majalah ta

16
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL DAN STRATEGI KOPING PADA REMAJA DI SMAN 2 PARE Rosi Erna Safitri, Kumboyono *, Retno Lestari ** ABSTRAK Remaja merupakan periode peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Pada masa peralihan ini remaja memiliki karakter ketidakstabilan emosi sebagai konsekuensi usaha penyesuaian diri pada pola perilaku dan harapan sosial yang baru. Akibatnya remaja rentan mengalami stress yang dapat berhubungan dengan sekolah maupun hubungan interpersonal. Untuk mengatasi stress akibat ketidakstabilan emosi, maka remaja perlu belajar ketrampilan emosional yang disebut kecerdasan emosional. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara tingkat kecerdasan emosional dengan strategi koping pada remaja di SMAN 2 Pare. Sampel pada penelitian ini sebanyak 183 siswa kelas XI SMAN 2 Pare yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Penelitian ini menggunakan dua kuesioner yaitu kuesioner untuk mengukur tingkat kecerdasan emosional dan kuesioner strategi koping. Analisa data menggunakan analisa korelasi deskriptif yaitu Correlation Spearman dengan signifikansi p value < 0,05. Hasilnya menunjukkan terdapat hubungan antara tingkat kecerdasan emosional dan strategi koping dengan kekuatan korelasi 0,660. Hubungan bersifat positif dimana semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional maka semakin adaptif strategi koping yang digunakan. Kesimpulannya kecerdasan emosional dapat memprediksi penggunaan strategi koping. Maka perlu adanya skrining tingkat kecerdasan emosional remaja untuk memprediksi strategi koping yang digunakan, sehingga dapat memperbaiki prestasi belajar siswa. Kata kunci: kecerdasan emosional, strategi koping, remaja ABSTRACT Adolescence is transition of period childhood to adulthood. In this trantition, adolescence have unstable emotion as a consequence in behaviour adaptation and new social expectation. As a result, it make adolescence are prone to stress related with school or interpersonal relationship. To cope stress due to unstable emotion, adolescence need to learn emotional skill called emotional intelligence. The purpose of this study was to determine the relationship between emotion intelligence level with coping strategy in adolescence SMAN 2 Pare. This study is a descriptive correlation research design with stratified random sampling technique. To fulfil the aim of research 183 student were randomly selected from XI class SMAN 2 Pare as respondents. These include both males and females. Two questionnaire were used in the

Upload: rosi-erna

Post on 28-Apr-2017

214 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Majalah TA

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL DAN STRATEGI KOPING PADA REMAJA DI SMAN 2 PARE

Rosi Erna Safitri, Kumboyono *, Retno Lestari **

ABSTRAK

Remaja merupakan periode peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Pada masa peralihan ini remaja memiliki karakter ketidakstabilan emosi sebagai konsekuensi usaha penyesuaian diri pada pola perilaku dan harapan sosial yang baru. Akibatnya remaja rentan mengalami stress yang dapat berhubungan dengan sekolah maupun hubungan interpersonal. Untuk mengatasi stress akibat ketidakstabilan emosi, maka remaja perlu belajar ketrampilan emosional yang disebut kecerdasan emosional. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara tingkat kecerdasan emosional dengan strategi koping pada remaja di SMAN 2 Pare. Sampel pada penelitian ini sebanyak 183 siswa kelas XI SMAN 2 Pare yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Penelitian ini menggunakan dua kuesioner yaitu kuesioner untuk mengukur tingkat kecerdasan emosional dan kuesioner strategi koping. Analisa data menggunakan analisa korelasi deskriptif yaitu Correlation Spearman dengan signifikansi p value < 0,05. Hasilnya menunjukkan terdapat hubungan antara tingkat kecerdasan emosional dan strategi koping dengan kekuatan korelasi 0,660. Hubungan bersifat positif dimana semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional maka semakin adaptif strategi koping yang digunakan. Kesimpulannya kecerdasan emosional dapat memprediksi penggunaan strategi koping. Maka perlu adanya skrining tingkat kecerdasan emosional remaja untuk memprediksi strategi koping yang digunakan, sehingga dapat memperbaiki prestasi belajar siswa.

Kata kunci: kecerdasan emosional, strategi koping, remaja

ABSTRACT

Adolescence is transition of period childhood to adulthood. In this trantition, adolescence have unstable emotion as a consequence in behaviour adaptation and new social expectation. As a result, it make adolescence are prone to stress related with school or interpersonal relationship. To cope stress due to unstable emotion, adolescence need to learn emotional skill called emotional intelligence. The purpose of this study was to determine the relationship between emotion intelligence level with coping strategy in adolescence SMAN 2 Pare. This study is a descriptive correlation research design with stratified random sampling technique. To fulfil the aim of research 183 student were randomly selected from XI class SMAN 2 Pare as respondents. These include both males and females. Two questionnaire were used in the study: Emotional Intelligence scale and coping strategy. The data analysed by Correlation Spearman with p value < 0,05. Moreover, result indicate that there was a correlation between Emotional Intelligence level and coping strategy with 0,660 correlation strength. There was a positive correlation between Emotional Intelligence level and Coping Strategy where the higher levels of emotional intelligence will using more adaptive coping strategies. The conclusion is Emotional intelligence can predict coping strategy used. So, screening of emotional intelligence needed to predict students coping strategy, with the result its will improve student performance.

