makalah bms

Upload: annette-regina

Post on 07-Jul-2015

264 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

KATA PENGANTAR Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang maha Esa karena telah memberikat rahmat dan hidayahnya sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Makalah ini disusun sebagai resume dari pelaksanaan tutorial yang dilaksanakan pada tanggal 15 dan 18 Februari 2010, dengan faktor pemicu-3. Resume ini dapat membantu pemahaman mahasiswa dalam penyelesaian kasus yang berhubungan dengan konsep yang dikuliahkan, yaitu mengenai Brain and Mind System. Di samping itu, makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mahasiswa yang termasuk dalam kategori penilaian tutor. Penulis berusaha menyusun makalah ini sebaik mungkin dengan cara menyesuaikannya dengan kasus dan pertanyaan yang muncul ketika diskusi dilaksanakan. Namun, penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca, sehingga penulis dapat menyusun makalah berikutnya dengan lebih baik lagi. Akhir kata penulis menyampaikan ucapan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun makalah ini.

Penulis

2

DAFTAR ISI Kata pengantar.....1 Daftar isi .....2 PENDAHULUAN...3 ISI 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Nama atau tema blok..4 Fasilitator.4 Data pelaksanaan.....4 Pemicu ....................................................................................................................4 Tujuan pembelajaran...5 Pertanyaan yang muncul dalam curah pendapat.5 Jawaban atas pertanyaan 7. 1.Anatomi Fungsional Serebelum, Pons, Saraf Kranialis V,VII,VIII 7.1.1. Anatomi Fungsional Serebelum.............................................................5 7.1.2. Anatomi Fungsional Pons .....................................................................7 7.1.3. Anatomi Fungsional Saraf kranialis V...................................................7 7.1.4. Anatomi Fungsional Saraf kranialis VII................................................8 7.1.5. Anatomi Fungsional Saraf kranialis VIII..............................................10 7. 2.Peningkatan Tekanan Intrakranial...................................................................11 7. 3. Tumor CPA.....................................................................................................13 7. 4. Indikasi Pemeriksaan CT SCAN.....................................................................21 7. 5. Indikasi Rujuk..................................................................................................21 7. 6. Farmakokinetik dan Farmakodinamik Analgeti dan Antiemetik....................22 7. 7. Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)..........................................24 PENUTUP 1. 2. Ulasan.....27 Kesimpulan.....28

Daftar Pustaka....29 Gambar ..............................................................................................................................30 Skema.................................................................................................................................31

3

BAB I PENDAHULUAN Sistem saraf merupakan sentral dari semua unit kegiatan yang dilakukan oleh mahluk hidup. Gangguan dalam mekanisme kerja sistem saraf dapat mengakibatkan banyak manifestasi klinis yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Penyakit saraf tidak saja sebagai penyebab angka kematian yang utama, tetapi juga sebagai penyebab angka kesakitan, mulai dari yang paling ringan sampai yang dapat menimbulkan kecacatan. Salah satu fungsi sistem saraf adalah sebagai pengatur proses pergerakan, sehingga jika hal ini terganggu dapat mengakibatkan kegagalan dalam mengkoordinasikan proses pergerakan. Proses pergerakan diatur salah satunya oleh serebelum. Banyak penyakit yang dapat mengganggu serebelum, salah satunya adalah jika terdapat massa di serebellum. Massa tersebut dapat berupa tumor yang berkembang akibat mutasi gen ataupun penyebaran dari tempat lain. Tumor ini juga dapat menyebar ke temapat lain dan menimbulkan manifestasi klinis sesuai dengan tempat penyebarannya tersebut, salah satunya adalah jika mengenai saraf kranialis VIII yang dapat menimbulkan manifestasi gangguan pendengaran. Angka insidensi kasus ini di Indonesia masih tinggi, oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pencegahan untuk menurunkan insidensinya. Salah satu cara dalam mewujudkan upaya pencegahan tersebut adalah dengan pembelajaran mengenai tumor otak dan apa saja yang dapat mengakibatkannya serta beberapa aspek klinis lain yang terkait. Untuk membantu proses pembelajaran terhadap hal-hal di atas, maka disusunlah karya tulis ini. Penyusunan karya tulis ini didasarkan pada perjalanan proses tutorial yang dilaksanakan pada tanggal 15 dan 18 Februari 2010, dengan pembahasan terhadap pertanyaan yang muncul dalam curah pendapat.

4

BAB II ISI 1. Nama atau tema blok Brain And Mind System 2. Fasilitator/Tutor dr. Alamaycano Ginting, M.Kes 3. Data pelaksanaan - Tanggal tutorial - Pemicu ke - Pukul - Ruangan 4. Pemicu C, seorang laki-laki usia 45 tahun, datang ke puskesmas dengan keluhan beberapa bulan ini sering merasa nyeri di belakang kepal. Dia juga mengeluhkan pendengaran telinga kanan berangsurangsur menurun, dan kebas di pipi kanannya. Saat berjalan, ia juga sering merasa ingin jatuh terutama ke arah kanan. Tiga hari yang lalu Pak C mendadak merasa mual, muntah. Muntah keluar menyemprot dengan keras dan setelah itu nyeri kepalanya bertambah berat. Dokter menganjurkan untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan. Rumah sakit dengan fasilitas lengkap berjarak 100 Km dari puskesmasnya. Apa yang terjadi dengan Pak C? More info : Pemeriksaan Fisik: nadi 80x/menit, tekanan darah 130/80 mmHg, suhu: 36,5 0C Hasil audiometry: tuli sensorineural telinga kanan. CT Scan tanpa kontras: Ditemukan bayangan yang hipodens di daerah CPA kanan. CT Scan dengan kontras: enhancement (+) sedang pada tumor sehingga membentuk image yang hiperdens. Massa berbentuk bulat. Apa kesimpulan anda sekarang dan apa yang akan anda lakukan? : 15 dan 18 Februari 2010 :3 : 10.30-13.00 WIB : Ruang tutorial A-7

5

5. Tujuan pembelajaran - Menjelaskan dan memahami anatomi fungsional serebelum, pons, saraf kranialis V,VII,VIII - Menjelaskan dasar ilmiah kelainan masalah dalam kelainan neurologis - Memahami definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis, cara mendiagnosis, diagnosis banding, gambaran patologi anatomi, dan melakukan interpretasi hasil manifestasi klinis dalam bentuk pengobatan, dan pencegahan yang berkaitan dengan Brain and Mind system (dalam kasus ini mengenai tumor CPA) - Berkomunikasi efektif melalui presentasi dan tulisan untuk tugas tutorial 6. Pertanyaan yang muncul dalam curah pendapat - Jelaskan anatomi fungsional dari serebelum, pons, dan saraf kranialis V,VII,VIII! - Jelaskan definisi, etiologi, dan gejala klinis peningkatan tekanan intrakranial! - Jelaskan definisi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, pengobatan, pencegahan, komplikasi, dan prognosis tumor CPA! - Jelaskan indikasi dari pemeriksaan CT SCAN! - Apakah indikasi rujuk dari penyakit neurologis? - Jelaskan farmakokinetik dan farmakodinamik analgetik dan antiemetek! - Bagaimana pemberian persetujuan tindakan medis untuk penunjang diagnostik dan penatalaksanaan selanjutnya! 7. Jawaban atas pertanyaan o Anatomi Fungsional Serebelum, Pons, dan Saraf Kranial V,VII,VIII SEREBELUM

