan cara

mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini dilakukan

untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan tuberkulosis sebelum

era antibiotik, maupun untuk menilai permukaan paru.

Dan berdasarkan jenis fisualnya, makan pneumothoraks dapat diklasifikasikan

ke dalam tiga jenis yaitu :

1. Pneumothoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)

Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada

dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di

dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah

menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada

kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada

rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada

waktu gerakan pernafasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif.

2. Pneumothoraks Terbuka (Open Pneumothorax)

Yaitu Pneumothoraxs dimana terdapat hubungan antara antara rongga

pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat

luka terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama

dengan tekanan udara luar. Pada pnuemothoraks terbuka tekanan

intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan

tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan.

Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi

tekanan menjadi positif. Selain itu , pada saat inspirasi mediastinum dalam

2

keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah

sisi dinding dada yang terluka.

3. Pneumothoraks Ventil (Tension Pneumothorax)

Adalah pneumothoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin

lama bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat

ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta

percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang

terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar.

Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan

melibihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga ini dapat

menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas.

Sedangkan menurut luasnya paru mengalamu kolaps, maka pneumothoraks

dapat diklasifikasikan menajdi dua, yaitu :

1. Pneumothoraks parsialis, yaitu pneumothoraks yang menekan pada

sebagian kecil paru (<50%volume paru)

2. Pneumoothoraks totalis yaitu pneumothoraks yang menegenai sebagian

besar paru (>50% volume paru)

3

C. Etiologi

Pneumothoraks terjadi akibat peninggian tekanan intrabronkus dan intra-

alveolus pada suatu tempat lemah dalam jaringan paru yang pecah, sehingga udara

dapat masuk ke dalam rongga pleura.

Tempat lemah dapat berupa bula dalam parenkim paru bagian perifer

atau emfisema interstitialis lokal (bleb) atau proses paru yang menimbulkan destruksi

parenkim bagian perifer dan pleura berdekatan, sehingga terbentuk suatu fistel

bronkopleural.

Pneumothoraks dapat terjadi bila terjadi ruptur pada dinding paru, yang

menyebabkan udara keluar dari paru dan masuk ke dalam rongga pleura.

Pneumothoraks juga dapat terjadi bila terdapat tusukan pada dinding dada sehingga

udara luar masuk ke dalam rongga pleura. Pneumothoraks dapat terjadi secara tiba-iba

(misalnya pada laki-laki kurus yang menderita sindrom Marfan) sebagai dari akibat

trauma dada, barotrauma pada paru, penyakit paru seperti emfisema, infeksi akut,

infeksi kronis (TBC), kerusakan paru akibat kistik fibrosis, kanker, katamenial

pneumothoraks ( yang di sebabkan oleh endometriosis pada dinding paru), dll.

Pada bayi baru lahir, pneumothoraks dapat merupakan komplikasi pada

penyakit membran hialin, pneumothoraks, resusitasi dengan tekanan positif dan sering

pula timbul secara spontan tanpa diketahui penyebabnya. Pada anak lebih besar

pneumothoraks merupakan komplikasi pneumonia, tuberkulosis dan asma bronkial.

D. Patofisiologi

Pada manusia normal tekanan dalam rongga pleura adalah negatif. Tekanan

negatif disebabkan karena kecenderungan paru untuk kolaps (elastic recoil) dan

dinding dada yang cenderung mengembang. Bilamana terjadi hubungan antara alveol

atau ruang udara intrapulmoner lainnya (kavitas, bulla) dengan rongga pleura oleh

sebab apapun, maka udara akan mengalir dari alveol ke rongga pleura sampai terjadi

keseimbangan tekanan atau hubungan tersebut tertutup. Serupa dengan mekanisme di

atas, maka bila ada hubungan antara udara luar dengan rongga pleura melalui dinding

dada; udara akan masuk ke rongga pleura sampai perbedaan tekanan menghilang atau

hubungan menutup.

Pneumotoraks spontan terjadi oleh karena pecahnya bleb atau kista kecil yang

diameternya tidak lebih dari 1-2 cm yang berada di bawah permukaan pleura viseralis,

4

dan sering ditemukan di daerah apeks lobus superior dan inferior. Terbentuknya bleb

ini oleh karena adanya perembesan udara dari alveoli yang dindingnya ruptur melalui

jaringan intersisial ke lapisan jaringan ikat yang berada di bawah pleura viseralis.

