makalah disaster
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Bencana merupakan gangguan atau kekacauan fungsi sosial yang serius yang
menyebabkan meluasnya kerugian jiwa, materi atau lingkungan. Bencana terjadi ketika
sumber daya atau kapasitas yang tersedia sangat tidak memadai dalam mengatasi
ancaman (hazard). Bencana juga berarti proses dimana ada jarak antara kejadian alam
seperti tsunami, gempa bumi, badai dan sebagainya dengan kejadian bencana seperti
kehilangan, kematian dan sebagainya. Jarak antara kejadian alam dan kejadian bencana
sangat bergantung pada tingkat distribusi kerentanan yang terjadi (UU Penanganan
Bencana No. 24/2007).
Statistik bencana dunia tahun 1995 – 2006 menyebutkan bahwa trend bencana
terus menerus terjadi setiap tahun dengan jumlah korban dan kerugian ekonomis semakin
meningkat yang menunjukan bahwa bencana terjadi secara berkelanjutan. Bencana alam
yang terjadi di Indonesia antara lain Tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004
yang menelan korban kurang lebih 170.000 orang meninggal, 500.000 orang kehilangan
tempat tinggal dan belasan ribu anak jadi yatim piatu, bencana meluapnya Lumpur
Lapindo dan gempa bumi di Jogjakarta pada tahun 2007 yang menyebabkan banyak
korban menderita kerugian baik berupa kehilangan tempat tinggal, kerugian ekonomi dan
lain lain.
Dampak bencana terhadap masyarakat antara lain kehilangan orang yang dicintai,
kehilangan rumah dan kepemilikan lain, kerusakan lingkungan, kerusakan struktur dan
fungsi sosial, trauma psikologis yang berkepanjangan/ respon pasca trauma akibat
keterpaparan terhadap korban cedera dan kematian, respon histeris saat bencana, tidak
adekuatnya koping strategis, kurangnya dukungan/support dan lain lain. Faktor yang
mempengaruhi respon individu terhadap bencana yang dialami adalah derajat atau tingkat
keterpaparan terhadap bencana, dan pandangan atau penerimaan individu terhadap
bencana yang dialami.
1
Managemen penanganan bencana telah memiliki dasar hukum atau peraturan
yang jelas secara Nasional dan Internasional. Rengelolaan bencana International antara
lain telah terbentuknya badan atau organisasi penanggulangan bencana antara lain
International Decade for Natural Disaster Reduction (IDNDR) tahun 1990-2000, World
Conference on Natural Disater Reduction di Yokohama tahun 1994, World Conference
for Disaster Reduction (WCDR) di Kobe tahun 2005. Organisasi tersebut melakukan
koordinasi dengan organisasi penanggulangan bencana lokal di daerah bencana dan
memberikan bantuan berupa materi, fasilitas dan personil dalam penanggulangan bencana
kepada negara negara di dunia.
Managemen penanggulangan bencana di Indonesia telah memiliki dasar hukum
yang jelas seperti yang tertuang dalam UU Penanggulangan Bencana No. 24 tahun 2007
bahwa kordinasi penanggulangan bencana yang sebelumnya dilaksanakan oleh Badan
Koordinasi Nasional (Bakornas) sesuai Keppres No. 11/2001 digantikan oleh Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dalam pasal pasal UU No. 24/2007 telah
mengatur tanggung jawab dan wewenang organisasi atau lembaga nasional, daerah dan
internasional dalam penanggulangan bencana; mengatur hak dan kewajiban masyarakat;
managemen penanggulangan bencana yang terdiri dari pra bencana (Predisaster), selama
bencana (during diaster) dan setelah bencana (after disaster), serta mengatur proses
pendanaan, pengelolaan bantuan, pengawasan dan penyelesaian sengketa akibat bencana.
Meskipun setelah dilakukan evaluasi, kinerja Badan Nasional Penanggulangan Bencana
secara umum berjalan baik namun tidak efektif dalam menanggulangi masalah Lumpur
Lapindo (ADPC 2003 dalam www.ntt-academia.org)
Usaha penanggulangan bencana yang bersifat mengandalkan peran aktif Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas) memiliki banyak kelemahan antara lain
sangat tergantung pada stabilitas ekonomi negara, krisis keuangan negara dan utang luar
negeri sehingga mengalami masalah dalam pembiayaan persiapan dan pengadaan
personil, fasilitas, penyelesaian sengketa dengan korban bencana sehingga penekanan
bantuan yang diberikan hanya pada respon emergency (selama bencana) dan respon
pemulihan; hanya fokus pada bantuan fisik, material dan teknis semata serta hanya fokus
pada penyelesaian sengketa pada satuan keluarga (ADPC 2003 dalam www.ntt-
academia.org)
2
Berdasarkan hal tersebut maka muncul paradigma baru dalam penanggulangan
bencana yaitu Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas (Community Based Disaster
Risk Management/CBDRM). CBDRM adalah pemberdayaan komunitas agar dapat
mengelola bencana dimana masyarakat terlibat atau difasilitasi untuk terlibat aktif dalam
pengelolaan resiko bencana (perencanaan, implementasi, pengawasan, evaluasi) dengan
input sumber daya lokal maksimum dan input eksternal minimun.
CBDRM memiliki kelebihan dibanding penanggulangan bencana mengandalkan
peran aktif Bakornas antara lain melibatkan peran serta aktif masyarakat dalam
pengelolaan bencana dengan cara mereduksi risiko bencana/ kerentanan dan
meningkatkan kapasitas individu/keluarga/komunitas dalam menghadapi dampak
bencana sedangkan pihak luar (LSM, donor, pemerintah/Bakornas) berperan mendukung
dan menfasilitasi misalnya membantu analisis situasi, mengukur tingkat perencanaan dan
implementasi CBDRM. Fokus CBDRM bukan hanya pada saat terjadi bencana tetapi
meliputi seluruh elemen perencanaan/ siklus penanganan bencana yaitu sebelum bencana,
selama bencana dan setelah bencana.