Key word: Emotional Intelligence, Coping Strategy, Adolescence

Page 2: Majalah TA

PENDAHULUAN

Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak menuju dewasa. Masa remaja pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.17 Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan pada masa dewasa sudah tercapai.12 Transisi pada masa remaja berupa perkembangan yang tidak hanya menyangkut aspek fisik melainkan juga aspek psikis dan psikososial.17

Dalam masa peralihan ini remaja memiliki tugas tumbuh kembang yang berbeda dari masa sebelum dan sesudahnya. Tugas tumbuh kembang remaja difokuskan pada upaya meningkatkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha mencapai kemampuan bersikap berperilaku secara dewasa.2 Didalam pemenuhan tugas tumbuh kembang, terdapat beberapa faktor yang dapat membantu penguasaan tugas perkembangan diantaranya adalah tingkat perkembangan yang normal atau diakselerasikan, kesempatan dan bimbingan untuk mempelajari tugas perkembangan, motivasi, kesehatan yang baik dan tidak ada cacat tubuh, tingkat kecerdasan tinggi, serta kreatifitas. Ketidakberadaan faktor pendukung tersebut akan menghalangi remaja menguasai tugas tumbuh kembang.19

Dalam tumbuh kembangnya remaja memiliki karakter ketidakstabilan emosi, sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku dan harapan sosial yang baru. Remaja merupakan masa pergolakan yang dipenuhi konflik dan perubahan suasana hati.19 Hal ini akibat terjadinya perubahan secara bersamaan, termasuk kematangan fisik, kemandirian, peningkatan interaksi dengan kelompok sosial dan teman sebaya, dan perkembangan otak.6 Selain itu remaja dikenal sebagai masa badai dan tekanan, yaitu suatu masa dimana emosi pada remaja menjadi mudah

terangsang dan cenderung meledak–ledak, diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan psikis yang bervariasi.14 Emosi pada masa remaja serba tidak menentu, ia menjadi resah, gelisah, gundah, tetapi tidak mengerti mengapa ia dapat bersikap demikian.22

Perubahan emosi yang terjadi menyebabkan remaja memiliki tingkat stress yang tinggi.6

Remaja dapat mengalami stress dengan bentuk bervariasi. Misalnya berupa depresi, ansietas, agresi, dan aksi anti-sosial.23 Stress tersebut berhubungan dengan sekolah (bulliying, masalah dengan guru, kesulitan akademik), dan hubungan interpersonal (konflik atau masalah dengan orangtua, saudara kandung, teman sebaya).23 Pernyataan tersebut didukun juga dengan hasil penelitian Nasution yang menyebutkan stress pada remaja diakibatkan oleh berbagai faktor, tetapi faktor yang paling banyak mempengaruhi remaja berhubungan dengan orang tua, akademik, dan teman sebaya.17 Hasil penelitian Roeser, Eccles, & Sameroff dalam Davis memperkirakan bahwa 25%-50% dari seluruh remaja berumur 10-17 tahun memiliki resiko penurunan prestasi belajar, ekonomi, dan kehidupan sosial dikarenakan tingginya tingkat stress yang merupakan hasil dari mekanisme koping dan/atau manajement stress yang tidak tepat.7

Remaja perlu belajar berbagai keterampilan emosional yang akan membentuk kecerdasan emosional untuk membangun emosi yang positif. Alasan perlunya kecerdasan emosional adalah adanya hubungan antara perasaan, watak, dan naluri moral.12 Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengelola emosi dalam berinteraksi dengan orang lain atau menerima rangsangan dari luar.12 Dikatakan juga bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk merasakan, mengerti dan mengekspresikan emosi.5 Dengan memiliki kecerdasan emosional, diharapkan remaja mampu mengendalikan diri dalam melakukan tindakan. Menurut Yuniani dalam Renny seseorang yang tidak mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi dapat

Page 3: Majalah TA

ditandai dengan hal-hal berikut: mempunyai emosi yang tinggi, cepat bertindak berdasarkan emosinya, dan tidak sensitif dengan perasaan orang lain. Orang yang tidak mempunyai kecerdasan emosional tinggi, biasanya mempunyai kecenderungan untuk menyakiti dan memusuhi orang lain.8

Berdasarkan penelitian Nasution disimpulkan bahwa terdapat korelasi negatif antara kecerdasan emosional dengan tingkat depresi remaja, yaitu semakin tinggi kecerdasan emosional maka akan semakin rendah tingkat depresinya.16 Kecerdasan emosional akan mempengaruhi perilaku tiap individu dalam mengatasi permasalahan yang muncul pada diri sendiri8, termasuk dalam hal ini pembentukan emosi positif untuk mengembangkan strategi koping.

