makalah chikungunya terbaru 1.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Di negara berkembang seperti Indonesia, angka kematian penyakit menular cukup
tinggi dan prevalensinya meningkat karena banyak dipengaruhi faktor lingkungan dan
perilaku hidup masyarakat. Terlebih lagi dalam kondisi sosial ekonomi yang memburuk,
tentunya kejadian kasus penyakit menular memerlukan penanganan yang lebih serius,
profesional, dan bermutu.
Indonesia juga menghadapi beban ganda dalam pembangunan kesehatan atau yang
dikenal dengan double burden. Dewasa ini masih dihadapkan dengan meningkatnya beberapa
penyakit menular (re-emerging diseases), sementara penyakit tidak menular atau degeneratif
mulai meningkat. Di samping itu telah timbul pula berbagai penyakit baru (new-emerging
diseases). Salah satu masalah yang menjadi perhatian dan tercantum dalam PERPRES No. 5
tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 -
2014 adalah pengendalian penyakit menular serta penyakit tidak menular, diikuti upaya
penyehatan lingkungan. Salah satu penyakit menular yang masih menjadi perhatian dan
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dewasa ini yaitu Demam Chikungunya yang
penyebarannya semakin luas.
Di Indonesia, infeksi virus Chikungunya telah ada sejak abad ke-18 seperti yang
dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus ini
menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam 5 hari (vijfdaagse koorts) yang
kadangkala disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts). Kejadian Luar Biasa (KLB)
penyakit Chikungunya pertama kali dilaporkan pada tahun 1973 di Samarinda Provinsi
Kalimantan Timur dan di Jakarta. Tahun 1982 di Kuala Tungkal Provinsi Jambi dan tahun
1983 di Yogyakarta. Sejak tahun 1985 seluruh provinsi di Indonesia pernah melaporkan
adanya KLB Chikungunya. KLB Chikungunya mulai banyak dilaporkan sejak tahun 1999
yaitu di Muara Enim, tahun 2000 di Aceh, tahun 2001 di Jawa Barat (Bogor, Bekasi,
Depok ), tahun 2002 di Palembang, Semarang, Indramayu, Manado, DKI, Banten, tahun
2003 terjadi di beberapa wilayah pulau Jawa, NTB, Kalimantan Tengah.
Pada tahun 2007, kasus demam Chikungunya muncul di Sumatera Utara, yakni di
Pancur Batu, Deli Serdang. Selanjutnya sejak tahun 2008 sampai dengan tanggal 10 Juni
2009 Chikungunya telah berjangkit di beberapa kabupaten/kota dengan beberapa penderita,
1
namun belum ada kematian. Rincian berdasarkan laporan yang masuk, sebagai berikut :
Kabupaten Padang Lawas Selatan 48 penderita, Asahan 93 penderita, Serdang Bedagai 715
penderita, Labuhan Batu 726 penderita, Labuhan Batu Selatan 151 penderita, Labuhan Batu
59 penderita, Nias Selatan 80 penderita, Langkat 70 penderita, dan Deli Serdang 123
penderita. Tidak tertutup kemungkinan di daerah lain selain daerah-daerah tersebut sudah ada
kasus demam Chikungunya tetapi tidak dilaporkan ke puskesmas atau tidak termonitor oleh
petugas kesehatan (Chandra, 2009).
Secara epidemiologis, saat ini hampir seluruh wilayah di Indonesia berpotensial untuk
timbulnya KLB Chikungunya. Penyakit Chikungunya ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti
dan Aedes albopictus seperti halnya penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang cara
penanggulangannya telah dikenal oleh masyarakat secara luas. Penanggulangan secara lintas
program dan lintas sektor telah dilaksanakan secara rutin dan berkesinambungan, sehingga
cara penanggulangan penyakit Chikungunya bukan merupakan sesuatu hal yang sangat
khusus, namun dapat dilakukan secara bersamaan dengan upaya pengendalian penyakit
DBD..
1.2 Rumusan masalah
a. Hal apa yang menyebabkan tingginya kejadian penyakit chikungunya di
kecamatan Sei Rampah
b. Bagaimana pengendalian dan pencegahan penyakit chikungunya di kecamatan
Sei Rampah
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui program pengendalian yang dapat dilakukan dalam upaya
menurunkan angka penyakit chikungunya di wilayah kerja puskesmas Sei
Rampah
b. Untuk mengurangi tempat perkembangbiakan vektor penyakit chikungunya di
wilayah kerja puskesmas Sei Rampah
1.4 Manfaat
a. Dapat diketahui program pencegahan dan pengendalian yang tepat dalam
menurunkan angka penyakit chikungunya.
b. Menurunkan tempat perkembangbiakan vektor penyakit chikungunya di
wilayah kerja puskesmas Sei Rampah.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Identifikasi Cikungunya (CHIK)
Virus Chikungunya adalah Arthopod borne virus yang ditransmisikan oleh beberapa
spesies nyamuk. Hasil uji Hemaglutinasi Inhibisi dan uji Komplemen Fiksasi, virus ini
termasuk genus alphavirus ( “Group A” Arthropod-borne viruses) dan famili Togaviridae.
Sedangkan DBD disebabkan oleh “Group B” arthrophodborne viruses (flavivirus).