Peran perawat komunitas sangat penting dalam meningkatkan kemandirian
masyarakat dalam penanggulangan bencana karena perawat komunitas dengan ilmu dan
keterampilan keperawatan yang dimiliki serta kemampuan pengelolaan masyarakat dalam
peningkatan status kesehatannya. Peran perawat komunitas antara lain pada saat sebelum
bencana berperan sebagai pendidik dan motivator bagi masyarakat untuk berperan aktif
dalam penanggulangan bencana, sebagai fasilitator dalam membantu masyarakat
mengidentifikasi faktor resiko bencana yang ada di masyarakat, mengidentifikasi
kapasitas/kemampuan atau sumber daya yang ada di masyarakat yang dapat digunakan
dalam penanggulangan bencana, membantu menyusun perencanaan penanggulangan
bencana dan pedoman implementasi dan evaluasi, serta menjadi fasilitator dalam
mengawasi dan mengevaluasi program penanggulangan bencana di masyarakat. Selain
berperan sebagai fasilitator bagi masyarakat, seorang perawat komunitas juga harus
memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam penanganan korban bencana pada kondisi
emergency saat bencana terjadi serta berperan aktif dalam rehabilitasi korban bencana
baik rehabilitasi fisik maupun rehabilitasi psikologis akibat bencana.
3
Dalam menjalankan peran dan tugasnya membantu masyarakat dalam
penanggulangan bencana maka seorang perawat komunitas harus memiliki kompetensi
tertentu yang terdiri dari (1) Sikap/ perilaku yang mendasar sebagai perawat bencana , (2)
Pengkajian sistematik terhadap kebutuhan pelayanan keperawatan, (3) Pemberian
Perawatan kepada individu yang rentan dan keluarganya, (4) Managemen perawatan
dalam kondisi bencana, (5) Membuat laporan praktek keperawatan pada saat terjadi
bencana dan terus menerus mengembangkan pengetahuan dan kemampuan diri tentang
perawat bencana.
Makalah ini akan menguraikan secara lebih jelas tentang managemen
penanggulangan bencana yang terdiri dari managemen sebelum bencana, selama bencana
dan setelah bencana, Model penanggulangan bencana berbasis komunitas (CBDRM),
peran perawat dalam penanggulangan bencana serta indikator keberlanjutan
penanggulangan bencana berbasis komunitas.
B. TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Memberikan gambaran tentang managemen penanggulangan bencana terdiri dari
sebelum bencana, selama bencana dan seteleh bencana
2. Memberikan gambaran tentang Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas
3. Memberikan gambaran tentang peran perawat dalam Penanggulangan Bencana
Berbasis Komunitas
4. Memberikan gambaran Indikator keberlanjutan Penanggulangan Bencana
Berbasis Komunitas
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN BENCANA
Bencana merupakan gangguan atau kekacauan fungsi sosial yang serius yang
menyebabkan meluasnya kerugian jiwa, materi atau lingkungan. Bencana terjadi ketika
sumber daya atau kapasitas yang tersedia sangat tidak memadai dalam mengatasi
ancaman (hazard). Beberapa tipe ancaman (hazards) yang menyebabkan bencana adalah
ancaman geofisik (Geo-hazard) seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus; ancaman
hidroklimatis (hydro-climatic hazard) seperti banjir, kebakaran hutan, kekeringan;
ancaman biologis (biological hazards) seperti penyebaran HIV, flu burung, epidemik;
ancaman tekhnologi (technological hazard) seperti kebakaran, polusi udara, kecelakaan
nuklir, industrial explosions, waste exposure, lumpur lapindo; dan ancaman sosial (social
hazard) seperti kriminalitas/kekerasan, perang, konflik, kemiskinan absolut dan
terorisme.
Bencana juga berarti proses dimana ada jarak antara kejadian alam seperti
tsunami, gempa bumi, badai dan sebagainya dengan kejadian bencana seperti kehilangan,
kematian dan sebagainya. Jarak antara kejadian alam dan kejadian bencana sangat
bergantung pada tingkat distribusi kondisi kerentanan atau rawan bencana. Kondisi rawan
bencana atau kerentanan adalah kondisi atau karakteristik biologis, hidrologis,
klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi dan tekhnologi pada suatu
wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam,
mencapai kesiapan dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk
bahaya tertentu.
Berdasarkan kecepatan terjadinya, bencana terbagi atas bencana yang terjadi
perlahan lahan (slow onset hazard) seperti kekeringan/kelaparan, letusan gunung api, dan
banjir serta bencana yang terjadi secara tiba tiba (sudden onset hazard) yaitu ancaman
akibat fenomena fenomena alam seperti gempa bumi, badai, banjir, tanah longsor,
5
tsunami, angin putting beliung yang terjadi tanpa peringatan dini yang menyebabkan
ketidaksiapan dalam menghadapi bencana.
Berikut ini akan diuraikan definisi terminologi tentang bencana yang terdapat
dalam UU Penanggulangan Bencana No. 24 tahun 2007 :
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebbakan baik oleh
faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda dan dampak psikologis.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami,
gunung meletus, namjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor.
Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa non alam antara lain berupa gagal tekhnologi, gagal modernisasi, epidemi,
dan wabah penyakit.
Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok
atau antar komunitas masyarakat dan teror
B. MANAGEMEN PENANGGULANGAN BENCANA
Dalam penanganan bencana perlu ada suatu organisasi atau sistem komando
kejadian bencana yang dibentuk oleh negara untuk menyusun panduan penanganan
bencana dan melakukan koordinasi terhadap personil, fasilitas, sistem komunikasi dan
transportasi dalam penanganan bencana. Organisasi ini sebelum menyusun Panduan
Penanganan Bencana (Emergency Operations Plan/EOP) terlebih dahulu melakukan
pengkajian terhadap lingkungan dan komunitas untuk mengetahui daerah yang beresiko
tinggi terkena bencana, tipe bencana yang mungkin terjadi baik bencana alam seperti
banjir, sunami, gunung meletus, maupun bencana akibat perbuatan manusia misalnya
kebakaran, kecelakaan dan lain lain. Pengkajian juga dilakukan terhadap fasilitas
6
penanganan bencana di tempat kejadian seperti tenaga/personil bantuan, transportasi,
farmakologi, alat dan bahan pertolongan kegawat daruratan (lokal facility), organisasi
penangan bencana lokal (Safety committee), kantor atau posko penanganan bencana
(Safety Officer or emergency department). Setelah dilakukan pengkajian secara lengkap
kemudian disusun Panduan Penanganan Bencana baik panduan antisipasi atau
pencegahan bencana (Preparedness), panduan penanganan saat bencana (during disaster)
serta panduan penanganan setelah bencana (Postdisaster).
Komponen komponen penting yang terdapat dalam Panduan Penanganan Bencana
(EOP) adalah sebagai berikut :
Informasi secara cepat dan mudah. Fasilitas penanganan bencana (health care
facility) harus dapat diakses dengan cepat dan mudah kapanpun dan dimanapun
bencana terjadi misalnya perlu ada jalur telepon emergency yang gratis, cepat dan
mudah ke kantor atau fasilitas penanganan bencana.
Jalur komunikasi secara internal dan eksternal. Jalur komunikasi untuk koordinasi
personil, fasilitas dan transportasi dalam penanggulangan bencana harus jelas dan
siaga termasuk informasi dari tempat kejadian bencana ke posko atau rumah sakit
rujukan korban bencana.
Perencanaan terhadap penanganan korban bencana (coordinated patient care),
termasuk didalamnya triage korbaan bencana, sistem rujukan dan transportasi ke
posko atau rumah sakit rujukan korban bencana.
Perencanaan keamanan terhadap korban, fasilitas dan personil terhadap kondisi yang
sangat parah dan mengancam
Identifikasi sumber atau fasilitas penanganan bencana baik lokal, regional dan negara
serta bagaimana menghubunginya
Pedoman penanganan korban bencana, masyarakat, media dan strategi pembagian
tugas dalam tim
Strategi managemen data korban dan kejadian bencana
Penanganan respon pasca bencana
Pedoman penyelamatan diri bagi masyarakat dan melakukan latihan sebelum bencana
terjadi
7
Antisipasi kebutuhan masyarakat setelah bencana seperti air bersih dan makanan
untuk jangka waktu yang lama
Perkiraan insiden kejadian bencana serta strategi identifikasi bencana seperti alarm
bencana
Personil dalam penanganan bencana harus memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang baik dan ahli terhadap setiap kondisi bencana sehingga memiliki
kesiapan dan kesigapan dalam melakukan tindakan sesuai tugas dan perannya masing
masing berdasarkan pedoman penanganan bencana yang telah ada.
Pedoman Penanganan bencana juga termasuk struktur atau alur penanganan
bencana beserta tugas dan peran masing masing mulai dari penanganan di daerah bencana
sampai transportasi dan persiapan posko atau rumah sakit rujukan korban bencana.
Petugas penanganan bencana juga harus memiliki pengetahuan tentang bahasa,
latar belakang budaya dan aspek spiritual yang ada pada berbagai komunitas. Hal ini
dilatar bekangi oleh karena kesulitan bahasa dapat meningkatkan ketakutan dan frustasi
para korban, terdapat kepercayaan dan praktek spiritual yang berbeda terhadap terapi
pengobatan, hygiene atau diet, waktu dan tempat khusus untuk berdoa, ritual khusus
menangani korban yang meninggal dan lain lain.
Managemen penanggulangan bencana di Indonesia telah memiliki dasar hukum
yang jelas seperti yang tertuang dalam UU Penanggulangan Bencana No. 24 tahun 2007
bahwa kordinasi penanggulangan bencana yang sebelumnya dilaksanakan oleh Badan
Koordinasi Nasional (Bakornas) sesuai Keppres No. 111/2001 digantikan oleh Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dalam pasal pasal UU No. 24/2007 telah
mengatur tanggung jawab dan wewenang organisasi atau lembaga nasional, daerah dan
internasional dalam penanggulangan bencana, mengatur hak dan kewajiban masyarakat,
managemen penanggulangan bencana yang terdiri dari pra bencana (Predisaster), selama
bencana (during diaster) dan setelah bencana (after disaster), serta mengatur proses
pendanaan, pengelolaan bantuan, pengawasan dan penyelesaian sengketa akibat bencana.
Managemen penanggulangan bencana terdiri dari penanganan sebelum bencana
(predisaster), penanganan saat bencana (during disaster) dan penangana setelah bencana
(afterdisaster) selanjutnya akan diuraikan sebagai berikut :
8
a. Penanganan Sebelum Bencana (Predisaster)
Penanganan sebelum terjadinya bencana disebut juga tindakan pencegahan atau
prevention terdiri dari pengkajian faktor resiko bencana (risk assessment), Kegiatan
pencegahan bencana, mitigasi (disaster mitigation), peringatan dini, dan kesiapsiagaan/
tanggap darurat bencana (preparedness).
Pengkajian terhadap faktor resiko bencana terdiri dari pengkajian terhadap
lingkungan atau keterpaparan terhadap ancaman (hazard), analisis kerentanan dan
kelompok yang rentan di masyarakat serta analisis sumber atau kapasitas yang dapat
digunakan dalam menghadapi bencana.