Strategi koping adalah kemampuan untuk menyusun suatu rencana yang digunakan untuk mengurangi dan mengatasi stress atau masalah yang dapat mengancam dirinya baik secara fisik maupun psikologik dengan menggunakan sumber-sumber daya yang dimiliki. Keberhasilan koping merupakan suatu dasar dari kesehatan mental dan psikis yang baik. Strategi koping diasumsikan memiliki dua fungsi utama yaitu mengelola masalah yang menyebabkan stress dan mengatur emosi yang berhubungan dengan stressor.18 Dengan proses koping, remaja mampu bertahan dari tantangan dalam kehidupannya.21 Terdapat beberapa macam strategi koping stress yang dapat digunakan remaja untuk mengatasi stress. Analisis strategi koping pada sampel remaja menunjukkan kategori koping seperti mencari dukungan, mencari informasi, negosiasi, pengaturan emosi dan pelarian, atau menarik diri. 15

SMAN 2 Pare adalah sekolah menengah atas yang berkualitas secara akademik di wilayah kabupaten Kediri yang pada tahun 2009/2010 ditetapkan menjadi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Sudah dapat dipastikan bahwa sekolah memiliki siswa yang berkualitas secara intelektual, namun belum banyak diketahui mengenai kualitas emosi siswanya. Kecerdasan Intelektual (IQ) yang tinggi

bukan satu-satunya jaminan kesuksesan di masa depan, ada faktor lain yang juga ikut berpengaruh yaitu kecerdasan emosional (EQ). Karena kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) saling berinteraksi secara dinamis baik pada tingkatan konseptual maupun dalam kehidupan nyata. Siswa dengan prestasi akademik yang baik namun tidak dapat mengelola emosinya seperti mudah marah, sombong, atau mudah putus asa akan berpengaruh juga terhadap kualitas kehidupannya.

Hasil studi pendahuluan didapatkan bahwa beberapa masalah yang sering dihadapi oleh siswa SMAN 2 Pare diantaranya adalah cenderung pilih-pilih teman dan bergerombol dengan kelompok teman tertentu, sulit menolak ajakan teman, dan sering menyembunyikan perasaan ketika ada masalah. Semua masalah yang dialami oleh siswa SMAN 2 Pare cenderung berhubungan dengan aspek pengelolaan emosi.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara tingkat kecerdasan emosional dengan strategi koping. Peneliti ingin menegaskan hubungan antara kecerdasan emosional yang tinggi akan memiliki kestabilan emosi dan dapat dihubungkan dengan strategi koping adaptif atau maladaptif. Penelitian ini sebagai studi pendahuluan dan dapat digunakan sebagai studi lanjutan untuk penelitian selanjutnya.

Penelitian ini bertujuan hubungan antara tingkat kecerdasan emosional dengan strategi koping pada remaja di SMAN 2 Pare. Mengidentifikasi tingkat kecerdasan emosional remaja di SMAN 2 Pare. Mengidentifikasi strategi koping pada remaja di SMAN 2 Pare, dan menganalisa korelasi antara tingkat kecerdasan emosional dengan strategi koping pada remaja di SMAN 2 Pare.

Penelitian ini bermanfaat dapat memberi dasar pengembangan ilmu pengetahuan mengenai hubungan antara tingkat kecerdasan emosional dengan strategi koping pada remaja. Penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan untuk

Page 4: Majalah TA

mengembangkan kecerdasan emosional yang dapat membentuk strategi koping terhadap stress pada remaja. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian lebih lanjut.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di SMAN 2 Pare. Populasi dalam penelitian adalah seluruh siswa kelas XI SMAN 2 Pare tahun ajaran 2013/2014. Sampel diambil dengan teknik stratified random sampling, setelah penghitungan sampel ditambahkan dengan antisipasi drop out 10% jumlah sampelnya didapatkan 183 siswa.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner, berupa 23 pertanyaan tentang indikator kecerdasan emosional dan 20 pertanyaan tentang indikator strategi koping. Kuesioner telah diuji validitas dan realibilitas pada 30 remaja kelas XI SMA Brawijaya Smart School Malang yang memiliki karakteristik sama dengan populasi penelitian. Uji validitas dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment. Setiap item instrumen dikatakan valid dengan nilai signifikasi (p) < 0,05. Pengukuran reliabilitas instrumen menggunakan rumus koefisien reliabilitas Alpha Cronbach Setiap item instrumen dikatakan reliabel jika memiliki nilai alpha ≥ 0,6. Kedua kuesioner dinyatakan reliabel dengan hasil, kuesioner kecerdasan emosional nilai reliabelnya 0.722 dan kuesioner strategi koping nilai reliabelnya 0.707.