Serebelum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh duramater yang menyerupai atap tenda, yaitu tentorium, yang memisahkannya dari bagian posterior sereberum. Serebelum terdiri dari bagian tengah (vermis) dan dua hemisfer lateral. Serebelum dihubungkan dengan batang otak oleh tiga berkas serabut yang dinamakan pedunkulus. Pedunkulus serebeli posterior berhungungan dengan mesensefalon; pedunkulus serebeli media menghubungkan kedua hemisfer otak; sedangakan pedunkulus serebeli inferior berisi serabut-serabut traktus spinoserebelaris dorsalis dan berhubungan dengan medula oblongata. Semua aktivitas serebelum berada di bawah kesadaran. Fungsi utamanya adalah sebagi pusat refleks yang mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot, serta mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh

6

(spinoserebelum), sebagai pusat perencanaan dan inisiasi aktivitas volunter dengan memberikan masukan ke daerah motorik korteks (Serebroserebelum) ,dan kontrol keseimbangan dan pergerakan bola mata (vestibuloserebelum). Untuk mempertahankan postur tubuh tedapat pengaruh tonik dari berbagai pusat yang lebih tinggi. Kontrol ini juga berperan dalam pergerakan. Disini pesan tonik dari pusat yang lebih tinggi diterjemahkan kedalam suatu output lokomotor ritmik atau periodik. Brown mengemukakan bahwa gerakan berjalan ditimbulkan oleh neuron-neuron yang terletak dalam medula spinalis. Terdapat suatu daerah pada mesensefalon yang bila dirangsang mengakibatkan gerakan berjalan, disebut mesencephalic locomotor region. Pola dasar ritmik aktivitas neural yang menimbulkan pergerakan ditimbulkan oleh neuron-neuron intrisik dalam susunan saraf pusat. Sehingga dikatakan terdapat suatu program sentral untuk pergerakan. Suatu program sentral adalah suatu ekspresi dari sirkuit neural yang menghasilkan suatu pola output motorik tertentu yang tidak memerlukan umpan balik aferen, misalnya kontraksi otot-otot pleksorekstensor secara bergantian selama berjalan. Progam sentral tersebut terletak dalam medula spinalis (terutama pada lamina IV dan V). Program sentral disebut juga sebagai pembangkit pola atau osilator neural. Selama gerakan lokomotor, neuron-neuron yang merupakan asal dari traktus rubrospinalis, vestibulospinalis dan retikulospinalis berada dalam keadaan aktif secara ritmis. Suatu kelompok neuron adrenergik yang terletak pada locus ceruleus dan bagian bawah batang otak mengirimkan akson-aksonnya kedaerah lumbosakral medula spinalis. Kelompok neuron ini diduga yang menjadi perantara aksi dari mecencephalic locomotor region. Informasi assenden dari medula spinalis dikirmkan kepusat yang lebih tinggi selama pergerakan. Traktus spinoselebralis membawa input untuk serebelum dari muscle spindle, organ tendon dan aferen persendian. Neuron traktus spinoseleberalis dorsalis menerima input spesifk dari aferen otot sehingga mudah terpengaruh, sedangkan traktus spinoserebelaris ventralis menerima input dari perifer yang lebih difus dan lebih lemah sehingga lebih sulit dipengaruhi. Kedua neuron traktus spinoserebelaris dorsalis dan ventralis berada dalam keadaan aktif (secara fasik) selama pergerakan. Kedua traktus spinoserebelaris ini mengirimkan informasi yang berbeda kepada serebelum. Traktus dorsalis mengirimkan informasi mengenai aktifitas otot, sedangkan traktus ventralis mengirimkan informasi mengenai proses aktif dalam medula spinalis (pembangkitan pola untuk pergerkan). Informasi eferen mempunyai 2 peran penting dalam proses pergerakan, yang pertama adalah memulai program motorik dari satu fase ke fase berikutnya dan yang kedua adalah membuat penyasuaian gerakan sesuai keperluan sehingga terjadi suatu pergerakan yang halus. Sumber: Patofisiologi, 1026; Fisiologi Sherwood,103-145

7

o

PONS

Pons merupakan jembatan serabut-serabut yang menghubungkan kedua hemisferium serebri, serta menghubungkan mesensefalon sebelah atas serta medula obongata di sebelah bawah. Serabut tranversal berjalan diantara pons dan serebelum melalui pedunkulus serebri, dan serabut longitudinalis naik dan turun berisi traktus sensorik dan motorik. Pons merupakan mata rantai yang penting pada jaras kortikoserebelaris yang menyatukan hemisferium serebri dan serebeli. Pada pons juga terdapat pusat pernafasan apneustik yang mengontrol kontraksi otot inspirasi dan pusat pernafasan pneumotaksik yang mengontrol relaksasi otot pernafasan sehingga terjadi ekspirasi. Bagian bawah pons berperan dalam pengaturan pernafasan. Nukleus saraf kranialis V, VI, VII, VIII terdapat disini. Sumber: Patofisiologi, 1024-1025 o SARAF KRANIALIS V (NERVUS TRIGEMINUS)

Nervus ini disebut nervus trigeminus karena mempunyai tiga cabang yaitu n. optalmikus, n. maksilaris, dan n. mandibularis. Cabang-cabang ini akan menyatu pada ganglion gasseri. Nervus trigeminus mengandung baik serabut sensoris maupun serabut metoris. Cabang-cabang tepinya membawa serabut parasimpatis dari nucleus Ediger westphal, nucleus nervus intermedius, dan nucleus nervus glossopharyngeus di satu sisi dan serabut orthorasimpatis di sisi lain. Nervus Opthalmicus Saraf ini merupakan cabang pertama bersifat sensoris yang pempersarafi bulbus, glandula lakrimalis, konjuntiva, mukosa kavum nasi, kulit hidung, palpebra, dahi, kulit kepala. Membentang ke ventral didinding sinus lateral kavernosus dibawah nervus okulomotorius dan trokhlearis. Menerima serabut simpatis dari pleksus corotikus internus serta bercabang menjadi cabang ramus tentorii meningeus sebelum memasuki fissura orbitaris. Bagian superior bercabang menjadi : 1. Nervus lakrimalis; cabang terkecil memasuki orbita melalui tepi lateral fissura orbitalis superior, melewati tepi atas musculus rectus lateralis bersama-sama arteri lakrimalis. 2. Nervus frontalis; memasuki rongga orbita melalui bagian FOS (fossa orbitalis superior) terletak diatas otot dan membentang diantara m.levator palpebra superior dan peiosteum. Pada pertengahan orbita bercabang dua menjadi n.supratroclearis dan n.supraorbitalis. 3. Nervus nasosiliaris; masuk orbita melalui bagian medial FOS, menyilang n. optikus menuju dinding medial orbita dan selanjutnya sebagai n.ethmoidalis anterior, masuk kedalam cavum cranii melalui