Sebab pecahnya dinding alveolus ini belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga ada

dua faktor sebagai penyebabnya.

1) Faktor infeksi atau radang paru.

Infeksi atau radang paru walaupun minimal akan membentuk jaringan parut pada

dinding alveoli yang akan menjadi titik lemah.

2) Tekanan intra alveolar yang tinggi akibat batuk atau mengejan.

Mekanisme ini tidak dapat menerangkan kenapa pneumotoraks spontan sering terjadi

pada waktu penderita sedang istirahat. Dengan pecahnya bleb yang terdapat di bawah

pleura viseralis, maka udara akan masuk ke dalam rongga pleura dan terbentuklah

fistula bronkopleura. Fistula ini dapat terbuka terus, dapat tertutup, dan dapat

berfungsi sebagai ventil.

E. Komplikasi

Selalu harus diingat akan terjadinya:

1. Tension Pneumothoraks dengan gejala dispneu yang makin berat, sianosis,

gelisah: komplikasi ini terjadi karena tekanan dalam rongga pleura meningkat

sehingga paru mengempis lebih hebat, mediastinum tergeser kesisi lain dan

mempengaruhi aliran darah vena ke atrium kanan. Pada foto sinar tembus dada

terlihat mediastinum terdorong dan diafragma pada sakit tertekan kebawah.

Keadaan ini dapat mengakibatkan fungsi pernafasan sangat terganggu yang harus

segera ditangani kalu tidak akan berakibat fatal.

2. Piopneumothoraks: Berarti terdapatnya pneumothoraks disertai empiema secara

bersamaan pada satu sisi paru.

3. Hidro-pneumothoraks/Hemo-pneumothoraks: Pada kurang lebih 25% penderita

pneumothoraks ditemukan juga sedikit cairan dalam pleuranya. Cairan ini

biasanya bersifat serosa, serosanguinea atau kemerahan (berdarah). Hidrothorak

dapat timbul dengan cepat setelah terjadinya pneumothoraks pada kasus-kasus

trauma/perdarahan intrapleura atau perforasi esofagus (cairan lambung masung

kedalam rongga pleura). Hemopneumothoraks selain terdapat gejala dispneu dan

sianosis, disertai pula gejala akibat kehilangan darah seperti anemia, renjatan dan

lain-lain.

5

4. Pneumomediastinum dan emfisema subkutan: Pneumomediastinum dapat

ditegakkan dengan pemeriksaan foto dada. Insidensinya adalah 1% dari seluruh

pneumothoraks. Kelainan ini dimulai robeknya alveoli kedalam jaringan

interstitium paru dan kemungkinan didikuti oleh pergerakan udara yang progresif

kearah mediastinum (menimbulkan pneumomediastinum) dan kearah lapisan

fasia otot-otot leher (menimbulkan emfisema subkutan).

5. Pneumothoraks simultan bilateral: Pneumothoraks yang terjadi pada kedua paru

secara serentak ini terdapat pada 2% dari seluruh pneumothoraks. Keadaan ini

timbul sebagai lanjutan pneumomediastinum yang secara sekunder berasal dari

emfisem jaringan interstitiel paru. Sebab lain bisa juga dari emfisem mediastinum

yang berasal dari perforasi esofagus.

Pneumothoraks kronik: Menetap selama lebih dari 3 bulan. Terjadi bila fistula

bronko-pleura tetap membuka. Insidensi pneumothoraks kronik dengan fistula

bronkopleura ini adalah 5 % dari seluruh pneumothoraks. Faktor penyebab antara

lain adanya perlengketan pleura yang menyebabkan robekan paru tetap terbuka,

adanya fistula bronkopelura yang melalui bulla atau kista, adanya fistula bronko-

pleura yang melalui lesi penyakit seperti nodul reumatoid atau tuberkuloma.

F. Gejala Klinis

Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah:

1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak dirasakan

mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas tersengal, pendek-

pendek, dengan mulut terbuka.

2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam pada

sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak

pernapasan.

3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.

4. Denyut jantung meningkat.

5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.

6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien, biasanya

pada jenis pneumotoraks spontan primer.