Pengumpulan data dilakukan pada bulan Januari 2014. Analisis univariat dilakukan untuk menganalisa data karakteristik responden. Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan variabel independen terhadap variabel dependen, dilakukan uji korelasi Rank Spearman untuk menganalisis hubungan tingkat kecerdasan emosional dengan strategi koping pada remaja di SMAN 2 pare, dengan tingkat kepercayaan 95%.

HASIL PENELITIAN

A. Data Karakteristik RespondenBerdasarkan hasil survey yang

dilakukan peneliti di lokasi penelitian, diperoleh informasi mengenai usia dan jenis kelamin.Tabel 1. Karakteristik RespondenNo Variabel Deskriptif

KarakteristikFrekuensiN %

1. Usia 15 tahun 2 116 tahun 103 5617 tahun18 tahun

771

421

TOTAL 183 1002. Jenis

KelaminPerempuan 112 61Laki-laki 71 39

TOTAL 183 100

Berdasarkan Tabel 1. Karakteristik Responden di Asrama Putri Universitas Brawijaya Malang diketahui bahwa dari total 183 responden penelitian, sebagian besar 56% berusia 17 tahun, 61% berjenis kelamin perempuan.

B. Data Variabel1. Data Tingkat Kecerdasan

Emosional

Gambar 1. Distribusi Prosentase Tingkat Kecerdasan Emosional pada Remaja di SMAN 2 Pare

Berdasarkan Gambar 1. didapatkan hasil penelitian tentang tingkat kecerdasan emosional pada remaja di SMAN 2 Pare bahwa sebagian besar 102 responden

tinggi sedang0

20

40

60

80

100

120102

81

Page 5: Majalah TA

tingkat kecerdasan emosionalnya masuk dalam kategori tinggi, dan sebagian kecil 81 responden masuk dalam kategori sedang.

2. Data Strategi Koping

Gambar 2. Strategi koping pada Remaja di SMAN 2 Pare

Berdasarkan Gambar 2. didapatkan hasil penelitian tentang strategi koping pada remaja di SMAN 2 Pare bahwa sebagian besar 126 responden strategi kopingnya masuk dalam kategori adaptif, dan sebagian kecil 57 responden masuk dalam kategori maladaptif.

ANALISIS DATA

Hasil uji korelasi Spearman Rank pada penelitian ini menunjukkan bahwa besar korelasi (r) antara variabel 1 dan 2 adalah 0,660 yang berarti tingkat kecerdasan emosional dan derajat PMS memiliki hubungan. Nilai tersebut masuk dalam rentang interval korelasi 0,60 sampai dengan 0,799 berarti korelasi memiliki keeratan kuat. Arah korelasi bernilai positif yang berarti semakin baik tingkat kecerdasan emosional pada remaja berarti semakin adaptif strategi koping yang digunakan.

Dari hasil uji korelasi tersebut juga didapatkan besar signifikansi ρ (0,000) < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat kecerdasan emosional dan strategi koping, dengan demikian hipotesis (H1) diterima pada selang kepercayaan 95%

(p<0,05) dan didapatkan hubungan yang kuat antara kedua variabel yang diteliti.

Tabel 2. Tabel Silang Hubungan Tingkat Kecerdasan Emosional terhadap Strategi Koping Remaja SMAN 2 Pare

Pada tabel tersebut terlihat bahwa 53.6% yaitu 98 remaja dengan tingkat kecerdasan emosional tinggi strategi kopingnya adaptif, dan 2.2% yaitu 4 responden memiliki koping maladaptif. Tingkat kecerdasan emosional yang sedang sebanyak 29% yaitu 53 remaja strategi kopingnya adaptif, dan 15.3% yaitu 28 remaja dengan strategi koping maladaptif. Tidak ada responden yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang kurang. Hal ini cukup membuktikan bahwa kecerdasan emosional yang tinggi pada remaja akan memiliki strategi koping adaptif.