Setelah faktor resiko bencana teridentifikasi maka selanjutnya dilakukan
pencegahan atau mitigasi dalam rangka menghilangkan dan atau mengurangi faktor
resiko atau ancaman bencana. Tindakan pencegahan dan mitigasi terdiri dari manajemen
lingkungan, upaya fisik dan teknis dalam mengatasi faktor resiko bencana, regulasi/
legislasi/kebijakan pembangunan yang mendukung pencegahan bencana, upaya
penyadaran dan peningkatan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana, serta
membangun kemitraan dan jaringan (networking) dalam persiapan bencana.
Selain melakukan tindakan pencegahan dan mitigasi, perlu juga dipersiapkan alat
peringatan dini dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Peringatan dini adalah
serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang
kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.
Kegiatan peringatan dini dapat berupa pemantauan yang terus menerus terhadap faktor
resiko bencana disertai tanda alarm peringatan akan terjadinya bencana. Peringatan dini
ini akan memberikan tanda kepada masyarakat agar siap siaga untuk menyelamatkan diri
dan keluarga, serta sebagai tanda kepada para petugas penanggulangan bencana untuk
mempersiapkan diri dalam membantu masyarakat dalam menghadapi bencana.
Pemantuan secara terus menerus terhadap faktor resiko bencana adalah dengan
menggunakan tekhnologi untuk mendeteksi dan memprediksi resiko timbulnya dan
terjadinya bencana seperti tsunami dan gunung meletus. Informasi atau peringatan
tentang resiko terjadinya bencana berupa alarm bencana disebarkan kepada masyarakat
melalui media televisi dan radio. Tekhnologi terbaru adalah dengan memberikan
9
informasi tentang resiko bencana atau alarm bahaya melalui handphone (HP) sehingga
individu yang tidak bisa atau tidak sempat menonton televisi tetap mendapatkan
informasi sehingga dapat mempersiapkan diri terhadap kemungkinan terjadinya bencana.
b. Penanganan Saat Bencana (During disaster)
Penanganan saat bencana terdiri dari evakuasi atau penyelamatan korban bencana
dan transportasi korban ke posko atau rumah sakit rujukan korban bencana. Managemen
penyelamatan korban bencana pada jumlah korban yang sangat banyak maka perlu
dilakukan tindakan triage.
Triage adalah proses penentuan atau penyeleksian pasien atau korban berdasarkan
prioritas kebutuhan terhadap perawatan dan pengobatan. Dalam penanganan bencana
dengan korban yang banyak maka perlu dilakukan penyeleksian pasien untuk
menentukan korban yang perlu penanganan prioritas atau segera dan korban yang bisa
ditunda penanganannya. Meskipun tindakan ini dapat dinilai tidak ethis karena cenderung
mengabaikan pasien atau korban lain yang juga membutuhkan pertolongan namun
tindakan triage perlu dilakukan untuk memprioritaskan penanganan emergency kepada
korban dengan kondisi yang lebih serius/parah dan perlu penanganan segera.
Petugas triage melakukan pemeriksaan atau pengkajian terhadap korban secara
cepat dan memberikan penanganan emergency atau resusitasi sebelum diberikan
penanganan tindakan penyelamatan lanjutan atau dibawa ke posko atau rumah sakit
rujukan penanganan bencana. Seorang petugas triage memberikan tanda kepada pasien
berdasarkan derajat keseriusan kondisi dan prioritas kebutuhan terhadap tindakan
emergency sehingga petugas yang lain dapat langsung memberikan bantuan atau
langsung membawa pasien ke lokasi penanganan lanjutan. Perlu disiapkan alat alat dan
pengobatan terhadap kondisi emergency dan transportasi terhadap pasien ke posko
perawatan atau rumah sakit rujukan bencana.
Kategori tanda triage yang diberikan adalah berdasarkan derajat keparahan dari
cedera yang dialami oleh korban. Terdapat berbagai tanda triage yang dapat digunakan di
beberapa negara dan perawat bencana harus memahami sistem yang ada di masyarakat
atau negara tersebut. Salah satu contoh sistem triage oleh North Atlantic Treaty
10
Organization (NATO) adalah dengan menggunakan kode warna yang terdiri dari warna
merah, kuning, hijau dan hitam. Masing masing warna memiliki perbedaan tingkatan
prioritas yang secara jelas diuraikan sebagai berikut :
KATEGORI TRIASE PRIORITAS WARNA KONDISI PASIEN
Immediate / Segera :
Cedera yang dapat
mengancam kehidupan
dan dapat bertahan hidup
jika cepat segera diatasi.
Pasien dalam kondisi ini
dapat berkembang kearah
kematian jika ditunda
penanganannya.
I Merah Obstruksi jalan nafas akibat
trauma, Trauma dada, show,
hemotórax, tension
pneumothoraks, asfixia, trauma
luka pada dada atau abdomen
yang tidak stabil, amputasi
inkomplit, fraktur terbuka pada
tulang panjang, luka bakar
derajat 2 atau 3 dengan luas
permukaan tubuh terbakar 15 –
40 %.
Delayed/Dapat ditunda :
Cedera serius dan
membutuhkan pengobatan
tapi dapat ditunda atau
menunggu dalam
beberapa jam. Pasien ini
akan menerima
pengobatan atau treatment
setelah korban yang perlu
penanganan segera
ditangani lebih dulu.
2 Kuning Trauma luka abdomen yang
stabil tanpa perdarahan yang
hebat, cedera jaringan lunak,
trauma wajah tanpa komplikasi
pada jalan nafas, trauma
pembuluh darah dengan fungsi
kolateral yang adekuat, gangguan
pada saluran genitourinaria,
fraktur yang membutuhkan open
reduktion, debridement, eksternal
fiksasion
Minimal : cedera minimal
dan treatment atau
penanganan dapat ditunda
3 Hijau Fraktur ekstremitas atas, luka
bakar minor, luka yang kecil
tanpa perdarahan yang
11
selama beberapa jam
sampai beberapa hari.