8

foremen ethmoidalis anterior, berjalan diatas lamina kribosa dan turun ke cavum nasi melalui celah disisi crista gali. n.nasosiliaris menerima ramus komunikan ganglion siliaris dan mempercabangkan n.siliaris longus, n.infratrochlearis dan n.ethmoidalis posterior. Nervus Maksilaris Dari ganglion trigeminal divisi ini berjalan kedepan pada dinding lateral sinus cavernosus dibawah N.VI, dan meninggalkan fossa crani melalui foramen rotundum dan memasuki bagian superior dari fossa pterygopalatina. Sesudah memutari sisi lateral processus orbitalis dari os platina, memasuki orbita melalui fissura orbitalis inferior. Berjalan kedepan pada sulcus infraorbitali pada orbital floor dan berubah nama menjadi n .infraobita. selanjutnya memasuki canalis dan keluar pada pipi melalui foramen infraorbitalis untuk mempersarafi kulit palpebra inferior, kulit sisi hidung dan pipi, bibir atas dan mucosa bibir atas dan pipi. Nervus mandibularis Cabang ini merupakan cabang terbesar. Terletak pada fossa infratemporal tepat dibawah foramen ovale. Nervus ini bercabang menjadi dua cabang kecil : cabang meningea (n.spinosus) dan nervus untuk m.pterygoid media, kemudian terbagi dua menjadi divisi anterior dan posterior , dari divisi posterior keluar N. buccalis dan nervus untuk m. Masetter dan m. pterygoid lateral. Nervus spinosus melewati foramen spinosus untuk mencapai dasar fossa crani media untuk mempersarafi durameter pada fossa anterior dan media serta membran mukosasellulae mastoid. Sumber: Patofisiologi, 1033; Neurologi klinis dasar, 150 o SARAF KRANIALIS VII (NERVUS FACIALIS)

Nervus facialis merupakan suatu saraf majemuk, yang memiliki radiks motorik dan radiks sensorik yang bergabung pada nervus intermedius. Nervus intermedius tersusun oleh serabut sekretomotorik untuk glandula salivatorius dan serabut yang menghantarkan impuls pengecap dari 2/3 bagian deran lidah. Nervus facialis merupakan saraf cranial yang mempersarafi otot ekspressi wajah dan menerima sensorik dari lidah, dalam perjalanannya bekerja sama dengan nervus karnialis yang lain, karena itu dimasukkan ke dalam mix cranial nerve. Nervus facialis mempunyai empat buah inti yaitu : nukleus facialis untuk saraf Somatomotoris , nukleus Salivatorius Superior untuk saraf Viseromotoris , nukleus Solitarius Untuk saraf Viserosensoris, nukleus Sensoris Trigeminus untuk saraf Somatosensoris. Inti motorik nervus facialis terletak pada

9

bagian ventolateral tegmentum pons bagian bawah. Dari sini berjalan kebelakang dan mengelilingi inti N VI dan membentuk genu internal nervus facialis, kemudian berjalan ke bagian-lateral batas kaudal pons pada sudut ponto serebelar. Serabut motorik saraf Facialis bersama-sama dengan saraf intermedius dan saraf vestibulokoklearis memasuki meatus akustikus internus untuk meneruskan perjalanannya didalam os petrosus (kanalis fasialis). Nervus facialis keluar dari os petrosus kemudian kembali dan tiba dikavum timpani. Kemudian turun dan sedikit membelok kebelakang dan keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomatoideus. Pada waktu ia turun ke bawah dan membelok ke belakang kavum timpani di situ ia tergabung dengan ganglion genikulatum. Ganglion tersebut merupakan induk dari serabut penghantar impuls pengecap, yang dinamakan korda timpani. Juluran sel-sel tersebut yang menuju ke batang otak merupakan bagian dari nervus intermedius, disamping itu ganglion tersebut memberikan cabang-cabang kepada ganglion lain yang menghantarkan impuls sekretomotorik. Os petrosus yang mengandung nervus fasialis dinamakan akuaduktus fallopii atau kanalis fasialis. Melalui kanaliskulus anterior ia keluar dari tulang tengkorak dan tiba di bawah muskulus pterigoideus eksternus, korda timpani menggabungkan diri pada nervus lingualis yang merupakan cabang dari nevus mandibularis. Sebagai saraf motorik nervus facialis keluar dari foramen stilomastoideus memberikan cabang yakni nervus auricularis posterior dan kemudian memberikan cabang ke otot stilomastoideus sebelum masuk ke glandula parotis. Di dalam glandula parotis nervus facialis dibagi atas lima jalur percabangannya yakni temporal, cervical, bukal, zygomatic dan marginal mandibularis. Jaras parasimpatis (General Viceral Efferant) dari intinya di nucleus salivatorius superior setelah mengikuti jaras N VII berjalan melalui greater petrosal nerve dan chorda tympani. Greater petrosal nerve berjalan ke ganglion pterygopalatina berganti neuron lalu mempersarafi glandula lakrimal, nasal dan palatal, sedangkan chorda tympani berjalan melalui nervus lingualis berganti neuron mempersarafi glandula sublingual dan glandula submandibular. Jaras Special Afferent (Taste) dari intinya nukeus solitarius berjalan melalui nervus intermedius ke greater petrosal nerve melalui nervus palatina mempersarafi taste dari palatum, tympani melalui nervus lingualis mempersarafi taste 2/3 bagian depan lidah. Jaras general somatik different , nukleus spinalis traktus trigeminal menerima impuls melalui nervus intermedius dari MAE dan kulit sekitar telinga. Korteks serebri akan memberikan persarafan bilateral sedangkan chorda

10

pada nucleus N VII yang mengontrol otot dahi, tetapi hanya mernberi persarafan kontra lateral pada otot wajah bagian bawah. Sehingga pada lesi lower motor neuron (LMN) akan menimbulkan paralysis otot wajah ipsilateral bagian atas bawah, sedangkan pada lesi LMN akan menimbulkan kelemahan otot wajah sisi kontta lateral. Sumber: Patofisiologi, 1033; Neurologi klinis dasar, 160 o SARAF KRANIALIS VIII(NERVUS VESTIBULOKOKLEARIS) Nervus Vestibulocochlearis merupakan nervus cranialis ke delapan. Nervus ini terdiri dari dua komponen fungsional yang berbeda yaitu 1) nervus vestibularis, yang membawa impuls keseimbangan dan orientasi ruang tiga dimensi dari apparatus vertibular dan 2) nervus Cochlearis, yang membawa impuls pendengaran yang berasal dari organ of corti di dalam cochlea. Apparatus vestibular dan organ of corti terletak didalam pars petrosa os temporalis. Kedua komponen nervus vestibulochlearis ini terdiri dari serabut-serabut somatosensorik khusus. Nervus vestibulocochlearis memasuki batang otak tepat dibelakang nervus facialis (VII) pada suatu daerah berbentuk segitiga yang dibatasi oleh pons, flocculus dan medulla oblongata, keduanya kemudian terpisah dan mempunyai hubungan ke pusat yang berbeda. Nervus vestibularis dan cochlearis biasanya bersatu yang kemudian memasuki meatus acustikus internus, disebelah bawah akar motorik nervus VII. Nervus Vestibularis (fungsi keseimbangan) Nervus vestibularis intinya terdiri dari 4 bagian yaitu medial, superior, inferior dan lateral. Nukleus ini terletak di bagian dorsal antara pons dan medulla sehingga menjadi bagian depan/dinding dari ventrikel IV. Pengetahuan mengenai nukleus vestibularis inferior masih sangat sedikit. Nukleus vestibularis lateral dan medial berperan dalam refleks labiryntine statis, sedangkan nukleus vestibularis medial dan superior berperan dalam refleks dinamis dan vestibuloocular. Pada daerah fundus dari meatus acustikus internus, bagian vestibuler dari N.vestibulocochlearis, meluas untuk membentuk ganglion vestibuler yang kemudian terbagi menjadi divisi dan superior clan inferior. Kedua divisi ini kemudian berhubungan dengan canalis semisirkularis. Di dalam canalis semisirkularis terdapat sel-sel bipolar yang mengumpulkan impuls dari sel-sel rambut untuk diteruskan ke batang otak terutama ke nucleus vestibularis superior, inferior, medial dan lateral serta sebagian langsung ke lobus flokullonodularis dari serebelum melalui pedunkulus cerebellaris inferior homolateral. Nervus Cochlearis (fungsi pendengaran)