Vektor utama penyakit ini sama dengan DBD yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus. Nyamuk lain mungkin bisa berperan sebagai vektor namun perlu penelitian lebih
lanjut. Nyamuk Aedes spp seperti juga jenis nyamuk lainnya mengalami metamorfosis
sempurna, yaitu: telur - jentik (larva) - pupa - nyamuk. Stadium telur, jentik dan pupa hidup
di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik/larva dalam waktu ± 2 hari
setelah telur terendam air. Stadium jentik/larva biasanya berlangsung 6-8 hari, dan stadium
kepompong (Pupa) berlangsung antara 2–4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk
dewasa selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan.
2.1.1 Habitat Perkembangbiakan
Habitat perkembangbiakan Aedes sp. ialah tempat-tempat yang dapat
menampung air di dalam, di luar atau sekitar rumah serta tempat-tempat umum. Habitat
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti: drum,
tangki reservoir, tempayan, bak mandi/wc, dan ember.
2) Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti: tempat
minum burung, vas bunga, perangkap semut, bak kontrol pembuangan air,
tempat pembuangan air kulkas/dispenser, barangbarang bekas (contoh : ban,
kaleng, botol, plastik, dll).
3) Tempat penampungan air alamiah seperti: lubang pohon, lubang batu, pelepah
daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bambu dan tempurung
coklat/karet, dll.
2.1.2 Perilaku Nyamuk Dewasa
Setelah keluar dari pupa, nyamuk istirahat di permukaan air untuk sementara
waktu. Beberapa saat setelah itu, sayap meregang menjadi kaku, sehingga nyamuk
3
mampu terbang mencari makanan. Nyamuk Aedes sp jantan mengisap cairan tumbuhan
atau sari bunga untuk keperluan hidupnya sedangkan yang betina mengisap darah.
Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia daripada hewan (bersifat
antropofilik). Darah diperlukan untuk pematangan sel telur, agar dapat menetas. Waktu
yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk
mengisap darah sampai telur dikeluarkan, waktunya bervariasi antara 3-4 hari. Jangka
waktu tersebut disebut dengan siklus gonotropik. Aktivitas menggigit nyamuk Aedes sp
biasanya mulai pagi dan petang hari, dengan 2 puncak aktifitas antara pukul 09.00 -
10.00 dan 16.00 -17.00. Aedes aegypti mempunyai kebiasaan mengisap darah berulang
kali dalam satu siklus gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan
demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit.
Setelah mengisap darah, nyamuk akan beristirahat pada tempat yang gelap dan
lembab di dalam atau di luar rumah, berdekatan dengan habitat perkembangbiakannya.
Pada tempat tersebut nyamuk menunggu proses pematangan telurnya.
Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan
meletakkan telurnya di atas permukaan air, kemudian telur menepi dan melekat pada
dinding-dinding habitat perkembangbiakannya. Pada umumnya telur akan menetas
menjadi jentik/larva dalam waktu ±2 hari. Setiap kali bertelur nyamuk betina dapat
menghasilkan telur sebanyak ±100 butir. Telur itu di tempat yang kering (tanpa air)
dapat bertahan ±6 bulan, jika tempat-tempat tersebut kemudian tergenang air atau
kelembabannya tinggi maka telur dapat menetas lebih cepat.
2.1.3 Penyebaran
Kemampuan terbang nyamuk Aedes spp betina rata-rata 40 meter, namun secara
pasif misalnya karena angin atau terbawa kendaraan dapat berpindah lebih jauh. Aedes
spp tersebar luas di daerah tropis dan sub-tropis, di Indonesia nyamuk ini tersebar luas
baik di rumah maupun di tempat umum. Nyamuk Aedes spp dapat hidup dan
berkembang biak sampai ketinggian daerah ± 1.000 m dpl. Pada ketinggian diatas ±
1.000 m dpl, suhu udara terlalu rendah, sehingga tidak memungkinkan nyamuk
berkembangbiak.
Pada musim hujan populasi Aedes sp akan meningkat karena telur-telur yang
tadinya belum sempat menetas akan menetas ketika habitat perkembangbiakannya
(TPA bukan keperluan sehari-hari dan alamiah) mulai terisi air hujan. Kondisi tersebut
akan meningkatkan populasi nyamuk sehingga dapat menyebabkan peningkatan
penularan penyakit Demam Chikungunya.
4
2.1.4 Faktor Resiko
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan dalam penularan penyakit
Chikungunya, yaitu: manusia, virus dan vektor perantara. Beberapa faktor penyebab
timbulnya KLB demam Chikungunya adalah:
1) Perpindahan penduduk dari daerah terinfeksi
2) Sanitasi lingkungan yang buruk.
3) Berkembangnya penyebaran dan kepadatan nyamuk (sanitasi lingkungan yang
buruk)
Ada gelombang epidemi 20 tahunan mungkin terkait perubahan iklim dan cuaca. Anti
bodi yang timbul dari penyakit ini membuat penderita kebal terhadap serangan virus
selanjutnya. Oleh karena itu perlu waktu panjang bagi penyakit ini untuk merebak
kembali.
2.1.5 Mekanisme Penularan
Virus Chikungunya ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes SPP
Nyamuk lain mungkin bisa berperan sebagai vektor namun perlu penelitian lebih lanjut.
Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus Chikungunya pada saat menggigit manusia
yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum demam sampai 5 hari setelah demam
timbul. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari
(extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat
gigitan berikutnya. Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-7 hari (intrinsic
incubation period) sebelum menimbulkan penyakit.
2.2. Epidemiologi demam Chikungunya (CHIK)
Dari sejarah diduga KLB Chikungunya pernah terjadi pada tahun 1779 di Batavia dan
Kairo; 1823 di Zanzibar; 1824 di India; 1870 di Zanzibar; 1871 di India; 1901 di Hongkong,
Burma, dan Madras; 1923 di Calcuta.
Pada tahun 1928 di Cuba pertama kali digunakan istilah “dengue”, ini dapat diartikan
bahwa infeksi Chikungunya sangat mirip dengan Dengue. Istilah “Chikungunya” berasal dari
bahasa suku Swahili yang berarti “Orang yang jalannya membungkuk dan menekuk
lututnya”, suku ini bermukim di dataran tinggi Makonde Provinsi Newala, Tanzania (yang
sebelumnya bernama Tanganyika). Istilah Chikungunya juga digunakan untuk menamai virus
yang pertama kali diisolasi dari serum darah penderita penyakit tersebut pada tahun 1953 saat
5
terjadi KLB di negara tersebut. Pada demam Chikungunya adanya gejala khas dan dominan
yaitu nyeri sendi.
Dari tahun 1952 sampai kini virus telah tersebar luas di daerah Afrika dan menyebar
ke Amerika dan Asia. Virus Chikungunya menjadi endemis di wilayah Asia Tenggara sejak
tahun 1954. Pada akhir tahun 1950 dan 1960 virus berkembang di Thailand, Kamboja,
Vietnam, Manila dan Burma. Tahun 1965 terjadi KLB di Srilanka.
Di Indonesia, KLB penyakit Chikungunya pertama kali dilaporkan dan tercatat pada
tahun 1973 terjadi di Samarinda Provinsi Kalimantan Timur dan di DKI Jakarta, Tahun 1982
di Kuala Tungkal Provinsi Jambi dan tahun 1983 di Daerah Istimewa Yogyakarta. KLB
Chikungunya mulai banyak dilaporkan sejak tahun 1999 yaitu di Muara Enim (1999), Aceh
(2000), Jawa Barat ( Bogor, Bekasi, Depok ) pada tahun 2001, yang menyerang secara
bersamaan pada penduduk di satu kesatuan wilayah (RW/Desa ).
Pada tahun 2002 banyak daerah melaporkan terjadinya KLB Chikungunya seperti
Palembang, Semarang, Indramayu, Manado, DKI Jakarta , Banten, Jawa Timur dan lain-lain.
Pada tahun 2003 KLB Chikungunya terjadi di beberapa wilayah di pulau Jawa, NTB,
Kalimantan Tengah. Tahun 2006 dan 2007 terjadi KLB di Provinsi Jawa Barat dan Sumatera
Selatan. Dari tahun 2007 sampai tahun 2012 di Indonesia terjadi KLB Chikungunya pada
beberapa provinsi dengan 149.526 kasus tanpa kematian.
Penyebaran penyakit Chikungunya biasanya terjadi pada daerah endemis Demam
Berdarah Dengue. Banyaknya tempat perindukan nyamuk sering berhubungan dengan
peningkatan kejadian penyakit Chikungunya. Saat ini hampir seluruh provinsi di Indonesia
potensial untuk terjadinya KLB Chikungunya. KLB sering terjadi pada awal dan akhir musim
hujan. Penyakit Chikungunya sering terjadi di daerah sub urban.
Di Indonesia, infeksi virus Chikungunya telah ada sejak abad ke-18 seperti yang
dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus ini
menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam 5 hari (vijfdaagse koorts) yang
kadangkala disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts). Kejadian Luar Biasa (KLB)
penyakit Chikungunya pertama kali dilaporkan pada tahun 1973 di Samarinda Provinsi
Kalimantan Timur dan di Jakarta. Tahun 1982 di Kuala Tungkal Provinsi Jambi dan tahun
1983 di Yogyakarta. Sejak tahun 1985 seluruh provinsi di Indonesia pernah melaporkan
adanya KLB Chikungunya. KLB Chikungunya mulai banyak dilaporkan sejak tahun 1999
yaitu di Muara Enim, tahun 2000 di Aceh, tahun 2001 di Jawa Barat (Bogor, Bekasi,
6
Depok ), tahun 2002 di Palembang, Semarang, Indramayu, Manado, DKI, Banten, tahun
2003 terjadi di beberapa wilayah pulau Jawa, NTB, Kalimantan Tengah.
Pada tahun 2007, kasus demam Chikungunya muncul di Sumatera Utara, yakni di
Pancur Batu, Deli Serdang. Selanjutnya sejak tahun 2008 sampai dengan tanggal 10 Juni
2009 Chikungunya telah berjangkit di beberapa kabupaten/kota dengan beberapa penderita,
namun belum ada kematian. Rincian berdasarkan laporan yang masuk, sebagai berikut :
Kabupaten Padang Lawas Selatan 48 penderita, Asahan 93 penderita, Serdang Bedagai 715
penderita, Labuhan Batu 726 penderita, Labuhan Batu Selatan 151 penderita, Labuhan Batu
59 penderita, Nias Selatan 80 penderita, Langkat 70 penderita, dan Deli Serdang 123
penderita. Tidak tertutup kemungkinan di daerah lain selain daerah-daerah tersebut sudah ada
kasus demam Chikungunya tetapi tidak dilaporkan ke puskesmas atau tidak termonitor oleh
petugas kesehatan (Chandra, 2009).
