makalah blok 23 abses paratonsil

14
5/25/2018 MakalahBlok23AbsesParatonsil-slidepdf.com http://slidepdf.com/reader/full/makalah-blok-23-abses-paratonsil 1/14 1 Anemia Hemolitik Autoimun  Nella  NIM : 102011185 Email: [email protected] Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Pendahuluan Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar. Tempat yang bisa  berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior. Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme  bakteri penginfeksi tenggorokan kesalah satu ruangan aereolar yang longgar disekitar faring menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring. Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus (nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis. Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat  penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat. Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran. 1 A.  Anatomi Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong yang  besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke  bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa

Upload: nella

Post on 15-Oct-2015

46 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

abses paratonsil

TRANSCRIPT

Anemia Hemolitik Autoimun NellaNIM : 102011185Email: [email protected] Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta

PendahuluanAbses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior. Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri penginfeksi tenggorokan kesalah satu ruangan aereolar yang longgar disekitar faring menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring.Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus (nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis. Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat. Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran.1

A. Anatomi Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot.21. Nasofaring Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum mole, ke depam adalah rongga hidung sedangkan ke belekanag adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta menghubungkan erat dengan beberapa struktur penitng, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n. Glosofaring, n. Vagus, dan n. Asesorius spinal saraf kranial dan v. Jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius. 2. Orofaring Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum. a. Dinding Posterior Faring Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian tersebutGangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan n. Vagus.b. Fosa Tonsil Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah M. Konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fosa supra tonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan kapsul yang sebenarnya. c. Tonsil Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Tonsil palatina adalah suatu masa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Permukaan sebelah dalam tonsil atau permukaan yang bebas, tertutup oleh membran epitel skuamosa berlapis yang sangat melekat. Epitel ini meluas ke dalam kantung atau kripta yang membuka ke permukaan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsil, daerah yang kosong di atasnya dikenal sebagai fosa supratonsil. Bagian luar tonsil terikat longgar pada m.konstriktor faring superior, sehingga tertekan setiap kali menelan. Muskulus palatoglosus dan m.palatofaringeus juga menekan tonsil. Tonsil terletak dilateral orofaring, dibatasi oleh: Lateral : m.konstriktor faring superior Anterior : m.palatoglosus Posterior: m.palatofaringeus Superior : palatum mole Inferior : tonsil lingualTonsil mendapat darah dari A. Palatina minor, A. Palatina asendens, cabang tonsil A. Maksila eksterna, A. Faring asendens, dan A. Lingualis dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktustiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual Thyroid) atau kista duktus tiroglosus.2

3. Laringofaring (hipofaring) Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior adalah laring, batas inferior adalah esofagus, serta batas posterior adalah vertebra servikal. Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga kantong pil (pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu. Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentyk omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi glotis ketikan menelan makanan atau minuman pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriforimis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian analgesia lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.

Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring.

1. Ruang retrofaring (retropharyngeal space) Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis. Serat-serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra. Di sebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila. Abses retrofaring sering ditemukan pada bayi atau anak. kejadiannya ialah karena di ruang retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar limfa. Pada peradangan kelenjar limfa itu, dapat terjadi supurasi, yang bilamana pecah, nanahnya akan tertumpah di dalam ruangretrofaring. Kelenjar limfa di ruang retrofaring ini akan banyak menghilang pada pertumbuhan anak. 2. Ruang Parafaring (Fosa Faringomaksila/Phyarungo-Maxillary Fossa) Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada korny mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh M. Konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asenden mandibula yang melekat dengan M. Pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini dibagi menjadi 2 bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post steloid) berisi A. Karotis interna, V. Jugularis interna, n. Vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheath) bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu lapisan fasia yang tipis.2

B. Anamnesis Anamnesis merupakan salah satu cara untuk mendiagnosis suatu penyakit. Secara umum anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara melakukan serangkaian wawancara yang dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis).3 Keluhan pada faring yang paling umum adalah sakit tenggorokan, ada secret di tenggorok, perasaan ada benjolan, rasa penuh dan bengkak dan kesulitan menelan (disfagia). Pada anamnesis perlu ditanyakan beberapa hal seperti: 1. Identitasa. Nama b. Umur/ usiac. Jenis kelamind. Alamate. Pekerjaan 2. Keluhan utamaMenanyakan apa keluhan atau gejala yang menyebabkan pasien datang berobat.3. Riwayat penyakit sekarang (RPS) a. Sakit tenggorokan Frekunsi Apakah sakit tenggorokan disertai demam, secret, ekspektorasi, kesulitan menelan, kesulitan bernapas, perubahan suara atau batuk Lokasi dan lamanya pembengkakan eksterna Apakah ada nyeri alih misalnya nyeri telinga? Jika ada sisi yang mana? Pengobatan apa yang diberikan sebelumnya? Apakah pasien perokok? Berapa banyak? b. Secret di tenggorok2 Lamanya secret? Apakah secret mukoid, purulent atau bercampur daeah Apakah banyak atau sedikit Apakah secret dibatukkan atau diludahkan Apakah bertambah buruk saat bangun pagi