11

Nervus cochlearis intinya terdiri dari dua bagian, yaitu ventral dan dorsal, letaknya disebelah lateral pedunkulus cerebelli inferior. Tonjolan inti kokhlearis pada dinding ventrikel IV disebut acoustic tubercle. Serabut dari N.Cochlearis akan berjalan ke cochlea dan membentuk ganglion spirale cochlea, serabutnya berakhir pada sel-sel rambut organ of corti di ductus cochlearis. Serabut dari nucleus vestibularis dan cochlearis berjalan ke ventrolateral dan keluar dari batang otak pada daerah pontomedulary junction bersama N. VII yang terletak disebelah medialnya, kemudian berjalan masuk ke os petrosus melalui meatus acustikus internus, jarak dari pontomedullari ke meatus acustikus internus 10 mm (6-15 mm). Di dalam meatus akustikus internus nervus vestibularis berjalan di sebelah dorsal, sedangkan nervus cochlearis berjalan di sebelah ventralnya. Di atasnya berjalan nervus intermedius (N VII) dan serabut motorik nervus VII. Perjalanan selanjutnya agak berputar sedikit, sehingga nervus cochlearis berada di sebelah bawah, diatasnya nervus vestibularis, sedangkan nervus facialis di sisi depannya dan nervus intermedius diantaranya. Sumber: Patofisiologi, 1033; Neurologi klinis dasar, 163 Peningkatan Tekanan Intrakranial

a. Definisi Tekanan intra kranial merupakan tekanan di dalam rongga kranialis. Rongga kranialis adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan: otak (1400 gr), cairan serebrospinal (75 ml), dan darah (75 ml). Peningkatan tekanan intrakranial merupakan peningkatan tekanan di dalam rongga kranialis akibat proses desak ruang oleh unsur-unsurnya. b. Etiologi Volume intrakranial yang meninggi, dapat disebabkan oleh: tumor serebri, infark yang luas, taruma, perdarahan, abses, hematoma eksrtaserebri, dan acute brain swelling. Dari faktor pembuluh darah . Meningginya tekanan vena karena kegagalan jantung atau karena obstruksi mediastinal superior, tidak hanya terjadi peninggian volume darah vena di piameter dan sinus duramater, juga terjadi gangguan absorpsi cairan serebrospinalis.

12

Obstruksi pada aliran dan pada absorpsi dari cairan serebrospinalis, maka dapat terjadi hidrosefalus, sehingga terjadi proses desak ruang. c. Gejala Klinis Nyeri kepala, karena distorsi duramater dan pembuluh darah otak. Bertambah saat bangun pagi, makin hebat oleh kegiatan (batuk, bersin, mengejan, perubahan posisi kepala tiba-tiba). Progresif dan rekuren sesuai peningkatannya. Muntah, karena distorsi pembuluh darah dan batang otak.muntah tanpa adanya mual. Disertai iritable, apatis, depresi, letargi, lesu, mengantuk berlebihan, pelupa. Pembesaran kepala, Fontanel anterior membonjol Diplopia, Papil edema, Dilatasi pupil Penurunan kesadaran Perubahan tekanan nadi dan perubahan pernapasan Fenomena Cushing Herniasi d. Patogenesis Berdasarkan Hipotesa Monro-Kellie : Kranium beserta isinya (darah,LSS, jaringan otak) berada dalam keseimbangan volume sehingga setiap penambahan volume dari salah satu isi kranium pasti akan menyebabkan pengurangan volume dari yang lain. Bila terjadi kenaikan yang relatif kecil dari volume otak, keadaan ini tidak akan cepat menyebabkan tekanan tinggi intrakranial. Sebab volume yang meninggi ini dapat dikompensasi dengan memindahkan cairan serebrospinalis dari ronga tengkorak ke kanalis spinalis dan disamping itu volume darah intrakranial akan menurun oleh karena berkurangnya peregangan durameter. Hubungan antara tekanan dan volume ini dikenal dengan complience. Jika otak, darah dan cairan serebrospinalis volumenya terus menerus meninggi, maka mekanisme penyesuaian ini akan gagal dan terjadilah peningkatan tekanan intrakranial. Vasodilatasi dan edema otak dapat mengakibatkan penekanan pada daerah peka nyeri di otak dan mengakibatkan nyeri kepala serta mengakibatkan stasis vena dan terjadilah papil edem. Tumor secara langsung dapat menimbulkan nyeri kepala akibat penekanan pada daerah-daerah peka nyeri di otak.

13

Iskemia otak akan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan darah sistemik sebagai respon tubuh, yang kemudian akan terus meningkat sesuai dengan peningkatan TIK sampai pada satu titik tekanan intra kranial lebih tinggi dari tekanan darah , maka mekanisme kompensasi akan hilang. Akibat terjadinya peningkatan tekanan darah , akan terjadi perangsangan pada aktivitas vasomotor dan akan terjadi pengiriman impuls kepada pusat kardiovaskuler dan terjadi peningkatan aktivitas saraf parasimpatis dan penurunan aktivitas saraf simpatis sehingga denyut jantung akan turun (bradikardi). Iskemia otak juga dapat mengakibatkan hiperaktivitas muatan listrik otak yang nantinya dapat menimbulkan kejang. Adanya peningkatan tekanan intrakranial yang berkelanjutan akan mengakibatkan penekanan pada pons dan medula mengakibatkan frekuensi pernafasan berkurang, penekanan pada tetorium dan foramen magnum akan mengakibatkan herniasi dan terjadi penekanan pada batang otak akan mengakibatkan kesadaran menurun. Sumber: Patofisiologi, 1167-1182; Neurologi klinis dasar, 382-388 a. Tumor CPA Definisi Pertumbuhan sel dalam otak, bisa kanker atau non-kanker, atau berasal dari pembelahan sel secara abnormal, bisa berasal dari sel otak atau dari organ lain, dan terletak diantara serebelum dan pons (Cerebello pontine angel). b. Epidemiologi Merupakan neoplasma tersering di fossa anterior (5%-10% intrakranial). Kebanyakan tumor CPA merupakan tumor jinak. Sebagian besar tumor CPA merupakan acoustic neuroma / vestibular schwanoma (90%). Sisanya meningioma (6%-7%), epidermoid (2%-3%) dan sisanya adalah jenis tumor lainnya. Tumor CPA sering terjadi pada usia 35-60 tahun. 97,7% mengakibatkan kelumpuhan saraf fasialis. c. Faktor Risiko

Genetik dan kongenital Usia diatas 35 tahun Penggunaan zat-zat karsinogenik Infeksi sistem saraf pusat, toksin, radiasi

14

d.