Kabupaten Serdang Bedagai Kecamatan Sei Rampah yang terdiri dari 17 desa yang
berpenduduk 15.302 pada bulan September 2009. Telah terjadi wabah demam Chikungunya
yang menjangkit banyak penduduk karena pada tahun – tahun sebelumnya belum pernah
terjadi wabah demam Chikungunya. Wabah demam Chikungunya yang terjadi di tujuh desa
awalnya muncul pada bulan April sampai pada bulan Juni 2009 yaitu di Desa Simpang Empat
dengan jumlah kasus sebanyak 88 kasus, Desa Tanah Raja 165 kasus, Desa Pergulaan 26
kasus, Desa Sinah Kasih 60 kasus, Desa Silau Rakyat 176 kasus, Desa Cempedak Lobang 26
kasus, Desa Rambung Estate 10 kasus tanpa adanya ditemui kasus kematian. Dan mungkin
saja dapat kasus yang sama di desa lain tetapi tidak terdata oleh pelayan kesehatan setempat
atau masyarakat merasa tidak terlalu menimbulkan bahaya bagi dirinya sehingga tidak mau
memeriksakannya.
2.3. Faktor Determinan
2.3.1. Faktor yang mempengaruhi
Faktor-faktor yang mempengaruhi penularan penyakit ini adalah faktor
lingkungan seperti kepadatan populasi nyamuk penular karena banyaknya tempat
perindukan nyamuk yang biasanya terjadi pada musim hujan. Faktor biologi seperti
tanaman yang terdapat di sekitar tempat tinggal yang disukai nyamuk sebagai tempat
berkembang biak. Serta perilaku individu-individu yang tidak berperilaku hidup sehat
dan tidak menjaga kesehatan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan rendahnya
status kekebalan kelompok masyarakat.
7
2.3.2. Penyebab Penyakit dan Vektor yang Menularkan
Chikungunya merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus
chikungunya (CHIKV) yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti
sebagai vektor utama dan Aedes albopictus sebagai vektor potensial (Soedarto, 2007).
Virus Chikungunya termasuk kelompok virus RNA yang mempunyai selubung dan
merupakan anggota ”group A” arthropode bone viruses (flavivirus) dalam genus
alphavirus, family Togaviridae. Virus ini bila dilihat dengan mikroskop elektron maka
akan muncul gambaran virion simteris kasar atau polygonal dengan diameter 40-45
nm dengan inti berdiameter 25-30 nm. Maka dari itu virus ini mudah terhisap nyamuk
dan akan dipindahkkan ke orang lain bersama air liurnya pada saat menggigit.
Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus termasuk
metamorfosis sempurna, yaitu terdiri dari fase telur, larva (jentik), kepompong (pupa),
dan nyamuk. Telur Aedes dapat bertahan beberapa bulan pada kondisi kering pada
waktu dan intensitas yang bervariasi. Telur Aedes membutuhkan media air bersih
yang tidak mengalir (stagnan) tanpa dihuni spesies lain untuk dapat berkembang
menjadi larva. Telur akan menetas menjadi larva dalam 1-2 hari setelah telur
terendam air. Umur larva Aedes sendiri adalah sekitar 7-9 hari untuk kemudian
berubah menjadi pupa yang merupakan fase akhir siklus hidup nyamuk dalam media
air. Umur pupa berkisar 2-4 hari untuk kemudian berubah menjadi nyamuk. Setelah
berubah menjadi nyamuk, nyamuk betina akan hidup berkisar 2-3 bulan. Nyamuk
dapat bertahan hidup lebih lama sampai 2 bulan jika berada ditempat dengan suhu
28°C dengan kelembaban udara sebesar 80%.
2.4. Pencegahan Demam Chikungunya (CHIK)
2.4.1. Perorangan
Jangan biarkan jentik-jentik nyamuk berkembang biak. Lakukan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), dengan melakukan ”3 M” yaitu Menguras,
Menutup dan Mengubur pada TPA dan non TPA serta habitat alamiah secara teratur
setiap minggu atau menaburkan larvasida (Abate) serta memelihara ikan pemakan
jentik (ikan kepala timah/cethul). Sedapat mungkin lindungi diri dari gigitan nyamuk
terutama pada siang hari, misalnya dengan menggunakan obat gosok (repellant),
pemakaian kelambu dan pemasangan kawat kasa nyamuk di rumah.
2.4.2. Kelompok/Masyarakat
8
Secara bersama-sama bergotong-royong membersihkan lingkungan dari
tempat-tempat perkembanganbiakan nyamuk penular.