c. Kesulitan menelan (disfagia) Lamanya (minggu, bulan, atau tahun) Apakah semakin sulit menelan Apakah disertai atau tanpa nyeri pada saat menelan termasuk juga nyeri ulu hati Bagaimana dengan makanan biasa? Apakah sumbatan bertambah bila menelan cairan atau makanan padat? Dimana kira-kira letak sumbatan? (minta pasien melnunjukkan letaknya) Adakah regurgitasi? Apakah berbau? Apakah berat badan pasien menurun? Jika benar, berapa banyak?Gejala-gejala nasofaring dapat berupa hidung berair atau sumbatan pernapasan hidung. Muara eustachius dapat tersumbat mengakibatkan hilangnya pendengaran. Pada setiap orang dewasa dengan cairan telinga tengah unilateral harus dilakukan pemeriksaan nasofaring yang teliti untuk mencari neoplasma.4

4. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD) Untuk mengetahui apakah pasien pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya serta riwayat penyakit lain yang pernah diderita pasien.5. Riwayat Keluarga Untuk mengetahui bagaimana status kesehatan keluarga serta mencari tahu apakah terdapat anggota keluarga yang memiliki penyakit yang sama.6. Riwayat psychosocial (sosial)Mengetahui bagaimana lingkungan kerja, sekolah atau tempat tinggal serta faktor resiko gaya hidup.3

C. Pemeriksaan Fisik Dengan lampu kepala yang diarahkan ke rongga mulut, dilihat keadaan bibir, mukosa rongga mulut, lidah, dan gerakan lidah. Dengan menekan bagian tengah lidah memakai spatula lidah maka bagian-bagian rongga mulut lebih jelas terlihat. Pemeriksaan dimulai dengan melihat keadaan dinding belakang faring serta kelenjar limfanya, uvula, arkus faring serta gerakannya, tonsil, mukosa pipi, gusi, dan gigi geligi. Palpasi rongga mulut diperlukan bila ada massa tumor, kista, dan lain-lain. Apakah ada rasa nyeri di sendi temporo mandibula ketika membuka mulut. Pada kasus Abses Peritonsil pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring. Inspeksi terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit karena ketidakmampuan pasien membuka mulut. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral didapatkan hiperemis. Tonsil hiperemis, eksudasi, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan, dan bawah. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil yang terkena, di fossa supratonsiler. Mukosa di lipatan supratonsiler tampak pucat dan bahkan seperti bintil-bintil kecil. Diagnosis jarang diragukan jika pemeriksa melihat pembengkakan peritonsilaris yang luas, mendorong uvula melewati garis tengah, dengan edema dari palatum mole dan penonjolan jaringan dari garis tengah. Asimetri palatum mole, tampak membengkak dan menonjol ke depan, serta pada palpasi palatum mole teraba fluktuasi.4

D. Pemeriksaan Penunjang Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan untuk penderita yang mengalami gangguan pernafasan. Gold standart pemeriksaan yaitu dengan melakukan aspirasi jarum (needle aspration). Tempat yang akan dilakukan aspirasi di anestesi dengan menggunakan lidokain atau epinefrin dengan menggunakan jarum berukuran 16-18 yang biasa menempel pada syringe berukuran 10 cc. Aspirasi material yang purulen merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibuat biakannya sehingga dapat diketahui organism penyebab infeksi demi kepentingan terapi antibiotika. Pada penderita abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium darah berupa faal hemostasis, terutama adanya leukositosis sangat membantu diagnosis. Pemeriksaan radiologi berupa foto rontgen polos, ultrasonografi dan tomografi komputer. Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapat mendiagnosis abses peritonsil secara spesifik dan mungkin dapat digunakan sebagai alternative pemeriksaan. Mayoritas kasus yang diperiksa menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran sentral hypoechoic. Penentuan lokasi abses yang akurat, membedakan antara selulitis dan abses peritonsil serta menunjukkan gambaran penyebaran sekunder dari infeksi ini merupakan kelebihan penggunaan tomografi komputer. Khusus untuk diagnosis abses peritonsil di daerah kutub bawah tonsil akan sangat terbantu dengan tomografi computer. Pemeriksaan dengan menggunakan foto rontgen polos dalam mengevaluasi abses peritonsil terbatas. Bagaimanapun tomografi komputer dan ultrasonografi dapat membantu untuk membedakan antara abses peritonsil dengan selulitis tonsil.4