Patogenesis dan Gejala Klinis Secara umum gambaran klinis tumor CPA adalah:

Deafness (ipsilateral) Loss of facial sensation (ipsilateral) Facial weakness (ipsilateral)

Beberapa tumor yang sering dijumpai pada daerah cerebello pontine angel antara lain: Acoustic neuroma Merupakan tumor jinak intrakranial primer akibat demielinisasi yang berasal dari sel scwann pada nervus VIII. Sehingga acoustic neuroma disebut juga sebagai vestibular schwanoma. Tumor jenis ini memiliki dua tipe, yaitu: o Tipe I: secara sporadik terjadi demielinisasi nervus VIII, dapat mengenai saraf kranial yang lain atau spinal rool ganglia. Biasanya terjadi pada orang dewasa dan unilateral, jarang terjadi bilateral. o Tipe II: biasanya terjadi bilateral dan pada usia kurang dari 21 tahun. Oleh karena neuroma akustikus berasal dari sel Schwann yang berada didalam serabut saraf vestibularis maka pertumbuhannya akan sangat lambat. Setelah tumor tumbuh cukup besar , maka tumor akan tumbuh terus biasanya menuju kearah medial (bagian tengah) dan bentuk tumor saat mencapai rongga ini mengalami perubahan menjadi speris. Saat tumor masih berada dalam rongga telinga bagian dalam, mungkin akan menimbulkan gejala awal seperti gangguan pendengaran (merupakan gejala awal yang paling sering oleh karena penekanan terhadap saraf pendengaran atau terputusnya pembuluh darah) atau gangguan keseimbangan berupa vertigo oleh karena penekanan saraf vestibular (keseimbangan). Gangguan pendengaran dapat terjadi tiba-tiba (80%)atau fluktuasi (15%) namun demikian tidak ada hubungan yang signifikan antara besarnya tumor dan beratnya tingkat gangguan pendengaran.

15

Selain menekan saraf pendengaran, tumor juga menekan saraf wajah (nervus kranialis VII) dengan gejala kelemahan (parese) wajah satu sisi (25% dari penderita neuroma akustikus). Saat tumor mencapai diameter 2 cm dan sudah berada di cerebellopontine angle, tumor akan menekan permukaan lateral batang otak yang jika tumor tumbuh lebih besar, akan mendorong batang otak kearah yang berlawanan (kontralateral). Saat tumor mencapai diameter 4 cm, seringkali tumor berkembang ke arah depan (anterior) dan menekan saraf trigeminus yang dapat menimbulkan gejala nyeri wajah satu sisi. Jika tumor berkembang ke bagian bawah (inferior), akan menekan saraf kranialis IX, X dan XII, dengan berbagai macam gejala, seperti kesulitan menelan. Jika tumor tumbuh terus hingga mencapai diameter lebih dari 4 cm, maka tumor akan menekan otak kecil (serebellum) dan secara tidak langsung akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus obstruktif. Terjadinya hidrosefalus akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan dalam otak (intrakranial) dengan gejala: nyeri kepala (50% penderita dengan diameter tumor lebih dari 3 cm), mata kabur (35% dari penderita) disertai mual dan muntah yang tidak khas (15% dari penderita.) Meningioma Merupakan tumor CPA tersering setelah acoustic neuroma. Sel-selnya berasal dari cap cells dari vili arakhnoid di meninges. Tumor ini biasanya jinak, tetapi dapat menajdi ganas, berkapsul dan tidak menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menekan struktur yang ada dibawahnya. Kasus yang dijumpai kebanyakan memiliki riwayat keluarga dan orang yang melakukan radiasi kepala. Terjadi akibat adanya mutasi neurofibtomatosis 2 gene (merlin) pada kromososm 22q. Kemungkinan juga akibat mutasi lokus MN1, PTEN, dan gen pada kromoson 1p13. Jika ukuran tumor kurang adari 2 cm maka tidak akan tampak adanya simptom, sedangkan jika lebih dari 2 cm akan memberikan gejala sesuai dengan ukuran dan lokasinya. Jika menekan serebrum akan mengakibatkan kejang fokal, jika menekan daerah parasagital frontoparietal menyebabkan spasme progresif pada tungkai (gejala khas: hemiparese) dan inkontinensia urin,

16

jika tumor cukup besar maka akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial dan dapat mengakibatkan afasia. Tumor ini dapat menyebar ke permukaan lobus temporalis dan parietalis, sphenoid ridge, sylvian region, falx cerebri, dan spinal cord. Klasifikasi berdasarkan WHO:o

Grade I (benign): populasi 90%. Meningothelial, fibrous, transitional, psammomatous, angioblastic. Gade II (atipical): populasi 7%. Choroid, clear cell, atypical. Grade III (anaplastic): populasi 2%. Papilary, rhabdoid, anaplastic.

o o

Astrositoma Merupakan tumor otak yang berasal dari sel berbentuk seperti bintang yang disebut astrosit di otak. Tumor ini biasanya tidak menyebar ke daerah diluar otak dan medula spinalis, dan biasanya tidak menyebar ke organ lain. Dapat dijumpai pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada anak-anak. Klasifikasi berdasarkan WHO:o

Grade I: terdiri dari pilocytic astrocytoma, pleomorphic, xhantoastrocytoma, subependymal giant cell astrocytoma, and subependymomas. Grade II: terdiri dari oligodendroma, astrocytoma, mixed oligoastrocytoma. Terdapat infiltrative glioma, sel tumor berpenetrasi mengelili jaringan otak yang masih sehat. Grade III: terditi dari anaplastic astrocytoma, pleomorphism, high mitoses. Grade IV: terdiri dari glioblastoma multiform yang menyebar ke bagian lain di otak, highly malignant tumor, endothelial ploriferation, area nekrosis dikelilingi oleh peripheral palisading of tumor cells.

o

o o

Epidermoid Merupakan tumor jinak kongenital yang berasal dari sel ektoderm yang mencapai neural groove pada usia kehamilan 3-5 minggu. Walaupun merupakan tumor kongenital, pasien biasanya asimptomatik samapai usai 20-40 tahun (akibat pertumbuhannya yang lambat). Gambaran histopatologi epidermoid adalah stratified squamous epithelium dengan kapsul putih fibrosa, yang kemudian berkembang menjadi deskuamasi sel epitel, dengan pembentukan keratin dan kristal kolesterol pada bagian tengah lesi.

17

e.

Pemeriksaan Diagnostik o Anamnesis: ditanyakan identitas pasien (usia menentukan), onset, riwayat gejala klinis dan telaah, riwayat penyakit terdahulu, riwayat imunisasi, riwayat perkembangan, riwayat keluarga, riwayat pengobatan ). o Pemeriksaan Fisik - Vital sign: frekuensi napas, denyut jantung, suhu tubuh, tekanan darah, sensorium.- Penilaian sluruh tubuh: dilakukan mulai kepala (apakah ada kelianan bentuk, fungsi dll),

wajah (apakah ada paralisis nervus kranialis), mata (ptosis, myosis, dll), telinga (kemungkinan infeksi), mulut dan tenggorokan, leher (kaku kuduk, pembesaran tiroid), toraks (nilai pernapasannya), jantung (nilai fungsi jantungnya), abdomen (muscular rigidity, pembesaran hepar dan lien), ekstremitas (ada atau tidaknya parese atau paralisis). o Pemeriksaan Neurologis Dilakukan pemeriksaan saraf kranialis, tes vertigo, pemeriksaan motorik dan sensorik. o Pemeriksaan Laboratorium o Pencitraan Foto Rontgen Schedule foto, servikal (AP, lateral, Obliq), thorakal (AP,Lateral), Lumbosakral (AP, lateral, Obliq). CT-Scan Dengan atau tanpa kontras. Pada acustic neuroma akan didapatkan gambaran lesi hipo atau isodens yang menyangat kontras homogen dengan posisi meatus auditorius internus di garis tengah dan terdapat erosi dan pelebaran meatus akustikus internus, sudut antara tumor dan os pertosus tajam, bentuk tumor bulat atau oval.