Pasien dalam kategori ini
harus dipisahkan dari
lokasi triage utama.
signifikan, perubahan perilaku
atau gangguan psikologis.
Expectant : Cedera yang
sangat parah dan tidak
dapat bertahan hidup
meski dengan perawatan
emergency. Korban harus
dipisahkan dari pasien
yang lain tapi tidak
diabaikan. Tindakan yang
diberikan adalah
menyediakan kenyamanan
bagi korban jika
memungkinkan
4 Hitam Luka penetrasi pada kepala
dengan pasien yang tidak
berespon, cedera tulang belakang
yang parah, luka pada multi sisi
dan organ tubuh, luka bakar
derajat 2 dan 3 dengan luas
permukaan tubuh terbakar 60 %
atau lebih, kejang atau muntah
setelah terkena radiasi lebih dari
24 jam, shock dengan multiple
injury, nadi tidak teraba,
Tekanan darah tidak teraba,
Pupil dilatasi atau pin point.
c. Penanganan Setelah Bencana (Post disaster)
Penanganan setelah bencana meliputi pengkajian terhadap kerugian atau
kerusakan yang terjadi akibat bencana (damage assessment), rehabilitasi dan
rekonstruksi. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik
atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan
sasaran utama untuk normalisasi/berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan
kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana. Rekonstruksi adalah pembangunan
kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana baik
pada tingkat pemerintah maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan
12
ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat pada wilayah pasca bencana.
Selain rehabilitasi dan rekonstruksi fisik sarana dan prasarana serta lingkungan,
juga perlu dilakukan rehabilitasi terhadap mental dan psikologis korban bencana karena
meskipun mengalami bencana yang sama, beberapa individu dapat mengalami trauma
psikologis yang berkepanjangan. Beberapa respon yang biasanya terjadi adalah depresi,
ansietas, gangguan psikosomatis (fatigue, malaise, sakit kepala, gangguan saluran
gastrointestinal, kemerahan pada kulit), posttraumatic disorder, keracunan zat, konflik
interpersonal, dan gangguan penampilan (Brunner & Suddarth).
Faktor yang mempengaruhi respon individu terhadap bencana yang dialami
adalah derajat atau tingkat keterpaparan terhadap bencana, kehilangan teman atau orang
yang dicintai, kehilangan rumah dan harta kepemilikan yang lain, tidak adekuatnya
koping strategis, hilang atau kurang sumber dukungan atau support, serta pandangan atau
penerimaan individu terhadap bencana yang dialami. Kondisi keterpaparan terhadap
korban kematian, cedera, dan kekuatan bencana, respon histeris saat bencana, aktivitas
petugas penananganan bencana dalam membantu korban dapat menjadi keadaan yang
menimbulkan gangguan emosional pada individu.
C. COMMUNITY BASED DISASTER RISK MANAGEMENT (CBDRM)/
PENANGGULANGAN BENCANA BERBASIS MASYARAKAT
1. PENGERTIAN
Dasar dari Penanggulangan bencana berbasis masyarakat adalah reduksi resiko bencana.
Masyarakat berperan serta dalam kegiatan pengelolaan bencana yang meliputi kegiatan
tanggap darurat dasar yang dapat dilakukan oleh masyarakat, dan kegiatan – kegiatan
yang dapat mengurangi resiko bencana (Yodmani, S. 2006). Adapun definisi dari
Community based disaster risk management (CBDRM) adalah pemberdayaan komunitas
agar dapat mengelola bencana dengan tingkat keterlibatan pihak/kelompok masyarakat
dalam perencanaan dan pemanfaatan sumber daya lokal dalam kegiatan implementasi
oleh masyarakat sendiri (ADPC 2003 dalam www.ntt-academia.org).
13
Community based disaster risk management (CBDRM) adalah kerangka kerja
pengelolaan bencana yang inklusif dimana masyarakat terlibat atau difasilitasi untuk
terlibat aktif dalam pengelolaan risiko bencana (perencanaan, implementasi, pengawasan,
evaluasi) dengan input sumber daya lokal maksimum dan input eksternal minimum
(Indosasters 2006 dalam www.ntt-academia. org ).
2. TUJUAN CBDRM
Penanggulangan bencana berbasis masyarakat/CBDRM merupakan suatu proses
yang sistematik untuk mengidentifikasi, membuat perkiraan dan membuatt prioritas dari
resiko bencana. Kondisi ini membuat masyarakat menjadi lebih sadar terhadap resiko
bencana yang ada di daerahnya. Penganggulangan bencana berbasis masyarakat
merupakan suatu pengambilan keputusan yang bersifat bottom up untuk menentukan
strategi, perencanaan dan program dalam redusksi resiko bencana.
Tujuan dari CBDRM adalah membantu masyarakat untuk membuat prioritas resiko
bencana yang ada di daerahnya, membuat perencanaan program reduksi bencana yang
adekuat, membuat perencanaan program yang membutuhkan daya yang efisien dan
berkelanjutan, mengidentifikasi sumber daya eksternal yang dapat dimanfaatkan untuk
pelaksanaan program dan membuat indikator untuk menilai keberhasilan program
(Yodmani, S. 2006).