2.5 Pengendalian dan Penanggulangan Chikungunya
Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor risiko penularan oleh vektor
dengan meminimalkan habitat perkembangbiakan vektor, menurunkan kepadatan dan umur
vektor, mengurangi kontak antara vektor dengan manusia serta memutus rantai penularan
penyakit
Pada dasarnya metode pengendalian vektor Chikungunya yang paling efektif adalah
dengan melibatkan peran serta masyarakat (PSM). Sehingga berbagai metode pengendalian
vektor cara lain merupakan upaya pelengkap untuk secara cepat memutus rantai penularan.
Berbagai metode PengendalianVektor (PV) Chikungunya yaitu:
- Kimiawi
- Biologi
- Manajemen lingkungan
- Pemberantasan Sarang Nyamuk/PSN
- Pengendalian Vektor Terpadu (Integrated Vector Management/IVM)
a. Kimiawi
Pengendalian vektor cara kimiawi dengan menggunakan insektisida merupakan salah
satu metode pengendalian yang lebih populer di masyarakat dibanding dengan cara
pengendalian lain. Sasaran insektisida adalah stadium dewasa dan pra-dewasa. Karena
insektisida adalah racun, maka penggunaannya harus mempertimbangkan dampak terhadap
lingkungan dan organisme bukan sasaran termasuk mamalia. Disamping itu penentuan jenis
insektisida, dosis, dan metode aplikasi merupakan syarat yang penting untuk dipahami dalam
kebijakan pengendalian vektor. Aplikasi insektisida yang berulang di satuan ekosistem akan
menimbulkan terjadinya resistensi serangga sasaran.
Golongan insektisida kimiawi untuk pengendalian vektor adalah :
Sasaran nyamuk dewasa adalah : Organophospat (Malathion, methyl pirimiphos),
Pyrethroid (Cypermethrine, lamda-cyhalotrine, cyflutrine, Permethrine & S-
Bioalethrine). Yang ditujukan untuk stadium dewasa yang diaplikasikan dengan cara
pengabutan panas/Fogging dan pengabutan dingin/ULV
Sasaran jentik dengan menggunakan larvasida : golongan Organophospat (Temephos).
9
b. Biologi
Pengendalian vektor dengan biologi menggunakan agent biologi seperti
predator/pemangsa, parasit, bakteri, sebagai musuh alami stadium pra dewasa vektor Jenis
predator yang digunakan adalah Ikan pemakan jentik (cupang, tampalo, gabus, guppy, dll),
sedangkan larva Capung, Toxorrhyncites, Mesocyclops dapat juga berperan sebagai predator
walau bukan sebagai metode yang lazim untuk pengendalian vektor .
Jenis pengendalian vektor biologi :
• Parasit : Romanomermes iyengeri
• Bakteri : Baccilus thuringiensis israelensis
Golongan insektisida biologi untuk pengendalian vektor (Insect Growth Regulator/IGR
dan Bacillus Thuringiensis Israelensis/BTi), ditujukan untuk stadium pra dewasa yang
diaplikasikan kedalam habitat perkembangbiakan vektor.
Insect Growth Regulators (IGRs) mampu menghalangi pertumbuhan nyamuk di masa
pra dewasa dengan cara merintangi/menghambat proses chitin synthesis selama masa jentik
berganti kulit atau mengacaukan proses perubahan pupae dan nyamuk dewasa. IGRs
memiliki tingkat racun yang sangat rendah terhadap mamalia (nilai LD50 untuk keracunan
akut pada methoprene adalah 34.600 mg/kg ).
Bacillus thruringiensis (BTi) sebagai pembunuh jentik nyamuk/larvasida yang tidak
menggangu lingkungan. BTi terbukti aman bagi manusia bila digunakan dalam air minum
pada dosis normal. Keunggulan BTi adalah menghancurkan jentik nyamuk tanpa menyerang
predator entomophagus dan spesies lain. Formula BTi cenderung secara cepat mengendap di
dasar wadah, karena itu dianjurkan pemakaian yang berulang kali. Racunnya tidak tahan sinar
dan rusak oleh sinar matahari.
c. Manajemen lingkungan
Lingkungan fisik seperti tipe pemukiman, sarana-prasarana penyediaan air, vegetasi dan
musim sangat berpengaruh terhadap tersedianya habitat perkembangbiakan dan pertumbuhan
vektor. Nyamuk Aedes sp sebagai nyamuk pemukiman mempunyai habitat utama di
kontainer buatan yang berada di daerah pemukiman. Manajemen lingkungan adalah upaya
pengelolaan lingkungan sehingga tidak kondusif sebagai habitat perkembangbiakan atau
dikenal sebagai source reduction seperti 3M plus (menguras, menutup dan mengubur, dan
plus: menyemprot, memelihara ikan predator, menabur larvasida dll); dan menghambat
10
pertumbuhan vektor (menjaga kebersihan lingkungan rumah, mengurangi tempat-tempat
yang gelap dan lembab di lingkungan rumah dll)
d. Pemberantasan Sarang Nyamuk / PSN
Pengendalian Vektor yang paling efisien dan efektif adalah dengan memutus rantai
penularan melalui pemberantasan jentik. Pelaksanaannya di masyarakat dilakukan melalui
upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue PSN dalam bentuk kegiatan
3 M plus. Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, kegiatan 3 M Plus ini harus dilakukan
secara serempak dan terus menerus/berkesinambungan. Tingkat pengetahuan, sikap dan
perilaku yang sangat beragam sering menghambat suksesnya gerakan ini. Untuk itu
sosialisasi kepada masyarakat/individu untuk melakukan kegiatan ini secara rutin serta
penguatan peran tokoh masyarakat untuk mau secara terus menerus menggerakkan
masyarakat harus dilakukan melalui kegiatan promosi kesehatan, penyuluhan di media masa,
serta reward bagi yang berhasil melaksanakannya.