PEMBAHASAN

A. Tingkat Kecerdasan Emosional Berdasarkan hasil penelitian

didapatkan bahwa sebagian besar siswa memiliki tingkat kecerdasan emosional tinggi. Hasil ini sejalan dengan penelitian oleh Asrori yang berjudul Hubungan Kecerdasan Emosi dan Interaksi Teman Sebaya dengan Penyesuaian Sosial pada Siswa Kelas VII Program Akselerasi di SMPN 9 Surakarta, yang hasilnya mengatakan bahwa sebagian

adaptif maladaptif0

20406080

100120140 126

57

Strategi KopingTotal

Maladaptif Adaptif

Kecerdasan

Emosional

Rendah0

0%

0

0%

0

0%

Sedang53

29 %

28

15.3%

81

44.3%

Tinggi4

2.2%

98

53.6%

102

55.7%

Total57

31.1%

126

68.9%

183

100%

Page 6: Majalah TA

besar siswa memiliki kecerdasan emosi tinggi.3 Kecerdasan emosional dalam penelitian ini diukur melalui lima komponen atau kemampuan yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan (sosial) dengan orang lain.

Kemampuan mengenali emosi diri dalam penelitian ini ditunjukkan dimana seseorang dapat mengenali emosi dirinya sendiri (senang, sedih, malu, marah), mengetahui kapan emosi itu muncul, mengetahui apa yang harus dilakukan saat ada masalah, dan malu apabila ketahuan menyontek di sekolah. Hasil analisa data didapatkan 21.1% untuk kemampuan mengenali emosi diri. Mengelola emosi ditunjukkan dengan cara menunjukkan emosi secara tepat agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain, menerima kritikan maupun saran, sabar menghadapi orang lain, berdoa ketika khawatir, dan tidak mudah bosan ketika melakukan suatu hal. Pada penelitian ini, mengelola emosi didapatkan hasil sebesar 17%. Memotivasi diri ditunjukkan dengan tidak mudah menyerah, tetap bersemangat, bangga dengan hasil pekerjaan sendiri, dan segera menyelesaikan tugas atau pekerjaan. Analisa data menunjukkan nilai 22.3% untuk kemampuan memotivasi diri. Kemampuan mengenali emosi orang lain ditunjukkan dengan mampu mengenali saat orang lain emosi melalui ekspresi mata dan gerakan tubuh, dapat menerima pemikiran orang lain, dan mendengarkan cerita teman. Pada penelitian ini didapatkan hasil sebanyak 22.1%. Sedangkan kemampuan membina hubungan dengan orang lain ditunjukkan dengan segera meminta maaf pada teman,memberi dukungan teman saat mengalami kesulitan, tidak merasa canggung jika berkumpul dengan orang baru, dan saat bertemu orang lain segera menyapa terlebih dahulu. Hasilnya didapatkan 17.6%. Dapat disimpulkan kemampuan memotivasi diri memiliki nilai paling besar yaitu 22.3%.

Kecerdasan emosional dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal seperti faktor budaya dan lingkungan. Faktor

internal yang besifat genetik seperti sifat penakut, pemberani, periang, atau pemurung. Sedangkan faktor budaya memiliki peranan penting dalam membentuk kecerdasan emosional dan gaya kepemimpinan. Budaya membentuk sifat ini dalam individu sehingga mempengaruhi kualitasnya.4 Sebagai contoh, perbedaan penyampaian emosi dari anak-anak di Asia khususnya Cina dan Jepang dengan anak-anak Negara Barat khususnya Eropa Timur dan Utara Amerika. Untuk anak-anak di Cina dan Jepang tumbuh menjadi anak yang pemalu dan menahan diri sedangkan anak di Eropa Timur dan Utara Amerika cenderung lebih aktif, terbuka dan mengekspresikan emosinya.1

Sedangkan faktor lingkungan yang lebih berpengaruh adalah lingkungan keluarga dan caregiver. Banyak bukti empiris yang menyatakan bahwa lingkungan keluarga dan caregiver memiliki peran sentral dalam sosialisasi kemampuan emosional, baik melalui instruksi eksplisit atau observasi, dan modeling.4 Contohnya anak-anak yang hidup dengan orang tua yang memiliki konflik, hubungan yang renggang, dan ekspresi kemarahan yang mendominasi, adalah lebih agresif.11 Lingkungan yang keras khususnya merugikan pada perkembangan persepsi emosi, pemahaman, dan pengaturan. 11

Hasil penelitian terhadap tingkat kecerdasan emosional berdasarkan karakteristik usia responden yang berusia antara 15-18 tahun yang hasilnya menunjukkan bahwa siswa yang berusia 16-18 tahun sebagian besar memiliki kecerdasan emosional tinggi. Hal ini seiring dengan semakin tua usia seseorang maka kecerdasan emosionalnya akan lebih baik.12

Semakin bertambah usia seseorang semakin dapat menyadari perasaan diri dan orang lain. Seseorang dapat mengatur ekspresi emosi dalam situasi sosial dan dapat berespon terhadap distress emosional yang terjadi pada orang lain.19-20 Kecerdasan emosional berarti kemampuan menerima emosi dan menguasainya secara wajar. Artinya, apapun emosi yang sedang kita

Page 7: Majalah TA

alami, kita tetap bisa menguasai dan mengelolanya dengan baik, tidak dipengaruhi rasa takut dan gelisah. Kita bisa mengontrol emosi sehingga tidak merugikan orang lain.