18

Pada meningioma akan didapatkan lesi hiperdens sebelum pemberian kontras dan letaknya terhadap meatus akustikus internus tidak simetris, erosi pada permukaan posterior dari piramid petrosus, sudut antara rumor dan os petrosus tumpul, bentuknya semilunar atau hemisferik. MRI Untuk mendeteksi tumor intrakanalikuler lebih spesifik. Diinjeksikan zat kontras untuk meningkatkan gambaran pembuluh darah, tumor, dan inflamasi. Pada acoustic neuroma biasanya terlihat pada sekuens T1 non kontras, tetapi tidak pada T2 karena tumor tampak isointens sama dengan LCS. Pemberian kontras gadolinium dapat meningkatkan peningkatan kemampuan mendeteksi tumor yanng kecil isointense atau hipointense pada T1 dan T2. Pada meningioma terlihat isointense atau hipointense di T1 dan hanya moderat pada T1 gadolinium. EEG Untuk mengetauhi aktivitas listrik otak. Untuk tumor terjadi gambaran abnormal nonspesifik. EMG Mengetahui aktivitas listrik otot. Indikasi: motor neuron disease, neuropati, miastenia gravis, penyakit otot primer, dan tumor. PET Mengukur konsentrasi serebri yang dapat dirangsang dengan pelepasan radioaktif. Berguna untuk menentukan grade tumor, eleptic foci, dan penyakit penuaan. Angoigrafi Biasanya dianjurkan untuk pasien dengan usia diatas 50 tahun. Indikasi: anneurisma, AVM, angitis. o Lumbal Punksi Indikasi:

19

Diagnosis meningitis, ensefalitis & inflamasi pada cairan spinal lainnya Perdarahan sub arachnoid dan intra serebral Meningeal karsinomatosis Mengukur tekanan intra kranial Pemberian kemoterapi intrathecal Drainase / reduksi cairan likuor, seperti pada hidrocephalus communican Mengetahui respon terapi Kontraindikasi: Diduga peninggian intra kranial oleh karena space occupation lesion Infeksi lokal sampai dekubitus

Kadar trombosit < 40.000 Protrombin time < 50 % Penyakit jantungdan pernafasan yang berat Diduga ada lesi massa pada spinal cord, untuk ini perlu LP yang diikuti myelografi

Komplikasi : Sakit kepala (post lumbal puncture headache) , hematoma epidural / subdural, infeksi , herniasi , traumatic tap. o Biopsi dan Kultur Dilakukan untuk menegakkan diagnosa dan grading tumor untuk menentukan penatalaksanaan. Merupakan gold standard dalam penentuan tumor. Sumber: Prosedur Diagnostik f. Penatalaksanaan Terapi suportif Antikonvulsan, kortikosteroid, agan antitrombosis, agen pshycotropic, dan terapi fisik untuk mengurangi simptom. Terapi Definitif Operatif

20

Indikasi: gejala bertambah berat atau muncul gejala baru, tumor yang bertambah besar selama observasi, tumor yang tumbuh kembali setelah operasi subtotal pada pasien usia muda, tumor yang bertambah besar setelah radiosurgery. Ada tiga pendekatan pada pembedahan: teknik translabirin (nervus fasialis diobservasi sejak awal pembedahan sehingga kerusakannya dapat dikurangi), teknik fossa media (dilakukan di bagian atas kanalis auditorius interna dan sisterna CPA), teknik suboksipital (reseksi tumor di radikan dan mempertahankan fungsi nervus kranialis di CPA). Pemilihan teknik operasi berdasarkan ukuran tumor, derajat gangguan pendengaran, dan keterampilan ahli bedah. Radioterapi Indikasi: pasien tua dengan tumor yang bertambah besar ke intrakranial 2,5 cm atau kurang atau munculnya gejala baru, sisa tumor atau rekuren setelah operasi subtotal, penyakit lain yang meningkatkan risiko operasi, pilihan pasian. Ada tiga metode: gamma knife radiosurgery, fractionated stereotactic, proton therapy. Kemoterapi Masih belum terlalu berkembang. Grade Grade I Grade II Grade III Grade IV Meningioma Complete removal including resection Astrositoma Surgeon and radiation and and

of underliying bone and associated dura Complete removal, coagulatien of dural Radiation attachment Complete removal tith or without resection of dura chemotherapy Radiation chemotherapy Surgical and radiation

Sumber: Patofisiologi, 1183-1192; Neurologi klinis dasar, 377-388 g. Komplikasi o Hidrosefalus non komunikans

21

o o o

Peningkatan tekanan intrakranial Sindroma uncus Sindroma kompresi rostokaudal

h.

Prognosis Prognosis bergantung pada tingkat kecepatan pertumbuhan kanker sehingga dapat diketahui apakah akan meninggalkan sekuele atau tidak.

Sumber: Patofisiologi,; Neurologi klinis dasar, 388-389 Indikasi CT SCAN Perdarahan, trauma kepala , dan fraktur tengkorak Perdarahan akibat rupturnya aneurisma pada pasien yang menderita sakit kepala berat Perdarahan atau gumpalan darah di otak setelah gejala stroke dieliminasi Stroke Brain Tumor Peningkatan isi otak pada pasien yang hidrosefalus Penyakit atau malformasi tengkorak Kerusakan tulang dan jaringan lunak Diagnosis penyakit pada tulang temporalis di samping tengkorak Inflamasi atau perubahan dalam status kesadaran Terapi radiasi untuk kanker di otak dan jaringan lain Biopsi Otak Arterio Venous Malformation dan Claustrofobia

-

Indikasi Rujuk Penyakit yang progresif Tidak respon terhadap pengobatan awal Memerlukan tindakan yang invasif Fasilitas yang tidak memadai