E. Working Diagnosis Menegakkan diagnosis penderita dengan abses peritonsil dapat dilakukan berdasarkan anamnesis tentang riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaan fisik penderita. Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi merupakan tindakan diagnosis yang akurat untuk memastikan abses peritonsil. Untuk mengetahui jenis kuman pada abses peritonsil tidak dapat dilakukan dengan cara usap tenggorok. Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior. Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri penginfeksi tenggorokan kesalah satu ruangan aereolar yang longgar disekitar faring menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring. Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus (nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.5

F. Diferensial Diagnosis 1. Abses Retrofaring Penyakit ini biasanya ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing-masing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius dan telinga tengah. Pada usia di atas 6 tahun kelenjar limfa akan mengalami atrofi. Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah: a. Infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring b. Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis, seperti adenoidektomi, intubasi endotrakea dan endoskopi. c. Tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin) Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak kecil, rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau makan atau minum. Juga terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak napas karena sumbatan jalan napas, terutama di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat menganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara. Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral. Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat Infeksi saluran napas bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto rontgen jaringan lunak leher lateral. Pada foto rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat terlihat berkurangnya lordosis vertebra servikal. Diagnosis banding: adenoiditis, tumor, aneurisma aorta. Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah. Sebagai terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob, diberikan parenteral. Selain itu dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi langsung dalam posisi berbaring Trendelnburg. Pus yang keluar segera dihisap, agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau analgesia umum. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.5

2. Abses ParafaringRuang parafaring dapat mengalami infeksi dengan berbagai cara, antara lain adalah sebagai berikut :a. Langsung, yaitu akibat tusukan jarung pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarung suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis (M. Konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fosa tonsilarisb. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaringc. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, submandibulaGejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga menonjol ke arah medial. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila meragukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen jaringan lunak AP atau CT scan. Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen, atau langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum. Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endiflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia. Untuk terapi diberi antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadpa kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui insisi dari luar dan intraoral. Insisi dari luar dilakukan 2 jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior M. Sternokleidomastoideus ke arahatas belakang menyusuri bagian medial mandibula dan M. Pterigoid interna mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depam M. Sternokleidomastoideus (cara Mosher). Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri eksplorasi dilakukan dengan menembus M. Konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring anterior insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap insisi eksternal. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.5

G. Etiologi Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anakanak yang lebih tua dan dewasa muda. Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae.Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobic.5

H. EpidemiologiAbses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala dan tanda klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan. Abses peritonsiler (Quinsy) merupakan salah satu dari Abses leher dalam dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses parafaring, abses submanidibula dan angina ludovici (Ludwig Angina).5

I. PatofisiologiAbses peritonsil atau Quinsy adalah suatu infeksi akut dan berat di daerah orofaring. Abses peritonsil merupakan kumpulan pus yang terlokalisir pada jaringan peritonsil yang umumnya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut berulang atau bentuk abses dari kelenjar Weber pada kutub atas tonsil. Infeksi yang terjadi akan menembus kapsul tonsil (umumnya pada kutub atas tonsil) dan meluas ke dalam ruang jaringan ikat di antara kapsul dan dinding posterior fosa tonsil. Perluasan infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Lokasi infeksi abses peritonsil terjadi di jaringan peritonsil dan dapat menembus kapsul tonsil. Hal ini kemudian akan menyebabkan penumpukan pus atau pus meluas ke arah otot konstriktor faring superior menuju ruang parafaring dan retrofaring terdekat. Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang supra tonsil yang disebut kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah mengeluarkan cairan ludah ke dalam kripta-kripta tonsil, membantu untuk menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris yang terperangkap di dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi gangguan pada proses tersebut lalu timbul sumbatan terhadap sekresi kelenjar Weber yang mengakibatkan terjadinya pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal, akan terjadi infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada kelenjar Weber dan sistem saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga menyebabkan terjadinya abses.Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di bagian inferior. Pada stadium permulaan (Stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral. Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada M. Pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.5