G. Penatalaksanaan

6

Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan udara dari

rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya,

penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut :

1. Observasi dan Pemberian O2

Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah

menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan diresorbsi.

Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan tambahan O2. Observasi

dilakukan dalam beberapa hari dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam pertama

selama 2 hari . Tindakan ini terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan

terbuka.

2. Tindakan dekompresi

Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks yang

luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intra

pleura dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan

cara:

a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura, dengan

demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi

negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut.

b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :

Dapat memakai infus set Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke

dalam rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada

pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah

klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari

ujung infus set yang berada di dalam botol (Alsagaff at al., 2009).

Jarum abbocath Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari

gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang

tetap di dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut

dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa

plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang

berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara

yang keluar dari ujung infuse set yang berada di dalam botol (Alsagaff at

al., 2009).

Metode penggunaan water seal drainage (WSD)

7

Penggunaan WSD dengan selang dada pertama kali dikenalkan pada tahun

1875, dan penggunaan missal pertama adalah pada tahun 1917 ketika

terjadi epidemic influenza. Selang drainase interkostal atau WSD dalam

bentuk modern telah digunakan sejak tahun 1916 ketika Kenyon

menggambarkan sebuah “Siphon” metode untuk terapi hemothoraks

akibat trauma. Walaupun alat ini sangat efektif dalam pengobatan, akan

tetapi kelemahan alat ini berkisar antara trauma pada dada dan abdominal

bagian viscera dari trocars yang tajam di tangan operator yang belum ahli.

Kelemahan yang lain dari pemasangan selang ini adalah terbentuknya

fissura pada dindig dada. Selang drainase yang masih mengeluarkan

gelembung udara sangat berbahaya untuk di klem, karena hal tersebut

dapat mengubah pneumothoraks yang awalnya minimal menjadi

pneumothoraks tension. Keberhasilan akan dicapai bila paru-paru

mengembang dengan sempurna paling kurang selama 24 jam sebelum

selang drainase boleh dicabut. Cara yang effisien untuk mendeteksi sisa

udara dalam paru adalah dengan meng-klem selang drainase tersebut

selama beberapa jam dan kemudian dilakukan foto thorkas , kebocoran

udara sedikit atau sedang yang masi ada dapat dideteksi dengan cara ini

sehingga dapat dihindarkan penggunaan selang drainase yang berulang.

Penggunaan analgetik dalam selang drainase ini masi kurang di teliti.

Injeksi anestesi local pada intrapleura (20-25 ml = 200-250mg, 1%

lignocaine) secara bolus dengan interval 8 jam dapat dengan aman

mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi gas darah.

Pemasangan WSD:

1) Pasien dalam keadaan posisi ½ duduk (+ 45 °).

2) Dilakukan desinfeksi dan penutupan lapangan operasi dengan doek

steril.

3) Dilakukan anestesi setempat dengan lidocain 2% secara infiltrasi pada

daerah kulit sampai pleura.

4) Tempat yang akan dipasang drain adalah :

- Linea axillaris depan, pada ICS IX-X (Buelau).

Dapat lebih proximal, bila perlu. Terutama pada anak- anak

karena letak diafragma tinggi.

- linea medio-clavicularis (MCL) pada ICS II-III (Monaldi)

8

5) Dibuat sayatan kulit sepanjang 2 cm sampai jaringan bawah kulit

(Gambar. B).

6) Dipasang jahitan penahan secara matras vertikal miring dengan side

0.1.

7) Dengan gunting berujung lengkung atau klem tumpul lengkung,

jaringan bawah kulit dibebaskan sampai pleura, dengan secara pelan

pleura ditembus hingga terdengar suara hisapan, berarti pleura

parietalis sudah terbuka (Gambar. C dan D).

Catatan : pada hematothoraks akan segera menyemprot darah keluar, pada

pneumothoraks, udara yang keluar.