3. LANGKAH DAN PROSES CBDRM
Langkah & proses CBDRM adalah (ADPC 2003 dalam www.ntt-academia.org) :
a. Faktor eksternal
Tahap 1 : Involvement
i. Pengkajian wilayah – wilayah yang berresiko terhadap bencana
ii. Mengidentifikasi bahaya dan kerentanan yang ada
iii. Bencana yang mungkin terjadi di wilayah tersebut
14
iv. Pengetahuan tentang manajemen bencana dan sumber daya yang
ada
v. Pengetahuan tentang situasi lokal, proses dan sistem
b. Faktor masyarakat
Tahap 2 : Community profilling
Community profilling merupakan gambaran perkembangan posisi dan isi dimana
bencana akan terjadi, hal yang diidentifikasi adalah : Kelompok sosial yang ada
dimasyarakat, Kebudayaan, Kegiatan ekonomi, dan Karakteristik masyarakat
Tahap 3 : Pengkajian resiko di masyarakat
Tujuannya adalah menyeimbangkan pengetahuan tentang resiko dan sumber daya
yang ada. Identifikasi meliputi :
a. Pengkajian bahaya
b. Pengkajian kerentanan
c. Pengkajian sumber daya
Hal ini dapat dijadikan dasar untuk mengetahui besarnya masalah dan kesempatan untuk
melakukan penanggulangan.
Tahap 4 : Perencanaan penganggulangan bencana
Meliputi :
a. Penilaian terhadap persiapan
b. Penilaian terhadap reduksi resiko ( peran, tanggung jawab, jadwal
dan input)
Tahap 5 : Implementasi dan monitoring
Tahap 6 Evaluasi dan Umpan balik
15
4. KOMPONEN – KOMPONEN DALAM PENGKAJIAN CBDRM
Komponen – komponen yang harus dikaji dalam melakukan CBDRM adalah (ADPC
2003 dalam www.ntt-academia.org) :
A. Pengkajian persepsi masyarakat terhadap resiko
Identifikasi persepsi masyarakat terhadap resiko bencana yang ada didaerahnya sehingga
dapat mengidentifikasi penilaian masyarakat terhadap bencana yang akan terjadi
B. Pengkajian terhadap ancaman
Type of Hazards (Tipe Ancaman)
a. Social Hazards (Ancaman Sosial) meliputi Kriminalitas/kekerasan, perang,
konflik, kemiskinan absolut, terorisme.
b. Technological Hazard (Ancaman Teknologi) meliputi Industrial explosions,
kebakaran, polusi udara, waste exposure, kecelakaan nuklir, lumpur Lapindo
c. Biological Hazards (Ancaman Biologis) meliputi HIV/AIDS, Ebola, dan
epidemic, etc.
d. Hydro-Climatic Hazard (Ancaman hirdoklimatis) meliputi Banjir, kebakaran
hutan, kekeringan
e. Geo-Hazard (Anacaman Geofisik) meliputi Gempa, tsunami, gunung api.
Karakter hazard/ancaman
pemicu
tanda-tanda ilmiah maupun tradisional
jarak antara peringatan dan kejadian
lamanya kejadian
kekerapan
16
waktu/pola waktu
ancaman ikutan yang timbul
kemungkinan jangkauan dampak
C . Pengkajian kerentanan
1. Pemetaan kerentanan
Suatu proses yang menghasilkan pengertian akan jenis dan tingkat kerentanan dari
manusia, harta benda dan lingkungan terhadap efek dari ancaman tertentu pada
waktu tertentu.
Proses ini lebih pada mengidentifikasi kondisi fisik, sosial dan ekonomi yang
rawan terhadap dampak suatu ancaman.
Suatu proses partisipasi untuk mengidentifikasi unsur-unsur risiko pada setiap
ancaman, dan untuk menganalisa akar masalah adanya unsur-unsur risiko
tersebut.
Penilaian kerentanan adalah proses perkiraan kerentanan pada ancaman-ancaman
yang potensial dengan cara (1.) Mengidentifikasi unsur-unsur risiko pada setiap
type ancaman (2). Menganalisa akar masalah adanya unsur-unsur risiko tersebut.
2. Pengkajian kerentanan meliputi :
a. Kerentanan Fisik/Material meliputi :
Kepemilikkan aset yang tidak mencukupi untuk bertahan dari
kemungkinan yang merugikan; kurangnya alternatif ekonomi,
tidak cukupnya keanekaragaman alam yang menyebabkan suatu
ekosistem tidak mampu bertahan/pulih dari suatu ancaman,
masyarakat yang tinggal di daerah rawan ancaman (di tempat rawan
banjir, rawan gempa, dll),
17
sarana dan prasarana (rumah, jalan, jembatan, saluran irigasi, dll) yang
menyebabkan mereka tidak mampu untuk menghadapi dan bertahan dari
suatu ancaman.
Lokasi rumah-rumah masyarakat pada daerah yang rawan, lahan
pertanian, infrastruktur dan pelayanan dasar
Model dan konstruksi bahan-bahan rumah dan bangunan
Sumber penghidupan yang tidak aman dan berbahaya
Kurangnya akses dan kontrol terhadap prasyarat 2X produksi (tanah,
input pertanian, hewan dan modal)
Ketergantungan pada lintah darat (kontroversi)
Peristiwa kekurangan pangan yang gawat atau kronis
Latar belakang pendidikan dan ketrampilan yang tidak memadai
Tingkat kematian yang tinggi, malnutrisi, peristiwa penyakit,
kemampuan perawatan yang tidak memadai
Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan
Kekurangan pelayanan mendasar : pendidikan, kesehatan, air bersih,
perumahan, sanitasi, jalan, listrik, komunikasi.