Hal ini dapat dipengaruhi oleh proses belajar yang dialami oleh individu seiring dengan pertambahan usianya. Hal ini dapat terjadi karena pada fase usia perkembangan yang lebih lanjut terjadi pembentukan kecenderungan emosional yang mengakibatkan kecerdasan emosionalnya menjadi terlihat lebih stabil dan cenderung lebih tinggi, misalnya tingkat kecerdasan emosional pada usia dewasa cenderung lebih tinggi daripada usia remaja.12

Sedangkan hasil penelitian tingkat kecerdasan emosional berdasarkan karakteristik jenis kelamin, didapatkan bahwa sebagian besar siswa berjenis kelamin perempuan memiliki kecerdasan emosional tinggi sebanyak 59 (32.24%) siswa. Siswa yang berjenis kelamin laki-laki sebagian besar memiliki kecerdasan emosional tinggi sebanyak 43 siswa (23.5%). Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa siswa perempuan lebih banyak memiliki tingkat kecerdasan emosional tinggi. Hal ini terjadi karena jumlah siswa perempuan lebih banyak daripada siswa laki-laki. Hasil ini sesuai dengan pernyataan bahwa perempuan memiliki kemampuan emosional yang lebih dibandingkan laki-laki. Perempuan lebih menggunakan perasaan yang dimiliki sedangkan laki-laki sering menyembunyikan perasaannya.1

Masa remaja merupakan fase kehidupan yang sulit-lebih sulit daripada fase-fase kahidupan yang lain. Emosi sangat erat kaitannya dengan remaja, di mana diketahui bahwa pada masa inilah di mulai pencarian jati diri dan perkembangan menjadi dewasa. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya fluktuasi pada emosional remaja. Oleh karena itu remaja perlu belajar kecerdasan emosional yang nantinya dapat meningkatkan kerja dan kinerja seseorang.9

Hal ini dapat diasosiasikan pada seorang remaja yang dapat mengenali status emosinya dengan baik dapat menghasilkan prestasi belajarnya.

B. Strategi KopingBerdasarkan hasil penelitian

didapatkan sebagian besar responden yaitu sebanyak 115 siwa memiliki strategi koping yang adaptif, sedangkan koping maladaptif sebanyak 68 siswa. Strategi koping adaptif dapat ditunjukkan dengan hal-hal berikut ini: berpikir positif pada masalah yang dihadapi; mencari dukungan pada orang lain dengan bercerita dan meminta solusi permasalahan; siap menghadapi masalah; memikirkan cara untuk menghadapi masalah; dan mendekatkan diri pada Tuhan. Sedangkan strategi koping maladaptif ditunjukkan dengan: mencoba melupakan masalah, mudah emosi, lebih suka menyendiri, dan mudah putus asa.

Seseorang yang menghadapi masalah atau stressor akan membentuk respon berupa strategi koping. Dalam penelitian ini strategi koping merupakan bentuk usaha kognitif dan perilaku yang dilakukan oleh siswa untuk mengatur tuntutan internal dan eksternal yang timbul dari hubungan siswa dengan lingkungan. Koping yang digunakan setiap individu sangat berbeda tergantung jenis masalah yang dihadapi setiap individu.

Strategi koping yang digunakan dapat berupa koping berfokus pada masalah (problem-focused coping) dan koping berfokus pada emosi (emotional focused coping). Problem-solving focused ditunjukkan melalui usaha untuk mengatasi situasi permasalahan dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapinya dan lingkungan yang menyebabkan terjadinya tekanan. Dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa siswa yang menggunakan koping yang berfokus pada masalah (problem-solving focused coping) sebanyak 52.94% siswa. Berdasarkan analisa data pada problem-solving focused coping diketahui bahwa yang paling banyak digunakan oleh siswa adalah cenderung menyelesaikan masalah dengan tindakan kewaspadaan seperti berpikir positif pada masalah (5.9%), membuat langkah penyelesaian masalah (5.4%), mencari alternative penyelesaian masalah dengan

Page 8: Majalah TA

meminta solusi (11.45%). Sedangkan untuk strategi koping berfokus pada emosi (emotion-focused coping), dimana seseorang melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan. Dalam penelitian ini, didapatkan hasil bahwa sebanyak 47.06% siswa menggunakan strategi koping berfokus pada emosi (emotion-focused coping) seperti berhayal akan situasi atau hal yang lebih menyenangkan, menghindari masalah dengan bersikap seolah-olah tidak ada masalah, menyimpan masalah sendiri, mengingkari kenyataan, mudah putus asa, dan lebih mendekatkan diri pada Tuhan dengan berdoa dan beribadah lebih sering dari biasanya. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa siswa paling banyak menggunakan koping berfokus pada emosi yaitu strategi pencarian makna seperti mesyukuri masalah yang terjadi dan mendekatkan diri pada Tuhan (10.61%). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar siswa menggunakan strategi koping berfokus pada masalah (problem-focused coping).