A B

C D

Gambar: Cara Pemasangan Selang WSD

9

Gambar: Cara Pemasangan Selang WSD

Komplikasi dari pemasangan selang drainse interkostal ini adalah penetrasi pada

organ mayor seperti paru-paru, perut, limpa, hati, jantung, dan pembuluh darah

besar sehingga akan berakibat fatal. Kejadian ini akan terjadi bila trocar besi

yang dimasukkan secara tidak benar dalam prosedur pemasangan. Infeksi pleura

merupakan komplikasi lain dari pemasangan selang drainase ini, sehingga

pemberian antibiotic profilaksis harus dipertimbangkan dan teknik aseptic harus

diterapkan pada segala teknik pemasangan serta manipulasi dari system selang

dada ini. Komplikasi lain yang paling banyak terjadi adalah emfisema, walaupun

ini hanya mengganggu dalam hal kosmetik selama beberapa hari. Emfisema ini

terjadi karena terbentuknya rongga berisi udara pada jaringan subkutan. Hal ini

dapat terjadi bila selang dada yang dipasang malposisi atau bergulung atau selang

yang di klem. Emfisema juga dapat timbul bila selang yang digunakan berukuran

lebih kecil dari daerah bocor. Penaganan dari emfisema ini biasanya secara

konservatif, akan tetapi bila dalam kondisi menyebabkan bahaya pada nyawa

pasien makan dapat dilakukan trakeostomi, dekompresi insisi kulit, dan

pemasangan selang pada daerah subkutan.

Hal ini dapat terjadi bila selang dada yang dipasang malposisi atau bergulung atau

selang yang di klem. Emfisema juga dapat timbul bila selang yang digunakan

berukuran lebih kecil dari daerah bocor. Penaganan dari emfisema ini biasanya

secara konservatif, akan tetapi bila dalam kondisi menyebabkan bahaya pada

nyawa pasien makan dapat dilakukan trakeostomi, dekompresi insisi kulit, dan

pemasangan selang pada daerah subkutan.

10

Pengobatan Tambahan

1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan

terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru diberi OAT,

terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan

bronkodilator.

2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat.

3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat

dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema

H. Rehabilitasi

Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan pengobatan

secara tepat untuk penyakit dasarnya.

Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin terlalu

keras.

Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah laksan

ringan.

Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk, sesak

napas.

I. Pengkajian

a. Aktivitas/istirahat

Gejala : dipsnea dengan aktivitas ataupun istirahat

b. Sirkulasi

Tanda : takikardi, frekuensi tak teratur (disritmia), S3 atau S4/irama jantung

gallop, nadi apikal berpindah oleh adanya penyimpangan mediastinal, tanda

homman (bunyi rendah sehubungan dengan denyutan jantung, menunjukkan

udara dalam mediastinum).

c. Psikososial

Tanda : ketakutan/gelisah

d. Makan/cairan

Tanda : adanyan pemasangan IV vena sentral/infus tekanan

e. Nyeri/kenyamanan

Gejala : nyeri dada unilateral meningkat karena batuk, timbul tiba-tiba gejala

batuk, tajam atau nyeri menusuk yang diperberat oleh napas dalam.

11

Tanda : perilaku distraksi, mengerutkan wajah

f. Pernafasan

Tanda : pernapasan meningkat/ takipnea, peningkatan kerja napas, penggunaan

otot aksesori pernapasan dada, ekspirasi abdominal kuat, bunyi napas menurun,

fremitus menurun.

perkusi dada : hipersonan diatas terisi udara

palpasi dada : gerakan dada tidak sama bila trauma

Kulit : pucat, sianosis

Gejala : kesulitan bernapas, batuk, riwayat bedah dada/trauma penyakit paru

kronis, inflamasi/infeksi paru (empisema/efusi), keganasan (misal : Obstruksi

tumor)

J. Pemeriksaan

1. Pemeriksaan Fisik

Inspeksi :

a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi dinding

dada).

b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal.

c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat

Palpasi :

a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar.

b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat.

c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit

Perkusi :

a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak menggetar.

b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan

intrapleura tinggi

Auskultasi :

a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang.

b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif.

2. Pemeriksaan Penunjang

a. Foto Rongent Thorax

12

Gambaran radiologis yang tampak pada foto rontgen kasus pneumotoraks antara

lain:

a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan

tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak

membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.

b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque yang

berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali.

Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang

dikeluhkan.

c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals

melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan

13

jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi

pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi.

b. CT scan

Teknik pemeriksaan CT-SCAN thorax adalah teknik pemeriksaan secara radiologi

untuk mendapatkan informasi anatomis irisan crossectional atau penampang aksial

thorax. 