Kekerasan yang terselubung (rumah tangga, konflik masyarakat atau
perang)
b. Kerentanan Perilaku/motivasi
Sikap negatif/reaktif terhadap perubahan
Ketidakpedulian, fatalisme, tidak punya harapan, bergantung pada orang
lain
Tergantung pada bantuan dari pihak luar/mental bantuan, sikap yang
negatif terhadap perubahan
Ketidakpedulian, fatalisme, tidak punya harapan, bergantung pada orang
lain
Kurangnya inisiatif, tidak memiliki semangat jiwa
Kurang bersatu, kerja sama dan solidaritas
Tidak menyadari ancaman dan konsekuensinya
c. Kerentanan Sosial/Kelembagaan
18
Kurangnya informasi yang menyangkut bencana
Kurangnya pelayanan publik, perencanaan, kesiapan dan respon
terhadap keadaan darurat
Minimnya peran & ketiadaan informasi tentang keberadaan organisasi-
organisasi kemasyarakatan, mekanisme dukungan sosial
Masalah gender, diskriminasi ras, etnik, agama
Struktur kekeluargaan/persaudaraan yang lemah
Terisolasi secara sosial
Kurangnya kepemimpinan, leadership, struktur organisasi untuk
memecahkan masalah atau konflik
Pengambilan keputusan yang tidak efektif, masyarakat/kelompok-
kelompok dihapuskan
Kondisi partisipasi masyarakat yang tidak merata
Kekurangan atau lemahnya organisasi-organisasi masyarakat (formal,
pemerintahan dan lokal/penduduk asli)
Desas-desus, pembagian, konflik, etnis, kelas, kepercayaan, kasta,
ideologi
Praktek-praktek yang tidak adil, kurangnya akses pada proses politik
3. Pengkajian sumber daya
Dikelompokkannya ke dalam 5 kelompok aset yang sering disebut sebagai
Pentagon Aset atau Pentagon Capital yaitu:
Human Capital (Sumber Daya Manusia)
Meliputi : tenaga kerja, ketrampilan, pendidikan, pengetahuan, dll
Natural Capital (Sumber Daya Alam)
Meliputi : Tanah dan produksinya, air dan sumber daya air didalamnya, pohon
dan hasil hutan, kehidupan liar, serat dan pangan yang tidak dibudidayakan,
keanekaragaman hayati, dan sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan terkait
lingkungan
Financial Capital (Sumber Daya Keuangan)
19
Meliputi tabungan atau simpanan, kredit/hutang baik fomal maupun informal
maupun yang diberikan LSM, kiriman dari keluarga yang bekerja di luar daerah,
dana pensiun, dan upah/gaji
Social Capital (Sumber Daya Sosial)
Meliputi jaringan dan koneksi (patron yang terbangun, kerukunan antar tetangga
dan hubungan baik ), hubungan yang berbasis rasa saling percaya dan saling
mendukung, kelompok formal dan informal, peraturan umum dan sanksi,
keterwakilan, mekanisme berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan,
dan kepemimpinan
Physical Capital (Sumber Daya Infrastruktur)
Meliputi Infrastruktur ( jaringan transportasi, jalan, kendaraan, gedung gedung
dan tempat tinggal yang aman, sarana kebersihan dan air bersih, energi, jaringan
komunikasi), serta teknologi dan alat-alat (alat alat dan peralatan untuk produksi,
bibit, pupuk, pestisida,teknologi tradisional)
D. INDIKATOR KEBERLANJUTAN PENANGGULANGAN BENCANA
BERBASIS KOMUNITAS
Prasyarat Keberlanjutan CBDRM (ADPC 2003 dalam www.ntt-academia.org):
Adalah rakyat/manusia/komunitas yang membuat proses CBDRM berkelanjutan
Keberlanjutan partisipasi rakyat/komunitas bergantung pada ‘link and match’
antara kegiatan reduksi risiko bencana dan proyek/program dengan kebutuhan
seketika (strategis/praktis)
Terlibatnya masyarakat secara aktif dalam proses studi dan pengambilan
keputusan dalam identifikasi solusi realistis, kesiapan yang mampu dilakukan,
dan solusi solusi mitigasi
Relevansi keterlibatan menciptakan kepemilikan bahkan ketika capaian yang
dihasilkan tidak besar, maka keberlanjutan kegiatan CBDRM bisa dipastikan.
Kesatuan/kohesifitas rakyat/komunitas/orang/masyarakat dalam komitmen
reduksi bencana dilanggengkan oleh praktek CBDRM
20
Faktor kelembagaan tetap/menetap yang ada dikomunitas mampu melanggengkan
proses-proses CBDRM yang bertujuan memproteksi penghidupan dan kehidupan
rakyat secara berkelanjutan.
E. PERAN PERAWAT DALAM PENANGGULANGAN BENCANA
Peran perawat komunitas dalam penanggulangan bencana bervariasi berdasarkan
tahapan disaster managemen (M. Kandasamy, jurnal of india, 2007). Peran perawat
kesehatan komunitas pada tahap preparedness adalah :
a. Memfasilitasi dalam mempersiapan komunitas dalam menghadapi bencana dan
menyiapkan tempat penampungan korban
b. Inisiatif daan memperbaharui rencana penanggulangan bencana
c. Menyediakan program pendidikan menghadapi bencana pada berbagai area
d. Menyediakan dan memperbaharui laporan atau catatan populasi rentan yang ada
di komunitas
e. Memberikan pendidikan kesehatan pada populasi rentan tentang tindakan
penyelamatan yang dapat dilakukan pada saat bencana
f. Sebagai advokat masayarakat dalam menciptakan dan menjaga lingkungan yang
aman
g. Melakukan pengkajian dan laporan tentang bahaya lingkungan
h. Mengetahui sumber sumber yang dapat digunakan dalam penanganan bencana
serta menggerakan kerja sama dengan komunitas/masyarakat.
Peran perawat kesehatan komunitas pada saat bencana terjadi tergantung dari
pengalaman dalam penanggulangan bencana, peran perawat dalam institusi dan
persiapan komunitas (preparedness), pelatihan atau training yang pernah diikuti dan
ketertarikan dalam penanggulangan bencana. Peran perawat pada saat bencana adalah
a. Bertanggung jawab memberikan informasi yang akurat kepada badan atau
organisasi penanganan bencana yang ada agar dapat memfasilitasi tindakan
penyelamatan segera.
b. Melakukan evakuasi dan triage terhadap korban bencana berdasarkan tingkat
keparahan cedera yang dialami korban.