Cara PSN
PSN dilakukan dengan cara ‘3M-Plus’, 3M yang dimaksud yaitu:
Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak mandi/wc,
drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1).
Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air/tempayan, dan
lain-lain (M2).
Memanfaatkan atau mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat menampung air
hujan (M3).
Selain itu ditambah (plus) dengan cara lainnya, seperti:
Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lainnya yang
sejenis seminggu sekali.
Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak
Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan lain-lain (dengan tanah,
dan lain-lain)
Menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat yang sulit dikuras atau di
daerah yang sulit air
Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan air
Memasang kawat kasa
Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar
Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai
11
Menggunakan kelambu
Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk
Cara-cara spesifik lainnya di masing-masing daerah.
e. Pengendalian Vektor Terpadu (Integrated Vektor Management)
IVM merupakan konsep pengendalian vektor yang diusulkan oleh WHO untuk
mengefektifkan berbagai kegiatan pemberantasan vektor oleh berbagai institusi. IVM dalam
pengendalian vektor Chikungunya saat ini lebih difokuskan pada peningkatan peran serta
sektor lain melalui kegiatan Pokjanal, Kegiatan PSN anak sekolah dll.
BAB III
12
HASIL KEGIATAN
3.1 Identifikasi Masalah
Demam Chikungunya termasuk salah satu penyakit yang berpotensi KLB dengan
penyebaran penyakit yang cepat.Sehingga dapat menimbulkan keresahan di masyarakat dan
menyebabkan menurunnya produktivitas pada orang yang terjangkit. Penyebaran
Chikungunya di Indonesia terjadi pada daerah endemis penyakit demam berdarah dengue
karena vektor pembawa virus ditularkan oleh nyamuk yang sama yaitu Aedes aegypti dan
Aedes albopictus. KLB sering terjadi pada awal dan akhir musim hujan. Banyaknya tempat
perindukan nyamuk sangat berbahaya sekali karena bisa mempengaruhi peningkatan kejadian
Chikungunya dan juga kedekatan tempat perindukan nyamuk tersebut dengan tempat tinggal
manusia merupakan faktor risiko terjadinya Chikungunya (Depkes, 2007).
Pada tahun 2009 jumlah penderita penyakit chikungunya di Kabupaten Serdang
Bedagai sebanyak 715 penderita dan Kecamatan Sei Rampah mempunyai proporsi penderita
terbesar yaitu sebanyak 551 penderita dan desa yang jumlah penderitanya paling besar adalah
desa Silau Rakyat 176 penderita. Hal ini di sebabkan oleh perubahan lingkungan dan kondisi
lingkungan yang kurang bersih sehingga memicu adanya tempat sarang nyamuk albovictus.
3.2 Study Kelayakan
3.2.1 Metode
Penyuluhan kepada masyarakat tentang pemberantasan sarang nyamuk
penyebab chikungunya
Melakukan fogging pada setiap rumah
Pemantauan hygiene sanitasi container penampungan air
Memasyarakatkan penggunaan kelambu (kelambunisasi)
Melakukan abatisasi
3.2.2 Sumber dana
Sumber dana berasal dari APBD kabupaten Serdang Bedagai
3.2.3 Personal
Dilaksanakan oleh petugas sanitasi Dinas Kesehatan Kabupaten dan petugas puskesmas
serta berkerjasama dengan pihak-pihak terkait baik kerjasama lintas program maupun
kerjasama lintas sektor
3.2.4 Material
13
Perangkat penyuluhan kebersihan lingkungan, peralatan dan perlengkapan fogging,
peralatan kebersihan, kelambu yang dicelupkan dengan malathion, repellent, obat
nyamuk, larvasida.
3.3 Percobaan Lapangan
Metode percobaan dilakukan di daearah-daerah endemis chikungunya yaitu pada
lingkungan rumah yang memungkinkan terjadinya tempat perindukkan nyamuk seperti
genangan air, rawa-rawa, botol plastic bekas, kaleng bekas, ban bekas.
3.4 Analisis Dampak Lingkungan
3.4.1 Dampak Positif
a. Dapat melakukan pengendalian vector penyakit chikunguya
b. Dapat menghilangkan vector penyakit chikunguya
c. Mencegah timbulnya penyakit chikunguya
d. Mencegah penyebaran penyakit chikunguya
e. Menghilangkan tempat perindukkan jentik nyamuk
f. Mencegah masyarakat dari gigitan nyamuk
3.4.2 Dampak Negatif
a. Bahan-bahan kimia hasil fogging dapat menimbulkan keracunan pada
manusia
b. Pemakaian bahan kimia yang berlebihan dapat merusak lingkungan
c. Penggunaan insektisida secara berulang-ulang dapat menyebabkan resistensi
vector, membunuh hewan yang bukan sasaran dan pencemaran lingkungan
14
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Analisis Situasi
Chikungunya merupakan self limiting disease, sampai saat ini penyakit ini belum ada
obat ataupun vaksinnya. Kondisi faktor lingkungan fisik seperti adanya perubahan iklim,
pencahayaan yang kurang,kelembaban yang tinggi, kondisi lingkungan disekitar rumah yang
buruk menyebabkan perkembangbiakan vektor semakin meningkat, salah satunya adalah
penyakit demam Chikungunya. Disamping kasus demam berdarah yang merebak di sejumlah
wilayah Indonesia dan penderitanya semakin banyak, masyarakat direpotkan pula dengan
kasus Chikungunya. Demam Chikungunya banyak ditemukan di daerah – daerah beriklim
tropis dan subtropis. Penyakit ini tidak menimbulkan kematian tetapi apabila mewabah dapat
menimbulkan kerugian karena akan menurunkan produktivitas individu (Anies, 2006).