J. Manifestasi KlinisGejala klasik dimulai 3-5 hari, waktu dari onset gejala sampai terjadinya abses sekitar 2-8 hari. Abses peritonsil akan menggeser kutub superior tonsil ke arah garis tengah dan dapat diketahui derajat pembengkakan yang ditimbulkan di palatum mole. Terdapat riwayat faringitis akut, tonsilitis, dan rasa tidak nyaman pada tenggorokan atau faring unilateral yang semakin memburuk. Kebanyakan pasien menderita nyeri hebat. Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain demam, disfagia, dan odinofagia yang menyolok dan spontan. Hot potato voice, mengunyah terasa sakit karena m. Masseter menekan tonsil yang meradang, sakit kepala, rasa lemah, dehidrasi, nyeri telinga (otalgia) ipsilateral, mulut berbau (foetor ex orae), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia) karena oedem palatum molle yang terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis atau oedem perifokalis, dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus) yang bervariasi, trismus menandakan adanya inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna, sehingga menimbulkan spasme muskulus tersebut. Keparahan dan progresivitasnya ditunjukkan dari trismus. Pernafasan terganggu biasanya akibat pembengkakan mukosa dan submukosa faring. Sesak akibat perluasan edema ke jaringan laring jarang terjadi. Bila kedua tonsil terinfeksi maka gejala sesak nafas lebih berat dan lebih menakutkan. Akibat limfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan nyeri leher dan terbatasnya gerakan leher (torticolis). Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan jarum besar (berukuran 1618) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.5

K. PenatalaksanaanPada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher. Pemilihan antibiotic yang tepat tergantung dari hasil kultur mikroorganisme pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan drug of chioce pada abses peritonsil dan efektif pada 98% kasus jika dikombinasikan dengan metronidazole. Dosis untuk penisilin pada dewasa adalah 600 mg IV tiap 6 jam selama 12-24 jam, dan anak 12.500-25.000 U/Kg tiap 6 jam. Metronidazole dosis awal untuk dewasa 15 mg/kg dan dosis penjagaan 6 jam setelah dosis awal dengan infus 7,5 mg/kg selama 1 jam diberikan selama 6-8 jam dan tidak boleh lebih dari 4 gr/hari. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian di insisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala gejala pasien. Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia local di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi a chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi a tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi a froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses. Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses peritonsil berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Angka kekambuhan yang mengikuti episode pertama abses peritonsiler berkisar antara 0% sampai 22%. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 68 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera. Penggunaan steroid masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone pada antibiotic parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.6

L. Komplikasi1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi paru, atau piema.2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis.3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progression penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.6M. Pencegahan Karena abses peritonsil cenderung untuk berulang ulang, maka setelah serangan pertama kali sesudah dua atau tiga minggu dilakukan tonsilektomi. Jika operasi ditunda, maka kemungkinan perlengketan jaringan tonsil itu sendiri dengan jaringan sekitarnya akan semakin ketat sehingga tonsilektomi akan semakin sukar dilakukan. Jika abses berada di belakang tonsil plika anterior sehingga drainage secara yang biasa (melalui fossa supratonsilais) tidak berhasil, dapat dilakukan dengan melakukan tonsil (Tonsilektomi) segera dengan diikuti oleh pemberian antibiotika yang tinggi (mencegah septikemia). Tindakan ini juga dilakukan bilamana keadaan abses pecah kedalam ruang parafaring sudah mengancam. Kalau terjadi abses pada ruang parafaring akan terjadi komplikasi yang serius.6N. PrognosisAbses peritonsiler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi., maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi.6

Kesimpulan Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher akibat dari kolonisasi bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsiler. Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Abses peritonsiler terbentuk dia area antara tonsil palatine dan kapsulnya. Jika abses berlanjut maka akan menyebar ke daerah sekitarnya meliputi musculus masseter dan muskulus pterygoid. Jika berat infeksinya maka akan terjadi penetrasi melalui pembuluh darah karotis.Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Penelitian yang dilakukan merekomendasikan penisilin sebagai agen lini pertama. Semua specimen harus diperiksa untuk kultus sensitifitas terhadap antibiotic. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi segera diantaranya adalah obstruksi jalan napas atas, sepsis dengan adenitis servikalis atau abses leher bagian dalam, riwayat abses peritonsilaris sebelumnya, riwayat faringitis eksudatifa yang berulang.Angka kekambuhan yang mengikuti episode pertama abses peritonsiler berkisar antara 0% sampai 22%. Tonsilektomi adalah terapi terbaik untuk terapi abses peritonsiler untuk mencegah kekambuhan, dimana angka kekambuhannya tinggi. Pada individu dengan abses peritonsiler ulangan atau riwayat faringitis ulangan, tonsilektomi dilakukan segera atau dalam jangka enam minggu kemudian dilakukan tonsilektomi.

Daftar Pustaka1. Adrianto, Petrus. Buku ajar penyakit telinga hidung dan tenggorok : penyakit telinga hidung dan tenggorokan. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2003.h.296-302.2. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. Buku ajar ilmu kesehatan: telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.h.23-93. Jonathan G. At a glance : anamnesis dan pemeriksaan fisik. Edisi ke-8. Jakarta : Erlangga; 2007.h. 196-8.4. Soepardi EA. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher : pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ke06. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2011.h.4-5.5. Fachruddin D. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher : abses leher dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2011.h.226-34.6. Adams GL. Buku ajar penyakit telinga hidung tenggorok : penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2003.h.333-40.

1