21
c. Memberikan pertolongan dan perawatan emergency pada korban bencana sesuai
triage yang dilakukan
d. Terus menerus membuat laporan perkembangan kejadian bencana
Peran perawat kesehatan komunitas pada tahap setelah bencana (recovery) adalah :
a. Membantu dalam pemenuhan kebutuhan korban bencana seperti air bersih,
makanan, minuman dan lain lain
b. Membantu kesehatan mental korban yang mengalami trauma dan merujuk kepada
terapis mental untuk penanganan lebih lanjut.
c. Memperhatikan bahaya lingkungan yang dapat terjadi setelah bencana
d. Melakukan home visit untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan korban bencana
akan rumah sehat, air bersih dan listrik.
e. Memperhatikan kemungkinan adanya binatang yang hidup atau mati yang dapat
membahayakan kesehatan korban bencana
f. Case finding dan memberikan asuhan keperawatan pada korban bencana
berdasarkan masalah yang ditemukan
g. Membantu korban agar dapat beraktivitas secara normal sesuai perannya
dimasyarakat.
Peran perawat kesehatan komunitas juga sangat penting dalam CBDRM yaitu
meningkatkan kemandirian masyarakat dalam penanggulangan bencana. Perawat
komunitas dengan ilmu dan keterampilan keperawatan yang dimiliki dan kemampuan
pengelolaan masyarakat dalam peningkatan status kesehatannya dapat berperan
sebagai pendidik dan motivator bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam
penanggulangan bencana
Perawat juga dapat berperan sebagai fasilitator dalam membantu masyarakat
mengidentifikasi faktor resiko bencana yang ada di masyarakat, mengidentifikasi
kapasitas/kemampuan atau sumber daya yang ada di masyarakat yang dapat
digunakan dalam penanggulangan bencana, membantu menyusun perencanaan
penanggulangan bencana dan pedoman implementasi dan evaluasi, serta menjadi
fasilitator dalam mengawasi dan mengevaluasi program penanggulangan bencana di
masyarakat.
22
BAB III
PEMBAHASAN
ANALISIS BERDASARKAN METODE SWOT
Berikut ini adalah analisis kesenjangan antara CBDRM dengan kondisi yang ada
di lapangan dengan menggunakan analisis SWOT:
STRENGTH/KEKUATAN :
1. CBDRM banyak digunakan untuk memberikan panduan yang
sistematik sebagai panduan dalam merencanakan program penanggulangan bencana
berbasis masyarakat
2. CBDRM mengidentifikasi kebutuhan yang diperlukan oleh
masyarakat untuk mengurangi faktor resiko terhadap bencana sehingga dapat
meminimalkan dampak dari bencana
3. CBDRM melibatkan peran serta aktif dari masyarakat dalam
meminimalkan dampak bencana
WEAKNESS/KELEMAHAN :
1. CBDRM belum diterapkan di seluruh Indonesia
2. CBDRM tidak disosialsasikan secara luas keseluruh daerah di Indonesia yang
merupakan daerah rawan bencana
3. CBDRM lebih banyak dikelola oleh agen non pemerintah (NGO) yang dalam hal ini
keberlanjutan dari program tergantung dari pendanaan yang ada
4. Koordinasi pelaksanaan CBDRM belum jelas keberlanjutanya
5. CBDRM belum banyak dipahami oleh masyarakat di Indonesia, karena CBDRM
cenderung diberikan pada daerah yang sudah terkena bencana sedangkan daerah yang
rawan bencana belum tersosialisasikan
23
OPPORTUNITY/KESEMPATAN
1. CBDRM bersifat fleksibel dan dapat diaplikasikan pada semua wilayah dengan
karateristik warga yang berbeda
2. Terdapatnya kerjasama lintas sektoral yang sangat luas dalam aplikasi CBDRM
TREATH/ANCAMAN
1. Masalah bencana sangat komplek dan CBDRM memerlukan monitoring untuk
keberlanjutan program dimana saat ini proses monitoring belum ada indikator yang
jelas
2. Dukungan pemerintah yang lemah terhadap program CBDRM dapat menghambat
proses keberlanjutan dari CBDRM
24
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. CBDRM memiliki kelebihan dibanding penanggulangan bencana mengandalkan
peran aktif BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) antara lain peran
serta aktif masyarakat dalam pengelolaan bencana dengan cara mereduksi risiko
bencana/ kerentanan dan meningkatkan kapasitas individu/keluarga/komunitas
dalam menghadapi dampak bencana .
2. Peran perawat komunitas sangat penting dalam meningkatkan kemandirian
masyarakat dalam penanggulangan bencana karena perawat komunitas dengan
ilmu dan keterampilan keperawatan yang dimiliki dan kemampuan pengelolaan
masyarakat dalam peningkatan status kesehatannya
3. CBDRM dapat diaplikasikan dan sangat signifikan dalam mereduksi resiko
bencana oleh masyarakat
B. SARAN
1. Sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan daerah yang
rawan bencana sehingga perlu disosialisasikan sistem CBDRM secara
menyeluruh
2. CBDRM perlu dijadikan sebagai program didaerah – daerah
yang rawan bencana
3. Diperlukan monitoring untuk keberlanjutan program dan
indikator yang jelas dalam pelaksanaan CBDRM
25
DAFTAR PUSTAKA
ADPC (2003). Risk Disaster Management. Diambil dari dalam www.ntt-academia.org. Diakses tanggal 8 April 2008.
Brunner & Suddarth’s. (2000). Medical Surgical Nursing : textbook of medical surgical nursing. 10th edition. JB. Lippincott : Philadelphia.
Kandasamy, M. (2007) Community Health Nurse in Disaster Management. Diambil dari www.proquest.pqdauto. Diakses tanggal 8 April 2008.
26