Penyakit ini bersifat self limiting disease, tidak pernah dilaporkan adanya kematian.
Keluhan sendi mungkin berlangsung lama. Brighton meneliti pada 107 kasus infeksi
Chikungunya, 87,9% sembuh sempurna, 3,7% mengalami kekakuan sendi atau mild
discomfort, 2,8% mempunyai persistent residual joint stiffness, tapi tidak nyeri, dan 5,6%
mempunyai keluhan sendi yang persistent, kaku dan sering mengalami efusi sendi.
Program pengendalian chikungunya saat ini masih belum berjalan dengan maksimal
dikarenakan belum dilaksanakannya kegiatan pengendalian ini secara terintegrasi dari
berbagai aspek. Selain itu pentingnya penataan lingkungan yang perlu dilakukan secara
terpadu agar tujuan pemutusan mata rantai penularan chikungunya dapat memberikan hasil
yang maksimal. Program yang telah dilakukan puskesmas Sei Rampah yaitu:
1. Penyuluhan kebersihan lingkungan tentang pemberantasan sarang nyamuk
2. Melakukan fogging setiap rumah penduduk
3. Pemberian kelambunisasi kepada masyarakat
4. Pemberian bubuk larvasida kepada masyarakat
Namun, kegiatan ini belum sepenuhnya terlaksana, karena kurangnya partisipasi dari
masyarakat dalam pengendalian nyamuk penyebab chikungunya. Oleh sebab itu perlunya
15
kerjasama masyarakat dalam melaksanakan program sehingga program dapat terlaksana
dengan baik dan berkesinambungan.
Untuk kegiatan yang pertama perlu dilakukan pemantauan jentik nyamuk 1 seminggu
yang dilakukan oleh kader dari Puskesmas dan kerjasama dengan warga dan dievaluasi secara
berkala 3 bulan sekali. Kegiatan ini dilakukan di rumah warga dan di setiap tempat yang
memungkinkan utnuk vektor dapat berkembang biak. Pada kegiatan yang kedua, melakukan
penyuluhan kepada masyarakat dan mengajak masyarakat untuk dapat dan mampu
melakukan manajemen lingkungan dengan cara 3M (Menguras,Menimbun dan Menutup).
Fogging dilakukan sesuai dengan dosis yang telah dianjurkan karena bahan kimia fogging
berbahaya jika melebihi dosis. Kelambunsasi diperuntukkan bagi keluarga yang memiliki
bayi karena jika dilakukan fogging akan berbahaya bagi kesehatan ibu dan bayi. Kemudian
pemberian bubuk larvasida kepada masyarakat dan mengajarkan kepada masyarakat cara
pengguanaannya.
4.2 Teori Simpul/Paradigma Penyakit Chikungunya
Simpul 1: Simpul 2: Simpul 3: Simpul 4:
Virus Alphavirus Air
Vektor
(nyamuk
Aedes
albopictus
dan Aedes
aegypti)
Manusia
umur
perilaku
Lokasi
Pendidikan
Status gizi
Sehat
Sakit
Simpul 1 : Sumber Penyakit
Sumber penyakit adalah titik yang menyimpan dan/atau menggandakan agen penyakit
serta mengeluarkan atau mengemisikan agen penyakit.
16
Dalam penyakit Chikungunya ini sumber penyakit nya yaitu berupa virus
(Alphavirus)
Simpul 2: Media transmisi penyakit
Media transmisi penyakit tidak akan memilki potensi penyakit kalu didalamnya tidak
mengandung agen penyakit. Di simpul dua ini kami memilih :
air , air disini berfungsi sebagai tempat perindukan bagi larva/jentik dari nyamuk
aedes albopictus atau aedes aegypty
vektor, penyakit chikungunya ini ditularkan oleh vektor nyamuk aedes albopictus
dan aedes aegypty
manusia, penyakit chikungunya ini bersifat menular. Jadi dapat ditularkan dari orang
ke orang. Manusia yang mengandung virus chikunguya didalam tubuhnya digigit
oleh nyamuk aedes, selanjutnya nyamuk tersebut menggigit orang yang sehat.