-

Farmakokinetik dan farmakodinamik Analgetik dam Antiemetik

22

a. Analgetik Analgetik terbagi menjadi dua, yaitu analgetik opioid dan analgetik non opiodi yang didalamnya termasuk NSAID dan anlgetik antipiretik. o Analgetik opioid Analgetik ini diabsorpsi dengan baik pada pemberian subkutan atau intramuskular yang sama baiknya dengan pemberian oral. Akan tetapi, walaupun pemberian melalui saluran cerna mungkin cepat, ketersediaan hayatinya mungkin menurun karena harus melewati first pass metabolism. Oleh karena itu, diperlukan dosis oral yang lebih tinggi. Distribusinya dengan cara berikatan dengan protein plasma dengan berbagai afinitas, senyawa ini dengan cepat meninggalkan darah dan terlokalisasi dengan konsentrasi yang tinggi di jaringan yang perfusinya tinggi seperti paru, hati, ginjal, dan limpa.Kadar obat dalam otak biasanya rendah karena adanya sawar darah otak. Sebagian besar opioid dikonversi menjadi metabolit polar, sehingga mudah diekskresi oleh ginjal. Senyawa yang memiliki gugus hidroksil bebas dikonyugasi dengan asam glukoronat, sedangakn senyawa dalam bentuk ester dihidrolisis dengan esterase. Opioid juga mengalami N-demetilasi oleh hati, tetapi hanya sebagiankecil saja. Ekskresi terutama melalui ginjal dengan waktu 4-6 jam. Sebagian kecil diekskresi dalam bentuk yang tidak berubah. Konyugasi glukoronoid juga diekskresi ke dalam empedu, tetapi siklus enterohepatik hanya merupakan bagian kecil siklus ekskresi. Opioid berkerja dengan berikatan secara selektif pada banyak tempat di seluruh tubuh untuk mengahsilkan efek farmakologi. Obat ini akan berikatan dengan reseptorreseptornya, antara lain kappa, delta, epsilon, sigma, dan yang berlokasi di CNS termasuk batang otak, sistem limbik, dan medula spinalis. Opioid tampak memperlihatkan efeknya dengan hiperpolarisasi dan penghambatan saraf pascasinaptik (dengan menungkatkan aliran kalium) atau dengan mengurangi masukknya kalsium kedalam ujung saraf presinaptik sehingga terjadi penurunan pembebasan neurotransmiter. Mekanisme perkembangan toleransi dan ketergantungan fisik tidak ada kaitannya dengan faktor farmakokinetik, tetapi merupakan respon adaptasi yang ada kaitannya dengan

23

perubahan sistem second massanger. Efek ini tampaknya berhubungan dengan perubahan dalam kemampuan reseptor. Selain efek analgesik, obat ini dapat mengakibatkan efek euforia, sedasi, depresi pusat pernafasan, penekan batuk, kiosis, rigiditas tubuh, mual, muntah dan beberapa efek lainnya. Sumber: Farmakologi Dasar dan Klinis, 479-497 o Analgetik non opioid Obat analgesik antipiretik serta obat Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimiawi. Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Prototip obat golongan ini adalah Aspirin, karena itu obat golongan ini sering disebut juga sebagai obat mirip aspirin ( aspirin-like drugs). Analgetik non opioid jenis AINS diabsorbsi begitu saja atau dihidrolisis menjadi metabolitnya. Didistribusikan melalui ikatannya dengan albumin. Eliminasi dilakukan dalam waktu 3-5 jam, dan dipercepat dengan adanya proses alkalinisasi urin. Cara kerjanya adalah dengan melakukan penghambatan pada enzim siklooksigenase I ataupun II yang mengakibatkan penurunan produksi prostaglandin yang reversibel. Analgetik antipiretik baik jika diberika per oral. Absorpsi tergantung apda kecepatan pengososngan lambung dan kadar puncak dalam darh, biasanya tercapai dalam waktu 30-60 menit. Sebagain besar dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati dan sedikit berikatan denga protein plasma. Kurang dari 5 % diekskresikan dalam bentuk yang tidak berubah. Efek Analgesik parasetamol dan fenasetin yang merupakan contoh dari analgetik antipiretik serupa dengan salisilat yaitu mengurangi nyeri, dari nyeri ringan sampai sedang dengan menghambat biosintesis prostaglandin tetapi lemah. Efek Antipiretik, menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang di duga juga berdasarkan efek sentral

24

seperti salisilat. Efek Anti Inflamasinya sangat lemah atau tidak ada, tidak digunakan sebagai anti-inflamasi. Sumber: Farmakologi Dasar dan Klinis, 558-563 b. Antiemetik Obat-obatan antimuntah terdiri dari: Anatagonis reseptor 5-HT3 - obat ini akan menghambat reseptor serotonin pada sistem saraf pusat dan saluran pencernaan. Obat ini juga dapat digunakan untuk mengobati mual dan muntah akibat pasca-operasi dan sitotoksik obat. Waktu paruh obat ini 4-9 jam dan biasanya efektif diberikan peroral. Ekskresi dilakukan melalui ginjal dan hati. Contoh obat: odansetron, dolasetron dan lain-lain. Antagonis dopamin bekerja pada otak dan digunakan untuk mengatasi rasa mual dan muntah dan dihubungkan dengan penyakit neoplasma, pusing karena radiasi, opioid, obat sitotoksik, dan anestetik umum. Waktu paruh obat ini adalah 12 jam. Dan absorpsi baik jika diberikan per oral. Contoh obat: domperidon, metoklopramid. Antihistamin (antagonis reseptor histamin H1), efektif pada berbagai kondisi, termasuk

mabuk kendaraan dan mabuk pada masa kehamilan. Kanabinoid digunakan pasien dengan kakeksia, mual sitotoksik, dan muntah atau karena

tidak responsif pada agen lainnya. Obat ini melewati first pass metabolism dan diekkresikan secara lambat melalui feses dan urin. Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) Prima Facie 1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan doktrin informed consent 2. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya

25

3. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai primum non nocere atau above all do no harm 4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice). Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan terbuka), privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien) dan fidelity (loyalitas dan promise keeping). Pada kasus ini hal yang seharusnya diberitahukan dan dilakukan oleh dokter umum sebelum merujuk adalah: 1. Menginformasikan mengenai penyakit dengan bahasa yang sederhana dan jelas. 2. Informasi berisi tetang jenis penyakit pasien, tindakan yang akan dilakukan (rujuk ke spesialis neurologi), komplikasi jika tidak dilakukan operasi, keuntungan dan kerugian operasi.3. Diminta informed consent (persetujuan tindakan medik) untuk operasi. Menurut Permenkes No

585/ tahun 1989 Persetujuan tindakan medik (informed consent) adalah proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif anatara dokter dan pasien, dengan didapatkannya kesepakatan untuk melakukan tindakan atau untuk tidak melakukan tindakan medis tertentu. Persetujuan tindakan medik memiliki 3 elemen, yaitu:-

Threshold elements , sifatnya lebih ke arah syarat dan pasien harus berkompeten (usia diatas 21 tahun atau telah menikah dan keadaan mental baik)

-

Information elements, terdiri dari dua bagian, yaitu disclosure (pengungkapan) dan understanding (pemahaman). Dalam hal ini, informasi yang dianggap baik untuk diberikan kepada pasien dilihat dari tiga standard, yaitu : o Standard praktek profesi, mengacu kepada nilai-nilai yang ada didalam komunitas kedokteran, tanpa memperhatikan keingintahuan dan kemampuan pemahaman individu yang diharapkan menerima informasi tersebut. o Standard subyektif , keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien dalam membuat keputusan.o

Standard pada reasonable person, hasil kompromi dari kedua standard sebelumnya.

26

-

Consent elements, berisi authorization (persetujuan) dan voluntariness (kesukarelaan) pasien untuk dilakukannya tindakan (apakah apsien setuju atau tidak).