Teknik Pemeriksaan 

14

1. Posisi pasien : Supine diatas meja pemeriksaan dengan posisi kepala dekat dengan

gantry. 

2. Posisi objek : 

Mengatur pasien sehingga Mid Sagital Plane (MSP) tubuh sejajar dengan

lampu indicator longitudinal. Kedua tangan pasien di atas kepala. 

Memfiksasi lutut dengan menggunakan body clem.

Menjelaskan kepada pasien untuk inspirasi penuh dan tahan nafas pada saat

pemeriksaan berlangsung.

3. Scan Parameter Scan parameter pemeriksaan CT-Scan thorax adalah seperti

tercantum pada tabel dibawah ini :

Foto sebelum dan sesudah memasukkan Media Kontras Kasus seperti tumor

dibuat foto sebelum dan sesudah pemasukan media kontras. Tujuan dibuat foto

sebelum dan sesudah media kontras adalah untuk melihat apakah ada jaringan

yang menyerap kontras banyak, sedikit atau tidak sama sekali.

c. BGA (Blood Gas Arteri)

Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi meskipun pada

kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang

berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.

K. Diagnosa Keperawatan

15

Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul

pada pasien Hepatitis adalah:

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru

2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi

sekresi kental

3. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan insersi WSD

4. Perubahan nutrisi dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan produksi sputum

5. Kurangnya pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan berhubungan

dengan kurang terpajan pada informasi

L. Intervensi keperawatan

Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul

pada pasien hepatitis adalah :

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru

Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24 jam bersihan jalan napas

klien efektif

Kriteria hasil : Menunjukan pola pernapasan normal/efektif dengan GDA

dalam batas normal. Bebas sianosis dan hipoksia

Intervensi

1. Mengidentifikasikan etiologi/faktor pencetus, misal : kolaps spontan,

traumam keganasan.

2. Evaluasi fungsi pernapasan, catat kecepatan/pernapasan sesak, dispnea,

terjadinya sianosis, perubahan tanda vital.

3. Awasi kesesuaian pola pernapasan bila menggunakan ventilasi mekanik,

catat perubahan tekanan udara.

4. Auskultasi bunyi napas

5. Catat pengembangan dada dan posisi trakea

6. Kaji fremitus

7. Kaji pasien adanya area nyeri tekan bila batuk, napas dalam.

8. Pertahankan posisi nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat

tidur, anjurkan pasien untuk duduk sebnayak mungkin

Rasional

16

1. Pemahaman penyebab kolaps paru perlu untuk pemasangan wsd yang

tepat

2. Distres pernapasan dan perubahan pada tanda tanda vital dapat terjadi

sebagai akibat stres fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya

syok sehubungan dengan hipoksia/perdarahan.

3. Kesulitan bernapas dengan ventilator atau eningkatan jalan napas diduga

memburuknya kondisi atau terjadinya komplikasi.

4. Bunyi napas dapat menurun atau tak ada pada lobus, segmen paru satu

seluruh area paru (unilateral). Area atelektasis tak ada bunyi napas dan

sebgai area kolaps paru menurunya bunyi. Evaluasi juga dilakukan untuk

area yang baik pertukaran gasnysa dan memberikan dat evaluasi perbaikan

pneumothoraks.

5. Pengembangan dada sama dengan ekpansi paru. Deviasi trakea dari area

sisi yang sakit pada tegangan pneumothoraks.

6. Suara dan taktil fremitus (vibrasi) menurun pada jaringan yang terisi

cairan/konsilidasi.

7. Sokongan terhadap dada dan otot abdominal membuat batuk lebih

efektif/mengurangi trauma.

8. Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpansi paru dan ventilasi

pada sisi yang sakit.

2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan produktifitas sekresi kental

Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24 jam klien menunjukkan

bersihan jalan napas.

Kriteria hasil : Mempertahankan jalan napas dengan bunyi napas bersih/ jelas,

menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan naps, misal batuk

efektif dan mengeluarkan sekret.

Intervensi

1. Auskultasi bunyi napas. Catat adanya bunyi naps, misal : mengi, krekles,

ronki

2. Kaji/pantau frekuensi pernapasan. Catat rasio inspirasi/ekspirasi

3. Catat adanya dipsnea, gelisah, ansietas, dan distres pernapasan.

4. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misal : peninggian kepala tempat

tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.