Simpul 3 : Perilaku Pemajanan
Hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan penduduk berikut perilakunya,
dapat diukur dalam konsep yang disebut sebagai perilaku pemajanan, atau dengan kata lain
jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung potensi
bahaya penyakit. Disimpul tiga ini kami memilih :
Umur, nyamuk aedes menyerang semua umur baik anak-anak maupun dewasa
Perilaku, perilaku individu yang mau atau tidak menerapkan hidup bersih dan
sehat
Lokasi, Penyebaran penyakit Chikungunya biasanya terjadi pada daerah endemis
DBD, Saat ini hampir seluruh provinsi di Indonesia potensial untuk terjadinya
KLB Chikungunya. Penyakit Chikungunya sering terjadi di daerah sub urban dan
tropis. Vektor dari aedes albopictus lebih sering dijumpai di perkebunan.
Pendidikan, pendidikan atau pengetahuan sesorang sangat membantu dalam
pengendalian penyakit chikungunya
Status Gizi, Daya tahan tubuh yang baik pada seseorang bisa membuat rasa ngilu
pada persendian atau gejala-gejala yang ditimbulkan oleh penyakit ini akan cepat
hilang
Simpul 4 : Kejadian Penyakit
17
Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara penduduk dengan
lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan kesehatan (sudah menimbulkan dampak
kesehatan).
Sehat, orang yang mau menerapkan hidup bersih dan sehat dimulai dari dirinya
dan lingkungannya
Sakit, orang yang tidak mau mnerapkan hidup bersih dan sehat pada dirinya dan
lingkungannya yang mengakibatkan timbulnya penyakit.
18
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Chikunguya merupakan penyakit menular sejenis demam virus yang disebabkan
alphavirus yang disebarkan oleh gigitan nyamuk dari spesies Aedes Albopictus
dan Aedes Aegypty serta merupakan penyakit yang tidak mematikan.
2. Gejala chikunguya dalam kaitannya dengan pemberantasan chikunguya adalah
sebagai berikut: Demam, Menggigil, Nyeri pada otot dan sendi, Sakit kepala,
Kejang, flu. Ada gejala khas yang timbul pada anak kecil seperti demam
mendadak, ruam-ruam merah, mata merah, dan kejang demam. Pada anak yang
lebih besar, demam biasanya diikuti rasa sakit pada otot dan pembesaran kelenjar
getah bening. Gejala pada orang dewasa, nyeri sendi dan otot dan sampai
menimbulkan kelumpuhan sementara.
3. Pencegahan dapat dilakukan dengan mengurangi gametosit, menghindari gigitan
nyamuk, membunuh nyamuk dan jentik, mengurangi tempat perindukan nyamuk
malaria, serta peranan masyarakat dalam menerapkan pola hidup bersih dan sehat.
4. Dampak dari kegitan tersebut adalah berkurangnya jumlah nyamuk dewasa dan
jentik, kasus chikunguya menurun. Selain itu ada juga dampak negatif dari
kegiatan ini terhadap lingkungan.
5.2 Saran
1. Program pengendalian nyamuk chikunguya terus dilakukan secara terpadu dan
berkesinambungan.
2. Agar masyarakat dan lintas sektor dapat membantu dalam kegiatan pengendalian
nyamuk chikungunya.
3. Petugas kesehatan terus melakukan pemantauan terhadap lingkungan sekitar
wilayah puskesmas.
19
Lampiran
PERINCIAN ANGGARAN PENGENDALIAN CHIKUNGUNYA
Kegiatan Biaya Keterangan1. Penyiapan
Masyarakat• Poster• Leaflet• Gambar dan Kasus Nyata• Snack• Sewa Proyektor• Sewa Genset
Rp 500.000,-Rp 500.000,-Rp 750.000,-Rp 1.000.000,-Rp 300.000,-Rp 300.000
Metoda:- Ceramah- Pertunjukan FilmPenyelenggara :- Petugas Kesehatan
2. Penyiapan Petugas • Upah Petugas Fogging• Baju Seragam• Masker • Konsumsi
Rp 2.000.000,-Rp 400.000,-Rp 100.000,-Rp 500.000,-
3. Foging Organophospat Rp 800.000,-4. Pemberian
KelambunisasiKelambu Rp. 7.500.000,-
5. Larvasida Bubuk Larvasida Rp. 300.000,-Biaya tak terduga = 10% dari Rp 15.935.000,-
Rp 200.000,-
Total Rp. 16.135.000,-
20
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U.F., 2013, Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Jakarta: Rajawali Press
Aditama, T. A., 2009, Profil Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan tahun 2008,
http://www.pppl.depkes.go.id/images_data/PROFIL%20%20PP&PL%202008.pdf.
Diakses 03 April 2014.
Anies, 2006, Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi Mencegah dan Menanggulangi
Penyakit Menular. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Azwar, A., 1996. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Balitbangkes Depkes R.I., 2005, Kecenderungan Kejadian Luar Biasa Chikungunya di
Indonesia Tahun 2001-2003, Cermin Dunia Kedokteran,Volume, No 148.
Chandra. 2009. Mewaspadai Penyakit Chikungunya di Sumut. http//:www.waspada.co.id.
Diakses pada tanggal 03 April 2014.
Depkes R.I. 2012. Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya.
http://pppl.depkes.go.id/_asset/_download/bk%20cikungunya
%20edited_27_10_12ok.pdf. Diakses pada tanggal 03 April 2014
Sumantri, Arif . 2010, Kesehatan Lingkungan dan Perspektif Islam, Jakarta : Prenada Media
21
22