Faktor yang menentukan mekanisme koping mana yang paling banyak atau sering digunakan tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauhmana tingkat kecemasan dari suatu kondisi atau masalah yang dialaminya. Contoh: seseorang cenderung menggunakan problem-solving focused coping jika seseorang merasa bahwa sesuatu yang konstruktif dapat dilakukan terhadap situasi tersebut, atau seseorang tersebut yakin bahwa sumber daya yang dimilikinya dapat mengubah situasi sedangkan yang menggunakan emotion-focused coping apabila seseorang merasa tidak dapat mengubah situasi yang menekan dan hanya dapat menerima situasi tersebut karena sumber daya yang dimilikinya tidak adekuat untuk menghadapi tuntutan situasi.

Pada penelitian ini strategi koping adaptif dapat dihubungkan dengan usia dan jenis kelamin. Untuk faktor usia, penelitian ini

menggunakan sampel siswa yang berusia 15-18 tahun. Dari data tersebut sebagian besar memiliki strategi koping yang adaptif, hal ini dapat dimungkinkan oleh semakin bertambahnya usia seseorang maka akan semakin baik koping yang digunakannya. Semakin bertambahnya usia seseorang maka semakin konstruktif dalam menggunakan koping terhadap masalah yang dihadapi. Namun, dari data yang didapat terdapat responden yang memiliki strategi koping maladaptive sebanyak 37.16%, hal ini dikarenakan kemampuan koping individu juga dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan norma dimana ia dibesarkan. Selain itu kemampuan koping individu tergantung dari temperamen, persepsi, kognisi, latar belakang budaya dan norma di mana dia dibesarkan. Strategi koping terbentuk melalui proses belajar dan mengingat. Belajar adalah kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) pada pengaruh faktor internal dan eksternal.

Untuk hasil penelitian mengenai strategi koping berdasarkan jenis kelamin, didapatkan data responden perempuan, memiliki strategi koping adaptif sebanyak 67 responden (36.6%) dan laki-laki memiliki strategi koping adaptif sebanyak 48 responden (26.2%). Dari data penelitian didapatkan hasil sebagian besar responden memiliki koping yang adaptif, namun tidak ada perbedaan yang berarti antara jenis kelamin perempuan dan laki-laki dalam hal strategi koping dikarenakan jumlahnya yang tidak seimbang. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Stuart bahwa koping dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah jenis kelamin.10 Jenis kelamin mempengaruhi respon seseorang terhadap masalah atau stress. Ketika stress atau menghadapi masalah, laki-laki cenderung menutup diri dan berusaha untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Sedangkan perempuan memiliki kebiasaan untuk mencari dukungan social ketika stress. Setelah membicarakan masalah yang dialaminya, perempuan akan merasa lega meskipun tidak mendapatkan solusi yang konkrit.

Page 9: Majalah TA

KETERBATASAN PENELITIAN

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study dengan metode kuantitaf dimana pengukuran variabelnya hanya satu kali saja sehingga hanya bisa mengetahui kondisi dari responden pada saat itu saja dan kurang dapat mengeksplorasi bentuk perasaan yang dialami oleh siswa. Oleh karena itu tetap memerlukan metode yang bersifat kualitatif.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, maka peneliti menyimpulkan beberapa hal berikut : 1. Terdapat hubungan signifikan antara

tingkat kecerdasan emosional dengan strategi koping pada remaja

2. Remaja kelas XI di SMAN 2 Pare memiliki tingkat kecerdasan emosional tinggi

3. Remaja kelas XI di SMAN 2 Pare memiliki strategi koping adaptif

4. Semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional maka semakin adaptif strtaegi koping yang digunakan.

SARAN

1. Bagi Institusi PendidikanMengukur tingkat kecerdasan

emosional siswa untuk memprediksi strategi koping yang digunakan, sehingga guru dapat memperbaiki strategi koping yang digunakan oleh siswa untuk mengatasi stress maupun masalah yang sedang dihadapi.

Menyiapkan materi mengenai strategi koping untuk membantu siswa membentuk koping adaptif, sehingga dapat memperbaiki prestasi belajar.

2. Bagi Penelitian SelanjutnyaMenyamaratakan jumlah respon-

den berdasarkan karakteristik jenis kelamin, jumlah responden perempuan

seimbang atau sama dengan jumlah responden laki-laki.

Menganalisa faktor lain yang berhubungan dengan kecerdasan emosional dan strategi koping pada remaja.