Persetujuan tindakan medik dapat diberikan dengan tiga cara yaitu: 1. Dinyatakan secara lisan ataupun tertulis (umumnya pada tindakan invasif atau yang beresiko mempengaruhi kesehatan pasien secara bermakna). 2. Tidak dinyatakan (implied), yaitu dengan melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya. consent jenis ini paling banyak dilakukan dalam praktek sehari-hari. Dokter dapat bertindak melebihi yang telah disepakati hanya apabila gawat darurat dan keadaaan tersebut membutuhkan waktu yang singkat untuk mengatasinya.3. Proxy-consent adalah consent yang diberikan oleh orang yang bukan si pasien itu sendiri. Dengan

syarat pasien tidak mampu memberikan consent

secara pribadi dan consent tersebut harus

mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien apabila ia mampu memberikannya. Orang yang dapat memberikan proxy-consent adalah suami/istri, anak, orang tua, saudara kandung. Informed consent tidak berlaku pada 5 keadaan, yaitu : 1. Keadaan darurat medis 2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat 3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver) 4. Clinical privilege5. Pasien yang tidak kompeten memberikan consent

Sumber: Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir: 147149

27

BAB III PENUTUP 1. Ulasan Secara umum semua informasi dari buku yang terlampir dalam daftar pustaka memberikan penjelasan yang saling mendukung untuk dijadikan referensi. Hal ini memudahkan dalam memahami dan menjelaskan permasalahan dan pertanyaan yang muncul. Walaupun demikian, tetap saja terdapat beberapa masalah yang belum dapat dijelaskan secara rinci, yaitu bagaimana proses terjadinya inflamasi pada tumor CPA, mengapa pada tumor CPA gejala yang paling sering timbul adalah gangguan pendengaran, bagaimana alur pemberian analgesik, dan apakah biopsi merupakan indikasi mutlak. Pada pleno pakar telah dijelaskan oleh pakar sebagai berikut:-

Inflamasi terjadi akibat adanya proses angiogenesis tumor yang mengakibatkan tumor bertambah besar sehingga mengambil tempat dan menekan jaringan di sekitarnya. Akibatnya terjadilah tissue damage yang akhirnya akan mencetuskan pengeluaran mediator-mediator inflamasi dan terjadilah inflamasi.

-

Gejala gangguan pendengaran dan keseimbangan lebih dirasakan oleh pasien dikarenakan fungsi pendengaran dan keseimbangan dipergunakan lebih intens daripada fungsi lain dan lebih mempengaruhi aktivitas sehari-hari (misal: pada gangguan nervus VII yang mengalami gangguan dalam impuls sensorik dan motorik wajah) sehingga sering pasien datang dengan keluhan

28

gangguan pendengaran dan keseimbangan. Dan secara anatomi, lokasi nervus VIII lebih mudah terganggu daripada nervus kranialis lain.-

Pemberian analgesik dilakukan berdasarkan tingkat keparahan dan bagian saraf atau tubuh mana yang mengalami gangguan. Jika nyeri terjadi akibat rangsang proetaglandin di otak maka perlu diberikan opioid dan 2 agonis. Jika diakibatkan oleh perangsangan cornu dorsalis maka perlu diberikan anastesi lokal, opioid, dan 2 agonis. Jika diakibatkan oleh perangsangan saraf perifer maka berikan anestesi lokal, dan jika diakibatkan oleh perangsangan nosiseptor akibat trauma maka perlu diberikan anastesi lokal ditambah denga anti inflamasi.

-

Biopsi bukan merupakan indikasi mutlak untuk menegakkan diagnosis. Biopsi dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab penyakit dan dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan operasi.

2. Kesimpulan Tumor CPA merupakan pertumbuhan yang terjadi akibat pembelahan abnormal sel di daerah angulus serebelo pontin. Tumor ini dapat terjadi akibat terjadinya mutasi pada gen yang mengkode perkembangan saraf ataupu akibat demielinisasi, dan akibat metastase tumor dari bagian lain di tubuh. Sebagian besar (termasuk kasus) tumor CPA merupakan jenis acoustic neuroma yang diakibatkan proses demielinisasi yang berasal dari sel schwan pada nervus VIII sehingga terjadi gangguan pendengaran dan dapat menyebar ke pons, medula dan saraf kranialis lainnya yang mengakibatkan manifestasi klinis sesuai dengan bagian yang rusak. Selain itu tumor dapat mengakibatkan terjadinya proses desak ruang sehingga terjadilah peningkatan tekanan intrakranial yang nantinya dapat menekan CTZ (chemoreceptor triger zone) sehingga terjadilah muntah beberapa gejala klinis lainnya seperti bradikardi dan kejang. Penatalaksanaan yang dilakukan bersifat suportif dan definitif. Penatalaksanaan suportif dilakukan untuk mengurangi simptom-simptom. Sedangkan penatalaksanaan definitif dilakukan sesuai dengan indikasi dan derajat dari tumor tersebut.

29

Sebagai dokter umum, kita harus melakukan rujukan ke spesialis neurologi untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan dan penatalaksanaan definitif . Tetapi sebelumnya kita perlu melakukan informed consent. Pada kasus ini, dokter umum harus mampu menjelaskan kepada C mengenai tumor CPA yang sedang dialaminya, pengobatan apa yang harus dilakukan, biaya pengobatan, keuntungan / kerugian serta efek samping dari pengobatan, keadaan yang akan terjadi bila tumor CPA tersebut tidak diobati serta prognosis dari penyakitnya setelah dilakukan tindakan definitif . Penjelasna tersebut harus disampaikan sejelas mungkin dengan bahasa yang sederhana kepada C sehingga pasien mau untuk melakukan pemeriksaan dan tidakan lanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Hanafiah, M. Jusuf, Amri Amir. Persetujuan Tindakan Medis. M. Jusuf Hanafiah. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC. 2009; 147-149. Hartwig, Mary dan Lorraine M. Wilson. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. Huriawati Hartanto, dkk. Patofisiologi konsep klinis Proses-Proses Penyakit-Ed. 6-. Jakarta: EGC. 2005; 10061038. Katzung, Betram G dan Donald G. Payan. Obat Anti-inflamasi Non-Steroid; Analgesik Nonopioid; Obat yang Digunakan pada Gout. H. Azwar Agoes. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC. 1998; 558-582. Lombardo, Mary Carter. Cidera Sistem Saraf Pusat. Huriawati Hartanto, dkk. Patofisiologi konsep klinis Proses-Proses Penyakit-Ed. 6-. Jakarta: EGC. 2005; 1167-1182. Lombardo, Mary Carter. Tumor Sistem Saraf Pusat. Huriawati Hartanto, dkk. Patofisiologi konsep klinis Proses-Proses Penyakit-Ed. 6-. Jakarta: EGC. 2005; 1183-1192. Mitchell, Richard N. Neoplasma.Muhammad Asroruddin. Buku Ajar Patologi Ed.7- Vol.1. EGC.2007; 185-235.

30

Sherwood, Lauralee.Sistem Saraf Pusat. Beatricia I Santoso. Fisiologi Manusia dari Sel ke SistemEd.2-.Jakarta: EGC. 2003; 103-145. Sidharta, Priguna dan Mahar Mardjono. Proses Neoplastik di Susunan Saraf. Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 2008; 377-388. Sidharta, Priguna dan Mahar Mardjono. Saraf-Saraf Otak dan Patologinya. Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 2008; 150-172. Way, Leong dkk. Analgesik Opioid dan Antagonis. H. Azwar Agoes. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC. 1998; 479-497. DAFTAR GAMBAR

Gbr 1. Cerebellum dan Pons

31

Gbr 2. Saraf Kranial DAFTAR SKEMA

Skema 1. Koordinasi gerak oleh serebelum

S in e b lu p os re e m

32

Skema 2. Patogenesis tumor otak

Zat perusak didapat, m radiasi, kim

33

Trauma KepaSkema 3. Patogenesis peningkatan TIK

Kerusakan Jarin

Rusak Blood Brain