17

5. Bantu latihan napas atau bibir

Rasional

1. Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan napas dan

dapat/tak diamanestasikan adanya bunyi napas adventisius, misal :

penyebaran, krekles basah ( bronkitis) : bunyi napas redup dengan

ekspirasi mengi (emfisema) atau tak adanya bunyi napas (asma berat).

2. Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada

penerimaan atau selama stres/ adanya proses infeksi memanjang dibanding

inspirasi

3. Disfungsi pernapasan adalah variabel yang tergantung pada tahap proses

selain proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit, misal :

infeksi, reaksi alergi.

4. Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernapasan dengan

menggunakan gravitasi.

5. Merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal, menurunkan

spasme jalan napas, mengi dan produksi mukosa.

6. Drainase postural dan perkusi bagian penting untuk membuang banyak

sekret kental dan memperbaiki ventilasi pada segmen dasar paru.

3. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan insersi WSD

Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24 jam klien bebas dari

infeksi pada lokasi insersi selama pemasangan

Kriteriahasil : WSDBebas dari tanda–tanda infeksi : tidak ada kemerahan,

purulent, panas, dan nyeri yang meningkat serta fungsiolisa. Tanda – tanda

vital dalam batas normal.

Intervensi

1. Berikan pengertian dan motivasi tentang perawatan WSD

2. Kaji tanda – tanda infeksi

3. Monitor reukosit dan LED

4. Dorongan untuk nutrisi yang optimal

5. Berikan perawatan luka dengan teknik aseptic dan anti septic

6. Bila perlu berikan antibiotik sesuai advis.

18

Rasional

1. Perawatan mandiri seperti menjaga luka dari hal yang septic tercipta bila

klien memiliki pengertian yang optimal

2. Hipertemi, kemerahan, purulent, menunjukan indikasi infeksi.

3. Leukositosis dan LED yang meningkat menunjukan indikasi infeksi.

4. Mempertahankan status nutrisi serta mendukung system immune

5. Perawatan luka yang tidak benar akan menimbulkan pertumbuhan

mikroorganisme

4. Perubahan nutrisi dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan produksi sputum

Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan 3x24 jam klien menunjukkan

peningkatan nutrisi yang adekuat

Kriteriahasil : Menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang

tepat dan menunjukkan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau

mempertahankan berat yang tepat

Intervensi

1. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan

makan. Evaluasi berat badan dan ukur tubuh.

2. Auskultasi bunyi usus

3. Dorong periode istirahat selama 1 jam sebelum dan sesudah makan.

Berikan makan porsi kecil tapi sering

Rasional

1. Penurunan bising usus menunjukkan penurunan mortilitas gaster dan

konstipasi (komplikasi umum) yang berhubungan dengan pembatasan

pemasukan cairan, pilihan makanan buruk, penurunan aktivitas dan

hipoksemia.

2. Membantu menurunkan kelemahan selama waktu makan dan memberikan

kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori total.

3. Pasien distres pernapasan akut serng anoreksia karena dispnea produksi

sputum, dan obat.

5. Kurangnya pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan berhubungan

dengan kurang terpajan pada informasi

19

Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24jam klien dan keluarga

dapat mengerti tentang kondisi kesehatan klien

Kriteriahasil : Menyatakan pemahaman penyebab masalah (bila tahu),

mengidentifikasi tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medik, mengkuti

program pengobatan dan menunjukkan perubahan pola hidup yang perlu untuk

mencegah terulangnya masalah.

Intervensi

1. Kaji patologi masalah individu.

2. Identifikasi kemungkinan kambuh/komplikasi jangka panjang.

3. Kaji ulang praktik kesehtan yang baik,misal : nutrisi baik, istirahat, latihan.

4. Kaji ulang tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medik cepat, contoh :

nyeri dada tiba-tiba, dispnea, distres pernapasan lanjut.

Rasional

1. Informasi menurunkan rasa cemas karena ketidaktahuan. Memberikan

pengetahuan dasar untuk pemahaman kondisi dinamik dan pentingnya

intervensi terapeutik.

2. Mempertahankan kesehtan umum meningkatkan penyembuhan dan dapat

mencegah kekambuhan.

3. Berulangnya pneumotoraks memerlukan intervensi medk untuk

mencegah/menurunkan potensial komplikasi

20