Menggunakan metode kualitatif untuk mengeksplorasi bentuk perasaan responden.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adawiyah, R. 2010. Perkembangan Emosi. Makalah. Tidak Diterbitkan. Fakultas Psikologi dan Pendidikan Anak Usia Dini, Universitas Al-Azhar Indonesia.

2. Ali, M. & Asrori, M. 2004. Psikologi remaja : Perkembangan peserta didik, PT. Bumi Aksara, Jakarta.

3. Asrori, Ahmad. 2009. Hubungan Kecerdasan Emosi dan Interaksi Teman Sebaya Dengan Penyesuaian Sosial Pada Siswa Kelas VIII Program Akselerasi Di SMP Negeri 9 Surakarta. Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Surakarta.

4. Bateman, Jr CS; Farrel, L. 2006. A Cross-Cultural Comparison of Emotional Intelligence and Leadership Styles : A Pilot Study. Proceeding-AIB-SE (USA) 2006 Annual Meeting Clearwater Beach:FI

5. B. Montes-Berges, Augusto J.M. 2007 Exploring the relationship between perceived emotional intelligence, coping, social support and mental health in nursing students. Journal of Psychiatric and Mental Health Nursing 14, 163-171

6. Casey, BJ, Rebecca M. Jones, Liat Levita, Victoria Libby, Siobhan Pattwell, Erika Reberry, Fatima Soliman, and Leah H. Somerville. 2010. The Storm and Stress of Adolescence: Insights from Human Imaging and Mouse Genetics

7. Davis, Alicea J. 2012. Examining Gender and Socio-Economic Status on the Emotional Intelligence of Early Adolescents. Philadelphia College of Osteopathic Medicine DigitalCommons@PCOM

Page 10: Majalah TA

8. Ernawati, Renny. 2013. Hubungan Tingkat Kecerdasan Emosional dengan Derajat Pre-Menstrual Syndrom (PMS) pada Remaja Putri di Asrama Putri Universitas Brawijaya. Tugas Akhir. Tidak Diterbitkan. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang.

9. Fabiola, RA. 2005. Analisis Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Kasus di Hotel Horison Semarang). Tesis. Diterbitkan. Program Studi Magister Manajemen. Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang.

10. Gail W. Stuart & Laraia. 2005. Principles and Practice of Psychiatric Nursing, Edition 8, Mosby Company, USA.

11. Gardner, KJ; Qualter, P; Whiteney, H. 2011. Developmental Correlates of Emotional Intelligence : Temperament, Family Environment, and Childhood Trauma. Australian Journal of Psychology 2011; 63: 75-82. University of Central Lancashire, Departement of Social and Psychological Sciences, Ormskirk, UK.

12. Goleman, Daniel. 2001. Kecerdasan Emosional :Mengapa EQ lebih penting daripada IQ?, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

13. Hurlock, E.B. 2008. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Erlangga, Jakarta.

14. Kony Astuty,Sukarti,Rumiani. 2008. Naskah Publikasi Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi Dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

15. Malte, Persike & Inge Seiffge-Krenke. 2010. Competence in Coping with Stress in Adolescents from Three Regions of the World. J Youth Adolescence 41:863–879

16. Nasution, S. Indri Kemala. 2007. Stres pada remaja. Program studi psikologi fakultas kedokteran universitas Sumatra utara Medan. Library.usu.ac.id/download/fk/ 132316815(1).pdf

17. Papalia, D.E., Old, S.W & Feldman, R.D. 2001. Human Development (8th

Ed), MacGraw Hill Inc, New York.

18. Rukhsana Kausar. 2010. Perceived Stress, Academic Workloads and Use of Coping Strategies by University Students. Journal of Behavioural Sciences, Vol. 20. Department of Applied Psychology, University of the Punjab, Lahore, Pakistan.

19. Santrock, John W. 2007. Remaja Jilid 1 Ed.11 alih bahasa B. Widyasinta, Penerbit Erlangga, Jakarta.

20. Santrock,John W. 2007. Remaja Jilid 2 Ed.11 alih bahasa B.Widyasinta, Penerbit Erlangga, Jakarta.

21. Shah, Mukti and Nutankumar S. Thingujam. 2008. Perceived Emotional Intelligence and Ways of Coping among Students. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology Vol. 34 (1) 83-91.

22. Soejanto, Agoes. 2005. Psikologi Perkembangan., PT. Asdi Mahasatya, Jakarta.

23. Zimmber-Gembeck, Melanie J, Ellen A. Skinner. 2008. Adolescence Coping with Stress :Development and Diversity. The Prevention Researcher Vol.15 (4). www.TPRonline.org

Telah disetujui oleh,Pembimbing I

Ns. Kumboyono, S.Kep., M.Kep., Sp.KomNIP. 197502222001121005